Pendekar Budiman Jilid 07
BU IT HOSIANG tentu saja mengerti akan sindiran ini, maka juga dengan keras ia berkata, “Pinceng telah mengalahkan gurumu, Liang Bi Suthai tokoh Hoa san pai yang terkenal. Sebaliknya kau sebagai muridnya, telah mengalahkan suteku. Bukankah hal ini aneh sekali? Entah kau yang memiliki kepandaian melebihi gurumu, entah suteku yang goblok sekali! Oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau pinceng sendiri mencoba dan mengukur sampai di mana tingkat kepandaianmu. Apakah kau takut, nona? Kalau kau takut, pinceng takkan memaksa dan kau boleh kembali ke Hoa san!"
“Kakek gundul, siapa takut?" Bi Lan gemas juga karena dengan pandai hwesio itu dapat membalasnya dengan kata kata. "Lekas gerakkan toyamu pemukul anjing itu."
Bu It Hosiang tersenyum mengejek. "Untuk apakah aku harus bersenjata menghadapi seorang anak kecil? Lebih tepat kalau kau mengeluarkan senjatamu, biar pinceng melawan dengan tangan kosong!"
“Betulkah? ” kata Bi Lan dan cepat bagaikan kilat ia telah mengambil tombak pendek milik Ciang Kui San tadi yang masih berada di panggung itu, sekali ia menggerakkan tombak itu yang dipegang pada gagangnya, ia telah melakukan serangan yang hebat sekali!
Bukan main kagetnya Bu It Hosiang. Tombak pendek ini setelah berada di tangan Bi Lan ternyata dimainkan seperti sebatang pedang dan nona ini karena dapat menduga akan kelihaian lawannya, tidak mau main main seperti menghadapi Ciang Kui San tadi, sebaliknya datang datang ia telah mainkan Sin coa Kiam hwat, ilmu pedang yang ia pelajari dari Coa ong Sin kai. Hebat sekali ilmu pedang ini, dan pula Ilmu Pedang Sin coa Kiam hwat dari Coa ong Sin kai ini jarang sekali diperlihatkan di dunia kang ouw. Oleh karena iu ilmu pedang ini masih asing bagi semua orang yang berada di situ.
Bu It Hosiang benar benar merasa terkejut. Tadipun ketika ia melihat gadis ini menghadapi Ciang Kui San, ia sudah merasa heran karena ilmu silat tangan kosong yang dimainkan oleh Bi Lan bukanlah ilmu silat Hoa san pai. Kini dengan tombak pendek gadis ini mainkan ilmu pedang yang aneh dan luar biasa sekali lagi. Maka hwesio ini lalu berseru dan toyanya menyambar nyambar dengan dahsyat sekali sehingga Bi Lan harus berlaku awas dan cepat sekali. Namun gadis ini tidak menjadi takut, bahkan ia pun lalu mainkan ilmu pedangnya yang terpecah menjadi tiga bagain dan setiap bagian mempunyai sembilan jurus yang lihai.
Bu It Hosiang sudah pernah menyaksikan ilmu pedang Hoa san pai, bahkan ia beberapa kali pernah menghadapi ilmu pedang ini, maka melihat jalannya ilmu pedang yang dimainkan oleh Bi Lan, ia benar benar tidak mengerti.
Beberapa kali mendesak, akan tetapi sia sia saja karena permainan pedang yang juga bukan mempergunakan pedang asli, melainkan sebatang tombak pendek dari gadis ini tidak dapat didesaknya, bahkan beberapa kali tombak menyerang dengan cara yang amat dahsyat sehingga membingungkan Bu It Hosiang.
“Tahan dulu!” hwesio itu berseru keras sambil meloncat mundur dan mengeluarkan toyanya yang dipalangkan di depan dada.
“Ada apa, Bu It Hosiang? Apakah kau sudah merasa cukup?” tanya Bi Lan mengejek.
“Nona, pinceng lihat kau tidak mengguna ilmu pedang dari Hoa san pai! Betul betulkah kau seorang murid Hoa san pai? Jangan kau main main. Ilmu pedang apakah yang kau mainkan tadi? Juga, ilmu pukulanmu ketika kau merobohkan Ciang enghiong tadipun bukan dari Hoa san pai!”
Bi Lan biarpun suka bergurau, namun mempunyai watak jujur. Ia tertawa dan menjawab, “Aku memang anak murid Hoa san pai, itu tak dapat disangkal lagi. Akan tetapi, guru guruku tidak melarangku untuk mempelajari ilmu silat lain. Apakah kau jerih menghadapi ilmu pedangku tadi?”
“Siapa jerih kepadamu? Kulihat ilmu pedangmu aneh seperti ilmu kepandaian siluman. Agaknya kau dapat belajar dari seorang iblis!”
Merah muka Bi Lan mendengar ini. Memang Bu It Hosiang mempergunakan akalnya. Hwesio yang sudah banyak pengalaman ini maklum bahwa menghadapi seorang lincah dan berani seperti nona ini, kalau ia bertanya siapa guru nona ini mengajar ilmu pedang itu tentu ia hanya akan dipermainkan saja. Maka ia mendahului dan sengaja mencaci maki guru nona itu untuk membangkitkan kemarahannya. Memang benar. Bi Lan yang menjadi marah lupa untuk bergurau dan ia segera mengaku.
“Hwesio tua lancang mulut. Kau hendak bilang bahwa guruku yang baru Coa ong Sin kai seorang iblis? Hati hati kau dengan mulutmu, hwesio!”
Terdengar seruan seruan kaget. Bahkan Sam Thai Koksu sendiri sampai bangun dari tempat duduknya. Sin kun Liu Toanio, dan juga Bu eng Lo kai juga bangun dari bangku masing masing, memandang kepada Bi Lan dengan mata terbelalak. Adapun Bu It Hosiang menjadi pucat dan otomatis memandang ke sana ke mari untuk melihat apakah manusia iblis yang ditakuti itu benar benar berada ditempat ini!
“Kau mencari suhuku? Ha ha! Bu It Hosiang, jangan kau ketakutan. Suhu tidak berada di sini, kalau tidak kupanggil dia takkan datang. Jangan kau takut!”
Akan tetapi Bi Lan melihat ke sekelilingnya dan ia menjadi terkejut sekali karena sebagian besar orang orang yang berada di situ memandang kepadanya dengan sikap bermusuhan dan mengancam. Bahkan Sam Thai Koksu sudah menghampirinya dan Kini Liong Hoat eng, berseru keras, “Murid si jahat berada di sini, kalau kita tidak menghajarnya, si jahat Coa ong Sin kai takkan tahu rasa!”
“Betul, si ular jahat itu memang masih hutang beberapa pukulan dari aku!” berkata Bu eng Lo kai dan tahu tahu tubuhnya bergerak dan telah berdiri di hadapan Bi Lan. “Anak ular, kau rebahlah!” ketika tongkat bambunya melayang ke arah kepala Bi Lan, gadis ini cepat menangkis dengan tombak pendeknya. Akan tetapi Bi Lan terkejut sekali karena telapak tangannya terasa sakit sekali dan hampir saja tombak pendeknya terlepas dari pegangan. Ia menjadi marah dan tangan kirinya memukul dengan gerakan Ouw wan hian to ( Lutung Hitam Persembahkan Buah ) sebuah serangan dari Ilmu Silat Ouw wan ciang hoa dari Coa ong Sin kai.
Kini Bu eng Lo kai yang terkejut sekali. Ia adalah seorang hiap kek perantau yang sudah banyak makan asam garam dalam dunia, persilatan, maka ia tahu akan bahayanya serangan kilat ini. Iapun pernah pula menghadapi Ouw wan ciang hoat dari Coa ong Sin kai, maka ia tidak berani main main dan cepat ia mengelak sambil berkata, “Bagus, kau memang murid si jahat!”
Kim Liong Hoat ong melihat betapa kakek pengemis itu sudah turun tangan, lalu iapun tidak mau kalah, cepat ia mencengkeram dengan tangan kanannya ke arah pundak kiri Bi Lan. Nona ini cepat melompat sambil mengelak, karena cengkeraman yang mendatangkan angin keras itu benar benar tidak kalah lihainya oleh senjata senjata tajam lainnya. Bi Lan benar benar sibuk, baru saja ia mengelak, datang sambaran toya dari Bu It Hosiang dari belakang! Ia melompat ke atas dan disambar oleh tongkat dari Bu eng Lo kai. Ia dikeroyok oleh tiga orang tokoh persilatan yang tingkatnya jauh lebih tinggi daripadanya. Akan tetapi gadis ini tidak menjadi gentar dan ia memutar tombak pendeknya sedemikian rupa, mainkan Sin coa kiam hoat sebaik baiknya sehingga untuk beberapa lama ia dapat mempertahankan diri dengan baiknya.
Akan tetapi ketika Bu eng Lo kai berseru keras dan menghantamkan tongkat bambunya kepada tombak di tangan Bi Lan, gadis ini berseru, tombaknya patah dua dan terlepas dari pegangannya! Tangan Kim Liong Hoat ong yang mencengkeram itu telah datang lagi mengarah kepala sedangkan toya Bu It Hosiang kembali telah menyambar pula Bi Lan menjadi sibuk sekali dan ia lalu menggulingkan tubuhnya ke lantai dan menyerang dengan tendangan kaki bertubi tubi sambil melompat bangun. Inipun sebuah jurus tipu serangan dari Ouw wan ciang hoat yang lihai sekali sehingga untuk beberapa jurus gadis ini masih dapat mempertahankan diri dan mengejutkan tiga orang pengepungnya. Akan tetapi Bi Lan maklum bahwa kali ini ia takkan terlepas lagi dan pasti akan celaka. Ia tidak mengira sama sekali bahwa dengan menyebutkan nama Coa ong Sin kai sebagai gurunya, ia dimusuhi oleh semua orang kang ouw!
“Suhu…! Coa ong Sin kai…! Mengapa suhu tidak menolong teecu?” Bi Lan berteriak teriak keras sekali. Maksud gadis ini hanya menakut nakuti para pengeroyoknya untuk mencari kesempatan melarikan diri.
Benar saja, tiga orang pengeroyoknya terkejut mendengar ini dan untuk sesaat serangan mereka mengendur. Mereka berhati hati sekali sambil memandang ke sekeliling, takut kalau betul betul Coa ong Sin kai muncul. Karena hal itu berbahaya sekali bagi mereka.
Bi Lan mempergunakan kesempatan ini hendak lari, akan tetapi melihat gerakan ini, tiga orang pengeroyoknya yang terdiri dari orang orang yang sudah berpengalaman, dapat menduga akan akal bulusnya ini.
“Ha ha ha, ular betina. Kau jangan menipu kami! Kali ini, biarpun si jahat Coa ong Sin kai sendiri berada di sini, kau takkan terlepas dari senjata kami!” kata Bu It Hosiang yang kembali menggerakkan toyanya menghantam kepala Bi Lan. Gadis ini cepat mengelak dan “brak!” toya yang kuat sekali itu menghantam lantai sehingga papan lantai itu pecah dan bolong!
Sementara itu, di bawah panggung, Sin kun Liu Toanio berkata kepada dua orang muridnya. “Kalau saja nona itu bukan murid Coa ong Sin kai, tentu aku akan turun tangan memberi hajaran kepada tua bangka tua bangka yang tak tahu malu itu! Untuk apa kita berada lama lama di tempat ini? Hayo pergi!” Setelah berkata demikian, nenek ini lalu melompat pergi diikuti oleh dua orang muridnya, menghilang di dalam gelap.
Bi Lan sudah terdesak betul betul. Ketika tangan Kim Liong Hoat ong menyambar lehernya, ia sedang mengelak dari serangan tongkat dan toya, maka ia hanya miringkan tubuhnya saja. “Brett!” biarpun lehernya terhindar dari bahaya, namun cengkeraman ini masih saja mengenai pundaknya sehingga pakaian gadis ini di bagian pundak terkena cengkeraman dan robek, kulitnya terbawa sedikit sehingga berdarah pundak Itu.
“Suhu, benar benar suhu tidak muncul?” kembali Bi Lan berseru keras sambil melakukan serangan pembalasan mati matian kepada Kim Liong Hoat ong, yaitu sambil menubruk maju ia memukul ke arah ulu hati kakek ini. Akan tetapi, Kim Liong Hoat ong hanya tertawa mengejek dan sekali ia menangkis, tubuh Bi Lan terhuyung dan celaka sekali bagi gadis ini, ia kena injak papan yang bolong, yang tadi terpukul oleh toya Bu It Hosiang.
“Celaka!” seru gadis ini dengan muka pucat karena kakinya terjeblos sampai di paha bawah panggung! Pada saat itu, toya Bu It Hosiang kembali menyambar kepalanya dengan keras sekali Bi Lan merobohkan dirinya ke belakang sehingga telentang di atas lantai dan toya itu menyambar lewat di atas mukanya dan memukul lantai yang kembali menjadi bolong!
Pada saat yang sudah pasti akan menewaskan nyawa gadis itu, tiba tiba bertiup angin keras dan tahu tahu tubuh seorang kakek tinggi kurus yang matanya liar, pakaiannya tidak karuan memegang sebatang tongkat atau ranting bambu warna kuning, berbintik bintik hijau telah berdiri disitu sambil tertawa terkekeh kekeh dan berkata,
“Siauw niauw, siapa mengganggu kau?”
Pada saat itu, tongkat bambu dari Bu eng Lo kai telah menusuk ke arah jalan darah di leher Bi Lan sedangkan toya dari Bu It Hosiang telah menyambar lagi, kini untuk memberi pukulan maut ke arah dada gadis itu, juga Kini Liong Hoat ong telah mengirim tendangan ke arah kepala Bi Lan!
Hebat sekali akibat dari tiga macam serangan itu setelah kini kakek aneh itu berada di dekat Bi Lan. Dengan kecepatan yang tak terduga sama sekali, ranting bambunya telah melayang dan mendahului gerakan Bu eng Lo kai, menotok jalan darah di leher pengemis tua ini sehingga ia roboh kaku tertotok jalan darahnya. Kemudian, ketika toya Bu It Hosiang mengarah dada Bi Lan, kakek liar matanya ini menggerakkan kaki menendang dan aneh sekali, Toya itu ketika beradu dengan ujung kakinya, terpental dan membalik, bukan memukul dada Bi Lan, bahkan sebaliknya memukul dada Bu It Hosiang sendiri!
Baiknya Bu It Hosiang telah mengerahkan lweekangnya, maka ketika toyanya melakukan gerakan senjata makan tuan ini terdengar suara “buk” dan ia hanya merasa terdorong oleh tenaga besar sehingga tubuhnya terguling ke bawah panggung. Adapun Kim Liong Hoat ong adalah yang paling cerdik. Melihat datangnya kakek ini, ia telah melompat mundur menjauhi dan kini semua orang melihat kakek itu menarik tangan Bi Lan disuruh berdiri.
“Coa ong Sin kai …!” berseru orang orang kang ouw ketika melihat kakek jembel ini.
Coa ong Sin kai tertawa terkekeh kekeh, kemudian ia menudingkan jari telunjuknya yang hanya tulang terbungkus kulit itu ke arah Saru Thai Koksu sambil berkata,
“Kalian ini Sam Thai Koksu yang keluar dari neraka, menjelma di dunia hanya untuk membikin rusuh! Kalau kalian tidak menyerahkan nyawamu padaku, akan kubasmi semua orang di sini. Hayo maju berlutut!”
Sam Thai Koksu menggigil, akan tetapi mereka adalah tokoh tokoh besar dan tentu saja mereka tidak sudi mentaati perintah ini. Bahkan ketiganya lalu mencabut senjata masing masing dan Kim Liong Hoat ong merasa jerih lalu berteriak kepada para tamunya, “Calon calon anggauta Eng hiong hwee, cu wi enghiong yang mulia. Si jahat ini telah datang, mari kita basmi bersama!”
Orang orang yang berkumpul di situ, hampir semua membenci Coa ong Sin kai yang sudah banyak membunuh orang tanpa sebab, yang sudah banyak merobohkan tokoh tokoh kang ouw, maka serentak mereka itu mencabut senjata dan bersiap mengeroyok!
Melihat ini, Coa ong Sin kai menari nari kegirangan dan berkata, “Sayang, sayang, ular ularku tidak berada di sini. Kalau ada mereka akan berpesta pora! Baik, baik, malam ini aku akan mengantar banyak nyawa kesasar kembali ke asalnya!”
Setelah berkata demikian, kaki tangannya bergerak dan terdengar suara “kraak! kraak!” keras sekali. Ternyata tiang tiang panggung itu hampir roboh. Ketika ia melihat tubuh Bu eng Lo kai masih terbaring kaku di lantai panggung, ia lalu mengangkat kaki menginjak kepala pengemis itu.
“Praak!” Pecahlah kepala Itu dan otaknya berhamburan. Kemudian ia menendang mayat Bu eng Lo kai itu ke bawah panggung!
“Suhu, jangan!” Bi Lan mencegah dan merasa ngeri sekali. Gadis ini tahu bahwa gurunya ini kalau sudah marah, amat kejamnya. Gurunya yang berotak miring ini memang pembenci manusia dan akan terjadi perkara mengerikan sekali kalau suhunya ini melanjutkan amukannya.
Akan tetapi Coa ong Sin kai sudah kumat gilanya, ia memondong tubuh muridnya dan membawanya melompat ke bawah panggung. Sekali saja ia menggerakkan kaki menendang tiang besar yang menyangga panggung, terdengar suara keras dan panggung itu roboh, membawa para tokoh besar yang masih duduk di ujung panggung. Mereka yang duduk di atas itu adalah Sam Thai Koksu dan para tokoh tua yang berkepandaian tinggi, maka cepat mereka bergerak melompat turun sehingga semua selamat, kecuali tiga orang pelayan yang ikut jatuh bersama panggung dan tertimpa oleh tiang tiang dan atap sehingga mereka menjerit jerit seperti babi disembelih!
Suma Kwan Seng yang melihat hal ini, menjadi marah sekali. Orang tertua dari tokoh Hui eng pai ini memang bernyali besar sekali, dan juga ia memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Melihat sepak terjang Coa ong Sin kai, ia menjadi marah sekali dan sambil berseru keras ia mencabut pedang lalu menerjang orang gila yang mengamuk itu.
“Pengemis gila, kau jahat dan kejam sekali!”
“Jangan...!” Bi Lan masih berseru mencegah perbuatan Suma Kwan Seng dan juga mencegah gurunya bertindak, akan tetapi terlambat!
Melihat terjangan Suma Kwan Seng yang memutar pedang dan menyerang dengan hebatnya, menusuk ke arah dada Coa ong Sin kai, pengemis sakti ini tertawa bergelak gelak dan ranting bambu di tangannya memapaki pedang itu. Sungguh aneh, ranting itu bagaikan seekor ular, dapat melengang lenggok dan membelit pedang itu, dan ketika Suma Kwan Seng hendak membetot kembali, tahu tahu ia bahkan terdorong ke depan, terbawa oleh tenaga tarikan dari Coa ong Sin kai yang benar benar kuat sekali itu.
Kwan Seng terkejut sekali dan ia tahu akan bahaya. Seandainya ia melepaskan pedangnya dan meloncat mundur, belum tentu keburu karena ia tahu akan kecepatan serangan kakek gila ini, dan jarak antara mereka sudan dekt sekali. Maka lalu menggerakkan tangan kirinya memukul kepala Coa ong Sin kai.
Kakek ini kembali tertawa dan dengan tangan kiri ia mengganti pegangan pada ranting bambunya dan dengan demikian tangan kanannya menerima pukulan itu. Gerakannya cepat sekali dan tahu tahu tangan kiri Suma Kwan Seng yang dipukulkan itu telah tertangkap pergelangannya. Ia memencet dengan tenaga lweekang dan Suma Kwan Seng memekik keras dan terdengar suara “krak” dan tulang pergelangan tangan ketua Hui eng pai itu remuk!
Suma Kwan Seng menjadi nekad sekali. Ia menahan napas, mengerahkan lwekangnya ke arah kepalanya, dengan nekad ia hendak mengadu nyawanya. Ia menyerudukkan kepalanya ke arah dada kakek itu. Akan tetapi Coa ong Sin kai bahkan meloncat sedikit ke atas sehingga yang kena serudukan bukan dadanya melainkan perutnya yang kempis itu! “Cep!” Kepala Suma Kwan Seng menancap di perut Coa ong Sio kai yang masih tertawa ha ha hi hi dan kepala itu tidak dapat terbetot kembali!
Suma Kwan Seng merasa betapa kepalanya sakit sekali, seperti dijepit oleh jepitan besi, berdenyut denyut dan makin lama makin panas. Juga ia tidak dapat bernapas lagi, sehingga kini hanya kedua kakinya yang bergerak gerak seperti orang sekarat.
“Celaka!” teriak Sam Thai Koksu dengan muka pucat.
“Bedebah lepaskan saudaraku!” Suma Kwan Eng mencabut senjatanya, yaitu sepasang tongkat bercagak dan ia menerjang. Akan tetapi Coa ong Sin kai sambil tertawa tawa lalu mengerahkan ambekannya dan tahu tahu tubuh Suma Kwan Seng terpental ke belakang bagaikan sebuah pelor besar menerjang ke arah adiknya sendiri! Suma Kwan Eng lalu melepaskan senjatanya dan menyambut tubuh kakaknya itu, akan tetapi alangkah kagetnya ketika melihat bahwa Suma Kwan Seng sudah mati dan pada kening dan jidatnya ada tanda tanda biru!
Suma Kwan Eng menjerit dan hampir ia pingsan saking marah dan sakit hatinya. Juga Sam Thai Koksu sudah bersiap siap untuk mengeroyok.
“Suhu, jangan banyak membunuh orang ....” Bi Lan kembali berseru, akan tetapi dijawab dengan tertawa menyeramkan oleh Coa ong Sin kai.
Pada saat itu dari atas melayang turun dua tubuh orang tua yang gerakannya ringan dan gesit sekali. “Coa ong Sin kai, orang gila! Biarpun kami senang melihat kau membunuh mereka semua, akan tetapi kau terlalu kejam dan terlalu gila!”
Coa ong Sin kai marah sekali dan cepat ia memandang. Tiba tiba matanya terbelalak lebar dan Bi Lan merasa heran sekali melihat wajah gurunya ini kelihatan takut! Ia cepat menengok dan melihat bahwa yang datang itu bukan lain adalah dua orang kakek kembar yang telah beberapa kali bertemu dengan dia dan main mata!
Dua orang kakek itu sambil tersenyum senyum berdiri di situ, nampak tenang tenang saja seperti di situ tidak terjadi perkara hebat. Keduanya memandang ke arah Coa ong Sin kai dengan senyum mengejek.
“Thian Te Siang mo...” Bibir Coa ong Sin kai berkata perlahan, akan tetapi suaranya cukup terdengar oleh semua orang sehingga muka orang orang itu menjadi makin pucat.
Baru mendengar dan melihat Coa ong Sin kai saja sudah membuat jantung mereka berdebar gelisah, kini nama Thian Te Siang mo membuat mereka seakan akan kehilangan semangat yang terbang keluar dari tubuh saking takutnya!
Sebaliknya Bi Lan cepat memandang dan ia terheran heran. Kedua kakek itu kelihatannya baik hati dan sabar, mengapa ditakuti semua orang kang onw dan dianggap amat kejam dan ganas?
Coa ong Sin kai tiba tiba menyambar tubuh Bi Lan, mengempit pinggang yang ramping dari muridnya itu sambil berseru. “Siauw niauw (burung kecil), mari kita terbang pergi dari sini!”
Setelah berkata demikian, sekali saja ia menggerakkan kedua kakinya, ia telah meloncat tinggi sekali dan lenyap di malam gelap.
“Suhu...! Aku tidak mau ikut suhu pergi…!” Suara gadis ini terdengar jauh sekali, tanda betapa hebatnya ilmu lari cepat dari Coa ong Sin kai itu.
“Sin kai, kau tidak boleh memaksa orang menjadi muridmu!” Te Lo mo berseru dan sekali tubuhnya berkelebat, kakek inipun lenyap dari pandangan mata. Thian Lo mo hanya tersenyum senyum saja.
Adapun Sam Thai Koksu setelah mengetahui bahwa dua orang kakek yang sama muka nya itu adalah Thian Te Siang mo yang amat terkenal di dunia kang ouw, lalu ketiganya maju menghampiri Thian Lo mo yang masih berdiri di situ. Dengan hormat sekali mereka menjura, lalu terdengar Kim Liong Hoat ong berkata, “Oh, tidak tahunya jiwi adalah Thian te Siang locianpwe yang amat terkenal di dunia? Siauwte bertiga menghaturkan hormat kepada jiwi dan silahkan duduk di dalam di mana kita dapat mengobrol dengan enak. Harap jiwi sudi memaafkan bahwa kami tidak mengetahui lebih dulu sehingga berlaku kurang hormat dan tidak mengadakan penyambutan yang selayaknya.”
Akan tetapi, melihat sikap yang bermuka muka ini, Thian Lo mo hanya memperlebar senyumnya, lalu sekali tangannya bergerak mendorong, ia telah melakukan serangan hebat sekali ke arah tiga orang Guru Negara Kin itu! Sam Thai Koksu cepat mengelak, akan tetapi angin dorongan itu tetap saja telah membuat mereka terhuyung huyung mundur sampai lima langkah lebih, seakan akan mereka itu tertiup oleh angin taufan yang kuat sekali!
Ketika Sam Thai Koksu menengok, ternyata Thian Lo mo sudah tidak kelihatan lagi! Mereka menarik napas panjang dan hati mereka menjadi kuncup. Baiknya orang orang seperti Thian Te Siang mo dan Coa ong Sin kai itu tidak mau mencampuri urusan negara, karena kalau mereka itu ikut campur dan memusuhi negara Kin, sungguh beratlah tugas mereka bertiga! Maka mereka lalu cepat menyuruh orang membereskan semua kerusakan dan mengurus semua jenazah yang menjadi korban keributan itu. Pesta dilanjutkan, akan tetapi sekarang sudah tidak dapat ditimbulkan kegembiraan seperti tadi. Semua orang telah ketakutan dan seorang demi seorang, mereka meninggalkan taman itu.
Betapapun cepatnya Coa ong Sin kai berlari, namun ketika fajar menyingsing dan ia telah tiba di tempat yang hampir seratus li jauhnya dari Cin an dan berhenti di pinggir jalan, tahu tahu dari belakangnya terdengar seruan keras.
“Coa ong Sin kai, kau lepaskan nona Itu!”
Pengemis ular ini terkejut dan marah sekali. Ia menurunkan Bi Lan dari pondongannya dan berkata kepada muridnya itu. “Bi Lan, benar benarkah kau tidak mau turut dengan aku dan hendak ikut mereka itu?”
Mendengar suara yang mengandung ancaman dan melihat sinar mata kakek ini, Bi Lan terkejut sekali dan tahu bahwa kalau ia salah omong, gurunya ini tentu takkan segan segan untuk membunuhnya! Maka ia berkata, “Suhu, siapa mau turut mereka? Aku tidak mengenal mereka itu. Aku hanya ingin hidup sendiri, tidak terikat oleh siapapun juga. Maka biarkanlah aku pergi sekarang, suhu.”
Sebelum Coa ong Sin kai menjawab, berkelebat dua bayangan orang dan tahu tahu Thian te Siang mo telah berada di depan mereka! “Coa ong Sin kai, kami tahu kau gila dan ganas. Nona ini mempunyai bahan yang baik, sayang kalau sampai rusak di tanganmu!”
“Iblis kembar! Kalian mau apakah mengejar ngejarku? Bi Lan ini adalah muridku, mengapa tidak kubawa pergi dari tempat celaka itu."
"Kami tahu bahwa dia pernah mempelajari ilmu silatmu yang ganas dan buruk, akan tetapi kamipun mendengar bahwa dia tidak mau ikut dengan kau lagi. Mengapa kau hendak memaksanya?”
“Tak tahu malu! Ada sangkut paut apakah kau dengan urusan kami guru dan murid? ” Coa ong Sin kai membentak dan mukanya menjadi merah saking marahnya. Kalau bukan Thian te Siang mo yang dihadapinya, tentu kakek ini sudah membunuh orang lagi.
“Sangkut paut apa? Kami telah memilihnya untuk mewarisi ilmu silat baru yang kami ciptakan!”
“Bagus!” Coa ong Sin kai melirik ke arah Bi Lan. “Bocah lancang, apakah kau berani hendak menipu gurumu? Kau harus mampus!” Setelah berkata demikian dengan cepat sekali Coa ong Sin kai menubruk dan mengirim serangan maut ke arah lambung muridnya sendiri!
Kalau lain orang yang diserang secara begini tentu ia akan roboh tak bernyawa lagi. Akan tetapi Bi Lan pernah mempelajari ilmu silat dari Raja Ular ini dan karena serangan yang dilakukan oleh Coa ong Sin kai itu adalah jurus dari Ouw wan ciang hoat yang pernah dipelajari oleh Bi Lan, maka dara ini tahu cara mengelaknya. Ia tahu bahwa gurunya menyerang dengan tipu Ouw wan tui san (Lutung Hitam Mendorong Gunung) yang tentu akan diteruskan dengan tendangan berantai yang dahsyat sekali. Maka gadis ini lalu menjatuhkan diri bergulingan di atas tanah dengan gerak tipu Trengiling Turun Gunung.
Memang ia selamat dari serangan pertama itu, akan tetapi Coa ong Sin kai sambil memaki maki terus melompat mengejarnya dan mengangkat tangan memukul! Pada saat itu terdengar bentakan keras, “Jangan bunuh dia!” Dan tubuh Coa ong Sin kai terpental ke belakang. Ternyata bahwa Thian Lo mo telah menangkis pukulan ini. Melihat betapa tubuh Coa on Sin kai terpental, dapat diduga bahwa tenaga lweekang dari Thian Lo mo lebih menang setingkat.
Coa ong Sin kai terkejut dan makin marah ia lalu menyabet dengan ranting bambunya. Sabetan ini tidak boleh dipandang ringan dan Thian Lo mo cukup maklum akan bahayanya sabetan ini. Walaupun senjata kakek ular itu hanya sebatang ranting bambu, namun ranting bambu itu bukanlah bambu biasa, melainkan bambu ular yang hanya terdapat di puncak bukit sebelah selatan Go bi san, sebuah bukit yang penuh ular di mana bambu kuning berbintik bintik hijau ini batangnya penuh dengan ular ular berbisa sehingga ranting bambu ini pun mengandung bisa yang jahat sekali! Thian Lo mo meloncat ke atas lalu berjungkir balik beberapa kali ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan ranting bambu.
Akan tetapi, Coa ong Sin kai maklum bahwa senjata nya ini ditakuti lawan, maka mengejar terus dan mendepak Thian Lo mo sebelum Te Lo mo datang membantu. Pikirnya, kalau ia dapat membunuh Thian Lo mo, biarpun dia harus menghadapi pedang dari Te Lo mo, ia takkan begitu merasa berat, pula biarpun andaikata ia akan mati di tangan Te Lo mo, ia tidak rugi kalau sudah berhasil membunuh Thian Lo mo.
Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa kepandaian Thian Lo mo tinggi sekali. Biarpun ia sedang berjungkir balik di udara, namun Thian Lo mo dapat melihat lawannya mendesak. Tiba tiba ia berseru keras.
“Coa ong Sin kai, terimalah jarum jarumku!” Dan ketika tangannya terayun, sekaligus tujuh batang jarum yang merupakan sinar emas menyambar ke arah tujuh jalan darah di seluruh tubuh Coa ong Sin kai. Itulah Kim kong touw kut cum (Jarum Penembus Tulang Bersinar Emas), salah satu keistimewaan atau kepandaian khusus dari Thian Lo mo!
Kini Coa ong Sin kai yang repot. Sambil menyumpah nyumpah pengemis ular ini memutar ranting bambunya sambil mengelak ke sana ke mari agar jangan sampai menjadi korban jarum jarum itu. Sebatang saja jarum mengenai tubuhnya, akan celakalah dia!
“Curang!” bentaknya marah setelah tujuh batang jarum itu dapat dielakkan. Akan tetapi Te Lo mo telah menghadapinya dengan sebatang pedang kayu! Pedang ini sepotong cabang pohon yang baru saja dipatahkannya dari batangnya.
“Ular hina dina, kau menyerang orang bertangan kosong, sekarang kau bilang orang lain curang? Nah, majulah, kebetulan sekali kami hendak mencoba ilmu silat kami yang baru!”
Coa ong Sin kai pernah bentrok dengan Thian Te Siang mo dan dulu ia sudah kena dikalahkan. Biarpun selama ini Coa ong Sin kai sudah melatih diri dan mendapat kemajuan pesat, namun ia tetap saja merasa jerih menghadapi dua orang kakek kembar yang tingkat kepandaiannya sudah lebih tinggi dari padanya itu. Akan tetapi, karena penasaran dan merasa betapa haknya sebagai guru dari Bi Lan hendak dirampas, ia tidak puas kalau tidak menyerang lebih dulu. Maka sambil berseru keras ia lalu menerjang dengan ranting bambunya yang lihai.
Te Lo mo mengeluarkan pekik menyeramkan dan pedang kayunya digerakkan secara aneh. Inilah Ilmu Silat Thian te kun yang baru baru ini diciptakan bersama kakak kembarnya. Ilmu Thian te kun ini dapat dimainkan baik dengan tangan kosong, berpedang, atau bahkan dengan senjata lain. Oleh karena itu, biarpun ia hanya memegang pedang kayu, namun kelihaiannya tidak kalah oleh pedang pusaka yang manapun juga!
Menghadapi permainan pedang kayu yang aneh ini, Coa ong Sin kai menjadi bingung dan sibuk sekali menjaga diri. Biarpun ranting bambunya cukup ganas, namun ia kalah cepat dan pula kalau gerakan ranting bambunya aneh, maka gerakan pedang kayu ini lebih aneh lagi!
Thian Lo mo hanya menonton saja, lalu sambil tersenyum ia berkata kepada Bi Lan, “Kau lihat, mana lebih hebat, ilmu silat orang gila itu ataukah ilmu silat kami?”
Bi Lan merasa gembira sekali melihat ilmu pedang yang benar benar hebat dan aneh dari Thian Lo mo. Gadis ini berbakat baik dan memiliki pandangan tajam serta kecerdikan otak luar biasa. Ia telah mempelajari Hoa san Kiam hoat dan Kim coa kiam hoat, akan tetapi dua ilmu pedang itu dibandingkan dengan ilmu pedang yang dimainkan oleh kakek berpedang kayu ini, benar benar kalah jauh! Tak terasa pula ia mengeluarkan kata kata memuji.
“Anak baik, kaulah kelak yang akan mewarisi ilmu silat kami Thian te kun!” kata pula Thian Lo mo melihat kegembiraan Bi Lan. “Maukah kau mempelajarinya dari kami?”
Bi Lan melihat betapa Coa ong Sin kai terdesak hebat. Kakek gila itu menyumpah nyumpah dan mempertahankan diri sekuatnya dengan ranting bambunya. “Kalau kalian membunuh suhu, aku takkan mau mempelajari ilmu silatmu yang ganas!” katanya dengan keras.
Te Lo mo mendengar pula ucapan ini, maka sambil tertawa bergelak ia menggerakkan pedang kayunya secara luar biasa sekali, Coa ong Sin kai memaki keras karena pundaknya terluka oleh pedang kayu itu dan biarpun pedang itu sebetulnya hanya sepotong cabang pohon dan ia telah memiliki kekebalan hebat, tetap saja kulit pundaknya pecah dan darah mengalir keluar. Coa ong Sin kai maklum bahwa lawannya tidak bermaksud membunuhnya, maka iapun tahu diri, lalu melompat ke belakang dan sambil mendelikkan matanya kepada Bi Lan, ia berkata,
“Kalau kau mempelajari ilmu silat setan ini, lain kali aku akan membunuhmu!” Sehabis berkata demikian, Coa ong Sin kai tertawa bergelak dan tubuhnya lalu mencelat jauh, menghilang di balik pohon pohon.
Sepasang kakek kembar itu lalu menghadapi Bi Lan. “Nah, sekarang katakan, apakah kau mau menjadi murid kami?”
Bi Lan menjatuhkan diri berlutut dan hatinya girang sekali. “Tentu saja teecu mau mempelajari ilmu silat dari jiwi suhu.” Dalam kegirangannya nona ini lupa bahwa ia tadi telah berjanji kepada Coa ong Sin kai bahwa ia takkan ikut kepada dua orang kakek ini. Hal ini kelak akan mendatangkan permusuhan hebat dari fihak Coa ong Sin kai, bekas gurunya itu.
Thian Te Siang mo yang merasa kecewa karena Ciang Le dianggapnya melanggar kesusilaan dan telah menjadi murid Lulian Siucai, kini menurunkan Ilmu Silat Thian te kun kepada Bi Lan yang mempelajarinya dengan penuh ketekunan. Gadis ini merasa girang bukan main karena memang kepandaian dua orang gurunya ini benar benar hebat sekali. Jauh lebih tinggi daripada kepandaian tokoh tokoh Hoa san pai, bahkan masih lebih tinggi daripada kepandaian Coa ong Sin kai yang terkenal hebat dan lihai!
Sekarang kita menengok keadaan Ciang Le yang telah lama kita tinggalkan. Pemuda ini yang mabok keras, tidak sadar bahwa dirinya diperebutkan oleh guru gurunya dan Lu liang Siucai, murid dan pelayan dari tokoh besar Pak Kek Siansu, Guru Dewa Kutub Utara di Luliang san!
Ketika ia sadar kembali dan merasa dirinya dikempit oleh lengan tangan yang halus tapi kuat sekali dan dibawa lari, Ciang Le menjadi kaget dan heran sekali. Ia dikempit di lengan kanan dan ia tahu bahwa orang ini menggunakan ilmu lweekang yang tinggi sekali, maka kalau ia mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, selain belum tentu ia akan dapat terlepas, juga itu amat membahayakan dirinya. Maka ia lalu menengok muka orang yang membawanya lari. Ia makin terheran heran, karena wajah orang itu nampaknya sebagai seorang sasterawan tua yang halus raut mukanya dan lembut sinar matanya.
“Lo enghiong, siauwte hendak kau bawa kemanakah?” tanyanya.
Ketika melihat bahwa Ciang Le sudah sadar kembali, Luliang Siucai tersenyum dan menghentikan larinya, lalu melepaskan tubuh pemuda itu yang segera berdiri di depannya. “Anak muda, aku mendengar bahwa kau bernama Go Ciang Le, apakah benar kau berjuluk Hwa I Enghiong dan menjadi murid dari Thian Te Siang mo?”
“Betul, memang siauwte bernama Go Ciang Le. Tidak tahu siapakah lo enghiong dan mengapa tahu tahu lo enghiong membawa lari siauwte?”
Sasterawan tua itu tersenyum dan memandang tajam. “Orang muda, coba kauingat ingat, lupakah kau akan peristiwa yang baru saja kaualami di rumah ketua Hek kin kaipang?”
Ciang Le mengerutkan keningnya dan mengingat ingat dan perlahan lahan semua pengalamannya terbayang kembali sampai pada saat ia minum arak dan mabok, lalu terbayang pula sikap yang genit dan tak tahu malu dari Cun Eng yang cantik! Tak terasa lagi merahlah wajah Ciang Le ketika ia teringat akan semua itu.
“Tahukah kau bahwa karena perbuatanmu di dalam rumah ketua Hek kin kaipang itu, hampir saja kau mati oleh kedua orang gurumu sendiri? Mereka amat marah dan jemu melihat kelakuanmu.”
“Akan tetapi, siauwte sama sekali tidak melakukan pelanggaran! Siuwte tidak... tidak...”
Luliang Siucai mengangkat tangannya mencegah Ciang Le melanjutkan pembelaannya. “Aku tahu, anak muda. Kalau aku tidak tahu bahwa kau berhati bersih, apa kau kira aku begitu usilan dan merampasmu dari Thian Te Siang mo yang hendak membunuhmu? Karena kau telah menolong seorang sasterawan muda, maka hatiku tergerak dan ketika aku melihat betapa kau terjerumus dalam sarang ular cantik itu aku segera membawamu keluar.”
Ciang Le memandang dengan penuh perhatian. Kakek ini melihat sikap dan pakaiannya, terang adalah seorang sasterawan tua, akan tetapi mengapa memiliki Kepandaian silat yang begitu tinggi? Tadi saja ia sendiri sudah menyaksikan ketika kakek ini mengempitnya dan sekarang mendengar bahwa kakek ini dapat merampasnya dari tangan Thian Te Siang mo yang hendak membunuhnya, ia benar benar merasa terkejut.
“Siapakah lo enhiong yang gagah perkasa?” tanyanya.
Luliang Siucai tertawa perlahan. “Aku tidak punya nama. Apakah artinya nama bagi orang tua seperti aku? Kau masih muda dan bertulang pendekar. Siansu tentu akan senang melihatmu. Kau ikutlah saja padaku.”
Setelah berkata demikian, ia menyambar tangan Ciang Le dan berlari cepat seperti terbang. Ciang Le terpaksa mengerahkan ilmunya berlari cepat karena kalau tidak, ia tentu akan terseret. Biarpun sasterawan itu nampaknya lari biasa saja, akan tetapi Ciang Le harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk dapat mengimbanginya. Hati pemuda ini berdebar aneh. Orang ini saja kepandaiannya sudah seimbang atau bahkan lebih tinggi dari pada kepandaian Thian Te Siang mo, akan tetapi orang ini masih mengaku rendah tidak berarti dan hendak membawanya kepada Siansu. Ah, sampai di manakah hebatnya kepandaian orang yang disebut Siansu itu? Karena ingin tahu sekali, Ciang Le tidak banyak membantah dan mengikuti sasterawan ini yang menuju ke sebuah gunung yang menjulang tinggi.
Luliang Siucai ternyata percaya betul kepada Ciang Le. Biarpun sasterawan itu tidak pernah bicara apa apa lagi, ia tidak memaksa Ciang Le ikut dengan dia. Mereka makan dan mengaso atau tidur tanpa banyak cakap, hanya kalau mereka melanjutkan perjalanan, barulah Luliang Siucai memegang tangan Ciang Le sehingga perjalanan dilakukan cepat sekali.
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi tibalah mereka di lereng Pegunungan Luliang san. Ketika mereka tengah berjalan cepat dan tiba di daerah terbuka di mana hanya terdapat rumput alang alang yang luas dan tidak nampak pepohonan, tiba tiba terdengar suara bersiut keras dan Ciang Le melihat belasan batang anak parah meluncur cepat sekali ke atas udara. Belasan batang anak panah ini di susul oleh belasan batang anak panah lain lagi yang tepat mengenai anak anak panah pertama sehingga anak anak panah itu patah menjadi dua. Kembali menyusul rombongan anak panah ke tiga yang seperti juga tadi, mematahkan rombongan anak panah ke dua. Baru saja rombongan ke dua ini di patahkan oleh rombongan ke tiga, dari bawah meluncur lagi rombongan ke empat dan demikian sampai tujuh rombongan dari belasan anak panah, semua diluncurkan dengan cara main main dan anak anak panah dari rombongan berikutnya mematahkan anak anak panah yang terdepan!
“Bagus sekali!” Ciang Le memuji karena sesungguhnya ilmu panah yang didemontrasikan itu benar benar hebat!
Baru saja ia menutup mulutnya, tiba tiba meluncur belasan anak panah ke arah mereka dan anehnya, semua anak panah itu sama sekali tidak tertuju kepada kakek sasterawan, melainkan seluruhnya menyambar ke arah Ciang Le! Pemuda ini terkejut dan juga marah sekali ia lalu mengeluarkan Kim kong touw kut ciam sebanyak belasan batang, lalu disambitkannya ke arah anak panah yang terbang datang. Sambitannya ini tepat dan jitu, juga dilakukan dengan tenaga keras.
Memang benar ada tujuh batang anak panah yang menjadi mencong arahnya ketika terbentur oleh sinar sinar kuning emas dari jarum jarum yang dilepas oleh Ciang Le, akan tetapi masih ada lima batang yang cepat mengarah tubuhnya! Ciang Le kaget sekali. Tidak saja jarum jarumnya kalah kuat sehingga anak anak panah itu masih terus meluncur biarpun menceng arahnya, namun lima batang yang kini menyambar itu benar benar berbahaya sekali.
“Suheng, jangan main main dan menakut nakuti hati orang muda!” Sasterawan tua itu berseru dan sekali ia mengebutkan ujung lengan bajunya lima batang anak panah itu runtuh ke atas tanah.
Berbareng dengan terdengarnya suara ketawa yang keras dan kasar muncullah tubuh manusia dari balik alang alang yang tinggi. Orang ini tubuhnya tinggi besar dan kekar, nampak kuat sekali. Pakaiannya adalah baju perang yang indah dan gagah. Mukanya keren dan menyeramkan seperti muka Kwan Kong, panglima perang terkenal di jaman Sam Kok, matanya lebar dan kulit mukanya kemerah merahan. Cambang dan jenggotnya memanjang sampai di dada. Ciang Le kagum sekali melihat orang tua yang gagah perkasa ini, maka sekali pandang saja menimbulkan rasa suka dan hormat.
“Sute, mengapa kau membawa orang muda ini naik ke tempat kita? Kulihat dia tadi menggunakan Kim kong touw kut ciam milik Thian Te Siang mo, siapakah orang muda ini? Hati hati, kau nanti bisa membuat Siansu marah besar,” kata orang yang berpakaian seperti panglima perang itu.
“Suheng, secara kebetulan saja aku bertemu dengan orang muda ini. Memang dugaanmu benar, dia adalah murid dari Thian Te Siang mo yang hendak membunuhnya, maka aku mencegahnya.”
“Eh, sute, mengapa kau begitu tidak tahu aturan? Urusan antara guru dan murid, mengapa kau ikut mencampurinya? Itu tidak baik!”
Ciang Le diam diam kagum melihat sikap orang gagah ini yang demikian jujur dan polos.
“Nanti dulu, suheng, sabarlah. Kalau dia tidak berjasa terhadap kami orang orang sasterawan apakah aku mencampuri urusannya?” Sasterawan tua ini lalu menceritakan betapa Ciang Le telah menolong seorang terpelajar muda yang disiksa oleh anak buah Hek kin kaipang, kemudian betapa ia melihat kebersihan hati Ciang Le yang tidak sudi menurut bujukan Cun Eng yang cantik genit, dan kemudian ia menuturkan betapa Thian Te Siang mo tanpa memeriksa lagi, menyangka muridnya berjina dengan ketua Hek kin kaipang itu dan hendak membunuhnya.
“Hm, kau ini kutu kutu buku memang saling membela dan menangkan fihak sendiri,” orang gagah yang sesungguhnya adalah Lu liang Ciangkun, atau pelayan dan murid pertama dari Pak Kek Siansu, mencela adik seperguruannya.
“Bukan begitu, suheng. Kaulihatlah sendiri baik baik, tidak pantaskah anak itu menghadap Siansu?”
Luliang Ciangkun menggerakkan kedua kakinya yang besar dan kuat itu menghampiri Ciang Le. Dipandangnya pemuda ini seperti seorang pedagang kuda memandang seekor kuda yang hendak dibelinya, menaksir naksir dan menyelidik, menepuk nepuk bahu pemuda itu dan mengetuk ngetuk buku buku tulangnya! Ciang Le merasa geli dan juga penasaran, akan tetapi oleh karena maklum bahwa orang jujur itu tidak bermaksud buruk atau menghina, ia diam saja, hanya mengerahkan lweekangnya tiap kali ditepuk atau diketuk, karena kalau tidak tentu ia akan merasa sakit.
Luliang Ciangkun agaknya nampak puas. Ia telah dapat merasa bawa tenaga yang membuat tangannya terbentur pada kulit dan daging yang keras tiap kali ia menepuk dan mengetuk, dan ia tahu bahwa pemuda itu memang bertulang bersih dan berbakat baik sekali. Akan tetapi, diantara tiga orang pelayan dan murid Pak Kek Siansu, memang Luliang Ciangkun atau yang biasa disebut si Panglima ini, adatnya paling keras dan kukuh. Pak Kek Siansu sudah memesan agar jangan ada orang luar datang mengganggunya, dan dalam hal memegang teguh larangan ini Panglima ini memang paling kukuh. Berbeda dengan si Sasterawan (Luliang Siucai) atau si Petani (Lulang Nung jin) yang kadang kadang masih suka menyampaikan permohonan permohonan tolong dari rakyat jelata kepada guru mereka.
“Kau adalah murid dari Thian Te Siang mo, siapa bisa bilang bahwa kau tidak mempunyai watak yang buruk seperti guru gurumu? ” ia membentak sambil menghadapi Ciang Le. “Kau tidak boleh menghadap Siansu!”
Ciang Le memang berwatak sabar, akan tetapi ia masih muda sekali dan kini menghadapi perlakuan kasar seperti itu, tentu saja ia merasa penasaran dan marah. Hanya, terhadap seorang tua, ia masih dapat menekan kemarahannya hingga memperlihatkan muka biasa saja, akan terapi ia menjawab juga.
“Orang tua gagah, tak perlu kiranya aku menyangkal dan mengaku aku bahwa aku mempunyai watak yang baik. Siapa orangnya di dunia ini mau mengaku berwatak buruk? Hanya orang lain yang berhak menentukan apakkah watak kita baik atau buruk, dan dalam hal watakku, kalau kau menganggapnya buruk, terserah. Adapun tentang Siansu yang kau sebutkan itu, bukan kehendakku untuk berjumpa, sungguhpun aku ingin sekali menyatakan penghormatanku kepada Pak Kek Siansu, akan tetapi aku dibawa oleh lo enghiong ini.”
“He, siapa bilang kau akan menghadap Pak Kek Siansu?” kini sasterawan itu bertanya heran. Memang dia belum pernah memperkenalkan diri sendiri, apalagi menyebut nyebut nama Pak Kek Siansu.
Ciang Le tersenyum. “Bukankah lo enghiong ini Luliang Siucai dan orang tua gagah ini Luliang Ciangkun? Apakah sukarnya menebak ini kalau melihat sikap, pakaian, dan tingkat kepandaian jiwi? Sudah lama siauwte mendengar tentang tiga orang tua yang gagah perkasa dan yang menjaga Bukit Luliang san, yaitu Luliang Ciangkun, Luliang Siucai dan Luliang Nungjin, sekarang siauwte melihat jiwi berdua, dan mendengar jiwi menyebut nyebut Siansu siapa lagi kalau bukan Pak Kek Siansu yang jiwi maksudkan?”
Panglima dan sasterawan itu saling pandang, kemudian tertawa gelak.
“Kau mempunyai otak juga!” Panglima itu memuji. “Eh, kau anak siapakah?”
“Ayah bunda siauwte sudah meninggal dunia oleh bala tentara Kin,” jawab Ciang Le.
Mendengar ini, tiba tiba Luliang Ciangkun mencabut pedangnya yang besar dan berat, lalu sekali ayun saja pedangnya itu menimpa batu karang. Terdengar bunyi keras dan terlihat bunga api berpijar menyilaukan mata dan batu karang itu terbelah menjadi dua! Dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga dari panglima ini, dan menjadi bukti bahwa pedangnya itupun pedang baik sekali.
“Keparat Bangsa Kin!” teriaknya gemas “Kalau tidak ada Siansu yang mencegah, sudah sejak dulu aku turun gunung dan membasmi mereka!”
“Suheng, Siansu mengajar kita mengendalikan nafsu, apakah suheng sudah lupa lagi?”
Luliang Ciangkun menarik napas panjang dan alangkah heran dan kagetnya hati Ciang Le ketika ia melihat betapa di atas pipi panglima ini terdapat dua titik air mata yang besar dan bening! Diam diam ia merasa terharu juga. Ia dapat menyelami jiwa panglima besar ini. Sebagai seorang panglima besar yang berjiwa patriotis, tentu saja hatinya sakit melihat Tiongkok dihina dan dihisap oleh Bangsa Kin, akan tetapi ia lebih taat dan tunduk kepada pesan suhunya, maka kini ia hanya dapat menekan gelora semangatnya.
“Anak baik, jadi orang tuamu menjadi korban musuh? Siapakah nama ayahmu?”
“Ayah bernama Go Sik An,” jawab Ciang Le dengan jujur.
Akan tetapi, jawaban ini membuat dua orang tua itu meloncat dan segera Ciang Le dipeluk dari kiri kanan oleh sasterawan dan panglima itu.
“Apa…? Sungguh kebetulan sekali. Jadi kau ini keturunan Go taihiap? Aduh, anakku…!” kata sasterawan dan kini kedua orang tua itu mengucurkan air mata sungguh sungguh!
Tentu saja Ciang Le merasa terheran heran. la tidak tahu bahwa kedua orang ini dahulunya adalah kawan kawan seperjuangan dari Go Sik An dan tentu saja mereka merasa terharu sekali melihat putera dari Go Sik An yang dihukum gantung karena membela negara dan tanah air.
Pada saat itu datanglah seorang kakek lain yang pakaiannya penuh lumpur demikianpun kedua kakinya yang telanjang. Celananya digulung sampai sebatas lutut, kepalanya ditutup caping (topi yang atasnya runcing) bundar lebar sekali seperti payung dan tangan kirinya memanggul sebatang cangkul. Dilihat sekelebatan saja, tahulah orang bahwa dia adalah seorang petani yang rajin. Di tangan kanannya ia memegang sebuah alat dari kayu dan besi yang besar dan berat sekali. Kayu ini ternyata sebuah bajak yang besar dan yang biasanya ditarik oleh kerbau untuk meluku sawah, akan tetapi melihat cara kakek ini menjinjing, agaknya ringan sekali. Maka Ciang Le dapat menduga bahwa ini tentulah orang ke tiga dari para murid atau pelayan Pak Kek Siansu, yakni yang bernama atau yang disebut Luliang Nung jin (Petani dari Gunung Luliang).
“Jiwi suheng, lihat betapa aku telah dapat membuat sebuah luku yang akan meringankan pekerjaan para kerbau. Kasihan binatang binatang itu harus menarik luku yang giginya terlalu melengkung dan kurang runcing, dengan luku buatanku ini, pekerjaan akan lebih cepat dan ringan. Kalian lihat!”
Sambil berkata demikian, biarpun ia masih jauh dari mereka, petani ini telah melemparkan luku tadi yang melayang cepat sekali menimpa ke arah panglima dan sasterawan yang sedang memeluk Ciang Le Pemuda ini melihat betapa benda yang berat itu melayang turun dan dengan kaget ia mendapat kenyataan bahwa dua orang kakek yang memeluknya tidak menyambuti sama sekali! Ini berbahaya karena kalau mereka tertimpa oleh luku yang demikian berat dan besarnya, biarpun tubuh mereka kebal, tentu mereka akan terluka juga. Apalagi dia sendiri yang tentu akan tertimpa pula. Dengan cepat Ciang Le melompat ke depan dan mengulurkan kedua tangannya menyambuti luku yang besar ini.
Baiknya Ciang Le amat cerdik dan ia telah menduga lebih dulu bahwa lemparan kakek itu tentu bertenaga besar sekali sehingga ia sudah berlaku hati hati. Benar saja, ketika kedua tangannya menyambut luku yang datang menimpa, ternyata tenaga lemparan kakek itu luar biasa kuatnya ditambah pula oleh gaya bobot benda itu sendiri sehingga kalau ia mempergunakan tenaganya untuk menerima benda ini, tentu ia akan terluka di sebelah dalam tubuhnya!
Maka Ciang Le lalu mempergunakan gerakan yang disebut Siu po pan san (Sambut Mustika Memindahkan Gunung). Kedua kakinya membuat kuda kuda tegak dan dibuka lebar lebar, tubuhnya agak direndahkan dan ketika luku itu ia terima dengan tangan yang terangkat ke atas, ia lalu mengayun luku itu dengan bantuan ayunan tubuh dan kedua lengannya, terus ia melemparkan luku itu ke atas kepalanya! Dengan cara ini, maka tenaga luncuran luku itu menjadi patah dan habis, kemudian ketika benda itu turun kembali dengan tenaga luncuran lemah, ia menerimanya dengan mudah dan cepat membungkuk dan memberi hormat kepada si Petani.
“Siauwte Go Ciang Le memberi hormat kepada Luliang Nung jin yang terhormat dan gagah perkasa.”
Petani itu hendak menegur, akan tetapi ketika ia melihat dua orang suhengnya berdiri dengan muka basah oleh air mata, ia menjadi melongo dan memandang dan pemuda itu kepada dua orang suhengnya penuh pertanyaan. “Eh, eh, apakah yang terjadi?” tanyanya.
“Sute, perkenalkanlah. Dia itu adalah Go Ciang Le, keturunan satu satunya dari sahabat kita Go taihiap,” kata Sasterawan kepada adik seperguruannya.
“Kau maksudkan Go Sik An, suheng?” tanya petani itu sambil membelalakkan matanya.
Ketika melihat Sasterawan itu mengangguk, Luliang Nung jin nampak girang sekali. Ia melempar paculnya dan sambil menari nari ia lalu menghampiri Ciang Le, menangkap pinggang pemuda itu dan melemparkan Ciang Le ke atas! Bukan main hebatnya tenaga lemparan ini sehingga Ciang Le terpaksa hanya mengerahkan keseimbangan badannya saja sehingga ia dapat meluncur turun dengan tegak.
Memang orang termuda dari tiga sekawan yang aneh ini berwatak paling gembira. Setiap hari ia mengerjakan sawah sambil bernyanyi nyanyi, meniup suling dan bersenda gurau dengan para petani di bawah gunung.
“Bagus, bagus! Kau keponakanku yang tampan dan gagah! Siapa namamu? Go Ciang Le? Bagus, bagus! Eh, suheng, setelah dia berada di sini, apakah kehendak jiwi?”
“Kami hendak membawanya menghadap Siansu, sute.”
Petani itu nampak terkejut. “Siansu terus menerus bersamadhi, bahkan laporanku tentang sawah ladang sama sekali tidak didengarnya. Siansu makin dingin menghadapi urusan dunia. aku sangsi apakah dia akan menerima orang muda ini.”
“Kita coba cobalah! Segala sesuatu ada jodohnya, siapa tahu kalau Ciang Le berjodoh dengan Siansu,” kata Sasterawan sambil menarik tangan pemuda itu.
Mendengar semua percakapan ini, diam diam Ciang Le merasa tidak enak sekali, maka ia berkata. “Sam wi lo enghiong (tiga orang tua gagah), mana berani siauwte mengganggu Pak Kek Siansu!”
“Keponakanku, kau tidak tahu. Memang Siansu mencari seorang yang berjodoh untuk mewarisi kepandaiannya. Kami tiga orang tua bangka mana ada bakat untuk mewarisinya? Hayolah!, jangan ragu ragu, ada kami bertiga yang menanggung!” kata Petani yang berwatak gembira itu.
Karena tidak ingin menyinggung hati tiga orang kakek aneh ini, terpaksa Ciang Le ikut dengan mereka mendaki puncak bukit itu. Kini iapun seperti tadi digandeng tangannya oleh Sasterawan sehingga dapat berlari cepat sekali, kalau tidak, tentu ia akan tertinggal ke belakang karena gerakan tiga orang kakek itu benar benar cepat sekali. Diam diam Ciang Le merasa kagum sekali dan berpikir bahwa tiga orang kakek ini yang menjadi pelayan dan murid Pak Kek Siansu sudah demikian tinggi kepandaiannya apalagi Guru Dewa itu sendiri! Ah, kalau, saja ia dapat diterima menjadi murid, alangkah senangnya.
Jalan menuju ke puncak sukar sekali, makin menanjak makin sulit dilewati. Tidak saja di situ tidak terdapat jalan biasa, bahkan terkurung oleh jurang jurang yang dalam dan jalan hanya dapat dilakukan melalui batu batu karang yang amat licin karena selalu basah oleh halimun. Akan tetapi, bagi tiga orang kakek itu mudah saja untuk melalui itu semua dan akhirnya mereka tiba di puncak Ciang Le merasa heran sekali karena berbeda dengan tadi kini puncak itu sama sekali tidak tertutup halimun. Bahkan sinar matahari memancar sepenuhnya. Di atas puncak bukit ini terdapat sebuah pondok kayu yang besar dan kokoh kuat. Di sinilah Pak Kek Siansu bertapa dan mengasingkan diri dari dunia ramai, dilayani oleh tiga orang kakek aneh itu.
Ketika tiga orang pelayan itu datang menghadap bersama Ciang Le, Pak Kek Siansu sedang bersamadhi dan meramkan matanya Orang tua ini sudah berusia tinggi, sedikitnya delapan puluh tahun, kepalanya sudah botak dan hanya di bagian bawah dan di belakang telinganya saja masih ada rambut yang halus berwarna putih kekuningan tumbuhnya jarang sekali. Alisnyapun sudah putih semua, demikian pula jenggotnya. Kulit mukanya putih kemerahan dan halus sekali, seperti muka seorang anak bayi. Tubuhnya sehat dan agak gemuk, pakaiannya sederhana, dari kain putih yang dililit lilitkan pada tubuhnya.
“Siansu…!” tiga orang kakek pelayan itu sambil berlutut menyebut suhu mereka.
“Ada apa lagi kalian datang menggangguku?” Pak Kek Siansu berkata, suaranya halus dan sabar akan tetapi ia tidak bergerak dari samadhinya, bahkan tidak membuka mata, hanya bertunduk saja, Ciang Le merasa tidak enak sekali mendengar pertanyaan ini, karena sesungguhnya, dia tidak akan bertega hati untuk mengganggu orang suci yang sudah lanjut usianya ini.
“Maaf, Siansu. Teecu bertiga datang menghadap bersama seorang pemuda yang benar benar teecu lihat mempunyai bakat dan tulang yang bersih dan baik, patut menjadi ahli waris daripada Luliang san,” kata Sasterawan.
Hening sejenak, kemudian terdengar kakek botak itu menarik napas panjang, akan tetapi tetap tidak membuka matanya ketika berkata “Hm, apa gunanya lagi? Siapa orangnya sanggup menerima latihan Pak kek sin ciang (Ilmu Silat Sakti dari Kutub Utara)? Kalian bertiga yang sudah berlatih silat puluhan tahunpun tak sanggup menerimanya.”
“Siansu, anak muda ini berbeda lagi. Ia pasti bisa!”
“Tiada gunanya, aku sudah tua, tidak ada nafsu mengajar lagi.”
“Siansu, penjajah Kin masih saja menindas rakyat, apakah tidak perlu dibasmi? Siapakah kuat menghadapi mereka selain pemilik dari ilmu Pak kek sin ciang? ” tiba tiba Luliang Ciangkun Si Panglima berkata dengan suaranya yang besar.
“Aku tidak mau mengurus soal pemerintahan,” jawab kakek tua itu tanpa membuka mata.
“Siansu, kaum petani masih tertindas mati matian, kerja banyak makan kurang. Pak kek sin ciang masih amat dibutuhkan untuk membahagiakan dan menolong keadaan mereka!” kata petani, Luliang Nungjin.
Pak Kek Siansu tetap diam saja bahkan kini ia tidak mau membuka mulut lagi. Ciang Le benar benar merasa jengah, malu, dan tidak enak hati terhadap kakek itu. Ia merasa seakan akan ikut mengganggu ketenteraman hidup orang suci itu, maka ia lalu berkata,
“Siansu, mohon banyak maaf apabila teecu mengganggu dengan kehadiran teecu di tempat terlarang dan suci ini.”
“Tidak apa, tidak apa, kalian pergilah!”
“Siansu, apakah keturunan seorang gagah, perkasa yang sudah mengorbankan nyawa sendiri dan nyawa keluarganya harus didiamkan begitu saja? Siansu, pemuda ini adalah putera dari Go Sik An!”
Aneh, mendengar ini, kakek itu membuka kedua matanya dan memandang kepada Ciang Le. Ketika pemuda ini mengangkat muka memandang, terkejutlah ia karena sepasang mata kakek ini benar benar amat tajam, seakan akan menembusi dadanya dan menjenguk ke dalam hati! Cepat cepat ia lalu mengangguk angguk sambil berlutut, memberi hormat.
Pak Kek Siansu memandang kepada tiga orang murid atau pelayannya, lalu katanya “Semenjak tadi, aku sudah tertarik oleh pemuda ini, hanya masih ragu ragu karena tidak tahu siapa dia. Tidak tahunya dia putera dari mendiang Go taihiap! Kalian bertiga boleh keluar menjaga, jangan perbolehkan orang lain masuk. Biar anak ini mencoba kekuatan semangatnya.”
Setelah tiga orang kakek itu pergi dengar wajah puas dan girang, Pak Kek Siansu bertanya. “Orang muda, siapakah namamu?”
“Teecu bernama Go Ciang Le, Siansu.”
Kakek itu mengangguk angguk. “Kau pernah belajar ilmu silat dan lweekang, sayang sekali pelajaran yang kau terirna itu sifatnya, kurang bersih! Gurumu tentu orang orang yang tidak bisa dibilang baik, siapa mereka?”
Ciang Lee merasa tak senang juga mendengar gurunya dicela, maka ia menjawab, “Teecu memang murid dari Thian Te Siang mo, akan tetapi bagi teecu, kedua orang suhu itu baik dan mulia hatinya.”
“Hm, tak salah dugaanku. Kau datang menghadap aku inipun bukan kehendakmu sendiri, akan tetapi atas desakan ketiga orang muridku. Sekarang katakan, apakah kau suka mempelajari Pak kek sin ciang? Aku tidak mau memaksa orang.”
Ciang Le benar benar merasa heran. Kakek ini kelihatan lemah lembut peramah dan halus tutur sapanya, akan tetapi isi dari pada kata katanya itu bersifat kasar, jujur, dan tidak banyak hiasan. Juga ia kagum sekali melihat kecerdikan kakek tua ini karena ternyata dapat menduga segala sesuatu dengan tepat sekali biarpun semenjak tadi ia hanya dieramkan mata dan duduk tak bergerak.
“Sesungguhnya, teecu datang bukan atas kehendak teecu sendiri, melainkan atas desakan dan setengah paksaan ketiga lo enghiong tadi. Akan tetapi tentang mempelajari ilmu silat, apabila Siansu yang mulia suka memberi petunjuk, tentu teecu akan merasa berterima kasih sekali dan akan mempelajarinya baik baik.”
Sepasang mata Pak Kek Siansu melebar, “Betulkah? Kau takkan menyesal? Ingat, Ilmu Silat Pak kek sin ciang itu bukan sembarangan ilmu silat dan tidak mudah diyakinkan. Sedangkan tiga orang muridku tadi, yang kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaianmu, mereka juga tidak sanggup melatih ilmu silat ini!”
“Teecu akan mencoba dan teecu berjanji akan mempelajarinya dengan tekun dan rajin.”
“Akan tetapi, latihannya amat berbahaya, anak muda. Kalau kau lulus, itulah amat baik, akan tetapi sebaliknya kalau tidak, kau dapat kehilangan nyawamu!”
Ciang Le terkejut sekali. Mana ada ilmu silat yang demikian anehnya? Akan tetapi pikirannya sudah bulat. Kalau ia hendak mempelajari ilmu silat yang paling tinggi, di sinilah tempatnya, pikirnya. “Biarpun teecu harus berkorban nyawa, teecu akan mentaati segala petunjuk dari Siansu.”
Kakek tua itu nampak puas dan tersenyum sambil mengangguk angguk. “Kau bersemangat besar dan berhati teguh seperti ayahmu! Akan tetapi ini bukan main main. Dengarlah dulu beberapa macam latihan ujian untuk mempelajari Pak kek Sin ciang ini. Kau harus berpuasa dua puluh satu hari, sama sekali tidak boleh makan dan hanya hidup dari hawa udara saja, kau harus menghindari sinar matahari selama dua puluh satu hari dan hidup di dalam gua yang gelap, menghadapi godaan dari pikiran dan nafsu nafsumu sendiri. Kau harus tidur di atas salju selama dua puluh satu hari, kemudian tidur di dalam gua dekat api unggun yang panas sekali selama dua puluh saiu hari pula. Beberapa ujian yang kusebutkan tadi baru beberapa diantaranya, belum ujian pengendalian nafsu dan lain lain.”
“Teecu akan lakukan semua itu dengan patuh” kata Ciang Le dengan suara tetap.
Setelah mendapat kenyataan akan ketabahan dan ketetapan hati pemuda itu. Pak Kek Siansu tertawa puas dan berkata, “Baiklah, Ciang Le, kaulah satu satunya muridku yang kelak akan menjunjung tinggi nama baik Luliang san dan akan mempergunakan Pak kek Sin ciang dalam perbuatan nyata.”
Mulai hari itu, Ciang Le berdiam di puncak Luliang san dan menerima gemblengan dari Pak Kek Siansu yang sudah tua sekali itu. Benar saja seperti yang dikatakan oleh Guru Dewa itu, latihan latihannya amat berat. Bukan saja berat bagi jasmani, terutama beratlah latihan latihan batinnya. Dan setelah pada waktu menjalani latihan menghindarkan cahaya matahari, tahulah Ciang Le mengapa tiga orang kakek murid Pak Kek Siansu itu tidak sanggup. Di dalam latihan ini, di mana ia bersamadhi, Pak Kek Siansu yang sudah memiliki ilmu batin tinggi sekali itu, sengaja menggoda muridnya dengan menyalurkan pikirannya kepada pikiran muridnya, di mana guru besar ini dengan kekuatan batinnya membayangkan segala macam kesenangan dunia yang akan meruntuhkan iman seorang pertapa!
Akan tetapi baiknya Ciang Le masih perjaka dan tidak begitu mudah jatuh oleh bayangan wanita cantik, pula ia memang memiliki hati bersih dan bakat yang baik sehingga ia dapat lulus dari semua ujian itu. Setelah mengalami ujian bermacam macam yang makin lama makin berat, barulah perlahan lahan, Pak Kek Siansu menurunkan ilmu silatnya yang luar biasa, yaitu Pak kek Sin ciang yang belum pernah dituturkan pada siapapun juga, bahkan yang belum pernah dipergunakan di dunia ini, karena tanpa mempergunakan ilmu silat inipun, tak seorangpun berani mengganggu atau memusuhi Guru Dewa ini!
Dengan tekun dan rajin sekali Ciang Le melatih diri, sama sekali tak pernah keluar dari puncak sehingga ia tidak tahu bahwa tak lama setelah ia diterima menjadi murid olek Pak Kek Siansu, di atas Bukit Luliang san tim datang seorang tamu, yaitu tokoh dari Hoa san pai, Liang Tek Sianseng!
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah Bi Lan diculik oleh Coa ong Sin kai, tokoh tokoh Hoa san pai menjadi gempar dan Liang Tek Sianseng mendapat tugas untuk minta bantuan Pak Kek Siansu agar Coa ong Sin kai suka melepaskan murid Hoa san pai itu Kedatangan tokoh Hoa san pai ini disambut oleh Luliang Siucai yang sudah kenal baik dengan tokoh Hoa san pai yang juga seorang sasterawan ini.
Kedua orang tokoh ini bertemu dan segera asik bercakap cakap.
“Sayang sekali, saudaraku yang baik, Siansu pada waktu ini sedang sibuk sekali dan tidak boleh diganggu. Ada keperluan apakah gerangan maka, saudara jauh jauh datang dari Hoa san pai dan agaknya amat perlu bertemu muka dengan Siansu?”
Liang Tek Sianseng lalu menceritakan tentang diculiknya Bi Lan oleh Coa ong Siu kai dan segala peristiwa yang terjadi di puncak Hoa san.
“Kami merasa tidak sanggup mengalahkan Coa ong Sin kai, dan oleh karena kita semua sudah maklum akan kejahatan Pengemis Raja Ular itu, maka kami hendak mohon pertolongan Siansu untuk menegur Coa ong Sin kai sehingga murid kami itu dapat dibebaskan kembali.”
“Sayang, Siansu tak mungkin diganggu. Akan tetapi, baiklah aku akan pergi bersama untuk mencari Raja Ular itu. Agaknya memandang muka guruku, ia akan tunduk kepadaku.”
Bukan main girangnya Liang Tek Sianseng mendengar kesanggupan sasterawan ini. Ia maklum bahwa kepandaian Luliang Siucai ini saja sudah amat tinggi dan ia percaya bahwa Luliang Siucai akan dapat mengalahkan Coa ong Sin kai apabila Raja Ular itu hendak menggunakan kekerasan.
Dua orang sasterawan yang memiliki kesukaan yang sama ini lalu bercakap cakap dan main catur sampai tiga hari di atas puncak Luliang san. Kemudian Luliang Siucai lalu berpamit kepada suhengnya, yaitu Luliang Ciangkun dan sutenya, Luliang Nung jin, untuk turun gunung. Ia berpesan agar suka menyampaikan kepada Siansu apabila Siansu menanyakan, kecuali ditanya, tiga orang ini tidak berani mengganggu Pak Kek Siansu!
Demikianlah, dua orang sasterawan tua yang keduanya merupakan tokoh tokoh persilatan yang berilmu tinggi ini, bersama sama turun gunung untuk mencari Coa ong Sin kai dan minta Bi Lan yang telah diculik oleh pengemis aneh itu.
Semenjak Coa ong Sin kai dan Thian Te Siang mo mengacau pertemuan di malam hari dalam taman di kota Cin an yang diadakan oleh Sam Thai Koksu, maka hati ketiga orang guru negara pemerintah Kin ini menjadi kuncup dan kecil. Ternyata di Tiongkok terdapat banyak sekali orang orang kang ouw yang benar benar memiliki kepandaian tinggi sekali.
Suma Kwan Eng, orang kedua dari Hui eng pai, ketika kakaknya, yaitu Suma Kwan Seng, tewas di tangan Coa ong Sin kai, menjadi demikian sakit hati, sehingga ia lalu mengumpulkan anak buahnya dan menggabungkan diri kepada Sam Thai Koksu untuk rela menjadi kaki tangan Bangsa Kin! Suma Kwan Eng amat sakit hati kepada Hoa san pai, karena pembunuh adik seperguruannya, yakni Ciu Hoan Ta, adalah Tan Seng, tokoh Hoa san pai. Kemudian, biarpun pembunuh kakaknya adalah Coa ong Sin kai, namun terbunuhnya adalah gara gara Bi Lan, anak murid Hoa san pai pula! Untuk menjatuhkan sakit hati kepada Coa ong Sin kai, itulah terlalu berat baginya, maka segala kesalahan ia timpakan kepada Hoa san pai semua.
Beberapa hari semenjak peristiwa yang terjadi di taman kota Cin an itu, datanglah seorang kakek tua dari perantauannya, yaitu yang bernama Ba Mau Hoatsu, seorang tokoh dari Tibet yang kenamaan. Ba Mau Hoatsu adalah sahabat baik yang dihormati sekali dari Sam Thai Koksu dan hubungannya dengan Pemerintah Kin adalah karena Ba Mau Hoatsu ini menjadi guru dari Wanyen Kan seorang pangeran Kin yang selain berwajah tampan, juga berilmu tinggi.
Kedatangan Ba Mau Hoatsu bersama dengan pangeran ini. Semua orang menyambut dua orang agung ini dengan penuh penghormatan. Ketika Ba Mau Hoatsu mendengar tentang pengacauan di Cin an oleh Coa ong Sin kai dan Thian Te Siang mo, ia menjadi marah sekali.
“Kepandaian Coa on Sin kai sih tidak berapa hebat. Aku sendiri sanggup menghadapinya dan takkan kalah. Akan tetapi Thian Te Siang mo memang lihai sekali. Kalau dua orang iblis itu memusuhi kita, baiknya aku memanggil datang Pak Hong Siansu yang kini tinggal di Tibet. Hanya sahabat baikku Pak Hong Siansu itu saja yang akan sanggup menghadapi dan mengalahkan Thian Te Siang mo!”
Sam Thai Kok su merasa girang sekali, akan tetapi Pangeran Wanyen Kan berkata, “Akan tetapi, suhu. Bukankah Pak Hong Siansu sudah menjadi wali dari Buddha hidup di Tibet? Kedudukannya paling tinggi di Tibet, dan beliau sudah tua, mana mau datang ke sini? ”
Ba Mau Hoatsu tertawa bergelak. “Benar kata katamu itu, muridku. Akan tetapi akulah yang lebih kenal wataknya. Memang kedudukannya tinggi, hidupnya sudah makmur dan tidak membutuhkan sesuatu sehingga mustahil dia mau datang ke sini yang begitu jauh dari sana. Akan tetapi kalau kita beri tahu tentang Thian Te Siang mo, kiraku dia mau juga turun tangan, karena dia adalah seorang yang tidak mau kalah dan kalau mendengar orang mengabarkan bahwa hanya kepandaian Thian Te Siang mo lebih tinggi dari kepandaiannya, kupastikan ia akan menjadi penasaran dan dengan sendirinya ia yang akan mencari Thian Te Siang mo untuk diajak pibu!”
“Baiklah kalau suhu mau ke barat untuk mengunjungi Pak Hong Siansu, akan tetapi teecu hendak melancong ke Biciu,” kata Pangeran Wanyen Kan.
“Eh, apakah kau tidak kembali ke kota raja dulu? Apakah nona Hoa san pai itu sudah demikian hebat pengaruhnya atas dirimu?”
Ditanya demikian oleh gurunya, Wanyen Kan menjadi merah mukanya. “Teecu ingin mengambil kepastian, suhu,” katanya dan Ba Mau Hoatsu hanya tertawa.
“Ah, orang orang muda memang berdarah panas.”
Tentu saja semua orang tidak tahu akan maksud kata kata guru dan murid ini, akan tetapi siapakah orangnya yang berani bertanya kepada Ba Mau Hoatsu atau kepada Pangeran Wan yen Kan? Hanya seorang saja yang berada di situ menjadi amat tertarik, yaitu Suma Kwan Eng. Seperti diketahui, bekas ketua Hui eng pai ini menaruh hati dendam hebat kepada Hoa san pai, maka segala sesuatu yang didengarnya mengenai Hoa san pai tentu saja menarik hatinya. Diam diam ia lalu mendekati Pangeran Wan yen Kan dan mengajaknya bercakap cakap.
Pangeran Wan yen Kan masih muda, paling banyak dua puluh empat tahun usianya. Tubuhnya tidak begitu besar, akan tetapi tegap dan gagah. Wajahnya halus tampan, rambutnya yang hitam dan tebal itu diikat di atas kepala. Dandanannya seperti orang Han dan karenanya, jarang ada orang mengetahui bahwa pemuda ini sebenarnya adalah Pangeran Wan yen Kan, seorang pangeran putera Kaisar Kin!
Wan yen Kan suka mengenakan pakaian orang orang Han karena memang semenjak menjelang dewasa, ia telah melakukan perantauan dan banyak menjelajah daerah pedalaman Tiongkok Karena ia semenjak kecil mendapat pendidikan ilmu silat dari Ba Mau Hoatsu, maka kepandaiannya tinggi sekali dan dalam perantauannya, ia selalu berlaku hati hati agar tidak menarik perhatian orang kang ouw, akan tetapi ia selalu dapat menjaga diri dengan baik baik.
Oleh karena ini, namanya tidak terkenal di dunia kang ouw, akan tetapi siapa saja yang sudah menghambakan diri kepada pemerintah Kin, pasti sudah mengenal nama Wan yen Kan sebagai pangeran yang paling pandai, paling tampan paling disayang oleh kaisar dan banyak orang meramalkan bahwa Wan yen Kan inilah yang kelak akan menggantikan ayahnya sebagai kaisar!
Ketika Wan yen Kan mendengar bahwa orang bertubuh tinggi besar dan nampak kuat dan gagah itu adalah ketua dari Hui eng pai yang ternama, ia menaruh perhatian dan sebentar saja mereka menjadi sahabat baik. Suma Kwan Eng memang pandai sekali bermuka muka dan bicara manis. Akhirnya ia berhasil memancing pangeran muda itu untuk menceritakan, pengalamannya yang bersangkutan dengan nona Hoa san pai seperti yang dibicarakan dengan Ba Mau Hoatsu tadi.
Beberapa bulan yang lalu, Wan yen Kan seorang diri sedang merantau ke selatan dan berada di wilayah Kerajaan Sung selatan. Pada masa itu, Tiongkok dibagi dua, sebelah utara Sungai Huai dikuasai dan dijajah oleh pemerintah Kin, adapun daerah selatan dari Sungai Huai dikuasai oleh Kerajaan Sung. Akan tetapi dalam kenyataannya, Kerajaan Sung setengah dijajah oleh Kerajaan Kin, dan di dalam banyak hal, Kerajaan Sung selalu mengalah. Beberapa kali terjadi pelanggaran pelanggaran oleh orang orang dari pemerintah Kin, akan tetapi pemerintah Sung hanya mengurut dada saja dan tidak berani bertindak. Bahkan, Kerajaan Sung selalu bermuka muka untuk mengambil hati Kerajaan Kin yang amat kuat.
Kalau saja Wan yen Kan melakukan perjalanan sebagai seorang pangeran Kin, tentu ia akan mendapat sambutan di mana mana, sambutan yang amat besar dan penuh penghormatan. Sebaliknya, nyawapun akan terancam bahaya besar karena selain di satu fihak para pembesar Kerajaan Sung akan menyambutnya, di lain fihak orang orang kang ouw dan gagah perkasa yang masih menaruh sakit hati kepada bala tentara Kin yang dulu pernah menyerang ke selatan, tentu akan berusaha untuk membunuh pangeran musuh ini.
Akan tetapi, seperti biasa kalau melakukan perjalanan, Wan yen Kan selalu berpakaian seperti orang Han dan karena ia pun pandai berbahasa Han seperti orang orang Han asli ia dapat melakukan penyamaran dengan amat mudahnya...
“Kakek gundul, siapa takut?" Bi Lan gemas juga karena dengan pandai hwesio itu dapat membalasnya dengan kata kata. "Lekas gerakkan toyamu pemukul anjing itu."
Bu It Hosiang tersenyum mengejek. "Untuk apakah aku harus bersenjata menghadapi seorang anak kecil? Lebih tepat kalau kau mengeluarkan senjatamu, biar pinceng melawan dengan tangan kosong!"
“Betulkah? ” kata Bi Lan dan cepat bagaikan kilat ia telah mengambil tombak pendek milik Ciang Kui San tadi yang masih berada di panggung itu, sekali ia menggerakkan tombak itu yang dipegang pada gagangnya, ia telah melakukan serangan yang hebat sekali!
Bukan main kagetnya Bu It Hosiang. Tombak pendek ini setelah berada di tangan Bi Lan ternyata dimainkan seperti sebatang pedang dan nona ini karena dapat menduga akan kelihaian lawannya, tidak mau main main seperti menghadapi Ciang Kui San tadi, sebaliknya datang datang ia telah mainkan Sin coa Kiam hwat, ilmu pedang yang ia pelajari dari Coa ong Sin kai. Hebat sekali ilmu pedang ini, dan pula Ilmu Pedang Sin coa Kiam hwat dari Coa ong Sin kai ini jarang sekali diperlihatkan di dunia kang ouw. Oleh karena iu ilmu pedang ini masih asing bagi semua orang yang berada di situ.
Bu It Hosiang benar benar merasa terkejut. Tadipun ketika ia melihat gadis ini menghadapi Ciang Kui San, ia sudah merasa heran karena ilmu silat tangan kosong yang dimainkan oleh Bi Lan bukanlah ilmu silat Hoa san pai. Kini dengan tombak pendek gadis ini mainkan ilmu pedang yang aneh dan luar biasa sekali lagi. Maka hwesio ini lalu berseru dan toyanya menyambar nyambar dengan dahsyat sekali sehingga Bi Lan harus berlaku awas dan cepat sekali. Namun gadis ini tidak menjadi takut, bahkan ia pun lalu mainkan ilmu pedangnya yang terpecah menjadi tiga bagain dan setiap bagian mempunyai sembilan jurus yang lihai.
Bu It Hosiang sudah pernah menyaksikan ilmu pedang Hoa san pai, bahkan ia beberapa kali pernah menghadapi ilmu pedang ini, maka melihat jalannya ilmu pedang yang dimainkan oleh Bi Lan, ia benar benar tidak mengerti.
Beberapa kali mendesak, akan tetapi sia sia saja karena permainan pedang yang juga bukan mempergunakan pedang asli, melainkan sebatang tombak pendek dari gadis ini tidak dapat didesaknya, bahkan beberapa kali tombak menyerang dengan cara yang amat dahsyat sehingga membingungkan Bu It Hosiang.
“Tahan dulu!” hwesio itu berseru keras sambil meloncat mundur dan mengeluarkan toyanya yang dipalangkan di depan dada.
“Ada apa, Bu It Hosiang? Apakah kau sudah merasa cukup?” tanya Bi Lan mengejek.
“Nona, pinceng lihat kau tidak mengguna ilmu pedang dari Hoa san pai! Betul betulkah kau seorang murid Hoa san pai? Jangan kau main main. Ilmu pedang apakah yang kau mainkan tadi? Juga, ilmu pukulanmu ketika kau merobohkan Ciang enghiong tadipun bukan dari Hoa san pai!”
Bi Lan biarpun suka bergurau, namun mempunyai watak jujur. Ia tertawa dan menjawab, “Aku memang anak murid Hoa san pai, itu tak dapat disangkal lagi. Akan tetapi, guru guruku tidak melarangku untuk mempelajari ilmu silat lain. Apakah kau jerih menghadapi ilmu pedangku tadi?”
“Siapa jerih kepadamu? Kulihat ilmu pedangmu aneh seperti ilmu kepandaian siluman. Agaknya kau dapat belajar dari seorang iblis!”
Merah muka Bi Lan mendengar ini. Memang Bu It Hosiang mempergunakan akalnya. Hwesio yang sudah banyak pengalaman ini maklum bahwa menghadapi seorang lincah dan berani seperti nona ini, kalau ia bertanya siapa guru nona ini mengajar ilmu pedang itu tentu ia hanya akan dipermainkan saja. Maka ia mendahului dan sengaja mencaci maki guru nona itu untuk membangkitkan kemarahannya. Memang benar. Bi Lan yang menjadi marah lupa untuk bergurau dan ia segera mengaku.
“Hwesio tua lancang mulut. Kau hendak bilang bahwa guruku yang baru Coa ong Sin kai seorang iblis? Hati hati kau dengan mulutmu, hwesio!”
Terdengar seruan seruan kaget. Bahkan Sam Thai Koksu sendiri sampai bangun dari tempat duduknya. Sin kun Liu Toanio, dan juga Bu eng Lo kai juga bangun dari bangku masing masing, memandang kepada Bi Lan dengan mata terbelalak. Adapun Bu It Hosiang menjadi pucat dan otomatis memandang ke sana ke mari untuk melihat apakah manusia iblis yang ditakuti itu benar benar berada ditempat ini!
“Kau mencari suhuku? Ha ha! Bu It Hosiang, jangan kau ketakutan. Suhu tidak berada di sini, kalau tidak kupanggil dia takkan datang. Jangan kau takut!”
Akan tetapi Bi Lan melihat ke sekelilingnya dan ia menjadi terkejut sekali karena sebagian besar orang orang yang berada di situ memandang kepadanya dengan sikap bermusuhan dan mengancam. Bahkan Sam Thai Koksu sudah menghampirinya dan Kini Liong Hoat eng, berseru keras, “Murid si jahat berada di sini, kalau kita tidak menghajarnya, si jahat Coa ong Sin kai takkan tahu rasa!”
“Betul, si ular jahat itu memang masih hutang beberapa pukulan dari aku!” berkata Bu eng Lo kai dan tahu tahu tubuhnya bergerak dan telah berdiri di hadapan Bi Lan. “Anak ular, kau rebahlah!” ketika tongkat bambunya melayang ke arah kepala Bi Lan, gadis ini cepat menangkis dengan tombak pendeknya. Akan tetapi Bi Lan terkejut sekali karena telapak tangannya terasa sakit sekali dan hampir saja tombak pendeknya terlepas dari pegangan. Ia menjadi marah dan tangan kirinya memukul dengan gerakan Ouw wan hian to ( Lutung Hitam Persembahkan Buah ) sebuah serangan dari Ilmu Silat Ouw wan ciang hoa dari Coa ong Sin kai.
Kini Bu eng Lo kai yang terkejut sekali. Ia adalah seorang hiap kek perantau yang sudah banyak makan asam garam dalam dunia, persilatan, maka ia tahu akan bahayanya serangan kilat ini. Iapun pernah pula menghadapi Ouw wan ciang hoat dari Coa ong Sin kai, maka ia tidak berani main main dan cepat ia mengelak sambil berkata, “Bagus, kau memang murid si jahat!”
Kim Liong Hoat ong melihat betapa kakek pengemis itu sudah turun tangan, lalu iapun tidak mau kalah, cepat ia mencengkeram dengan tangan kanannya ke arah pundak kiri Bi Lan. Nona ini cepat melompat sambil mengelak, karena cengkeraman yang mendatangkan angin keras itu benar benar tidak kalah lihainya oleh senjata senjata tajam lainnya. Bi Lan benar benar sibuk, baru saja ia mengelak, datang sambaran toya dari Bu It Hosiang dari belakang! Ia melompat ke atas dan disambar oleh tongkat dari Bu eng Lo kai. Ia dikeroyok oleh tiga orang tokoh persilatan yang tingkatnya jauh lebih tinggi daripadanya. Akan tetapi gadis ini tidak menjadi gentar dan ia memutar tombak pendeknya sedemikian rupa, mainkan Sin coa kiam hoat sebaik baiknya sehingga untuk beberapa lama ia dapat mempertahankan diri dengan baiknya.
Akan tetapi ketika Bu eng Lo kai berseru keras dan menghantamkan tongkat bambunya kepada tombak di tangan Bi Lan, gadis ini berseru, tombaknya patah dua dan terlepas dari pegangannya! Tangan Kim Liong Hoat ong yang mencengkeram itu telah datang lagi mengarah kepala sedangkan toya Bu It Hosiang kembali telah menyambar pula Bi Lan menjadi sibuk sekali dan ia lalu menggulingkan tubuhnya ke lantai dan menyerang dengan tendangan kaki bertubi tubi sambil melompat bangun. Inipun sebuah jurus tipu serangan dari Ouw wan ciang hoat yang lihai sekali sehingga untuk beberapa jurus gadis ini masih dapat mempertahankan diri dan mengejutkan tiga orang pengepungnya. Akan tetapi Bi Lan maklum bahwa kali ini ia takkan terlepas lagi dan pasti akan celaka. Ia tidak mengira sama sekali bahwa dengan menyebutkan nama Coa ong Sin kai sebagai gurunya, ia dimusuhi oleh semua orang kang ouw!
“Suhu…! Coa ong Sin kai…! Mengapa suhu tidak menolong teecu?” Bi Lan berteriak teriak keras sekali. Maksud gadis ini hanya menakut nakuti para pengeroyoknya untuk mencari kesempatan melarikan diri.
Benar saja, tiga orang pengeroyoknya terkejut mendengar ini dan untuk sesaat serangan mereka mengendur. Mereka berhati hati sekali sambil memandang ke sekeliling, takut kalau betul betul Coa ong Sin kai muncul. Karena hal itu berbahaya sekali bagi mereka.
Bi Lan mempergunakan kesempatan ini hendak lari, akan tetapi melihat gerakan ini, tiga orang pengeroyoknya yang terdiri dari orang orang yang sudah berpengalaman, dapat menduga akan akal bulusnya ini.
“Ha ha ha, ular betina. Kau jangan menipu kami! Kali ini, biarpun si jahat Coa ong Sin kai sendiri berada di sini, kau takkan terlepas dari senjata kami!” kata Bu It Hosiang yang kembali menggerakkan toyanya menghantam kepala Bi Lan. Gadis ini cepat mengelak dan “brak!” toya yang kuat sekali itu menghantam lantai sehingga papan lantai itu pecah dan bolong!
Sementara itu, di bawah panggung, Sin kun Liu Toanio berkata kepada dua orang muridnya. “Kalau saja nona itu bukan murid Coa ong Sin kai, tentu aku akan turun tangan memberi hajaran kepada tua bangka tua bangka yang tak tahu malu itu! Untuk apa kita berada lama lama di tempat ini? Hayo pergi!” Setelah berkata demikian, nenek ini lalu melompat pergi diikuti oleh dua orang muridnya, menghilang di dalam gelap.
Bi Lan sudah terdesak betul betul. Ketika tangan Kim Liong Hoat ong menyambar lehernya, ia sedang mengelak dari serangan tongkat dan toya, maka ia hanya miringkan tubuhnya saja. “Brett!” biarpun lehernya terhindar dari bahaya, namun cengkeraman ini masih saja mengenai pundaknya sehingga pakaian gadis ini di bagian pundak terkena cengkeraman dan robek, kulitnya terbawa sedikit sehingga berdarah pundak Itu.
“Suhu, benar benar suhu tidak muncul?” kembali Bi Lan berseru keras sambil melakukan serangan pembalasan mati matian kepada Kim Liong Hoat ong, yaitu sambil menubruk maju ia memukul ke arah ulu hati kakek ini. Akan tetapi, Kim Liong Hoat ong hanya tertawa mengejek dan sekali ia menangkis, tubuh Bi Lan terhuyung dan celaka sekali bagi gadis ini, ia kena injak papan yang bolong, yang tadi terpukul oleh toya Bu It Hosiang.
“Celaka!” seru gadis ini dengan muka pucat karena kakinya terjeblos sampai di paha bawah panggung! Pada saat itu, toya Bu It Hosiang kembali menyambar kepalanya dengan keras sekali Bi Lan merobohkan dirinya ke belakang sehingga telentang di atas lantai dan toya itu menyambar lewat di atas mukanya dan memukul lantai yang kembali menjadi bolong!
Pada saat yang sudah pasti akan menewaskan nyawa gadis itu, tiba tiba bertiup angin keras dan tahu tahu tubuh seorang kakek tinggi kurus yang matanya liar, pakaiannya tidak karuan memegang sebatang tongkat atau ranting bambu warna kuning, berbintik bintik hijau telah berdiri disitu sambil tertawa terkekeh kekeh dan berkata,
“Siauw niauw, siapa mengganggu kau?”
Pada saat itu, tongkat bambu dari Bu eng Lo kai telah menusuk ke arah jalan darah di leher Bi Lan sedangkan toya dari Bu It Hosiang telah menyambar lagi, kini untuk memberi pukulan maut ke arah dada gadis itu, juga Kini Liong Hoat ong telah mengirim tendangan ke arah kepala Bi Lan!
Hebat sekali akibat dari tiga macam serangan itu setelah kini kakek aneh itu berada di dekat Bi Lan. Dengan kecepatan yang tak terduga sama sekali, ranting bambunya telah melayang dan mendahului gerakan Bu eng Lo kai, menotok jalan darah di leher pengemis tua ini sehingga ia roboh kaku tertotok jalan darahnya. Kemudian, ketika toya Bu It Hosiang mengarah dada Bi Lan, kakek liar matanya ini menggerakkan kaki menendang dan aneh sekali, Toya itu ketika beradu dengan ujung kakinya, terpental dan membalik, bukan memukul dada Bi Lan, bahkan sebaliknya memukul dada Bu It Hosiang sendiri!
Baiknya Bu It Hosiang telah mengerahkan lweekangnya, maka ketika toyanya melakukan gerakan senjata makan tuan ini terdengar suara “buk” dan ia hanya merasa terdorong oleh tenaga besar sehingga tubuhnya terguling ke bawah panggung. Adapun Kim Liong Hoat ong adalah yang paling cerdik. Melihat datangnya kakek ini, ia telah melompat mundur menjauhi dan kini semua orang melihat kakek itu menarik tangan Bi Lan disuruh berdiri.
“Coa ong Sin kai …!” berseru orang orang kang ouw ketika melihat kakek jembel ini.
Coa ong Sin kai tertawa terkekeh kekeh, kemudian ia menudingkan jari telunjuknya yang hanya tulang terbungkus kulit itu ke arah Saru Thai Koksu sambil berkata,
“Kalian ini Sam Thai Koksu yang keluar dari neraka, menjelma di dunia hanya untuk membikin rusuh! Kalau kalian tidak menyerahkan nyawamu padaku, akan kubasmi semua orang di sini. Hayo maju berlutut!”
Sam Thai Koksu menggigil, akan tetapi mereka adalah tokoh tokoh besar dan tentu saja mereka tidak sudi mentaati perintah ini. Bahkan ketiganya lalu mencabut senjata masing masing dan Kim Liong Hoat ong merasa jerih lalu berteriak kepada para tamunya, “Calon calon anggauta Eng hiong hwee, cu wi enghiong yang mulia. Si jahat ini telah datang, mari kita basmi bersama!”
Orang orang yang berkumpul di situ, hampir semua membenci Coa ong Sin kai yang sudah banyak membunuh orang tanpa sebab, yang sudah banyak merobohkan tokoh tokoh kang ouw, maka serentak mereka itu mencabut senjata dan bersiap mengeroyok!
Melihat ini, Coa ong Sin kai menari nari kegirangan dan berkata, “Sayang, sayang, ular ularku tidak berada di sini. Kalau ada mereka akan berpesta pora! Baik, baik, malam ini aku akan mengantar banyak nyawa kesasar kembali ke asalnya!”
Setelah berkata demikian, kaki tangannya bergerak dan terdengar suara “kraak! kraak!” keras sekali. Ternyata tiang tiang panggung itu hampir roboh. Ketika ia melihat tubuh Bu eng Lo kai masih terbaring kaku di lantai panggung, ia lalu mengangkat kaki menginjak kepala pengemis itu.
“Praak!” Pecahlah kepala Itu dan otaknya berhamburan. Kemudian ia menendang mayat Bu eng Lo kai itu ke bawah panggung!
“Suhu, jangan!” Bi Lan mencegah dan merasa ngeri sekali. Gadis ini tahu bahwa gurunya ini kalau sudah marah, amat kejamnya. Gurunya yang berotak miring ini memang pembenci manusia dan akan terjadi perkara mengerikan sekali kalau suhunya ini melanjutkan amukannya.
Akan tetapi Coa ong Sin kai sudah kumat gilanya, ia memondong tubuh muridnya dan membawanya melompat ke bawah panggung. Sekali saja ia menggerakkan kaki menendang tiang besar yang menyangga panggung, terdengar suara keras dan panggung itu roboh, membawa para tokoh besar yang masih duduk di ujung panggung. Mereka yang duduk di atas itu adalah Sam Thai Koksu dan para tokoh tua yang berkepandaian tinggi, maka cepat mereka bergerak melompat turun sehingga semua selamat, kecuali tiga orang pelayan yang ikut jatuh bersama panggung dan tertimpa oleh tiang tiang dan atap sehingga mereka menjerit jerit seperti babi disembelih!
Suma Kwan Seng yang melihat hal ini, menjadi marah sekali. Orang tertua dari tokoh Hui eng pai ini memang bernyali besar sekali, dan juga ia memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Melihat sepak terjang Coa ong Sin kai, ia menjadi marah sekali dan sambil berseru keras ia mencabut pedang lalu menerjang orang gila yang mengamuk itu.
“Pengemis gila, kau jahat dan kejam sekali!”
“Jangan...!” Bi Lan masih berseru mencegah perbuatan Suma Kwan Seng dan juga mencegah gurunya bertindak, akan tetapi terlambat!
Melihat terjangan Suma Kwan Seng yang memutar pedang dan menyerang dengan hebatnya, menusuk ke arah dada Coa ong Sin kai, pengemis sakti ini tertawa bergelak gelak dan ranting bambu di tangannya memapaki pedang itu. Sungguh aneh, ranting itu bagaikan seekor ular, dapat melengang lenggok dan membelit pedang itu, dan ketika Suma Kwan Seng hendak membetot kembali, tahu tahu ia bahkan terdorong ke depan, terbawa oleh tenaga tarikan dari Coa ong Sin kai yang benar benar kuat sekali itu.
Kwan Seng terkejut sekali dan ia tahu akan bahaya. Seandainya ia melepaskan pedangnya dan meloncat mundur, belum tentu keburu karena ia tahu akan kecepatan serangan kakek gila ini, dan jarak antara mereka sudan dekt sekali. Maka lalu menggerakkan tangan kirinya memukul kepala Coa ong Sin kai.
Kakek ini kembali tertawa dan dengan tangan kiri ia mengganti pegangan pada ranting bambunya dan dengan demikian tangan kanannya menerima pukulan itu. Gerakannya cepat sekali dan tahu tahu tangan kiri Suma Kwan Seng yang dipukulkan itu telah tertangkap pergelangannya. Ia memencet dengan tenaga lweekang dan Suma Kwan Seng memekik keras dan terdengar suara “krak” dan tulang pergelangan tangan ketua Hui eng pai itu remuk!
Suma Kwan Seng menjadi nekad sekali. Ia menahan napas, mengerahkan lwekangnya ke arah kepalanya, dengan nekad ia hendak mengadu nyawanya. Ia menyerudukkan kepalanya ke arah dada kakek itu. Akan tetapi Coa ong Sin kai bahkan meloncat sedikit ke atas sehingga yang kena serudukan bukan dadanya melainkan perutnya yang kempis itu! “Cep!” Kepala Suma Kwan Seng menancap di perut Coa ong Sio kai yang masih tertawa ha ha hi hi dan kepala itu tidak dapat terbetot kembali!
Suma Kwan Seng merasa betapa kepalanya sakit sekali, seperti dijepit oleh jepitan besi, berdenyut denyut dan makin lama makin panas. Juga ia tidak dapat bernapas lagi, sehingga kini hanya kedua kakinya yang bergerak gerak seperti orang sekarat.
“Celaka!” teriak Sam Thai Koksu dengan muka pucat.
“Bedebah lepaskan saudaraku!” Suma Kwan Eng mencabut senjatanya, yaitu sepasang tongkat bercagak dan ia menerjang. Akan tetapi Coa ong Sin kai sambil tertawa tawa lalu mengerahkan ambekannya dan tahu tahu tubuh Suma Kwan Seng terpental ke belakang bagaikan sebuah pelor besar menerjang ke arah adiknya sendiri! Suma Kwan Eng lalu melepaskan senjatanya dan menyambut tubuh kakaknya itu, akan tetapi alangkah kagetnya ketika melihat bahwa Suma Kwan Seng sudah mati dan pada kening dan jidatnya ada tanda tanda biru!
Suma Kwan Eng menjerit dan hampir ia pingsan saking marah dan sakit hatinya. Juga Sam Thai Koksu sudah bersiap siap untuk mengeroyok.
“Suhu, jangan banyak membunuh orang ....” Bi Lan kembali berseru, akan tetapi dijawab dengan tertawa menyeramkan oleh Coa ong Sin kai.
Pada saat itu dari atas melayang turun dua tubuh orang tua yang gerakannya ringan dan gesit sekali. “Coa ong Sin kai, orang gila! Biarpun kami senang melihat kau membunuh mereka semua, akan tetapi kau terlalu kejam dan terlalu gila!”
Coa ong Sin kai marah sekali dan cepat ia memandang. Tiba tiba matanya terbelalak lebar dan Bi Lan merasa heran sekali melihat wajah gurunya ini kelihatan takut! Ia cepat menengok dan melihat bahwa yang datang itu bukan lain adalah dua orang kakek kembar yang telah beberapa kali bertemu dengan dia dan main mata!
Dua orang kakek itu sambil tersenyum senyum berdiri di situ, nampak tenang tenang saja seperti di situ tidak terjadi perkara hebat. Keduanya memandang ke arah Coa ong Sin kai dengan senyum mengejek.
“Thian Te Siang mo...” Bibir Coa ong Sin kai berkata perlahan, akan tetapi suaranya cukup terdengar oleh semua orang sehingga muka orang orang itu menjadi makin pucat.
Baru mendengar dan melihat Coa ong Sin kai saja sudah membuat jantung mereka berdebar gelisah, kini nama Thian Te Siang mo membuat mereka seakan akan kehilangan semangat yang terbang keluar dari tubuh saking takutnya!
Sebaliknya Bi Lan cepat memandang dan ia terheran heran. Kedua kakek itu kelihatannya baik hati dan sabar, mengapa ditakuti semua orang kang onw dan dianggap amat kejam dan ganas?
Coa ong Sin kai tiba tiba menyambar tubuh Bi Lan, mengempit pinggang yang ramping dari muridnya itu sambil berseru. “Siauw niauw (burung kecil), mari kita terbang pergi dari sini!”
Setelah berkata demikian, sekali saja ia menggerakkan kedua kakinya, ia telah meloncat tinggi sekali dan lenyap di malam gelap.
“Suhu...! Aku tidak mau ikut suhu pergi…!” Suara gadis ini terdengar jauh sekali, tanda betapa hebatnya ilmu lari cepat dari Coa ong Sin kai itu.
“Sin kai, kau tidak boleh memaksa orang menjadi muridmu!” Te Lo mo berseru dan sekali tubuhnya berkelebat, kakek inipun lenyap dari pandangan mata. Thian Lo mo hanya tersenyum senyum saja.
Adapun Sam Thai Koksu setelah mengetahui bahwa dua orang kakek yang sama muka nya itu adalah Thian Te Siang mo yang amat terkenal di dunia kang ouw, lalu ketiganya maju menghampiri Thian Lo mo yang masih berdiri di situ. Dengan hormat sekali mereka menjura, lalu terdengar Kim Liong Hoat ong berkata, “Oh, tidak tahunya jiwi adalah Thian te Siang locianpwe yang amat terkenal di dunia? Siauwte bertiga menghaturkan hormat kepada jiwi dan silahkan duduk di dalam di mana kita dapat mengobrol dengan enak. Harap jiwi sudi memaafkan bahwa kami tidak mengetahui lebih dulu sehingga berlaku kurang hormat dan tidak mengadakan penyambutan yang selayaknya.”
Akan tetapi, melihat sikap yang bermuka muka ini, Thian Lo mo hanya memperlebar senyumnya, lalu sekali tangannya bergerak mendorong, ia telah melakukan serangan hebat sekali ke arah tiga orang Guru Negara Kin itu! Sam Thai Koksu cepat mengelak, akan tetapi angin dorongan itu tetap saja telah membuat mereka terhuyung huyung mundur sampai lima langkah lebih, seakan akan mereka itu tertiup oleh angin taufan yang kuat sekali!
Ketika Sam Thai Koksu menengok, ternyata Thian Lo mo sudah tidak kelihatan lagi! Mereka menarik napas panjang dan hati mereka menjadi kuncup. Baiknya orang orang seperti Thian Te Siang mo dan Coa ong Sin kai itu tidak mau mencampuri urusan negara, karena kalau mereka itu ikut campur dan memusuhi negara Kin, sungguh beratlah tugas mereka bertiga! Maka mereka lalu cepat menyuruh orang membereskan semua kerusakan dan mengurus semua jenazah yang menjadi korban keributan itu. Pesta dilanjutkan, akan tetapi sekarang sudah tidak dapat ditimbulkan kegembiraan seperti tadi. Semua orang telah ketakutan dan seorang demi seorang, mereka meninggalkan taman itu.
Betapapun cepatnya Coa ong Sin kai berlari, namun ketika fajar menyingsing dan ia telah tiba di tempat yang hampir seratus li jauhnya dari Cin an dan berhenti di pinggir jalan, tahu tahu dari belakangnya terdengar seruan keras.
“Coa ong Sin kai, kau lepaskan nona Itu!”
Pengemis ular ini terkejut dan marah sekali. Ia menurunkan Bi Lan dari pondongannya dan berkata kepada muridnya itu. “Bi Lan, benar benarkah kau tidak mau turut dengan aku dan hendak ikut mereka itu?”
Mendengar suara yang mengandung ancaman dan melihat sinar mata kakek ini, Bi Lan terkejut sekali dan tahu bahwa kalau ia salah omong, gurunya ini tentu takkan segan segan untuk membunuhnya! Maka ia berkata, “Suhu, siapa mau turut mereka? Aku tidak mengenal mereka itu. Aku hanya ingin hidup sendiri, tidak terikat oleh siapapun juga. Maka biarkanlah aku pergi sekarang, suhu.”
Sebelum Coa ong Sin kai menjawab, berkelebat dua bayangan orang dan tahu tahu Thian te Siang mo telah berada di depan mereka! “Coa ong Sin kai, kami tahu kau gila dan ganas. Nona ini mempunyai bahan yang baik, sayang kalau sampai rusak di tanganmu!”
“Iblis kembar! Kalian mau apakah mengejar ngejarku? Bi Lan ini adalah muridku, mengapa tidak kubawa pergi dari tempat celaka itu."
"Kami tahu bahwa dia pernah mempelajari ilmu silatmu yang ganas dan buruk, akan tetapi kamipun mendengar bahwa dia tidak mau ikut dengan kau lagi. Mengapa kau hendak memaksanya?”
“Tak tahu malu! Ada sangkut paut apakah kau dengan urusan kami guru dan murid? ” Coa ong Sin kai membentak dan mukanya menjadi merah saking marahnya. Kalau bukan Thian te Siang mo yang dihadapinya, tentu kakek ini sudah membunuh orang lagi.
“Sangkut paut apa? Kami telah memilihnya untuk mewarisi ilmu silat baru yang kami ciptakan!”
“Bagus!” Coa ong Sin kai melirik ke arah Bi Lan. “Bocah lancang, apakah kau berani hendak menipu gurumu? Kau harus mampus!” Setelah berkata demikian dengan cepat sekali Coa ong Sin kai menubruk dan mengirim serangan maut ke arah lambung muridnya sendiri!
Kalau lain orang yang diserang secara begini tentu ia akan roboh tak bernyawa lagi. Akan tetapi Bi Lan pernah mempelajari ilmu silat dari Raja Ular ini dan karena serangan yang dilakukan oleh Coa ong Sin kai itu adalah jurus dari Ouw wan ciang hoat yang pernah dipelajari oleh Bi Lan, maka dara ini tahu cara mengelaknya. Ia tahu bahwa gurunya menyerang dengan tipu Ouw wan tui san (Lutung Hitam Mendorong Gunung) yang tentu akan diteruskan dengan tendangan berantai yang dahsyat sekali. Maka gadis ini lalu menjatuhkan diri bergulingan di atas tanah dengan gerak tipu Trengiling Turun Gunung.
Memang ia selamat dari serangan pertama itu, akan tetapi Coa ong Sin kai sambil memaki maki terus melompat mengejarnya dan mengangkat tangan memukul! Pada saat itu terdengar bentakan keras, “Jangan bunuh dia!” Dan tubuh Coa ong Sin kai terpental ke belakang. Ternyata bahwa Thian Lo mo telah menangkis pukulan ini. Melihat betapa tubuh Coa on Sin kai terpental, dapat diduga bahwa tenaga lweekang dari Thian Lo mo lebih menang setingkat.
Coa ong Sin kai terkejut dan makin marah ia lalu menyabet dengan ranting bambunya. Sabetan ini tidak boleh dipandang ringan dan Thian Lo mo cukup maklum akan bahayanya sabetan ini. Walaupun senjata kakek ular itu hanya sebatang ranting bambu, namun ranting bambu itu bukanlah bambu biasa, melainkan bambu ular yang hanya terdapat di puncak bukit sebelah selatan Go bi san, sebuah bukit yang penuh ular di mana bambu kuning berbintik bintik hijau ini batangnya penuh dengan ular ular berbisa sehingga ranting bambu ini pun mengandung bisa yang jahat sekali! Thian Lo mo meloncat ke atas lalu berjungkir balik beberapa kali ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan ranting bambu.
Akan tetapi, Coa ong Sin kai maklum bahwa senjata nya ini ditakuti lawan, maka mengejar terus dan mendepak Thian Lo mo sebelum Te Lo mo datang membantu. Pikirnya, kalau ia dapat membunuh Thian Lo mo, biarpun dia harus menghadapi pedang dari Te Lo mo, ia takkan begitu merasa berat, pula biarpun andaikata ia akan mati di tangan Te Lo mo, ia tidak rugi kalau sudah berhasil membunuh Thian Lo mo.
Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa kepandaian Thian Lo mo tinggi sekali. Biarpun ia sedang berjungkir balik di udara, namun Thian Lo mo dapat melihat lawannya mendesak. Tiba tiba ia berseru keras.
“Coa ong Sin kai, terimalah jarum jarumku!” Dan ketika tangannya terayun, sekaligus tujuh batang jarum yang merupakan sinar emas menyambar ke arah tujuh jalan darah di seluruh tubuh Coa ong Sin kai. Itulah Kim kong touw kut cum (Jarum Penembus Tulang Bersinar Emas), salah satu keistimewaan atau kepandaian khusus dari Thian Lo mo!
Kini Coa ong Sin kai yang repot. Sambil menyumpah nyumpah pengemis ular ini memutar ranting bambunya sambil mengelak ke sana ke mari agar jangan sampai menjadi korban jarum jarum itu. Sebatang saja jarum mengenai tubuhnya, akan celakalah dia!
“Curang!” bentaknya marah setelah tujuh batang jarum itu dapat dielakkan. Akan tetapi Te Lo mo telah menghadapinya dengan sebatang pedang kayu! Pedang ini sepotong cabang pohon yang baru saja dipatahkannya dari batangnya.
“Ular hina dina, kau menyerang orang bertangan kosong, sekarang kau bilang orang lain curang? Nah, majulah, kebetulan sekali kami hendak mencoba ilmu silat kami yang baru!”
Coa ong Sin kai pernah bentrok dengan Thian Te Siang mo dan dulu ia sudah kena dikalahkan. Biarpun selama ini Coa ong Sin kai sudah melatih diri dan mendapat kemajuan pesat, namun ia tetap saja merasa jerih menghadapi dua orang kakek kembar yang tingkat kepandaiannya sudah lebih tinggi dari padanya itu. Akan tetapi, karena penasaran dan merasa betapa haknya sebagai guru dari Bi Lan hendak dirampas, ia tidak puas kalau tidak menyerang lebih dulu. Maka sambil berseru keras ia lalu menerjang dengan ranting bambunya yang lihai.
Te Lo mo mengeluarkan pekik menyeramkan dan pedang kayunya digerakkan secara aneh. Inilah Ilmu Silat Thian te kun yang baru baru ini diciptakan bersama kakak kembarnya. Ilmu Thian te kun ini dapat dimainkan baik dengan tangan kosong, berpedang, atau bahkan dengan senjata lain. Oleh karena itu, biarpun ia hanya memegang pedang kayu, namun kelihaiannya tidak kalah oleh pedang pusaka yang manapun juga!
Menghadapi permainan pedang kayu yang aneh ini, Coa ong Sin kai menjadi bingung dan sibuk sekali menjaga diri. Biarpun ranting bambunya cukup ganas, namun ia kalah cepat dan pula kalau gerakan ranting bambunya aneh, maka gerakan pedang kayu ini lebih aneh lagi!
Thian Lo mo hanya menonton saja, lalu sambil tersenyum ia berkata kepada Bi Lan, “Kau lihat, mana lebih hebat, ilmu silat orang gila itu ataukah ilmu silat kami?”
Bi Lan merasa gembira sekali melihat ilmu pedang yang benar benar hebat dan aneh dari Thian Lo mo. Gadis ini berbakat baik dan memiliki pandangan tajam serta kecerdikan otak luar biasa. Ia telah mempelajari Hoa san Kiam hoat dan Kim coa kiam hoat, akan tetapi dua ilmu pedang itu dibandingkan dengan ilmu pedang yang dimainkan oleh kakek berpedang kayu ini, benar benar kalah jauh! Tak terasa pula ia mengeluarkan kata kata memuji.
“Anak baik, kaulah kelak yang akan mewarisi ilmu silat kami Thian te kun!” kata pula Thian Lo mo melihat kegembiraan Bi Lan. “Maukah kau mempelajarinya dari kami?”
Bi Lan melihat betapa Coa ong Sin kai terdesak hebat. Kakek gila itu menyumpah nyumpah dan mempertahankan diri sekuatnya dengan ranting bambunya. “Kalau kalian membunuh suhu, aku takkan mau mempelajari ilmu silatmu yang ganas!” katanya dengan keras.
Te Lo mo mendengar pula ucapan ini, maka sambil tertawa bergelak ia menggerakkan pedang kayunya secara luar biasa sekali, Coa ong Sin kai memaki keras karena pundaknya terluka oleh pedang kayu itu dan biarpun pedang itu sebetulnya hanya sepotong cabang pohon dan ia telah memiliki kekebalan hebat, tetap saja kulit pundaknya pecah dan darah mengalir keluar. Coa ong Sin kai maklum bahwa lawannya tidak bermaksud membunuhnya, maka iapun tahu diri, lalu melompat ke belakang dan sambil mendelikkan matanya kepada Bi Lan, ia berkata,
“Kalau kau mempelajari ilmu silat setan ini, lain kali aku akan membunuhmu!” Sehabis berkata demikian, Coa ong Sin kai tertawa bergelak dan tubuhnya lalu mencelat jauh, menghilang di balik pohon pohon.
Sepasang kakek kembar itu lalu menghadapi Bi Lan. “Nah, sekarang katakan, apakah kau mau menjadi murid kami?”
Bi Lan menjatuhkan diri berlutut dan hatinya girang sekali. “Tentu saja teecu mau mempelajari ilmu silat dari jiwi suhu.” Dalam kegirangannya nona ini lupa bahwa ia tadi telah berjanji kepada Coa ong Sin kai bahwa ia takkan ikut kepada dua orang kakek ini. Hal ini kelak akan mendatangkan permusuhan hebat dari fihak Coa ong Sin kai, bekas gurunya itu.
Thian Te Siang mo yang merasa kecewa karena Ciang Le dianggapnya melanggar kesusilaan dan telah menjadi murid Lulian Siucai, kini menurunkan Ilmu Silat Thian te kun kepada Bi Lan yang mempelajarinya dengan penuh ketekunan. Gadis ini merasa girang bukan main karena memang kepandaian dua orang gurunya ini benar benar hebat sekali. Jauh lebih tinggi daripada kepandaian tokoh tokoh Hoa san pai, bahkan masih lebih tinggi daripada kepandaian Coa ong Sin kai yang terkenal hebat dan lihai!
********************
Sekarang kita menengok keadaan Ciang Le yang telah lama kita tinggalkan. Pemuda ini yang mabok keras, tidak sadar bahwa dirinya diperebutkan oleh guru gurunya dan Lu liang Siucai, murid dan pelayan dari tokoh besar Pak Kek Siansu, Guru Dewa Kutub Utara di Luliang san!
Ketika ia sadar kembali dan merasa dirinya dikempit oleh lengan tangan yang halus tapi kuat sekali dan dibawa lari, Ciang Le menjadi kaget dan heran sekali. Ia dikempit di lengan kanan dan ia tahu bahwa orang ini menggunakan ilmu lweekang yang tinggi sekali, maka kalau ia mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, selain belum tentu ia akan dapat terlepas, juga itu amat membahayakan dirinya. Maka ia lalu menengok muka orang yang membawanya lari. Ia makin terheran heran, karena wajah orang itu nampaknya sebagai seorang sasterawan tua yang halus raut mukanya dan lembut sinar matanya.
“Lo enghiong, siauwte hendak kau bawa kemanakah?” tanyanya.
Ketika melihat bahwa Ciang Le sudah sadar kembali, Luliang Siucai tersenyum dan menghentikan larinya, lalu melepaskan tubuh pemuda itu yang segera berdiri di depannya. “Anak muda, aku mendengar bahwa kau bernama Go Ciang Le, apakah benar kau berjuluk Hwa I Enghiong dan menjadi murid dari Thian Te Siang mo?”
“Betul, memang siauwte bernama Go Ciang Le. Tidak tahu siapakah lo enghiong dan mengapa tahu tahu lo enghiong membawa lari siauwte?”
Sasterawan tua itu tersenyum dan memandang tajam. “Orang muda, coba kauingat ingat, lupakah kau akan peristiwa yang baru saja kaualami di rumah ketua Hek kin kaipang?”
Ciang Le mengerutkan keningnya dan mengingat ingat dan perlahan lahan semua pengalamannya terbayang kembali sampai pada saat ia minum arak dan mabok, lalu terbayang pula sikap yang genit dan tak tahu malu dari Cun Eng yang cantik! Tak terasa lagi merahlah wajah Ciang Le ketika ia teringat akan semua itu.
“Tahukah kau bahwa karena perbuatanmu di dalam rumah ketua Hek kin kaipang itu, hampir saja kau mati oleh kedua orang gurumu sendiri? Mereka amat marah dan jemu melihat kelakuanmu.”
“Akan tetapi, siauwte sama sekali tidak melakukan pelanggaran! Siuwte tidak... tidak...”
Luliang Siucai mengangkat tangannya mencegah Ciang Le melanjutkan pembelaannya. “Aku tahu, anak muda. Kalau aku tidak tahu bahwa kau berhati bersih, apa kau kira aku begitu usilan dan merampasmu dari Thian Te Siang mo yang hendak membunuhmu? Karena kau telah menolong seorang sasterawan muda, maka hatiku tergerak dan ketika aku melihat betapa kau terjerumus dalam sarang ular cantik itu aku segera membawamu keluar.”
Ciang Le memandang dengan penuh perhatian. Kakek ini melihat sikap dan pakaiannya, terang adalah seorang sasterawan tua, akan tetapi mengapa memiliki Kepandaian silat yang begitu tinggi? Tadi saja ia sendiri sudah menyaksikan ketika kakek ini mengempitnya dan sekarang mendengar bahwa kakek ini dapat merampasnya dari tangan Thian Te Siang mo yang hendak membunuhnya, ia benar benar merasa terkejut.
“Siapakah lo enhiong yang gagah perkasa?” tanyanya.
Luliang Siucai tertawa perlahan. “Aku tidak punya nama. Apakah artinya nama bagi orang tua seperti aku? Kau masih muda dan bertulang pendekar. Siansu tentu akan senang melihatmu. Kau ikutlah saja padaku.”
Setelah berkata demikian, ia menyambar tangan Ciang Le dan berlari cepat seperti terbang. Ciang Le terpaksa mengerahkan ilmunya berlari cepat karena kalau tidak, ia tentu akan terseret. Biarpun sasterawan itu nampaknya lari biasa saja, akan tetapi Ciang Le harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk dapat mengimbanginya. Hati pemuda ini berdebar aneh. Orang ini saja kepandaiannya sudah seimbang atau bahkan lebih tinggi dari pada kepandaian Thian Te Siang mo, akan tetapi orang ini masih mengaku rendah tidak berarti dan hendak membawanya kepada Siansu. Ah, sampai di manakah hebatnya kepandaian orang yang disebut Siansu itu? Karena ingin tahu sekali, Ciang Le tidak banyak membantah dan mengikuti sasterawan ini yang menuju ke sebuah gunung yang menjulang tinggi.
Luliang Siucai ternyata percaya betul kepada Ciang Le. Biarpun sasterawan itu tidak pernah bicara apa apa lagi, ia tidak memaksa Ciang Le ikut dengan dia. Mereka makan dan mengaso atau tidur tanpa banyak cakap, hanya kalau mereka melanjutkan perjalanan, barulah Luliang Siucai memegang tangan Ciang Le sehingga perjalanan dilakukan cepat sekali.
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi tibalah mereka di lereng Pegunungan Luliang san. Ketika mereka tengah berjalan cepat dan tiba di daerah terbuka di mana hanya terdapat rumput alang alang yang luas dan tidak nampak pepohonan, tiba tiba terdengar suara bersiut keras dan Ciang Le melihat belasan batang anak parah meluncur cepat sekali ke atas udara. Belasan batang anak panah ini di susul oleh belasan batang anak panah lain lagi yang tepat mengenai anak anak panah pertama sehingga anak anak panah itu patah menjadi dua. Kembali menyusul rombongan anak panah ke tiga yang seperti juga tadi, mematahkan rombongan anak panah ke dua. Baru saja rombongan ke dua ini di patahkan oleh rombongan ke tiga, dari bawah meluncur lagi rombongan ke empat dan demikian sampai tujuh rombongan dari belasan anak panah, semua diluncurkan dengan cara main main dan anak anak panah dari rombongan berikutnya mematahkan anak anak panah yang terdepan!
“Bagus sekali!” Ciang Le memuji karena sesungguhnya ilmu panah yang didemontrasikan itu benar benar hebat!
Baru saja ia menutup mulutnya, tiba tiba meluncur belasan anak panah ke arah mereka dan anehnya, semua anak panah itu sama sekali tidak tertuju kepada kakek sasterawan, melainkan seluruhnya menyambar ke arah Ciang Le! Pemuda ini terkejut dan juga marah sekali ia lalu mengeluarkan Kim kong touw kut ciam sebanyak belasan batang, lalu disambitkannya ke arah anak panah yang terbang datang. Sambitannya ini tepat dan jitu, juga dilakukan dengan tenaga keras.
Memang benar ada tujuh batang anak panah yang menjadi mencong arahnya ketika terbentur oleh sinar sinar kuning emas dari jarum jarum yang dilepas oleh Ciang Le, akan tetapi masih ada lima batang yang cepat mengarah tubuhnya! Ciang Le kaget sekali. Tidak saja jarum jarumnya kalah kuat sehingga anak anak panah itu masih terus meluncur biarpun menceng arahnya, namun lima batang yang kini menyambar itu benar benar berbahaya sekali.
“Suheng, jangan main main dan menakut nakuti hati orang muda!” Sasterawan tua itu berseru dan sekali ia mengebutkan ujung lengan bajunya lima batang anak panah itu runtuh ke atas tanah.
Berbareng dengan terdengarnya suara ketawa yang keras dan kasar muncullah tubuh manusia dari balik alang alang yang tinggi. Orang ini tubuhnya tinggi besar dan kekar, nampak kuat sekali. Pakaiannya adalah baju perang yang indah dan gagah. Mukanya keren dan menyeramkan seperti muka Kwan Kong, panglima perang terkenal di jaman Sam Kok, matanya lebar dan kulit mukanya kemerah merahan. Cambang dan jenggotnya memanjang sampai di dada. Ciang Le kagum sekali melihat orang tua yang gagah perkasa ini, maka sekali pandang saja menimbulkan rasa suka dan hormat.
“Sute, mengapa kau membawa orang muda ini naik ke tempat kita? Kulihat dia tadi menggunakan Kim kong touw kut ciam milik Thian Te Siang mo, siapakah orang muda ini? Hati hati, kau nanti bisa membuat Siansu marah besar,” kata orang yang berpakaian seperti panglima perang itu.
“Suheng, secara kebetulan saja aku bertemu dengan orang muda ini. Memang dugaanmu benar, dia adalah murid dari Thian Te Siang mo yang hendak membunuhnya, maka aku mencegahnya.”
“Eh, sute, mengapa kau begitu tidak tahu aturan? Urusan antara guru dan murid, mengapa kau ikut mencampurinya? Itu tidak baik!”
Ciang Le diam diam kagum melihat sikap orang gagah ini yang demikian jujur dan polos.
“Nanti dulu, suheng, sabarlah. Kalau dia tidak berjasa terhadap kami orang orang sasterawan apakah aku mencampuri urusannya?” Sasterawan tua ini lalu menceritakan betapa Ciang Le telah menolong seorang terpelajar muda yang disiksa oleh anak buah Hek kin kaipang, kemudian betapa ia melihat kebersihan hati Ciang Le yang tidak sudi menurut bujukan Cun Eng yang cantik genit, dan kemudian ia menuturkan betapa Thian Te Siang mo tanpa memeriksa lagi, menyangka muridnya berjina dengan ketua Hek kin kaipang itu dan hendak membunuhnya.
“Hm, kau ini kutu kutu buku memang saling membela dan menangkan fihak sendiri,” orang gagah yang sesungguhnya adalah Lu liang Ciangkun, atau pelayan dan murid pertama dari Pak Kek Siansu, mencela adik seperguruannya.
“Bukan begitu, suheng. Kaulihatlah sendiri baik baik, tidak pantaskah anak itu menghadap Siansu?”
Luliang Ciangkun menggerakkan kedua kakinya yang besar dan kuat itu menghampiri Ciang Le. Dipandangnya pemuda ini seperti seorang pedagang kuda memandang seekor kuda yang hendak dibelinya, menaksir naksir dan menyelidik, menepuk nepuk bahu pemuda itu dan mengetuk ngetuk buku buku tulangnya! Ciang Le merasa geli dan juga penasaran, akan tetapi oleh karena maklum bahwa orang jujur itu tidak bermaksud buruk atau menghina, ia diam saja, hanya mengerahkan lweekangnya tiap kali ditepuk atau diketuk, karena kalau tidak tentu ia akan merasa sakit.
Luliang Ciangkun agaknya nampak puas. Ia telah dapat merasa bawa tenaga yang membuat tangannya terbentur pada kulit dan daging yang keras tiap kali ia menepuk dan mengetuk, dan ia tahu bahwa pemuda itu memang bertulang bersih dan berbakat baik sekali. Akan tetapi, diantara tiga orang pelayan dan murid Pak Kek Siansu, memang Luliang Ciangkun atau yang biasa disebut si Panglima ini, adatnya paling keras dan kukuh. Pak Kek Siansu sudah memesan agar jangan ada orang luar datang mengganggunya, dan dalam hal memegang teguh larangan ini Panglima ini memang paling kukuh. Berbeda dengan si Sasterawan (Luliang Siucai) atau si Petani (Lulang Nung jin) yang kadang kadang masih suka menyampaikan permohonan permohonan tolong dari rakyat jelata kepada guru mereka.
“Kau adalah murid dari Thian Te Siang mo, siapa bisa bilang bahwa kau tidak mempunyai watak yang buruk seperti guru gurumu? ” ia membentak sambil menghadapi Ciang Le. “Kau tidak boleh menghadap Siansu!”
Ciang Le memang berwatak sabar, akan tetapi ia masih muda sekali dan kini menghadapi perlakuan kasar seperti itu, tentu saja ia merasa penasaran dan marah. Hanya, terhadap seorang tua, ia masih dapat menekan kemarahannya hingga memperlihatkan muka biasa saja, akan terapi ia menjawab juga.
“Orang tua gagah, tak perlu kiranya aku menyangkal dan mengaku aku bahwa aku mempunyai watak yang baik. Siapa orangnya di dunia ini mau mengaku berwatak buruk? Hanya orang lain yang berhak menentukan apakkah watak kita baik atau buruk, dan dalam hal watakku, kalau kau menganggapnya buruk, terserah. Adapun tentang Siansu yang kau sebutkan itu, bukan kehendakku untuk berjumpa, sungguhpun aku ingin sekali menyatakan penghormatanku kepada Pak Kek Siansu, akan tetapi aku dibawa oleh lo enghiong ini.”
“He, siapa bilang kau akan menghadap Pak Kek Siansu?” kini sasterawan itu bertanya heran. Memang dia belum pernah memperkenalkan diri sendiri, apalagi menyebut nyebut nama Pak Kek Siansu.
Ciang Le tersenyum. “Bukankah lo enghiong ini Luliang Siucai dan orang tua gagah ini Luliang Ciangkun? Apakah sukarnya menebak ini kalau melihat sikap, pakaian, dan tingkat kepandaian jiwi? Sudah lama siauwte mendengar tentang tiga orang tua yang gagah perkasa dan yang menjaga Bukit Luliang san, yaitu Luliang Ciangkun, Luliang Siucai dan Luliang Nungjin, sekarang siauwte melihat jiwi berdua, dan mendengar jiwi menyebut nyebut Siansu siapa lagi kalau bukan Pak Kek Siansu yang jiwi maksudkan?”
Panglima dan sasterawan itu saling pandang, kemudian tertawa gelak.
“Kau mempunyai otak juga!” Panglima itu memuji. “Eh, kau anak siapakah?”
“Ayah bunda siauwte sudah meninggal dunia oleh bala tentara Kin,” jawab Ciang Le.
Mendengar ini, tiba tiba Luliang Ciangkun mencabut pedangnya yang besar dan berat, lalu sekali ayun saja pedangnya itu menimpa batu karang. Terdengar bunyi keras dan terlihat bunga api berpijar menyilaukan mata dan batu karang itu terbelah menjadi dua! Dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga dari panglima ini, dan menjadi bukti bahwa pedangnya itupun pedang baik sekali.
“Keparat Bangsa Kin!” teriaknya gemas “Kalau tidak ada Siansu yang mencegah, sudah sejak dulu aku turun gunung dan membasmi mereka!”
“Suheng, Siansu mengajar kita mengendalikan nafsu, apakah suheng sudah lupa lagi?”
Luliang Ciangkun menarik napas panjang dan alangkah heran dan kagetnya hati Ciang Le ketika ia melihat betapa di atas pipi panglima ini terdapat dua titik air mata yang besar dan bening! Diam diam ia merasa terharu juga. Ia dapat menyelami jiwa panglima besar ini. Sebagai seorang panglima besar yang berjiwa patriotis, tentu saja hatinya sakit melihat Tiongkok dihina dan dihisap oleh Bangsa Kin, akan tetapi ia lebih taat dan tunduk kepada pesan suhunya, maka kini ia hanya dapat menekan gelora semangatnya.
“Anak baik, jadi orang tuamu menjadi korban musuh? Siapakah nama ayahmu?”
“Ayah bernama Go Sik An,” jawab Ciang Le dengan jujur.
Akan tetapi, jawaban ini membuat dua orang tua itu meloncat dan segera Ciang Le dipeluk dari kiri kanan oleh sasterawan dan panglima itu.
“Apa…? Sungguh kebetulan sekali. Jadi kau ini keturunan Go taihiap? Aduh, anakku…!” kata sasterawan dan kini kedua orang tua itu mengucurkan air mata sungguh sungguh!
Tentu saja Ciang Le merasa terheran heran. la tidak tahu bahwa kedua orang ini dahulunya adalah kawan kawan seperjuangan dari Go Sik An dan tentu saja mereka merasa terharu sekali melihat putera dari Go Sik An yang dihukum gantung karena membela negara dan tanah air.
Pada saat itu datanglah seorang kakek lain yang pakaiannya penuh lumpur demikianpun kedua kakinya yang telanjang. Celananya digulung sampai sebatas lutut, kepalanya ditutup caping (topi yang atasnya runcing) bundar lebar sekali seperti payung dan tangan kirinya memanggul sebatang cangkul. Dilihat sekelebatan saja, tahulah orang bahwa dia adalah seorang petani yang rajin. Di tangan kanannya ia memegang sebuah alat dari kayu dan besi yang besar dan berat sekali. Kayu ini ternyata sebuah bajak yang besar dan yang biasanya ditarik oleh kerbau untuk meluku sawah, akan tetapi melihat cara kakek ini menjinjing, agaknya ringan sekali. Maka Ciang Le dapat menduga bahwa ini tentulah orang ke tiga dari para murid atau pelayan Pak Kek Siansu, yakni yang bernama atau yang disebut Luliang Nung jin (Petani dari Gunung Luliang).
“Jiwi suheng, lihat betapa aku telah dapat membuat sebuah luku yang akan meringankan pekerjaan para kerbau. Kasihan binatang binatang itu harus menarik luku yang giginya terlalu melengkung dan kurang runcing, dengan luku buatanku ini, pekerjaan akan lebih cepat dan ringan. Kalian lihat!”
Sambil berkata demikian, biarpun ia masih jauh dari mereka, petani ini telah melemparkan luku tadi yang melayang cepat sekali menimpa ke arah panglima dan sasterawan yang sedang memeluk Ciang Le Pemuda ini melihat betapa benda yang berat itu melayang turun dan dengan kaget ia mendapat kenyataan bahwa dua orang kakek yang memeluknya tidak menyambuti sama sekali! Ini berbahaya karena kalau mereka tertimpa oleh luku yang demikian berat dan besarnya, biarpun tubuh mereka kebal, tentu mereka akan terluka juga. Apalagi dia sendiri yang tentu akan tertimpa pula. Dengan cepat Ciang Le melompat ke depan dan mengulurkan kedua tangannya menyambuti luku yang besar ini.
Baiknya Ciang Le amat cerdik dan ia telah menduga lebih dulu bahwa lemparan kakek itu tentu bertenaga besar sekali sehingga ia sudah berlaku hati hati. Benar saja, ketika kedua tangannya menyambut luku yang datang menimpa, ternyata tenaga lemparan kakek itu luar biasa kuatnya ditambah pula oleh gaya bobot benda itu sendiri sehingga kalau ia mempergunakan tenaganya untuk menerima benda ini, tentu ia akan terluka di sebelah dalam tubuhnya!
Maka Ciang Le lalu mempergunakan gerakan yang disebut Siu po pan san (Sambut Mustika Memindahkan Gunung). Kedua kakinya membuat kuda kuda tegak dan dibuka lebar lebar, tubuhnya agak direndahkan dan ketika luku itu ia terima dengan tangan yang terangkat ke atas, ia lalu mengayun luku itu dengan bantuan ayunan tubuh dan kedua lengannya, terus ia melemparkan luku itu ke atas kepalanya! Dengan cara ini, maka tenaga luncuran luku itu menjadi patah dan habis, kemudian ketika benda itu turun kembali dengan tenaga luncuran lemah, ia menerimanya dengan mudah dan cepat membungkuk dan memberi hormat kepada si Petani.
“Siauwte Go Ciang Le memberi hormat kepada Luliang Nung jin yang terhormat dan gagah perkasa.”
Petani itu hendak menegur, akan tetapi ketika ia melihat dua orang suhengnya berdiri dengan muka basah oleh air mata, ia menjadi melongo dan memandang dan pemuda itu kepada dua orang suhengnya penuh pertanyaan. “Eh, eh, apakah yang terjadi?” tanyanya.
“Sute, perkenalkanlah. Dia itu adalah Go Ciang Le, keturunan satu satunya dari sahabat kita Go taihiap,” kata Sasterawan kepada adik seperguruannya.
“Kau maksudkan Go Sik An, suheng?” tanya petani itu sambil membelalakkan matanya.
Ketika melihat Sasterawan itu mengangguk, Luliang Nung jin nampak girang sekali. Ia melempar paculnya dan sambil menari nari ia lalu menghampiri Ciang Le, menangkap pinggang pemuda itu dan melemparkan Ciang Le ke atas! Bukan main hebatnya tenaga lemparan ini sehingga Ciang Le terpaksa hanya mengerahkan keseimbangan badannya saja sehingga ia dapat meluncur turun dengan tegak.
Memang orang termuda dari tiga sekawan yang aneh ini berwatak paling gembira. Setiap hari ia mengerjakan sawah sambil bernyanyi nyanyi, meniup suling dan bersenda gurau dengan para petani di bawah gunung.
“Bagus, bagus! Kau keponakanku yang tampan dan gagah! Siapa namamu? Go Ciang Le? Bagus, bagus! Eh, suheng, setelah dia berada di sini, apakah kehendak jiwi?”
“Kami hendak membawanya menghadap Siansu, sute.”
Petani itu nampak terkejut. “Siansu terus menerus bersamadhi, bahkan laporanku tentang sawah ladang sama sekali tidak didengarnya. Siansu makin dingin menghadapi urusan dunia. aku sangsi apakah dia akan menerima orang muda ini.”
“Kita coba cobalah! Segala sesuatu ada jodohnya, siapa tahu kalau Ciang Le berjodoh dengan Siansu,” kata Sasterawan sambil menarik tangan pemuda itu.
Mendengar semua percakapan ini, diam diam Ciang Le merasa tidak enak sekali, maka ia berkata. “Sam wi lo enghiong (tiga orang tua gagah), mana berani siauwte mengganggu Pak Kek Siansu!”
“Keponakanku, kau tidak tahu. Memang Siansu mencari seorang yang berjodoh untuk mewarisi kepandaiannya. Kami tiga orang tua bangka mana ada bakat untuk mewarisinya? Hayolah!, jangan ragu ragu, ada kami bertiga yang menanggung!” kata Petani yang berwatak gembira itu.
Karena tidak ingin menyinggung hati tiga orang kakek aneh ini, terpaksa Ciang Le ikut dengan mereka mendaki puncak bukit itu. Kini iapun seperti tadi digandeng tangannya oleh Sasterawan sehingga dapat berlari cepat sekali, kalau tidak, tentu ia akan tertinggal ke belakang karena gerakan tiga orang kakek itu benar benar cepat sekali. Diam diam Ciang Le merasa kagum sekali dan berpikir bahwa tiga orang kakek ini yang menjadi pelayan dan murid Pak Kek Siansu sudah demikian tinggi kepandaiannya apalagi Guru Dewa itu sendiri! Ah, kalau, saja ia dapat diterima menjadi murid, alangkah senangnya.
Jalan menuju ke puncak sukar sekali, makin menanjak makin sulit dilewati. Tidak saja di situ tidak terdapat jalan biasa, bahkan terkurung oleh jurang jurang yang dalam dan jalan hanya dapat dilakukan melalui batu batu karang yang amat licin karena selalu basah oleh halimun. Akan tetapi, bagi tiga orang kakek itu mudah saja untuk melalui itu semua dan akhirnya mereka tiba di puncak Ciang Le merasa heran sekali karena berbeda dengan tadi kini puncak itu sama sekali tidak tertutup halimun. Bahkan sinar matahari memancar sepenuhnya. Di atas puncak bukit ini terdapat sebuah pondok kayu yang besar dan kokoh kuat. Di sinilah Pak Kek Siansu bertapa dan mengasingkan diri dari dunia ramai, dilayani oleh tiga orang kakek aneh itu.
Ketika tiga orang pelayan itu datang menghadap bersama Ciang Le, Pak Kek Siansu sedang bersamadhi dan meramkan matanya Orang tua ini sudah berusia tinggi, sedikitnya delapan puluh tahun, kepalanya sudah botak dan hanya di bagian bawah dan di belakang telinganya saja masih ada rambut yang halus berwarna putih kekuningan tumbuhnya jarang sekali. Alisnyapun sudah putih semua, demikian pula jenggotnya. Kulit mukanya putih kemerahan dan halus sekali, seperti muka seorang anak bayi. Tubuhnya sehat dan agak gemuk, pakaiannya sederhana, dari kain putih yang dililit lilitkan pada tubuhnya.
“Siansu…!” tiga orang kakek pelayan itu sambil berlutut menyebut suhu mereka.
“Ada apa lagi kalian datang menggangguku?” Pak Kek Siansu berkata, suaranya halus dan sabar akan tetapi ia tidak bergerak dari samadhinya, bahkan tidak membuka mata, hanya bertunduk saja, Ciang Le merasa tidak enak sekali mendengar pertanyaan ini, karena sesungguhnya, dia tidak akan bertega hati untuk mengganggu orang suci yang sudah lanjut usianya ini.
“Maaf, Siansu. Teecu bertiga datang menghadap bersama seorang pemuda yang benar benar teecu lihat mempunyai bakat dan tulang yang bersih dan baik, patut menjadi ahli waris daripada Luliang san,” kata Sasterawan.
Hening sejenak, kemudian terdengar kakek botak itu menarik napas panjang, akan tetapi tetap tidak membuka matanya ketika berkata “Hm, apa gunanya lagi? Siapa orangnya sanggup menerima latihan Pak kek sin ciang (Ilmu Silat Sakti dari Kutub Utara)? Kalian bertiga yang sudah berlatih silat puluhan tahunpun tak sanggup menerimanya.”
“Siansu, anak muda ini berbeda lagi. Ia pasti bisa!”
“Tiada gunanya, aku sudah tua, tidak ada nafsu mengajar lagi.”
“Siansu, penjajah Kin masih saja menindas rakyat, apakah tidak perlu dibasmi? Siapakah kuat menghadapi mereka selain pemilik dari ilmu Pak kek sin ciang? ” tiba tiba Luliang Ciangkun Si Panglima berkata dengan suaranya yang besar.
“Aku tidak mau mengurus soal pemerintahan,” jawab kakek tua itu tanpa membuka mata.
“Siansu, kaum petani masih tertindas mati matian, kerja banyak makan kurang. Pak kek sin ciang masih amat dibutuhkan untuk membahagiakan dan menolong keadaan mereka!” kata petani, Luliang Nungjin.
Pak Kek Siansu tetap diam saja bahkan kini ia tidak mau membuka mulut lagi. Ciang Le benar benar merasa jengah, malu, dan tidak enak hati terhadap kakek itu. Ia merasa seakan akan ikut mengganggu ketenteraman hidup orang suci itu, maka ia lalu berkata,
“Siansu, mohon banyak maaf apabila teecu mengganggu dengan kehadiran teecu di tempat terlarang dan suci ini.”
“Tidak apa, tidak apa, kalian pergilah!”
“Siansu, apakah keturunan seorang gagah, perkasa yang sudah mengorbankan nyawa sendiri dan nyawa keluarganya harus didiamkan begitu saja? Siansu, pemuda ini adalah putera dari Go Sik An!”
Aneh, mendengar ini, kakek itu membuka kedua matanya dan memandang kepada Ciang Le. Ketika pemuda ini mengangkat muka memandang, terkejutlah ia karena sepasang mata kakek ini benar benar amat tajam, seakan akan menembusi dadanya dan menjenguk ke dalam hati! Cepat cepat ia lalu mengangguk angguk sambil berlutut, memberi hormat.
Pak Kek Siansu memandang kepada tiga orang murid atau pelayannya, lalu katanya “Semenjak tadi, aku sudah tertarik oleh pemuda ini, hanya masih ragu ragu karena tidak tahu siapa dia. Tidak tahunya dia putera dari mendiang Go taihiap! Kalian bertiga boleh keluar menjaga, jangan perbolehkan orang lain masuk. Biar anak ini mencoba kekuatan semangatnya.”
Setelah tiga orang kakek itu pergi dengar wajah puas dan girang, Pak Kek Siansu bertanya. “Orang muda, siapakah namamu?”
“Teecu bernama Go Ciang Le, Siansu.”
Kakek itu mengangguk angguk. “Kau pernah belajar ilmu silat dan lweekang, sayang sekali pelajaran yang kau terirna itu sifatnya, kurang bersih! Gurumu tentu orang orang yang tidak bisa dibilang baik, siapa mereka?”
Ciang Lee merasa tak senang juga mendengar gurunya dicela, maka ia menjawab, “Teecu memang murid dari Thian Te Siang mo, akan tetapi bagi teecu, kedua orang suhu itu baik dan mulia hatinya.”
“Hm, tak salah dugaanku. Kau datang menghadap aku inipun bukan kehendakmu sendiri, akan tetapi atas desakan ketiga orang muridku. Sekarang katakan, apakah kau suka mempelajari Pak kek sin ciang? Aku tidak mau memaksa orang.”
Ciang Le benar benar merasa heran. Kakek ini kelihatan lemah lembut peramah dan halus tutur sapanya, akan tetapi isi dari pada kata katanya itu bersifat kasar, jujur, dan tidak banyak hiasan. Juga ia kagum sekali melihat kecerdikan kakek tua ini karena ternyata dapat menduga segala sesuatu dengan tepat sekali biarpun semenjak tadi ia hanya dieramkan mata dan duduk tak bergerak.
“Sesungguhnya, teecu datang bukan atas kehendak teecu sendiri, melainkan atas desakan dan setengah paksaan ketiga lo enghiong tadi. Akan tetapi tentang mempelajari ilmu silat, apabila Siansu yang mulia suka memberi petunjuk, tentu teecu akan merasa berterima kasih sekali dan akan mempelajarinya baik baik.”
Sepasang mata Pak Kek Siansu melebar, “Betulkah? Kau takkan menyesal? Ingat, Ilmu Silat Pak kek sin ciang itu bukan sembarangan ilmu silat dan tidak mudah diyakinkan. Sedangkan tiga orang muridku tadi, yang kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaianmu, mereka juga tidak sanggup melatih ilmu silat ini!”
“Teecu akan mencoba dan teecu berjanji akan mempelajarinya dengan tekun dan rajin.”
“Akan tetapi, latihannya amat berbahaya, anak muda. Kalau kau lulus, itulah amat baik, akan tetapi sebaliknya kalau tidak, kau dapat kehilangan nyawamu!”
Ciang Le terkejut sekali. Mana ada ilmu silat yang demikian anehnya? Akan tetapi pikirannya sudah bulat. Kalau ia hendak mempelajari ilmu silat yang paling tinggi, di sinilah tempatnya, pikirnya. “Biarpun teecu harus berkorban nyawa, teecu akan mentaati segala petunjuk dari Siansu.”
Kakek tua itu nampak puas dan tersenyum sambil mengangguk angguk. “Kau bersemangat besar dan berhati teguh seperti ayahmu! Akan tetapi ini bukan main main. Dengarlah dulu beberapa macam latihan ujian untuk mempelajari Pak kek Sin ciang ini. Kau harus berpuasa dua puluh satu hari, sama sekali tidak boleh makan dan hanya hidup dari hawa udara saja, kau harus menghindari sinar matahari selama dua puluh satu hari dan hidup di dalam gua yang gelap, menghadapi godaan dari pikiran dan nafsu nafsumu sendiri. Kau harus tidur di atas salju selama dua puluh satu hari, kemudian tidur di dalam gua dekat api unggun yang panas sekali selama dua puluh saiu hari pula. Beberapa ujian yang kusebutkan tadi baru beberapa diantaranya, belum ujian pengendalian nafsu dan lain lain.”
“Teecu akan lakukan semua itu dengan patuh” kata Ciang Le dengan suara tetap.
Setelah mendapat kenyataan akan ketabahan dan ketetapan hati pemuda itu. Pak Kek Siansu tertawa puas dan berkata, “Baiklah, Ciang Le, kaulah satu satunya muridku yang kelak akan menjunjung tinggi nama baik Luliang san dan akan mempergunakan Pak kek Sin ciang dalam perbuatan nyata.”
Mulai hari itu, Ciang Le berdiam di puncak Luliang san dan menerima gemblengan dari Pak Kek Siansu yang sudah tua sekali itu. Benar saja seperti yang dikatakan oleh Guru Dewa itu, latihan latihannya amat berat. Bukan saja berat bagi jasmani, terutama beratlah latihan latihan batinnya. Dan setelah pada waktu menjalani latihan menghindarkan cahaya matahari, tahulah Ciang Le mengapa tiga orang kakek murid Pak Kek Siansu itu tidak sanggup. Di dalam latihan ini, di mana ia bersamadhi, Pak Kek Siansu yang sudah memiliki ilmu batin tinggi sekali itu, sengaja menggoda muridnya dengan menyalurkan pikirannya kepada pikiran muridnya, di mana guru besar ini dengan kekuatan batinnya membayangkan segala macam kesenangan dunia yang akan meruntuhkan iman seorang pertapa!
Akan tetapi baiknya Ciang Le masih perjaka dan tidak begitu mudah jatuh oleh bayangan wanita cantik, pula ia memang memiliki hati bersih dan bakat yang baik sehingga ia dapat lulus dari semua ujian itu. Setelah mengalami ujian bermacam macam yang makin lama makin berat, barulah perlahan lahan, Pak Kek Siansu menurunkan ilmu silatnya yang luar biasa, yaitu Pak kek Sin ciang yang belum pernah dituturkan pada siapapun juga, bahkan yang belum pernah dipergunakan di dunia ini, karena tanpa mempergunakan ilmu silat inipun, tak seorangpun berani mengganggu atau memusuhi Guru Dewa ini!
Dengan tekun dan rajin sekali Ciang Le melatih diri, sama sekali tak pernah keluar dari puncak sehingga ia tidak tahu bahwa tak lama setelah ia diterima menjadi murid olek Pak Kek Siansu, di atas Bukit Luliang san tim datang seorang tamu, yaitu tokoh dari Hoa san pai, Liang Tek Sianseng!
********************
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah Bi Lan diculik oleh Coa ong Sin kai, tokoh tokoh Hoa san pai menjadi gempar dan Liang Tek Sianseng mendapat tugas untuk minta bantuan Pak Kek Siansu agar Coa ong Sin kai suka melepaskan murid Hoa san pai itu Kedatangan tokoh Hoa san pai ini disambut oleh Luliang Siucai yang sudah kenal baik dengan tokoh Hoa san pai yang juga seorang sasterawan ini.
Kedua orang tokoh ini bertemu dan segera asik bercakap cakap.
“Sayang sekali, saudaraku yang baik, Siansu pada waktu ini sedang sibuk sekali dan tidak boleh diganggu. Ada keperluan apakah gerangan maka, saudara jauh jauh datang dari Hoa san pai dan agaknya amat perlu bertemu muka dengan Siansu?”
Liang Tek Sianseng lalu menceritakan tentang diculiknya Bi Lan oleh Coa ong Siu kai dan segala peristiwa yang terjadi di puncak Hoa san.
“Kami merasa tidak sanggup mengalahkan Coa ong Sin kai, dan oleh karena kita semua sudah maklum akan kejahatan Pengemis Raja Ular itu, maka kami hendak mohon pertolongan Siansu untuk menegur Coa ong Sin kai sehingga murid kami itu dapat dibebaskan kembali.”
“Sayang, Siansu tak mungkin diganggu. Akan tetapi, baiklah aku akan pergi bersama untuk mencari Raja Ular itu. Agaknya memandang muka guruku, ia akan tunduk kepadaku.”
Bukan main girangnya Liang Tek Sianseng mendengar kesanggupan sasterawan ini. Ia maklum bahwa kepandaian Luliang Siucai ini saja sudah amat tinggi dan ia percaya bahwa Luliang Siucai akan dapat mengalahkan Coa ong Sin kai apabila Raja Ular itu hendak menggunakan kekerasan.
Dua orang sasterawan yang memiliki kesukaan yang sama ini lalu bercakap cakap dan main catur sampai tiga hari di atas puncak Luliang san. Kemudian Luliang Siucai lalu berpamit kepada suhengnya, yaitu Luliang Ciangkun dan sutenya, Luliang Nung jin, untuk turun gunung. Ia berpesan agar suka menyampaikan kepada Siansu apabila Siansu menanyakan, kecuali ditanya, tiga orang ini tidak berani mengganggu Pak Kek Siansu!
Demikianlah, dua orang sasterawan tua yang keduanya merupakan tokoh tokoh persilatan yang berilmu tinggi ini, bersama sama turun gunung untuk mencari Coa ong Sin kai dan minta Bi Lan yang telah diculik oleh pengemis aneh itu.
********************
Semenjak Coa ong Sin kai dan Thian Te Siang mo mengacau pertemuan di malam hari dalam taman di kota Cin an yang diadakan oleh Sam Thai Koksu, maka hati ketiga orang guru negara pemerintah Kin ini menjadi kuncup dan kecil. Ternyata di Tiongkok terdapat banyak sekali orang orang kang ouw yang benar benar memiliki kepandaian tinggi sekali.
Suma Kwan Eng, orang kedua dari Hui eng pai, ketika kakaknya, yaitu Suma Kwan Seng, tewas di tangan Coa ong Sin kai, menjadi demikian sakit hati, sehingga ia lalu mengumpulkan anak buahnya dan menggabungkan diri kepada Sam Thai Koksu untuk rela menjadi kaki tangan Bangsa Kin! Suma Kwan Eng amat sakit hati kepada Hoa san pai, karena pembunuh adik seperguruannya, yakni Ciu Hoan Ta, adalah Tan Seng, tokoh Hoa san pai. Kemudian, biarpun pembunuh kakaknya adalah Coa ong Sin kai, namun terbunuhnya adalah gara gara Bi Lan, anak murid Hoa san pai pula! Untuk menjatuhkan sakit hati kepada Coa ong Sin kai, itulah terlalu berat baginya, maka segala kesalahan ia timpakan kepada Hoa san pai semua.
Beberapa hari semenjak peristiwa yang terjadi di taman kota Cin an itu, datanglah seorang kakek tua dari perantauannya, yaitu yang bernama Ba Mau Hoatsu, seorang tokoh dari Tibet yang kenamaan. Ba Mau Hoatsu adalah sahabat baik yang dihormati sekali dari Sam Thai Koksu dan hubungannya dengan Pemerintah Kin adalah karena Ba Mau Hoatsu ini menjadi guru dari Wanyen Kan seorang pangeran Kin yang selain berwajah tampan, juga berilmu tinggi.
Kedatangan Ba Mau Hoatsu bersama dengan pangeran ini. Semua orang menyambut dua orang agung ini dengan penuh penghormatan. Ketika Ba Mau Hoatsu mendengar tentang pengacauan di Cin an oleh Coa ong Sin kai dan Thian Te Siang mo, ia menjadi marah sekali.
“Kepandaian Coa on Sin kai sih tidak berapa hebat. Aku sendiri sanggup menghadapinya dan takkan kalah. Akan tetapi Thian Te Siang mo memang lihai sekali. Kalau dua orang iblis itu memusuhi kita, baiknya aku memanggil datang Pak Hong Siansu yang kini tinggal di Tibet. Hanya sahabat baikku Pak Hong Siansu itu saja yang akan sanggup menghadapi dan mengalahkan Thian Te Siang mo!”
Sam Thai Kok su merasa girang sekali, akan tetapi Pangeran Wanyen Kan berkata, “Akan tetapi, suhu. Bukankah Pak Hong Siansu sudah menjadi wali dari Buddha hidup di Tibet? Kedudukannya paling tinggi di Tibet, dan beliau sudah tua, mana mau datang ke sini? ”
Ba Mau Hoatsu tertawa bergelak. “Benar kata katamu itu, muridku. Akan tetapi akulah yang lebih kenal wataknya. Memang kedudukannya tinggi, hidupnya sudah makmur dan tidak membutuhkan sesuatu sehingga mustahil dia mau datang ke sini yang begitu jauh dari sana. Akan tetapi kalau kita beri tahu tentang Thian Te Siang mo, kiraku dia mau juga turun tangan, karena dia adalah seorang yang tidak mau kalah dan kalau mendengar orang mengabarkan bahwa hanya kepandaian Thian Te Siang mo lebih tinggi dari kepandaiannya, kupastikan ia akan menjadi penasaran dan dengan sendirinya ia yang akan mencari Thian Te Siang mo untuk diajak pibu!”
“Baiklah kalau suhu mau ke barat untuk mengunjungi Pak Hong Siansu, akan tetapi teecu hendak melancong ke Biciu,” kata Pangeran Wanyen Kan.
“Eh, apakah kau tidak kembali ke kota raja dulu? Apakah nona Hoa san pai itu sudah demikian hebat pengaruhnya atas dirimu?”
Ditanya demikian oleh gurunya, Wanyen Kan menjadi merah mukanya. “Teecu ingin mengambil kepastian, suhu,” katanya dan Ba Mau Hoatsu hanya tertawa.
“Ah, orang orang muda memang berdarah panas.”
Tentu saja semua orang tidak tahu akan maksud kata kata guru dan murid ini, akan tetapi siapakah orangnya yang berani bertanya kepada Ba Mau Hoatsu atau kepada Pangeran Wan yen Kan? Hanya seorang saja yang berada di situ menjadi amat tertarik, yaitu Suma Kwan Eng. Seperti diketahui, bekas ketua Hui eng pai ini menaruh hati dendam hebat kepada Hoa san pai, maka segala sesuatu yang didengarnya mengenai Hoa san pai tentu saja menarik hatinya. Diam diam ia lalu mendekati Pangeran Wan yen Kan dan mengajaknya bercakap cakap.
Pangeran Wan yen Kan masih muda, paling banyak dua puluh empat tahun usianya. Tubuhnya tidak begitu besar, akan tetapi tegap dan gagah. Wajahnya halus tampan, rambutnya yang hitam dan tebal itu diikat di atas kepala. Dandanannya seperti orang Han dan karenanya, jarang ada orang mengetahui bahwa pemuda ini sebenarnya adalah Pangeran Wan yen Kan, seorang pangeran putera Kaisar Kin!
Wan yen Kan suka mengenakan pakaian orang orang Han karena memang semenjak menjelang dewasa, ia telah melakukan perantauan dan banyak menjelajah daerah pedalaman Tiongkok Karena ia semenjak kecil mendapat pendidikan ilmu silat dari Ba Mau Hoatsu, maka kepandaiannya tinggi sekali dan dalam perantauannya, ia selalu berlaku hati hati agar tidak menarik perhatian orang kang ouw, akan tetapi ia selalu dapat menjaga diri dengan baik baik.
Oleh karena ini, namanya tidak terkenal di dunia kang ouw, akan tetapi siapa saja yang sudah menghambakan diri kepada pemerintah Kin, pasti sudah mengenal nama Wan yen Kan sebagai pangeran yang paling pandai, paling tampan paling disayang oleh kaisar dan banyak orang meramalkan bahwa Wan yen Kan inilah yang kelak akan menggantikan ayahnya sebagai kaisar!
Ketika Wan yen Kan mendengar bahwa orang bertubuh tinggi besar dan nampak kuat dan gagah itu adalah ketua dari Hui eng pai yang ternama, ia menaruh perhatian dan sebentar saja mereka menjadi sahabat baik. Suma Kwan Eng memang pandai sekali bermuka muka dan bicara manis. Akhirnya ia berhasil memancing pangeran muda itu untuk menceritakan, pengalamannya yang bersangkutan dengan nona Hoa san pai seperti yang dibicarakan dengan Ba Mau Hoatsu tadi.
Beberapa bulan yang lalu, Wan yen Kan seorang diri sedang merantau ke selatan dan berada di wilayah Kerajaan Sung selatan. Pada masa itu, Tiongkok dibagi dua, sebelah utara Sungai Huai dikuasai dan dijajah oleh pemerintah Kin, adapun daerah selatan dari Sungai Huai dikuasai oleh Kerajaan Sung. Akan tetapi dalam kenyataannya, Kerajaan Sung setengah dijajah oleh Kerajaan Kin, dan di dalam banyak hal, Kerajaan Sung selalu mengalah. Beberapa kali terjadi pelanggaran pelanggaran oleh orang orang dari pemerintah Kin, akan tetapi pemerintah Sung hanya mengurut dada saja dan tidak berani bertindak. Bahkan, Kerajaan Sung selalu bermuka muka untuk mengambil hati Kerajaan Kin yang amat kuat.
Kalau saja Wan yen Kan melakukan perjalanan sebagai seorang pangeran Kin, tentu ia akan mendapat sambutan di mana mana, sambutan yang amat besar dan penuh penghormatan. Sebaliknya, nyawapun akan terancam bahaya besar karena selain di satu fihak para pembesar Kerajaan Sung akan menyambutnya, di lain fihak orang orang kang ouw dan gagah perkasa yang masih menaruh sakit hati kepada bala tentara Kin yang dulu pernah menyerang ke selatan, tentu akan berusaha untuk membunuh pangeran musuh ini.
Akan tetapi, seperti biasa kalau melakukan perjalanan, Wan yen Kan selalu berpakaian seperti orang Han dan karena ia pun pandai berbahasa Han seperti orang orang Han asli ia dapat melakukan penyamaran dengan amat mudahnya...