Pedang Penakluk Iblis Jilid 10

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar budiman episode pedang Penakluk Iblis Jilid 10
Sonny Ogawa

Pedang Penakluk Iblis Jilid 10

PADA suatu hari, selagi ia duduk di depan tempat pertapaannya sambil merenungkan nasib dan pengalaman yang lalu, tiba-tiba dari udara terdengar pekik keras. Lie Bu Tek memandang ke atas dan amat heranlah ketika melihat titik hitam jauh di angkasa yang bergerak-gerak dan kemudian meluncur turun. Kini baru ia melihat bahwa titik itu adalah seekor burung rajawali yang besar dan indah. Makin besar keheranannya ketika burung itu sudah terbang dekat, ia melihat bahwa di punggung burung raksasa itu duduk seorang pemuda cilik.

“Gihu...!" sebelum burung itu hinggap di atas tanah, Sin Hong sudah mendahuluinya melompat turun dan langsung berlutut di depan Lie Bu Tek yang duduk di atas batu. Burung itu setelah bebas dari penunggangnya, memekik keras dan terbang tinggi, kemudian menghilang di balik puncak.

Lie Bu Tek duduk bengong, hampir tak dapat percaya kepada mata sendiri. Bahkan beberapa kali ia menggosok kedua matanya merasa seperti dalam mimpi. "Sin Hong...?" suaranya setengah berbisik.

"Gi-hu, ampunkan anak yang tidak berbakti, baru sekarang dapat menghadap Gi-hu, membiarkan Gi-hu hidup dalam kesengsaraan," kata Sin Hong yang tak dapat menahan keharuan hatinya sehingga air matanya bercucuran.

"Hong ji, anakku...!" Lie Bu Tek menubruk dan di lain saat mereka berpelukan, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Lie Bu Tek dapat menekan perasaannya lebih cepat, dan tiba-tiba ia tertawa di antara air matanya. "Sin Hong' Ha-ha-ha, mengapa kita bertangisan? Ahh... lima tahun lebih ku menanti dan kini kau tiba-tiba jatuh dari udara! Kau benar-benar mengejutkan hatiku, anakku. Biarkan aku melihatmu baik-baik!"

Ia berdiri dan memegang dua pundak Sin Hong, menjauhkan tubuh anak itu agar la dapat memandang wajahnya. Keduanya berpandangan, wajah mereka penuh keharuan akan tetapi dua pasang mata berseri penuh kebahagiaan.

"Sin Hong, lima tahun... aku hampir putus asa... dan sekarang, kau sudah begini besar...!" Kembali pendekar Hoa-san pai ini mendekap dan memeluk anak angkatnya.

"Gi-hu, apakah kau sehat-sehat dan baik-baik saja" Sin Hong bertanya sambil memandang ayah angkatnya dengan penuh keharuan, apalagi ketika tak disengaja ia memandang ke arah lengan kanan yang sudah buntung sehingga lengan baju yang kanan tergantung kosong di samping pinggang.

Bu Tek tersenyum. "Baik-baik dan sehat anakku. Eh, ke mana perginya burung rajawali tadi?"

"Burung itu bukan punyaku, Gi-hu. Dapat kupinjam dari See thian Tok-ong."

Lie Bu Tek terkejut. "Apa? Kau bersahabat dengan siluman tua dari barat itu?”

Sin Hong tersenyum. "Jangan khawatir, Ayah. Aku dapat memilih siapa yang patut dijadikan sahabat dan siapa pula yang tidak. Aku meminjamnya tanpa ia ketahui."

"Mari kita masuk ke dalam, Nak. Aku ingin sekali mendengar semua pengalamanmu." Mereka berdua sambil bergandengan tangan lalu masuk kembali ke dalam pondok kecil di puncak Hoa-san itu.

Sin Hong lalu menuturkan semua pengalamannya dengan sejelasnya. Bukan main girangnya hati Lie Bu Tek mendengar betapa anak angkatnya telah menjadi ahli waris dari Pak Kek Siansu. Ketika ia mendengar tentang Kwi Siucai yang terbunuh oleh Im-yang-bu-pai yang bernama Tek Goan It, ia mengerutkan kening.

"Sudah kudengar bahwa lm-yang-bu pai dibasmi oleh See-thian Tok-ong, akan tetapi sekarang seorang tokoh Im-yang-bu-pai bekerja sama dengan siluman dari barat itu, benar-benar aneh. Apakah bisa jadi See thian Tok-ong mempergunakan orang-orang bekas anggauta Im-yang-bu-pai? Sin Hong, biarpun kau sudah mempelajari ilmu yang tinggi, namun kita terkurung oleh orang orang jahat yang berilmu tinggi dan keselamatanmu masih terancam. Apalagi kalau Ba Mau Hoat tahu bahwa kau adalah keturunan dari Wan-yen Kan tentu kau akan dibunuhnya. Oleh karena itu mari kita pergi mencari Hwa I Enghiong Go Ciang Le, hanya dia lah kiranya yang akan dapat melindugimu. Apalagi, dia juga murid Pak Kek Siansu, jadi masih terhitung Suhengmu. Dia pasti akan suka memberi bimbingan padamu kalau kau ceritakan bahwa kau yang mendapatkan kitab peninggalan Pak Kek Siansu."

Akan tetapi Sin Hong menggelengkan kepalanya. "Tidak Gi-hu. Sudah terang bahwa sehingga kini Hwa I Enghiong yang tersohor sebagai pendekar gagah budiman, tidak muncul, biarpun dunia sudah kotor oleh orang-orang jahat. Untuk apa kita mencari-cari dia. Aku bahkan ingin memperdalam kepandaianku di tempat persembunyianku itu, karena aku sudah merasa bahwa kepandaian See-thian Tok-ong dan yang lain-lain amat tinggi. Marilah kau ikut dengan aku, Gi-hu.”

Lie Bu Tek tentu saja tidak mau berpisah lagi dari putera angkatnya setelah kini bertemu, maka ia tidak membantah ketika Sin Hong mengajaknya pergi ke Luliang-san. Tadinya Lie Bu Tek masih ragu-ragu untuk percaya bahwa anak angkatnya ini, memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi setelah Sin Hong membawanya lari cepat, terutama sekali ketika mereka harus melompati jurang – jurang lebar, bukan main kagumnya hati pendekar Hoa-san-pai ini. Tidak saja kepandaian anak itu jauh melebihi dirinya sendiri bahkan Sin Hong tanpa ragu-ragu memegang tangannya dan menariknya melompat, jurang yang terlalu lebar dan berbahaya bagi Lie Bu Tek.

"Hebat sekali, anakku. Memang Suhu Liang Gi Tojin sendiri agaknya takkan mampu melompat sambil menarik aku seperti yang kau lakukan ini." Sin Hong tersenyum bangga dan girang mendengar pujian ayah angkatnya.

"Gihu, aku telah menerima budi mendiang Pak Kek Siansu. Kepandaian Suhu Pak Kek Siansu tak terbatas, dan kitab peninggalannya itu mengandung sari pelajaran yang takkan ada habisnya biarpun kumelatih diri sampai puluhan tahun. Oleh karena itu, biarlah kita berdua bersembunyi di sana dan selain aku memperdalam ilmu silatku, Gi-hu bisa mempelajari ilmu silat yang sesuai de ngan Gi-hu."

Lie Bu l ek menarik napas panjang mukanya memperlihatkan sinar kecewa. "Tak mungkin, Hong-ji. Ilmu silat mengandalkan kecepatan gerak kaki tangan, terutama sekali gerakan kedua tangan untuk mengimbangi gerakan tubuh. Dengan tanganku tinggal sebelah, biarpun andaikata aku mempelajari ilmu silat amat tinggi, kiranya takkan dapat mainkan ilmu silat itu dengan sempurna."

"Gi-hu terlalu memandang rendah kepada diri sendiri. Mengapa Gi-hu harus berputus asa? Ilmu yang ditinggalkan Suhu Pak Kek Siansu, jangankan dipelajari oleh seorang seperti Gi-hu yang biarpun sudah kehilangan sebelah lengan, akan tetapi memiliki bakat dan kepandaian silat, bahkan andaikata dipelajari oleh seorang yang sudah buntung dua lengannya dan tidak sepandai Gi-hu, orang itu tentu akan memetik sari pelajaran yang amat berguna bagi dirinya.”

Lie Bu Tek tertegun. la mendapat kenyataan bahwa biarpun anak angkatnya ini masih belum dewasa, namun cara bicaranya demikian keras, bersemangat, dan juga berisi. Ia dapat menduga bahwa ini semua dilahirkan oleh pengalaman pengalaman dan derita-derita pahit getir yang dialami oleh anak itu.

"Baiklah, Hong-ji," katanya dan memaksa supaya suara dan mukanya mengandung kegembiraan. "Aku akan belajar lagi dan kaulah sekarang yang harus memberi pimpinan kepadaku dalam ilmu silat'"

Padahal kata-kata ini bagi Lie Bu Tek hanya untuk menghibur dan menyenangkan hati Sin Hong belaka, karena ia masih tidak percaya kalau ia akan dapat mewarisi ilmu silat tinggi setelah tangan kanannya buntung. Setelah tiba di puncak Luliang-san Sin Hong mengajak Lie Bu Tek menuju ke Jeng-in-thia (Ruang Awan Hijau), dan jago Hoa-san-pai ini mengagumi keindahan tempat itu.

"Benar-benar patut menjadi tempat kediaman seorang sakti dan suci seperti Pak Kek Siansu," ia memuji berkali-kali. "Sin Hong, di manakah tempat rahasia yang menjadi tempat tinggalmu selama lima tahun itu?"

"Di sana, Gi-hu. Di dasar sana itu." Sin Hong menunjuk ke jurang yang tidak kelihatan dasarnya.

Lie Bu Tek terkejut. "Jadi kau telah dilempar oleh Giok Seng Cu ke dalam jurang ini?" Ia memandang ke dalam jurang dan bergidik. "sekarang... bagaimana kita bisa masuk ke sana? Kau sendiri bilang bahwa jalan menuju ke sana sudah tertutup ketika kau keluar dari gua."

"Memang tadinya aku berpikir demikian, Gi-hu. Akan tetapi aku telah mempelajari keadaan di dasar jurang dan kurasa dengan menggunakan akal, aku dapat turun ke dasar jurang ini."

"Apa katamu? Turun dari sini? Kau bilang dasar jurang ini dari sini jauhnya tak dapat diukur!"

"Memang betul demikian, Gi-hu. Ketika kim-tiauw terbang membawaku ke dalam jurang, mengingat waktunya yang lama sebelum ia tiba di dasar, kiranya dalamnya jurang ini tidak kurang dari pada setengah li! Akan tetapi, aku mempunyai akal untuk turun ke bawah, mempergunakan sebatang tambang yang kuat dan dibantu dengan sebatang pedang yang tajam."

"Tentang pedang, kiraku pedang ini cukup tajam, kalau dugaanku cocok bahwa pedang itu hendak kaupergunakan untuk membacok batu karang atau pohon di lereng jurang. Akan tetapi tentang tambang di manakah kita bisa mendapatkan tambang yang panjangnya sampai tengah lie" tanya Lie Bu Tek sambil lebarkan matanya, karena ia menganggap akal dari anak angkatnya itu tak masuk akal dan tak mungkin dilaksanakan lagi pula amat berbahaya.

"Di sini terdapat akar pohon yang amat kuat, Gi-hu. Memang panjangnya tidak mungkin ada yang sampai setengah lie, akan tetapi kiranya ada yang panjangnya sampai lima tombak. Dengan akar itu pun sudah cukup bagiku. Harap Gi-hu jangan khawatir, aku sudah perhitungkan masak-masak bahwa aku pasti akan dapat mencapai dasar jurang dengan aman dan selamat. Kemudian aku akan membuka gua itu dari terowongan agr Gi-hu dapat masuk. Baiklah sekarang Gi-hu melihat gua rahasia tempat bertapa mendiang Suhu Pak Kek Siansu dan menunggu aku di sana."

Dengan perasaan tidak nyaman, Lie Bu Tek mengikuti Sin Hong ke gua yang menjadi pintu masuk ke tempat persembunyian dan yang kini tertutup oleh tempat tidur baja yang tak mungkin digeraki dan dipindah karena menjadi satu dengan palang baja penutup pintu gua itu.

"Harap Gi-hu menanti di sini, dengan sabar dan tenang, tak lama tentu aku akan datang membukakan pintu rahasia untuk Gi-hu," kata Sin Hong.

Akan tetapi ketika ia hendak meninggalkan ayah angkatnya, Lie Bu Tek berkata, "Sin Hong, biarpun aku percaya penuh akan kecerdikan dan kemampuanmu, namun usaha menuruni jurang yang hendak kaulakukan itu amat berbahaya. Bagaimana kalau... sampai terjadi sesuatu yang mengerikan? Apakah tidak lebih baik kita tanggal di puncak yang indah ini saja dan kau pun dapat menyempurnakan pelajaranmu di sini? Bukankah seluruh isi kitab itu telah kau hafal semua?"

"Maksud Gi-hu ini memang baik. Akan tetapi kurang tepat. Gi-hu sendiri maklum bahwa orang-orang jahat seperti See thian Tok-ong itu amat berbahaya. Kita tidak tahu apakah mereka takkan menyusul ke tempat ini, dan kalau sampai mereka mendapatkan kita di sini sebelum kita membuat persiapan dan kepandaian kita belum maju, apakah hal itu takkan lebih berbahaya lagi? Tidak, Gi-hu harap tenang. Lebih baik kita menyembunyikan diri di dasar jurang. Di sana aman, buktinya aku berada di sana sampai lima tahun tanpa ada gangguan dari siapapun juga."

"Akan tetapi kalau gagal... kalau tambang itu putus..."

Sin Hong tersenyum. Sepasang matanya yang tajam itu bersinar-sinar penuh semangat. "Jangan khawatir, Gi-hu. Aku akan menjaga diri baik-baik dan bukankah ujar-ujar kuno menyatakan bahwa, siapa yang bercita-cita dan berkemauan baik, selalu akan mendapat perlindungan dari pada Thian Yang Maha Kuasa?"

Akhirnya Lie Bu Tek tak dapat membantah lagi dan ia hanya menarik napas panjang dan diam-diam berdoa untuk keselamatan anak angkatnya itu ketika dengan gerakan lincah sekali Sin Hong berkelebat pergi dari situ.

Sin Hong membawa pergi pedang Lie Bu Tek, sebuah pedang yang cukup baik dan tajam. Ia mencari sebatang akar pohon yang kuat dan ulet, memilih yang paling panjang. Betapapun panjangnya sebatang akar, tidak lebih dari empat tombak. Dengan hati tabah ia lalu menghampiri jurang, mencari batu karang yang kuat lalu membuat pengait. Ujung akar itu ia talikan sedemikian rupa sehingga merupakan lingkaran yang dapat dikaitkan pada batu karang. Kemudian ia merayap turun melalui tambang akar itu.

Setelah tiba di ujung akar yang tergantung di udara, ia lalu mempergunakan kakinya menginjak batu karang di lereng jurang, dengan pedangnya ia membuat tempat untuk mengaitkan tambang. Pedang yang tajam itu baik sekali untuk membacok batu karang sehingga terdapat tempat untuk mengaitkan akar yang cukup kuat. Setelah kepastian bahwa tempat itu kuat, ia lalu menancapkan pedang pada lereng jurang, bergantung dengan tangan kiri pada gagang pedang kedua kaki menekan batu karang di lereng jurang dan tangan kanan digerakkan sedemikian rupa pada akar yang masih bergantung sehingga ujung akar atas yang tadi dikaitkan pada batu karang terlepas ke bawah.

Dengan amat cekatan, Sin Hong kembali memasang ujung tambang itu pada batu karang ke dua dan meluncurlah ke bawah seperti tadi. Usaha ini ia lakukan berulang kali, lebih dari lima belas kali sebelum ia berhasil menginjakkan kaki di dasar jurang. Pekerjaan sehebat itu memang amat berbahaya. Sekali saja tambang putus atau kakinya tergelinci pasti tubuhnya akan hancur di bawah jurang. Untuk dapat melakukan hal seperti itu, tidak hanya membutuhkan kecerdikan, keuletan dan kepandaian tinggi, akan tetapi juga membutuhkan ketabahan yang luar biasa. Agaknya sukar mencari orang ke dua, apa lagi yang masih belum dewasa seperti Sin Hong yang berani melakukan pekerjaan seperti itu.

Lie Bu Tek merasa tidak enak sekali menanti di gua itu. Tubuhnya sebentar panas sebentar dingin kalau ia membayangkan bahaya yang dapat mengancam diri anak angkatnya selagi menuruni jurang yang demikian curamnya. Hatinya angin sekali membawa dia keluar dari gua, berlari ke tepi jurang untuk melihat keadaan Sin Hong, akan tetapi ia menguatkan hatinya dan tetap menanti di situ sambil berdoa kepada Thian agar supaya anak angkatnya itu selamat.

Tentu saja ia harus menunggu lama. Tidak saja pekerjaan menuruni jurang dengan cara seperti yang dilakukan oleh Sin Hong itu memakan waktu lama juga setelah anak itu berhasil mendarat didasar jurang, ia harus mempergunakan waktu yang cukup lama untuk berjalan memasuki terowongan sehingga tiba di gua di mana Lie Bu Tek menantinya dengan hati tidak karuan rasanya. Akhirnya Lie Bu Tek mendengar sesuatu di balik tempat tidur bekas tempat Pak Kek Siansu. Batu karang yang menjadi dinding di belakang tempat tidur bergerak dan terbuka dan muncullah Sin Hong dengan wajah berseri.

"Hong-ji...!" Lie Bu Tek melompat dan memeluknya dengan kedua mata basah dan muka pucat.

"Gi-hu, kau amat khawatir dan cemaskah? Lihat, anakmu Sin Hong tidak kurang sesuatu!" kata anak itu dengan jenaka, padahal kedua telapak tangannya masih ada tanda darah karena betapa pun kuatnya, kulit telapak tangannya lecet-lecet ketika ia menuruni tambang dari tempat setinggi itu.

Cepat mereka masuk ke dalam pintu rahasia dan Sin Hong lalu menutup kembali pintu rahasia gua itu dari sebelah dalam. Lenyaplah mereka dari pandangan mata, bahkan lenyap dari dunia ramai, berada di tempat yang tak mungkin didatangi oleh manusia lain.

********************

Sebagaimana telah dituturkan di dalam cerita Pendekar Budiman, pemerintah penjajah Kin makin lama menjadi makin lemah karena gempuran-gempuran perjuangan rakyat jelata yang patriotik yang dipimpin oleh orang-orang gagah di seluruhnya propinsi yang terjajah. Serangan dari barisan-barisan rakyat yang memberontak di mana mana membuat pemerintah Kin menjadi lemah sekali sehingga terpaksa Raja Kin menarik kembali bala tentaranya dari selatan, timur dan barat, lalu mengumpulkan kekuatan induk pasukan untuk menjaga keselamatan istana dan daerahnya yang terdekat. Hanya di daerah utara saja mereka aman.

Akan tetapi, pemerintah Kin yang sudah berada di jurang keruntuhan itu tidak tahu atau tidak mengira sama sekali bahwa justru dari daerah utara inilah datangnya malapetaka yang akan menamatkan sejarah kejayaan mereka. Bagaikan awan-awan hitam yang kecil-kecil bertemu dan berkelompok lalu berkumpul menjadi satu gumpalan awan besar menghitam, kekuatan baru ini mengancam angkasa di sebelah utara.

Kekuasaan baru ini bukan lain adalah orang-orang Mongol yang tadinya tidak dipandang mata oleh pemerintah Kin. Bangsa Mongol adalah suku bangsa pengembara dan pemburu yang gagah berani. Mereka hidup berkelompok, tidak mempunyai tempat tanggal tertentu, melainkan menjelajah di sepanjang tapal batas Mongol. Mereka hidup bebas menguasai daerah yang amat luas, daerah yang dijadikan tempat mereka mendapatkan makanan, daerah di mana mereka hidup berkeluarga berpindah-pindah, sesuka hati mereka, menurut keadaan.

Apabila di suatu tempat mereka mendapatkan penghasilan cukup, pindahlah mereka di daerah lain dalam wilayah itu juga untuk mencari hasil yang lebih mencukupi untuk keluarga mereka. Wilayah mereka ini, dari Pegunungan Altai-san di barat sampai ke pegunungan yang subur dan yang cocok untuk pekerjaan mereka. Suku bangsa Mongol ini, sebagaimana telah dituturkan di atas, adalah pemburu-pemburu yang gagah berani. Di samping memburu binatang hutan, mereka melihara hewan ternak, terutama lembu, domba dan kuda. Oleh pekerjaan inilah mereka rata-rata merupakan penunggang kuda yang pandai.

Keadaan hidup mereka yang boleh di bilang sukar kalau dibandingkan dengan orang-orang di pedalaman Tiongkok sebelah selatan, penghidupan yang penuh kekerasan dan penderitaan itulah agaknya yang menjadikan mereka sebagai bangsa yang keras hati, bersatu dan kuat. Kekuatan mereka semata-mata hanyalah hewan ternak dan kuda. Makanan mereka yang terutama adalah daging sapi atau domba dan susu merupakan kegemaran mereka pula, terutama sekali susu domba.

Betapapun kasar dan keras hati, suku bangsa Mongol ini harus diakui mempunyai semangat persatuan yang kokoh kuat, berdisiplin dan jujur. Semboyan mereka "bersatu kita kokoh, bercerai kita roboh". Hal ini memang bukan hanya semboyan kosong belaka, namun sudah sering kali terjadi sebagai kenyataan. Daerah itu merupakan daerah pegunungan yang amat sukar, dan agaknya orang akan sukar hidup menyendiri saja, selain sukar mendapatkan makan, juga sukar karena bahaya mengintai dari mana-mana, bahaya diterkam binatang buas, diterkam kelaparan dan kehausan.

Tadinya suku bangsa Mongol memang tidak begitu kuat, bahkan bisa disebut lemah. Bukan lemah saja, melainkan suku bangsa Mongol pernah tunduk kepada suku bangsa lain yang lebih besar dan kuat seperti suku bangsa Kerait dan Naimad. Akan tetapi, semenjak akhir abad ke sebelas terjadi perubahan hebat pada suku bangsa Mongol yang tadinya hidup berkelompok-kelompok dan berpencar itu. tiba tiba saja mereka menjadi amat kuat bahkan suku-suku bangsa lain satu demi satu digempur dan ditundukkan dan ditarik menjadi anggauta sehingga suku-suku bangsa itu bersatu dan menjadi satu bangsa!

Mengapa demikian? Tak lain oleh karena di dalam keluarga suku bangsa Mongol ini lahir seorang Mongol yang berjiwa besar seorang yang oleh mereka dianggap mendapat wahyu dari sekalian Dewa. Orang inilah yang dalam usia kurang lebih lima belas tahun, sudah dapat merampas kekuasaan dan menjadi pimpinan suku bangsa Mongol dan membawa bangsanya itu ke arah kemajuan dan kekuatan yang maha hebat. Siapakah dia? Bukan lain adalah Temu Cin, pemuda perkasa yang bercita-cita tinggi. Temu Cin inilah pemuda yang kelak akan menggemparkan dunia Tiongkok dan namanya takkan pernah terhapus dari catatan sejarah, karena dialah kelak terkenal sebagai Khan atau raja besar, raja pertama dari sekalian suku bangsa di wilayah Mongol!

Pada suatu hari, ketika matahari baru saja muncul dan memancarkan cahayanya yang kemerahan di permukaan Padang Pasir Gobi, kelihatan serombongan manusia berjalan, didahului oleh bayangan mereka. Dari letak bayangan yang berada di depan mereka, dapat diketahui bahwa rombongan ini sedang menuju ke barat. Mereka itu terdiri dan seratus orang lebih, semua laki-laki dan masih muda-muda. Melihat dan cara mereka berjalan, dapat diduga bahwa mereka adalah sebarisan orang muda yang terlatih baik. Biarpun pakaian mereka tidak seragam namun jelas tampak dan mudah diduga bahwa mereka adalah sepasukan tentara atau orang-orang yang sedang dalam perjuangan.

Memang benar demikian. Mereka itu adalah rombongan orang Mongol dan ialah pasukan pilihan yang dipimpin sendiri oleh Temu Cin, seorang pemuda yang berusia paling banyak dua puluh tahun. Temu Cin kelihatan gagah sekali dengan tubuhnya yang kekar kuat, wajahnya yang segi cmpat dengan dagu jelas memperlihatkan kekerasan hatinya. Dadanya membusung, pundaknya bidang dan langkahnya seperti seekor harimau. Sepasang matanya sipit dan kecil, namun selalu seperti ada dua titik api bernyala dalam sepasang mata itu. Telinganya lebar dan panjang dan biarpun wajahnya tak dapat disebut tampan, namun ia benar-benar kelihatan gagah.

Rombongan itu nampak lelah. Biarpun pagi hari itu matahari belum naik tinggi, namun hawa panas dart lautan pasir itu membakar dan membuat napas menjadi sesak. Telah semalam penuh mereka berjalan, didahului oleh Temu Cin yang berjalan terus tanpa berhenti, juga tak pernah mengeluarkan kata-kata. Seorang Mongol yang tinggi besar akan tetapi kurus, dengan jenggot pendek, mendahului kawan-kawannya menyusul Temu Cin.

"Kawan-kawan sudah kelihatan lelah sekali. Apakah tidak baik kalau kita beristirahat sebentar?" ia melapor sambil mengusulkan kepada pimpinan muda itu.

Tanpa menghentikan langkahnya, Temu Cin menjawab, matanya mengerling tajam penuh celaan kepada kawan yang melapor ini, "Obika, kita takkan mengaso sebelum sampai di Telaga Gasyun Nor, di mana kawan-kawan kita menanti dengan kuda-kuda yang sudah dipersiapkan. Kalau kita berjalan cepat, menjelang tengah hari kita akan sampai di sana."

"Akan tetapi lihatlah, kawan-kawan kita sudah lelah…. Boleh jadi kita berdua kuat, akan tetapi mereka tidak sekuat kita. Apakah kau tidak kasihan?" kata-kata ini diucapkan keras oleh Obika sehingga terdengar oleh semua anak pasukan yang segera mengeluarkan suara menggumam, tanda setuju dengan usul Obika.

Temu Cin ketika mendengar betapa suara derap kaki pasukannya menjadi kacau dan mehhat mereka ragu-ragu untuk melanjutkan perjalanan tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya. Ia melihat beberapa orang sudah amat payah dan kelelahan, akan tetapi masih saja terus berjalan. Tiba-tiba tangan kanan Temu Cin bergerak dan tahu-tahu telah mencabut sebatang golok yang bersinar merah. Semua orang terkejut, terutama sekali Obika, akan tetapi sebelum ada yang sempat menduga-duga, golok itu bergerak dan leher Obika telah putus kena sambaran golok. tubuhnya terhuyung dan sebuah tendangan dari Temu Cin membuat tubuh itu terlempar. Darah mengalir keluar, diisap oleh pasir yang kehausan.

"Dia ini pengecut dan pengacau. Kata-katanya beracun, melemahkan semangat kawan-kawan, tak patut pengecut ini berada di barisan kita! Kita terkalahkan oleh musuh yang ribuan jumlahnya, yang sampai sekarang masih mengejar kita. Kalau kita beristirahat berarti kita akan mampus semua di tangan musuh. Kita berjalan cepat selama setengah hari lagi dan kalau kita sudah tiba di Telaga Gasyun Nor, tidak saja kita akan selamat, bahkan kita akan dapat menggempur dan menghancurkan musuh yang telah menghina kita. Siapa sekarang mau bicara tentang mengaso? Siapa.??"

Semua orang diam, tak berani bergerak. Mereka semua tahu bahwa tak seorang pun yang mampu melawan Temu Cin, baik dalam ilmu berkelahi, dalam ilmu berperang, maupun dalam perdebatan. "Yang masih kuat bantu kawan yang lemah, kalau perlu yang sudah tidak kuat boleh digendong, dipanggul, atau di seret. Betapapun juga, kita harus cepat-cepat tiba di Gasyun Nor!"

Kembali rombongan itu maju, bahkan lebih cepat dari tadi. Kata-kata pemimpin muda itu membangkitkan semangat anak buah dan jenazah Obika ditinggalkan di situ, terlentang dengan leher putus, membuat tempat yang sesunyi itu nampak makin sepi. Ketika rombongan ini tiba di dekat Telaga Gasyun Nor, dari jauh Temu Cin sudah melihat bahwa di situ terjadi suatu. Ia melihat orang-orangnya bertempur, mengeroyok beberapa orang yang bermain pedang secara luar biasa hebatnya. Banyak sudah kawan-kawannya yang mengeroyok menggeletak mandi darah.

Temu Cin yang biarpun sudah melakukan perjalanan semalam suntuk dan setengah hari, masih dapat berlari cepat menghampiri tempat pertempuran di dekat telaga itu. Dan ia melihat pertempuran yang amat menarik hatinya. Sepasang orang muda bangsa Han sedang dikeroyot oleh puluhan orang anak buahnya, akan tetapt anak buahnya itu dapat diumpamakan sebagai nyamuk-nyamuk menyerang dua nyala api lilin. Pemuda dan gadis bangsa Han itu bukan main hebatnya, di mana juga pedang mereka berkelebat, tentu seorang pengeroyok roboh.

"Tahan semua senjata...!" Suara Temu Cin memang amat berpengaruh dan seketika itu juga, semua pengeroyok mengundurkan diri.

Siapakah adanya pemuda dan gadis yang demikian luar biasa ilmu silatnya hingga anak buah Temu Cin yang terkenal gagah perkasa itu seakan-akan nyamuk menghadapi api bagi mereka? Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh tahun, tubuhnya jangkung kurus wajahnya tampan akan tetapi kepucatan, sepasang matanya bersinar-sinar dan selalu bergerak-gerak bola matanya, menandakan bahwa ia amat cerdiknya, pakaiannya mewah dan menambah anggun sikapnya yang memang gagah.

Adapun gadis itu paling banyak berusia tujuh belas tahun, lincah dan manis, pada wajah yang jelita itu terbayang kejenakaan dan kegembiraan hidup, sepasang matanya bersinar terang membayangkan hati yang jujur dan terbuka, mulutnya mungil kemerahan selalu tersenyum akan tetapi kadang-kadang tertarik garis yang membayangkan kekerasan hati luar biasa. Kadang-kadang sikap gadis cilik ini agak kasar dan tidak pedulian, bahkan masih kekanak-kanakan, namun semua ini tidak mengurangi kelucuannya dan membikin orang menaruh rasa sayang.

Pemuda ini bukan lain Liok Kong Ji, sedangkan gadis itu adalah Go Hui Lian. Bagaimanakah dua orang muda ini bisa tiba-tiba berada di dekat Telaga Gasyu Nor, di tempat yang demikian jauhnya, jauh di utara di perbatasan Negara Mongol? untuk mengetahui semua ini baiklah kita mundur dulu dan mengikuti perjalanan Liok Kong Ji, anak yang amat cerdik itu.

Telah dituturkan di bagian depan betapa dengan akal dan kecerdikannya Kong Ji dapat menarik hati Pendekar Besar Go Ciang Le dan isterinya sehingga dia kemudian dibawa oleh Ciang Le untuk dididik sebagai muridnya! Dengan hati girang sekali Kong Ji ikut dengan Ciang Le dan isterinya, juga bersama Hui Lian, menuju ke tempat tinggal pendekar besar itu.

Ciang Le tinggal bersama isteri dan puteri tunggalnya di atas sebuah pulau kecil di selatan. Pulau ini disebut Pulau Kim-bun atau Pulau Pintu Emas karena pulau ini memang seakan-akan merupakan pintu dari daratan Tiongkok sebelah selatan. Disebut pintu emas karena para saudagar yang datang berlayar membawa barang-barang dagangan yang amat berharga yang membuat perdagangan di situ ramai sekali sehingga pintu berupa pulau ini amat penting kedudukannya, amat berharga seperti emas. Di atas pulau ini tinggal seratus lebih keluarga dan merupakan tempat yang ramai.

Rumah pendekar ini berada di sebelah utara dari pulau itu, dengan pekarangan yang amat luas karena Cilang Le sengaja membeli tanah yang luas di mana ia menghibur diri dengan hidup bercocok tanam. Selain itu, ia memang memilih tempat yang sunyi, jauh dari kota dan di tempat ini ia hidup berbahagia dengan isterinya yang tercinta, yakni Liang Bi Lan, dan puterinya yang mereka sayang Go Hui Lian. Selain mereka bertiga masih ada seorang gadis cantik yang bernama Gak Soan Li karena memang bakatnya besar luar biasa.

Juga anak ini amat penurut, dan biarpun ia seorang murid terkasih dari Ciang Le dan isterinya, namun ia seorang anak tahu diri dan hidup di dalam rumah gurunya tak pernah menganggur. Setiap saat orang melihat dia bekerja membantu pekerjaan para pelayan sehingga boleh dibilang bahwa semua pekerjaan rumah tangga berada di tangan Soan Li. Bi Lan atau. Nyonya Go suka sekali melihat kerajinan anak itu, dan semua pekerjaan rumah tangga beres oleh Soan Li tanpa dia sendiri turut campur, sedangkan semua pelayan amat taat kepada gadis ini yang memang manis budi dan pandai mengatur rumah tangga.

Seringkali, kalau sedang bercakap-cakap, Ciang Le menyatakan kekagumannya terhadap murid tunggalnya ini dan di samping ini ia menyatakan kekerasan hatinya melihat puterinya sendiri semakin manja dan malas, sungguhpun harus mereka akui bahwa watak Hui Lian jauh lebih gembira dan jenaka daripada Soan Li yang pendiam. Tanpa adanya Soan Li di situ, pekerjaan rumah tangga akan repot sekali. Sebaliknya tanpa adanya Hui Lian di situ, kegembiraan akan lenyap karena kejenakaan anak ini seakan-akan cahaya matahari yang menyinar dan menggembirakan hati semua orang. Kalau Hui Lian anaknya gembira dan jenaka, cerewet dan manja, adalah Soan Li amat pendiam, halus gerak geriknya, dan amat sopan santun terhadap suhu dan subonya.

Gak Soan Li adalah seorang anak yatim piatu. Rumah ayah bundanya yang bekerja sebagai buruh di Pulau Kim-bun, pada waktu ia baru berusia enam tahun, terbakar dan kedua orang tuanya tewas dalam malapetaka ini. Hanya Soan Li seorang diri yang selamat. Karena menaruh hati kasihan terhadap anak yatim piatu ini, Bi Lan dan Ciang Le lalu mengulurkan tangan dan menolong anak ini membawanya ke rumah mereka dan Ciang Le yang melihat bakat baik anak ini lalu mengambilnya sebagai murid.

Peristiwa itu terjadi belum lama sejak Ciang Le dan isterinya tinggal di pulau itu dan pada masa itu, Hui Lian baru berusia setengah tahun. Soan Li memperlihatkan sikap baik sekali dan ia mencinta Hui Lian setelah Hui Lian menjadi besar. Akhirnya, setelah Ciang Le dan Bi Lan berkali-kali menegurnya, baru ia mau menyebut "sumoi” kepada Hui Lian, sedangkan Hui Lian menyebutnya "suci” (kakak seperguruan).

Bakat Soan Li dalam ilmu silat luar biasa sekali sehingga ia mendapat kemajuan pesat. Bersama dengan Hui Lian ia berlatih silat, juga ia menerima pelajaran pekerjaan kerajinan tangan seperti nyulam dan lain lain. Hui Lian selalu mendapat petunjuk dari Soan Li, maka tidak mengherankan apabila hubungan kedua orang gadis cilik itu menjadi makin erat saja. Di luar dugaan semua orang makin besar Soan Li kelihatan makin cantik manis, dan Ciang Le serta Bi Lan sendiri menjadi kagum dan girang.

Mereka mempunyai seorang murid yang tidak mengecewakan. Slapakah yang takkan bangga dan girang melihat dua orang gadis cilik itu? Masing-masing memiliki keistimewaan sendiri. Soan Li lemah lembut tidak akan ada yang menduga bahwa dia mempunyai kepandaian silat yang tinggi, gerak-geriknya halus, pakaiannya seperti wanita lemah, bicaranya halus dan sikapnya pendiam. Sebaliknya, Hui Lian lincah sekali, baru dari gerak-geriknya saja. orang tentu akan tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian tinggi, bicaranya terus terang dan jujur, suka ketawa mudah menangis. Kalau Soan Li boleh diumpamakan setangkai bunga teratai putih yang indah dan tenang, adalah Hui Lian seperti setangkai mawar hutan yang merah, penuh semangat.

Ketika Ciang Le dan Bi Lan sambil mengajak Hui Lian pergi meninggalkan pulau untuk merantau dan mengunjungi Luliang-san, Soan Li menunggu di rumah untuk menjaga rumah. Hati gadis amat kecewa dan berduka. Baru kali ini ia ditinggal seorang diri dan ia merasa amat kehilangan. Setelah tiga orang itu pergi barulah ia tahu bahwa mereka bertiga itu amat disayangi, bahwa ia merasa seperti menjadi sebagian daripada keluarga Go, dan hidupnya akan sengsara tanpa mereka.

Oleh karena itu, alangkah girang hati Soan Li ketika beberapa bulan kemudian Ciang Le bersama anak isterinya datang kembali dari perjalanan mereka. Dan bersama tiga orang ini, Soan Li melihat seorang pemuda tanggung yang sebaya dengan dia, yakni Liok Kong Ji. Pada waktu itu, Kong Ji telah berusia empat belas tahun dan Soan Li telah berusia lima belas tahun, sedangkan Hui Lian baru berusia sepuluh tahun. Kalau Soan Li menyambut kedatangan guru seanak isteri itu dengan penuh kegembiraan akan tetapi sama sekali tidak memperhatikan kepada Kong Ji, adalah sebaliknya Kong Ji berdebar hatinya dan diam-diam pemuda cilik ini mengaku bahwa ia berhadapan dengan seorang bidadari yang lemah lembut. Ia menduga-duga siapakah gerangan gadis yang cantik dan halus gerak-geriknya ini.

Hui Lian yang amat gembira bertemu dengan Soan Li segera memeluk dan berkata, "Soan Li Suci, lihatlah dia ini adalah murid baru dari Ayah. Namanya Liok Kong Ji, orangnya cerdik dan kepandaiannya sudah lihai sekali. Eh, Kong Ji Suko, inilah Gak Soan Li Su-ci, murid Ayah Ibu yang cantik lemah lembut dan dalam hal kepandaian, ia tidak kalah olehmu"

Ciang Le hanya menggeleng-geleng kepala saja menyaksikan kejenakaan putrinya sedangkan Bi Lan hanya tersenyum akan tetapi diam-diam ia memperhatikan muka kedua orang murid itu. Kong Ji berseri wajahnya dan dari sinar matanya dapat tertangkap kekaguman besar, sebaliknya Soan Li bersikap dingin, bahkan tidak melirik ke arah Kong Ji. Akan tetapi ia balas menjura ketika Kong Ji memberi hormat dan berkata,

"Gak-sumoi, aku yang bodoh kelak mohon banyak petunjuk darimu."

Soan Li tidak menjawab, hanya tersenyum hormat. Di dalam hatinya ia tidak senang mendengar sebutan sumoi yang diucapkan dengan nada manis dibuat-buat itu.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Hui Lian menghadapi Kong Ji sambil tertawa. "Kong Ji Suko, bagaimana sih kau ini. Biarpun kau nampaknya lebih jangkung, namun kau bilang bahwa usiamu lebih tua empat tahun dari aku, sedangkan Suci lebih tua lima tahun, jadi kau lebih muda setahun dari Suci. Maka kau harus menyebut Suci pula, tidak boleh Sumoi. Apalagi baru sekarang kau menjadi murid Ayah, sedangkan Suci sudah delapan tahun"

"Benarkah begitu?" Kong Ji berkata sambil tersenyum, lalu menjura kepada Soan Li. "Suci, mohon maaf sebanyaknya atas kekeliruan siauwte."

Soan Li merah mukanya, dan ia hanya menjawab lambat, "Tidak mengapa." Kemudian gadis ini berpaling kepada Ciang Le dan berkata,

"Suhu kemarin ada datang seorang tamu yang mengaku sebagai kenalan baik dari Suhu. Sekarang dia menanti di kamar tamu. Namanya..."

Tiba-tiba dari dalam rumah gedung keluar berlari seorang laki-laki setengah tua dan begitu melihat Ciang Le, ia berseru girang. "Go-taihiap, akhirnya kau pulang juga...!"

Ciang Le menengok, demikian pun semua orang dan yang hebat adalah Kong Ji. Begitu melihat orang ini, mukanya berubah pucat, namun dengan ketabahannya yang luar biasa serta tenaga lwee-kang yang sudah dimilikinya, ia dapat menekan perasaannya dan dapat menyalurkan darah ke mukanya sehingga muka ini menjadi merah kembali.

"Liok San-twako, kiranya kau yang datang? Kebetulan sekali. lihat siapa yang ikut datang bersama ini!" Ciang Le menunjuk kepada Liok Kong Ji. Liok San laki-laki setengah tua menengok ke arah Kong Ji dan kalau sekiranya ia melihat iblis, agaknya ia tak demikian kaget seperti ketika ia memandang kepada Kong Ji.

"Kau...??" Tiba-tiba, bagaikan seekor harimau ganas yang melihat mangsanya, ia menubruk dan mengirim pukul keras ke arah dada Kong Ji yang sedang berdiri tegak.

Ciang Le dan Bi Lan terkejut sekali. Ciang Le hendak mencegah, namun tidak keburu karena serangan ini memang tidak terduga sama sekali. Sedangkan Kong Ji semenjak tadi sudah mengawasi gerak-gerik pamannya ini, akan tetapi melihat cara Liok San memukul, ia tidak menghindar dan memasang dadanya.

"Bukk...!" Dada Kong Ji terpukul keras dan akibatnya, anak itu terpental dan bergulingan sampai dua tombak lebih, akan tetapi Liok San meringis kesakitan sambil memegangi tangan kanannya.

Liok Kong ji tidak terluka hanya terpental saja. Ia lalu melompat berdiri maju menghampiri Liok San dan menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. "Siokhu (Paman), kalau anak bersalah, bunuhlah..."

Liok San memandang dengan mata terbelalak. Dari pukulannva tadi maklumlah ia bahwa kepandaian keponakan ini sudah amat tinggi, jauh leblh tingi daripada kepandaiannya sendiri!

"lblis… setan...l." Kemudian ia berpaling kepada Ciang Le yang memandang keheran-heranan "Go taihiap, harap maafkan aku akan tetapi... bolehkah bicara dengan kau dan anak ini bertiga saja?" Ia lalu berpaling kepada Bi Lan dan menjura. "Go-hujin, maafkan aku sebanyak-banyaknya atas tingkah laku yang amat tidak sopan ini."

Liang Bi Lan nampaknya tidak senang akan tetapi ketika melihat isyarat mata suaminya, ia menggerakkan pundak. "Tidak apa... mari Hui Lian, dan Soan Li kita masuk ke dalam dan istirahat!"

Maka tanpa mengeluarkan sepatah kata terhadap tamu itu, Bi Lan lalu berjalan masuk diikuti oleh Hui Lian dan Soan Li, juga para pelayan yang tadi ikut menyambut, sekarang disuruh masuk semua. Hanya Hui Lian yang mengomel panjang pendek, terdengar oleh Liok San karena cukup keras, "Benar-benar tamu yang aneh dan kasar!" Akan tetapi Bi Lan mendelik kepadanya dan gadis cilik tidak berani membuka mulut lagi.

Kini Ciang Le tinggal di luar bersama Liok San dan Liok Kong ji. Anak ini masih berlutut sambil menangis sedih, tidak berani mengangkat mukanya. Hatinya berdebar penuh kekhawatiran karena masih belum tahu apa sebabnya pamannya datang-datang memukulnya. Namun otaknya yang licin bekerja keras dan tangisnya itu adalah siasat untuk melemahkan pamannya yang sedang marah itu.

Liok San tidak mempedulikan keadaan Kong Ji sebaliknya lalu berpaling kepada Ciang Le sambil berkata, "Go-tayhiap, tentu kau merasa heran melihat perbuatanku." Ia menghela napas dan memandang ke arah Liok Kong ji yang masih berlutut sambil membuka telinganya baik-baik, "Sebetulnya kedatanganku ke pulau ini untuk mencarimu justru hubungan dengan setan ini, siapa ia malah datang bersamamu."

"Apakah yang terjadi, Liok-toako. Terangkanlah dulu apa sebabnya kau datang mencariku dan apa sebabnya marah-marah kepada Kong Ji.”

"Belum lama ini aku naik ke Hoa-san untuk menengok bocah ini yang sudah lama kutinggalkan untuk berguru kepada Liang Gi Tojin dan Lie Bu Tek Taihiap. "Siapa kira di Hoa-san telah kosong aku tidak mendapatkan siapapun juga di puncak itu. Tidak kusangka bahwa Hoa- san-pai yang begitu besar telah musnah.

"Aku pun tahu akan hal itu, Liok twako," kata Ciang Le karena melihat tamunya itu menunda bicaranya.

"Kemudian aku mendengar Hoa-san-pai telah dimusnakan oleh dua orang tokoh Im-yang-bu-pai. Liang Gi Tojin telah tewas oleh mereka dan Lie Bu Tek Taihiap..." Liok San memandang kepada Kong Ji dengan sinar mata penuh kebencian.

Kong Ji diam-diam terkejut sekali. Dengan kepala tunduk ia mendengarkan semua cerita ini dan kini otaknya yang sangat cerdik dapat menduga bahwa pamannya tentu telah mendengar tentang perbuatannya membuntungi lengan Lie Bu Tek. Akan tetapi secepat kilat, otaknya sudah mempersiapkan jawaban yang tepat. Memang anak ini lihai luar biasa.

Adapun Ciang Le yang mendengar kata-kata Liok San kemudian melihat orang itu memandang kepada Kong Ji menjadi terheran, maka ia lalu berkata, "Bukanlah Lie Bu Tek Toako juga telah terluka hebat? Tahukah kau di mana adanya dia sekarang?"

Liok San menggeleng kepalanya dengan sedih, "Aku tidak tahu dia berada di mana, akan tetapi yang hebat sekali adalah berita yang kudengar bahwa ketika orang-orang Im-yang-bu-pai itu menyerbu ke Hoa-san dan membasmi Hoasan-pai, anak ini, iblis kecil yang tak berjantung ini, dia telah... telah membuntungi sebelah lengan kanan Lie Bu Tek Taihiap!"

Kembali Liok San bernafsu sekali dan amarahnya meluap-luap. Sepasang matanya menjadi merah dan ia seperti hendak menelan bulat-bulat bocah yang berlutut di depannya. "Kau keparat jahanam. Ketika masih kecil, Ayah Bundamu tewas oleh orang-orang Im-yang-bu-pai, kemudian kau kubawa ke Hoa-san-pai, ditolong oleh Liang Gi Tojin dan Lie Bu Tek Taihiap, diterima menjadi murid. Bagaimana kau begitu keji untuk membantu orang-orang Im yang bu pai musuh-musuh besarmu dan bahkan kau berani sekali membuntungi lengan Lie Bu Tek Taihiap?" Setelah berkata demikian, Liok San sudah mengangkat tangannya untuk memukul kepala Kong Ji yang masih tunduk.

Akan tetapi Ciang Le cepat menangkap tangannya dan mencegahnya. Pendekar ini juga berubah air mukanya. Hatinya berguncang dan berita ini adalah berita yang luar biasa hebatnya. "Kong Ji, kau bangkitlah. Berdirilah dan jawab tuduhan Pamanmu tadi. Benar-benarkah kau telah melakukan hal keji itu?" kata Ciang Le.

Dengan perlahan Kong Ji bangun berdiri. Lalu ia berdiri tegak dengan tenang menghadapi Ciang Le dan Liok San. Ia telah mencari jalan dan otaknya yang cerdik sudah mendapat siasat yang berbahaya namun berani sekali. Dengan pandang mata tenang penuh keberanian untuk membuktikan kejujuran hatinya, ia menghadapi Ciang Le. Anak ini maklum bahwa Ciang Le memiliki pandangan mata yang tajam dan seandainya mulutnya dapat membohong, namun kalau pandang matanya tidak diatur lebih dulu, mungkin akan dapat diketahui oleh Ciang Le. Maka sebelum membuka mulut, lebih dulu ia menenteramkan hati dan mengerahkan tenaga sehingga sepasang matanya memandang tenang penuh kejujuran. Bahkan kini bibirnya tersenyum sedikit sehingga wajahnya nampak cakap dan senang.

"Suhu dan Siokhu, seorang laki-laki harus berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya, apalagi kalau perbuatan itu berdasarkan sesuatu yang memaksanya melakukannya. Teecu juga tidak akan menyangkal, memang teecu telah mempergunakan pedang dari Siang mo-kiam Lai Tek tokoh Im-yang-bu-pai untuk menabas putus lengan kanan dari Lie Bu Tek Twa-suheng!" Kata-kata ini diucapkan dengan sikap begitu sewajarnya dan berani sehingga Ciang Le dan Liok San berdiri ternganga keheranan.

"Setan jahat, kau benar-benar keji dan tidak punya liangsim!" Liok San membentak, suaranya tergetar saking marahnya.

Akan tetapi Ciang Le berkata dengan suaranya yang mengandung pengaruh hebat. "Kong Ji mengapa kau lakukan itu? Hayo lekas katakan apa alasannya dan bagaimana hal itu terjadi!"

Liok Kong Ji merasa lebih gentar menghadapi kata-kata Ciang Le ini dari pada bentakan Liok San, namun ia dapat menguasai diri dan tetap tenang. "Suhu dan Siokhu, andaikata jiwi (Anda berdua) yang menjadi teecu pada waktu seperti itu apakah yang jiwi lakukan? Anak tanggung ini bertanya, sikapnya seakan-akan dia bukan sedang diperiksa dan dituntut, melainkan seperti ia bercakap-cakap seenaknya dengan dua orang tua itu.

“Lebih baik aku mati daripada berlaku pengecut" Liok San berseru marah.

“Teruskan saja ceritamu dan majukan alasanmu, Kong ji, dan jangan menyinggung yang bukan-bukan!" Kini suara Ciang Le mulai mengancam.

"Suhu, agaknya Suhu lebih mengerti akan keadaan daripada Siokhu yang tak dapat mengendalikan hawa kemarahan. Seperti telah teecu tuturkan kepada Su-hu, dua orang tokoh Im-yang-bu-pai, yakni Siang-mo-kiam Lai Tek dan Thian-te Siang-tung Kwa Siang, tokoh ke dua dan ke tiga dari Im-yang-bu-pai, menyerbu Hoa-san-pai. Suhu Liang Gi dan Suhu Lie Bu Tek membela diri, namun mereka kalah. Suhu Liang Gi Tojin tewas Sian Suheng sendiri terluka hebat. Tinggal teecu dan Sin Hong yang berada di sana menghadapi mereka."

"Kau maksudkan Sin Hong putera angkat Lie Bu Tek Toako?" tanya Ciang Le penuh perhatian.

"Ya, betul dia, Suhu. Karena Adik Sin Hong yang dibawa ke Hoa-san untuk belajar bersama-sama teecu."

"Hayo teruskan!" Ciang Le mendesak. "Setelah begitu, mengapa kau membuntungi lengan Suhengmu itu dengan pedang lawan?"

"Suhu, teecu seringkali mendengar nasehat dari Suhu Liang Gi Tojin dan Suheng Lie Bu Tek bahwa siapa yang lemah harus berakal, sehingga kekalahan tenaga dapat ditebus dengan kemenangan siasat. Teecu pada saat itu maklum bahwa nyawa Suheng takkan dapat ditolong lagi dan pasti akan terbunuh oleh dua orang Im-yang-bu-pai itu, demikian pula nyawa teecu dan Sin Hong pasti akan tewas. Oleh karena itu terpaksa teecu mempergunakan siasat, menyatakan kepada dua orang lm-yang-bu-pai itu bahwa teecu dan Sin Hong menaruh hati dendam kepada Hoa-san-pai, teecu sengaja memutar balikkan kenyataan dan menyatakan hendak berguru kepada Im-yang-bu-pai."

"Bangsat rendah!" Liok San memaki marah, akan tetapi Ciang Le memberi isyarat agar supaya Kong Ji melanjutkan ceritanya.

"Sebelum mereka itu menyatakan sesuatu teecu mendahului mereka agar mereka jangan membunuh Suheng, akan tetapi agar mereka memberi kesempatan kepada teecu untuk membunuhnya membalas sakit hati teecu."

"Keparat jahanam!" kembali Liok San memaki.

"Teecu lalu dicoba oleh dua orang takoh lm yang-bu-pai, diberi pinjam pedang oleh Siang-mo-kiam Lai Tek untuk melakukan pembunuhan itu. Teecu tidak membunuh Suheng Lie Bu Tek, melainkan membuntungi sebelah lengannya yang sudah terluka itu."

"Setan kecil, kau memang jahat!" Liok San tak dapat menahan kemarahana lagi. "Kalau kau memang seorang yang mengenal budi, seharusnya kau melawan sekuat tenaga dan lebih baik kau mati dalam membela Hoa-san-pai daripada kau melakukan hal yang amat pergecut dan khianat itu!"

Adapun Ciang Le memandang kepada Kong Ji penuh kekaguman. Ia heran sekali melihat keberanian anak ini, berani mengaku semua perbuatan itu seakan-akan tidak merasa bersalah. Apakah anak ini mempunyai alasan yang kuat mengapa ia melakukan semua itu. "Kong Ji, sekarang ceritakan mengapa kau lakukan hal yang sekeji itu."

"Suhu, seperti sudah teecu sebut tadi, seorang yang lemah harus dapat mempergunakan siasat halus. Pada waktu itu, Suhu sudah tewas dan Suheng terluka berat. Teecu sendiri bersama Sin Ho ada mempunyai daya apakah? Kalau teecu menurutkan nafsu seperti dinyatakan oleh Siokhu tadi, tentu teecu dan Sin Hong dalam sejurus saja akan tewas pula, dan Suheng Lie Bu Tek juga tentu akan mereka bunuh. Kalau terjadi demikian, bukankah itu berarti bahwa semua murid Hoa-san-pai akan terbinasa dan siapakah kelak yang akan membalaskan sakit hati itu? Harap Suhu suka pertimbangkan dengan adil. Kalau teecu menurutkan nafsu hati dan melawan, tidak akan ada gunanya sama sekali kecuali mengantarkan nyawa dengan sia-sia. Sebaliknya, dengan siasat yang telah teecu lakukan, tidak saja Suheng Lie Bu Tek terlepas daripada bahaya maut dan hanya kehilangan lengan sebelah, juga tee-cu dan Sin Hong selamat."

"Akan tetapi, dengan berbuat demikian kau telah merendahkan diri dan menyeret namamu ke dalam lumpur kehinaan, Kau dapat dianggap pengecut besar dan orang berkhianat yang amat rendah! Ini lebih hebat daripada maut!" kata Ciang Le dan hati pendekar ini berdebar, heran dan kagum ia mendengar siasat yang amat cerdik itu, namun ia pun ragu-ragu karena hanya orang yang rendah budi saja yang kiranya dapat mempergunakan dan menjalankan siasat seperti itu.

"Apa boleh buat, Suhu. Sakit hati teecu terhadap Im-yang-bu-pai begitu besar, cita-cita teecu untuk kelak membalas dendam demikian hebat sehingga tee-cu berani mengorbankan apa saja. Teecu berani mengorbankan nama baik, berani mengorbankan perasaan yang hancur ketika teecu membuntungi lengan Suheng. Bahkan kalau sekarang Suhu dan Siok menganggap teecu berdosa dan harus bunuh, teecu rela karena dalam kematian ini pun merupakan pengorbanan teecu yang hendak membalas dendam kepada musuh-musuh kita itu. Suheng sendiri pasti akan memaafkan teecu karena dengan perbuatan itu tidak saja Suheng bebas dari kematian, juga telah memberi kesempatan kepada Suheng, teecu dan Sin Hong untuk kelak mencari musuh- musuh besar dan membalas dendam."

Ciang Le kini merasa kagum sekali. Liok San sendiri bengong, karena setelah ia pikir-pikir, memang apa yang dilakukan oleh Kong Ji itu masuk akal dan bahkan cerdik sekali! Oleh karena itu sekarang ia tidak dapat mengeluarka kata-kata, hanya memandang kepada keponakannya dengan mata terbelalak dan kadang-kadang ia menoleh kepada Ciang Le untuk melihat apa yang akan dikatakan oleh pendekar besar ini.

"Kong Ji, jadi kau melakukan semua itu bukan karena kau ingin hidup dan menyelamatkan diri sendiri?"

"Bukan, Suhu. Demi Tuhan Yang Maha Kuasa, teecu melakukan itu bahkan demi kelamatan Suheng, keselamatan Sin Hong, dan agar teecu mendapat kesempatan membalas dendam."

"Jadi kau benar-benar bercita-cita membalas dendam atas kehancuran Hoa-san-pai?"

"Teecu bersumpah, bukan hanya untuk membalas dendam atas kehancuran Hoa-san-pai, akan tetapi juga untuk luka yang diderita oleh Suheng Lie Bu Tek, untuk kematian Suhu Liang Gi Tojin, untuk kematian Ayah Bunda teecu dan untuk kejahatan orang-orang Im-yang-bu-pai." kata Liok Kong Ji penuh semangat, kemudian ia menjatuhkan diri berlutut lagi dan menangis. Tangisnya demikian sedih dan sama sekali tidak kelihatan dibuat-buat sehingga Ciang Le yang demikian awas pandangan matanya, masih kalah dan dapat tertipu oleh anak yang memang lihai dan berbahaya sekali itu.

"Liok toako, kau mendengar sendiri keterangan Kong Ji. Anak ini bersemangat besar, dan menurut pendaputku. perbuatannya atas diri Lie Bu Tek Toako itu bukanlah hal yang jahat, bahkan menunjukkan bahwa ia cerdik sekali. Aku berani tanggung bahwa Lie Bu Tek Toako pasti takkan marah kepadanya.

Liok San menarik napas, kelihatan lega sekali. "Sesungguhnya, Taihiap, tiada kesenangan yang lebih besar bagiku daripada mendengar keponakanku bebas dari kesalahan. Akan tetapi, tidak ada kedukaan yang lebih besar bagiku dari pada mendengar dia berdosa. Kalau dia dianggap berdosa, aku sendiri yang akan membunuhnya, akan tetapi sukurlah kalau Taihiap berpendapat demikian. Aku hanya menyerahkan anak kakakku ini kedalam bimbingan Taihiap."

Ciang Le memandang kepada Kong Ji yang masih berlutut. "Kong Ji, selanjutnya apa yang terjadi dengan Lie Bu Tek Toako dan dengan Sin Hong?"

"Tentang Lie Bu Tek Suheng, teecu tidak tahu lagi karena semenjak itu, teecu dibawa pergi oleh orang-orang Im-yang-bu-pai dan ketika teecu pergi, Suheng masih rebah di puncak Hoa-san dalam keadaan pingsan. Adapun Adik Sin Hong memang karena tertarik dan percaya kepada teecu, dua orang tokoh lm-yang-bu-pai itu membawa teecu dan Sin Hong pergi, dengan maksud untuk diambil murid. Akan tetapi Adik Sin Hong ternyata tidak dapat menahan nafsunya. sepanjang jalan ia memaki-maki dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu sehingga mereka menjadi hilang kesabaran. Tentu Adik Sin Hong dibunuh oleh mereka kalau saja tidak keburu datang orang-orang Hek-kin-kaipang yang menolongnya dan membawanya pergi."

"Hek-kin-kaipang? Siapa yang memimin mereka?" Ciang Le bertanya.

"Teecu tidak kenal, hanya pemimpinnya seorang wanita cantik, dan pemimpin itu berhasil membawa lari Sin Hong, akan tetapi anak buahnya, puluhan orang yang tewas dalam tangan kedua tokoh Im-yang-bu-pai itu."

"Kiang Cun Eng…” Ciang Le berkata lirih dan terkenanglah ia akan pengalamannya ketika masih muda. Pernah ia digoda oleh Cun Eng yang cantik genit (baca Pendekar Budiman). Ia menarik nafas panjang dan merasa bersukur bahwa akhirnya wanita itu melakukan sesuatu yang baik, yakni menolong Sin Hong putera dari Wan-yen Kan.

"Jadi kau selama ini menjadi murid Im-yang-bu-pai?" tanya Liok San di hatinya tetap saja tidak senang kalau mengingat betapa anak ini, yang orang tuanya terbunuh oleh Im-yang-bu-pai, bahkan menjadi murid musuh besar mereka.

"Tidak, Siokhu, anak hanya sebentar saja tinggal di sana. Kemudian datang See-thian Tok-ong yang menghancurkan Im-yang-bu-pai." Ia lalu menceritakan secara singkat kepada pamannya ini tentang semua pengalamannya tentu saja ia atur demikian rupa sehingga ia tidak melakukan sesuatu pelanggaran yang memburukkan namanya. Ia bahkan menceritakan betapa dengan akalnya ia dapat membikin musuh besar yang membunuh ayah bundanya, yakni Sin-chio Thio Seng, tokoh ke lima dari Im-yang bu-pai, terbunuh sendiri oleh Giok Se Cu.

"Demikianlah, Siokhu. Dengan masuknya anak di dalam Im-yang-bu-pai, tidak saja anak dapat membalas dendam kepada orang yang membunuh Ayah Bunda, juga dengan pertolongen See-thian Tok ong, Im-yang bu-pai dapat dihancurkan." Selanjutnya ia menceritakan pengalamannya ketika ikut See-thian Tok-ong dan apa kemudian ia tertolong oleh Go Ciang Le ketika hendak dibunuh oleh Raja Racun itu dan kemudian ikut dengan Ciang Le sebagai muridnya.

Liok San menarik napas panjang, hatinya lega sekali. "Sudahlah, baiknya Go Taihiap berpemandangan luas. Aku merasa tenteram hatiku kalau kau berada di bawah pengawasannya. Belajarlah baik-baik dan kau harus taat kepada Suhumu."

Ciang Le yang masih teringat akan nasib Lie Bu Tek dan Sin Hong berkata kecawa. "Sayang sekali kita tidak tahu bagaimana dengan nasib Lie-twako dan anak Sin Hong. Apakah mereka masih hidup? Kalau masih hidup di mana mereka bersembunyi?"

"Go-taihiap, biarlah aku akan mengembara dan mendengar-dengar. Kita agak mudah untuk mencari Sin Hong, biarlah aku mencari di mana adanya Kiang-kaipangcu, ketua Hek kin-kaipang itu. Mungkin anak itu dapat ditemukan, hanya aku masih bingung ke mana harus mencari Lie Bu Tek Taihiap."

Ciang Le girang sekali. Ia baru datang di rumah dan tak dapat ia pergi lagi dalam waktu dekat. "Terima kasih kalau kau mau menyelidiki tempat mereka," katanya.

Liok San hanya satu hari tinggal di Pulau Kim-bun, dan pada keesokan harinya setelah banyak meninggalkan nasihal bagi keponakannya ia lalu pergi. Sebelum ia pergi, lebih dulu Ciang Le diam-diam mengajak ia berembuk tentang maksud hati Ciang Le dan isterinya, yakni hendak menjodohkan Liok Kong Ji dengan Gak Soan Li. Tentu saja Liok San menerima dengan girang dan segera menyetujui, maka antara dua orang tua ini telah mengadakan ikatan perjodohan yang belum saatnya diberitahukan kepada dua orang muda yang bersangkutan.

********************

Kong Ji berlatih ilmu silat di bawah gemblengan Ciang Le dengan penuh ketekunan. Sebegitu jauh ia dapat menyembunyikan kepandaiannya sehingga Ciang Le sendiri tidak tahu bahwa anak itu telah pandai ilmu silatnya, bahkan telah dapat mempelajari Ilmu Pukulan Tin-san-kang yang lihai dan ilmu silatnya yang aneh dari See-thian Tok-ong. Bersama-sama Hui Lian dan Soan Li, Kong Ji berlatih siang malam dan ketekunannya benar-benar mengagumkan hati Ciang Le dan isterinya. Dalam kelicinan dan kecerdikan, Kong Ji dapat membuat dirinya seakan-akan paling bodoh antara tiga orang anak muda yang belajar ilmu silat dari Hwa I Enghiong Go Ciang Le.

Makin lama, Kong Ji merasa makin tertarik kepada Soan Li akan tetapi sebaliknya gadis ini entah mengapa mempunya i rasa tidak suka kepada pemuda mi. Kalau dekat dengan Kong Ji, ia merasa seakan-akan dekat dengan seekor ular yang berbahaya dan sukar dimengerti isi hatinya. Namun di luarnya ia tentu saja bersikap biasa seperti lajimnya seorang terhadap saudara seperguruannya. Kong Ji adalah seorang yang cerdik, biarpun Soan Li tidak menyatakan isi hatinya namun pemuda ini dapat menduga bahwa gadis cantik itu tidak suka kepadanya.

Maka ia pun dapat membatasi diri, dan pada umumnya, sikap Kong terhadap siapapun juga amat sopan dan menghormat serta taat terhadap Ciang-Le dan Bi Lan, pendiam dan tak pernah berkelakar di hadapan Soan Li, akan tapi ia amat rapat hubungannya dengan Hui Lan. Memang Hui Lan berwatak gembira dan jujur dan Kong Ji adalah seorang ahli dalam mengatur sikap, seorang yang dapat menyesuaikan diri dengan siapapun juga ia berhadapan, maka ia dapat mengambil hati semua orang. Bahkan Soan Li sendiri tidak mempunyai alasan mengapa ia tidak suka kepada Kong Ji. Pemuda itu cukup tampan, sikapnya baik dan sopan santun, namun ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan membuat ia merasa tidak enak kalau berhadapan dengan Kong Ji.

Setelah mendengar penuturan Kong Ji tentang peristiwa di Hoa-san. Ciang Le berlaku amat hati-hati. Diam-diam ia sering kali mengamat-amati kelakuan Kong-Ji, dan biarpun selama bertahun-tahun Kong Ji tidak pernah memperlihatkan watak yang jahat, namun pendekar ini tetap berlaku hati-hati dalam memberi pelajaran ilmu silat. Kalau ia menurunkan seluruh kepandaiannya kepada puterinya dan kepada Soan Li, dan bahkan menurunkan ilmu silat Pak-kek Sinkang kepada dua orang gadis ini, adalah pada Kong Ji ia hanya memberi latihan ilmu silat. Ia tidak berani menurunkin Pak-kek Sin-ciang kepada murid ini, hanya menurunkan Ilmu Silat Thian-hong ciang-hoat yang juga lihai.

. Namun selihai-lihainya Thian-hong-ciang-hoat, tentu saja tidak dapat menyamai kehehatan ilmu Silat Pak-kek Sin-Ciang. Sebagaimana telah dituturkan di dalam cerita Pendekar Budiman. Go Ciang Le hanya menerima sedikit saja Ilmu Silat Pak-kek sin-Ciang, namun bagian yang tidak seberapa ini sudah cukup untuk mengangkat tinggi namanya dan jarang ada orang kang-ouw yang dapat menghadapi ilmu silat ini...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.