Pendekar Budiman Jilid 02
Ciang Le yang kini telah merupakan seorang yang gagah dan tampan, kali ini ketika turun gunung, mengenakan baju kembang milik ayahnya yang dulu diambil oleh Thian Lo mo, sengaja disimpan untuk diberikan kepadanya! Baju itu ternyata persis sekali pada tubuhnya, mendatangkan rasa hangat yang luar biasa. Ia merasa bangga bahwa besar tubuhnya sama benar dengan ayahnya. Akan tetapi tentu saja tidak tahu bahwa wajahnya tidak sama dengan wajah ayahnya, melainkan lebih mirip wajah ibunya.
Demikianlah, seperti yang telah dituturkan di bagian depan, Ciang Le tiba di lereng bukit sebelah selatan. Hari telah mulai menjadi gelap ketika ia tiba di dalam dusun di selatan puncak itu. Heranlah ia ketika melihat betapa semua pintu rumah di dalam dusun itu telah ditutup rapat rapat dan tak seorangpun manusia kelihatan berada di luar rumah.
Ciang Le tidak takut untuk tidur di mana saja, biar di atas dahan pohon sekalipun, akan tetapi kali ini ia ingin bercakap cakap dengan orang lain dan bertemu dengari penduduk dusun. Maka, diketoknya pintu rumah pertama. Tak ada yang menyahut, dan telinganya yang tajam mendengar suara yang orang berbisik bisik ketakutan dan kemudian diam, tanda bahwa tuan rumah sengaja tidak mau menjawab dan bersembunyi ketakutan.
Ciang Le tidak putus asa dan mengetuk pintu rumah berikutnya. Sama saja. Makin heranlah dia. Begini tak sopankah penduduk di dusun ini? Ia telah mendengar tentang peradaban dan kesopanan dari kedua suhunya, dan sama sekali tidak pernah mengira bahwa ada orang orang yang tidak mau menjawab!
Ia tahu bahwa di dalam setiap dusun tentu ada kepala dusunnya, maka ia lalu berjalan jalan di dalam dusun itu, mencari rumah yang terbaik dan terbesar. Rumah kepala dusun pasti yang besar dan terbaik, pikirnya dan pada saat seperti itu, semua penuturan suhunya terbayang dalam ingatannya.
Akhirnya sampai juga di depan sebuah rumah yang besar dan paling mewah diantara semua rumah di situ. Ia lalu melangkah maju sampai di depan pintu dan mengetuk daun pintu beberapa kali. Kembali tidak ada jawaban, akan tetapi Ciang Le yang berpendengaran tajam dapat mendengar bahwa ada sedikitnya sepuluh orang datang mendekati pintu dan mengintip dari dalam! Akan tetapi ia berpura pura tidak tahu dan mengetuk pintu lagi sambil berkata keras.
“Sungguh mengherankan, mengapa seluruh dusun menutup pintu pada hari sesore ini? Apakah tidak ada yang sudi menolong seorang perantau yang Kemalaman di jalan?”
Tiba tiba pintu besar terbuka dan dua belas orang laki laki yang berpakaian sebagai penjaga kampung melompat keluar dengan senjata tajam di tangan! Ketika mereka keluar, dari penerangan lampu yang bersinar di halaman rumah, Ciang Le melihat wajah mereka ketakutan, akan tatapi kini mereka agaknya lega setelah melihat siapa orangnya yang mengetuk pintu. Namun, masih saja dua belas orang penjaga itu memandang dengan penuh kecurigaan dan kewaspadaan.
Setelah mengamat amati keadaan Ciang Le dan melihat ke arah gagang pedangnya di pundak, orang tertua yang brewokan lalu melangkah maju dan mengangkat tangan memberi hormat sambil bertanya. “Siangkong siapa dan dari manakah?”
Ciang Le tersenyum girang mendengar suara ini. Alangkah merdunya suara orang lain yang sudah bertahun tahun dirindukannya! Ia cepat menjura dengan hormat kepada semua orang itu dan berkata dengan halus. “Mohon maaf sebesarnya apabila siauwte mengganggu cuwi sekalian di waktu malam. Sesungguhnya siauwte adalah seorang perantau yang kemalaman dan ingin sekali siauwte mencari rumah penginapan di dusun yang indah ini. Akan tetapi sayangnya, setiap rumah tertutup dan ketika siauwte mencoba untuk mengetuk pintu guna minta keterangan, tak seorangpun mau menjawab.”
Tiba tiba sikap orang brewokan itu menjadi ramah dan cepat ia berkata, “Siangkong, silakan masuk dan bermalam di rumah kepala kampung saja. Tak baik kita bicara di luar dalam saat seperti ini.”
“Mana siauwte berani mengganggu rumah chung cu (kepala kampung)?”
“Masuk sajalah, siangkon. Aku sendirilah kepala kampung di dusun ini. Di sini tidak ada rumah penginapan dan kurasa takkan ada orang yan berani membuka pintu di waktu malam hari.”
Ciang Le menjadi tertarik hatinya. Kalau tidak ada orang berani membuka pintu di waktu malam, tentu terjadi sesuatu yang hebat. Tentu ada bahaya mengancam penduduk dan inilah yang dicarinya! Ia harus mencari kesempatan untuk mengulurkan tangan menolong sesama manusia. Tanpa banyak cakap dan see ji (sungkan) lagi ia lain mengikuti mereka memasuki pintu besar yang cepat ditutup lagi dari sebelah dalam.
Kepala kampung itu ternyata adalah seorang yang amat peramah. Belum juga mengenal siapa nama dan di mana tempat tinggal tamunya, ia telah memberi perintah kepada pelayan untuk mengeluarkan hidangan dan menemani tamunya di ruang dalam. Ciang Le merasa berterima kasih sekali. Itu adalah makanan pertama yang dirasakannya semenjak meninggalkan gua. Di dalam gua, ia hanya makan buah buah dan daging dipanggang biasa saja, maka tidak mengherankan apabila hidangan kepala kampung yang sebenarnya amat sederhana itu terasa lezat dan baginya merupakan hidangan raja!
Ketika disuguhi arak dan minum arak keras, hampir saja ia tersedak karena selama hidup nya Ciang Le belum pernah minum arak. Akan tetapi baiknya ia memilki lweekang dan khi kang yang tinggi. Cepat ia menutup jalan pernapasannya mendorong hawa arak keluar dari dalam perutnya untuk dikeluarkan kembali melalui mulutnya sehingga hawa arak yang memabokkan itu tidak mengganggunya. Dengan jalan ini biarpun ia harus menghabiskan seguci arak ia takkan terpengaruh.
Setelah sisa makanan diambil oleh pelayan, kepala kampung mengajak Ciang Le bercakap cakap di ruang depan di mana berkumpul pula sebelas orang penjaga. Dari percakapan mereka, tahulah Ciang Le bahwa mereka itu adalah orang orang yang dianggap paling kuat didusun itu yang sengaja berkumpul di rumah kepala dusun untuk menjaga sesuatu yang mengancam.
“Chung cu, sesungguhnya rahasia apakah yang meliputi dusun ini? Siauwte merasa seakan akan ada sesuatu yang membuat semua penduduk merasa gelisah.”
Kepala kampung yang brewokan itu memandang wajah Ciang Le seperti orang menyelidik, lalu mengerling sebentar ke arah gagang pedang pemuda itu, kemudian menarik napas panjang seperti orang putus asa. “Apa gunanya diceritakan? Siangkong, menceritakan hal ini tidak ada baiknya, bahkan menambah besar bahaya yang mengancam.”
Ciang Le menjadi tak sabar, ia tahu bahwa kepala dusun ini memandang rendah kepadanya dan menganggap bahwa dia takkan dapat menolong, maka percuma saja diceritakan juga.
“Chungcu, percayalah, kalau benar benar ada yang mengganggu dusunmu ini dan menyusahkan kau dan pendudukmu, aku akan membasminya!”
Kepala kampung itu memandang tajam dan di sana sini terdengar suara orang tertawa kecil. Ciang Le maklum bahwa kepala kampung dan orang orang yang berada di situ tidak percaya kepadanya.
“Siangkong, kau baik sekali! Akan tetapi, kenapa kau hendak menolong kami? Tahukah kau bahwa menolong kami berarti mengorbankan nyawamu yang masih muda?”
“Biarpun harus mengorbankan nyawa, aku bersedia, chungcu!”
“Kenapa? Kenapa kau begitu mati-matian hendak menolong kami?”
“Kenapa??” Ciang Le mengulang kata kata ini seakan akan ini adalah pertanyaan yang aneh “Karena kau adalah orang baik dan kau telah menerima siauwte dengan ramah tamah, telah menghidangkan makanan dan memberi tempat beristirahat.”
Kepala kampung itu menarik napas panjang. “Terima kasih, siangkong. Kalau hanya berdasarkan kebaikan hatimu dan mengandalkan keberanianmu saja takkan ada gunanya, bahkan membuang nyawamu dengan sia sia belaka. Memang dusun kami telah mendapat gangguan hebat selama sepekan ini, akan tetapi pengganggunya bukan sembarang manusia, melainkan siluman-siluman jahat!”
Semenjak kecil Ciang Le hidap di dalam gua yang penuh tengkorak manusia, bahkan kedua orang suhunya juga bernama Iblis! Ia tetap tersenyum tenang lalu bertanya, “Siluman macam apakah yang menggangu, chungcu? Ceritakan yang jelas agar mudah aku mencari dan membasminya.”
Pada saat itu, terdengar suara gemuruh dan diantara suara seperti angin keras itu terdengar pekik mengerikan.
”Kepala kompung tolol! Lagi lagi kau berani tidak memenuhi permintaanku? Sekarang cucumu sendiri hendak kuambil!”
Menyusul suara ini, terdengar suara keras pada pintu besar di depan rumah itu serasa tergetar, kemudian pintu itu runtuh ke dalam seperti terdorong oleh tenaga raksasa! Dan di ambang pintu muncul seorang yang bertubuh tinggi kurus dan kedua tangannya sampai ke siku berbulu. Gerakan orang ini cepat sekali sehingga sukar untuk melihat wajahnya dengan nyata. Akan tetapi, bagi Ciang Le yang memiliki kepandian tinggi, ia dapat melihat dan ternyata olehnya bahwa orang itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, berwajah biasa saja hanya sepasang matanya terputar putar tanda bahwa otaknya kurang beres! Namun harus diakui nya bahwa orang tua itu memiliki ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi. Sementara itu, kepala kampung dan para penjaga telah menjadi pucat dan tubuh mereka menggigil. Apalagi ketika kepala kampung mendengar betapa siluman ini hendak mengambil cucunya yang disayangnya!
“Jangan... jangan ganggu cucuku...” Katanya dengan suara gemetar, yang disusul oleh suara ketawa menyeramkan dari orang siluman itu.
Dengan gerakan seperti kilat menyambar, siluman itu melompat hendak masuk ke dalam rumah. Akan tetapi tiba tiba melayang sinar putih mengkilap ke arah tubuhnya.
“Aaaahh...” orang itu menjerit kesakitan dan cepat ia memandang benda yang telah mengenai tubuhnya dan yang kini telah menggelinding pecah di atas lantai. Ternyata bahwa benda itu adalah sebuah cawan arak yang tadi dipegang oleh Ciang Le. Pemuda inipun terheran ketika melihat betapa orang gila itu tidak roboh oleh sambitannya. Ia telah menyambit dengan menggunakan ilmu Sambit Pek po coan ang (Menyambit Tepat Dalam Jarak Seratus Kaki) dan tahu bahwa sambitannya itu biarpun hanya dengan cawan arak, namun tepat mengenai jalan darah Tai hwi hiat yang sudah cukup untuk merobohkan seorang bagaimana gagahpun. Akan tetapi orang iai hanya menjerit kesakitan dan tidak roboh. Oleh karena itu, cepat Ciang Le lalu melompat dan ia telah berdiri di depan siluman itu.
Orang tinggi kurus yang bermata liar ini memandang dengan marah sekali kepada Ciang Le, seakan akan menyelidik dan hendak mengetahui siapakah pemuda tampan yang dapat menyambitkan cawan arak selihai itu. Akan tetapi ia tidak mengenal Ciang Le, maka sambil menegereng seperti seekor harimau, ia lalu meneabut sebatang ranting pohon bambu berwarna kuning berbintik bintik hijau. Ciang Le sebagai seorang ahli dapat mengetahui bahwa orang yang mainkan senjata kecil dan lemah, bahkan adalah orang yang paling berbahaya dan sukar untuk dilawan. Kalau saja lawannya itu mengeluarkan senjata yang besar dan berat ia masih akan memandang ringan. Akan tetapi kini siluman itu mengeluarkan senjata yang hanya sebesar jari tangan dan panjangnya tiga kaki, juga amat lemas. Terpaksa untuk menjaga segala kemungkinan karena tahu lawannya amat lihai, pemuda ini lalu mencabut pedang Kim kong kiam.
Anehnya, melihat pedang yang mengeluarkan cahaya emas itu. siluman tadi nampak terkejut sekali dan melompat mundur dua kali. Kemudian, sambil memperdengarkan suara pekik seperti tangis yang menyayat hati ia lalu berkelebat keluar dari pintu dan lenyap di dalam gelap malam. Kepala kampung dan para penjaga menyaksikan semua kejadian ini dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Kemudian setelah iblis itu pergi, kepala kampung lalu menghampiri Ciang Le yang masih berdiri dengan pedang di tangan, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda agah itu, diturut oleh semua penjaga.
“Eh, eh, jangan begitu. Chungcu. Harap cu wi sekalian berdiri dan lebih baik ceritakanlah kepada siauwte apa yang telah terjadi dan siapakah orang gila itu tadi!”
Akan tetapi kepala Lampung dan sebelas orang penjaga tidak mau berdiri dan tetap berlulut. “Agaknya Thian Yang Maha Kuasa telah mengutus taihiap (tuan pendekar besar) untuk menolong kami. Terima kasih, taihiap dan mohon jangan kepalang menolong kami dan dapat membersihkan semua bahaya yang mengancam.”
Ketika masih tinggal di dalam guha, guru-gurunya seringkali memberi peringatan kepada Ciang Le agar supaya berhati hati menghadapi omongan yang manis dan merendah karena di dalam segala gerak gerik dan omongan orang yang terlalu manis atau terlalu merendah seakan-akan dilebih lebihkan, tersembunyi maksud yang jahat dan curang. Kini melihat sikap kepala kampung, ia teringat akan nasihat guru-gurunya itu sehingga timbul perasaan tidak senang padanya.
“Bangunlah kalian!” serunya sambil membanting kakinya di atas lantai. Bantingan kaki ini ia lakukan dengan pengerahan tenaga dalam sehingga dua belas orang itu merasa lantai tergetar dan tahu tahu tubuh mereka seperti ada yang mendorong dari bawah dan mau tidak mau mereka bangun berdiri, memandang kepada Ciang Le dengan terheran-heran dan makin kagum.
“Duduklah, chungcu dan coba ceritakan dengan tenang kejadian apakah yang dialami oleh dusun ini?” tanya Ciang Le dengan suara sabar.
Kepala kampung itu yang kini percaya penuh akan kelihaian pemuda yang sudah berhasil mengusir pergi “siluman” tadi, segera menceritakan malapetaka yang telah menimpa dusun itu. Semenjak sepekan yang lalu dusun itu mengalami gangguan siluman tadi yang datang bersama seekor ular senduk yang luar biasa besarnya. Telah tiga orang anak anak ditangkap oleh siluman itu dan dijadikan mangsa ularnya yang mengerikan! Dua hari sekali siluman itu datang mengambil seorang anak kecil untuk diberikan kepada ularnya dan tiap kali ia selalu minta kepada kepala kampung untuk disediakan seorang anak kecil! Tentu saja kepala kampung itu tidak mau melayaninya, bahkan mengumpulkan orang orang untuk berusaha mengusirnya. Akan tetapi ternyata siluman itu amat sakti dan keroyokan orang orang hanya menghasilkan tewasnya beberapa orang saja terkena pukulan tangannya yang membuat kulit menjadi hitam seperti terbakar! Adapun anak anak yang dikehendakinya tetap saja diculiknya dan diberikan kepada ularnya! Dan pada malam hari itu karena melihat sikap kepala kampung yang selalu tidak mentaati perintahnya, siluman itu datang hendak menghukum kepala kampung dan menculik cucunya! Akan tetapi ia telah dapat dibikin mundur dan takut oleh pemuda perkasa yang kebetulan menjadi tamu kepala kampung itu.
“Di mana dia bersembunyi ?” tanya Ciang Le setelah mendengar penuturan itu.
“Kami pernah mengumpulkan orang-orang dan menyerangnya di siang hari, dan kami mendapatkan dia berada di dalam hutan. Dia sudah mengerikan, akan tetapi ular senduknya lebih lebih menyeramkan lagi. Belum pernah selama hidup aku melihat ular senduk sedemikian besarnya,”
“Baiklah, biar kita beristirahat dulu malam ini. Kutanggung besok pagi pagi siluman itu bersama ularnya akan dapat kubasmi!” kata Cìang Le dengan tenang.
Kembali kepala kampung itu menghaturkan terima kasihnya dan cepat memerintah para pelayan menyediakan tempat tidur yang paling baik.
“Tak usah, chungcu, aku tidak biasa tidur di atas pembaringan yang enak. Biar aku duduk di atas lantai di ruangan yang sunyi,” kata Ciang Le segera pergi ke sudut dan duduk bersila untuk melakukan siulian samadhi).
Demikianlah pada keesokan harinya, berita tentang kedatangan seorang pemuda yang telah mengusir siluman, tersiar luas dan sebentar saja semua penduduk menyerbu rumah kepala kampung untuk menyaksikan sendiri pemuda gagah perkasa itu. Dan ketika Ciang Le menyatakan hendak berangkat mencari siluman itu bersama ularnya, berduyun duyun orang dusun hendak mengikutinya. Akan tetapi kepala kampung melarangnya, dan hanya memperkenankan serombongan orang orang lelaki untuk membawa senjata mengantarkan pendekar muda itu. Dia sendiripun tidak ketinggalan ikut pula mengantar pemuda yang menjadi pusat harapan mereka itu. Rombongan itu terdiri dari tujuh belas orang, berjalan di belakang Ciang Le yang tetap nampak tersenyum tenang. Setelah rombongan itu masuk ke dalam hutan liar yang penuh dengan pohon pohon raksasa dan batu batu karang menghitam, kepala kampung dan kawan kawannya makin memperlambat jalan kaki mereka.
“Taihiap, di batu batu karang itulah tempatnya,” kepala kampung berbisik perlahan.
Ciang Le memandang tajam dun melihat betapa pohon pohon di situ amat tinggi dengan batangnya yang bengkak bengkok dan berlubang lubang. Di bawah pohon pohon itu terdapat batu karang yang tajam dan runcing, menghitam dan nampak kokoh kuat dan keras sekali. Mata pemuda yang amat tajam ini dapat melihat dua ekor kelinci berlari masuk ke dalam semak semak dan selain itu tidak terdapat gerakan sesuatu. Kalau saja ada musuh tersembunyi di balik pohon atau di dalam semak semak, tentu akan terlihat oleh mata pemuda yang sakti ini.
Ciang Le melangkah maju terus setelah memberi isyarat kepada rombongan orang dusun itu untuk menunggu di tempat itu. Dengan langkah tetap pemuda ini menghampiri batu karang yang hitam. Tiba tiba terdengar desis yang kuat, yang berbunyi gemerisik bagai angin meniup daun bambu, akan tetapi lebih kuat lagi. Desis ini disusul oleh desis lain yang lebih kuat dan terdengarlah orang-orang petani yang menonton di tempat aman itu mengeluarkan seruan ngeri dan kaget.
Dari balik batu batu karang itu tiba tiba keluar kepala seekor ular senduk yang besar sekali. Besar kepala itu hampir sama dengan besar kepala seekor anjing, matanya dan lidahnya merah menakutkan. Bagian leher ular itu melar sampai lebar dan tipis menyekung seperti senduk dan sambil menyemburkan uap kehitaman ia lalu menegakkan kepalanya, memandang kepada Ciang Le dengan leher berkembang kempis.
“Taihiap, hati hati…” kepala kampung masih dapat mengeluarkan suara memperingatkan. Adapun kawan kawannya berdiri bagaikan patung dengan muka pucat dan jelas nampak mereka itu menggigil ketakutan. Siapa yang tidak merasa ngeri melihat ular siluman yang pernah mereka keroyok, akan tetapi yang dibacok golok tidak terluka itu? Ketika beberapa hari yang lalu mereka mengeroyok, golok pedang dan anak panah melesat saja ketika mengenai kulit ular itu.
Akan tetapi, Ciang Le tidak merasa gentar sedikitpun juga. Bahkan pemuda itu tetap berjalan maju mendekati ular itu. Ular cobra yang luar biasa besar dan yang panjangnya kurang lebih empat meter itu memandang tak bergerak seakan akan merasa terheran heran melihat keberanian dan ketenangan manusia muda di depannya ini. Ia sedang lapar dan marah, karena semalam tidak mendapat mangsa. Dengan ekornya melilit batu karang, ia bersiap sedia untuk menerkam pemuda itu, sungguhpun pemuda itu tidak membangkitkan seleranya karena terlalu besar dan terlalu keras dagingnya, tidak seperti daging anak kecil.
Tiba tiba ular itu menyerang Bagaikan anak panah cepatnya, kepala yang besar itu dengan mulut terbuka lebar dan lidah terjulur meluncur ke arah leher Ciang Le! Serangannya ini didahului oleh semburan uap hitam yang berbau keras dan amis sekali. Ciang Le berlaku sebat dan sambil miringkan tubuhnya ia mengelak dan sekaligus mengirim tamparan dengan tangan kirinya ke arah kepala ular itu.
“Plakk!!” ular itu bagaikan disambar petir dan kepalanya membalik berikut tubuhnya terlempar membentur batu karang! Akan tetapi Ciang Le segera menjadi heran karena kepala ular itu tidak pecah sebagaimana dikiranya. Benar benar ular yang luar biasa kuatnya, pikir pemuda ini. Pukulan tangan kirinya tadi bukanlah pukulan biasa saja dan batu karang agaknya akan remuk menerima tamparannya tadi. Akan tetapi ular itu agaknya tidak apa apa, bahkan setelah kepalanya terbentur batu karang, masih tidak kelihatan ular itu terluka!
Pemuda itu tidak mau menyerang, karena memang ia telah bersumpah kepada Thian te Siang mo kedua gurunya, bahwa ia tidak akan menyerang lebih dulu kepada siapapun juga sebelum lawan yang dihadapkannya itu menyerangnya atau melakukan sesuatu gerakan yang membahayakan orang lain. Kini ia telah berhasil memukul ular yang menyerangnya dan berdiam saja, menanti serangan selanjutnya dari binatang berbahaya itu. Akan tetapi, pengalaman yang tidak enak tadi agaknya membuat ular itu menjadi ragu ragu untuk menyerang lagi. Untuk beberapa kali binatang ini menggerak gerakkan kepalanya dan Ciang Le melihat betapa pada leher ular itu, tepat di bawah mulutnya terdapat bagian yang mengkilap dan berminyak. Kembali ular itu mendesis desis, selain untuk mengeluarkan racun juga untuk menakut nakuti lawannya, kemudian tanpa peringatan lebih dulu, ia menyerang lagi. Serangannya yang kedua kalinya ini lebih hebat dan lebih cepat daripada tadi.
Ciang Le melihat betapa ketika melakukan serangan, bagian leher yang berminyak itu makin mengkilap dan cepat ia lalu menggunakan dua jari tangan kanannya menyambut serangan ular itu. Dengan menekuk kedua lututnya, Ciang Le mengelak sehingga ular itu melayang lewat dan pada saat itu kedua jari tangan itu menotok ke leher ular, tepat di bagian yan mengkilap tadi. Serangan ini mengenai sasaran tepat sekali sehingga terdengar leher ular itu berbunyi “kok!” dan secepat kilat tangan kiri Ciang Le menyusul, seperti tadi menampar kepala ular.
Terdengar bunyi “prak!” dan kepala ular itu terpukul dan menubruk batu karang. Tubuhnya terkulai dan jatuh di bawah batu karang, menggeliat geliat perlahan. Ternyata bahwa kepalanya pecah berantakan!
Bukan main girangnya hati kepala kampung dan kawan kawannya melihat ular itu telah ditewaskan oleh penolong mereka dan tak terasa lagi mereka bersorak sorai dengan girang. Akan tetapi tiba tiba sorak sorai itu terdiam dan kembali mereka gemetar ketakutan ketika mendengar suara pekik mengerikan. Siluman itu telah datang, bisik kepala kampung dan tanpa dikomando lagi, para petani ini lalu melarikan diri ke belakang dan bersembunyi di balik batu batu karang! Mereka hanya berani menonton dari jauh saja sambil mengintai dari balik batu.
Ciang Le tetap tenang dan ia tidak bergerak ketika orang tua yang dianggap siluman oleh para petani itu muncul dari balik batu karang. Mata orang tua ini terputar putar mengerikan dan berwarna merah ketika ia melihat ke arah bangkai ular. Kemudian terdengar ia melolong dan menangis seperti anak kecil sambil menubruk dan memeluki bangkai ular besar itu.
“Ularku... ularku sayang...”
Ciang Le merasa kasihan juga menyaksikan keadaan orang gila itu. Ia memandang dengan penuh perhatian. Ternyata bahwa orang tua itu pakaiannya compang camping dan tubuhnya kotor. Akan tetapi selain matanya yang terputar putar, tidak nampak tanda tanda lain yang luar biasa. Lebih kuat dugaannya bahwa orang tua ini tentulah seorang ahli persilatan yang telah menjadi gila. Tiba tiba tangis orang tua itu berhenti dan ia melompat ke atas lalu menghadapi Ciang Le dengan air mata membasahi pipinya.
“Orang kejam, kau berani sekali membunuh kekasih Coa ong Sin kai yang takkan mengampuni nyawamu? Siapakah kau orang muda berani mati yang bertangan lancang?”
Kaget juga hati Ciang Le mendengar bahwa orang ini adalah Coa ong Sin kai (Pengemis Sakti Raja Ular). Nama ini ia pernah mendengar dari kedua gurunya sebagai seorang tokoh besar dari selatan yang memang berotak miring. Maka ia berlaku waspada dan hati hati sekali. Cepat ia menjura dan dengan hormat berkata,
“Ah, kiranya Coa ong Sin kai locianpwe yang berada di sini! Siauwte mengharap banyak maaf kalau siauwte kesalahan tangan membunuh ular ini. Hendaknya locianpwe ingat bahwa ular ini amat jahat, telah makan anak anak penduduk dusun dan tadipun bahkan telah dua kali menyerangku. Maka, sudah sepantasnya kalau binatang sejahat ini dilenyapkan agar jangan mengganggu manusia lagi.”
Coa ong Sin kai berjingkrak saking marahnya. “Kau bilang ularku ini kejam? Kau anak kecil tahu apa tentang kekejaman? Ularku makan anak anak karena memang ia suka dan perutnya lapar. Manusia lebih kejam lagi, suka membunuh bukan karena lapar, hanya karena nafsunya. Hayo kau ganti jiwa ularku!” Sambil berkata demikian, kakek ini mengeluarkan pekik nyaring yang menggetarkan hutan itu, lalu maju menerjang Ciang Le dengan pukulan tangan terbuka seperti cengkeraman kuku harimau.
Ciang Le cepat mengelak dan otomatis ia membalas serangan lawannya. Memang ilmu silat yang dipelajari oleh pemuda ini adalah ilmu silat yang sifatnya aktif apabila menghadapi serangan lawan. Ilmu silatnya selalu disesuaikan oleh suhunya seperti sifat air. Diam dan tenang, kelihatan lemah apabila didiamkan. Akan tetapi cobalah ganggu air itu, akan nampak kehebatan dan kekuatan nya yang tak terkalahkan.
Ilmu silat dari Coa ong Sin kai benar benar cepat, ganas dan bertubi tubi datangnya. Karena melihat gerakan lawannya yang aneh, Ciang Le membatasi serangan sendiri. Ia menjadi amat tertarik dan karena ia pernah mendengar dari suhunya bahwa kepandaian Coa ong Sinkai ini amat tinggi dan ilmu silatnya amat sukar dilawan, ia menjadi makin tertarik. Ingin sekali ia melihat sampai di mana kehebatan ilmu silat orang miring otaknya ini, maka ia lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mempertahankan saja.
Pertama tama Coa ong Sin kai menyerang dengan pukulan yang disebut Jit seng to hian (Tujuh Bintang Jungkir Balik). Gerak tipu ini susul menyusul sampai tujuh kali, dilakukan bertubi tubi dengan kedua tangan yang menyerang dari atas akan tetapi selalu dari jurusan yang berlawanan sehingga Ciang Le merasa seakan akan ada tujuh lawan yang mengeroyoknya. Akan tetapi dengan ginkangnya yang sudah tinggi, pemuda itu dapat menghindarkan diri dari serangan lawan dan berkali kali ia mengelak akan menangkis sampai tujuh gerakan dari jurus Jit seng to hian ini lewat tanpa merugikan.
Coa ong Sin kai menjadi penasaran, lalu mengubah serangannya dengan gerak tipu Cong eng kun touw (Garuda Menyambar Kelinci) semacam gerakan ilmu pedang yang olehnya dilakukan dengan tangan. Kedua tangannya dimiringkan dan disambarkan seperti orang mempergunakan pedang Ciang Le mengerti bahwa biarpun tangan orang gila itu hanya terdiri dari kulit, daging dan tulang namun karena digerakkan dengan tenaga lwekang yang amat tinggi, apabila mengenai tubuhnya dari pedang manapun juga. Ia mencoba untuk mengelak, akan tetapi saking cepatnya gerakan Coa ong Sin kai yang mengobat abitkan kedua tangannya sehingga mendatangkan angin, hampir saja pundak pemuda itu terkena sabetan!
Ciang Le terkejut. Tak disangkanya bahwa lawannya yang sudah tua itu memiliki kegesitan yang tidak kalah oleh orang muda. Berbahaya juga kalau didiamkan saja tanpa di balas dengan serangan serangannya, la mengeluarkan ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Thian Lo mo yakni Ilmu Silat Thian hong ciang hwat (ilmu Silat Tangan Kosong Angin dari Langit). Karena ilmu silat tangan kosong ini amat luas penggunaannya sehingga ia harus mempelajari sampai sepuluh tahun lebih maka di dalamnya termasuk ilmu tiam hwat (menotok jalan darah), kin na hwat (ilmu mencengkeram dan menangkap) dan juga terdapat jurus jurus yang mengeluarkan tenaga gwakang (tenaga kasar) dan lwekang (tenaga dalam).
Ilmu silat dari ilmu totokan dari Thian Lo mo memang luar biasa sekali dan dahulu pernah menjagoi di kolong langit, maka setelah Ciang Le mainkan ilmu silat ini, dalam lima jurus saja ia telah berhasil menotok jalan darah yan goat hiat yang berada di bawah pangkal lengan. Totokan itu mengenai dengan tepat sekali, akan tetapi kembali Ciang Le terkejut karena orang gila itu tidak roboh, hanya terhuyung mundur sambil tertawa bergelak.
“Ha ha ha, orang muda. Totokanmu benar benar lihai, akan tetapi kurang tenaga!”
Ciang Le menjadi penasaran. Mana bisa kurang tenaga? Ia telah mengerahkan lwekangnya dan bagi orang lain, totokan tadi pasti akan membuat tangan dan lengan lawannya menjadi kaku tak dapat digerakkan! Kembali ia menyerang dengan cepat dan kuat, kali ini dengan gerak tipu Thian hong sauw sui (Angin Langit Sapu Air). Gerakannya cepat sekali dan untuk kedua kalinya, ia berhasil menotok jalan darah di pundak kiri lawannya. Hanya terdengar suara “duk” akan tetapi kembali lawannya hanya tertawa bergelak sambil membalas dengan serangan ganas!
Mendengar betapa lawannya selalu tertawa bergelak sehabis terkena totokannya dan totokan itu tidak berhasil memuaskan, teringatlah Ciang Le bahwa lawannya itu tentulah seorang ahli Ilmu I-kong-hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah ). Pantas saja totokannya tidak pernah menghasilkan sesuatu dan suara ketawa lawannya itu hanya untuk memulihkan pengaruh totokan pada kulit dan jaringan darah.
Sementara itu setelah dua kali terkena totokan. Coa ong Sin kai barulah maklum bahwa ia menghadapi seorang pemuda yang lihai sekali ilmu silatnya, ia menggereng seperti seekor harimau terluka lalu mengeluarkan senjatanya, yakni ranting bambu yang lemas itu. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, ranting bambu ini mengeluarkan suara bersiul dan menyambar ke arah leher Ciang Le. Ketika pemuda ini melompat ke kiri untuk menghindarkan diri, ujung ranting ini masih mengejarnya bagaikan ekor ular dan terdengar suara keras ketika ujung ranting itu menyabet paha Ciang Le.
Pemuda ini baiknya telah menyalurkan tenaganya untuk menahan sabetan itu sehingga ujung ranting bambu itu terpental kembali ketika menimpa pahanya. Akan tetapi celananya yang berwarna biru itu telah robek di bagian paha seperti terobek oleh pisau tajam!
Kembali Coa ong Sin kai tertawa bergelak. “Orang muda, pukulan ke dua akan merobek kulit lehermu!” sindirnya sambil menyerang lagi lebih hebat. Ciang Le menjadi marah. Dicabutnya Kim kong kiam dari sarung pedangnya dan ketika ia menggerakkan pedang itu, berkelebatlah sinar emas yang menyilaukan mata.
Tiba tiba Coa ong Sin kai terbelalak dan berteriak, “Thian te Siang mo….!” kemudian seperti orang ketakutan ia lalu melarikan diri meninggalkan Ciang Le yang memandang dengan senyum ditahan. Ia dapat menduga bahwa orang gila itu tentu pernah dihajar oleh kedua suhunya, maka sekarang mengenal pedang ini, lalu berlari terbirit birit. Melihat betapa baru setelah ia mencabut pedangnya, kakek itu mengenalnya, sebagai pemuda yang malam tadi menghalanginya, lebih yakinlah dia bahwa kakek itu memang benar benar tidak beres pikiran dan ingatannya. Kalau orang waras, masa tidak mengenalnya setelah pertemuan malam tadi?
Kepala kampung dan kawan kawannya setelah melihat siluman itu melarikan diri, lalu bersorak girang dan beramai menghampiri Ciang Le. Ketika mereka mencabut senjata hendak memukul hancur bangkai ular besar itu, Ciang Le mencegah mereka. Kemudian, pemuda ini meminjam sebuah golok dan dengan hati hati sekali ia membelek leher ular yang mengkilap itu. Benda cair berwarna hitam seperti tinta bak mengalir keluar dari leher itu dan akhirnya keluarlah sebuah benda hitam bulat yang mengkilap. Ciang Le mengeluarkan sehelai saputangan, lalu diambilnya benda itu dan dibungkus dengan sapu tangan, terus dimasukkan ke dalam kantong bajunya.
“Tidak rugi celanaku robek mendapat benda ini,” katanya perlahan sambil tersenyum, seperti kepada diri sendiri.
“Untuk apakah benda itu, taihiap? Dan apakah itu, apa gunanya?” tanya kepala kampung yang tidak sengaja mendengar ucapannya ini.
Ciang Le tersenyum. “Benda itu adalah batu yang mengandung racun ular yang amat jahat.”
Kepala kampung menjadi terheran heran, akan tetapi ia tidak berani bertanya lebih panjang lagi bahkan kemudian ia mengajak kawan kawannya untuk menghaturkan terima kasih kepada Ciang Le sambil berlutut.
“Tak perlu berterima kasih,” mencegah pemuda itu, “dan tak perlu kalian kini berkuatir. Siluman itu sesungguhnya seorang manusia biasa yang berotak miring. Yang jahat adalah ularnya. Sekarang ularnya telah mati, ia takkan datang kembali. Sepeninggalku, kuburlah bangkai ular ini agar tidak menimbulkan penyakit yang akan lebih jahat lagi mengganggu kampung kalian.” Setelah berkata demikian, pemuda sakti itu membalikkan tubuh dan hendak pergi dari situ.
Akan tetapi kepala kampung itu berkata. “Taihiap, tunggu dulu. Mohon tanya she yang mulia dan nama besar taihiap, agar selama hidup kami takkan melupakan penolong kami yang budiman.”
Ciang Le menengok dan tersenyum, lalu menggoyang goyang tangannya dan berkata, “Tak perlu diingat lagi, tak perlu. Lupakan, saja semua hal yang telah terjadi, karena apa yang Kulakukan bukanlah pertolongan, melainkan kewajibanku untuk menebus dosa!” Setelah berkata demikian, agar jangan terganggu lebih lama lagi, pemuda itu menggunakan kepandaiannya berkelebat pergi dan lenyap dari pandang mata orang orang itu.
Semua orang menjadi bengong dan saling pandang, kemudian atas pimpinan kepala kampung mereka berlutut ke arah menghilangnya pemuda itu. Dan karena mereka tidak tahu nama pemuda itu, hanya ingat bahwa pemuda itu berpakaian kembang kembang yang lucu dan aneh, maka mereka memberi nama Hwa-I-Enghiong (Pendekar Baju Kembang) kepada Ciang Le.
“Kong kong (kakek), sesungguhnya mengapakah ayah bundaku lelah meninggal dunia lebih dulu? Mengapa aku tak pernah mengenal mereka?” demikianlah pertanyaan yang diajukan oleh seorang gadis remaja kepada seorang kakek berpakaian petani. Mereka berdua duduk di atas batu besar di sebuah lereng Gunung Hoa san yang terkenal indah pemandangan alamnya.
Kakek itu menundukkan kepalanya dan nampak berduka. Akan tetapi ia menjawab juga, “Bi Lan, mengapa kau selalu menanyakan hal itu? Orang tuamu tentu saja meninggal dunia karena sudah tua dan sampai saatnya meninggal dunia.”
“Kong kong, dahulu ketika aku masih kecil boleh kau membohongi aku seperti itu. Akan tetapi sekarang tak mungkin lagi. Bagaimana boleh jadi kedua orang tuaku mati karena usia tua, sedangkan kongkong sendiri yang lebih tua masih hidup? Tidak, kong kong orang tuaku tentu mati ketika mereka masih muda. Hayo ceritakan, kong kong, kalau tidak, aku akan marah!” Gadis itu membuang lagak manja dengan mata setengah terkatup tanda marah dan bibirnya yang manis cemberut.
Kakek yang sedang suram wajahnya itu ketika melihat lagak gadis ini menjadi tersenyum. Gadis ini merupakan cahaya matahari, baginya dan setiap kali gadis ini sajalah yang mampu mengusir kemuraman wajahnya dalam sekejap mata. Pembaca tentu sudah dapat menduga siapa adanya kakek ini. Memang, dia adalah Tan Seng, kakek tokoh Hoa san pai yang tangguh itu.
Di bagian pertama dari cerita ini telah dituturkan betapa Tan Seng tidak saja kehilangan anak perempuan dan mantunya, bahkan juga cucu tunggalnya, Go Ciang Le, telah lenyap diculik orang tanpa ia ketahui siapa penculiknya dan kemana perginya anak itu. Tadinya ia merasa putus asa dan tidak tahu untuk apa ia harus hidup lebih lama lagi. Akan tetapi kemudian ia teringat akan keturunan Liang Ti, murid keponakannya yang telah mengorbankan nyawa demi perjuangan suci.
Maka ia lalu mendatangi isteri Liang Ti, lalu membawa anak tunggal Liang Ti yang bernama Liang Bi Lan, dibawanya ke puncak Hoa san pai dan diserahkan kepada suci (kakak perempuan seperguruan) dan suheng suhengnya yang bertapa di puncak Hoa san. Adapun isteri Liang Ti kembali ke dusun orang tuanya, akan tetapi tiga tahun kemudian, janda yang bernasib malang ini membunuh diri karena dipaksa oleh seorang pembesar Kin yang mengadakan pembersihan di dusun orang tuanya.
Selama belasan tahun, Bi Lan mewarisi ilmu silat dari Hoa san pai dan boleh dikata untuk masa itu, murid terpandai dan yang banyak mewarisi ilmu silat Hoa san pai adalah Bi Lan! Memang masih ada beberapa orang suhengnya dan seorang suci. akan tetapi biarpun kepandaian mereka itu lebih masak, tetap saja Bi Lan seorang yang lebih banyak mewarisi ilmu ilmu paling rahasia dari Hoa san pai.
Tokoh tokoh Hoa san pai yang berkumpul di puncak Hoa san dan yang bersama sama menggembleng Bi Lan adalah empat orang. Pertama-tama adalah tokoh nomor satu atau yang tertua di Hoa san pada waktu itu, yakni Liang Gi Tojin yang lebih mementingkan ilmu bathin dari pada ilmu silat. Dari Liang Gi Cinjin, Bi Lan mewarisi lweekang yang tinggi dan juga pengetahuan bathin yang dalam. Kemudian orang ke dua adalah Liang Bi Suthai, yang berwatak keras akan tetapi yang memiliki ilmu silat paling lihai diantara saudara saudaranya. Orang ke tiga adalah sasterawan dan memang dahulunya ketika masih muda, kakek ini adalah seorang sasterawan yang gagal menempuh ujian! Namanya Kui Tek An, akan tetapi setelah ia menjadi pertapa, ia memakai nama Liang Tek Sianseng. Dan orang ke empat adalah Tan Seng sendiri yang berpakaian seperti seorang petani. Empat orang tokoh Hoa san pai ini menjadi guru dari Bi Lan, maka tidak mengherankan apabila sekarang nona ini telah menjadi seorang nona yang lihai ilmu silatnya.
Adapun suheng suhengnya (kakak seperguruan laki laki) atau suci (kakak seperguruan perempuan) dari Bi Lan adalah murid murid dari semua gurunya, yakni yang pertama bernama Lie Bu Tek murid dari Liang Gi Tojin yang telah meninggalkan perguruan empat tahun yang lalu. Ke dua adalah murid tunggal dari Liang Bi Suthai, seorang pendekar wanita bernama Ling In she Thio, seorang nona cantik bertubuh langsing tegap yang juga telah turun gunung kembali ke rumah orang tuanya di Biciu. Orang ke tiga adalah murid dari Liang Tek Sianseng, seorang pemuda bernama Gau Hok Seng dan yang bekerja sebagai seorang pianwsu di selatan.
Baiklah kita kembali kepada Bi Lan dan kakeknya, yakni Tan Seng yang pada pagi hari yang sejuk dan indah itu duduk di lereng bukit dan bercakap cakap setelah Tan Seng mengagumi latihan ilmu silat dari cucunya. Dengan gemblengan empat orang guru, Tan Seng percaya bahwa kini ilmu kepandaian Bi Lan tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaiannya sendiri. Ia maklum bahwa di dunia ini banyak sekali orang orang pandai yang menjadi penjahat, sehingga dia sendiri dahulu hampir celaka ketika dikeroyok oleh perwira perwira Kin yang dibantu oleh orang orang kang ouw yang menjadi penjilat dan pengkhianat bangsa.
Ketika untuk kesekian kalinya Bi Lan yang sebenarnya bukan cucunya sendiri itu bertanya tentang ayah bundanya, Tan Seng berpikir bahwa agaknya sudah tiba waktunya bagi Bi Lan untuk mendengar hal yang sesungguhnya tentang orang tuanya.
Nona ini tidak menjadi sedih mendengar tentang kematian ayahnya bahkan ia merasa bangga bahwa ayahnya tewas dalam pertempuran untuk membela bangsa. Kematian ibunya membuat ia menggertak gigi dan memaki, “Akan kuhancurkan kepala anjing anjing Kin itu !”
“Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk berusaha mengusir penjajah yang menguasai dan menjajah tanah air bagian utara, Bi Lan, akan tetapi kita tidak boleh menurutkan nafsu marah. Pada waktu ini pun rakyat masih terus menerus melakukan perlawanan dan pemberontakan dengan gigih. Nah, kewajibanmulah untuk membantu perjuangan mereka itu, demi kemerdekaan tanah air dan demi menjunjung tinggi nama Hoa san pai kita.”
Akan tetapi yang membuat nona itu paling berduka adalah kenyataan bahwa Tan Seng bukanlah kakeknya. Dan mendengar tentang riwayat Go Sik An, ia merasa kagum sekali.
“Kong kong,” sebutan ini sekarang terdengar agak ganjil olehnya. “ah… seharusnya aku menyebut sukong (kakek guru) karena aku... aku bukan cucumu,”
“Tidak begitu Bi Lan,” jawab Tan Seng terharu, sambil mengusap usap kepala gadis itu. “Biarpun kau bukan cucuku yang aseli akan tetapi bagiku kau adalah pengganti cucuku. Kau seterusnya sebutlah kong kong padaku, Bi Lan.” Suara kakek ini terdengar menggetar sehingga Bi Lan yang amat sayang kepada kakek ini, tidak tega untuk menolak permintaan ini.
“Jadi cucumu yang bernama Go Ciang Le itu lenyap diculik orang, kong kong?”
Tan Seng mengangguk, lalu menceritakan kejadian itu dengan singkat. “Sampai sekarang aku tidak tahu apakah Ciang Le masih hidup atau sudah mati dan juga masih belum kuketahui siapa sebenarnya yang telah menculik anak malang itu.”
“Heran sekali, kong kong, mengapa kau tidak bisa mencari orang yang melakukan perbuatan itu? Bukankah kong kong mempunyai banyak sekali sahabat di dunia kang ouw?”
Kakek ini mengangguk angguk, “Memang betul begitu, akan tetapi di dunia ini terdapat banyak sekali orang orang aneh dan orang orang sakti yang menyembunyikan diri. Kalau maksud penculik itu baik, mungkin cucuku itu kelak akan muncul sebagai seorang gagah perkasa, menjadi murid orang sakti. Akan tetapi kalau dia bermaksud buruk...” kakek ini tidak kuasa melanjutkan kata katanya, kemudian disambungnya pula, “akan tetapi, aku telah berpesan kepada kedua suhengmu dan sucimu untuk menyelidiki di mana sesungguhnya gua yang disebut Gua Pahlawan itu.”
Pada saat itu, dari kaki bukit Hoa san pai berlari lari naik seorang pemuda tinggi besar berbaju biru, bertopi biru dan bercelana putih. Pemuda ini memiliki wajah yang biasa disebut “toapan”, simpatik dan jujur. Tubuhnya kekar dan tegap membayangkan akan kebesaran tenaganya dan wajahnya yang bersih membayangkan kebersihan hatinya, ia melomoat lompat dan berlari cepat mempergunakan Ilmu Lari Cepat Cho sang hui (Terbang di Atas Rumput) yang dilakukan dengan amat mahirnya. Biarpun tubuhnya tinggi besar, namun ia seakan akan seekor kupu yang beterbangan tanpa menimbulkan suara berisik.
Inilah Gan Hok Seng, atau yang di daerahnya terkenal dengan sebutan Gan piauwsu, karena dia telah membuka sebuah perusahaan piauwkiok (ekspedisi) yang diberi nama Hui houw piauw kiok (Perusahaan Ekspedisi Macan Terbang) dan oleh karena nama perusahaannya inilah maka ia mendapat nama julukan Hui houw (Macan terbang). Seperli telah diceritakan di depan, Gan Hok Seng ini adalah murid dari Lian Tek Sian seng, sasterawan tokoh Hoa san pai itu.
Cara Hok Seng berlompatan dan berlari lari, membayangkan bahwa wataknya selain jujur dan polos juga amat gembira. Sayang nya bahwa pemuda ini agak dogol, yakni kurang cepat jalan pikirannya, sungguhpun ia bukan seorang bodoh, namun menghadapi perkara yang tiba tiba ia suka memperlihatkan sikap yang ketolol tololan.
Ketika ia tiba di lereng yang penuh rumput hijau tiba tiba ia mendengar suara angin dari belakang dan ketika ia menengok, ia melihat seorang hwesio, Pendeta Buddha bekepala gundul yang bertubuh tegap pendek berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun berlari cepat sekali, lebih cepat dari pada larinya sendiri. Karena hwesio itu agaknya hendak menuju ke kuil di puncak Hoa san, Gan Hok Seng lalu membalikkan tubuhnya menghadang hwesio itu yang juga segera berhenti melihat pemuda itu mengangkat tangannya.
“Selamat siang, twa suhu” tegur Hok Seng sambil tersenyum gembira dan memberi hormat dengan kedua tangannya diangkat ke dada. “Hendak ke manakah twa suhu agaknya amat tergesa gesa?”
Hwesio itu memandang dengan pandang mata menyelidik, kemudian balas bertanya, “Kau siapakah dan apa hubunganmu dengan Hoa san pai?”
Hok Seng tidak senang mendengar pertanyaan dan melihat sikap hwesio yang kasar ini, yang dianggapnya tidak sesuai untuk seorang pendeta. Akan tetapi Karena ia jujur, ia menjawab dan mencela dengan terus terang, “Ah tidak kusangka twa suhu demikian kasar seperti seorang kang-ouw buta huruf saja! Aku adalah murid Hoa san pai bernama Gan Hok Seng atau Gan piauwsu. ketua dari Hui houw piauwkiok.”
Hwesio itu mengangkat hidungnya dengan sikap memandang rendah sekali. “Hem, jadi kau ini masih murid Hoa san pai? Siapa gurumu? Si pemalas Liang Gi atau si nenek genit Liang Bi, ataukah si kutu buku Liang Tek? Atau barangkali petani busuk Tan Seng? Hayo kau beritahukan kepada pinceng, karena segala julukan Hui houw dan nama Hui houw piauwkiok, mana pinceng mengenalnya!”
Merahlah wajah Hok Seng. Dia memang masih muda baru dua puluh tiga tahun umur nya dan darahnya masih panas. Lagak hwesio ini benar benar amat menyebalkan hatinya. Gurunya Liang Tek Kian seng disebut kutu buku, twa supeknya disebut pemalas, bahkan sukouwnya disebut nenek genit dan susioknya disebut petani busuk!
“Eh, hwesio gendeng, mengapa kau datang datang memaki orang? Ketahuilah bahwa aku adalah murid dari Liang Tek Sianseng, guruku pernah bilang bahwa menilai hati orang dengar saja apa yang keluar dari mulutnya. Kau mengeluarkan omongan kotor dan hawa busuk maka mudah saja menerka bagaimana macamnya isi perutmu!”
Tiba tiba hwesio itu tertawa bergelak. “Sebetulnya memang malu harus ribut ribut dengan seorang tingkat rendah macam engkau ini, akan tetapi karena kau murid Liang Tek si kutu buku, biarlah pinceng lihat apakah kau juga menjadi kutu buku seperti gurumu.”
“Aku bukan kutu buku! Guruku telah mengajar ilmu silat tinggi kepadaku. Jangan kau memandang hina ilmu kepandaian dari Hoa san pai!” Hok Seng membentak, hampir tak dapat menahan marahnya lagi.
“Begitu? Nah, cobalah, bocah! Kalau kau bisa menahan sepuluh jurus seranganku, barulah aku percaya omonganmu.” Setelah berkata demikian, tiba tiba hwesio itu mengibaskan tangan bajunya yang lebar ke arah Hok Seng dalam Ilmu Pukulan Tui san ciang (Pukulan Mendorong Bukit) yang dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang.
Hok Seng merasa betapa angin dingin dan tajam menyambar mukanya, maka ia cepat menggeser kaki sambil miringkan tubuh untuk menghindarkan diri dari pukulan pertama ini. Akan tetapi tak terduga sama sekali bahwa pada saat itu juga, pukulan kedua dengan ujung lengan baju sebelah kiri telah menyusul ke arah pusarnya! Inilah pukulan yang amat berbahaya dan dapat membuat jiwa melayang. Hok Seng cepat melompat ke kiri, akan tetapi masih saja ujung lengan baju itu mengenai tubuh belakangnya sehingga terdengar bunyi berdebuk dan Hok Seng merasa betapa daging dan kulit di bagian belakang Itu panas dan pedas. Baiknya ia telah mengerahkan lweekang di bagian itu sehingga hanya terasa sakit saja tanpa menderita luka berat. Akan tetapi yang lebih menyakitkan hatinya adalah suara ketawa hwesio itu.
“Ha ha ha ha, tidak tahunya hanya sebegitu saja kebecusan murid dari si kutu buku! Ha ha ha, orang dogol! Lihat, kulit pantatmu kelihatan, apakah kau masih belum mau mengaku kalah dan berlutut di depan Tiauw It Hosiang yang bergelar It ci sinkang (Si Jari Lihai). Ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan tokoh dari Go bi pai!”
Hok Seng cepat melirik ke arah tubuh belakangnya dan benar saja, celananya yang putih itu telah hancur di bagian tubuh belakang sebelah kanan sehingga tampak kulit tubuh belakangnya yang putih dan agak kemerahan karena pukulan tadi. Ia menjadi mendongkol sekali dan secepat kilat tangannya bergerak kearah punggung, mengeluarkan sepasang poan koan pit (senjata seperti alat tulis pensil bulu). Poan koan pit di tangarnya ini memang senjatanya yang paling istimewa warisan dari suhunya yang memang amat ahli dalam mainkan poan koan pit, baik untuk menulis syair maupun untuk dipergunakan sebagai senjata. Poan koan pii di tangan kirinya berbulu pulih, dan di tangan kanannya berbulu hitam dan keras.
Melihat pemuda itu mengeluarkan senjata poan koan pit, Tiauw It Hosiang tertawa bergelak dan kelihatan ia geli sekali. “Ha ha ha benar benar si kutu buku telah membiak muridnya menjadi kutu buku kecil! Eh, bocah! Kau mengeluarkan pit, apakah kau hendak menulis sajak ataukah hendak melukis gambar? Ha ha ha!”
Hok Seng tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia cepat maju menggerakkan sepasang poan koan pit dan pit ditangan kiri yang berbulu putih itu cepat menusuk ke arah mata kanan lawannya, sedangkan pit berbulu hitam di tangan kanan menusuk dengan totokan ke arah jalan darah tai hwi hiat! Serangannya ini luar biasa hebatnya dan karena ia tahu akan kelihaian lawannya, maka sekali serang ia mengeluarkan gerak tipu yang di sebut Ji liong lo hui (Dua Ekor Naga Mengacau Laut).
Akan tetapi hwesio itu benar benar lihai dan memiliki gerak cepat sekali. Dan kali ia menggerakkan tangannya dan ujung lengan bajunya sekaligus dapat menangkis serangan poan koan pit bahkan ujung lengan baju itu hendak membelit senjata lawan untuk dirampasnya. Hok Seng sudah berlaku waspada dan karena ia tahu bahwa tenaga lweekang dari lawannya ini masih lebih tinggi diri pada tenaganya sendiri, maka ia tidak membiarkan poan koan pit nya dilibat oleh ujung lengan baju itu. Ia membetot kedua senjata sambil mengirim tendangan Soan hong twi yang bertubi tubi menyerang bagian tubuh yang paling berbahaya dari hwesio itu.
Kembali hwesio itu memperlihatkan kepandaiannya. Ia tidak mengelit atau menangkis tendangan tendangan itu dengan kedua tangan nya, melainkan menggerakkan kedua kakinya juga dan membarengi tendangan lawan untuk mengadu kaki! Dengan amat cepatnya ia menyambut kaki Hok Seng dengan dupakan kaki nya sehingga pemuda itu mengeluarkan teriakan kaget karena tubuhnya seakan akan di lemparkan ke belakang oleh tenaga yang amat hebat! Baiknya ia masih sadar dan dengan cepat ia menggertakkan tubuh yang terlempar di udara berjungkir balik membuat salto tiga kali dengan gerak tipu Kou liong hoan sin (Naga Siluman Berjungkir Balik). Dengan gerakan indah ini barulah ia dapat turun keatas tanah dengan baik dan dalam keadaan berdiri teguh.
“Bagus, sekarang kau harus roboh!” teriak Tiauw It Hosiang dan dengan cepat sekali tubuhnya melayang kearah pemuda itu dan melakukan serangan serangan hebat dengan kedua kepalan dibantu oleh ke dua lengan baju. Tidak hanya dua kepalan tangannya yang amat berbahaya, akan tetapi juga ujung lengan bajunya yang selalu mengadakan serangan menyilang dengan kepalan, merupakan bahaya besar.
Hok Seng benar benar kali ini merasa terkejut sekali. Kedua ujung lengan baju hwesio itu merupakan tandingan setimpal terhadap sepasang poan koan pitnya. Ke mana juga sepasang alat penotoknya menyerang, selalu terpental kembali karena kebutan kedua ujung lengan baju, adapun sepasang kepalan hwesio itu merupakan alat penyerang yang berbahaya dan hanya dapat ia hadapi dengan elakan elakan cepat. Akan tetapi segera ia terdesak mundur dan menjadi sibuk sekali berlompatan ke sana ke mari untuk menghindarkan diri dari bahaya maut.
Pada saat Hok Seng berada dalam bahaya, tiba tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dibarengi bentakan nyaring “Penjahat gundul jangan kau berani mengacau di Hoa san!”
Tiauw It Hosiang cepat melompat mundur dan menyampok sinar pedang yang mengarah pundaknya itu dengan ujung lengan bajunya. Akan tetapi sebelum lengan bajunya mengenai pedang, senjata itu telah dibelokkan dan sekarang tanpa tertunda lagi telah maju menusuk ke arah lambungnya. Hwesio ini kaget juga dan tahu bahwa penyerang baru ini memiliki kegesitan yang lebih tinggi daripada Hok Seng. Ia segera melompat satu setengah tombak ke belakang, lalu memandang. Ternyata yang datang adalah seorang wanita yang cantik bertubuh tinggi langsing dan tegap, berwajah segar kemerahan bagaikan kembang botan yang sedang mekar.
“Suci…!” Hok Seng menegur dan gadis itu berpaling lalu tersenyum ramah kepadanya Kemudian gadis yang baru datang ini, yaitu kakak seperguruan dari Hok Seng atau murid dari Liang Bi suthay yang bernama Thio Ling In, menudingkan pedangnya kepada Tiauw It Hosiang sambil bertanya, “Kau ini hwesio dari manakah? Apakah tidak tahu bahwa di sini Gunung Hoa san dan menjadi daerah dari Hoa san pai? Mengapa kau mengandalkan sedikit kepandaian untuk mengacau?”
Tiauw It Hosiang tertawa bergelak dan karena ia tertawa sambil menggerakkan khikangnya, maka suara ketawa nya terdengar bergema sampai jauh. Pada saat itu, dari bawah berlari naik seorang pemuda pula, seorang pemuda yang bermuka putih dan gagah sekali. Pakaiannya bersih dan indah dan sikapnya patut sekali kalau ia menjadi seorang pendekar besar. Dia ini bukan lain adalah Lie Bu Tek, murid dari Liang Gi Tojin, atau murid tertua dan Hoa san pai. Ia tadi memang ber sama sama Thio Lin ln, hanya sumoinya ini yang tidak sabar telah berlari lari naik mendahuluinya.
Ketika melihat pemuda ini, Tiauw It Hosiang segera menudingkan telunjuknya sambil bertanya, “Apakah yang datang inipun seorang murid Hoa san pai juga?”
Dari jauh Lie Bu Tek sudah mendengar suara ketawa hwesio ini dan dia merasa tak senang sekali melihat lagak hwesio yang amat sombong ini, maka katanya tegas. “Aku memang murid Hoa san pai bernama Lie Bu Tek. Tidak tahu siapakah kau dan apa maksudmu datang di gunung kami?”
“Ha ha ha! Murid murid Hoa san pai memang galak galak! Jika geledek bersuara keras takkan turun hujan dan jika gentong berbunyi nyaring, tanda ia kosong! Murid murid Hoa san pai bermulut besar bersuara keras tanda kosong pengetahuannya!”
“Eh, eh, hwesio gundul gila!” Thio Ling In memaki marah. Gadis ini memang mempunyai watak keras seperti gurunya. “Kau ini datang datang mencari perkara, apakah sudah bosan hidup?”
“Suci, dia adalah Tiauw It Hosiang berjuluk It ci sinkang dari Gobi san. Memang dia datang datang menyerangku dan sengaja mencari perkara. Tak usah banyak bicara dengan dia, mari kita tangkap dia untuk diseret ke depan guru guru kita!”
Kembali hwesio itu mentertawakan mereka. Lie Bu Tek menjadi gemas sekali. Pemuda yang usianya sudah dua puluh lima tahun lebih ini telah merantau dan memiliki pengalaman luas, juga dengan kepandaiannya, ia telah memperoleh nama besar. Kini menghadapi hwesio Go bi pai ini, tentu saja ia tidak menjadi takut dan marahlah ia melihat kekurangajaran hwesio ini.
“Sute, sumoi, biarkan aku mencoba kepandaian hwesio ini,” katanya, kemudian dengan sekali lompatan saja ia telah berada di depan Tiauw It Hosiang. Hwesio ini melihat gerakan orang tahu bahwa ia menghadapi seorang ahli yang tidak boleh dipandang ringan, maka ia hentikan senyumnya dan memasang kuda kuda.
“Bagus, kau murid tertua dari Hoa san pai? Majulah, hendak kulihat sampai di mana tua bangka tua bangka di puncak Hoa san itu memberi pelajaran kepadamu.”
“Hwesio, mulutmu terlalu kotor!” bentak Lie Bu Tek yang cepat maju menyerang dengan kepalan tangan kanannya. Pukulannya dilakukan dengan cepat dan mantap, membawa tenaga yang luar biasa kuatnya.
Melihat cara pemuda ini memukul, Tiauw lt Hosiang tidak berani main main lagi. Ia cepat mengelak ke kiri dai membalas kontan dengan tendangan ke arah perut Lie Bu Tek. Akan tetapi pemuda Hoa san pai inipun tidak gugup dan cepat ia menggunakan tangan tadi ditarik ke bawah dan menggunakan sikunya untuk menangkis tendangan ini. Pukulan dengan siku tangan kanan ini merupakan totokan ke arah jalan darah pada mata kaki, maka Tiauw It Hosiang cepat menarik kembali kakinya dan kini kedua ujung lengan bajunya menyambar dari kanan kiri mengarah kedua telinga Lie Bu Tek!
Pemuda ini cepat menggunakan gerakan Liang tho lian kai (Dua Bunga Teratai Mekar), kedua tangannya bergerak dari pinggang ke atas dan berhasil menanakis sambaran ujung lengan baju. Lie Bu Tek merasa betapa lengannya tergetar dan Tiauw It Hosiang melihat betapa kedua lengan bajunya terpental ke belakang.
“Bagus, berisi juga kau!” kata hwesio itu yang melangkah mundur tiga tindak, kemudian ia menggerak gerakkan kedua lengannya. Tiba tiba dadanya mengempis dan perutnya mengembung, mukanya menjadi pucat dan matanya tak pernah berkedip memandang ke depan. Dengan langkah perlahan ia lalu maju menghampiri Lie Bu Tek dengan kedua tangan terkepal, akan tetapi jari telunjuknya lurus keluar. Inilah Ilmu Silat lt ci tiam hwelouw (Ilmu Totok Satu Jari) atau It ci ciang (Pukulan Satu Jari) yang menjadi kebanggaan dan yang membuat namanya terkenal di dunia kang-ouw. Ilmu silat ini benar benar luar biasa karena seluruh gerakan berdasarkan lweekang yang berbahaya. Gerakannya menang perlahan saja, akan tetapi daya pukulannya amat lihai, sukar sekali dilawan, apa lagi oleh orang yang ilmu kepandaian atau tenaga lweekangnya masih rendah, Sebetulnya apabila tidak menghadapi lawan tangguh, Tiauw It Hosiang tidak mau mengeluarkan kepandaian simpanannya ini. Sekarang ia hendak mengalahkan lawannya cepat cepat, maka ia mengeluarkan It ci tiam hwelouw.
Lie Bu Tek terkejut. Sebagai seorang yang banyak merantau, ia maklum akan kehebatan lawannya ini iapun telah melatih diri dan memiliki lweekang yang tinggi, maka tentu saja ia tidak gentar dan menghadapi lawannya dengan tabah. Akan tetapi ia maklum jika kali ini tidak dapat mengalahkan lawan nya, pasti ia akan terluka hebat! Gan Hok Seng dan Thio Ling In juga maklum akan hal ini, maka mereka memandang dengan hati berdebar dan gelisah.
Pada saat itu, tiba tiba terdengar suara ketawa terkekeh yang merdu sekali, lalu disusul oleh suara yang jenaka, “Eh kau ini orang gundul apakah hendak meniru seekor kepiting? Kepalamu gundul licin, dada kempis perut kembung, telunjuk menuding, apa apaan sih? Sungguh amat lucu, anak anak bukan, orang tuapun tak pantas !”
Saking marah dan mendongkolnya mendengar olok olok ini, Tiauw lt Hosiang tidak jadi menyerang Lie Bu Tek menyimpan kembali tenaga lweekangnya sehingga perutnya mengempis kembali dan dadanya mekar. Ia cepat cepat menoleh dan entah dari mana datangnya, tahu tahu di sebelah kanannya telah berdiri seorang gadis amat cantik dan usianya baru belasan tahun. Gadis itu berdiri dengan kedua alis diangkat tinggi, mata memandang lucu dan bibirnya menahan geli hati yang membuatnya tertawa terkekeh. Di belakangnya berdiri seorang kakek berpakaian petani, maka tahulah Tiauw It Hosiang bahwa ia berhadapan dengan orang keempat dari tokoh tokoh Hoa san pai lalu ia menjura kepada Tan Seng yang berdiri di belakang Bi lan.
“Susiok!” Lie Bu Tek, Gin Hok Seng, dan Thio Ling In memberi hormat kepada Tan Seng yang menganguk angguk kepada mereka.
Adapun Bi Lan lalu menghampiri Ling In sambil berlari lari, kemudian memeluk gadis itu sambil berkata, “Enci Ling In mengapa begitu lama kau baru muncul? Ji wi suheng, kalian tidak bertambah besar, masih sama seperti dulu !”
Kedua suheng itu tersenyum gembira. “Kau yang sekarang telah menjadi besar benar benar telah menjadi seorang dara yang cantik, bukan begitu sute?” kata Lie Bu Tek kepada Gan Hok Seng yang semenjak tadi menatap wajah Bi Lan dengan kagum terheran heran.
“Kalau bertemu berdua di jalan, tentu aku takkan mengenalmu, sumoi. Kau benar benar berubah!” akhirnya Hok Seng berkata dan pujian kedua suhengnya ini membuat wajah Bi Lan beseri seri.
Sementara itu Tiauw It Hosiang yang menjura kepada Tan Seng berkata, “Kebetulan sekali kau turun! Bukankah pinceng berhadapan dengan Tan Seng lo enghiong, tokoh ke empat dari Hoa san pai, bukan dari murid muridnya yang kosong melompong hanya pandai menyombong saja!”
Tan Seng bersikap sabar dan hendak merendahkan diri, akan tetapi tiba tiba Bi Lan melompat ke depan hwesio itu dan menudingkan jari telunjuknya hampir mengenai hidung Tiauw It Hosiang Hwesio ini cepat melangkah mundur, karena tentu saja ia tidak sudi hidungnya ditunjuk tunjuk oleh nona kecil Ini.
“Eh, hwesio pemotong babi, kau bilang apa tadi? Kau bilang datang hendak minta tambah pengertian, akan tetapi mengapa kau memaki maki murid Hoa san pai! Tadipun kau berani mempermainkan saudara saudaraku, berani pula membadut dan hendak berjoget tari kepiting, apa apaan sih kau ini? Orang seperti kau tidak berharga untuk bicara dengan kami, hayo kau pergi dari sini!”
Setelah berkata demikian Bi Lan lalu menggunakan tangan kanannya yang jari jarinya dibuka untuk mendorong dada hwesio itu, Tiauw It Hosiang tentu saja memandang rendah gadis ini dan melihat kejenakaan Bi Lan, dan karena mendongkol juga dihina oleh gadis cilik ini, ia bermaksud hendak mempermainkan Bi Lan dan membikin malu. Demikianlah, ketika tangan nona itu mendorong ke arah dadanya, ia lalu mengulur tangan kanan untuk menyambut lengan itu dan hendak ditangkap pergelangan tangannya.
Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika jari jari tangan Bi Lan yang mendorongnya itu tiba tiba saja menukik ke bawah dengan pergelangan tangan ditekuk secara mendadak, dan dua buah jari tangan gadis itu dengan tepat sekali menotok ke arah jalan darah pada pergelangan tangannya! Tiauw It Hosiang cepat menarik kembali tangannya,, akan tetapi pada saat itu tangan kiri gadis yang jenaka ini telah mendorong dadanya. Tiauw It Ho siang mempertahankan diri, akan tetapi dorongan itu selain tiba tiba dan tak terduga datangnya, juga tenaga yang dipergunakan luar biasa besarnya sehingga biarpun tidak terjengkang ke belakang, tubuh hwesio itu telah terhuyung huyung ke belakang sampai lima tindak!
“Eh eh, kau masih tidak mau pergi?” bentak Bi Lan sambil pelototkan mata dan bertolak pinggang, lagaknya seperti sedang menegur seorang anak kecil yang nakal. “Apakah mau tunggu sampai aku menjewer telingamu?”
Selama Tiauw It Hosiang menjadi tokoh ke tiga dari Go bi pai, yakni sudah lebih lima tahun, di manapun dia berada belum pernah hwesio ini mengalami hinaan orang seperti yang telah dihadapinya sekarang. Dara remaja yang usianya baru belasan tahun ini, yang nampak lemah lembut karena kulitnya halus seperti sutera dan wajahnya cantik jelita seperti bidadari, telah berani mempermainkan nya dan menghinanya dengan cara yang hebat sekali.
“Tan Seng lo enghiong,” katanya dengan suara menggigil saking marahnya kepada gadis itu, “kalau kau tidak menyuruh pergi gadis liar ini dan tidak menyuruh dia minta ampun kepadaku, jangan salahkan pinceng turun tangan menghajarnya!”
“Bi Lan, jangan main main dengan It ci sinkang Tiauw It Hosiang, dia adalah tokoh besar ke tiga dari Go bi pai!” kata Tan Seng setengah mengejek hwesio yang sombong itu tanpa minta gadis itu mengundurkan diri. Memang Tan Seng kakek petani ini sengaja hendak melihat sampai di mana keberanian dan kepandaian cucunya yang tercinta, dan sampai di mana pula kesombongan hwesio itu. Kalau kiranya gadis itu nanti terancam bahaya, baru ia hendak turun tangan membantu.
“Kong kong, jangan kata baru satu jarinya yang lihai (it ci), biarpun dua puluh jari tangan dan kakinya semua lihai, tidak seharusnya ia main gila di Hoa san! Jangankan baru tokoh ke tiga, biar tokoh terbesar sekalipun harus menaruh hormat kepada Hoa san pai! Aku takkan minta ampun sebelum dia yang lebih dulu berlutut minta ampun kepada kong kong karena tadi telah berani menghina anak murid Hoa san pai.” Sambil berkala demikian kembali ia menghadapi hwesio itu dengan kedua tangan bertolak pinggang dan dengan sikap menantang sekali.
“Sumoi, jangan main main. Dia lihai sekali!” kata Gan Hok Seng memperingatkan sumoinya karena peauwsu muda ini tadi telah merasakan sendiri kelihaian hwesio itu.
“Sumoi, biar susiok menghadapinya, jangan main main!” Lie Bu Tek juga memperingatkan, karena tiga tabun yang lalu, ketika ia hendak meninggalkan perguruan, sumoinya yang paling kecil ini kepandaiannya masih di bawah tingkatnya sendiri. Sedangkan dia sebagai murid pertama dari Hoa san pai yang sudah banyak merantau dan berpengalaman, masih tidak kuat menghadapi hwesio ini, apalagi sumoinya yang cantik dan jenaka ini?
Adapun Thio Ling In, gadis murid Liang Bi Suthai yang juga memiliki watak jenaka akan tetapi keras, melihat betapa sumoinya berani mempermainkan Tiauw It Hosiang tertawa geli dan berkata kepada Tan Seng, “Susiok, biarkan teecu membantu sumoi menghadapi si gundul sombong ini !”
“Tak usah, suci, tak usah! Orang macam ini saja perlu apa harus kau sendiri turun tangan? Cukup dihadapi murid termuda dari Hoa san pai! Nah, Tiauw It Hosiang, kau hendak berkata apa sekarang?” Bi Lan kembali mengejek hwesio itu.
Kulit muka hwesio itu sebentar menjadi merah sampai ke kepalanya dan sebentar pula menjadi sangat pucat saking menahan marahnya. “Kau... kau... akan kubunuh kau...” hanya ini yang dapat keluar dari mulutnya dengan dada terengah engah, kemudian ia mengumpulkan tenaganya, menggerak gerakkan kedua tangannya. Seperti tadi ketika menghadapi Lie Bu Tek, dadanya mengempis dan perutnya mengembung, mukanya pucat dan sepasang matanya melotot memandang kepada Bi Lan! Ia melangkah maju dengan kedua tangan terkepal akan tetapi jari telunjuknya lurus keluar. Saking marahnya, menghadapi anak dara ini Tiauw It Hosiang tidak segan segan mengeluarkan ilmunya yang paling dibanggakan dan diandalkan, yakni It ci tiam hwelouw yang jarang sekali gagal dalam menghadapi lawan tangguh.
Lie Bu Tek menjadi pucat ketika melihat ini, juga Thio Ling In dan Gan Hok Seng memandang dengan hati berdebar debar dan diam diam mereka menyesali sumoinya yang dianggap terlalu sembrono itu. Hanya Tan Seng seorang yang masih tenang tenang saja. Bagaimana sikap Bi Lan sendiri? Sungguh mengherankan, gadis ini bahkan mentertawakan Tiauw It Hosiang. Ia tertawa tawa sambil menutup mulut dengan tangan kirinya, sama sekali tidak memasang kuda kuda untuk menghadapi serangan lawan.
“Aha, badut gundul, kembali kau berjoget kepiting!”
Tiauw It Hosiang mengeluarkan bentakan parau menyeramkan dan tubuhnya menubruk maju, melakukan serangan dengan kedua jari telunjuknya yang kiri menotok jalan darah Hong sai hiat di lutut kanan, sedangkan jari kanan menotok jalan darah Kiam ceng hiat di pundak kiri nona itu! Memang luar biasa dan hebat sekali serangan beruntun yang hampir berbareng telah menyerang bagian bagian tubuh yang berjauhan ini.
“Ayaaa! Tidak tahunya kepiting gnndul ini galak!” dengan amat lincahnya Bi Lan mengelak ke belakang menghindarkan serangan totokan yang lihai itu. Gerakannya tadi ketika mengelak adalah gerakan dari langkah kaki yang disebut Tui po lian hoan (Gerakan Kaki Mundur Berantai). Ketiga kakak seperguruannya tentu saja sudah mempelajari Tui po lian hoan, akan tetapi mereka merasa kagum sekali ketika menyaksikan betapa gerakan kaki ini dapat dipergunakan untuk menghindarkan diri dari serangan yang demikian berbahaya. Di samping itu, Bi Lan masih bisa mengeluarkan kata kata ejekan pula!
“Mampus kau!” Tiauw It Hosiang dengan marah menyerang terus tanpa memberi kesempatan kepada lawannya. Kini kaki kanannya menendang dari bawah ke arah pusar sedangkan dua telunjuknya melakukan totokan berbareng ke arah leher dan ulu hati. Dengan demikian, maka sekaligus ada tiga serangan yang mengancam diri Bi Lan
Dengan bibir masih tersenyum manis, Bi Lan menghadapi serangan maut ini dengan gerak tipu Ouw po lat kiang (Menggeser Kaki Menarik Busur). Gerakan ini indah sekali karena sambil mengelak dari tendangan kaki lawan, kedua tangannya bergerak maju dan sekaligus ia menyambut totokan lawan dengan mendahuluinya menotok ke arah sambungan siku!
Kembali Lie Bu Tek dan dua orang adik seperguruannya melongong, karena biarpun mereka telah mempelajari gerak tipu Ouw po lat kiang ini, namun harus mereka akui bahwa gerakan mereka takkan secepat dan setepat itu. Ketika mereka melirik ke arah susiok mereka, Tan Seng hanya mengangguk angguk puas dan nampaknya juga kagum dan gembira sekali!
Tentu saja Tiauw It Hosiang tidak mau membiarkan sambungan sikunya ditotok lawan, maka cepat ia menarik kembali kedua tangannya. Akan tetapi sekarang Bi Lan tidak mau memberi hati dan memberi kesempatan kepada lawannya untuk menyerang terus, ia membalas dengan serangan serangan hebat pula dan yang ia pergunakan untuk menyerang adalah Pukulan Hun kai ciang hwat (Pukulan Memecah dan Membuka). Memang pukulan ini tepat sekali untuk menghadapi lt ci tiam hwelouw sehingga pertempuran berjalan luar biasa ramainya. Tentu saja dara yang masih hijau belum berpengalaman itu kalah dalam hal tenaga dan kemahiran kaki tangan, akan tetapi tak dapat disangkal pula bahwa Bi Lan menang dalam kegesitan, ketabahan dan ketenangan. Benar benar amat mengagumkan betapa dara itu mempermainkan Tiauw It Hosiang seperti seorang dewasa mempermainkan seorang anak kecil saja!
Pertempuran telah berlangsung empat puluh jurus lebih dan belum juga Tiauw It Hosiang mengalahkan atau mendesak gadis itu! Hal ini benar benar membuat dada hwesio itu hampir meledak saking marah dan penasaran, ia sengaja datang untuk menantang empat tokoh dari Hoa san pai, dan kini menghadapi murid termuda dari Hoa san pai saja, sampai kepalanya yang licin itu berpeluh belum juga ia dapat mengalahkannya! Ia mengeluarkan suara seperti seekor biruang marah, lalu merobah ilmu silatnya dan kini setiap pukulannya ditujukan untuk membunuh...!
Demikianlah, seperti yang telah dituturkan di bagian depan, Ciang Le tiba di lereng bukit sebelah selatan. Hari telah mulai menjadi gelap ketika ia tiba di dalam dusun di selatan puncak itu. Heranlah ia ketika melihat betapa semua pintu rumah di dalam dusun itu telah ditutup rapat rapat dan tak seorangpun manusia kelihatan berada di luar rumah.
Ciang Le tidak takut untuk tidur di mana saja, biar di atas dahan pohon sekalipun, akan tetapi kali ini ia ingin bercakap cakap dengan orang lain dan bertemu dengari penduduk dusun. Maka, diketoknya pintu rumah pertama. Tak ada yang menyahut, dan telinganya yang tajam mendengar suara yang orang berbisik bisik ketakutan dan kemudian diam, tanda bahwa tuan rumah sengaja tidak mau menjawab dan bersembunyi ketakutan.
Ciang Le tidak putus asa dan mengetuk pintu rumah berikutnya. Sama saja. Makin heranlah dia. Begini tak sopankah penduduk di dusun ini? Ia telah mendengar tentang peradaban dan kesopanan dari kedua suhunya, dan sama sekali tidak pernah mengira bahwa ada orang orang yang tidak mau menjawab!
Ia tahu bahwa di dalam setiap dusun tentu ada kepala dusunnya, maka ia lalu berjalan jalan di dalam dusun itu, mencari rumah yang terbaik dan terbesar. Rumah kepala dusun pasti yang besar dan terbaik, pikirnya dan pada saat seperti itu, semua penuturan suhunya terbayang dalam ingatannya.
Akhirnya sampai juga di depan sebuah rumah yang besar dan paling mewah diantara semua rumah di situ. Ia lalu melangkah maju sampai di depan pintu dan mengetuk daun pintu beberapa kali. Kembali tidak ada jawaban, akan tetapi Ciang Le yang berpendengaran tajam dapat mendengar bahwa ada sedikitnya sepuluh orang datang mendekati pintu dan mengintip dari dalam! Akan tetapi ia berpura pura tidak tahu dan mengetuk pintu lagi sambil berkata keras.
“Sungguh mengherankan, mengapa seluruh dusun menutup pintu pada hari sesore ini? Apakah tidak ada yang sudi menolong seorang perantau yang Kemalaman di jalan?”
Tiba tiba pintu besar terbuka dan dua belas orang laki laki yang berpakaian sebagai penjaga kampung melompat keluar dengan senjata tajam di tangan! Ketika mereka keluar, dari penerangan lampu yang bersinar di halaman rumah, Ciang Le melihat wajah mereka ketakutan, akan tatapi kini mereka agaknya lega setelah melihat siapa orangnya yang mengetuk pintu. Namun, masih saja dua belas orang penjaga itu memandang dengan penuh kecurigaan dan kewaspadaan.
Setelah mengamat amati keadaan Ciang Le dan melihat ke arah gagang pedangnya di pundak, orang tertua yang brewokan lalu melangkah maju dan mengangkat tangan memberi hormat sambil bertanya. “Siangkong siapa dan dari manakah?”
Ciang Le tersenyum girang mendengar suara ini. Alangkah merdunya suara orang lain yang sudah bertahun tahun dirindukannya! Ia cepat menjura dengan hormat kepada semua orang itu dan berkata dengan halus. “Mohon maaf sebesarnya apabila siauwte mengganggu cuwi sekalian di waktu malam. Sesungguhnya siauwte adalah seorang perantau yang kemalaman dan ingin sekali siauwte mencari rumah penginapan di dusun yang indah ini. Akan tetapi sayangnya, setiap rumah tertutup dan ketika siauwte mencoba untuk mengetuk pintu guna minta keterangan, tak seorangpun mau menjawab.”
Tiba tiba sikap orang brewokan itu menjadi ramah dan cepat ia berkata, “Siangkong, silakan masuk dan bermalam di rumah kepala kampung saja. Tak baik kita bicara di luar dalam saat seperti ini.”
“Mana siauwte berani mengganggu rumah chung cu (kepala kampung)?”
“Masuk sajalah, siangkon. Aku sendirilah kepala kampung di dusun ini. Di sini tidak ada rumah penginapan dan kurasa takkan ada orang yan berani membuka pintu di waktu malam hari.”
Ciang Le menjadi tertarik hatinya. Kalau tidak ada orang berani membuka pintu di waktu malam, tentu terjadi sesuatu yang hebat. Tentu ada bahaya mengancam penduduk dan inilah yang dicarinya! Ia harus mencari kesempatan untuk mengulurkan tangan menolong sesama manusia. Tanpa banyak cakap dan see ji (sungkan) lagi ia lain mengikuti mereka memasuki pintu besar yang cepat ditutup lagi dari sebelah dalam.
Kepala kampung itu ternyata adalah seorang yang amat peramah. Belum juga mengenal siapa nama dan di mana tempat tinggal tamunya, ia telah memberi perintah kepada pelayan untuk mengeluarkan hidangan dan menemani tamunya di ruang dalam. Ciang Le merasa berterima kasih sekali. Itu adalah makanan pertama yang dirasakannya semenjak meninggalkan gua. Di dalam gua, ia hanya makan buah buah dan daging dipanggang biasa saja, maka tidak mengherankan apabila hidangan kepala kampung yang sebenarnya amat sederhana itu terasa lezat dan baginya merupakan hidangan raja!
Ketika disuguhi arak dan minum arak keras, hampir saja ia tersedak karena selama hidup nya Ciang Le belum pernah minum arak. Akan tetapi baiknya ia memilki lweekang dan khi kang yang tinggi. Cepat ia menutup jalan pernapasannya mendorong hawa arak keluar dari dalam perutnya untuk dikeluarkan kembali melalui mulutnya sehingga hawa arak yang memabokkan itu tidak mengganggunya. Dengan jalan ini biarpun ia harus menghabiskan seguci arak ia takkan terpengaruh.
Setelah sisa makanan diambil oleh pelayan, kepala kampung mengajak Ciang Le bercakap cakap di ruang depan di mana berkumpul pula sebelas orang penjaga. Dari percakapan mereka, tahulah Ciang Le bahwa mereka itu adalah orang orang yang dianggap paling kuat didusun itu yang sengaja berkumpul di rumah kepala dusun untuk menjaga sesuatu yang mengancam.
“Chung cu, sesungguhnya rahasia apakah yang meliputi dusun ini? Siauwte merasa seakan akan ada sesuatu yang membuat semua penduduk merasa gelisah.”
Kepala kampung yang brewokan itu memandang wajah Ciang Le seperti orang menyelidik, lalu mengerling sebentar ke arah gagang pedang pemuda itu, kemudian menarik napas panjang seperti orang putus asa. “Apa gunanya diceritakan? Siangkong, menceritakan hal ini tidak ada baiknya, bahkan menambah besar bahaya yang mengancam.”
Ciang Le menjadi tak sabar, ia tahu bahwa kepala dusun ini memandang rendah kepadanya dan menganggap bahwa dia takkan dapat menolong, maka percuma saja diceritakan juga.
“Chungcu, percayalah, kalau benar benar ada yang mengganggu dusunmu ini dan menyusahkan kau dan pendudukmu, aku akan membasminya!”
Kepala kampung itu memandang tajam dan di sana sini terdengar suara orang tertawa kecil. Ciang Le maklum bahwa kepala kampung dan orang orang yang berada di situ tidak percaya kepadanya.
“Siangkong, kau baik sekali! Akan tetapi, kenapa kau hendak menolong kami? Tahukah kau bahwa menolong kami berarti mengorbankan nyawamu yang masih muda?”
“Biarpun harus mengorbankan nyawa, aku bersedia, chungcu!”
“Kenapa? Kenapa kau begitu mati-matian hendak menolong kami?”
“Kenapa??” Ciang Le mengulang kata kata ini seakan akan ini adalah pertanyaan yang aneh “Karena kau adalah orang baik dan kau telah menerima siauwte dengan ramah tamah, telah menghidangkan makanan dan memberi tempat beristirahat.”
Kepala kampung itu menarik napas panjang. “Terima kasih, siangkong. Kalau hanya berdasarkan kebaikan hatimu dan mengandalkan keberanianmu saja takkan ada gunanya, bahkan membuang nyawamu dengan sia sia belaka. Memang dusun kami telah mendapat gangguan hebat selama sepekan ini, akan tetapi pengganggunya bukan sembarang manusia, melainkan siluman-siluman jahat!”
Semenjak kecil Ciang Le hidap di dalam gua yang penuh tengkorak manusia, bahkan kedua orang suhunya juga bernama Iblis! Ia tetap tersenyum tenang lalu bertanya, “Siluman macam apakah yang menggangu, chungcu? Ceritakan yang jelas agar mudah aku mencari dan membasminya.”
Pada saat itu, terdengar suara gemuruh dan diantara suara seperti angin keras itu terdengar pekik mengerikan.
”Kepala kompung tolol! Lagi lagi kau berani tidak memenuhi permintaanku? Sekarang cucumu sendiri hendak kuambil!”
Menyusul suara ini, terdengar suara keras pada pintu besar di depan rumah itu serasa tergetar, kemudian pintu itu runtuh ke dalam seperti terdorong oleh tenaga raksasa! Dan di ambang pintu muncul seorang yang bertubuh tinggi kurus dan kedua tangannya sampai ke siku berbulu. Gerakan orang ini cepat sekali sehingga sukar untuk melihat wajahnya dengan nyata. Akan tetapi, bagi Ciang Le yang memiliki kepandian tinggi, ia dapat melihat dan ternyata olehnya bahwa orang itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, berwajah biasa saja hanya sepasang matanya terputar putar tanda bahwa otaknya kurang beres! Namun harus diakui nya bahwa orang tua itu memiliki ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi. Sementara itu, kepala kampung dan para penjaga telah menjadi pucat dan tubuh mereka menggigil. Apalagi ketika kepala kampung mendengar betapa siluman ini hendak mengambil cucunya yang disayangnya!
“Jangan... jangan ganggu cucuku...” Katanya dengan suara gemetar, yang disusul oleh suara ketawa menyeramkan dari orang siluman itu.
Dengan gerakan seperti kilat menyambar, siluman itu melompat hendak masuk ke dalam rumah. Akan tetapi tiba tiba melayang sinar putih mengkilap ke arah tubuhnya.
“Aaaahh...” orang itu menjerit kesakitan dan cepat ia memandang benda yang telah mengenai tubuhnya dan yang kini telah menggelinding pecah di atas lantai. Ternyata bahwa benda itu adalah sebuah cawan arak yang tadi dipegang oleh Ciang Le. Pemuda inipun terheran ketika melihat betapa orang gila itu tidak roboh oleh sambitannya. Ia telah menyambit dengan menggunakan ilmu Sambit Pek po coan ang (Menyambit Tepat Dalam Jarak Seratus Kaki) dan tahu bahwa sambitannya itu biarpun hanya dengan cawan arak, namun tepat mengenai jalan darah Tai hwi hiat yang sudah cukup untuk merobohkan seorang bagaimana gagahpun. Akan tetapi orang iai hanya menjerit kesakitan dan tidak roboh. Oleh karena itu, cepat Ciang Le lalu melompat dan ia telah berdiri di depan siluman itu.
Orang tinggi kurus yang bermata liar ini memandang dengan marah sekali kepada Ciang Le, seakan akan menyelidik dan hendak mengetahui siapakah pemuda tampan yang dapat menyambitkan cawan arak selihai itu. Akan tetapi ia tidak mengenal Ciang Le, maka sambil menegereng seperti seekor harimau, ia lalu meneabut sebatang ranting pohon bambu berwarna kuning berbintik bintik hijau. Ciang Le sebagai seorang ahli dapat mengetahui bahwa orang yang mainkan senjata kecil dan lemah, bahkan adalah orang yang paling berbahaya dan sukar untuk dilawan. Kalau saja lawannya itu mengeluarkan senjata yang besar dan berat ia masih akan memandang ringan. Akan tetapi kini siluman itu mengeluarkan senjata yang hanya sebesar jari tangan dan panjangnya tiga kaki, juga amat lemas. Terpaksa untuk menjaga segala kemungkinan karena tahu lawannya amat lihai, pemuda ini lalu mencabut pedang Kim kong kiam.
Anehnya, melihat pedang yang mengeluarkan cahaya emas itu. siluman tadi nampak terkejut sekali dan melompat mundur dua kali. Kemudian, sambil memperdengarkan suara pekik seperti tangis yang menyayat hati ia lalu berkelebat keluar dari pintu dan lenyap di dalam gelap malam. Kepala kampung dan para penjaga menyaksikan semua kejadian ini dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Kemudian setelah iblis itu pergi, kepala kampung lalu menghampiri Ciang Le yang masih berdiri dengan pedang di tangan, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda agah itu, diturut oleh semua penjaga.
“Eh, eh, jangan begitu. Chungcu. Harap cu wi sekalian berdiri dan lebih baik ceritakanlah kepada siauwte apa yang telah terjadi dan siapakah orang gila itu tadi!”
Akan tetapi kepala Lampung dan sebelas orang penjaga tidak mau berdiri dan tetap berlulut. “Agaknya Thian Yang Maha Kuasa telah mengutus taihiap (tuan pendekar besar) untuk menolong kami. Terima kasih, taihiap dan mohon jangan kepalang menolong kami dan dapat membersihkan semua bahaya yang mengancam.”
Ketika masih tinggal di dalam guha, guru-gurunya seringkali memberi peringatan kepada Ciang Le agar supaya berhati hati menghadapi omongan yang manis dan merendah karena di dalam segala gerak gerik dan omongan orang yang terlalu manis atau terlalu merendah seakan-akan dilebih lebihkan, tersembunyi maksud yang jahat dan curang. Kini melihat sikap kepala kampung, ia teringat akan nasihat guru-gurunya itu sehingga timbul perasaan tidak senang padanya.
“Bangunlah kalian!” serunya sambil membanting kakinya di atas lantai. Bantingan kaki ini ia lakukan dengan pengerahan tenaga dalam sehingga dua belas orang itu merasa lantai tergetar dan tahu tahu tubuh mereka seperti ada yang mendorong dari bawah dan mau tidak mau mereka bangun berdiri, memandang kepada Ciang Le dengan terheran-heran dan makin kagum.
“Duduklah, chungcu dan coba ceritakan dengan tenang kejadian apakah yang dialami oleh dusun ini?” tanya Ciang Le dengan suara sabar.
Kepala kampung itu yang kini percaya penuh akan kelihaian pemuda yang sudah berhasil mengusir pergi “siluman” tadi, segera menceritakan malapetaka yang telah menimpa dusun itu. Semenjak sepekan yang lalu dusun itu mengalami gangguan siluman tadi yang datang bersama seekor ular senduk yang luar biasa besarnya. Telah tiga orang anak anak ditangkap oleh siluman itu dan dijadikan mangsa ularnya yang mengerikan! Dua hari sekali siluman itu datang mengambil seorang anak kecil untuk diberikan kepada ularnya dan tiap kali ia selalu minta kepada kepala kampung untuk disediakan seorang anak kecil! Tentu saja kepala kampung itu tidak mau melayaninya, bahkan mengumpulkan orang orang untuk berusaha mengusirnya. Akan tetapi ternyata siluman itu amat sakti dan keroyokan orang orang hanya menghasilkan tewasnya beberapa orang saja terkena pukulan tangannya yang membuat kulit menjadi hitam seperti terbakar! Adapun anak anak yang dikehendakinya tetap saja diculiknya dan diberikan kepada ularnya! Dan pada malam hari itu karena melihat sikap kepala kampung yang selalu tidak mentaati perintahnya, siluman itu datang hendak menghukum kepala kampung dan menculik cucunya! Akan tetapi ia telah dapat dibikin mundur dan takut oleh pemuda perkasa yang kebetulan menjadi tamu kepala kampung itu.
“Di mana dia bersembunyi ?” tanya Ciang Le setelah mendengar penuturan itu.
“Kami pernah mengumpulkan orang-orang dan menyerangnya di siang hari, dan kami mendapatkan dia berada di dalam hutan. Dia sudah mengerikan, akan tetapi ular senduknya lebih lebih menyeramkan lagi. Belum pernah selama hidup aku melihat ular senduk sedemikian besarnya,”
“Baiklah, biar kita beristirahat dulu malam ini. Kutanggung besok pagi pagi siluman itu bersama ularnya akan dapat kubasmi!” kata Cìang Le dengan tenang.
Kembali kepala kampung itu menghaturkan terima kasihnya dan cepat memerintah para pelayan menyediakan tempat tidur yang paling baik.
“Tak usah, chungcu, aku tidak biasa tidur di atas pembaringan yang enak. Biar aku duduk di atas lantai di ruangan yang sunyi,” kata Ciang Le segera pergi ke sudut dan duduk bersila untuk melakukan siulian samadhi).
Demikianlah pada keesokan harinya, berita tentang kedatangan seorang pemuda yang telah mengusir siluman, tersiar luas dan sebentar saja semua penduduk menyerbu rumah kepala kampung untuk menyaksikan sendiri pemuda gagah perkasa itu. Dan ketika Ciang Le menyatakan hendak berangkat mencari siluman itu bersama ularnya, berduyun duyun orang dusun hendak mengikutinya. Akan tetapi kepala kampung melarangnya, dan hanya memperkenankan serombongan orang orang lelaki untuk membawa senjata mengantarkan pendekar muda itu. Dia sendiripun tidak ketinggalan ikut pula mengantar pemuda yang menjadi pusat harapan mereka itu. Rombongan itu terdiri dari tujuh belas orang, berjalan di belakang Ciang Le yang tetap nampak tersenyum tenang. Setelah rombongan itu masuk ke dalam hutan liar yang penuh dengan pohon pohon raksasa dan batu batu karang menghitam, kepala kampung dan kawan kawannya makin memperlambat jalan kaki mereka.
“Taihiap, di batu batu karang itulah tempatnya,” kepala kampung berbisik perlahan.
Ciang Le memandang tajam dun melihat betapa pohon pohon di situ amat tinggi dengan batangnya yang bengkak bengkok dan berlubang lubang. Di bawah pohon pohon itu terdapat batu karang yang tajam dan runcing, menghitam dan nampak kokoh kuat dan keras sekali. Mata pemuda yang amat tajam ini dapat melihat dua ekor kelinci berlari masuk ke dalam semak semak dan selain itu tidak terdapat gerakan sesuatu. Kalau saja ada musuh tersembunyi di balik pohon atau di dalam semak semak, tentu akan terlihat oleh mata pemuda yang sakti ini.
Ciang Le melangkah maju terus setelah memberi isyarat kepada rombongan orang dusun itu untuk menunggu di tempat itu. Dengan langkah tetap pemuda ini menghampiri batu karang yang hitam. Tiba tiba terdengar desis yang kuat, yang berbunyi gemerisik bagai angin meniup daun bambu, akan tetapi lebih kuat lagi. Desis ini disusul oleh desis lain yang lebih kuat dan terdengarlah orang-orang petani yang menonton di tempat aman itu mengeluarkan seruan ngeri dan kaget.
Dari balik batu batu karang itu tiba tiba keluar kepala seekor ular senduk yang besar sekali. Besar kepala itu hampir sama dengan besar kepala seekor anjing, matanya dan lidahnya merah menakutkan. Bagian leher ular itu melar sampai lebar dan tipis menyekung seperti senduk dan sambil menyemburkan uap kehitaman ia lalu menegakkan kepalanya, memandang kepada Ciang Le dengan leher berkembang kempis.
“Taihiap, hati hati…” kepala kampung masih dapat mengeluarkan suara memperingatkan. Adapun kawan kawannya berdiri bagaikan patung dengan muka pucat dan jelas nampak mereka itu menggigil ketakutan. Siapa yang tidak merasa ngeri melihat ular siluman yang pernah mereka keroyok, akan tetapi yang dibacok golok tidak terluka itu? Ketika beberapa hari yang lalu mereka mengeroyok, golok pedang dan anak panah melesat saja ketika mengenai kulit ular itu.
Akan tetapi, Ciang Le tidak merasa gentar sedikitpun juga. Bahkan pemuda itu tetap berjalan maju mendekati ular itu. Ular cobra yang luar biasa besar dan yang panjangnya kurang lebih empat meter itu memandang tak bergerak seakan akan merasa terheran heran melihat keberanian dan ketenangan manusia muda di depannya ini. Ia sedang lapar dan marah, karena semalam tidak mendapat mangsa. Dengan ekornya melilit batu karang, ia bersiap sedia untuk menerkam pemuda itu, sungguhpun pemuda itu tidak membangkitkan seleranya karena terlalu besar dan terlalu keras dagingnya, tidak seperti daging anak kecil.
Tiba tiba ular itu menyerang Bagaikan anak panah cepatnya, kepala yang besar itu dengan mulut terbuka lebar dan lidah terjulur meluncur ke arah leher Ciang Le! Serangannya ini didahului oleh semburan uap hitam yang berbau keras dan amis sekali. Ciang Le berlaku sebat dan sambil miringkan tubuhnya ia mengelak dan sekaligus mengirim tamparan dengan tangan kirinya ke arah kepala ular itu.
“Plakk!!” ular itu bagaikan disambar petir dan kepalanya membalik berikut tubuhnya terlempar membentur batu karang! Akan tetapi Ciang Le segera menjadi heran karena kepala ular itu tidak pecah sebagaimana dikiranya. Benar benar ular yang luar biasa kuatnya, pikir pemuda ini. Pukulan tangan kirinya tadi bukanlah pukulan biasa saja dan batu karang agaknya akan remuk menerima tamparannya tadi. Akan tetapi ular itu agaknya tidak apa apa, bahkan setelah kepalanya terbentur batu karang, masih tidak kelihatan ular itu terluka!
Pemuda itu tidak mau menyerang, karena memang ia telah bersumpah kepada Thian te Siang mo kedua gurunya, bahwa ia tidak akan menyerang lebih dulu kepada siapapun juga sebelum lawan yang dihadapkannya itu menyerangnya atau melakukan sesuatu gerakan yang membahayakan orang lain. Kini ia telah berhasil memukul ular yang menyerangnya dan berdiam saja, menanti serangan selanjutnya dari binatang berbahaya itu. Akan tetapi, pengalaman yang tidak enak tadi agaknya membuat ular itu menjadi ragu ragu untuk menyerang lagi. Untuk beberapa kali binatang ini menggerak gerakkan kepalanya dan Ciang Le melihat betapa pada leher ular itu, tepat di bawah mulutnya terdapat bagian yang mengkilap dan berminyak. Kembali ular itu mendesis desis, selain untuk mengeluarkan racun juga untuk menakut nakuti lawannya, kemudian tanpa peringatan lebih dulu, ia menyerang lagi. Serangannya yang kedua kalinya ini lebih hebat dan lebih cepat daripada tadi.
Ciang Le melihat betapa ketika melakukan serangan, bagian leher yang berminyak itu makin mengkilap dan cepat ia lalu menggunakan dua jari tangan kanannya menyambut serangan ular itu. Dengan menekuk kedua lututnya, Ciang Le mengelak sehingga ular itu melayang lewat dan pada saat itu kedua jari tangan itu menotok ke leher ular, tepat di bagian yan mengkilap tadi. Serangan ini mengenai sasaran tepat sekali sehingga terdengar leher ular itu berbunyi “kok!” dan secepat kilat tangan kiri Ciang Le menyusul, seperti tadi menampar kepala ular.
Terdengar bunyi “prak!” dan kepala ular itu terpukul dan menubruk batu karang. Tubuhnya terkulai dan jatuh di bawah batu karang, menggeliat geliat perlahan. Ternyata bahwa kepalanya pecah berantakan!
Bukan main girangnya hati kepala kampung dan kawan kawannya melihat ular itu telah ditewaskan oleh penolong mereka dan tak terasa lagi mereka bersorak sorai dengan girang. Akan tetapi tiba tiba sorak sorai itu terdiam dan kembali mereka gemetar ketakutan ketika mendengar suara pekik mengerikan. Siluman itu telah datang, bisik kepala kampung dan tanpa dikomando lagi, para petani ini lalu melarikan diri ke belakang dan bersembunyi di balik batu batu karang! Mereka hanya berani menonton dari jauh saja sambil mengintai dari balik batu.
Ciang Le tetap tenang dan ia tidak bergerak ketika orang tua yang dianggap siluman oleh para petani itu muncul dari balik batu karang. Mata orang tua ini terputar putar mengerikan dan berwarna merah ketika ia melihat ke arah bangkai ular. Kemudian terdengar ia melolong dan menangis seperti anak kecil sambil menubruk dan memeluki bangkai ular besar itu.
“Ularku... ularku sayang...”
Ciang Le merasa kasihan juga menyaksikan keadaan orang gila itu. Ia memandang dengan penuh perhatian. Ternyata bahwa orang tua itu pakaiannya compang camping dan tubuhnya kotor. Akan tetapi selain matanya yang terputar putar, tidak nampak tanda tanda lain yang luar biasa. Lebih kuat dugaannya bahwa orang tua ini tentulah seorang ahli persilatan yang telah menjadi gila. Tiba tiba tangis orang tua itu berhenti dan ia melompat ke atas lalu menghadapi Ciang Le dengan air mata membasahi pipinya.
“Orang kejam, kau berani sekali membunuh kekasih Coa ong Sin kai yang takkan mengampuni nyawamu? Siapakah kau orang muda berani mati yang bertangan lancang?”
Kaget juga hati Ciang Le mendengar bahwa orang ini adalah Coa ong Sin kai (Pengemis Sakti Raja Ular). Nama ini ia pernah mendengar dari kedua gurunya sebagai seorang tokoh besar dari selatan yang memang berotak miring. Maka ia berlaku waspada dan hati hati sekali. Cepat ia menjura dan dengan hormat berkata,
“Ah, kiranya Coa ong Sin kai locianpwe yang berada di sini! Siauwte mengharap banyak maaf kalau siauwte kesalahan tangan membunuh ular ini. Hendaknya locianpwe ingat bahwa ular ini amat jahat, telah makan anak anak penduduk dusun dan tadipun bahkan telah dua kali menyerangku. Maka, sudah sepantasnya kalau binatang sejahat ini dilenyapkan agar jangan mengganggu manusia lagi.”
Coa ong Sin kai berjingkrak saking marahnya. “Kau bilang ularku ini kejam? Kau anak kecil tahu apa tentang kekejaman? Ularku makan anak anak karena memang ia suka dan perutnya lapar. Manusia lebih kejam lagi, suka membunuh bukan karena lapar, hanya karena nafsunya. Hayo kau ganti jiwa ularku!” Sambil berkata demikian, kakek ini mengeluarkan pekik nyaring yang menggetarkan hutan itu, lalu maju menerjang Ciang Le dengan pukulan tangan terbuka seperti cengkeraman kuku harimau.
Ciang Le cepat mengelak dan otomatis ia membalas serangan lawannya. Memang ilmu silat yang dipelajari oleh pemuda ini adalah ilmu silat yang sifatnya aktif apabila menghadapi serangan lawan. Ilmu silatnya selalu disesuaikan oleh suhunya seperti sifat air. Diam dan tenang, kelihatan lemah apabila didiamkan. Akan tetapi cobalah ganggu air itu, akan nampak kehebatan dan kekuatan nya yang tak terkalahkan.
Ilmu silat dari Coa ong Sin kai benar benar cepat, ganas dan bertubi tubi datangnya. Karena melihat gerakan lawannya yang aneh, Ciang Le membatasi serangan sendiri. Ia menjadi amat tertarik dan karena ia pernah mendengar dari suhunya bahwa kepandaian Coa ong Sinkai ini amat tinggi dan ilmu silatnya amat sukar dilawan, ia menjadi makin tertarik. Ingin sekali ia melihat sampai di mana kehebatan ilmu silat orang miring otaknya ini, maka ia lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mempertahankan saja.
Pertama tama Coa ong Sin kai menyerang dengan pukulan yang disebut Jit seng to hian (Tujuh Bintang Jungkir Balik). Gerak tipu ini susul menyusul sampai tujuh kali, dilakukan bertubi tubi dengan kedua tangan yang menyerang dari atas akan tetapi selalu dari jurusan yang berlawanan sehingga Ciang Le merasa seakan akan ada tujuh lawan yang mengeroyoknya. Akan tetapi dengan ginkangnya yang sudah tinggi, pemuda itu dapat menghindarkan diri dari serangan lawan dan berkali kali ia mengelak akan menangkis sampai tujuh gerakan dari jurus Jit seng to hian ini lewat tanpa merugikan.
Coa ong Sin kai menjadi penasaran, lalu mengubah serangannya dengan gerak tipu Cong eng kun touw (Garuda Menyambar Kelinci) semacam gerakan ilmu pedang yang olehnya dilakukan dengan tangan. Kedua tangannya dimiringkan dan disambarkan seperti orang mempergunakan pedang Ciang Le mengerti bahwa biarpun tangan orang gila itu hanya terdiri dari kulit, daging dan tulang namun karena digerakkan dengan tenaga lwekang yang amat tinggi, apabila mengenai tubuhnya dari pedang manapun juga. Ia mencoba untuk mengelak, akan tetapi saking cepatnya gerakan Coa ong Sin kai yang mengobat abitkan kedua tangannya sehingga mendatangkan angin, hampir saja pundak pemuda itu terkena sabetan!
Ciang Le terkejut. Tak disangkanya bahwa lawannya yang sudah tua itu memiliki kegesitan yang tidak kalah oleh orang muda. Berbahaya juga kalau didiamkan saja tanpa di balas dengan serangan serangannya, la mengeluarkan ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Thian Lo mo yakni Ilmu Silat Thian hong ciang hwat (ilmu Silat Tangan Kosong Angin dari Langit). Karena ilmu silat tangan kosong ini amat luas penggunaannya sehingga ia harus mempelajari sampai sepuluh tahun lebih maka di dalamnya termasuk ilmu tiam hwat (menotok jalan darah), kin na hwat (ilmu mencengkeram dan menangkap) dan juga terdapat jurus jurus yang mengeluarkan tenaga gwakang (tenaga kasar) dan lwekang (tenaga dalam).
Ilmu silat dari ilmu totokan dari Thian Lo mo memang luar biasa sekali dan dahulu pernah menjagoi di kolong langit, maka setelah Ciang Le mainkan ilmu silat ini, dalam lima jurus saja ia telah berhasil menotok jalan darah yan goat hiat yang berada di bawah pangkal lengan. Totokan itu mengenai dengan tepat sekali, akan tetapi kembali Ciang Le terkejut karena orang gila itu tidak roboh, hanya terhuyung mundur sambil tertawa bergelak.
“Ha ha ha, orang muda. Totokanmu benar benar lihai, akan tetapi kurang tenaga!”
Ciang Le menjadi penasaran. Mana bisa kurang tenaga? Ia telah mengerahkan lwekangnya dan bagi orang lain, totokan tadi pasti akan membuat tangan dan lengan lawannya menjadi kaku tak dapat digerakkan! Kembali ia menyerang dengan cepat dan kuat, kali ini dengan gerak tipu Thian hong sauw sui (Angin Langit Sapu Air). Gerakannya cepat sekali dan untuk kedua kalinya, ia berhasil menotok jalan darah di pundak kiri lawannya. Hanya terdengar suara “duk” akan tetapi kembali lawannya hanya tertawa bergelak sambil membalas dengan serangan ganas!
Mendengar betapa lawannya selalu tertawa bergelak sehabis terkena totokannya dan totokan itu tidak berhasil memuaskan, teringatlah Ciang Le bahwa lawannya itu tentulah seorang ahli Ilmu I-kong-hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah ). Pantas saja totokannya tidak pernah menghasilkan sesuatu dan suara ketawa lawannya itu hanya untuk memulihkan pengaruh totokan pada kulit dan jaringan darah.
Sementara itu setelah dua kali terkena totokan. Coa ong Sin kai barulah maklum bahwa ia menghadapi seorang pemuda yang lihai sekali ilmu silatnya, ia menggereng seperti seekor harimau terluka lalu mengeluarkan senjatanya, yakni ranting bambu yang lemas itu. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, ranting bambu ini mengeluarkan suara bersiul dan menyambar ke arah leher Ciang Le. Ketika pemuda ini melompat ke kiri untuk menghindarkan diri, ujung ranting ini masih mengejarnya bagaikan ekor ular dan terdengar suara keras ketika ujung ranting itu menyabet paha Ciang Le.
Pemuda ini baiknya telah menyalurkan tenaganya untuk menahan sabetan itu sehingga ujung ranting bambu itu terpental kembali ketika menimpa pahanya. Akan tetapi celananya yang berwarna biru itu telah robek di bagian paha seperti terobek oleh pisau tajam!
Kembali Coa ong Sin kai tertawa bergelak. “Orang muda, pukulan ke dua akan merobek kulit lehermu!” sindirnya sambil menyerang lagi lebih hebat. Ciang Le menjadi marah. Dicabutnya Kim kong kiam dari sarung pedangnya dan ketika ia menggerakkan pedang itu, berkelebatlah sinar emas yang menyilaukan mata.
Tiba tiba Coa ong Sin kai terbelalak dan berteriak, “Thian te Siang mo….!” kemudian seperti orang ketakutan ia lalu melarikan diri meninggalkan Ciang Le yang memandang dengan senyum ditahan. Ia dapat menduga bahwa orang gila itu tentu pernah dihajar oleh kedua suhunya, maka sekarang mengenal pedang ini, lalu berlari terbirit birit. Melihat betapa baru setelah ia mencabut pedangnya, kakek itu mengenalnya, sebagai pemuda yang malam tadi menghalanginya, lebih yakinlah dia bahwa kakek itu memang benar benar tidak beres pikiran dan ingatannya. Kalau orang waras, masa tidak mengenalnya setelah pertemuan malam tadi?
Kepala kampung dan kawan kawannya setelah melihat siluman itu melarikan diri, lalu bersorak girang dan beramai menghampiri Ciang Le. Ketika mereka mencabut senjata hendak memukul hancur bangkai ular besar itu, Ciang Le mencegah mereka. Kemudian, pemuda ini meminjam sebuah golok dan dengan hati hati sekali ia membelek leher ular yang mengkilap itu. Benda cair berwarna hitam seperti tinta bak mengalir keluar dari leher itu dan akhirnya keluarlah sebuah benda hitam bulat yang mengkilap. Ciang Le mengeluarkan sehelai saputangan, lalu diambilnya benda itu dan dibungkus dengan sapu tangan, terus dimasukkan ke dalam kantong bajunya.
“Tidak rugi celanaku robek mendapat benda ini,” katanya perlahan sambil tersenyum, seperti kepada diri sendiri.
“Untuk apakah benda itu, taihiap? Dan apakah itu, apa gunanya?” tanya kepala kampung yang tidak sengaja mendengar ucapannya ini.
Ciang Le tersenyum. “Benda itu adalah batu yang mengandung racun ular yang amat jahat.”
Kepala kampung menjadi terheran heran, akan tetapi ia tidak berani bertanya lebih panjang lagi bahkan kemudian ia mengajak kawan kawannya untuk menghaturkan terima kasih kepada Ciang Le sambil berlutut.
“Tak perlu berterima kasih,” mencegah pemuda itu, “dan tak perlu kalian kini berkuatir. Siluman itu sesungguhnya seorang manusia biasa yang berotak miring. Yang jahat adalah ularnya. Sekarang ularnya telah mati, ia takkan datang kembali. Sepeninggalku, kuburlah bangkai ular ini agar tidak menimbulkan penyakit yang akan lebih jahat lagi mengganggu kampung kalian.” Setelah berkata demikian, pemuda sakti itu membalikkan tubuh dan hendak pergi dari situ.
Akan tetapi kepala kampung itu berkata. “Taihiap, tunggu dulu. Mohon tanya she yang mulia dan nama besar taihiap, agar selama hidup kami takkan melupakan penolong kami yang budiman.”
Ciang Le menengok dan tersenyum, lalu menggoyang goyang tangannya dan berkata, “Tak perlu diingat lagi, tak perlu. Lupakan, saja semua hal yang telah terjadi, karena apa yang Kulakukan bukanlah pertolongan, melainkan kewajibanku untuk menebus dosa!” Setelah berkata demikian, agar jangan terganggu lebih lama lagi, pemuda itu menggunakan kepandaiannya berkelebat pergi dan lenyap dari pandang mata orang orang itu.
Semua orang menjadi bengong dan saling pandang, kemudian atas pimpinan kepala kampung mereka berlutut ke arah menghilangnya pemuda itu. Dan karena mereka tidak tahu nama pemuda itu, hanya ingat bahwa pemuda itu berpakaian kembang kembang yang lucu dan aneh, maka mereka memberi nama Hwa-I-Enghiong (Pendekar Baju Kembang) kepada Ciang Le.
********************
“Kong kong (kakek), sesungguhnya mengapakah ayah bundaku lelah meninggal dunia lebih dulu? Mengapa aku tak pernah mengenal mereka?” demikianlah pertanyaan yang diajukan oleh seorang gadis remaja kepada seorang kakek berpakaian petani. Mereka berdua duduk di atas batu besar di sebuah lereng Gunung Hoa san yang terkenal indah pemandangan alamnya.
Kakek itu menundukkan kepalanya dan nampak berduka. Akan tetapi ia menjawab juga, “Bi Lan, mengapa kau selalu menanyakan hal itu? Orang tuamu tentu saja meninggal dunia karena sudah tua dan sampai saatnya meninggal dunia.”
“Kong kong, dahulu ketika aku masih kecil boleh kau membohongi aku seperti itu. Akan tetapi sekarang tak mungkin lagi. Bagaimana boleh jadi kedua orang tuaku mati karena usia tua, sedangkan kongkong sendiri yang lebih tua masih hidup? Tidak, kong kong orang tuaku tentu mati ketika mereka masih muda. Hayo ceritakan, kong kong, kalau tidak, aku akan marah!” Gadis itu membuang lagak manja dengan mata setengah terkatup tanda marah dan bibirnya yang manis cemberut.
Kakek yang sedang suram wajahnya itu ketika melihat lagak gadis ini menjadi tersenyum. Gadis ini merupakan cahaya matahari, baginya dan setiap kali gadis ini sajalah yang mampu mengusir kemuraman wajahnya dalam sekejap mata. Pembaca tentu sudah dapat menduga siapa adanya kakek ini. Memang, dia adalah Tan Seng, kakek tokoh Hoa san pai yang tangguh itu.
Di bagian pertama dari cerita ini telah dituturkan betapa Tan Seng tidak saja kehilangan anak perempuan dan mantunya, bahkan juga cucu tunggalnya, Go Ciang Le, telah lenyap diculik orang tanpa ia ketahui siapa penculiknya dan kemana perginya anak itu. Tadinya ia merasa putus asa dan tidak tahu untuk apa ia harus hidup lebih lama lagi. Akan tetapi kemudian ia teringat akan keturunan Liang Ti, murid keponakannya yang telah mengorbankan nyawa demi perjuangan suci.
Maka ia lalu mendatangi isteri Liang Ti, lalu membawa anak tunggal Liang Ti yang bernama Liang Bi Lan, dibawanya ke puncak Hoa san pai dan diserahkan kepada suci (kakak perempuan seperguruan) dan suheng suhengnya yang bertapa di puncak Hoa san. Adapun isteri Liang Ti kembali ke dusun orang tuanya, akan tetapi tiga tahun kemudian, janda yang bernasib malang ini membunuh diri karena dipaksa oleh seorang pembesar Kin yang mengadakan pembersihan di dusun orang tuanya.
Selama belasan tahun, Bi Lan mewarisi ilmu silat dari Hoa san pai dan boleh dikata untuk masa itu, murid terpandai dan yang banyak mewarisi ilmu silat Hoa san pai adalah Bi Lan! Memang masih ada beberapa orang suhengnya dan seorang suci. akan tetapi biarpun kepandaian mereka itu lebih masak, tetap saja Bi Lan seorang yang lebih banyak mewarisi ilmu ilmu paling rahasia dari Hoa san pai.
Tokoh tokoh Hoa san pai yang berkumpul di puncak Hoa san dan yang bersama sama menggembleng Bi Lan adalah empat orang. Pertama-tama adalah tokoh nomor satu atau yang tertua di Hoa san pada waktu itu, yakni Liang Gi Tojin yang lebih mementingkan ilmu bathin dari pada ilmu silat. Dari Liang Gi Cinjin, Bi Lan mewarisi lweekang yang tinggi dan juga pengetahuan bathin yang dalam. Kemudian orang ke dua adalah Liang Bi Suthai, yang berwatak keras akan tetapi yang memiliki ilmu silat paling lihai diantara saudara saudaranya. Orang ke tiga adalah sasterawan dan memang dahulunya ketika masih muda, kakek ini adalah seorang sasterawan yang gagal menempuh ujian! Namanya Kui Tek An, akan tetapi setelah ia menjadi pertapa, ia memakai nama Liang Tek Sianseng. Dan orang ke empat adalah Tan Seng sendiri yang berpakaian seperti seorang petani. Empat orang tokoh Hoa san pai ini menjadi guru dari Bi Lan, maka tidak mengherankan apabila sekarang nona ini telah menjadi seorang nona yang lihai ilmu silatnya.
Adapun suheng suhengnya (kakak seperguruan laki laki) atau suci (kakak seperguruan perempuan) dari Bi Lan adalah murid murid dari semua gurunya, yakni yang pertama bernama Lie Bu Tek murid dari Liang Gi Tojin yang telah meninggalkan perguruan empat tahun yang lalu. Ke dua adalah murid tunggal dari Liang Bi Suthai, seorang pendekar wanita bernama Ling In she Thio, seorang nona cantik bertubuh langsing tegap yang juga telah turun gunung kembali ke rumah orang tuanya di Biciu. Orang ke tiga adalah murid dari Liang Tek Sianseng, seorang pemuda bernama Gau Hok Seng dan yang bekerja sebagai seorang pianwsu di selatan.
Baiklah kita kembali kepada Bi Lan dan kakeknya, yakni Tan Seng yang pada pagi hari yang sejuk dan indah itu duduk di lereng bukit dan bercakap cakap setelah Tan Seng mengagumi latihan ilmu silat dari cucunya. Dengan gemblengan empat orang guru, Tan Seng percaya bahwa kini ilmu kepandaian Bi Lan tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaiannya sendiri. Ia maklum bahwa di dunia ini banyak sekali orang orang pandai yang menjadi penjahat, sehingga dia sendiri dahulu hampir celaka ketika dikeroyok oleh perwira perwira Kin yang dibantu oleh orang orang kang ouw yang menjadi penjilat dan pengkhianat bangsa.
Ketika untuk kesekian kalinya Bi Lan yang sebenarnya bukan cucunya sendiri itu bertanya tentang ayah bundanya, Tan Seng berpikir bahwa agaknya sudah tiba waktunya bagi Bi Lan untuk mendengar hal yang sesungguhnya tentang orang tuanya.
Nona ini tidak menjadi sedih mendengar tentang kematian ayahnya bahkan ia merasa bangga bahwa ayahnya tewas dalam pertempuran untuk membela bangsa. Kematian ibunya membuat ia menggertak gigi dan memaki, “Akan kuhancurkan kepala anjing anjing Kin itu !”
“Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk berusaha mengusir penjajah yang menguasai dan menjajah tanah air bagian utara, Bi Lan, akan tetapi kita tidak boleh menurutkan nafsu marah. Pada waktu ini pun rakyat masih terus menerus melakukan perlawanan dan pemberontakan dengan gigih. Nah, kewajibanmulah untuk membantu perjuangan mereka itu, demi kemerdekaan tanah air dan demi menjunjung tinggi nama Hoa san pai kita.”
Akan tetapi yang membuat nona itu paling berduka adalah kenyataan bahwa Tan Seng bukanlah kakeknya. Dan mendengar tentang riwayat Go Sik An, ia merasa kagum sekali.
“Kong kong,” sebutan ini sekarang terdengar agak ganjil olehnya. “ah… seharusnya aku menyebut sukong (kakek guru) karena aku... aku bukan cucumu,”
“Tidak begitu Bi Lan,” jawab Tan Seng terharu, sambil mengusap usap kepala gadis itu. “Biarpun kau bukan cucuku yang aseli akan tetapi bagiku kau adalah pengganti cucuku. Kau seterusnya sebutlah kong kong padaku, Bi Lan.” Suara kakek ini terdengar menggetar sehingga Bi Lan yang amat sayang kepada kakek ini, tidak tega untuk menolak permintaan ini.
“Jadi cucumu yang bernama Go Ciang Le itu lenyap diculik orang, kong kong?”
Tan Seng mengangguk, lalu menceritakan kejadian itu dengan singkat. “Sampai sekarang aku tidak tahu apakah Ciang Le masih hidup atau sudah mati dan juga masih belum kuketahui siapa sebenarnya yang telah menculik anak malang itu.”
“Heran sekali, kong kong, mengapa kau tidak bisa mencari orang yang melakukan perbuatan itu? Bukankah kong kong mempunyai banyak sekali sahabat di dunia kang ouw?”
Kakek ini mengangguk angguk, “Memang betul begitu, akan tetapi di dunia ini terdapat banyak sekali orang orang aneh dan orang orang sakti yang menyembunyikan diri. Kalau maksud penculik itu baik, mungkin cucuku itu kelak akan muncul sebagai seorang gagah perkasa, menjadi murid orang sakti. Akan tetapi kalau dia bermaksud buruk...” kakek ini tidak kuasa melanjutkan kata katanya, kemudian disambungnya pula, “akan tetapi, aku telah berpesan kepada kedua suhengmu dan sucimu untuk menyelidiki di mana sesungguhnya gua yang disebut Gua Pahlawan itu.”
Pada saat itu, dari kaki bukit Hoa san pai berlari lari naik seorang pemuda tinggi besar berbaju biru, bertopi biru dan bercelana putih. Pemuda ini memiliki wajah yang biasa disebut “toapan”, simpatik dan jujur. Tubuhnya kekar dan tegap membayangkan akan kebesaran tenaganya dan wajahnya yang bersih membayangkan kebersihan hatinya, ia melomoat lompat dan berlari cepat mempergunakan Ilmu Lari Cepat Cho sang hui (Terbang di Atas Rumput) yang dilakukan dengan amat mahirnya. Biarpun tubuhnya tinggi besar, namun ia seakan akan seekor kupu yang beterbangan tanpa menimbulkan suara berisik.
Inilah Gan Hok Seng, atau yang di daerahnya terkenal dengan sebutan Gan piauwsu, karena dia telah membuka sebuah perusahaan piauwkiok (ekspedisi) yang diberi nama Hui houw piauw kiok (Perusahaan Ekspedisi Macan Terbang) dan oleh karena nama perusahaannya inilah maka ia mendapat nama julukan Hui houw (Macan terbang). Seperli telah diceritakan di depan, Gan Hok Seng ini adalah murid dari Lian Tek Sian seng, sasterawan tokoh Hoa san pai itu.
Cara Hok Seng berlompatan dan berlari lari, membayangkan bahwa wataknya selain jujur dan polos juga amat gembira. Sayang nya bahwa pemuda ini agak dogol, yakni kurang cepat jalan pikirannya, sungguhpun ia bukan seorang bodoh, namun menghadapi perkara yang tiba tiba ia suka memperlihatkan sikap yang ketolol tololan.
Ketika ia tiba di lereng yang penuh rumput hijau tiba tiba ia mendengar suara angin dari belakang dan ketika ia menengok, ia melihat seorang hwesio, Pendeta Buddha bekepala gundul yang bertubuh tegap pendek berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun berlari cepat sekali, lebih cepat dari pada larinya sendiri. Karena hwesio itu agaknya hendak menuju ke kuil di puncak Hoa san, Gan Hok Seng lalu membalikkan tubuhnya menghadang hwesio itu yang juga segera berhenti melihat pemuda itu mengangkat tangannya.
“Selamat siang, twa suhu” tegur Hok Seng sambil tersenyum gembira dan memberi hormat dengan kedua tangannya diangkat ke dada. “Hendak ke manakah twa suhu agaknya amat tergesa gesa?”
Hwesio itu memandang dengan pandang mata menyelidik, kemudian balas bertanya, “Kau siapakah dan apa hubunganmu dengan Hoa san pai?”
Hok Seng tidak senang mendengar pertanyaan dan melihat sikap hwesio yang kasar ini, yang dianggapnya tidak sesuai untuk seorang pendeta. Akan tetapi Karena ia jujur, ia menjawab dan mencela dengan terus terang, “Ah tidak kusangka twa suhu demikian kasar seperti seorang kang-ouw buta huruf saja! Aku adalah murid Hoa san pai bernama Gan Hok Seng atau Gan piauwsu. ketua dari Hui houw piauwkiok.”
Hwesio itu mengangkat hidungnya dengan sikap memandang rendah sekali. “Hem, jadi kau ini masih murid Hoa san pai? Siapa gurumu? Si pemalas Liang Gi atau si nenek genit Liang Bi, ataukah si kutu buku Liang Tek? Atau barangkali petani busuk Tan Seng? Hayo kau beritahukan kepada pinceng, karena segala julukan Hui houw dan nama Hui houw piauwkiok, mana pinceng mengenalnya!”
Merahlah wajah Hok Seng. Dia memang masih muda baru dua puluh tiga tahun umur nya dan darahnya masih panas. Lagak hwesio ini benar benar amat menyebalkan hatinya. Gurunya Liang Tek Kian seng disebut kutu buku, twa supeknya disebut pemalas, bahkan sukouwnya disebut nenek genit dan susioknya disebut petani busuk!
“Eh, hwesio gendeng, mengapa kau datang datang memaki orang? Ketahuilah bahwa aku adalah murid dari Liang Tek Sianseng, guruku pernah bilang bahwa menilai hati orang dengar saja apa yang keluar dari mulutnya. Kau mengeluarkan omongan kotor dan hawa busuk maka mudah saja menerka bagaimana macamnya isi perutmu!”
Tiba tiba hwesio itu tertawa bergelak. “Sebetulnya memang malu harus ribut ribut dengan seorang tingkat rendah macam engkau ini, akan tetapi karena kau murid Liang Tek si kutu buku, biarlah pinceng lihat apakah kau juga menjadi kutu buku seperti gurumu.”
“Aku bukan kutu buku! Guruku telah mengajar ilmu silat tinggi kepadaku. Jangan kau memandang hina ilmu kepandaian dari Hoa san pai!” Hok Seng membentak, hampir tak dapat menahan marahnya lagi.
“Begitu? Nah, cobalah, bocah! Kalau kau bisa menahan sepuluh jurus seranganku, barulah aku percaya omonganmu.” Setelah berkata demikian, tiba tiba hwesio itu mengibaskan tangan bajunya yang lebar ke arah Hok Seng dalam Ilmu Pukulan Tui san ciang (Pukulan Mendorong Bukit) yang dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang.
Hok Seng merasa betapa angin dingin dan tajam menyambar mukanya, maka ia cepat menggeser kaki sambil miringkan tubuh untuk menghindarkan diri dari pukulan pertama ini. Akan tetapi tak terduga sama sekali bahwa pada saat itu juga, pukulan kedua dengan ujung lengan baju sebelah kiri telah menyusul ke arah pusarnya! Inilah pukulan yang amat berbahaya dan dapat membuat jiwa melayang. Hok Seng cepat melompat ke kiri, akan tetapi masih saja ujung lengan baju itu mengenai tubuh belakangnya sehingga terdengar bunyi berdebuk dan Hok Seng merasa betapa daging dan kulit di bagian belakang Itu panas dan pedas. Baiknya ia telah mengerahkan lweekang di bagian itu sehingga hanya terasa sakit saja tanpa menderita luka berat. Akan tetapi yang lebih menyakitkan hatinya adalah suara ketawa hwesio itu.
“Ha ha ha ha, tidak tahunya hanya sebegitu saja kebecusan murid dari si kutu buku! Ha ha ha, orang dogol! Lihat, kulit pantatmu kelihatan, apakah kau masih belum mau mengaku kalah dan berlutut di depan Tiauw It Hosiang yang bergelar It ci sinkang (Si Jari Lihai). Ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan tokoh dari Go bi pai!”
Hok Seng cepat melirik ke arah tubuh belakangnya dan benar saja, celananya yang putih itu telah hancur di bagian tubuh belakang sebelah kanan sehingga tampak kulit tubuh belakangnya yang putih dan agak kemerahan karena pukulan tadi. Ia menjadi mendongkol sekali dan secepat kilat tangannya bergerak kearah punggung, mengeluarkan sepasang poan koan pit (senjata seperti alat tulis pensil bulu). Poan koan pit di tangarnya ini memang senjatanya yang paling istimewa warisan dari suhunya yang memang amat ahli dalam mainkan poan koan pit, baik untuk menulis syair maupun untuk dipergunakan sebagai senjata. Poan koan pii di tangan kirinya berbulu pulih, dan di tangan kanannya berbulu hitam dan keras.
Melihat pemuda itu mengeluarkan senjata poan koan pit, Tiauw It Hosiang tertawa bergelak dan kelihatan ia geli sekali. “Ha ha ha benar benar si kutu buku telah membiak muridnya menjadi kutu buku kecil! Eh, bocah! Kau mengeluarkan pit, apakah kau hendak menulis sajak ataukah hendak melukis gambar? Ha ha ha!”
Hok Seng tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia cepat maju menggerakkan sepasang poan koan pit dan pit ditangan kiri yang berbulu putih itu cepat menusuk ke arah mata kanan lawannya, sedangkan pit berbulu hitam di tangan kanan menusuk dengan totokan ke arah jalan darah tai hwi hiat! Serangannya ini luar biasa hebatnya dan karena ia tahu akan kelihaian lawannya, maka sekali serang ia mengeluarkan gerak tipu yang di sebut Ji liong lo hui (Dua Ekor Naga Mengacau Laut).
Akan tetapi hwesio itu benar benar lihai dan memiliki gerak cepat sekali. Dan kali ia menggerakkan tangannya dan ujung lengan bajunya sekaligus dapat menangkis serangan poan koan pit bahkan ujung lengan baju itu hendak membelit senjata lawan untuk dirampasnya. Hok Seng sudah berlaku waspada dan karena ia tahu bahwa tenaga lweekang dari lawannya ini masih lebih tinggi diri pada tenaganya sendiri, maka ia tidak membiarkan poan koan pit nya dilibat oleh ujung lengan baju itu. Ia membetot kedua senjata sambil mengirim tendangan Soan hong twi yang bertubi tubi menyerang bagian tubuh yang paling berbahaya dari hwesio itu.
Kembali hwesio itu memperlihatkan kepandaiannya. Ia tidak mengelit atau menangkis tendangan tendangan itu dengan kedua tangan nya, melainkan menggerakkan kedua kakinya juga dan membarengi tendangan lawan untuk mengadu kaki! Dengan amat cepatnya ia menyambut kaki Hok Seng dengan dupakan kaki nya sehingga pemuda itu mengeluarkan teriakan kaget karena tubuhnya seakan akan di lemparkan ke belakang oleh tenaga yang amat hebat! Baiknya ia masih sadar dan dengan cepat ia menggertakkan tubuh yang terlempar di udara berjungkir balik membuat salto tiga kali dengan gerak tipu Kou liong hoan sin (Naga Siluman Berjungkir Balik). Dengan gerakan indah ini barulah ia dapat turun keatas tanah dengan baik dan dalam keadaan berdiri teguh.
“Bagus, sekarang kau harus roboh!” teriak Tiauw It Hosiang dan dengan cepat sekali tubuhnya melayang kearah pemuda itu dan melakukan serangan serangan hebat dengan kedua kepalan dibantu oleh ke dua lengan baju. Tidak hanya dua kepalan tangannya yang amat berbahaya, akan tetapi juga ujung lengan bajunya yang selalu mengadakan serangan menyilang dengan kepalan, merupakan bahaya besar.
Hok Seng benar benar kali ini merasa terkejut sekali. Kedua ujung lengan baju hwesio itu merupakan tandingan setimpal terhadap sepasang poan koan pitnya. Ke mana juga sepasang alat penotoknya menyerang, selalu terpental kembali karena kebutan kedua ujung lengan baju, adapun sepasang kepalan hwesio itu merupakan alat penyerang yang berbahaya dan hanya dapat ia hadapi dengan elakan elakan cepat. Akan tetapi segera ia terdesak mundur dan menjadi sibuk sekali berlompatan ke sana ke mari untuk menghindarkan diri dari bahaya maut.
Pada saat Hok Seng berada dalam bahaya, tiba tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dibarengi bentakan nyaring “Penjahat gundul jangan kau berani mengacau di Hoa san!”
Tiauw It Hosiang cepat melompat mundur dan menyampok sinar pedang yang mengarah pundaknya itu dengan ujung lengan bajunya. Akan tetapi sebelum lengan bajunya mengenai pedang, senjata itu telah dibelokkan dan sekarang tanpa tertunda lagi telah maju menusuk ke arah lambungnya. Hwesio ini kaget juga dan tahu bahwa penyerang baru ini memiliki kegesitan yang lebih tinggi daripada Hok Seng. Ia segera melompat satu setengah tombak ke belakang, lalu memandang. Ternyata yang datang adalah seorang wanita yang cantik bertubuh tinggi langsing dan tegap, berwajah segar kemerahan bagaikan kembang botan yang sedang mekar.
“Suci…!” Hok Seng menegur dan gadis itu berpaling lalu tersenyum ramah kepadanya Kemudian gadis yang baru datang ini, yaitu kakak seperguruan dari Hok Seng atau murid dari Liang Bi suthay yang bernama Thio Ling In, menudingkan pedangnya kepada Tiauw It Hosiang sambil bertanya, “Kau ini hwesio dari manakah? Apakah tidak tahu bahwa di sini Gunung Hoa san dan menjadi daerah dari Hoa san pai? Mengapa kau mengandalkan sedikit kepandaian untuk mengacau?”
Tiauw It Hosiang tertawa bergelak dan karena ia tertawa sambil menggerakkan khikangnya, maka suara ketawa nya terdengar bergema sampai jauh. Pada saat itu, dari bawah berlari naik seorang pemuda pula, seorang pemuda yang bermuka putih dan gagah sekali. Pakaiannya bersih dan indah dan sikapnya patut sekali kalau ia menjadi seorang pendekar besar. Dia ini bukan lain adalah Lie Bu Tek, murid dari Liang Gi Tojin, atau murid tertua dan Hoa san pai. Ia tadi memang ber sama sama Thio Lin ln, hanya sumoinya ini yang tidak sabar telah berlari lari naik mendahuluinya.
Ketika melihat pemuda ini, Tiauw It Hosiang segera menudingkan telunjuknya sambil bertanya, “Apakah yang datang inipun seorang murid Hoa san pai juga?”
Dari jauh Lie Bu Tek sudah mendengar suara ketawa hwesio ini dan dia merasa tak senang sekali melihat lagak hwesio yang amat sombong ini, maka katanya tegas. “Aku memang murid Hoa san pai bernama Lie Bu Tek. Tidak tahu siapakah kau dan apa maksudmu datang di gunung kami?”
“Ha ha ha! Murid murid Hoa san pai memang galak galak! Jika geledek bersuara keras takkan turun hujan dan jika gentong berbunyi nyaring, tanda ia kosong! Murid murid Hoa san pai bermulut besar bersuara keras tanda kosong pengetahuannya!”
“Eh, eh, hwesio gundul gila!” Thio Ling In memaki marah. Gadis ini memang mempunyai watak keras seperti gurunya. “Kau ini datang datang mencari perkara, apakah sudah bosan hidup?”
“Suci, dia adalah Tiauw It Hosiang berjuluk It ci sinkang dari Gobi san. Memang dia datang datang menyerangku dan sengaja mencari perkara. Tak usah banyak bicara dengan dia, mari kita tangkap dia untuk diseret ke depan guru guru kita!”
Kembali hwesio itu mentertawakan mereka. Lie Bu Tek menjadi gemas sekali. Pemuda yang usianya sudah dua puluh lima tahun lebih ini telah merantau dan memiliki pengalaman luas, juga dengan kepandaiannya, ia telah memperoleh nama besar. Kini menghadapi hwesio Go bi pai ini, tentu saja ia tidak menjadi takut dan marahlah ia melihat kekurangajaran hwesio ini.
“Sute, sumoi, biarkan aku mencoba kepandaian hwesio ini,” katanya, kemudian dengan sekali lompatan saja ia telah berada di depan Tiauw It Hosiang. Hwesio ini melihat gerakan orang tahu bahwa ia menghadapi seorang ahli yang tidak boleh dipandang ringan, maka ia hentikan senyumnya dan memasang kuda kuda.
“Bagus, kau murid tertua dari Hoa san pai? Majulah, hendak kulihat sampai di mana tua bangka tua bangka di puncak Hoa san itu memberi pelajaran kepadamu.”
“Hwesio, mulutmu terlalu kotor!” bentak Lie Bu Tek yang cepat maju menyerang dengan kepalan tangan kanannya. Pukulannya dilakukan dengan cepat dan mantap, membawa tenaga yang luar biasa kuatnya.
Melihat cara pemuda ini memukul, Tiauw lt Hosiang tidak berani main main lagi. Ia cepat mengelak ke kiri dai membalas kontan dengan tendangan ke arah perut Lie Bu Tek. Akan tetapi pemuda Hoa san pai inipun tidak gugup dan cepat ia menggunakan tangan tadi ditarik ke bawah dan menggunakan sikunya untuk menangkis tendangan ini. Pukulan dengan siku tangan kanan ini merupakan totokan ke arah jalan darah pada mata kaki, maka Tiauw It Hosiang cepat menarik kembali kakinya dan kini kedua ujung lengan bajunya menyambar dari kanan kiri mengarah kedua telinga Lie Bu Tek!
Pemuda ini cepat menggunakan gerakan Liang tho lian kai (Dua Bunga Teratai Mekar), kedua tangannya bergerak dari pinggang ke atas dan berhasil menanakis sambaran ujung lengan baju. Lie Bu Tek merasa betapa lengannya tergetar dan Tiauw It Hosiang melihat betapa kedua lengan bajunya terpental ke belakang.
“Bagus, berisi juga kau!” kata hwesio itu yang melangkah mundur tiga tindak, kemudian ia menggerak gerakkan kedua lengannya. Tiba tiba dadanya mengempis dan perutnya mengembung, mukanya menjadi pucat dan matanya tak pernah berkedip memandang ke depan. Dengan langkah perlahan ia lalu maju menghampiri Lie Bu Tek dengan kedua tangan terkepal, akan tetapi jari telunjuknya lurus keluar. Inilah Ilmu Silat lt ci tiam hwelouw (Ilmu Totok Satu Jari) atau It ci ciang (Pukulan Satu Jari) yang menjadi kebanggaan dan yang membuat namanya terkenal di dunia kang-ouw. Ilmu silat ini benar benar luar biasa karena seluruh gerakan berdasarkan lweekang yang berbahaya. Gerakannya menang perlahan saja, akan tetapi daya pukulannya amat lihai, sukar sekali dilawan, apa lagi oleh orang yang ilmu kepandaian atau tenaga lweekangnya masih rendah, Sebetulnya apabila tidak menghadapi lawan tangguh, Tiauw It Hosiang tidak mau mengeluarkan kepandaian simpanannya ini. Sekarang ia hendak mengalahkan lawannya cepat cepat, maka ia mengeluarkan It ci tiam hwelouw.
Lie Bu Tek terkejut. Sebagai seorang yang banyak merantau, ia maklum akan kehebatan lawannya ini iapun telah melatih diri dan memiliki lweekang yang tinggi, maka tentu saja ia tidak gentar dan menghadapi lawannya dengan tabah. Akan tetapi ia maklum jika kali ini tidak dapat mengalahkan lawan nya, pasti ia akan terluka hebat! Gan Hok Seng dan Thio Ling In juga maklum akan hal ini, maka mereka memandang dengan hati berdebar dan gelisah.
Pada saat itu, tiba tiba terdengar suara ketawa terkekeh yang merdu sekali, lalu disusul oleh suara yang jenaka, “Eh kau ini orang gundul apakah hendak meniru seekor kepiting? Kepalamu gundul licin, dada kempis perut kembung, telunjuk menuding, apa apaan sih? Sungguh amat lucu, anak anak bukan, orang tuapun tak pantas !”
Saking marah dan mendongkolnya mendengar olok olok ini, Tiauw lt Hosiang tidak jadi menyerang Lie Bu Tek menyimpan kembali tenaga lweekangnya sehingga perutnya mengempis kembali dan dadanya mekar. Ia cepat cepat menoleh dan entah dari mana datangnya, tahu tahu di sebelah kanannya telah berdiri seorang gadis amat cantik dan usianya baru belasan tahun. Gadis itu berdiri dengan kedua alis diangkat tinggi, mata memandang lucu dan bibirnya menahan geli hati yang membuatnya tertawa terkekeh. Di belakangnya berdiri seorang kakek berpakaian petani, maka tahulah Tiauw It Hosiang bahwa ia berhadapan dengan orang keempat dari tokoh tokoh Hoa san pai lalu ia menjura kepada Tan Seng yang berdiri di belakang Bi lan.
“Susiok!” Lie Bu Tek, Gin Hok Seng, dan Thio Ling In memberi hormat kepada Tan Seng yang menganguk angguk kepada mereka.
Adapun Bi Lan lalu menghampiri Ling In sambil berlari lari, kemudian memeluk gadis itu sambil berkata, “Enci Ling In mengapa begitu lama kau baru muncul? Ji wi suheng, kalian tidak bertambah besar, masih sama seperti dulu !”
Kedua suheng itu tersenyum gembira. “Kau yang sekarang telah menjadi besar benar benar telah menjadi seorang dara yang cantik, bukan begitu sute?” kata Lie Bu Tek kepada Gan Hok Seng yang semenjak tadi menatap wajah Bi Lan dengan kagum terheran heran.
“Kalau bertemu berdua di jalan, tentu aku takkan mengenalmu, sumoi. Kau benar benar berubah!” akhirnya Hok Seng berkata dan pujian kedua suhengnya ini membuat wajah Bi Lan beseri seri.
Sementara itu Tiauw It Hosiang yang menjura kepada Tan Seng berkata, “Kebetulan sekali kau turun! Bukankah pinceng berhadapan dengan Tan Seng lo enghiong, tokoh ke empat dari Hoa san pai, bukan dari murid muridnya yang kosong melompong hanya pandai menyombong saja!”
Tan Seng bersikap sabar dan hendak merendahkan diri, akan tetapi tiba tiba Bi Lan melompat ke depan hwesio itu dan menudingkan jari telunjuknya hampir mengenai hidung Tiauw It Hosiang Hwesio ini cepat melangkah mundur, karena tentu saja ia tidak sudi hidungnya ditunjuk tunjuk oleh nona kecil Ini.
“Eh, hwesio pemotong babi, kau bilang apa tadi? Kau bilang datang hendak minta tambah pengertian, akan tetapi mengapa kau memaki maki murid Hoa san pai! Tadipun kau berani mempermainkan saudara saudaraku, berani pula membadut dan hendak berjoget tari kepiting, apa apaan sih kau ini? Orang seperti kau tidak berharga untuk bicara dengan kami, hayo kau pergi dari sini!”
Setelah berkata demikian Bi Lan lalu menggunakan tangan kanannya yang jari jarinya dibuka untuk mendorong dada hwesio itu, Tiauw It Hosiang tentu saja memandang rendah gadis ini dan melihat kejenakaan Bi Lan, dan karena mendongkol juga dihina oleh gadis cilik ini, ia bermaksud hendak mempermainkan Bi Lan dan membikin malu. Demikianlah, ketika tangan nona itu mendorong ke arah dadanya, ia lalu mengulur tangan kanan untuk menyambut lengan itu dan hendak ditangkap pergelangan tangannya.
Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika jari jari tangan Bi Lan yang mendorongnya itu tiba tiba saja menukik ke bawah dengan pergelangan tangan ditekuk secara mendadak, dan dua buah jari tangan gadis itu dengan tepat sekali menotok ke arah jalan darah pada pergelangan tangannya! Tiauw It Hosiang cepat menarik kembali tangannya,, akan tetapi pada saat itu tangan kiri gadis yang jenaka ini telah mendorong dadanya. Tiauw It Ho siang mempertahankan diri, akan tetapi dorongan itu selain tiba tiba dan tak terduga datangnya, juga tenaga yang dipergunakan luar biasa besarnya sehingga biarpun tidak terjengkang ke belakang, tubuh hwesio itu telah terhuyung huyung ke belakang sampai lima tindak!
“Eh eh, kau masih tidak mau pergi?” bentak Bi Lan sambil pelototkan mata dan bertolak pinggang, lagaknya seperti sedang menegur seorang anak kecil yang nakal. “Apakah mau tunggu sampai aku menjewer telingamu?”
Selama Tiauw It Hosiang menjadi tokoh ke tiga dari Go bi pai, yakni sudah lebih lima tahun, di manapun dia berada belum pernah hwesio ini mengalami hinaan orang seperti yang telah dihadapinya sekarang. Dara remaja yang usianya baru belasan tahun ini, yang nampak lemah lembut karena kulitnya halus seperti sutera dan wajahnya cantik jelita seperti bidadari, telah berani mempermainkan nya dan menghinanya dengan cara yang hebat sekali.
“Tan Seng lo enghiong,” katanya dengan suara menggigil saking marahnya kepada gadis itu, “kalau kau tidak menyuruh pergi gadis liar ini dan tidak menyuruh dia minta ampun kepadaku, jangan salahkan pinceng turun tangan menghajarnya!”
“Bi Lan, jangan main main dengan It ci sinkang Tiauw It Hosiang, dia adalah tokoh besar ke tiga dari Go bi pai!” kata Tan Seng setengah mengejek hwesio yang sombong itu tanpa minta gadis itu mengundurkan diri. Memang Tan Seng kakek petani ini sengaja hendak melihat sampai di mana keberanian dan kepandaian cucunya yang tercinta, dan sampai di mana pula kesombongan hwesio itu. Kalau kiranya gadis itu nanti terancam bahaya, baru ia hendak turun tangan membantu.
“Kong kong, jangan kata baru satu jarinya yang lihai (it ci), biarpun dua puluh jari tangan dan kakinya semua lihai, tidak seharusnya ia main gila di Hoa san! Jangankan baru tokoh ke tiga, biar tokoh terbesar sekalipun harus menaruh hormat kepada Hoa san pai! Aku takkan minta ampun sebelum dia yang lebih dulu berlutut minta ampun kepada kong kong karena tadi telah berani menghina anak murid Hoa san pai.” Sambil berkala demikian kembali ia menghadapi hwesio itu dengan kedua tangan bertolak pinggang dan dengan sikap menantang sekali.
“Sumoi, jangan main main. Dia lihai sekali!” kata Gan Hok Seng memperingatkan sumoinya karena peauwsu muda ini tadi telah merasakan sendiri kelihaian hwesio itu.
“Sumoi, biar susiok menghadapinya, jangan main main!” Lie Bu Tek juga memperingatkan, karena tiga tabun yang lalu, ketika ia hendak meninggalkan perguruan, sumoinya yang paling kecil ini kepandaiannya masih di bawah tingkatnya sendiri. Sedangkan dia sebagai murid pertama dari Hoa san pai yang sudah banyak merantau dan berpengalaman, masih tidak kuat menghadapi hwesio ini, apalagi sumoinya yang cantik dan jenaka ini?
Adapun Thio Ling In, gadis murid Liang Bi Suthai yang juga memiliki watak jenaka akan tetapi keras, melihat betapa sumoinya berani mempermainkan Tiauw It Hosiang tertawa geli dan berkata kepada Tan Seng, “Susiok, biarkan teecu membantu sumoi menghadapi si gundul sombong ini !”
“Tak usah, suci, tak usah! Orang macam ini saja perlu apa harus kau sendiri turun tangan? Cukup dihadapi murid termuda dari Hoa san pai! Nah, Tiauw It Hosiang, kau hendak berkata apa sekarang?” Bi Lan kembali mengejek hwesio itu.
Kulit muka hwesio itu sebentar menjadi merah sampai ke kepalanya dan sebentar pula menjadi sangat pucat saking menahan marahnya. “Kau... kau... akan kubunuh kau...” hanya ini yang dapat keluar dari mulutnya dengan dada terengah engah, kemudian ia mengumpulkan tenaganya, menggerak gerakkan kedua tangannya. Seperti tadi ketika menghadapi Lie Bu Tek, dadanya mengempis dan perutnya mengembung, mukanya pucat dan sepasang matanya melotot memandang kepada Bi Lan! Ia melangkah maju dengan kedua tangan terkepal akan tetapi jari telunjuknya lurus keluar. Saking marahnya, menghadapi anak dara ini Tiauw It Hosiang tidak segan segan mengeluarkan ilmunya yang paling dibanggakan dan diandalkan, yakni It ci tiam hwelouw yang jarang sekali gagal dalam menghadapi lawan tangguh.
Lie Bu Tek menjadi pucat ketika melihat ini, juga Thio Ling In dan Gan Hok Seng memandang dengan hati berdebar debar dan diam diam mereka menyesali sumoinya yang dianggap terlalu sembrono itu. Hanya Tan Seng seorang yang masih tenang tenang saja. Bagaimana sikap Bi Lan sendiri? Sungguh mengherankan, gadis ini bahkan mentertawakan Tiauw It Hosiang. Ia tertawa tawa sambil menutup mulut dengan tangan kirinya, sama sekali tidak memasang kuda kuda untuk menghadapi serangan lawan.
“Aha, badut gundul, kembali kau berjoget kepiting!”
Tiauw It Hosiang mengeluarkan bentakan parau menyeramkan dan tubuhnya menubruk maju, melakukan serangan dengan kedua jari telunjuknya yang kiri menotok jalan darah Hong sai hiat di lutut kanan, sedangkan jari kanan menotok jalan darah Kiam ceng hiat di pundak kiri nona itu! Memang luar biasa dan hebat sekali serangan beruntun yang hampir berbareng telah menyerang bagian bagian tubuh yang berjauhan ini.
“Ayaaa! Tidak tahunya kepiting gnndul ini galak!” dengan amat lincahnya Bi Lan mengelak ke belakang menghindarkan serangan totokan yang lihai itu. Gerakannya tadi ketika mengelak adalah gerakan dari langkah kaki yang disebut Tui po lian hoan (Gerakan Kaki Mundur Berantai). Ketiga kakak seperguruannya tentu saja sudah mempelajari Tui po lian hoan, akan tetapi mereka merasa kagum sekali ketika menyaksikan betapa gerakan kaki ini dapat dipergunakan untuk menghindarkan diri dari serangan yang demikian berbahaya. Di samping itu, Bi Lan masih bisa mengeluarkan kata kata ejekan pula!
“Mampus kau!” Tiauw It Hosiang dengan marah menyerang terus tanpa memberi kesempatan kepada lawannya. Kini kaki kanannya menendang dari bawah ke arah pusar sedangkan dua telunjuknya melakukan totokan berbareng ke arah leher dan ulu hati. Dengan demikian, maka sekaligus ada tiga serangan yang mengancam diri Bi Lan
Dengan bibir masih tersenyum manis, Bi Lan menghadapi serangan maut ini dengan gerak tipu Ouw po lat kiang (Menggeser Kaki Menarik Busur). Gerakan ini indah sekali karena sambil mengelak dari tendangan kaki lawan, kedua tangannya bergerak maju dan sekaligus ia menyambut totokan lawan dengan mendahuluinya menotok ke arah sambungan siku!
Kembali Lie Bu Tek dan dua orang adik seperguruannya melongong, karena biarpun mereka telah mempelajari gerak tipu Ouw po lat kiang ini, namun harus mereka akui bahwa gerakan mereka takkan secepat dan setepat itu. Ketika mereka melirik ke arah susiok mereka, Tan Seng hanya mengangguk angguk puas dan nampaknya juga kagum dan gembira sekali!
Tentu saja Tiauw It Hosiang tidak mau membiarkan sambungan sikunya ditotok lawan, maka cepat ia menarik kembali kedua tangannya. Akan tetapi sekarang Bi Lan tidak mau memberi hati dan memberi kesempatan kepada lawannya untuk menyerang terus, ia membalas dengan serangan serangan hebat pula dan yang ia pergunakan untuk menyerang adalah Pukulan Hun kai ciang hwat (Pukulan Memecah dan Membuka). Memang pukulan ini tepat sekali untuk menghadapi lt ci tiam hwelouw sehingga pertempuran berjalan luar biasa ramainya. Tentu saja dara yang masih hijau belum berpengalaman itu kalah dalam hal tenaga dan kemahiran kaki tangan, akan tetapi tak dapat disangkal pula bahwa Bi Lan menang dalam kegesitan, ketabahan dan ketenangan. Benar benar amat mengagumkan betapa dara itu mempermainkan Tiauw It Hosiang seperti seorang dewasa mempermainkan seorang anak kecil saja!
Pertempuran telah berlangsung empat puluh jurus lebih dan belum juga Tiauw It Hosiang mengalahkan atau mendesak gadis itu! Hal ini benar benar membuat dada hwesio itu hampir meledak saking marah dan penasaran, ia sengaja datang untuk menantang empat tokoh dari Hoa san pai, dan kini menghadapi murid termuda dari Hoa san pai saja, sampai kepalanya yang licin itu berpeluh belum juga ia dapat mengalahkannya! Ia mengeluarkan suara seperti seekor biruang marah, lalu merobah ilmu silatnya dan kini setiap pukulannya ditujukan untuk membunuh...!