Pedang Penakluk Iblis Jilid 09

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar budiman episode pedang Penakluk Iblis Jilid 09
Sonny Ogawa

Pedang Penakluk Iblis Jilid 09

“Bagus, jalan keluar ke dunia ramai, terbuka bagiku!" seru Sin Hong girang sekali. Ia tidak ingin kembali, karena di dalam jurang itu tidak ada apa-apanya lagi yang penting baginya. Seluruh isi kitab telah pindah ke dalam kepalanya, kitab itu sendiri telah dibakarnya habis.

Di dalam peti bekas tempat kitab rahasia, kini terletak sebuah kitab sejarah kuno yang tiada artinya, sedangkan gua tempat penyimpanan kitab itu pun telah tertutup dengan batu besar yang dulu menggelinding dari atas. Orang biasa saja takkan mungkin dapat menggeser batu itu dan mendapatkan gua. Andaikata ada yang mendapatkan gua itu pun, apa artinya? Paling-paling mendapatkan kitab sejarah!

Sin Hong melangkah keluar melalui pinggir tempat tidur yang sudah tergeser ke kanan. Dengan tangannya ia lalu mendorong tempat tidur itu kembali ke tempat semula dan terdengar suara hiruk-pikuk di balik gua terowongan itu Sin Hong terkejut dan ia hendak melihat apa yang terjadi. Ditariknya tempat tidur itu, akan tetapi sia-sia! Ternyata bahwa palang yang berada di dalam gua telah turun sendiri mengunci ke bawah sehingga sekarang tempat itu takkan mungkin dapat dibuka orang dari luar.

“Lebih baik lagi," kata Sin Hong. "Tempat ini takkan dapat diganggu orang lain."

Ia lalu berjalan ke arah pintu kamar itu dan ketika ia membuka daun pintu, kembali ia tertegun. Ternyata bahwa kamar itu berada pula di dalam sebuah gua. Akhirnya ia teringat dan dengan girang ia berjalan keluar gua. Tidak salah dugaannya, ia telah berada di puncak Luliang-san, di Puncak Jeng-in-thia (Ruang Awan Hijau) sebelah timur!

Dahulu sering kali melihat-lihat gua dan tempat-tempat lain di sekitar Jeng-in-thia, bahkan pernah ia masuk ke dalam gua ini. Ia teringat akan penuturan Luliang Sam-lojin bahwa gua ini adalah tempat bersamadhi Pak Kek Siansu. Siapa mengira bahwa di dalam gua yang sederhana yang hanya terdapat sebuah tempat tidur kuno yang kotor, terletak rahasia daripada tempat penyimpanan kitab dan pedang?

Seorang pun takkan dapat mengira bahwa dibelakang dinding batu karang di mana tempat tidur itu berada, terdapat pintu rahasia yang dapat membawa orang ke dasar jurang yang berada di Jeng-in-thin!

Sin Hong berlari masuk kembali ke dalam gua, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tempat tidur yang dahulu dipergunakan oleh Pak Kek Siansu untuk bersamadhi. "Suhu Pak Kek Siansu, teecu Wan Sin Hong menghaturkan terima kasih atas segala kemurahan hati Suhu."

Setelah bersamadhi beberapa lama, ia lalu keluar dari gua. Angin puncak yang sejuk menampar mukanya dan ia merasa sehat dan segar. Melihat keadaan di puncak Luliang-san yang dikenalnya amat baik ini, teringatlah ia akan Luliang Sam-lojin. Hatinya berdebar kalau ia teringat akan peristiwa empat tahun lebih yang lalu. Puncak ini diserbu oleh orang-orang jahat seperti Giok Seng Cu dan yang lain-lain, dan kalau sampai Giok Seng Cu dapat tahu di puncak, pasti Luliang Sam lojin niengalami bencana ia maklum akan watak ketiga orang kakek itu yang pasti takkan memperbolehkan siapapun juga naik ke puncak Luliang-san.

Teringat akan semua ini, Sin Hong lalu berlari cepat turun dan puncak. Baru beberapa langkah saja ia berhenti dan merasa heran sekali. ia telah berlatih lweekang dan ginkang menurut petunjuk dan kitab peninggalan Pak Kek Siansu, akan tetapi tak disangkanya bahwa tubuhnya sekarang demikian gesit dan ringan sehingga baru melompat beberapa kali saja ia sudah berada di tempat jauh dari puncak!

Tentu saja Sin Hong menjadi girang sekali dan anak ini sengaja mengambil jalan yang sukar. ia melompati jurang yang dulu dianggapnya tak mungkin ia lompati, bahkan Luliang Sam Lojin sendiri kalau melompati jurang ini mengerahkan tenaga ginkang mereka. Akan tetapi sekarang dengan amat enak dan mudah ia melompat dan di lain saat ia telah berada di seberang jurang!

Sambil menari kegirangan Sin Hong berlari terus ke arah lereng gunung di mana dahulu menjadi tempat tinggal Luliang Sam-lojin. Di sana sunyi saja, tidak kelihatan bayangan seorang pun manusia.

"Apakah mereka pergi turun gunung? Ataukah… ada sesuatu yang hebat terjadi?” tanya Sin Hong di dalam hatinya sambil memandang ke sekeliling tempat itu.

Sunyi saja di situ, dan biarpun biasanya Sin Hong berada di dasar jurang yang amat sepi, namun pada saat itu ia benar-benar merasa betapa sunyi tempat itu, sunyi yang mendebarkan hati. Biasanya ia mendengar Luliang Siucai bernyanyi atau membaca sajak,. mendengar Luliang Ciangkun tertawa-tawa sambil minum arak atau mainkan pedang, melihat Luliang Nungjin bekerja rajin di sawahnya. Kini semua itu lenyap dan keadaan di situ seperti mati.

"Luliang Sam-loheng..." tak terasa lagi Sin Hong berteriak dengan hati duka.

Hanya gema suaranya saja yang menjawabnya dari jurusan hutan batu karang. Dengan hati berat Sin Hong berlari naik ke atas dan melompat ke atas sebuah batu karang yang tinggi. Dari tempat tinggi itu ia memandang ke sekelilingnya, dan tiba-tiba ia melihat gundukan tanah sebanyak tiga gunduk! Itula tanda bahwa ada tiga makam di tempat itu!

"Sam-loheng..." dan ia melompat turun dari batu karang dan terus berlari menghampiri tempat itu.

Benar saja, di depannya terdapat kuburan berjajar dan biarpun di situ tidak terdapat tanda sesuatu maupun bongpai (batu nisan) namun Sin Hong seakan-akan melihat mayat tiga orang tua yang dikasihinya itu membujur di bawah tanah. Memang sesungguhnya tempat ini adalah tempat di mana Ciang Le mengubur jenazah Luliang Sam Lojin yang telah menjadi tulang-tulang berserakan ketika pendekar besar itu tiba di Luliang-san.

"Sam-loheng, siauwte bersumpah akan mencari orang-orang yang membunuh Sam-wi Lo-heng dan akan membalas sakit hati ini..." Sin Hong menangts di depan tiga kuburan itu. Betapa ia takkan merasa duka? Di dalam dunia ini, selain Luliang Sam-lojin, tidak ada lagi orang yang menaruh perhatian kepadanya, kecuali Liang Gi Tojin dari Hoa-san-pai yang sudah tewas dan Lie Bu Tek, ayah angkatnya. Tiba-tiba Sin Hong melompat berdiri ketika teringat kepada ayah angkatnya.

"Gihu telah dianiaya oleh orang-orang Im-yang-bu-pai dan lengannya dibacok putus oleh jahanam keparat Kong Ji Bagaimana sekarang keadaannya? Apakah masih hidup?" Setelah bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri dengan perasaan gemas terhadap Kong Ji, ia lalu melompat dan berlari turun dari bukit Luliang-san bagaikan terbang cepatnya.

Setelah melakukan perjalanan jauh, makin terbuka mata Sin Hong bahwa sungguhnya ia telah mewarisi ilmu yang amat luar biasa dari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Di antara ilmu-ilmu silat tinggi yang ia pelajari, terdapat pula pelajaran ilmu lari dan ilmu melompat jauh yang disebut Liok-te-hui-teng-kang hu. Ketika berada di dasar jurang tidak ada tempat yang cukup luas bagi Sin Hong untuk mencoba kepandaian ini akan tetapi sekarang setelah ia keluar dari tempat itu, ia mendapat kesempatan banyak untuk mencobanya. Dan ia sendiri merasa tertegun ketika melihat hasil daripada latihan-latihannya selama. tiga tahun lebih itu. Ilmu melompat jauh ini setelah ia coba, tubuhnya bagaikan dilemparkan oleh tenaga yang kuat sekali sehingga ia setengah melayang-layang di udara!

"Alangkah senangnya hati Gi-hu kalau ia melihat kemajuanku," katanya perlahan dan kembali air matanya berlinang dengan penuh keharuan kalau ia teringat akan nasib Lie Bu Tek. Maka dipercepatlah larinya untuk segera dapat tiba di Hoa-san karena ia berniat pergi ke Hoa-san untuk mencari ayah angkatnya itu.

Pada suatu pagi, setelah keluar dari drretan hutan-hutan besar, tibalah ia di sebuah dusun yang rumah-rumahnya amat sederhana. Tak sebuah pun di antara rumah-rumah itu yang beratap genteng, semua beratap daun kering. Alangkah miskinnya penduduk dusun ini, pikir Sin Hong. Akan tetapi, setelah ia memasuki dusun, ia menjadi heran sekali. Ternyata bahwa dusun itu kosong, tidak ada seorang pun kelihatan diluar pintu yang terbuka, dan keadaannya amat sunyi. Akan tetapi, jelas nampak bahwa rumah-rumah ini belum lama ditinggalkan para penghuninva. Pelatarannya masih bersih bekas disapu.

Sin Hong merasa perutnya lapar sekali. Semenjak kemarin sore ia tidak bertemu dengan dusun dan tidak bisa mendapatkan pohon bcrbuah di dalam hutan yang dilaluinya. Harapannya akan mendapatkan makan di dusun itu lenyap seketika setelah ia melihat bahwa dusun itu benar-benar kosong melompong. Apa akal? Ia tidak bisa membiarkan saja perutnya yang kelaparan. Kalau ia tidak mempergunakan hawa di dalam tubuh melindungi perut dan dadanya, mungkin sekali ia telah terserang penyakit.

"Sebetulnya amat memalukan, akan tetapi apa daya, terpaksa kulakukan juga..." Dengan muka merah, Sin Hong mulai mencari cari di dalam rumah-rumah kosong itu, untuk melihat kalau-kalau ada sesuatu yang dapat dimakan.

"Sial dan memalukan sekali..." gerutunya berkali-kali ketika ia keluar masuk rumah tanpa mendapat apa-apa. üntuk minta-minta seperti pengemis, ia tak merasa hina dan rendah apabila ia merasa perutnya lapar, akan tetapi untuk mencari-cari makanan di dalam rumah orang seperti seorang maling, benar-benar Sin Hong merasa rendah dan malu sekali.

Akan tetapi setelah memasuki sepuluh buah rumah lebih. Sin Hong tak menemukan sesuatu kecuali seguci arak yang dibawanya keluar. ia merasa amat lapar dan haus dan juga terheran-heran mengapa sedikit sisa makan yang ia lihat ternyata sudah merupakan abu di depan setiap rumah, agaknya ketika para penghuni rumah pergi, mereka membakari makanan yang ada di situ. Terlihat periuk-periuk hangus dengan isinya yang sudah menjadi abu dan arang di depan pintu.

"Apa yang terjadi di tempat ini?" pikirnya. Kemudian karena ia tak mungKin dapat memecahkan teka-teki ini, ia lalu mengangkat guci araknya dan menempelkan mulut guci pada bibirnya, siap hendak minum araknya.

Tiba-tiba ia mendengar desir angin dan dengan tenang Sin Hong menggerakkan tangan yang memegang guci ke samping, menunda minumnya. Sebatang senjata rahasia piauw meluncur lewat di samping guci. Kalau ia tidak menggerakkan guci, pasti guci arak itu akan terpukul pecah oleh piauw tadi. Ia heran sekali. Sudah jelas bahwa pelempar piauw itu seorang ahli yang pandai, akan tetapi kalau mau menycrang secara menggelap kenapa piauw itu ditujukan kepada guci arak?

la mendengar seruan keheranan dan cepat Sin Hong membalikkan tubuhnya. Yang berseru keheranan adalah seorang tosu berjenggot dan berambut hitam, orang yang agaknya melepaskan piauw tadi dan kini terheran karena melihat piauwnya tidak mengenai sasaran. Adapun di sebelah tosu ini berthri seorang tosu lain, seorang tosu yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua akan tetapi mukanya demikian sehat dan segar sehingga kulit mukanya itu nampak kemerahan. tosu tua ini berseru,

"Anak yang baik, lekas kaulempar jauh-jauh guci arak itu dan jangan minum isinya!"

Telinga Sin Hong tajam luar biasa setelah ia berlatih ilmu silat tinggi dari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. ia mendengar suara ini amat mengandung perasaan ngeri dan cemas luar biasa. Maka otomatis ia cepat melempar pergi guci arak itu ke tempat jauh. Guci itu pecah dan isinya mengalir keluar.

"Bagus! Senang hatiku melthat kau baru. saja terlepas daripada bahaya maut yang mengerikan," kata pula kakek berjenggot putih itu dan kini mukanya menunjukkan keramahan yang sekaligus menawan hati Sin Hong.

Anak ini cepat menghampin mereka dan menjura. "Jiwi Totiang (Bapak Pendeta Berdua) siapakah dan mengapa aku harus membuang guci arak itu pada saat aku merasa amat lapar dan haus?" tanyanya. Sin Hong pernah belajar ilmu surat dari Luliang Siucai dan telah banyak membaca kitab tentang sejarah dan kebatinan, telah pula mendengar banyak nasihat dari Luliang Siucai tentang pribadi dan sopan santun, maka sikapnya tidak mengecewakan sebagai seorang bocah yang tahu akan aturan.

Kakek berjenggot itu tersenyum mengangguk-angguk dan mengelus-elus jenggotnya sambil berkata, "Aneh... aneh... kau bukan bocah dusun! Dari manakah kau? Dan siapa namamu, bocah yang kelaparan akan tetapi baik budi bahasamu?"

Sin Hong tidak ingin namanya diketahui orang karena ia maklum bahwa banyak sekali musuh yang pasti akan mencari dan menewaskannya kalau mengetahui bahwa ia masih hidup, maka ia lalu menjawab, "Aku bernama Tan A Kai, seorang anak perantau yang tak tentu tempat timggalku. Aku kebetulan lewat di sini lalu perutku lapar sekali, maka karena tidak ada seorang pun di dusun ini, aku… aku lancang memasuki rumah untuk mencari makanan." Muka Sin Hong menjadi merah sekali ketika mengucapkan pengakuan ini.

Kakek itu tertawa terbahak-bahak. "Anak baik, kau masih dapat merasa malu untuk perbuatan itu, bagus sekali! Nah, kaumakanlah ini kalau lapar!" Dari saku bajunya, kakek itu mengeluarkan sebutir buah berwarna merah yang diberikannya kepada Sin Hong. Sambil mengucapkan terima kasih Sin Hong menerima buah itu dan segera dimakannya. Alangkah girangnya ketika mendapat kenyataan bahwa buah itu amat manis dan wangi dan yang lebih mengherankan lagi habis satu saja perutnya menjadi kenyang!

"Bolehkah aku mengetahui nama Ji wi Totiang?" tanya Sin Hong seteLah menghabiskan buah itu.

"Untuk apa kau tanya-tanya? Pergilah, kanii ada pekerjaan!" Tosu berjenggot hitam membentaknya. Sin Hong melirik. Baru sekarang ia memperhatikan tosu ini, karena tadi seluruh perhatiannya tertarik oleh keadaan tosu yang ramah tamah dan bermuka terang itu. Sekali lihat saja Sin Hong merasa tidak suka kepada tosu ini. Alis tosu ini tebal, matanya tajam dan wajahnya cukup tampan akan tetapi tekukan bibirnya membayangkan sesuatu yang tak disukainya. Dari sikap dan kedudukan kedua kakinya, Sin Hong dapat menduga bahwa tosu nil adalah seorang ahli silat kelas tinggi.

"Maaf kalau aku berlancang mulut," jawabnya tenang, "Aku bertanya karena aku ingin sekali mengetahui keadaan di dusun ini yang amat aneh. Aku adalah seorang bocah perantau, bagaimana akan jawabku kalau kelak ada orang bertanya? Sebuah dusun kosong, lalu ada dua orang pendeta datang dan melarang aku minum arak dari guci yang kudapatkan di dusun. Benar-benar bisa bikin orang lain menaruh hati curiga. Akan tetapi, kalau Ji-wi tidak mengaku, sudahlah, biarkan aku pergi dan sini pun tidak apa!"

Akan tetapi sebelum Sin Hong berjalan pergi, kakek tua yang berjenggot putih itu menahannya dengan ketawanya yang ramah tamah dan suaranya yang halus. "Anak, tidak baik bagi seorang anak kecil untuk marah-marah dan mendongkol. Kau ingin tahu siapa kami? Dengarlah, aku disebut orang Kwa Siucai (Sasterawan she Kwa) tukang mendongeng dan juga tukang mengobati orang sakit. Adapun toyu (Sahabat) ini baru kemarin kujumpai dan kenal, namanya Kim Kong Tojin, menurut keterangannya seorang tosu dan Kun-lun-san. Adapun tentang dusun ini, juga menurut penuturan Kim Kong To-yu ini, telah kedatangan iblis penyebar racun dan maut, maka aku diminta datang untuk menyelidiki dan kalau perlu menolong mereka yang menjadi korban." Sambil berkata demikian, dengan wajahnya yang jujur dan ramah tosu berjenggot putih itu memandang kepada Kim Kong Tojin dengan tajam.

Sin Hong adalah seorang anak yang mempunyai kecerdikan dan kecepatan berpikir. Melihat sikap Kim Kong Tojin, dapat menduga bahwa tosu ini bukan seorang baik, sebaliknya melihat sikap Kwa Siucay yang ramah tamah ia dapat menduga pula bahwa ahli pengobatan tentu secara terpaksa berada di tempat ini, dipaksa oleh Kim Kong Tojin.

"Akan tetapi ke mana perginya semua penghuni dusun, dan siluman apakah yang mengganggu tempat ini?" Sin Hong pura-pura ketakutan dan memandang ke kanan kiri.

"Sebagian besar penghuni dusun telah tewas dan yang lain telah melarika diri karena takut," kata Kim Kong Tojin dengan sikap menakut-nakuti Sin Hong sungguh pun ia merasa mendongkol sekali terpaksa harus bercakap-cakap dengan seorang bocah di tempat itu. "Segala sesuatu di tempat ini mengandung racun, kalau tadi terus minum arak itu, sekarang kau tentu sudah menjadi mayat!"

"Dan tidak dapat mengganggu engkau…" di dalam hatinya Sin Hong berkata. "Tosu ini tentu mengandung maksud tertentu. Dengan adanya aku di sini, ia akan bercuriga dan akan melakukan sesuatu dengan bersembunyi. Agaknya ada sesuatu yang mengancam kakek sasterawan ini. Lebih baik aku mengamati dari jauh." Setelah berpikir demikian ia lalu berkata dengan suara takut-takut.

"Aduh celaka! Kalau begitu apa perlunya aku lama-lama berada di tempat terkutuk ini. Terima kasih Ji-wi Totiang, aku mau pergi saja!" Tanpa menanti jawaban, ia lalu berlari-lari seperti seorang anak yang ketakutan. Terdengar kedua orang kakek itu tertawa melihat ia lari ketakutan.

Memang apa yang diduga oleh Sin Hong tidak meleset jauh. Sebagaimana mungkin masih ada pembaca yang ingat. Kwa Siucai adalah seorang tersohor sebagai seorang ahli dongeng cerita-cerita rakyat dan juga amat tinggi ilmunya dalam hal pengobatan. Di dalam cerita Pendekar Budiman, Kwa Siucai ini pernah menolong jiwa pendekar besar Ciang Le ketika pendekar ini terluka oleh senjata rahasia beracun.

Kwa Siucai adalah seorang perantau dan ketika merantau sampai di dekat dusun itu, ia bertemu dengan Kim Kong Tojin yang menceritakan bahwa di dusun itu berjangkit penyakit yang aneh. Banyak penduduk tewas karena siapa pun juga yang tinggal di dusun itu sehanis makan atau minum lalu mati. Hal ini tentu saja menarik perhatian Kwa Siucai sebagai ahli pengobatan, akan tetapi mata kakek ini masih tajam dan ia merasa bercuriga terhadap Kim Kong Tojin. Ia sudah luas pengalamannya dan banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang dikenalnya, namun belum pernah ia mengenaI tosu ini yang mengaku sebagai orang dari Kun-lun san. ia hendak menolak, akan tetapi Kim Kong Tojin berkata dengan nada suara tidak senang,

"Kwa Siucay kau sebagai seorang ahli pengobatan, mendengar akan adanya malapetaka ini bagaimana bisa menolak permintaanku untuk menyelidiki dan memberi pengobatan? Orang yang mati telah kusingkirkan, bahkan yang masih hidap sudah pada pergi meninggalkan dusun. Kalau racun atau siluman penyebar racun itu tidak dibasmi, bagaimana aku bisa disebut ahli silat yang menjunjung tinggi kegagahan dan kau sebagai seorang ahli pengobatan yang suka menolong orang?"

Kwa Siucai dapat mendengar nada ancaman dalam kata-kata ini maka ia tertawa dan berkata. "Baiklah, To-yu, aku akan ikut kau ke sana. Akan tetapi, biarpun soal pengobatan adalah tanggunganku, namun kalau muncul siluman-siluman jahat kaulah yang menghadapinya."

"Jangan khawatir, Kwa Siucai, siluman-siluman jahat adalah makananku sehari-hari. Akan tetapi apakah kiranya kau dapat membereskan wabah yang aneh itu? Apakah betul-betul kau ahli dalam hal pengobatan racun seperti yang sering kali kudengar? Menurut pendengaranku di dunia kang-ouw banyak sekali tokoh tokoh mempergunakan ribuan macam bisa yang aneh-aneh seperti halnya tokoh besar See-thian Tok-ong."

Kwa Siucay mainkan bibirnya dan sepasang matanya bersinar-sinar. “Hmm, orang semacam See thian Tok-ong amat sombong. Biarpun aku belum pernah melihat mukanya, namun aku dapat membayangkan bahwa orang-orang yang memakai nama Raja Racun bukanlah orang yang baik, mungkin bukan manusia. Penggunaan racun untuk merobohkan orang lain adalah kejahatan yang securang-curangnya."

"Akan tetapi dapatkah kiranya Kwa Siucai menyembuhkan dan menolak semua racun dari Raja Racun itu dengan pengobatan?"

"Mengapa tidak?" jawab Kwa Siucay menantang. "Semua racun yang ia keluarkan akan dapat kulawan dengan pengetahuanku tentang obat-obatan pemberian alam yang maha kuasa."

Demikianlah, dua orang itu berangkat ke dusun dan kebetulan sekali mereka melihat Sin Hong hendak minum arak dari guci-guci yang didapatkannya dari dalm rumah. Kwa Siucai cepat menyuruh Kim Kong Tojin mencegah bocah itu melanjutkan minumnya dan Kim Kong Tojin cepat melemparkan piauwnya, akan tetapi tak tersangka-sangka bocah itu menggerakkan guci sehingga piauwnya tidak mengenai sasaran. Mula-mula Kim Kong Tojin merasa terkejut dan heran. Ia telah terkenal dengan ilmunya menimpuk dengan senjata rahasianya, mengapa dalam jarak yang paling jauh empat puluh kaki ia tidak dapat menimpuk guci yang demikian besarnya? Akan tetapi ia segera mendapat pikiran bahwa gerakan bocah itu adalah kebetulan saja, bukan karena ia kurang pandai menimpuk atau karena bocah itu memiliki kepandaian, semua tentu hanya kebetulan saja.

Setelah Sin Hong lari pergi dari situ Kwa Siucai bersama Kim Kong Tojin lalu masuk ke dalam dusun dan sasterawan itu mulai melakukan pemeriksaan. Dalam rumah pertama, begitu masuk ia menggerakkan hidungnya dan mengerutkan kening.

"Hm, aneh sekali. Bagaimana di tempat seperti ini bisa terdapat seekor Pek-gan-coa (Ular Mata Putih)?"

"Apa maksudmu, Kwa Siucai?" tanya Kim Kong Tojin dan air mukanya berubah.

"Diam dan tunggulah saja," kata sasterawan itu yang segera duduk bersila di tengah ruangan rumah yang berlantai tanah itu. Dari dalam sakunya ia mengeluarkan sebuah bungkusan besar yang ketika dibuka terisi beberapa puluh macam bungkusan kertas kecil-kecil. ia memilih sebuah bungkusan kecil setelah membaca tulisan-tulisan di atas setiap bungkusan. Bungkusan itu dibukanya dan ia menjemput sedikit bubuk warna biru yang disebarkan di depannya.

Tercium bau yang wangi oleh Kim Kong Tojin ketika sasterawan itu menyebarkan bubuk biru ini, dan kepalanya menjadi pening. Buru-buru ia melangkah mundur menjauh dan menonton semua itu dari jarak jauh dengan hati berdebar.

Sunyi beberapa lama. Kwa Siucai duduk tak bergerak sambil meramkan mata seperti orang bersamadhi. Kim Kong Tojin juga tidak berani bergerak. Tak lama kemudian terdengar suara mendesis dari atas. Kwa Siucai tetap tidak bergerak, akan tetapi Kim Kong Tojin menggerakkan mata memandang ke atas. Alangkah ngerinya ketika ia melihat seekor ular yang kecil akan tetapi panjangnya tidak kurang dari dua kaki, merayap turun tiang. Ular itu warnanya biru, akan tetapi sepasang matanya putih mengerikan. Lidahnya yang hitam terjulur keluar masuk dari mulutnya. Dengan perlahan ular itu merayap turun terus menghampiri Kwa Siucai!

Kim Kong Tojin tetap tidak bergerak, akan tetapi diam-diam ia telah memegang sebatang senjata rahasia piauw di tangan kanan, siap untuk menimpuk ke arah ular itu kalau binatang berbisa ini menyerang Kwa Siucai. Akan tetapi ular itu tidak menyerang Kwa Siucai, melainkan menghampiri bubuk biru yang tersebar di depan sasterawan itu lalu... bagaikan seekor binatang yang jinak ia menjulurkan lidah dan menjilati tepung biru itu! Kelihatan enak sekali ia makan tepung itu sehingga sebentar saja tepung itu sudah habis. Ular itu masih menggunakan lidah untuk menjilati tanah bekas tempat tepung tersebar, akan tetapi tiba-tiba ia diam tak bergerak.

Kwa Siucai tertawa dan melompat berdiri. "Hm, seekor ular ini saja sudah cukup membunuhi semua penghuni dusun, ia lalu membungkuk dan memegang ular itu pada lehernya. Ular itu masih hidup akan tetapi tubuhnya lemas tak bertenaga sedikitpun juga.

"Eh, Kwa Siucai, bagaimana ia bisa menjadi begitu lemas?" tanya Kim Kong Tojin dengan kagum.

"To-yu, kau tidak tahu. Pek-gan-coa ini adalah ular yang paling berbahaya dan gigitannya sukar diobati. Entah bagaimana ia dapat datang ke sini, pada hal biasanya ular macam ini hanya hidup di daerah utara yang dingin. Kau lihat bukankah dengan obatku aku mampu bikin dia tak berdaya? Juga orang yang menjadi korban gigitannya, kalau belum lewat sehari semalam, aku sanggup mengobatinya."

Kim Kong Tojin mengangguk angguk kagum. "Apakah namanya obat tadi, Kwa Siucai? Bolehkah aku bertanya agar kelak kalau ada aku dapati orang tergigit olehnya, boleh aku mencoba menolonginya?"

Kwa Siucai tersenyum. "Tidak mudah, To-yu. Tidak mudah untuk mempelajari ilmu pengobatan, jauh lebih sukar daripada mempelajari ilmu silat. Kalau tidak demikian, mengapa aku lebih suka mempelajari ilmu pengobatan? Obat tadi adalah sari bunga bwee biru dari utara. Sudahlah, kita beruntung sekali bertemu dengan ular ini. Memanggangnya sampai hangus, arangnya dapat menjadi obat penawar racun yang manjur." Kwa siucai memasukkan ular itu ke dalam saku bajanya yang lebar, lalu menyimpan kembali bungkusan obatnya.

Di rumah ke dua dan ke tiga, ternyata bahwa racun yang tersebar di situ adalah racun ular mata putih juga. Akan tetapi di rumah ke empat, baru saja memasuki rumah, Kwa Siucai mengeluarkan seruan tertahan. "To-yu, mundurlah, Jangan masuk dalam rumah ini. Berbahaya sekali!" serunya.

Kim Kong Tojin melompat mundur akan tetapi mengintai dari balik daun pintu, melihat apa yang hendak dilakukan oleh sasterawan tua itu. Kwa Siaucai berhenti di tengah ruangan rumah yang agak gelap ini, lalu mengeluarkan sebungkus garam dan mencampur garam halus itu dengan obat bubuk warna putih. Kemudian ia menyebarkan bubukan ini ke sudut-sudut ruangan, ke atas dan ke tempat-tempat yang dapat dipakai bersembunyi binatang kecil. Bau apek memenuhi ruangan itu tiba-tiba melayang sebuah bayangan kecil yang berwarna kuning emas dan sebelum ia dapat mengelak, tahu-tahu lengan kiri Kwa Siucai telah tergigit oleh seekor kelabang yang besarnya melebihi Ibu jari kaki!

Kelabang itu menggigit lengan di bawah saku dan tidak mau melepaskan lagi. Baju Siucai bukan apa-apa baginya dan segera gigitannya telah mengenai kulit. Kwa Siucai terhuyung-huyung dan cepat ia berlari keluar. Sampai di luar, ia cepat menjatuhkan diri duduk dan dengan tangan kanan, ia mengeluarkan bungkusan obatnya. Kim Kong Tojin memburu dan hendak mencahut pedangnya, akan tetapi Kwa Siucai berseru. "Jangan sentuh!!"

Kwa Siucai mengeluarkan sebungkus obat bubuk warna putih, mengambil guci araknya dan menuangkan sedikit arak ke dalam tutup guci. Obat bubuk warna putih itu ia tuangkan pula setengahnya ke dalam tutup guci yang dijadikan cawan, kemudian ia mengambil pula sebutir pil warna merah yang segera ditelannya. Setelah itu ia minum arak yang bercampur obat itu. Sehabis minum obat itu ia menjadi tenang. Sambil tersenyum ia mengamat-amati kelabang yang masih melingkar di lengannya dan ia mengangguk-angguk.

"Benar-benar aneh. Apakah dunia utara dan selatan sudah kiamat sehingga binatang-binatang berbisa macam ini bisa berkumpul di sini?" Ia menengok ke arah Kim Kong Tojin yang memandang kepadanya dengan gelisah.

"To-yu, tahukah kau binatang apa ini? Inilah kelabang kulit emas yang hanya terdapat di daerah selatan yang panas. Sekali gigit saja ia menewaskan orang dan setiap makanan yang dilaluinya juga akan mengandung racun jahat."

"Akan tetapi kau... kau telah digigitnya, Kwa Siucai...."

"Tidak apa, bukankah aku tukang mengobati gigitan-gigitan binatang berbisa? Aku takkan apa-apa, sebaliknya binatang ini akan menjadi milikku." Sambil tertawa-tawa girang Kwa Siucai lalu menjatuhkan beberapa banyak bubuk obat putih itu ke arah kepala dan tubuh kelabang yang masih menempel pada lengannya. Tiba-tiba kelabang itu melepaskan gigitannya. Jatuh di atas menggeliat-geliat dan kemudian diam tak bergerak, mati!

"Ha, minyak dari tubuhnya akan menjadi obat yang manjur bagi penyakit gatal," kata Kwa Siucal girang dan cepat ia masukkan kelabang yang sudah menjadi bangkai itu ke dalam saku bajunya yang lain lagi.

Semua rumah itu dimasuki oleh Kwa Siucai dan makin besar keheranannya ketika di rumah-rumah ia mendapatkan binatang-binatang berbisa yang amat berbahaya seperti kalajengking, segala macam ular dan kumbang. Baiknya Kwa Siucai benar-benar ahli dalam hal pengobatan, bahkan beberapa kali ia terkena gigitan binatang berbisa. Dalam menghadapi binatang-binatang berbisa yang datang dari segala penjuru itu memang aneh dan berbahaya, ia sampai beberapa kali membuka kitab tebal kecil yang selalu dibawanya di dalam saku untuk mempelajari kembali agar jangan sampai salah memperrgunakan obat penolaknya.

“Heran, heran, apakah yang terjadi di dusun ini? Apakah benar-benar ada siluman yang datang mengganggu? Tak mungkin binatang-binatang itu dapat datang dari jarak yang ribuan lie jauhnya!" Beberapa kali sasterawan itu menggeleng-gelengkan kepalanya akan tetapi tiba-tiba ia melangkah mundur ketika pandangan matanya bertemu, dengan pandang mata Kim Kong Tojin. Ia melihat sesuatu yang mengerikan dalam pandang mata tosu itu.

Tosu itu tersenyum menyeringai. "Kwa Siucai, bukankah kau tadi menantang See-thian Tok-ong? Nah, sekarang kau telah mencoba kelihayannya, apakah kau merasa ngeri? Ha ha ha!"

Kwa Siucai menjadi pucat. "Jadi. semua ini adalah perbuatan See-thian Tok-ong? Jadi dia sengaja mengorbankan dusun ini untuk mencoba kepandaianku? Dan kau... tentu bukan bernama Kim Kong Tojin! Celaka, aku telah tertipu...!”

"Ha ha ha, kau benar-benar pandai sekali menerka, Kwa Siucai. Aku memang bukan bernama Kim Kong Tojin, melainkan Tek Goan It dari Im-yang-bu-pai.”

"Apa kehendak See-thian Tok-ong? Apa kehendakmu dariku?"

"Kehendak kami? Ini!" Secepat kilat Tek Goan It memukulkan tangan kanannya ke arah dada Kwa Siucai sedangkan tangan kirinya merampas kitab kecil dan bungkusan obat. Kejadian ini terjadi dengan cepat dan tak terduga sekali dan tahu-tahu Kwa Siucai sudah roboh.

Sin Hong yang semenjak tadi mengintai dari jauh, tadinya terheran-heran dan ngeri menyaksikan semua binatang berbisa itu dan kagum bukan main melihat kepandaian Kwa Siucai. Dia masih kecil dan biarpun semenjak kanak-kanak ia telah mengalami banyak penderitaan akibat perbuatan orang -orang jahat, namun ia masih tidak mengira bahwa akan ada orang yang dapat berlaku securang tosu yang datang bersama Kwa Siucai itu. Oleh karena inilah maka ia tidak sempat mencegah terjadinya penyerangan Tek Goan It kepada Kwa Siucai. Setelah Kwa Siucai terpukul jatuh, Sin Hong melompat keluar dan membentak,

"Bangsat berbatin rendah!"

Akan tetapi, sebelum ia turun tangan ia melihat wajah Tek Goan It menjadi pucat sekali dan terhuyung-huyung lalu roboh. Ketika Sin Hong mendekati, ia segera melompat mundur kembali dengan penuh keheranan dan kengerian. Ternyata bahwa entah apa sebabnya Tek Goan It telah tak bernyawa lagi. Kitab dan bungkusan obat masih dicengkeram oleh tangan kirinya!

Terdengar keluhan perlahan dan Sin Hong cepat menghampiri Kwa Siucai, lalu berlutut. "Sayang sekali aku datang terlambat Kwa Siucai. Apakah lukamu hebat?"

Kwa Siucai mencoba untuk bangun akan tetapi tak dapat karena tulang-tulang iganya telah remuk terkena pukulan Tek Goan It. Kwa Siucai sudah tua dan memang tidak mengerti ilmu silat maka mudah saja ia terpukul, sedangkan Tek Goan It adalah tokoh lm-yang-bu pai yang berkepandaian tinggi. Mungkin pembaca masih ingat bahwa dulu Tek Goan It inilah yang mengejar Liok Sun, dan kemudian bertempur dengan Lie Bu Tek di Bukit Hoa-san.

Sin Hong membantu Kwa Siucai duduk. Sasterawan ini muntahkan darah segar, kemudian napasnya terengah-engah. Setelah ia melihat tubuh Tek Goan It rebah tak bernyawa lagi. Kwa Siucai tertawa! Sin Hong merasa heran atas kematian Tek Goan It, kini melihat sastewan itu tertawa, ia merasa makin heran lagi.

"Ha, dikira aku seorang sasterawan yang lemah dan tak mampu membalas? Sayang hanya orang macam Tek Goan It ini yang bertukar nyawa dengan aku, sungguh tidak berharga! Kalau saja See-thian Tok-ong yang mati bersamaku, aku tidak akan penasaran!"

Kwa Siucai memandang dan agaknya baru sekarang ia memperhatikan bocah itu. "Kau bocah aneh, kau bukan bocah sembarangan. Matamu tajam, kau cerdik dan wajahmu membayangkan budi yang luhur. Eh, siapakah kau sebenarnya? Nama Tan A Kai tentu palsu!"

Merah wajah Sin Hong. "Sesungguhnya, Kwa Siucai, aku adalah Wan Sin Hong, seorang anak perantau. Aku adalah murid Pak Kek Siansu."

"Apa...? Pak Kek Siansu sudah meninggal dunia..."

"Betul, akan tetapi akulah yang mewarisi kitabnya."

Wajah Kwa Siucai menjadi terang dan ia nampak girang sekali. "Bagus! Pak Kek Siansu adalah sahabatku yang baik. Bagus, Sin Hong, kau pun menjadi muridku pula. Terimalah kitab ini, ambil bungkusan obat-obat itu Pelajari baik-baik... tolonglah orang-orang yang menderita sengsara dengan kepandaiannmu dari Pak Kek Siansu dan dari aku..." Tiba-tiba tubuh saterawan itu menjadi lemas, ia muntahkan darah segar lagi dan matanya tertutup untuk selamanya.

Sin Hong menjadi terharu sekali, dan juga ia merasa bingung. Sasterawan ini mengangkat ia sebagai murid dan memberi warisan berupa kitab pengohatan dan sebungkus obat-obatan yang amat manjur dan yang tadi sudah ia saksikan kehebatan khasiat obat-obat itu. Akan tetapi, ia pun menyaksikan betapa tosu yang bernama Tek Goan It itu terus saja tewas begitu menyentuh kitab. Ia dapat menduga bahwa tentu sampul kitab itu diberi racun yang amat hebat. Bagaimana ia dapat menyimpan kitab itu tanpa terkena racunnya? Memang bisa mengambil dengan tangan ditilami kain, akan tetapi selanjutnya bagaimana ia dapat membaca kitab itu kalau ia takut terkena racunnya?

"Bagaimana nanti sajalah, sekarang paling perlu menyimpannya," pikir Sin Hong. ia lalu mengambil kain pembungkus obat-obatan itu dan menghampiri mayat Tek Goan It. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa tangannya panas seperti terbakar. Ia telah memberi tilam kain itu pada tangannya namun begitu menyentuh kitab, ia merasa jari-jari tangannya seperti dibakar api yang luar biasa panasnya!

"Celaka, racun ini hebat sekali!" serunya sambil melepaskan lagi kitab itu yang jatuh di atas tanah. Ketika ia melihat tangannya, ternyata kulit tangannya menjadi hangus. Cepat Sin Hong mengeruhkan tenaga simkang di tubuhnya ke arah jari itu dan akhirnya ia berhasil mengusir hawa panas yang membakar tangannya.

"Lihai sekali..." katanya perlahan sambil menengok ke arah jenazah Kwa Siucai. "Suhu, maafkan teecu. Terpaksa teecu tidak berani membawa kitab dan akan teecu tanam saja di sini agar jangan terjatuh ke dalam tangan orang lain. Hanya obat-obat ini saja yang akal teecu bawa, sungguhpun tanpa kitab itu teecu tidak tahu bagaimana harus mempergunakannya."

Sambil berkata demikian, Sin Hong lalu mengumpulkan bungkusan kecil dari obat-obatan itu untuk dimasukkan ke dalam kain pembungkus besar yang tadi dipakai untuk mengambil kitab. Dalam pekerjaan ini ia melihat tulisan-tulisan di atas kertas pembungkus dari tiap bungkusan. Ia segera meneliti tulisan dan alangkah girangnya ketika ia melihat tulisan pada sebuah bungkusan yang berbunyi:

PENAWAR RACUN SAMPUL KITAB

Dengan girang ia membuka bungkusan ini yang terisi bubuk warna hijau. Ia menjemputnya sedikit dan menggosok-gosokkan obat int pada tangannya yang terbakar. Seketika itu juga hangus pada tangannya lenyap dan tangan itu terasa nyaman dan sejuk sekali.

"Terima kasih, Kwa Siucai. Kau benar benar seorang suhu yang baik!"

Sin Hong mempergunakan bubuk obat hijau itu untuk menggosok kedua tangannya dan kini tanpa ragu-ragu lagi ia mengambil kitab kecil yang terlempar di atas tanah. Tak terjadi sesuatu pada kedua tangannya. Sin Hong tidak mau bekerja kepalang tanggung, sebelum ia mempelajari tentang pengobatan dan penolak racun, untuk menjaga keselamatan, ia lalu mempergunakan obat hijau itu untuk dibalurkan kepada seluruh permukaan sampul buku sehingga kini ia akan selalu aman kalau menjamah kulit buku itu.

Setelah melakukan semua ini, ia menyimpan kitab dan obat-obatan di dalam saku bajunya, kemudian ia menggali untuk menanam jenazah Kwa Siucai. Kebaikan dasar watak Sin Hong terbukti ketika tanpa ragu-ragu ia menggali lubang untuk mengubur jenazah Tek Goan It. Akan tetapi baru saja ia menyelesaukan penggalian lubang untuk tokoh Im-yang-bu-pai ini, tiba tiba terdengar bentakan keras,

"Bocah lancang kau berbuat apa?” Pada saat itu menyambar angin dari belakangnya. Sin Hong cepat miringkan tubuh dan bersiap sedia untuk menjaga diri. Akan tetapi orang yang baru datang itu tidak jadi menyerangnya ketika melihat bahwa ia hanya seorang bocah biasa saja. Yang datang ternyata adalah kakek tanggi besar yang berwajah bengis.

Sin Hong tidak kenal siapa adanya orang ini, akan tetapi ia dapat menduga bahwa yang berhadapan dengan dia ini tentu bukan orang baik-baik. Maka sambil tersenyum ia menjawab tenang, "Orang tua, aku melihat dua orang ini saling bunuh di tempat ini, maka karena kasihan aku lalu mengubur jenazah mereka. Apakah ini salah dan lancang?"

Kakek tinggi besar yang kepala gundul dan berhidung panjang bengkok itu memandang dengan matanya yang tajam, kemudian membentak bengis, "Jembel cilik, hayo katakan siapa namamu!"

"Namaku? Aku bernama Tan A Kai."

"Apa kerjamu di sini?"

“Suda kukatakan tadi, aku mengubur mayat ini, adapun pekerjaanku, karena kau bilang aku jembel tentu saja seorang jembel pekerjaannya mengemis."

"Kau bilang tadi! mereka itu saling bunuh? Betulkah? Awas, jangan kau membohong!"

"Bagaimana aku berani membohong? Aku melihat dengan kedua mata sendiri betapa kakek tua itu dipukul dadanya oleh tosu jahat ini."

"Kwa Siucai tak mungkin mampu membunuh Tek Goan It!" kata kakek gundul yang baru datang.

Sin Hong memang cerdik, maka ia tidak menyebut nama dan pura-pura ttdak tahu siapa adanya dua orang yang saling membunuh. ia hanya berkata, "Memang Kakek tua itu tidak balas membunuhnya, akan tetapi begitu pembunuh itu merampas kitab milik Si Tua, ia lalu jatuh dan mati seketika."

Kakek gundul nampak kaget sekali. "Apa...? Di mana kitab itu? Hayo katakan, di mana kitab itu sekarang?"

Sin Hong memang cerdik, akan tetapi di samping kccerdikannya, ia pun tabah dan jujur. Ia menjawab dan masih kelihatan tenang saja, "Kitab itu oleh Kakek Tua telah diwariskan kepadaku."

Mendengar ini, tiba-tiba kakek gundul itu mengulurkan tangan hendak memegang pundak Sin Hong. Akan tetapi sebelum sambaran tangannya mengenai sasaran, dengan enak Sin Hong sudah meloncat setombak ke belakang, gerakannya seperti kapas ringannya.

Kakek itu melongo, akan tetapi tadi ia memandang rendah kepada anak ini dan sama sekali tidak mengira bahwa anak itu mengerti ilmu silat, maka bentaknya, "Kau sebenarnya siapakah?"

"Tan A Kai namaku, anak jembel...!"

"Setan, berani kau main-main terhadap See-thian Tok-ong? Kalau tidak melihat kau akan mengubur mayat Tek Goan It, sudah tadi-tadi kau kubikin mampus. Berikan kitab itu kepadaku?"

Kini Sin Hong benar-benar terkejut. inikah orangnya yang bernama See-thian Tok ong, yang amat terkenal dan juga yang sudah ia saksikan kekejian dan kejahatan bekas tangannya? Untuk memancing keluar kepandaian Kwa Siucai See-thian Tok-ong telah membasmi sebuah dusun dengan mempergunakan binatang berbisa yang amat keji. Akan tetapi Sin Hong memang tidak kenal takut. ia merasa dirinya tidak bersalah, maka perlu apa ia harus takut?

"See-thian Tok-ong atau siapapun juga tidak boleh minta kitab yang sudah diwariskan oleh Kwa Siucai kepadaku. Dan aku tidak ada urusan apa-apa dengan See-thian Tok-ong." Sehabis berkata demikian, Sin Hong lain melompat pergi.

"Bocah Setan. perlahan dulu!" Tubuh See-thian Tok-ong bergerak cepat, melompat sambil menggerakkan tangan kanan memukul ke arah punggung Sin Hong. Namun karena See thian Tok-ong masih belum mengenal siapa sebetulnya anak ini dan hanya mengira bahwa bocah ini tentu murid seorang pandai yang kalau dibandingkan dengan tingkatnya sendiri tentu amat jauh, ia tidak mempergunakan seluruh tenaga, bahkan pukulannya juga tidak amat bcrbahaya bagi Sin Hong.

Sin Hong mendengar sambaran angin pukulan yang tidak berapa hebat, cepat membalikkan tubuh dan mengangkat tangan kirinya menangkis, sambil mengerahkan tenaga lweekang dan berbareng kedua kakinya menotol tanah dengan gerakan Garuda Terbang ke Langit, semua gerakan yang disertai ginkang amat tinggi

"Plak!" kedua lengan, yang satu besar yang satu kecil itu beradu amat kerasnya.

"Ayaaa..." See-thian Tok-ong berseru saking terkejutnya. Ia merasa betapa lengan bocah yang kecil itu empuk seperti kapas dan amat dingin seperti salju sehingga tenaganya sendiri lenyap disedot oleh hawa dingin yang keluar dari lengan kecil itu. Ia menjadi terkejut dan amat terheran oleh karena maklum bahwa itulah penggunaan lweekang tingkat tinggi. Orang yang dapat mempergunakan lmkang (tertaga Im) sampai mengeluarkan hawa dingin, atau mempergunakan Yang-kang sampai mengeluarkan hawa panas, bukanlah orang sembarangan, dan hanya dapat dilakukan oleh ahli silat kelas tinggi. Bagaimana seorang bocah sekecil ini dapat menangkis serangannya dengan tenaga Im-kang dengan hebatnya?

Lebih-lebih ketika ia melihat betapa sambil menangkis tadi, tubuh bocah itu telah mencelat seperti kilat cepatnya, melompat dengan kedua tangan dikembangkan seperti sayap dan berapa kali kedua lengan bergerak sehingga tubuh yang kecil itu pun terapung sebelum kedua kaki menginjak tanah. Benar-benar seperti seekor burung garuda yang sedang terbang dan menggerak-gerakkan sepasang sayapnya. Hal ini tentu saja bukan hal yang amat aneh bagi seorang sakti seperti See-thian Tok-ong, Akan tetapi yang bikin ia bengong terlongong adalah karena bocah yang sekecil itu mana mungkin melakukan hal ini semua?

Sebaliknya, Sin Hong juga terkejut sekali ketika merasa lengan tangan kirinya yang bertemu dengan lengan See-thian Tok ong, terasa gatal, dan sakit. Ketika ia melihat tangannya, ternyata kulit lengannya telah menjadi merah sekali, tanda bahwa pukulan lawan tadi mengandung hawa beracun yang amat berbahaya! Ia diam-diam bergidik. Ia maklum bahwa kakek gundul itu tadi memandang rendah kepadanya sehingga tidak mengerahkan seluruh tenaga serta tidak mempergunakan ilmu pukulan yang berbahaya. Akan tetapi baru sedikit tenaga dan semacam ilmu pukulan biasa saja akibatnya telah membuat ia terluka oleh hawa beracun, apalagi kalau kakek itu menyerangnya sepenuh hati! Maka ia tidak berani lagi mencoba untuk mengadu kepandaian, dan melarikan diri secepat mungkin. Girang hatinya karena ternyata bahwa dalam hal ginkang, ia masih mengatasi kepandaian kakek itu.

See-thian Tok ong mengejar terus akan tetapi makin lama makin tertinggal jauh. Akan tetapi, sambil mengejar, See-thian Tok-ong berseru berkali-kali. “Ji Nio... Kok Sun...! Anak itu membawa kitab Kwa Siucai, tangkap...!"

Mendengar ini, Sin Hong maklum bahwa See-thian Tok-ong masih mempunyai kawan-kawan yang tentu berkepandaian amat tinggi pula, maka ia lalu mempercepat larinya sehingga tak lama kemudian ia telah jauh meninggalkan See-thian Tok-ong yang menjadi bingung karena kehilangan jejak bocah yang dikejarnya.

Akan tetapi, tiba-ttba Sin Hong mendengar bentakan keras dari belakang, "Bocah nakal tinggalkan kitab dan kepalamu!"

Ia menoleh dan melihat seorang perempuan tua yang berwajah cantik mengejarnya dengan lari cepat seperti terbang, di tangannya memegang sebatang tongkat kecil!. Sin Hong terkejut menyaksikan cara nenek itu berlari cepat. ia telah mempelajari ilmu berlari cepat dari kitab peninggalan Pak Kek Siansu, akan tetapi sebetulnya biarpun anak ini sudah menghafal seluruh isi kitab di luar kepala, namun dalam waktu empat tahun saja, bagaimana ia dapat melatih diri dengan sempurna?

Sebaliknya, Kwan Ji Nio adalah seorang tokoh kang-ouw yang memang amat terkenal akan kepandaiannya berlari cepat dan dalam hal ginkang suaminya sendiri pun tidak dapat menangkan dia. Kini, biarpun ia amat terheran-heran menyaksikan bocah yang dapat berlari cepat, akhirnya ia setelah mengerahkan seluruh tenaga dapat juga menyusul Sin Hong.

"Jangan harap dapat melarikan diri!” Kwan Ji Nio berseru keras dan rantingnya bergerak cepat, menotok ke arah pinggang Sin Hong. Seperti juga kesalahan suaminya tadi, Kwan Ji Nio ternyata amat memandang ringan kepada bocah ini, yang dikiranya hanya pandai berlari cepat saja. Oleh karena itu, totokan rantingnya juga tidak berbahava, hanya cukup untuk merobohkan bocah itu.

Sin Hong yang sudah tajam sekali pendengarannya, tahu bahwa totokan ranting itu tidak berbahava baginya, maka ia mengerahkan sinkangnya sambil berlari terus. Ujung ranting mengenai jalan darah di pinggangnya, akan tetapi alangkah terkejutnya hati Kwan Nio ketika merasa betapa rantingnya itu melengkung dan terpental seakan-akan menotok baja!

Akan tetapi dengan pekik nyaring nyonya tua ini telah mencelat lagi dan tahu-tahu sudah berada di hadapan Sin Hong, mencegat larinya. Adapun Sin Hong pada saat itu sudah memegang sebatang ranting yang dipungutnya di bawah pohon ketika ia tadi melarikan diri lagi. Kini menghadapi Kwan Ji Nio yang gerakannya luar biasa cepatnya itu, ia tidak membuang waktu lagi dan cepat ia menggerakan rantingnya dengan tipu terlihai dari Pak-kek-sin-kiam-sut!

Kwan Jii Nio memutar rantingnya, akan tetapi segera ia berseru kaget ketika tiba-tiba tangannya terasa lemas dan ranting yang dipegangnya terlepas dari tangan. Ternyata bahwa dalam segebrakan itu Si Bocah yang aneh telah dapat menotok urat nadinya secara demikian ajaib. Hal ini tentu saja amat mengejutkan hati Kwan Ji Nio sehingga ia berdiri bengong dan tidak mengejar lagi ketika melihat Sin Hong melarikan diri lebih cepat lagi.

Di sepanjang jalan, Sin Hong merasa menyesal dan kecewa bukan main. "Mengapa aku berani-berani keluar dari gua sebelum kepandaianku sempurna? Hm, benar-benar seperti katak dalam sumur. Baru saja bertemu dengan dua orang, hal tenaga dan ilmu silat sudah terang aku bukan tandingan See-thian Tok-ong, sedangkan dalam ilmu ginkang aku tak mampu mengatasi nenek tadi!" Ia berlari terus dan berjanji di dalam hatinya bahwa kalau sudah selesai tugasnya mencari ayah angkatnya. ia akan kembali kedalam gua di jurang Jeng-in-thia di puncak Luliang-san untuk menyempurnakan ilmu kepandaiannya.

Anak yang baru berusia kurang lebih tiga betas tahun ini tidak sadar bahwa di dalam tubuh dan otaknya, ia telah memiliki dasar kepandaian yang jauh melebihi kepandaian See-thian Tok-ong maupun Kwan Ji Nio. Hanya tentu saja kurang matang melatihnya, apalagi ia berlatih ilmu tanpa ada yang memberi petunjuk, kecuali sebuah kitab peninggalan Pak Kek Siansu.

Setelah jauh meninggalkan Kwan Ji Nio dan See-thian Tok-ong yang mengejarnya, Sin Hong merasa lega. ia berhenti di bawah pohon dan membuka-buka kitab peninggalan Kwa Siucai. Dengan cepat matanya menelan huruf-huruf yang tertulis di dalam kitab, terutama sekali ia mencari cara-cara pengobatan untuk luka akibat pukulan beracun. Alangkah girangnya bahwa di dalam kitab itu terdapat daftar yang menuturkan tentang ratusan macam luka akibat pukulan beracun. Dengan mudah ia mendapatkan catatan tentang luka yang dideritanya ketika lengannya bertemu dengan lengan See-thian Tok ong tadi. Kulit lengannya merah sekali dan berbintik-bintik terasa gatal dan perih. Berkat petunjuk di dalam kitab, ia dapat mengambil obat penawarnya dari bungkusan-bungkusan obat dan benar saja, sekali dioleskan, obat itu telah mengusir rasa gatal dan warna merah.

Sin Hong lalu menjatuhkan diri berlutut menghadapi kitab dan bungkusan berisi obat itu. "Suhu Kwa Siucai, teecu menghaturkan terima kasih atas warisan yang Suhu tinggalkan untuk teecu. Teecu bersumpah akan mempergunakan kepandaian dan obat-obat serta petunjuk kitab ini, bukan saja untuk menjaga diri, juga untuk .mengobati orang lain yang perlu dengan pertolongan teecu."

Baru saja Sin Hong menyimpan kitab serta bungkusan obat, hendak melanjutkan perjalanannya menuju Hoa san, tiba-tiba terdengar pekik nyaring dan dari atas menyambar turun seekor rajawali yang amat besar! Sin Hong mengelak cepat dan debu mengebul tinggi ketika burung itu menghantam tanah dengan sayapnya. Kembali burung itu menyerang Sin Hong dengan sepasang cakarnya yang berkuku tajam meruncing, dan dengan sepasang sayapnya yang lebar lagi kuat. Juga paruhnya mengancam hebat.

"Kaukah ini, kim-tiauw yang baik...?"

Sin Hong berseru girang ketika mengenal burung rajawali yang dahulu telah menyelamatkan nyawanya ketika ia dilemparkan ke dalam jurang oleh Giok Seng Cu. Akan tetapi burung itu tidak mengenalnya lagi, dan tentu saja kim-tiauw ini hanya tunduk akan perintah See-thian Tok-ong dan anak isterinya. ia memang disuruh mencari Sin Hong, maka begitu bertemu ia menyerang dan hendak mencengkeram bocah itu.

Sin Hong mengelak ke sana ke mari. Kalau ia mau, dengan pukulan ia akan dapat menghancurkan kepala burung atau memecahkan dadanya akan tetap ia tidak tega melakukan ini. Ia telah di tolong oleh burung ini dan tentu saja masih ingat baik akan budi ini, bahkan ingin sekali membalas. Ketika burung itu terus menerus menyerangnya, Sin Hong mendapatkan akal. ia mengelak dan tiba- tiba dengan gerakan kilat, tubuhnya telah berada di atas rajawali, duduk di punggung di antara sayap-sayap!

Kim-tiauw kebingungan. Tidak dapat menyerang bocah yang sudah duduk di atas punggungnya itu. Akan tetapi ia tidak bodoh. Cepat ia memekik dan terbang tinggi, lalu bergulingan di udara. Kalau saja Sin Hong bukan anak yang tabah, tentu ia akan jatuh terguling, atau akan takut setengah mati. Akan tetapi Sin Hong cepat memegang leher kim-tiauw dan ketika tubuh itu bergulingan, ia tidak meramkan mata, bahkan tertawa-tawa.

Kim-tiauw menjadi kewalahan. Akhirnya ia berlaku cerdik dan cepat terbang, hendak membawa bocah ini ke hadapan majikannya. Sin Hong yang tahu ke mana arah terbang burung ini terkejut sekali. Ia teringat bahwa burung yang dapat merampas pedang Pak-kek Sin-kiam ini, tentulah bukan sembarangan dan mungkin sekali peliharaan orang pandai. Kini burung itu menyerangnya, bahkan membawanya kembali ke tempat See thian Tok-ong berada. Tentu burung ini binatang peliharaan See-thian Tok-ong, pikirnya.

"Kim-tiauw, jangan terbang ke sana. Bawa aku ke Hoa-san!" serunya keras di dekat kepala burung itu.

Akan tetapi mana burung itu mau mendengar perintahnya? Ia bahkan terbang makin cepat. Terpaksa Sin Hong menepuk punggung binatang itu yang tiba-tiba kehilangan tenaga sepasang sayapnya sehingga ia meluncur jatuh ke bawah seperti sebuah batu. Cepat Sin Hong membebaskan totokannya dan membentak lagi.

"Bawa aku ke Hoa-san!"

Begitu punggungnya ditepuk, kim-tiauw itu sembuh kembali dan mendapatkan kembali tenaganya yang hilang, maka cepat terbang menuju ke tempat See-thian Tok-ong sambil memekik ketakutan. Akan tetapi Sin Hong tentu saja tidak mau membiarkan hal ini terjadi. Berkali-kali, asalkan burung itu membawanya terbang ke tempat musuh, ia menepuk punggungnya, dan baru membebaskan setelah mereka meluncur ke bawah mendekati pohon-pohon.

Akhirnya kim-tiauw itu maklum bahwa bocah yang menunggangnya harus diturut perintahnya. Binatang hanya mau mngerti dan tunduk kepada kekerasan. Kali ini kim-tiauw tidak melanjutkan terbang membalik dan berputaran di udara. Sin Hong masih ingat jurusan mana yang harus ia ambil, maka sambil menunjuk ke utara ia berkata, "Hayo bawa aku terbang ke sana!"

Kim-tiauw itu tidak banyak rewel lagi dan segera terbang ke arah yang dikehendaki oleh Sin Hong. Alangkah senangnya hati bocah itu. Ia merangkul leher kim-tiauw, menepuk-nepuk dan mengelus-elus kepalanva sambil berkata,

"Kim-tiauw yang baik. Kita telah menjadi sahabat sekarang. Percayalah, aku takkan melupakan budimu dan kelak mudah mudahan aku akan dapat membalasmu."

Kim-tiauw tidak dapat menjawab, hanya mempercepat terbangnya karena takut kalau-kalau anak itu akan mencuri tenaga sepasang sayapnya lagi. Kalau ada orang yang kebetulan melihat Sin Hong naik di atas punggung seekor burung rajawali yang demikian besarnya, tentu orang itu akan menyangka bahwa ia melihat dewa atau iblis. Karena, siapakah pernah melihat atau mendengar, kecuali dalam dongeng, orang menunggang burung?

Akan tetapi burung kim-tiauw itu memang bukan sembarangan burung, melainkan binatang peliharaan See thian Tok-ong yang sudah jinak dan lagi memang ia seekor burung besar yang amat kuat. Adapun penunggangnya, Wan Sin Hong, juga bukan sembarangan bocah, melainkan murid dari mendiang Pak Kek Siansu, bocah yang sudah mewarisi kitab peninggalan dari pertapa sakti itu. Dengan amat tepatnya Sin Hong dapat mengarahkan terbangnya burung kim-tiauw menuju Hoa-san.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Lie Bu Tek telah sembuh dari luka-lukanya dan kini ia menjadi seorang yang buntung sebelah tangannya, yakni pada pangkal lengan kanan dekat pundak. Dengan kekuatan batin yang luar biasa Lie Bu Tek berhasil juga menahan semua kesengsaraan. ia harus hidup terus tidak untuk membalas semua perbuatan jahat dari orang-orang lm-yang bu-pai, akan tetapi terutama sekali untuk mencari Wan Sin Hong, anak angkatnya. Seringkali ia turun gunung dan bertanya-tanya di dunia kangouw kalau-kalau ada orang yang melihat anak itu, akan tetapi usahanya sia-sia belaka. Tak seorang pun dapat memberi keterangan kepadanya di mana adanya anak itu.

Di dalam usahanya mencari Sin Hong, Lie Bu Tek mendengar pula banyak hal terjadi di dunia kang-ouw, di antaranya mendengar betapa Luliang Sam-lojin tewas ketika orang-orang kang-ouw menyerbu ke gunung itu untuk mencari pusaka peninggalan Pak Kek Siansu. Ia hanya bisa menarik napas panjang dengan duka sekali, karena dengan kepandaiannya yang terbatas, apalagi setelah sebelah lengannya putus, ia bisa berbuat apakah?

Yang membikin ia merasa duka sekali adalah keadaan Sin Hong yang masih belum diketahuinya sama sekali. Tak seorang pun tokoh kang-ouw pernah melihat anak itu, dan sudah lama ia mencari Kian Cun Eng ketua Hek-in-kaypang, namun sia-sia belaka. Bahkan para anggauta Hek-kin-kaipang yang dijumpainya, mempunyai kedukaan yang sama yakni mereka kehilangan ketua itu yang tidak mereka ketahui ke mana lenyapnya!

Dalam pikiran Lie Bit Tek, tentu Kiang Cun Eng membawa Sin Hong ke tempat rahasia dan hal ini merupakan hiburan baginya. Selama ia tidak mendengar bahwa anak itu telah binasa, masih mempunyai harapan untuk kelak berjumpa pula. Ia percaya penuh akan kesetiaan Kiang Cun Eng yang agaknya merasa lebih aman untuk menyembunyikan sendiri anak itu dari ancaman malapetaka musuh-musuhnya.

Setelah bertahun-tahun mencari, Lie Bu Tek mendengar berita tentang dibasminya Im-yang-bu-pai oleh See-thian Tok ong, dan hal ini amat menggembirakan hatinya. Apalagi ketika ia mendengar bahwa dua orang musuh besarnya, yakni Lai Tek dan Kwa Siang, tokoh ke dua dan ke tiga dari Im-yang-bu-pai yang telah menyerbu Hoa-san, tewas pula oleh See-thian Tok-ong, hatinya memuji keadilan Thian yang membasmi orang-orang jahat. Tanpa turun tangan ada orang lain yang membalaskan sakit hati Hoa-san-pai. Ia merasa puas, lalu ia kembali ke Hoa san-pai di mana Lie Bu Tek mengasingkan diri dari dunia ramai, bertapa untuk memperdalam ilmu batinnya.

Lie Bu Tek adalah seorang ahli pedang tunggal dari ilmu pedang Hoa-san-pai. Sekarang setelah tangan kanannya tidak ada lagi dan ia sudah malas berlatih, tentu saja ilmu silatnya banyak mundur. Akan tetapi sebaliknya, oleh karena tekun bersamadhi dan memperkuat tenaga batin, lweekangnya otomatis maju dengan pesat.

Lima tahun lewat dengan cepat. Lie Bu Tek tak pernah meninggalkan tempat pertapaannya di puncak Hoa-san lagi, sungguhpun ia masih belum melupakan Sin Hong dan selalu kalau ia tidak bersamadhi, pikirannya penuh dengan bocah yang dikasihinya itu...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.