Pendekar Budiman Jilid 05
TOKOH-TOKOH Hek kin kaipang amat bangga atas kemashuran nama mereka dan kepandaian mereka, maka setiap kali ada orang kang ouw memasuki daerah Taigoan, orang kang ouw itu tentu akan menghadap pimpinan Hek kin kaipang sebagai kunjungan kehormatan. Pemuda ini baru saja membuat nama di dunia kang ouw, dan kini tidak saja lalai untuk kunjungan kehormatan bahkan pemuda ini sama sekali belum pernah mendengar nama Hek kin kaipang dan berani pula merobohkan dua orang pengurus tingkat ke lima! Oleh karena itu, Thio Han menganggap bahwa sudah sepatutnya ia “memperkenalkan” perkumpulannya agar pemuda ini jangan memandang rendah.
“Hm, jadi kau hendak menantangku bertempur?” kata Ciang Le dengan pandang mata penasaran. “Ketahuilah bahwa aku hanya akan turun tangan terhadap orang yang menyerangku, atau yang melakukan perbuatan jahat. Aku baru akan melayanimu kalau kau menyerangku.”
Mendengar ini, Thio Han ragu ragu untuk turun tangan. Kalau ia menyerang lebih dulu, ia akan dianggap keterlaluan, maka ia lalu menengok kepada seorang saudara muda, yakni pemimpin tingkat empat yang bertubuh tinggi kurus “Sute, coba kaulayani siauw enghiong ini beberapa jurus agar kita mendapat tambahan pengertian.”
Pengemis tinggi kurus itu kelihatan gembira menerima tugas ini. Ia memandang rendah kepada pemuda yang lemah lembut ini, maka ia melangkah maju menghadapi Ciang Le. Sementara itu. ketika melihat betapa penolongnya terdesak oleh rombongan pengemis yang agaknya hendak menimbulkan keributan, pemuda pelajar yang tadi dipukuli oleh dua orang pengemis, lalu bertindak maju dan berkata kepada Ciang Le.
“HOHAN, sungguh menyesal sekali karena aku kau sampai menghadapi kesulitan ini.” Kemudian ia berpaling kepada para pengemis itu dan berkata, “Kalian ini kalau mau disebut orang orang gagah mengapa mencari perkara dengan orang orang yang baru datang dari tempat jauh? Apakah ini bukan berarti akan membikin malu saja kepada kota Taigoan yang besar dan indah?”
“Kau cacing buku, pergilah!” Pengemis tingkat empat yang tinggi kurus itu menggerakkan tangan kirinya mendorong ke arah siucai itu.
Dorongan dilakukan dengan tenaga lweekang dan dari gerakannya itu tahulah Ciang Le bahwa pengemis ini adalah seorang ahli lweekeh yang karenanya amat membahayakan keselamatan siucai itu kalau sampai terdorong dadanya, ia cepat mengulur tangannya dan berkata,
“Sahabat, jangan kau mencampuri urusan kekerasan ini. Biarlah aku menghadapinya sendiri.” Biarpun ia kelihatannya mendorong pula tubuh siucai itu, akan tetapi sebenarnya ia menggerakkan tangannya memapaki tangan pengemis yang mendorong tadi.
Belum juga tangan mereka bertemu, pengemis tinggi kurus itu telah terdorong kebelakang dan merasa betapa tangannya sakit sekali. Cepat ia melompat ke belakang dan menjadi marah sekali. “Kurang ajar, kau benar benar hendak bertempur?” bentaknya.
Ciang Le tersenyum dan tidak memperdulikannya, bahkan memegang pundak siucai itu, didorongnya perlahan ke pinggir sambil berkata, “Sahabat, lebih baik kau lekas pergi saja dari sini.”
Siucai itu maklum bahwa memang keadaannya berbahaya sekali, maka setelah menganggukkan kepala dengan pandang mata terima kasih kepada Ciang Le, ia lalu pergi dari situ untuk cepat cepat meninggalkan Taigoan yang mendatangkan pengalaman pahit padanya.
“Menyerang seorang yang tidak mengerti ilmu silat mengandalkan kepandaian sendiri untuk menindas yang lemah, adalah perbuatan yang kusebut pengecut dan hina,” kata Ciang Le seperti kepada diri sendiri.
Mendengar ini, pengemis tinggi kurus itu makin marah dan dengan cepat ia melangkah maju dan menyerang Ciang Le dengan pukulan tangan miring. Akan tetapi, kepandaian pengemis tingkat ke empat ini biarpun bagi orang biasa sudah hebat sekali, namun menghadapi Ciang Le ia masih kalah jauh.
Gerakan pemuda ini jauh lebih cepat lagi dan sebelum tangan yang miring itu menyambar ke lehernya, ia telah mendahuluinya dengan jari jari terbuka, menyambut datangnya lengan itu dan menangkap pergelangan tangannya, sekali ia mengerahkan tenaga, tubuh pengemis itu terjerumus ke depan. Hampir saja hidungnya mencium tanah. Melihat betapa dalam segebrakan saja pemimpin Hek kin kaipang tingkat empat sudah roboh oleh pemuda ini, tentu saja semua orang menjadi makin terheran heran!
Ketika seorang pengemis tingkat tiga hendak maju. Thio Han mencegahnya. Menurut penglihatan kakek ini, kepandaian Hwa I Eng hiong terlalu tinggi untuk dihadapi oleh saudara mudanya tingkat tiga. Ia sendiri lalu melangkah maju dan berkata,
“Hwa I Eng hiong, iangan berlaku kepalang tanggung memberi petunjuk kepada kami. Sambutlah!” Sambil berkata demikian, Thio Han mengerang dengan kepalan tangan kanan.
Pukulan datangnya cepat dan antep sekali, maka tahulah Ciang Le bahwa kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi dari pada pengemis yang baru saja di kalahkan. Ia melangkah mundur sehingga pukulan lawan tidak mengenai tubuhnya. Akar tetapi, dengan gerakan yang luar biasa cepatnya. Thio Han sudah melangkah maju lagi dan sekaligus pengemis Hek kin kaipang tingkat dua ini telah melakukan serangan tigat macam dengan kedua tangan dan dibantu oleh kaki kiri!
Ciang Le mengerti bahwa kalau ia tidak mendemonstrasikan kepandaiannya, ia akan di rongrong terus oleh kawanan pengemis yang maju seorang demi seorang. Oleh karena itu, melihat datangnya serangan yang susul menyusul dan hampir berbareng ini, ia segera mengumpulkan tenaga memperkuat kedudukan kaki, kemudian kedua tangannya memukul dari kaki kanannya menendang lawan.
Bukan main hebatnya gerakan ini dan juga amat aneh dalam pandangan semua kawanan pengemis. Akan tetapi yang lebih terkejut adalah Thio Han sendiri. Terdengar suara “buk buk buk!” tiga kali ketika kedua tangannya yang terkepal beradu dengan kepalan tangan dari kedua tangan pemuda itu, sedangkan kaki kirinya bertemu dengan kaki kanan lawan.
Kalau Ciang Le masih berdiri seperti biasa sambil tersenyum, sebaliknya Thio Han merasa betapa kedua tangan dan kaki kirinya menjadi sakit dan tergetar. Ia mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi pertemuan kaki tadi membuat kuda kuda kaki kanannya bobol dan tak dapat dicegah lagi tubuhnya terlempar ke belakang bagaikan didorong oleh angin besar! Baiknya ia cukup lihai sehingga dapat berpoksai (membuat salto) untuk mencegah tubuhnya terjungkal. Akan tetapi ia meringis kesakitan dan melihat betapa kepalan kedua tangan dan kaki kirinya menjadi bengkak!
Saudara saudaranya melihat kekalahan ini, sambil berteriak teriak marah mereka maju menyerbu dan mengeroyok Ciang Le! Inilah kerukunan dari Hek kin kaipang dan oleh karena ini pula jarang ada orang berani menentang mereka. Akan tetapi kerukunan ini dalam pandangan Ciang Le hanya merupakan sifat yang amat licik. Ia mendongkol juga ketika para pengemis itu menggunakan tongkat untuk menyerangnya. Diam diam telah datang banyak pemimpin pengemis yang telah mendengar tentang keributan itu, kini Ciang Le dikepung oleh kurang lebih lima belas orang pengemis dari tingkat lima sampai tingkat dua!
Kepandaian para pengemis Hek sin kaipang itu sudah cukup baik dan lihai, ditambah pula dengan senjata tongkat mereka yang berbahaya, maka tentu saja Ciang Le tidak berani berlaku lambat. Ia tidak ingin melukai orang yang berpakaian tambal tambalan ini akan tetapi dengan tangan kosong menghadapi keroyokan ini memang membutuhkan kejelian mata dan kegesitan gerakannya. Ia cepat mainkan ilmu silat tangan kosong yang dipelajarinya dari Thian Lo mo sambil mengerahkan tenaganya.
Bukan main ramainya pertempuran itu akan tetapi juga amat menarik hati untuk ditonton. Dengan gerakannya yang lincah dan tenaga dalamnya yang besar, Ciang Le melayani mereka. Tongkat datang menyerangnya bagaikan hujan, akan tetapi semua itu dengan cepat dapat dielakkan oleh Ciang Le. Kadang kadang pemuda ini menggunakan lengan untuk menangkis dan sekali tangkis saja tentu sebatang tongkat menjadi patah atau terpental jauh! Kemudian dalam serangan balasan, Ciang Le mempergunakan tiam hwat (ilmu menotok jalan darah) sehingga sebentar saja di tempat itu menggeletak tubuh tubuh para pengemis dalam keadaan lumpuh, lemas ataupun kaku membatu!
Akan tetapi tiba tiba banyak sekali orang yang berpakaian dinas datang menyerbu dengan senjata golok. Melihat orang orang berpakaian seragam ini, terkejutlah Ciang Le. Mereka adalah penjaga penjaga kota! Bagaimanakah penjaga penjaga keamanan ini bahkan datang menyerbu dan membantu para pengemis yang mengeroyoknya?
“Eh, saudara saudara! Mengapa kalian mengeroyok aku? Yang menjadi pengacau pengacau adalah para pengemis ini, bukan aku!”
“Bangsat kecil, kaulah yang mengacaukan kota. Menyerah atau mati!” bentak seorang komandan pasukan penjaga itu.
Mendengar ini Ciang Le menjadi penasaran dan marah sekali. Ketika komandan itu menusukkan goloknya kepadanya, ia cepat membuat gerakan miring dan dengan jalan menyerong tangannya cepat bergerak dan tahu tahu golok itu telah berpindah ke dalam tangannya! Dengan gemas sekali pemuda ini lalu menekuk golok itu sehingga patah menjadi tiga!
Semua orang terkejut sekali menyaksikan demonstrasi tenaga yang luar biasa ini, akan tetapi pengeroyokan tetap saja makin merapat, Ciang Le menggerakkan kaki tangannya dan kembali robohlah empat orang pengeroyok sambil mengaduh aduh. Pemuda itu masih dapat mengendalikan perasaannya, maka yang roboh itu hanya terluka ringan saja, tidak sampai membahayakan jiwanya.
Mendadak terdengar bentakan nyaring, “Mundur semua!”
Dan aneh, baik para pengemis maupun penjaga kota yang sedang mengeroyok Ciang Le, ketika mendengar bentakan ini, tiba tiba menahan senjata masing masing dan cepat melompat mundur. Mereka kini berdiri dengan penuh hormat dan ada pula sebagian yang menolong kawan kawan mereka dan membawa pergi dari tempat itu.
Kini Ciang Le berdiri di tengah tengah, dikurung oleh banyak orang dan di tempat pertempuran tadi yang nampak sekarang hanyalah bekas bekas darah di atas tanah saja. Pemuda itu sendiri biarpun masih tenang dan napasnya masih biasa saja, namun wajahnya yang tampan nampak kemerahan dan beberapa butir peluh membasahi jidatnya.
Sebelum ia mengerti mengapa orang orang yang mengeroyoknya mundur dan siapa yang mengeluarkan bentakan tadi, terdengar angin meniup dari balik orang orang itu melompat masuk tiga orang yang aneh sekali keadaannya. Tiga orang inipun berpakaian sebagai pengemis, akan tetapi kantong yang menghiasi baju mereka hanya sebuah saja, tanda bahwa mereka bertiga adalah tokoh tokoh Hek kin kaipang kelas satu!
Ciang Le benar benar terkejut melihat tiga orang ini. Orang pertama adalah seorang kakek yang sukar sekali diduga berapa usianya. Tubuhnya kecil dan bongkok sehingga tubuh itu hampir melingkar bulat seperti tubuh trenggiling. Kalau diperhatikan sungguh menggelikan karena tinggi kakek ini hanya setengah orang saja dan bagian tubuh yang paling tinggi bukanlah kepalanya melainkan punggungnya yang berpunuk seperti onta itu!
Kepalanya tergantung di depan perut, dan kini ia berdongak memandang kepada Ciang Le dengan sepasang matanya yang kecil akan tetapi bersinar tajam. Kedua kakinya telanjang dan nampak jari jari kaki yang mekar seperti cakar bebek. Ia memegang sebatang tongkat hitam yang panjangnya hanya tiga kaki. Kakek ini memandang kepada Ciang Le sambil mengeluarkan suara ketawa seperti burung kakatua.
Orang kedua adalah seorang nenek, seorang pengemis wanita yang usianya paling sedikit enam puluh tahun. Pakaiannya yang tambal tambalan itu berkembang kembang sehingga nampak lucu sekali. Wajahnya sangat putih, kepucat pucatan dan seluruh air mukanya membayangkan kekecewaan dan kedukaan hati. Yang menarik hati adalah bekas luka di sekeliling lehernya, seakan akan leher itu pernah dipotong lalu disambung lagi. Nenek ini tidak memegang tongkat seperti pengemis pengemis lain, melainkan membawa siang kiam (sepasang pedang) yang gagangnya nampak tersembul di balik punggungnya sebelah kiri. Juga nenek ini memandang kepada Ciang Le dengan mata tajam, dan mulutnya makin mewek seperti mau menangis.
“Dia pantas sekali untuk siocia!” kata nenek ini mengangguk angguk dan matanya memandang kepada Ciang Le seperti seorang pembeli sedang menaksir sebuah barang yang menarik.
Pemuda ini merasa jengah juga menerima pandangan mata seperti itu. Ia melirik ke arah orang ke tiga yang juga aneh. Orang ke tiga ini seorang pengemis tua berambut putih dan wajahnya biarpun sudah tua, masih membayangkan ketampanan. Sayangnya kakek tua yang kelihatan tampan dan gagah ini hanya mempunyai kaki kanan saja, adapun kaki kirinya sebatas lutut telah hilang. Kakek ke tiga ini memegang dua batang tongkat yang sama panjangnya, kira kira empat kaki.
“Masih kurang pantas. Ia tidak setampan aku ketika muda!” kakek ke tiga ini berkata sambil menarik bibirnya mengejek.
Ciang Le maklum bahwa ia berhadapan dengan tokoh tokoh tertinggi dari Hek kin kai pang, maka cepat ia memberi hormat dengan mengangkat tangan yang dirangkap di depan dada sambil membungkuk.
“Sam wi pangcu, aku merasa menyesal sekali bahwa telah terjadi keributan antara aku dan anak buahmu. Semua ini bukan karena aku yang muda sengaja hendak mencari permusuhan, sama sekali tidak. Sebetulnya soalnya kecil saja yakni ditimbulkan oleh dua orang anak buahmu yang memukuli seorang siucai. Aku menegur dan akibatnya aku dikeroyok. Oleh karena itu, harap saja sam wi yang lebih luas pertimbangannya, suka menghabiskan urusan ini.”
Kakek yang bongkok itu tertawa cekikikan, “Heh heh, dia menyebut kita pangcu (ketua). Heh heh heh!”
“Apakah kau yang disebut Hwa I Eng hiong?” kakek ke tiga bertanya.
Ciang Le mengangguk. “Aku yang rendah memang dijuluki orang demikian, sungguh tidak sesuai dengan kepandaianku yang rendah.”
Kini nenek itu melangkah maju. “Benar benar kau Hwa I Enghiong?” tanyanya. Ketika Ciang Le mengangguk, nenek itu lalu tersenyum dan berkata, “Kalau begitu aku harus memberi selamat kepadamu!” setelah berkata demikian, ia lalu menjura dan merangkap kedua tangan di dada sambil memungkukkan tubuhnya.
Ciang Le terkejut sekali karena ia menduga bahwa gerakan ini adalah semacam pukulan gelap yang dilakukan dengan tenaga lweekang yang tinggi. Benar saja dugaannya ketika ia merasa ada angin menyambar dari kedua kepalan tangan nenek itu ke arah dadanya. Baiknya ia tadi telah menaruh hati curiga, maka kini ia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada dan mendorongnya ke depan sambil mengerahkan lweekangnya pula.
Akibatnya membuat pemuda dan nenek itu keduanya terkejut. Benturan tenaga lweekang ini membuat Ciang Le terpaksa mundur dua langkah. Adapun nenek itu menjadi terhuyung ke belakang sampai tiga tindak! Ini saja sudah membuat nenek itu kagum sekali, sebaliknya Ciang Le diam diam terkejut. Ia tahu bahwa tenaga lweekang dari nenek ini hanya berbeda sedikit saja dari padanya, padahal ia telah digembleng secara hebat oleh Thian Lo mo, tokoh besar ahli lweekeh itu. Baru nenek ini saja sudah demikian lihai, apalagi dua orang kakek yang aneh ini.
Tiba tiba kakek bongkok itu mengulur tangan dan sebelum Ciang Le dapat mengelak, tangannya telah terpegang oleh tangan kakek itu yang sambil terkekeh kekeh berkata. “Bukan di sini tempat bicara. Hayo kau ikut dengan kami!” Setelah berkata demikian, ia melompat cepat dengan tangan masih memegangi tangan Ciang Le.
Pemuda ini merasakan tarikan yang kuat sekali. Ia tidak mau mempergunakan kekerasan, maka iapun lalu menggenjot kakinya dan mengikuti kakek ini melompati kepala orang orang yang tadi mengelilinginya. Nenek itu dan kakek buntung juga melompat sehingga dalam sekejap mata saja empat orang ini lenyap dari tempat itu. Jalan raya yang tadinya penuh sesak itu kini menjadi biasa kembali, ditinggalkan oleh para penonton yang berjubel di situ.
Ciang Le berlari cepat di sebelah kakek bongkok. Ia merasa betapa cengkeraman tangan kakek ini benar benar kuat. Baiknya ia sendiri memiliki ilmu lari cepat yang sudah mencapai tingkat tinggi sehingga ia dapat mengimbangi kecepatan si bongkok. Kalau tidak, tentu ia akan terseret dan tangannya akan terasa sakit.
Setelah berlari lari beberapa lama akhirnya kakek bongkok itu berhenti di depan sebuah rumah gedung yang penuh tanaman kembang di halaman depan. Rumah gedung itu tidak terlalu besar, akan tetapi benar benar mungil dan cantik sekali. Nampak demikian bersih terpelihara.
Ketika kakek bongkok itu hendak memasuki halaman gedung ini, Ciang Le merasa sangsi dan berkuatir kalau kalau ia akan terjebak. Sambil mempergunakan Ilmu Sia kut hoat, ia membetot tangannya dan sekali tarik, saja tangannya yang digenggam oleh kakek bongkok telah terlepas!
Si bongkok memandangnya dengan kagum dan perlahan lahan mukanya menjadi merah. Ia telah kena dipermainkan oleh pemuda ini. Melihat bahwa pemuda ini pandai Ilmu Sia kut hoat, kalau tadi tadi pemuda ini menghendaki tentu sudah dapat melepaskan tangannya yang terpegang!
“Hwa I Enghiong, apakah kau takut memasuki rumah kami?” tanya nenek yang sudah berada dibelakang mereka pula bersama, kakek buntung.
Ciang Le tertegun. Tidak saja ia mendapat kenyataan bahwa nenek dan kakek buntung itupun memiliki ilmu lari cepat yang hebat juga ia merasa aneh melihat betapa tiga orang ketua Hek kin kaipang ini dapat tinggal di dalam sebuah gedung yang demikian indah yang agaknya hanya patut ditinggali seorang bangsawan tinggi! Akan tetapi, karena nenek itu menyangkanya takut, ia menjadi panas hati. Betapapun tinggi kepandaian tiga orang aneh ini belum cukup untuk mendatangkan rasa takut dalam hatinya! Ia menjawab dengan gagah,
“Mengapa aku harus takut? Hanya orang bersalah saja yang dapat takut dan dalam hal ini, aku tidak merasa bersalah.” Kemudian dengan langkah tenang dan dada terangkat, Ciang Le mengikuti mereka memasuki rumah indah itu.
Seorang pelayan dengan pakaian bersih dan sikap sopan sekali membuka pintu dan membungkuk dengan hormat sekali seakan akan yang datang bukanlah seorang pemuda dan tiga orang pengemis, melainkan orang orang bangsawan agung!
Tiga orang tua itu membawanya menuju ke sebuah ruangan di bagian kiri gedung, sebuah ruangan yang amat luas. Melihat betapa keadaan ruangan ini berlantai bersih dan datar juga bangku bangkunya dan meja terletak di sudut sehingga di bagian tengah kosong, Ciang Le dapat menduga bahwa ini tentulah ruang bermain silat.
Pada saat itu, tiba tiba Ciang Le mendengar suara kim ( alat musik bertali ) yang dipukul dengan merdunya. Kembali ia tertegun karena suara ini memang amat pantas terdengar dari sebuah gedung indah, tanda bahwa penghuninya adalah seorang seniman terpelajar. Akan tetapi mengapa tiga orang pengemis tua ini bersikap seakan akan mereka yang menjadi tuan rumah?
Selagi ia menikmati suara kim yang merdu itu, tiba tiba terdengar suara lain, suara yang jauh berlainan dengan suara tetabuhan itu. Kali ini yang terdengar datang dari arah belakang, yakni suara orang orang berkeluh kesah, menangis, mengerang, pendeknya suara banyak orang sedang menderita sedih dan sakit! Akan tetapi, suara kim yang terdengar dari sebelah kanan gedung itu masih saja berbunyi, seakan akan mengiringi tangis dan keluh kesah itu yang dianggap oleh penabuh kim sebagai nyanyian yang enak didengar agaknya!
Melihat keheranan Ciang Le, nenek itu tertawa terkekeh kekeh. “Anak muda, kau menjadi tamu agung kami, dan agaknya kau tertarik oleh bunyi dan suara itu. Apakah kau ingin menyaksikan dengan mata sendiri?”
Biarpun ia tidak suka dianggap sebagai seorang yang lancang dan ingin mengetahui keadaan rumah orang, namun tangis dan keluh kesah itu membuat Ciang Le curiga kalau kalau di dalam rumah ini terjadi kejahatan, maka ia lalu menganggukkan kepalanya.
Kakek bongkok dan kakek buntung itu agaknya tidak setuju kemudian menggerakkan tangannya akan tetapi mereka itu dibantah oleh nenek tadi dengan kata kata,
“Sebagai seorang calon pasangan pangcu, tentu saja berhak mengetahui segalanya.” Kemudian ia lalu mendahului dan mengajak Ciang Le masuk ke ruangan belakang.
Ciang Le mengikuti nenek ini dan di belakangnya, dua orang kekek itupun berjalan sehingga ia seakan akan dikurung di tengah tengah. Biarpun mereka bertiga tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan, diam diam Ciang Le maklum bahwa dia dijaga keras oleh tiga orang aneh ini.
Setibanya di belakang, nenek itu lalu melompat ke atas dinding tembok. Ciang Le ikut melompat pula dan di belakang tembok itu ia menyaksikan pemandangan yang aneh dan juga menawan hati. Di belakang dinding itu ternyata merupakan sebuah taman yang cukup indah dan luas sekali. Banyak macam bunga bunga mekar semerbak di situ. Akan tetapi yang amat aneh adalah banyaknya orang orang yang bekerja di situ. Biasanya untuk sebuah taman bunga, dua atau tiga orang tukang kebun saja sudah cukup. Akan tetapi di dalam taman ini nampak orang orang yang jumlahnya sampai tiga puluh orang lebih!
Mereka ini bekerja mengurus taman bunga dan ketika Ciang Le memperhatikan, ternyata bahwa keadaan mereka amat sengsara. Pakaian mereka pecah pecah dan tambal tambalan, dan biarpun ada yang pakaiannya cukup baik, namun rata rata mereka itu pucat pucat bahkan ada beberapa orang yang menderita luka tanpa diobati!
Ketika orang orang itu melihat nenek dan dua orang kakek tadi berdiri di atas dinding tembok bersama seorang pemuda, tiba tiba saja semua tangis dan keluh kesah itu lenyap dan berhenti. Semua orang lalu sibuk bekerja, nampaknya mereka takut sekali menghadapi tiga orang tua itu!
“He, orang she Kwe! Kau kembali menangis, ya? Awas, sekali lagi ku mendengar kau meraung raung seperti anjing hukumanmu akan kutambah sepuluh tahun lagi! Ini, rasakan untuk peringatan!” nenek itu berseru keras dan tangan kirinya bergerak kearah seorang yang sedang berdiri di dekat sebatang pohon bunga sambil membuangi daun daun kering.
Ciang Le melihat sinar hitam melayang dari tangan nenek itu dan orang tadi terjungkal. Sebatang touw kut teng (paku penembus tulang) telah menancap pada pundak orang itu yang biarpun meringis meringis kesakitan sambil memegangi pundaknya, namun sama sekali tidak berani menangis atau mengeluarkan suara!
Ciang Le terkejut dan marah sekali. “Kau kejam sekali!” teriaknya, akan tetapi nenek itu memandang kepadanya dengan mata mendelik dan menudingkan jari tangan ke arah lehernya.
“Kejam? Apakah artinya pundak tertancap paku dengan luka di leherku ini? Tahukah kau bahwa luka ini ditimbulkan oleh guratan golok sehingga leherku hampir putus?”
Ciang Le tertegun karena ia tidak mengerti apakah artinya semua ini. Tiga orang tua itu melompat turun ke tempat tadi dan terpaksa Ciang Le ikut melompat turun pula. Ia tadi telah melihat bahwa air muka orang orang yang berada di dalam taman bunga itu menunjukkan watak orang orang yang kurang baik kelakuannya. Akan tetapi tetap saja ia merasa penasaran mengapa orang orang itu disiksa seperti itu dan mengapa pula mereka dikumpulkan di tempat itu. Lagi pula, di antara orang orang itu ia juga melihat pengemis pengemis berikat pinggang hitam, anggauta anggauta Hek kin kaipang.
“Sam wi pangcu (tiga saudara ketua), apakah artinya pemandangan itu? Siapakah mereka dan mengapa mereka berada di tempat itu?” tanya Ciang Le karena pemuda itu tak dapat menahan hatinya lagi.
“Mereka itu orang orang hukuman!” jawab nenek itu sambil menyeringai.
“Orang orang hukuman? Apa kesalahan mereka dan mengapa dihukum di sini?”
“Hwa I Enghiong, dari siapakah kau belajar menyelidik keadaan dalam rumah tangga lain orang?” Si bongkok tiba tiba menegurnya dan merahlah wajah Ciang Le.
Sesungguhnya, taman bunga itu masih menjadi bagian dari gedung ini dan apa yang terjadi di dalam taman itu masih merupakan peristiwa dalam rumah tangga lain orang.
“Sekarang marilah kau menyaksikan dengan mata sendiri suara lain yang datang dari bangunan sebelah kanan itu,” kata nenek itu pula. Memang suara kim yang ditabuh itu masih terdengar dengan nyaring dan amat merdunya. Ciang Le mengikuti tiga orang itu menuju ke arah datangnya suara.
Mereka tiba di sebuah ruangan yang luas akan tetapi pintu yang lebar terbuka itu tertutup oleh tirai yang halus sehingga dari luar orang dapat melihat bayangan di sebelah dalam. Tercenganglah Ciang Le ketika melihat keadaan bagian ini. Ruangan itu amat indah dan bersih, dihias dengan perabot perabot rumah yang serba indah dan mahal. Juga dari tirai halus itu semerbak bau yang amat harum. Ketika ia memandang ke dalam, tiba tiba matanya terpaku pada sebuah pemandangan yang amat menarik hati. Di sudut ruangan itu, duduk di atas lantai yang ditilami kasur beralaskan sutera merah muda, nampak seorang gadis yang cantik jelita.
Gadis ini kelihatan seperti seorang bidadari saja dari luar tirai, berpakaian hijau berkembang yang indah sekali dan cara duduknya amat luwes dan. menarik hati. Di depannya terletak sebuah alat tetabuhan kim yang dimainkannya dengan asyik. Sepuluh jari tangannya yang runeing bergerak gerak dan mukanya tunduk memandang alat tetabuhan itu.
Tiba tiba gadis itu mengangkat muka, seakan akan pandang mata yang penuh kekaguman dari Ciang Le terasa olehnya. Sepasang mata yang lebar dan jeli menatap ke arah tirai dan Ciang Le segera menundukkan mukanya yang berobah merah. Benar benar ia merasa malu karena sungguh tidak sopan memandang seorang gadis di dalam kamarnya ia lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi dari pintu, diikuti oleh tiga orang pengemis tua itu yang tersenyum senyum.
“Dia cantik jelita bukan? Pernahkah kau melihat seorang gadis yang secantik dia?” tanya nenek itu.
“Siapakah dia??” tanya Ciang Le.
Nenek itu tertawa cekikikan. “Heh heh, kau tergila gila kepadanya bukan? Heh heh heh, laki laki mana yang takkan tergila gila melihat dia? Kau boleh menyebut dia pangcu, Siocia atau Sianli (Ketua, Nona, atau Dewi)!”
“Pangcu? Nona itu ketua dari apakah?”
Kini si buntung tertawa geli. “Anak bodoh, dialah pangcu dari perkumpulan kami!”
Bukan main herannya hati Ciang Le mendengar ini. Nona pemain kim tadi ketua dari Hek kin kaipang? Sungguh sukar untuk dapat dipercaya!
Sementara itu, mereka telah tiba kembali di ruang pertama, yakni ruang lian bu thia. Nenek itu lalu berkata. “Sekarang bersiaplah kau, orang muda. Tidak sembarangan orang boleh memasuki rumah ini. Dalam pandangan kami, kau cukup memenuhi syarat, kecuali sebuah lagi, yakni kau harus dapat menghadapi kami bertiga selama lima puluh jurus lebih!”
Ciang Le mengerutkan kening. “Apakah artinya ini? Aku datang atas undangan cuwi, bukan kehendakku sendiri dan aku sama sekali tidak hendak mencari permusuhan dan pertempuran.”
“Ha ha ha, kau takut?” tanya si kakek buntung.
“Siapa bilang aku takut? Aku hanya hendak mencegah pertempuran tanpa alasan.”
“Tanpa alasan katamu?” si bongkok membentak, “Kau telah mengacau kota Taigoan telah merobohkan banyak anak buah kami dan para penjaga kota, dan kau bilang tanpa alasan? Anak muda, kami masih belum membunuhmu boleh dibilang sudah cukup baik dan sabar. Kalau tidak Bi Mo Ii (Setan Wanita Cantik) ini yang membuat gara gara hendak menjadi comblang, sudah semenjak tadi kau mampus! Hayo kau boleh memperlihatkan kepandaianmu!”
Setelah berkata demikian, si bongkok ini lalu menggerakkan tongkat pendeknya untuk menyerang dengan sebuah totokan ke arah ulu hati pemuda itu. Berbareng pada saat itu, sambil tertawa tawa, nenek itupun telah menyerang dengan siang kiam (sepasang pedang) dan si kakek buntung telah menggerakkan kedua tongkatnya!
Ciang Le terkejut bukan main. Ia cepat menggerakkan tangan ke arah punggungnya dan tiba tiba berkelebat sinar emas ketika Kim kong kiam berada di tangannya dan cepat ia menggerakkan pedang itu untuk menangkis senjata lawan. Terdengar suara nyaring diikuti oleh bunga api berpijar. Tiga orang pengemis tua itu mengeluarkan seruan kaget dan mereka menahan senjata masing masing.
“Kau pernah apa dengan Thian Te Siang mo ??” teriak nenek itu dengan wajah pucat.
“Thian Te Siang mo adalah guruku,” jawab Ciang Le dengan tenang dan diam diam ia merasa girang karena agaknya, seperti kakek pemelihara ular itu, tiga orang tua ini sudah pernah bertemu dengan kedua orang suhunya dan agaknya jerih menghadapi pedangnya yang dahulu menjadi senjata dari Te Lo mo, gurunya ke dua. Akan tetapi rasa girang ini berobah menjadi gelisah ketika ia melihat sikap nenek itu. Tiba tiba saja nenek ini memaki maki.
“Thian Te Siang mo, keparat terkutuk! Sekarang aku mendapat kesempatan untuk mencincang hancur tubah muridmu!” Setelah berkata demikian, sepasang pedangnya bergerak dengan ganas dan cepatnya, dibantu pula oleh dua orang kakek itu.
Terpaksa Ciang Le melayani mereka dan sebentar saja ia terkurung rapat rapat. Pemuda ini harus mainkan Kim kong Kiam sut dengan cepat dan sungguh sungguh, karena, serangan serangan tiga orang lawannya ini benar benar hebat dan lihai. Diam diam ia memikir dengan heran siapakah mereka ini dan mengapa agaknya nenek itu membenci kedua orang gurunya.
Seperti telah disebutkan di bagian depan, tiga orang tua ini adalah pemimpin pemimpin Hek sin kaipang tingkat satu, yakni tingkat tertinggi. Nenek itu berjuluk Bi Mo li (Setan Wanita Cantik), kakek bongkok itu berjuluk Beng san kui (Setan Ganung Sakti), dan kakek yang buntung kaki kirinya itu berjuluk Siang tung him (Biruang Bertongkat Dua).
Melihat cara tiga orang tua itu menyerangnya, Ciang Le diam diam menjadi sibuk juga. Tiga orang tua itu kini bukan lagi hendak mencoba kepandaian, melainkan menyerang dengan mati matian! Agaknya karena ia murid Thian Te Siang mo, tiga orang ini menjadi benci kepadanya dan hendak membunuhnya, terutama sekali nenek yang lihai itu. Ilmu pedang dari nenek itu benar benar lihai sekali dan ditambah pula dengan permainan tongkat si bongkok dan sepasang tongkat si buntung, benar benar Ciang Le terdesak hebat.
Pemuda ini tidak mau mengalah begitu saja, tadinya memang ia terdesak karena ia memang tidak membalas serangan serangan mereka dengan sungguh sungguh, kuatir kalau kalau melukai mereka. Sekarang melihat betapa tiga orang tua itu menyerangnya dengan sungguh sungguh dan mati matian, terpaksa iapun membalas dengan serangan yang amat lihai dari Ilmu Pedang Kim kong Kiam sut. Ilmu Pedang Kim kong Kiam sut yang ia pelajari dari Te Lo mo ini memang benar benar luar biasa sekali.
Pedang di tangannya lenyap berobah menjadi segulungan cahaya kekuningan seperti emas dan merupakan benteng kuat sekali yang melindungi seluruh tubuhnya dari serangan senjata senjata lawannya. Bahkan kadang kadang gulungan sinar pedang itu mendesak hebat sekali sehingga setiap kali senjata lawan terbentur, lawan lawannya mengeluarkan suara kaget! karena merasa telapak tangannya tergetar hebat!
Kalau sekiranya tidak dikeroyok tiga, sudah dapat dipastikan bahwa Ciang Le tentu akan dapat dirobohkan lawannya Biarpun dalam hal lweekang dan ginkang tidak boleh dikatakan kepandaian dan tingkatnya lebih tinggi, namun dengan Ilmu Pedang Kim kong Kiam sut, ternyata ia menjadi lebih unggul dari pada semua lawannya.
Akan tetapi, karena tenaga dan kepandaian tiga orang pengemis tua yang aneh itu tergabung dan mereka ternyata dapat bekerja sama dengan baik dan teratur sekali, maka Ciang Le akhirnya menjadi kewalahan dan terdesak hebat! Betapapun juga, berkat daya tahan Kim kong Kiam sut yang rapat dan kuat, ia masih dapat mempertahankan diri dan agaknya tidak akan mudah bagi tiga orang tua itu untuk mengalahkannya. Berbeda dengan mereka yang sudah tua sekali, Cian Le masih muda dan tenaga serta napasnya kuat.
Seratus jurus telah lewat dan tiga orang tua itu menjadi penasaran sekali. Kalau saja pemuda ini tidak mengaku sebagai murid Thian Le Siang mo, agaknya nenek itu menjadi makin kagum dan suka kepada pemuda ini yang dianggapnya betul betul berharga menjadi jodoh Siocianya. Tiba tiba bayangan hijau melayang keluar dari pintu kanan, dan terdengar bentakan halus akan tetapi nyaring dan amat berpengaruh,
“Kalian bertiga mundurlah!”
Sungguh mengherankan Ciang Le, karena tiga orang tua itu bagaikan tentara tentara mendengar perintah seorang atasan yang berpangkat tinggi, serentak lalu melompat mundur dan menahan senjata mereka. Kemudian mereka bertiga memandang ke arah orang yang baru muncul ini dengan sikap penuh hormat.
Adapun Ciang Le ketika melihat siapa orangnya yang datang mukanya menjadi merah dan iapun memandang dengan kagum. Ternyata bahwa orang itu adalah nona berbaju hijau berkembang yang tadi menabuh kim di dalam kamar bertirai itu, nona yang kini nampak lebih cantik dari pada tadi. Nona ini bertubuh ramping dan berisi, kini memakai pakaian yang ringkas. Rambutnya yang hitam dan panjang itu digelung ke atas dan diikat dengan pengikat rambut terbuat daripada permata yang berkilauan. Di belakang pundaknya nampak gagang siang to (sepasang golok) terbuat daripada emas yang terhias permata hijau pula. Sepatunya yeng tinggi berwarna hitam.
Bukan main gagah dan cantiknya nona ini, dan kulit mukanya yang putih kemerah merahan itu demikian halus sehingga seakan akan amat tipis. Diam diam Ciang Le harus akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia melihat seorang gadis yang lebih cantik dari pada nona ini. Karena ia teringat akan penuturan nenek tadi bahwa nona manis ini adalah ketua dari Hek kin kaipang, maka cepat Ciang Le menjura kepada nona itu dengan hormat setelah menyimpan pedangnya.
“Pangcu (ketua), harap kau suka maafkan padaku telah berani datang ke rumahmu yang indah dan membikin ribut. Percayalah aku hanya terpaksa oleh tiga orang tua yang berkepala batu ini!”
Nona itu tersenyum dan sepasang matanya berseri gembira, Ciang Le melihat sederetan gigi yang putih bagaikan batu kemala di lingkungan bibir yang berbentuk manis dan berwarna merah.
“Hwa I Enghiong, aku paling benci disebut ketua, sungguhpun aku memang menjadi pemimpin Hek kin kaipang. Namaku Kiang Cun Eng, bukankah lebih sedap didengar kalau kau menyebut namaku saja tanpa segala sebutan sungkan dan pangcu pangcuan?” Kembali ia tersenyum manis sekali dengan lesung pipit di pipi kanannya, sedangkan sepasang matanya yang lihai itu mengerling melebihi tajamnya pedang Kim kong kiam!
Melihat gerak bibir, lirikan mata, dan gerak gerik wajah nona ini, yakinlah Ciang Le bahwa benar benar ia berhadapan dengan seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Akan tetapi cara gadis itu mainkan bibir dan mata mendatangkan rasa jengah dan tidak enak dalam hati Ciang Le dan berbareng menimbulkan rasa tidak suka. Gadis ini memiliki sifat tidak baik dan genit, pikir Ciang Le, dan sekaligus berkuranglah kekagumannya.
Akan tetapi ketika ia memandang kepada gagang golok di belakang pundak gadis itu, teringatlah ia akan sesuatu dan diam diam ia menjadi gelisah. Baru menghadapi keroyokan tiga orang pemimpin tingkat satu tadi saja ia sudah kewalahan. Gadis cantik ini sebagai ketua sudah tentu saja memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada kepandaian tiga orang pengemis tua itu. Kalau saja harus menghadapi gadis ini saja, ia boleh mengerahkan seluruh kepandaiannya dan mustahil kalau ia akan kalah. Akan tetapi bagaimana kalau dikeroyok empat?
Kemudian gadis itu yang melihat Ciang Le diam saja, lalu berkata kepada tiga orang pembantunya, “Bi Mo li, bersihkan kamar tamu sebelah barat! Beng san kui, perintahkan kepada restoran yang paling besar untuk mengirim hidangan hidangan yang paling baik, dan kau, Siang tung him beritahukan kepala daerah bahwa urusan dengan Hwa I Enghiong sudah beres dan malam ini diadakan perjamuan untuk menghormatinya di sini, minta dia datang!”
Tidak saja Ciang Le yang menjadi tercengang mendengar ini, bahkan tiga orang pembantunya itupun menjadi tertegun. Apalagi nenek itu, ia kelihatan tidak senang sekali.
“Nona, ketahuilah bahwa orang ini adalah murid Thian Te Siang mo musuh musuh besar kita!” kata nenek itu.
Akan tetapi Beng san kui dan Siang tung kini tidak membantah perintah nona ini.
“Baik, pangcu!” jawab Beng san kui.
"Aku pergi, nona.” kata Siang tung him dan dua orang kakek ini sekali berkelebat saja sudah melompat keluar dari ruangan itu Kini Kiang Cun Eng, ketua Hek kin kai pang itu menoleh kepada Bi Mo li dan pandangan matanya yang tadinya lunak dan mesra itu berobah menjadi ganas.
“Bi Mo li, sudah berapakali kau selalu membantah perintahku? Apakah kau ingin melihat golokku bergerak lebih keras lagi? Hwa I Enghiong adalah tamu agung bagiku yang harus kuhormati. Aku suka padanya tidak perduli ia putera siapa dan murid siapa! Hayo lekas jalankan perintahku!”
Bi Mo li masih mengerutkan keningnya dan memandang kepada Ciang Le dengan mata berapi, akan tetapi sekali saja Kiang Cun Eng menggerakkan kedua tangannya kebelakang, tahu tahu sepasang golok yang putih berkilauan saking tajamnya telah berada di kedua tangan yang kecil halus itu!
“Bi Mo li, lekas pergi! Jangan tunggu sampai tanganku melakukan gerakan ke dua!”
Kini Ciang Le melihat betapa Bi Mo li menjadi pucat mukanya, dan setelah mengerling sekali lagi ke arahnya dengan penuh kebencian, nenek itu lalu pergi terhuyung huyung ke belakang, untuk melakukan perintah ketua yang cantik itu.
Ciang Le benar benar merasa terkejut dan heran. Alangkah besar kekuasaan dan pengaruh nona ini Tiga orang tua yang memiliki kepandaian demikian tinggi seakan akan tiga ekor anjing peliharaan saja yang merangkak rangkak ketakutan di depan kakinya.
“Pangcu…”
Muka manis yang tadinya berubah seram dan ganas, kini melembut dan pandangan matanya mesra lagi ketika ditujukan kepada wajah Ciang Le yang tampan. “Hwa I Enghiong, ingat namaku Kiang Cun Eng.”
“Kiang pangcu (ketua Kiang)...”
“Jangan menyebutku ketua!”
Ciang Le menghela napas. Nona ini benar benar aneh, “Kiang siocia (nona Kiang),” katanya kewalahan, “harap kau jangan berlaku sungkan. Aku bukanlah tamu agung dan aku tidak ingin tinggal lama lama di rumahmu dan mengganggu kalian. Sudahlah, biarkan aku pergi saja. Lain kali aku akan menghaturkan terima kasih atas kemurahanmu terhadapku.”
Kiang Cun Eng menggeleng geleng kepalanya. “Tidak bisa, tidak bisa! Apakah kau ingin menghinaku? Kau datang dan kuanggap sebagai tamuku, hidangan sudah disiapkan, bahkan kepala daerah Taigoan sudah kupanggil. Jangan kau membikin malu aku, Hwa I Enghiong. Apa akan kata orang kalau mendengar bahwa undangan yang ramah tamah dan penuh sikap persahabatan dari ketua Hek kin kaipang ditolak mentah mentah oleh Hwa I Enghiong?”
Ciang Le beripikir cepat. Memang tidak baik kalau ia memaksa meningagalkan dan menolak undangan itu. Ketua ini telah berlaku manis padanya. Melihat betapa ketua ini dapat memanggil kepala daerah dan betapa tadi ketika dia bertempur menghadapi anggauta anggauta Hek kin kaipang para penjaga kota juga membantu perkumpulan pengemis itu, tahulah dia bahwa perkumpulan ini mendapat dukungan dari pemerintah setempat! Hal ini benar benar amat aneh dan ia harus dapat menyelidikinya. Apa lagi tentang orang orang yang berada di taman bunga di belakang gedung ini.
“Baiklah, nona. Aku tidak berani mengecewakan hatimu, sungguhpun aku terlampau dihormati dan merasa sungkan sekali “
Gadis itu tertawa dengan manis sekali. Ia nampak girang bukan main dan seperti seorang anak kecil, tangannya menyambar dan memegang tangan Ciang Le. Gerakan ini cepat sekali sehingga sebelum pemuda itu dapat mengelak, tangannya sudah terpegang dan ditarik tarik.
“Hwa I Enghiong, hayo ikut aku. Aku akan mainkan kim dan bernyanyi untukmu.” Dengan gaya menarik, genit dan manja sekali nona cantik itu membetot betot tangan Ciang Le.
Tentu saja wajah Ciang Le menjadi merah seperti kepiting direbus! Ia merasa betapa jari jari tangan yang halus menekan tangannya dengan mesra dan wajah gadis itu menatapnya berseri seri dan sinar matanya penuh arti! Untuk melenyapkan rasa jengahnya, Hwa I Enghiong tersenyum dan berkata,
“Kiang siocia, aku sudah mendapat kehormatan mendengarkan kau mainkan kim yang benar benar merdu sekali tadi ketika aku dibawa datang oleh tiga orang tua itu.”
“Aku tahu, akan tetapi yang kumainkan tadi adalah lagu sedih. Lagu dari seorang puteri kaisar yang meratapi nasibnya karena tak dapat mendekati pemuda ksatria yang menjadi idaman hatinya! Sekarang aku hendak menyanyikan kisah pertemuan kedua teruna remaja itu, lagu yang gembira!” Sambil berkata demikian, ia terus menarik tangan Ciang Le ke arah ruang di sebelah barat yang tertutup tirai halus itu.
Ciang Le benar benar merasa amat jengah, sungkan, dan serba salah. Ia tadi telah mengerahkan lweekangnya agar tangannya yang dipegang itu dapat terlepas tanpa menyinggung nona itu, akan tetapi ia merasa betapa jari jari tangan itupun mengerahkan lweekang yang tinggi sehingga mereka bahkan seperti saling menekan dengan mesra! Oleh karena ia melihat mata nona itu memandangnya dengan penuh arti seakan akan menegur “kenakalannya”, ia tidak berani lagi menarik tangannya dan membiarkan saja dirinya dituntun seperti kerbau ke dalam kamar yang menyiarkan bau harum itu.
Kamar itu selain semerbak harum, ternyata juga indah sekali. Ciang Le berdiri seperti seorang murid bodoh yang dihukum oleh guru sekolah dan disuruh berdiri di muka kelas. Ia merasa bingung, malu dan tidak enak. Kalau ia menggunakan kekerasan, pergi dari tempat itu, Sebentar saja ia tentu akan dikeroyok dan amat tidak enak menanamkan bibit permusuhan dengan perkumpulan yang kuat ini hanya karena ia merasa malu berada di dalam kamar seorang gadis cantik.
“Silakan duduk, eh, siapa pula namamu?” tanya Kiang Cun Eng sambil tertawa dan gadis ini dengan gaya menarik, lalu menjatuhkan diri duduk di atas lantai yang di tilami kasur dan bersih.
Ciang Le terpaksa mengambil tempat duduk pula di atas lantai bertilam itu, sejauh mungkin dari nona rumah dan duduknya amat tidak leluasa, seakan akan kasur bertilam sutera yang empuk itu adalah arang membara! “Aku she Go bernama Ciang Le.” Demikian katanya singkat sambil melayangkan pandang kepada dinding kamar yang terhias lukisan lukisan indah dan sajak sajak terkenal. Hem, selain cantik dan gagah, gadis ini agaknya ahli pula dalam hal kesusasteraan, pikirnya dan diam diam ia merasa kagum. Sukarlah mencari seorang gadis seperti ini, sayang sekali ia demikian genit dan manja.
Ketua Hek kin kaipang itu yang sudah mengambil alat tetabuhannya lalu mulai membunyikannya dan berkata, “Go enghiong, sekarang dengarkanlah aku bernyanyi untukmu.” Suaranya diucapkan dengan lagak dibuat buat dan matanya mengerling penuh arti. Kemudian, diiringi suara kim yang indah bernyanyilah gadis itu.
Kembali Ciang Le tertegun dan kagum karena suara gadis ini benar benar merdu sekali. Akan tetapi ketika ia mendengar kata kata dalam nyanyian itu, wajahnya yang sudah merah menjadi makin merah dan Ciang Le tidak berani memandang gadis itu. Gadis in bernyanyi tentang pertemuan seorang puteri dengan kekasihnya, memuji muji kecantikan puteri itu, memuji muji ketampanan wajah pemuda kekasihnya, kemudian tentang pertemuan yang mesra dan romantis itu dengar kata kata yang tidak kenal malu lagi!
Kalau saja bukan Ciang Le yang mendengar nyanyian ini keluar dari mulut seorang gadis yang demikian menggiurkan dan cantik, kalau saja pemuda pemuda biasa yang mendengarnya, tentu hatinya akan jatuh dan akan berlututlah dia di depan kaki Kiang Cun Eng memohon belas kasihan dan cinta kasih. Tentu akan berkobarlah api nafsu birahi dalam dada pemuda yang mendengarnya bagaikan api disiram minyak. Akan tetapi Ciang Le adalah keturunan seorang pahlawan sejati, keturunan Go Sik An seorang bun bu cwan jai yang terpelajar dan gagah perkasa.
Pula dia adalah murid dari sepasang manusia kembar yang sakti, murid dari Thian Te Siang mo yang sudah menggemblengnya semenjak ia masih Kecil sehingga pemuda ini memiliki kekuatan batin yang cukup teguh. Maka biarpun mukanya menjadi makin merah sampai ke telinganya karena ia merasa jengah dan malu, namun di dalam hatinya terasa kemuakan dan kejemuan mendengar nyanyian yang tidak kenal kesopanan dan melanggar susila itu.
Kiang Cun Eng mengakhiri nyanyiannya dengan kata kata. “Selagi muda tidak mencari kesenangan dunia. Sesudah tua, menyesalpun tiada guna!”
Ia mengakhiri nyanyian dan sambil tersenyum senyum dan sepasang matanya setengah dikatupkan, napasnya agak terengah engah, gadis itu lalu mendorong kimnya ke samping, kemudian ia menggeser duduknya, mendekati Ciang Le!
Wajah pemuda itu yang tadinya kemerah merahan, tiba tiba menjadi pucat dan dengan suara kaku dan kening berkerut ia berkata. “Aku tidak setuju dengan kata kata dalam nyanyianmu itu.”
“Eh, Go kongcu yang manis, apakah kau menganggap suaraku tidak merdu?” Kiang Cun Eng telah berada dekat sekali dan kulit mukanya kemerah merahan menambah manisnya.
“Suaramu merdu sekali, kau memang pandai bernyanyi,” terus terang Ciang Le menjawab.
Gadis itu meramkan matanya dan mengeluarkan suara seperti seekor kucing dibelai kepalanya. “Aai, kau tidak saja tampan dan gagah akan tetapi juga pandai memuji dan merayu seorang wanita, kongcu yang baik. Atau... bolehkah aku menyebutmu koko saja? Lebih sedap didengar...” Tangan gadis itu diulur dan hendak merangkul leher Ciang Le.
Ciang Le menganggap hal ini sudah keterlaluan sekali, maka ia lalu bangkit berdiri. “Kiang pangcu, aku tidak sependapat denganmu. Selagi muda mencari kesenangan dunia adalah perbuatan yang sebodoh bodohnya. Aku juga mempunyai peribahasa yang berbunyi Selagi muda bersuka suka, sudah tua banyak menderita, atau selagi muda beriman kuat, sudah tua akan selamat ! Oleh karena itu, sudah cukuplah kiranya hiburan ini dan perkenankanlah aku sebagai seorang sahabat yang sama sama menjunjung tinggi perikebajikan dan keadilan, memberi nasihat dan minta sesuatu darimu.”
Gadis itupun berdiri dari tempat duduknya dan sepasang matanya kini bersinar terang, tidak seperti tadi yang setengah dikatubkan ketika dirinya dikuasai oleh nafsunya sendiri. “Nasihat apa yang hendak kau berikan kepadaku dan permintaan apa yang hendak kau ajukan?”
“Nasihatku kepadamu seperti yang patut ku nasihatkan kepada seorang adik perempuanku. Amat tidak baik perlakuanmu kepadaku, pangcu. Tidak selayaknya seorang gadis muda seperti engkau ini membawa seorang pemuda ke dalam kamarnya dan kemudian kau bersikap menarik hatinya seperti yang kau lakukan tadi. Adapun permintaanku kepadamu, berlakulah murah hati terhadap orang orang yang terkurung di dalam taman bunga di belakang rumahmu itu. Apapun juga kesalahan mereka, kau tidak berhak mengurung dan menyiksa mereka di tempat itu.”
Berkilat kedua mata Cun Eng mendengar kata kata ini. “Nasihatmu itu tidak ada artinya bagiku, Go enghiong. Aku bukan anak anak lagi, usiaku sudah dua puluh lebih, dan seperti kunyatakan dalam nyanyian tadi, selagi muda aku takkan menyia nyiakan saja kesenangan yang datang menjelang! Adapun permintaanmu itu, ah, jadi tiga orang tua bangka tolol itu telah membawamu kebelakang?”
Ciang Le hanya mengangguk dan keningnya berkerut. Ia tidak tahu apa yang hendak dilakukan oleh wanita cantik ini, dan merasa lebih berbahaya menghadapi si cantik ini dari pada menghadapi musuh musuh lainnya. Kalau disuruh pilih, ia tentu lebih suka menghadapi keroyokan tiga orang pemimpin Hek kin kai pang tingkat satu yang lihai itu daripada harus menghadapi gadis ini di dalam kamarnya!
“Go enghiong, mari kau ikut denganku. Aku hendak memperlihatkan sesuatu!” Setelah berkata demikian, air muka gadis itu berubah cepat sekali, kini menjadi sungguh sungguh dan kekejaman membayang pada wajahnya yang cantik. Tiba tiba ia menggerakkan kedua tangannya dan siangto (sepasang golok) tadi telah berada di tangannya. Kemudian ia melambaikan goloknya mengajak Ciang Le sambil melompat keluar.
Sungguhpun Ciang Le diam diam menaruh hati curiga, akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan sikap takut. Ia pun lalu menggerakkan kedua kakinya dan melompat mengikuti gadis itu.
Ternyata Cun Eng membawanya ke belakang dan seperti tiga orang pemimpin tingkat satu dari Hek kin kaipang tadi, kini gadis itupun melompat ke atas pagar tembok yang menutup taman itu. Kalau tadi ketika berada di situ dengan Bi Mo li dan kedua orang kawannya. Ciang Le melihat pemandangan yang aneh karena orang orang di dalam taman itu nampak ketakutan seperti melihat iblis, sekarang ia melihat pemandangan yang lebih aneh lagi. Begitu melihat Cun Eng berdiri di atas tembok dengan sepasang golok di tangan, orang orang yang tadinya asyik bekerja itu tiba tiba menjatuhkan diri berlutut semua dan mereka membentur benturkan jidat di atas tanah seakan akan menghormat kedatangan seorang puteri raja!
“Toa Sam dan Tangan Seribu, majulah!” terdengar bentakan nyaring dari Cun Eng.
Dari rombongan orang itu muncul dua orang. Yang bernama Toa Sam bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan matanya sipit, mulutnya mengejek selalu. Orang kedua yang disebut Tangan Seribu adalah seorang yang kurus kecil tubuhnya akan tetapi tindakan kakinya cepat dan gesit sekali. Dua orang itu berdiri lalu berjalan menuju ke depan rombongan orang yang berlutut. Di situ mereka juga berlutut. Si Tangan Seribu menundukkan mukanya, akan tetapi Toa Sam kadang kadang mengerling ke arah Cun Eng dan Ciang Le.
“Sudah kami pertimbangkan tentang dosa dosamu dan sekarang hukuman itu akan di jatuhkan. Bersiaplah kalian!” Baru saja kata kata ini habis diucapkan, Toa Sam tertawa dan berkata, “Sayang aku tidak tampan seperti pemuda itu. Kalau aku tampan, sudah tentu Sianli (Dewi) akan mengampuni kesalahanku!”
Akan tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk bicara lebih lanjut, karena pada saat itu, dari atas telah menyambar Cun Eng. Benar saja seperti yang diduga Ciang Le, gadis itu memiliki kepandaian yang luar biasa sekali, terbukti dari gerakannya yang cepat dan ringan bagaikan seekor burung walet. Akan tetapi, kepandaian gadis itu tidak amat mengejutkan hati Ciang Le, yang membuat ia benar benar terkejut dan memandang dengan mata terbelalak adalah ketika ia melihat sinar putih dari kedua batang golok di tangan Cun Eng itu berkelebat dan tahu tahu menyembur darah hidup yang mengerikan sekali.
Ternyata ketika ia memandang dengan penuh perhatian, kepala Toa Sam telah terpisah dari tubuhnya dan Tangan Seribu telah putus tangan kanannya sebatas siku! Darah mengalir membasahi rumput di taman itu. Tubuh Toa Sam menggeletak tak bergerak, hanya darah yang menyembur nyembur dari lehernya saja yang bergerak. Tangan Seribu menggigit gigit bibir dengan muka pucat, boleh dipuji sekali orang ini karena biarpun tangannya dibuntungi, ia tidak mengeluarkan sedikit suara keluhan!
Ciang Le menjadi marah sekali dan hendak melompat turun dan menegur gadis yang ganas dan kejam itu, tahu tahu Cun Eng telah melayang dan berdiri di atas tembok di sebelahnya lagi. Kejadian itu hanya terjadi sekejap mata saja, sehingga benar benar sukar dipercaya. Cun Eng merogoh saku bajunya, mengeluarkan sebungkus obat lalu melemparkan obat itu kepada Si Tangan Seribu.
“Pakai obat ini dan balut ujung tanganmu baik baik. Kau sudah menerima hukuman, lekas kau pergi dari sini!”
Kalau dibicarakan sungguh aneh sekali. Orang yang baru saja tangannya dibikin buntung dan kini diberi obat lalu disuruh pergi, kini berlutut menghaturkan terima kasih kepada gadis yang telah membuatnya bercacat selama hidupnya itu! Kemudian, dengan sebuah lompatan yang cukup membuktikan bahwa Si Tangan Seribu itu memiliki kepandaian lumayan, orang itu telah mengambil bungkusan obat lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Orang orang yang berada di situ masih berlutut dan kini mereka nampak menggigil seluruh tubuh mereka. Biasanya, kalau Hek kin kai pangcu (ketua Hek kin kaipang) sudah datang dengan sepasang goloknya di tangan, dia takkan pergi sebelum “membagi bagi” hukuman dengan cara yang amat ganas dan kejam. Siapa lagi yang akan menjadi korban?
Sementara itu, Ciang Le menyambut kembalinya nona itu di atas pagar tembok dengan mata bersinar marah. Ingin sekali ia memukul dan menyerang wanita yang kejam ini, akan tetapi baiknya pemuda itu masih dapat mengendalikan diri dan ingat bahwa ia adalah seorang tamu dan juga bahwa sebelum tahu jelas duduknya perkara tidak baiklah kalau ia bertindak secara sembrono.
“Kiang pangcu, mengapa kau seganas itu? Membunuh orang begitu saja dan membuntungi lengan orang pula? Apakah artinya semua ini?”
“Go enghiong, kau kasihan kepada mereka?” tanya Kiang Cun Eng sambil tersenyum dan kalau dia tersenyum, lenyaplah bayangan kejam dan ganas pada mukanya yang cantik. “Orang orang ini adalah penjahat penjahat yang melakukan pelanggaran di wilayah yang kujaga! Tahukah kau mengapa aku menghukum mati kepada Toa Sam? Dia adalah seorang jai hwa cat (penjahat cabul) yang merusak dan mempermainkan banyak sekali anak bini orang di kota ini! Kepala daerah telah percaya kepada kami sebagai pencegah terjadinya kejahatan bukankah perbuatannya itu merupakan tamparan bagi nama kami? Apakah hukuman mati tadi kau anggap tidak sudah sepatutnya bagi seorang macam dia? Adapun Tangan Seribu itu, dia adalah seorang pencuri ulung yang datang dari luar kota dan ia kurang ajar sekali. Coba pikir, dia berani mencuri di dalam rumah kepala daerah sendiri! Inipun merupakan tamparan bagi kami dan sudah sepatutnya aku membikin buntung tangannya!”
Baru tahulah Ciang Le dan diam diam ia pun mengakui bahwa hukuman hukuman yang dijatuhkan itu tentu akan membikin kuncup hati para penjahat. Namun ia masih penasaran dan menganggap bahwa perbuatan seorang gadis cantik dengan hukuman hukuman kejam itu amat keterlaluan.
“Hm, kau bukan algojo, mengapa membunuh orang seperti membunuh ayam saja?”
“Habis, kalau menurut pendapatmu, Go enghiong yang budiman dan berhati mulia, apakah aku harus memperlakukan orang orang jahat itu dengan lemah lembut dan melepaskan mereka semua berkeliaran melakukan kejahatan tanpa diganggu?” suara gadis ini mengandung ejekan sehingga muka Ciang Le menjadi merah.
“Bukan demikian, hanya hukuman itu terlalu kejam dan ganas seperti perbuatan iblis saja! Bukan hakmu untuk menjatuhkan hukuman kepada mereka ini. Apakah tidak ada rasa kasihan dalam hatimu?”
Gadis itu menahan ketawanya dan tersenyum lebar. “Aha, jadi kau benar benar merasa kasihan kepada mereka? Baiklah, Go enghiong, kebaikan hatimu ini akan kusampaikan kepada mereka. Memandang mukamu sebagai tamuku, hari ini aku akan menurunkan semua hukuman mereka.” Cun Eng lalu mengangkat tangan kanannya yang memegang golok dan berkata dengan nyaring kepada semua orang yang masih berlutut, “Hai, kalian dengarlah baik baik! Hari ini aku kedatangan tamu agung yang berhati mulia, yakni Hwa I Enghiong, pemuda gagah dan budiman ini! Atas permintaannya dan melihat mukanya, baiklah aku mengurangi hukuman kalian dan memotong setengahnya!”
Orang orang yang tadinya berlutut dan menundukkan mukanya, kini mengangkat muka dengan girang sekali. Dengan wajah terharu dan berseri seri mereka lalu mengangkat kedua tangan di atas kepala, menyembah ke arah Hwa I Enghiong untuk menyatakan terima kasih.
Ciang Le yang berdiri dengan gagah di sebelah kiri Cun Eng lalu mengangkat tangan kirinya ke atas. “Kalian dengarlah baik baik! Sesungguhnya tidak seharusnya aku membela orang orang seperti kalian yang telah melakukan kejahatan, baik kejahatan kecil maupun besar. Orang orang seperti kalian ini wajib dihukum. Sekarang Kiang pangcu telah berlaku baik untuk mengurangi hukuman kalian, bukan sekali kali karena jasaku. Kepada pangcu inilah kalian harus berterima kasih. Kemurahan hati pangcu ini hendaknya kalian jadikan pedoman untuk kemudian hidup dengan jalan baik dan menebus dosa. Ingatlah bahwa kalau lain kali kalian masih saja melakukan perbuatan terkutuk, aku sendiri bahkan akan membantu Kiang pangcu untuk menangkap kembali dan memberi hukuman yang seberat beratnya!”
Cun Eng tersenyum manis mendengar ini dan ia lalu mengajak pemuda itu turun kembali meninggalkan tempat itu setelah berpesan kepada orang hukuman itu untuk mengubur jenazah Toa Sam di tempat kuburan umum.
Sambil menanti datangnya malam hari di mana akan diadakan perjamuan untuk menghormat tamu. Ciang Le dilayani oleh Cun Eng dengan segala keramahan. Pemuda ini benar benar merasa amat sungkan akan tetapi oleh karena ia telah menerima sambutan perjamuan itu, terpaksa ia menyabarkan diri, bahkan ia menggunakan kesempatan itu untuk bertanya dan bercakap cakap dengan Cun Eng tentang keadaan perkumpulan Hek kin kaipang yang aneh. Adapun ketua perkumpulan Pengemis Sabuk Hitam itupun agaknya sudah “jatuh hati” betul betul terhadap Ciang Le yang tampan, karena tanpa ragu ragu lagi Cun Eng menceritakan semua hal dan bahkan menceritakan pula siapa adanya tiga orang tua yang menjadi pembantu pembantu itu.
Cun Eng adalah puteri tunggal dari Kiang pangcu, ketua dan pendiri dari perkumpulan Hek kin kaipang, seorang tokoh kang ouw yang amat terkenal karena ilmu silatnya yang tinggi dan biarpun Kiang pangcu pernah menjadi seorang bajak tunggal, namun setelah berusia tua, ia mencuci tangan, bahkan lalu membentuk perkumpulan Hek kin kaipang yang sifatnya mengumpulkan semua pengemis dan menjaga keamanan kota di mana mereka tinggal!
Nama Kiang pangcu amat tersohor sebagai ketua perkumpulan Hek kin kaipang. Akan tetapi, lebih terkenal lagi adalah nama tiga orang pembantunya, yakni pertama tama Bi Mo li yang sebenarnya menjadi juga bini mudanya, setelah ibu dari Cun Eng meninggal dunia, Bi Mo li menjadi kekasih Kiang pangcu. Orang ke dua Siang tung him, seorang yang tampan dan gagah, bekas perampok tunggal yang menjadi sahabat baiknya pula. Akan tetapi, bukan merupakan rahasia lagi bahwa di antara Bi Mo li dan Siang tung him, terdapat perhubungan rahasia. Bahkan Kiang pangcu sendiri juga tahu akan hal ini, akan tetapi ia diam saja karena kalau ia bertindak, berarti ia akan melemahkan kedudukannya. Baik Bi Mo li maupun Siang tung him merupakan pembantu pembantu yang cakap dan lihai.
Akan tetapi orang yang merasa marah dan sakit hati melihat kejadian ini adalah Cun Eng! Gadis ini telah mewarisi kepandaian ayahnya. Beberapa kali ia mengatakan kepada ayahnya untuk turun tangan memberi hajaran kepada ibu tirinya dan Siang tung him yang dianggap mencemarkan nama ayahnya dan bahkan dianggap menghina ayahnya. Akan tetapi ayahnya bahkan mencegahnya. Sebaliknya, diam diam Kiang pangcu menderita tekanan batin hebat dengan menyelewengnya Bi Mo li yang sudah menjadi bini mudanya itu Ia terlalu mencinta Bi Mo li dan juga sayang kepada Siang tung him berhubungan rahasia itu merupakan pukulan batin dan akhirnya Kiang pangcu yang sudah tua itu jatuh sakit. Di dalam sakitnya, mengingau dan tanpa disadarinya ia memaki maki Bi Mo li dan Siang tung him.
Mendengar igauan ayahnya ini larilah Cun Eng keluar, mencari Siang tung him dan menyerangnya. Pertempuran hebat terjadi, akan tetapi akhirnya Siang tung him kalah dan roboh. Dengan ganas sekali Cun Eng lalu menggunakan siangtonya (golok sepasang) untuk membuntungi kaki kiri Siang tung him yang tampan itu! Setelah itu, Cun Eng lalu mencari ibu tirinya, Bi Mo li juga tidak menyerah begitu saja karena iapun memiliki ilmu silat yang tinggi. Namun, ilmu kepandaian Cun Eng telah meningkat tinggi, bahkan mungkin tidak kalah oleh ayahnya sendiri, maka setelah bertempur dengan hebatnya akhirnya juga Bi Mo li dapat dirobohkan!
Tadinya Cun Eng hendak menenggal leher wanita itu. Bi Mo li menjerit minta ampun sehingga golok di tangan gadis itu hanya menggurat sekitar leher bi Mo li yang menjadi ketakutan dan pingsan karena mengira bahwa lehernya akan di babat! Ketika ia siuman kembali, ternyata bahwa kulit lehernya sudah digurat sekelilingnya agak dalam, sehingga, untuk selamanya kulit lehernya akan menjadi cacad!
Adapun Beng san kui, kakek bongkok itu tadinya adalah seorang tokoh kang ouw yang menaruh hati dendam kepada Kiang pangcu. Ia datang hendak membalas dendam, akan tetapi ia mendapatkan musuh besarnya meninggal dunia dan kedatangannya disambut oleh Cun Eng yang menggantikan ayahnya menjadi ketua dan kakek bongkok ini juga roboh di tangan Cun Eng, bahkan kemudian diangkat menjadi pembantu!
Ciang Le yang mendengar semua penuturan ini, diam diam menarik napas panjang dan merasa sayang bahwa gadis seperti Cun Eng terlahir di tengah tengah lingkungan orang orang kasar dan jahat seperti itu. Tidak mengherankan bahwa gadis ini menjadi seorang yang ganas, kejam, genit dan tak tahu malu, di samping sifatnya yang baik, yakni memberantas kejahatan.
“Aku mendengar Bi Mo li menyatakan bahwa guru guruku, Thian Te Siang mo, adalah musuh musuh besar kalian. Benarkah ini, dan mengapa demikian?” tanya Ciang Le.
“Kau benar benar tabah dan berani sekali mengajukan pertanyaan ini, Go enghiong. Keberanian inilah agaknya yang membuat aku amat tertarik kepadamu. Kedua orang gurumu itu pernah mengganggu ayahku, dan ayah telah dikalahkan oleh mereka. Juga, belakangan ini, Thian Te Siang mo pernah pula bentrok dengan Bi Mo li dan kedua orang pembantuku. Soalnya mudah saja diduga, karena Bi Mo li memang menaruh hati dendam kepada guru gurumu, karena... karena sesungguhnya gurumu Te Lo mo itulah yang membuka rahasia tentang perhubungan rahasia antara Bi Mo li dan Siang tung him kepada mendiang ayahku!”
Ciang Le mengangguk angguk. Kini tahulah ia mengapa Bi Mo li demikian benci kepada guru gurunya.
Malam itu tiba dan perjamuan yang dijanjikan itu diadakan di ruang tengah yang telah diterangi oleh banyak sekali api lilin. Di situ hadir Cun Eng, Bi Mo li, Siang tung him Beng san kui, dan kepala daerah Taigoan, seorang gemuk bermuka ramah, she Lo dengan seorang kepala pengawalnya, seorang yang berpakaian sebagai guru silat yang bernama Lai Sui. Lai Sui ini merupakan bayangan dari Lo taijin, ke mana juga Lo taijin berada, tentu Lai Sui berada di sampingnya!
Hidangan yang dikeluarkan adalah masakan masakan yang paling istimewa, sedangkan arak yang mengalir di tenggorokan mereka juga arak yang termahal dan wangi. Tidak mengherankan apabila Lo taijin sebentar saja telah menjadi setengah mabok. Sambil mengelus elus perutnya yang makin gendut karena daging, ia berdiri dan mengisi sendiri cawan arak yang telah kosong di depan Cun Eng lalu berkata,
“Sungguh aku orang she Lo amat berbahagia dapat duduk makan semeja dengan Kiang pangcu atau Kiang siocia yang perkasa dan cantik jelita, pelindung kota Taigoan yang ternama. Harap siocia sudi menerima penghormatanku secawan arak!”
Dipuji puji oleh kepala daerah ini, Cun Eng hanya tersenyum dan segera mengangkat cawan araknya dan diminum kering. Pipinya yang memerah itu menjadi makin kemerahan dan menarik hati sekali. Dari percakapan yang terjadi selagi mereka makan minum, tahulah Ciang Le bahwa perhubungan antara kepala daerah dan pemimpin pemimpin Hek kin kaipang ini erat sekali dan Hek kin kai pang benar benar dipandang tinggi dan dihormati oleh kepala daerah Taigoan.
Semua orang kecuali Bi Mo li yang selalu muram dan cemberut atau kadang kadang mengerling ke arah Ciang Le dengan penuh kebencian, dan Ciang Le yang bersikap tenang tenang saja, nampak bergembira Cun Eng bicara dengan wajah berseri seri, mata bersinar sinar, dan senyumnya murah sekali, Sian tung him yang berwajah tampan itu pun tersenyum senyum, demikian pula si bongkok dan Lai Sui pengawal Lo taijin. Mereka semua telah dipengaruhi oleh wajah pangcu yang cantik itu dan oleh arak wangi yang keras.
Ciang Le membatasi dirinya dalam minum arak, karena ia tidak mau kalau sampai menjadi mabok dan lupa daratan. Akan tetapi sambil tersenyum, Cun Eng menggerakkan ujung sabuknya yang berwarna hitam terbuat dari sutera lemas dan yang melambai di depan tubuhnya. Sabuk sutera hitam itu melayang di atas meja dan bagaikan lengan yang lemas dari seorang puteri juita, ujung sabuk itu membelit guci arak yang besar dan berat, kemudian begitu Cun Eng mengerakkan tangan nya yang memegang sabuk itu, ujung sabuk lalu bergerak mengangkat guci itu ke atas.
Sambil mengerling ke arah Ciang Le dengan sepasang matanya yang bening dan indah, barengi senyumnya yang manis, Cun Eng lalui menggunakan ujung sabuk itu yang telah membelit guci untuk menuangkan guci itu dan memenuhi cawan Ciang Le! Pemuda ini terkejut sekali melihat demonstrasi lweekang yang tinggi ini. Sabuk sutera itu lemas saja, akan tetapi di dalam tangan nona ini dapat menjadi hidup. Dengan lweekangnya yang tinggi, nona itu dapat mempergunakan sabuk itu seperti orang mempergunakan lengan tangannya sendiri. Dari sini saja dapat dilihat, bahwa selain sepasang goloknya, nona ini tentu seorang ahli dalam permainan senjata istimewa, yakni sabuknya.
“Go koko (engko Go), marilah kita minum untuk kebahagiaan pertemuan ini,” kata Cun Eng dengan nona ini menggigit bibir bawah dengan sikap genit sekali.
Bi Mo li memandang kepada ketuanya dengan sinar mata tajam penuh pertanyaan “Koko….? Apa pula ini?” tanyanya. Memang sebagai ibu tiri, Bi Mo li ini kadang kadang bersikap sebagai seorang tua terhadap puterinya kepada Cun Eng.
Dalam keadaan biasa mungkin sekali kata kata ini dapat menimbulkan kemarahan Cun Eng. Akan tetapi pada saat itu gadis ini sedang bergembira, maka sambil tertawa ia berkata, “Hwa I Enghiong adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan budiman. Tidak patutkah ia menjadi kokoku?”
Bi Mo li hanya menjebikan bibirnya dan berkata. “Hm…!” Akan tetapi tidak berkata apa apa lagi hanya menenggak araknya di dalam cawan dengan hati gemas sekali.
Ciang Le tak dapat menolak suguhan arak yang dilakukan secara istimewa oleh ketua Hek kin kai pang itu. Ia tidak mau menunjukkan kelemahannya. Sambil mengangguk dan mengucapkan terima kasihnya, ia lalu memegang cawannya yang penuh tanpa mengangkat cawan itu, lalu tangannya menekan meja sambil mengerahkan lweekangnya. Meja sedikit bergetar akan tetapi arak di dalam cawan itu bergelombang lalu memercik ke atas bagaikan sebuah pancuran air dan semua arak itu masuk ke dalam mulutnya. Tidak setetes arakpun tumpah di atas meja!
Melihat demonstrasi yang dilakukan oleh Cun Eng dan Ciang Le, Lo taijin terbelalak memandang dengan penuh kekaguman. “Ah, benar benar hebat. Hwa I Enghiong memang pantas sekali menerima penghormatan dari Kiang pangcu.” Ia lalu menoleh kepada pengawalnya dan menepuk bahunya, “Eh, Lai suhu, kaupun harus memberi hormat kepada Hwa I Enghiong yang gagah ini!”
Pembesar ini biarpun tidak mengerti ilmu silat, namun ia selalu dikawal oleh Lai Sui yang ilmu silatnya cukup tinggi. Maka melihat orang orang mendemonstrasikan kepandaiannya, ia tidak mau kalah muka dan ingin pula memamerkan kepandaian pengawalnya. Lai Sui mengerti akan hal ini. Sebetulnya dia sendiri tidak berani sembarangan memperlihatkan kepandaian karena ia tahu bahwa kepandaian dari nona ketua itu masih lebih lihai daripada kepandaiannya sendiri, akan tetapi oleh karena majikannya mendesak, ia tidak berani menolak atau membantah. Sambil tersenyum sungkan ia lalu berdiri dari menjadi kecil itu kedalam mulutnya. Akan tetapi ketika ia mencabut sepasang sumpit itu dari mulutnya, sumpit itu telah patah dan potongannya tertinggal di dalam mulut!
Ciang Le makan daging itu dengan enaknya dan Lo taijin sampai melongo memandangnya karena mengira bahwa pemuda itu telah makan potongan sumpit gading! Akan tetapi tiba tiba Ciang Le meniup ke atas dan dua potongan sumpit gading itu melayang lalu menancap di tiang melintang yang berada di atas kepala mereka! Kemudian Ciang Le mengangkat cawannya yang masih ada sedikit araknya, lalu diminumnya. Juga ketika mengangkat cawan ini, seakan akan ia tidak tahu bahwa cawan itu telah amblas sampai setengahnya.
Bukan main kagumnya semua orang yang berada di situ, termasuk Cun Eng, Gadis ini menjadi makin kagum dan suka kepada Ciang Le dan kerlingnya makin tajam menarik.
“Bi Mo li, kau belum memberi hormat!” kata Cun Eng yang menghendaki agar semua orang memberi hormat kepada pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Bi Mo li sudah setengah mabok seperti yang lain, dan kebenciannya terhadap pemuda itu membuat dia makin marah saja ketika disuruh memberi hormat. Ia memegang cawan araknya yang terbuat dari pada perak, menggenggamnya lalu tertawa dan melemparkan cawan kosong itu ke depan Ciang Le.
“Murid Thian Te Siang mo hanya patut dihormati di dalam peti mati!”
Ketika semua orang melihat, ternyata bahwa cawan perak yang digenggamnya tadi kini telah menjadi hancur berkeping keping di atas meja depan Ciang Le.!
...Halaman 1-6 hilang...
“Kiang siocia, harap kau ampunkan dia. Memang benar tidak disengaja ia melukai kau…”
Sinar mata gadis itu berubah heran. “Apa? Kau yang akan dibunuhnya bahkan mintakan ampun? ”
“Ia memang benci kepadaku, kepada suhu suhuku. Sudahlah, ampunkan saja dia.”
Juga Lo taijin yang merasa ketakutan dan tidak enak sekali melihat peristiwa ini, berdiri dan berkata. “Kiang pangcu, harap kau suka memberi maaf kepadanya. Untuk apakah ribut ribut dengan orang sendiri? Dan pula karang sudah jauh malam, harap kau maafkan, aku harus pulang karena besok banyak sekali pekerjaan yang harus ku selesaikan.”
Setelah berkata demikian, pembesar ini lalu menjura kepada Cun Eng dan Ciang Le, yang dibalas oleh gadis itu, Lo taijin merasa ngeri, melihat tangan gadis itu masih saja mengalirkan darah. Maka ia lalu buru buru mengajak Lai Sui untuk segera meninggalkan tempat itu.
Bi Mo li masih berdiri sambil menundukkan mukanya di depan Cun Eng, sementara itu, kakek bongkok dan kakek buntung masih terus saja minum arak, seakan akan tidak terjadi sesuatu yang hebat!
“Siang tung him, Beng san kui! Bawa dia ke belakang, keram dalam kamar gelap!” perintah Cun Eng kepada dua orang kakek itu Siang tung him dan Beng san kui saling pandang, akan tetapi merekapun tidak berani membantah perintah ketua ini, dan tak lama kemudian Bi Mo li dipegang tangan kiri kanannya oleh dua orang kakek itu yang membawanya pergi dari situ. Terdengar isak tangis nenek itu ketika ia dibawa pergi.
“Go koko, harap kau maafkan kekurang ajaran Bi Mo li. Aku akan memberi hukuman yang setimpal padanya.” kata Cun Eng sambil mulai membalut tangan kirinya dengan saputangan.
Ciang Le merasa jemu dan tidak enak hati sekali melihat seraja peristiwa tadi. Akan tetapi ketika ia melihat tangan kiri gadis itu yang berdarah, timbul rasa haru dan kasihan. Betapapun juga, boleh dibilang gadis itu telah menolongnya, bahkan menolong nyawanya karena harus ia akui bahwa serangan gelap tadi benar benar amat berbahaya dan ia tidak berdaya untuk menghindarkan diri...
“Hm, jadi kau hendak menantangku bertempur?” kata Ciang Le dengan pandang mata penasaran. “Ketahuilah bahwa aku hanya akan turun tangan terhadap orang yang menyerangku, atau yang melakukan perbuatan jahat. Aku baru akan melayanimu kalau kau menyerangku.”
Mendengar ini, Thio Han ragu ragu untuk turun tangan. Kalau ia menyerang lebih dulu, ia akan dianggap keterlaluan, maka ia lalu menengok kepada seorang saudara muda, yakni pemimpin tingkat empat yang bertubuh tinggi kurus “Sute, coba kaulayani siauw enghiong ini beberapa jurus agar kita mendapat tambahan pengertian.”
Pengemis tinggi kurus itu kelihatan gembira menerima tugas ini. Ia memandang rendah kepada pemuda yang lemah lembut ini, maka ia melangkah maju menghadapi Ciang Le. Sementara itu. ketika melihat betapa penolongnya terdesak oleh rombongan pengemis yang agaknya hendak menimbulkan keributan, pemuda pelajar yang tadi dipukuli oleh dua orang pengemis, lalu bertindak maju dan berkata kepada Ciang Le.
“HOHAN, sungguh menyesal sekali karena aku kau sampai menghadapi kesulitan ini.” Kemudian ia berpaling kepada para pengemis itu dan berkata, “Kalian ini kalau mau disebut orang orang gagah mengapa mencari perkara dengan orang orang yang baru datang dari tempat jauh? Apakah ini bukan berarti akan membikin malu saja kepada kota Taigoan yang besar dan indah?”
“Kau cacing buku, pergilah!” Pengemis tingkat empat yang tinggi kurus itu menggerakkan tangan kirinya mendorong ke arah siucai itu.
Dorongan dilakukan dengan tenaga lweekang dan dari gerakannya itu tahulah Ciang Le bahwa pengemis ini adalah seorang ahli lweekeh yang karenanya amat membahayakan keselamatan siucai itu kalau sampai terdorong dadanya, ia cepat mengulur tangannya dan berkata,
“Sahabat, jangan kau mencampuri urusan kekerasan ini. Biarlah aku menghadapinya sendiri.” Biarpun ia kelihatannya mendorong pula tubuh siucai itu, akan tetapi sebenarnya ia menggerakkan tangannya memapaki tangan pengemis yang mendorong tadi.
Belum juga tangan mereka bertemu, pengemis tinggi kurus itu telah terdorong kebelakang dan merasa betapa tangannya sakit sekali. Cepat ia melompat ke belakang dan menjadi marah sekali. “Kurang ajar, kau benar benar hendak bertempur?” bentaknya.
Ciang Le tersenyum dan tidak memperdulikannya, bahkan memegang pundak siucai itu, didorongnya perlahan ke pinggir sambil berkata, “Sahabat, lebih baik kau lekas pergi saja dari sini.”
Siucai itu maklum bahwa memang keadaannya berbahaya sekali, maka setelah menganggukkan kepala dengan pandang mata terima kasih kepada Ciang Le, ia lalu pergi dari situ untuk cepat cepat meninggalkan Taigoan yang mendatangkan pengalaman pahit padanya.
“Menyerang seorang yang tidak mengerti ilmu silat mengandalkan kepandaian sendiri untuk menindas yang lemah, adalah perbuatan yang kusebut pengecut dan hina,” kata Ciang Le seperti kepada diri sendiri.
Mendengar ini, pengemis tinggi kurus itu makin marah dan dengan cepat ia melangkah maju dan menyerang Ciang Le dengan pukulan tangan miring. Akan tetapi, kepandaian pengemis tingkat ke empat ini biarpun bagi orang biasa sudah hebat sekali, namun menghadapi Ciang Le ia masih kalah jauh.
Gerakan pemuda ini jauh lebih cepat lagi dan sebelum tangan yang miring itu menyambar ke lehernya, ia telah mendahuluinya dengan jari jari terbuka, menyambut datangnya lengan itu dan menangkap pergelangan tangannya, sekali ia mengerahkan tenaga, tubuh pengemis itu terjerumus ke depan. Hampir saja hidungnya mencium tanah. Melihat betapa dalam segebrakan saja pemimpin Hek kin kaipang tingkat empat sudah roboh oleh pemuda ini, tentu saja semua orang menjadi makin terheran heran!
Ketika seorang pengemis tingkat tiga hendak maju. Thio Han mencegahnya. Menurut penglihatan kakek ini, kepandaian Hwa I Eng hiong terlalu tinggi untuk dihadapi oleh saudara mudanya tingkat tiga. Ia sendiri lalu melangkah maju dan berkata,
“Hwa I Eng hiong, iangan berlaku kepalang tanggung memberi petunjuk kepada kami. Sambutlah!” Sambil berkata demikian, Thio Han mengerang dengan kepalan tangan kanan.
Pukulan datangnya cepat dan antep sekali, maka tahulah Ciang Le bahwa kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi dari pada pengemis yang baru saja di kalahkan. Ia melangkah mundur sehingga pukulan lawan tidak mengenai tubuhnya. Akar tetapi, dengan gerakan yang luar biasa cepatnya. Thio Han sudah melangkah maju lagi dan sekaligus pengemis Hek kin kaipang tingkat dua ini telah melakukan serangan tigat macam dengan kedua tangan dan dibantu oleh kaki kiri!
Ciang Le mengerti bahwa kalau ia tidak mendemonstrasikan kepandaiannya, ia akan di rongrong terus oleh kawanan pengemis yang maju seorang demi seorang. Oleh karena itu, melihat datangnya serangan yang susul menyusul dan hampir berbareng ini, ia segera mengumpulkan tenaga memperkuat kedudukan kaki, kemudian kedua tangannya memukul dari kaki kanannya menendang lawan.
Bukan main hebatnya gerakan ini dan juga amat aneh dalam pandangan semua kawanan pengemis. Akan tetapi yang lebih terkejut adalah Thio Han sendiri. Terdengar suara “buk buk buk!” tiga kali ketika kedua tangannya yang terkepal beradu dengan kepalan tangan dari kedua tangan pemuda itu, sedangkan kaki kirinya bertemu dengan kaki kanan lawan.
Kalau Ciang Le masih berdiri seperti biasa sambil tersenyum, sebaliknya Thio Han merasa betapa kedua tangan dan kaki kirinya menjadi sakit dan tergetar. Ia mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi pertemuan kaki tadi membuat kuda kuda kaki kanannya bobol dan tak dapat dicegah lagi tubuhnya terlempar ke belakang bagaikan didorong oleh angin besar! Baiknya ia cukup lihai sehingga dapat berpoksai (membuat salto) untuk mencegah tubuhnya terjungkal. Akan tetapi ia meringis kesakitan dan melihat betapa kepalan kedua tangan dan kaki kirinya menjadi bengkak!
Saudara saudaranya melihat kekalahan ini, sambil berteriak teriak marah mereka maju menyerbu dan mengeroyok Ciang Le! Inilah kerukunan dari Hek kin kaipang dan oleh karena ini pula jarang ada orang berani menentang mereka. Akan tetapi kerukunan ini dalam pandangan Ciang Le hanya merupakan sifat yang amat licik. Ia mendongkol juga ketika para pengemis itu menggunakan tongkat untuk menyerangnya. Diam diam telah datang banyak pemimpin pengemis yang telah mendengar tentang keributan itu, kini Ciang Le dikepung oleh kurang lebih lima belas orang pengemis dari tingkat lima sampai tingkat dua!
Kepandaian para pengemis Hek sin kaipang itu sudah cukup baik dan lihai, ditambah pula dengan senjata tongkat mereka yang berbahaya, maka tentu saja Ciang Le tidak berani berlaku lambat. Ia tidak ingin melukai orang yang berpakaian tambal tambalan ini akan tetapi dengan tangan kosong menghadapi keroyokan ini memang membutuhkan kejelian mata dan kegesitan gerakannya. Ia cepat mainkan ilmu silat tangan kosong yang dipelajarinya dari Thian Lo mo sambil mengerahkan tenaganya.
Bukan main ramainya pertempuran itu akan tetapi juga amat menarik hati untuk ditonton. Dengan gerakannya yang lincah dan tenaga dalamnya yang besar, Ciang Le melayani mereka. Tongkat datang menyerangnya bagaikan hujan, akan tetapi semua itu dengan cepat dapat dielakkan oleh Ciang Le. Kadang kadang pemuda ini menggunakan lengan untuk menangkis dan sekali tangkis saja tentu sebatang tongkat menjadi patah atau terpental jauh! Kemudian dalam serangan balasan, Ciang Le mempergunakan tiam hwat (ilmu menotok jalan darah) sehingga sebentar saja di tempat itu menggeletak tubuh tubuh para pengemis dalam keadaan lumpuh, lemas ataupun kaku membatu!
Akan tetapi tiba tiba banyak sekali orang yang berpakaian dinas datang menyerbu dengan senjata golok. Melihat orang orang berpakaian seragam ini, terkejutlah Ciang Le. Mereka adalah penjaga penjaga kota! Bagaimanakah penjaga penjaga keamanan ini bahkan datang menyerbu dan membantu para pengemis yang mengeroyoknya?
“Eh, saudara saudara! Mengapa kalian mengeroyok aku? Yang menjadi pengacau pengacau adalah para pengemis ini, bukan aku!”
“Bangsat kecil, kaulah yang mengacaukan kota. Menyerah atau mati!” bentak seorang komandan pasukan penjaga itu.
Mendengar ini Ciang Le menjadi penasaran dan marah sekali. Ketika komandan itu menusukkan goloknya kepadanya, ia cepat membuat gerakan miring dan dengan jalan menyerong tangannya cepat bergerak dan tahu tahu golok itu telah berpindah ke dalam tangannya! Dengan gemas sekali pemuda ini lalu menekuk golok itu sehingga patah menjadi tiga!
Semua orang terkejut sekali menyaksikan demonstrasi tenaga yang luar biasa ini, akan tetapi pengeroyokan tetap saja makin merapat, Ciang Le menggerakkan kaki tangannya dan kembali robohlah empat orang pengeroyok sambil mengaduh aduh. Pemuda itu masih dapat mengendalikan perasaannya, maka yang roboh itu hanya terluka ringan saja, tidak sampai membahayakan jiwanya.
Mendadak terdengar bentakan nyaring, “Mundur semua!”
Dan aneh, baik para pengemis maupun penjaga kota yang sedang mengeroyok Ciang Le, ketika mendengar bentakan ini, tiba tiba menahan senjata masing masing dan cepat melompat mundur. Mereka kini berdiri dengan penuh hormat dan ada pula sebagian yang menolong kawan kawan mereka dan membawa pergi dari tempat itu.
Kini Ciang Le berdiri di tengah tengah, dikurung oleh banyak orang dan di tempat pertempuran tadi yang nampak sekarang hanyalah bekas bekas darah di atas tanah saja. Pemuda itu sendiri biarpun masih tenang dan napasnya masih biasa saja, namun wajahnya yang tampan nampak kemerahan dan beberapa butir peluh membasahi jidatnya.
Sebelum ia mengerti mengapa orang orang yang mengeroyoknya mundur dan siapa yang mengeluarkan bentakan tadi, terdengar angin meniup dari balik orang orang itu melompat masuk tiga orang yang aneh sekali keadaannya. Tiga orang inipun berpakaian sebagai pengemis, akan tetapi kantong yang menghiasi baju mereka hanya sebuah saja, tanda bahwa mereka bertiga adalah tokoh tokoh Hek kin kaipang kelas satu!
Ciang Le benar benar terkejut melihat tiga orang ini. Orang pertama adalah seorang kakek yang sukar sekali diduga berapa usianya. Tubuhnya kecil dan bongkok sehingga tubuh itu hampir melingkar bulat seperti tubuh trenggiling. Kalau diperhatikan sungguh menggelikan karena tinggi kakek ini hanya setengah orang saja dan bagian tubuh yang paling tinggi bukanlah kepalanya melainkan punggungnya yang berpunuk seperti onta itu!
Kepalanya tergantung di depan perut, dan kini ia berdongak memandang kepada Ciang Le dengan sepasang matanya yang kecil akan tetapi bersinar tajam. Kedua kakinya telanjang dan nampak jari jari kaki yang mekar seperti cakar bebek. Ia memegang sebatang tongkat hitam yang panjangnya hanya tiga kaki. Kakek ini memandang kepada Ciang Le sambil mengeluarkan suara ketawa seperti burung kakatua.
Orang kedua adalah seorang nenek, seorang pengemis wanita yang usianya paling sedikit enam puluh tahun. Pakaiannya yang tambal tambalan itu berkembang kembang sehingga nampak lucu sekali. Wajahnya sangat putih, kepucat pucatan dan seluruh air mukanya membayangkan kekecewaan dan kedukaan hati. Yang menarik hati adalah bekas luka di sekeliling lehernya, seakan akan leher itu pernah dipotong lalu disambung lagi. Nenek ini tidak memegang tongkat seperti pengemis pengemis lain, melainkan membawa siang kiam (sepasang pedang) yang gagangnya nampak tersembul di balik punggungnya sebelah kiri. Juga nenek ini memandang kepada Ciang Le dengan mata tajam, dan mulutnya makin mewek seperti mau menangis.
“Dia pantas sekali untuk siocia!” kata nenek ini mengangguk angguk dan matanya memandang kepada Ciang Le seperti seorang pembeli sedang menaksir sebuah barang yang menarik.
Pemuda ini merasa jengah juga menerima pandangan mata seperti itu. Ia melirik ke arah orang ke tiga yang juga aneh. Orang ke tiga ini seorang pengemis tua berambut putih dan wajahnya biarpun sudah tua, masih membayangkan ketampanan. Sayangnya kakek tua yang kelihatan tampan dan gagah ini hanya mempunyai kaki kanan saja, adapun kaki kirinya sebatas lutut telah hilang. Kakek ke tiga ini memegang dua batang tongkat yang sama panjangnya, kira kira empat kaki.
“Masih kurang pantas. Ia tidak setampan aku ketika muda!” kakek ke tiga ini berkata sambil menarik bibirnya mengejek.
Ciang Le maklum bahwa ia berhadapan dengan tokoh tokoh tertinggi dari Hek kin kai pang, maka cepat ia memberi hormat dengan mengangkat tangan yang dirangkap di depan dada sambil membungkuk.
“Sam wi pangcu, aku merasa menyesal sekali bahwa telah terjadi keributan antara aku dan anak buahmu. Semua ini bukan karena aku yang muda sengaja hendak mencari permusuhan, sama sekali tidak. Sebetulnya soalnya kecil saja yakni ditimbulkan oleh dua orang anak buahmu yang memukuli seorang siucai. Aku menegur dan akibatnya aku dikeroyok. Oleh karena itu, harap saja sam wi yang lebih luas pertimbangannya, suka menghabiskan urusan ini.”
Kakek yang bongkok itu tertawa cekikikan, “Heh heh, dia menyebut kita pangcu (ketua). Heh heh heh!”
“Apakah kau yang disebut Hwa I Eng hiong?” kakek ke tiga bertanya.
Ciang Le mengangguk. “Aku yang rendah memang dijuluki orang demikian, sungguh tidak sesuai dengan kepandaianku yang rendah.”
Kini nenek itu melangkah maju. “Benar benar kau Hwa I Enghiong?” tanyanya. Ketika Ciang Le mengangguk, nenek itu lalu tersenyum dan berkata, “Kalau begitu aku harus memberi selamat kepadamu!” setelah berkata demikian, ia lalu menjura dan merangkap kedua tangan di dada sambil memungkukkan tubuhnya.
Ciang Le terkejut sekali karena ia menduga bahwa gerakan ini adalah semacam pukulan gelap yang dilakukan dengan tenaga lweekang yang tinggi. Benar saja dugaannya ketika ia merasa ada angin menyambar dari kedua kepalan tangan nenek itu ke arah dadanya. Baiknya ia tadi telah menaruh hati curiga, maka kini ia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada dan mendorongnya ke depan sambil mengerahkan lweekangnya pula.
Akibatnya membuat pemuda dan nenek itu keduanya terkejut. Benturan tenaga lweekang ini membuat Ciang Le terpaksa mundur dua langkah. Adapun nenek itu menjadi terhuyung ke belakang sampai tiga tindak! Ini saja sudah membuat nenek itu kagum sekali, sebaliknya Ciang Le diam diam terkejut. Ia tahu bahwa tenaga lweekang dari nenek ini hanya berbeda sedikit saja dari padanya, padahal ia telah digembleng secara hebat oleh Thian Lo mo, tokoh besar ahli lweekeh itu. Baru nenek ini saja sudah demikian lihai, apalagi dua orang kakek yang aneh ini.
Tiba tiba kakek bongkok itu mengulur tangan dan sebelum Ciang Le dapat mengelak, tangannya telah terpegang oleh tangan kakek itu yang sambil terkekeh kekeh berkata. “Bukan di sini tempat bicara. Hayo kau ikut dengan kami!” Setelah berkata demikian, ia melompat cepat dengan tangan masih memegangi tangan Ciang Le.
Pemuda ini merasakan tarikan yang kuat sekali. Ia tidak mau mempergunakan kekerasan, maka iapun lalu menggenjot kakinya dan mengikuti kakek ini melompati kepala orang orang yang tadi mengelilinginya. Nenek itu dan kakek buntung juga melompat sehingga dalam sekejap mata saja empat orang ini lenyap dari tempat itu. Jalan raya yang tadinya penuh sesak itu kini menjadi biasa kembali, ditinggalkan oleh para penonton yang berjubel di situ.
Ciang Le berlari cepat di sebelah kakek bongkok. Ia merasa betapa cengkeraman tangan kakek ini benar benar kuat. Baiknya ia sendiri memiliki ilmu lari cepat yang sudah mencapai tingkat tinggi sehingga ia dapat mengimbangi kecepatan si bongkok. Kalau tidak, tentu ia akan terseret dan tangannya akan terasa sakit.
Setelah berlari lari beberapa lama akhirnya kakek bongkok itu berhenti di depan sebuah rumah gedung yang penuh tanaman kembang di halaman depan. Rumah gedung itu tidak terlalu besar, akan tetapi benar benar mungil dan cantik sekali. Nampak demikian bersih terpelihara.
Ketika kakek bongkok itu hendak memasuki halaman gedung ini, Ciang Le merasa sangsi dan berkuatir kalau kalau ia akan terjebak. Sambil mempergunakan Ilmu Sia kut hoat, ia membetot tangannya dan sekali tarik, saja tangannya yang digenggam oleh kakek bongkok telah terlepas!
Si bongkok memandangnya dengan kagum dan perlahan lahan mukanya menjadi merah. Ia telah kena dipermainkan oleh pemuda ini. Melihat bahwa pemuda ini pandai Ilmu Sia kut hoat, kalau tadi tadi pemuda ini menghendaki tentu sudah dapat melepaskan tangannya yang terpegang!
“Hwa I Enghiong, apakah kau takut memasuki rumah kami?” tanya nenek yang sudah berada dibelakang mereka pula bersama, kakek buntung.
Ciang Le tertegun. Tidak saja ia mendapat kenyataan bahwa nenek dan kakek buntung itupun memiliki ilmu lari cepat yang hebat juga ia merasa aneh melihat betapa tiga orang ketua Hek kin kaipang ini dapat tinggal di dalam sebuah gedung yang demikian indah yang agaknya hanya patut ditinggali seorang bangsawan tinggi! Akan tetapi, karena nenek itu menyangkanya takut, ia menjadi panas hati. Betapapun tinggi kepandaian tiga orang aneh ini belum cukup untuk mendatangkan rasa takut dalam hatinya! Ia menjawab dengan gagah,
“Mengapa aku harus takut? Hanya orang bersalah saja yang dapat takut dan dalam hal ini, aku tidak merasa bersalah.” Kemudian dengan langkah tenang dan dada terangkat, Ciang Le mengikuti mereka memasuki rumah indah itu.
Seorang pelayan dengan pakaian bersih dan sikap sopan sekali membuka pintu dan membungkuk dengan hormat sekali seakan akan yang datang bukanlah seorang pemuda dan tiga orang pengemis, melainkan orang orang bangsawan agung!
Tiga orang tua itu membawanya menuju ke sebuah ruangan di bagian kiri gedung, sebuah ruangan yang amat luas. Melihat betapa keadaan ruangan ini berlantai bersih dan datar juga bangku bangkunya dan meja terletak di sudut sehingga di bagian tengah kosong, Ciang Le dapat menduga bahwa ini tentulah ruang bermain silat.
Pada saat itu, tiba tiba Ciang Le mendengar suara kim ( alat musik bertali ) yang dipukul dengan merdunya. Kembali ia tertegun karena suara ini memang amat pantas terdengar dari sebuah gedung indah, tanda bahwa penghuninya adalah seorang seniman terpelajar. Akan tetapi mengapa tiga orang pengemis tua ini bersikap seakan akan mereka yang menjadi tuan rumah?
Selagi ia menikmati suara kim yang merdu itu, tiba tiba terdengar suara lain, suara yang jauh berlainan dengan suara tetabuhan itu. Kali ini yang terdengar datang dari arah belakang, yakni suara orang orang berkeluh kesah, menangis, mengerang, pendeknya suara banyak orang sedang menderita sedih dan sakit! Akan tetapi, suara kim yang terdengar dari sebelah kanan gedung itu masih saja berbunyi, seakan akan mengiringi tangis dan keluh kesah itu yang dianggap oleh penabuh kim sebagai nyanyian yang enak didengar agaknya!
Melihat keheranan Ciang Le, nenek itu tertawa terkekeh kekeh. “Anak muda, kau menjadi tamu agung kami, dan agaknya kau tertarik oleh bunyi dan suara itu. Apakah kau ingin menyaksikan dengan mata sendiri?”
Biarpun ia tidak suka dianggap sebagai seorang yang lancang dan ingin mengetahui keadaan rumah orang, namun tangis dan keluh kesah itu membuat Ciang Le curiga kalau kalau di dalam rumah ini terjadi kejahatan, maka ia lalu menganggukkan kepalanya.
Kakek bongkok dan kakek buntung itu agaknya tidak setuju kemudian menggerakkan tangannya akan tetapi mereka itu dibantah oleh nenek tadi dengan kata kata,
“Sebagai seorang calon pasangan pangcu, tentu saja berhak mengetahui segalanya.” Kemudian ia lalu mendahului dan mengajak Ciang Le masuk ke ruangan belakang.
Ciang Le mengikuti nenek ini dan di belakangnya, dua orang kekek itupun berjalan sehingga ia seakan akan dikurung di tengah tengah. Biarpun mereka bertiga tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan, diam diam Ciang Le maklum bahwa dia dijaga keras oleh tiga orang aneh ini.
Setibanya di belakang, nenek itu lalu melompat ke atas dinding tembok. Ciang Le ikut melompat pula dan di belakang tembok itu ia menyaksikan pemandangan yang aneh dan juga menawan hati. Di belakang dinding itu ternyata merupakan sebuah taman yang cukup indah dan luas sekali. Banyak macam bunga bunga mekar semerbak di situ. Akan tetapi yang amat aneh adalah banyaknya orang orang yang bekerja di situ. Biasanya untuk sebuah taman bunga, dua atau tiga orang tukang kebun saja sudah cukup. Akan tetapi di dalam taman ini nampak orang orang yang jumlahnya sampai tiga puluh orang lebih!
Mereka ini bekerja mengurus taman bunga dan ketika Ciang Le memperhatikan, ternyata bahwa keadaan mereka amat sengsara. Pakaian mereka pecah pecah dan tambal tambalan, dan biarpun ada yang pakaiannya cukup baik, namun rata rata mereka itu pucat pucat bahkan ada beberapa orang yang menderita luka tanpa diobati!
Ketika orang orang itu melihat nenek dan dua orang kakek tadi berdiri di atas dinding tembok bersama seorang pemuda, tiba tiba saja semua tangis dan keluh kesah itu lenyap dan berhenti. Semua orang lalu sibuk bekerja, nampaknya mereka takut sekali menghadapi tiga orang tua itu!
“He, orang she Kwe! Kau kembali menangis, ya? Awas, sekali lagi ku mendengar kau meraung raung seperti anjing hukumanmu akan kutambah sepuluh tahun lagi! Ini, rasakan untuk peringatan!” nenek itu berseru keras dan tangan kirinya bergerak kearah seorang yang sedang berdiri di dekat sebatang pohon bunga sambil membuangi daun daun kering.
Ciang Le melihat sinar hitam melayang dari tangan nenek itu dan orang tadi terjungkal. Sebatang touw kut teng (paku penembus tulang) telah menancap pada pundak orang itu yang biarpun meringis meringis kesakitan sambil memegangi pundaknya, namun sama sekali tidak berani menangis atau mengeluarkan suara!
Ciang Le terkejut dan marah sekali. “Kau kejam sekali!” teriaknya, akan tetapi nenek itu memandang kepadanya dengan mata mendelik dan menudingkan jari tangan ke arah lehernya.
“Kejam? Apakah artinya pundak tertancap paku dengan luka di leherku ini? Tahukah kau bahwa luka ini ditimbulkan oleh guratan golok sehingga leherku hampir putus?”
Ciang Le tertegun karena ia tidak mengerti apakah artinya semua ini. Tiga orang tua itu melompat turun ke tempat tadi dan terpaksa Ciang Le ikut melompat turun pula. Ia tadi telah melihat bahwa air muka orang orang yang berada di dalam taman bunga itu menunjukkan watak orang orang yang kurang baik kelakuannya. Akan tetapi tetap saja ia merasa penasaran mengapa orang orang itu disiksa seperti itu dan mengapa pula mereka dikumpulkan di tempat itu. Lagi pula, di antara orang orang itu ia juga melihat pengemis pengemis berikat pinggang hitam, anggauta anggauta Hek kin kaipang.
“Sam wi pangcu (tiga saudara ketua), apakah artinya pemandangan itu? Siapakah mereka dan mengapa mereka berada di tempat itu?” tanya Ciang Le karena pemuda itu tak dapat menahan hatinya lagi.
“Mereka itu orang orang hukuman!” jawab nenek itu sambil menyeringai.
“Orang orang hukuman? Apa kesalahan mereka dan mengapa dihukum di sini?”
“Hwa I Enghiong, dari siapakah kau belajar menyelidik keadaan dalam rumah tangga lain orang?” Si bongkok tiba tiba menegurnya dan merahlah wajah Ciang Le.
Sesungguhnya, taman bunga itu masih menjadi bagian dari gedung ini dan apa yang terjadi di dalam taman itu masih merupakan peristiwa dalam rumah tangga lain orang.
“Sekarang marilah kau menyaksikan dengan mata sendiri suara lain yang datang dari bangunan sebelah kanan itu,” kata nenek itu pula. Memang suara kim yang ditabuh itu masih terdengar dengan nyaring dan amat merdunya. Ciang Le mengikuti tiga orang itu menuju ke arah datangnya suara.
Mereka tiba di sebuah ruangan yang luas akan tetapi pintu yang lebar terbuka itu tertutup oleh tirai yang halus sehingga dari luar orang dapat melihat bayangan di sebelah dalam. Tercenganglah Ciang Le ketika melihat keadaan bagian ini. Ruangan itu amat indah dan bersih, dihias dengan perabot perabot rumah yang serba indah dan mahal. Juga dari tirai halus itu semerbak bau yang amat harum. Ketika ia memandang ke dalam, tiba tiba matanya terpaku pada sebuah pemandangan yang amat menarik hati. Di sudut ruangan itu, duduk di atas lantai yang ditilami kasur beralaskan sutera merah muda, nampak seorang gadis yang cantik jelita.
Gadis ini kelihatan seperti seorang bidadari saja dari luar tirai, berpakaian hijau berkembang yang indah sekali dan cara duduknya amat luwes dan. menarik hati. Di depannya terletak sebuah alat tetabuhan kim yang dimainkannya dengan asyik. Sepuluh jari tangannya yang runeing bergerak gerak dan mukanya tunduk memandang alat tetabuhan itu.
Tiba tiba gadis itu mengangkat muka, seakan akan pandang mata yang penuh kekaguman dari Ciang Le terasa olehnya. Sepasang mata yang lebar dan jeli menatap ke arah tirai dan Ciang Le segera menundukkan mukanya yang berobah merah. Benar benar ia merasa malu karena sungguh tidak sopan memandang seorang gadis di dalam kamarnya ia lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi dari pintu, diikuti oleh tiga orang pengemis tua itu yang tersenyum senyum.
“Dia cantik jelita bukan? Pernahkah kau melihat seorang gadis yang secantik dia?” tanya nenek itu.
“Siapakah dia??” tanya Ciang Le.
Nenek itu tertawa cekikikan. “Heh heh, kau tergila gila kepadanya bukan? Heh heh heh, laki laki mana yang takkan tergila gila melihat dia? Kau boleh menyebut dia pangcu, Siocia atau Sianli (Ketua, Nona, atau Dewi)!”
“Pangcu? Nona itu ketua dari apakah?”
Kini si buntung tertawa geli. “Anak bodoh, dialah pangcu dari perkumpulan kami!”
Bukan main herannya hati Ciang Le mendengar ini. Nona pemain kim tadi ketua dari Hek kin kaipang? Sungguh sukar untuk dapat dipercaya!
Sementara itu, mereka telah tiba kembali di ruang pertama, yakni ruang lian bu thia. Nenek itu lalu berkata. “Sekarang bersiaplah kau, orang muda. Tidak sembarangan orang boleh memasuki rumah ini. Dalam pandangan kami, kau cukup memenuhi syarat, kecuali sebuah lagi, yakni kau harus dapat menghadapi kami bertiga selama lima puluh jurus lebih!”
Ciang Le mengerutkan kening. “Apakah artinya ini? Aku datang atas undangan cuwi, bukan kehendakku sendiri dan aku sama sekali tidak hendak mencari permusuhan dan pertempuran.”
“Ha ha ha, kau takut?” tanya si kakek buntung.
“Siapa bilang aku takut? Aku hanya hendak mencegah pertempuran tanpa alasan.”
“Tanpa alasan katamu?” si bongkok membentak, “Kau telah mengacau kota Taigoan telah merobohkan banyak anak buah kami dan para penjaga kota, dan kau bilang tanpa alasan? Anak muda, kami masih belum membunuhmu boleh dibilang sudah cukup baik dan sabar. Kalau tidak Bi Mo Ii (Setan Wanita Cantik) ini yang membuat gara gara hendak menjadi comblang, sudah semenjak tadi kau mampus! Hayo kau boleh memperlihatkan kepandaianmu!”
Setelah berkata demikian, si bongkok ini lalu menggerakkan tongkat pendeknya untuk menyerang dengan sebuah totokan ke arah ulu hati pemuda itu. Berbareng pada saat itu, sambil tertawa tawa, nenek itupun telah menyerang dengan siang kiam (sepasang pedang) dan si kakek buntung telah menggerakkan kedua tongkatnya!
Ciang Le terkejut bukan main. Ia cepat menggerakkan tangan ke arah punggungnya dan tiba tiba berkelebat sinar emas ketika Kim kong kiam berada di tangannya dan cepat ia menggerakkan pedang itu untuk menangkis senjata lawan. Terdengar suara nyaring diikuti oleh bunga api berpijar. Tiga orang pengemis tua itu mengeluarkan seruan kaget dan mereka menahan senjata masing masing.
“Kau pernah apa dengan Thian Te Siang mo ??” teriak nenek itu dengan wajah pucat.
“Thian Te Siang mo adalah guruku,” jawab Ciang Le dengan tenang dan diam diam ia merasa girang karena agaknya, seperti kakek pemelihara ular itu, tiga orang tua ini sudah pernah bertemu dengan kedua orang suhunya dan agaknya jerih menghadapi pedangnya yang dahulu menjadi senjata dari Te Lo mo, gurunya ke dua. Akan tetapi rasa girang ini berobah menjadi gelisah ketika ia melihat sikap nenek itu. Tiba tiba saja nenek ini memaki maki.
“Thian Te Siang mo, keparat terkutuk! Sekarang aku mendapat kesempatan untuk mencincang hancur tubah muridmu!” Setelah berkata demikian, sepasang pedangnya bergerak dengan ganas dan cepatnya, dibantu pula oleh dua orang kakek itu.
Terpaksa Ciang Le melayani mereka dan sebentar saja ia terkurung rapat rapat. Pemuda ini harus mainkan Kim kong Kiam sut dengan cepat dan sungguh sungguh, karena, serangan serangan tiga orang lawannya ini benar benar hebat dan lihai. Diam diam ia memikir dengan heran siapakah mereka ini dan mengapa agaknya nenek itu membenci kedua orang gurunya.
********************
Seperti telah disebutkan di bagian depan, tiga orang tua ini adalah pemimpin pemimpin Hek sin kaipang tingkat satu, yakni tingkat tertinggi. Nenek itu berjuluk Bi Mo li (Setan Wanita Cantik), kakek bongkok itu berjuluk Beng san kui (Setan Ganung Sakti), dan kakek yang buntung kaki kirinya itu berjuluk Siang tung him (Biruang Bertongkat Dua).
Melihat cara tiga orang tua itu menyerangnya, Ciang Le diam diam menjadi sibuk juga. Tiga orang tua itu kini bukan lagi hendak mencoba kepandaian, melainkan menyerang dengan mati matian! Agaknya karena ia murid Thian Te Siang mo, tiga orang ini menjadi benci kepadanya dan hendak membunuhnya, terutama sekali nenek yang lihai itu. Ilmu pedang dari nenek itu benar benar lihai sekali dan ditambah pula dengan permainan tongkat si bongkok dan sepasang tongkat si buntung, benar benar Ciang Le terdesak hebat.
Pemuda ini tidak mau mengalah begitu saja, tadinya memang ia terdesak karena ia memang tidak membalas serangan serangan mereka dengan sungguh sungguh, kuatir kalau kalau melukai mereka. Sekarang melihat betapa tiga orang tua itu menyerangnya dengan sungguh sungguh dan mati matian, terpaksa iapun membalas dengan serangan yang amat lihai dari Ilmu Pedang Kim kong Kiam sut. Ilmu Pedang Kim kong Kiam sut yang ia pelajari dari Te Lo mo ini memang benar benar luar biasa sekali.
Pedang di tangannya lenyap berobah menjadi segulungan cahaya kekuningan seperti emas dan merupakan benteng kuat sekali yang melindungi seluruh tubuhnya dari serangan senjata senjata lawannya. Bahkan kadang kadang gulungan sinar pedang itu mendesak hebat sekali sehingga setiap kali senjata lawan terbentur, lawan lawannya mengeluarkan suara kaget! karena merasa telapak tangannya tergetar hebat!
Kalau sekiranya tidak dikeroyok tiga, sudah dapat dipastikan bahwa Ciang Le tentu akan dapat dirobohkan lawannya Biarpun dalam hal lweekang dan ginkang tidak boleh dikatakan kepandaian dan tingkatnya lebih tinggi, namun dengan Ilmu Pedang Kim kong Kiam sut, ternyata ia menjadi lebih unggul dari pada semua lawannya.
Akan tetapi, karena tenaga dan kepandaian tiga orang pengemis tua yang aneh itu tergabung dan mereka ternyata dapat bekerja sama dengan baik dan teratur sekali, maka Ciang Le akhirnya menjadi kewalahan dan terdesak hebat! Betapapun juga, berkat daya tahan Kim kong Kiam sut yang rapat dan kuat, ia masih dapat mempertahankan diri dan agaknya tidak akan mudah bagi tiga orang tua itu untuk mengalahkannya. Berbeda dengan mereka yang sudah tua sekali, Cian Le masih muda dan tenaga serta napasnya kuat.
Seratus jurus telah lewat dan tiga orang tua itu menjadi penasaran sekali. Kalau saja pemuda ini tidak mengaku sebagai murid Thian Le Siang mo, agaknya nenek itu menjadi makin kagum dan suka kepada pemuda ini yang dianggapnya betul betul berharga menjadi jodoh Siocianya. Tiba tiba bayangan hijau melayang keluar dari pintu kanan, dan terdengar bentakan halus akan tetapi nyaring dan amat berpengaruh,
“Kalian bertiga mundurlah!”
Sungguh mengherankan Ciang Le, karena tiga orang tua itu bagaikan tentara tentara mendengar perintah seorang atasan yang berpangkat tinggi, serentak lalu melompat mundur dan menahan senjata mereka. Kemudian mereka bertiga memandang ke arah orang yang baru muncul ini dengan sikap penuh hormat.
Adapun Ciang Le ketika melihat siapa orangnya yang datang mukanya menjadi merah dan iapun memandang dengan kagum. Ternyata bahwa orang itu adalah nona berbaju hijau berkembang yang tadi menabuh kim di dalam kamar bertirai itu, nona yang kini nampak lebih cantik dari pada tadi. Nona ini bertubuh ramping dan berisi, kini memakai pakaian yang ringkas. Rambutnya yang hitam dan panjang itu digelung ke atas dan diikat dengan pengikat rambut terbuat daripada permata yang berkilauan. Di belakang pundaknya nampak gagang siang to (sepasang golok) terbuat daripada emas yang terhias permata hijau pula. Sepatunya yeng tinggi berwarna hitam.
Bukan main gagah dan cantiknya nona ini, dan kulit mukanya yang putih kemerah merahan itu demikian halus sehingga seakan akan amat tipis. Diam diam Ciang Le harus akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia melihat seorang gadis yang lebih cantik dari pada nona ini. Karena ia teringat akan penuturan nenek tadi bahwa nona manis ini adalah ketua dari Hek kin kaipang, maka cepat Ciang Le menjura kepada nona itu dengan hormat setelah menyimpan pedangnya.
“Pangcu (ketua), harap kau suka maafkan padaku telah berani datang ke rumahmu yang indah dan membikin ribut. Percayalah aku hanya terpaksa oleh tiga orang tua yang berkepala batu ini!”
Nona itu tersenyum dan sepasang matanya berseri gembira, Ciang Le melihat sederetan gigi yang putih bagaikan batu kemala di lingkungan bibir yang berbentuk manis dan berwarna merah.
“Hwa I Enghiong, aku paling benci disebut ketua, sungguhpun aku memang menjadi pemimpin Hek kin kaipang. Namaku Kiang Cun Eng, bukankah lebih sedap didengar kalau kau menyebut namaku saja tanpa segala sebutan sungkan dan pangcu pangcuan?” Kembali ia tersenyum manis sekali dengan lesung pipit di pipi kanannya, sedangkan sepasang matanya yang lihai itu mengerling melebihi tajamnya pedang Kim kong kiam!
Melihat gerak bibir, lirikan mata, dan gerak gerik wajah nona ini, yakinlah Ciang Le bahwa benar benar ia berhadapan dengan seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Akan tetapi cara gadis itu mainkan bibir dan mata mendatangkan rasa jengah dan tidak enak dalam hati Ciang Le dan berbareng menimbulkan rasa tidak suka. Gadis ini memiliki sifat tidak baik dan genit, pikir Ciang Le, dan sekaligus berkuranglah kekagumannya.
Akan tetapi ketika ia memandang kepada gagang golok di belakang pundak gadis itu, teringatlah ia akan sesuatu dan diam diam ia menjadi gelisah. Baru menghadapi keroyokan tiga orang pemimpin tingkat satu tadi saja ia sudah kewalahan. Gadis cantik ini sebagai ketua sudah tentu saja memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada kepandaian tiga orang pengemis tua itu. Kalau saja harus menghadapi gadis ini saja, ia boleh mengerahkan seluruh kepandaiannya dan mustahil kalau ia akan kalah. Akan tetapi bagaimana kalau dikeroyok empat?
Kemudian gadis itu yang melihat Ciang Le diam saja, lalu berkata kepada tiga orang pembantunya, “Bi Mo li, bersihkan kamar tamu sebelah barat! Beng san kui, perintahkan kepada restoran yang paling besar untuk mengirim hidangan hidangan yang paling baik, dan kau, Siang tung him beritahukan kepala daerah bahwa urusan dengan Hwa I Enghiong sudah beres dan malam ini diadakan perjamuan untuk menghormatinya di sini, minta dia datang!”
Tidak saja Ciang Le yang menjadi tercengang mendengar ini, bahkan tiga orang pembantunya itupun menjadi tertegun. Apalagi nenek itu, ia kelihatan tidak senang sekali.
“Nona, ketahuilah bahwa orang ini adalah murid Thian Te Siang mo musuh musuh besar kita!” kata nenek itu.
Akan tetapi Beng san kui dan Siang tung kini tidak membantah perintah nona ini.
“Baik, pangcu!” jawab Beng san kui.
"Aku pergi, nona.” kata Siang tung him dan dua orang kakek ini sekali berkelebat saja sudah melompat keluar dari ruangan itu Kini Kiang Cun Eng, ketua Hek kin kai pang itu menoleh kepada Bi Mo li dan pandangan matanya yang tadinya lunak dan mesra itu berobah menjadi ganas.
“Bi Mo li, sudah berapakali kau selalu membantah perintahku? Apakah kau ingin melihat golokku bergerak lebih keras lagi? Hwa I Enghiong adalah tamu agung bagiku yang harus kuhormati. Aku suka padanya tidak perduli ia putera siapa dan murid siapa! Hayo lekas jalankan perintahku!”
Bi Mo li masih mengerutkan keningnya dan memandang kepada Ciang Le dengan mata berapi, akan tetapi sekali saja Kiang Cun Eng menggerakkan kedua tangannya kebelakang, tahu tahu sepasang golok yang putih berkilauan saking tajamnya telah berada di kedua tangan yang kecil halus itu!
“Bi Mo li, lekas pergi! Jangan tunggu sampai tanganku melakukan gerakan ke dua!”
Kini Ciang Le melihat betapa Bi Mo li menjadi pucat mukanya, dan setelah mengerling sekali lagi ke arahnya dengan penuh kebencian, nenek itu lalu pergi terhuyung huyung ke belakang, untuk melakukan perintah ketua yang cantik itu.
Ciang Le benar benar merasa terkejut dan heran. Alangkah besar kekuasaan dan pengaruh nona ini Tiga orang tua yang memiliki kepandaian demikian tinggi seakan akan tiga ekor anjing peliharaan saja yang merangkak rangkak ketakutan di depan kakinya.
“Pangcu…”
Muka manis yang tadinya berubah seram dan ganas, kini melembut dan pandangan matanya mesra lagi ketika ditujukan kepada wajah Ciang Le yang tampan. “Hwa I Enghiong, ingat namaku Kiang Cun Eng.”
“Kiang pangcu (ketua Kiang)...”
“Jangan menyebutku ketua!”
Ciang Le menghela napas. Nona ini benar benar aneh, “Kiang siocia (nona Kiang),” katanya kewalahan, “harap kau jangan berlaku sungkan. Aku bukanlah tamu agung dan aku tidak ingin tinggal lama lama di rumahmu dan mengganggu kalian. Sudahlah, biarkan aku pergi saja. Lain kali aku akan menghaturkan terima kasih atas kemurahanmu terhadapku.”
Kiang Cun Eng menggeleng geleng kepalanya. “Tidak bisa, tidak bisa! Apakah kau ingin menghinaku? Kau datang dan kuanggap sebagai tamuku, hidangan sudah disiapkan, bahkan kepala daerah Taigoan sudah kupanggil. Jangan kau membikin malu aku, Hwa I Enghiong. Apa akan kata orang kalau mendengar bahwa undangan yang ramah tamah dan penuh sikap persahabatan dari ketua Hek kin kaipang ditolak mentah mentah oleh Hwa I Enghiong?”
Ciang Le beripikir cepat. Memang tidak baik kalau ia memaksa meningagalkan dan menolak undangan itu. Ketua ini telah berlaku manis padanya. Melihat betapa ketua ini dapat memanggil kepala daerah dan betapa tadi ketika dia bertempur menghadapi anggauta anggauta Hek kin kaipang para penjaga kota juga membantu perkumpulan pengemis itu, tahulah dia bahwa perkumpulan ini mendapat dukungan dari pemerintah setempat! Hal ini benar benar amat aneh dan ia harus dapat menyelidikinya. Apa lagi tentang orang orang yang berada di taman bunga di belakang gedung ini.
“Baiklah, nona. Aku tidak berani mengecewakan hatimu, sungguhpun aku terlampau dihormati dan merasa sungkan sekali “
Gadis itu tertawa dengan manis sekali. Ia nampak girang bukan main dan seperti seorang anak kecil, tangannya menyambar dan memegang tangan Ciang Le. Gerakan ini cepat sekali sehingga sebelum pemuda itu dapat mengelak, tangannya sudah terpegang dan ditarik tarik.
“Hwa I Enghiong, hayo ikut aku. Aku akan mainkan kim dan bernyanyi untukmu.” Dengan gaya menarik, genit dan manja sekali nona cantik itu membetot betot tangan Ciang Le.
Tentu saja wajah Ciang Le menjadi merah seperti kepiting direbus! Ia merasa betapa jari jari tangan yang halus menekan tangannya dengan mesra dan wajah gadis itu menatapnya berseri seri dan sinar matanya penuh arti! Untuk melenyapkan rasa jengahnya, Hwa I Enghiong tersenyum dan berkata,
“Kiang siocia, aku sudah mendapat kehormatan mendengarkan kau mainkan kim yang benar benar merdu sekali tadi ketika aku dibawa datang oleh tiga orang tua itu.”
“Aku tahu, akan tetapi yang kumainkan tadi adalah lagu sedih. Lagu dari seorang puteri kaisar yang meratapi nasibnya karena tak dapat mendekati pemuda ksatria yang menjadi idaman hatinya! Sekarang aku hendak menyanyikan kisah pertemuan kedua teruna remaja itu, lagu yang gembira!” Sambil berkata demikian, ia terus menarik tangan Ciang Le ke arah ruang di sebelah barat yang tertutup tirai halus itu.
Ciang Le benar benar merasa amat jengah, sungkan, dan serba salah. Ia tadi telah mengerahkan lweekangnya agar tangannya yang dipegang itu dapat terlepas tanpa menyinggung nona itu, akan tetapi ia merasa betapa jari jari tangan itupun mengerahkan lweekang yang tinggi sehingga mereka bahkan seperti saling menekan dengan mesra! Oleh karena ia melihat mata nona itu memandangnya dengan penuh arti seakan akan menegur “kenakalannya”, ia tidak berani lagi menarik tangannya dan membiarkan saja dirinya dituntun seperti kerbau ke dalam kamar yang menyiarkan bau harum itu.
Kamar itu selain semerbak harum, ternyata juga indah sekali. Ciang Le berdiri seperti seorang murid bodoh yang dihukum oleh guru sekolah dan disuruh berdiri di muka kelas. Ia merasa bingung, malu dan tidak enak. Kalau ia menggunakan kekerasan, pergi dari tempat itu, Sebentar saja ia tentu akan dikeroyok dan amat tidak enak menanamkan bibit permusuhan dengan perkumpulan yang kuat ini hanya karena ia merasa malu berada di dalam kamar seorang gadis cantik.
“Silakan duduk, eh, siapa pula namamu?” tanya Kiang Cun Eng sambil tertawa dan gadis ini dengan gaya menarik, lalu menjatuhkan diri duduk di atas lantai yang di tilami kasur dan bersih.
Ciang Le terpaksa mengambil tempat duduk pula di atas lantai bertilam itu, sejauh mungkin dari nona rumah dan duduknya amat tidak leluasa, seakan akan kasur bertilam sutera yang empuk itu adalah arang membara! “Aku she Go bernama Ciang Le.” Demikian katanya singkat sambil melayangkan pandang kepada dinding kamar yang terhias lukisan lukisan indah dan sajak sajak terkenal. Hem, selain cantik dan gagah, gadis ini agaknya ahli pula dalam hal kesusasteraan, pikirnya dan diam diam ia merasa kagum. Sukarlah mencari seorang gadis seperti ini, sayang sekali ia demikian genit dan manja.
Ketua Hek kin kaipang itu yang sudah mengambil alat tetabuhannya lalu mulai membunyikannya dan berkata, “Go enghiong, sekarang dengarkanlah aku bernyanyi untukmu.” Suaranya diucapkan dengan lagak dibuat buat dan matanya mengerling penuh arti. Kemudian, diiringi suara kim yang indah bernyanyilah gadis itu.
Kembali Ciang Le tertegun dan kagum karena suara gadis ini benar benar merdu sekali. Akan tetapi ketika ia mendengar kata kata dalam nyanyian itu, wajahnya yang sudah merah menjadi makin merah dan Ciang Le tidak berani memandang gadis itu. Gadis in bernyanyi tentang pertemuan seorang puteri dengan kekasihnya, memuji muji kecantikan puteri itu, memuji muji ketampanan wajah pemuda kekasihnya, kemudian tentang pertemuan yang mesra dan romantis itu dengar kata kata yang tidak kenal malu lagi!
Kalau saja bukan Ciang Le yang mendengar nyanyian ini keluar dari mulut seorang gadis yang demikian menggiurkan dan cantik, kalau saja pemuda pemuda biasa yang mendengarnya, tentu hatinya akan jatuh dan akan berlututlah dia di depan kaki Kiang Cun Eng memohon belas kasihan dan cinta kasih. Tentu akan berkobarlah api nafsu birahi dalam dada pemuda yang mendengarnya bagaikan api disiram minyak. Akan tetapi Ciang Le adalah keturunan seorang pahlawan sejati, keturunan Go Sik An seorang bun bu cwan jai yang terpelajar dan gagah perkasa.
Pula dia adalah murid dari sepasang manusia kembar yang sakti, murid dari Thian Te Siang mo yang sudah menggemblengnya semenjak ia masih Kecil sehingga pemuda ini memiliki kekuatan batin yang cukup teguh. Maka biarpun mukanya menjadi makin merah sampai ke telinganya karena ia merasa jengah dan malu, namun di dalam hatinya terasa kemuakan dan kejemuan mendengar nyanyian yang tidak kenal kesopanan dan melanggar susila itu.
Kiang Cun Eng mengakhiri nyanyiannya dengan kata kata. “Selagi muda tidak mencari kesenangan dunia. Sesudah tua, menyesalpun tiada guna!”
Ia mengakhiri nyanyian dan sambil tersenyum senyum dan sepasang matanya setengah dikatupkan, napasnya agak terengah engah, gadis itu lalu mendorong kimnya ke samping, kemudian ia menggeser duduknya, mendekati Ciang Le!
Wajah pemuda itu yang tadinya kemerah merahan, tiba tiba menjadi pucat dan dengan suara kaku dan kening berkerut ia berkata. “Aku tidak setuju dengan kata kata dalam nyanyianmu itu.”
“Eh, Go kongcu yang manis, apakah kau menganggap suaraku tidak merdu?” Kiang Cun Eng telah berada dekat sekali dan kulit mukanya kemerah merahan menambah manisnya.
“Suaramu merdu sekali, kau memang pandai bernyanyi,” terus terang Ciang Le menjawab.
Gadis itu meramkan matanya dan mengeluarkan suara seperti seekor kucing dibelai kepalanya. “Aai, kau tidak saja tampan dan gagah akan tetapi juga pandai memuji dan merayu seorang wanita, kongcu yang baik. Atau... bolehkah aku menyebutmu koko saja? Lebih sedap didengar...” Tangan gadis itu diulur dan hendak merangkul leher Ciang Le.
Ciang Le menganggap hal ini sudah keterlaluan sekali, maka ia lalu bangkit berdiri. “Kiang pangcu, aku tidak sependapat denganmu. Selagi muda mencari kesenangan dunia adalah perbuatan yang sebodoh bodohnya. Aku juga mempunyai peribahasa yang berbunyi Selagi muda bersuka suka, sudah tua banyak menderita, atau selagi muda beriman kuat, sudah tua akan selamat ! Oleh karena itu, sudah cukuplah kiranya hiburan ini dan perkenankanlah aku sebagai seorang sahabat yang sama sama menjunjung tinggi perikebajikan dan keadilan, memberi nasihat dan minta sesuatu darimu.”
Gadis itupun berdiri dari tempat duduknya dan sepasang matanya kini bersinar terang, tidak seperti tadi yang setengah dikatubkan ketika dirinya dikuasai oleh nafsunya sendiri. “Nasihat apa yang hendak kau berikan kepadaku dan permintaan apa yang hendak kau ajukan?”
“Nasihatku kepadamu seperti yang patut ku nasihatkan kepada seorang adik perempuanku. Amat tidak baik perlakuanmu kepadaku, pangcu. Tidak selayaknya seorang gadis muda seperti engkau ini membawa seorang pemuda ke dalam kamarnya dan kemudian kau bersikap menarik hatinya seperti yang kau lakukan tadi. Adapun permintaanku kepadamu, berlakulah murah hati terhadap orang orang yang terkurung di dalam taman bunga di belakang rumahmu itu. Apapun juga kesalahan mereka, kau tidak berhak mengurung dan menyiksa mereka di tempat itu.”
Berkilat kedua mata Cun Eng mendengar kata kata ini. “Nasihatmu itu tidak ada artinya bagiku, Go enghiong. Aku bukan anak anak lagi, usiaku sudah dua puluh lebih, dan seperti kunyatakan dalam nyanyian tadi, selagi muda aku takkan menyia nyiakan saja kesenangan yang datang menjelang! Adapun permintaanmu itu, ah, jadi tiga orang tua bangka tolol itu telah membawamu kebelakang?”
Ciang Le hanya mengangguk dan keningnya berkerut. Ia tidak tahu apa yang hendak dilakukan oleh wanita cantik ini, dan merasa lebih berbahaya menghadapi si cantik ini dari pada menghadapi musuh musuh lainnya. Kalau disuruh pilih, ia tentu lebih suka menghadapi keroyokan tiga orang pemimpin Hek kin kai pang tingkat satu yang lihai itu daripada harus menghadapi gadis ini di dalam kamarnya!
“Go enghiong, mari kau ikut denganku. Aku hendak memperlihatkan sesuatu!” Setelah berkata demikian, air muka gadis itu berubah cepat sekali, kini menjadi sungguh sungguh dan kekejaman membayang pada wajahnya yang cantik. Tiba tiba ia menggerakkan kedua tangannya dan siangto (sepasang golok) tadi telah berada di tangannya. Kemudian ia melambaikan goloknya mengajak Ciang Le sambil melompat keluar.
Sungguhpun Ciang Le diam diam menaruh hati curiga, akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan sikap takut. Ia pun lalu menggerakkan kedua kakinya dan melompat mengikuti gadis itu.
Ternyata Cun Eng membawanya ke belakang dan seperti tiga orang pemimpin tingkat satu dari Hek kin kaipang tadi, kini gadis itupun melompat ke atas pagar tembok yang menutup taman itu. Kalau tadi ketika berada di situ dengan Bi Mo li dan kedua orang kawannya. Ciang Le melihat pemandangan yang aneh karena orang orang di dalam taman itu nampak ketakutan seperti melihat iblis, sekarang ia melihat pemandangan yang lebih aneh lagi. Begitu melihat Cun Eng berdiri di atas tembok dengan sepasang golok di tangan, orang orang yang tadinya asyik bekerja itu tiba tiba menjatuhkan diri berlutut semua dan mereka membentur benturkan jidat di atas tanah seakan akan menghormat kedatangan seorang puteri raja!
“Toa Sam dan Tangan Seribu, majulah!” terdengar bentakan nyaring dari Cun Eng.
Dari rombongan orang itu muncul dua orang. Yang bernama Toa Sam bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan matanya sipit, mulutnya mengejek selalu. Orang kedua yang disebut Tangan Seribu adalah seorang yang kurus kecil tubuhnya akan tetapi tindakan kakinya cepat dan gesit sekali. Dua orang itu berdiri lalu berjalan menuju ke depan rombongan orang yang berlutut. Di situ mereka juga berlutut. Si Tangan Seribu menundukkan mukanya, akan tetapi Toa Sam kadang kadang mengerling ke arah Cun Eng dan Ciang Le.
“Sudah kami pertimbangkan tentang dosa dosamu dan sekarang hukuman itu akan di jatuhkan. Bersiaplah kalian!” Baru saja kata kata ini habis diucapkan, Toa Sam tertawa dan berkata, “Sayang aku tidak tampan seperti pemuda itu. Kalau aku tampan, sudah tentu Sianli (Dewi) akan mengampuni kesalahanku!”
Akan tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk bicara lebih lanjut, karena pada saat itu, dari atas telah menyambar Cun Eng. Benar saja seperti yang diduga Ciang Le, gadis itu memiliki kepandaian yang luar biasa sekali, terbukti dari gerakannya yang cepat dan ringan bagaikan seekor burung walet. Akan tetapi, kepandaian gadis itu tidak amat mengejutkan hati Ciang Le, yang membuat ia benar benar terkejut dan memandang dengan mata terbelalak adalah ketika ia melihat sinar putih dari kedua batang golok di tangan Cun Eng itu berkelebat dan tahu tahu menyembur darah hidup yang mengerikan sekali.
Ternyata ketika ia memandang dengan penuh perhatian, kepala Toa Sam telah terpisah dari tubuhnya dan Tangan Seribu telah putus tangan kanannya sebatas siku! Darah mengalir membasahi rumput di taman itu. Tubuh Toa Sam menggeletak tak bergerak, hanya darah yang menyembur nyembur dari lehernya saja yang bergerak. Tangan Seribu menggigit gigit bibir dengan muka pucat, boleh dipuji sekali orang ini karena biarpun tangannya dibuntungi, ia tidak mengeluarkan sedikit suara keluhan!
Ciang Le menjadi marah sekali dan hendak melompat turun dan menegur gadis yang ganas dan kejam itu, tahu tahu Cun Eng telah melayang dan berdiri di atas tembok di sebelahnya lagi. Kejadian itu hanya terjadi sekejap mata saja, sehingga benar benar sukar dipercaya. Cun Eng merogoh saku bajunya, mengeluarkan sebungkus obat lalu melemparkan obat itu kepada Si Tangan Seribu.
“Pakai obat ini dan balut ujung tanganmu baik baik. Kau sudah menerima hukuman, lekas kau pergi dari sini!”
Kalau dibicarakan sungguh aneh sekali. Orang yang baru saja tangannya dibikin buntung dan kini diberi obat lalu disuruh pergi, kini berlutut menghaturkan terima kasih kepada gadis yang telah membuatnya bercacat selama hidupnya itu! Kemudian, dengan sebuah lompatan yang cukup membuktikan bahwa Si Tangan Seribu itu memiliki kepandaian lumayan, orang itu telah mengambil bungkusan obat lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Orang orang yang berada di situ masih berlutut dan kini mereka nampak menggigil seluruh tubuh mereka. Biasanya, kalau Hek kin kai pangcu (ketua Hek kin kaipang) sudah datang dengan sepasang goloknya di tangan, dia takkan pergi sebelum “membagi bagi” hukuman dengan cara yang amat ganas dan kejam. Siapa lagi yang akan menjadi korban?
Sementara itu, Ciang Le menyambut kembalinya nona itu di atas pagar tembok dengan mata bersinar marah. Ingin sekali ia memukul dan menyerang wanita yang kejam ini, akan tetapi baiknya pemuda itu masih dapat mengendalikan diri dan ingat bahwa ia adalah seorang tamu dan juga bahwa sebelum tahu jelas duduknya perkara tidak baiklah kalau ia bertindak secara sembrono.
“Kiang pangcu, mengapa kau seganas itu? Membunuh orang begitu saja dan membuntungi lengan orang pula? Apakah artinya semua ini?”
“Go enghiong, kau kasihan kepada mereka?” tanya Kiang Cun Eng sambil tersenyum dan kalau dia tersenyum, lenyaplah bayangan kejam dan ganas pada mukanya yang cantik. “Orang orang ini adalah penjahat penjahat yang melakukan pelanggaran di wilayah yang kujaga! Tahukah kau mengapa aku menghukum mati kepada Toa Sam? Dia adalah seorang jai hwa cat (penjahat cabul) yang merusak dan mempermainkan banyak sekali anak bini orang di kota ini! Kepala daerah telah percaya kepada kami sebagai pencegah terjadinya kejahatan bukankah perbuatannya itu merupakan tamparan bagi nama kami? Apakah hukuman mati tadi kau anggap tidak sudah sepatutnya bagi seorang macam dia? Adapun Tangan Seribu itu, dia adalah seorang pencuri ulung yang datang dari luar kota dan ia kurang ajar sekali. Coba pikir, dia berani mencuri di dalam rumah kepala daerah sendiri! Inipun merupakan tamparan bagi kami dan sudah sepatutnya aku membikin buntung tangannya!”
Baru tahulah Ciang Le dan diam diam ia pun mengakui bahwa hukuman hukuman yang dijatuhkan itu tentu akan membikin kuncup hati para penjahat. Namun ia masih penasaran dan menganggap bahwa perbuatan seorang gadis cantik dengan hukuman hukuman kejam itu amat keterlaluan.
“Hm, kau bukan algojo, mengapa membunuh orang seperti membunuh ayam saja?”
“Habis, kalau menurut pendapatmu, Go enghiong yang budiman dan berhati mulia, apakah aku harus memperlakukan orang orang jahat itu dengan lemah lembut dan melepaskan mereka semua berkeliaran melakukan kejahatan tanpa diganggu?” suara gadis ini mengandung ejekan sehingga muka Ciang Le menjadi merah.
“Bukan demikian, hanya hukuman itu terlalu kejam dan ganas seperti perbuatan iblis saja! Bukan hakmu untuk menjatuhkan hukuman kepada mereka ini. Apakah tidak ada rasa kasihan dalam hatimu?”
Gadis itu menahan ketawanya dan tersenyum lebar. “Aha, jadi kau benar benar merasa kasihan kepada mereka? Baiklah, Go enghiong, kebaikan hatimu ini akan kusampaikan kepada mereka. Memandang mukamu sebagai tamuku, hari ini aku akan menurunkan semua hukuman mereka.” Cun Eng lalu mengangkat tangan kanannya yang memegang golok dan berkata dengan nyaring kepada semua orang yang masih berlutut, “Hai, kalian dengarlah baik baik! Hari ini aku kedatangan tamu agung yang berhati mulia, yakni Hwa I Enghiong, pemuda gagah dan budiman ini! Atas permintaannya dan melihat mukanya, baiklah aku mengurangi hukuman kalian dan memotong setengahnya!”
Orang orang yang tadinya berlutut dan menundukkan mukanya, kini mengangkat muka dengan girang sekali. Dengan wajah terharu dan berseri seri mereka lalu mengangkat kedua tangan di atas kepala, menyembah ke arah Hwa I Enghiong untuk menyatakan terima kasih.
Ciang Le yang berdiri dengan gagah di sebelah kiri Cun Eng lalu mengangkat tangan kirinya ke atas. “Kalian dengarlah baik baik! Sesungguhnya tidak seharusnya aku membela orang orang seperti kalian yang telah melakukan kejahatan, baik kejahatan kecil maupun besar. Orang orang seperti kalian ini wajib dihukum. Sekarang Kiang pangcu telah berlaku baik untuk mengurangi hukuman kalian, bukan sekali kali karena jasaku. Kepada pangcu inilah kalian harus berterima kasih. Kemurahan hati pangcu ini hendaknya kalian jadikan pedoman untuk kemudian hidup dengan jalan baik dan menebus dosa. Ingatlah bahwa kalau lain kali kalian masih saja melakukan perbuatan terkutuk, aku sendiri bahkan akan membantu Kiang pangcu untuk menangkap kembali dan memberi hukuman yang seberat beratnya!”
Cun Eng tersenyum manis mendengar ini dan ia lalu mengajak pemuda itu turun kembali meninggalkan tempat itu setelah berpesan kepada orang hukuman itu untuk mengubur jenazah Toa Sam di tempat kuburan umum.
Sambil menanti datangnya malam hari di mana akan diadakan perjamuan untuk menghormat tamu. Ciang Le dilayani oleh Cun Eng dengan segala keramahan. Pemuda ini benar benar merasa amat sungkan akan tetapi oleh karena ia telah menerima sambutan perjamuan itu, terpaksa ia menyabarkan diri, bahkan ia menggunakan kesempatan itu untuk bertanya dan bercakap cakap dengan Cun Eng tentang keadaan perkumpulan Hek kin kaipang yang aneh. Adapun ketua perkumpulan Pengemis Sabuk Hitam itupun agaknya sudah “jatuh hati” betul betul terhadap Ciang Le yang tampan, karena tanpa ragu ragu lagi Cun Eng menceritakan semua hal dan bahkan menceritakan pula siapa adanya tiga orang tua yang menjadi pembantu pembantu itu.
Cun Eng adalah puteri tunggal dari Kiang pangcu, ketua dan pendiri dari perkumpulan Hek kin kaipang, seorang tokoh kang ouw yang amat terkenal karena ilmu silatnya yang tinggi dan biarpun Kiang pangcu pernah menjadi seorang bajak tunggal, namun setelah berusia tua, ia mencuci tangan, bahkan lalu membentuk perkumpulan Hek kin kaipang yang sifatnya mengumpulkan semua pengemis dan menjaga keamanan kota di mana mereka tinggal!
Nama Kiang pangcu amat tersohor sebagai ketua perkumpulan Hek kin kaipang. Akan tetapi, lebih terkenal lagi adalah nama tiga orang pembantunya, yakni pertama tama Bi Mo li yang sebenarnya menjadi juga bini mudanya, setelah ibu dari Cun Eng meninggal dunia, Bi Mo li menjadi kekasih Kiang pangcu. Orang ke dua Siang tung him, seorang yang tampan dan gagah, bekas perampok tunggal yang menjadi sahabat baiknya pula. Akan tetapi, bukan merupakan rahasia lagi bahwa di antara Bi Mo li dan Siang tung him, terdapat perhubungan rahasia. Bahkan Kiang pangcu sendiri juga tahu akan hal ini, akan tetapi ia diam saja karena kalau ia bertindak, berarti ia akan melemahkan kedudukannya. Baik Bi Mo li maupun Siang tung him merupakan pembantu pembantu yang cakap dan lihai.
Akan tetapi orang yang merasa marah dan sakit hati melihat kejadian ini adalah Cun Eng! Gadis ini telah mewarisi kepandaian ayahnya. Beberapa kali ia mengatakan kepada ayahnya untuk turun tangan memberi hajaran kepada ibu tirinya dan Siang tung him yang dianggap mencemarkan nama ayahnya dan bahkan dianggap menghina ayahnya. Akan tetapi ayahnya bahkan mencegahnya. Sebaliknya, diam diam Kiang pangcu menderita tekanan batin hebat dengan menyelewengnya Bi Mo li yang sudah menjadi bini mudanya itu Ia terlalu mencinta Bi Mo li dan juga sayang kepada Siang tung him berhubungan rahasia itu merupakan pukulan batin dan akhirnya Kiang pangcu yang sudah tua itu jatuh sakit. Di dalam sakitnya, mengingau dan tanpa disadarinya ia memaki maki Bi Mo li dan Siang tung him.
Mendengar igauan ayahnya ini larilah Cun Eng keluar, mencari Siang tung him dan menyerangnya. Pertempuran hebat terjadi, akan tetapi akhirnya Siang tung him kalah dan roboh. Dengan ganas sekali Cun Eng lalu menggunakan siangtonya (golok sepasang) untuk membuntungi kaki kiri Siang tung him yang tampan itu! Setelah itu, Cun Eng lalu mencari ibu tirinya, Bi Mo li juga tidak menyerah begitu saja karena iapun memiliki ilmu silat yang tinggi. Namun, ilmu kepandaian Cun Eng telah meningkat tinggi, bahkan mungkin tidak kalah oleh ayahnya sendiri, maka setelah bertempur dengan hebatnya akhirnya juga Bi Mo li dapat dirobohkan!
Tadinya Cun Eng hendak menenggal leher wanita itu. Bi Mo li menjerit minta ampun sehingga golok di tangan gadis itu hanya menggurat sekitar leher bi Mo li yang menjadi ketakutan dan pingsan karena mengira bahwa lehernya akan di babat! Ketika ia siuman kembali, ternyata bahwa kulit lehernya sudah digurat sekelilingnya agak dalam, sehingga, untuk selamanya kulit lehernya akan menjadi cacad!
Adapun Beng san kui, kakek bongkok itu tadinya adalah seorang tokoh kang ouw yang menaruh hati dendam kepada Kiang pangcu. Ia datang hendak membalas dendam, akan tetapi ia mendapatkan musuh besarnya meninggal dunia dan kedatangannya disambut oleh Cun Eng yang menggantikan ayahnya menjadi ketua dan kakek bongkok ini juga roboh di tangan Cun Eng, bahkan kemudian diangkat menjadi pembantu!
Ciang Le yang mendengar semua penuturan ini, diam diam menarik napas panjang dan merasa sayang bahwa gadis seperti Cun Eng terlahir di tengah tengah lingkungan orang orang kasar dan jahat seperti itu. Tidak mengherankan bahwa gadis ini menjadi seorang yang ganas, kejam, genit dan tak tahu malu, di samping sifatnya yang baik, yakni memberantas kejahatan.
“Aku mendengar Bi Mo li menyatakan bahwa guru guruku, Thian Te Siang mo, adalah musuh musuh besar kalian. Benarkah ini, dan mengapa demikian?” tanya Ciang Le.
“Kau benar benar tabah dan berani sekali mengajukan pertanyaan ini, Go enghiong. Keberanian inilah agaknya yang membuat aku amat tertarik kepadamu. Kedua orang gurumu itu pernah mengganggu ayahku, dan ayah telah dikalahkan oleh mereka. Juga, belakangan ini, Thian Te Siang mo pernah pula bentrok dengan Bi Mo li dan kedua orang pembantuku. Soalnya mudah saja diduga, karena Bi Mo li memang menaruh hati dendam kepada guru gurumu, karena... karena sesungguhnya gurumu Te Lo mo itulah yang membuka rahasia tentang perhubungan rahasia antara Bi Mo li dan Siang tung him kepada mendiang ayahku!”
Ciang Le mengangguk angguk. Kini tahulah ia mengapa Bi Mo li demikian benci kepada guru gurunya.
Malam itu tiba dan perjamuan yang dijanjikan itu diadakan di ruang tengah yang telah diterangi oleh banyak sekali api lilin. Di situ hadir Cun Eng, Bi Mo li, Siang tung him Beng san kui, dan kepala daerah Taigoan, seorang gemuk bermuka ramah, she Lo dengan seorang kepala pengawalnya, seorang yang berpakaian sebagai guru silat yang bernama Lai Sui. Lai Sui ini merupakan bayangan dari Lo taijin, ke mana juga Lo taijin berada, tentu Lai Sui berada di sampingnya!
Hidangan yang dikeluarkan adalah masakan masakan yang paling istimewa, sedangkan arak yang mengalir di tenggorokan mereka juga arak yang termahal dan wangi. Tidak mengherankan apabila Lo taijin sebentar saja telah menjadi setengah mabok. Sambil mengelus elus perutnya yang makin gendut karena daging, ia berdiri dan mengisi sendiri cawan arak yang telah kosong di depan Cun Eng lalu berkata,
“Sungguh aku orang she Lo amat berbahagia dapat duduk makan semeja dengan Kiang pangcu atau Kiang siocia yang perkasa dan cantik jelita, pelindung kota Taigoan yang ternama. Harap siocia sudi menerima penghormatanku secawan arak!”
Dipuji puji oleh kepala daerah ini, Cun Eng hanya tersenyum dan segera mengangkat cawan araknya dan diminum kering. Pipinya yang memerah itu menjadi makin kemerahan dan menarik hati sekali. Dari percakapan yang terjadi selagi mereka makan minum, tahulah Ciang Le bahwa perhubungan antara kepala daerah dan pemimpin pemimpin Hek kin kaipang ini erat sekali dan Hek kin kai pang benar benar dipandang tinggi dan dihormati oleh kepala daerah Taigoan.
Semua orang kecuali Bi Mo li yang selalu muram dan cemberut atau kadang kadang mengerling ke arah Ciang Le dengan penuh kebencian, dan Ciang Le yang bersikap tenang tenang saja, nampak bergembira Cun Eng bicara dengan wajah berseri seri, mata bersinar sinar, dan senyumnya murah sekali, Sian tung him yang berwajah tampan itu pun tersenyum senyum, demikian pula si bongkok dan Lai Sui pengawal Lo taijin. Mereka semua telah dipengaruhi oleh wajah pangcu yang cantik itu dan oleh arak wangi yang keras.
Ciang Le membatasi dirinya dalam minum arak, karena ia tidak mau kalau sampai menjadi mabok dan lupa daratan. Akan tetapi sambil tersenyum, Cun Eng menggerakkan ujung sabuknya yang berwarna hitam terbuat dari sutera lemas dan yang melambai di depan tubuhnya. Sabuk sutera hitam itu melayang di atas meja dan bagaikan lengan yang lemas dari seorang puteri juita, ujung sabuk itu membelit guci arak yang besar dan berat, kemudian begitu Cun Eng mengerakkan tangan nya yang memegang sabuk itu, ujung sabuk lalu bergerak mengangkat guci itu ke atas.
Sambil mengerling ke arah Ciang Le dengan sepasang matanya yang bening dan indah, barengi senyumnya yang manis, Cun Eng lalui menggunakan ujung sabuk itu yang telah membelit guci untuk menuangkan guci itu dan memenuhi cawan Ciang Le! Pemuda ini terkejut sekali melihat demonstrasi lweekang yang tinggi ini. Sabuk sutera itu lemas saja, akan tetapi di dalam tangan nona ini dapat menjadi hidup. Dengan lweekangnya yang tinggi, nona itu dapat mempergunakan sabuk itu seperti orang mempergunakan lengan tangannya sendiri. Dari sini saja dapat dilihat, bahwa selain sepasang goloknya, nona ini tentu seorang ahli dalam permainan senjata istimewa, yakni sabuknya.
“Go koko (engko Go), marilah kita minum untuk kebahagiaan pertemuan ini,” kata Cun Eng dengan nona ini menggigit bibir bawah dengan sikap genit sekali.
Bi Mo li memandang kepada ketuanya dengan sinar mata tajam penuh pertanyaan “Koko….? Apa pula ini?” tanyanya. Memang sebagai ibu tiri, Bi Mo li ini kadang kadang bersikap sebagai seorang tua terhadap puterinya kepada Cun Eng.
Dalam keadaan biasa mungkin sekali kata kata ini dapat menimbulkan kemarahan Cun Eng. Akan tetapi pada saat itu gadis ini sedang bergembira, maka sambil tertawa ia berkata, “Hwa I Enghiong adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan budiman. Tidak patutkah ia menjadi kokoku?”
Bi Mo li hanya menjebikan bibirnya dan berkata. “Hm…!” Akan tetapi tidak berkata apa apa lagi hanya menenggak araknya di dalam cawan dengan hati gemas sekali.
Ciang Le tak dapat menolak suguhan arak yang dilakukan secara istimewa oleh ketua Hek kin kai pang itu. Ia tidak mau menunjukkan kelemahannya. Sambil mengangguk dan mengucapkan terima kasihnya, ia lalu memegang cawannya yang penuh tanpa mengangkat cawan itu, lalu tangannya menekan meja sambil mengerahkan lweekangnya. Meja sedikit bergetar akan tetapi arak di dalam cawan itu bergelombang lalu memercik ke atas bagaikan sebuah pancuran air dan semua arak itu masuk ke dalam mulutnya. Tidak setetes arakpun tumpah di atas meja!
Melihat demonstrasi yang dilakukan oleh Cun Eng dan Ciang Le, Lo taijin terbelalak memandang dengan penuh kekaguman. “Ah, benar benar hebat. Hwa I Enghiong memang pantas sekali menerima penghormatan dari Kiang pangcu.” Ia lalu menoleh kepada pengawalnya dan menepuk bahunya, “Eh, Lai suhu, kaupun harus memberi hormat kepada Hwa I Enghiong yang gagah ini!”
Pembesar ini biarpun tidak mengerti ilmu silat, namun ia selalu dikawal oleh Lai Sui yang ilmu silatnya cukup tinggi. Maka melihat orang orang mendemonstrasikan kepandaiannya, ia tidak mau kalah muka dan ingin pula memamerkan kepandaian pengawalnya. Lai Sui mengerti akan hal ini. Sebetulnya dia sendiri tidak berani sembarangan memperlihatkan kepandaian karena ia tahu bahwa kepandaian dari nona ketua itu masih lebih lihai daripada kepandaiannya sendiri, akan tetapi oleh karena majikannya mendesak, ia tidak berani menolak atau membantah. Sambil tersenyum sungkan ia lalu berdiri dari menjadi kecil itu kedalam mulutnya. Akan tetapi ketika ia mencabut sepasang sumpit itu dari mulutnya, sumpit itu telah patah dan potongannya tertinggal di dalam mulut!
Ciang Le makan daging itu dengan enaknya dan Lo taijin sampai melongo memandangnya karena mengira bahwa pemuda itu telah makan potongan sumpit gading! Akan tetapi tiba tiba Ciang Le meniup ke atas dan dua potongan sumpit gading itu melayang lalu menancap di tiang melintang yang berada di atas kepala mereka! Kemudian Ciang Le mengangkat cawannya yang masih ada sedikit araknya, lalu diminumnya. Juga ketika mengangkat cawan ini, seakan akan ia tidak tahu bahwa cawan itu telah amblas sampai setengahnya.
Bukan main kagumnya semua orang yang berada di situ, termasuk Cun Eng, Gadis ini menjadi makin kagum dan suka kepada Ciang Le dan kerlingnya makin tajam menarik.
“Bi Mo li, kau belum memberi hormat!” kata Cun Eng yang menghendaki agar semua orang memberi hormat kepada pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Bi Mo li sudah setengah mabok seperti yang lain, dan kebenciannya terhadap pemuda itu membuat dia makin marah saja ketika disuruh memberi hormat. Ia memegang cawan araknya yang terbuat dari pada perak, menggenggamnya lalu tertawa dan melemparkan cawan kosong itu ke depan Ciang Le.
“Murid Thian Te Siang mo hanya patut dihormati di dalam peti mati!”
Ketika semua orang melihat, ternyata bahwa cawan perak yang digenggamnya tadi kini telah menjadi hancur berkeping keping di atas meja depan Ciang Le.!
...Halaman 1-6 hilang...
“Kiang siocia, harap kau ampunkan dia. Memang benar tidak disengaja ia melukai kau…”
Sinar mata gadis itu berubah heran. “Apa? Kau yang akan dibunuhnya bahkan mintakan ampun? ”
“Ia memang benci kepadaku, kepada suhu suhuku. Sudahlah, ampunkan saja dia.”
Juga Lo taijin yang merasa ketakutan dan tidak enak sekali melihat peristiwa ini, berdiri dan berkata. “Kiang pangcu, harap kau suka memberi maaf kepadanya. Untuk apakah ribut ribut dengan orang sendiri? Dan pula karang sudah jauh malam, harap kau maafkan, aku harus pulang karena besok banyak sekali pekerjaan yang harus ku selesaikan.”
Setelah berkata demikian, pembesar ini lalu menjura kepada Cun Eng dan Ciang Le, yang dibalas oleh gadis itu, Lo taijin merasa ngeri, melihat tangan gadis itu masih saja mengalirkan darah. Maka ia lalu buru buru mengajak Lai Sui untuk segera meninggalkan tempat itu.
Bi Mo li masih berdiri sambil menundukkan mukanya di depan Cun Eng, sementara itu, kakek bongkok dan kakek buntung masih terus saja minum arak, seakan akan tidak terjadi sesuatu yang hebat!
“Siang tung him, Beng san kui! Bawa dia ke belakang, keram dalam kamar gelap!” perintah Cun Eng kepada dua orang kakek itu Siang tung him dan Beng san kui saling pandang, akan tetapi merekapun tidak berani membantah perintah ketua ini, dan tak lama kemudian Bi Mo li dipegang tangan kiri kanannya oleh dua orang kakek itu yang membawanya pergi dari situ. Terdengar isak tangis nenek itu ketika ia dibawa pergi.
“Go koko, harap kau maafkan kekurang ajaran Bi Mo li. Aku akan memberi hukuman yang setimpal padanya.” kata Cun Eng sambil mulai membalut tangan kirinya dengan saputangan.
Ciang Le merasa jemu dan tidak enak hati sekali melihat seraja peristiwa tadi. Akan tetapi ketika ia melihat tangan kiri gadis itu yang berdarah, timbul rasa haru dan kasihan. Betapapun juga, boleh dibilang gadis itu telah menolongnya, bahkan menolong nyawanya karena harus ia akui bahwa serangan gelap tadi benar benar amat berbahaya dan ia tidak berdaya untuk menghindarkan diri...