Pendekar Budiman Jilid 03
BI LAN juga merasa penasaran karena ia tidak dapat mengalahkan hwesio ini. Ketawanya mulai menghilang dan ia bersungguh sungguh untuk merobohkan lawannya. Gadis ini semenjak kecilnya memiliki kecerdikan yang luar biasa sekali. Kini setelah ia mengeluarkan seluruh kepandaian dan pikirannya di dalam pertempuran ini, mulailah ia mencari akal untuk mengalahkan hwesio yang tangguh ini. Ia tadi melihat betapa hwesio itu mudah sekali marah dan ternyata amat berangasan. Kalau dilawan keras sama keras, mungkin dia akan kalah karena hwesio itu benar benar tangguh. Maka setelah berpikir masak masak, Bi Lan kembali memasang senyumnya yang manis dan tiba tiba ia merobah ilmu silatnya dan kini ia mainkan Ilmu Silat Bi ciong kun, semacam ilmu silat lemas dan lemah gemulai akan tetapi penuh terisi dengan tipu tipu menyesatkan!
Karena memang gadis ini merupakan seorang dara remaja, maka bagaikan setangkai bunga ia sedang mekarnya dan Bi Lan memiliki potongan yang langsing dan menggairahkan. Setelah mainkan ilmu silat ini, ia berhasil mempermainkan lawannya dan membuat hwesio itu menjadi makin penasaran dan marah. Memang di dalam gerakan Bi ciong kun ini terisi tipu tipu yang sifatnya mengejek dan mempermainkan, bagaikan seorang penari sedang menari indah dan tiap kali hwesio itu menyerang selalu mengenai tempat kosong!
Pada saat yang amat baik di mana terdapat lowongan. Bi Lan tidak menyia nyiakan kesempatan ini dan cepat mengirim pukulan tangan kiri dengan ilmu pukulan dari Hoa san pai aseli. Tiauw It Hosiang tak sempat mengelak lagi dan terpaksa ia mengerahkan lweekangnya ke bagian dada yang terpukul, sedangkan telunjuk kirinya dengan cepat lalu mengirim totokan ke arah pangkal lengan gadis itu, yakni bagian tubuh lawan yang terdekat di waktu itu.
“Duk!” pukulan tangan kiri Bi Lan mengenai sasaran dan tubuh hwesio itu terlempar sampai setombak lebih dan biarpun ia roboh dalam keadaan berjongkok dan segera berdiri lagi, namun mukanya pucat sekali dan ia telah menderita luka dalam yang cukup lumayan. Akan tetapi, Bi Lan juga tertolak ke belakang dan gadis ini menahan rasa sakit pada pangkal lengan kanannya, bahkan masih tersenyum mengejek memandang kepada Tiauw It Hosiang. Padahal lengan kanannya pada saat itu telah menjadi lumpuh!
Tiauw It Hosiang kaget sekali melihat betapa dara itu tidak nampak sakit terkena totokannya tadi, seakan akan gadis itu tidak merasa sama sekali. Betul betulkah anak ini dapat menahan totokannya tadi? Dengan malu dan penasaran di dalam hati, Tiauw It Hosiang menjura ke arah orang orang Hoa san pai ini sambil berkata,
“Bukan kepandaian Hoa san pai yang terlalu tinggi, melainkan pinceng (aku) yang lalai dan kurang latihan. Tan lo enghiong, biarlah kali ini pinceng mengaku kalah, akan tetapi kami dari Go bi pai akan merasa terhormat sekali kalau sewaktu waktu kami mengadakan pibu dengan kalian orang orang Hoa san pai.” Setelah berkata demikian, hwesio ini membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.
“Tiauw It Hosiang, kau telah terluka oleh pukulan Tin san ciang (Pukulan Menggetarkan Gunung), mari kuobati lukamu itu!” kata Tan Seng yang diam diam merasa gembira dan kagum sekali melihat cucunya berhasil mengalahkan hwesio itu!
Tiauw It Hosiang menengok dan mukanya menjadi makin garang. “Terima kasih, biarlah luka ditimbulkan oleh pukulan Hoa san pai dan diobati dengan obat Go bi pai! Selamat berpisah,” Hwesio ini sambil menahan sakit lalu pergi dari situ dengan cepat.
“Hem, orang macam dia mana pantas menjadi pendeta?” Tan Seng berkata perlahan seperti pada diri sendiri, akan tetapi ketika ia menengok ke arah Bi Lan, ia menjadi kaget sekali. “Bi Lan, kau kenapa?” Gadis itu nampak pucat dan meringis kesakitan setelah lawannya sudah pergi.
“Lengan kananku, kong kong. Ketika aku memukul dengan tangan kiri, ia telah berhasil menotok jalan darah di pangkal lengan kananku.”
Tan Seng memegang lengan kanan gadis itu dan setelah menekan nadinya, ia berkata, “Tidak ada yang luka, hanya totokan Go bi pai ini lain dari pada tiam hwat (ilmu totok) kita, apalagi Tiauw It Hosiang berjuluk It ci sinkang. Twa suhumu (guru tertua) paling ahli tentang jalan darah, kau mintalah dia menolongmu sekalian melaporkan kedatangan kedua suheng dan sucimu.”
Bi Lan lalu berloncat loncatan dan berlari mencari twa suhunya, yakni Liang Gi Cinjin di dalam kuil.
“Susiok, mengapa kepandaian sumoi menjadi sehebat itu?” Thio Ling In bertanya kepada Tan Seng dan jelas nampak rasa iri hatinya sebagaimana telah lajimnya terdapat dalam watak sebagian besar wanita. “Ia memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada teecu, bahkan masih lebih tinggi dari pada kepandaian Lie suheng sendiri! Agaknya ada rasa pilih kasih dan berat sebelah dalam perguruan kita.”
Tan Seng tersenyum dan menggeleng geleng kepalanya. “Ling In dan kalian juga, Bu Tek dan Kok Seng. Jangan kalian mengira yang bukan bukan. Apakah kalian tidak melihat suatu gerakan dalam ilmu silat Bi Lan yang belum pernah kalian pelajari? Nah, tentu kalian sudah melihatnya sendiri bahwa semua ilmu silatnya tadi adalah ilmu silat Hoa san pai kita yang kalian sudah pelajari. Guru gurumu tidak berat sebelah dan juga tidak pilih kasih. Sesungguhnya anak itu sendiri yang membuat kepandaiannya jadi sempurna dan sebaik itu. Tahukah kalian bahwa sekarang aku sendiripun agaknya takkan dapat menandinginya? Anak itu amat maju karena bakatnya dan karena ia memang tekun sekali melatih diri.”
Tiga orang muda itu menjadi amat kagum dan setelah mereka mengingat ingat, memang betul bahwa semua gerakan Bi Lan ketika menghadapi hwesio tadi, tidak ada yang tidak mereka kenal. Akan tetapi bagaimanakah ilmu silat Bi ciong kun saja dapat dipergunakan untuk menghadapi Tiauw It Hosiang yang memiliki kepandaian begitu tinggi?
“Tinggi dan rendahnya tingkat kepandaian seorang, bukan semata mata tergantung pada ilmu silatnya, akan tetapi terutama sekali tergantung kepada orang yang memainkannya.” Tan Seng memberi penjelasan. “Ilmu silat yang biasa dan sederhana saja dapat menjadi ilmu yang amat tangguh dan lihai jika dimainkan oleh seorang yang telah menguasainya betul betul dan yang melatihnya sampai ilmu silat itu seakan akan mendarah daging sehingga gerakan gerakannya menjadi otomatis. Sebaliknya ilmu silat yang bagaimana tinggipun akan percuma saja apabila dimainkan oleh orang yang hanya menguasai kulitnya saja.”
Ketiga murid Hoa san pai ini mendengarkan sambil menundukkan kepala dan mereka berjanji di dalam hati akan berlatih lebih tekun lagi. Tak lama kemudian, datanglah Bi Lan berlari larian dengan wajah girang. Ternyata, benar sebagaimana kata kong kongnya tadi, sebentar saja twa suhunya. Liang Gi Tojin atau juga disebut Liang Gi Cinjin, dapat memulihkan lengan kanannya yang lumpuh, bahkan lalu menjanjikan untuk mengajar rahasia Ilmu Pi ki hu hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) untuk menghindarkan serangan totokan lawan.
“Twa suhu, ji suthai dan sam suhu dengan girang minta suheng dan suci datang di ruang besar,” kata Bi Lan sambil memegang lengan Ling In. “Suci, kau menjadi makin cantik jelita saja!”
Ling In memeluk sumoinya dan berkata dengan bangga, “Sumoi, kaulah yang amat manis dan kepandaianmu benar mengagumkan hatiku.”
“Ah, bagaimana suci bisa bilang begitu kalau melawan seorang gundul saja aku sampai terkena totokannya?” Sepasang alis Bi Lan berkerut dan ia benar benar merasa amat penasaran dan tidak puas.
“Tapi kau tadi boleh bilang telah mendapat kemenangan, sumoi!”
“Aku tidak puas, suci. Aku masih belum patut menyebut diri sendiri berkepandaian kalau menghadapi seorang seperti Tiauw It Hosiang saja masih terluka. Aku harus belajar lebih giat lagi!”
Diam diam Ling In menjadi makin kagum dan ia membenarkan kata kata susioknya tadi tentang kebesaran semangat Bi Lan dalam pelajaran ilmu silat. Mereka lalu menuju ke ruang besar dalam kuil di mana telah menanti Liang Gi Tojin, Liang Bi Suthai, dan Liang Tek Siangseng. Tokoh tokoh Hoa san pai ini merasa girang melihat kedatangan murid murid mereka, dan ketika mendengar tentang penyerbuan Tiauw It Hosiang, Liang Bi Suthai menjadi marah. Memang tokouw ini berwatak keras. Sambil mengepal tangannya ia berkata,
“Orang orang Go bi pai memang sombong sekali! Aku tahu mereka itu tentu masih menaruh hati dendam karena dahulu aku telah membunuh penjahat yang ternyata anak murid mereka itu. Baiklah, lain kali aku sendiri akan datang ke sana untuk membereskan hal ini agar jangan berlarut larut menjadi permusuhan besar!”
Liang Gi Tojin menarik napas panjang. “Sumoi, memang sebaiknya kalau kau membereskan urusan ini dengan Kian Wi Taisu, ketua Go bi pai sendiri. Akan tetapi harap kau suka berlaku sabar agar jangan membikin ribut pula Go bi san.” Setelah berkata demikian. Liang Gi Tojin lalu bertanya kepada muridnya, “Bu Tek, bagaimana dengan penyelidikanmu tentang Gua Makam Pahlawan? Apakah kedatanganmu sekarang ini ada hubungannya dengan itu?”
“Betul suhu. Teecu mendengar dari orang orang kang ouw bahwa Gua Makam Pahlawan yang dimaksud oleh Tan susiok itu berada di puncak Tapie san di sebelah selatan Sungai Huai kiang. Akan tetapi ...” Pemuda yang gagah ini mengerutkan keningnya seakan akan ada sesuatu yang membuat dia merasa ngeri.
“Bagaimana, Bu Tek? Apa yang hendak kau katakan?” Liang Tek Sianseng mendesak.
“Teecu mendengar berita yang amat menggelisahkan, susiok,” jawab Bu Tek. “Menurut berita yang teecu dengar, Pegunungan Ta pie san adalah tempat yang amat berbahaya kalau tidak boleh disebut tak mungkin didatangi manusia. Di sana menjadi pusat dari pada perkumpulan rahasia Hui eng pai (Perkumpulan Garuda Terbang) dengan tiga orang ciang bun jin (ketua) mereka yang amat terkenal jahat dan ganas, yakni Hui to Sam eng.”
Memang tiga orang ketua dari perkumpulan Hui eng pai menggunakan nama julukan di mana terdapat huruf huruf Hui eng, akan tetapi Hui to sam eng kalau diterjemahkan boleh juga diartikan Tiga Pendekar Golok Terbang, karena biarpun dituliskan jauh berbeda namun Eng dapat diartikan Garuda atau Pendekar.
Mendengar keterangan ini, Liang Gi Tojin mengangguk angguk “Pantas saja mereka itu tidak kelihatan lagi, tidak tahunya bersembunyi di Gunung Ta pie san. Memang mereka itu terkenal suka sekali mencari permusuhan dan tidak memandang kepada golongan lain. Akan tetapi, apakah jalan menuju Gua Makam Pahlawan itu hanya dapat dilakukan melalui tempat tinggal Hui eng pai saja?”
“Memang ada jalan mendaki dari jurusan lain, suhu. Akan tetapi menurut keterangan orang kang ouw, bahkan jalan yang lain itu lebih berbahaya lagi, karena kabarnya di situ bersembunyi Coa ong Sin kai.”
Kini empat orang tokoh Hoa san pai itu terkejut. “Apa? Setan pemelihara ular itu masih hidup?” kata Liang Tek Sianseng. “Kukira dia tewas dalam tangan Thian te Siang mo.”
Pada saat itu tiba tiba terdengar suara ketawa bergelak dari luar kuil. Cepat sekali adalah gerakan Bi Lan, karena sebelum lain orang melakukan sesuatu gerakan, gadis ini telah melompat keluar. Suara ketawa itu disambung oleh kata kata yang parau menyeramkan,
“Siapa bilang Coa ong Sin kai tewas? Dia tidak akan dapat mati karena memiliki tiga nyawa cadangan, ha ha ha!”
Keempat tokoh Hoa san pai menjadi terkejut sekali dan lalu melompat keluar untuk melihat siapa orangnya yang demikian lihai sehingga dapat mendengar percakapan yang dilakukan di dalam kuil. Bu Tek dan kedua adik seperguruannya juga menyusul guru guru mereka keluar dari kuil itu dengan hati berdebar!
Ketika semua orang tiba di luar, mereka melihat Bi Lan sedang bertempur melawan seorang kakek tinggi kurus yang bermata liar. Kakek itu bertempur sambil tertawa tawa menghadapi Bi Lan dengan tangan kosong sedangkan gadis itu yang menggunakan pedangnya nampak tak berdaya dan dipermainkan saja oleh kakek tinggi kurus itu.
“Coa ong Sin kai!” Liang Tek Sianseng berseru kaget lalu kedua kakinya bergerak dan melompatlah ia ke tempat pertempuran itu. Tangan kanannya telah memegang senjata Poan koan pit, yakni senjatanya yang dapat dipergunakan untuk menulis. “Harap kau jangan mencari permusuhan dengan kami orang orang Hoa san pai,” serunya.
Akan tetapi Coa ong Sin kai tertawa bergelak. “Ha ha ha, kalian masih menjaga di Hoa san? Ha ha ha, nona kecil ini manis sekali, aku suka padanya. Ada jodoh antara dia dan aku, ha ha!” Sambil berkata demikian tanpa memperdulikan Liang Tek Sianseng kakek yang seperti gila ini lalu menggerakkan kedua tangannya. Tahu tahu pedang di tangan Bi Lan telah kena ditangkapnya. Sungguh mengherankan dan hebat sekali kakek ini yang dapat menangkap pedang tajam begitu saja dengan tangannya!
Bi Lan menggunakan tenaganya membetot dengan maksud melukai tangan kakek itu, akan tetapi alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa pedangnya itu telah patah menjadi dua! Sebelum ia hilang kagetnya, tiba tiba ia merasa tubuhnya lemas karena jari jari tangan kiri kakek itu telah mencengkeram pundaknya dan menekan jalan darahnya. Di lain saat ia telah dikempit oleh Coa ong Sin kai!
“Setan gila, kau lepaskan muridku!” Liang Bi Suthai dengan marah sekali maju menerjang dan memukul dengan kepalan tangannya.
Angin pukulannya membuat pakaian Coa ong Sin kai yang compang camping itu berkibar, akan tetapi kakek gila ini dengan gerakan yang aneh dapat mengelak dan membalas serangan itu dengan pukulan pukulan berantai. Memang hebat sekali kepandaian Coa ong Sin kai. Biarpun tangan kirinya memondong tubuh Bi Lan yang tak berdaya karena tertotok, namun tangan kanannya dan kedua kakinya masih dapat bergerak dengan amat cepatnya dan menghadapi serangan berantai ini, Liang Bi Suthai sendiri tokoh kedua dari Hoa sanpai sampai berlompatan mundur untuk menyelamatkan diri!
Kembali Coa ong Sin kai tertawa bergelak. “Anak ini berjodoh dengan aku, jangan kalian menghalangi. Ha ha ha!”
“Coa ong Sin kai, kau manusia iblis. Lepaskan muridku!” Liang Gi Tojin menggerakkan tubuhnya dan menyerang dengan ilmu silat Hoa san pai yang paling berbahaya. Liang Gi Tojin adalah seorang ahli kebatinan, jarang sekali ia mengeluarkan ilmu silatnya, akan tetapi kalau ia sudah mau mengeluarkannya, ternyata bahwa semua gerakannya adalah ilmu ilmu silat yang paling lihat dari Hoa san pai. Juga tenaga lweekangnya adalah paling tinggi diantara adik adik seperguruannya. Namun Coa ong Sin kai tidak menjadi gentar. Kini tangan kanannya telah memegang senjatanya yang ringan sederhana, akan tetapi lihai itu yakni sebatang bambu yang berwarna kuning berbintik bintik hijau.
Tan Seng yang semenjak tadi melihat keadaan cucunya dengan hati gelisah, kini dengan amat marah telah mencabut goloknya dan menyerbu kakek gila itu, membantu twa suhengnya. Demikianpun Liang Bi Suthai dan Liang Tek Sianseng, cepat maju mengurung sehingga kakek gila itu kini terkurung dan dikeroyok oleh empat tokoh Hoa san pai!
Lie Bu Tek, Thio Ling In dan Gan Hok Seng hanya menonton saja dengan hati berdebar, karena melihat gerakan kakek gila itu, mereka tahu bahwa tidak akan ada gunanya kalau mereka ikut mengeroyok Kepandaian kakek itu terlalu tinggi dan kalau mereka membantu, bahkan hanya akan mengganggu pengeroyokan empat orang tua itu.
Ketika tadi menghadapi Liang Gi Tojin, biarpun ditambah lagi dengan Tan Seng, kakek gila itu masih dapat menahan bahkan dapat membalas serangan serangan mereka. Akan tetapi kini setelah empat orang tokoh Hoa san pai yang rata rata berkepandaian tinggi itu maju semua mengeroyok Coa ong Sin kai menjadi sibuk juga. Kalau saja ia tidak sedang memondong tubuh Bi Lan, mungkin ia takkan kalah dan akan dapat merobohkan empat orang pengeroyoknya. Sebaliknya, serakan empat orang tokoh Hoa san pai itupun tidak leluasa karena mereka takut kalau kalau serangan mereka akan mengenai tubuh Bi Lan.
Tiba tiba kakek itu tertawa lagi dan berkata. “Kalian curang, main keroyokan! Sudah, aku pergi!” Ia lalu menggunakan tubuh Bi Lan yang dipegang kedua lengannya untuk diputar sedemikian rupa sebagai pengganti senjata! Tentu saja Liang Gi Tojin dan adik adik seperguruannya menjadi terkejut sekali dan melompat mundur agar jangan sampai melukai Bi Lan sendiri dan dengan demikian, Coa ong Sin kai dengan enaknya dapat turun gunung dan melarikan Bi Lan!
“Celaka!” Tan Seng membanting banting kakinya. “Kalau dia mengganggu Bi Lan, aku akan mengadu nyawa dengan dia!”
“Percuma saja kita mengejarnya,” kata Liang Gi Tojin “Dia tidak waras otaknya, kalau kita mendesak mungkin dia bahkan membunuh Bi Lan. Kita harus mengikutinya diam diam dan mencari kesempatan untuk merampas Bi Lan kembali. Lagi pula, biarpun dia terganggu otaknya, kulihat sinar matanya tidak mengandung kebuasan terhadap Bi Lan, tidak ada hawa nafsu jahat terbayang pada matanya. Maka aku yakin bahwa dia takkan mengganggu Bi Lan.”
“Kalau tidak hendak mengganggu, mengapa dia menculik Bi Lan ?” tanya Liang Bi Suthai dengan kening berkerut, tanda bahwa ia sedang gelisah sekali.
Liang Gi Tojin menggerakkan pundaknya. “Siapa tahu jalan pikiran seorang gila? Mungkin diambil anak, mungkin diambil sebagai murid siapa tahu?”
“Dia tadi menyatakan ada jodoh, kurasa dia ingin mengambil murid kepada Bi Lan.” kata Liang Tek Sianseng dengan suaranya yang halus seperti lazimnya suara seorang terpelajar. “Biarpun dia gila, akan tetapi seorang yang berkepandaian silat tinggi tentu akan dapat dengan mudah melihat bakat bakat yang luar biasa dalam diri Bi Lan dan tentu inilah yang menarik hatinya untuk mengambil Bi Lan sebagai muridnya.”
Semua orang membenarkan dugaan ini dan hati mereka agak merasa lega. Betapapun juga, Tan Seng mengambil keputusan untuk menyelidiki dan mengejar ke Ta pie san, sekalian hendak mencari Goa Makam Pahlawan seperti yang diterangkan oleh Lie Bu Tek tadi. Tiga orang murid Hoa san pai itu menyatakan hendak ikut dengan Tan Seng, karena merekapun merasa sedih mengingat akan nasib Bi Lan dan ingin sekali turun tangan membantu susiok mereka dan menolong Bi Lan.
Adapun Liang Tek Sianseng lalu menyatakan hendak mencari seorang tokoh terbesar di dunia kang ouw pada waktu itu untuk dimintai pertolongannya. Ia percaya bahwa kalau tokoh kang ouw ini yang mendatangi Coa ong Sin kai dan menggunakan pengaruhnya, tentu kakek gila itu akan mengembalikan Bi Lan ke Hoa san pai. Tokoh terbesar pada waktu itu, yang namanya terkenal di seluruh penjuru dunia, bukan lain adalah Pak Kek Siansu (Guru Dewa Kutub Utara), seorang kakek sakti yang bertapa di Puncak Pegunungan Lu liang san, yakni puncak yang disebut Jeng in thia (Ruang Seribu Awan).
Kakek ini dahulunya datang dari utara, dari mana asalnya tak seorangpun mengetahuinya, maka ia disebut Guru Dewa Kutub Utara. Baru kira kira sepuluh tahun yang lalu ia bertapa di puncak Gunung Lu liang san akan tetapi biarpun dia sendiri belum pernah turun gunung dan mencampuri urusan dunia, semua orang di dunia kang ouw tahu belaka bahwa kakek ini memiliki kesaktian yang luar biasa sekali. Banyak sudah tokoh tokoh dunia persilatan yang ingin menguji kepandaian Pak Kek Siansu, akan tetapi apa yang selalu terjadi?
Jagoan jagoan ini setelah tiba di Jeng in thia, dengan mudah dirobohkan oleh tiga orang kakek pelayan yang selalu melayani keperluan Pak Kek Siansu, yang boleh juga disebut sebagai murid muridnya! Baru menghadapi pelayan pelayannya saja sudah tak ada yang dapat mengalahkan, apalagi kalau Pak Kek Siansu turun tangan sendiri! Akan tetapi kakek sakti ini tak pernah mau turun tangan, bahkan banyak sudah yang tunduk baru mendengar wejangan dan melihat sikapnya saja.
Biarpun Pak Kek Siansu tak pernah mencampuri urusan dunia ramai, akan tetapi oleh karena ia terkenal sakti, maka ia disegani dan dihormati oleh semua golongan, baik dari golongan orang orang kang ouw yang gagah perkasa, maupun dari mereka yang memilih jalan hitam dan dikenal sebagai orang orang jahat.
Dan oleh karena menganggap bahwa perbuatan Coa ong Sin kai yang menculik murid perempuannya itu keterlaluan sekali, maka Liang Tek Sianseng mengambil keputusan untuk melaporkannya kepada Pak Kek Siansu dan mohon pertolongannya agar murid itu dapat dilepaskan dari kekuasaan Coa ong Sin kai, pengemis yang gila itu. Sudah beberapa kali Liang Tek Sianseng mengunjungi Pak Kek Siansu dan kakek sakti itu suka sekali kepada sasterawan ini, yang selain pandai menulis syair, juga pandai sekali bermain catur.
Pada hari itu juga, Liang Bi Suthai berangkat meninggalkan puncak Hoa san. Pendeta wanita ini hendak mengunjungi Go bi san dan hendak bertemu dengan Kian Wi Taisu untuk menghilangkan segala kesalahpahaman antara Hoa san pai dan Go bi pai.
Dengan demikian yang tinggal di kuil puncak Hoa san hanya Liang Gi Tojin seorang. Pertapa ini sepeninggal semua orang lalu duduk bersamadhi di dalam kamarnya, mendoakan agar tugas sumoi dan sutenya akan berhasil dengan baik dan semua orang dapat terhindar dari pada malapetaka.
Seperti pernah dituturkan di bagian pertama dari cerita ini, Gunung Ta pie san di bagian timur merupakan daerah yang amat sukar dilewati orang, penuh dengan hutan hutan yang amat dalam. Belum pernah ada orang berani mendaki Gunung Ta pie san melalui lereng timur, maka Goa Makam Pahlawan tempat bertapa ThianTe Siang mo itu belum pernah terlihat oleh siapapun juga Hanya ada beritanya didengar orang bahwa di puncak Ta pie san terdapat goa penuh tengkorak yang disebut Makam Pahlawan, akan tetapi jarang sekali ada orang yang pernah menyaksikan dengan mata sendiri.
Jalan yang paling aman untuk mendaki bukit itu adalah dari selatan dan bahkan semenjak mulai dari kaki gunung terus naik ke lerengnya terdapat dusun dusun kecil yang penduduknya hidup bertani. Dan di lereng sebelah selatan inilah adanya Coa ong Sin kai yang membawa ularnya dan yang telah banyak mengorbankan banyak nyawa anak kecil sebagaimana pernah dituturkan, di mana ia dapat dikalahkan oleh Go Ciang Le, murid tunggal dari Thian Te Siang mo!
Adapun bagian yang dipergunakan untuk markas besar atau tempat persembunyian perkumpulan rahasia Hui eng pai, adalah di lereng sebelah barat di mana banyak terdapat hutan hutan liar dan binatang binatang buas. Oleh karena kepergian mereka ke Ta pie san memang hendak mencari jejak Coa ong Sin kai di samping tujuan untuk mencari Goa Makam Pahlawan, maka Tan Seng dan tiga orang murid keponakannya mengambil jalan dari selatan. Setiap kali mereka masuk ke dalam sebuah dusun, Tan Seng lalu mengajukan pertanyaan kepada penduduk tentang Coa ong Sin kai, akan tetapi tiada seorangpun pernah mendengar tentang kakek yang bernama Coa ong Sin kai.
Akan tetapi setelah mereka tiba di lereng yang agak tinggi, di dalam sebuah dusun mereka mendengar berita yang amat mendebarkan hati Tan Seng. Ia mendengar beberapa bulan yang lalu, di dalam hutan terdapat seorang siluman dengan ularnya yang suka makan anak anak kecil, kemudian datang seorang pemuda yang mereka sebut sebagai Hwa i eng hiong yang telah membunuh ular itu dan telah mengusir siluman tinggi kurus itu.
Ketika para petani itu menggambarkan keadaan siluman itu, tidak ragu ragu lagi hati Tan Seng, bahwa siluman itu tentu Coa ong Sin kai. Akan tetapi, siapakah pemuda itu? Mungkinkah…? Tan Seng tak berani melanjutkan jalan pikiran dan renungannya. Akan tetapi, kini bernyala api harapan di dalam hatinya. Tak mungkin kalau keturunan satu satunya dari puterinya lenyap begitu saja. Tak mungkin kalau semangat kepahlawanan dari mantunya, yaitu Go Sik An, akan habis demikian saja dan tidak menurun kepada putera tunggalnya, yang lenyap semenjak kecil. Hwa i enghiong? Pendekar Baju Kembang? Terbayanglah di depan mata Tan Seng baju kembang dari mantunya yang dipakai ketika mantunya mati digantung oleh tentara Kin dan berdengunglah dalam telinganya pesan isterinya agar supaya kelak Ciang Le putera tunggalnya itu selalu mengenakan baju kembang! Apakah hubungan Hwa i enghiong, yang telah mengalahkan Coa ong Sin kai itu dengan putera dari Tan Ceng, puterinya?
Akan tetapi, tentu saja orang orang dusun itu tidak dapat menceritakan banyak banyak, karena mereka sendiripun tidak tahu siapa nama sebetulnya dari Hwa i enghiong yang tidak mau menyebutkan namanya itu. Juga ketika mereka itu ditanyai tentang Goa Makam Pahlawan, semua orang dusun itu menggeleng kepala. Jangankan mengetahui, mendengarpun belum pernah!
Tan Seng dan murid murid keponakannya melanjutkan perjalanannya. Makin tinggi mereka mendaki, makin liarlah hutan hutan di gunung itu dan kini tidak terdapat rumah orang sama sekali. Keadaan mulai menyeramkan, hutan hutan itu benar benar besar dan liar. Beberapa kali mereka melihat ular ular besar bergantungan di pohon dan terdengar auman binatang binatang buas. Mereka berempat adalah orang orang gagah yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu saja tidak merasa takut dan melanjutkan perjalanan tanpa banyak cakap.
Tan Seng yang memimpin rombongan ini maju terus, sama sekali tidak mengira bahwa rombongannya mulai membelok ke barat. Sukar sekali di dalam hutan hutan liar dan jalan yang sukar itu untuk mengenal arah mata angin. Setelah berjalan beberapa jauhnya dan tiba di tebing yang meninggi, barulah dengan terkejut Tang Seng sadar bahwa mereka telah tersesat!
“Jangan jangan kita memasuki daerah Hui eng pai“ katanya perlahan.
Sebagai jawaban dari dugaannya! “Auw... auw… auuuuuww…” Suara ini bergema di seluruh hutan di sebelah bawah! Kemudian terdengar jawaban yang sama dari hutan di sebelah atas! Berdiri bulu tengkuk Ling In ketika ia mendengar suara yang aneh itu saut menyahut dari atas dan bawah. Suara itu mula mula rendah, kemudian meninggi seperti lengking yang menyakitkan telinga.
“Suara apakah itu, susiok?” tanya Ling In kepada Tan Seng.
Kakek petani itu menggeleng kepalanya “Entahlah, Ling In. Aku sendiripun belum pernah mendengar suara seperti itu.”
“Seperti suara srigala,” kata Lie Bu Tek yang banyak pengalaman.
“Suara serigala tidak meninggi seperti itu, suheng. Juga tidak terus menerus. Lebih menyerupai suara monyet besar atau mungkin suara… manusia!” kata Gan Hok Seng yang sebagai seorang piauwsu tentu saja banyak pula melakukan perjalanan melalui hutan hutan besar.
Tiba tiba Tan Seng berseru. “Awas am gi (senjata gelap)!” Dan kakek lihai ini lalu mengebut dengan ujung lengan bajunya. Sebatang anak panah jatuh ke bawah terpukul oleh lengan bajunya. Serangan anak panah gelap ini disusul oleh serangan banyak sekali senjata rahasia yang menghujani mereka sehingga empat orang ini dengan sibuk sekali memutar senjata masing masing untuk menangkis. Suara yang menyeramkan tadi kini telah lenyap.
“Kami adalah pengembara pengembara dari Hoa san pai kalau tanpa disengaja melanggar wilayah orang orang gagah, harap dimaafkan!” kata Tan Seng dengan suara keras sekali karena ia mengerahkan lweekangnya. Benar saja, serangan senjata senjata gelap itu berhenti dengan tiba tiba dan dari atas pohon pohon yang besar itu terdengar suara, “Jangan bergerak dan pergi dari sini sebelum ada putusan dari pangcu (ketua)!”
Tan Seng dan murid murid keponakannya menengok ke atas pohon dari mana suara itu datang, akan tetapi tidak terlihat seorangpun di sana. Kemudian terdengar pula suara lengking tinggi dan dari jauh terdengar balasan terus menerus berbunyi dan yang lama lama menjadi dekat seakan akan suara itu dikeluarkan oleh seekor burung yang sedang terbang datang. Kemudian dengan gerakan yang luar biasa ringan dan cepatnya, tahu tahu di atas pohon depan Tan Seng telah bergoyang goyang dan ketika mereka memandang terlihatlah seorang laki laki tinggi besar yang bermuka merah telah berdiri di atas cabang pohon itu.
Laki laki ini usianya kurang lebih empat puluh tahun dan mukanya mengingatkan orang akan tokoh peperangan di jaman Sam kok yang bernama Kwan In Tiang! Hanya bedanya, kalau Kwan In Tiang memiliki sepasang mata yang bernyala nyala dan membayangkan kegagahan dan kejujuran, adalah orang bermuka merah diatas cabang pohon ini memandang ke arah Ling In dengan sinar mata seorang mata keranjang.
“Sam pangcu dari Hui eng pai telah tiba, diminta orang orang yang di bawah memberi hormat,” terdengar seruan dari atas pohon.
Ucapan ini membuat Bu Tek, Ling In dan Hok Seng menjadi mendongkol sekali, karena mereka merasa betapa mereka direndahkan orang. Mereka tidak sudi memberi hormat, hanya berdiri tegak dengan senjata di tangan dan siap sedia menghadapi segala kemungkinan sebagai layaknya orang orang gagah.
Akan tetapi Tan Seng yang sudah tua dan berpengalaman, ternyata lebih sabar dan tenang. Ia lalu menghadapi si muka merah itu, tersenyum ramah dan menjura untuk memberi hormat sebagaimana pantasnya seorang tamu kepada tuan rumahnya, lalu berkata, “Ah, tidak tahunya lohu (aku yang tua) telah tersesat dan tanpa disengaja memasuki wilayah Hui eng pai. Maaf, maaf, betapapun juga ada girang dalam hati kami karena mendapat kesempatan untuk bertemu dengan sam pangcu (ketua ke tiga) dari Hui eng pai. Sudah lama kami mendengar nama besar dari Hui to Sam eng!”
Si muka merah itu dengan sombongnya memandang kepada Tan Seng, lau berkata dengan suaranya yang mengguntur, “Kalian tadi mengaku orang orang Hoa san pai, dan melihat pakaianmu serta usiamu, agaknya takkan keliru kalau aku menduga kau adalah orang ke empat diri Hoa san yang bernama Tan Seng dan yang menjadi mertua dari Go Sik An, orang yang mengaku bun bu cwan jai (ahli silat dan surat) akan tetapi yang ternyata mati sebagai pengkhianat di tiang penggantungan?”
Merahlah wajah Tan Seng mendengar ini, akan tetapi ia tetap masih dapat menahan kesabarannya. “Tanpa disengaja kami memasuki wilayah Hui eng pai, dan kuulangi lagi permintaan maaf kami yang sebesar besarnya. Kami datang tanpa disengaja, tidak mengandung maksud buruk dan juga tidak ingin mengganggu atau diganggu. Oleh karena itu, harap sam pangcu maafkan kalau kami hendak melanjutkan perjalanan dan mencoba keluar dari wilayah ini.”
Setelah berkata demikian, tanpa perdulikan si muka merah, Tan Seng lalu memberi tanda kepada murid murid keponakannya untuk pergi dari situ dan membelok ke arah timur.
“Hm. tidak begitu mudah, orang she Tan !” tiba tiba si muka merah berkata dengan keras.
Tan Seng menjadi mendongkol dan ia berhenti lalu menengok. “Sam pangcu, apakah yang kau kehendaki dari kami?”
Si muka merah itu menggerakkan tangan kirinya dan meluncurlah delapan sinar perak di sekeliling Tan Seng dan murid murid keponakannya dan ternyata bahwa sinar perak itu adalah delapan batang golok kecil yang kini menancap di atas tanah, mengurung mereka dari delapan penjuru! Si muka merah itu telah membuktikan kelihaiannya dalam penggunaan hui to (golok terbang) yakni golok yang disambitkan seperti senjata rahasia, akan tetapi yang dapat juga dipergunakan sebagai senjata dalam pertandingan silat.
Diam diam Tan Seng memuji karena sekaligus dapat melepaskan delapan batang hui to bukanlah pekerjaan yang mudah, selain membutuhkan tenaga lweekang yang kuat, juga memerlukan latihan yang lama dan tekun Gerakan pelemparan hui to ini disusul oleh melayangnya tubuh yang tinggi besar itu. Pantas saja pangcu ini dijuluki Hui eng atau Garuda Terbang, karena memang gerakannya, amat indah dan ringan sungguhpun tubuhnya tinggi besar. Kedua kakinya tidak mengeluarkan suara ketika ia turun dan berdiri menghadapi Tan Seng dan murid murid keponakannya.
Akan tetapi, tentu saja tokoh Hoa san pai yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu tidak merasa gentar bahkan tiga orang murid keponakannya juga tidak merasa takut. Ling In merasa benci dan muak sekali melihat betapa kepala gerombolon itu memandangnya seperti seekor harimau lapar memandang seekor kelinci yang gemuk! Ia beberapa kali membuang muka apabila pandangan matanya kertemu dengan pandangan mata si muka merah itu.
“Orang orang Hoa san, dengarlah. Aku adalah Ciu Hoan Ta, orang ke tiga dari Hui to Sam eng yang tentu kalian telah mendengar namanya! Kalian bilang tidak bermaksud jahat biarpun telah melanggar dan memasuki wilayah kami? Baik, baik, biar aku percaya saja omonganmu. Akupun takkan mengganggu kalian, akan tetapi ketahuilah bahwa kami Hui eng pai mempunyai peraturan sendiri bagi siapa yang telah memasuki daerah kami!”
“Apakah bunyi peraturanmu itu?” tanya Tan Seng dan ketiga orang murid keponakannya mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Ada tiga macam. Pertama, yang kuat menjadi sahabat. Ke dua, yang lemah masuk tanah dan ke tiga, yang indah menjadi hadiah! Siapapun juga asal sudah memasuki daerah kami, mau tidak mau harus tunduk terhadap peraturan peraturan kami ini!”
Tan Seng menjadi pucat mendengar ucapan ini, juga Hok Seng menjadi marah sekali mukanya. Inilah tanda bahwa Tan Seng dan Hok Seng yang mengetahui maksud peraturan itu, telah marah sekali. Sebagai seorang piauw su Hok Seng banyak berhadapan dengan bangsa perampok, maka ia mengerti istilah istilah di atas, adapun Tan Seng memang sudah banyak pengalaman maka tahulah dia bahwa si muka merah ini tidak bermaksud baik. Akan tetapi ia berpura pura tidak tahu dan minta penjelasan.
“Apakah maksudmu dengan yang pertama bahwa siapa yang kuat menghadapi pertandingan pibu, akan dijadikan sahabat?”
“Betul, betul, kau memang pandai, oran she Tan!”
“Dan yang keduanya, kalau kalah dalam pibu sampai meninggal dunia, tidak boleh, menaruh dendam dan dianggap sudah sepantasnya menjadi isi tanah?” kata pula Tan Seng tanpa memperdulikan kegirangan yang terbayang pada wajah Ciu Hoan Ta.
“Tepat sekali, memang demikianlah!”
“Dan yang ke tiga, kau menghendaki semua barang barang, perbekalan kami yang indah indah, atau tegasnya, kau hendak merampok kami?”
“Ha ha ha, salah! Kali ini kau keliru, orang she Tan. Ketahuilah bahwa biarpun pada umumnya anak buahku memang menghendaki barang barang indah, akan tetapi aku Ciu Hoan Ta tidak butuh akan barang barang indah! Aku telah cukup kaya dan mempunyai banyak emas dan perak. Barang indah yang kali ini kubutuhkan bukanlah benda mati.”
Sepasang mata Tan Seng mengeluarkan cahaya berapi. Biarpun ia merasa marah sekali karena sudah dapat menduga apa yang dimaksudkan oleh Ciu Hoan Ta, namun ia masih menahan sabar. “Apa maksudmu, orang she Ciu?” tanyanya dengan sabar.
“Dengarlah, sahabat sahabat dari Hoa san pai. Mengingat bahwa kita adalah orang orang gagah yang menghargai persahabatan, biarlah aku Ciu Hoan Ta membebaskan kalian dari pibu. Kuanggap kalian ini cukup gagah perkasa untuk dijadikan sahabat, bahkan untuk dijadikan keluarga! Adapun tentang yang ke tiga, aku… aku adalah seorang jejaka! Aku belum menikah dan nona ini... nona ini cocok sekali untuk mempererat tali persaudaraan antara Hui eng pai dan Hoa san pai. Berikan nona ini sebagai isteriku, dan kalian tidak saja akan dibebaskan, bahkan, akan dijadikan tamu tamu agung dari Hui eng pai.” Setelah berkata demikian untuk menutupi rasa jengah yang mengganggunya, Ciu Hoan Ta lalu tertawa bergelak.
“Bangsat tak kenal malu!” tiba tiba Ling In memaki dan cepat ia menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke arah leher Ciu Hoan Ta. Akan tetapi Ciu Hoan Ta sambil tersenyum cepat melompat ke belakang.
“Jangan main main dengan pedang, nona manis. Kalau terluka, aku suamimu akan menjadi susah!”
“Keparat bermulut kotor!” Ling In hendak menyerang lagi, akan tetapi tiba tiba lengannya dipegang oleh Tan Seng yang memberi isyarat dengan mata kepadanya. Dengan marah sekali. Ling In mengundurkan diri dan berdiri di sebelah Lie Bu Tek dan Gan Hok Seng yang juga sudah tak dapat menahan kesabaran mereka lagi.
“Ciu Hoan Ta mengapa kau berlaku keterlaluan kepada kami orang orang Hoa san pai?”
“Apa? Aku mengajukan pinangan secara baik baik, kau masih mengatakan aku keterlaluan?” bentak Ciu Hoan Ta.
“Bagaimana kalau kami menampik?”
Ciu Hoan Ta tertawa besar, diikuti oleh semua anak buahnya yang kini nampak muncul dari balik pohon pohon dan daun daun pohon di atas. “Menampik? Berarti kalian binasa, kecuali calon isteriku.”
“Ciu Hoan Ta, aku mendengar bahwa Huito Sam eng adalah orang orang gagah, apakah kau juga merasa sebagai seorang gagah berani dan tidak curang?”
Ciu Hoan Ta membelalakkan matanya. “Sekali lagi kau mengatakan aku tidak gagah dan curang, golok terbangku akan bicara!”
Tan Seng tersenyum mengejek dan menggerak gerakkan kepalanya. “Ciu Hoan Ta, kalau memang betul kau gagah perkasa dan tidak curang, aku Tan Seng, orang tua lemah dari Hoa San pai, pada saat ini juga menantang kepadamu untuk mengadu kepandaian secara laki laki! Kalau aku kalah dan tewas di tanganmu sudahlah, kau boleh lakukan apa yang kau suka. Akan tetapi kalau kau kalah olehku, kau harus membebaskan murid murid keponakanku yang tiga ini. Bagaimana, beranikah kau?”
Bukan main marahnya Ciu Hoan Ta menerima tantangan ini. Ia memang seorang yang berwatak keras dan sombong, berbeda dari dua orang kakak seperguruannya yang benar benar berkepandaian tinggi dan juga biarpun menuntut kehidupan sebagai kepala kepala gerombolan, namun masih menghargai peraturan dari dunia bu lim dan kang ouw. Ciu Hoan Ta memang belum mempunyai isteri yang sah, karena biarpun sudah seringkali ia menculik anak bini orang tentu saja tidak boleh disebut sebagai isterinya yang sah. Di dalam kesombongannya, Ciu Hoan Ta tadi memandang rendah kepada Tan Seng yang memang kelihatannya lemah dan seorang petani biasa saja, tidak memegang senjata pula.
“Baik, baik, kalau memang kau yang sudah tua bangka ini telah bosan hidup. Akan tetapi kalau kau mati, jangan nona calon isteriku ini kelak merasa menyesal kepadaku! Ha ha ha!” Diam diam Ciu Hoan Ta memberi tanda dengan jari jari tangannya yang merupakan bahasa rahasia dari perkumpulan Hui eng pai. Melihat isyarat ini, anak anak buahnya maklum bahwa kalau ketua mereka nanti terdesak, mereka diharuskan maju mengeroyok! Memang Ciu Hoan Ta ini curang sekali wataknya.
Kemudian Cin Hoan Ta mencabut goloknya yang besar. Gagang golok ini diikat dengan tali yang panjang dan sambil menyeringai dan memandang dengan matanya yang liar ke arah Ling In, Ciu Hoan Ta lalu membelit belitkan tali golok itu kepada pergelangan tangan kanannya. Kemudian ia menggerak gerakkan goloknya dan berkata. “Kakek tua, lekas kau keluarkan senjatamu!”
Tan Seng tadi telah melihat gerakan orang kasar ini dan biarpun harus ia akui bahwa kepandaian lawannya ini benar benar lihai, namun ia merasa masih kuat menghadapinya. Apalagi memang keistimewaan Tan Seng terletak pada sepasang ujung lengan bajunya. Ujung lengan bajunya dapat dipergunakan untuk menotok atau menampar dan kelihaiannya tidak kalah oleh sepasang golok atau pedang!
“Aku tak pernah memegang senjata, kau majulah!” tantang Tan Seng.
Ciu Hoan Ta menjadi marah karena mengira bahwa orang itu memandang rendah kepadanya. Sambil berseru bagaikan seekor garuda menyambar, ia menubruk maju dan membabat dengan goloknya yang bertali pada gagangnya itu. Tan Seng berlaku waspada dan cepat mengelak sambil mengebutkan ujung lengan baju kiri di muka mata lawan untuk membikin bingung, kemudian ia menggerakkan ujung lengan baju kanan untuk menotok ke arah jalan darah di iga lawannya.
Barulah Ciu Hoan Ta terkejut karena serangan tokoh Hoa san pai ini benar benar lihai dan berbahaya sekali. Ia cepat memutar goloknya untuk membabat ujung lengan baju lawan, akan tetapi Tan Seng kembali dapat menggerakkan ujung lengan baju sehingga terhindar dari bacokan. Ciu Hoan Ta lalu mengeluarkan kepandaian simpanannya, yakni Ilmu Golok Hui eng To hwat (Ilmu Golok Garuda Terbang). Dia dan kedua suhengnya menjadi terkenal dan ditakuti orang karena ilmu golok ini. Memang sesungguhnya Ilmu Golok Hui eng To hwat ini benar benar amat lihai, karena selain cepat dan tak terduga gerakannya, juga banyak terdapat tipu tipu yang menyesatkan.
Baiknya bagi Tang Seng bahwa Ciu Hoan Ta hanya menguasai enam puluh bagian saja dari ilmu golok ini dan terutama Sekali yang menyebabkan Ciu Hoan Ta kurang berbahaya adalah wataknya yang sombong, tidak tenang sehingga Tan Seng yang sudah berpengalaman itu dapat menghadapinya dengan hati hati, mengelak dan menangkis serangan lawannya yang membabi buta, sebaliknya membalas dengan serangan serangan yang jitu dan tepat.
Baru saja lima puluh jurus mereka bertempur, nampak dengan nyata bahwa Tan Seng lebih menang pengalaman dan mulai mendesak lawannya. Hal ini dilihat pula oleh anak buah Hui eng pai, maka sambil berseru keras, tujuh orang pembantu Ciu Hoan Ta lalu menyerbu maju sambil menggerakkan golok dan pedang.
“Jangan berlaku curang!” Lie Bu Tek melompat maju dengan pedang di tangannya, demikian pula Ling In dan Hok Seng cepat menghadang datangnya tujuh orang anak buah Hui eng pai ini.
Sementara itu, berhubung terdesak, Ciu Hoan Ta lalu mengeluarkan kepandaiannya yang terakhir. Tiba tiba ia berseru keras dan goloknya menyerang dengan sebuah tusukan, akan tetapi Tan Seng melompat mundur, golok itu terus menyerang, terlepas dari tangan pemegangnya dan terbang mengarah leher kakek itu. Inilah keistimawaan ilmu golok dari Ciu Hoan Ta. Golok itu pada gagangnya diikat dengan tali yang dibelitkan pada pergelangan tangan dan kini golok itu dipergunakan untuk disambitkan tanpa kuatir golok itu akan hilang. Karena apabila serangan itu luput, golok itu bisa ditarik kembali!
Tan Seng terkejut sekali dan ketika ia menyampok dengan ujung lengan bajunya, terdengar suara membrebet dan ujung lengan bajunya itu putus! Ia maklum bahwa dengan disambitkan, golok itu akan lebih berbahaya daripada kalau dipegang oleh Ciu Hoan Ta sendiri.
Melihat betapa goloknya berbasil membabat putus ujung lengan baju Tan Seng, Ciu Hoan Ta tertawa bergelak dan golok itu kembali ke tangannya. Kini ia menyerang lagi, lebih hebat daripada tadi. Goloknya terbang memutar dari kiri dan membabat ke arah leher Tan Seng dengan kecepatan kilat! Akan tetapi Tan Seng telah bersiap sedia. Ia maklum bahwa ia tidak mungkin terus menerus dapat menghadapi serangan aneh ini, maka dengan keberanian luar biasa sekali, ia menanti sampai golok itu terbang dekat. Kemudian, sambil mengeluarkan seruan keras dan mengerahkan lweekangnya, ia lalu menyambar dan memukul golok itu dari pinggir sambil mengerahkan ilmu Pukulan Sin ciang ia liong (Pukulan Sakti Menghantam Naga).
Bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, golok Ciu Hoan Ta itu membalik dan secepat kilat meluncur ke arah dada tuannya! Ciu Hoan Ta mencoba untuk mengelak, akan tetapi ia lupa bahwa golok itu terikat pada pergelangan tangannya maka tetap saja golok itu ikut berobah arahnya dan segera terdengar pekik mengerikan dan golok itu telah menancap di dadanya hampir menembusi punggungnya.
Tan Seng terkejut sekali melihat hasil tangkisannya ini. Ia tidak bermaksud membunuh Ciu Hoan Ta, maka melihat, ini, ia lalu berkata cepat kepada murid murid keponakanny.a. “Hayo lari ke timur!”
Pada waktu itu, anak buah Hui eng pai yang hendak mengeroyok, menjadi kaget dan untuk sesaat mereka tidak bergerak, memandang ke arah Ciu Hoan Ta yang sudah roboh mandi darah tak bergerak lagi. Kemudian, setelah melihat empat orang Hoa san pai itu lari, mereka berseru keras dan mengejar sambil mengeluarkan suara yang menyeramkan, “Mauw… auw... auw…!”
Akan tetapi empat orang Hoa san pai memiliki ginkang yang tinggi sehingga para pengejarnya dengan mudah dapat tertinggal jauh dan suara teriakan mereka hanya terdengar sayup sayup saja. Akan tetapi, tiba tiba setelah mereka tiba di pinggir hutan sebelah timur, terdengar suara jawaban yang luar biasa nyaringnya dari depan mereka! Tak lama kemudian, bagaikan dua ekor burung garuda, menyambar turun dua bayangan orang yang memiliki gerakan luar biasa sekali gesitnya. Ketika Tan Seng dan murid murid keponakannya memandang, di depan mereka telah berdiri dua orang kakek berusia lima puluh tahun lebih yang memandang dengan tajam ke arah mereka.
“Dari manakah datangnya orang orang yang telah berani mengganggu anak buah Hui eng pai?” tanya yang seorang yang memegang pedang. Yang seorang lagi memegang sepasang tongkat bercagak.
Tan Seng menjura dan menjawab, “Siauwte adalah Tan Seng dan tiga anak muda ini adalah murid murid keponakanku. Kami datang dari Hoa san pai dan ternyata tanpa disengaja kami telah tersasar dan memasuki daerah kekuasaan Hui eng pai.”
Kedua orang tua itu ketika mendengar bahwa empat orang ini adalah orang orang Hoa san pai, lalu cepat memberi hormat dan berkata, “Ah, kiranya Tan lo enghiong dari Hoa san! Harap dimaafkan apabila anak buah kami berlaku kurang ajar. Aku adalah Suma Kwan Seng dan ini adikku, Suma Kwan Eng. Kamilah yang menjadi ketua pertama dan ke dua dari Hui eng pai. Silakan kalian mampir di tempat kami untuk menerima penghormatan kami,” kata orang yang berpedang.
“Terima ksih, harap ji wi tidak kecewa. Lain kali saja kami datang berkunjung, sekarang kami tidak ada waktu lagi,” jawab Tan Seng sambil menjura. “Selamat berpisah!”
Setelah berkata demikian, Tan Seng lalu mengajak murid murid keponakannya pergi dari situ secepatnya. Para pengejar sudah semakin dekat, akan tetapi tiba tiba Suma Kwan Eng mengangkat tongkatnya dan berseru, “Jangan ganggu Tan lo enghiong dan murid muridnya! Mereka adalah orang orang gagah yang patut dijadikan sahabat!”
Tan Seng menengok dan setelah mengucapkan “terima kasih!” ia lalu melompat dan mengajak murid murid keponakannya untuk berlari cepat cepat dari tempat itu!
Mereka telah keluar dari hutan dan kini telah berada di luar daerah gerombolan Hui eng pai. Akan tetapi, setelah mereka berlari sejauh empat li kurang lebih, tiba tiba mereka mendengar seruan seruan dari belakang dan tampaklah bayangan kedua saudara Suma ketua ketua dari Hui eng pai itu.
“Hm, mereka tentu akan membalas dendam. Kita bersiap sedia !” kata Tan Seng perlahan kepada Bu Tek dan adik adiknya. Empat orang Hoa san pai ini mempersiapkan senjata masing masing.
Benar saja, yang datang adalah Suma Kwan Seng dan Suma Kwan Eng dan kini wajah mereka tidak seramah tadi. Suma Kwan Seng memandang kepada Tan Seng dengan mata bernyala, kemudian ia menegur, “Orang she Tan, tidak tahunya kau telah nembunuh sute kami, Ciu Hoan Ta!”
Tan Seng tersenyum tenang. “Saudara Suma Kwan Seng, sebagai seorang kang ouw, apalagi sebagai ciangbujin dari sebuah perkumpulan besar, kau tentu maklum akan akibat dari sebuah pibu. Sutemu memaksa kepadaku untuk mengadakan pibu dan ia tewas oleh goloknya sendiri. Mengapa hal seperti ini saja diributkan? Kalau seandainya di dalam pibu itu aku yang tewas, apakah kau akan ribut ribut juga?”
Ketua pertama dari Hui eng pai itu membanting kakinya dan sebuah batu hitam yang kebetulan berada di depannya menjadi remuk! “Baiknya kau berada di luar daerah kami dan karena memang betul ucapanmu tadi bahwa sute tewas dalam sebuah pertempuran pibu, kami akan menahan diri dan bersabar. Betapapun juga, kami tidak dapat menyangkal bahwa kaulah yang menjadi gara gara. Kalau kalian orang orang Hoa san pai tidak melanggar wilayah kami dan tidak naik ke gunung ini, tak mungkin suteku sampai tewas. Oleh karena itu, biarlah kami menahan kesabaran, akan tetapi lain waktu kami akan membalas kehormatan ini dan membalas kunjunganmu di Hoa san!” setelah berkata demikian Suma Kwan Seng dan Suma Kwan Eng lalu berkelebat dan sekali melompat mereka telah kembali ke dalam hutan.
Tan Seng menarik napas panjang. “Baiknya mereka masih menghargai kesopanan kang ouw dan entah mengapa, mereka agaknya takut untuk turun tangan di daerah ini! Hm, tanpa disengaja, kita telah menanam bibit permusuhan baru dan kukira kalau tadi mereka berdua turun tangan, belum tentu kita akan dapat menang. Kepandaian mereka jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Ciu Hoan Ta.”
Demikianlah, mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka ke timur, hanya berhenti untuk mengambil buah buah dari dalam hutan dan untuk mengisi perut. Dua hari kemudian, tibalah mereka di puncak bagian timur, tempat yang jauh lebih menyeramkan lagi kalau dibandingkan dengan bagian lain.
Setelah menjelajah dan memeriksa puncak itu setengah hari lamanya, akhirnya mereka dapat menemukan juga gua yang besar di mana dahulu Thian Te Siang mo membawa masuk muridnya dan di mana kedua orang Iblis Bumi Langit ini mengumpulkan jenazah jenazah orang orang gagah yang tewas sebagai pahlawan bangsa!
Mula mula Tan Seng hanya melihat gua yang kecil saja, yang hanya dapat dimasuki oleh tubuh seorang. Dengan Tan Seng memelopori di depan, empat orang ini memasuki gua itu dan makin dalam mereka masuk, gua itu makin lebar dan besar sekali. Akan tetapi gelapnya bukan main dan tiba tiba Ling In berbisik, “Susiok. mengapa baunya demikian tidak enak?”
“Ah, benar, suci,” kata Hok Seng, “aku jadi teringat….” Ia tidak melanjutkan bicara.
“Teringat apa. sute?”
“Teringat… teringat akan bau mayat!”
Berdiri bulu tengkuk Ling In ketika ia mendengar ini. Gadis ini berjalan paling belakang, maka tak terasa lagi ia lalu memegang lengan Hok Seng yang berjalan di depannya dan ketika ia menyentuh tangan Hok Seng, ternyata sutenya ini pun amat dingin tangannya dan agak gemetar tubuhnya!
“Susiok, lebih baik kita menyalakan api. Terlalu gelap bagi kita, siapa tahu kalau ada sesuatu yang tidak beres,” kata Bu Tek.
“Tunggu sebentar, biar aku mencari ranting kering di luar!” kata Hok Seng yang segera keluar dari gua itu. Untuk keluar lebih mudah dari pada masuk ke dalam, karena pintu gua yang sempit itu nampak nyata dan dapat menjadi penunjuk jalan. Tak lama kemudian, Hok Seng masuk lagi sambil membawa dua ranting yang sudah ia belit belit dengan alang alang kering, merupakan obor yang cukup besar.
“Suheng, lekas keluarkan batu apimu,” kata Hok Seng.
Bu Tek segera memukul batu apinya dan bernyalalah api membakar dua batang obor itu. Tan Seng memegang sebatang obor, yang ke dua dipegang oleh Hok Seng. Untuk sesaat pandang mata empat orang itu menjadi silau dan tak dapat melihat. Tan Seng mengangkat obor tinggi tinggi, demikian pula Hok Seng sehingga kini di dalam gua yang gelap itu menjadi terang. Mereka memandang ke dalam dan…
“Thian Yang Agung...” Tan Seng berseru.
“Ayaaaa…” Ling In hampir menjerit dan kembali ia menangkap lengan Gan Hok Seng yang berdiri di depannya. Gadis ini memandang ke depan dengan wajah pucat dan mata terbelalak serta tubuh menggigil saking seramnya.
Bertumpuk tumpuk, dalam berbagai posisi, terdapat banyak sekali rangka manusia. Tengkorak tengkorak yang bermata dan berhidung bolong memandang ke arah mereka dalam cara mengerikan sekali. Tulang tulang iga, tulang tulang lengan kaki tumpang tindih, di sana sini tengkorak tengkorak berserakan! Inilah Gua Makam Pahlawan itu. tak salah lagi.
“Lebih tepat disebut gua tengkorak!” akhirnya Tan Seng berkata perlahan setelah ia dapat menguasai kekagetannya.
“Susiok, mari kita keluar dari neraka ini…” kata Ling In yang selama hidupnya belum pernah menyaksikan pemandangan yang demikian menyeramkan. Kalau saja tidak berada di dalam gua yang demikian gelap tentu pemandangan ini takkan demikian mengerikan. Akan tetapi, di dalam tempat yang gelap gulita, lalu tiba tiba di bawah sinar api melihat pemandangan seperti itu, benar benar bisa membuat orang yang setabah tabahnya menjadi ketakutan.
“Nanti dulu, aku harus mencari rangka anak dan mantuku. Ceng ji (anak Ceng) diantara sekian banyaknya rangka, bagaimana aku bisa menemukan kau dan suamimu?” Suara Tan Seng ini amat mengharukan hati murid murid keponakannya, terutama sekali Ling In. Kemudian, ketika Tan Seng memberikan obor kepada Bu Tek dan dia sendiri membalik balikkan tengkorak tengkorak itu seperti orang memeriksa sekumpulan barang barang untuk mencari tengkorak puterinya, Ling In tak dapat menahan mengalirnya air matanya.
“Susiok, bagaimana dapat membedakan tengkorak dan tulang…?” tanyanya dengar hati terharu.
“Dapat, dapat...” Tan Seng berkata terengah engah sambil melanjutkan memilih tengkorak tengkorak itu, “orang sakti yang aneh itu telah menuliskan nama nama pada tengkorak tengkorak ini! Lihat, bukankah ini tengkorak dari Kwee enghiong yang tewas di utara. Dan ini... bukankah ini tengkorak Ang goan swe (Jenderal Ang) yang dahulu jenazahnya lenyap pula? Benar semua tengkorak ditulisi namanya, tentu aku akan bisa mencari rangka anak dan mantuku!” Makin bersemangat kakek itu memilih tengkorak.
Kemudian perhatiannya tertarik oleh dua rangka manusia yang duduk menyandar dinding batu karang dan agaknya didudukkan sengaja terpisah dari tengkorak tengkorak lain. Ia menghampiri, diikuti oleh Bu Tek yang memegang obor tinggi tinggi. Sekali saja menjenguk dan melihat huruf huruf yang terukir di belakang tengkorak. Tan Seng berseru gembira, “Inilah mereka! Inilah Tan Ceng dan Go Sik An, suaminya!” Ia berlutut di depan kedua rangka anak dan mantunya itu. Bu Tek, Hok eng, dan Ling In juga berlutut dengan penuh hormat.
Tan Seng yang duduk bersimpuh di depan kedua rangka itu, tiba tiba tak disengaja memandang ke atas lantai di depan rangka, lantai yang terbuat dari pada batu karang keras hitam. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya, yakni lantai yang hitam itu seperti ada corat coretnya. Ia meraba dengan jari tangan nya. Benar saja, ada tulisan di situ, tulisan yang dibuat dengan ukiran di lantai batu yang keras.
“Bu Tek, coba dekatkan obor itu. Ada tulisan di sini!” katanya Ketika obor didekatkan, semua orang membaca tulisan yang jelas dan besar, yang diguratkan dalam dalam pada lantai di depan kedua rangka manusia itu.
ANAK BERSUMPAH UNTUK MEMBALAS DENDAM AYAH DAN BUNDA.
“Ciang Le…!” Tan Seng berbisik dan sepasang matanya terbelalak dan penuh harap dan kegembiraan. “Dia masih hidup…! Ciang Le cucuku... dia masih hidup dan pernah datang di sini, bersumpah di depan rangka ayah ibunya!”
Setelah berkata demikian, tiba tiba kakek ini menangis terisak isak di depan rangka anak dan mantunya. Tangis karena kegirangan dan keharuan. Ling In ikut pula menumpahkan air mata, sedangkan Gan Hok Seng mengejap ngejapkan matanya sendiri yang menjadi pedas dan merah. Lie Bu Tek menggigit bibirnya menahan keharuan hatinya. Kemudian, dibantu oleh Bu Tek dan Hok Seng, kakek itu mengangkut keluar rangka puteri dan mantunya dan setelah memilih tempat yang baik hongsuimya (kedudukan tanah), ia lalu mengubur jenazah dua orang pahlawan itu. Setelah semua beres dan mereka telah bersembahyang, Ling In lalu minta diri untuk pulang ke Biciu, diantar oleh suhengnya, yaitu Lie Bu Tek. Diantara dua orang saudara seperguruan ini memang terdapat pertalian asmara dan pernikahan mereka hanya tinggal “tunggu waktu” saja. Adapun Gan Hok Seng lalu kembali ke Kanglam di mana ia membuka perusahan ekspedisinya yang diberi nama Hui houw piauwkiok (Kantor Ekspedisi Harimau Terbang).
“Apakah susiok hendak kembali ke Hoa san?” tanya tiga orang murid keponakan itu sebelum mereka berpisah mengambil jalan masing masing.
Tan Seng mengerutkan keningnya. “Aku hendak mencari Bi Lan.”
Ketiga murid keponakan itu berjanji bahwa di dalam perjalanan mereka, mereka juga hendak membuka mata memasang telinga untuk mendengarkan di mana adanya Coa ong Sin kai, pengemis gila yang sudah berani menculik sumoi mereka itu. Maka turunlah mereka dari Pegunungan Ta pie san yang penuh dengan hal hal yang aneh dan berbahaya itu. Tentu saja mereka mengambil jalan dari lereng sebelah selatan agar jangan sampai bertemu dengan gerombolan Hui eng pai yang lihai.
“Kau berjodoh dengan aku! Ha ha ha, burung kecil, kau berjodoh dengan aku! Bagus, bagus...” sambil terkekeh kekeh Coa ong Sin kai berlari cepat sekali, memondong tubuh Bi Lan yang tidak berdaya, akan tetapi yang dapat melihat dan mendengar serta mengikuti semua gerak gerik pengemis gila ini.
Tentu saja sebagai seorang gadis yang baru remaja, Bi Lan merasa jijik sekali berada dalam pondongan kakek gila ini dan bau apak yang keluar dari pakaian dan tubuh Coa ong Sin kai membuat ia hampir muntah. Akan tetapi diam diam otak gadis yang cerdik ini bekerja keras, terputar putar dan menimbang nimbang.
Ketika ia terpukul oleh Tauw It Hosiang, tokoh dari Go bi pai itu, Bi Lan merasa tidak puas sekali akan kepandaian sendiri. Ia merasa betapa semenjak kecil, kong kongnya melatih dan menggemblengnya dengan nasihat nasihat agar ia belajar dengan tekun. Oleh karena ia adalah seorang yang taat kepada kong kongnya dan juga memang ia suka sekali akan ilmu silat, maka semenjak kecil, ia suka sekali belajar dan melatih diri sehingga keempat orang gurunya cinta sekali kepadanya. Tiap kali ia belajar di bawah asuhan guru gurunya, tentu ia mendesak guru gurunya untuk menurunkan ilmu ilmu silat yang belum diketahuinya. Dan sekali ia diajar, ia telah hafal dan dengan gerakan lincah sekali ia dapat mainkan semua ilmu silat yang diajarkan kepadanya. Berkali kali ia mendengar betapa guru gurunya memujinya sebagai seorang anak yang benar benar berbakat untuk menjadi ahli silat tinggi. Kalau pujian ini keluar dari mulut kong kongnya, ia takkan menganggapnya karena tahu betapa besar kasih sayang Tan Seng kepadanya. Akan tetapi pujian ini bahkan keluar dari mulut Liang Gi Tojin dan kakek ini selamanya tak pernah membohong.
Tidak tahunya, menghadapi seorang hwesio seperti Tiauw It Hosiang saja biarpun tak dapat dibilang ia kalah, namun ia masih terkena pukulan hwesio itu. Ia benar benar merasa tidak puas sekali maka ia tadinya girang mendengar bahwa Liang Gi Tojin hendak memberi pelajaran Pi ki hu hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah). Tidak tahunya, sebelum pelajaran itu diturunkan ia telah terkena totokan yang luar biasa dari pengemis gila ini dan bahkan kena ditawan!
Akan tetapi, ia teringat betapa lihainya pengemis gila ini, sudah terang bahwa guru gurunya tak dapat melawan kakek gila ini, yang dengan menggendongnya masih sanggup menghadapi keroyokan empat orang gurunya, bahkan dengan enaknya dapat melarikan diri tanpa dapat dikejar oleh tokoh tokoh Hoa san pai! Alangkah hebat kakek gila ini dan kalau ia dapat menjadi muridnya alangkah akan senang hatinya! Berfikir demikian lenyaplah semua rasa takutnya, lenyap pula rasa jijiknya terhadap kakek gila ini dan ia memandang dengan mata bersinar gembira.
Kebetulan sekali kakek gila itu memandang ke arah muka Bi Lan. Melihat betapa sinar mata gadis itu tidak seperti tadi dan kini nampak berseri seri, ia tertawa bergelak, melepaskan dan sekali tepuk saja pada punggung gadis itu, terlepaslah Bi Lan dari pengaruh totokannya.
“Ha ha ha, burung kecil (Siauw niau), kau tidak takut lagi sekarang? Bagus, aku paling benci pada orang penakut! Kau berjodoh padaku, Siauw niau, kau berjodoh dengan aku. Aduh gatalnya rambutku, lekas kau cari dan keluarkan kutu kutu busuk di rambutku ini!” Kakek ini lalu duduk di pinggir jalan dan minta supaya Bi Lan mencari kutu di kepalanya!
Bi Lan ragu ragu, lalu bertanya, “Orang tua, enak saja kau menyuruh aku. Apa upahnya kalau aku mendapatkan kutu rambutmu?”
“Ha ha ha, kau lebih pintar dari pada monyet kecil berbulu hitam itu. Dia selalu mencari kutu rambutku tanpa minta upah. Ha ha, siauw niau, kau mau minta apakah?”
“Aku minta upah ilmu silat.”
“Bagus, kalau kau tidak takut lelah bermain silat, akan kuberi itu padamu.”
“Aku ingin kau memberi pelajaran Pi ki hu hiat!” Kakek itu menengok dengan sepasang alis berdiri, lalu berkata sambil terkekeh kekeh.
“Kepandain macam itu saja tua bangka tua bangka dari Hoa san pai belum memberikan pelajaran kepadamu? Baik, baik, aku akan memberi pelajaran Pi ki hu hiat yang paling baik, bahkan aku akan memberi pula lajaran I kong hoan hiat (Memindahkan Jalan Darah) asal saja kau dapat mengeluarkan lebih dari lima ekor kutu rambut!”
Bi Lan menjadi girang sekali dan sambil menahan napas agar bau rambut kakek itu yang amat tidat enak jangan terlalu banyak mengotori paru parunya, ia lalu membuka buka rambut yang kotor dan kusut itu dan mencari kutu rambut. Karena memang rambut kakek itu menjadi sarang kutu, sebentar saja ia sudah dapat menangkap seekor kutu yang hitam dan besar. Sekali pencet dengan dua kuku ibu jarinya, matilah kutu itu.
“Nah, sudah mendapat satu. Ah, besarnya!” seru gadis itu dan ia memperlihatkan kutu yang sudah dibunuhnya itu kepada Coa ong Stn kai.
Kakek gila itu mengeluarkan seruaan keras dan tiba tiba tangan kirinya dengan gerakan melengkung telah bergerak menampar kepala Bi Lan! Gadis ini tentu saja terkejut sekali dan mencoba untuk mengelak, akan tetapi pukulan ini benar benar luar biasa dan tetap saja kepalanya kena ditempiling sehingga terdengar suara nyaring di telinganya dan ia terlempar dengan kulit kepala terasa panas dan pedas! Tentu saja ia merasa heran karena kakek itu tiba tiba menamparnya, juga heran sekali mengapa tanparan yang demikian jitu ternyata tidak melukainya sama sekali!
“Anak jahat!” kakek itu memaki. “Mengapa kau telah membunuhnya? Apa salahnya maka kau membunuhnya?”
Bi Lan membuka matanya lebar lebar karena heran dan tidak mengerti. “Membunuh siapa...?” tanyanya.
Coa ong Sin kai menunjuk ke arah kutu rambut yang masih menempel di kuku ibu jari Bi Lan. “Apa dosanya maka kau membunuhnya, anak bodoh?”
Hampir saja Bi Lan tertawa geli. Orang tua ini marah marah karena ia telah membunuh kutu rambut yang ditangkapnya! Alangkah lucu dan ganjilnya. “Orang tua, bukankah kutu busuk ini telah mengganggumu, menghisap darah dari kulit kepalamu? Mengapa tidak boleh dibunuh?”
“Bodoh! Dia menghisap darah memang sudah menjadi pekerjaannya, dan memang darah itulah makanannya. Dia tidak melakukan satu yang jahat. Awas, kau tidak boleh lagi sembarangan membunuh.”
“Baiklah, akan kutangkap hidup hidup kutu kutu rambutmu.”
Lenyap kemarahan kakek itu dan ia membiarkan rambutnya dicari kutu rambutnya oleh Bi Lan lagi.
“Orang tua…”
“Hm, apa lagi?”
“Pukulanmu tadi… hebat sekali. Aku ingin pula mempelajarinya.”
“Tentu kau akan mempelajarinya. Kalau tidak ada artinya aku membawamu? Sudah kukatakan kau berjodoh dengan aku.”
Karena kutu rambut di kepala kakek itu memang banyak, maka sebentar saja Bi Lan telah menangkap sepuluh ekor lebih. Kakek itu menjadi girang sekali dan ia mengumpulkan kutu kutu rambut itu yang dibungkus di dalam sehelai daun.
“Kau hendak memelihara kutu kutu itu?” Bi Lan bertanya heran.
Kakek itu tertawa. “Akan kupindahkan mereka pada tubuh kera di dalam hutan.”
Benar saja, ketika mereka memasuki hutan di mana terdapat banyak kera, Coa ong Sin kai lalu membuka daun itu dan menyebarkan kutu kutu itu pada kera kera yang duduk di bawah. Kakek itu mencari buah buah dan membagi bagikan kepada kera kera itu dan mengajak mereka tertawa tawa dan bercakap cakap kepada mereka. Diam diam gadis ini memperhatikan semua itu dan ia dapat menduga bahwa kakek yang aneh sekali ini ternyata lebih sayang kepada binatang dari pada kepada manusia!
Demikianlah, dengan amat cerdik dan pandai mengambil hati, akhirnya Bi Lan dapat menerima pelajaran dua macam ilmu silat dari kakek gila ini selama beberapa bulan, yakni ilmu silat tangan kosong yang disebut Ouw wan ciang (Ilmu Silat Lutung Hitam) yang terdiri dari 36 jurus dan juga ilmu pedang yang oleh kakek itu dimainkan dengan sebatang ranting bambu, yakni ilmu pedang yang disebut Sin coa kiam hoat (Ilmu Pedang Ular Sakti) Memang Bi Lan besar dan luar biasa sekali bakatnya dalam ilmu silat sehingga dalam tiga bulan saja ia telah dapat mewarisi dua macam ilmu silat ini.
Biarpun otaknya agak miring, ternyata bahwa Coa ong Sin kai memang tajam pandangan matanya. Tadinya tidak terpikir olehnya untuk mengganggu Hoa san pai dan menculik Bi Lan, akan tetapi begitu melihat gadis itu, ia menjadi amat tertarik. Segila gilanya kakek ini, ia masih mengerti bahwa ia tidak mempunyai murid dan kalau sampai ia mati tanpa menurunkan kepandaiannya kepada orang lain, akan lenyaplah kepandaian yang selama berpuluh tahun dipelajarinya, ia maklum bahwa Bi Lan adalah seorang gadis yang cerdik dan berbakat sekali, dan juga melihat wajah gadis ini, ia menjadi suka sekali, maka diculiknya gadis itu untuk dijadikan muridnya!
“Suhu, apakah tidak ada lain macam ilmu silat yang kau ketahui? Teecu ingin mempelajari semua kepandaian suhu,” kata Bi Lan setelah ia tamat mempelajari Sin coa Kiam hoat.
Coa ong Sin kai tertawa bergelak. “Kau benar benar serakah sekali! Kau kira kau akan dapat memeluk Gunung Thai san? Kalau kau tidak dapat memeluk Gunung Thai san, bagaimana hendak mempelajari semua kepandaian di dunia ini yang besarnya lebih hebat dari Gunung Thai san? Banyaknya kepandaian seperti air di Telaga See ouw, dapatkah kau minum semua sampai habis? Ha ha ha! Kepandaianmu yang telah kau pelajari itu sudah banyak, akan tetapi masih belum hebat. Kalau bertemu dengan orang yang lebih pandai, tetap kau akan kalah. Oleh karena itu, mari kau ikut dengan aku. Aku lebih suka bersahabat dengan binatang yang dapat membantuku di dalam keadaan bahaya dan kalau kau dapat mempelajari kepandaian ini, kaupun akan terjaga dari ancaman siapapun juga.”
Sambil berkata demikian, Coa ong Sin kai lalu berlari cepat dan Bi Lan segera mengejar. Salain dua macam ilmu silat yang telah disebutkan itu, juga kakek gila ini telah mengajarnya Pi ki hu hiat dan I kong hoan hiat, yakni ilmu ilmu menutup atau memindahkan jalan darah yang dalam melatihnya harus memiliki lweekang tinggi, maka otomatis lweekang dari gadis ini memperoleh banyak sekali kemajuan di bawah pimpinan Coa ong Sin kai, juga pengemis sakti ini melatihnya dalam hal ginkang dan ilmu lari cepat sehingga kini ia dapat berlari mengikuti gurunya yang baru ini tanpa tertinggal terlalu jauh.
Setelah berlari kurang lebih tiga puluh li jauhnya, mereka memasuki sebuah hutan yang penuh dengan pohon pohon besar dan tua. Tiba tiba setelah mereka masuk sampai di tengah tengah hutan Bi Lan menghentikan larinya dan memandang ke depan dengan mata terbelalak. Nyata ia merasa ngeri dan jijik sekali. Di depannya terdapat lima batang pohon pek yang besar dan pohon pohon ini penuh dengan ular yang besar besar, yang melingkari cabang cabang pohon, ada pula yang melingkar tidur di bawah pohon.
Coa ong Sin kai menghampiri tempat itu sambil tertawa, kemudian ia lalu mengeluarkan suara mendesis yang keras. Tiba tiba semua ular yang tadinya nampak mati tak bergerak, kini mulai hidup. Kepala mereka diangkat dan lidah yang merah bergerak gerak keluar dari mulut, lalu terdengarlah suara mendesis desis yang keras pula, yang keluar dari mulut semua ular itu. Agaknya binatang binatang ini mengenal tanda yang dikeluarkan oleh Coa ong Sin kai. Adapun kakek itu sambil tertawa tawa lalu maju dan duduk bersila di bawah pohon.
Bi Lan melihat dengan amat jijik dan ngeri betapa ular ular itu kini melepaskan lingkarannya dan merayap mendekati Coa ong Sin kai. Setelah tubuhnya terlepas dari lingkaran, nampak betapa panjang ular ular itu, bahkan ada yang panjangnya hampir tiga tombak! Coa ong Sin kai masih tertawa tawa dan ketika ular ular itu datang dekat, ia mengulurkan tangan membelai belai kepala mereka! Ular ular itu mencium cium dan menjilat jilat dengan lidah mereka yang merah meruncing, sehingga Bi Lan yang melihatnya merasa betapa bulu tengkuknya berdiri. Tiba tiba seekor ular belang yang besarnya selengan orang, merayap cepat ke arah kakek itu dan tidak seperti yang lain, ia lalu menyerang ke arah leher kakek itu dengan mulutnya yang bergigi runcing!
“Eh, belang, kau masih belum tunduk kepadaku?” kakek itu berseru dan sekali tangannya bergerak, ia telah menggunakan dan jari tangannya untuk menotok arah leher ular itu yang terus dijepitnya. Ular itu tak sempat menggigit pula dan sekali saja Coa ong Sin kai menekan belakang kepala ular itu dan terus diurut ke belakang, ketika dilepaskan, ular belang yang berbisa itu menjadi jinak!
Bi Lan menjadi kagum sekali dan sekarang tahulah dia mengapa gurunya yang baru ini dijuluki orang Coa ong Sin kai (Pengemis Sakti Raja Ular). Kiranya suhunya mempunyai kepandaian yang aneh untuk membikin tak berdaya dan takluk binatang merayap yang menjijikkan itu.
“Siauw niau (burung kecil), kau ke sinilah!” Coa ong Sin kai yang selalu menyebut muridnya “burung kecil” itu memanggil.
Sebetulnya Bi Lan merasa jijik dan geli untuk mendekati ular ular itu, akan tetapi ia tidak berani membantah panggilan suhunya, ia berjalan mendekati. Ular ular yang nampak jinak terhadap Coa ong Sin kai itu ketika melihat seorang manusia asing mendekat, lalu serentak bangun dan merayap hendak menyerang! Kepala mereka terangkat tinggi dan lidah mereka yang merah itu menjilat jilat ke luar dibarengi oleh suara mendesis yang menakutkan.
Bi Lan merasa geli akan tetapi sama sekali tidak takut. Gadis ini mengambil sebatang cabang kering di atas tanah dan siap sedia untuk menggempur ular ular itu apabila menyerangnya.
“Jangan pukul mereka, lemparkan ranting di tanganmu!” tiba tiba Coa ong Sin kai membentak dan suaranya terdengar begitu marah sehingga Bi Lan menjadi kaget dan buru buru melempar ranting itu. Ia teringat akan kemarahan suhunya, ketika ia membunuh kutu rambutnya dahulu itu. Ular ular itu merayap makin dekat dan kini tidak kurang dari tujuh ekor ular besar telah mengurung Bi Lan dari genap penjuru! Bi Lan menjadi bingung dan gelisah. Untuk menendang atau memukul ular lar itu, ia takut suhunya menjadi marah.
“Mereka tidak apa apa, asal kau tahu bagaimana menghadapi mereka.” Coa ong Sin kai mengeluarkan suara mendesis dan tujuh ekor ular itu lalu berhenti merayap dan mendekam tak bergerak!
“Lihat, bukankah anak anak ini manis benar? Kalau kau sudah mempelajari cara bagaimana untuk menguasai mereka, mereka ini akan membelamu sampai mati dan kau tak perlu takut menghadapi siapapun juga. Lihatlah, pernahkah, kau melihat ular-ular menari-nari?”
Karena memang gadis ini merupakan seorang dara remaja, maka bagaikan setangkai bunga ia sedang mekarnya dan Bi Lan memiliki potongan yang langsing dan menggairahkan. Setelah mainkan ilmu silat ini, ia berhasil mempermainkan lawannya dan membuat hwesio itu menjadi makin penasaran dan marah. Memang di dalam gerakan Bi ciong kun ini terisi tipu tipu yang sifatnya mengejek dan mempermainkan, bagaikan seorang penari sedang menari indah dan tiap kali hwesio itu menyerang selalu mengenai tempat kosong!
Pada saat yang amat baik di mana terdapat lowongan. Bi Lan tidak menyia nyiakan kesempatan ini dan cepat mengirim pukulan tangan kiri dengan ilmu pukulan dari Hoa san pai aseli. Tiauw It Hosiang tak sempat mengelak lagi dan terpaksa ia mengerahkan lweekangnya ke bagian dada yang terpukul, sedangkan telunjuk kirinya dengan cepat lalu mengirim totokan ke arah pangkal lengan gadis itu, yakni bagian tubuh lawan yang terdekat di waktu itu.
“Duk!” pukulan tangan kiri Bi Lan mengenai sasaran dan tubuh hwesio itu terlempar sampai setombak lebih dan biarpun ia roboh dalam keadaan berjongkok dan segera berdiri lagi, namun mukanya pucat sekali dan ia telah menderita luka dalam yang cukup lumayan. Akan tetapi, Bi Lan juga tertolak ke belakang dan gadis ini menahan rasa sakit pada pangkal lengan kanannya, bahkan masih tersenyum mengejek memandang kepada Tiauw It Hosiang. Padahal lengan kanannya pada saat itu telah menjadi lumpuh!
Tiauw It Hosiang kaget sekali melihat betapa dara itu tidak nampak sakit terkena totokannya tadi, seakan akan gadis itu tidak merasa sama sekali. Betul betulkah anak ini dapat menahan totokannya tadi? Dengan malu dan penasaran di dalam hati, Tiauw It Hosiang menjura ke arah orang orang Hoa san pai ini sambil berkata,
“Bukan kepandaian Hoa san pai yang terlalu tinggi, melainkan pinceng (aku) yang lalai dan kurang latihan. Tan lo enghiong, biarlah kali ini pinceng mengaku kalah, akan tetapi kami dari Go bi pai akan merasa terhormat sekali kalau sewaktu waktu kami mengadakan pibu dengan kalian orang orang Hoa san pai.” Setelah berkata demikian, hwesio ini membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.
“Tiauw It Hosiang, kau telah terluka oleh pukulan Tin san ciang (Pukulan Menggetarkan Gunung), mari kuobati lukamu itu!” kata Tan Seng yang diam diam merasa gembira dan kagum sekali melihat cucunya berhasil mengalahkan hwesio itu!
Tiauw It Hosiang menengok dan mukanya menjadi makin garang. “Terima kasih, biarlah luka ditimbulkan oleh pukulan Hoa san pai dan diobati dengan obat Go bi pai! Selamat berpisah,” Hwesio ini sambil menahan sakit lalu pergi dari situ dengan cepat.
“Hem, orang macam dia mana pantas menjadi pendeta?” Tan Seng berkata perlahan seperti pada diri sendiri, akan tetapi ketika ia menengok ke arah Bi Lan, ia menjadi kaget sekali. “Bi Lan, kau kenapa?” Gadis itu nampak pucat dan meringis kesakitan setelah lawannya sudah pergi.
“Lengan kananku, kong kong. Ketika aku memukul dengan tangan kiri, ia telah berhasil menotok jalan darah di pangkal lengan kananku.”
Tan Seng memegang lengan kanan gadis itu dan setelah menekan nadinya, ia berkata, “Tidak ada yang luka, hanya totokan Go bi pai ini lain dari pada tiam hwat (ilmu totok) kita, apalagi Tiauw It Hosiang berjuluk It ci sinkang. Twa suhumu (guru tertua) paling ahli tentang jalan darah, kau mintalah dia menolongmu sekalian melaporkan kedatangan kedua suheng dan sucimu.”
Bi Lan lalu berloncat loncatan dan berlari mencari twa suhunya, yakni Liang Gi Cinjin di dalam kuil.
“Susiok, mengapa kepandaian sumoi menjadi sehebat itu?” Thio Ling In bertanya kepada Tan Seng dan jelas nampak rasa iri hatinya sebagaimana telah lajimnya terdapat dalam watak sebagian besar wanita. “Ia memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada teecu, bahkan masih lebih tinggi dari pada kepandaian Lie suheng sendiri! Agaknya ada rasa pilih kasih dan berat sebelah dalam perguruan kita.”
Tan Seng tersenyum dan menggeleng geleng kepalanya. “Ling In dan kalian juga, Bu Tek dan Kok Seng. Jangan kalian mengira yang bukan bukan. Apakah kalian tidak melihat suatu gerakan dalam ilmu silat Bi Lan yang belum pernah kalian pelajari? Nah, tentu kalian sudah melihatnya sendiri bahwa semua ilmu silatnya tadi adalah ilmu silat Hoa san pai kita yang kalian sudah pelajari. Guru gurumu tidak berat sebelah dan juga tidak pilih kasih. Sesungguhnya anak itu sendiri yang membuat kepandaiannya jadi sempurna dan sebaik itu. Tahukah kalian bahwa sekarang aku sendiripun agaknya takkan dapat menandinginya? Anak itu amat maju karena bakatnya dan karena ia memang tekun sekali melatih diri.”
Tiga orang muda itu menjadi amat kagum dan setelah mereka mengingat ingat, memang betul bahwa semua gerakan Bi Lan ketika menghadapi hwesio tadi, tidak ada yang tidak mereka kenal. Akan tetapi bagaimanakah ilmu silat Bi ciong kun saja dapat dipergunakan untuk menghadapi Tiauw It Hosiang yang memiliki kepandaian begitu tinggi?
“Tinggi dan rendahnya tingkat kepandaian seorang, bukan semata mata tergantung pada ilmu silatnya, akan tetapi terutama sekali tergantung kepada orang yang memainkannya.” Tan Seng memberi penjelasan. “Ilmu silat yang biasa dan sederhana saja dapat menjadi ilmu yang amat tangguh dan lihai jika dimainkan oleh seorang yang telah menguasainya betul betul dan yang melatihnya sampai ilmu silat itu seakan akan mendarah daging sehingga gerakan gerakannya menjadi otomatis. Sebaliknya ilmu silat yang bagaimana tinggipun akan percuma saja apabila dimainkan oleh orang yang hanya menguasai kulitnya saja.”
Ketiga murid Hoa san pai ini mendengarkan sambil menundukkan kepala dan mereka berjanji di dalam hati akan berlatih lebih tekun lagi. Tak lama kemudian, datanglah Bi Lan berlari larian dengan wajah girang. Ternyata, benar sebagaimana kata kong kongnya tadi, sebentar saja twa suhunya. Liang Gi Tojin atau juga disebut Liang Gi Cinjin, dapat memulihkan lengan kanannya yang lumpuh, bahkan lalu menjanjikan untuk mengajar rahasia Ilmu Pi ki hu hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) untuk menghindarkan serangan totokan lawan.
“Twa suhu, ji suthai dan sam suhu dengan girang minta suheng dan suci datang di ruang besar,” kata Bi Lan sambil memegang lengan Ling In. “Suci, kau menjadi makin cantik jelita saja!”
Ling In memeluk sumoinya dan berkata dengan bangga, “Sumoi, kaulah yang amat manis dan kepandaianmu benar mengagumkan hatiku.”
“Ah, bagaimana suci bisa bilang begitu kalau melawan seorang gundul saja aku sampai terkena totokannya?” Sepasang alis Bi Lan berkerut dan ia benar benar merasa amat penasaran dan tidak puas.
“Tapi kau tadi boleh bilang telah mendapat kemenangan, sumoi!”
“Aku tidak puas, suci. Aku masih belum patut menyebut diri sendiri berkepandaian kalau menghadapi seorang seperti Tiauw It Hosiang saja masih terluka. Aku harus belajar lebih giat lagi!”
Diam diam Ling In menjadi makin kagum dan ia membenarkan kata kata susioknya tadi tentang kebesaran semangat Bi Lan dalam pelajaran ilmu silat. Mereka lalu menuju ke ruang besar dalam kuil di mana telah menanti Liang Gi Tojin, Liang Bi Suthai, dan Liang Tek Siangseng. Tokoh tokoh Hoa san pai ini merasa girang melihat kedatangan murid murid mereka, dan ketika mendengar tentang penyerbuan Tiauw It Hosiang, Liang Bi Suthai menjadi marah. Memang tokouw ini berwatak keras. Sambil mengepal tangannya ia berkata,
“Orang orang Go bi pai memang sombong sekali! Aku tahu mereka itu tentu masih menaruh hati dendam karena dahulu aku telah membunuh penjahat yang ternyata anak murid mereka itu. Baiklah, lain kali aku sendiri akan datang ke sana untuk membereskan hal ini agar jangan berlarut larut menjadi permusuhan besar!”
Liang Gi Tojin menarik napas panjang. “Sumoi, memang sebaiknya kalau kau membereskan urusan ini dengan Kian Wi Taisu, ketua Go bi pai sendiri. Akan tetapi harap kau suka berlaku sabar agar jangan membikin ribut pula Go bi san.” Setelah berkata demikian. Liang Gi Tojin lalu bertanya kepada muridnya, “Bu Tek, bagaimana dengan penyelidikanmu tentang Gua Makam Pahlawan? Apakah kedatanganmu sekarang ini ada hubungannya dengan itu?”
“Betul suhu. Teecu mendengar dari orang orang kang ouw bahwa Gua Makam Pahlawan yang dimaksud oleh Tan susiok itu berada di puncak Tapie san di sebelah selatan Sungai Huai kiang. Akan tetapi ...” Pemuda yang gagah ini mengerutkan keningnya seakan akan ada sesuatu yang membuat dia merasa ngeri.
“Bagaimana, Bu Tek? Apa yang hendak kau katakan?” Liang Tek Sianseng mendesak.
“Teecu mendengar berita yang amat menggelisahkan, susiok,” jawab Bu Tek. “Menurut berita yang teecu dengar, Pegunungan Ta pie san adalah tempat yang amat berbahaya kalau tidak boleh disebut tak mungkin didatangi manusia. Di sana menjadi pusat dari pada perkumpulan rahasia Hui eng pai (Perkumpulan Garuda Terbang) dengan tiga orang ciang bun jin (ketua) mereka yang amat terkenal jahat dan ganas, yakni Hui to Sam eng.”
Memang tiga orang ketua dari perkumpulan Hui eng pai menggunakan nama julukan di mana terdapat huruf huruf Hui eng, akan tetapi Hui to sam eng kalau diterjemahkan boleh juga diartikan Tiga Pendekar Golok Terbang, karena biarpun dituliskan jauh berbeda namun Eng dapat diartikan Garuda atau Pendekar.
Mendengar keterangan ini, Liang Gi Tojin mengangguk angguk “Pantas saja mereka itu tidak kelihatan lagi, tidak tahunya bersembunyi di Gunung Ta pie san. Memang mereka itu terkenal suka sekali mencari permusuhan dan tidak memandang kepada golongan lain. Akan tetapi, apakah jalan menuju Gua Makam Pahlawan itu hanya dapat dilakukan melalui tempat tinggal Hui eng pai saja?”
“Memang ada jalan mendaki dari jurusan lain, suhu. Akan tetapi menurut keterangan orang kang ouw, bahkan jalan yang lain itu lebih berbahaya lagi, karena kabarnya di situ bersembunyi Coa ong Sin kai.”
Kini empat orang tokoh Hoa san pai itu terkejut. “Apa? Setan pemelihara ular itu masih hidup?” kata Liang Tek Sianseng. “Kukira dia tewas dalam tangan Thian te Siang mo.”
Pada saat itu tiba tiba terdengar suara ketawa bergelak dari luar kuil. Cepat sekali adalah gerakan Bi Lan, karena sebelum lain orang melakukan sesuatu gerakan, gadis ini telah melompat keluar. Suara ketawa itu disambung oleh kata kata yang parau menyeramkan,
“Siapa bilang Coa ong Sin kai tewas? Dia tidak akan dapat mati karena memiliki tiga nyawa cadangan, ha ha ha!”
Keempat tokoh Hoa san pai menjadi terkejut sekali dan lalu melompat keluar untuk melihat siapa orangnya yang demikian lihai sehingga dapat mendengar percakapan yang dilakukan di dalam kuil. Bu Tek dan kedua adik seperguruannya juga menyusul guru guru mereka keluar dari kuil itu dengan hati berdebar!
Ketika semua orang tiba di luar, mereka melihat Bi Lan sedang bertempur melawan seorang kakek tinggi kurus yang bermata liar. Kakek itu bertempur sambil tertawa tawa menghadapi Bi Lan dengan tangan kosong sedangkan gadis itu yang menggunakan pedangnya nampak tak berdaya dan dipermainkan saja oleh kakek tinggi kurus itu.
“Coa ong Sin kai!” Liang Tek Sianseng berseru kaget lalu kedua kakinya bergerak dan melompatlah ia ke tempat pertempuran itu. Tangan kanannya telah memegang senjata Poan koan pit, yakni senjatanya yang dapat dipergunakan untuk menulis. “Harap kau jangan mencari permusuhan dengan kami orang orang Hoa san pai,” serunya.
Akan tetapi Coa ong Sin kai tertawa bergelak. “Ha ha ha, kalian masih menjaga di Hoa san? Ha ha ha, nona kecil ini manis sekali, aku suka padanya. Ada jodoh antara dia dan aku, ha ha!” Sambil berkata demikian tanpa memperdulikan Liang Tek Sianseng kakek yang seperti gila ini lalu menggerakkan kedua tangannya. Tahu tahu pedang di tangan Bi Lan telah kena ditangkapnya. Sungguh mengherankan dan hebat sekali kakek ini yang dapat menangkap pedang tajam begitu saja dengan tangannya!
Bi Lan menggunakan tenaganya membetot dengan maksud melukai tangan kakek itu, akan tetapi alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa pedangnya itu telah patah menjadi dua! Sebelum ia hilang kagetnya, tiba tiba ia merasa tubuhnya lemas karena jari jari tangan kiri kakek itu telah mencengkeram pundaknya dan menekan jalan darahnya. Di lain saat ia telah dikempit oleh Coa ong Sin kai!
“Setan gila, kau lepaskan muridku!” Liang Bi Suthai dengan marah sekali maju menerjang dan memukul dengan kepalan tangannya.
Angin pukulannya membuat pakaian Coa ong Sin kai yang compang camping itu berkibar, akan tetapi kakek gila ini dengan gerakan yang aneh dapat mengelak dan membalas serangan itu dengan pukulan pukulan berantai. Memang hebat sekali kepandaian Coa ong Sin kai. Biarpun tangan kirinya memondong tubuh Bi Lan yang tak berdaya karena tertotok, namun tangan kanannya dan kedua kakinya masih dapat bergerak dengan amat cepatnya dan menghadapi serangan berantai ini, Liang Bi Suthai sendiri tokoh kedua dari Hoa sanpai sampai berlompatan mundur untuk menyelamatkan diri!
Kembali Coa ong Sin kai tertawa bergelak. “Anak ini berjodoh dengan aku, jangan kalian menghalangi. Ha ha ha!”
“Coa ong Sin kai, kau manusia iblis. Lepaskan muridku!” Liang Gi Tojin menggerakkan tubuhnya dan menyerang dengan ilmu silat Hoa san pai yang paling berbahaya. Liang Gi Tojin adalah seorang ahli kebatinan, jarang sekali ia mengeluarkan ilmu silatnya, akan tetapi kalau ia sudah mau mengeluarkannya, ternyata bahwa semua gerakannya adalah ilmu ilmu silat yang paling lihat dari Hoa san pai. Juga tenaga lweekangnya adalah paling tinggi diantara adik adik seperguruannya. Namun Coa ong Sin kai tidak menjadi gentar. Kini tangan kanannya telah memegang senjatanya yang ringan sederhana, akan tetapi lihai itu yakni sebatang bambu yang berwarna kuning berbintik bintik hijau.
Tan Seng yang semenjak tadi melihat keadaan cucunya dengan hati gelisah, kini dengan amat marah telah mencabut goloknya dan menyerbu kakek gila itu, membantu twa suhengnya. Demikianpun Liang Bi Suthai dan Liang Tek Sianseng, cepat maju mengurung sehingga kakek gila itu kini terkurung dan dikeroyok oleh empat tokoh Hoa san pai!
Lie Bu Tek, Thio Ling In dan Gan Hok Seng hanya menonton saja dengan hati berdebar, karena melihat gerakan kakek gila itu, mereka tahu bahwa tidak akan ada gunanya kalau mereka ikut mengeroyok Kepandaian kakek itu terlalu tinggi dan kalau mereka membantu, bahkan hanya akan mengganggu pengeroyokan empat orang tua itu.
Ketika tadi menghadapi Liang Gi Tojin, biarpun ditambah lagi dengan Tan Seng, kakek gila itu masih dapat menahan bahkan dapat membalas serangan serangan mereka. Akan tetapi kini setelah empat orang tokoh Hoa san pai yang rata rata berkepandaian tinggi itu maju semua mengeroyok Coa ong Sin kai menjadi sibuk juga. Kalau saja ia tidak sedang memondong tubuh Bi Lan, mungkin ia takkan kalah dan akan dapat merobohkan empat orang pengeroyoknya. Sebaliknya, serakan empat orang tokoh Hoa san pai itupun tidak leluasa karena mereka takut kalau kalau serangan mereka akan mengenai tubuh Bi Lan.
Tiba tiba kakek itu tertawa lagi dan berkata. “Kalian curang, main keroyokan! Sudah, aku pergi!” Ia lalu menggunakan tubuh Bi Lan yang dipegang kedua lengannya untuk diputar sedemikian rupa sebagai pengganti senjata! Tentu saja Liang Gi Tojin dan adik adik seperguruannya menjadi terkejut sekali dan melompat mundur agar jangan sampai melukai Bi Lan sendiri dan dengan demikian, Coa ong Sin kai dengan enaknya dapat turun gunung dan melarikan Bi Lan!
“Celaka!” Tan Seng membanting banting kakinya. “Kalau dia mengganggu Bi Lan, aku akan mengadu nyawa dengan dia!”
“Percuma saja kita mengejarnya,” kata Liang Gi Tojin “Dia tidak waras otaknya, kalau kita mendesak mungkin dia bahkan membunuh Bi Lan. Kita harus mengikutinya diam diam dan mencari kesempatan untuk merampas Bi Lan kembali. Lagi pula, biarpun dia terganggu otaknya, kulihat sinar matanya tidak mengandung kebuasan terhadap Bi Lan, tidak ada hawa nafsu jahat terbayang pada matanya. Maka aku yakin bahwa dia takkan mengganggu Bi Lan.”
“Kalau tidak hendak mengganggu, mengapa dia menculik Bi Lan ?” tanya Liang Bi Suthai dengan kening berkerut, tanda bahwa ia sedang gelisah sekali.
Liang Gi Tojin menggerakkan pundaknya. “Siapa tahu jalan pikiran seorang gila? Mungkin diambil anak, mungkin diambil sebagai murid siapa tahu?”
“Dia tadi menyatakan ada jodoh, kurasa dia ingin mengambil murid kepada Bi Lan.” kata Liang Tek Sianseng dengan suaranya yang halus seperti lazimnya suara seorang terpelajar. “Biarpun dia gila, akan tetapi seorang yang berkepandaian silat tinggi tentu akan dapat dengan mudah melihat bakat bakat yang luar biasa dalam diri Bi Lan dan tentu inilah yang menarik hatinya untuk mengambil Bi Lan sebagai muridnya.”
Semua orang membenarkan dugaan ini dan hati mereka agak merasa lega. Betapapun juga, Tan Seng mengambil keputusan untuk menyelidiki dan mengejar ke Ta pie san, sekalian hendak mencari Goa Makam Pahlawan seperti yang diterangkan oleh Lie Bu Tek tadi. Tiga orang murid Hoa san pai itu menyatakan hendak ikut dengan Tan Seng, karena merekapun merasa sedih mengingat akan nasib Bi Lan dan ingin sekali turun tangan membantu susiok mereka dan menolong Bi Lan.
Adapun Liang Tek Sianseng lalu menyatakan hendak mencari seorang tokoh terbesar di dunia kang ouw pada waktu itu untuk dimintai pertolongannya. Ia percaya bahwa kalau tokoh kang ouw ini yang mendatangi Coa ong Sin kai dan menggunakan pengaruhnya, tentu kakek gila itu akan mengembalikan Bi Lan ke Hoa san pai. Tokoh terbesar pada waktu itu, yang namanya terkenal di seluruh penjuru dunia, bukan lain adalah Pak Kek Siansu (Guru Dewa Kutub Utara), seorang kakek sakti yang bertapa di Puncak Pegunungan Lu liang san, yakni puncak yang disebut Jeng in thia (Ruang Seribu Awan).
Kakek ini dahulunya datang dari utara, dari mana asalnya tak seorangpun mengetahuinya, maka ia disebut Guru Dewa Kutub Utara. Baru kira kira sepuluh tahun yang lalu ia bertapa di puncak Gunung Lu liang san akan tetapi biarpun dia sendiri belum pernah turun gunung dan mencampuri urusan dunia, semua orang di dunia kang ouw tahu belaka bahwa kakek ini memiliki kesaktian yang luar biasa sekali. Banyak sudah tokoh tokoh dunia persilatan yang ingin menguji kepandaian Pak Kek Siansu, akan tetapi apa yang selalu terjadi?
Jagoan jagoan ini setelah tiba di Jeng in thia, dengan mudah dirobohkan oleh tiga orang kakek pelayan yang selalu melayani keperluan Pak Kek Siansu, yang boleh juga disebut sebagai murid muridnya! Baru menghadapi pelayan pelayannya saja sudah tak ada yang dapat mengalahkan, apalagi kalau Pak Kek Siansu turun tangan sendiri! Akan tetapi kakek sakti ini tak pernah mau turun tangan, bahkan banyak sudah yang tunduk baru mendengar wejangan dan melihat sikapnya saja.
Biarpun Pak Kek Siansu tak pernah mencampuri urusan dunia ramai, akan tetapi oleh karena ia terkenal sakti, maka ia disegani dan dihormati oleh semua golongan, baik dari golongan orang orang kang ouw yang gagah perkasa, maupun dari mereka yang memilih jalan hitam dan dikenal sebagai orang orang jahat.
Dan oleh karena menganggap bahwa perbuatan Coa ong Sin kai yang menculik murid perempuannya itu keterlaluan sekali, maka Liang Tek Sianseng mengambil keputusan untuk melaporkannya kepada Pak Kek Siansu dan mohon pertolongannya agar murid itu dapat dilepaskan dari kekuasaan Coa ong Sin kai, pengemis yang gila itu. Sudah beberapa kali Liang Tek Sianseng mengunjungi Pak Kek Siansu dan kakek sakti itu suka sekali kepada sasterawan ini, yang selain pandai menulis syair, juga pandai sekali bermain catur.
Pada hari itu juga, Liang Bi Suthai berangkat meninggalkan puncak Hoa san. Pendeta wanita ini hendak mengunjungi Go bi san dan hendak bertemu dengan Kian Wi Taisu untuk menghilangkan segala kesalahpahaman antara Hoa san pai dan Go bi pai.
Dengan demikian yang tinggal di kuil puncak Hoa san hanya Liang Gi Tojin seorang. Pertapa ini sepeninggal semua orang lalu duduk bersamadhi di dalam kamarnya, mendoakan agar tugas sumoi dan sutenya akan berhasil dengan baik dan semua orang dapat terhindar dari pada malapetaka.
********************
Seperti pernah dituturkan di bagian pertama dari cerita ini, Gunung Ta pie san di bagian timur merupakan daerah yang amat sukar dilewati orang, penuh dengan hutan hutan yang amat dalam. Belum pernah ada orang berani mendaki Gunung Ta pie san melalui lereng timur, maka Goa Makam Pahlawan tempat bertapa ThianTe Siang mo itu belum pernah terlihat oleh siapapun juga Hanya ada beritanya didengar orang bahwa di puncak Ta pie san terdapat goa penuh tengkorak yang disebut Makam Pahlawan, akan tetapi jarang sekali ada orang yang pernah menyaksikan dengan mata sendiri.
Jalan yang paling aman untuk mendaki bukit itu adalah dari selatan dan bahkan semenjak mulai dari kaki gunung terus naik ke lerengnya terdapat dusun dusun kecil yang penduduknya hidup bertani. Dan di lereng sebelah selatan inilah adanya Coa ong Sin kai yang membawa ularnya dan yang telah banyak mengorbankan banyak nyawa anak kecil sebagaimana pernah dituturkan, di mana ia dapat dikalahkan oleh Go Ciang Le, murid tunggal dari Thian Te Siang mo!
Adapun bagian yang dipergunakan untuk markas besar atau tempat persembunyian perkumpulan rahasia Hui eng pai, adalah di lereng sebelah barat di mana banyak terdapat hutan hutan liar dan binatang binatang buas. Oleh karena kepergian mereka ke Ta pie san memang hendak mencari jejak Coa ong Sin kai di samping tujuan untuk mencari Goa Makam Pahlawan, maka Tan Seng dan tiga orang murid keponakannya mengambil jalan dari selatan. Setiap kali mereka masuk ke dalam sebuah dusun, Tan Seng lalu mengajukan pertanyaan kepada penduduk tentang Coa ong Sin kai, akan tetapi tiada seorangpun pernah mendengar tentang kakek yang bernama Coa ong Sin kai.
Akan tetapi setelah mereka tiba di lereng yang agak tinggi, di dalam sebuah dusun mereka mendengar berita yang amat mendebarkan hati Tan Seng. Ia mendengar beberapa bulan yang lalu, di dalam hutan terdapat seorang siluman dengan ularnya yang suka makan anak anak kecil, kemudian datang seorang pemuda yang mereka sebut sebagai Hwa i eng hiong yang telah membunuh ular itu dan telah mengusir siluman tinggi kurus itu.
Ketika para petani itu menggambarkan keadaan siluman itu, tidak ragu ragu lagi hati Tan Seng, bahwa siluman itu tentu Coa ong Sin kai. Akan tetapi, siapakah pemuda itu? Mungkinkah…? Tan Seng tak berani melanjutkan jalan pikiran dan renungannya. Akan tetapi, kini bernyala api harapan di dalam hatinya. Tak mungkin kalau keturunan satu satunya dari puterinya lenyap begitu saja. Tak mungkin kalau semangat kepahlawanan dari mantunya, yaitu Go Sik An, akan habis demikian saja dan tidak menurun kepada putera tunggalnya, yang lenyap semenjak kecil. Hwa i enghiong? Pendekar Baju Kembang? Terbayanglah di depan mata Tan Seng baju kembang dari mantunya yang dipakai ketika mantunya mati digantung oleh tentara Kin dan berdengunglah dalam telinganya pesan isterinya agar supaya kelak Ciang Le putera tunggalnya itu selalu mengenakan baju kembang! Apakah hubungan Hwa i enghiong, yang telah mengalahkan Coa ong Sin kai itu dengan putera dari Tan Ceng, puterinya?
Akan tetapi, tentu saja orang orang dusun itu tidak dapat menceritakan banyak banyak, karena mereka sendiripun tidak tahu siapa nama sebetulnya dari Hwa i enghiong yang tidak mau menyebutkan namanya itu. Juga ketika mereka itu ditanyai tentang Goa Makam Pahlawan, semua orang dusun itu menggeleng kepala. Jangankan mengetahui, mendengarpun belum pernah!
Tan Seng dan murid murid keponakannya melanjutkan perjalanannya. Makin tinggi mereka mendaki, makin liarlah hutan hutan di gunung itu dan kini tidak terdapat rumah orang sama sekali. Keadaan mulai menyeramkan, hutan hutan itu benar benar besar dan liar. Beberapa kali mereka melihat ular ular besar bergantungan di pohon dan terdengar auman binatang binatang buas. Mereka berempat adalah orang orang gagah yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu saja tidak merasa takut dan melanjutkan perjalanan tanpa banyak cakap.
Tan Seng yang memimpin rombongan ini maju terus, sama sekali tidak mengira bahwa rombongannya mulai membelok ke barat. Sukar sekali di dalam hutan hutan liar dan jalan yang sukar itu untuk mengenal arah mata angin. Setelah berjalan beberapa jauhnya dan tiba di tebing yang meninggi, barulah dengan terkejut Tang Seng sadar bahwa mereka telah tersesat!
“Jangan jangan kita memasuki daerah Hui eng pai“ katanya perlahan.
Sebagai jawaban dari dugaannya! “Auw... auw… auuuuuww…” Suara ini bergema di seluruh hutan di sebelah bawah! Kemudian terdengar jawaban yang sama dari hutan di sebelah atas! Berdiri bulu tengkuk Ling In ketika ia mendengar suara yang aneh itu saut menyahut dari atas dan bawah. Suara itu mula mula rendah, kemudian meninggi seperti lengking yang menyakitkan telinga.
“Suara apakah itu, susiok?” tanya Ling In kepada Tan Seng.
Kakek petani itu menggeleng kepalanya “Entahlah, Ling In. Aku sendiripun belum pernah mendengar suara seperti itu.”
“Seperti suara srigala,” kata Lie Bu Tek yang banyak pengalaman.
“Suara serigala tidak meninggi seperti itu, suheng. Juga tidak terus menerus. Lebih menyerupai suara monyet besar atau mungkin suara… manusia!” kata Gan Hok Seng yang sebagai seorang piauwsu tentu saja banyak pula melakukan perjalanan melalui hutan hutan besar.
Tiba tiba Tan Seng berseru. “Awas am gi (senjata gelap)!” Dan kakek lihai ini lalu mengebut dengan ujung lengan bajunya. Sebatang anak panah jatuh ke bawah terpukul oleh lengan bajunya. Serangan anak panah gelap ini disusul oleh serangan banyak sekali senjata rahasia yang menghujani mereka sehingga empat orang ini dengan sibuk sekali memutar senjata masing masing untuk menangkis. Suara yang menyeramkan tadi kini telah lenyap.
“Kami adalah pengembara pengembara dari Hoa san pai kalau tanpa disengaja melanggar wilayah orang orang gagah, harap dimaafkan!” kata Tan Seng dengan suara keras sekali karena ia mengerahkan lweekangnya. Benar saja, serangan senjata senjata gelap itu berhenti dengan tiba tiba dan dari atas pohon pohon yang besar itu terdengar suara, “Jangan bergerak dan pergi dari sini sebelum ada putusan dari pangcu (ketua)!”
Tan Seng dan murid murid keponakannya menengok ke atas pohon dari mana suara itu datang, akan tetapi tidak terlihat seorangpun di sana. Kemudian terdengar pula suara lengking tinggi dan dari jauh terdengar balasan terus menerus berbunyi dan yang lama lama menjadi dekat seakan akan suara itu dikeluarkan oleh seekor burung yang sedang terbang datang. Kemudian dengan gerakan yang luar biasa ringan dan cepatnya, tahu tahu di atas pohon depan Tan Seng telah bergoyang goyang dan ketika mereka memandang terlihatlah seorang laki laki tinggi besar yang bermuka merah telah berdiri di atas cabang pohon itu.
Laki laki ini usianya kurang lebih empat puluh tahun dan mukanya mengingatkan orang akan tokoh peperangan di jaman Sam kok yang bernama Kwan In Tiang! Hanya bedanya, kalau Kwan In Tiang memiliki sepasang mata yang bernyala nyala dan membayangkan kegagahan dan kejujuran, adalah orang bermuka merah diatas cabang pohon ini memandang ke arah Ling In dengan sinar mata seorang mata keranjang.
“Sam pangcu dari Hui eng pai telah tiba, diminta orang orang yang di bawah memberi hormat,” terdengar seruan dari atas pohon.
Ucapan ini membuat Bu Tek, Ling In dan Hok Seng menjadi mendongkol sekali, karena mereka merasa betapa mereka direndahkan orang. Mereka tidak sudi memberi hormat, hanya berdiri tegak dengan senjata di tangan dan siap sedia menghadapi segala kemungkinan sebagai layaknya orang orang gagah.
Akan tetapi Tan Seng yang sudah tua dan berpengalaman, ternyata lebih sabar dan tenang. Ia lalu menghadapi si muka merah itu, tersenyum ramah dan menjura untuk memberi hormat sebagaimana pantasnya seorang tamu kepada tuan rumahnya, lalu berkata, “Ah, tidak tahunya lohu (aku yang tua) telah tersesat dan tanpa disengaja memasuki wilayah Hui eng pai. Maaf, maaf, betapapun juga ada girang dalam hati kami karena mendapat kesempatan untuk bertemu dengan sam pangcu (ketua ke tiga) dari Hui eng pai. Sudah lama kami mendengar nama besar dari Hui to Sam eng!”
Si muka merah itu dengan sombongnya memandang kepada Tan Seng, lau berkata dengan suaranya yang mengguntur, “Kalian tadi mengaku orang orang Hoa san pai, dan melihat pakaianmu serta usiamu, agaknya takkan keliru kalau aku menduga kau adalah orang ke empat diri Hoa san yang bernama Tan Seng dan yang menjadi mertua dari Go Sik An, orang yang mengaku bun bu cwan jai (ahli silat dan surat) akan tetapi yang ternyata mati sebagai pengkhianat di tiang penggantungan?”
Merahlah wajah Tan Seng mendengar ini, akan tetapi ia tetap masih dapat menahan kesabarannya. “Tanpa disengaja kami memasuki wilayah Hui eng pai, dan kuulangi lagi permintaan maaf kami yang sebesar besarnya. Kami datang tanpa disengaja, tidak mengandung maksud buruk dan juga tidak ingin mengganggu atau diganggu. Oleh karena itu, harap sam pangcu maafkan kalau kami hendak melanjutkan perjalanan dan mencoba keluar dari wilayah ini.”
Setelah berkata demikian, tanpa perdulikan si muka merah, Tan Seng lalu memberi tanda kepada murid murid keponakannya untuk pergi dari situ dan membelok ke arah timur.
“Hm. tidak begitu mudah, orang she Tan !” tiba tiba si muka merah berkata dengan keras.
Tan Seng menjadi mendongkol dan ia berhenti lalu menengok. “Sam pangcu, apakah yang kau kehendaki dari kami?”
Si muka merah itu menggerakkan tangan kirinya dan meluncurlah delapan sinar perak di sekeliling Tan Seng dan murid murid keponakannya dan ternyata bahwa sinar perak itu adalah delapan batang golok kecil yang kini menancap di atas tanah, mengurung mereka dari delapan penjuru! Si muka merah itu telah membuktikan kelihaiannya dalam penggunaan hui to (golok terbang) yakni golok yang disambitkan seperti senjata rahasia, akan tetapi yang dapat juga dipergunakan sebagai senjata dalam pertandingan silat.
Diam diam Tan Seng memuji karena sekaligus dapat melepaskan delapan batang hui to bukanlah pekerjaan yang mudah, selain membutuhkan tenaga lweekang yang kuat, juga memerlukan latihan yang lama dan tekun Gerakan pelemparan hui to ini disusul oleh melayangnya tubuh yang tinggi besar itu. Pantas saja pangcu ini dijuluki Hui eng atau Garuda Terbang, karena memang gerakannya, amat indah dan ringan sungguhpun tubuhnya tinggi besar. Kedua kakinya tidak mengeluarkan suara ketika ia turun dan berdiri menghadapi Tan Seng dan murid murid keponakannya.
Akan tetapi, tentu saja tokoh Hoa san pai yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu tidak merasa gentar bahkan tiga orang murid keponakannya juga tidak merasa takut. Ling In merasa benci dan muak sekali melihat betapa kepala gerombolon itu memandangnya seperti seekor harimau lapar memandang seekor kelinci yang gemuk! Ia beberapa kali membuang muka apabila pandangan matanya kertemu dengan pandangan mata si muka merah itu.
“Orang orang Hoa san, dengarlah. Aku adalah Ciu Hoan Ta, orang ke tiga dari Hui to Sam eng yang tentu kalian telah mendengar namanya! Kalian bilang tidak bermaksud jahat biarpun telah melanggar dan memasuki wilayah kami? Baik, baik, biar aku percaya saja omonganmu. Akupun takkan mengganggu kalian, akan tetapi ketahuilah bahwa kami Hui eng pai mempunyai peraturan sendiri bagi siapa yang telah memasuki daerah kami!”
“Apakah bunyi peraturanmu itu?” tanya Tan Seng dan ketiga orang murid keponakannya mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Ada tiga macam. Pertama, yang kuat menjadi sahabat. Ke dua, yang lemah masuk tanah dan ke tiga, yang indah menjadi hadiah! Siapapun juga asal sudah memasuki daerah kami, mau tidak mau harus tunduk terhadap peraturan peraturan kami ini!”
Tan Seng menjadi pucat mendengar ucapan ini, juga Hok Seng menjadi marah sekali mukanya. Inilah tanda bahwa Tan Seng dan Hok Seng yang mengetahui maksud peraturan itu, telah marah sekali. Sebagai seorang piauw su Hok Seng banyak berhadapan dengan bangsa perampok, maka ia mengerti istilah istilah di atas, adapun Tan Seng memang sudah banyak pengalaman maka tahulah dia bahwa si muka merah ini tidak bermaksud baik. Akan tetapi ia berpura pura tidak tahu dan minta penjelasan.
“Apakah maksudmu dengan yang pertama bahwa siapa yang kuat menghadapi pertandingan pibu, akan dijadikan sahabat?”
“Betul, betul, kau memang pandai, oran she Tan!”
“Dan yang keduanya, kalau kalah dalam pibu sampai meninggal dunia, tidak boleh, menaruh dendam dan dianggap sudah sepantasnya menjadi isi tanah?” kata pula Tan Seng tanpa memperdulikan kegirangan yang terbayang pada wajah Ciu Hoan Ta.
“Tepat sekali, memang demikianlah!”
“Dan yang ke tiga, kau menghendaki semua barang barang, perbekalan kami yang indah indah, atau tegasnya, kau hendak merampok kami?”
“Ha ha ha, salah! Kali ini kau keliru, orang she Tan. Ketahuilah bahwa biarpun pada umumnya anak buahku memang menghendaki barang barang indah, akan tetapi aku Ciu Hoan Ta tidak butuh akan barang barang indah! Aku telah cukup kaya dan mempunyai banyak emas dan perak. Barang indah yang kali ini kubutuhkan bukanlah benda mati.”
Sepasang mata Tan Seng mengeluarkan cahaya berapi. Biarpun ia merasa marah sekali karena sudah dapat menduga apa yang dimaksudkan oleh Ciu Hoan Ta, namun ia masih menahan sabar. “Apa maksudmu, orang she Ciu?” tanyanya dengan sabar.
“Dengarlah, sahabat sahabat dari Hoa san pai. Mengingat bahwa kita adalah orang orang gagah yang menghargai persahabatan, biarlah aku Ciu Hoan Ta membebaskan kalian dari pibu. Kuanggap kalian ini cukup gagah perkasa untuk dijadikan sahabat, bahkan untuk dijadikan keluarga! Adapun tentang yang ke tiga, aku… aku adalah seorang jejaka! Aku belum menikah dan nona ini... nona ini cocok sekali untuk mempererat tali persaudaraan antara Hui eng pai dan Hoa san pai. Berikan nona ini sebagai isteriku, dan kalian tidak saja akan dibebaskan, bahkan, akan dijadikan tamu tamu agung dari Hui eng pai.” Setelah berkata demikian untuk menutupi rasa jengah yang mengganggunya, Ciu Hoan Ta lalu tertawa bergelak.
“Bangsat tak kenal malu!” tiba tiba Ling In memaki dan cepat ia menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke arah leher Ciu Hoan Ta. Akan tetapi Ciu Hoan Ta sambil tersenyum cepat melompat ke belakang.
“Jangan main main dengan pedang, nona manis. Kalau terluka, aku suamimu akan menjadi susah!”
“Keparat bermulut kotor!” Ling In hendak menyerang lagi, akan tetapi tiba tiba lengannya dipegang oleh Tan Seng yang memberi isyarat dengan mata kepadanya. Dengan marah sekali. Ling In mengundurkan diri dan berdiri di sebelah Lie Bu Tek dan Gan Hok Seng yang juga sudah tak dapat menahan kesabaran mereka lagi.
“Ciu Hoan Ta mengapa kau berlaku keterlaluan kepada kami orang orang Hoa san pai?”
“Apa? Aku mengajukan pinangan secara baik baik, kau masih mengatakan aku keterlaluan?” bentak Ciu Hoan Ta.
“Bagaimana kalau kami menampik?”
Ciu Hoan Ta tertawa besar, diikuti oleh semua anak buahnya yang kini nampak muncul dari balik pohon pohon dan daun daun pohon di atas. “Menampik? Berarti kalian binasa, kecuali calon isteriku.”
“Ciu Hoan Ta, aku mendengar bahwa Huito Sam eng adalah orang orang gagah, apakah kau juga merasa sebagai seorang gagah berani dan tidak curang?”
Ciu Hoan Ta membelalakkan matanya. “Sekali lagi kau mengatakan aku tidak gagah dan curang, golok terbangku akan bicara!”
Tan Seng tersenyum mengejek dan menggerak gerakkan kepalanya. “Ciu Hoan Ta, kalau memang betul kau gagah perkasa dan tidak curang, aku Tan Seng, orang tua lemah dari Hoa San pai, pada saat ini juga menantang kepadamu untuk mengadu kepandaian secara laki laki! Kalau aku kalah dan tewas di tanganmu sudahlah, kau boleh lakukan apa yang kau suka. Akan tetapi kalau kau kalah olehku, kau harus membebaskan murid murid keponakanku yang tiga ini. Bagaimana, beranikah kau?”
Bukan main marahnya Ciu Hoan Ta menerima tantangan ini. Ia memang seorang yang berwatak keras dan sombong, berbeda dari dua orang kakak seperguruannya yang benar benar berkepandaian tinggi dan juga biarpun menuntut kehidupan sebagai kepala kepala gerombolan, namun masih menghargai peraturan dari dunia bu lim dan kang ouw. Ciu Hoan Ta memang belum mempunyai isteri yang sah, karena biarpun sudah seringkali ia menculik anak bini orang tentu saja tidak boleh disebut sebagai isterinya yang sah. Di dalam kesombongannya, Ciu Hoan Ta tadi memandang rendah kepada Tan Seng yang memang kelihatannya lemah dan seorang petani biasa saja, tidak memegang senjata pula.
“Baik, baik, kalau memang kau yang sudah tua bangka ini telah bosan hidup. Akan tetapi kalau kau mati, jangan nona calon isteriku ini kelak merasa menyesal kepadaku! Ha ha ha!” Diam diam Ciu Hoan Ta memberi tanda dengan jari jari tangannya yang merupakan bahasa rahasia dari perkumpulan Hui eng pai. Melihat isyarat ini, anak anak buahnya maklum bahwa kalau ketua mereka nanti terdesak, mereka diharuskan maju mengeroyok! Memang Ciu Hoan Ta ini curang sekali wataknya.
Kemudian Cin Hoan Ta mencabut goloknya yang besar. Gagang golok ini diikat dengan tali yang panjang dan sambil menyeringai dan memandang dengan matanya yang liar ke arah Ling In, Ciu Hoan Ta lalu membelit belitkan tali golok itu kepada pergelangan tangan kanannya. Kemudian ia menggerak gerakkan goloknya dan berkata. “Kakek tua, lekas kau keluarkan senjatamu!”
Tan Seng tadi telah melihat gerakan orang kasar ini dan biarpun harus ia akui bahwa kepandaian lawannya ini benar benar lihai, namun ia merasa masih kuat menghadapinya. Apalagi memang keistimewaan Tan Seng terletak pada sepasang ujung lengan bajunya. Ujung lengan bajunya dapat dipergunakan untuk menotok atau menampar dan kelihaiannya tidak kalah oleh sepasang golok atau pedang!
“Aku tak pernah memegang senjata, kau majulah!” tantang Tan Seng.
Ciu Hoan Ta menjadi marah karena mengira bahwa orang itu memandang rendah kepadanya. Sambil berseru bagaikan seekor garuda menyambar, ia menubruk maju dan membabat dengan goloknya yang bertali pada gagangnya itu. Tan Seng berlaku waspada dan cepat mengelak sambil mengebutkan ujung lengan baju kiri di muka mata lawan untuk membikin bingung, kemudian ia menggerakkan ujung lengan baju kanan untuk menotok ke arah jalan darah di iga lawannya.
Barulah Ciu Hoan Ta terkejut karena serangan tokoh Hoa san pai ini benar benar lihai dan berbahaya sekali. Ia cepat memutar goloknya untuk membabat ujung lengan baju lawan, akan tetapi Tan Seng kembali dapat menggerakkan ujung lengan baju sehingga terhindar dari bacokan. Ciu Hoan Ta lalu mengeluarkan kepandaian simpanannya, yakni Ilmu Golok Hui eng To hwat (Ilmu Golok Garuda Terbang). Dia dan kedua suhengnya menjadi terkenal dan ditakuti orang karena ilmu golok ini. Memang sesungguhnya Ilmu Golok Hui eng To hwat ini benar benar amat lihai, karena selain cepat dan tak terduga gerakannya, juga banyak terdapat tipu tipu yang menyesatkan.
Baiknya bagi Tang Seng bahwa Ciu Hoan Ta hanya menguasai enam puluh bagian saja dari ilmu golok ini dan terutama Sekali yang menyebabkan Ciu Hoan Ta kurang berbahaya adalah wataknya yang sombong, tidak tenang sehingga Tan Seng yang sudah berpengalaman itu dapat menghadapinya dengan hati hati, mengelak dan menangkis serangan lawannya yang membabi buta, sebaliknya membalas dengan serangan serangan yang jitu dan tepat.
Baru saja lima puluh jurus mereka bertempur, nampak dengan nyata bahwa Tan Seng lebih menang pengalaman dan mulai mendesak lawannya. Hal ini dilihat pula oleh anak buah Hui eng pai, maka sambil berseru keras, tujuh orang pembantu Ciu Hoan Ta lalu menyerbu maju sambil menggerakkan golok dan pedang.
“Jangan berlaku curang!” Lie Bu Tek melompat maju dengan pedang di tangannya, demikian pula Ling In dan Hok Seng cepat menghadang datangnya tujuh orang anak buah Hui eng pai ini.
Sementara itu, berhubung terdesak, Ciu Hoan Ta lalu mengeluarkan kepandaiannya yang terakhir. Tiba tiba ia berseru keras dan goloknya menyerang dengan sebuah tusukan, akan tetapi Tan Seng melompat mundur, golok itu terus menyerang, terlepas dari tangan pemegangnya dan terbang mengarah leher kakek itu. Inilah keistimawaan ilmu golok dari Ciu Hoan Ta. Golok itu pada gagangnya diikat dengan tali yang dibelitkan pada pergelangan tangan dan kini golok itu dipergunakan untuk disambitkan tanpa kuatir golok itu akan hilang. Karena apabila serangan itu luput, golok itu bisa ditarik kembali!
Tan Seng terkejut sekali dan ketika ia menyampok dengan ujung lengan bajunya, terdengar suara membrebet dan ujung lengan bajunya itu putus! Ia maklum bahwa dengan disambitkan, golok itu akan lebih berbahaya daripada kalau dipegang oleh Ciu Hoan Ta sendiri.
Melihat betapa goloknya berbasil membabat putus ujung lengan baju Tan Seng, Ciu Hoan Ta tertawa bergelak dan golok itu kembali ke tangannya. Kini ia menyerang lagi, lebih hebat daripada tadi. Goloknya terbang memutar dari kiri dan membabat ke arah leher Tan Seng dengan kecepatan kilat! Akan tetapi Tan Seng telah bersiap sedia. Ia maklum bahwa ia tidak mungkin terus menerus dapat menghadapi serangan aneh ini, maka dengan keberanian luar biasa sekali, ia menanti sampai golok itu terbang dekat. Kemudian, sambil mengeluarkan seruan keras dan mengerahkan lweekangnya, ia lalu menyambar dan memukul golok itu dari pinggir sambil mengerahkan ilmu Pukulan Sin ciang ia liong (Pukulan Sakti Menghantam Naga).
Bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, golok Ciu Hoan Ta itu membalik dan secepat kilat meluncur ke arah dada tuannya! Ciu Hoan Ta mencoba untuk mengelak, akan tetapi ia lupa bahwa golok itu terikat pada pergelangan tangannya maka tetap saja golok itu ikut berobah arahnya dan segera terdengar pekik mengerikan dan golok itu telah menancap di dadanya hampir menembusi punggungnya.
Tan Seng terkejut sekali melihat hasil tangkisannya ini. Ia tidak bermaksud membunuh Ciu Hoan Ta, maka melihat, ini, ia lalu berkata cepat kepada murid murid keponakanny.a. “Hayo lari ke timur!”
Pada waktu itu, anak buah Hui eng pai yang hendak mengeroyok, menjadi kaget dan untuk sesaat mereka tidak bergerak, memandang ke arah Ciu Hoan Ta yang sudah roboh mandi darah tak bergerak lagi. Kemudian, setelah melihat empat orang Hoa san pai itu lari, mereka berseru keras dan mengejar sambil mengeluarkan suara yang menyeramkan, “Mauw… auw... auw…!”
Akan tetapi empat orang Hoa san pai memiliki ginkang yang tinggi sehingga para pengejarnya dengan mudah dapat tertinggal jauh dan suara teriakan mereka hanya terdengar sayup sayup saja. Akan tetapi, tiba tiba setelah mereka tiba di pinggir hutan sebelah timur, terdengar suara jawaban yang luar biasa nyaringnya dari depan mereka! Tak lama kemudian, bagaikan dua ekor burung garuda, menyambar turun dua bayangan orang yang memiliki gerakan luar biasa sekali gesitnya. Ketika Tan Seng dan murid murid keponakannya memandang, di depan mereka telah berdiri dua orang kakek berusia lima puluh tahun lebih yang memandang dengan tajam ke arah mereka.
“Dari manakah datangnya orang orang yang telah berani mengganggu anak buah Hui eng pai?” tanya yang seorang yang memegang pedang. Yang seorang lagi memegang sepasang tongkat bercagak.
Tan Seng menjura dan menjawab, “Siauwte adalah Tan Seng dan tiga anak muda ini adalah murid murid keponakanku. Kami datang dari Hoa san pai dan ternyata tanpa disengaja kami telah tersasar dan memasuki daerah kekuasaan Hui eng pai.”
Kedua orang tua itu ketika mendengar bahwa empat orang ini adalah orang orang Hoa san pai, lalu cepat memberi hormat dan berkata, “Ah, kiranya Tan lo enghiong dari Hoa san! Harap dimaafkan apabila anak buah kami berlaku kurang ajar. Aku adalah Suma Kwan Seng dan ini adikku, Suma Kwan Eng. Kamilah yang menjadi ketua pertama dan ke dua dari Hui eng pai. Silakan kalian mampir di tempat kami untuk menerima penghormatan kami,” kata orang yang berpedang.
“Terima ksih, harap ji wi tidak kecewa. Lain kali saja kami datang berkunjung, sekarang kami tidak ada waktu lagi,” jawab Tan Seng sambil menjura. “Selamat berpisah!”
Setelah berkata demikian, Tan Seng lalu mengajak murid murid keponakannya pergi dari situ secepatnya. Para pengejar sudah semakin dekat, akan tetapi tiba tiba Suma Kwan Eng mengangkat tongkatnya dan berseru, “Jangan ganggu Tan lo enghiong dan murid muridnya! Mereka adalah orang orang gagah yang patut dijadikan sahabat!”
Tan Seng menengok dan setelah mengucapkan “terima kasih!” ia lalu melompat dan mengajak murid murid keponakannya untuk berlari cepat cepat dari tempat itu!
Mereka telah keluar dari hutan dan kini telah berada di luar daerah gerombolan Hui eng pai. Akan tetapi, setelah mereka berlari sejauh empat li kurang lebih, tiba tiba mereka mendengar seruan seruan dari belakang dan tampaklah bayangan kedua saudara Suma ketua ketua dari Hui eng pai itu.
“Hm, mereka tentu akan membalas dendam. Kita bersiap sedia !” kata Tan Seng perlahan kepada Bu Tek dan adik adiknya. Empat orang Hoa san pai ini mempersiapkan senjata masing masing.
Benar saja, yang datang adalah Suma Kwan Seng dan Suma Kwan Eng dan kini wajah mereka tidak seramah tadi. Suma Kwan Seng memandang kepada Tan Seng dengan mata bernyala, kemudian ia menegur, “Orang she Tan, tidak tahunya kau telah nembunuh sute kami, Ciu Hoan Ta!”
Tan Seng tersenyum tenang. “Saudara Suma Kwan Seng, sebagai seorang kang ouw, apalagi sebagai ciangbujin dari sebuah perkumpulan besar, kau tentu maklum akan akibat dari sebuah pibu. Sutemu memaksa kepadaku untuk mengadakan pibu dan ia tewas oleh goloknya sendiri. Mengapa hal seperti ini saja diributkan? Kalau seandainya di dalam pibu itu aku yang tewas, apakah kau akan ribut ribut juga?”
Ketua pertama dari Hui eng pai itu membanting kakinya dan sebuah batu hitam yang kebetulan berada di depannya menjadi remuk! “Baiknya kau berada di luar daerah kami dan karena memang betul ucapanmu tadi bahwa sute tewas dalam sebuah pertempuran pibu, kami akan menahan diri dan bersabar. Betapapun juga, kami tidak dapat menyangkal bahwa kaulah yang menjadi gara gara. Kalau kalian orang orang Hoa san pai tidak melanggar wilayah kami dan tidak naik ke gunung ini, tak mungkin suteku sampai tewas. Oleh karena itu, biarlah kami menahan kesabaran, akan tetapi lain waktu kami akan membalas kehormatan ini dan membalas kunjunganmu di Hoa san!” setelah berkata demikian Suma Kwan Seng dan Suma Kwan Eng lalu berkelebat dan sekali melompat mereka telah kembali ke dalam hutan.
Tan Seng menarik napas panjang. “Baiknya mereka masih menghargai kesopanan kang ouw dan entah mengapa, mereka agaknya takut untuk turun tangan di daerah ini! Hm, tanpa disengaja, kita telah menanam bibit permusuhan baru dan kukira kalau tadi mereka berdua turun tangan, belum tentu kita akan dapat menang. Kepandaian mereka jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Ciu Hoan Ta.”
Demikianlah, mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka ke timur, hanya berhenti untuk mengambil buah buah dari dalam hutan dan untuk mengisi perut. Dua hari kemudian, tibalah mereka di puncak bagian timur, tempat yang jauh lebih menyeramkan lagi kalau dibandingkan dengan bagian lain.
Setelah menjelajah dan memeriksa puncak itu setengah hari lamanya, akhirnya mereka dapat menemukan juga gua yang besar di mana dahulu Thian Te Siang mo membawa masuk muridnya dan di mana kedua orang Iblis Bumi Langit ini mengumpulkan jenazah jenazah orang orang gagah yang tewas sebagai pahlawan bangsa!
Mula mula Tan Seng hanya melihat gua yang kecil saja, yang hanya dapat dimasuki oleh tubuh seorang. Dengan Tan Seng memelopori di depan, empat orang ini memasuki gua itu dan makin dalam mereka masuk, gua itu makin lebar dan besar sekali. Akan tetapi gelapnya bukan main dan tiba tiba Ling In berbisik, “Susiok. mengapa baunya demikian tidak enak?”
“Ah, benar, suci,” kata Hok Seng, “aku jadi teringat….” Ia tidak melanjutkan bicara.
“Teringat apa. sute?”
“Teringat… teringat akan bau mayat!”
Berdiri bulu tengkuk Ling In ketika ia mendengar ini. Gadis ini berjalan paling belakang, maka tak terasa lagi ia lalu memegang lengan Hok Seng yang berjalan di depannya dan ketika ia menyentuh tangan Hok Seng, ternyata sutenya ini pun amat dingin tangannya dan agak gemetar tubuhnya!
“Susiok, lebih baik kita menyalakan api. Terlalu gelap bagi kita, siapa tahu kalau ada sesuatu yang tidak beres,” kata Bu Tek.
“Tunggu sebentar, biar aku mencari ranting kering di luar!” kata Hok Seng yang segera keluar dari gua itu. Untuk keluar lebih mudah dari pada masuk ke dalam, karena pintu gua yang sempit itu nampak nyata dan dapat menjadi penunjuk jalan. Tak lama kemudian, Hok Seng masuk lagi sambil membawa dua ranting yang sudah ia belit belit dengan alang alang kering, merupakan obor yang cukup besar.
“Suheng, lekas keluarkan batu apimu,” kata Hok Seng.
Bu Tek segera memukul batu apinya dan bernyalalah api membakar dua batang obor itu. Tan Seng memegang sebatang obor, yang ke dua dipegang oleh Hok Seng. Untuk sesaat pandang mata empat orang itu menjadi silau dan tak dapat melihat. Tan Seng mengangkat obor tinggi tinggi, demikian pula Hok Seng sehingga kini di dalam gua yang gelap itu menjadi terang. Mereka memandang ke dalam dan…
“Thian Yang Agung...” Tan Seng berseru.
“Ayaaaa…” Ling In hampir menjerit dan kembali ia menangkap lengan Gan Hok Seng yang berdiri di depannya. Gadis ini memandang ke depan dengan wajah pucat dan mata terbelalak serta tubuh menggigil saking seramnya.
Bertumpuk tumpuk, dalam berbagai posisi, terdapat banyak sekali rangka manusia. Tengkorak tengkorak yang bermata dan berhidung bolong memandang ke arah mereka dalam cara mengerikan sekali. Tulang tulang iga, tulang tulang lengan kaki tumpang tindih, di sana sini tengkorak tengkorak berserakan! Inilah Gua Makam Pahlawan itu. tak salah lagi.
“Lebih tepat disebut gua tengkorak!” akhirnya Tan Seng berkata perlahan setelah ia dapat menguasai kekagetannya.
“Susiok, mari kita keluar dari neraka ini…” kata Ling In yang selama hidupnya belum pernah menyaksikan pemandangan yang demikian menyeramkan. Kalau saja tidak berada di dalam gua yang demikian gelap tentu pemandangan ini takkan demikian mengerikan. Akan tetapi, di dalam tempat yang gelap gulita, lalu tiba tiba di bawah sinar api melihat pemandangan seperti itu, benar benar bisa membuat orang yang setabah tabahnya menjadi ketakutan.
“Nanti dulu, aku harus mencari rangka anak dan mantuku. Ceng ji (anak Ceng) diantara sekian banyaknya rangka, bagaimana aku bisa menemukan kau dan suamimu?” Suara Tan Seng ini amat mengharukan hati murid murid keponakannya, terutama sekali Ling In. Kemudian, ketika Tan Seng memberikan obor kepada Bu Tek dan dia sendiri membalik balikkan tengkorak tengkorak itu seperti orang memeriksa sekumpulan barang barang untuk mencari tengkorak puterinya, Ling In tak dapat menahan mengalirnya air matanya.
“Susiok, bagaimana dapat membedakan tengkorak dan tulang…?” tanyanya dengar hati terharu.
“Dapat, dapat...” Tan Seng berkata terengah engah sambil melanjutkan memilih tengkorak tengkorak itu, “orang sakti yang aneh itu telah menuliskan nama nama pada tengkorak tengkorak ini! Lihat, bukankah ini tengkorak dari Kwee enghiong yang tewas di utara. Dan ini... bukankah ini tengkorak Ang goan swe (Jenderal Ang) yang dahulu jenazahnya lenyap pula? Benar semua tengkorak ditulisi namanya, tentu aku akan bisa mencari rangka anak dan mantuku!” Makin bersemangat kakek itu memilih tengkorak.
Kemudian perhatiannya tertarik oleh dua rangka manusia yang duduk menyandar dinding batu karang dan agaknya didudukkan sengaja terpisah dari tengkorak tengkorak lain. Ia menghampiri, diikuti oleh Bu Tek yang memegang obor tinggi tinggi. Sekali saja menjenguk dan melihat huruf huruf yang terukir di belakang tengkorak. Tan Seng berseru gembira, “Inilah mereka! Inilah Tan Ceng dan Go Sik An, suaminya!” Ia berlutut di depan kedua rangka anak dan mantunya itu. Bu Tek, Hok eng, dan Ling In juga berlutut dengan penuh hormat.
Tan Seng yang duduk bersimpuh di depan kedua rangka itu, tiba tiba tak disengaja memandang ke atas lantai di depan rangka, lantai yang terbuat dari pada batu karang keras hitam. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya, yakni lantai yang hitam itu seperti ada corat coretnya. Ia meraba dengan jari tangan nya. Benar saja, ada tulisan di situ, tulisan yang dibuat dengan ukiran di lantai batu yang keras.
“Bu Tek, coba dekatkan obor itu. Ada tulisan di sini!” katanya Ketika obor didekatkan, semua orang membaca tulisan yang jelas dan besar, yang diguratkan dalam dalam pada lantai di depan kedua rangka manusia itu.
ANAK BERSUMPAH UNTUK MEMBALAS DENDAM AYAH DAN BUNDA.
“Ciang Le…!” Tan Seng berbisik dan sepasang matanya terbelalak dan penuh harap dan kegembiraan. “Dia masih hidup…! Ciang Le cucuku... dia masih hidup dan pernah datang di sini, bersumpah di depan rangka ayah ibunya!”
Setelah berkata demikian, tiba tiba kakek ini menangis terisak isak di depan rangka anak dan mantunya. Tangis karena kegirangan dan keharuan. Ling In ikut pula menumpahkan air mata, sedangkan Gan Hok Seng mengejap ngejapkan matanya sendiri yang menjadi pedas dan merah. Lie Bu Tek menggigit bibirnya menahan keharuan hatinya. Kemudian, dibantu oleh Bu Tek dan Hok Seng, kakek itu mengangkut keluar rangka puteri dan mantunya dan setelah memilih tempat yang baik hongsuimya (kedudukan tanah), ia lalu mengubur jenazah dua orang pahlawan itu. Setelah semua beres dan mereka telah bersembahyang, Ling In lalu minta diri untuk pulang ke Biciu, diantar oleh suhengnya, yaitu Lie Bu Tek. Diantara dua orang saudara seperguruan ini memang terdapat pertalian asmara dan pernikahan mereka hanya tinggal “tunggu waktu” saja. Adapun Gan Hok Seng lalu kembali ke Kanglam di mana ia membuka perusahan ekspedisinya yang diberi nama Hui houw piauwkiok (Kantor Ekspedisi Harimau Terbang).
“Apakah susiok hendak kembali ke Hoa san?” tanya tiga orang murid keponakan itu sebelum mereka berpisah mengambil jalan masing masing.
Tan Seng mengerutkan keningnya. “Aku hendak mencari Bi Lan.”
Ketiga murid keponakan itu berjanji bahwa di dalam perjalanan mereka, mereka juga hendak membuka mata memasang telinga untuk mendengarkan di mana adanya Coa ong Sin kai, pengemis gila yang sudah berani menculik sumoi mereka itu. Maka turunlah mereka dari Pegunungan Ta pie san yang penuh dengan hal hal yang aneh dan berbahaya itu. Tentu saja mereka mengambil jalan dari lereng sebelah selatan agar jangan sampai bertemu dengan gerombolan Hui eng pai yang lihai.
********************
“Kau berjodoh dengan aku! Ha ha ha, burung kecil, kau berjodoh dengan aku! Bagus, bagus...” sambil terkekeh kekeh Coa ong Sin kai berlari cepat sekali, memondong tubuh Bi Lan yang tidak berdaya, akan tetapi yang dapat melihat dan mendengar serta mengikuti semua gerak gerik pengemis gila ini.
Tentu saja sebagai seorang gadis yang baru remaja, Bi Lan merasa jijik sekali berada dalam pondongan kakek gila ini dan bau apak yang keluar dari pakaian dan tubuh Coa ong Sin kai membuat ia hampir muntah. Akan tetapi diam diam otak gadis yang cerdik ini bekerja keras, terputar putar dan menimbang nimbang.
Ketika ia terpukul oleh Tauw It Hosiang, tokoh dari Go bi pai itu, Bi Lan merasa tidak puas sekali akan kepandaian sendiri. Ia merasa betapa semenjak kecil, kong kongnya melatih dan menggemblengnya dengan nasihat nasihat agar ia belajar dengan tekun. Oleh karena ia adalah seorang yang taat kepada kong kongnya dan juga memang ia suka sekali akan ilmu silat, maka semenjak kecil, ia suka sekali belajar dan melatih diri sehingga keempat orang gurunya cinta sekali kepadanya. Tiap kali ia belajar di bawah asuhan guru gurunya, tentu ia mendesak guru gurunya untuk menurunkan ilmu ilmu silat yang belum diketahuinya. Dan sekali ia diajar, ia telah hafal dan dengan gerakan lincah sekali ia dapat mainkan semua ilmu silat yang diajarkan kepadanya. Berkali kali ia mendengar betapa guru gurunya memujinya sebagai seorang anak yang benar benar berbakat untuk menjadi ahli silat tinggi. Kalau pujian ini keluar dari mulut kong kongnya, ia takkan menganggapnya karena tahu betapa besar kasih sayang Tan Seng kepadanya. Akan tetapi pujian ini bahkan keluar dari mulut Liang Gi Tojin dan kakek ini selamanya tak pernah membohong.
Tidak tahunya, menghadapi seorang hwesio seperti Tiauw It Hosiang saja biarpun tak dapat dibilang ia kalah, namun ia masih terkena pukulan hwesio itu. Ia benar benar merasa tidak puas sekali maka ia tadinya girang mendengar bahwa Liang Gi Tojin hendak memberi pelajaran Pi ki hu hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah). Tidak tahunya, sebelum pelajaran itu diturunkan ia telah terkena totokan yang luar biasa dari pengemis gila ini dan bahkan kena ditawan!
Akan tetapi, ia teringat betapa lihainya pengemis gila ini, sudah terang bahwa guru gurunya tak dapat melawan kakek gila ini, yang dengan menggendongnya masih sanggup menghadapi keroyokan empat orang gurunya, bahkan dengan enaknya dapat melarikan diri tanpa dapat dikejar oleh tokoh tokoh Hoa san pai! Alangkah hebat kakek gila ini dan kalau ia dapat menjadi muridnya alangkah akan senang hatinya! Berfikir demikian lenyaplah semua rasa takutnya, lenyap pula rasa jijiknya terhadap kakek gila ini dan ia memandang dengan mata bersinar gembira.
Kebetulan sekali kakek gila itu memandang ke arah muka Bi Lan. Melihat betapa sinar mata gadis itu tidak seperti tadi dan kini nampak berseri seri, ia tertawa bergelak, melepaskan dan sekali tepuk saja pada punggung gadis itu, terlepaslah Bi Lan dari pengaruh totokannya.
“Ha ha ha, burung kecil (Siauw niau), kau tidak takut lagi sekarang? Bagus, aku paling benci pada orang penakut! Kau berjodoh padaku, Siauw niau, kau berjodoh dengan aku. Aduh gatalnya rambutku, lekas kau cari dan keluarkan kutu kutu busuk di rambutku ini!” Kakek ini lalu duduk di pinggir jalan dan minta supaya Bi Lan mencari kutu di kepalanya!
Bi Lan ragu ragu, lalu bertanya, “Orang tua, enak saja kau menyuruh aku. Apa upahnya kalau aku mendapatkan kutu rambutmu?”
“Ha ha ha, kau lebih pintar dari pada monyet kecil berbulu hitam itu. Dia selalu mencari kutu rambutku tanpa minta upah. Ha ha, siauw niau, kau mau minta apakah?”
“Aku minta upah ilmu silat.”
“Bagus, kalau kau tidak takut lelah bermain silat, akan kuberi itu padamu.”
“Aku ingin kau memberi pelajaran Pi ki hu hiat!” Kakek itu menengok dengan sepasang alis berdiri, lalu berkata sambil terkekeh kekeh.
“Kepandain macam itu saja tua bangka tua bangka dari Hoa san pai belum memberikan pelajaran kepadamu? Baik, baik, aku akan memberi pelajaran Pi ki hu hiat yang paling baik, bahkan aku akan memberi pula lajaran I kong hoan hiat (Memindahkan Jalan Darah) asal saja kau dapat mengeluarkan lebih dari lima ekor kutu rambut!”
Bi Lan menjadi girang sekali dan sambil menahan napas agar bau rambut kakek itu yang amat tidat enak jangan terlalu banyak mengotori paru parunya, ia lalu membuka buka rambut yang kotor dan kusut itu dan mencari kutu rambut. Karena memang rambut kakek itu menjadi sarang kutu, sebentar saja ia sudah dapat menangkap seekor kutu yang hitam dan besar. Sekali pencet dengan dua kuku ibu jarinya, matilah kutu itu.
“Nah, sudah mendapat satu. Ah, besarnya!” seru gadis itu dan ia memperlihatkan kutu yang sudah dibunuhnya itu kepada Coa ong Stn kai.
Kakek gila itu mengeluarkan seruaan keras dan tiba tiba tangan kirinya dengan gerakan melengkung telah bergerak menampar kepala Bi Lan! Gadis ini tentu saja terkejut sekali dan mencoba untuk mengelak, akan tetapi pukulan ini benar benar luar biasa dan tetap saja kepalanya kena ditempiling sehingga terdengar suara nyaring di telinganya dan ia terlempar dengan kulit kepala terasa panas dan pedas! Tentu saja ia merasa heran karena kakek itu tiba tiba menamparnya, juga heran sekali mengapa tanparan yang demikian jitu ternyata tidak melukainya sama sekali!
“Anak jahat!” kakek itu memaki. “Mengapa kau telah membunuhnya? Apa salahnya maka kau membunuhnya?”
Bi Lan membuka matanya lebar lebar karena heran dan tidak mengerti. “Membunuh siapa...?” tanyanya.
Coa ong Sin kai menunjuk ke arah kutu rambut yang masih menempel di kuku ibu jari Bi Lan. “Apa dosanya maka kau membunuhnya, anak bodoh?”
Hampir saja Bi Lan tertawa geli. Orang tua ini marah marah karena ia telah membunuh kutu rambut yang ditangkapnya! Alangkah lucu dan ganjilnya. “Orang tua, bukankah kutu busuk ini telah mengganggumu, menghisap darah dari kulit kepalamu? Mengapa tidak boleh dibunuh?”
“Bodoh! Dia menghisap darah memang sudah menjadi pekerjaannya, dan memang darah itulah makanannya. Dia tidak melakukan satu yang jahat. Awas, kau tidak boleh lagi sembarangan membunuh.”
“Baiklah, akan kutangkap hidup hidup kutu kutu rambutmu.”
Lenyap kemarahan kakek itu dan ia membiarkan rambutnya dicari kutu rambutnya oleh Bi Lan lagi.
“Orang tua…”
“Hm, apa lagi?”
“Pukulanmu tadi… hebat sekali. Aku ingin pula mempelajarinya.”
“Tentu kau akan mempelajarinya. Kalau tidak ada artinya aku membawamu? Sudah kukatakan kau berjodoh dengan aku.”
Karena kutu rambut di kepala kakek itu memang banyak, maka sebentar saja Bi Lan telah menangkap sepuluh ekor lebih. Kakek itu menjadi girang sekali dan ia mengumpulkan kutu kutu rambut itu yang dibungkus di dalam sehelai daun.
“Kau hendak memelihara kutu kutu itu?” Bi Lan bertanya heran.
Kakek itu tertawa. “Akan kupindahkan mereka pada tubuh kera di dalam hutan.”
Benar saja, ketika mereka memasuki hutan di mana terdapat banyak kera, Coa ong Sin kai lalu membuka daun itu dan menyebarkan kutu kutu itu pada kera kera yang duduk di bawah. Kakek itu mencari buah buah dan membagi bagikan kepada kera kera itu dan mengajak mereka tertawa tawa dan bercakap cakap kepada mereka. Diam diam gadis ini memperhatikan semua itu dan ia dapat menduga bahwa kakek yang aneh sekali ini ternyata lebih sayang kepada binatang dari pada kepada manusia!
Demikianlah, dengan amat cerdik dan pandai mengambil hati, akhirnya Bi Lan dapat menerima pelajaran dua macam ilmu silat dari kakek gila ini selama beberapa bulan, yakni ilmu silat tangan kosong yang disebut Ouw wan ciang (Ilmu Silat Lutung Hitam) yang terdiri dari 36 jurus dan juga ilmu pedang yang oleh kakek itu dimainkan dengan sebatang ranting bambu, yakni ilmu pedang yang disebut Sin coa kiam hoat (Ilmu Pedang Ular Sakti) Memang Bi Lan besar dan luar biasa sekali bakatnya dalam ilmu silat sehingga dalam tiga bulan saja ia telah dapat mewarisi dua macam ilmu silat ini.
Biarpun otaknya agak miring, ternyata bahwa Coa ong Sin kai memang tajam pandangan matanya. Tadinya tidak terpikir olehnya untuk mengganggu Hoa san pai dan menculik Bi Lan, akan tetapi begitu melihat gadis itu, ia menjadi amat tertarik. Segila gilanya kakek ini, ia masih mengerti bahwa ia tidak mempunyai murid dan kalau sampai ia mati tanpa menurunkan kepandaiannya kepada orang lain, akan lenyaplah kepandaian yang selama berpuluh tahun dipelajarinya, ia maklum bahwa Bi Lan adalah seorang gadis yang cerdik dan berbakat sekali, dan juga melihat wajah gadis ini, ia menjadi suka sekali, maka diculiknya gadis itu untuk dijadikan muridnya!
“Suhu, apakah tidak ada lain macam ilmu silat yang kau ketahui? Teecu ingin mempelajari semua kepandaian suhu,” kata Bi Lan setelah ia tamat mempelajari Sin coa Kiam hoat.
Coa ong Sin kai tertawa bergelak. “Kau benar benar serakah sekali! Kau kira kau akan dapat memeluk Gunung Thai san? Kalau kau tidak dapat memeluk Gunung Thai san, bagaimana hendak mempelajari semua kepandaian di dunia ini yang besarnya lebih hebat dari Gunung Thai san? Banyaknya kepandaian seperti air di Telaga See ouw, dapatkah kau minum semua sampai habis? Ha ha ha! Kepandaianmu yang telah kau pelajari itu sudah banyak, akan tetapi masih belum hebat. Kalau bertemu dengan orang yang lebih pandai, tetap kau akan kalah. Oleh karena itu, mari kau ikut dengan aku. Aku lebih suka bersahabat dengan binatang yang dapat membantuku di dalam keadaan bahaya dan kalau kau dapat mempelajari kepandaian ini, kaupun akan terjaga dari ancaman siapapun juga.”
Sambil berkata demikian, Coa ong Sin kai lalu berlari cepat dan Bi Lan segera mengejar. Salain dua macam ilmu silat yang telah disebutkan itu, juga kakek gila ini telah mengajarnya Pi ki hu hiat dan I kong hoan hiat, yakni ilmu ilmu menutup atau memindahkan jalan darah yang dalam melatihnya harus memiliki lweekang tinggi, maka otomatis lweekang dari gadis ini memperoleh banyak sekali kemajuan di bawah pimpinan Coa ong Sin kai, juga pengemis sakti ini melatihnya dalam hal ginkang dan ilmu lari cepat sehingga kini ia dapat berlari mengikuti gurunya yang baru ini tanpa tertinggal terlalu jauh.
Setelah berlari kurang lebih tiga puluh li jauhnya, mereka memasuki sebuah hutan yang penuh dengan pohon pohon besar dan tua. Tiba tiba setelah mereka masuk sampai di tengah tengah hutan Bi Lan menghentikan larinya dan memandang ke depan dengan mata terbelalak. Nyata ia merasa ngeri dan jijik sekali. Di depannya terdapat lima batang pohon pek yang besar dan pohon pohon ini penuh dengan ular yang besar besar, yang melingkari cabang cabang pohon, ada pula yang melingkar tidur di bawah pohon.
Coa ong Sin kai menghampiri tempat itu sambil tertawa, kemudian ia lalu mengeluarkan suara mendesis yang keras. Tiba tiba semua ular yang tadinya nampak mati tak bergerak, kini mulai hidup. Kepala mereka diangkat dan lidah yang merah bergerak gerak keluar dari mulut, lalu terdengarlah suara mendesis desis yang keras pula, yang keluar dari mulut semua ular itu. Agaknya binatang binatang ini mengenal tanda yang dikeluarkan oleh Coa ong Sin kai. Adapun kakek itu sambil tertawa tawa lalu maju dan duduk bersila di bawah pohon.
Bi Lan melihat dengan amat jijik dan ngeri betapa ular ular itu kini melepaskan lingkarannya dan merayap mendekati Coa ong Sin kai. Setelah tubuhnya terlepas dari lingkaran, nampak betapa panjang ular ular itu, bahkan ada yang panjangnya hampir tiga tombak! Coa ong Sin kai masih tertawa tawa dan ketika ular ular itu datang dekat, ia mengulurkan tangan membelai belai kepala mereka! Ular ular itu mencium cium dan menjilat jilat dengan lidah mereka yang merah meruncing, sehingga Bi Lan yang melihatnya merasa betapa bulu tengkuknya berdiri. Tiba tiba seekor ular belang yang besarnya selengan orang, merayap cepat ke arah kakek itu dan tidak seperti yang lain, ia lalu menyerang ke arah leher kakek itu dengan mulutnya yang bergigi runcing!
“Eh, belang, kau masih belum tunduk kepadaku?” kakek itu berseru dan sekali tangannya bergerak, ia telah menggunakan dan jari tangannya untuk menotok arah leher ular itu yang terus dijepitnya. Ular itu tak sempat menggigit pula dan sekali saja Coa ong Sin kai menekan belakang kepala ular itu dan terus diurut ke belakang, ketika dilepaskan, ular belang yang berbisa itu menjadi jinak!
Bi Lan menjadi kagum sekali dan sekarang tahulah dia mengapa gurunya yang baru ini dijuluki orang Coa ong Sin kai (Pengemis Sakti Raja Ular). Kiranya suhunya mempunyai kepandaian yang aneh untuk membikin tak berdaya dan takluk binatang merayap yang menjijikkan itu.
“Siauw niau (burung kecil), kau ke sinilah!” Coa ong Sin kai yang selalu menyebut muridnya “burung kecil” itu memanggil.
Sebetulnya Bi Lan merasa jijik dan geli untuk mendekati ular ular itu, akan tetapi ia tidak berani membantah panggilan suhunya, ia berjalan mendekati. Ular ular yang nampak jinak terhadap Coa ong Sin kai itu ketika melihat seorang manusia asing mendekat, lalu serentak bangun dan merayap hendak menyerang! Kepala mereka terangkat tinggi dan lidah mereka yang merah itu menjilat jilat ke luar dibarengi oleh suara mendesis yang menakutkan.
Bi Lan merasa geli akan tetapi sama sekali tidak takut. Gadis ini mengambil sebatang cabang kering di atas tanah dan siap sedia untuk menggempur ular ular itu apabila menyerangnya.
“Jangan pukul mereka, lemparkan ranting di tanganmu!” tiba tiba Coa ong Sin kai membentak dan suaranya terdengar begitu marah sehingga Bi Lan menjadi kaget dan buru buru melempar ranting itu. Ia teringat akan kemarahan suhunya, ketika ia membunuh kutu rambutnya dahulu itu. Ular ular itu merayap makin dekat dan kini tidak kurang dari tujuh ekor ular besar telah mengurung Bi Lan dari genap penjuru! Bi Lan menjadi bingung dan gelisah. Untuk menendang atau memukul ular lar itu, ia takut suhunya menjadi marah.
“Mereka tidak apa apa, asal kau tahu bagaimana menghadapi mereka.” Coa ong Sin kai mengeluarkan suara mendesis dan tujuh ekor ular itu lalu berhenti merayap dan mendekam tak bergerak!
“Lihat, bukankah anak anak ini manis benar? Kalau kau sudah mempelajari cara bagaimana untuk menguasai mereka, mereka ini akan membelamu sampai mati dan kau tak perlu takut menghadapi siapapun juga. Lihatlah, pernahkah, kau melihat ular-ular menari-nari?”