Pedang Penakluk Iblis Jilid 08

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar budiman episode pedang Penakluk Iblis Jilid 08
Sonny Ogawa

Pedang Penakluk Iblis Jilid 08

KWAN Kok Sun merasa penasaran sekali. Kong Ji baru paling lama, empat tahun belajar silat dari ayahnya, sedangkan ia digembleng sejak kecil. Bagaimana sampai lima puluh jurus belum juga ia dapat mengalahkan Kong Ji? Tentu saja ia tidak tahu bahwa sebelum belajar kepada See-thian Tok-ong, Kong Ji sudah menerima latihan sejak kecil dari ayah bundanva, kemudian menerima latihan Liang Gi Tojin dan yang terakhir dari Giok Seng Cu.

Kok Sun mulai marah. Beberapa kali ia mengejapkan mata kepada Kong Ji akan tetapi Kong Ji agaknya tidak mengerti dan selalu menghadapi serangannya dengan sungguh-sungguh. Padahal Kok Sun hanya main-main saja dan ingin mengalahkan Kong Ji dengan menolongnya. Melihat bahwa sudah terang Kong Ji tidak mau mengalah, timbul kemarahan di dalam hati pemuda gundul ini.

Ia mengeluarkan seruan keras dan kini ia menyerang dengan sungguh-sungguh. Kagetlah Kong Ji karena kini sambaran angin pukulan Kok Sun amat berbahaya ditujukan kepada anggauta tubuhnya yang lemah dalam pukulan-pukulan maut. Tadinya, biarpun ia juga bersungguh-sungguh tentu saja tidak bermaksud bertempur sampai dapat membinasakan lawan, cukup kalau ada yang kalah saja. Akan tapi sekarang Kok Sun bertempur untuk membunuhnya. Perubahan gerakan Kok Sun ini tentu saja membuat ia terdesak.

Kok Sun mendesak terus dan pada suatu saat, pemuda gundul ini melakukan pukulan dengan kedua tangan, setelah tendangan berantai yang ia lakukan dapat ditangkis oleh Kong Ji. Pukulan kedua tangan ini amat cepat, kuat dan ganas sehingga tidak mungkin dapat ditangkis lagi oleh Kong Ji. Pukulan ini mengarah dada dan kalau ia sampai terkena pukulan ini, ia tentu akan tewas atau sedikitnya akan menderita luka di dalam tubuh yang amat berbahaya.

Dalam keadaan yang amat terdesak itu, Kong Ji tidak mempunyai daya lain kecuali mempergunakan Tin-san-kang dan menangkis pukulan tadi. Dua pasang telapak tangan bertemu amat kerasnya dan tubuh Kok Sun terjengkang ke belakang. Begitu ia melompat bangun, darah segar keluar dari mulut Kwan Kok Sun!

"Jahanam, kau telah melukai anakku!" bentak Kwan Ji Nio dan cepat ia menyerang dengan sebuah totokan ke arah kepala Kong Ji. Kali ini Kong Ji tidak dapat berpura-pura lagi, untuk melinclungi tubuhnya, kembali ia mempergunakan Tin-san-kang memukul ke arah nyonya tua itu. Baiknya kepandaian Kwan Ji Nio sudah amat tinggi sehingga cepat sekali ia dapat menghindarkan diri, akan tetapi diam-diam ia terkejut sekali karena pukulan Kong Ji tadi benar-benar berbahaya sehingga ia masih dapat merasai sambaran angin yang luar biasa ketika mengelak.

"Dari mana kau mempelajari pukulan itu?" See-thian Tok-ong berseru dan sekali ia bergerak, ia telah berhasil menotok pundak Kong Ji sehingga tubuhnya menjadi lemas dan ia roboh duduk tanpa berdaya lagi.

"Teecu mendapatkan pelajaran dari Suhu Giok Seng Cu," katanya perlahan.

"Celaka dia memperdayai!" kata Kwat Ji Nio. "Dengan kepandaian yang ia dapat dan sana-sini, ia kelak merupakan orang yang berbahaya bagi kita. Baik bikin mampus saja bocah ini!"

See-thian Tok-ong merasa setuju dengan maksud isterinya. ia pun tadi terkejut sekali. Ternyata bahwa kepandaian Kong Ji sudah demikian tangguhnya sehingga bocah ini dapat menghadapi isterinya dengan Tin-san-kang sehingga hampir saja isterinya roboh pula. Ia tidak berkata apa-apa hanya menghampiri puteranya dan menotok dada puteranya di bagian tai-kong-hiat untuk menyembuhkan luka bekas akibat benturan tangan Kong Ji yang mengandung tenaga Tin-san-kang.

"Tahan dulu, Ibu!" Kok Sun tiba-tiba berseru ketika melihat ibunya mengangkat tangan hendak membinasakan Kong Ji. "Aku yang ia hina, aku pula yang berhak membunuhnya. Biar ia dijadikan makanan untuk ang-coa (ular merah)." Sambil berkata demikian, Kok Sun merogoh saku baju mengeluarkan sepasang ular merah yang membelit-belit di antara jari tangannya.

Kong Ji maklum bahwa nyawanya takkan tertolong lagi, akan tetapi ia memandang dengan berani kepada Kok Sun. Hampir saja ia membuka mulut dan membuka rahasia tentang kitab yang berada di dalam gua di dasar jurang, Akan tetapi ia menahan mulutnya. Apa gunanya? Ia telah yakin bahwa biarpun ia memberi kitab itu kepada See-thian Tok-ong, harapannya sedikit sekali baginya untuk dapat membebaskan diri dari mereka itu. Akhirnya ia pun akan dibunuh juga dan kalau sampai terjadi demikian dia yang rugi besar.

"Kwan Kok Sun, kau sudah kalah olehku, sekarang hendak membunuh secara curang. Baik, lepaskan ang-coa itu, aku tidak takut mati. Aku mati sebagai seorang gagah, akan tetapi kau, kecuranganmu ini akan membikin busuk namamu selama kau hidup!"

Kok Sun menjadi merah mukanya. Dengan gemas ia lalu melepaskan ular-ularnya ke arah Kong Ji yang memandang datangnya dua ekor ular merah terbang itu dengan mata terbuka lebar. Nasib Kong Ji sudah tak dapat diulur lagi agaknya. Akan tetapi, pada saat yang amat berbahaya itu, tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu seorang anak perempuan kecil dengan sebatang ranting bambu di tangan telah berdiri di dekat Kong Ji. Dengan dua kali menggerakkan ranting bambu, ia dapat memukul sepasang ular merah itu. Dua ekor ular itu terpelanting dan tak bergerak lagi karena kepala mereka telah remuk Hanya ekor mereka yang bergerak-gerak lemah dan menggeliat-geliat sebelum nyawa mereka meninggalkan tubuh.

Semua orang, termasuk Kong Ji terbelalak memandang ke arah anak perempuan itu. Dia adalah seorang anak perempuan berusia paling banyak sepuluh tahun, rambutnya diikat dengan pita dan dibagi dua sehingga rambut yang panjang itu tergantung di atas pundak, yang satu di belakang yang satu di depan. Mukanya mungil dan lucu, mulutnya selalu tersenyum akan tetapi sepasang matanya amat tajam. Bajunya berwarna merah dan pakaiannya longgar sekali dengan baju lebar, akan tetapi tidak mengganggu gerakannya yang amat lincah. Gadis cilik itu memandang kepada dua bangkai ular, lalu dengan muka memperlihatkan kejijikan, ia membuang ranting itu jauh-jauh.

"Siauw Suhu, kau benar-benar curang dan betul kata Saudara ini bahwa namamu akan membusuk sepanjang masa kalau tadi kau jadi membunuhnya!" katanya kepada Kok Sun. Dan sebutannya terhadap Kok Sun, ia mengira bahwa Kok Sun yang berkepala gundul adalah seorang hwesio cilik.

"Kau siluman cilik dari manakah berani mencampuri urusanku?" bentak Kok Sun dengan marah sekali melihat sepasang ular yang disayanginya telah mampus. Sikapnya seperti hendak menerjang gadis cilik itu.

“Hm, kau kok galak amat? Tentu kau hwesio jahat!" kata anak perempuan itu sambil tersenyum mengejek. "Kalah menang dalam pertempuran bukan hal aneh akan tetapi membunuh lawan dengan cara keji seperti yang akan kau lakukan tadi siapakah yang tidak penasaran hatinya? Ular-ular itu busuk dan jahat akan tetapi yang melepasnya lebih busuk dan jahat lagi."

"Siluman bermulut kotor, kau minta dihancurkan kepalamu!" Kok Sun membentak sambil memukul.

Akan tetapi, sekali kedua kakinya digerakkan, anak perempuan itu telah lompat ke belakang jauh sekali, gerakannya gesit seperti seekor burung walet saja sehingga Kok Sun menjadi melongo, bahkan Kwan Ji Nio yang memiliki gin-kang tinggi tak terasa mengeluarkan suara pujian.

"Kau kira aku takut padamu" Aku hanya merasa jijik beradu tangan dengan kau manusia busuk dan jahat!" gadis cilik itu melakukan gerakan seperti orang menari, akan tetapi dalam pandangan mata See-thian Tok-ong dan Kwan Ji Nio, gadis itu bukannya menari, melainkan melakukan ilmu silat yang luar biasa sekali dan telah siap menghadapi lawannya.

"Kok Sun tahan dulu...!" kata See thian Tok-ong kepada puteranya. Puteranya itu telah terluka oleh Tin-san-kang dari Kong Ji, dan anak perempuan agaknya bukan bocah sembarangan, maka ia khawatir kalau Kok Sun akan kalah. Juga ia tertarik sekalI kepada bocah ini.

"Anak, siapakah kau? Dan dengan siapa kau datang?" tanyanya. Sebelum anak itu menjawab, dari jauh terdengar suara keras.

"Hui Lian, kau tunggu kami...!"

Baru saja suara itu lenyap gemanya tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan di situ telah berdiri sepasang suami isteri setengah tua yang amat gagah. Yang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun dan wajahnya tampan sikapnya gagah sekali, biarpun nampak kehalusan budi dari gerak-geriknya yang halus. Pakaiannya sederhana, ditutup oleh baju luar yang lebar, yang aneh sekali sedikit baju dalamnya yang kelihatan di dekat leher, berwarna dan berkembang-kembang seperti baju wanita! Adapun yang wanita juga amat gagah sikapnya, wajahnya cantik manis dan lemah lembut, akan tetapi bibirnya yang bentuknya indah itu membayangkan kekerasan hati. Di punggungnya kelihatan gagang pedang dengan ronce-ronce berwarna merah.

Sepasang suami isteri ini, begitu tiba di tempat itu, lalu mcnyapu keadaan di situ dengan pandang mata mereka. Laki-laki gagah berbaju kembang itu memandang tajam kepada See-thian Tok-ong. Kwan Ji Nio, dan Kwan Kok Sun, kemudian matanya bercahaya seperti berapi. Ia melangkah malu menghampiri See-thian Tok-ong dan berkata, suaranya lemah lembut akan tetapi matanya berkilat.

"See-thian Tok-ong, kiranya kau dan anak isterimu berada di puncak Luliang san. Tentu kau dapat menceritakan kepadaku siapa orangnya yang telah menewaskan ketiga Luliang Sam-lojin?"

See-thian Tok-ong terkejut. Bagaimana orang ini dapat mengenalnya begitu bertemu muka? Ia selamanya belum pernah melihat suami isteri ini, akan tetapi melihat sikap mereka, ia hampir dapat menduga. Untuk melenyapkan keraguannya ia balas bertanya, "Kau telah tahu bahwa aku adalah See-thian Tok-ong, sebaliknya kau ini siapakah? Ada hubungan apa kau dengan Luliang Sam-lojin?"

Laki-laki itu menjawab, "Aku bernama Go Ciang Le, dia ini isteriku dan Hui Lian itu adalah puteri kami, Lulian Sam-lojin adalah suheng-suhengku...."

"Ah, jadi kau yang disebut Hwa Enghiong (Pendekar Baju Kembang) dan isterimu ini Sianli Engcu (Bayangan Bidadari)?"

Tanya See-thian Tok-ong dengan terheran-heran dan sikap mengejek. Ia sudah mendengar nama besar Hwa I Enghiong atau Go Ciang Le sebagai seorang pendekar besar dan jarang tandingannya pada masa itu, akan tetapi ia tidak mengira sama sekali bahwa pendekar besar ini ternyata hanyalah seorang yang masih muda dan kelihatannya tidak mengesankan sama sekali.

"See-thian Tok-ong, kau tentu sudah mendengar bahwa aku adalah murid Pak Kek Siansu dan sute dari Luliang Sam-lojin, oleh karena itu aku berhak untuk bertanya mengapa kau berada di sini dan apakah kau yang telah menewaskan ketiga orang suhengku?" kata pula Ciang Le.

Sebelum See-thian Tok-ong menjawab, Kwan Ji Nio mendahuluinya. Nenek ini melangkah maju, menudingkan telunjuk tangan kirinya ke muka Ciang Le sambil nemaki, "Macam inikah yang disebut Hwa I Enghiong? Kiraku orangnya hebat seperti namanya, tidak tahunya hanya seorang yang sombong dan tak tahu aturan. Kalau kami tanggal di sini kau mau apa? Andaikata benar Luliang Sam-lojin kami yang menewaskannya, kau mau apa?"

Baru saja nyonya tua ini habis mengucapkan kata-kata itu, terdengar bentakan nyaring dan Liang Bi Lan, isteri dari Go Ciang Le, melompat maju dan menampar dengan tangannya ke arah muka Kwan Ji Nio! Kwan Ji Nio merasa ada sambar angin ke arah mukanya, cepat ia menangkis sambil mengerahkan tenaga.

"Plak!" Dua tangan beradu, disusul suara "plak" yang lain dan tubuh Kwan Ji Nio terhuyung ke belakang. Ternyata bahwa biarpun tamparan tangan kanan dapat ditangkis, tangan kiri Liang Bi Lan dapat menyusul cepat dan tanpa dapat dicegah lagi, pipi kanan Kwan Ji Nio telah kena ditampar'

"Kau ini siluman wanita tua sungguh tak tahu malu!" Bi Lan memaki sambil tersenyum sindir. "Dengarlah jawabanku. Kalau memaksa hendak merampas tempat tinggal orang, kami akan mengusir kalian dari Puncak Luliang-san. Adapun andaikata benar-benar kalian telah membunuh Luliang Sam-lojin, kami akan menghancurkan kepala kalian sebagai pembalasan dendam!"

Berbeda dengan suaminya yang tenang dan sabar sekali, Bi Lan memang berwatak keras, mudah gembira dan mudah marah. Kwan Ji Nio marah dan juga terkejut sekali. Ia merasa heran bagaimana lawannya itu berhasil menamparnya, gerakan tangan lawannya benar-benar amat aneh dan tidak terduga. Dia tidak tahu bahwa Bi Lan adalah murid Hoa-san-pai yang paling lihai, selain itu ia pun menjadi murid dan Coa-ong Sin-kai dan telah mempelajari pula ilmu silat dan ilmu pedang dari Thian-te Siang-mo. Kepandaiannya amat tinggi dan gerakannya tadi adalah jurus dari ilmu Silat Ouw-wan ciang yang lihai.

"Bangsat, kau hendak bertempur? Baik, bersiaplah untuk mampus" Kwan Ji Nio sudah mengeluarkan tongkatnya yang kecil dan berbahaya, akan tetapi pada saat itu, See-thian Tok-ong memegang lengannya, mencegahnya memulai perketahian.

See-thian Tok-ong adalah seorang yang cerdik. Ia dapat melihat kelihaian Bi Lan dan melihat sikap yang tenang dari Ciang Le, ia pun agak keder juga. Dengan tersenyum ia menjura kepada Ciang Le dan berkata, "Hwa I Enghiong, memang pihakku yang tak tahu diri. Tempat ini adalah bekas tempat tinggal Pak Kek Siansu kau sebagai murid Luliang-san tentu saja berhak menyuruh kami pergi. Kami pun hendak pergi karena di tempat ini kami tidak ada urusan apa-apa. Adapun tentang tewasnya Luliang Sam-lojin, See-thian Tok-ong tidak tahu menahu bukan aku yang membunuh mereka."

Ciang Le melangkah maju. "See-thin Tok-ong. Kita berdua adalah laki-laki sejati dan bukan anak-anak yang suka membohong. Benar-benarkah kau tidak membunuh ketiga suhengku"

"Kau tidak percaya kepadaku? Aku bersumpah bahwa bukan aku yang membunuh mereka. Selamat tinggal!" See thian Tok-ong mengajak isteri dan puteranya untuk pergi meninggalkan tempat itu.

Ciang Le tak dapat berbuat sesuatu dan hanya memandang dengan kecewa. Telah bertahun-tahun pendekar ini tak pernah naik ke Luliang-san. Sekarang selagi ada kesempatan, sambil membawa isterinya ia naik ke Luliang-san untuk mengunjungi ketiga orang suhengnya, akan tetapi alangkah marah, menyesal dan dukanya ketika ia menemukan ketiga suhengnya telah menjadi rangka yang berserakan di lereng gunung. Adapun puterinya Hui Lian yang merasa amat gembira melihat pemandangan alam yang amat indah di puncak, mendahului ayah bundanya dan berlari-lari naik bagaikan seekor burung cepatnya. Kebetulan sekali Hui Lian melihat Kong Ji yang hendak dibunuh oleh Kok Sun, maka ia lalu menolongnya.

Ketika mehhat See-thian Tok-ong dan anak isterinya pergi, Ciang Le hanya berdiri memandang. See-thian Tok-ong telah bersumpah bahwa ia tidak membunuh Luliang Sam-lojin, maka Ciang Le merasa bahwa tak pantas sekali kalau mendesak dan mencari permusuhan dengan tokoh yang amat terkenal itu. Akan tetapi, tiba-tiba Kong Ji berseru keras,

"Go-locianpwe, jangan percaya kepada Raja Racun itu. Dia telah membawa pergi pedang Pak-kek Sin-kiam dari puncak ini!"

Mendengar seruan ini, Ciang Le tidak membuang waktu lagi, cepat melompat dan lari mengejar See-thian Tok-ong. Liang Bi Lan dan puterinya juga berlari cepat mengejar.

"See-thian Tak-ong, tunggu dulu!" seru Ciang Le ketika ia sudah hampir dapat menyusul rombongan See-thian Tok-ong.

See-thian Tok-ong terkejut dan berhenti. Ia tidak takut karena ia yakin bahwa pendekar besar itu tentu percaya kepada sumpahnya. Lagi pula, biarpun yang membunuh Luliang Sam-lojin adalah puteranya, namun ia tidak membohong kalau ia bersumpah bahwa ia tidak membunuh mereka.

"Hwa I Enghiong, ada urusan apa maka kau menyusulku?" tanyanya.

"See-thian Tok-ong, kau telah mengambil dan membawa pergi pusaka Luliang-pai, harap kau suka mengembalikannya kepadaku," kata Ciang Le dengan suara tenang.

See-thian Tok-ong cukup cerdik. Ia dapat menduga bahwa tentulah Kong Ji telah membuka rahasia dan memberi tahu kepada Ciang Le tentang Pak-kek Sin kiam, maka ia pun tidak mau berpura-pura lagi dan bertanya, "Apakah kau maksudkan Pak-kek Sin-kiam?"

"Betul! Pedang itu adalah pusaka peninggalan Suhu Pak Kek Siansu, maka tidak boleh kau membawanya pergi dari sini."

"Hwa I Enghiong, kau benar-benar keterlaluan. Apakah kau pura-pura tidak mendengar bahwa Pak Kek Siansu diam-diam meninggalkan sebatang pedang dan sebuah kitab? Apakah kau tidak mendengar bahwa semua orang di dunia kang-ouw berebutan untuk mendapatkan dua benda itu? Siapa yang mendapatkannya, berarti sudah berjodoh. Aku memang mendapatkan pedang Pak-kek Sin-kiam, akan tetapi bukan mencuri darimu. Itu menandakan bahwa akulah yang berjodoh memiliki Pak-kek Sin-kiam."

“Hm, See-thian Tok-ong, enak saja kau bicara, seolah-olah kau tidak mengerti akan peraturan dan kesopanan kang-ouw. Pedang itu adalah milik Suhu dan sebuah pedang pusaka partai persilatan takkan jatuh ke dalam tangan orang lain, melainkan kepada murid atau cucu muridnya. Apakah kau sengaja hendak melanggar peraturan ini`"

"Ha-ha-ha, Hwa I Enghiong, kau bukan bicara dengan seorang bocah! Kalau memang Pak Kek Siansu meninggalkan pedang dan kitab untuk murid-muridnya mengapa disembunyikan sehingga Luliang Sam-lojin sendiri tidak tahu di mana tempat penyimpanannya? Kalau andaikata Pak Kek Siansu meninggalkan untukmu, mengapa dua macam benda itu tidak berada di tanganmu?"

"Sungguhpun begitu, See-thian Tok- ong, akan tetapi tak seorang pun boleh membawa pergi pusaka Luliang-pai begitu saja. Kau telah melanggar wilayah Luliang-pai, bahkan telah mencuri pedang kalau sekarang kau tidak mau mengembalikan sama halnya dengan kau mencari permusuhan dengan Luliang-pai."

"Perduli apa?" Kwan Ji Nio membentak marah. "Kalau kau becus, kau boleh merampas pedang itu kembali dan kami"

"Hm, kalau begitu maafkan aku yang muda terpaksa menggunakan kekerasan!" kata Ciang Le dan sebelum See-thian Tok-ong dapat menjawab, tangan kanan Ciang Le telah menyerangnya dengan sebuah dorongan kuat sekali dan tangan kirinya meluncur ke arah pinggang di mana tergantung pedang Pak-kek Sin-kiam.

Bukan main kagetnya See-thian Tok-ong. Gerakan dari Ciang Le demikian kuat dan cepat, baru anginnya saja sudah terasa olehnya. Cepat ia melompat ke belakang sambil menangkis dan begitu kedua kakinya menginjak bumi ia terus saja mencabut keluar Pak-kek Sin-kiam.

Ciang Le kagum sekali melihat pedang itu, pedang suhunya yang belum pernah dilihatnya. Akan tetapi ia tidak dapat mencurahkan perhatiannya kepada pokiam itu karena segera sinar pedang itu telah menyambar-nyambar menyerangnya. Namun dengan amat gesitnya Ciang Le dapat mengelak, bahkan beberapa kali kedua tangannya yang kosong bergerak merampas pedang. Dihadapi dengan tangan kosong, See-thian Tok-ong terkejut dan juga kaget. Tak disangkanya bahwa ilmu kepandaian pendekar Luliang-san ini benar-benar hebat. Siapa orangnya yang dapat menghadapinya dengan tangan kosong apalagi kalau mempergunakan pedang Pak-kek Sin-kiam?

Sebaliknya, Ciang Le diam-diam harus mengakui pula kelihaian ilmu pedang lawannya. Ia sengaja bertangan kosong dan mainkan Ilmu Silat Thian-hong-ciang-hwat yang ia pelajari dari Pak Kek Siansu karena ia tidak bermaksud membunuh lawannya, hanya akan merampas kembali pedang suhunya.

Tetapi tiba-tiba terdengar seruan nyaring dari Kwan Ji Nio telah bergerak menyerang dengan sebatang ranting bambu. Serangannya cukup berbahaya, lagian amat cepatnya sehingga Ciang Le benar-benar merasa tak sanggup lagi menghadapi dengan tangan kosong. Terpaksa ia mencabut keluar pedang Kim-kong-kiam. Kilauan sinar keemasan yang hanya kalah sedikit oleh sinar Pak-kek Sin-kiam nampak bergulung-gulung. Kwan Kok Sun yang melihat dua orang tuanya sudah mengeroyok Ciang Le, hanya berdiri menonton. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih terlampau rendah untuk mencampuri pertempuran itu.

Tak lama kemudian, datanglah Liang Bi Lan dan Go Hui Lian di tempat itu. Melihat suaminya telah dikeroyok, Bi Lan segera mencabut pedang dan menggempur Kwan Ji Nio. Terpaksa nyonya tua ini menghadapi Bi Lan dan kini pertempuran terbagi menjadi dua.

"Hwesio cilik, apakah kau juga ingin kepalamu benjut? Majulah, tanganku sudah gatal-gatal!" kata Hui Lian sambil mengejek kepada Kok Sun.

Kok Sun tidak meladeni bocah perempuan ini, pura-pura tidak melihatnya dan asyik menonton orang tuanya. Akan tetapi. Hui Lian sambil tertawa-tawa mengejek, melompat di depannya, menaruh telunjuk di pucuk hidung dan menjulurkan lidahnya.

"Aha, hanya galak menghadapi orang yang lemah, akan tetapi pengecut kalau bertemu dengan lawan yang gagah," kata Hui Lian.

Kok Sun merasa panas perutnya. Ia bersuit keras dan serentak ular-ularnya merayap maju mengepung Hui Lian. Bahkan burung kim-tiauw yang tadinya beterbangan di atas kini turun menyambar ke arah nona cilik itu dengan sepasang kaki siap mencengkeram dan patuknya yang besar terbuka mengerikan.

Hui Lian tidak takut menghadapi kim-tiauw, akan tetapi ia merasa jijik dan ngeri melihat puluhan ekor ular itu. "Kau memang siluman ular!" bentaknya dan tangannya cepat merogoh dan beberapa kali tangannya bergerak. Jarum-jarum halus yang bersinar emas melayang ke arah ular-ular itu. Sebentar saja enam ekor ular menggeliat-geliat dengan kepala tertembus jarum-jarum Kim-kong-touw-kut-ciam (Jarum-jarum Sinar Emas Penembus Tulang), kepandaian tunggal dari ayahnya yang telah diwarisinya semenjak ia masih sangat kecil!

Ular-ular yang lain menjadi marah sekali, akan tetapi kembali beberapa ekor ular mampus terkena sambaran jarum-jarum itu. Kim-tiauw pada saat itu menyambar.

"Lian Ji, awas dari atas...'" teriak Bi Lan yang biarpun sedang menghadapi Kwan Ji Nio, namun masih memperhatikan keadaan puterinya.

Hui Lian tentu saja sudah tahu akan datangnya sambaran burung, cepat ia mengelak sambil menangkis dengan tangan kirinya.

"Jangan...!" Bi Lan berseru namun terlambat, Hui Lian sudah menangkis sambaran burung. Lengannya yang kecil bertemu dengan sayap burung itu dan tubuh Hui Lian terpental jauh bergulingan bagaikan seekor trenggiling.

Ciang Le mengerti bahwa kini kalau pertempuran dilanjutkan, ia harus terpaksa membunuh tiga orang lawannya ini, maka dengan gerakan yang cepat sekali, pedangnya membuat lingkaran menyerang See-thian Tok-ong yang cepat meloncat mundur. Kcsempatan itu dipergunakan oleh Ciang Le untuk meloncat ke dekat Kok Sun. Sekali tangannya bergerak, bocah gundul itu telah ditotok lemas dikempit tubuhnya. Kemudian Ciang Le meloncat lagi mendekati puterinya yang ternyata telah bangun berdiri, tidak menderita luka hanya kaget saja. Bi Lan sudah meloncat mendekati puterinya.

"See-thian Tok-ong, aku tidak mau kalau permusuhan dilanjutkan sampai berlarut-larut karena urusan pedang saja. Kau telah mencuri pedang Luliang pai, sekarang terpaksa aku menangkap puteramu."

"Hwa I Enghiong, mengapa kau demikian curang? Lepaskan putera kami!" seru Kwan Ji Nio.

"Kembalikan dulu pedang Pak-kek Sin-kiam," kata Ciang Le. "Aku berlaku sabar dan menghendaki kembalinya pedang itu dengan jalan damai."

See thian Tok-ong tersenyum mengejek, lalu melemparkan pedang itu kearah Ciang Le yang menyambut dengan tangannya. Setelah itu, Ciang Le membebaskan totokannya pada Kok Sun dan melepaskan Si Gundul itu yang cepat-cepat berlari mendekati orang tuanya.

“Untuk apa pedang macam itu? Tanpa pedang pun kalau aku mau, aku masih mampu mengalahkanmu!" kata See-thian Tok-ong.

Ciang Le tersenyum. "Mungkin juga, See-thian Tok-ong. Kepandaianmu memang tinggi."

Mendengar jawaban ini, merahlah muka See-thian Tok ong. Sikap Ciang Le benar-benar amat mengherankan hatinya dan bahkan memukul kesombongannya. Dalam jawaban yang sederhana dan memuji ini tersembunyi ejekan yang bahkan lebih menikam hati daripada kalau Ciang Le menjawab dengan sombong.

"Hayo kita pergi!" katanya dengan hati mengkal kepada anak isterinya. "Kok sun, kau seret dan bawa bajingan kecil itu!"

Kok Sun tidak menjawab, melainkan berlari cepat naik ke puncak untuk mengambil Kong Ji yang masih duduk dalam keadaan tidak berdaya karena telah tertotok jalan darahnya.

"Jangan ganggu dia...!" tiba-tiba Hui Lian berseru keras dan dengan tiga kali loncatan jauh ia telah mendahului Kok Sun dan menghadang di tengah jalan sambil bertolak pinggang. "Kalau kau terus naik dan hendak mengganggu korbanmu itu, lebih dulu kepalamu yang gundul akan kuhajar!"

Merah sekali muka Kok Sun, akan tetapi ia tidak berani berlaku lancang menyerang bocah perempuan yang galak ini. Ia hanya menoleh kepada ayahnya untuk minta pertimbangan.

“Lian-ji, anak di atas itu tiada sangkut pautnya dengan kita, biarkan mereka membawanya pergi!" kata Hwa I Enghiong Go Ciang Le kepada putennya.

"Tidak, Ayah! Tak dapat kita biarkan saja orang disiksa dan dibunuh oleh mereka ini," bantah Hui Lian yang memang manja dan berani membantah orang tua kalau ia menganggap dia sendiri betul.

"Bagus. bagus!" See-thian Tok-ong mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum mengejek. "Hwa I Enghiong berkata tidak mencari permusuhan, akan tetapi sengaja hendak menghina kami! Bocah setan di atas puncak itu adalah muridku, apakah aku sebagai gurunya tidak boleh membawanya pergi?"

Ciang Le tak berdaya, pula tadi sekali saja melihat wajah Kong ji yang tampan dengan sepasang mata yang aneh, ia sudah mempunyai perasaan tidak suka yang ia sendiri tidak tahu apa sebabnya. "Hm, kalau dia muridmu, ambillah," katanya.

Kok Sun hendak melangkah lagi, akan tetapi Hui Lian tetap menghadangnya. "Siapa saja yang maju, baik kau setan gundul atau Ayah maupun Ibumu; harus merobohkan aku lebih dulu!" bentak Hui Lian marah sekali.

"Hwa I Enghiong, bagus sekali sikap putrimu…” Kwan Ji Nio menyindir dan nyonya tua ini sebetulnya sudah marah sekali, hanya ia tidak berani mendahului suaminya bertindak.

"Hui Lian...!" Ciang Le membentak telinganya merah.

"Ayah, aku tidak tega melihat mereka membunuh orang yang tidak berdaya." Hui Lian berkata kepada ayahnya dengan suara memohon.

"Bodoh, bocah di atas itu adalah muridnya. Kita tidak berhak mencampuri urusan mereka. Mau dibunuh atau tidak terserah kepada gurunya, apa hubungannya dengan kita!"

"Akan tetapi, Ayah..."

"Hui Lian, jangan kau membantah Ayahmu!" Ciang Le mulai marah.

"Akan tetapi, anak tidak suka kalau kelak ada yang mengira bahwa kita adalah orang-orang yang bong-im pwe-gi (tidak mengenaI budi)."

Ciang Le membuka lebar matanya bahkan Bi Lan cepat bertanya, "Lian-ji (Anak Lian), mengapa kau berkata demikian?"

"Ayah dan Ibu, bukankah tadi orang di puncak itu yang memberi tahu tentang pedang Pak-kek Sin-kiam? Bukankah dia telah melepas budi kepada kita sehingga pedang pusaka Luliang-pai telah dapat dirampas kembali? Masa sekarang melihat dia terancam bahaya maut, kita diam saja. Anak khawatir sekali kelak dunia kang-ouw akan mencela nama kita.”

Ciang Le tertegun. Benar juga kata-kata puterinya! Apalagi ketika tiba-tiba See-thian Tok-ong mengeluarkan makian keras,

"Anak setan tak kenal budi! Jadi dia pula yang membuka rahasia tentang pedang? Anak macam itu harus kucekik lehernya!" Ia melompat hendak menuju ke puncak, akan tetapi tiba-tiba bayangan Ciang Le berkelebat dan tahu-tahu pendekar ini telah berdiri di depannya.

"Sabar See-thian Tok-ong! Daerah ini termasuk daerah Luliang-pai, dan aku tidak memperbolehkan kau naik ke puncak. Sudah terlalu lama kau mengacau dan mengotorkan tempat kami."

"Jadi kau tetap hendak melindungi-muridku, hendak mencampuri urusan antara guru dan murid?"

Sebelum Ciang Le menyahut, kembali terdengar kata-kata Hui Lian yang nyaring. "Biarpun dia itu muridnya, kurasa dia jauh lebih baik daripada gurunya. Aku pernah mendengar bahwa siapa yang dimaki-maki dan dicela orang jahat, itu adalah seorang baik-baik, sebaliknya siapa yang dipuji dun disayang oleh orang jahat, dia itu pun seorang yang busuk!"

"Hui Lian, diam kau!" bentak Ciang Le, kemudian ia berkata kepada See thian Tok-ong, "See-thian Tok-ong, jangan katakan bahwa kami yang mencari gara-gara. Kau sendiri yang sudah melakukan pelanggaran di tempat kami. Sekarang aku tidak memperbolehkan kau naik ke puncak. Kalau kau mau panggil anak itu turun ke bawah aku takkan ambil peduli lagi."

See-thian Tok-ong maklum bahwa alasan ini hanya dicari-cari saja, akan tetapi kuat juga, dan ia tidak berdaya untuk melanggarnya. Maka ia lalu berseru, ditujukan ke arah puncak, "Kong Ji, hayo kau turun dan ikut aku pergi dari sini!"

Sunyi sesaat lalu terdengar jawaban Kong Ji, "Suhu, teecu tidak dapat menggerakkan tubuh'"

"Bergulinglah ke kanan, benturkan jalan darah di pundak kanan ke atas batu runcing setelah tangan kananmu dapat bergerak pijatlah jalan darah di punggung!"

Sunyi pula agak lama, dan semua orang tahu bahwa Kong Ji tentu sedang melakukan perintah gurunya membebaskan diri daripada totokan itu. Tak lama kemudian, terdengar Kong Ji berkata dengan nada suara girang.

"Teecu sudah bebas!!"

"Lekas kau turun ke sini dan berangkat turun gunung bersamaku!"

Kong Ji tertawa dan tetap tidak mau memperlihatkan diri. "Suhu, apakah Suhu kira teecu tidak tahu? Begitu teecu berada di depan Suhu, tentu nyawa teecu akan dicabut!"

“Turunlah dan jangan banyak cakap! Aku, gurumu yang memerintah supaya kau turun!"

"Tidak mungkin, Suhu. Bagaimanapun juga, teecu masih suka hidup!" Memang Kong Ji amat cerdik. Ia tadinya merasa heran mendengar suara suhunya menyuruh dia membuka totokan dan menyuruhnya dia turun gunung. Kemudian ia dapat menduga bahwa tentu Hwa I Enghiong tidak mengijinkan mereka naik ke puncak, maka ia juga mempergunakan kesempatan ini untuk menolong nyawanya.

"Kong Ji, kau hendak murtad terhadap Gurumu sendiri? Tidak ingatkah kau betapa kami selalu sayang kepadamu dan telah menurunkan banyak ilmu silat kepadamu?"

Kembali Kong Ji tertawa lalu berkata, "See-thian Tok-ong, sekarang aku bukan muridmu dan kau kira aku tidak tahukah bahwa selama ini kau tidak menganggap aku sebagai murid yang betul? Kau mau mengajarku hanya karena telah berjanji. Orang gagah bilang bahwa It-gan-ki-jut, su-ma-lam-twi (Sekali perkataan keluar, empat ekor kuda tak dapat menarik kembali). Akan tetapi, apa yang kau lakukan? Baru empat tahun lebih dengan keji kau dan anak isterimu tadi hendak membunuhku. Siapa mau turut mengantarkan nyawa padamu?"

Mendengar jawaban Kong Ji yang berkukuh tidak mau turun dari puncak Luliang-san dan tak mau menurut kehendaknya untuk pergi bersama dari situ, See-thian Tok-ong menjadi mendongkol sekali. Ia merasa telah ditipu oleh Kong Ji dan kini ia baru merasa menyesal mengapa dulu-dulu ia tidak bunuh mampus saja bocah yang cerdik itu.

Sementara itu mendengar kata-kata Kong Ji, timbul rasa suka di hati Ciang Le terhadap bocah yang dtanggapnya berani dan tabah itu. Ia melangkah maju menghadapi See-thian Tok-ong dan berkata, "See-thian Tok-ong, kau sudah mendengar sendiri bahwa anak itu tidak mau turun dari puncak, dan kau tidak bisa memaksanya. Oleh karena itu, kuharap kau dan anak isterimu segera turun dari sini, jangan sampai terjadi salah paham diantara kita."

See-thian Tok-ong membanting kakinya dan sebuah batu yang berada di bawah kakinya menjadi hancur. Ia menyeringai pahit dan sambil memandang tajam ia menjawab. "Bukan karena kami takut kepadamu, Hwa I Enghiong, hanya karena kami tidak mau disebut pendatang yang mengacaukan tempat tinggal orang lain maka kali ini aku mengalah. Biarlah lain kali kita bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik dan di sana kita akan menentukan siapa yang lebih unggul antara kita."

"Hm, soal nanti tak usah dibicarakan sekarang," Bi Lan menyahut, "kami akan selalu melayani tantanganmu, di manapun juga kami berada, See-thian Tok-ong.

Terdengar Kwan Ji Nio tertawa bergelak, suara tertawa yang mengandung kemarahan besar, kemudian menarik tangan putranya dan berlari turun gunung, Suaminya lalu menggapai ke arah ular-ular dan kim-tiauw, lalu dia pun menyusul istri dan anaknya. Ular-ular merayap cepat turun gunung dan di atas, kimtiauw terbang meluncur dengan gagah.

Ciang Le menarik napas panjang. "Mereka itu benar-benar merupakan lawan-lawan yang tangguh. Baiknya tidak terjadi pertempuran yang lebih hebat. Aku khawatir sekali, karena kalau sampai terjadi demikian tidak ringan menghadapi racun-racun."

Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, tiba-tiba terdengar suara gaduh di puncak gunung. Ciang Le, Bi Lan dan Hui Lian cepat berlari naik dan mereka melihat Kong Ji seperti orang gila mencabut beberapa batang pohon muda.

"Eh, apa yang kaulakukan?" Hui Lian bertanya heran. Kong Ji menoleh dan melihat Ciang Le dan anak isterinya, Kong Ji serta merta menjatuhkan diri berlutut sambil menangis!

"Locianpwe, kalau tidak Locianpwe bertiga yang datang menolong, pasti tee-cu sudah mampus sekarang. Terima kasih banyak atas budi pertolongan Locianpwe. Sungguh tidak salah kalau dulu Ayah Bunda teecu, juga Ayah angkat teecu serta Guru teecu sendiri menyatakan bahwa Go-locianpwe adalah seorang pendekar yang paling mulia dan gagah di waktu ini."

Mendengar kata-kata ini, Ciang Le mengerutkan kening. Anak ini mempunyai sifat penjilat, pikirnya. "Kau cabuti pohon-pohon itu ada apakah?" tanyanya.

"Locianpwe, See thian Tok ong yang jahat itu telah menyebar racun pada pohon-pohon ini. Lihat saja, pohon-pohon ini telah layu dan kering, kalau sampai pohon-pohon ini membusuk di sini, maka racunnya akan menjalar dan akhirnya seluruh tetumbuhan di puncak Luliang-san ini akan musnah!"

Ciang Le melihat dan ia terkejut sekali. Sebagai seorang kang-ouw yang telah berpengalaman luas ia pernah mendengar akan adanya racun yang dapat membasmi tetumbuhan dengan jalan menyebarkan semacam penyakit pohon yang menular. Memang betul bahwa pohon-pohon kecil yang dicabuti oleh Kong Ji telah pada kering dan layu. Yang berbahaya sekali, kalau tetumbuhan di situ sudah dijalari penyakit ini, siapa saja yang makan daun pohon-pohon yang sakit, baik manusia maupun binatang akan tewas terkena racun yang amat berbahaya!

"Hayo kita kumpulkan pohon-pohon, sekitar tempat ini dan bakar habis!" kata Ciang Le cepat-cepat.

Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu bekerja dan berkat kepandaian Ciang Le dan Bi Lan yang tinggi, sebentar saja pohon-pohon di sekitar tempat yang disebari racun itu telah bersih tercabut, ditumpuk disitu. Ciang Le lalu membakar semua pohon yang sebentar saja sudah menjadi kering itu dan tak lama kemudian asap hitam mengepul di puncak Luliang-san. Keadaan di puncak menjadi gundul dan buruk, akan tetapi bersih daripada bahaya racun yang sengaja disebar oleh See-thian Tok-ong sebelum ia meninggalkan puncak itu.

Kong Ji yang amat cerdik sudah dapat mempelajari sedikit banyak tentang racun yang menjadi keistimewaan suhunya, maka melihat keadaan beberapa batang pohon di tempat itu, ia dapat menduga bahwa See-thian Tok-ong telah menyebar racun. Apalagi kalau ia teringat bahwa memang See-thian Tok-ong tadi berdiri di dekat pohon-pohon itu. Maka untuk mencari muka baik, ia segera turun tangan mencabuti pohon-pohon itu sebelum Ciang Le naik ke Luliang-san. Setelah pekerjaan membasmi racun pada pohon-pohon itu beres. Kong Ji kembali berlutut di depan Ciang Le.

"Oleh karena See thian Tok-ong tentu akan selalu berurusan untuk membunuh teecu, maka teecu mohon dengan sangat sudilah kiranya Locianpwe menaruh belas kasihan kepada teecu dan sudi menerima teecu menjadi murid."

Sudah berada di ujung lidah Cia Le untuk segera menolak permintaan ini karena selain ia memang timbul rasa tidak suka kepada pemuda cilik ini, juga memang tidak berhasrat menerima murid baru. Akan tetapi ia merasa kasihan juga melihat keadaan bocah ini, apalagi kalau ia teringat betapa anak ini tadi menyatakan bahwa ayah bunda dan gurunya pernah mengenalnya.

"Kau siapakah dan putera siapa? Mengapa bisa menjadi murid See-thian Tok ong?" tanyanya.

Sambil kadang-kadang mengusap kedua matanya dengan ujung lengan baju Kong Ji menjawab, "Teecu bernama Liok Kong Ji. Mendiang ibu teecu pernah mengenal Locianpwe dan Ibu teecu bernama Liok Hui, ketua dan Kwan-im-pai." Kemudian Kong Ji menuturkan betapa ibu dan ayahnya itu terbunuh oleh orang-orang Im-yang-bu-pai dan betapa ia dibawa lari oleh pamannya, yakni Liok San dan dibawa mengungsi ke Hoa-san di mana ia belajar ilmu silat kepada Lie Bu Tek dan Liang Gi Tojin.

Baru bercerita sampai di sini, Ciang Le sudah memegang pundaknya dan bertanya dengan suara bergetar, "Apa yang terjadi di Hoa-san dan ke mana perginya Liang Gi Tojin dan Lie Bu Tek Twako?" Juga Bi Lan ingin sekali mendengar tentang bekas gurunya dan suhengnya itu. Sebelum naik ke Luliang-san, memang mereka telah mengunjungi Hoa san, akan tetapi mereka tidak menemukan seorang pun di puncak Hoa-san dan keadaan di situ yang sudah rusak tak terpelihara membuat mereka merasa bingung dan juga sedih sekali.

Mendengar pertanyaan ini, Kong Ji mengucurkan air matanya dengan deras. "Ah, Locianpwe, memang orang-orang jahat merajalela di dunia ini dan karenanya teecu bersumpah untuk belajar ilmu silat setinggi-tingginya agar kelak dapat membasmi musuh-musuh besar itu!"

Bi Lan tidak sabar lagi. "Hayo ceritakan apa yang terjadi di puncak Hoa-san!"

"Suhu Liang Gi Tojin yang sudah menerima teecu sebagai murid telah... telah tewas oleh dua orang anggauta Im-yang-bu-pai, juga Twa-suheng Lie Bu Tek; terluka hebat, barangkali sudah tewas pula."

Bi Lan tak dapat menahan air matanya, sedangkan Ciang Le menjadi pucat. "Keparat betul Im-yang-bu-pai. Awas, akan kubasmi kalian!' teriak Hui Lan.

"Teruskan ceritamu, Kong Ji. Apa, yang terjadi selanjutnya?"

Kong Ji lalu bercerita betapa ia dipaksa oleh orang-orang Im-yang-bu-pai untuk menjadi pelayan. Kemudian ia bercerita pula tentang usaha Giok Seng Cu ketua Im-yang-bu-pai untuk mencari pedang dan kitab peninggalan Pak Kek -Siansu di puncak Luliang-san.

"Jadi Giok Seng Cu yang menjadi ketua Im-yang-bu-pai? Pantas saja kalau begitu...!" kata Bi Lan sambil mengerling ke arah suaminya.

Diam-diam Ciang Le merasa tidak enak sekali karena biarpun telah mengambil jalan masing-masing yang bertentangan. Giok Seng Cu adalah murid Pak Hong Siansu.

"Teruskan!" katanya singkat kepada Kong ji.

Kong Ji melanjutkan ceritanya. Ia menuturkan betapa Giok Seng Cu berhasil merampas pedang, kemudian menyembunyikan diri. Betapa See-thian Tok-ong dan anak isterinya yang marah kepada Giok Seng Cu lalu membasmi orang-orang lm-yang bu-pai, akan tetapi memaksanya ikut untuk menunjukkan tempat sembunyi Giok Seng Cu.

"Teecu terpaksa membawa mereka ke tempat sembunyi Giok Seng Cu, oleh karena biarpun ketua lm-yang-bupai itu telah berlaku baik dan tidak membunuh teecu, namun anak buahnya yang membanasakan Ayah Bunda teecu, maka ia pun merupakan musuh besar teecu pula. Selain ini, teecu juga dipaksa oleh See thian Tok-ong bahkan diberi janji bahwa teecu akan diberi pelajaran ilmu silat selama lima tahun."

Kemudian ia menuturkan betapa Giok Seng Cu terpaksa menyerahkan pedang Pak-kek Sin-kiam kepada See-thian Tok ong dan betapa See-thian Tok-ong dan anak isterinya mencari-cari kitab peninggalan Pak Kek Siansu dengan sia-sia belaka sehingga akhirnya marah kepadanya dan hendak membunuhnya, akan tetapi baiknya keburu datang Hui Lian yang menolongnya.

"Kalau begitu, kau juga tahu pula apa yang terjadi dengan Luliang Sam-lojin. Siapa yang telah membunuh mereka?” tanya Ciang Le.

Kembali sepasang mata Kong Ji bercucuran air mata ketika ia mendengar pertanyaan ini, sehingga sukar baginya untuk bicara. Akhirnya dengan suara terputus-putus ia berkata, "Locianpwe, kalau diingat sungguh. membikin sakit sekali hati teecu. Sakit hati teecu bertumpuk-tumpuk setinggi langit dan teecu bersumpah kelak akan menuntut balas. Hanya seorang bodoh macam teecu bagaimanakah dapat memenuhi harapan itu? Kecuali kalau Locianpwe menaruh hati kasihan kepada teecu dan sudi menurunkan sedikit ilmu kepada teecu yang bodoh..."

"Soal itu kita bacarakan nanti, sekarang ceritakan dulu apa yang telah terjadi dengan Luliang Sam lojin" tanya Ciang Le kurang sabar.

Dengan pandai sekali Kong Ji mengarang cerita, agar ia dapat terlibat ke dalam penstiwa pembunuhan itu dan agar ia menarik perhatian Ciang Le. Memang dia sudah mendengar dari Giok Seng Cu sendiri bagaimana Luliang Sam-lojin terbinasa oleh Kwan Kok Sun atas bantuannya dan bantuan Ba Mau Hoatsu ketika mereka semua memperebutkan pedang Pak-kek Sin-kiam.

"Ketika itu, teecu diajak oleh Giok Seng Cu naik Luliang-san," Kong Ji mulai menutur dengan gaya sedemikian rupa sehingga ia nampak bersungguh-sungguh dan berduka sekali. "Akhirnya dengan bantuan Kim-tiauw, rombongan See-thian Tok-ong berhasil mendapatkan pedang Pak-kek Sin-kiam dalam perebutan pedang dan usaha mencari kitab itu. Melihat ini, Giok Seng Cu merampas pedang itu dari tangan putera See-thian Tok-ong sehingga akhirnya menimbulkan sakit hati dan pihak See thian Tok-ong. Dalam keributan itu diam diam teecu memberi tahu hal perebutan pedang kepada Luliang Sam-lojin yang berada di puncak bukit, karena teecu merasa tidak patut sekali pedang pusaka Luliang-san diperebutkan oleh orang luar. Juga teecu yang menganggap Giok Seng Cu sebagai musuh besar, tidak rela melihat dia mendapatkan pedang itu. Akan tetapi, sayang sekali Giok Seng Cu mengetahui perbuatan teecu itu dan teecu pasti akan dibunuh mati kalau saja tidak Luliang Samlojin yang menolong teecu. Kemudian terjadi pertempuan antara Luliang Samlojin melawan orang-orang jahat yang hendak merampas pedang itu. Giok Seng Cu, Ba Mau Hoatsu, Kwan Kok Sun dibantu oleh ular-ular clan burungnya mengeroyok sehingga akhirnya Luliang Sam-lojin tewas. Pedang dibawa pergi oleh Giok Seng Cu, dan teecu juga dipaksa olehnya dibawa pulang. Hanya nasib baik saja yang mencegah teecu terbunuh mati oleh Giok Seng Cu. Selanjutnya, seperti sudah teecu ceritakan tadi, pedang itu terampas olah See-thaan Tok-ong, dan teecu juga dtbawa ke tempat ini."

Setelah menuturkan semua ini, kembali Kong Ji menangis. Kong Ji tahu bahwa dalam semua penuturan itu, banyak membohong. Akan tetapi ia berani melakukan itu karena ia merasa aman. Wan Sin Hong bocah satu-satunya yang mengetahui rahasianya, telah mampus dilemparkan ke dalam jurang. Hanya Lie Bu Tek orang ke dua yang kiranya tahu akan perbuatannya di puncak Hoa-san. Akan tetapi tak mungkin, ketika mempergunakan pedang membabat putus pangkal lengan Lie Bu Tek, jago Hoa-san itu sedang pingsan dan tidak akan tahu siapa yang membabat putus lengannya.

Andaikata Lie Bu Tek tahu akan hal ini dan akhirnya Ciang Le atau orang-orang lain mendengar pula, Kong Ji juga tidak amat, khawatir karena ia telah mempunyai alasan dan jawaban yang tepat untuk membela. Memang anak ini luar biasa sekali cerdik dan licinnya, akan tetapi biarpun Ciang Le sendiri yang biasanya bermata tajam dan berperasaan halus, dapat ditipu oleh Kong Ji yang wajahnya tampan dan halus sehingga kalau tadinya dalam hati Ciang Le timbul sedikit rasa curiga dan tidak suka, perasaan itu lenyap oleh cerita dan penuturan Kong Ji yang menarik hati.

Hui Lian mewarisi hati budiman seperti ayahnya, maka mendengar semua penuturan Kong Ji yang tentu saja menonjolkan penderitaannya, menjadi kasihan sekali sampai mengucurkan air mata. Kalau ayah bundanya berlinang air mata karena menyedihi kematian Liang Gi Tojin, Lie Bu Tek yang tak ada beritanya lagi, kematian Luliang Sam-lojin dan kehancuran Hoa-san-pai dan Luliang-pai, Hui Lian menyedihi nasib buruk Kong Ji. Memang anak ini belum pernah bertemu lengan orang-orang tua yang sudah tewas itu, maka bagaimana mana bisa merasa sedih?

"Ayah, nasib Kong Ji ini amat menyedihkan, mengingatkan aku akan nasib Enci Soan Li," katanya dan dalam suaranya mengandung permohonan agar ayahnya suka menolong bocah ini.

Ciang Le menarik napas panjang. "Terlalu banyak orang bersengsara karena perbuatan jahat orang-orang yang rendah budi. Kalau aku menerimanya sebagai murid, bukan karena ia bernasib buruk, melainkan mengingat bahwa ia adalah putera dari ketua Kwan-im-pai, apalagi ia telah berguru kepada Liang Gi Tojin sehingga anak ini boleh dibilang masih terhitung sute (adik seperguruan) dari Ibu mu."

Hum l_ian melompat kegirangan dan menghampiri Kong Ji. "Kau diterima menjadi murid Ayah. Kau kini menjadi Suhengku!"

Kong Ji berlutut dan mengangguk- anggukkan kepala delapan kali di depan Ciang Le sambil menyebut "Suhu"! Kemudian ia pun berlutut di depan Bi Lan yang disebut sebagai "Subo" olehnya.

"Orang-orang jahat terlalu banyak. Sudah bertahun-tahun aku mengasingkan diri dari dunia kangouw karena merasa jemu mendengar kejahatan-kejahatan yang tiada habisnya itu. Akan tetapi orang-orang seperti Giok Seng Cu, Ba Mau Hoatsu, See-thian Tok-ong dan kaki tangan mereka memang patut dibasmi. Belajarlah baik-baik, siapa tahu kaulah orangnya yang akan mampu membasmi, mereka."

Bukan main girangnya hati Kong Ji. "Teecu akan perhatikan baik-baik ajaran Suhu, bahkan kalau Suhu sudi, teecu juga ingin sekali belajar ilmu surat agar kelak tidak tersesat menjadi orang jahat." Biarpun mulutnya bicara demikian, namun hati Kong Ji berpendapat lain. Ia ingin belajar ilmu surat hanya dengan maksud agar kelak ia dapat membaca dan mempelajari ilmu di dalam kitab peninggalan Pak Kek Siansu yang ia dapatkan di dalam gua di dasar jurang di puncak Luliang-san itu!

Semenjak saat itu Kong Ji ikut dengan Ciang Le, dibawa ke selatan untuk belajar ilmu silat dari pendekar besar ini, bersama-sama dengan Go Hui Lian. Kong Ja sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam Ciang Le bersama isterinya merencanakan untuk menjodohkan dia dengan Gak Soan Li, murid dan suami isteri pendekar ini.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Wan Sin Hong yang berada di dasar jurang di puncak Luliang-san. Baiklah kita tinggalkan dulu Kong Ji yang demikian baik nasibnya sehingga setelah menjadi murid dan Liang Gi Tojin, Giok Seng Cu, dan See thian Tok-ong, kini kembali dengan kecerdikannya diterima menjadi murid dari Ciang Le! Mari kita ikuti perjalanan Wan Sin Hong, bocah yang benar-benar telah mengalami penderitaan hebat itu.

Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, Sin Hong yang dilempar jatuh ke dalam jurang oleh Giok Seng Cu telah tertolong oleh kim-tiauw, kemudian secara kebetulan sekali anak ini mendapatkan gua di mana ia melihat pedang Pak-kek Sin-kiam dan kitab peninggalan Pak Kek Sian-su. Sudah dituturkan di bagian depan betapa pedang itu dibawa keluar gua oleh Sin Hong dan kemudian dirampas oleh kim-tiauw yang membawanya terbang pergi.

Tubuh Sin Hong terluka hebat. Tulang lengannya telah patah oleh pukulan Giok Seng Cu, bahkan tubuhnya dibagian dalam telah menderita luka hebat akibat pukulan tenaga lweekang sehingga anak ini merasa seringkali terserang demam yang membuat tulang-tulangnya dingin sekali. Berkat latihan-latihan ilmu silat dan cara bersamadhi dan pengaturan napas yang ia pelajari dari kitab peninggalan Pak Kek Siansu, ia memperoleh kemajuan yang amat luar biasa tanpa disadarinya sendiri. Luka di dalam tubuhnya telah terusir dan ia telah memperoleh hawa sinkang di dalam tubuhnya, bahkan tulang lengannya yang patah dapat tersambung kembali dalam keadaan baik dan wajar.

Bertahun-tahun ia berlatih dengan rajin dan tekunnya. Seluruh isi kitab telah dihafalkannya diluar kepala dalam waktu dua tahun, setelah hafal ia lalu membakar habis kitab itu, karena di halaman terakhir dari kitab itu terdapat tulisan Pak Kek Siansu yang berbunyi, "Setelah isi kitab habis dipelajari, bakarlah kitab ini agar jangan terjatuh ke dalam tangan orang jahat."

Sin Hong adalah seorang anak cerdik. Ia tahu bahwa kitab ini dicari oleh orang-orang kang-ouw, maka setelah hafal betul-betul ia membakar kitab itu sambil berlutut menghaturkan terima kasih kepada Pak Kek Siansu. Kemudian ia menaruh kitab tebal sebagai penggantinya di dalam peti dan disampul kitab yang sebetulnya hanya sebuah kitab sejarah ia tulis huruf-huruf besar, PAK KEK SIN CIANG HOAT PIT KIP'. Memang di dalam gua itu terdapat beberapa jilid kitab tebal dan kuno peninggalan Pak Kek Siansu.

Pada suatu hari, baru saja ia selesai berlatih di lereng bukit yang tersembunyi itu, terdengar suara keras dan dari puncak gunung kelihatan debu mengepul dan terdengar suara hiruk-pikuk. Tiba-tiba Sin Hong melihat sebuah batu yang besar sekali menggelinding turun dengan kecepatan luar biasa, menghancurkan batu-batu kecil yang tertimpa di bawahnya. Ketika tiba di dasar jurang yang sebetulnva merupakan lereng itu, batu besar itu masih terus menggelundung ke arah dia sendiri!

Sin Hong terkejut sekali. Tempat di mana ia berdiri sempit sekali, di kanan kirinya terdapat jurang, maka tidak mungkin baginya untuk menghindarkan diri dari serbuah batu besar yang memenuhi tempat itu. Terpaksa ia lalu memasang kuda-kuda dan sesuai dengan petunjuk di dalam kitab, ia melakukan dorongan ke depan. Inilah gerakan yang disebut Sin-ciang-tut-san (Tangan Sakti Mendorong Bukit). Melihat bahwa pada waktu itu Sin Hong baru berusia kurang lebih sebelas tahun, tubuhnya kecil dan batu itu amat besarnya yang menggelundung dengan kekuatan ribuan kati, gerakan Sin Hong ini menggelikan hati.

Akan tetapi, dengan latihan yang tekun berkat petunjuk dan kitab yang mengandung ilmu luar biasa sekali, di dalam tubuh Sin Hong telah mengalir hawa sinkang yang hebat dan gerakannya adalah gerakan dan ilmu mendorong yang amat tinggi, maka ketika batu besar itu telah dekat dan bertemu dengan kedua telapak tangannya, batu itu tertahan dan diam tak bergerak!

Sin Hong girang sekali dan dia lalu mendorong dan bermain dengan batu besar itu. Akhirnya dia mendapat pikiran yang baik sekali. Gua itu terbuka saja, mudah dilihat dan dimasuki orang. Maka ia lalu mendorong batu besar itu dan pergunakan sebagai penutup gua.

Semenjak pengalaman ini, terbukalah mata Sin Hong bahwa latihan-latihannya di tempat itu telah menghasilkan tenaga yang luar biasa. Cepat ia mengingat ingat bagian latihan sinkang dan mulai hari itu, ia tekun mempelajari dan memperdalam latihan dengan jalan bersamadhi, mengatur pernapasan dan berlatih sinkang. Ia rajin sekali dan tidak jarang ia kelihatan duduk menghadapi batu karang, bersamadhi dan menahan napas. sampai akhirnya napas yang keluar dari lubang hidungnya mendatangkan getaran aneh.

Sampai sehari penuh ia duduk bersila menghadapi batu karang. Tidak jarang timbul kenakalannya sebagai kanak-kanak ketika ia merasa bahwa tenaga sinkang sudah berkumpul di dalam tubuh berputar-putar cepat merupakan bola api panas yang dapat perintah dengan daya cipta ia menyalurkan hawa ini ke jari-jari tangannya dan menggunakar jari-jari tangan menggurat-gurat batu karang. Hebat sekali akibatnya. Setelah tenaga sinkang itu terkumpul di jari tangannya, baginya batu karang itu merupakan tanah lempung yang lunak sekali!

Pakaiannya sudah sobek sana-sini. Kadang-kadang ia memotong bagian bawah untuk menambal bagian yang sobek sehingga pakaiannya itu tidak karuan macamnya. Namun semua kesederhanaan pakaian ini tidak mengurangi ketampanan wajahnya yang berkulit putih dengan sepasang mata yang bersinar sinar bagaikan bintang.

Tiga tahun lewat dengan cepatnya dan selama itu, Sin Hong hidup di tempat rahasia ini seorang diri, tak pernah bertemu dengan seorang pun manusia. Akan tetapi anak ini biarpun hidup dalam keadaan kesepian dan sengsara, namun tidak kecil hati. Semangat dan cita-citanya besar sekali. Kalau ia teringat akan nasibnya, teringat akan kematian orang tuanya, kemudian tentang Hoa-san-pai yang rusak oleh orang-orang lm-yang-bu-pai, teringat betapa ayah angkatnya yang tercinta, yang menjadi pengganti orang tuanya itu telah dihina dan disiksa oleh orang Im-yang-bu-pai, kematian Liang Gi Tojin, kemudian teringat pula akan kekejian Kong Ji, semua ini membangkitkan semangatnya. Bangkitnya rasa penasaran dan menguatkan cita-citanya untuk membalas semua kejahatan yang dilakukan orang kepadanya dan kepada orang-orang yang dikasihinya.

Setelah tinggal empat tahun lebih di dalam gua itu, pada suatu hari selagi Sin Hong bersamadhi di sebelah dalam dari gua yang ditutupnya dengan batu besar, ia mendengar suara di luar gua. Cepat ia masuk ke dalam terowongan dan bersembunyi, menanti dengan hati berdebar. Apakah yang akan terjadi.' Manusia manakah yang dapat datang di tempat itu? Tak lama kemudian, ia melihat batu penutup gua bergeser sedikit, seperti didorong orang dari luar. Kemudian ia melihat tubuh seorang pemuda tanggung memasuki gua. Sebagaimana pembaca dapat menduga, yang masuk itu adalah Kong ji yang turun ke dalam jurang naik kim-tiauw.

Keadaan di situ suram, maka Sin Hong tidak dapat mengenal siapa orang yang masuk ke dalam gua. ia mengintai saja dan dengan hati geli ia melihat orang itu membuka peti dan melihat kitab sejarah yang ia letakkan di dalam peti untuk menipu orang. Ia melihat anak tanggung itu mengembalikan buku, berjalan keluar dan menutupkan kembali batu penutup gua.

Diam-diam Sin Hong memuji, karena tidak sembarang orang, apalagi masih pemuda tanggung, dapat mendorong batu itu. Setelah terjadi peristiwa ini, legalah hatinya. Biarkan semua orang kang-ouw datang ke sini dan mendapatkan kitab itu. Kitab aselinya toh sudah ia bakar, sudah ia "pindahkan" isinya ke dalam otaknya. ia berlatih makin giat karena maklum bahwa kalau ia sudah keluar dari tempat sembunyi ini kelak, ia akan mejumpai orang-orang yang pandai dan jahat.

Setelah tinggal bertahun-tahun di tempat itu, Sin Hong sering kali melakukan pemeriksaan di daerah yang terasing ini. Benar-benar daerah itu tak mungkin dapat didatangi orang lain. Untuk keluar dari jurang itu, biar orang memiliki kepandaian tinggi, kalau dia tidak bersayap, tak mungkin dilakukannya. Jalan keluar dari lereng itu sama sekali tidak ada karena lereng itu dikelilingi oleh jurang yang amat curam. Pendeknya tempat ini merupakan tempat terkurung yang memisahkan orang dari luar. Tidak ada jalan keluar lagi bagi mereka yang jatuh ke dalamnya. Akan tetapi Sin Hong tidak merasa khawatir. Ia maklum bahwa pasti ada jalan keluar, karena kalau tidak, bagaimana Pak Kek Siansu dapat menyimpan pedang dan kitab di dalam gua itu?

Setelah hapal akan semua isi kitab ia mulai mencari rahasia jalan keluar itu. Ia berjalan terus ke dalam gua yang di sebelah dalamnya merupakan terowongan itu. Memang tidak mudah berjalan melalui terowongan yang demikian gelapnya. Namun berkat kemauannya, Sin Hong sekarang dapat bergerak dengan ringan dan panca inderanya luar biasa tajamnya. Dari suara angin ia dapat menangkap lubang manakah yang membawa dia ke arah pembebasan. Di dalam terowongan itu terdapat lubang-lubang yang menjurus ke lain tempat dan orang lain pasti akan tersesat jalan dan sukar untuk keluar kembali.

Akhirnya Sin Hong tiba di jalan buntu setelah melalui jalan terowongan yang menaik. Ketika ia meraba dengan tangannya, hatinya berdebar. Ternyata bahwa akhir jalan terowongan ini adalah sebuah daun pintu! Ia mendorong terus dengan pengerahan tenaga. Daun pintu terbuka dan ia berada di balik sebuah pembaringan, dalam sebuah kamar! Akan tetapi, ketika ia mencoba untuk mendorong pembaringan itu, ia gagal. Pembaringan itu terbuat daripada baja dan agaknya dipasangi alat rahasia sehingga tak mungkin dapat dipindahkan dari depan pintu rahasia ini. Ia mencoba lagi namun tetap saja sia-sia. Sebagai seorang anak yang cerdik, Sin Hong tidak mau mengerahkan semua tenaga untuk merusak pembaringan itu, melainkan ia masuk kembali ke dalam terowongan.

"Kalau Pak Kek Siansu bisa mondar-mandir di tempat ini, mengapa aku tidak? Tentu ada rahasianya untuk membuka penghalang pikirnya."

Sin Hong memang amat tekun dalam menghadapi sesuatu. Ia meraba-raba di dalam gelap di sepanjang dinding terowongan di belakang daun pintu itu. Lama sekali setelah mencari dengan susah payah, akhirnya ia mendapatkan pemecahan rahasianya. Ternyata bahwa tempat tidur ini mempunyai palang-palang baja yang menancap dan menembus ke dalam gua dan dipalang dari dalam sehingga tentu saja takkan dapat dibuka dari luar.

Palang itu pun tertutup oleh batu karang dan berada di tempat yang bersembunyi sekali. Dengan merogohkan lengan sampai ke siku, barulah Sin Hong dapat menyentuh palang itu dan menariknya ke atas. Terdengar suara bergerit dan terbukalah jalan keluar karena tempat tidur itu bergeser ke kanan...!

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.