Pedang Penakluk Iblis Jilid 07
MEREKA tidak membiarkan orang-orang Im-yang-bu-pai itu melarikan diri, cepat mengejar dan menjatuhkan serangan maut sehingga akhirnya habislah semua orang Im-yang-bu-pai yang jumlahnya ada lima puluh orang itu. Semua menggeletak tak bernyawa lagi, kecuali Kong Ji yang mau tak mau terpaksa memandang semua itu dengan kedua matanya sendiri. Akan tetapi, benar-benar aneh dan luar biasa, melihat kejadian yang bagi orang lain akan menimbulkan kengerian hebat di dalam hati ini, bagi Kong Ji sama sekali tidak demikian.
Di dalam hatinya, bocah ini bahkan bersorak girang karena ia memang selalu menganggap lm-yang-bu-pai sebagai musuh-musuh yang membinasakan ayah bundanya. Ia bahkan girang dan puas, serta memuji tinggi kegagahan See-thian Tok-ong dan anak isterinya. Sesungguhnya, betapapun kejamnya ayah ibu anak itu, kalau dibandingkan dengan watak dasar di dalam dada Kong Ji mereka masih kalah jauh.
Kong Ji selalu memperlihatkan sikap baik hanya dengan satu maksud, yakni mencari ilmu yang tinggi untuk diri sendiri. Orang lain, baik orang itu memusuhinya maupun melepas budi baik kepadanya, ia tidak ambil perduli sama sekali. Kekejian See-thian Tok-ong dan anak isterinya hanya ditujukan kepada musuh-musuhnya atau kepada mereka yang dianggap merintangi kehendaknya. Sebaliknya kekejian Kong Ji tidak memilih bulu, sudah dibuktikan betapa ia dapat berlaku keji terhadap Lie Bu Tek, orang yang telah menolongnya!
Setelah semua orang lm-yang-bu-pai tewas, tiba-tiba Kwan Ji Nio melompat dan menyambar leher Kong Ji. "Ini yang paling jahat harus dibikin mampus!" bentaknya sambil mengangkat tangan kanan. Kong Ji terkejut sekali, akan tetapi ia tidak berdaya dan hanya memandang kepada nenek itu dengan mata tak kenal takut.
“Isteriku jangan bunuh dia!" Tiba-tiba See-thian Tok-ong berseru.
Tangan yang sudah diangkat ke atas diturunkan kembali, juga tubuh Kong Ji dilepas ke bawah dan nyonya tua itu menoleh kepada suaminya. "Kenapa setan cilik ini tidak boleh dibunuh?" tanyanya.
"Ibu, dia harus membawa kita ke tempat persembunyian Giok Seng Cu," kata Kok Sun dengan suara menyesal, seolah-olah ia kecewa melihat kebodohan ibunya.
See-thian Tok-ong tertawa bergelak. “Nah, kau lihat. Bukankah Kok Sun sekarang sudah cerdik sekali! Ia telah melampaui Ibunya dalam kecerdikan. Ha ha ha!"
Kwan Ji Nio cemberut dan mendelik kepada puteranya, kemudian ia menudingkan ke telunjuknya di depan hidung Kong Ji. "Setan cilik, benarkah kau dapat menunjukkan tempat persembunyian Giok Seng Cu? Hayo mengaku yang betul, kalau tidak kuhancurkan kepalamu."
Menghadapi tiga orang aneh yang amat ganas itu, tentu saja Kong Ji merasa berdebar hatinya. Akan tetapi ia memang seorang bocah yang memiliki kecerdikan luar biasa sekali. Dengan tersenyum- senyum ia mengelus-elus leher kim-tiauw yang berdiri di dekatnya, lalu berkata, "Sungguh tidak enak bicara di dekat mayat-mayat yang bercumpukan ini. bagaimana kalau kita pergi dari sini dan mencari tempat yang enak untuk bicara. Lagi pula, aku ingin sekali naik ke punggung burung ini."
Kwan Ji Nio marah sekali mendengar kekurangajaran Kong Ji, akan tetapi See-thian Tok-ong tertawa bergelak, "Bocah ini ada isinya. Kepalanya tidak kosong!”
Adapun Kok Sun juga tertarik sekali melihat keberanian Kong Ji. Sambil tersenyum mengejek ia berkata, "Benar-benar kau berani naik ke punggung kim-tiauw bersamaku?"
"Mengapa tidak berani? Aku pun laki-laki," jawab Kong Ji.
"Ayah mari kita bicarakan saja di luar kota ini, di hutan sebelah selatan. Biar dia merasai dijungkir-balikkan oleh kim-tiauw!" kata Kok Sun sambil tertawa.
Ayahnya tertawa juga dan mengangguk-anggguk. Kwan Ji Nio mengomel, "Anak ini kalau tidak dibikin mampus kelak akan menimbulkan kerewelan belaka." Diam-diam Kong Ji mencatat semua ini dan ia telah mendapat kepastian bahwa di antara tiga orang itu, yang paling bahaya baginya adalah Kwan Ji Nio, maka diam-diam ia telah berjanji kepada diri sendiri bahwa kelak ia harus melenyapkan wanita tua ini lebih dulu dari muka bumi!
"Isteriku, sabarlah. Pedang dan kitab belum terdapat, mengapa tidak bisa bersabar?” kata See-thian Tok-ong yang memberi tanda kepada Kok Sun untuk melanjutkan niatnya.
Kok Sun tersenyum dan berkata kepada Kong Ji. "Kalau kau benar-benar bukan perempuan, hayo naiki punggung kim-tiauw dan terbang bersamaku."
Kong Ji tanpa memperlihatkan muka takut, segera melompat ke atas pungung kim-tiauw, akan tetapi baru saja ia tiba di punggung, burung itu menggoyang badannya dan... tubuh Kong Ji terlempar seakan-akan dilontarkan oleh tenaga kuat sekali. Baiknya Kong Ji sudah melatih diri dengan tekun sehingga ia memiliki kepandaian yang boleh juga, maka ia dapat mengatur keseimbangan badannya, mempergunakan gerakan Lee-hi-ta-teng (Ikan Lee Meloncat) dan dapat tiba di atas tanah pada kedua kakinya.
"Berbahaya sekali..." tak terasa lagi ia berkata perlahan. Kok Sun tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
"Kau curang!" Kong Ji berkata marah. "Mengapa tidak menyuruh burungmu diam?"
"Naiklah lagi, tadi aku hanya ingin melihat apakah kau takkan terbanting matang biru oleh kim-tiauw," kata Kok Sun dan kali ini ia memegangi leher burung itu.
Kong Ji tanpa ragu-ragu melompat lagi dan kali ini burung itu tidak bergerak. Kok Sun juga melompat duduk di belakang Kong Ji, kemudian menepuk leher burung itu. "Kim-tiauw, terbanglah ke selatan!"
Sebelum Kong Ji dapat bersiap-siap, tahu-tahu burung itu telah membuka sayapnya dan Kong Ji merasa seperti jantungnya ditarik-tarik ketika tiba-tiba ia mumbul ke atas cepat sekali. Hampir ia terengah-engah karena sukar bernapas ketika angin bertiup keras dari depan. Ketika ia memandang ke bawah, semua tampak kecil. Kepalanya pening akan tetapi ia memiliki kekerasan hati. Sambil menggigit bibir ia menekan perasaannya. Masa ia harus kalah oleh bocah gundul yang duduk di belakangnya?
Tiba-tiba terdengar suara See-thian ok-ong dari bawah, "Kok Sun, jangan sampai ia jatuh terbanting mampus, kita masih memerlukan bantuannya!"
Terdengar Kok Sun tertawa dan berdebarlah jantung Kong Ji. Kini setelah berada di punggung burung, dibawa terbang di angkasa, i merasa tak berdaya sama sekali. Akan tetapi, burung ini takkan dapat menggangguku, pikirnya. Aku berada di punggungnya dan kalau ku mau, aku dapat memukul lehernya dengan tenaga Tin-san-kang, masa ia tidak mampus? Ia menjadi lega dengan pikiran ini, dan dengan erat ia memegang leher burung kim-tiauw.
Sebentar saja mereka telah tiba di atas hutan kecil di sebelah selatan kota Lam-si. Tiba-tiba Kok Sun tertawa dan mengeluarkan suara bersuit tiga kali. Ini merupakan perintah bagi kim-tiauw karena burung itu segera menukik ke bawah kepala di bawah ekor di atas! Hampir saja Kong Ji terjungkal dari tempat duduknya. Ia memegang erat-erat leher burung dan hatinya berdebar keras. Terpaksa ia meramkan matanya ketika melihat betapa pohon di bawah seakan-akan terbang naik hendak menubruknya.
"Ha ha ha, kau takut?"
"Siapa takut? Kalau kau tidak takut masa aku harus takut?" jawab Kong Ji sambil membuka matanya.
"Bagus, awas kali ini!" seru Kok Su yang kembali bersuit pandang dua kali Burung itu kini memukulkan sayapnya dan tahu-tahu berjungkir balik dengan punggung di bawah! Hal ini sama sekali tidak terduga oleh Kong Ji. Ia mempererat pelukannya pada leher burung, akan tapi karena pelukannya mencekik leher, burung itu menggerakkan lehernya dan terlepaslah pegangannya. Tubuh Kong Ji melayang ke bawah!
Ketika tubuh Kong Ji berputaran dari atas ke bawah dan hatinya tidak karuan rasanya, semangatnya sudah terbang, tiba-tiba ia merasa kakinya dipegang orang dan terdengar suara Kok Sun, "Sekarang masih tidak takut?"
Kong ji berada dalam keadaan berbahaya dan menakutkan sekali. Kini burung itu telah biasa lagi terbangnya. Kok Sun duduk di atas punggungnya dan sebelah tangannya memegangi Kong Ji yang berada dalam keadaan tergantung di bawah. Namun Kong Ji yang cerdik masih teringat akan teriakan Tok-ong. Dirinya dibutuhkan oleh keluarga iblis ini dan takkan dibunuh, maka dengan suara keras ia menjawab.
"Seorang gagah tidak takut mati!"
Kok Sun benar-benar kagum. Dia sendiri kalau dibegitukan tentu akan merasa amat takut.
"Kau benar-benar patut dijadikan kawan. Siapa namamu?"
"Namaku Lui Kong Ji.”
Burung itu telah turun dan hampir mendarat, Kok Sun menggerakkan tangannya dan tubuh Kong Ji terdorong oleh tenaga besar, lalu tiba di tanah dengan kaki di atas. Diam-diam Kong Ji kagum sekali. Hebat sekali tenaga Kok Su dan ia masih kalah dengan pemuda gundul ini. Yang membuat Kong Ji lebih terheran dan kagum adalah ketika ia melihat bahwa See-thian Tok-ong dan Kwan Ji Nio telah berada di situ pula! Dapat berlari cepat mendahului seekor kim-tiauw yang terbang, benar-benar dapat dibayangkan betapa tingginya ginkang dua orang aneh ini.
"Nah, bocah yang tabah, sekarang ceritakan di mana tempat sembunyinya Giok Seng Cu," kata See-thian Tok-ong kepada Kong Ji.
"Nanti dulu, Locianpwe. Boanpwe Lui Kong Ji sama sekali bukan hendak membangkang terhadap perintah Locianpwe. Akan tetapi kalau Locianpwe ada permintaan terhadap boanpwe, agaknya sudah sepatutnya pula kalau boanpwe juga mengajukan permintaan sebagai imbalannya kepada Locianpwe."
Sepasang mata yang bundar dari See-thian Tok-ong memandang tajam dan hatinya mulai curiga. "Hemm, siapa bisa percaya omongamu? Kau agaknya licik dan cerdik sekali Lui Kong Ji, coba kau ceritakan dulu hubunganmu dengan Giok Seng Cu. Kamu pernah apakah dengan dia dan bagaimana kau bisa dipilih menjadi wakilnya di Im-yang-bu-pai?"
"Boanpwe adalah muridnya. Dan boanpwe suka menjadi muridnya bukan sekali-kali karena boanpwe suka kepada Im-yng-bu-pai, akan tetapi oleh karena boanpwe sengaja hendak mencari ilmu kepandaian agar kelak dapat membalas musuh besar boanpwe. Dengan susah payah boanpwe melayani Suhu sehingga mendapat kepercayaan dari Suhu, akan tetapi sebelum boanpwe mendapatkan ilmu kepandaian, keburu datang urusan pedang dan kitab sehingga boanpwe menjadi gagal dalam cita-cita boanpwe. Ada pun tentang pedang Pak-kek Sin-kiam dan kitab peninggalan Pak-kek Sianseng boanpwe sudah mendengar keterangan sejelasnya dari Suhu, oleh karena itu kalau Locianpwe menghendaki dua benda itu kiranya boanpwe seorang yang akan dapat memberi petunjuk."
See-thian Tok-ong mengelus-elus jenggotnya. Bocah ini benar-benar cerdik sekali dan berbahaya, pikirnya. "Kong Ji, kau bicara berputar-putar. Katakan apa kehendakmu untuk penukaran petunjuk tempat sembunyi Giok Se Cu?"
Tiba-tiba Kong Ji menangis dan jatuhkan diri berlutut di depan See-thu Tok-ong. "Boanpwe tidak minta banyak hanya mohon imbalan sedikit berupa pelajaran ilmu silat tinggi agar kelak boanpwe dapat membalas dendam kepada musuh besar boanpwe."
"Hm, hm, jadi kau minta diterima menjadi muridku?"
“Demikianlah permohonan teecu. Kalau Locianpwe sudi menerima teecu menjadi murid tidak saja teecu akan menunjukkan di mana tempat persembunyian Giok Seng Cu, bahkan teecu akan membantu sampai Locianpwe mendapatkan pedang dan kitab."
"Enak saja kau bicara!" Kwan Ji Nio membentak. "Aku bahkan akan membunuhmu!"
See-thian Tok-ong memberi tanda dengan matanya kepada Kwan Ji Nio, kemudian ia bertanya kepada Kong Ji, "Bagaimana kalau aku menolak permintaanmu?"
"Terpaksa teecu pun akan membungkam."
"Bangsat, kau harus mampus!" kembali Kwan Ji Nio membentak, akan tetapi pandang mata suaminya mencegah turun tangan.
"Kong Ji, kau mendengar sendiri. nyawamu berada di tangan kami, dan kalau kau menolak memberi tahu di mana tempat sembunyi Giok Seng Cu, kami akan membunuhmu."
"Akan menyiksamu sampai mati," kata Kwan Ji Nio.
"Ayah, kalau ular-ular disuruh mengeroyoknya, tentu ia akan mengaku," kata Kok Sun.
Akan tetapi Kong Ji sama sekali tidak takut. "Locianpwe, sudah teecu nyatakan tadi bahwa hidup teecu hanya untuk membalas dendam terhadap musuh besar. Kalau Locianpwe tidak mau menerima teecu sebagai murid dan teecu tidak bisa memiliki kepandaian tinggi untuk dapat membalas dendam terhadap musuh besar, hidup juga percuma. Teecu lebih baik mati. Mati sekarang atau besok sama saja. Mati sekaligus atau siksa pun sama juga. Kalau Locianpwe menolak mau membunuh teecu, mau mengubur hidup-hidup, diberi makan ke ular atau membakar hidup-hidup teecu akan terima. Teecu tidak takut mati.”
Tertegun juga See-thian Tok-ong mendengar ini. Tiba-tiba Kok Sun bicara dalam bahasa asing dengan ayahnya untuk beberapa lama tiga orang itu bercakap-cakap dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Kong Ji. Mereka ini bicara dalam bahasa India dan Kok Sun menuturkan bahwa Kong Ji memang benar-benar tidak takut mati, hal ini sudah dibuktikannya ketika mereka naik di punggung kim-tiauw. Kemudian mereka bertiga berunding bagaimana untuk menghadapi bocah bandel ini. Akhirnya See-thian Tok-ong tertawa bergelak dan berkata kepada Kong Ji.
“Eh, Lui Kong Ji. kau ini memang bocah cerdik dan licik seperti iblis. Akan tetapi jangan kau kira bahwa kami takut kepadamu. Sekarang begini saja. Kami menerima permintaanmu, akan tetapi kami anggap bahwa kau menggadaikan nyawa kepada kami selama lima tahun. Bagaimana?"
Kong Ji terkejut. Ia maklum bahwa ia pun menghadapi tiga orang yang cerdik sekali, maka ia harus berlaku amat hati-hati. "Menggadaikan nyawa bagaimana maksud Locianpwe?"
"Begini. Kau menunjukkan tempat persembunyian Giok Seng Cu dan membantu kami mencari kitab dan pedang. Sementara itu, kami tidak membunuhmu menitipkan nyawamu kepadamu selama lima tahun. Dalam waktu lima tahun itu kau boleh menerima pelajaran ilmu silat dariku. Akan tetapi, selewatnya lima tahun, kami tidak bertanggung jawab atas nyawamu lagi dan kau sudah bukan muridku lagi."
Kong Ji berpikir keras. "Jadi kalau sudah lewat lima tahun, Locianpwe akan membunuh teecu?"
See-thian Tok-ong bergelak. "Hal itu tidak dapat dibicarakan sekarang. Mungkin sekali tergantung sepenuhnya kepadamu sendiri dan baru lima tahun kemudian aku dapat memastikan apakah harus dibunuh atau tidak."
"Kalau teecu menolak syarat ini?"
"Kau dibunuh sekarang juga dan kami akan mencari sendiri tempat sembunyi Giok Seng Cu," kata See-thian Tok-ong dengan suara dingin, hatinya sudah mendongkol sekali terhadap bocah yang selalu cerdik dan licik ini.
Kong Ji bukan seorang bocah luar biasa kalau ia tidak dapat menangkap nada suara Raja Racun maka cepat-cepat ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, "Teecu terima syarat itu!"
"Kau harus bersumpah!" kata See-thian Tok-ong dan suaranya terdengar gembira.
"Bersumpah bagaimana, Suhu?" tanya Kong Ji yang menyebut "suhu" kepada See thian Tok-ong.
"Bersumpah bahwa kau benar-benar akan membantu mencari pedang dan kitab, bahwa kau tidak akan menipuku dan benar-benar menerima penggadaian nyawa selama lima tahun!"
Kong Ji berpikir cepat. Celaka, tua bangka ini benar-benar pintar sekali dan mengikat diriku. Kalau begini aku tigi besar, pikirnya. "Suhu untuk bersumpah teecu tidak keberatan, akan tetapi teecu juga minta imbalannya untuk sumpah
"Anak setan! Kau berani supaya aku bersumpah pula? Kau tidak percaya bahwa aku telah menerimamu sebagai murid?" bentak See-thian Tok-ong dan kedua tangannya terkepal keras. Kalau Kong Ji membenarkan dugaan ini, tentu ia akan memukul hancur kepala bocah ini.
"Mana teecu berani tidak percaya pada Suhu? Hanya teecu minta Suhu berjanji akan menurunkan ilmu-ilmu tinggi kepada teecu selama lima tahun itu."
See-thian Tok-ong menghela napas panjang, "Kau memang pintar dan cerdas. Baiklah, aku berjanji akan menurunkan kepandaian tinggi, tentu saja kalau otakmu tidak terlalu tumpul."
Dengan girang Kong Ji lalu bersumpah. Kemudian menceritakan semua pengalamannya dengan Giok Seng Cu, menceritakan pula akan pertemuan Giok Se Cu dengan ketua ketua partai besar.
"Kitab rahasia itu hanya dapat dicari dengan menggunakan pedang Pak-kek Sinkiam!" tambahnya, "dan teecu yakin pula bahwa agaknya pedang itu merupakan kunci yang dapat membawa Suhu ke tempat tersimpannya kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu."
See-thian Tok-ong girang sekali. "Bagus, mari kita menyusul Giok Seng Cu di Lembah Maut!"
Giok Seng Cu bersembunyi di dalam sebuah gua yang terdapat di Lembah Maut. Ia merasa aman dan setiap hari Giok Seng Cu berlatih ilmu silat dengan pedang Pak-kek Sin-kiam. Kepandaiannya memang tinggi sekali maka setelah memiliki pedang pusaka itu, dengan mudah ia dapat menciptakan semacam ilmu pedang yang lihai. Ia hendak mempertinggi kepandalannya karena ia maklum bahwa sebelum mendapatkan kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu, keadaannya masih berbahaya. Di dalam lembah ia boleh merasa aman.
Memang keadaan lembah itu bukan main berbahayanya. Letaknya di tepi Sungai Wei-ho, di kaki bukit Cin-leng san. jarang ada orang berani memasuki Lembah Maut, karena biarpun ia berkepandaian tinggi, sekali saja kurang hati-hati, ia dapat tewas terjerumus ke dalam jurang atau rawa tertutup rumput. Baiknya Giok Seng Cu pernah satu kali datang ke tempat ini dengan gurunya, Pak Hong Siansu. Kalau bukan gurunya itu yang mencarikan jalan, biar Giok Seng Cu sendiri agaknya akan ragu-ragu untuk memasuki daerah ini.
"Takkan ada musuh berani memasuki Lembah Maut." pikirnya, "biarpun andai kata See-thian Tok-ong yang lihai sanggup memasuki daerah ini, belum tentu ia dapat menemukan tempat sembunyiku."
Pada suatu hari, ketika ia sedang berdiri di depan guanya, ia mendengar suara sayup-sayup sampai, datang dari luar hutan.
“Suhuuu...!"
Giok Seng Cu tidak mengenal suara itu, karena hanya terdengar lapat-lapat. Hm, agaknya ada musuh datang mencariku, pikirnya. Akan tetapi ia tidak takut, bahkan lalu menyelundup dan dengan jalan bersembunyi di balik rumpun, ia berindap indap menghampiri tempat dari suara itu datang.
"Suhu... teecu Lin Kong Ji berada di sini...!" kembali terdengar suara itu.
Giok Seng Cu girang sekali dan cepat ia melompat keluar dari tempat persembunyiannya, lalu berlari cepat menghampiri Kong Ji. "Kong Ji, kau sudah datang?" serunya dan diam-diam kakek ini merasa kagum melihat muridnya yang kecil itu sudah berhasil tiba di tempat ini. "Baiknya kau tidak lancang masuk ke dalam lembah ini, sungguh berbahaya kalau kau masuk ke sini."
Dengan matanya yang tajam Kong Ji melihat bahwa Giok Seng Cu tidak membawa pedang Pak-kek Sin-kiam. Anak ini dengan siasatnya telah berunding dengan See-thian Tok-ong untuk memancing keluar suhunya, karena daerah itu amat sukar lagi berbahaya.
"Suhu, lekas bawa teecu ke tempat yang aman, teecu ada pembicaraan yang amat penting bagi keselamatan Suhu!"
Giok Seng Cu kaget mendengar ini. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu memegang tangan muridnya dan dibawa ke dalam hutan, terus menuju ke goa tempat sembunyinya.
"Ada apakah? Ceritakan lekas!" katanya setelah mengambil Pak kek Sin-kiam yang disembunyikan di dalam gua. Giok Seng Cu memang berlaku hati-hati sekali. Tidak berani ia membawa-bawa pedang itu keluar lembah agar jangan menimbulkan perhatian orang lain yang melihatnya.
"Celaka, Suhu. See-thian Tok-ong telah membunuh semua saudara di Lam-si dan sekarang ia bersama anak isterinya yang lihai telah mengejar ke sini dengan napas terengah-engah dan cepat Kong Ji menuturkan betapa Lai Kwa Siang dan semua murid Im-yang-bu-pai yang berada di Lam-si telah dibunuh oleh keluarga See-thian Tok-ong.
"Baiknya teecu sempat melarikan terlebih dulu untuk memberi tahu kepada Suhu. Kalau tidak tentu teecu akan tewas pula dan tidak ada orang yang memberi tahu kepada Suhu."
Pucat wajah Glok Seng Cu mendengar ini. "Di mana mereka sekarang?"
"Mereka kabarnya mengejar teecu, karena mereka tidak tahu tempat Suhu bersembunyi. Akan tetapi teecu rasa ada baiknya kalau Suhu lekas-lekas keluar dari tempat ini dan mencari tempat- persembunyian lain."
"Kalau begitu, hayo kita pergi cepat-cepat, Kong Ji."
"Suhu, janganlah Suhu repot-repot karena teecu. Pergilah Suhu sendiri. Dengan adanya teecu, Suhu hanya akan terhalang dan tak dapat bergerak cepat. Kalau sampai teecu menjadi penghalang dan Suhu dapat dikejar oleh mereka, apakah artinya teecu bersusah payah mencari Suhu? Biarlah, tinggalkan teecu di sini. Kalau mereka mendapatkan tee-cu, mereka toh tidak mempunyai kepentingan apa-apa terhadap diri teecu?"
Giok Seng Cu terharu. "Anak baik... murid yang berbakti! Kau melepas budi besar untuk membela Suhumu. Apakah yang dapat kuberikan untuk membalas jasamu."
"Sudah menjadi kewajiban seorang murid untuk berbakti kepada gurunya. Teecu tidak mengharapkan sesuatu, hanya teecu minta sedikit petunjuk tentang ilmu mempergunakan Tin-san-kang, karena telah teecu latih namun masih teecu belum dapat mainkan dengan sempurna. Mempelajari kauw-koat (teori) saja benar-benar sukar."
Giok Seng Cu tertawa. "Memang dulu aku belum memberitahukan rahasia pukulan itu. Nah, sekarang dengar baik-baik dan lihat!" Giok Seng Cu lalu memberi petunjuk dan bersilat di depan Kong Ji, diperhatikan baik-baik oleh anak yang cerdik ini. Setelah Kong ji mengerti betul, Giok Seng Cu lalu meninggalkannya.
"Biar teecu tinggal di sini seorang diri untuk melatih Tin-san-kang," kata Kong Ji sebelum ia berangkat.
Sambil berlari cepat, Giok Seng Cu keluar dari Lembah Maut itu. Akan tetapi, alangkah kagetnya tiba-tiba dari balik pohon-pohon besar melompat keluar tiga bayangan orang dan tahu-tahu See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio, Kwan Kok Sun, burung rajawali emas dan puluhan ekor ular berbisa telah berjejer menghadang perjalanannya! Inilah siasat yang dijalankan oleh Kong Ji. Dengan cerdik ia memancing Giok Seng Cu keluar dari lembah untuk dihadapi oleh See-thian Tok-ong, sedangkan untuk pengkhianatannya, ia tidak dicurigai oleh Giok Seng Cu, sebaliknya, malah mendapat tambahan pelajaran ilmu silat dan dipuji-puji! Sampai saat itu pun, Giok Seng Cu tak pernah mengira bahwa muridnya itu yang mengkhianatinya. Setelah Giok Seng Cu pergi diam-diam Kong Ji juga keluar dari gua itu dan mengikuti perjalanan suhunya ini, maka kini ia yang bersembunyi di balik rumpun alang-alang dapat melihat apa yang terjadi di situ.
"Siapakah kalian yang berani menghadang perjalanan pinto?" tanya Giok Seng Cu dengan suara dibikin tenang sedapatnya. Ia sudah pernah melihat Kwan Kok Sun, akan tetapi belum pernah bertemu dengan See-thian Tok-ong dan isterinya. Biarpun iz sekarang dengan mudah dapat mengerti bahwa yang dihadapinya adalah keluarga iblis itu, namun ia pura-pura tidak tahu.
Kwan Kok Sun tertawa menyeringai, "Giok Seng Cu, apakah kau sudah lupa lagi kepadaku atau pura-pura lupa? Kau telah merampas pedang itu dari tanganku, sekarang kami datang untuk mengambilnya kembali berikut kepalamu!"
"Hm, agaknya pinto berhadapan dengan See-thian Tok-ong dan keluarganya,” kata pula Giok Seng Cu.
See-thian Tok-ong mengeluarkan suara di hidungnya, lalu berkata, "Giok Seng Cu pernah satu kali bertemu dengan mendiang Suhumu, Pak Hong Siansu. Dia adalah seorang yang mengutamakan persahabatan. Aneh sekali kau ini muridnya mengapa begitu curang dan sampai hati menipu puteraku pura-pura membantu kemudian bahkan merampas pedang dan memukulnya. Kau sudah terang harus dihukum, mau kata apa lagi?"
Merah muka Giok Seng Cu. Memang dalam hal berebut pedang dengan Kok Sun ia telah berlaku licik. Kalau saja dalam perebutan dahulu itu ia berlaku secara laki-laki dan mengandalkan kepandaian, belum tentu See-thian Tok-ong hendak membunuhnya. Akan tetapi, sudah menjadi bubur, hal itu telah terjadi dan tak dapat diubah pula, maka ia tidak dapat mundur lagi.
"Sesukamulah, See-thian Tok-ong. Hanya hendaknya kau ingat bahwa pedang ini adalah peninggalan Supek Pak Kek Siansu, maka akulah yang berhak mewarisinya. Sekarang pedang sudah di tanganku, kalau ada yang menghendakinya, boleh mencoba mengambilnya dan tanganku."
Inilah sebuah tantangan. Kwan Ji Nio sudah tak sabar lagi dan hendak menyerang, akan tetapi suaminya mengangkat tangan mencegahnya. See-thian Tok-ong maklum bahwa sebagai murid Pak Hong Siansu, Giok Seng Cu memiliki kepandaian tinggi, apalagi pedang pusaka di tangan, ia merupakan lawan berbahaya bagi isterinya.
"Kim-tiauw, rampas pedangnya'" bentaknya kepada burung yang berdiri di dekat Kok Sun.
Burung itu mengeluarkan pekik yang nyaring sekali, membuka sayap terbang ke atas lalu menyambar ke arah Giok Seng Cu. Kakek ini tidak gentar dan cepat mengerahkan tenaga, memukul dengan tenaga Tin-san-kang.
"Bruk!" Tubuh burung itu terpental sebelum bertemu dengan tangan Giok Seng Cu. Beberapa helai bulu sayapnya rontok dan sambil mengeluarkan bunyi cecuitan, burung itu tidak berani maju lagi hanya terbang berputaran di atas.
See-thian Tok-ong marah sekali, mengeluarkan suara mendesis sebagai perintah kepada ular-ular yang berada dibelakang Kok Sun. Empat puluh lebih ular merayap cepat dan menyerang Giok Seng Cu. Kakek ini bergidik dan jijik sekali melihat sekian banyaknya ular menyerangnya. Kembali ia mengerahkan tenaga, kedua tangannya didorong ke depan, ke arah ular-ular itu. Hebat sekali tenaga Tin-san-kang. Debu mengepul, batu-baru kecil terlempar dan sedikitnya ada tujuh ekor ular yang hancur tubuhnya terkena hawa pukulan Tin-san-kang! Ular-ular yang lain terlempar ke belakang dan mereka juga jerih menghadapi kakek yang berkepandaian tinggi itu.
Kong Ji yang mengintai dari balik rumpun alang-alang, kagum bukan main dan ia merasa girang bahwa kini ia telah dapat memiliki Tin-san-kang yang sempurna, tinggal melatihnya saja. Ia memandang terus dan kali ini Kok Sun rogoh sakunya. Agaknya bocah gundul ini hendak mengeluarkan sepasang ular merahnya yang lihai, akan tetapi See-thian Tok-ong mencegahnya. Raja Racun ini maklum, bahwa betapapun lihai Siang ang-coa, tak mungkin dapat melawan Giok Seng Cu dan ia merasa sayang kalau sepasang ular itu akan mati.
"Biarkan aku sendiri menghadapinya!” Tiba-tiba tubuh See-thian Tok-ong bergerak dan ia telah menyerang dengan pukulan berat ke arah dada Giok Seng Cu.
Kakek rambut panjang ini tidak berani berlaku ayal karena ia dapat menduga akan kehebatan lawannya. Cepat ia merendahkan tubuh dan mendorongkan kedua tangan ke depan, mempergunakan hawa pukulan Tin-san kang untuk memukul lawan. Giok Seng Cu yang sudah berpengalaman maklum bahwa ia tidak boleh beradu tangan dengan kakek ini, karena ia melihat bahwa kedua tangan See-thian Tok-ong mengeluarkan sinar menghitam yang mencurigakan, tanda bahwa sepasang tangan itu tentu mengandung racun jahat.
Dua hawa pukulan yang dahsyat bertemu di udara dan akibatnya Giok Seng Cu terhuyung tiga tindak, akan tetapi See-thian Tok-ong juga terdorong ke belakang. Tenaga mereka seimbang! Bukan main kagetnya Kong Ji yang menonton dari tempat sembunyinya. Tenaga sin-kang dari Giok Seng Cu sudah hebat, akan tetapi kini dapat dilawan See-thian Tok-ong. Ia makin gembira karena ia telah menjadi murid See-thian Tok-ong yang ternyata memiliki kepandaian yang tinggi pula.
"Biar kita mengadu nyawa di sini seru Giok Seng Cu marah. Ia maklum bahwa lawannya tidak dapat dirobohkan dengan Tin-san-kang dan kalau ia melayani dengan tangan kosong, ia tentu akan kalah, karena lawannya itu bertangan maut. yakni kedua tangannya mengandung hawa pukulan yang berbisa. Cepat dicabutnya pedang Pak-kek Sin-kiam dan berkelebatlah sinar yang menyilaukan mata ketika ia melakukan serangan pertama.
See thian Tok-ong terkejut melihat hebatnya serangan ini, cepat ia membanting tubuh ke kiri dan di lain saat ia telah mencabut sepasang tangan, senjatanya yang mengerikan itu. Baru saja kedua tangan kering itu digerakkan, Giok Seng Cu sudah mencium bau yang amat keras sehingga ia menjadi gentar. Ia teringat akan nama julukan lawannya, yakni Raja Racun, maka tahulah ia bahwa sepasang tangan kering itu tentu mengandung bisa yang amat berbahaya. Cepat ia menggerakkan pedangnya, diputar sedemikian cepatnya sehingga merupakan segulungan sinar yang menyelimuti tubuhnya.
Kong Ji makin kagum dan diam-diam timbul keinginannya untuk memiliki pedang luar biasa itu. "Benar-benar senjata pusaka yang ampuh," pikirnya.
Namun, betapapun hebat gerakan pedang Giok Seng Cu, ia menghadapi lawan yang amat tangguh. Ilmu silat dari See-thian Tok-ong amat luar biasa dan aneh gerakannya, sepasang tangan kering itu bergerak-gerak ke atas dan ke bawah, bahkan tidak takut kadang-kadang beradu dengan pedang! Hal ini adalah karena gerakan yang amat tepat sehingga tiap kali bertemu dengan pedang, tangan itu beradu dengan pinggiran pedang, bukan dengan mata pedang, karena kalau bertemu dengan tajamnya pedang tentu akan terbabat putus. Pertempuran berjalan amat serunya dan Giok Seng Cu harus mengakui bahwa kalau ia tidak memegang Pak-kek Sin-kiam, tentu ia takkan dapat bertahan demikian lamanya.
"Aku harus dapat lari dari sini...,” pikirnya sambil memutar pedang makin cepat.
Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu sebatang tongkat kecil menyambar ke arah kepala Giok Seng Cu. Hampir saja ujung tongkat itu mengenai kepalanya. Bukan main kagetnya ketua Im-yang-bu-pai ini. Sudah terasa ujung tongkat itu menggores rambutnya ketika ia cepat mengelak. Ketika ia melihat bahwa penyerangnya itu adalah Kwan Ji Nio, hatinya makin gentar. Dari gerakan serangan tadi ia menduga bahwa kepandaian Kwan Ji Nio ini kiranya lebih lihai daripada kepandaian suaminya! Padahal sebenarnya tidak demikian. Kwan Ji Nio memang lebih lihai dalam hal ilmu meringankan tubuh, maka penyerangannya cepat bukan main dan kelihatannya memang lebih lihai dari suaminya, akan tetapi sebetulnya tingkat kepandaiannya masih kalah jauh oleh See-thian Tok-ong.
Karena hatinya sudah gentar, permainan pedang Giok Seng Cu agak kalut dan tiba-tiba sebuah kuku senjata tangan dari See-thian Tok-ong berhasil menggores kulit lengan kanannya. Giok Seng Cu merasa kulit lengannya gatal-gatal bukan main sehingga hampir saja pedangnya terlepas. Ia cepat memutar pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan-pukulan Tin san-kang ke arah dua orang musuhnya.
Kwan Ji Nio telah maklum akan kehebatan Tin-san-kang dan tahu pula bahwa ia takkan kuat menahan pukulan-pukulan ini, maka cepat ia meloncat mundur mengandalkan ginkangnya yang luar biasa. Adapun See-thian Tok-ong juga menggerakkan tangan kiri untuk menolak hawa pukulan lawan. Akan tetapi kesempatan itu tidak dilewatkan percuma oleh Giok Seng Cu. Sekali ia melompat, ia telah berlari masuk hutan.
"Tinggalkan pedang!" teriak See-thian Tok-ong mengejar. Juga Kwan Ji Nio ikut pula mengejar.
Giok Seng Cu tadinya hendak mengandalkan keadaan di lembah itu untuk menyelamatkan diri. Ia sudah mengenal baik keadaan di lembah yang liar itu dan kalau ia dapat masuk ke dalam hutan yang lebat, agaknya dua orang lawannya takkan berhasil mengejarnya. Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara sayap burung dan ketika ia memandang ke atas, ia melihat kim-tiauw tadi beterbangan di atas dan mengeluarkan bunyi nyaring.
"Burung jahanam...!" makinya. Ia menahan gemas dan menyesal mengapa ia tak mempunyai gendewa dan anak panah untuk membunuh burung itu. Dengan adanya kim-tiauw yang terus mengikutinya, tak mungkin lagi ia bersembunyi. dan dua orang suami isteri itu telah menyusulnya dan mengirim serangan-serangan hebat. See-thian Tok-ong menyetang dengan tangan berbisa, sedangkan Kwan Ji Nio menggerakkan tongkat bambunya dengan cepat sekali.
"Celaka aku kali ini...." Giok Seng Cu mengeluh ketika tiba-tiba merasa tangan kanannya makin gatal-gatal, dan rasa gatal itu menyerang sampai ke pundaknya. Ia maklum bahwa itu tentulah akibat dari serangan tangan berbisa yang dipegang oleh See-thian Tok-ong dan kini racunnya telah masuk ke dalam lengannya.
Tiba-tiba ia berseru keras dan dari tangan kanannya menyambar sinar keemasan ke arah leher See-thian Tok-ong. Kakek ini terkejut sekali. Cepat ia mengelak akan tetapi tetap saja sinar itu telah melanggar ujung baju di lengannya sehingga ujung baju itu terbabat putus. Baiknya ia cukup cepat mengelak sehingga tidak terluka. Ketika ia memandang ke depan, Giok Seng Cu telah lari jauh masuk ke dalam hutan.
See-thian Tok-ong tidak mau mengejar. "Tidak perlu mengejar dia, pokiam (pedang pusaka) telah diberikan kepadaku. Ia menghampiri pedang Pak-kek Sin-kiam yang tadi dilontarkan kepadanya dan kini pedang itu tertancap ambles ke dalam batang pohon. Dicabutnya pedang itu dan dipandanginya dengan penuh kesayangan.
"Kau yang akan membawaku ke tempat kitab dan akulah yang akan dapat mewarisi Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang hoat. Ha ha ha...!" See-thian Tok-ong tertawa gembira.
"Suhu, teecu menghaturkan kionjhi (selamat)!" Tiba-tiba Kong Ji keluar dari tempat persembunyiannya berlutut di depan See-thian Tok-ong.
"Ha, anak baik, kau telah membantu banyak." Tentu saja See-thian Tok-ong dan isterinya sudah tahu bahwa Kong Ji bersembunyi di situ. "Mari sekarang kita mencari kitab di puncak Lulilang-san,” ajaknya.
Siasat Kong Ji untuk memancing keluar Giok Seng Cu, oleh See-thian Tok-ong dianggap sebagai bukti kebaktian anak itu kepadanya. Oleh karena itu, ia makin merasa suka kepada Kong Ji. Bahkan anak ini dengan sikapnya yang mengasih dan pandai mengambil hati, akhirnya dapat juga menangkan hati Kok Sun yang menganggapnya sebagai seorang sahabat yang baik sekali. Hanya Kwan Ji Nio seorang yang masih bersikap dingin kepadanya, sungguhpun rasa benci dari nenek ini tidak sehebat dulu.
Rasa sayang dari See-thian Tok-ong kepadanya terasa oleh Kong Ji karena ia dapat mengetahui hal ini dari cara Raja Racun itu memberi pelajaran silat kepadanya. Kini mulailah See-thian Tok-ong menurunkan rahasia latihan ilmu lwee kang dari barat dan di sepanjang perjaianan menuju ke Luliang-san tiap kali ada kesempatan. Kong Ji selalu melatih diri dengan pelajaran baru ini. Setelah tiba di puncak Luliang-s See thian Tok-ong dan isterinya merasa amat kagum dan suka sekali melihat puncak yang indah itu.
"Benar-benar tempat yang amat menyenangkan," katanya, "pantas sekali tempat seperti ini disukai oleh mendiang Pak Kek Siansu. Memang amat baik untuk menjadi tempat bertapa dan istirahat." Ia segera mengambil keputusan untuk tinggal di puncak itu. Bahkan lalu memperbaiki bekas pondok Pak Kek Siansu yang sudah diobrak-abrik dan dirusak oleh Kok Sun, puteranya sendiri ketika bersama Ba Mau Hoatsu mencari kitab rahasia.
Agar tidak membingungkan pembaca baik diceritakan bahwa Ba Mau Hoatsu telah kembali ke Tibet seteLah See-thian Tok-ong menyusul puteranya ke Tiong- goan. Dengan adanya See-thian Tok-ong sekeluarga turun dari Tibet untuk mencari kitab, Ba Mau Hoatsu merasa tidak ada harapan baginya lagi untuk ikut-ikut mencari kitab itu, maka ia pun lalu berpamit dan kembali ke Tibet, di mana melatih diri dengan ilmu silatnya.
See-thian Tok-ong dan anak isterinya, dengan bantuan Kong Ji mulailah mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Akan tetapi usaha mereka sia-sia. Seluruh puncak telah mereka jelajahi dan periksa, namun tidak ada hasilnya. Kitab rahasia itu tak dapat ditemukan. Berbulan-bulan mereka mencari dan selama itu Kong Ji mulai menerima latihan-latihan ilmu silat dari See-thian Tok-ong. Raja Racun ini tertarik sekali melihat kecerdikan Kong Ji dan setelah melatih beberapa bulan, ia mendapat kenyataan bahwa bakat dalam diri anak ini bahkan lebih besar daripada puteranya sendiri. Setiap gerakan dan latihan lwee-kang dapat ditangkap dengan mudah oleh Kong Ji.
Akan tetapi tentu saja See-thian Tok-ong belum berani menurunkan kepandaiannya yang sejati dan hanya memberi pelajaran ilmu-ilmu silat yang tidak begitu hebat. Namun Kong Ji tetap sabar. Anak ini pandai sekali menyembunyikan kepandaian-kepandaian yang pernah dipelajarinya, bahkan suhunya sendiri tidak tahu bahwa ia kini telah mulai dapat menjalankan Ilmu Pukulan Tin-san-kang dari Giok Seng Cu! Dalam pandangan See-thian Tok-ong, Kong Ji masih dangkal Ilmu pengetahuannya dalam ilmu silat, padahal anak ini diam-diam telah memiliki ilmu-ilmu silat, dari Kwan-im-pai dari Hoa-san-pai, dan juga dari Giok Seng Cu.
Pelajaran lweekang yang agak dalam telah mulai diturunkan oleh See-thian Tok-ong kepada Kong Ji setelah hampir setahun mereka tinggal di puncak Jeng in-thia (Ruang Awan Hijau). Iweekang ini berbeda cara melatihnya dengan lweekang di Tiong-on karena untuk siulian (bersamadhi), Kong Ji harus berdiri dengan kaki di atas dan kepala di bawah. Mula-mula hal ini amat sukar. Baru sebentar saja kepalanya terasa pening dan darah turun ke bawah membuat mukanya merah sekali. Juga ia tak dapat tahan lama membiarlan kakinya lurus ke atas, sehingga ia harus mencari bantuan batu karang untuk menyangga kedua kakinya. Namun berkat latihan yang amat tekun, beberapa bulan kemudian ia telah dapat berdiri berjam-jam dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kemudian ia diberi pelajaran melakukan gerakan kaki tangan dengan keadaan tubuh berjungkir balik, yakni kepala di bawah dan kaki di atas. Ini adalah gerakan-gerakan untuk melatih tenaga dalam tubuh dan untuk memperkuat lweekangnya.
Semenjak menerima pelajaran itu, setiap pagi, tanpa mengenal lelah, Kong Ji terlihat berlatih seorang diri di dekat jurang di Jeng-in-thia, dengan kepala di bawah, kedua kali di atas, kedua lengan dibentangkan kemudian ia bergerak-gerak dan berputar-putar cepat sekali! Hatinya penuh cita-cita yakni untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan. Ia tidak tahu bahwa tempat di mana ia berlatih, kadang-kadang seorang diri dan kadang-kadang berdua dengan Kok Sun, dahulu adalah tempat berlatih Wan Sin Hong di bawah pimpinan Luliang Sam lojin. Juga, ia tidak pernah mengimpi bahwa pada saat ia berlatih di tempat itu, tak jauh dari situ, yakni di dalam jurang, kurang lebih seratus tombak dalamnya dari tepi jurang, seorang anak laki-laki lain tengah berlatih ilmu yang dilatihnya, dan anak itu bukan lain adalah Wan Sin Hong yang sedang berlatih ilmu silat menurut petunjuk kitab peninggalan Pak Kek Siansu!
Tiga tahun telah berlalu amat cepatnya. Selama itu, See-thian Tok-ong dan anak isterinya tinggal di puncak Luliang san dan mereka tiada henti dan bosannya mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu yang tanpa hasil. Mereka mulai putus asa dan sikap See-thian Tok-ong terhadap Kong Ji mulai berubah, kini seringkali ia mengeluarkan kata-kata kasar.
Namun kakek ini menepati janjinya. Ia melatih Kong Ji dengan sungguh-sungguh sehingga anak ini mewarisi ilmu silat yang amat tinggi. Kong Ji tidak menyia-nyiakan waktunya, siang malam tiada bosannya ia melatih diri sehingga biar lambat akan tetapi tentu ia mulai mengejar kepandaian Kwan Kok Sun si Bocah Gundul yang kini telah menjadi seorang pemuda, namun tetap saja kepalanya selalu digunduli. Kong Ji sendiri pun sudah menjadi seorang pemuda tanggung yang tampan dan bertubuh jangkung.
Memang kalau dilihat begitu saja agaknya Kong Ji masih kalah oleh Kok Sun, akan tetapi andaikata mereka bertempur, sudah dapat dipastikan bahwa Kok Sun akan kalah. Hal ini adalah karena di samping pelajaran ilmu silat yang ia dapat dari See-thian Tok-ong, juga Kong Ji diam-diam telah menyempurnakan ilmu-ilmunya yang lain yang didapat dari ajaran mendiang Liang Gi Tojin dan Giok Seng Cu, terutama sekali ilmu pukulan Tin-san-kang dari Giok Seng Cu. Akan tetapi dengan amat cerdiknya, ilmu ini ia simpan rapat-rapat dan keluarga itu tidak mengetahuinya.
Pada suatu malam Kong Ji mendengar percakapan antara See-thian Tok-ong dan isterinya, percakapan yang amat mengejutkan hatinya. "Kita membuang waktu percuma saja, dasar kau yang mudah ditipu oleh anak setan itu!" kata Kwan Ji Nio kepada suaminya.
"Ahh, kau tahu apa?" jawab See-thian Tok-ong sambil tertawa. "Kalau tak ada dia, bagaimana kita bisa mendapatkan pedang pusaka dari Pak Kek Siansu.”
"Untuk apa pedang pusaka itu? Yang penting adalah kitab itu, ternyata tidak ada di sini." Kemudian Kwan JI Nio menyambung dengan suara perlahan, "bocah setan itu kulihat amat maju. Kelak kalau hatinya membalik, kitalah yang akan bertambah seorang musuh yang membahayakan."
"Ha, ha, isteriku, kau terlalu kecil hati. Apa sih bahayanya bocah itu? Tidak bisa didapatkannya kitab sungguh-sungguh bukan salahnya. Dan aku sudah berjanji menerimanya sebagai murid selama lima tahun. Masih setahun lebih aku harus melatihnya, kemudian, andaikata kau hendak membunuhnya, apa sih sukarnya. Biar dia belajar dua atau tiga tahun lagi, menghadapi Kok Sun saja belum tentu menang. Apa yang perlu kita takuti?"
Percakapan itu terhenti dan Kong Ji menjauhkan diri. Ia duduk termenung di pinggir jurang tempat ia berlatih silat. Celaka, pikirnya. Apa artinya aku belajar setahun dua tahun lagi kalau akhirnya aku akan mereka bunuh juga? "Ah, kalau saja aku bisa mempelajari ilmu dari kitab peninggalan Pak Kek Siasu, aku tidak akan takut menghadapi mereka!"
Sudah lama bocah yang cerdik ini sering kali memandang ke dalam jurang dan timbul pikirannya bahwa besar sekali kemungkinan kitab rahasia itu disembunyikan di dasar jurang. Bukankah pedang itu pun menurut Kok Sun, didapatkan oleh kim-tiauw di dasar jurang? Ia sengaja tidak menyatakan dugaannya ini kepada See-thian Tok-ong, karena memang ia tidak ingin keluarga iblis itu mendapatkan kitab yang ia sendiri ingin memilikinya. Akan tetapi setelah mendengar percakapan antara suami isteri itu, ia mendapatkan akal. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri untuk menarik simpati dan kasih sayang mereka, adalah membantu mereka mendapatkan kitab, sehingga dengan jalan ini ia dapat membuktikan kesetiaan dan kebaktiannya.
"Suhu," katanya pada keesokan harinya kepada See-thian Tok-ong, "bagaimana dengan hasilnya mencari kitab rahasia itu?"
Kening kakek itu berkerut dan sepasang matanya kelihatan marah, "Perlu apa kau bertanya-tanya? Membantu pun tidak becus!" tegurnya marah.
"Maaf, Suhu. Sudahkah dicari di dasar jurang itu?"
"Kau ngelindur! Jurang yang tidak kelihatan dasarnya itu, bagaimana bisa periksa?"
"Teecu sanggup menuruni jurang itu!”
See-thian Tok-ong tertegun, demikian juga Kwan Ji Nio dan Kok Sun.
"Jangan kau main-main, kupatahkan batang lehermu nanti!" bentak Kwan Ji Nio.
"Subo, mana teecu berani main-main. Dulu yang mendapatkan Pak-kek Sin kiam adalah kim-tiauw, kalau sekarang teecu naik di punggung kim-tiauw dan menyuruh burung itu terbang turun ke jurang apakah sukarnya? Siapa tahu kalau-kalau di dalam jurang itulah tempat disimpannya kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu."
"Bagus, bagus! Kau betul sekali, muridku yang baik!" kata See-thian Tok-ong dan sepasang matanya yang lebar itu memandang kepada isterinya seakan-akan berkata bangga. "Apa kataku? Muridku ini bukannya seorang yang tidak ada gunanya!”
Kim-tiauw dipanggil dengan siutan keras. Burung yang sedang beterbangan di atas itu meluncur turun dan hinggap di atas tanah, di depan See-thian Tok-ong.
"Kim tiauw, kau bawa Kong Ji ke dasar jurang, ke tempat di mana dahulu kau mendapatkan pedang ini!” kata See-thian Tok-ong sambil memperlihatkan Pak-kek Sin-kiam kepada burung itu.
Adapun Kong Ji sudah meloncat ke atas punggung kim-tiauw dan berkata, "Kim-tiauw yang baik, hati-hatilah kau terbang ke dalam jurang." Anak ini kelihatannya gembira sekali, memang sebenarnya dia gembira karena ia memang ingin sekali mendapatkan kitab yang dicari-cari oleh semua orang kang-ouw itu.
Burung rajawali emas itu mengeluarkan pekik nyaring, lalu membuka sayap dan terbang tinggi. Setelah berputar beberapa kali di atas jurang, ia lalu menukik turun dengan cepatnya. Kong Ji hampir tak berani membuka matanya saking ngeri melihat betapa burung itu membawanya meluncur turun ke dalam jurang yang tidak kelihatan dasarnya itu. Akan tetapi, ia segera berseru girang dan heran ketika burung itu tiba di atas sebuah lereng Bukit Luliang-san yang indah sekali pemandangannya. Burung itu turun dan Kong Ji juga meloncat turun dari punggungnya sambil memandang ke kanan kiri, mengagumi keindahan tamasya alam di sekitar itu.
"Kim-tiauw, di manakah kau dahulu mendapatkan pedang?" tanyanya berulang ulang.
Burung itu tentu saja tidak dapat menjawab, akan tetapi agaknya ia mengerti akan maksud pertanyaan Kong Ji. Ia meloncat-loncat dan tiba di depan gunung karang di mana terdapat sebuah batu besar sekali tersandar pada lamping batu karang yang menjadi gunung itu. Ia berbunyi berkali-kali dan kelihatan bingung. Memang, dahulu ia merampas pedang dari tangan anak kecil yang keluar dari gua, akan tetapi sekarang di situ tidak kelihatan ada gua lagi.
Kong Ji amat cerdik. Agaknya burung ini memberi tanda bahwa pedang didapatkan di batu ini, pikirnya. Ia lalu mendorong batu besar itu akan tetapi berat batu itu ada seribu kati kiranya maka biarpun ia mendorong kuat-kuat, batu itu tidak bergeming. Kim-tiauw itu mengangguk-angguk dan berbunyi terus, maka makin curigalah Kong Ji.
"Mundurlah, Kim-tiauw!" bentaknya.
Burung itu sudah pandai mendengar perintah dari suara Kong Ji sudah dikenal olehnya, maka ia cepat meloncat dan terbang menjauhi tempat itu, Kong Ji berjumpalitan, berdiri dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas, berlatih sebentar mengumpulkan lweekangnya. Sekarang, setelah jauh dari See-thian Tok-ong dan anak isterinya barulah ia mendapatkan kesempatan untuk mencoba kepandaian, yakni Tin-san-kang yang ia pelajari dari Giok Seng Cu.
Setelah tulang-tulang berbunyi berkerotokan. Kong Ji meloncat berdiri seperti biasa, merendahkan tubuh, mengerahkan seluruh tenaga lweekang yang ada di tubuhnya, lalu mendorong batu yang bersandar pada gunung karang itu sambil mengeluarkan Ilmu Tin-san-kang. Dan dia berhasil! Batu itu bergoyang- goyang, namun tidak dapat menggelinding pergi. Kong Ji merasa yakin bahwa di balik itu atau bawahnya terdapat rahasia yang akan membawanya ke tempat penyimpanan kitab peninggaian Pak Kek Siansu. Ia berhenti untuk bernapas dan beristirahat.
"Masa aku kalah oleh batu ini?" pikirnya. Dengan sekuat tenaga, kembali ia mendorong batu itu, melakukan gerakan mendorong Ilmu Tin-san-kang jurus terakhir yang paling besar tenaganya yakni dengan kedua kaki menjejak tanah dan kedua tangannya mendorong ke depan, kepala tunduk dan tubuh hampir jongkok. Kini ia berhasil! Batu itu bergeser sedikit dan alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa di belakang batu itu terdapat sebuah gua yang gelap! Biarpun batu penutup gua itu hanya tergeser sedikit, akan tetapi cukup lebar untuk dia menyelinap masuk.
Tanpa ragu-ragu dan tidak kenal takut, Kong Ji masuk ke dalam gua. Akhirnya ia tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, dan alangkah girangnya ketika ia melihat di dalam ruangan itu ada batu-batu licin seperti tempat duduk, dan sudut ruangan terdapat sebuah peti! Berdebarlah hatinya. Tak salah lagi, inilah tempat rahasia itu, pikirnya. Ia memandang sekeliling dengan siap sedia, kalau-kalau ada orang di dalam gua itu, akan tetapi keadaannya sunyi sekali. Kong Ji sudah memiliki kepandaian yang tinggi sehingga kalau di dekat situ terdapat orang tentu ia akan dapat mendengar jalan pernapasan orang itu.
Dengan hati kebat-kebit ia menghampiri peti dan membuka tutupnya. Tutup peti itu berat sekali, akan tetapi dengan lweekangnya yang sudah tinggi, ia berhasil membukanya tanpa banyak sukar. Hampir saja ia berteriak girang ketika ia melihat sebuah kitab tebal di dalam peti' itu. Kegirangannya meluap-luap karena ia dapat membaca huruf-huruf sampul buku yang ditulis besar-besar dengan jelas dan berbunyi:
PAK KEK SIN CLANG HOAT PIT KIP (Kitab Pelajaran Ilmu Silat Pak-kek-sin-ciang).
Akan tetapi ia merasa menyesal sekali ketika membuka kitab itu, karena ia tidak dapat membacanya. Hanya beberapa buah huruf saja dapat dibacanya karena sesungguhnya Kong Ji sudah banyak lupa akan huruf-huruf yang belum lama dipelajari dan tidak pernah ia pergunakan. Ia termenung sebentar, kemudian mengembalikan kitab di dalam peti, menutupnya kembali, kemudian ia memeriksa keadaan di dalam gua. Setelah merasa yakin bahwa ia tidak mendapatkan apa-apa lagi, ia lalu keluar dari dalam gua. Dari luar gua ia mempergunakan kepandaian dan tenaganya untuk menggeser kembali batu itu menutupi gua dan sama kali tidak kelihatan dari luar. Dipandang dari luar batu itu tidak menimbulkan kecurigaan, seperti batu besar biasa yang terletak di dekat batu karang seperti gunung itu.
Dengan kakinya Kong Ji meratakan tanah di mana jejak kakinya nampak, kemudian ia memanggil kim-tiauw dan melompat ke atas punggungnya. "Kim-tiauw, mari kita naik lagi ke tempat Suhu,” katanya.
Kim-tiauw terbang ke atas dan disepanjang penerbangan naik Kong Ji memperhatikan pinggiran jurang, karena sudah mengambil keputusan untuk kelak kembali seorang diri di dalam jurang ini dan mempelajari isi kitab itu setelah ia pandai membaca. Setelah tiba di depan See-thian Tok-ong dan anak isterinya yang menanti sampai kehilangan sabar, Kong Ji berkata.
"Tidak ada apa-apa, Suhu. Hanya lereng bukit kosong, penuh batu karang besar-besar. Kim-tiauw juga kelihatan bingung, agaknya pedang Pak-kek Sin-kiam itu ia pungut begitu saja dari dasar jurang yang ternyata merupakan lereng juga itu. Kitabnya kalau memang ada tentu tidak disimpan di tempat seperti itu."
See-thian Tok-ong nampak kecewa sekali. Kwan Ji Nio menyumpah-nyumpah lalu berkata kepada suaminya, "Kalau kitab itu memang tidak ada mengapa susah-susah dipikirkan? Dengan kepandaian yang ada pada kita, siapakah yang mampu mengalahkan kita?"
Tiba-tiba Kok Sun berkata, "Ayah siapa tahu kalau Kong Ji kurang teliti mencarinya. Biar aku sendiri yang melihat keadaan di bawah sana bersama kim-tiauw."
Kong Ji terkejut sekali akan tetapi dengan cerdiknya ia dapat menekan perasaan hatinya sehingga mukanya tidak menunjukkan sesuatu, bahkan ia berkata dengan lagak mendongkol, "Kalau Kok Sun Twako tidak percaya kepadaku, baiklah kau lihat sendiri!"
Kok Sun hanya tertawa dan cepat melompat ke punggung kim-tiauw dan menyuruh burung itu terbang masuk kedalam jurang. Hati Kong Ji berdebar. Celaka, pikirnya, kalau sampai setan gundul ini mendapatkan kitab, tidak saja kitab itu akan terjatuh ke tangan See-thian Tok-ong, bahkan dia sendiri tentu akan dibunuh oleh Raja Racun.
"Kau bilang tidak menemukan apa-apa di bawah sana? Betulkah itu? Hm, kau akan melihat sendiri akibatnya kalau kau membohongi kami." Kwan Ji Nio berkata sambil tersenyum dan memandang kepada Kong Ji. Nyonya ini merasa benci kepada Kong Ji, benci yang ditimbulkan oleh iri hati, karena bocah ini lebih tampan daripada puteranya sendiri.
"Subo, memang teecu tidak mendapatkan sesuatu. Kalau teecu mendapat sesuatu di bawah sana, tentu sudah teecu bawa naik. Andaikata Kok Sun Twako mendapat kitab itu di bawah sana, itulah karena Twako memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada teecu," jawab Kong Ji merendah. Ia pikir bahwa jawaban ini mungkin akan menolongnya terbebas daripada kecurigaan andaikata benar-benar Kok Sun mendapatkan kitab rahasia itu.
Di dalam hati Kong Ji timbul ketegangan luar biasa selama menanti munculnya kim-tiauw dan Kok Sun. Ia gelisah sekali, akan tetapi diam-diam ia berpikir, takkan mungkin Kok Sun kuat mendorong batu besar itu. Ia tahu bahwa tenaga lweekang dari Si Gundul itu sudah kuat sekali, akan tetapi tidak banyak selisihnya dengan tenaganya sendiri. Tadi pun kalau tidak mengerahkan Tin-san-kang takkan mungkin ia dapat menggeser batu. Dengan pikiran ini, hatinya menjadi lega.
Tak lama kemudian terdengar suara kim tiauw dan muncullah burung besar itu. Kok Sun duduk di atas pungungnya dan dari muka Si Gundul ini dapat diduga bahwa ia pun gagal dalam usahanya mencari kitab. "Benar, Kong Ji, di sana tidak apa-apa melainkan batu-batu besar dan batu karang," kata Kok Sun setelah melompat turun.
Kong Ji tanpa disadarinya tersenyum mengejek dan merasa girang sekali, hanya dia masih khawatir kalau-kalau See-thian Tok-ong sendirilah yang mencoba karena Raja Racun itu pasti dapat meggeser batu yang menutupi gua di mana tersimpan kitab itu. Tiba-tiba Kwan Ji Nio menyambar memegang pundaknya dengan kuat sekali. Kong Ji terkejut dan memandang.
"Bocah setan, mengapa kau tersenyum sindir melihat kegagalan anakku? Kau senyembunyikan rahasia apakah? Hayo mengaku!”
Kong Ji terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nenek ini demikian cerdik dan demikian tajam pandangan matanya. Kalau ia tidak dapat memberikan alasan, tentu mereka akan menjadi curiga dan akan memaksanya mengaku akan rahasia hatinya.
"Maaf..." ia sengaja berkata gagap, "teecu... teecu tadi merasa penasaran karena Kok Sun Twako tidak percaya kepada teecu dan pergi memeriksa sendiri. Sekarang melihat Twako tidak mendapatkan apa-apa, tanpa disengaja teecu tersenyum, mohon Subo sudi memaafkan."
"Kau anak setan, kau sekarang saja sudah berani menghina anakku, apalagi kelak kalau sudah pandai. Kok Sun, hayo beri hajaran kepadanya yang sudah berani mentertawakanmu!" kata nyonya tua itu dengan marah.
See-thian Tok-ong diam saja, bahkan membuang muka ketika Kong Ji memandang kepadanya untuk minta bantuan. Hati Kong Ji mulai gelisah. Setan tua ini karena sekarang melihat aku tak dapat membantunya mendapatkan kitab, tak mau perduli lagi kepadaku. Ia memandang kepada Kok Sun. Si Gundul ini hanya tersenyum saja dan memandang juga kepadanya dengan mata menyelidik.
"Kong Ji kau memang kurang ajar kepadaku. Akan tetapi aku sebenarnya takkan melakukan sesuatu. Hanya karena Ibu yang minta maka terpaksa aku harus mentaatinya. Bangunlah, dan mari kita berlatih sebentar!"
Kong Ji tidak mengerti akan maksud Kok Sun. Biasanya Si Gundul ini amat baik terhadapnya dan ia pun sudah merasa yakin bahwa ia telah berhasil menarik hati Kok Sun dan mendapatkan kasih sayangnya sebagai saudara. Tiba-tiba mata Kok Sun berkejap. Kong Ji memang cerdik, maka tahulah ia akan maksud Kok Sun. Si Gundul ini mengajak ia mengadu kepandaian untuk menghilangkan kemarahan hati ibunya dan kalau Kong Ji sudah terkalahkan olehnya, agaknya kemarahan ibunya akan berkurang terhadap Kong Ji. Memang hal ini perlu sekali karena kalau kemarahan ibunya tidak dipadamkan, ada kemungkinan Kong Ji akan dibunuh pada saat itu juga.
"Baiklah, Twako, kalau kau hendak memberi hukuman padaku, silakan," kata Kong Ji sambil melompat berdiri.
"Kong Ji kau lawan dia. Tidak boleh puteraku memukul lawan tanpa lawannya itu membalas," tiba-tiba See-thian Tok-ong berkata. Kakek ini biarpun tentu saja membela putera sendiri, namun ia merasa tersinggung kehormatannya kalau melihat Kong Ji dipukul tanpa memperlihatkan perlawanan. Setidaknya anak ini pernah belajar kepadanya dan sekaranglah waktunya untuk menguji sampai di mana hasil pelajaran itu. Memang aneh watak orang seperti See-thian Tok-ong. Ia tidak akan peduli andaikata isterinya membunuh Kong Ji, ia tidak ingat sama sekali tentang nasib anak ini. Akan tetapi ia ingin melihat hasil daripada ajarannya dan dapat bangga karena hasil yang baik.
"Nah, Kong Ji, Ayah sudah mengijinkan kita mengadu kepandaian, hitung-hitung latihan!” kata Kok Sun gembira, memang Si Gundul ini tidak mempunyai maksud buruk terhadap Kong Ji, hanya ingin mengalahkan dalam pertempuran agar ibunya puas.
Terpaksa Kong Ji bersiap sedia menanti serangan Kok Sun. Serangan tiba ketika Kok Sun berseru keras dan memukul dengan tangannya yang kecil tetapi kuat. Kong Ji cepat mengelak dan membalas serangan lawan. Bertempurlah dua orang pemuda tanggung ini dengan seru dan hebatnya. Masing-masing mengeluarkan tipu-tipu dan gerak silat yang mereka pelajari dari See-thian Tok-ong. Kakek ini berdiri tegak menonton dan mulutnya tersenyum, kepalanya beberapa kali mengangguk-angguk. Dan sambaran angin pukulan-pukulan kedua orang pemuda itu, tahulah ia bahwa kepandaian mereka sudah amat maju dan mengagumkan. Setiap gerakan tidak ada yang salah.
Akan tetapi diam-diam ia terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya bahwa Kong Ji yang secara terpaksa menjadi muridnya itu, benar-benar hebat sekali. Gerakannya tenang, tetap, dan penuh tenaga. Tipu-tipunya amat licin dan cerdik sehingga kalau saja Kok Sun tidak mewarisi kepandaian ginkang (ilmu meringankan tubuh) dari ibunya, tentu sudah terkena tipu dalam pertempuran itu.
Memang Kong Ji dalam pertempuran ini tidak mau mengalah. Inilah penyakitnya. Kalau saja ia mengalah dan mandah dipukul dan dikalahkan dalam pertempuran ini, agaknya kemarahan Kwan Ji Nio akan padam dan ia akan selamat. Akan tetapi, selain cerdik sekali, Kong Ji mempunyai kelemahan, yakni tak mau menyerah kalah terhadap siapapun juga. Biasanya, di dalam menyerah ia menyembunyikan siasat yang membuat ia menarik keuntungan besar, yakni yang disebut siasat mengalah untuk menang.
Akan tetapi menghadapi Kok Sun ia lupa akan siasat ini. Darah mudanya membuat ia tidak mau kalah begitu saja terhadap Kok Sun. Nafsunya untuk menjadi jagoan dan menangkan semua orang, menguasai seluruh tubuhnya. Ia bertempur dengan hati-hati dan penuh semangat. Hanya kecerdikan otaknya saja yang menahannya sehingga ia tidak mempergunakan Tin-san-kang terhadap Kok Sun melainkan mainkan ilmu silat yang ia pelajari dari See-thian Tok-ong....
Di dalam hatinya, bocah ini bahkan bersorak girang karena ia memang selalu menganggap lm-yang-bu-pai sebagai musuh-musuh yang membinasakan ayah bundanya. Ia bahkan girang dan puas, serta memuji tinggi kegagahan See-thian Tok-ong dan anak isterinya. Sesungguhnya, betapapun kejamnya ayah ibu anak itu, kalau dibandingkan dengan watak dasar di dalam dada Kong Ji mereka masih kalah jauh.
Kong Ji selalu memperlihatkan sikap baik hanya dengan satu maksud, yakni mencari ilmu yang tinggi untuk diri sendiri. Orang lain, baik orang itu memusuhinya maupun melepas budi baik kepadanya, ia tidak ambil perduli sama sekali. Kekejian See-thian Tok-ong dan anak isterinya hanya ditujukan kepada musuh-musuhnya atau kepada mereka yang dianggap merintangi kehendaknya. Sebaliknya kekejian Kong Ji tidak memilih bulu, sudah dibuktikan betapa ia dapat berlaku keji terhadap Lie Bu Tek, orang yang telah menolongnya!
Setelah semua orang lm-yang-bu-pai tewas, tiba-tiba Kwan Ji Nio melompat dan menyambar leher Kong Ji. "Ini yang paling jahat harus dibikin mampus!" bentaknya sambil mengangkat tangan kanan. Kong Ji terkejut sekali, akan tetapi ia tidak berdaya dan hanya memandang kepada nenek itu dengan mata tak kenal takut.
“Isteriku jangan bunuh dia!" Tiba-tiba See-thian Tok-ong berseru.
Tangan yang sudah diangkat ke atas diturunkan kembali, juga tubuh Kong Ji dilepas ke bawah dan nyonya tua itu menoleh kepada suaminya. "Kenapa setan cilik ini tidak boleh dibunuh?" tanyanya.
"Ibu, dia harus membawa kita ke tempat persembunyian Giok Seng Cu," kata Kok Sun dengan suara menyesal, seolah-olah ia kecewa melihat kebodohan ibunya.
See-thian Tok-ong tertawa bergelak. “Nah, kau lihat. Bukankah Kok Sun sekarang sudah cerdik sekali! Ia telah melampaui Ibunya dalam kecerdikan. Ha ha ha!"
Kwan Ji Nio cemberut dan mendelik kepada puteranya, kemudian ia menudingkan ke telunjuknya di depan hidung Kong Ji. "Setan cilik, benarkah kau dapat menunjukkan tempat persembunyian Giok Seng Cu? Hayo mengaku yang betul, kalau tidak kuhancurkan kepalamu."
Menghadapi tiga orang aneh yang amat ganas itu, tentu saja Kong Ji merasa berdebar hatinya. Akan tetapi ia memang seorang bocah yang memiliki kecerdikan luar biasa sekali. Dengan tersenyum- senyum ia mengelus-elus leher kim-tiauw yang berdiri di dekatnya, lalu berkata, "Sungguh tidak enak bicara di dekat mayat-mayat yang bercumpukan ini. bagaimana kalau kita pergi dari sini dan mencari tempat yang enak untuk bicara. Lagi pula, aku ingin sekali naik ke punggung burung ini."
Kwan Ji Nio marah sekali mendengar kekurangajaran Kong Ji, akan tetapi See-thian Tok-ong tertawa bergelak, "Bocah ini ada isinya. Kepalanya tidak kosong!”
Adapun Kok Sun juga tertarik sekali melihat keberanian Kong Ji. Sambil tersenyum mengejek ia berkata, "Benar-benar kau berani naik ke punggung kim-tiauw bersamaku?"
"Mengapa tidak berani? Aku pun laki-laki," jawab Kong Ji.
"Ayah mari kita bicarakan saja di luar kota ini, di hutan sebelah selatan. Biar dia merasai dijungkir-balikkan oleh kim-tiauw!" kata Kok Sun sambil tertawa.
Ayahnya tertawa juga dan mengangguk-anggguk. Kwan Ji Nio mengomel, "Anak ini kalau tidak dibikin mampus kelak akan menimbulkan kerewelan belaka." Diam-diam Kong Ji mencatat semua ini dan ia telah mendapat kepastian bahwa di antara tiga orang itu, yang paling bahaya baginya adalah Kwan Ji Nio, maka diam-diam ia telah berjanji kepada diri sendiri bahwa kelak ia harus melenyapkan wanita tua ini lebih dulu dari muka bumi!
"Isteriku, sabarlah. Pedang dan kitab belum terdapat, mengapa tidak bisa bersabar?” kata See-thian Tok-ong yang memberi tanda kepada Kok Sun untuk melanjutkan niatnya.
Kok Sun tersenyum dan berkata kepada Kong Ji. "Kalau kau benar-benar bukan perempuan, hayo naiki punggung kim-tiauw dan terbang bersamaku."
Kong Ji tanpa memperlihatkan muka takut, segera melompat ke atas pungung kim-tiauw, akan tetapi baru saja ia tiba di punggung, burung itu menggoyang badannya dan... tubuh Kong Ji terlempar seakan-akan dilontarkan oleh tenaga kuat sekali. Baiknya Kong Ji sudah melatih diri dengan tekun sehingga ia memiliki kepandaian yang boleh juga, maka ia dapat mengatur keseimbangan badannya, mempergunakan gerakan Lee-hi-ta-teng (Ikan Lee Meloncat) dan dapat tiba di atas tanah pada kedua kakinya.
"Berbahaya sekali..." tak terasa lagi ia berkata perlahan. Kok Sun tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
"Kau curang!" Kong Ji berkata marah. "Mengapa tidak menyuruh burungmu diam?"
"Naiklah lagi, tadi aku hanya ingin melihat apakah kau takkan terbanting matang biru oleh kim-tiauw," kata Kok Sun dan kali ini ia memegangi leher burung itu.
Kong Ji tanpa ragu-ragu melompat lagi dan kali ini burung itu tidak bergerak. Kok Sun juga melompat duduk di belakang Kong Ji, kemudian menepuk leher burung itu. "Kim-tiauw, terbanglah ke selatan!"
Sebelum Kong Ji dapat bersiap-siap, tahu-tahu burung itu telah membuka sayapnya dan Kong Ji merasa seperti jantungnya ditarik-tarik ketika tiba-tiba ia mumbul ke atas cepat sekali. Hampir ia terengah-engah karena sukar bernapas ketika angin bertiup keras dari depan. Ketika ia memandang ke bawah, semua tampak kecil. Kepalanya pening akan tetapi ia memiliki kekerasan hati. Sambil menggigit bibir ia menekan perasaannya. Masa ia harus kalah oleh bocah gundul yang duduk di belakangnya?
Tiba-tiba terdengar suara See-thian ok-ong dari bawah, "Kok Sun, jangan sampai ia jatuh terbanting mampus, kita masih memerlukan bantuannya!"
Terdengar Kok Sun tertawa dan berdebarlah jantung Kong Ji. Kini setelah berada di punggung burung, dibawa terbang di angkasa, i merasa tak berdaya sama sekali. Akan tetapi, burung ini takkan dapat menggangguku, pikirnya. Aku berada di punggungnya dan kalau ku mau, aku dapat memukul lehernya dengan tenaga Tin-san-kang, masa ia tidak mampus? Ia menjadi lega dengan pikiran ini, dan dengan erat ia memegang leher burung kim-tiauw.
Sebentar saja mereka telah tiba di atas hutan kecil di sebelah selatan kota Lam-si. Tiba-tiba Kok Sun tertawa dan mengeluarkan suara bersuit tiga kali. Ini merupakan perintah bagi kim-tiauw karena burung itu segera menukik ke bawah kepala di bawah ekor di atas! Hampir saja Kong Ji terjungkal dari tempat duduknya. Ia memegang erat-erat leher burung dan hatinya berdebar keras. Terpaksa ia meramkan matanya ketika melihat betapa pohon di bawah seakan-akan terbang naik hendak menubruknya.
"Ha ha ha, kau takut?"
"Siapa takut? Kalau kau tidak takut masa aku harus takut?" jawab Kong Ji sambil membuka matanya.
"Bagus, awas kali ini!" seru Kok Su yang kembali bersuit pandang dua kali Burung itu kini memukulkan sayapnya dan tahu-tahu berjungkir balik dengan punggung di bawah! Hal ini sama sekali tidak terduga oleh Kong Ji. Ia mempererat pelukannya pada leher burung, akan tapi karena pelukannya mencekik leher, burung itu menggerakkan lehernya dan terlepaslah pegangannya. Tubuh Kong Ji melayang ke bawah!
Ketika tubuh Kong Ji berputaran dari atas ke bawah dan hatinya tidak karuan rasanya, semangatnya sudah terbang, tiba-tiba ia merasa kakinya dipegang orang dan terdengar suara Kok Sun, "Sekarang masih tidak takut?"
Kong ji berada dalam keadaan berbahaya dan menakutkan sekali. Kini burung itu telah biasa lagi terbangnya. Kok Sun duduk di atas punggungnya dan sebelah tangannya memegangi Kong Ji yang berada dalam keadaan tergantung di bawah. Namun Kong Ji yang cerdik masih teringat akan teriakan Tok-ong. Dirinya dibutuhkan oleh keluarga iblis ini dan takkan dibunuh, maka dengan suara keras ia menjawab.
"Seorang gagah tidak takut mati!"
Kok Sun benar-benar kagum. Dia sendiri kalau dibegitukan tentu akan merasa amat takut.
"Kau benar-benar patut dijadikan kawan. Siapa namamu?"
"Namaku Lui Kong Ji.”
Burung itu telah turun dan hampir mendarat, Kok Sun menggerakkan tangannya dan tubuh Kong Ji terdorong oleh tenaga besar, lalu tiba di tanah dengan kaki di atas. Diam-diam Kong Ji kagum sekali. Hebat sekali tenaga Kok Su dan ia masih kalah dengan pemuda gundul ini. Yang membuat Kong Ji lebih terheran dan kagum adalah ketika ia melihat bahwa See-thian Tok-ong dan Kwan Ji Nio telah berada di situ pula! Dapat berlari cepat mendahului seekor kim-tiauw yang terbang, benar-benar dapat dibayangkan betapa tingginya ginkang dua orang aneh ini.
"Nah, bocah yang tabah, sekarang ceritakan di mana tempat sembunyinya Giok Seng Cu," kata See-thian Tok-ong kepada Kong Ji.
"Nanti dulu, Locianpwe. Boanpwe Lui Kong Ji sama sekali bukan hendak membangkang terhadap perintah Locianpwe. Akan tetapi kalau Locianpwe ada permintaan terhadap boanpwe, agaknya sudah sepatutnya pula kalau boanpwe juga mengajukan permintaan sebagai imbalannya kepada Locianpwe."
Sepasang mata yang bundar dari See-thian Tok-ong memandang tajam dan hatinya mulai curiga. "Hemm, siapa bisa percaya omongamu? Kau agaknya licik dan cerdik sekali Lui Kong Ji, coba kau ceritakan dulu hubunganmu dengan Giok Seng Cu. Kamu pernah apakah dengan dia dan bagaimana kau bisa dipilih menjadi wakilnya di Im-yang-bu-pai?"
"Boanpwe adalah muridnya. Dan boanpwe suka menjadi muridnya bukan sekali-kali karena boanpwe suka kepada Im-yng-bu-pai, akan tetapi oleh karena boanpwe sengaja hendak mencari ilmu kepandaian agar kelak dapat membalas musuh besar boanpwe. Dengan susah payah boanpwe melayani Suhu sehingga mendapat kepercayaan dari Suhu, akan tetapi sebelum boanpwe mendapatkan ilmu kepandaian, keburu datang urusan pedang dan kitab sehingga boanpwe menjadi gagal dalam cita-cita boanpwe. Ada pun tentang pedang Pak-kek Sin-kiam dan kitab peninggalan Pak-kek Sianseng boanpwe sudah mendengar keterangan sejelasnya dari Suhu, oleh karena itu kalau Locianpwe menghendaki dua benda itu kiranya boanpwe seorang yang akan dapat memberi petunjuk."
See-thian Tok-ong mengelus-elus jenggotnya. Bocah ini benar-benar cerdik sekali dan berbahaya, pikirnya. "Kong Ji, kau bicara berputar-putar. Katakan apa kehendakmu untuk penukaran petunjuk tempat sembunyi Giok Se Cu?"
Tiba-tiba Kong Ji menangis dan jatuhkan diri berlutut di depan See-thu Tok-ong. "Boanpwe tidak minta banyak hanya mohon imbalan sedikit berupa pelajaran ilmu silat tinggi agar kelak boanpwe dapat membalas dendam kepada musuh besar boanpwe."
"Hm, hm, jadi kau minta diterima menjadi muridku?"
“Demikianlah permohonan teecu. Kalau Locianpwe sudi menerima teecu menjadi murid tidak saja teecu akan menunjukkan di mana tempat persembunyian Giok Seng Cu, bahkan teecu akan membantu sampai Locianpwe mendapatkan pedang dan kitab."
"Enak saja kau bicara!" Kwan Ji Nio membentak. "Aku bahkan akan membunuhmu!"
See-thian Tok-ong memberi tanda dengan matanya kepada Kwan Ji Nio, kemudian ia bertanya kepada Kong Ji, "Bagaimana kalau aku menolak permintaanmu?"
"Terpaksa teecu pun akan membungkam."
"Bangsat, kau harus mampus!" kembali Kwan Ji Nio membentak, akan tetapi pandang mata suaminya mencegah turun tangan.
"Kong Ji, kau mendengar sendiri. nyawamu berada di tangan kami, dan kalau kau menolak memberi tahu di mana tempat sembunyi Giok Seng Cu, kami akan membunuhmu."
"Akan menyiksamu sampai mati," kata Kwan Ji Nio.
"Ayah, kalau ular-ular disuruh mengeroyoknya, tentu ia akan mengaku," kata Kok Sun.
Akan tetapi Kong Ji sama sekali tidak takut. "Locianpwe, sudah teecu nyatakan tadi bahwa hidup teecu hanya untuk membalas dendam terhadap musuh besar. Kalau Locianpwe tidak mau menerima teecu sebagai murid dan teecu tidak bisa memiliki kepandaian tinggi untuk dapat membalas dendam terhadap musuh besar, hidup juga percuma. Teecu lebih baik mati. Mati sekarang atau besok sama saja. Mati sekaligus atau siksa pun sama juga. Kalau Locianpwe menolak mau membunuh teecu, mau mengubur hidup-hidup, diberi makan ke ular atau membakar hidup-hidup teecu akan terima. Teecu tidak takut mati.”
Tertegun juga See-thian Tok-ong mendengar ini. Tiba-tiba Kok Sun bicara dalam bahasa asing dengan ayahnya untuk beberapa lama tiga orang itu bercakap-cakap dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Kong Ji. Mereka ini bicara dalam bahasa India dan Kok Sun menuturkan bahwa Kong Ji memang benar-benar tidak takut mati, hal ini sudah dibuktikannya ketika mereka naik di punggung kim-tiauw. Kemudian mereka bertiga berunding bagaimana untuk menghadapi bocah bandel ini. Akhirnya See-thian Tok-ong tertawa bergelak dan berkata kepada Kong Ji.
“Eh, Lui Kong Ji. kau ini memang bocah cerdik dan licik seperti iblis. Akan tetapi jangan kau kira bahwa kami takut kepadamu. Sekarang begini saja. Kami menerima permintaanmu, akan tetapi kami anggap bahwa kau menggadaikan nyawa kepada kami selama lima tahun. Bagaimana?"
Kong Ji terkejut. Ia maklum bahwa ia pun menghadapi tiga orang yang cerdik sekali, maka ia harus berlaku amat hati-hati. "Menggadaikan nyawa bagaimana maksud Locianpwe?"
"Begini. Kau menunjukkan tempat persembunyian Giok Seng Cu dan membantu kami mencari kitab dan pedang. Sementara itu, kami tidak membunuhmu menitipkan nyawamu kepadamu selama lima tahun. Dalam waktu lima tahun itu kau boleh menerima pelajaran ilmu silat dariku. Akan tetapi, selewatnya lima tahun, kami tidak bertanggung jawab atas nyawamu lagi dan kau sudah bukan muridku lagi."
Kong Ji berpikir keras. "Jadi kalau sudah lewat lima tahun, Locianpwe akan membunuh teecu?"
See-thian Tok-ong bergelak. "Hal itu tidak dapat dibicarakan sekarang. Mungkin sekali tergantung sepenuhnya kepadamu sendiri dan baru lima tahun kemudian aku dapat memastikan apakah harus dibunuh atau tidak."
"Kalau teecu menolak syarat ini?"
"Kau dibunuh sekarang juga dan kami akan mencari sendiri tempat sembunyi Giok Seng Cu," kata See-thian Tok-ong dengan suara dingin, hatinya sudah mendongkol sekali terhadap bocah yang selalu cerdik dan licik ini.
Kong Ji bukan seorang bocah luar biasa kalau ia tidak dapat menangkap nada suara Raja Racun maka cepat-cepat ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, "Teecu terima syarat itu!"
"Kau harus bersumpah!" kata See-thian Tok-ong dan suaranya terdengar gembira.
"Bersumpah bagaimana, Suhu?" tanya Kong Ji yang menyebut "suhu" kepada See thian Tok-ong.
"Bersumpah bahwa kau benar-benar akan membantu mencari pedang dan kitab, bahwa kau tidak akan menipuku dan benar-benar menerima penggadaian nyawa selama lima tahun!"
Kong Ji berpikir cepat. Celaka, tua bangka ini benar-benar pintar sekali dan mengikat diriku. Kalau begini aku tigi besar, pikirnya. "Suhu untuk bersumpah teecu tidak keberatan, akan tetapi teecu juga minta imbalannya untuk sumpah
"Anak setan! Kau berani supaya aku bersumpah pula? Kau tidak percaya bahwa aku telah menerimamu sebagai murid?" bentak See-thian Tok-ong dan kedua tangannya terkepal keras. Kalau Kong Ji membenarkan dugaan ini, tentu ia akan memukul hancur kepala bocah ini.
"Mana teecu berani tidak percaya pada Suhu? Hanya teecu minta Suhu berjanji akan menurunkan ilmu-ilmu tinggi kepada teecu selama lima tahun itu."
See-thian Tok-ong menghela napas panjang, "Kau memang pintar dan cerdas. Baiklah, aku berjanji akan menurunkan kepandaian tinggi, tentu saja kalau otakmu tidak terlalu tumpul."
Dengan girang Kong Ji lalu bersumpah. Kemudian menceritakan semua pengalamannya dengan Giok Seng Cu, menceritakan pula akan pertemuan Giok Se Cu dengan ketua ketua partai besar.
"Kitab rahasia itu hanya dapat dicari dengan menggunakan pedang Pak-kek Sinkiam!" tambahnya, "dan teecu yakin pula bahwa agaknya pedang itu merupakan kunci yang dapat membawa Suhu ke tempat tersimpannya kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu."
See-thian Tok-ong girang sekali. "Bagus, mari kita menyusul Giok Seng Cu di Lembah Maut!"
********************
Giok Seng Cu bersembunyi di dalam sebuah gua yang terdapat di Lembah Maut. Ia merasa aman dan setiap hari Giok Seng Cu berlatih ilmu silat dengan pedang Pak-kek Sin-kiam. Kepandaiannya memang tinggi sekali maka setelah memiliki pedang pusaka itu, dengan mudah ia dapat menciptakan semacam ilmu pedang yang lihai. Ia hendak mempertinggi kepandalannya karena ia maklum bahwa sebelum mendapatkan kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu, keadaannya masih berbahaya. Di dalam lembah ia boleh merasa aman.
Memang keadaan lembah itu bukan main berbahayanya. Letaknya di tepi Sungai Wei-ho, di kaki bukit Cin-leng san. jarang ada orang berani memasuki Lembah Maut, karena biarpun ia berkepandaian tinggi, sekali saja kurang hati-hati, ia dapat tewas terjerumus ke dalam jurang atau rawa tertutup rumput. Baiknya Giok Seng Cu pernah satu kali datang ke tempat ini dengan gurunya, Pak Hong Siansu. Kalau bukan gurunya itu yang mencarikan jalan, biar Giok Seng Cu sendiri agaknya akan ragu-ragu untuk memasuki daerah ini.
"Takkan ada musuh berani memasuki Lembah Maut." pikirnya, "biarpun andai kata See-thian Tok-ong yang lihai sanggup memasuki daerah ini, belum tentu ia dapat menemukan tempat sembunyiku."
Pada suatu hari, ketika ia sedang berdiri di depan guanya, ia mendengar suara sayup-sayup sampai, datang dari luar hutan.
“Suhuuu...!"
Giok Seng Cu tidak mengenal suara itu, karena hanya terdengar lapat-lapat. Hm, agaknya ada musuh datang mencariku, pikirnya. Akan tetapi ia tidak takut, bahkan lalu menyelundup dan dengan jalan bersembunyi di balik rumpun, ia berindap indap menghampiri tempat dari suara itu datang.
"Suhu... teecu Lin Kong Ji berada di sini...!" kembali terdengar suara itu.
Giok Seng Cu girang sekali dan cepat ia melompat keluar dari tempat persembunyiannya, lalu berlari cepat menghampiri Kong Ji. "Kong Ji, kau sudah datang?" serunya dan diam-diam kakek ini merasa kagum melihat muridnya yang kecil itu sudah berhasil tiba di tempat ini. "Baiknya kau tidak lancang masuk ke dalam lembah ini, sungguh berbahaya kalau kau masuk ke sini."
Dengan matanya yang tajam Kong Ji melihat bahwa Giok Seng Cu tidak membawa pedang Pak-kek Sin-kiam. Anak ini dengan siasatnya telah berunding dengan See-thian Tok-ong untuk memancing keluar suhunya, karena daerah itu amat sukar lagi berbahaya.
"Suhu, lekas bawa teecu ke tempat yang aman, teecu ada pembicaraan yang amat penting bagi keselamatan Suhu!"
Giok Seng Cu kaget mendengar ini. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu memegang tangan muridnya dan dibawa ke dalam hutan, terus menuju ke goa tempat sembunyinya.
"Ada apakah? Ceritakan lekas!" katanya setelah mengambil Pak kek Sin-kiam yang disembunyikan di dalam gua. Giok Seng Cu memang berlaku hati-hati sekali. Tidak berani ia membawa-bawa pedang itu keluar lembah agar jangan menimbulkan perhatian orang lain yang melihatnya.
"Celaka, Suhu. See-thian Tok-ong telah membunuh semua saudara di Lam-si dan sekarang ia bersama anak isterinya yang lihai telah mengejar ke sini dengan napas terengah-engah dan cepat Kong Ji menuturkan betapa Lai Kwa Siang dan semua murid Im-yang-bu-pai yang berada di Lam-si telah dibunuh oleh keluarga See-thian Tok-ong.
"Baiknya teecu sempat melarikan terlebih dulu untuk memberi tahu kepada Suhu. Kalau tidak tentu teecu akan tewas pula dan tidak ada orang yang memberi tahu kepada Suhu."
Pucat wajah Glok Seng Cu mendengar ini. "Di mana mereka sekarang?"
"Mereka kabarnya mengejar teecu, karena mereka tidak tahu tempat Suhu bersembunyi. Akan tetapi teecu rasa ada baiknya kalau Suhu lekas-lekas keluar dari tempat ini dan mencari tempat- persembunyian lain."
"Kalau begitu, hayo kita pergi cepat-cepat, Kong Ji."
"Suhu, janganlah Suhu repot-repot karena teecu. Pergilah Suhu sendiri. Dengan adanya teecu, Suhu hanya akan terhalang dan tak dapat bergerak cepat. Kalau sampai teecu menjadi penghalang dan Suhu dapat dikejar oleh mereka, apakah artinya teecu bersusah payah mencari Suhu? Biarlah, tinggalkan teecu di sini. Kalau mereka mendapatkan tee-cu, mereka toh tidak mempunyai kepentingan apa-apa terhadap diri teecu?"
Giok Seng Cu terharu. "Anak baik... murid yang berbakti! Kau melepas budi besar untuk membela Suhumu. Apakah yang dapat kuberikan untuk membalas jasamu."
"Sudah menjadi kewajiban seorang murid untuk berbakti kepada gurunya. Teecu tidak mengharapkan sesuatu, hanya teecu minta sedikit petunjuk tentang ilmu mempergunakan Tin-san-kang, karena telah teecu latih namun masih teecu belum dapat mainkan dengan sempurna. Mempelajari kauw-koat (teori) saja benar-benar sukar."
Giok Seng Cu tertawa. "Memang dulu aku belum memberitahukan rahasia pukulan itu. Nah, sekarang dengar baik-baik dan lihat!" Giok Seng Cu lalu memberi petunjuk dan bersilat di depan Kong Ji, diperhatikan baik-baik oleh anak yang cerdik ini. Setelah Kong ji mengerti betul, Giok Seng Cu lalu meninggalkannya.
"Biar teecu tinggal di sini seorang diri untuk melatih Tin-san-kang," kata Kong Ji sebelum ia berangkat.
Sambil berlari cepat, Giok Seng Cu keluar dari Lembah Maut itu. Akan tetapi, alangkah kagetnya tiba-tiba dari balik pohon-pohon besar melompat keluar tiga bayangan orang dan tahu-tahu See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio, Kwan Kok Sun, burung rajawali emas dan puluhan ekor ular berbisa telah berjejer menghadang perjalanannya! Inilah siasat yang dijalankan oleh Kong Ji. Dengan cerdik ia memancing Giok Seng Cu keluar dari lembah untuk dihadapi oleh See-thian Tok-ong, sedangkan untuk pengkhianatannya, ia tidak dicurigai oleh Giok Seng Cu, sebaliknya, malah mendapat tambahan pelajaran ilmu silat dan dipuji-puji! Sampai saat itu pun, Giok Seng Cu tak pernah mengira bahwa muridnya itu yang mengkhianatinya. Setelah Giok Seng Cu pergi diam-diam Kong Ji juga keluar dari gua itu dan mengikuti perjalanan suhunya ini, maka kini ia yang bersembunyi di balik rumpun alang-alang dapat melihat apa yang terjadi di situ.
"Siapakah kalian yang berani menghadang perjalanan pinto?" tanya Giok Seng Cu dengan suara dibikin tenang sedapatnya. Ia sudah pernah melihat Kwan Kok Sun, akan tetapi belum pernah bertemu dengan See-thian Tok-ong dan isterinya. Biarpun iz sekarang dengan mudah dapat mengerti bahwa yang dihadapinya adalah keluarga iblis itu, namun ia pura-pura tidak tahu.
Kwan Kok Sun tertawa menyeringai, "Giok Seng Cu, apakah kau sudah lupa lagi kepadaku atau pura-pura lupa? Kau telah merampas pedang itu dari tanganku, sekarang kami datang untuk mengambilnya kembali berikut kepalamu!"
"Hm, agaknya pinto berhadapan dengan See-thian Tok-ong dan keluarganya,” kata pula Giok Seng Cu.
See-thian Tok-ong mengeluarkan suara di hidungnya, lalu berkata, "Giok Seng Cu pernah satu kali bertemu dengan mendiang Suhumu, Pak Hong Siansu. Dia adalah seorang yang mengutamakan persahabatan. Aneh sekali kau ini muridnya mengapa begitu curang dan sampai hati menipu puteraku pura-pura membantu kemudian bahkan merampas pedang dan memukulnya. Kau sudah terang harus dihukum, mau kata apa lagi?"
Merah muka Giok Seng Cu. Memang dalam hal berebut pedang dengan Kok Sun ia telah berlaku licik. Kalau saja dalam perebutan dahulu itu ia berlaku secara laki-laki dan mengandalkan kepandaian, belum tentu See-thian Tok-ong hendak membunuhnya. Akan tetapi, sudah menjadi bubur, hal itu telah terjadi dan tak dapat diubah pula, maka ia tidak dapat mundur lagi.
"Sesukamulah, See-thian Tok-ong. Hanya hendaknya kau ingat bahwa pedang ini adalah peninggalan Supek Pak Kek Siansu, maka akulah yang berhak mewarisinya. Sekarang pedang sudah di tanganku, kalau ada yang menghendakinya, boleh mencoba mengambilnya dan tanganku."
Inilah sebuah tantangan. Kwan Ji Nio sudah tak sabar lagi dan hendak menyerang, akan tetapi suaminya mengangkat tangan mencegahnya. See-thian Tok-ong maklum bahwa sebagai murid Pak Hong Siansu, Giok Seng Cu memiliki kepandaian tinggi, apalagi pedang pusaka di tangan, ia merupakan lawan berbahaya bagi isterinya.
"Kim-tiauw, rampas pedangnya'" bentaknya kepada burung yang berdiri di dekat Kok Sun.
Burung itu mengeluarkan pekik yang nyaring sekali, membuka sayap terbang ke atas lalu menyambar ke arah Giok Seng Cu. Kakek ini tidak gentar dan cepat mengerahkan tenaga, memukul dengan tenaga Tin-san-kang.
"Bruk!" Tubuh burung itu terpental sebelum bertemu dengan tangan Giok Seng Cu. Beberapa helai bulu sayapnya rontok dan sambil mengeluarkan bunyi cecuitan, burung itu tidak berani maju lagi hanya terbang berputaran di atas.
See-thian Tok-ong marah sekali, mengeluarkan suara mendesis sebagai perintah kepada ular-ular yang berada dibelakang Kok Sun. Empat puluh lebih ular merayap cepat dan menyerang Giok Seng Cu. Kakek ini bergidik dan jijik sekali melihat sekian banyaknya ular menyerangnya. Kembali ia mengerahkan tenaga, kedua tangannya didorong ke depan, ke arah ular-ular itu. Hebat sekali tenaga Tin-san-kang. Debu mengepul, batu-baru kecil terlempar dan sedikitnya ada tujuh ekor ular yang hancur tubuhnya terkena hawa pukulan Tin-san-kang! Ular-ular yang lain terlempar ke belakang dan mereka juga jerih menghadapi kakek yang berkepandaian tinggi itu.
Kong Ji yang mengintai dari balik rumpun alang-alang, kagum bukan main dan ia merasa girang bahwa kini ia telah dapat memiliki Tin-san-kang yang sempurna, tinggal melatihnya saja. Ia memandang terus dan kali ini Kok Sun rogoh sakunya. Agaknya bocah gundul ini hendak mengeluarkan sepasang ular merahnya yang lihai, akan tetapi See-thian Tok-ong mencegahnya. Raja Racun ini maklum, bahwa betapapun lihai Siang ang-coa, tak mungkin dapat melawan Giok Seng Cu dan ia merasa sayang kalau sepasang ular itu akan mati.
"Biarkan aku sendiri menghadapinya!” Tiba-tiba tubuh See-thian Tok-ong bergerak dan ia telah menyerang dengan pukulan berat ke arah dada Giok Seng Cu.
Kakek rambut panjang ini tidak berani berlaku ayal karena ia dapat menduga akan kehebatan lawannya. Cepat ia merendahkan tubuh dan mendorongkan kedua tangan ke depan, mempergunakan hawa pukulan Tin-san kang untuk memukul lawan. Giok Seng Cu yang sudah berpengalaman maklum bahwa ia tidak boleh beradu tangan dengan kakek ini, karena ia melihat bahwa kedua tangan See-thian Tok-ong mengeluarkan sinar menghitam yang mencurigakan, tanda bahwa sepasang tangan itu tentu mengandung racun jahat.
Dua hawa pukulan yang dahsyat bertemu di udara dan akibatnya Giok Seng Cu terhuyung tiga tindak, akan tetapi See-thian Tok-ong juga terdorong ke belakang. Tenaga mereka seimbang! Bukan main kagetnya Kong Ji yang menonton dari tempat sembunyinya. Tenaga sin-kang dari Giok Seng Cu sudah hebat, akan tetapi kini dapat dilawan See-thian Tok-ong. Ia makin gembira karena ia telah menjadi murid See-thian Tok-ong yang ternyata memiliki kepandaian yang tinggi pula.
"Biar kita mengadu nyawa di sini seru Giok Seng Cu marah. Ia maklum bahwa lawannya tidak dapat dirobohkan dengan Tin-san-kang dan kalau ia melayani dengan tangan kosong, ia tentu akan kalah, karena lawannya itu bertangan maut. yakni kedua tangannya mengandung hawa pukulan yang berbisa. Cepat dicabutnya pedang Pak-kek Sin-kiam dan berkelebatlah sinar yang menyilaukan mata ketika ia melakukan serangan pertama.
See thian Tok-ong terkejut melihat hebatnya serangan ini, cepat ia membanting tubuh ke kiri dan di lain saat ia telah mencabut sepasang tangan, senjatanya yang mengerikan itu. Baru saja kedua tangan kering itu digerakkan, Giok Seng Cu sudah mencium bau yang amat keras sehingga ia menjadi gentar. Ia teringat akan nama julukan lawannya, yakni Raja Racun, maka tahulah ia bahwa sepasang tangan kering itu tentu mengandung bisa yang amat berbahaya. Cepat ia menggerakkan pedangnya, diputar sedemikian cepatnya sehingga merupakan segulungan sinar yang menyelimuti tubuhnya.
Kong Ji makin kagum dan diam-diam timbul keinginannya untuk memiliki pedang luar biasa itu. "Benar-benar senjata pusaka yang ampuh," pikirnya.
Namun, betapapun hebat gerakan pedang Giok Seng Cu, ia menghadapi lawan yang amat tangguh. Ilmu silat dari See-thian Tok-ong amat luar biasa dan aneh gerakannya, sepasang tangan kering itu bergerak-gerak ke atas dan ke bawah, bahkan tidak takut kadang-kadang beradu dengan pedang! Hal ini adalah karena gerakan yang amat tepat sehingga tiap kali bertemu dengan pedang, tangan itu beradu dengan pinggiran pedang, bukan dengan mata pedang, karena kalau bertemu dengan tajamnya pedang tentu akan terbabat putus. Pertempuran berjalan amat serunya dan Giok Seng Cu harus mengakui bahwa kalau ia tidak memegang Pak-kek Sin-kiam, tentu ia takkan dapat bertahan demikian lamanya.
"Aku harus dapat lari dari sini...,” pikirnya sambil memutar pedang makin cepat.
Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu sebatang tongkat kecil menyambar ke arah kepala Giok Seng Cu. Hampir saja ujung tongkat itu mengenai kepalanya. Bukan main kagetnya ketua Im-yang-bu-pai ini. Sudah terasa ujung tongkat itu menggores rambutnya ketika ia cepat mengelak. Ketika ia melihat bahwa penyerangnya itu adalah Kwan Ji Nio, hatinya makin gentar. Dari gerakan serangan tadi ia menduga bahwa kepandaian Kwan Ji Nio ini kiranya lebih lihai daripada kepandaian suaminya! Padahal sebenarnya tidak demikian. Kwan Ji Nio memang lebih lihai dalam hal ilmu meringankan tubuh, maka penyerangannya cepat bukan main dan kelihatannya memang lebih lihai dari suaminya, akan tetapi sebetulnya tingkat kepandaiannya masih kalah jauh oleh See-thian Tok-ong.
Karena hatinya sudah gentar, permainan pedang Giok Seng Cu agak kalut dan tiba-tiba sebuah kuku senjata tangan dari See-thian Tok-ong berhasil menggores kulit lengan kanannya. Giok Seng Cu merasa kulit lengannya gatal-gatal bukan main sehingga hampir saja pedangnya terlepas. Ia cepat memutar pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan-pukulan Tin san-kang ke arah dua orang musuhnya.
Kwan Ji Nio telah maklum akan kehebatan Tin-san-kang dan tahu pula bahwa ia takkan kuat menahan pukulan-pukulan ini, maka cepat ia meloncat mundur mengandalkan ginkangnya yang luar biasa. Adapun See-thian Tok-ong juga menggerakkan tangan kiri untuk menolak hawa pukulan lawan. Akan tetapi kesempatan itu tidak dilewatkan percuma oleh Giok Seng Cu. Sekali ia melompat, ia telah berlari masuk hutan.
"Tinggalkan pedang!" teriak See-thian Tok-ong mengejar. Juga Kwan Ji Nio ikut pula mengejar.
Giok Seng Cu tadinya hendak mengandalkan keadaan di lembah itu untuk menyelamatkan diri. Ia sudah mengenal baik keadaan di lembah yang liar itu dan kalau ia dapat masuk ke dalam hutan yang lebat, agaknya dua orang lawannya takkan berhasil mengejarnya. Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara sayap burung dan ketika ia memandang ke atas, ia melihat kim-tiauw tadi beterbangan di atas dan mengeluarkan bunyi nyaring.
"Burung jahanam...!" makinya. Ia menahan gemas dan menyesal mengapa ia tak mempunyai gendewa dan anak panah untuk membunuh burung itu. Dengan adanya kim-tiauw yang terus mengikutinya, tak mungkin lagi ia bersembunyi. dan dua orang suami isteri itu telah menyusulnya dan mengirim serangan-serangan hebat. See-thian Tok-ong menyetang dengan tangan berbisa, sedangkan Kwan Ji Nio menggerakkan tongkat bambunya dengan cepat sekali.
"Celaka aku kali ini...." Giok Seng Cu mengeluh ketika tiba-tiba merasa tangan kanannya makin gatal-gatal, dan rasa gatal itu menyerang sampai ke pundaknya. Ia maklum bahwa itu tentulah akibat dari serangan tangan berbisa yang dipegang oleh See-thian Tok-ong dan kini racunnya telah masuk ke dalam lengannya.
Tiba-tiba ia berseru keras dan dari tangan kanannya menyambar sinar keemasan ke arah leher See-thian Tok-ong. Kakek ini terkejut sekali. Cepat ia mengelak akan tetapi tetap saja sinar itu telah melanggar ujung baju di lengannya sehingga ujung baju itu terbabat putus. Baiknya ia cukup cepat mengelak sehingga tidak terluka. Ketika ia memandang ke depan, Giok Seng Cu telah lari jauh masuk ke dalam hutan.
See-thian Tok-ong tidak mau mengejar. "Tidak perlu mengejar dia, pokiam (pedang pusaka) telah diberikan kepadaku. Ia menghampiri pedang Pak-kek Sin-kiam yang tadi dilontarkan kepadanya dan kini pedang itu tertancap ambles ke dalam batang pohon. Dicabutnya pedang itu dan dipandanginya dengan penuh kesayangan.
"Kau yang akan membawaku ke tempat kitab dan akulah yang akan dapat mewarisi Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang hoat. Ha ha ha...!" See-thian Tok-ong tertawa gembira.
"Suhu, teecu menghaturkan kionjhi (selamat)!" Tiba-tiba Kong Ji keluar dari tempat persembunyiannya berlutut di depan See-thian Tok-ong.
"Ha, anak baik, kau telah membantu banyak." Tentu saja See-thian Tok-ong dan isterinya sudah tahu bahwa Kong Ji bersembunyi di situ. "Mari sekarang kita mencari kitab di puncak Lulilang-san,” ajaknya.
Siasat Kong Ji untuk memancing keluar Giok Seng Cu, oleh See-thian Tok-ong dianggap sebagai bukti kebaktian anak itu kepadanya. Oleh karena itu, ia makin merasa suka kepada Kong Ji. Bahkan anak ini dengan sikapnya yang mengasih dan pandai mengambil hati, akhirnya dapat juga menangkan hati Kok Sun yang menganggapnya sebagai seorang sahabat yang baik sekali. Hanya Kwan Ji Nio seorang yang masih bersikap dingin kepadanya, sungguhpun rasa benci dari nenek ini tidak sehebat dulu.
Rasa sayang dari See-thian Tok-ong kepadanya terasa oleh Kong Ji karena ia dapat mengetahui hal ini dari cara Raja Racun itu memberi pelajaran silat kepadanya. Kini mulailah See-thian Tok-ong menurunkan rahasia latihan ilmu lwee kang dari barat dan di sepanjang perjaianan menuju ke Luliang-san tiap kali ada kesempatan. Kong Ji selalu melatih diri dengan pelajaran baru ini. Setelah tiba di puncak Luliang-s See thian Tok-ong dan isterinya merasa amat kagum dan suka sekali melihat puncak yang indah itu.
"Benar-benar tempat yang amat menyenangkan," katanya, "pantas sekali tempat seperti ini disukai oleh mendiang Pak Kek Siansu. Memang amat baik untuk menjadi tempat bertapa dan istirahat." Ia segera mengambil keputusan untuk tinggal di puncak itu. Bahkan lalu memperbaiki bekas pondok Pak Kek Siansu yang sudah diobrak-abrik dan dirusak oleh Kok Sun, puteranya sendiri ketika bersama Ba Mau Hoatsu mencari kitab rahasia.
********************
Agar tidak membingungkan pembaca baik diceritakan bahwa Ba Mau Hoatsu telah kembali ke Tibet seteLah See-thian Tok-ong menyusul puteranya ke Tiong- goan. Dengan adanya See-thian Tok-ong sekeluarga turun dari Tibet untuk mencari kitab, Ba Mau Hoatsu merasa tidak ada harapan baginya lagi untuk ikut-ikut mencari kitab itu, maka ia pun lalu berpamit dan kembali ke Tibet, di mana melatih diri dengan ilmu silatnya.
See-thian Tok-ong dan anak isterinya, dengan bantuan Kong Ji mulailah mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Akan tetapi usaha mereka sia-sia. Seluruh puncak telah mereka jelajahi dan periksa, namun tidak ada hasilnya. Kitab rahasia itu tak dapat ditemukan. Berbulan-bulan mereka mencari dan selama itu Kong Ji mulai menerima latihan-latihan ilmu silat dari See-thian Tok-ong. Raja Racun ini tertarik sekali melihat kecerdikan Kong Ji dan setelah melatih beberapa bulan, ia mendapat kenyataan bahwa bakat dalam diri anak ini bahkan lebih besar daripada puteranya sendiri. Setiap gerakan dan latihan lwee-kang dapat ditangkap dengan mudah oleh Kong Ji.
Akan tetapi tentu saja See-thian Tok-ong belum berani menurunkan kepandaiannya yang sejati dan hanya memberi pelajaran ilmu-ilmu silat yang tidak begitu hebat. Namun Kong Ji tetap sabar. Anak ini pandai sekali menyembunyikan kepandaian-kepandaian yang pernah dipelajarinya, bahkan suhunya sendiri tidak tahu bahwa ia kini telah mulai dapat menjalankan Ilmu Pukulan Tin-san-kang dari Giok Seng Cu! Dalam pandangan See-thian Tok-ong, Kong Ji masih dangkal Ilmu pengetahuannya dalam ilmu silat, padahal anak ini diam-diam telah memiliki ilmu-ilmu silat, dari Kwan-im-pai dari Hoa-san-pai, dan juga dari Giok Seng Cu.
Pelajaran lweekang yang agak dalam telah mulai diturunkan oleh See-thian Tok-ong kepada Kong Ji setelah hampir setahun mereka tinggal di puncak Jeng in-thia (Ruang Awan Hijau). Iweekang ini berbeda cara melatihnya dengan lweekang di Tiong-on karena untuk siulian (bersamadhi), Kong Ji harus berdiri dengan kaki di atas dan kepala di bawah. Mula-mula hal ini amat sukar. Baru sebentar saja kepalanya terasa pening dan darah turun ke bawah membuat mukanya merah sekali. Juga ia tak dapat tahan lama membiarlan kakinya lurus ke atas, sehingga ia harus mencari bantuan batu karang untuk menyangga kedua kakinya. Namun berkat latihan yang amat tekun, beberapa bulan kemudian ia telah dapat berdiri berjam-jam dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kemudian ia diberi pelajaran melakukan gerakan kaki tangan dengan keadaan tubuh berjungkir balik, yakni kepala di bawah dan kaki di atas. Ini adalah gerakan-gerakan untuk melatih tenaga dalam tubuh dan untuk memperkuat lweekangnya.
Semenjak menerima pelajaran itu, setiap pagi, tanpa mengenal lelah, Kong Ji terlihat berlatih seorang diri di dekat jurang di Jeng-in-thia, dengan kepala di bawah, kedua kali di atas, kedua lengan dibentangkan kemudian ia bergerak-gerak dan berputar-putar cepat sekali! Hatinya penuh cita-cita yakni untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan. Ia tidak tahu bahwa tempat di mana ia berlatih, kadang-kadang seorang diri dan kadang-kadang berdua dengan Kok Sun, dahulu adalah tempat berlatih Wan Sin Hong di bawah pimpinan Luliang Sam lojin. Juga, ia tidak pernah mengimpi bahwa pada saat ia berlatih di tempat itu, tak jauh dari situ, yakni di dalam jurang, kurang lebih seratus tombak dalamnya dari tepi jurang, seorang anak laki-laki lain tengah berlatih ilmu yang dilatihnya, dan anak itu bukan lain adalah Wan Sin Hong yang sedang berlatih ilmu silat menurut petunjuk kitab peninggalan Pak Kek Siansu!
********************
Tiga tahun telah berlalu amat cepatnya. Selama itu, See-thian Tok-ong dan anak isterinya tinggal di puncak Luliang san dan mereka tiada henti dan bosannya mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu yang tanpa hasil. Mereka mulai putus asa dan sikap See-thian Tok-ong terhadap Kong Ji mulai berubah, kini seringkali ia mengeluarkan kata-kata kasar.
Namun kakek ini menepati janjinya. Ia melatih Kong Ji dengan sungguh-sungguh sehingga anak ini mewarisi ilmu silat yang amat tinggi. Kong Ji tidak menyia-nyiakan waktunya, siang malam tiada bosannya ia melatih diri sehingga biar lambat akan tetapi tentu ia mulai mengejar kepandaian Kwan Kok Sun si Bocah Gundul yang kini telah menjadi seorang pemuda, namun tetap saja kepalanya selalu digunduli. Kong Ji sendiri pun sudah menjadi seorang pemuda tanggung yang tampan dan bertubuh jangkung.
Memang kalau dilihat begitu saja agaknya Kong Ji masih kalah oleh Kok Sun, akan tetapi andaikata mereka bertempur, sudah dapat dipastikan bahwa Kok Sun akan kalah. Hal ini adalah karena di samping pelajaran ilmu silat yang ia dapat dari See-thian Tok-ong, juga Kong Ji diam-diam telah menyempurnakan ilmu-ilmunya yang lain yang didapat dari ajaran mendiang Liang Gi Tojin dan Giok Seng Cu, terutama sekali ilmu pukulan Tin-san-kang dari Giok Seng Cu. Akan tetapi dengan amat cerdiknya, ilmu ini ia simpan rapat-rapat dan keluarga itu tidak mengetahuinya.
Pada suatu malam Kong Ji mendengar percakapan antara See-thian Tok-ong dan isterinya, percakapan yang amat mengejutkan hatinya. "Kita membuang waktu percuma saja, dasar kau yang mudah ditipu oleh anak setan itu!" kata Kwan Ji Nio kepada suaminya.
"Ahh, kau tahu apa?" jawab See-thian Tok-ong sambil tertawa. "Kalau tak ada dia, bagaimana kita bisa mendapatkan pedang pusaka dari Pak Kek Siansu.”
"Untuk apa pedang pusaka itu? Yang penting adalah kitab itu, ternyata tidak ada di sini." Kemudian Kwan JI Nio menyambung dengan suara perlahan, "bocah setan itu kulihat amat maju. Kelak kalau hatinya membalik, kitalah yang akan bertambah seorang musuh yang membahayakan."
"Ha, ha, isteriku, kau terlalu kecil hati. Apa sih bahayanya bocah itu? Tidak bisa didapatkannya kitab sungguh-sungguh bukan salahnya. Dan aku sudah berjanji menerimanya sebagai murid selama lima tahun. Masih setahun lebih aku harus melatihnya, kemudian, andaikata kau hendak membunuhnya, apa sih sukarnya. Biar dia belajar dua atau tiga tahun lagi, menghadapi Kok Sun saja belum tentu menang. Apa yang perlu kita takuti?"
Percakapan itu terhenti dan Kong Ji menjauhkan diri. Ia duduk termenung di pinggir jurang tempat ia berlatih silat. Celaka, pikirnya. Apa artinya aku belajar setahun dua tahun lagi kalau akhirnya aku akan mereka bunuh juga? "Ah, kalau saja aku bisa mempelajari ilmu dari kitab peninggalan Pak Kek Siasu, aku tidak akan takut menghadapi mereka!"
Sudah lama bocah yang cerdik ini sering kali memandang ke dalam jurang dan timbul pikirannya bahwa besar sekali kemungkinan kitab rahasia itu disembunyikan di dasar jurang. Bukankah pedang itu pun menurut Kok Sun, didapatkan oleh kim-tiauw di dasar jurang? Ia sengaja tidak menyatakan dugaannya ini kepada See-thian Tok-ong, karena memang ia tidak ingin keluarga iblis itu mendapatkan kitab yang ia sendiri ingin memilikinya. Akan tetapi setelah mendengar percakapan antara suami isteri itu, ia mendapatkan akal. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri untuk menarik simpati dan kasih sayang mereka, adalah membantu mereka mendapatkan kitab, sehingga dengan jalan ini ia dapat membuktikan kesetiaan dan kebaktiannya.
"Suhu," katanya pada keesokan harinya kepada See-thian Tok-ong, "bagaimana dengan hasilnya mencari kitab rahasia itu?"
Kening kakek itu berkerut dan sepasang matanya kelihatan marah, "Perlu apa kau bertanya-tanya? Membantu pun tidak becus!" tegurnya marah.
"Maaf, Suhu. Sudahkah dicari di dasar jurang itu?"
"Kau ngelindur! Jurang yang tidak kelihatan dasarnya itu, bagaimana bisa periksa?"
"Teecu sanggup menuruni jurang itu!”
See-thian Tok-ong tertegun, demikian juga Kwan Ji Nio dan Kok Sun.
"Jangan kau main-main, kupatahkan batang lehermu nanti!" bentak Kwan Ji Nio.
"Subo, mana teecu berani main-main. Dulu yang mendapatkan Pak-kek Sin kiam adalah kim-tiauw, kalau sekarang teecu naik di punggung kim-tiauw dan menyuruh burung itu terbang turun ke jurang apakah sukarnya? Siapa tahu kalau-kalau di dalam jurang itulah tempat disimpannya kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu."
"Bagus, bagus! Kau betul sekali, muridku yang baik!" kata See-thian Tok-ong dan sepasang matanya yang lebar itu memandang kepada isterinya seakan-akan berkata bangga. "Apa kataku? Muridku ini bukannya seorang yang tidak ada gunanya!”
Kim-tiauw dipanggil dengan siutan keras. Burung yang sedang beterbangan di atas itu meluncur turun dan hinggap di atas tanah, di depan See-thian Tok-ong.
"Kim tiauw, kau bawa Kong Ji ke dasar jurang, ke tempat di mana dahulu kau mendapatkan pedang ini!” kata See-thian Tok-ong sambil memperlihatkan Pak-kek Sin-kiam kepada burung itu.
Adapun Kong Ji sudah meloncat ke atas punggung kim-tiauw dan berkata, "Kim-tiauw yang baik, hati-hatilah kau terbang ke dalam jurang." Anak ini kelihatannya gembira sekali, memang sebenarnya dia gembira karena ia memang ingin sekali mendapatkan kitab yang dicari-cari oleh semua orang kang-ouw itu.
Burung rajawali emas itu mengeluarkan pekik nyaring, lalu membuka sayap dan terbang tinggi. Setelah berputar beberapa kali di atas jurang, ia lalu menukik turun dengan cepatnya. Kong Ji hampir tak berani membuka matanya saking ngeri melihat betapa burung itu membawanya meluncur turun ke dalam jurang yang tidak kelihatan dasarnya itu. Akan tetapi, ia segera berseru girang dan heran ketika burung itu tiba di atas sebuah lereng Bukit Luliang-san yang indah sekali pemandangannya. Burung itu turun dan Kong Ji juga meloncat turun dari punggungnya sambil memandang ke kanan kiri, mengagumi keindahan tamasya alam di sekitar itu.
"Kim-tiauw, di manakah kau dahulu mendapatkan pedang?" tanyanya berulang ulang.
Burung itu tentu saja tidak dapat menjawab, akan tetapi agaknya ia mengerti akan maksud pertanyaan Kong Ji. Ia meloncat-loncat dan tiba di depan gunung karang di mana terdapat sebuah batu besar sekali tersandar pada lamping batu karang yang menjadi gunung itu. Ia berbunyi berkali-kali dan kelihatan bingung. Memang, dahulu ia merampas pedang dari tangan anak kecil yang keluar dari gua, akan tetapi sekarang di situ tidak kelihatan ada gua lagi.
Kong Ji amat cerdik. Agaknya burung ini memberi tanda bahwa pedang didapatkan di batu ini, pikirnya. Ia lalu mendorong batu besar itu akan tetapi berat batu itu ada seribu kati kiranya maka biarpun ia mendorong kuat-kuat, batu itu tidak bergeming. Kim-tiauw itu mengangguk-angguk dan berbunyi terus, maka makin curigalah Kong Ji.
"Mundurlah, Kim-tiauw!" bentaknya.
Burung itu sudah pandai mendengar perintah dari suara Kong Ji sudah dikenal olehnya, maka ia cepat meloncat dan terbang menjauhi tempat itu, Kong Ji berjumpalitan, berdiri dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas, berlatih sebentar mengumpulkan lweekangnya. Sekarang, setelah jauh dari See-thian Tok-ong dan anak isterinya barulah ia mendapatkan kesempatan untuk mencoba kepandaian, yakni Tin-san-kang yang ia pelajari dari Giok Seng Cu.
Setelah tulang-tulang berbunyi berkerotokan. Kong Ji meloncat berdiri seperti biasa, merendahkan tubuh, mengerahkan seluruh tenaga lweekang yang ada di tubuhnya, lalu mendorong batu yang bersandar pada gunung karang itu sambil mengeluarkan Ilmu Tin-san-kang. Dan dia berhasil! Batu itu bergoyang- goyang, namun tidak dapat menggelinding pergi. Kong Ji merasa yakin bahwa di balik itu atau bawahnya terdapat rahasia yang akan membawanya ke tempat penyimpanan kitab peninggaian Pak Kek Siansu. Ia berhenti untuk bernapas dan beristirahat.
"Masa aku kalah oleh batu ini?" pikirnya. Dengan sekuat tenaga, kembali ia mendorong batu itu, melakukan gerakan mendorong Ilmu Tin-san-kang jurus terakhir yang paling besar tenaganya yakni dengan kedua kaki menjejak tanah dan kedua tangannya mendorong ke depan, kepala tunduk dan tubuh hampir jongkok. Kini ia berhasil! Batu itu bergeser sedikit dan alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa di belakang batu itu terdapat sebuah gua yang gelap! Biarpun batu penutup gua itu hanya tergeser sedikit, akan tetapi cukup lebar untuk dia menyelinap masuk.
Tanpa ragu-ragu dan tidak kenal takut, Kong Ji masuk ke dalam gua. Akhirnya ia tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, dan alangkah girangnya ketika ia melihat di dalam ruangan itu ada batu-batu licin seperti tempat duduk, dan sudut ruangan terdapat sebuah peti! Berdebarlah hatinya. Tak salah lagi, inilah tempat rahasia itu, pikirnya. Ia memandang sekeliling dengan siap sedia, kalau-kalau ada orang di dalam gua itu, akan tetapi keadaannya sunyi sekali. Kong Ji sudah memiliki kepandaian yang tinggi sehingga kalau di dekat situ terdapat orang tentu ia akan dapat mendengar jalan pernapasan orang itu.
Dengan hati kebat-kebit ia menghampiri peti dan membuka tutupnya. Tutup peti itu berat sekali, akan tetapi dengan lweekangnya yang sudah tinggi, ia berhasil membukanya tanpa banyak sukar. Hampir saja ia berteriak girang ketika ia melihat sebuah kitab tebal di dalam peti' itu. Kegirangannya meluap-luap karena ia dapat membaca huruf-huruf sampul buku yang ditulis besar-besar dengan jelas dan berbunyi:
PAK KEK SIN CLANG HOAT PIT KIP (Kitab Pelajaran Ilmu Silat Pak-kek-sin-ciang).
Akan tetapi ia merasa menyesal sekali ketika membuka kitab itu, karena ia tidak dapat membacanya. Hanya beberapa buah huruf saja dapat dibacanya karena sesungguhnya Kong Ji sudah banyak lupa akan huruf-huruf yang belum lama dipelajari dan tidak pernah ia pergunakan. Ia termenung sebentar, kemudian mengembalikan kitab di dalam peti, menutupnya kembali, kemudian ia memeriksa keadaan di dalam gua. Setelah merasa yakin bahwa ia tidak mendapatkan apa-apa lagi, ia lalu keluar dari dalam gua. Dari luar gua ia mempergunakan kepandaian dan tenaganya untuk menggeser kembali batu itu menutupi gua dan sama kali tidak kelihatan dari luar. Dipandang dari luar batu itu tidak menimbulkan kecurigaan, seperti batu besar biasa yang terletak di dekat batu karang seperti gunung itu.
Dengan kakinya Kong Ji meratakan tanah di mana jejak kakinya nampak, kemudian ia memanggil kim-tiauw dan melompat ke atas punggungnya. "Kim-tiauw, mari kita naik lagi ke tempat Suhu,” katanya.
Kim-tiauw terbang ke atas dan disepanjang penerbangan naik Kong Ji memperhatikan pinggiran jurang, karena sudah mengambil keputusan untuk kelak kembali seorang diri di dalam jurang ini dan mempelajari isi kitab itu setelah ia pandai membaca. Setelah tiba di depan See-thian Tok-ong dan anak isterinya yang menanti sampai kehilangan sabar, Kong Ji berkata.
"Tidak ada apa-apa, Suhu. Hanya lereng bukit kosong, penuh batu karang besar-besar. Kim-tiauw juga kelihatan bingung, agaknya pedang Pak-kek Sin-kiam itu ia pungut begitu saja dari dasar jurang yang ternyata merupakan lereng juga itu. Kitabnya kalau memang ada tentu tidak disimpan di tempat seperti itu."
See-thian Tok-ong nampak kecewa sekali. Kwan Ji Nio menyumpah-nyumpah lalu berkata kepada suaminya, "Kalau kitab itu memang tidak ada mengapa susah-susah dipikirkan? Dengan kepandaian yang ada pada kita, siapakah yang mampu mengalahkan kita?"
Tiba-tiba Kok Sun berkata, "Ayah siapa tahu kalau Kong Ji kurang teliti mencarinya. Biar aku sendiri yang melihat keadaan di bawah sana bersama kim-tiauw."
Kong Ji terkejut sekali akan tetapi dengan cerdiknya ia dapat menekan perasaan hatinya sehingga mukanya tidak menunjukkan sesuatu, bahkan ia berkata dengan lagak mendongkol, "Kalau Kok Sun Twako tidak percaya kepadaku, baiklah kau lihat sendiri!"
Kok Sun hanya tertawa dan cepat melompat ke punggung kim-tiauw dan menyuruh burung itu terbang masuk kedalam jurang. Hati Kong Ji berdebar. Celaka, pikirnya, kalau sampai setan gundul ini mendapatkan kitab, tidak saja kitab itu akan terjatuh ke tangan See-thian Tok-ong, bahkan dia sendiri tentu akan dibunuh oleh Raja Racun.
"Kau bilang tidak menemukan apa-apa di bawah sana? Betulkah itu? Hm, kau akan melihat sendiri akibatnya kalau kau membohongi kami." Kwan Ji Nio berkata sambil tersenyum dan memandang kepada Kong Ji. Nyonya ini merasa benci kepada Kong Ji, benci yang ditimbulkan oleh iri hati, karena bocah ini lebih tampan daripada puteranya sendiri.
"Subo, memang teecu tidak mendapatkan sesuatu. Kalau teecu mendapat sesuatu di bawah sana, tentu sudah teecu bawa naik. Andaikata Kok Sun Twako mendapat kitab itu di bawah sana, itulah karena Twako memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada teecu," jawab Kong Ji merendah. Ia pikir bahwa jawaban ini mungkin akan menolongnya terbebas daripada kecurigaan andaikata benar-benar Kok Sun mendapatkan kitab rahasia itu.
Di dalam hati Kong Ji timbul ketegangan luar biasa selama menanti munculnya kim-tiauw dan Kok Sun. Ia gelisah sekali, akan tetapi diam-diam ia berpikir, takkan mungkin Kok Sun kuat mendorong batu besar itu. Ia tahu bahwa tenaga lweekang dari Si Gundul itu sudah kuat sekali, akan tetapi tidak banyak selisihnya dengan tenaganya sendiri. Tadi pun kalau tidak mengerahkan Tin-san-kang takkan mungkin ia dapat menggeser batu. Dengan pikiran ini, hatinya menjadi lega.
Tak lama kemudian terdengar suara kim tiauw dan muncullah burung besar itu. Kok Sun duduk di atas pungungnya dan dari muka Si Gundul ini dapat diduga bahwa ia pun gagal dalam usahanya mencari kitab. "Benar, Kong Ji, di sana tidak apa-apa melainkan batu-batu besar dan batu karang," kata Kok Sun setelah melompat turun.
Kong Ji tanpa disadarinya tersenyum mengejek dan merasa girang sekali, hanya dia masih khawatir kalau-kalau See-thian Tok-ong sendirilah yang mencoba karena Raja Racun itu pasti dapat meggeser batu yang menutupi gua di mana tersimpan kitab itu. Tiba-tiba Kwan Ji Nio menyambar memegang pundaknya dengan kuat sekali. Kong Ji terkejut dan memandang.
"Bocah setan, mengapa kau tersenyum sindir melihat kegagalan anakku? Kau senyembunyikan rahasia apakah? Hayo mengaku!”
Kong Ji terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nenek ini demikian cerdik dan demikian tajam pandangan matanya. Kalau ia tidak dapat memberikan alasan, tentu mereka akan menjadi curiga dan akan memaksanya mengaku akan rahasia hatinya.
"Maaf..." ia sengaja berkata gagap, "teecu... teecu tadi merasa penasaran karena Kok Sun Twako tidak percaya kepada teecu dan pergi memeriksa sendiri. Sekarang melihat Twako tidak mendapatkan apa-apa, tanpa disengaja teecu tersenyum, mohon Subo sudi memaafkan."
"Kau anak setan, kau sekarang saja sudah berani menghina anakku, apalagi kelak kalau sudah pandai. Kok Sun, hayo beri hajaran kepadanya yang sudah berani mentertawakanmu!" kata nyonya tua itu dengan marah.
See-thian Tok-ong diam saja, bahkan membuang muka ketika Kong Ji memandang kepadanya untuk minta bantuan. Hati Kong Ji mulai gelisah. Setan tua ini karena sekarang melihat aku tak dapat membantunya mendapatkan kitab, tak mau perduli lagi kepadaku. Ia memandang kepada Kok Sun. Si Gundul ini hanya tersenyum saja dan memandang juga kepadanya dengan mata menyelidik.
"Kong Ji kau memang kurang ajar kepadaku. Akan tetapi aku sebenarnya takkan melakukan sesuatu. Hanya karena Ibu yang minta maka terpaksa aku harus mentaatinya. Bangunlah, dan mari kita berlatih sebentar!"
Kong Ji tidak mengerti akan maksud Kok Sun. Biasanya Si Gundul ini amat baik terhadapnya dan ia pun sudah merasa yakin bahwa ia telah berhasil menarik hati Kok Sun dan mendapatkan kasih sayangnya sebagai saudara. Tiba-tiba mata Kok Sun berkejap. Kong Ji memang cerdik, maka tahulah ia akan maksud Kok Sun. Si Gundul ini mengajak ia mengadu kepandaian untuk menghilangkan kemarahan hati ibunya dan kalau Kong Ji sudah terkalahkan olehnya, agaknya kemarahan ibunya akan berkurang terhadap Kong Ji. Memang hal ini perlu sekali karena kalau kemarahan ibunya tidak dipadamkan, ada kemungkinan Kong Ji akan dibunuh pada saat itu juga.
"Baiklah, Twako, kalau kau hendak memberi hukuman padaku, silakan," kata Kong Ji sambil melompat berdiri.
"Kong Ji kau lawan dia. Tidak boleh puteraku memukul lawan tanpa lawannya itu membalas," tiba-tiba See-thian Tok-ong berkata. Kakek ini biarpun tentu saja membela putera sendiri, namun ia merasa tersinggung kehormatannya kalau melihat Kong Ji dipukul tanpa memperlihatkan perlawanan. Setidaknya anak ini pernah belajar kepadanya dan sekaranglah waktunya untuk menguji sampai di mana hasil pelajaran itu. Memang aneh watak orang seperti See-thian Tok-ong. Ia tidak akan peduli andaikata isterinya membunuh Kong Ji, ia tidak ingat sama sekali tentang nasib anak ini. Akan tetapi ia ingin melihat hasil daripada ajarannya dan dapat bangga karena hasil yang baik.
"Nah, Kong Ji, Ayah sudah mengijinkan kita mengadu kepandaian, hitung-hitung latihan!” kata Kok Sun gembira, memang Si Gundul ini tidak mempunyai maksud buruk terhadap Kong Ji, hanya ingin mengalahkan dalam pertempuran agar ibunya puas.
Terpaksa Kong Ji bersiap sedia menanti serangan Kok Sun. Serangan tiba ketika Kok Sun berseru keras dan memukul dengan tangannya yang kecil tetapi kuat. Kong Ji cepat mengelak dan membalas serangan lawan. Bertempurlah dua orang pemuda tanggung ini dengan seru dan hebatnya. Masing-masing mengeluarkan tipu-tipu dan gerak silat yang mereka pelajari dari See-thian Tok-ong. Kakek ini berdiri tegak menonton dan mulutnya tersenyum, kepalanya beberapa kali mengangguk-angguk. Dan sambaran angin pukulan-pukulan kedua orang pemuda itu, tahulah ia bahwa kepandaian mereka sudah amat maju dan mengagumkan. Setiap gerakan tidak ada yang salah.
Akan tetapi diam-diam ia terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya bahwa Kong Ji yang secara terpaksa menjadi muridnya itu, benar-benar hebat sekali. Gerakannya tenang, tetap, dan penuh tenaga. Tipu-tipunya amat licin dan cerdik sehingga kalau saja Kok Sun tidak mewarisi kepandaian ginkang (ilmu meringankan tubuh) dari ibunya, tentu sudah terkena tipu dalam pertempuran itu.
Memang Kong Ji dalam pertempuran ini tidak mau mengalah. Inilah penyakitnya. Kalau saja ia mengalah dan mandah dipukul dan dikalahkan dalam pertempuran ini, agaknya kemarahan Kwan Ji Nio akan padam dan ia akan selamat. Akan tetapi, selain cerdik sekali, Kong Ji mempunyai kelemahan, yakni tak mau menyerah kalah terhadap siapapun juga. Biasanya, di dalam menyerah ia menyembunyikan siasat yang membuat ia menarik keuntungan besar, yakni yang disebut siasat mengalah untuk menang.
Akan tetapi menghadapi Kok Sun ia lupa akan siasat ini. Darah mudanya membuat ia tidak mau kalah begitu saja terhadap Kok Sun. Nafsunya untuk menjadi jagoan dan menangkan semua orang, menguasai seluruh tubuhnya. Ia bertempur dengan hati-hati dan penuh semangat. Hanya kecerdikan otaknya saja yang menahannya sehingga ia tidak mempergunakan Tin-san-kang terhadap Kok Sun melainkan mainkan ilmu silat yang ia pelajari dari See-thian Tok-ong....