Pedang Penakluk Iblis Jilid 05
MENGHADAPI serangan Sin Hong, Giok Seng Cu tertawa bergelak. Tentu saja sebagai seorang tokoh besar, dapat menghadapi serangan ini dengan mudah. Ia menangkap tangan Sin Hong yang memukulnya, memegang tangan itu erat-erat sambil mengerahkan tenaga. “Krak!” Tulang lengan Sin Hong patah!
"Ha-ha-ha, biarlah kau setan cilik sekarang menjadi setan penasaran di lembah Luliang-san... ha-ha-ha!" Sambil berkata demikian, Giok Seng Cu lalu melepaskan anak itu ke dalam jurang dari tebing yang amat curam itu!
Tubuh Sin Hong melayang ke bawah dan sungguhpun pengalaman ini membuat nyawanya seakan-akan sudah meninggalkan tubuhnya dan semangatnya juga terbang, namun kesadaran anak ini masih penuh! Ia tidak mau pingsan dan kemauannya yang keras ini benar-benar luar biasa dan mengatasi perasaannya sehingga ia masih dapat bertahan! Anak ini ingin menghadapi kematian dengan kedua mata terbuka.
Pada saat itu, selagi Giok Seng Cu tertawa bergelak, tiba-tiba dari atas terdengar pekik yang nyaring dan seekor burung yang besar menyambar turun menyerang dengan paruhnya yang kuat itu ke arah kepala Giok Seng Cu! Kakek ini kaget sekali, cepat ia melompat ke samping sambil menangkis dengan tangannya.
"Plak!"
Tubuh Giok Seng Cu terhuyung saking kerasnya gerakan burung akan tetapi burung itu sendiri terpental jauh dan beberapa helai bulunya rontok, melayang-layang ke bawah. Hajaran yang keras dari tangan Giok Seng Cu membikin binatang itu menjadi jerih. Sambil mengeluarkan pekik keras ia melayang terus dan terbang meluncur ke bawah mengejar tubuh Sin Hong yang sedang melayang turun.
Binatang tetap binatang. Betapapun ia dilatih oleh orang-orang pandai, kim-tiauw itu tetap saja seekor binatang yang bodoh. Melihat ada sesuatu melayang turun, ia hanya menurutkan nalurinya dan cepat ia menyambar turun, tidak tahu apakah yang melayang itu. Pada saat itu, Sin Hong sudah hampir pingsan karena sukar baginya untuk bernapas dalam keadaan melayang cepat sekali itu. Tiba-tiba ia merasa pundaknya sakit dan tubuhnya seakan-akan dirobek menjadi dua, tersentak keras sekali, akan tetapi kini ia tidak melayang ke bawah.
Ketika ia memandang, ternyata ia berada dalam cengkeraman seekor burung kim-tiauw yang besar sekali. Ia kaget akan tetapi berbareng girang, karena ia mendapat harapan untuk hidup. Kalau ia terbanting ke bawah, tak dapat disangkal lagi bahwa ia tentu akan mati dengan tubuh hancur lebur. Kini di dalam cengkeraman kim-tiauw, belum tentu ia akan mati. Memang Sin Hong amat pemberani dan berhati keras, tidak mudah putus asa.
Sebaliknya, ketika burung itu melihat bahwa yang dicengkeramnya adalah seorang anak manusia, ia lalu melayang turun perlahan di dasar jurang, melepaskan tubuh itu setelah berada tiga kaki di atas tanah. Tubuh Sin Hong terbanting perlahan di atas tanah yang lunak hingga ia kaget dan heran. Ternyata tempat itu bukan merupakan dasar jurang yang menyeramkan, sebaliknya merupakai tempat yang indah sekali. Ia terjatuh di atas tanah yang mengandung rumput hijau dan tebal. Keadaan di situ terang karena mendapat sinar matahari dan atas dan dari sebelah kanan, sedangkan di sana-sini tumbuh pohon-pohon yang mengandung buah-buahan. Dasar jurang itu ternyata merupakan sebuah lereng bukit Luliang-san yang tak dapat didatangi orang dari kaki gunung, karena terhalang oleh jurang-jurang yang luar biasa dalamnya dan lebarnya. Agaknya jalan satu-satunya untuk tiba di tempat itu hanyalah dari atas tebing itulah!
Sin Hong teringat akan burung itu, maka buru-buru ia menghampiri sambil menjatuhkan diri berlutut di depan kim-tiauw. “Kim-tiauw-koko, aku Wan Sin Hong telah menerima budi pertolonganmu dan nyawaku telah kau selamatkan. Mudah - mudahan kelak aku dapat membalas budimu ini, tiauw koko!"
Burung itu agaknya terlatih sekali dan agaknya mengerti akan maksud anak ini. Akan tetapi ia hanya mengeluarkan bunyi tidak karuan lalu beterbangan berputar-putar di sekitar tempat itu, mencari sesuatu. Melihat burung itu kebingungan dan seperti mencari sesuatu, Sin Hong lalu bangun berdiri.
"Tiauw-ko, apakah yang kau cari?" tanyanya berulang-ulang, akan tetapi tentu saja burung itu tidak dapat menjawab.
Memang burung ini sedang mencari sesuatu. Majikan kecilnya, yaitu Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun, berkali-kali menyuruhnya mencari sebatang pedang dan sebuah kitab agar burung ini mengerti maksudnya. Kim burung itu terbang ke sana ke mari melihat-lihat kalau-kalau di tempat itu ada dua barang yang dikehendaki majikannya.
Melihat burung itu terus mencari-cari biarpun tubuhnya sendiri terasa sakit-sakit dan hawa dingin terus menerus menyerang dadanya, Sin Hong lalu bangkit berdiri dan ikut pula mencari. Anak ini memang berperasaan halus, mudah dendam dan mudah mengingat budi. Ia berjalan terhuyung-huyung ke sana-sini akhirnya ia melihat sebuah gua di depan.
"Hm, siapa tahu kalau-kalau di dalam gua itulah benda yang dicari oleh tiauw-ko," pikirnya.
Tanpa takut-takut atau ragu-ragu ia lalu memasuki gua itu dan berjalan perlahan ke dalam. Ternyata gua itu merupakan terowongan yang tidak begitu gelap. Ia masuk terus dan berjalan maju. Setelah berjalan ada seratus tindak, tibalah ia di sebuah ruangan gua yang lebar dan berbentuk bundar. Disitu terdapat sebuah batu yang sudah licin agaknya dahulu seringkali dipakai duduk orang, dan di sebelah baru itu terdapat sebuah peti hitam.
Sin Hong tertarik sekali dan ia lalu menghampiri peti itu. Ia membuka tutupnya, akan tetapi tidak kuat, ia menjadi penasaran dan mengerahkan tenaga, namun tetap saja tidak dapat ia membuka tutup peti itu. Bahkan dadanya terasa sakit. Akan tetapi setelah ia mengerahkan tenaga lweekang, biarpun dadanya sakit, rasa dingin yang menyerang jantungnya berkurang. Ini adalah karena pengerahan tenaga itu mempercepat jalan darahnya sehingga biarpun hanya sedikit, ada hawa "yang" mengalir di jalan darahnya.
"Aku telah berada di tempat ini secara kebetulan sekali, dan tidak mati terbanting juga karena kehendak Thian. Masa aku tidak dapat membuka peti ini?"
Kembali Sin Hong mengerahkan tenaganya dan kali ini berhasil. Peti itu memang tidak dikunci hanya agak sukar dibuka karena sudah terlalu lama tidak dibuka sehingga berkarat. Ternyata bahwa peti itu terbuat daripada besi. Setelah peti terbuka Sin Hong melihat dua benda di dalamnya, yaitu sebatang pedang dan sebuah kitab yang sudah kuning! Hatinya berdebar keras.
"Ah... inikah agaknya dua macam benda yang dicari oleh Giok Seng Cu...? Dia bilang... dua benda ini peninggalan dari Pak Kek Siansu… guruku..."
Dengan hati gembira, lupa akan tubuhnya yang sudah terluka berat dan tidak ada harapan untuk hidup lagi itu Sin Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan peti yang terbuka itu. "Suhu, banyak terima kasih atas kemuliaan Suhu yang sudah meninggalkan pedang dan kitab ini untuk teecu..."
Karena di dalam ruangan itu agak gelap, tak mungkin baginya membuka dan membaca kitab itu, maka ia lalu mengambil pedangnya dan membawa pedang itu keluar. Biarpun ia belum mempelajari isi kitab, akan tetapi ia sudah belajar ilmu pedang dari Luliang Ciangkun dan dengan adanya pedang itu di tangannya, ia akan mempunyai pembantu yang boleh diandalkan. Ia tidak tahu keadaan di tempat aneh itu, maka untuk melindungi dirinya, ada baiknya kalau ia membawa pedang itu keluar. Ketika ia mencabut pedang itu dari sarugnya, ia terkejut dan matanya menjadi silau. Di tempat agak gelap, pedang itu mengeluarkan cahaya yang menyilaukan mata. Girang sekali hatinya.
"Pedang pusaka yang hebat..." pikirnya cepat ia memasukkan pedang itu ke dalam sarung dan menalikan tali sarung ke pinggangnya. Setelah itu Sin Hong berjalan keluar. Kegirangan besar membuat ia melupakan serangan hawa dingin yang seperti hendak membikin tubuhnya kaku.
"Hee, tiauw-koko, apakah kau belum menemukan barang yang kaucari-cari?" tanya Sin Hong sambil berdiri dan tiba-tiba ia mengeluarkan bunyi ke arah Sin Hong. Anak itu masih tertawa-tawa dan mengira bahwa burung itu hendak turun di dekatnya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba burung itu menyerangnya dengan pukulan sayap!
Andaikata Sin Hong tahu bahwa ia akan diserang dan sudah berjaga diri, agaknya ia pun takkan dapat menghadapi burung ini dan takkan dapat mengelak dari serangannya, karena burung itu amat kuat dan serangan sayapnya benar-benar cepat sekali. Apalagi Sin Hong tidak mengira sama sekali, maka tubuhnya terkena pukulan sayap yang besar sehingga sambil berseru kesakitan dan kaget anak ini terguling sampai jauh. Dalam bergulingan ini, ia merasa sesuatu direnggut dari tubuhnya dan ketika ia dapat mclompat berdiri, ia melihat bahwa pedang dan sarungnya yang tadi diikatkan di pinggang, telah dirampas oleh burung itu dengan cakarnya dan kini pedang itu telah berada di paruh kim-tiauw.
"He, tiauw-ko, itu pedangku...! Kembalikan...!" Sin Hong menahan rasa sakit-sakit pada tubuhnya dan mengejar, tetapi burung itu sudah mementang sayap dan sekejap mata saja ia telah terbang tinggi, lalu lenyap dari pandanga mata. Sin Hong membanting-banting kakinya lalu menangis!
"Sin Hong, kau manusia gublok! Kau tak berotak!" ia memaki diri sendiri berkali-kali. "Seharusnya kau tahu bahwa Kim-tiauw itu mencari-cari pedang dan kitab...."
Teringat akan kitab, hatinya terhibur. Baiknya kitab itu tidak dibawa ke luar. Akan tetapi hatinya juga menjadi gelisah. Tentu burung aneh itu dipelihara oleh seorang kang-ouw yang berkepandaian tinggi pula. Kalau burung itu membawa pedang kepada majikannya, tentu majikannya itu akan tahu bahwa kitabnya pun berada di situ, lalu datang mengambilnya. Berpikir demikian, anak ini cepat berlari masuk ke dalam gua, akan tetapi kelelahan dan sakit di tubuhnya demikian hebat sehingga setibanya di dekat peti, ia terhuyung-huyung dengan kepala terasa pening, tubuh sakit-sakit dan dada dingin bukan main. Ia cepat menghampiri batu licin itu dan merebahkan diri di situ. Pada saat itu ia roboh pingsan di atas batu!
Kim-tiauw yang berhasil merampas pedang Pak kek Sin-kiam, terbang keluar dari jurang. Pada saat itu, Giok Seng Cu masih berdiri di tebing bertolak pinggang dan memandang ke bawah, ke dalam jurang yang tidak kelihatan dasarnya itu. Hatinya juga gelisah sekali, karena ia sekarang teringat bahwa kim-tiauw itu tentu binatang peliharaan dari See-thian Tok-ong, tokoh di Tibet yang seringkali disebut-sebut oleh sahabatnya Ba Mau Hoatsu. Burung rajawali emas mana lagi yang dapat membuat ia terpental dalam sekali serangan?
Tiba-tiba ia melihat burung itu terbang dari bawah dan di paruhnya terlihat sebatang pedang dengan sarungnya yang buruk. "Celaka, burung keparat itu telah mendapatkan Pak-kek Sin kiam," kata Giok Seng Cu dan ia cepat berlari turun dari puncak.
Akan tetapi secepat-cepatnya seorang dapat berlari mempergunakan ilmu lari cepat, tak mungki ia dapat mengejar seekor burung rajawali terbang. Maka burung itu tentu saja sudah lama tiba di lereng sebelum Giok Seng Cu keluar dari puncak.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, burung rajawali emas telah memberikan pedang itu kepada Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun. Bocah gundut yang aneh itu mencabut pedang dari sarungnya. Semua orang menjadi silau melihat cahaya keemasan keluar dari pedang yang amat indah itu.
"Kau telah mencuri pedang Guru kami!" Luliang Ciargkun berseru marah. Sambil berkata demikian ia mencabut pedangnya dengan sikap hendak menyerang. Gurunya sudah berpesan agar ia dan sutenya menjaga supaya pedang dan kitab jangan terjatuh ke dalam tangan penjaat. Dan anak siluman ini benar-benar jahat dan berbahaya sekali kalau Pak-Sin-kiam terjatuh di dalam tangannya.
Ban-beng Sin-tong Kwa Kok Sun tertawa menyeringai, akan tetapi pandangan matanya penuh ancaman. "Luliang Ciangkun, pedang ini disembunyikan oleh Gurumu dan kau sendiri mengaku tidak mengetahui tempat penyimpanannya. Sekarang ditemukan oleh burungku, berarti bahwa aku berjodoh dengan pedang ini. Kau ribut ribut mau apa sih?”
Lain-lain tokoh yang berada di situ juga memandang kepada pedang itu dengan mata mengilar. Akan tetapi mereka tidak berani bergerak karena maklum akan kelihaian anak gundul itu dan ular-ularnya. Bahkan Ba Mau Hoatsu memandang dengan hati berdebar. Ingin sekali ia mengulur tangan merampas pedang. Kalau ia lakukan hal ini, ia percaya bahwa ia sanggup merampas pedang. Ia tahu bahwa kepandaiannya sendiri jauh melampaui kepandaian bocah gundul itu, akan tetapi kalau ia teringat akan ayah dan ibu anak ini ia bergidik dan membuat ia ragu-ragu untuk turun tangan.
Sementara itu, Luliang Sam-tojin sudah memegang senjata masing-masing, dan Luliang Ciangkun membentak, "Bagaimana juga. tidak boleh orang mengambil pusaka Luliang-san begitu saja dari tempat ini. Kembalikan pedang Pak kek Sin-kiam,"
Kwan Kok Sun sambil tersenum sindir menggerak-gerakkan pedang pusaka itu di tangan kanan sedang tangan kirinya sudah dimasukkan ke dalam saku baju dimana tersimpan sepasang ular merah tadi, lalu melirik ke arah Bau Hoatsu. "Paman Ba Mau, kau pikir bukankah kakek Luliangsan ini tidak tahu aturan sama sekali?"
Ba Mau Hoatsu semenjak tadi memandang ke arah pedang di tangan bocah gundul itu, dan ia hampir tidak mendengar kata-kata ini. Memang dia sendiri ingin sekali merampas pedang itu, maka jawabnya perlahan dan ragu-ragu. "Hmm..."
Luliang Ciangkun sudah tidak dapat menahan sabar lagi. "Serahkan pedang kami!" bentaknya sambil menyerang ke depan, berusaha merampas Pak-kek Sin-kiam.
Akan tetapi, biarpun sikapnya tenang, bocah gundul itu ternyata gesit luar biasa. Sekali tangannya bergerak berkelebat bayangan keemasan dan pedang Pak-kek Sin-kiam sudah digerakkan dari samping, memapaki dan menyabet pedang besar di tangan Luliang Ciangkun.
Panglima Gunung Luliang ini terkejut sekali karena gerakan lawan yang masih muda ini benar-benar cepat luar biasa. Ia tahu bahwa sekali saja pedangnya bertemu dengan Pak-kek Sin kiam, pedangnya yang besar dan juga bukan sembarangan pedang itu pasti akan terbabat putus! Ia menarik kembali pedangnya dan kini menyerang dengan sambaran dari bawah.
Lagi-lagi Kwan Kok Sun menangkis, lalu membalas menyerang. Luliang Ciangkun kembali menghindari pertemuan pedang dan sekarang kedua orang ini bertanding pedang dengan hebatnya. Sama sekali di luar dugaan para tokoh kang-ouw yang berada di situ, ilmu pedang dari Ban-beng Sin-tong benar-benar luar biasa sekali. Memang dia telah mendapat gemblengan dari ayah bundanya, maka tentu saja ia memiliki kepandaian tinggi. Apalagi sekarang dia memegang Pak-kek Sin-kiam, kelihatan bertambah hebat. Luliang Ciangkun yang tidak berani mengadu pedang, segera didesak dengan hebat oleh bocah itu. Yang lebih hebat Kwan Kok Sun sama sekali tidak mengeluarkan tangan kiri dari saku bajunya. Oleh karena ini, gerakan pedang di tangan kanannya kelihatan kaku tidak ada imbangannya. Akan tetapi, hal ini tidak mengurangi kehebatan gerakan pedangnya, bahkan Luliang Ciangkun dan yang lain-lain maklum bahwa tangan kiri itu lebih berbahaya daripada tangan kanan. Sekali tangan kiri itu keluar, tentu akan membawa sepasang ular terbang dan hal itu benar-benar merupakan bahaya maut yang mengerikan sekali!
Melihat suheng mereka terdesak, Luliang Nungjin dan Luliang Siucai tidak tanggal diam. "Kembalikan pedang kami, kalau tidak kita harus bertempur mengadu nyawa di sini!" kata Luliang Nungjin sambil menggerakkan pacutnya yang aneh, disusul oleh Luliang Siucai yang menggerakkan pitnya.
Pacul dari Luliang Nungjin berujung enam dan sekali gagangnya digerakkan, enam mata cangkul menyerang tubuh Kwan Kok Sun dari enam jurusan! Bocah gundul itu terkejut sekali, apalagi ketika pedang Luliang Ciangkun dan pit Luliang Siucai menyusul pula dengan serangan dari ilmu silat tinggi yang amat berbahaya! Biarpun ia berpedang pusaka, namun bagaimana ia dapat menangkis sekaligus senjata-senjata hebat ini? Sambil memutar pedangnya, ia melompat mundur, dan terdengar suara keras. Ternyata bahwa di antara enam mata cangkul, dua buah terbabat putus oleh Pak-kek Sin-kiam. Akan tetapi pit di tangan Luliang Siucai hampir saja mengenai sasaran, dan baju Kwan Kok Sun robek di bagian pundaknya.
Bocah gundul itu menjadi pucat. Ia melirik ke arah Ba Mau Hoatsu, akan tetapi hwesto tinggi besar ini diam saja tidak bergerak membantunya. Hal ini membikin mendongkol hati Kwan Kok Sun. Ia mengeluarkan suara keras seperti pekik seekor binatang buas, lalu pedangnya diputar sedemikian rupa, tangan kirinya mengeluarkan dua ekor ular merah. Pada saat itu juga, atas perintah pekikan tadi, burung kim-tiauw ikut menyerbu dan puluhan ular yang tadi melingkar di tanah, mulai bergerak menyerbu ke arah Luliang Sam-lojin!
Inilah serangan yang hebat sekali! Ketiga kakek dari Luliang-san ini cepat memutar senjata mereka. Luliang Nungjin mengajukan diri menghadapi kim-tiauw, karena dengan paculnya yang masih bermata empat itu ia dapat menghadapi serangan burung itu dari atas. Beberapa kali ia terhuyung-huyung karena beturan pacul dengan sayap burung, akan tetapi ia berhasil membuat rontok beberapa helai bulu sayap dari burung itu sendiri berkali-kali memekik kesakitan.
Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai sibuk sekali menghadapi serbuan puluhan ekor ular itu. Mereka melompat ke sana ke mari untuk menghindarkan diri dari gigitan ular dan pedang serta pit kedua kakek ini telah berhasil membunuh beberapa ekor ular. Tiba-tiba dua bayangan merah berkelebat ke arah mereka. Ternyata bahwa Ban-beng Sin-tong telah melepaskan sepasang ular terbangnya yang langsung menyerang dengan luncuran hebat ke arah Luliang Ciankun dan Luliang Siucai.
Dua orang kakek ini maklum akan bahaya besar ini. Cepat mereka melompat jauh sambil memutar senjata, tetapi Kwan Kok Sun tidak tinggal diam. Anak gundul ini segera melompat maju dan menggerakkan pedang pusaka membantu perjuangan anak-anak buahnya yang mengerikan itu. Keadaan Luliang Sam lojin benar-benar terdesak hebat kali ini. Juga Luliang Nungjin sudah pening kepalanya karena sebuah tamparan sayap telah nyerempet pelipisnya, terasa bagaikan dipukul oleh palu godam dan sakitnya bukan main. Tenaga pukulan itu sedikitnya ada lima ratus kati dan kalau orang lain yang terkena sambaran ini tentu sudah pecah kepalanya.
Pada saat itu sesosok bayangan yang cepat sekali gerakannya terbang berlarian dari puncak gunung. Dia bukan adalah Giok Seng Cu. Setelah tiba ditempat pertempuran, ia melihat semua tokoh kang-ouw menonton pertempuran yang sedang berjalan dengan amat seru dan hebatnya. Namun Giok Seng Cu tidak memperhatikan semua itu. Seluruh perhatiannya ditujukan kepada pedang Pak Sin-kiam yang terpegang dan dimainkan oleh seorang bocah gundul. Melihat bocah ini, biarpun belum bertemu muka, dapat menduga bahwa ini tentulah putera See-thian Tok-ong karena ia pernah dengar penuturan Ba Mau Hoatsu. Tiba-tiba ia melompat maju ke dalam medan pertempuran.
"Sahabat kecil bukankah kau putera dari See-thian Tok-ong yang mulia? Pinto adalah Giok Seng Cu ketua Im yang-bu-pai. Marilah Pinto bantu kau menghabiskan Luliang Sam-lojin yang sombong itu"
Tentu saja Ban-beng Sin-tong Kwan kok Sun menjadi girang sekali. Memang ia ingin melihat ketiga orang lawannya itu lekas-lekas binasa karena ia mendongkol melihat ular-ularnya banyak yang mati.
"Terima kasih, Totiang. Ayah tentu akan berterima kasih kepadamu," jawabnya gembira.
Giok Seng Cu sengaja melompat di dekat Kwa Kok Sun, kemudian ia merendahkan tubuhnya dan mengerahkan tenaga Tin sang-kang yang hebat. Sambil mengeluarkan seruan dahsyat kedua tangannya memukul ke depan, ke arah Luliang Nungjin yang sedang sibuk menghadapi serbuan kim-tiauw. Angin pukulan yang hebat sekali menyambar ke arah dada Luliang Nungjin. Kakek ini tahu akan datangnya serangan pukulan, akan tetapi oleh karena perhatiannva ditujukan kepada kim-tiauw yang menyambar-nyambar di atasnya, ia tidak sempat mengelak dan tiba-tiba ia merasa dadanya digempur oleh tenaga tidak kelihatan yang hebat sekali. Ia menahan napas dan mengerahkan lwee-kangnya, namun terlambat.
Tubuhnya tersentak dan ia muntah-muntah darah merah tersembur keluar dari mulutnya. Pada saat itu, seeker ular merah menyerbunya dan sekali patok pada lehernya, robohlah Luliang Nungjin dan tubuhnya seketika itu juga berubah menjadi merah! Ia tewas dalam saat itu juga dan ular merah itu lalu merayap masuk dari mulutnya untuk segera keluar kembali menggigit sebuah jantung yang masih berlepotan darah!
Pemanclangan ini mengerikan sekali hingga semua orang menjadi pucat. Adapun Kwan Kok Sun mengeluarkan suara seperti iblis. Pada saat itu, terjadilah hal yang sama sekali tidak diduga-duga olehnya. Giok Seng Cu melihat kesempatan baik, kembali menggerakkan kedua tangannya. Tangan kanan memukul dengan tenaga Tin-san-kang, sedangkan tangan kiri maju merampas pedang Pak-kek Sin-kiam!
Kwan Kok Sun mana kuat menghadapi pukulan Tin-san kang? Ia sudah berusaha mengelak, akan tetapi pundaknya masih terkena pukulan itu dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, pedangnya dirampas oleh gerakan tangan kiri Giok Seng Cu yang mainkan ilmu Silat Kin-na-jiu!. Kwan Kok Sun terhuyung-huyung dengan muka pucat. Bocah gundul ini telah menderita luka di dalam tubuh maka ia cepat-cepat bersila untuk mengumpulkan napas dan mengerahkan tenaga dalam. Giok Seng Cu melompat jauh dan berlarit seperti terbang cepatnya turun gunung!
“Giok Seng Cu, kau curang...!" bentak Ba Mau Hoatsu dan hendak mengejar, akan tetapi melihat Kwan Kok Sun terluka, ia khawatir akan keadaan anak itu. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan anak itu, ia ikut bertangung jawab di hadapan See-Thian Tok-ong, maka ia membatalkan niatnya mengejar Giok Seng Cu. Lagi pula, andaikata ia dapat mengejar, apakah dia dapat mengalahkan ketua Im-yang-bu-pai itu? Tadi ia melihat kehebatan Tin-san-kang. Kalau kiranya Giok Seng Cu tidak memegang Pak-kek Sin-kiam, mungkin ia masih dapat melawannya. Akan tetapi dengan pedang pusaka itu di tangan, berbahaya sekali!
Semua tokoh kang-ouw melihat Giok Seng Cu kabur membawa pedang serentak berlari mengejar. Kini setelah pedang itu berada di tangan ketua Im-yang-bu-pai, mereka berani untuk mencoba-coba merampas. Adapun Ba Mau Hoatsu setelah melihat Kwan Kok Sun bersila meramkan mata, lalu mengeluarkan sepasang rodanya. Ia melihat Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai mengamuk hebat membunuh-bunuhi ular itu, sedangkan sambaran-sambaran ular merah tak pernah mengenai sasaran. Tanpa banyak cakap lagi, Ba Mau Hoatsu lalu menggerakkan sepasang rodanya dan menyerbu, menyerang dua orang kakek Luliang-san itu.
"Ba Mau Hoatsu, semenjak dahulu kau memang iblis jahat!" seru Luliang Ciangkun marah sekali.
Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar dan kini ia benar-benar nekad. Tanpa memperdulikan serangan-serangan ular ia menyerbu dengan hebat kepada hwesio gundul itu. Ba Mau Hoatsu menyambuti serangannya dan kedua orang ini bertempur seru. Memang tingkat kepandaian Ba Mau Hoatsu masih lebih tinggi daripada Luliang Ciangkun, maka sebentar saja Si Gundul mendesaknya. Apalagi Luliang Ciangkun sudah lelah dan ular-ular yang telah dididik dapat membedakan kawan atau lawan itu masih tetap menyerangnya dari bawah. Luliang Siucai kini menghadapi kim-tiauw yang dibantu oleh beberapa ekor ular pula.
Dalam keadaan amat terdesak ini, kedua kakek itu masih mengamuk hebat. mereka tidak mengharapkan hidup lagi setelah melihat kematian Luliang Nungjin yang amat mengerikan. Cita-cita mereka hanya membasmi lawan sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, pada saat itu Kwan Kok Sun sudah berdiri lagi. Lukanya biarpun cukup hebat namun tidak membahayakan jiwanya. Kini melihat Ba Mau Hoatsu membantunya dan melihat dua orang kakek Luliang-san masih mengamuk, semua kemarahannya akibat hilangnya pedang, dijatuhkan kepada dua orang kakek itu.
"Paman Ba Mau, minggir...! serunya sambil menggerakkan kedua tangannya.
Ba Mau Hoatsu cepat melompat ke samping dan dari kedua tangan Kwan Kok Sun tersebar debu hijau yang menyambar ke arah Luliang Siucai dan Luliang Ciangkun. Dua orang kakek ini cepat mengelak, akan tetapi mereka segera terbatuk-batuk karena debu itu ternyata dengan cepatnya telah mempengaruhi mereka. Sedikit saja debu itu memasuki mulut, celakalah orangnya. Luliang Siucai dan Luliang Ciangkun merasa tenggorokan mereka gatal-gatal sekali dan tak tahan pula mereka terbatuk-batuk dan tak dapat menggerakkan senjata. Pada saat itu, tentu saja ular-ular tidak tinggal diam dan menyerbu. Juga sepasang ular terbang itu menyambar seperti kilat dibarengi dengan sambaran kim-tiauw dari atas!
Dalam sekejap mata saja, Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai roboh tak bernapas lagi. Kepala mereka pecah terhantam sayap kim-tiauw, kaki mereka bengkak-bengkak tergigit oleh ular dan dada mereka bolong disambar oleh sepasang ular merah!
"Sin-tong, apakah kau terluka berat?” Ba Mau Hoatsu cepat menghampiri Kwan Kok Sun.
Bocah gundul itu menggeleng kepala sambil mengerutkan keningnya. "Kurang ajar sekali bangsat tua Giok Seng Cu! Aku bersumpah untuk membasminya!"
"Tenanglah, Sin-tong. Tadi pun aku hendak mengejarnya, akan tetapi aku tidak tega meninggalkan kau yang terluka. Apalagi kepandaian Giok Seng Cu amat tinggi, lebih-lebih setelah ia dapat merampas Pak-kek Sin-kiam. Mari kita pulang saja, agaknya Ayah Bundamu akan mudah sekali merampas pedang itu dari tangan Giok Seng Cu."
Kwan Kok Sun mengangguk-angguk. “Seluruh Im-yang-bu-pai harus dibasmi habis sampai ke akar-akarnya"
Diam-diam Ba Mau Hoatsu bergidik. Ia kenal watak anak ini, kenal pula kehebatan orang tuanya, maka ia merasa beruntung bahwa bukan dia yang diancam. Baiknya aku tadi membantunya pada saat terakhir, pikirnya puas. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika bocah itu menegurnya,
"Paman Ba Mau, mengapa tidak sejak tadi-tadi kau membantuku menghadapi Luliang Sam-lojin?”
Ba Mau Hoatsu dengan muka merah dan hati berdebar-debar cepat menjawab, "Ah, Sin-tong. Mengapa aku harus turun tangan? Hal ini hanya akan merendahkan namamu dan nama besar Ayah Bundamu. Tanpa aku pun kau tidak akan kalah. Akan tetapi tentu saja aku serta siap sedia dan pasti akan membantumu kalau tadi kau terdesak oleh Luliang Sam-lojin. Serangan Giok Seng Cu kepadamu sama sekali di luar dugaanku. Siapa yang mengira demikian sedangkan tadinya ia membantumu"
Kwan Kok Sun puas dengan jawaban ini. Ia lalu mengumpulkan ular-ularnya yang masih hidup, mengantongi sepasang ular merah yang sudah kenyang makan jantung manusia, kemudian bersuit memanggil kim-tiauw yang turun di depannya. "Kim-tiauw, kau terbanglah pulang dan berikan surat kepada Ayah Bundaku," kata Kwan Kok Sun setelah mencoret-coret sepotong kertas. Kim-tiauw menerima kertas itu yang oleh Kwan Kok Sun diikatkan kepada kakinya, kemudian setelah mengangguk-anggukkan kepalanya, rajawali besar itu terbang melayang dan sebentar saja lenyap dari pandangan mata.
"Eh, Ban-beng Sin-tong, apakah kau sendiri tidak pulang?"
Bocah itu menggelengkan kepalanya. “Mengapa pulang? Nanti tentu harus kembali ke Tiong-goan (pedalaman Tiongkok). Daripada membuang waktu, lebih baik Ayah dan Ibu yang datang ke sini, sementara itu kita dapat menyelidiki di mana adanya Giok Seng Cu!"
"Akan tetapi, yang didapatkan oleh kim-tiauw hanya pedang saja, di mana adanya kitab ilmu silat itu? Apakah tidak lebih baik kalau kita mencoba mencari kitab itu di puncak?"
"Kau benar, Paman Ba Mau! Mengapa aku sebodoh ini?" Kwan Kok Sun timbul kembali kegembiraannya dan kedua orang ini lalu mendaki puncak Luliang-san, sama sekali tidak memperdulikan mayat-mayat yang bergelimpangan di situ dalam keadaan mengerikan sekali.
Ban-beng Sin-tong dan Ba Mau Hoatsu mencari-cari di puncak Luliang-san, membongkar pondok bekas tempat tinggal Pak Kek Siansu. Pondok itu didirikan di bawah puncak batu karang yang menjulang tinggi, kokoh kuat seperti sang raksasa hitam. Yang amat mengagumkan, batu karang ini berbentuk seperti kepala naga sehingga setelah kini pondok yang merupakan penutupnya terbongkar, batu karang ini nampak dari jauh amat menyeramkan.
Ba Mau Hoatsu meraba-raba batu karang itu dan matanya memandang penuh perhatian. "Agaknya bentuk kepalanya ini buatan manusia," katanya, "Lihat, bukankah bentuk mata dan tanduk di atas itu ada bekas guratan senjata tajam?"
Kwan Kok Sun memandang, kemudian tubuhnya bergerak melompat ke atas Dalam sekejap mata ia telah berada di puncak batu karang itu dan memeriksanya. "Benar, memang buatan manusia. Akan tetapi entah apa maksudnya maka batu karang ini diukir sebagai kepala naga, lalu ditutup dengan bangunan pondok," katanya.
Mereka memeriksa dengan teliti karena menduga bahwa di dalam batu karang ini agaknya terletak tempat rahasia penyimpanan kitab. Akan tetapi, biarpun dengan sepasang rodanya Ba Mau Hoatsu sudah memecahkan bagian-bagian batu karang, sia-sia saja hasilnya. Akhirnya Kwan Kok Sun berkata gemas,
"Setan tua itu pintar sekali menyembunyikan kitabnya. Siapa tahu kalau-kalau ia bawa kitab itu ke dalam lubang kuburannya?"
Ba Mau Hoatsu ragu-ragu dan merasa ngeri. Betapapun jahatnya, selama hidupnya belum pernah ia menggali kuburan orang. Anak ini, yang usianya masih begitu muda, sudah mengusulkan membongkar kuburan dengan suara demikian dingin, seakan-akan membicarakan sebuah hal biasa saja. Akan tetapi ia harus akui bahwa usul itu baik sekali, karena siapa tahu kalau-kalau kitab rahasia itu benar-benar disembunyikan di dalam kuburan. Kalau tadi ketika masih melihat pedang pusaka, biarpun hatinya ingin merampas, Ba Mau Houtsu belum berani melakukannya, karena biarpun ada pedang itu di tangan, percuma saja ia menghadapi See-Thian Tok ong dan isterinya serta anaknya ini. Akan tetapi, kalau ia dapat memiliki kitab kek-sin-ciang-pit-kip dan telah mempelajari isinya sampai tamat, kiranya ia tidak usah takut lagi menghadapi Raja Racun itu. Ia tahu bahwa ilmu silat dari Pak Kek Siansu sangat tinggi, kalau ia dapat mewarisi ilmu silat dari Pak Kek Siansu, ia tidak takut lagi menghadapinya.
"Baik sekali Sin-tong. Mari kita mencari di dalam kuburan itu."
Demikianlah, dua orang manusia jahanam ini tanpa ragu-ragu lagi lalu membongkar kuburan Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu. Dengan sepasang rodanya Ba Mau Hoatsu menghantam batu-batu nisan sampai hancur, kemudian dibantu oleh Kwan Kok Sun, ia mulai menggali tanah bergunduk yang saling berhadapan.
Berkat kepandaian dan tenaga mereka yang sudah tinggi, sebentar saja dua buah makam itu sudah terbongkar. Dahulu ketika mengubur jenazah Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu, pendekar besar Go Ciang Le tidak sempat mempergunakan peti mati karena di tempat seperti puncak Gunung Luliang-san itu, dari mana bisa mendapatkan peti mati? Maka Hwa I Enghiong Go Ciang Le hanya mengubur mereka begitu saja dengan penuh penghormatan dan kesedihan.
Kini setelah kuburan dibongkar, Ba Mau Hoatsu dan Kwa Kok Sun hanya mendapatkan tulang belulang yang hampir sama besar dan bentuknya sehingga mereka tidak dapat membedakan mana tulang kerangka Pak Kek Siansu dan yang mana Pak Hong Siansu. Dilihat begitu saja, selain tulang-tulang ini, tidak terdapat apa-apa lagi di kuburan itu. Namun Kok Sun masih merasa penasaran. Ia tanpa ragu-ragu lagi menggunakan kakinya untuk menendang tulang-tulang itu keluar dari lubang kuburan lalu memeriksa dasar lubang. Namun kembali usahanya sia-sia karena di situ betul-betul tak tersembunyi sesuatu.
"Jahanam betul, kita bersusah payah tanpa guna!” Kok Sun memaki dan menyepaki tulang-tulang itu sehingga berserakan ke mana-mana.
Diam-diam Mau Hoatsu mengutuk Kok Sun. Anak ini terlalu keji hatinya, pikirnya. Betapa pun juga, ia tidak sampai hati memperlakukan tulang-tulang manusia seperti itu, setidaknya ia masih menghormati bekas-bekas terakhir dari tubuh orang-orang besar seperti Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu.
"Lebih baik sekarang kita mencari Giok Seng Cu," katanya perlahan. Anak gundul itu mengangguk dan keduanya lalu berlari cepat turun dari puncak Lulian-san, meninggalkan tulang-tulang yang berserakan itu. Ketika mereka tiba di lereng tempat pertempuran tadi, Kok Sun masih dapat menyeringai dan melemparbludah ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan di situ dan yang mengeluarkai hawa busuk.
Tentu saja mereka tidak pernah mimpi bahwa di balik batu karang yang mereka amuk di puncak terdapat terowongan yang menuju ke bawah dan yang tersambung dengan terowongan di mana Sin Hong menemukan pedang dan kitab. Anak ini setelah sadar dari pingsannya, merasa tubuhnya dingin sekali. Ia teringat bahwa ia telah menderita luka hebat akibat pukulan Giok Seng Cu. Ia merasa malas untuk bangun. Alangkah nikmatnya tidur di atas batu itu, nikmat sekali dan kalau ia teruskan tak lama lagi ia akan terbebas daripada hidup yang penuh pendentaan dan kekecewaan. Akan tetapi aku harus berusaha menghajar yang berkeliaran di muka bumi sebelum melakukan hal-hal yang merusak manusia-manusia lain yang tidak berdosa.
Sin Hong merayap keluar dari gua dan mencari buah-buah dari pohon yang banyak tumbuh di sekitar lereng tersembunyi itu. Setelah makan beberapa butir buah yang manis rasanya, ia merasa tubuhnya tidak begitu sakit-sakit dan tidak terlalu dingin lagi. Ia cepat kembali ke gua dan dibawanya keluar kitab dari dalam peti itu. Sin Hong mulai membalik-balik lembaran kitab yang berisi pelajaran Pak-kek Sin-ciang dan alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa dalam buku selain ilmu silat juga terdapat petunjuk-petunjuk untuk melatih lweekang yang tinggi.
Hlarapannya untuk sembuh timbul kembali. Ia pernah mendengar dari Liang Gi Tojin, juga dari Luliang Sam-lojin bahwa kalau orang sudah melatih diri dengan ilmu lweekang yang sempurna, tubuhnya akan dapat terlindung dari pada pukulan lweekang dan dapat memperkuat hawa di dalam tubuhnya. Maka pertama kali yang dilatihnya adalah lwee-kang dan cara-cara bersamadhi serta peraturan bernapas. Benar saja, beberapa pekan kemudian setelah melatih diri dengan tekun dan rajin, dapat menahan rasa dingin sehingga tidak sangat menderita, biarpun tidak dapat mengusir rasa dingin itu yang berarti bahwa racun atau luka yang diderita oleh bagian dalam dadanya ternyata masih belum lenyap. Berkat latihan lweekang yang tinggi, ia dapat bertahan terus dan racun pukulan Giok Seng Cu itu tidak dapat menjalar. Ia dapat hidup akan tetapi mukanya selalu pucat seperti tidak berdarah dan sekali-sekali ia mengalami serangan hawa dingin yang membuatnya menggigil kedinginan di dalam gua yang sudah diterangi oleh api unggun besar yang dibuatnya.
Demikianlah, terasing dari dunia ramai, Wan Sin Hong melatih diri dengan amat tekunnya. Di luar gua ia melatih ilmu silat Pak-kek Sin-ciang yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Akan tetapi setiap jurus mempunyai pecahan yang bermacam-macam dan tanpa disadari anak ini telah melatih bagian-bagian tertinggi daripada ilmu silat dari berbagai cabang persilatan. Memang, Pak Kek Siansu menciptakan ilmu silat ini berdasarkan pengalaman-pengalaman dan pengertiannya akan ilmu silat tinggi dari berbagai cabang. Ia mengumpulkan jurus-jurus terlihai dari cabang persilatan yang ada, kemudian menggabung jurus-jurus ini menjadi Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang. Setiap jurus ilmu silat ini, baru dapat dimainkan masak-masak oleh Sin Ho setelah dilatihnya setiap hari selama sebulan lebih,
Setiap hari di depan gua yang merupakan terowongan itu Sin Hong bermain silat. Gcrakannya perlahan agar setiap gerakan tidak salah, lambat-lambat dan diperhatikannya baik-baik. Akan tetapi kalau jurus ini sudah dihafal dan dikuasainya benar-benar ia bersilat dengan cepat dan orang yang melihatnya akan merasa kagum sekali karena tubuh anak kecil ini sukar dlikuti gerakannya dengan mata saking cepatnya!
Tanpa ia ketahui sendiri, ia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sekali dan berkat latihan lweekang dan khikang menurut petunjuk kitab itu, telah mempunyai sinkang di dalam tubuhnya, yakni tenaga sakti yang telah terkandung dalam jalan darahnya sehingga tenaga ini telah ada dalam setiap gerakannya tanpa ia mengerahkan lwekang. Akan tetapi tentu saja semua ini tidak diketahui oleh Sin Hong sendiri. Yang membuat anak ini kecewa adalah pedang pusaka yang telah dirampas oleh burung rajawali emas, karena justeru di dalam kitab pelajaran ilmu silat itu terdapat pelajaran ilmu pedang yang luar biasa dan sukar dipelajari. Biarpun jalan gerakan dan ilmu pedang itu didasarkan Ilmu Silat Pak kek-sin-ciang-hoat, namun akan lebih sempurna kalau ia berlatih mempergunakan pedang yang aselinya, yakni Pak kek Sin-kiam yang memang disesuaikan dengan ilmu pedang itu. Sebagai gantinya, ia mempergunakan sebatang ranting pohon dan berlatih dengan amat tekunnya.
Kita tinggalkan dulu Wan Sin Hong yang tanpa diketahui oleh seorang pun berlatih ilmu silat tinggi di tempat tersembunyi itu, dan mari kita menengok keadaan Liok Kong Ji yang kini sudah berganti nama keturunan, yakni menjadi Lui Kong Ji untuk menyembunyikan keadaan sebenarnya.
Seperti telah kita ketahui, putera dari ketua Kwan-im-pai dengan amat licik dan curangnya, telah dapat mengangkat diri dan dipercaya oleh tokoh-tokoh Im-yang-bu-pai. Untuk menyelamatkan diri sendiri, Kong Ji tidak segan-segan untuk membabat putus sebelah lengan Lie Bu Tek dan menyiksa Sin Hong. Memang dalam diri Kong Ji terdapat watak yang luar biasa jahatnya, sungguh hal yang amat aneh apabila diingat akan watak ibunya yang gagah perkasa dan mulia. Kong Ji merupakan seorang anak yang luar biasa sekali, tidak saja hatinya kejam, curang dan jahat, akan tetapi ia memiliki kecerdikan yang luar biasa, serta bakat yang tinggi untuk menjadi seorang ahli silat.
Dengan kecerdikannya, Kong Ji dapat menyesuaikan diri dengan apa saja yang berada di sekitarnya. Ia pandai membawa diri sehingga kalau tadinya para tokoh Im-yang-bu-pai dan juga ketuanya masih menaruh curiga kepadanya, sekarang kecurigaan mereka lenyap dan berganti oleh kasih sayang besar. Karena Giok-Seng Cu sendiri tanpa ragu-ragu mengangkatnya menjadi murid sehingga mulai saat itu Kong Ji menjadi murid termuda dari Im-yang-bu-pai. Akan tetapi, biarpun paling muda, ilmu kepandaiannya meningkat jauh lebih cepat dari pada yang lain-lainnya, karena ia berkenan mendapat pimpinan dan latihan-latihan dari Giok Seng Cu sendiri! Kecerdikan dan bakat yang luar biasa membuat ia mudah saja memahami pelajaran ilmu silat partai ini dan melihat kemajuannya, tokoh-tokoh lm-yang-bu-pai makin sayang kepadanya.
Dalam waktu setahun ia telah menerima dasar-dasar ilmu silat yang diturunkan oleh Giok Seng Cu, kemudian ketika Giok Seng Cu pergi ke Luliang san, Kong Ji menerima latihan-latihan dari Siang-mo-kiam Lai Tek dan Thian-te Siang-tung Kwa Siang, tokoh ke dua dan ke tiga dari Im-yang-bu-pai. Dalam menerima pelajaran dari dua orang tokoh ini saja Kong Ji telah dapat mempergunakan kecerdikan serta kelicinannya sedemikian rupa sehingga dua orang tokoh itu seakan-akan berlomba menuangkan segala kepandaian mereka kepadanya. Caranya demikian. Pada suatu hari dengan sengaja ia memancing percakapan dengan Thian-te Siang-tung Kwa Siang dengan sebuah pertanyaan.
"Ji-suheng (Kakak Seperguruan dua), di antara saudara saudara di perkumpulan kita yang kepandaiannya paling tinggi di bawah Suhu hanya kau dan Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama). Akan tetapi mengapa Twa-suheng bersenjata pedang dan kau bersenjata sepasang tongkat? Siapakah yang terlebih lihai antara kau dan Twa-suheng?"
Kwa Siang tidak sadar bahwa dia sedang "dibakar", maka sambil tersenyum ia menjawab "Siauw-sute, kau ini aneh aneh saja. Biarpun Suheng lebih tua menjadi murid Suhu daripadaku, namun kami memiliki keahlian masing-masing. Pedangnya lihai, namun tongkatku yang sepasang ini pun jarang menemukan tandingan."
'Aku percaya, Ji-suheng, kepandaian dalam ilmu silat memang hebat sekali dan aku tidak percaya bahwa pedang Twa suheng akan dapat menangkan sepasang tongkatmu. Akan tetapi Twa-suheng berulang-ulang menyatakan bahwa raja sekalian senjata adalah pedang dan karenanya Twa-suheng memaksaku untuk lebih memperhatikan pelajaran ilmu pedang."
Kwa Siang menjadi penasaran dan mengerutkan kening. Biarpun terhadap suhengnya sendiri, merasa tidak senang kalau ilmu tongkatnya direndahkan dan dianggap kalah oleh ilmu pedang. "Siapa bilang? Aku berani menghadapi lawan berpedang yang manapun juga!" serunya tak senang.
Kong Ji cepat-cepat memegang lengan Kwa Siang. "Aku percaya sepenuhnya, Ji-suheng. Oleh karena itu, biarpun di depan Twa-suheng aku menyatakan kesanggupanku untuk memperhatikan nasihatnya, namun di dalam hatiku aku mengambil keputusan untuk mempelajari tongkat dengan mendalam. Dengan memiliki kepandaian ilmu tongkat seperti kau, kelak aku akan memperlihatkan kepada Twa-suheng bahwa ilmu tongkatmu tak boleh dipandang ringan!"
Girang hati Kwa Siang mendengar ini dan tanpa ragu-ragu lagi ia mulai mempelajari ilmu tongkat yang menjadi kebanggaannya itu kepada Kong Ji. Harus diketahui bahwa baik Kwa Siang maupun Lai Tek menjadi murid Giok Seng Cu setelah mereka tua dan telah memiliki kepandaian tinggi. Mereka hanya menerima tambahan ilmu silat dari Giok Seng Cu, sedangkan ilmu tongkat dari Kwa Siang itu pun hasil pelajaran yang dahulu, bukan yang didapatkannya dari Giok Seng Cu. Oleh karena itu, tentu saja Kong Ji menjadi untung dan menerima pelajaran-pelajaran tinggi dari Kwa Siang.
Demiklanlah, di hadapan Lai Tek, anak ini bicara lain dan ia pun berhasil membakar hati Lai Tek sehingga twa-suhengnya ini betul-betul mencurahkan tenaga untuk membimbingnya mempelajari ilmu pedangnya agar tidak kalah oleh Kwa Siang! Dengan siasat yang amat licin, Kong Ji dapat membuat dua orang tokoh itu seakan-akan bersaingan dan berlomba menurunkan kepandaian masing-masing kepadanya dan hal itu sudah tentu dia yang untung dan menjadi tukang tadah!
Kedatangan Giok Seng Cu dari Luliang-san disambut dengan gembira oleh anak buahnya. Akan tetapi tosu rambut panjang ini datang dalam keadaan kelihatan amat lelah dan wajahnya memperlihatkan tanda bahwa ia amat gelisah dan khawatir. Ia segera mengumpulkan murid-muridnya yang paling tua, yakni Siang mo-kiam Lai Tek, Thian-te Siang-tung Kwa-siang, dan dua orang murid lain yang kepandaiannya sudah tinggi. Juga Kong Ji tidak ketinggalan karena biarpun ia murid termuda, namun ia amat disayang dan Giok Seng Cu tahu bahwa kelak yang boleh diharapkan hanyalah Kong Ji ini. Semua orang duduk menghadap guru besar itu yang berkata dengan suara lambat.
"Mulai saat ini, kalian jangan lengah. Semenjak dari Luliang-san, aku telah dihejar-kejar oleh banyak sekali tokoh kang-ouw yang lihai. Mungkin sekali di antara mereka ada yang terus mengejar ke sini, biarpun aku masih bersangsi apakah mereka begitu tidak tahu malu untuk mengacau Im-yang-bu pai di sarang sendiri. Betapapun juga, kalian harus menjaga dan mengerahkan kawan-kawan untuk menyelidik. Rumah perkumpulan ini pun harus dijaga siang malam secara bergilir. Pendeknya, sekarang kita menghadapi bahaya dan sekali-kali jangan lengah."
"Suhu, mengapa mereka itu memusuhi Suhu? Mengapa mereka mengejar-ngejar terus secara tak tahu malu" tanya Kwe Siang. Lai Tek juga memandang dengan mata mengandung pertanyaan. Akan tetapi sebelum Giok Seng Cu menjawab, Kong Ji mendahuluinya.
"Tentu untuk merampas Pak-kek Sin-kiam, apa lagi?"
Semua orang terkejut, termasuk Giok Seng Cu yang menoleh kepada murid cilik yang berdiri di sebelah kirinya ini. Tangannya terulur dan tahu-tahu pergelangan tangan Kong Ji sudah dipegang erat-erat. "Bagaimana kau bisa menduga begitu?” tanyanya keras dengan mata memandang tajam.
Kong Ji tidak takut, bahkan tersenyum. “Suhu, apa sih sukarnya menebak teka-teki ini? Teecu sudah mendengar bahwa Suhu pergi ke Luliang-san untuk mencari pedang dan kitab dan teecu sudah tahu pula bahwa pedang itu adalah Pak-kek Sin-kiam sedangkan kitab itu adalah kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu. Kemudian Suhu pulang dengan pakaian kusut dan tubuh lelah serta membayangkan kegelisahan, tanda bahwa Suhu menghadapi sesuatu yang memusingkan. Akan tetapi suara Suhu itu tenang dan sinar mata Suhu membayangkan kegembiraan. Mudah bagi teecu untuk menduga bahwa Suhu tentu telah berhasil mendapatkan dua benda itu. Hanya teecu masih belum mengerti mengapa Suhu kelihatan gelisah. Kemudian Suhu menyatakan bahwa orang-orang kang-ouw mengejar-ngejar Suhu, maka apa lagi kehendak mereka itu kalau bukan mengejar Suhu untuk merampas sesuatu yang berharga? Karena inilah tee-cu menduga bahwa Suhu tentu telah berhasil dan mereka itu mengejar untuk merampas pedang Pak-kek Sin-kiam!"
Giok Seng Cu menjadi kagum luar biasa. Ia melirik ke pakaiannya, akan tetapi dari luar pedang pusaka yang disembunyikan di balik baju itu tidak kelihatan. "Di antara kedua benda berharga mengapa kau menyangka bahwa pedang pusaka yang ku dapatkan?" tanyanya curiga.
"Teecu menduga sembarangan Suhu. Karena bagi teecu, apa sih artinya kitab ilmu silat bagi Suhu yang sudah berkepandaian tinggi? Tentu bagi Suhu pedang itu yang lebih penting, maka teecu menduga bahwa Suhu tentu telah mengambil pedangnya."
Giok Seng Cu melepaskan cekalannya tertawa girang dan memandang kepada murid-muridnya. "Di antara kita, tak seorang pun yang mampu menandingi kecerdikan Kong Ji! Kau benar sekali Kong Ji, dan aku girang melihat kecerdikanmu. Akan tetapi bagaimana dengan ilmu silatmu? Apakah selama aku pergi, kedua Suhengmu telah melatihmu baik-baik?”
Kwa Siang ingin memamerkan hasil latihannya kepada sute yang disayang itu, maka ia berkata. "Sute, mengapa kau tidak memperlihatkan ilmu tongkat yang telah kau pelajari kepada Suhu?"
"Haruskah teecu memperlihatkan sedikit kepandaian yang teecu terima dari Jiwi-suheng?" tanya Kong J i kepada gurunya. Anak ini sengaja berkata "sedikit kepandaian" agar suhunya tidak puas dan menurunkan ilmu silatnya yang lihai, terutama Tin san-kang!
Giok Seng Cu mengangguk-anggukkan kepalanya yang rambutnya riap-riapan itu. "Coba kau perlihatkan kepandaianmu."
Kwa Siang melemparkan sepasang tongkat hitam putih ke arah Kong Ji yang menerimanya dengan gaya indah. Kemudian anak ini bersilat di ruangan itu, bersilat dengan cepat dan baik sekali sesuai dengan petunjuk dan ajaran Kwa Siang. Thian-te Siang-tung ini melirik-lirik ke arah Lai Tek sambil tersenyum-senyum bangga. Sebagai penerima ilmu silatnya ternyata sute yang kecil itu tidak mengecewakannya. Biarlah Lai Tek melihat bahwa ilmu tongkat yang ia turunkan kepada Kong Ji tak boleh dipandang rendah.
Giok Seng Cu mengangguk-angguk. "Hmm, Kwa Siang baik sekali sehingga mau menurunkan kepandaian tunggalnya kepadamu, Kong Ji. Akan tetapi, apa yang kau pelajari dan Lai Tek?" tanyanya setelah anak itu berhenti bersilat dan mengembalikan sepasang tongkat itu kepada Kwa Siang.
"Teecu juga mempelajan sedikit ilmu pedang dari Twa suheng."
"Kau mainkan Sute, agar Suhu dapat memeriksa dan menilainya." Lai Tek mendesak sambil meloloskan pedangnya untuk dipergunakan oleh sutenya. Akan tetapi Kong Ji pura-pura tidak melihat twa-suheng ini menyodorkan pedang. Ia bahkan menghampiri Giok Seng Cu dan berkata, "Bolehkah teecu memperlihatkan ilmu pedang dan Twa-suheng dengan mempergunakan Pak-kek Sin-kiam, Suhu?"
Tiba-tiba Giok Seng Cu meloncat dan menangkap leher baju Kong Ji dan diangkatnya tubuh anak itu ke atas. Hampir saja ia membanting bocah ini dan semua sudah menjadi pucat. Kwa Siang dan Lai Tek cukup mengenaI watak suhu mereka, yakni kalau sudah marah, belum puas kalau belum membunuh orang. Akan tetapi aneh, anak itu diturunkan lagi dan Giok Seng Cu duduk sambil menarik napas panjang.
"Kong Ji jangan sekali-kali kau menyebut-nyebut Pak-kek Sin-kiam lagi. Mengerti?"
Kong Ji yang sudah pucat itu mengangguk-angguk dan berlutut di depan suhunya. Kemudian ia menerima pedang dari Lai Tek dan bersilat pedang, ditonton oleh Giok Seng Cu.
"Hm, kau sudah mendapat kemajuan lumayan. Kau harus lebih banyak berlatih lweekang agar siap sedia menerima latihan-latihan langsung dari aku sendiri."
Kong Ji menjadi girang sekali dan buru-buru berlutut menghaturkan terima kasih kepada gurunya. Semenjak hari itu, benar saja rumah perkumpulan Im-yang-bu-pai yang amat besar itu dijaga rapi dan kuat oleh para anggauta Im-yang-bu-pai. Sedangkan Giok Seng Cu selalu mengeram diri di dalam kamarnya dan pedang Pak-kek Sin kiam tak pernah terpisah dari tubuhnya. Yang dipercaya hanya Kong Ji seorang. Hanya murid termuda inilah yang mengawaninya tidur di kamarnya.
"Kong Ji, aku sewaktu-waktu perlu beristirahat dan tidur. Kalau aku tidur pulas, kau berjaga dan cepat membangunkan aku kalau-kalau ada musuh datang," katanya.
Oleh karena itu, semenjak hari itu Kong Ji tidur di dalam kamar itu bersama Giok Seng Cu. Bahkan guru besar ini sudah demikian percaya sehingga ia pernah memperlihatkan Pak kek Sin-kiam yang membuat anak itu bergidik ketika melihat cahaya terang keluar dari mata pedang itu. Biarpun Kong Ji berwatak jahat dan curang, namun ia tak dapat melupakan pembunuhan kepada ayah bundanya dilakukan oleh orang-orang Im-yang-bu-pai. Dengan amat cerdik, ketika bercakap-cakap dengan Lai Tek dan Kwa Siang. Ia memancing percakapan tentang perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan menyinggung-nyinggung perkumpulan Kwan-im-pai. Akhirnya ia berhasil memancing dan mendapat keterangan bahwa yang membinasakan ayah bundanya adalah seorang tokoh Im-yang-bu-pai yang berjuluk Sin chio (Tombak Sakti), Thio Seng juga murid dari Giok Seng Cu dan dalam urutan murid-murid Giok Seng Cu, ia terhitung murid ke lima dan kepandaiannya tidak kalah jauh oleh Kwa Siang atau Lai Tek.
Semenjak mendapat keterangan bahwa suheng yang inilah pembunuh ayah bundanya, diam-diam Kong Ji mencari ketika untuk membalas dendam. Akan tetapi tentu saja amat sukar baginya, karena selain ia kalah jauh dalam hal kepandaian silat, juga tak mungkin ia membunuh suheng sendiri di Im-yang-bu-pai. Kini setelah suhunya pulang dan ia mendapat kepercayaan tidur di dalam kamar suhunya, diam-diam otaknya yang penuh akal itu bekerja. Pada siang hari diam-diam ia menemui Sin-chin Thio Seng dan mengajaknya bercakap-cakap.
"Ngo-suheng (Kakak Seperguruan Lima), setiap malam aku merasa ngeri tidur di kamar Suhu," katanya perlahan setelah mereka bercakap-cakap agak lama dan suasana sudah hangat dan ramah-tamah.
Thio Seng memandangnya heran. "Eh mengapa, Sute? Apakah Suhu suka mengigau? Ataukah dengkurnya terlalu keras?"
Kong Ji tersenyum, menggelengkan kepala. "Bukan demikian, yang membikin aku merasa ngeri adalah... Pak-kek Sin-kiam itulah..." Anak ini sengaja memperlihatkan sikap ketakutan.
Sin-chio Thio Seng tertarik sekali. Kalau tidak dimulai oleh Kong Ji bicara tentang pedang pusaka itu saja ia tidak akan berani, mengingat akan larangan suhunya. "Kenapa sih?” Ia mendesak.
"Kalau diceritakan kepadamu kau tentu tidak percaya, Suheng. Pedang itu di waktu tengah malam buta, bisa keluar dari sarungnya dan beterbangan seperti naga bernyala-nyala di dalam kamar..." Kembali Kong Ji bergidik dan mukanya menjadi pucat. Inilah kelihaian anak itu, setelah mempelajari lweekang ia dapat menahan jalan darah yang mengalir naik ke mukanya sehingga wajahnya menjadi pucat. Tentu saja kepandaian ini dimiliki pula oleh Thio Seng yang sudah lihai namun pada saat itu ia mengira bahwa sutenya benar-benar merasa ngeri dan pucat.
"Aah, mana ada kejadian seperti itu? Kau terpengaruh oleh dongeng, Sute."
"Aku berani bersumpah, Ngo-suheng. benar-benar hal itu terjadi, kalau kau tidak percaya, kau boleh membuktikan sendiri.”
Thio Seng makin tertarik akan tetapi tentu saja ia tidak berani membuktikan, karena tidak ada jalan untuk dia membuktikan peristiwa itu. "Tak mungkin, Suhu tentu akan marah besar kalau tengah malam buta aku datang ke kamarnya," katanya menyesal. Sebenarnya ia pun merasa iri hati melihat suhunya demikian sayang dan percaya kepada Kong Ji.
"Mengapa harus masuk ke kamar? Aku mau menolongmu, Ngo-suheng. kalau kau benar-benar hendak membuktikan omonganku tadi. Malam ini Suhu tentu akan tidur nyenyak, karena malam tadi dia tidak tidur sama sekali. Nah, lewat tengah malam kau boleh datang dan berdiri di luar jendela kamar. Aku akan membuka daun jendela kalau pedang itu sudah beterbangaan di dalam kamar nanti kau dapat melihat sendiri."
"Bagaimana kalau Suhu mengetahui aku berada di sana?"
"Tak mungkin. Suhu setelah percaya bahwa aku berada dan menjaga di sampingnya, kalau tidur pulas sekali. Dan pula, apa salahnya kalau kau hanya menyaksikan keanehan itu? Mungkin Suhu sendiri kalau bangun dan melihat pedang itu beterbangan, takkan memperhatikan hal yang lain lagi."
Karena amat tertarik, Thio Seng menyanggupi dan berjanji akan datang dan berdiri di luar jendela menjelang tengah malam hari itu. Kong Ji girang bukan main di dalam hatinya dan diam-diam mencaci maki suhengnya ini, "Jahanam keparat, sekarang tibalah saatnya ku membalas dendam atas kematian Ayah Bundaku!"
Malam hari itu, ketika suhunya hendak tidur ia berbisik, "Suhu, malam ini harap Suhu jangan tidur." Giok Seng Cu terkejut sekali. “Eh, mengapa? Apa yang terjadi?"
Kong Ji menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya. "Mohon ampun kalau tee-cu kali ini salah menduga, Suhu. Akan tetapi teecu mempunyai dugaan bahwa seorang murid Suhu sedang merencanakan untuk mencuri Pak-kek Sin-kiam Selain ini..."
“Gila! Siapa dia? Hayo lekas ceritakan!"
"Harap Suhu bersabar. Teecu hanya menduga saja dan kalau tidak ada buktinya tidak enaklah kalau Suhu terburu nafsu memanggilnya. Ada seorang murid yang selalu bertanya tentang Pak-kek Sin-kiam, bahkan menanyakan apakah malam hari ini Suhu akan tidur dan pada saat apa Suhu biasanya tidur pulas. Ia bertanya pula di mana Suhu menyimpan pedang itu, pendeknya sikapnya amat mencurigakan. Oleh karena itu, harap Suhu jangan tidur dan kita lihat bersama siapa orangnya yang akan muncul."
Giok Seng Cu marah sekali. "Baik aku akan pura-pura tidur mendengkur dan dia yang berani datang akan kupenggal lehernya dengan pedang ini!" Kakek itu naik ke pembaringan dan pedang Pak-kek, Sin-kiam telah dilolos dari sarungnya dipegang olehnya.
Kong Ji menunggu dengan hati berdebar. Bagaimana kalau Thio Seng tidak berani datang? Menjelang tengah malan Giok Seng Cu memperkeras dengkurnya dan tiba-tiba Kong ji mendengar tindakan kaki yang amat ringan di luar jendela kamar itu. Ia berdebar girang, diam-diam mendekati suhunya dan menowel lengannya. Suhunya masih mendengkur, akan tetapi membuka mata dan berkedip kepadanya. Kong Ji berjalan ke jendela dan membuka daun jendela itu. Di luar berdiri seorang laki-laki dan bukan lain orang itu adalah Thio Seng.
Begitu jendela dibuka dan melihat bahwa yang datang adalah muridnya ke lima, yakni Sin-chio Thio Seng, Giok Seng Cu tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Sambil berseru keras ia melompat dan tubuhnya melayang melalui jendela. Memang benar pada saat itu Thio Seng melihat pedang terbang Pedang Pak-kek Sin kiam yang sudah terhunus dari sarungnya, mengeluarkan cahaya terang dan kini pedang yang berada di tangan Giok Seng Cu itu seakan-akan terbang keluar jendela, dan dalam sekelap mata saja menggelindinglah kepala Thio Seng yang sudah terbabat putus lehernya oleh Pak-kek Sin-kiam...!
"Ha-ha-ha, biarlah kau setan cilik sekarang menjadi setan penasaran di lembah Luliang-san... ha-ha-ha!" Sambil berkata demikian, Giok Seng Cu lalu melepaskan anak itu ke dalam jurang dari tebing yang amat curam itu!
Tubuh Sin Hong melayang ke bawah dan sungguhpun pengalaman ini membuat nyawanya seakan-akan sudah meninggalkan tubuhnya dan semangatnya juga terbang, namun kesadaran anak ini masih penuh! Ia tidak mau pingsan dan kemauannya yang keras ini benar-benar luar biasa dan mengatasi perasaannya sehingga ia masih dapat bertahan! Anak ini ingin menghadapi kematian dengan kedua mata terbuka.
Pada saat itu, selagi Giok Seng Cu tertawa bergelak, tiba-tiba dari atas terdengar pekik yang nyaring dan seekor burung yang besar menyambar turun menyerang dengan paruhnya yang kuat itu ke arah kepala Giok Seng Cu! Kakek ini kaget sekali, cepat ia melompat ke samping sambil menangkis dengan tangannya.
"Plak!"
Tubuh Giok Seng Cu terhuyung saking kerasnya gerakan burung akan tetapi burung itu sendiri terpental jauh dan beberapa helai bulunya rontok, melayang-layang ke bawah. Hajaran yang keras dari tangan Giok Seng Cu membikin binatang itu menjadi jerih. Sambil mengeluarkan pekik keras ia melayang terus dan terbang meluncur ke bawah mengejar tubuh Sin Hong yang sedang melayang turun.
Binatang tetap binatang. Betapapun ia dilatih oleh orang-orang pandai, kim-tiauw itu tetap saja seekor binatang yang bodoh. Melihat ada sesuatu melayang turun, ia hanya menurutkan nalurinya dan cepat ia menyambar turun, tidak tahu apakah yang melayang itu. Pada saat itu, Sin Hong sudah hampir pingsan karena sukar baginya untuk bernapas dalam keadaan melayang cepat sekali itu. Tiba-tiba ia merasa pundaknya sakit dan tubuhnya seakan-akan dirobek menjadi dua, tersentak keras sekali, akan tetapi kini ia tidak melayang ke bawah.
Ketika ia memandang, ternyata ia berada dalam cengkeraman seekor burung kim-tiauw yang besar sekali. Ia kaget akan tetapi berbareng girang, karena ia mendapat harapan untuk hidup. Kalau ia terbanting ke bawah, tak dapat disangkal lagi bahwa ia tentu akan mati dengan tubuh hancur lebur. Kini di dalam cengkeraman kim-tiauw, belum tentu ia akan mati. Memang Sin Hong amat pemberani dan berhati keras, tidak mudah putus asa.
Sebaliknya, ketika burung itu melihat bahwa yang dicengkeramnya adalah seorang anak manusia, ia lalu melayang turun perlahan di dasar jurang, melepaskan tubuh itu setelah berada tiga kaki di atas tanah. Tubuh Sin Hong terbanting perlahan di atas tanah yang lunak hingga ia kaget dan heran. Ternyata tempat itu bukan merupakan dasar jurang yang menyeramkan, sebaliknya merupakai tempat yang indah sekali. Ia terjatuh di atas tanah yang mengandung rumput hijau dan tebal. Keadaan di situ terang karena mendapat sinar matahari dan atas dan dari sebelah kanan, sedangkan di sana-sini tumbuh pohon-pohon yang mengandung buah-buahan. Dasar jurang itu ternyata merupakan sebuah lereng bukit Luliang-san yang tak dapat didatangi orang dari kaki gunung, karena terhalang oleh jurang-jurang yang luar biasa dalamnya dan lebarnya. Agaknya jalan satu-satunya untuk tiba di tempat itu hanyalah dari atas tebing itulah!
Sin Hong teringat akan burung itu, maka buru-buru ia menghampiri sambil menjatuhkan diri berlutut di depan kim-tiauw. “Kim-tiauw-koko, aku Wan Sin Hong telah menerima budi pertolonganmu dan nyawaku telah kau selamatkan. Mudah - mudahan kelak aku dapat membalas budimu ini, tiauw koko!"
Burung itu agaknya terlatih sekali dan agaknya mengerti akan maksud anak ini. Akan tetapi ia hanya mengeluarkan bunyi tidak karuan lalu beterbangan berputar-putar di sekitar tempat itu, mencari sesuatu. Melihat burung itu kebingungan dan seperti mencari sesuatu, Sin Hong lalu bangun berdiri.
"Tiauw-ko, apakah yang kau cari?" tanyanya berulang-ulang, akan tetapi tentu saja burung itu tidak dapat menjawab.
Memang burung ini sedang mencari sesuatu. Majikan kecilnya, yaitu Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun, berkali-kali menyuruhnya mencari sebatang pedang dan sebuah kitab agar burung ini mengerti maksudnya. Kim burung itu terbang ke sana ke mari melihat-lihat kalau-kalau di tempat itu ada dua barang yang dikehendaki majikannya.
Melihat burung itu terus mencari-cari biarpun tubuhnya sendiri terasa sakit-sakit dan hawa dingin terus menerus menyerang dadanya, Sin Hong lalu bangkit berdiri dan ikut pula mencari. Anak ini memang berperasaan halus, mudah dendam dan mudah mengingat budi. Ia berjalan terhuyung-huyung ke sana-sini akhirnya ia melihat sebuah gua di depan.
"Hm, siapa tahu kalau-kalau di dalam gua itulah benda yang dicari oleh tiauw-ko," pikirnya.
Tanpa takut-takut atau ragu-ragu ia lalu memasuki gua itu dan berjalan perlahan ke dalam. Ternyata gua itu merupakan terowongan yang tidak begitu gelap. Ia masuk terus dan berjalan maju. Setelah berjalan ada seratus tindak, tibalah ia di sebuah ruangan gua yang lebar dan berbentuk bundar. Disitu terdapat sebuah batu yang sudah licin agaknya dahulu seringkali dipakai duduk orang, dan di sebelah baru itu terdapat sebuah peti hitam.
Sin Hong tertarik sekali dan ia lalu menghampiri peti itu. Ia membuka tutupnya, akan tetapi tidak kuat, ia menjadi penasaran dan mengerahkan tenaga, namun tetap saja tidak dapat ia membuka tutup peti itu. Bahkan dadanya terasa sakit. Akan tetapi setelah ia mengerahkan tenaga lweekang, biarpun dadanya sakit, rasa dingin yang menyerang jantungnya berkurang. Ini adalah karena pengerahan tenaga itu mempercepat jalan darahnya sehingga biarpun hanya sedikit, ada hawa "yang" mengalir di jalan darahnya.
"Aku telah berada di tempat ini secara kebetulan sekali, dan tidak mati terbanting juga karena kehendak Thian. Masa aku tidak dapat membuka peti ini?"
Kembali Sin Hong mengerahkan tenaganya dan kali ini berhasil. Peti itu memang tidak dikunci hanya agak sukar dibuka karena sudah terlalu lama tidak dibuka sehingga berkarat. Ternyata bahwa peti itu terbuat daripada besi. Setelah peti terbuka Sin Hong melihat dua benda di dalamnya, yaitu sebatang pedang dan sebuah kitab yang sudah kuning! Hatinya berdebar keras.
"Ah... inikah agaknya dua macam benda yang dicari oleh Giok Seng Cu...? Dia bilang... dua benda ini peninggalan dari Pak Kek Siansu… guruku..."
Dengan hati gembira, lupa akan tubuhnya yang sudah terluka berat dan tidak ada harapan untuk hidup lagi itu Sin Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan peti yang terbuka itu. "Suhu, banyak terima kasih atas kemuliaan Suhu yang sudah meninggalkan pedang dan kitab ini untuk teecu..."
Karena di dalam ruangan itu agak gelap, tak mungkin baginya membuka dan membaca kitab itu, maka ia lalu mengambil pedangnya dan membawa pedang itu keluar. Biarpun ia belum mempelajari isi kitab, akan tetapi ia sudah belajar ilmu pedang dari Luliang Ciangkun dan dengan adanya pedang itu di tangannya, ia akan mempunyai pembantu yang boleh diandalkan. Ia tidak tahu keadaan di tempat aneh itu, maka untuk melindungi dirinya, ada baiknya kalau ia membawa pedang itu keluar. Ketika ia mencabut pedang itu dari sarugnya, ia terkejut dan matanya menjadi silau. Di tempat agak gelap, pedang itu mengeluarkan cahaya yang menyilaukan mata. Girang sekali hatinya.
"Pedang pusaka yang hebat..." pikirnya cepat ia memasukkan pedang itu ke dalam sarung dan menalikan tali sarung ke pinggangnya. Setelah itu Sin Hong berjalan keluar. Kegirangan besar membuat ia melupakan serangan hawa dingin yang seperti hendak membikin tubuhnya kaku.
"Hee, tiauw-koko, apakah kau belum menemukan barang yang kaucari-cari?" tanya Sin Hong sambil berdiri dan tiba-tiba ia mengeluarkan bunyi ke arah Sin Hong. Anak itu masih tertawa-tawa dan mengira bahwa burung itu hendak turun di dekatnya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba burung itu menyerangnya dengan pukulan sayap!
Andaikata Sin Hong tahu bahwa ia akan diserang dan sudah berjaga diri, agaknya ia pun takkan dapat menghadapi burung ini dan takkan dapat mengelak dari serangannya, karena burung itu amat kuat dan serangan sayapnya benar-benar cepat sekali. Apalagi Sin Hong tidak mengira sama sekali, maka tubuhnya terkena pukulan sayap yang besar sehingga sambil berseru kesakitan dan kaget anak ini terguling sampai jauh. Dalam bergulingan ini, ia merasa sesuatu direnggut dari tubuhnya dan ketika ia dapat mclompat berdiri, ia melihat bahwa pedang dan sarungnya yang tadi diikatkan di pinggang, telah dirampas oleh burung itu dengan cakarnya dan kini pedang itu telah berada di paruh kim-tiauw.
"He, tiauw-ko, itu pedangku...! Kembalikan...!" Sin Hong menahan rasa sakit-sakit pada tubuhnya dan mengejar, tetapi burung itu sudah mementang sayap dan sekejap mata saja ia telah terbang tinggi, lalu lenyap dari pandanga mata. Sin Hong membanting-banting kakinya lalu menangis!
"Sin Hong, kau manusia gublok! Kau tak berotak!" ia memaki diri sendiri berkali-kali. "Seharusnya kau tahu bahwa Kim-tiauw itu mencari-cari pedang dan kitab...."
Teringat akan kitab, hatinya terhibur. Baiknya kitab itu tidak dibawa ke luar. Akan tetapi hatinya juga menjadi gelisah. Tentu burung aneh itu dipelihara oleh seorang kang-ouw yang berkepandaian tinggi pula. Kalau burung itu membawa pedang kepada majikannya, tentu majikannya itu akan tahu bahwa kitabnya pun berada di situ, lalu datang mengambilnya. Berpikir demikian, anak ini cepat berlari masuk ke dalam gua, akan tetapi kelelahan dan sakit di tubuhnya demikian hebat sehingga setibanya di dekat peti, ia terhuyung-huyung dengan kepala terasa pening, tubuh sakit-sakit dan dada dingin bukan main. Ia cepat menghampiri batu licin itu dan merebahkan diri di situ. Pada saat itu ia roboh pingsan di atas batu!
********************
Kim-tiauw yang berhasil merampas pedang Pak kek Sin-kiam, terbang keluar dari jurang. Pada saat itu, Giok Seng Cu masih berdiri di tebing bertolak pinggang dan memandang ke bawah, ke dalam jurang yang tidak kelihatan dasarnya itu. Hatinya juga gelisah sekali, karena ia sekarang teringat bahwa kim-tiauw itu tentu binatang peliharaan dari See-thian Tok-ong, tokoh di Tibet yang seringkali disebut-sebut oleh sahabatnya Ba Mau Hoatsu. Burung rajawali emas mana lagi yang dapat membuat ia terpental dalam sekali serangan?
Tiba-tiba ia melihat burung itu terbang dari bawah dan di paruhnya terlihat sebatang pedang dengan sarungnya yang buruk. "Celaka, burung keparat itu telah mendapatkan Pak-kek Sin kiam," kata Giok Seng Cu dan ia cepat berlari turun dari puncak.
Akan tetapi secepat-cepatnya seorang dapat berlari mempergunakan ilmu lari cepat, tak mungki ia dapat mengejar seekor burung rajawali terbang. Maka burung itu tentu saja sudah lama tiba di lereng sebelum Giok Seng Cu keluar dari puncak.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, burung rajawali emas telah memberikan pedang itu kepada Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun. Bocah gundut yang aneh itu mencabut pedang dari sarungnya. Semua orang menjadi silau melihat cahaya keemasan keluar dari pedang yang amat indah itu.
"Kau telah mencuri pedang Guru kami!" Luliang Ciargkun berseru marah. Sambil berkata demikian ia mencabut pedangnya dengan sikap hendak menyerang. Gurunya sudah berpesan agar ia dan sutenya menjaga supaya pedang dan kitab jangan terjatuh ke dalam tangan penjaat. Dan anak siluman ini benar-benar jahat dan berbahaya sekali kalau Pak-Sin-kiam terjatuh di dalam tangannya.
Ban-beng Sin-tong Kwa Kok Sun tertawa menyeringai, akan tetapi pandangan matanya penuh ancaman. "Luliang Ciangkun, pedang ini disembunyikan oleh Gurumu dan kau sendiri mengaku tidak mengetahui tempat penyimpanannya. Sekarang ditemukan oleh burungku, berarti bahwa aku berjodoh dengan pedang ini. Kau ribut ribut mau apa sih?”
Lain-lain tokoh yang berada di situ juga memandang kepada pedang itu dengan mata mengilar. Akan tetapi mereka tidak berani bergerak karena maklum akan kelihaian anak gundul itu dan ular-ularnya. Bahkan Ba Mau Hoatsu memandang dengan hati berdebar. Ingin sekali ia mengulur tangan merampas pedang. Kalau ia lakukan hal ini, ia percaya bahwa ia sanggup merampas pedang. Ia tahu bahwa kepandaiannya sendiri jauh melampaui kepandaian bocah gundul itu, akan tetapi kalau ia teringat akan ayah dan ibu anak ini ia bergidik dan membuat ia ragu-ragu untuk turun tangan.
Sementara itu, Luliang Sam-tojin sudah memegang senjata masing-masing, dan Luliang Ciangkun membentak, "Bagaimana juga. tidak boleh orang mengambil pusaka Luliang-san begitu saja dari tempat ini. Kembalikan pedang Pak kek Sin-kiam,"
Kwan Kok Sun sambil tersenum sindir menggerak-gerakkan pedang pusaka itu di tangan kanan sedang tangan kirinya sudah dimasukkan ke dalam saku baju dimana tersimpan sepasang ular merah tadi, lalu melirik ke arah Bau Hoatsu. "Paman Ba Mau, kau pikir bukankah kakek Luliangsan ini tidak tahu aturan sama sekali?"
Ba Mau Hoatsu semenjak tadi memandang ke arah pedang di tangan bocah gundul itu, dan ia hampir tidak mendengar kata-kata ini. Memang dia sendiri ingin sekali merampas pedang itu, maka jawabnya perlahan dan ragu-ragu. "Hmm..."
Luliang Ciangkun sudah tidak dapat menahan sabar lagi. "Serahkan pedang kami!" bentaknya sambil menyerang ke depan, berusaha merampas Pak-kek Sin-kiam.
Akan tetapi, biarpun sikapnya tenang, bocah gundul itu ternyata gesit luar biasa. Sekali tangannya bergerak berkelebat bayangan keemasan dan pedang Pak-kek Sin-kiam sudah digerakkan dari samping, memapaki dan menyabet pedang besar di tangan Luliang Ciangkun.
Panglima Gunung Luliang ini terkejut sekali karena gerakan lawan yang masih muda ini benar-benar cepat luar biasa. Ia tahu bahwa sekali saja pedangnya bertemu dengan Pak-kek Sin kiam, pedangnya yang besar dan juga bukan sembarangan pedang itu pasti akan terbabat putus! Ia menarik kembali pedangnya dan kini menyerang dengan sambaran dari bawah.
Lagi-lagi Kwan Kok Sun menangkis, lalu membalas menyerang. Luliang Ciangkun kembali menghindari pertemuan pedang dan sekarang kedua orang ini bertanding pedang dengan hebatnya. Sama sekali di luar dugaan para tokoh kang-ouw yang berada di situ, ilmu pedang dari Ban-beng Sin-tong benar-benar luar biasa sekali. Memang dia telah mendapat gemblengan dari ayah bundanya, maka tentu saja ia memiliki kepandaian tinggi. Apalagi sekarang dia memegang Pak-kek Sin-kiam, kelihatan bertambah hebat. Luliang Ciangkun yang tidak berani mengadu pedang, segera didesak dengan hebat oleh bocah itu. Yang lebih hebat Kwan Kok Sun sama sekali tidak mengeluarkan tangan kiri dari saku bajunya. Oleh karena ini, gerakan pedang di tangan kanannya kelihatan kaku tidak ada imbangannya. Akan tetapi, hal ini tidak mengurangi kehebatan gerakan pedangnya, bahkan Luliang Ciangkun dan yang lain-lain maklum bahwa tangan kiri itu lebih berbahaya daripada tangan kanan. Sekali tangan kiri itu keluar, tentu akan membawa sepasang ular terbang dan hal itu benar-benar merupakan bahaya maut yang mengerikan sekali!
Melihat suheng mereka terdesak, Luliang Nungjin dan Luliang Siucai tidak tanggal diam. "Kembalikan pedang kami, kalau tidak kita harus bertempur mengadu nyawa di sini!" kata Luliang Nungjin sambil menggerakkan pacutnya yang aneh, disusul oleh Luliang Siucai yang menggerakkan pitnya.
Pacul dari Luliang Nungjin berujung enam dan sekali gagangnya digerakkan, enam mata cangkul menyerang tubuh Kwan Kok Sun dari enam jurusan! Bocah gundul itu terkejut sekali, apalagi ketika pedang Luliang Ciangkun dan pit Luliang Siucai menyusul pula dengan serangan dari ilmu silat tinggi yang amat berbahaya! Biarpun ia berpedang pusaka, namun bagaimana ia dapat menangkis sekaligus senjata-senjata hebat ini? Sambil memutar pedangnya, ia melompat mundur, dan terdengar suara keras. Ternyata bahwa di antara enam mata cangkul, dua buah terbabat putus oleh Pak-kek Sin-kiam. Akan tetapi pit di tangan Luliang Siucai hampir saja mengenai sasaran, dan baju Kwan Kok Sun robek di bagian pundaknya.
Bocah gundul itu menjadi pucat. Ia melirik ke arah Ba Mau Hoatsu, akan tetapi hwesto tinggi besar ini diam saja tidak bergerak membantunya. Hal ini membikin mendongkol hati Kwan Kok Sun. Ia mengeluarkan suara keras seperti pekik seekor binatang buas, lalu pedangnya diputar sedemikian rupa, tangan kirinya mengeluarkan dua ekor ular merah. Pada saat itu juga, atas perintah pekikan tadi, burung kim-tiauw ikut menyerbu dan puluhan ular yang tadi melingkar di tanah, mulai bergerak menyerbu ke arah Luliang Sam-lojin!
Inilah serangan yang hebat sekali! Ketiga kakek dari Luliang-san ini cepat memutar senjata mereka. Luliang Nungjin mengajukan diri menghadapi kim-tiauw, karena dengan paculnya yang masih bermata empat itu ia dapat menghadapi serangan burung itu dari atas. Beberapa kali ia terhuyung-huyung karena beturan pacul dengan sayap burung, akan tetapi ia berhasil membuat rontok beberapa helai bulu sayap dari burung itu sendiri berkali-kali memekik kesakitan.
Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai sibuk sekali menghadapi serbuan puluhan ekor ular itu. Mereka melompat ke sana ke mari untuk menghindarkan diri dari gigitan ular dan pedang serta pit kedua kakek ini telah berhasil membunuh beberapa ekor ular. Tiba-tiba dua bayangan merah berkelebat ke arah mereka. Ternyata bahwa Ban-beng Sin-tong telah melepaskan sepasang ular terbangnya yang langsung menyerang dengan luncuran hebat ke arah Luliang Ciankun dan Luliang Siucai.
Dua orang kakek ini maklum akan bahaya besar ini. Cepat mereka melompat jauh sambil memutar senjata, tetapi Kwan Kok Sun tidak tinggal diam. Anak gundul ini segera melompat maju dan menggerakkan pedang pusaka membantu perjuangan anak-anak buahnya yang mengerikan itu. Keadaan Luliang Sam lojin benar-benar terdesak hebat kali ini. Juga Luliang Nungjin sudah pening kepalanya karena sebuah tamparan sayap telah nyerempet pelipisnya, terasa bagaikan dipukul oleh palu godam dan sakitnya bukan main. Tenaga pukulan itu sedikitnya ada lima ratus kati dan kalau orang lain yang terkena sambaran ini tentu sudah pecah kepalanya.
Pada saat itu sesosok bayangan yang cepat sekali gerakannya terbang berlarian dari puncak gunung. Dia bukan adalah Giok Seng Cu. Setelah tiba ditempat pertempuran, ia melihat semua tokoh kang-ouw menonton pertempuran yang sedang berjalan dengan amat seru dan hebatnya. Namun Giok Seng Cu tidak memperhatikan semua itu. Seluruh perhatiannya ditujukan kepada pedang Pak Sin-kiam yang terpegang dan dimainkan oleh seorang bocah gundul. Melihat bocah ini, biarpun belum bertemu muka, dapat menduga bahwa ini tentulah putera See-thian Tok-ong karena ia pernah dengar penuturan Ba Mau Hoatsu. Tiba-tiba ia melompat maju ke dalam medan pertempuran.
"Sahabat kecil bukankah kau putera dari See-thian Tok-ong yang mulia? Pinto adalah Giok Seng Cu ketua Im yang-bu-pai. Marilah Pinto bantu kau menghabiskan Luliang Sam-lojin yang sombong itu"
Tentu saja Ban-beng Sin-tong Kwan kok Sun menjadi girang sekali. Memang ia ingin melihat ketiga orang lawannya itu lekas-lekas binasa karena ia mendongkol melihat ular-ularnya banyak yang mati.
"Terima kasih, Totiang. Ayah tentu akan berterima kasih kepadamu," jawabnya gembira.
Giok Seng Cu sengaja melompat di dekat Kwa Kok Sun, kemudian ia merendahkan tubuhnya dan mengerahkan tenaga Tin sang-kang yang hebat. Sambil mengeluarkan seruan dahsyat kedua tangannya memukul ke depan, ke arah Luliang Nungjin yang sedang sibuk menghadapi serbuan kim-tiauw. Angin pukulan yang hebat sekali menyambar ke arah dada Luliang Nungjin. Kakek ini tahu akan datangnya serangan pukulan, akan tetapi oleh karena perhatiannva ditujukan kepada kim-tiauw yang menyambar-nyambar di atasnya, ia tidak sempat mengelak dan tiba-tiba ia merasa dadanya digempur oleh tenaga tidak kelihatan yang hebat sekali. Ia menahan napas dan mengerahkan lwee-kangnya, namun terlambat.
Tubuhnya tersentak dan ia muntah-muntah darah merah tersembur keluar dari mulutnya. Pada saat itu, seeker ular merah menyerbunya dan sekali patok pada lehernya, robohlah Luliang Nungjin dan tubuhnya seketika itu juga berubah menjadi merah! Ia tewas dalam saat itu juga dan ular merah itu lalu merayap masuk dari mulutnya untuk segera keluar kembali menggigit sebuah jantung yang masih berlepotan darah!
Pemanclangan ini mengerikan sekali hingga semua orang menjadi pucat. Adapun Kwan Kok Sun mengeluarkan suara seperti iblis. Pada saat itu, terjadilah hal yang sama sekali tidak diduga-duga olehnya. Giok Seng Cu melihat kesempatan baik, kembali menggerakkan kedua tangannya. Tangan kanan memukul dengan tenaga Tin-san-kang, sedangkan tangan kiri maju merampas pedang Pak-kek Sin-kiam!
Kwan Kok Sun mana kuat menghadapi pukulan Tin-san kang? Ia sudah berusaha mengelak, akan tetapi pundaknya masih terkena pukulan itu dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, pedangnya dirampas oleh gerakan tangan kiri Giok Seng Cu yang mainkan ilmu Silat Kin-na-jiu!. Kwan Kok Sun terhuyung-huyung dengan muka pucat. Bocah gundul ini telah menderita luka di dalam tubuh maka ia cepat-cepat bersila untuk mengumpulkan napas dan mengerahkan tenaga dalam. Giok Seng Cu melompat jauh dan berlarit seperti terbang cepatnya turun gunung!
“Giok Seng Cu, kau curang...!" bentak Ba Mau Hoatsu dan hendak mengejar, akan tetapi melihat Kwan Kok Sun terluka, ia khawatir akan keadaan anak itu. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan anak itu, ia ikut bertangung jawab di hadapan See-Thian Tok-ong, maka ia membatalkan niatnya mengejar Giok Seng Cu. Lagi pula, andaikata ia dapat mengejar, apakah dia dapat mengalahkan ketua Im-yang-bu-pai itu? Tadi ia melihat kehebatan Tin-san-kang. Kalau kiranya Giok Seng Cu tidak memegang Pak-kek Sin-kiam, mungkin ia masih dapat melawannya. Akan tetapi dengan pedang pusaka itu di tangan, berbahaya sekali!
Semua tokoh kang-ouw melihat Giok Seng Cu kabur membawa pedang serentak berlari mengejar. Kini setelah pedang itu berada di tangan ketua Im-yang-bu-pai, mereka berani untuk mencoba-coba merampas. Adapun Ba Mau Hoatsu setelah melihat Kwan Kok Sun bersila meramkan mata, lalu mengeluarkan sepasang rodanya. Ia melihat Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai mengamuk hebat membunuh-bunuhi ular itu, sedangkan sambaran-sambaran ular merah tak pernah mengenai sasaran. Tanpa banyak cakap lagi, Ba Mau Hoatsu lalu menggerakkan sepasang rodanya dan menyerbu, menyerang dua orang kakek Luliang-san itu.
"Ba Mau Hoatsu, semenjak dahulu kau memang iblis jahat!" seru Luliang Ciangkun marah sekali.
Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar dan kini ia benar-benar nekad. Tanpa memperdulikan serangan-serangan ular ia menyerbu dengan hebat kepada hwesio gundul itu. Ba Mau Hoatsu menyambuti serangannya dan kedua orang ini bertempur seru. Memang tingkat kepandaian Ba Mau Hoatsu masih lebih tinggi daripada Luliang Ciangkun, maka sebentar saja Si Gundul mendesaknya. Apalagi Luliang Ciangkun sudah lelah dan ular-ular yang telah dididik dapat membedakan kawan atau lawan itu masih tetap menyerangnya dari bawah. Luliang Siucai kini menghadapi kim-tiauw yang dibantu oleh beberapa ekor ular pula.
Dalam keadaan amat terdesak ini, kedua kakek itu masih mengamuk hebat. mereka tidak mengharapkan hidup lagi setelah melihat kematian Luliang Nungjin yang amat mengerikan. Cita-cita mereka hanya membasmi lawan sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, pada saat itu Kwan Kok Sun sudah berdiri lagi. Lukanya biarpun cukup hebat namun tidak membahayakan jiwanya. Kini melihat Ba Mau Hoatsu membantunya dan melihat dua orang kakek Luliang-san masih mengamuk, semua kemarahannya akibat hilangnya pedang, dijatuhkan kepada dua orang kakek itu.
"Paman Ba Mau, minggir...! serunya sambil menggerakkan kedua tangannya.
Ba Mau Hoatsu cepat melompat ke samping dan dari kedua tangan Kwan Kok Sun tersebar debu hijau yang menyambar ke arah Luliang Siucai dan Luliang Ciangkun. Dua orang kakek ini cepat mengelak, akan tetapi mereka segera terbatuk-batuk karena debu itu ternyata dengan cepatnya telah mempengaruhi mereka. Sedikit saja debu itu memasuki mulut, celakalah orangnya. Luliang Siucai dan Luliang Ciangkun merasa tenggorokan mereka gatal-gatal sekali dan tak tahan pula mereka terbatuk-batuk dan tak dapat menggerakkan senjata. Pada saat itu, tentu saja ular-ular tidak tinggal diam dan menyerbu. Juga sepasang ular terbang itu menyambar seperti kilat dibarengi dengan sambaran kim-tiauw dari atas!
Dalam sekejap mata saja, Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai roboh tak bernapas lagi. Kepala mereka pecah terhantam sayap kim-tiauw, kaki mereka bengkak-bengkak tergigit oleh ular dan dada mereka bolong disambar oleh sepasang ular merah!
"Sin-tong, apakah kau terluka berat?” Ba Mau Hoatsu cepat menghampiri Kwan Kok Sun.
Bocah gundul itu menggeleng kepala sambil mengerutkan keningnya. "Kurang ajar sekali bangsat tua Giok Seng Cu! Aku bersumpah untuk membasminya!"
"Tenanglah, Sin-tong. Tadi pun aku hendak mengejarnya, akan tetapi aku tidak tega meninggalkan kau yang terluka. Apalagi kepandaian Giok Seng Cu amat tinggi, lebih-lebih setelah ia dapat merampas Pak-kek Sin-kiam. Mari kita pulang saja, agaknya Ayah Bundamu akan mudah sekali merampas pedang itu dari tangan Giok Seng Cu."
Kwan Kok Sun mengangguk-angguk. “Seluruh Im-yang-bu-pai harus dibasmi habis sampai ke akar-akarnya"
Diam-diam Ba Mau Hoatsu bergidik. Ia kenal watak anak ini, kenal pula kehebatan orang tuanya, maka ia merasa beruntung bahwa bukan dia yang diancam. Baiknya aku tadi membantunya pada saat terakhir, pikirnya puas. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika bocah itu menegurnya,
"Paman Ba Mau, mengapa tidak sejak tadi-tadi kau membantuku menghadapi Luliang Sam-lojin?”
Ba Mau Hoatsu dengan muka merah dan hati berdebar-debar cepat menjawab, "Ah, Sin-tong. Mengapa aku harus turun tangan? Hal ini hanya akan merendahkan namamu dan nama besar Ayah Bundamu. Tanpa aku pun kau tidak akan kalah. Akan tetapi tentu saja aku serta siap sedia dan pasti akan membantumu kalau tadi kau terdesak oleh Luliang Sam-lojin. Serangan Giok Seng Cu kepadamu sama sekali di luar dugaanku. Siapa yang mengira demikian sedangkan tadinya ia membantumu"
Kwan Kok Sun puas dengan jawaban ini. Ia lalu mengumpulkan ular-ularnya yang masih hidup, mengantongi sepasang ular merah yang sudah kenyang makan jantung manusia, kemudian bersuit memanggil kim-tiauw yang turun di depannya. "Kim-tiauw, kau terbanglah pulang dan berikan surat kepada Ayah Bundaku," kata Kwan Kok Sun setelah mencoret-coret sepotong kertas. Kim-tiauw menerima kertas itu yang oleh Kwan Kok Sun diikatkan kepada kakinya, kemudian setelah mengangguk-anggukkan kepalanya, rajawali besar itu terbang melayang dan sebentar saja lenyap dari pandangan mata.
"Eh, Ban-beng Sin-tong, apakah kau sendiri tidak pulang?"
Bocah itu menggelengkan kepalanya. “Mengapa pulang? Nanti tentu harus kembali ke Tiong-goan (pedalaman Tiongkok). Daripada membuang waktu, lebih baik Ayah dan Ibu yang datang ke sini, sementara itu kita dapat menyelidiki di mana adanya Giok Seng Cu!"
"Akan tetapi, yang didapatkan oleh kim-tiauw hanya pedang saja, di mana adanya kitab ilmu silat itu? Apakah tidak lebih baik kalau kita mencoba mencari kitab itu di puncak?"
"Kau benar, Paman Ba Mau! Mengapa aku sebodoh ini?" Kwan Kok Sun timbul kembali kegembiraannya dan kedua orang ini lalu mendaki puncak Luliang-san, sama sekali tidak memperdulikan mayat-mayat yang bergelimpangan di situ dalam keadaan mengerikan sekali.
Ban-beng Sin-tong dan Ba Mau Hoatsu mencari-cari di puncak Luliang-san, membongkar pondok bekas tempat tinggal Pak Kek Siansu. Pondok itu didirikan di bawah puncak batu karang yang menjulang tinggi, kokoh kuat seperti sang raksasa hitam. Yang amat mengagumkan, batu karang ini berbentuk seperti kepala naga sehingga setelah kini pondok yang merupakan penutupnya terbongkar, batu karang ini nampak dari jauh amat menyeramkan.
Ba Mau Hoatsu meraba-raba batu karang itu dan matanya memandang penuh perhatian. "Agaknya bentuk kepalanya ini buatan manusia," katanya, "Lihat, bukankah bentuk mata dan tanduk di atas itu ada bekas guratan senjata tajam?"
Kwan Kok Sun memandang, kemudian tubuhnya bergerak melompat ke atas Dalam sekejap mata ia telah berada di puncak batu karang itu dan memeriksanya. "Benar, memang buatan manusia. Akan tetapi entah apa maksudnya maka batu karang ini diukir sebagai kepala naga, lalu ditutup dengan bangunan pondok," katanya.
Mereka memeriksa dengan teliti karena menduga bahwa di dalam batu karang ini agaknya terletak tempat rahasia penyimpanan kitab. Akan tetapi, biarpun dengan sepasang rodanya Ba Mau Hoatsu sudah memecahkan bagian-bagian batu karang, sia-sia saja hasilnya. Akhirnya Kwan Kok Sun berkata gemas,
"Setan tua itu pintar sekali menyembunyikan kitabnya. Siapa tahu kalau-kalau ia bawa kitab itu ke dalam lubang kuburannya?"
Ba Mau Hoatsu ragu-ragu dan merasa ngeri. Betapapun jahatnya, selama hidupnya belum pernah ia menggali kuburan orang. Anak ini, yang usianya masih begitu muda, sudah mengusulkan membongkar kuburan dengan suara demikian dingin, seakan-akan membicarakan sebuah hal biasa saja. Akan tetapi ia harus akui bahwa usul itu baik sekali, karena siapa tahu kalau-kalau kitab rahasia itu benar-benar disembunyikan di dalam kuburan. Kalau tadi ketika masih melihat pedang pusaka, biarpun hatinya ingin merampas, Ba Mau Houtsu belum berani melakukannya, karena biarpun ada pedang itu di tangan, percuma saja ia menghadapi See-Thian Tok ong dan isterinya serta anaknya ini. Akan tetapi, kalau ia dapat memiliki kitab kek-sin-ciang-pit-kip dan telah mempelajari isinya sampai tamat, kiranya ia tidak usah takut lagi menghadapi Raja Racun itu. Ia tahu bahwa ilmu silat dari Pak Kek Siansu sangat tinggi, kalau ia dapat mewarisi ilmu silat dari Pak Kek Siansu, ia tidak takut lagi menghadapinya.
"Baik sekali Sin-tong. Mari kita mencari di dalam kuburan itu."
Demikianlah, dua orang manusia jahanam ini tanpa ragu-ragu lagi lalu membongkar kuburan Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu. Dengan sepasang rodanya Ba Mau Hoatsu menghantam batu-batu nisan sampai hancur, kemudian dibantu oleh Kwan Kok Sun, ia mulai menggali tanah bergunduk yang saling berhadapan.
Berkat kepandaian dan tenaga mereka yang sudah tinggi, sebentar saja dua buah makam itu sudah terbongkar. Dahulu ketika mengubur jenazah Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu, pendekar besar Go Ciang Le tidak sempat mempergunakan peti mati karena di tempat seperti puncak Gunung Luliang-san itu, dari mana bisa mendapatkan peti mati? Maka Hwa I Enghiong Go Ciang Le hanya mengubur mereka begitu saja dengan penuh penghormatan dan kesedihan.
Kini setelah kuburan dibongkar, Ba Mau Hoatsu dan Kwa Kok Sun hanya mendapatkan tulang belulang yang hampir sama besar dan bentuknya sehingga mereka tidak dapat membedakan mana tulang kerangka Pak Kek Siansu dan yang mana Pak Hong Siansu. Dilihat begitu saja, selain tulang-tulang ini, tidak terdapat apa-apa lagi di kuburan itu. Namun Kok Sun masih merasa penasaran. Ia tanpa ragu-ragu lagi menggunakan kakinya untuk menendang tulang-tulang itu keluar dari lubang kuburan lalu memeriksa dasar lubang. Namun kembali usahanya sia-sia karena di situ betul-betul tak tersembunyi sesuatu.
"Jahanam betul, kita bersusah payah tanpa guna!” Kok Sun memaki dan menyepaki tulang-tulang itu sehingga berserakan ke mana-mana.
Diam-diam Mau Hoatsu mengutuk Kok Sun. Anak ini terlalu keji hatinya, pikirnya. Betapa pun juga, ia tidak sampai hati memperlakukan tulang-tulang manusia seperti itu, setidaknya ia masih menghormati bekas-bekas terakhir dari tubuh orang-orang besar seperti Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu.
"Lebih baik sekarang kita mencari Giok Seng Cu," katanya perlahan. Anak gundul itu mengangguk dan keduanya lalu berlari cepat turun dari puncak Lulian-san, meninggalkan tulang-tulang yang berserakan itu. Ketika mereka tiba di lereng tempat pertempuran tadi, Kok Sun masih dapat menyeringai dan melemparbludah ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan di situ dan yang mengeluarkai hawa busuk.
Tentu saja mereka tidak pernah mimpi bahwa di balik batu karang yang mereka amuk di puncak terdapat terowongan yang menuju ke bawah dan yang tersambung dengan terowongan di mana Sin Hong menemukan pedang dan kitab. Anak ini setelah sadar dari pingsannya, merasa tubuhnya dingin sekali. Ia teringat bahwa ia telah menderita luka hebat akibat pukulan Giok Seng Cu. Ia merasa malas untuk bangun. Alangkah nikmatnya tidur di atas batu itu, nikmat sekali dan kalau ia teruskan tak lama lagi ia akan terbebas daripada hidup yang penuh pendentaan dan kekecewaan. Akan tetapi aku harus berusaha menghajar yang berkeliaran di muka bumi sebelum melakukan hal-hal yang merusak manusia-manusia lain yang tidak berdosa.
Sin Hong merayap keluar dari gua dan mencari buah-buah dari pohon yang banyak tumbuh di sekitar lereng tersembunyi itu. Setelah makan beberapa butir buah yang manis rasanya, ia merasa tubuhnya tidak begitu sakit-sakit dan tidak terlalu dingin lagi. Ia cepat kembali ke gua dan dibawanya keluar kitab dari dalam peti itu. Sin Hong mulai membalik-balik lembaran kitab yang berisi pelajaran Pak-kek Sin-ciang dan alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa dalam buku selain ilmu silat juga terdapat petunjuk-petunjuk untuk melatih lweekang yang tinggi.
Hlarapannya untuk sembuh timbul kembali. Ia pernah mendengar dari Liang Gi Tojin, juga dari Luliang Sam-lojin bahwa kalau orang sudah melatih diri dengan ilmu lweekang yang sempurna, tubuhnya akan dapat terlindung dari pada pukulan lweekang dan dapat memperkuat hawa di dalam tubuhnya. Maka pertama kali yang dilatihnya adalah lwee-kang dan cara-cara bersamadhi serta peraturan bernapas. Benar saja, beberapa pekan kemudian setelah melatih diri dengan tekun dan rajin, dapat menahan rasa dingin sehingga tidak sangat menderita, biarpun tidak dapat mengusir rasa dingin itu yang berarti bahwa racun atau luka yang diderita oleh bagian dalam dadanya ternyata masih belum lenyap. Berkat latihan lweekang yang tinggi, ia dapat bertahan terus dan racun pukulan Giok Seng Cu itu tidak dapat menjalar. Ia dapat hidup akan tetapi mukanya selalu pucat seperti tidak berdarah dan sekali-sekali ia mengalami serangan hawa dingin yang membuatnya menggigil kedinginan di dalam gua yang sudah diterangi oleh api unggun besar yang dibuatnya.
Demikianlah, terasing dari dunia ramai, Wan Sin Hong melatih diri dengan amat tekunnya. Di luar gua ia melatih ilmu silat Pak-kek Sin-ciang yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Akan tetapi setiap jurus mempunyai pecahan yang bermacam-macam dan tanpa disadari anak ini telah melatih bagian-bagian tertinggi daripada ilmu silat dari berbagai cabang persilatan. Memang, Pak Kek Siansu menciptakan ilmu silat ini berdasarkan pengalaman-pengalaman dan pengertiannya akan ilmu silat tinggi dari berbagai cabang. Ia mengumpulkan jurus-jurus terlihai dari cabang persilatan yang ada, kemudian menggabung jurus-jurus ini menjadi Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang. Setiap jurus ilmu silat ini, baru dapat dimainkan masak-masak oleh Sin Ho setelah dilatihnya setiap hari selama sebulan lebih,
Setiap hari di depan gua yang merupakan terowongan itu Sin Hong bermain silat. Gcrakannya perlahan agar setiap gerakan tidak salah, lambat-lambat dan diperhatikannya baik-baik. Akan tetapi kalau jurus ini sudah dihafal dan dikuasainya benar-benar ia bersilat dengan cepat dan orang yang melihatnya akan merasa kagum sekali karena tubuh anak kecil ini sukar dlikuti gerakannya dengan mata saking cepatnya!
Tanpa ia ketahui sendiri, ia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sekali dan berkat latihan lweekang dan khikang menurut petunjuk kitab itu, telah mempunyai sinkang di dalam tubuhnya, yakni tenaga sakti yang telah terkandung dalam jalan darahnya sehingga tenaga ini telah ada dalam setiap gerakannya tanpa ia mengerahkan lwekang. Akan tetapi tentu saja semua ini tidak diketahui oleh Sin Hong sendiri. Yang membuat anak ini kecewa adalah pedang pusaka yang telah dirampas oleh burung rajawali emas, karena justeru di dalam kitab pelajaran ilmu silat itu terdapat pelajaran ilmu pedang yang luar biasa dan sukar dipelajari. Biarpun jalan gerakan dan ilmu pedang itu didasarkan Ilmu Silat Pak kek-sin-ciang-hoat, namun akan lebih sempurna kalau ia berlatih mempergunakan pedang yang aselinya, yakni Pak kek Sin-kiam yang memang disesuaikan dengan ilmu pedang itu. Sebagai gantinya, ia mempergunakan sebatang ranting pohon dan berlatih dengan amat tekunnya.
********************
Kita tinggalkan dulu Wan Sin Hong yang tanpa diketahui oleh seorang pun berlatih ilmu silat tinggi di tempat tersembunyi itu, dan mari kita menengok keadaan Liok Kong Ji yang kini sudah berganti nama keturunan, yakni menjadi Lui Kong Ji untuk menyembunyikan keadaan sebenarnya.
Seperti telah kita ketahui, putera dari ketua Kwan-im-pai dengan amat licik dan curangnya, telah dapat mengangkat diri dan dipercaya oleh tokoh-tokoh Im-yang-bu-pai. Untuk menyelamatkan diri sendiri, Kong Ji tidak segan-segan untuk membabat putus sebelah lengan Lie Bu Tek dan menyiksa Sin Hong. Memang dalam diri Kong Ji terdapat watak yang luar biasa jahatnya, sungguh hal yang amat aneh apabila diingat akan watak ibunya yang gagah perkasa dan mulia. Kong Ji merupakan seorang anak yang luar biasa sekali, tidak saja hatinya kejam, curang dan jahat, akan tetapi ia memiliki kecerdikan yang luar biasa, serta bakat yang tinggi untuk menjadi seorang ahli silat.
Dengan kecerdikannya, Kong Ji dapat menyesuaikan diri dengan apa saja yang berada di sekitarnya. Ia pandai membawa diri sehingga kalau tadinya para tokoh Im-yang-bu-pai dan juga ketuanya masih menaruh curiga kepadanya, sekarang kecurigaan mereka lenyap dan berganti oleh kasih sayang besar. Karena Giok-Seng Cu sendiri tanpa ragu-ragu mengangkatnya menjadi murid sehingga mulai saat itu Kong Ji menjadi murid termuda dari Im-yang-bu-pai. Akan tetapi, biarpun paling muda, ilmu kepandaiannya meningkat jauh lebih cepat dari pada yang lain-lainnya, karena ia berkenan mendapat pimpinan dan latihan-latihan dari Giok Seng Cu sendiri! Kecerdikan dan bakat yang luar biasa membuat ia mudah saja memahami pelajaran ilmu silat partai ini dan melihat kemajuannya, tokoh-tokoh lm-yang-bu-pai makin sayang kepadanya.
Dalam waktu setahun ia telah menerima dasar-dasar ilmu silat yang diturunkan oleh Giok Seng Cu, kemudian ketika Giok Seng Cu pergi ke Luliang san, Kong Ji menerima latihan-latihan dari Siang-mo-kiam Lai Tek dan Thian-te Siang-tung Kwa Siang, tokoh ke dua dan ke tiga dari Im-yang-bu-pai. Dalam menerima pelajaran dari dua orang tokoh ini saja Kong Ji telah dapat mempergunakan kecerdikan serta kelicinannya sedemikian rupa sehingga dua orang tokoh itu seakan-akan berlomba menuangkan segala kepandaian mereka kepadanya. Caranya demikian. Pada suatu hari dengan sengaja ia memancing percakapan dengan Thian-te Siang-tung Kwa Siang dengan sebuah pertanyaan.
"Ji-suheng (Kakak Seperguruan dua), di antara saudara saudara di perkumpulan kita yang kepandaiannya paling tinggi di bawah Suhu hanya kau dan Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama). Akan tetapi mengapa Twa-suheng bersenjata pedang dan kau bersenjata sepasang tongkat? Siapakah yang terlebih lihai antara kau dan Twa-suheng?"
Kwa Siang tidak sadar bahwa dia sedang "dibakar", maka sambil tersenyum ia menjawab "Siauw-sute, kau ini aneh aneh saja. Biarpun Suheng lebih tua menjadi murid Suhu daripadaku, namun kami memiliki keahlian masing-masing. Pedangnya lihai, namun tongkatku yang sepasang ini pun jarang menemukan tandingan."
'Aku percaya, Ji-suheng, kepandaian dalam ilmu silat memang hebat sekali dan aku tidak percaya bahwa pedang Twa suheng akan dapat menangkan sepasang tongkatmu. Akan tetapi Twa-suheng berulang-ulang menyatakan bahwa raja sekalian senjata adalah pedang dan karenanya Twa-suheng memaksaku untuk lebih memperhatikan pelajaran ilmu pedang."
Kwa Siang menjadi penasaran dan mengerutkan kening. Biarpun terhadap suhengnya sendiri, merasa tidak senang kalau ilmu tongkatnya direndahkan dan dianggap kalah oleh ilmu pedang. "Siapa bilang? Aku berani menghadapi lawan berpedang yang manapun juga!" serunya tak senang.
Kong Ji cepat-cepat memegang lengan Kwa Siang. "Aku percaya sepenuhnya, Ji-suheng. Oleh karena itu, biarpun di depan Twa-suheng aku menyatakan kesanggupanku untuk memperhatikan nasihatnya, namun di dalam hatiku aku mengambil keputusan untuk mempelajari tongkat dengan mendalam. Dengan memiliki kepandaian ilmu tongkat seperti kau, kelak aku akan memperlihatkan kepada Twa-suheng bahwa ilmu tongkatmu tak boleh dipandang ringan!"
Girang hati Kwa Siang mendengar ini dan tanpa ragu-ragu lagi ia mulai mempelajari ilmu tongkat yang menjadi kebanggaannya itu kepada Kong Ji. Harus diketahui bahwa baik Kwa Siang maupun Lai Tek menjadi murid Giok Seng Cu setelah mereka tua dan telah memiliki kepandaian tinggi. Mereka hanya menerima tambahan ilmu silat dari Giok Seng Cu, sedangkan ilmu tongkat dari Kwa Siang itu pun hasil pelajaran yang dahulu, bukan yang didapatkannya dari Giok Seng Cu. Oleh karena itu, tentu saja Kong Ji menjadi untung dan menerima pelajaran-pelajaran tinggi dari Kwa Siang.
Demiklanlah, di hadapan Lai Tek, anak ini bicara lain dan ia pun berhasil membakar hati Lai Tek sehingga twa-suhengnya ini betul-betul mencurahkan tenaga untuk membimbingnya mempelajari ilmu pedangnya agar tidak kalah oleh Kwa Siang! Dengan siasat yang amat licin, Kong Ji dapat membuat dua orang tokoh itu seakan-akan bersaingan dan berlomba menurunkan kepandaian masing-masing kepadanya dan hal itu sudah tentu dia yang untung dan menjadi tukang tadah!
Kedatangan Giok Seng Cu dari Luliang-san disambut dengan gembira oleh anak buahnya. Akan tetapi tosu rambut panjang ini datang dalam keadaan kelihatan amat lelah dan wajahnya memperlihatkan tanda bahwa ia amat gelisah dan khawatir. Ia segera mengumpulkan murid-muridnya yang paling tua, yakni Siang mo-kiam Lai Tek, Thian-te Siang-tung Kwa-siang, dan dua orang murid lain yang kepandaiannya sudah tinggi. Juga Kong Ji tidak ketinggalan karena biarpun ia murid termuda, namun ia amat disayang dan Giok Seng Cu tahu bahwa kelak yang boleh diharapkan hanyalah Kong Ji ini. Semua orang duduk menghadap guru besar itu yang berkata dengan suara lambat.
"Mulai saat ini, kalian jangan lengah. Semenjak dari Luliang-san, aku telah dihejar-kejar oleh banyak sekali tokoh kang-ouw yang lihai. Mungkin sekali di antara mereka ada yang terus mengejar ke sini, biarpun aku masih bersangsi apakah mereka begitu tidak tahu malu untuk mengacau Im-yang-bu pai di sarang sendiri. Betapapun juga, kalian harus menjaga dan mengerahkan kawan-kawan untuk menyelidik. Rumah perkumpulan ini pun harus dijaga siang malam secara bergilir. Pendeknya, sekarang kita menghadapi bahaya dan sekali-kali jangan lengah."
"Suhu, mengapa mereka itu memusuhi Suhu? Mengapa mereka mengejar-ngejar terus secara tak tahu malu" tanya Kwe Siang. Lai Tek juga memandang dengan mata mengandung pertanyaan. Akan tetapi sebelum Giok Seng Cu menjawab, Kong Ji mendahuluinya.
"Tentu untuk merampas Pak-kek Sin-kiam, apa lagi?"
Semua orang terkejut, termasuk Giok Seng Cu yang menoleh kepada murid cilik yang berdiri di sebelah kirinya ini. Tangannya terulur dan tahu-tahu pergelangan tangan Kong Ji sudah dipegang erat-erat. "Bagaimana kau bisa menduga begitu?” tanyanya keras dengan mata memandang tajam.
Kong Ji tidak takut, bahkan tersenyum. “Suhu, apa sih sukarnya menebak teka-teki ini? Teecu sudah mendengar bahwa Suhu pergi ke Luliang-san untuk mencari pedang dan kitab dan teecu sudah tahu pula bahwa pedang itu adalah Pak-kek Sin-kiam sedangkan kitab itu adalah kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu. Kemudian Suhu pulang dengan pakaian kusut dan tubuh lelah serta membayangkan kegelisahan, tanda bahwa Suhu menghadapi sesuatu yang memusingkan. Akan tetapi suara Suhu itu tenang dan sinar mata Suhu membayangkan kegembiraan. Mudah bagi teecu untuk menduga bahwa Suhu tentu telah berhasil mendapatkan dua benda itu. Hanya teecu masih belum mengerti mengapa Suhu kelihatan gelisah. Kemudian Suhu menyatakan bahwa orang-orang kang-ouw mengejar-ngejar Suhu, maka apa lagi kehendak mereka itu kalau bukan mengejar Suhu untuk merampas sesuatu yang berharga? Karena inilah tee-cu menduga bahwa Suhu tentu telah berhasil dan mereka itu mengejar untuk merampas pedang Pak-kek Sin-kiam!"
Giok Seng Cu menjadi kagum luar biasa. Ia melirik ke pakaiannya, akan tetapi dari luar pedang pusaka yang disembunyikan di balik baju itu tidak kelihatan. "Di antara kedua benda berharga mengapa kau menyangka bahwa pedang pusaka yang ku dapatkan?" tanyanya curiga.
"Teecu menduga sembarangan Suhu. Karena bagi teecu, apa sih artinya kitab ilmu silat bagi Suhu yang sudah berkepandaian tinggi? Tentu bagi Suhu pedang itu yang lebih penting, maka teecu menduga bahwa Suhu tentu telah mengambil pedangnya."
Giok Seng Cu melepaskan cekalannya tertawa girang dan memandang kepada murid-muridnya. "Di antara kita, tak seorang pun yang mampu menandingi kecerdikan Kong Ji! Kau benar sekali Kong Ji, dan aku girang melihat kecerdikanmu. Akan tetapi bagaimana dengan ilmu silatmu? Apakah selama aku pergi, kedua Suhengmu telah melatihmu baik-baik?”
Kwa Siang ingin memamerkan hasil latihannya kepada sute yang disayang itu, maka ia berkata. "Sute, mengapa kau tidak memperlihatkan ilmu tongkat yang telah kau pelajari kepada Suhu?"
"Haruskah teecu memperlihatkan sedikit kepandaian yang teecu terima dari Jiwi-suheng?" tanya Kong J i kepada gurunya. Anak ini sengaja berkata "sedikit kepandaian" agar suhunya tidak puas dan menurunkan ilmu silatnya yang lihai, terutama Tin san-kang!
Giok Seng Cu mengangguk-anggukkan kepalanya yang rambutnya riap-riapan itu. "Coba kau perlihatkan kepandaianmu."
Kwa Siang melemparkan sepasang tongkat hitam putih ke arah Kong Ji yang menerimanya dengan gaya indah. Kemudian anak ini bersilat di ruangan itu, bersilat dengan cepat dan baik sekali sesuai dengan petunjuk dan ajaran Kwa Siang. Thian-te Siang-tung ini melirik-lirik ke arah Lai Tek sambil tersenyum-senyum bangga. Sebagai penerima ilmu silatnya ternyata sute yang kecil itu tidak mengecewakannya. Biarlah Lai Tek melihat bahwa ilmu tongkat yang ia turunkan kepada Kong Ji tak boleh dipandang rendah.
Giok Seng Cu mengangguk-angguk. "Hmm, Kwa Siang baik sekali sehingga mau menurunkan kepandaian tunggalnya kepadamu, Kong Ji. Akan tetapi, apa yang kau pelajari dan Lai Tek?" tanyanya setelah anak itu berhenti bersilat dan mengembalikan sepasang tongkat itu kepada Kwa Siang.
"Teecu juga mempelajan sedikit ilmu pedang dari Twa suheng."
"Kau mainkan Sute, agar Suhu dapat memeriksa dan menilainya." Lai Tek mendesak sambil meloloskan pedangnya untuk dipergunakan oleh sutenya. Akan tetapi Kong Ji pura-pura tidak melihat twa-suheng ini menyodorkan pedang. Ia bahkan menghampiri Giok Seng Cu dan berkata, "Bolehkah teecu memperlihatkan ilmu pedang dan Twa-suheng dengan mempergunakan Pak-kek Sin-kiam, Suhu?"
Tiba-tiba Giok Seng Cu meloncat dan menangkap leher baju Kong Ji dan diangkatnya tubuh anak itu ke atas. Hampir saja ia membanting bocah ini dan semua sudah menjadi pucat. Kwa Siang dan Lai Tek cukup mengenaI watak suhu mereka, yakni kalau sudah marah, belum puas kalau belum membunuh orang. Akan tetapi aneh, anak itu diturunkan lagi dan Giok Seng Cu duduk sambil menarik napas panjang.
"Kong Ji jangan sekali-kali kau menyebut-nyebut Pak-kek Sin-kiam lagi. Mengerti?"
Kong Ji yang sudah pucat itu mengangguk-angguk dan berlutut di depan suhunya. Kemudian ia menerima pedang dari Lai Tek dan bersilat pedang, ditonton oleh Giok Seng Cu.
"Hm, kau sudah mendapat kemajuan lumayan. Kau harus lebih banyak berlatih lweekang agar siap sedia menerima latihan-latihan langsung dari aku sendiri."
Kong Ji menjadi girang sekali dan buru-buru berlutut menghaturkan terima kasih kepada gurunya. Semenjak hari itu, benar saja rumah perkumpulan Im-yang-bu-pai yang amat besar itu dijaga rapi dan kuat oleh para anggauta Im-yang-bu-pai. Sedangkan Giok Seng Cu selalu mengeram diri di dalam kamarnya dan pedang Pak-kek Sin kiam tak pernah terpisah dari tubuhnya. Yang dipercaya hanya Kong Ji seorang. Hanya murid termuda inilah yang mengawaninya tidur di kamarnya.
"Kong Ji, aku sewaktu-waktu perlu beristirahat dan tidur. Kalau aku tidur pulas, kau berjaga dan cepat membangunkan aku kalau-kalau ada musuh datang," katanya.
Oleh karena itu, semenjak hari itu Kong Ji tidur di dalam kamar itu bersama Giok Seng Cu. Bahkan guru besar ini sudah demikian percaya sehingga ia pernah memperlihatkan Pak kek Sin-kiam yang membuat anak itu bergidik ketika melihat cahaya terang keluar dari mata pedang itu. Biarpun Kong Ji berwatak jahat dan curang, namun ia tak dapat melupakan pembunuhan kepada ayah bundanya dilakukan oleh orang-orang Im-yang-bu-pai. Dengan amat cerdik, ketika bercakap-cakap dengan Lai Tek dan Kwa Siang. Ia memancing percakapan tentang perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan menyinggung-nyinggung perkumpulan Kwan-im-pai. Akhirnya ia berhasil memancing dan mendapat keterangan bahwa yang membinasakan ayah bundanya adalah seorang tokoh Im-yang-bu-pai yang berjuluk Sin chio (Tombak Sakti), Thio Seng juga murid dari Giok Seng Cu dan dalam urutan murid-murid Giok Seng Cu, ia terhitung murid ke lima dan kepandaiannya tidak kalah jauh oleh Kwa Siang atau Lai Tek.
Semenjak mendapat keterangan bahwa suheng yang inilah pembunuh ayah bundanya, diam-diam Kong Ji mencari ketika untuk membalas dendam. Akan tetapi tentu saja amat sukar baginya, karena selain ia kalah jauh dalam hal kepandaian silat, juga tak mungkin ia membunuh suheng sendiri di Im-yang-bu-pai. Kini setelah suhunya pulang dan ia mendapat kepercayaan tidur di dalam kamar suhunya, diam-diam otaknya yang penuh akal itu bekerja. Pada siang hari diam-diam ia menemui Sin-chin Thio Seng dan mengajaknya bercakap-cakap.
"Ngo-suheng (Kakak Seperguruan Lima), setiap malam aku merasa ngeri tidur di kamar Suhu," katanya perlahan setelah mereka bercakap-cakap agak lama dan suasana sudah hangat dan ramah-tamah.
Thio Seng memandangnya heran. "Eh mengapa, Sute? Apakah Suhu suka mengigau? Ataukah dengkurnya terlalu keras?"
Kong Ji tersenyum, menggelengkan kepala. "Bukan demikian, yang membikin aku merasa ngeri adalah... Pak-kek Sin-kiam itulah..." Anak ini sengaja memperlihatkan sikap ketakutan.
Sin-chio Thio Seng tertarik sekali. Kalau tidak dimulai oleh Kong Ji bicara tentang pedang pusaka itu saja ia tidak akan berani, mengingat akan larangan suhunya. "Kenapa sih?” Ia mendesak.
"Kalau diceritakan kepadamu kau tentu tidak percaya, Suheng. Pedang itu di waktu tengah malam buta, bisa keluar dari sarungnya dan beterbangan seperti naga bernyala-nyala di dalam kamar..." Kembali Kong Ji bergidik dan mukanya menjadi pucat. Inilah kelihaian anak itu, setelah mempelajari lweekang ia dapat menahan jalan darah yang mengalir naik ke mukanya sehingga wajahnya menjadi pucat. Tentu saja kepandaian ini dimiliki pula oleh Thio Seng yang sudah lihai namun pada saat itu ia mengira bahwa sutenya benar-benar merasa ngeri dan pucat.
"Aah, mana ada kejadian seperti itu? Kau terpengaruh oleh dongeng, Sute."
"Aku berani bersumpah, Ngo-suheng. benar-benar hal itu terjadi, kalau kau tidak percaya, kau boleh membuktikan sendiri.”
Thio Seng makin tertarik akan tetapi tentu saja ia tidak berani membuktikan, karena tidak ada jalan untuk dia membuktikan peristiwa itu. "Tak mungkin, Suhu tentu akan marah besar kalau tengah malam buta aku datang ke kamarnya," katanya menyesal. Sebenarnya ia pun merasa iri hati melihat suhunya demikian sayang dan percaya kepada Kong Ji.
"Mengapa harus masuk ke kamar? Aku mau menolongmu, Ngo-suheng. kalau kau benar-benar hendak membuktikan omonganku tadi. Malam ini Suhu tentu akan tidur nyenyak, karena malam tadi dia tidak tidur sama sekali. Nah, lewat tengah malam kau boleh datang dan berdiri di luar jendela kamar. Aku akan membuka daun jendela kalau pedang itu sudah beterbangaan di dalam kamar nanti kau dapat melihat sendiri."
"Bagaimana kalau Suhu mengetahui aku berada di sana?"
"Tak mungkin. Suhu setelah percaya bahwa aku berada dan menjaga di sampingnya, kalau tidur pulas sekali. Dan pula, apa salahnya kalau kau hanya menyaksikan keanehan itu? Mungkin Suhu sendiri kalau bangun dan melihat pedang itu beterbangan, takkan memperhatikan hal yang lain lagi."
Karena amat tertarik, Thio Seng menyanggupi dan berjanji akan datang dan berdiri di luar jendela menjelang tengah malam hari itu. Kong Ji girang bukan main di dalam hatinya dan diam-diam mencaci maki suhengnya ini, "Jahanam keparat, sekarang tibalah saatnya ku membalas dendam atas kematian Ayah Bundaku!"
Malam hari itu, ketika suhunya hendak tidur ia berbisik, "Suhu, malam ini harap Suhu jangan tidur." Giok Seng Cu terkejut sekali. “Eh, mengapa? Apa yang terjadi?"
Kong Ji menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya. "Mohon ampun kalau tee-cu kali ini salah menduga, Suhu. Akan tetapi teecu mempunyai dugaan bahwa seorang murid Suhu sedang merencanakan untuk mencuri Pak-kek Sin-kiam Selain ini..."
“Gila! Siapa dia? Hayo lekas ceritakan!"
"Harap Suhu bersabar. Teecu hanya menduga saja dan kalau tidak ada buktinya tidak enaklah kalau Suhu terburu nafsu memanggilnya. Ada seorang murid yang selalu bertanya tentang Pak-kek Sin-kiam, bahkan menanyakan apakah malam hari ini Suhu akan tidur dan pada saat apa Suhu biasanya tidur pulas. Ia bertanya pula di mana Suhu menyimpan pedang itu, pendeknya sikapnya amat mencurigakan. Oleh karena itu, harap Suhu jangan tidur dan kita lihat bersama siapa orangnya yang akan muncul."
Giok Seng Cu marah sekali. "Baik aku akan pura-pura tidur mendengkur dan dia yang berani datang akan kupenggal lehernya dengan pedang ini!" Kakek itu naik ke pembaringan dan pedang Pak-kek, Sin-kiam telah dilolos dari sarungnya dipegang olehnya.
Kong Ji menunggu dengan hati berdebar. Bagaimana kalau Thio Seng tidak berani datang? Menjelang tengah malan Giok Seng Cu memperkeras dengkurnya dan tiba-tiba Kong ji mendengar tindakan kaki yang amat ringan di luar jendela kamar itu. Ia berdebar girang, diam-diam mendekati suhunya dan menowel lengannya. Suhunya masih mendengkur, akan tetapi membuka mata dan berkedip kepadanya. Kong Ji berjalan ke jendela dan membuka daun jendela itu. Di luar berdiri seorang laki-laki dan bukan lain orang itu adalah Thio Seng.
Begitu jendela dibuka dan melihat bahwa yang datang adalah muridnya ke lima, yakni Sin-chio Thio Seng, Giok Seng Cu tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Sambil berseru keras ia melompat dan tubuhnya melayang melalui jendela. Memang benar pada saat itu Thio Seng melihat pedang terbang Pedang Pak-kek Sin kiam yang sudah terhunus dari sarungnya, mengeluarkan cahaya terang dan kini pedang yang berada di tangan Giok Seng Cu itu seakan-akan terbang keluar jendela, dan dalam sekelap mata saja menggelindinglah kepala Thio Seng yang sudah terbabat putus lehernya oleh Pak-kek Sin-kiam...!