Pedang Penakluk Iblis Jilid 06

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar budiman episode pedang Penakluk Iblis Jilid 06
Sonny Ogawa

Pedang Penakluk Iblis Jilid 06

ADA saat itu tiba-tiba terdengar seruan, "Giok Seng Cu, serahkan pedang Pak-kek Sin kiam itu kepada kami!" seruan ini disusul oleh melayangnya lima bayangan orang yang gesit sekali dari atas genteng.

Giok Seng Cu menggerakkan pedangnya. Sinar emas berkelebat di antara cahaya penerangan yang keluar dari jendela kamar. Terdengar suara "Trang! Trang! Trang!" dan tiga batang golok yang dipegang oleh para penyerang itu telah terbabat menjadi dua potong! Tiga orang ini terkejut sekali dan cepat melompat ke atas genteng, akan tetapi yang dua orang lagi tak sempat melarikan diri karena kembali Pak-kek Sin kiam telah digerakkan dan kini yang terbabat bukan senjata mereka, melainkan tubuh mereka! Seorang terbabat putus pinggangnya dan yang ke dua terbelah dadanya. Demikian hebatnya Pak-kek Sin-kiam pedang pusaka itu.

Pada saat itu, di atas genteng terdengar sayap burung menggelepar dan bayangan burung yang amat besar meluncur lewat. Melihat ini tiba-tiba Giok Seng Cu memegang tangan Kong Ji, “Lekas siapkan diri, kita pergi malam ini juga!"

Dengan cepat Giok Seng Cu mengumpulkan anak buahnya yang sudah datang ke tempat itu. "Thio Seng hendak berkhianat dan dua mayat ini adalah mayat musuh yang hendak merampas pedang. Aku akan pergi bersama Kong Ji. Kalau ada orang-orang kang-ouw datang, jangan mencari permusuhan dengan mereka. Bilang saja aku pergi membawa pedang Pak-kek Sin-kiam, kalau tidak percaya mereka boleh menggeledah. Akan tetapi sekali lagi, jangan menyerang mereka, apalagi kalau ada bocah gundul membawa ular dan burung rajawali, jangan sekali-kali mencari permusuhan dengan mereka. Nah, urus mayat-mayat ini dan jaga perkumpulan baik-baik. Untuk sentara, Lai Tek boleh memimpin saudara-saudaramu."

Setelah berkata demikian, Giok Seng Cu lalu menyambar tubuh Kong Ji yang sudah membawa buntalan pakaian, dan lenyap di dalam gelap malam. Lai Tek, Kwa Siang dan yang lain-lain tahu bahwa tentu telah terjadi penyerangan dari luar, akan tetapi biarpun mereka akui akan kelihaian para penyerang yang dapat menerobos masuk tanpa diketahui oleh penjaga, sudah terbukti suhunya menang. Mengapa sekarang suhunya melarikan diri seperti orang ketakutan? Mereka tak menemukan jawaban, maka setelah pagi tiba, mereka diam-diam mengurus jenazah Thio Seng dan dua orang yang ternyata adalah orang-orang muda dengan tubuh gagah.

********************

"Suhu dengan mudah merobohkan lima orang lawan. mengapa takut menghadapi seekor burung?" tanya Kong Ji pada keesokan harinya ketika suhunya mambawanya berlari jauh sekali meninggalkan kota Lam-si di kaki Bukit Kim-san. Setelah setengah malam Giok Seng Cu berlari cepat sambil menggendong Kong Ji.

"Anak bodoh, aku tidak takut menghadapi tokoh kang-ouw dari manapun juga, akan tetapi kau tak tahu. Burung kim-tiauw yang terbang di atas rumah kita malam tadi adalah milik dari Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun, bocah gundul yang seperti iblis!”

"Ban-beng Sin tong? Bocah sakti macam apakah dia, Suhu?"

"Dia benar-benar lihai, memelihara ular-ular berbisa dan burung kim-tiauw. Akan tetapi aku tidak takut menghadapinya, yang harus ditakuti adalah ayah bundanya, kabarnya kepandaian mereka luar biasa tingginya."

"Suhu, kepandaian Suhu sudah menjulang setinggi langit. Dengan Tin-san-kang dan pedang pusaka itu di tangan, siapakah kiranya yang dapat menandingi Suhu ?"

Giok Seng Cu tertawa sambil melepaskan lelah, duduk di bawah pohon besar, "Kong Ji, jangan kau bermimpi di tengah hari! Kepandaian manusia tidak ada batasnya dan biarpun Gunung Thai-san amat tinggi, masih saja ada awan dan langit di atasnya, belum bicara tentang bulan, matahari dan bintang-bintang! Memang belum tentu aku kalah oleh iblis tua See-thian Tok-ong ayah dari Ban-beng Sin-tong, akan tetapi aku ngeri mendengar namanya. Dugaanmu dahulu bahwa aku lebih mementingkan pedang Pak-kek Sin-kiam tidak betul. Kalau saja aku bisa mendapatkan kitab yang berisi ilmu silat dari Pak Kek Siansu dan sudah mempelajari isinya aku tak usah berlari pergi dari ancaman siapapun juga" Kakek ini lalu menceritakan tentang kitab peninggalan Pak Kek Siansu seperti yang pernah ia dengar dari mendiang gurunya, yakni Pak Hong Siansu.

"Kepandaian Pak Kek Siansu yang masih terhitung Supekku (Uwa Guruku) sendiri itu dahulu itu terhitung di tingkat paling atas. Oleh karena itu, siapa yang dapat menemukan kitabnya dan mewarisi ilmu silatnya, tentu akan menjagoi dunia. Melihat betapa putera See-thian Tok-ong jauh-jauh dari Tibet datang mencari kitab itu, dapat dibayangkan betapa hebatnya kitab itu dan ajarannya. Tentu lebih tinggi dan kepandaian See-thian Tok-ong sendiri. Sayang aku tidak dapat menemukan kitab itu."

Kong Ji kagum bukan main. Tadinya ia mengira bahwa suhunya adalah orang yang paling lihai, tidak tahunya masih ada See-thian Tok-ong dan anak isterinya, bahkan kini masih ada yang lebih hebat lagi, yakni kitab pusaka peninggalan Pak Kek Siansu. Mendengar adanya sekian banyak orang-orang lihai di dunia Kong Ji menjadi mengilar dan nafsunya untuk menjadi murid Giok Seng Cu agak mendingin. Ia ingin menjadi orang yang menjagoi seluruh dunia kang-ouw, akan tetapi cita-citanya takkan tercapai kalau ia hanya terima menjadi murid kakek ini, pikirnya.

"Suhu apakah Pak Kek Siansu tidak meninggalkan murid-muridnya?" tanyanya hati-hati agar suara hatinya tidak ddengar oleh suhunya.

"Ada, Luliang Sam-lojin adalah muridnya, akan tetapi tiga orang tua dari Luliang-san itu biarpun lihai belum mewarisi Ilmu Silat Pak-kek Sin ciang seluruhnya."

"Kalau begitu, di dunia tidak ada yang dapat mainkan Pak-kek Sin-ciang?"

"Ada, yakni murid termuda dari Pak Kek Siansu bernama Go Ciang Le dan disebut Hwa I Enghiong. Dia pun baru mempelajari setengahnya lebih namun ia sudah bisa menjagoi dunia kang-ouw sampai bertahun-tahun."

"Apakah dia lebih lihai dan See-thian Tok-ong?"

"Mungkin, dahulupun ilmu silatnya sudah hebat sekali. Hayo kita lanjutkan perjalanan." kata Giok Seng Cu dan kini tidak menggendong Kong Ji lagi karena merasa bahwa ia sudah jauh meninggalkan orang-orang yang mengejarnya.

Kong Ji makin kagum. Tak disangkanya bahwa di atas See-thian Tok-ong masih ada Go Ciang Le yang dipuji-puji gurunya, padahal Go Ciang Le mempelajari setengahnya dari Ilmu Pak-kek Sin-ciang! Alangkah beruntungnya kalau dia bisa mempelajari ilmu silat itu.

Sepekan kemudian mereka tiba di sebuah kota kecil dan Giok Seng Cu mengajak Kong Ji bermalam dalam sebuah hotel. Mereka lelah sekali karena melakukan perjalanan jauh siang malam jarang beristirahat. Dalam perjalanan ini, Giok Seng Cu selalu berlaku hati-hati juga ketika bermalam di hotel. Ia tidur bergantian dengan muridnya. Menjelang tengah malam, telinga Kong Ji yang sudah tajam pendengarannya, tiba-tiba menangkap suara tindakan kaki di atas genteng. Ia cepat menggoyang-goyang tubuh suhunya, akan tetapi ternyata Giok Seng Cu juga sudah bangun dan menaruh jari tangan di depan mulut.

"Sst, sejak tadi aku sudah mendengar," bisik kakek ini. Kong Ji menjadi merah mukanya. Dia baru saja mendengar akan tetapi suhunya sudah sejak tadi tahu bahwa ada orang datang di atas genteng hotel.

Mereka diam tak bergerak, menahan napas dan memasang telinga. Di atas genteng terdengar gerakan kaki tiga orang dan gerakan itu amat lincah dan ringan tanda bahwa orang-orang itu memiliki kepandaian tinggi sekali. Yang terdengar hanya gerakan antara sepatu dan genteng kalau orang-orang itu tidak bersepatu, tentu takkan mengeluarkan suara sedikit pun juga. Terdengar bisik-bisik di atas genteng. Kong Ji tak dapat mendengar jelas, akan tapi Giok Seng Cu segera tertawa bergelak,

"Tua bangka tua bangka dari Bu-tong, Go-bi dan Teng-san, kalian benar-benar tak tahu malu. Malam-malam seperti maling datang di sini mau apakah?" bentaknya sambil melompat bangun dengan Pak-kek Sin-kiam di tangan.

Tadinya Giok Seng Cu bersangsi dan amat gelisah karena mengira bahwa yang datang adalah See-thian Tok-ong, akan tetapi setelah mendengar bisik-bisik mereka dan tahu bahwa yang datang adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, Kian Hok Taisu ketua Go-bi dan Pang Soan Tojin ketua Teng-san-pai, ia memandang rendah dan berani menegur mereka. Setelah mengeluarkan kata-kata itu, Giok Seng Cu melompat keluar dari kamarnya dan terus berlari keluar hotel. Kong ji mengikutinya dari belakang.

Di luar hotel, di bawah penerangan lampu di depan pintu pekarangan hotel berdiri tiga orang kakek. Seorang tojin tinggi kurus berjenggot panjang, yakni Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, seorang hwesio tinggi besar ketua Go-bi-pai yang bernama Kian Hok Taisu dan orang ke tiga adalah Pang Soan Tojin, tosu jenggot pendek bertubuh gemuk, ketua Teng-san-pai.

Kian Hok Taisu ketua Go-bi-pai menjura kepada Giok Seng Cu. "Toyu (sahabat), kami datang hanya untuk bertanya secara terang-terang kepadamu tentang kitab Pak-kek Sin ciang-pit-kip."

Giok Seng Cu mengeluarkan senyuman menyeringai. "Siapa yang tahu tentang kitab itu? Kalau kalian datang hendak merampas pedang, boleh kalian coba. Ini dia pedangnya sudah kupegang!"

Mendengar tantangan ini, tiga ciangbunjin (ketua partai besar) menjadi merah mukanya. "Giok Seng Cu, kau sombong," kata Pang Soan Tojin. "Kami tidak begitu tertarik oleh pedang, di tempat kami sendiri sudah banyak. Yang membuat kami datang ini adalah untuk bertanya apakah benar-benar kau tidak mendapatkan kitab itu ketika naik ke puncak Luliang-san?"

"Aku tidak mendapatkan kitab itu. Nah, kau percaya atau tidak bukan urusanku, akan tetapi aku tidak sudi kalian minta aku bersumpah. Habis kalian mau apa?" Giok Seng Cu tetap bersikap menantang.

“Nanti dulu, Toyu," kata Kian Hok Taisu yang lebih sabar, "Kami sama sekali tidak bermaksud bermusuhan denganmu. Kalau betul kau tidak mendapatkan kitab itu, marilah kita berempat membawa pedangmu itu kembali ke Luliang-san. Hanya dengan pedang itu kiranya kita akan dapat menemukan kitab peninggalan Pak Kek Siansu Locianpwe."

Giok Seng Cu mengerutkan kening. "Omongan apa ini? Mengapa harus membawa pedang ini untuk mendapatkan kitab itu?"

Kian Hok Taisu menarik napas panjang. "Kabar tentang pedang dan kitab amat bersimpang siur. Boleh jadi sekarang apa yang kami dengar berbeda dengan apa yang kau dengar, Giok Seng Cu. Akan tetapi kami mendengar bahwa pedang dan kitab itu tak pernah berpisah. Sekarang pedang sudah di tanganmu, untuk mencari kitab, sebaiknya kau bersama kami membawa pedang itu naik kembali ke puncak Luliang-san."

Giok Seng Cu berpikir sejenak, kemudian berkata, "Pedang sudah di tanganku, yang berhak mencari dan mendapatkan kitab hanya aku seorang. Andaikata kita berempat naik ke sana kemudian kitab itu kita dapatkan, siapakah yang akan berhak memiliki kitab itu?"

Tiga orang kakek itu saling pandang dengan tersenyum, lalu dengan suara tegas Kian Hok Taisu berkata. "Tentu saja akan kita bakar musnah sesuai dengan rencana tokoh-tokoh kang-ouw dan ketua-ketua partai persilatan besar."

'Gila...!" Giok Seng Cu membentak marah. "Apakah kalian sudah gila? Semua orang mencari dan memperebutkan kitab itu dan kalian hendak membakarnya kalau dapat menemukannya?”

Kian Hok Taisu mengangguk. "Pak Kek Siansu adalah seorang tokoh besar yang budiman dan seorang guru besar yang patut dihormati dan patut dijadikan locianpwe yang nomor satu di dunia. Ilmunya yang terdapat dalam kitab itu amat tinggi dan memang tepat kalau dimiliki oleh seorang gagah seperti Pak Kek Siansu. Akan tetapi siapa berani tanggung kalau ilmu itu terjatuh ke dalam tangan orang yang tidak cocok? Bagaimana kalau kepandaian itu terjatuh ke dalam tangan yang berwatak jahat? Bukankah itu hanya akan menimbulkan kekacauan dan akhirnya akan memusingkan kami semua?"

"Gila...! Aku tidak setuju. Kitab kelak pasti akan terjatuh ke dalam tanganku, seperti halnya pedang ini,” kata Giok Seng Cu.

Diantara tiga orang kakek itu, paling berangasan wataknya adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai. Mendengar ini lalu mengeluarkan suara di hidung berkata, "Lebih celaka lagi kalau jatuh ke dalam tanganmu." Biarpun kata-kata ini sangat singkat saja, namun mendengar ucapan yang tadi dikatakan oleh Kian Hok Taisu, sama halnya dengan memaki Giok Seng Cu sebagai seorang jahat yang berbahaya!

Naik darah Giok Seng Cu mendengar itu. “Ini pedangku, dan akulah yang berhak membawanya ke mana saja. Aku tidak mau ikut kalian ke Luliang-san habis kau mau apa?"

Kian Hok Taisu melangkah maju "Kalau begitu, berlakulah baik kepada kami, memandang persahabatan lama. Toyu, Berilah kami pinjam Pak-kek Sin-kiam itu untuk sementara waktu, kami bersumpah bahwa pedang ini pasti akan kami kembalikan apabila kami sudah berhasil membasmi kitab peninggalan Pak Kek Siansu."

"Ha-ha-ha, enak saja kau bicara, Kian Hok Taisu. Mulut manusia bisa didengar, akan tetapi siapakah yang bisa mendengar suara hati manusia? Sedangkan biasanya, suara mulut dan hati selalu bertentangan! Tidak, pedang ini adalah milikku, siapapun juga tidak boleh pinjam." Sambil berkata demikian Giok Seng Cu menyarungkan pedang itu kembali di balik bajunya yang lebar.

"Giok Seng Cu, kau sendiri merampas pedang itu dari tangan Ban-beng Sin-tong secara curang" teriak Pang Soan Tojin.

Sinar mata Giok Seng Cu penuh ancaman dan sindiran. "Habis kau mau apa" Kalau kau mampu merampas dari tanganku, baik dengan jalan curang atau tidak, kau boleh coba-coba"

"Kau menantang?" Sambil berkata demikian, Pang Soan Tojin lalu bergerak memukul, ke arah dada Giok Seng Cu.

Giok Seng Cu tidak mengelak, sebaliknya lalu menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Dua lengan yang kuat bertemu dan Pang Soan Tojin terhuyung-huyung tiga tindak ke belakang.

"Ha, ha, tidak berapa berat tenagamu!" Giok Seng Cu mengejek dan cepat seperti kilat ia mengirim pukulan dengan tubuh hampir berjongkok. Inilah ilmu pukulan dengan tenaga Tin-san-kang yang hebat!

Sebagai ahli-ahli silat tinggi, Bu Kek Siansu dan Kian Hok Taisu maklum akan hebatnya serangan ini, maka keduanya sambil berseru keras maju menangkis untuk menolong Pang Soan Tojin.

"Duk...!" Sepasang lengan Giok Seng Cu yang dipukulkan tertangkis oleh ketua Bu-tong dan ketua Go-bi dan akibatnya Bu Kek Siansu dan Kian Hok Taisu terjengkang hampir roboh. Baiknya mereka telah memiliki tenaga lweekang yang tinggi, kalau tidak mereka tentu akan menderita luka atau tulang lengan mereka akan sakit dan dingin sekali, maka cepat-cepat mereka menggunakan tangan kiri untuk mengurut pangkal lengan ini membereskan jalan darah masing-masing.

"Lihai sekali..." kata Pang Soan Tojin pucat. Baru sekarang tiga orang tokoh ini mengenal Tin-san-kang dan tahu bahwa kepandaian Giok Seng Cu masih lebih tiggi daripada mereka. Maka ketiganya cepat mengeluarkan senjata masing-masing. Pang Soan Tojin mengeluarkan sebuah pian baja, Bu Kek Siansu mengeluarkan sebatang pedang yang dipegang tangan kiri sedangkan Kian Hok Taisu mengeluarkan sepasang senjata kaitan.

"Ha. ha, ha! Hendak mengadu senjata? Bagus. majulah!" Giok Seng Cu menantang tanpa mengeluarkan senjata.

Tiga orang ketua partai besar itu maju menubruk dan menggerakkan senjata mereka yang lihai. Tiba-tiba berkelebat sinar keemasan dan terdengar suara keras. Tahu-tahu sebuah pian baja dan sebuah senjata kaitan terbabat putus sedangkan Bu Kek Siansu sendiri kalau tidak cepat-cepat menarik kembali pedangnya, tentu akan terbabat putus pula pedangnya oleh pedang Pak-kek Sin-kiam yang dengan cepat sekali telah dikeluarkan oleh Giok Seng Cu dan digerakkan sekaligus membabat senjata- senjata lawan!

Bukan main kagetnya tiga orang kakek itu. Dalam ilmu silat, mungkin mereka tidak kalah jauh oleh Giok Seng Cu dan dengan melakukan pengeroyokan mereka tentu akan menang. Akan tetapi tanpa senjata, amat berbahaya menghadapi ketua Im-yang-bu-pai yang memiliki tenaga Tin-san-kang yang ganas itu, sedangkan dengan senjata juga payah menghadapi pedang Pak-kek Sin kiam yang ampuh sekali. Mereka berseru dan sekali berkelebat tiga orang kakek itu melarikan diri, lenyap ditelan gelap malam.

Giok Seng Cu tertawa berkakakan lalu membetot dengan tangan Kong Ji dan pada saat itu juga ia kabur pergi meninggalkan hotel itu. Ia tidak takut akan datangnya lawan-lawannya, hanya ia merasa khawatir kalau-kalau tersusul oleh Ban-beng Sin-tong dan ular-ularnya apalagi kalau ayah bunda anak iblis itu datang!

Suhu, Tin-san-kang dan Pak-kek Sin-kiam hebat sekali..." Kong Ji meemuji suhunya setelah mereka pergi jauh.

Giok Seng Cu menarik tangan Kong Ji dan berkata. “Muridku, kau sekarang menghadapi tugas berat. Kau tidak boleh ikut dengan aku, karena ada pekerjaan yang harus kau lakukan. Kau dengar tadi bahwa para tokoh kang-ouw dengan mati-matian mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Kalau mereka merampas dan memilikinya saja masih tidak apa, aku dapat mencoba merampasnya kembali. Akan tetapi celakalah kalau sampai mereka membakarnya. Karena itu, kau harus kembali ke Lam-si. Kau membawa suratku dan mulai saat ini kaulah yang mewakili aku memimpin kawan-kawan lm-yang-bu-pai."

"Akan tetapi, Suhu, kepandaianku masih amat rendah... "

"Tidak apa-apa, bukankah ada aku di belakangmu? Selama aku masih hidup, siapa yang berani membantahmu?"

"Biarpun demikian, sedikitnya Suhu harus menurunkan Tin-san-kang ke teecu agar teecu tidak malu untuk mewakili Suhu."

Giok Seng Cu tersenyum. "Bocah tolol. Kau kira gampang saja memiliki Tin-san-kang? Kau harus melatih diri sampai bertahun-tahun. itu pun kalau kuat."

"Tidak apa, Suhu. Biarlah teecu mempelajari kauw-koat (teori) saja dulu, perlahan-lahan teecu akan melatih diri."

"Baiklah, baiklah. Sebentar kau akan kuajar kauw-koatnya. Sekarang dengarlah pesanku dan perhatikan baik-baik. Orang-orang kangouw berusaha mendapatkan kitab itu. Aku tidak dapat keluar karena See-thian Tok-ong tentu mencariku untuk merampas pedang ini. Maka aku akan bertapa di Lembah Maut.

"Lembah Maut? Di manakah itu, Suhu?"

"Lembah Maut yang kumaksudkan berada di lembah Sungai Wei-ho di barat kota Sian, di kaki Gunung Cin-leng-san. Adapun kau kembali ke Lam-si, kumpulkan kawan-kawan dan suruh mereka menyelidiki ke Luliang-san. Suruh kedua Suhengmu, Thian-te Siang tung Kwa Siang dan Siang-mo-kiam Lai Tek untuk memimpin kawan-kawan ke Luliang-san. Syukur kalau kalian dapat mencari sendiri kitab peninggalan Pak-kek Siansu, kalau sampai terdapat oleh tokoh kang-ouw, rampas saja. Kemudian setelah berhasil, bawa kitab itu kepadaku di kaki Gunung Cin-leng-san di Lembah Maut. Mengerti?”

"Baik, Suhu. Teecu mengerti." Kong Ji lalu mengulang pesan suhunya ini dengan cermat sehingga Giok Seng Cu menjadi puas.

"Awas, di antara semua murid lm-yang bu-pai kalau sampai berani mengkhianatiku dan tidak menjalankan perintah, aku akan datang menghancurkan kepalanya. termasuk kau, Kong Ji"

Kong Ji berlutut, "Mana berani tee-cu mengkhianati Suhu? Teecu bahkan akan membela dengan selembar nyawa teecu agar cita-cita Suhu ini tercapai."

"Bagus sekali, muridku. Memang, terus terang saja kunyatakan kepadamu bahwa apabila kitab itu sudah terdapat olehku, kelak kaulah orang yang akan mewarisi pedang dan isi kitab. Aku sudah tua dan hanya kau muridku yang akan menjadi ahli warisku dan menjagoi di dunia kang-ouw. Nah, sekarang perhatikan baik-baik Ilmu Silat Tin-san kang yang hendak kuajarkan kauw-koatnya padamu."

Di dalam hutan itu Kong Ji mendengarkan ajaran suhunya. Otaknya memang cerdik luar biasa sehingga seluruh teori Tin-san-kang dapat dihafalkan baik baik diluar kepala dalam waktu dua hari! Kemudian gurunya bersilat memperguna Tin-san-kang, juga gerakan-gerakan untuk memudahkan latihannya, dapat dihafalkan dalam waktu sehari. Tentu saja kalau ia yang bersilat tenaga Tin-san-kang belum timbul, hal ini membutuhkan latihan lweekang yang lama.

Giok Seng Cu puas sekali, lalu membuat surat yang menyatakan bahwa selama ia tidak ada, maka mengangkat Ko Ji menjadibwakilnya di Im-yang-bu-pai sehingga boleh dibilang Kong Ji yang masih kecil itu diangkat menjadi ketua sementara! Setelah menerima pesanan-pesanan suhunya, Kong ji dengan hati girang lalu meninggalkan suhunya, pulang ke Lam-si.

Thian-te Siang tung Kwa Siang, Siang-mo-kiam Lam Tek dan yang lain-lain menyambut kedatangan Kong ji dengan gembira karena mendengar bahwa suhu mereka selamat, akan tetapi diam-diam kedua tokoh ini mendongkol juga melihat bahwa suhu mereka lebih percaya kepada Kong Ji daripada kepada mereka sehingga mengangkat anak itu menjadi wakil ketua. Akan tetapi, mereka tentu saja tidak berani membantah kehendak suhu mereka dan beramai-ramai mereka menjura tanda menghormat kepada Kong Ji. Tentu saja anak itu menjadi girang bukan main.

"Sebelum aku menyampaikan pesan dari Suhu, lebih dulu aku ingin tahu apakah yang telah terjadi semenjak Suhu pergi," tanya Kong Ji kepada Lai Tek, dengan lagak seorang atasan bertanya kepada bawahannya.

Lai Tek terpaksa menceritakan bahwa ada beberapa tokoh kang-ouw yang datang, akan tetapi sesuai dengan nasehat Giok Seng Cu, mereka tidak mencari permusuhan dengan orang-orang kang-ouw itu bahkan memberi kesempatan kepada mereka untuk melakukan penggeledahan, kemudian orang-orang kang-ouw itu pergi lagi tanpa terjadi sesuatu keributan.

"Bagus, dengan demikian untuk sementara waktu kita aman," kata Kong Ji. "Akan tetapi kita tidak boleh tinggal diam. Mereka itu semua berdaya mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu, dan menurut pesan Suhu, kita pun harus mencari kitab itu mendahului mereka." Anak ini lalu menceritakan semua pesanan suhunya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh para anggauta Im-yang bu pai. Kong Ji berulang-ulang menekankan ancaman Giok Seng Cu kepada mereka yang berkhianat dan tidak menurut kepadanya sehingga semua anak murid, termasuk Lai Tek, menjadi gentar dan biarpun mendongkol terhadap Kong Ji, mereka tidak berani menyatakannya berhadapan.

"Kalau begitu biarlah aku dan Kwan Jiwi memimpin saudara-saudara kita pergi ke Luliang-san untuk mencari kitab itu," kata Lai Tek menyatakan usulnya.

Akan tetapi Kong Ji menggeleng-geleng kepalanya, "Tidak Twa-suheng. Tidak demikian caranya mendapatkan kitab rahasia itu." Lai Tek dan semua orang memandang kepada anak itu dengan heran dan juga tak mengerti. Anak sakecil ini menjadikan pemimpin partai demikian besar. Ah, celaka, salah-salah samua bisa kacau-balau, pikir mereka.

"Sute, bagaimana pendapatmu?” tanya Lai Tek. Di antara mereka semua hanya Lai Tek dan Kwa Siang saja yang berani menyebut sute kepada Kong Ji. Yang lain-lain, biarpun Kong Ji terhitung saudara muda seperguruan, menyiebutnya Siauw-pangcu (ketua kecil).

"Begini, kita harus menyebar beberapa orang kawan dan mereka ini harus mendesas-desuskan di luaran bahwa Suhu tidak saja mendapatkan pedang Pak-kek Sin-kiam, akan tetapi diam-diam juga telah mendapatkan kitab peninggalan Pak Kek Siansu."

Tiba-tiba Kwa Siang bangkit berdiri dan mengeluarkan sepasang tongkatnya. "Sute, kau hendak mengkhianati Suhu?" bentaknya.

Kong Ji tersenyum dan memandang rendah. "Ji suheng, apakah kau hendak membantah pesan Suhu bahwa kau harus tunduk kepada perintahku? Kau ingat akan ancaman Suhu?"

Kwa Siang menjadi pucat. Ia kalah gertak dan duduk kembali. "Akan tetapi kau... usulmu ini...?

"Tenang dan dengarkan baik-baik. Aku sama sekali tidak mengkhianati Suhu. Pertama, karena sesungguhnya Suhu tidak mendapatkan kitab itu, ke dua, karena selain aku, tidak ada orang lain yang mengetahui dimana tempat Suhu bersembunyi. Aku sengaja hendak menyebarkan berita ini sehingga tokoh-tokoh kangouw tidak ribut mencari kitab di atas puncak Luliang-san, akan tetapi perhatiannya terpecah dan kini mereka mencari Suhu yang tidak mereka ketahui tempatnya! Dengan akal ini, bukanlah kita akan lebih mudah mencari kitab itu di Luliang-san, tanpa ada saingannya?"

Semua orang melongo. Benar-benar seperti siluman anak ini, pikir Lai Tek. Bagaimana seorang bocah belasan tahun mempunyai siasat yang demikian lihai? Memang tepat sekali siasat ini. Kalau semua tokoh kang-ouw, apalagi See-tin Tok-ong, ikut mencari ke Luliangan tentu pihak lm-yang-bu-pai akan menghadapi saingan hebat dan sukarlah mendapatkan kitab itu. Andaikata terdapat oleh tokoh lain lalu mereka merampas, juga hal ini bukan pekerjaan mudah, karena tokoh yang berhasil mendapatkan kitab tentulah seorang yang berkepandaian amat tinggi.

“Kau memang benar, Sute. Baiklah dan Sute Kwa Siang menjalankan tugas menyebar berita palsu ini," katanya.

Kembali Kong Ji menggelengkan kepala menyatakan tidak setuju. "Keliru, Twa-suheng. Kau keliru. Kalau kau dan Ji-suheng yang keluar mengabarkan berita ini, para tokoh kang-ouw pasti takkan percaya. Bahkan kau dan Ji-suheng yang menjadi tokoh-tokoh utama di Im-yang-bu-pai, akan menimbulkan kecurigaan mereka dan tentu mereka akan mengira bahwa ini hanya siasat belaka. Hal ini amat berbahaya. Lebih baik menyuruh kawan-kawan tingkat rendah sehingga para tokoh kang-ou mengira bahwa mereka itu bocor mulut.

Kembali semua orang kagum sekali. Pantas saja Giok Seng Cu memberi kekuasaan kepada anak ini untuk memimpin Im-yang-bu-pai karena memang otaknya cerdik luar biasa. Namun, seorang di antara para murid Im-yang-bu-pai yang bernama Sio Cin, menjadi penasaran dan marah sekali. Ia tidak percaya bahwa bocah kecil ini mampu menjalankan kemudi perkumpulan mereka yang demikian besar dan berpengaruh. Tiba-tiba ia melompat berdiri dan berkata,

"Aku Siong Cin hanya menduduki tingkat ke delapan, akan tetapi kiranya kepandaianku tidak akan kalah oleh Lui Kong Ji Sute yang masih bocah. Apakah kita semua kaum tua bangka yang sudah kenyang makan asam garam dunia harus menuruti segala ocehan seorang bocah yang masih hijau? Hm, bagaimana kalau orang-orang kang-ouw mendengar tentang ini? Kita mesti menjadi buah tertawaan belaka"

"Siong-suheng apakah kata-katamu ini berarti bahwa kau hendak mengingkari perintah Suhu?" tanya Kong Ji dan sepasang matanya bercahaya.

"Sudah bertahun-tahun aku ikut Suhu dan selalu setia. Aku sudah membuktikan bahwa aku seorang Im-yang-bu-pai tulen, setia lahir batin dan siap sedia mengorbankan nyawa demi kebaikan perkumpulan kita. Akan tetapi kau ini siapakah? Baru juga setahun lebih berada disini. Kepandaian apa yang kauandalkan sehingga kau berani menerima menjadi wakil ketua Im-yang-be-pai? Bagaimana kalau ada musuh datang? Kiraku kau akan bersembunyi terlebih dulu. Ha, ha, ha!"

Merah wajah Kong Ji. Ia melompat turun dari bangkunya, memandang tajam kepada Siong Cin. "Begitu anggapmu, ya? Siong-suheng, tahukah kau kepandaian apa yang paling hebat dari Suhu?"

"Tentu saja aku tahu. Baru saja Suhu mendapatkan Ilmu Pukulan Tin-san-kang. Kiraku melihat saja kau pun belum pernah...!"

"Hm, tua bangka bodoh. Kau lihat baik-baik, kenalkah kau ini...??" Setelah berkata demikian, Kong Ji menggerakkan tubuhnya yang berputar-putar sebentar di atas tumitnya. kemudian tubuhnya itu hampir berjongkok dan kedua tangannya mendorong ke depan, ke arah Siong Cin sambil mengeluarkan seru "haaaiiit...!"

Siong Cin adalah murid Giok Seng dan kepandaiannya sudah tinggi, biarpun tidak selihai Lai Tek atau Kwa Siang, namun jarang ada orang dapat menang darinya. Kini dengan mata terbelalak melihat gerakan sutenya yang kecil dan tahu-tahu ia merasa dadanya terdorong hebat sekali. Ia mengerahkan tenaga dan mencoba menerima tenaga ini, namun ia tidak kuat dan roboh terjengkang! Inilah pukulan Tin san-kang, gerakan ke tujuh. Kong Ji memang cerdik sekali!. Setelah halal akan kauw-koat (teori) Ilmu Silat Tin-san-kang, disepanjang jalan ia melatih diri terus menerus pada bagiaan ke tujuh ini, bagian yang dianggap paling mudah. Oleh karena itu, ia mendapatkan hasil dan apabila mainkan jurus ke tujuh ini, ia telah dapat mengeluarkan tenaga Tin-san-kang, walaupun tentu saja belum hebat. Namun cukup kuat untuk merobohkan seorang seperti Siong Cin.

Bukan main kagetnya semua orang, terutama sekali Lai Tek dan Kwa Siang. Mereka sendiri belum pernah diberi pelajaran Tin-san-kang, namun mereka sudah tahu bahwa gerakan tadi benar-benar ilmu Tin-san-kang dari suhu mereka. Biarpun tenaga pukulan Kong Ji belum hebat, masih kalah jauh lweekangnya dengan mereka, namun mereka harus akui bahwa mereka tidak dapat melakukan gerakan tadi dan tidak dapat memiliki atau membangunkan tenaga Tin-san-kang.

"Itulah Tin-sang-kang...!" Lai Tek berkata kagum.

Siong Cm merangkak bangun. Baiknya tenaga dari Kong Ji masih belum hebat, sehingga ia hanya terdorong dan roboh terjengkang saja, tidak sampai mengalami luka di dalam dadanya. Akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali keringat dingin mengalir dari dahinya. "Maaf, Siauw-pangcu. Mataku seperti buta. Biarpun masih kecil, ternyata kau patut sekali menjadi ketua mewakili Suhu," katanya sambil duduk kembali, tidak berani berkutik lagi.

Kong Ji tersenyum lalu duduk kembali "Masih baik aku mengetahui bahwa bukan maksudmu mengkhianati Suhu, kalau tidak, aku tadi dapat mempergunakan seluruh tenagaku dan kiranya kau tak kan hidup lagi." Kata-kata ini tentu saja bohong belaka, karena tadi ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi tak seorang pun mengetahui dan semua orang memandangnya makin kagum. Benar-benar lucu sekali, para anggauta pengurus yang rata-rata sudah berusia empat puluh tahun ke atas itu sekarang tunduk terhadap bocah berusia tiga belas tahun!

"Nah, sekarang harap lekas-lekas bersiap-siap. Aku tugaskan Siong Cin Suheng dan empat orang kawan lain untuk menyiarkan berita bohong itu, kemudian kita menanti sampai sebulan barulah kita mencari kitab di Luliang-san. Untuk tugas ini, aku sendiri bersama Twa-suheng dan Ji-suheng akan berangkat ke Luliang-san."

Kini tak ada yang berani membantah dan Siong Cin segera berangkat mengajak empat orang saudaranya.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Sambil menanti hasil daripada siasatnya Kong Ji tidak membuang waktu secara sia-sia. Ia melatih diri dengan Ilmu Pukulan Tin-san-kang, dan tentu saja bocah yang cerdik ini melatih diri di tempat yang tersembunyi agar jangan ada lain orang dapat melihatnya. Berkat keuletan, dan ketekunannya, dalam beberapa hari saja ia telah memperoleh kemajuan yang pesat. Ia melatih ilmu pukulan ini sejurus demi sejurus, tidak meningkat kepada yang lain jurus sebelum yang sejurus itu baik betul gerakannya. Juga ia dengan rajin melatih lweekangnya agar dapat segera memiliki sinkang sehingga dapat melakukan pukulan Tin-san-kang sebaiknya.

Kong Ji maklum akan kehebatan ilmu pukulan ini, buktinya baru saja mempelajari sejurus, dan jarak setombak lebih ia telah berhasil merobohkan Siong Cin. Padahal kalau ia bertanding silat dengan suhengnya itu, belum tentu ia dapat bertahan dua puluh jurus! Maka ia berlatih dengan amat rajin tak kenal lelah.

Berita bohong sebagai siasat yang di sebarkan oleh Siong Cin dan kawan-kawannya, ternyata berhasil baik sekali sebagaimana diperhitungkan oleh Kong Ji. Para tokoh kang-ouw yang tadinya masih ubek-ubekan mencari di sekitar Luliang-san, kini menujukan perhatiannya kepada Giok Seng Cu. Mereka tahu bahwa ketua Im-yang-bu-pai ini tidak berada di sarangnya, maka mereka mulai mencari tempat persembunyian kakek ini.

Akan tetapi siapakah yang mengira bahwa Seng Cu bersembunyi di Lembah Maut, sebuah tempat yang kabarnya menjadi tempat tinggal siluman dan iblis belaka. Jarang ada orang berani masuk ke lembah karena andaikata berhasil masuk, belum tentu dapat keluar kembali dengan tubuh masih bernyawa. Tempat itu menjadi sarang dari binatang buas dan ular-ular serta binatang berbisa yang lain, belum terhitung rawa-rawa beracun dan jurang-jurang dalam yang berbahaya sekali.

Kurang lebih sebulan setelah berita itu tersiar luas, Kong Ji dengan gembira dan bangga mendapat berita dari penyelidiknya bahwa kini Luliang-san telah kosong ditinggalkan oleh para tokoh yang hendak mencari kitab rahasia. Ia telah bersiap-siap dengan Lai Tek dan Kwa Siang untuk segera berangkat ke bukit itu.

Akan tetapi, pagi-pagi hari sebelum ia berangkat, terjadilah peristiwa hebat sekali. Pada pagi hari itu, seperti biasa para anggauta Im-yang-bu-pai siap sedia menjalankan tugas masing-masing. Mereka ini memang masing-masing mempunyai pekerjaan, ada yang menjadi piaw-su (pengawal barang antaran), ada yang menjadi pegawai, ada pula yang mengurus kelenteng dan sebagainya. Nama Im-yang-bu-pai sudah amat terkenal, maka untuk menjaga keselamatan harta benda dan nyawa, banyak kaum hartawan mempekerjakan anggauta Im-yang-bu-pai, biarpun dengan bayaran tinggi.

Matahari belum kelihatan, namun sinarnya telah mengusir embun pagi. Keadaan di luar Im-yang-bu-pai masih sunyi. Bahkan jalan-jalan di kota Lam-si masih sepi. Rumah dan toko-toko masih belum membuka pintu. Dari jauh terdengar suara anjing menggonggong riuh-rendah, akan tetapi tiba-tiba suara anjing itu berhenti dan lenyap, seakan-akan leher anjing-anjing itu dicekik. Dan kalau kiranya ada orang yang datang di tempat anjing-anjing itu menggonggong, yakni pintu gapura kota, orang itu tentu akan ketakutan setengah mati melihat beberapa ekor anjing menggeletak di jalan dengan tubuh hitam seluruhnya dan sudah mati.

Pagi hari itu memang terjadi hal yang paling aneh dan mengerikan sekali. Seorang penduduk kota yang bangun terlalu pagi, keluar dari rumah hendak mengeluarkan kuda yang kandangnya berada di belakang rumahnya. Tiba-tiba ia mendengar suara menggeleparnya sayap burung yang keras sekali. Ketika ia menengok ke atas, ia menjadi pucat melihat seekor burung rajawali besar sekali melayang di atasnya. Yang membikin ia ketakutan hebat adalah ketika ia melihat bahwa di atas punggung burung itu ada seorang nenek tua yang duduk!

"Ada siluman...!" la berteriak keras. Tiba-tiba burung itu menyambar turun dan sekali mengulur kuku, leher orang itu sudah kena dicengkeram oleh burung rajawali, tubuhnya dibawa terbang agak tinggi, lalu dilemparkan ke bawah. Orang itu jatuh di atas tanah dengan leher hampir putus dan kepala pecah!

Seorang lain yang pagi-pagi menunggang kudanya hendak keluar kota setibanya di dekat pintu gapura, terkejut sekali melihat anjing-anjing kota menggeletak tak bernyawa di tengah jalan. Ia menarik kendali kudanya hendak melompati bangkai-bangkai anjing itu akan tetapi tiba-tiba kudanya berjingkrak sambil mengeluarkan ringkik ketakutan mengangkat kedua kaki depan. Tiba-tiba beberapa ekor ular meluncur cepat menggigit kuda itu yang meringkik-ringkik lalu roboh, berkelojotan lalu mati. Penunggang kuda itu terlempar dan mukanya pucat sekali. Ia melihat belasan ekor ular mengeroyok kuda itu, seakan- akan berpesta hendak menikmati daging kuda.

Orang itu melompat bangun dan hendak lari. Pada saat itu ia melihat seorang bocah gundul memandang kepadanya dengan menyeringai. Bocah ini biar pun sikapnya aneh, tidak begitu menakutkan boleh dibilang bersih dan tampan akan tetapi seorang kakek yang berdiri belakang bocah gundul itu benar-benar membuatnya terbelalak dan tak dapat bergerak seperti patung, hanya berdiri memandang,. Kakek ini kepalanya juga gundul seperti botak, hidungnya panjang sekali, matanya lebar dan mulutnya besar, kulitnya kehitaman dan yang paling menakutkan adalah sinar matanya yang berwarna kebiruan!

Bocah gundul itu tertawa, "Ayah, ada santapan pagi yang baik untuk siang-coa-ong (sepasang raja ular)."

Kakek itu hanya menyeringai sehingga wajahnya menjadi makin menakutkan. Bocah gundul itu lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya, dan ternyata bahwa yang dikeluarkan adalah dua ekor ular merah yang amat kecil. Ia menggerakkan tangan, dua ekor ular itu terbang meluncur dan tahu-tahu sudah menempel di dada penunggang kuda tadi. Orang ini menjerit merasa dadanya sakit. Ia masih sempat melihat dua ekor ular itu masuk ke dalam dadanya, melalui lubang yang entah kapan terdapat di dadanya. Orang itu merasa sakit luar biasa. Ia memegang dan membetot buntut ular akan tetapi tiba-tiba ia merasa sakit yang membuat semua uratnya pecah kepalanya pening, lalu jatuh dan nyawanya melayang pada saat dua ekor ular itu memperebutkan jantungnya yang masih hidup.

Keadaan sunyi kembali. Bocah gundul itu dan kakek yang menyeramkan tadi berjalan dengan tenang menuju ke rumah besar perkumpulan Im-yang-bu-pai. Ketika mereka tiba di depan rumah itu, dari atas melayang turun seekor burung rajawali merah yang ditunggangi oleh nenek tadi. Sebelum burung tiba di tanah, nenek itu sudah meloncat ke bawah dan gerakannya bahkan lebih gesit dan ringan dan pada burung itu sendiri. Nenek ini ternyata tidak menyeramkan. Bahkan masih jelas kelihatan bahwa dahulunya tentu cantik molek. Hanya sekarang di dahi dan pipinya terdapat lekuk-lekuk dan keriput-keriput yang membuat wajah yang cantik itu menjadi aneh dan galak. Sepasang matanya seperti kunang-kunang, kecil dan bergerak selalu.

Mereka inilah See-thian Tok-ong (Raja Racun dari Negara Barat), seorang manusia iblis yang luar biasa kejamnya. Bersama isterinya yang bernama Kwan ji Nio dan puteranya yang bernama Kwan Kok Sun yang dalam hal keganasan tidak kalah oleh See than Tok-ong sendiri.

See-thian Tok ong adalah tokoh besar dari dunia barat yang melawat ke timur dan ketika ia tiba di Tibet, dengan cepat ia menjagoi di daerah itu. Bahkan Ba Mau Hoatsu sendiri ketika menyaksikan kelihaiannya, tidak berani turun tangan dan secara pengecut sekali menyembah dan mengangkatnya menjadi tokoh pertama di Tibet! Karena Ba Mau Hoatsu memang cerdik dan pandai mengambil hati, maka begitu lama ia masih selamat, bahkan dianggap sebagai pembantu yang baik hati oleh See-thian Tok-ong. Dari Ba Mau Hoatsu inilah ia mengetahui keadaan Tionggoan (pedalaman Tiongkok) serta semua hal tentang dunia kang-ouw di Tionggoan.

Adapun isterinya yang bernama Kwan ti Nio sebenarnya adalah seorang wanita Han. Ayah dari Kwan Ji Nio adalah seorang penjahat besar yang dimusuhi oleh pemerintah dan tokoh-tokoh kang-ouw sehingga penjahat she Kwan ini melarikan diri bersama isterinya ke dunia barat. Di sana isterinya melahirkan anak perempuan, yakni Kwan Ji Nio yang akhirnya menjadi isteri dari See thian Tok-ong. Kwan Ji Nio memiliki ilmu silat yang amat tinggi pula biarpun tidak dapat menang dari suaminya namun dalam hal ilmu ginkang (meringankan tubuh), suaminya masih kalah olehnya! Wanita ini sudah memiliki ilmu Tee in-ciang (Lompatan Tangga Awan) sehingga di udara dapat menggerakkan tubuh untuk mumbul lagi atau berganti arah lompatan. Ilmu ini hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli silat yang sudah tinggi sekali ginkangnya.

Pada saat ayah bunda dan anak ini tiba di pintu pekarangan rumah perkumpulan Im-yang-bu-pai, beberapa ekor ayam telah keluar dan berkokok sambil berkejar-kejaran di halaman itu. Tiba-tiba terdengar bunyi. "Keok! Keok! Keok" dan ayam-ayam itu diam tak bergerak lagi, menjadi makanan dua puluh ekor lebih ular-ular beracun yang berjalan mendahului majikan mereka.

Mendengar suara ayam yang aneh ini, lima orang anggauta Im yang bu-pai memburu keluar. Mereka menjadi pucat sekali melihat ayam-ayam itu mati dikeroyok ular. Ketika mereka mengangkat kepala mereka melihat tiga orang aneh memasuki pintu pekarangan. Sebagai ahli-ahli silat tentu saja mereka tidak takut dan cepat berlari keluar untuk menegur siapa gerangan orang-orang aneh yang membawa ular-ular jahat itu.

"Siapa kalian? Hayo usir ular-ular jahat kalian itu dan..."

Baru saja berkata sampai di sini, See-thian Tok-ong menggerakkan kedua tangannya berulang-ulang ke depan dan lima orang itu roboh terjungkal tak bernapas lagi!

Lima orang anggauta Im-yang-bu-pai itu telah terkena pukulan maut dari See-thian Tok-ong yang disebut Hek-tok ciang (Pukulan Racun Hitam). Begitu mereka roboh, seluruh tubuh mereka menjadi hitam dan mereka tewas pada saat itu juga, tanpa mendapat kesempatan berteriak sama sekali.

See -thian Tok-ong dan anak isterinya berjalan perlahan, terus maju menghampiri rumah perkumpulan Im-yang-bu-pai. Burung rajawali merah berloncat-loncatan di belakang mereka, sedangkan ular-ular yang kini sudah kenyang makan bangkai-bangkai ayam, mulai merayap menghampiri mayat lima orang anggauta Im-yang-bu-pai itu.

Mendengar suara orang jatuh di luar, beberapa orang anggauta Im-yang-bu-pai memburu keluar dan alangkah terkejut hati mereka melihat lima orang kawan mereka telah tewas dengan muka hitam, sekali, menggeletak di pekarangan dan ular-ular yang menjijikkan merayap-rayap di sekeliling mayat-mayat itu. Mereka juga memandang kepada tiga orang pendatang yang sikapnya tenang itu, maka tahulah mereka bahwa yang datang adalah musuh-musuh. Cepat mereka berlari masuk dan tak lama kemudian gembreng tanda bahaya dipukul gencar di ruang belakang.

Dalam sekejap mata saja, pekarangan rumah perkumpulan Im-yang-bu-pai telah penuh orang. Ada empat puluh lebih anggauta Im-yang-bu-pai berkumpul di situ, mengurung pekarangan dan di tangan mereka terlihat bermacam senjata.

See-thian Tok-ong dan anak isterinya tidak bergerak, hanya berdiri di tengah pekarangan sambil tersenyum-senyum dan memandang ke sekeliling mereka. Makin banyak anggauta Im-yang-bu-pai yang datang, makin bersinar-sinar mata mereka. "Datanglah yang banyak! Datanglah semua jangan ada yang ketinggalan!" berkali-kali Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun berkata perlahan.

Im-yang bu-pai adalah perkumpulan yang amat berpengaruh dan besar serta memiliki anggauta yang ratusan orang jumlahnya. Akan tetapi anggauta-anggauta itu tidak semua berada di Lam-si dan pada waktu itu yang berada di situ hanya lima puluh orang lebih. Kemudian muncullah Lui Kong Ji bersama Lai Tek Kwa Siang dan beberapa orang pengurus Im-yang-bu-pai atau murid-murid Giok Seng Cu. Melihat ular-ular dan burung kim-tiauw, semua pengurus dapat menduga bahwa mereka berhadapan dengan See-thian Tok-ong sehingga mereka rata-rata menjadi jerih dan wajah mereka pucat. Hanya Kong ji seorang yang bersikap tenang dan bocah ini bertindak maju dengan tabah sekali, bahkan berada di tempat terdepan menghadapi See-thian Tok-ong. Hal ini tidak saja mengagumkan para anggauta Im-yang-bu-pai, bahkan See-thian Tok-ong dan isterinya juga memandang dengan kagum atas keberanian bocah tampan itu.

"Sam-wi yang baru datang ini bukankah See-thian Tok-ong Locianpwe bersama isteri dan putera yang terhormat? Kami dari Im-yang-bu-pai tak mengetahui lebih dulu akan kunjungan ini dan terlambat menyambut, mohon maaf sebesarnya," kata Kong Ji.

Kwan Kok Sun cemberut, lbunya memandang dengan mata bersinar marah, akan tetapi See-thian Tok-ong tiba-tiba tertawa bergelak "Ha-ha-ha, alangkah lucunya mendengar kata-kata tadi keluar dari mulut seorang bocah. Ha-ha-ha… bocah ini lucu sekali...!"

Akan tetapi isterinya membentak sambil mendelik kepada Kong Ji. "Setan cilik! Mulutmu lancang sekali. Mana ketuamu? Hayo suruh dia keluar!"

Dengan tenang Kong Ji menjura. "Mohon maaf, ketua kami tidak ada di sini, dia sedang pergi...."

Tiba-tiba See-thlan Tok-ong yang tadi tertawa-tawa membentak keras, "Tutup mulutmu! Kau kira aku tidak tahu bahwa Giok Seng Cu pergi melarian diri secara pengecut sekali? Yang kami maksudkan adalah ketua yang menjadi pemimpin di saat ini, atau wakil dari Giok Seng Cu." Suaranya mengancam dan wajahnya nampak bengis sekali jauh berbeda dengan tadi ketika ia tertawa-tawa.

Namun Kong ji memiliki ketabahan luar biasa. Ia menghadap ke arah See-hian Tok-ong dan berkata, suaranya tegas dan sedikit pun tidak gemetar. "Terimalah hormatku, Locianpwe. Pada saat ini, boanpwe (aku yang rendah) yang menjadi ketua lm-yang-bu-pai menggantikan Giok Seng Cu pangcu kami yang sedang pergi."

See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun tertegun. Mereka sudah seringkali mendengar dan melihat hal yang aneh-aneh di dunia kang-ouw, akan tetapi melihat seorang bocah paling hanya berusia dua-tiga belas tahun mengaku menjadi ketua Im-yang-bu-pai, mereka benar-benar merasa geli, heran, aneh dan tidak percaya.

"Jangan main gila, bocah nakal. Apakah kau sudah bosan hidup berani mempermainkan See-thian Tok-ong?" bentak tokoh barat itu.

"Ayah, biar Ang-coa-ong mengambil jantung!" kata Kwan Kok Sun sambil merogoh saku hendak mengeluarkan ular merah. Akan tetapi ayahnya mencegah.

"Nanti dulu, Kok Sun. Aku hendak mendengar apakah dia benar-benar berani membohongi kita."

Melihat keberanian Kong Ji, Lai Tek menjadi kagum sekali dan kini ia khawaIir kalau kalau anak ini dibunuh oleh tiga orang tamu aneh itu, maka ia lalu maju menjura. "Saya bernama Lai Tek dan menjadi murid tertua dari Suhu Giok Seng Cu. Memang benar bahwa anak ini adalah Siauw-pangcu kami, menggantikan Suhu. Dia tidak membohong. Mohon Locianpwe sudi memaafkan kalau ia terlalu berani bicara mengingat usianya yang masih muda. Perkenankan saya mewakili Im yang-bu-pai bertanya kepada Sam-wi apakah gerangan maksud kedatangan Sam-wi di sini?”

Dengan matanya yang bundar, See-hian Tok-ong menyapu semua orang yang berada di situ, kemudian mulutnya menyeringai kejam ketika ia berkata, "Pertama-tama, si jahanam Giok Seng Cu telah berani merampas pedang dari tangan anakku, maka kami harus mengambil pedang itu kembali berikut kepalanya."

Tiba-tiba suara ketawa Kong Ji menjawab kata-kata ini. "Locianpwe," Kata Kong Ji selagi semua orang heran memandangnya, "Boanpwe rasa Locianpwe takkan dapat membuktikan ancaman itu."

Kembali See-thian Tok-ong melengak "Setan cilik, apa maksudmu? Hati-hati menjaga mulutmu, kau!"

"Kalau Locianpwe tahu di mana adanya Suhu pada saat ini, masa Locianpwe bertiga susah payah datang ke sini? Di dunia, betapa pun lihai dia, tak mungkin ada orang mengetahui di mana adanya Suhu."

Sepasang mata See thian Tok-ong terputar-putar, kemudian ia berkata lagi kepada Lai Tek, "tadi maksud kedatanganku yang pertama sudah kunyatakan, adapun yang ke dua, karena ketua Im-yang-bu-pai telah berani menghina puteraku, maka hari ini Im-yang-bu-pai harus terbasmi sampai ke akar-akarnya. Kami datang untuk membinasakan kalian semua... kecuali dia ini!" Berbareng denga ucapan terakhir ini, tangan kirinya menyambar dan tahu-tahu Kong Ji telah dipegang tengkuknya oleh See-thian Tok-ong. Kong Ji merasa tubuhnya lemas seluruhnya. Percuma saja ia mencoba untuk mengerahkan lweekang agar terlepas dari pegangan kakek ini. Ia tidak berdaya sama sekali bagaikan sehelai rumput kering dalam tangan See thian Tok-ong. Kakek ini melemparkan tubuh Kong-Ji ke dekat burung rajawali sambil berseru.

"Kim-tiauw, kau jaga dia jangan boleh lari!"

Kemudian, didahului oleh bentakan-bentakan menyeramkan, See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun mulai mengamuk. Semenjak tadi, Lai Tek, Kwa Siang dan kawan-kawannya sudah siap sedia mendengar omongan See-thian Tok-ong. Lai Tek dan Kwa Siang dapat -menduga bahwa di antara tiga orang aneh ini, yang paling berbahaya tentulah See-thian Tok-ong sendiri, maka Lai Tek segera mencabut sepasang pedangya. Kwa Siang mencabut sepasang tongkatnya. Mereka berdua lalu menyerbu dan menghadapi See-thian Tok-ong. Adapun anggauta-apggauta Im-yang-bu-pai lainnya yang kepandaiannya sudah tinggi mengurung Kwan Ji Nio.

See-thian rok-ong tertawa bergelak sama sekali ia tidak mengeluarkan senjata dan menghadapi dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu dengan tangan kosong saja. Lai Tek berjuluk Siang-mo-kiat (Sepasang Pedang Iblis) sedangkan Kwe-Siang berjuluk Thian-te Siang-tung (Sepasang Tongkat Langit Bumi). Ilmu kepandaian mereka sudah amat tinggi dan ini sudah terbukti ketika mereka berdua menyerbu ke Hoa-san-pai, Liang Gi Tojin ketua Hoa-san-pai sendiri tidak kuat menghadapi mereka dan sampai tewas demikian pula Hui-liong Lie Bu Tek Naga Terbang sampai roboh terluka berat. Kini menghadapi See-thian Tok-ong tokoh baru yang menggegerkan dunia kang-ouw, mereka mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian.

Akan tetapi, See-thian Tok-ong hanya menghadapi mereka dengan tangan kosong belaka. Tentu saja Lai Tek dan Kwa Siang menjadi penasaran sekali. Mereka merasa dipandang rendah dan dihina. Masa mereka berdua dengan senjata mereka yang sudah terkenal itu kalah dikeroyok seorang lawan bertangan kosong? Mereka berbesar hati karena pihak lawan hanya ada tiga orang ditambah ular-ular kecil dan seekor burung, sedangkan mereka berkawan sampai lima puluh orang.

Akan tetapi, ilmu silat dari See-thian Tok-ong benar-benar hebat. Tidak saja gerakannya amat lihai dan kuat serta gesit, juga ilmu silatnya yang dimainkan untuk menghadapi desakan dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu amat luar biasa, jauh berbeda dari ilmu-ilmu silat yang pernah dilihat oleh Lai Tek dan Kwa Siang. Juga dalam menggerakkan tangan kaki, tiada hentinya Raja Racun ini mengeluarkan suara yang aneh, memekik-mekik dan menggereng seperti seekor binatang buas. Setiap gerakan tangan dilakukan sambil mengeluarkan pekik yang berlainan, akan tetapi dari suara ini seakan-akan timbul tenaga mujijat yang menahan gerakan senjata lawan, bahkan kadang-kadang membuat kacau gerakan ilmu silat Lai Tek dan Kwa Siang.

Akibatnya, beberapa kali dua orang tokoh Im-yang-bu-pai ini beradu senjata dengan kawan sendiri. Jari-jari tangan See-thian Tok-ong amat cekatan dan kuat, juga orang ini berani mati sekali sehingga beberapa kali ia berani menerima sabetan pedang Lai Tek dengan tangan! Jari-jari tangannya dengan tepat dapat menyentil pedang itu sehingga terpental membalik atau menyeleweng menghantam tongkat Kwa Siang yang sudah menyambar pula. Benar-benar hebat dan sukar untuk dapat dipercaya.

Kwan Ji Nio, isteri dari See-thian Tok-ong dikeroyok oleh lima orang. seperti juga suaminya, nyonya tua ini tidak mempergunakan senjata, akan tetapi melihat gerakannya, ia lebih mengagumkan daripada suaminya, walaupun tentu para pengeroyok tidak selihai Lai Tek dan Kwa Siang yang mengeroyok See thian Tok-ong. Gerakan nyonya ini cepat bukan main, sebentar-sebentar melompat dan terapung di udara bagaikan seekor burung menyambar. Karena kegesitannya yang luar biasa, ia lebih cepat berhasil daripada suaminya. Baru belasan gebrakan saja ia telah berhasil menjambret kepala seorang pengeroyok dan entah dengan pukulan apa, orang ini roboh terguling dengan tubuh tak berdaya lagi. Ternyata bahwa jalan darah dan urat terpenting di kepalanya telah kena ditotok putus oleh nyonya lihai ini! Gentarlah para pengeroyoknya, namun anggauta- anggauta Im-yang-bu-pai tidak mundur, bahkan kini ada sepuluh orang maju membantu untuk mengeroyok nyonya tua yang lihai sekali ini.

Tiba-tiba terdengar jerit dan pekik menyeramkan dari para anggauta Im-yang bu-pai. Anak-anak murid yang kepandaiannya kurang lihai, bagaikan rumput dibabat roboh menjerit-jerit dan tubuh mereka menjadi hitam. Inilah akibat yang hebat dan perbuatan Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun. Bocah gunclul ini setelah melihat ayah bundanya mengamuk, sambil tersenyum-senyum menyeringai sehingga wajahnya yang tampan itu ada persamaannya dengan ayahnya, lalu mengeluarkan suara mendesis dengan mulutnya.

Serentak ular-ular kecil yang tadinya menggerogoti mayat lima orang anggauta Im-yang-bu-pai, bergerak dan menyerang orang-orang yang masih hidup. lebih hebat lagi. Kok Sun mengeluarkan sepasang ular merah dari sakunya dan sekali melepas ular-ular itu terdengarlah pekik menyeramkan dari orang-orang yang terkena gigitan ular merah berbisa ini. Para angauta Im-yang-bu-pai seorang demi seorang roboh dalam keadaan yang mengerikan.

Kong Ji memandang semua ini dengan hati berdebar. Ia tadi dilempar jatuh dan sudah duduk, akan tetapi ia tidak berani bergerak karena di dekatnya berdiri burung kim-tiauw yang besar dan kelihatan galak itu, yang memandangnya tanpa berkedip. Anak ini tadi sengaja mengeluarkan kata-kata yang terdengar kurang ajar, akan tetapi sebetulnya melakukan semua itu dengan siasat yang rapi, Kong Ji ketika mendengar bahwa See-thian Tok-ong hendak merampas pedang dan membunuh Giok Seng Cu, maklum bahwa tentu Raja Racun ini belum mengetahui di mana tempat sembunyi Giok Seng Cu.

Kemudian ia mendengar bahwa tiga orang luar biasa itu datang hendak membasmi Im-yang-bu-pai maka sengaja menyindir kepada See-thian Tok-ong bahwa Raja Racun ini tak mungkin dapat merampas pedang karena tidak tau di mana Giok Seng Cu bersembunyi. Dengan kata-kata ini, sama halnya dengan menyatakan bahwa di dunia tidak ada orang lain yang mengetahui di mana adanya Giok Seng Cu, kecuali dia sendiri!

Kata-kata ini sengaja ia keluarkan untuk menolong diri sendiri, untuk melepaskan diri dari bahaya maut. Otaknya yang cerdik sudah memperhitungkan bahwa dia takkan dibunuh karena See-thian ok-ong pasti akan membutuhkannya untuk mencari Giok Seng Cu. Ia yakin bahwa yang menyindir tadi dapat dimengerti oleh See-thian Tok-ong, bahwa hanya anak inilah yang tahu tempat persembunyian Giok Seng Cu. Dan perhitungannya memang tidak meleset. Buktinya ia mendengar sendiri bahwa See-thian Tok-ong hendak membunuh semua orang Im-yang-bu-pai, kecuali dia sendiri.

Kini melihat sepak terjang See-thian Tok-ong dan anak isterinya, diam-diam Kong Ji merasa kagum sekali. Inilah baru pantas disebut orang-orang berkepandaian tinggi, pikirnya. Aku harus dapat mewarisi kepandaian See-thian Tok-ong. Maka sambil menonton pertempuran otak anak ini bekerja dan ia sudah mempersiapkan siasat untuk dapat mempelajari ilmu silat dari See-thian Tok-ong.

Pertempuran berjalan makin seru dan hebat. Orang-orang Im-yang-bu-pai yang menjadi korban bertumpuk-tumpuk, mayat bergelimpangan di sana-sini, menimbulkan pemandangan yang amat mengerikan. Lam Tek dan Kwa Siang tahu bahwa mereka menghadapi bencana hebat sekali, akan tetapi karena tidak ada jaIan keluar, mereka mengamuk dengan nekad mendesak See-thian Tok-ong dengan sekuat tenaga. Betapapun juga dua orang tokoh lm-yang-bu-pai ini memang berkepandaian tinggi, maka tiba-tiba See thian Tok-ong yang mulai marah karena belum juga dapat mengalahkan mereka, berseru keras sekali.

Tahu-tahu ia telah mengeluarkan dua buah senjata yang amat aneh. Senjata ini merupakan sepasang tangan manusia yang sudah kering, dengan kuku-kuku panjang. Kedua tangan ini dalam keadaan mencengkeram, seperti kuku-kuku burung garuda yang sedang menyerang. Adapun kuku pada jari-jari tangan itu berwarna macam-macam, ada yang hitam, putih, kuning, merah dan hijau. Inilah sepasang senjata yang oleh pemiliknya dinamai Ngo-tok-mo-jiauw (Cakar Iblis Berbisa Lima), sepasang senjata dari See-thian Tok-ong yang amat lihai dan jarang sekali dikeluarkan.

Begitu sepasang tangan ini menyambar, Lam Tek dan Kwa Siang mencium bau yang busuk sekali dan mereka cepat melompat ke belakang dan kepala mereka terasa pening karena bau yang keras itu. Akan tetapi, tiba-tiba sepasang tangan itu "terbang" mengejar, terlepas dari pegangan See-thian Tok-ong! Inilah kejadian yang amat tidak mereka duga dan kedua orang tokoh lm-yang-bu-pai saking kagetnya tidak keburu menangkis lagi. Mereka hanya mengelak cepat namun masih saja sepasang tangan itu menyerang mereka, Lai Tek kena tergores pundaknya, sedangkan Kwa Siang tergores oleh kuku tangan kedua pada tangannya.

Seketika itu juga, Kwa Siang menjerit dan roboh. Tubuhnya berubah merah sekali dan ia berkelojotan terus mati. Ia terkena Ang tok (Racun Merah) dari kuku merah, sedangkan Lai Tek tak sempat menjerit lagi karena ia sudah roboh, dengan tubuh berubah kuning, terkena guratan kuku yang mengandung Oei-tok (Racun Kuning), See-thian Tok-ong tertawa bergelak dan sepasang cakar iblis itu tiba-tiba tersentak dan terbang kembali kepadanya, disambut oleh kedua tangan dan disimpan kembali ke dalam saku bajunya!

Pertunjukan yang diperlihatkan oleh See-thian Tok-ong ini sebetulnya tidak aneh. Bagi orang yang melihatnya, memang tentu mengira bahwa sepasang cakar iblis itu dapat "terbang" menyerang musuh dan terbang kembali kepada pemiliknya, akan tetapi sebetulnya bukan demikian. Sepasang tangan itu bukanlah tangan iblis, melainkan tangan manusia biasa yang secara kejam dipenggal di tengah-tengah bagian lengan oleh See-thian Tok-ong. Raja Racun ini memilih tangan yang kuat tulangnya dan sehat kulit serta urat-uratnya, memotongnya, lalu mengeringkannya. Memang sebelum pemilik tangan itu dipotong lengannya, kuku-kukunya dibiarkan panjang lebih dulu.

Setelah kedua tangan itu kering, kuku-kukunya, juga jari-jarinya lalu direndam air racun, setiap kuku semacam racun yang amat luar biasa. Kemudian, See-thian Tok-ong mempergunakan sehelai tali hitam yang halus sekali, besarnya hanya serambut, akan tetapi kuat dan tak dapat putus. Dengan tali ini ia dapat membuat tangan itu seakan-akan terbang. Ujung tali yang agak panjang terikat pada kancing di saku bajunya dan apabila ia melemparkan dua tangan itu lenyap. Juga dengan menggerakkan tali-tali halus itu ia dapat menarik kembali senjatanya.

Setelah Lai Tek dan Kwa Siang roboh binasa keadaan orang-orang lm yang-bu- pai makin kacau-balau. Berturut turut mereka roboh binasa dan akhirnya sebagian kecil tak dapat menahan ketakutan mereka lagi, terus melarikan diri tunggang-langgang. Akan tetapi, suami isteri dan anak-anak itu memang berwatak kejam seperti iblis.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.