Pendekar Budiman Jilid 11
TAN SENG tertawa bergelak mendengar ini. “Jadi kalian ini, Sam Thai Koksu dari Kerajaan Kin, hendak menangkap kami atas tuduhan memberontak? Ha, ha, benar benar lucu sekali! Kami adalah orang orang Han aseli, penduduk Tiongkok sejak ribuan tahun yang lalu, keturunan nenek moyang kami yang selamanya menjadi penduduk pribumi, sekarang kalian cap sebagai pemberontak? Eh, Sam Thai Koksu, dengarlah baik baik. Tahukah kalian mengapa rakyat Tiongkok memberontak terhadap pemerintahaamu? Karena orang orang bangsamu yang memegang pemerintahan, adalah orang orang picik seperti kalian pula, yang dengan bodoh sekali dapat dihasut oleh orang orang macam Bu lt Hosiang, mempergunakan kedudukan dan kepandaian untuk memeras rakyat jelata, demi kesenangan dan kebesaran serta kemuliaan diri sendiri”
“Tutup mulutmu!” bentak Tiat Liong Hoat ong, orang termuda dari Sam Thai Koksu.
“Mengapa kami harus menutup mulut?” Liang Bi Suthai balas membentak. “Kami berada di tempat sendiri. Kami adalah tuan rumah dan kalian adalah tamu, tamu tamu yang tidak mengenal aturan. Kalian hendak menawan kami? Silakan kalau kalian sanggup!”
Ini merupakan tantangan hebat dan dengan marah sekali Tiat Liong Hoat ong lalu menerjang maju setelah mencabut goloknya yang lebar dan tajam. Liang Bi Suthai berlaku waspada dan cepat mengelak dan mencabut keluar pedangnya yang tipis pendek. Nenek tua yang lihai dari Hoa san pai ini maklum akan kelihaian lawan, namun ia tidak takut sama sekali dan dengan gemas membalas serangan lawan. Sebentar saja sinar pedang dan golok berkelebatan dan tubuh mereka terbungkus oleh gulungan sinar senjata.
Bu It Hosiang mengeluarkan suara geraman seperti harimau dan hwesio ini lalu menggerakkan tongkatnya menyerang Tan Seng yang segera menghadapinya sambil menggerak gerakkan kedua ujung lengan bajunya yang panjang. Memang untuk menghadapi serangan tongkat lawan, senjata yang berupa ujung legan baju kanan kiri merupakan senjata yang amat baik, karena selain ujung lengan baju ini dapat dipergunakan untuk menyampok ujung tongkat, juga dapat dipergunakan untuk melihat dan merampas tongkat lawan. Akan tetapi tentu saja dibutuhkan pengalaman, kepandaian, dan tenaga untuk dapat mainkan kedua ujung lengan baju dengan baik. Adapun Bu It Hosiang adalah seorang tokoh Go bi pai yang sudah tinggi ilmu silatnya, maka pertempuran itu berjalan seru sekali, tidak kalah ramainya dengan pertempuran yang berjalan antara Liang Bi Suthai melawan Tiat Liong Hoat ong.
Kim Liong Hoat ong dan Gin Liong Hoat ong tidak mau tinggal diam dan keduanya lalu melompat maju disambut oleh Liang Gi Cinjin din Liang Tek Sianseng. Seperti juga Tan Seng, Liang Gi Cinjin hanya mempergunakan kedua ujung lengan bajunya, adapun Liang Tek Sian seng telah mengeluarkan sepasang pit bulunya yang digerakkan secara lihai, menghadapi serbuan Gin Liong Hoat ong yang memegang sepasang ruyung warna hijau. Hebat sekali adalah gerakan Kim Liong Hoat ong yang bersenjatakan sebatang rantai baja yang besar dan berat. Liang Gi Cinjin yang kepandaiannya paling lihai diantara saudara saudaranya, harus mengerahkan ginkangnya untuk menghadapi rantai baja ini.
Sebetulnya, tingkat kepandaian Sam Thai koksu masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian tokoh tokoh Hoa san pai, namun karena pada saat itu para tokoh Hoa san pai maklum akan kelihaian lawan, mereka melawan mati matian dan bersemangat sehingga pertandingan berjalan seru sekali. Biarpun fihaknya takkan mengalami kekalahan, namun melihat jalannya pertandingan demikian lama, Pak Hong Siansu tidak sabar lagi. Tiba tiba tubuhnya berkelebat luar biasa cepatnya memasuki gelanggang pertempuran dan berturut turut Tan Seng, Liang Tek Sianseng, dan Liang Gi Ciijin roboh terkena totokannya. Bukan main lihainya tokoh besar Tibet ini, yang dengan sekali serang saja sudah berhasil merobohkan tiga tokoh Hoa san pai!
Akan tetapi, karena Liang Bi Suthai seorang wanita, ia merasa malu untuk menyentuh tubuh nenek ini dan ia hanya mengerahkan pikulannya dari jarak jauh Namun demikian, ketika sambaran hawa pukulan itu menyerang Liang Bi Suthai, nenek ini terhuyung kebelakang dan saat itu dipergunakan oleh Tiat Liong Hoat ong untuk menyerang dengan goloknya secara hebat sekali!
Tubuh Liang Bi Suthai sudah terhuyung dan kedudukannya amat lemah, maka menghadapi serangan golok ini, ia terkejut sekali dan cepat , menjatuhkan tubuhnya ke belakang agar jangan sampai “termakan” oleh golok lawan. Akan tetapi, Tiat Liong Hoat ong tidak mau memberi hati lagi dan ketika kaki kanannya menendang. Liang Bi Suthai terlampir dan menderita patah tulang iganya!
Namun, dasar seorang yang berkepandaian tinggi, ia masih dapat meloncat berdiri dengan muka pucat dan ketika Tiat Liong Hoat ong menotoknya, ia tidak berdaya lagi dan tertawan seperti juga tiga orang saudaranya.
Demikianlah, empat orang tokoh Hoa san pai ini tertawan dan digiring menuju ke Cin an oleh Pak Hong Siansu dan kawan kawannya. Mereka tidak berdaya untuk melawan lagi karena mereka berada dalam keadaan tertotok dan tidak dapat menggerakkan kedua tangannya. Lebih lebih Liang Bi Suthai, yang telah menderita luka dan tidak terawat, keadaannya amat sengsara sehingga tiga orang saudaranya yang melihat keadaan nenek ini menjadi kasihan dan terharu sekali.
Dengan nafsu marah meluap luap, Bi Lan melakukan perjalanan cepat sekali dan pada suatu hari sampailah ia di kota Taigoan. Karena hari sudah malam, ia lalu bermalam di sebuah hotel besar dan menyewa sebuah kamar cukup bersih, ia bermaksud untuk melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya pagi pagi, akan tetapi keinginannya ini gagal karena tak tersangka sangka ia menghadapi perkara besar. Ketika ia memasuki hotel, ia melihat tujuh orang laki laki yang bertubuh tinggi besar dan nampaknya galak tengah duduk menghadapi meja di ruang tengah. Mereka ini terang sekali adalah orang orang kang ouw yang kasar, karena begitu mereka melihat Bi Lan, tujuh orang itu menghentikan percakapan dan memandang kepada Bi Lan dengan mata kurang ajar sekali.
Namun Bi Lan biarpun merasa amat mendongkol tidak mau memperdulikan mereka dan memasuki kamarnya. Akan tetapi sebelum ia menutup pintu ia mendengar percakapan mereka tanpa disengaja dan alangkah kagetnya ketika ia mendengar seorang diantara mereka menyebut nyebut nama Lie Bu Tek!
“Lebih dulu kita singkirkan Lie Bu Tek itu, baru kita menggunakan kekerasan terhadap Hek kin kaipang!” kata orang berbaju kotak kotak dengan lagak sombong. Agaknya dia yang menjadi kepalanya, karena Bi Lan mendengar orang orang yang lain membenarkan kata kata ini.
Malam itu Bi Lan tak dapat tidur. Ia berlaku waspada dan memasang telinga baik baik, siap untuk mengikuti tujuh orang yang mengancam hendak menyingkirkan suhengnya itu. Akan tetapi tujuh orang yang menyewa kamar kamar besar di bagian belakang, malam itu tidak keluar dan terpaksa Bi Lan menanti saja di dalam kamarnya dan akhirnya tertidur. Ia mengambil keputusan untuk menyelesaikan perkara ini lebih dulu sebelum melanjutkan perjalanannya, ia tidak tahu entah di mana adanya Lie Bu Tek yang diancam oleh tujuh orang kasar itu, akan tetapi ia hendak mengikuti mereka. Demikianlah pada keesokan harinya ketika pagi pagi rombongan dari tujuh orang itu keluar dari hotel, diam diam Bi Lan mengikuti mereka.
Tujuh orang itu kembali memandang kepadanya dengan sikap menjemukan sekali, akan tetapi oleh karena Bi Lan ingin mengikuti mereka, gadis mi menahan sabarnya. Ia pikir belum waktunya turun tangan karena ia ingin tahu lebih dulu kemana tujuh orang itu hendak pergi mencari Lie Bu Tek. Ternyata bahwa orang orang itu pergi menuju ke persimpangan jalan lalu membelok ke kiri. Mereka berhenti di depan sebuah rumah dan berdiri di depan pintu rumah itu dengan sikap ugal ugalan.
“Hek kin kai pangcu (ketua Perkumpulan Sabuk Hitam)! Suruh bangsat Lie Bu Tek keluar untuk mengadu kepandaian dengan kami kalau memang kau anggap dia lebih jantan!” seru orang yang berpakaian baju kotak kotak sambil menggerak gerakkan sepasang ruyungnya dengan lagak jagoan.
Bi Lan menjadi heran sekali. Apakah mungkin Lie Bu Tek suhengnya itu berada di dalam rumah ini? Mengapa suhengnya berada di dalam rumah perkumpulan pengemis? Untuk memuaskan keinginan tahunya kenapa sampai lama dari rumah itu tidak terdengar jawaban, diam diam Bi Lan, lalu mempergunakan kepandainnya, meloncat dari belakang tembok rumah dan terus naik ke atas genteng. Gerakannya demikian ringan dan lincah laksana seekor burung walet saja sehingga tidak di ketahui oleh lain orang, baik oleh tujuh orang yang sedang petentang petenteng di depan pintu maupun oleh penghuni rumah itu.
Ketika ia membuka genteng mengintai, tiba tiba mukanya menjadi merah sekali. Ia melihat Lie Bu Tek yang berwajah kurus sekali sedang rebah di atas pembaringan dan di pinggir pembaringan itu duduk seorang wanita cantik dan berpakaian mewah dan bersikap genit. Beberapa kali wanita itu menggunakan tangannya yang halus untuk membelai muka Lie Bu Tek, bahkan mengelus elus rambut pemuda itu dan terdengar ia berkata perlahan,
“Kau tenanglah dan tidurlah. Selama aku berada disampingmu orang orang kasar itu takkan dapat mengganggumu! tak seorangpun di dunia ini boleh merampas kau dari tanganku.”
Bi Lan menjadi tertegun, terheran, mendongkol dan juga jengah sendiri. Siapakah perempuan ini dan mengapa suhengnya rebah di situ dan dikawani oleh seorang perempuan cantik yang bersikap seakan akan menjadi kekasihnya? Akan tetapi untuk meloncat turun, ia merasa malu sekali, maka kini Bi Lan hendak menumpahkan kemendongkolan hatinya kepada orang orang kasar yang mengancam Lie Bu Tek. Ia maklum bahwa keadaan Lie Bu Tek demikian lemah seperti orang sakit maka tak mungkin dapat melawan orang orang itu. Ia hendak membereskan orang orang, itu lebih dulu, baru kemudian ia hendak menyelidiki ke dalam untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya dari suhengnya yang amat mencurigakan hatinya itu.
Dengan beberapa lompatan saja Bi Lan sudah berada di atas genteng halaman depan dan tubuhnya lalu melayang turun ke bawah menghadapi tujuh orang itu. Tentu saja tujuh erang itu menjadi terkejut sekali ketika mengenal Bi Lan. Tadinya mereka mengira bahwa Hek kin kai pangcu sendiri yang akan keluar menyambut mereka, tidak tahunya yang datang adalah gadis yang sehotel dengan mereka dan yang kecantikannya membuat mereka tertarik sekali.
“Eh, nona manis! Siapakah kau? Apakah kau kawan dari Hek kin kai pangcu yang sengaja menyuruhmu memata matai kami ?” tanya orang yang berbaju kotak kotak sambil menyeringai dan memandang dengan mata kurang ajar,
“Eh, Gak twako, bunga ini berikan kepadaku. Bukankah twako sudah punya bunga dari Hek kin kaipang?” tiba tiba seorang yang memegang golok berkata. Orang ini berbaju hitam dan tubuhnya tinggi besar dengan muka seperti seekor lutung. Ia cengar cengir dan mendekati Bi Lan, lalu berkata.
“Nona manis, kalau kami sudah membikin mampus bangsat Lie Bu Tek itu dan Gak twako menikah dengan nona Kiang Cun Eng kau pun menikah dengan aku! Aku masih bujang dan di seluruh Taigoan tidak ada yang tidak mengenal Kwa Swan si golok sakti! Ha ha ha!”
Akan tetapi, ketawanya terhenti sampai di situ ketika tiba tiba Bi Lan menggerakkan tubuhnya. Dengan kecepatan yang luar biasa sekali sehingga tidak terlihat oleh lawannya, Bi Lan menggunakan kedua tangannya dengan berbareng. Tangan kanan merampas golok dan tangan kiri menggaplok muka orang.
Kwa Swan menjerit jerit seperti babi disembelih. Hidungnya berdarah dan pecah terkena gamparan tangan kiri Bi Lan sedangkan goloknya kena dirampas oleh gadis itu! Selagi ia mengaduh aduh, kaki kiri Bi Lan bergerak menendang dan bagaikan sebutir pelor, tubuh orang she Kwa ini mencelat sampai tiga tombak jauhnya dan ia roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi karena ia telah menjadi pingsan!
Sebelum menuturkan keadaan Bi Lan lebih jauh, baiklah kita mundur dulu dan melihat bagaimana Lie Bu Tek bisa berada di tempat itu dan siapa adanya rombongan tujuh orang yang mengancamnya ini.
Seperti pernah dituturkan di bagian depan dengan hati patah dan amat berduka, Lie But Tek meninggalkan Ling In dengan maksud hendak mencari Wan yen Kan. Kemudian, bukannya berhasil membunuh Wan yen Kan, bahkan ia terkalahkan oleh Giok Seng Cu dan hampir saja ia tertawan kalau tidak tertolong oleh bayangan aneh yang kita ketahui adalah Ciang Lee. Makin kecewalah hatinya dan ia merantau dengan hati patah dan keadaan amat sengsara. Akhirnya ia tiba di kota Taigoan dalam keadaan payah karena hatinnya yang tertindih serta makannya yang amat tidak terjaga itu membuat ia jatuh sakit.
Namun kegagahannya masih tetap tidak lenyap. Di kota ini, ketika ia sedang berjalan dengan muka pucat, kurus, dan mata sayu, ia melihat seorang pengemis tua diseret seret oleh dua orang pengemis muda. Jiwa kesatria di dalam tubuhnya menuntut melihat perlakuan tidak adil dari dua orang pengemis muda ini, maka biarpun tubuhnya amat lemah dan kepalanya pening, Lie Bu Tek melompat maju dan sekali ia menerkam, ia telah berhasil mencengkeram leher dua orang pengemis muda itu yang segera dilontarkan sehingga dua orang itu jatuh tunggang langgang!
“Congsu (orang gagah), jangan ikut campur urusan kami!” pengemis tua itu berseru kepadanya sehingga Bu Tek berdiri tertegun. Bagaimana ada orang ditolong bahkan menegurnya?
Sementara itu, tiba tiba ia telah dikerumuni oleh banyak orang pengemis dan baru sekarang Bu Tek mendapat kenyataan bahwa semua orang pengemis itu memakai ikat pinggang hitam yang sama! Diantara para pengemis ini, muncul seorang kakek bongkok yang memegang sebatang tongkat hitam. Dengan muka menyeringai, kakek ini menudingkan tongkatnya kepada Bu Tek lalu memaki.
“Orang muda yang lancang dari manakah berani mencampuri urusan dalam perserikatan kami Hek kin kaipang? Ketahuilah bahwa setelah aku Beng san kui berada di sini, kau takkan kuberi ampun sebelum kau berlutut dan minta ampun sambil membayar denda seratus tail perak!”
Lie Bu Tek adalah seorang pemuda perantau yang sudah banyak pengalamannya, maklum akan keanehan orang orang kang ouw dan kini mendengar sebutan Hek kin kaipang diam diam ia terkejut sekali karena nama ini adalah nama perkumpulan pengemis yang amat berpengaruh. Ia cepat menjura tanda hormat, lalu berkata,
“Maaf, lo enghiong Siauwte Lie Bu tek dai Hoa san pai tidak tahu bahwa siauwte berhadapan dengan para orang gagah dari Hek kin kaipang. Tadi siauwte melihat seorang pengemis tua diseret seret oleh dua orang muda, maka karena kasihan, tanpa menyelidiki lebih dulu telah turun tangan, harap dimaafkan.”
Beng san kui tertawa bergelak dengan suara besar, jauh berbeda dengan potongan tubuhnya yang kecil bongkok. “Ha, ha ha! Bocah Hoa san pai berani main gila. Kau tidak tahu bahwa pengemisitu adalah anggota kami yang melanggar dan melakukan pencurian makanan, karenanya harus dihukuum. Sekarang kau telah berlaku lancang, hayo lekas berlutut dan keluarkan uang denda itu!”
Mendengar ini, panaslah hati Lie Bu Tek. Ia memang sedang berduka dan hatinya, penuh dendam penasaran, sekarang ada orang menghinanya, tentu saja ia menjadi marah. “Beng san kui, kau sombong sekali! Apakah kau tidak mau memandang muka orang lain dan mengingat hubungan orang orang tang ouw? Aku sudah minta maaf, akan tetapi siapa sudi berlutut dan membayar denda?”
“Kalau begitu, kau harus merasakan kerasnya tongkatku!” kata Beng san kui yang segera menyerang dengan tongkat hitamnya.
Bu Tek terkejut sekali dan cepat ia menggerakkan tubuhnya mengelak lalu membalas serangan lawan. Akan tetapi, ternyata kakek pengemis yang bertubuh kecil itu gesit sekali dan sebentar saja Bu Tek yang sudah amat lelah dan pening itu terdesak hebat. Akhirnya, tak dapat tertangkis lagi pundaknya terpukul tongkat dan terasa amat sakit. Kini Bu Tek menjadi mata gelap dan dicabutnya pedangnya, lalu ia mengamuk, namun tongkat di tangan Beng san kui benar benar lihai dan dalam jurus ke tiga puluh, sebuah dorongan tongkat mengenai dada kanan pemuda itu yang segera terguling roboh dan pingsan! Kalau sekiranya tubuh Bu Tek tidak demikian lemah, belum tentu Beng san kui akan dapat merobohkannya dengan mudah, biarpun sebetulnya tingkat ilmu silat si kate ini memang masih lebih tinggi daripada kepandaian Bu Tek.
Beramai ramai tubuh Lie Bu Tek diangkat oleh para pengemis dan dibawa ke rumah perkumpulan mereka untuk melaporkan hal pemuda itu kepada ketua mereka, yaitu nona Kiang Cun Eng yang sudah lama kita kenal. Nona ini adalah ketua Hek kin kaipang yang dulu tergila gila kepada Ciang Le.
“Bunuh saja pemuda ini!” kata Bi Mo li, nenek pengemis seperti setan yang amat galak itu.
“Suruh dia membayar denda seribu tail perak!” kata Siang tung him, kakek tampan yang buntung kaki kirinya.
Seperti telah kita ketahui, Kiang Cun Eng mempunyai tiga orang pembantu yang lihai, yaitu kakek pendek bongkok Beng san kui (Setan Gunung Sakti), nenek jembel bermuka setan Bi Mo li (Setan Perempuan Cantik), dan kakek berkaki sebelah Siang tung him (Biruang Tongkat Dua). Akan tetapi, begitu melihat Lie Bu Tek, hati Kiang Cun Eng amat tertarik, apalagi ketika mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari Hoa san pai. Semenjak gagal menarik perhatian Ciang Le, nona ini merasa amat kecewa dan berduka. Memang tidak sukar baginya untuk mencari jodoh karena banyak laki laki yang tergila gila kepada nona yang cantik, kaya dan berkepandaian tinggi ini. Akan tetapi tak seorangpun diantara mereka berkenan di hati Kiang Cun Eng. Mana ia mau pandang mata kepada segala pemuda biasa yang biasanya hanya berpakaian mewah dan menjual lagak! Ia merindukan seorang suami yang gagah perkasa. Dan Bu Tek cocok dengan bayangan pemuda yang dirindukannya.
“Dia murid Hoa san pai, tidak boleh diganggu. Baringkan di kamarku dan sediakan obat!” kata ketua ini dan tak seorangpun berani membantahnya.
Dengan amat telaten dan penuh perhatian, Kiang Cun Eng sendiri merawat Lie Bu Tek. Hek kin kaipangcu ini tidak mengulangi kekecewaannya seperti dulu ketika ia bertemu dengan Ciang Le. Disamping memberi minum obat kepada Bu Tek yang selain terluka juga menderita sakit panas itu, ia memberi pula tiap hari semacam arak yang telah dicampur dengan obat pemabok. Oleh pengaruh obat inilah maka Lie Bu Tek menjadi tak berdaya, seakan akan berada dalam mimpi dan terjatuh ke dalam kekuasaan dan pengaruh kecantikan Kiang Cun Eng. Pemuda ini seakan akan tidak tahu lagi apa yang dilakukannya. Patah hati dan kedukaan telah membuat ia kurang perduli akan kehidupannya, dan sekarang di bawah pengaruh obat pemabok, wajah Cun Eng yang cantik, sikapnya yang genit, dan kesenangan yang diberikan oleh ketua Hek kin kaipang itu kepadanya, membuat Bu Tek lupa akan segalanya.
Namun di dalam lubuk hatinya. Bu Tek tetap merana, tetap menderita. Hal ini terbukti dari keadaan tubuhnya yang kurus pucat, ia seakan akan tak bersemangat lagi, bagaikan boneka hidup. Di dalam kota Taigoan, selain adanya perkumpulan pengemis Hek kin kaipang yang berpengaruh sekali dan boleh dibilang menjadi pembantu penjaga keamanan kota, baru baru ini terbentuk pula sebuah perusahaan pengantar barang yang dikepalai oleh tujuh orang saudara seperguruan. Perusahaan ekspedisi ini diberi nama Jit liong piauwkiok (Piauwkiok Tujuh Naga) dan setiap kali mereka mengantar dan mengawal barang, tempat barang ditancapi tujuh buah bendera kecil yang kesemuanya bergambarkan liong dalam tujuh macam warna!
Kalau diceritakan memang aneh, akan tetapi sesungguhnya betul bahwa diantara tujuh orang piauwsu ini, yang paling tinggi kepandainnya dan bahkan yang menjadi kepalanya orang termuda! Dia ini bernama Gak Un Kiong, dan biarpun ia termuda usianya, namun saudara saudaranya menyebutnya “twako” untuk tanda menghormat! Memang mereka ini orang orang kasar yang tidak begitu mengindahkan kesopanan atau peraturan dan hal ini pun tidak begitu aneh kalau orang mengetahui asal usul mereka. Gak Un Kiong dan kawannya ini memang bekas perampok perampok kejam yang telah keluar dari hutan dan kini mencoba peruntungan dengan menjadi piauwsu!
Kepandaian Gak Un Kiong dan kawan kawannya memang cukup lihai, apalagi orang she Gak ini sendiri, kepandaiannya tinggi dan tenaganya besar. Di samping itu, enam orang saudaranya juga memiliki kepandaian tinggi, belum diingat akan hubungan hubungannya dengan dunia hitam (penjahat penjahat), maka tentu saja ia amat berpengaruh.
Kiang Cun Eng maklum akan hal ini, namun ia melarang anak buahnya mengganggu. Gak Un Kiong karena ia anggap bahwa biarpun mereka itu bekas perampok, akan tetapi kalau sekarang sudah bertobat dan mau menjadi penduduk baik baik, bahkan menjadi piauwsu, mengapa harus diganggu? Ia tahu bahwa kalau ia mengganggu piauwsu piauwsu bekas perampok itu, ia akan mengundang permusuhan hebat dengan orang orang jahat dan hal ini amat berbahaya bagi perkumpulannya sendiri. Pendeknya, Kian Cun Eng hanya akan turun tangan kalau benar benar terbukti orang melakukan kejahatan.
Ketika Gak Un Kiong melihat Cun Eng pada suatu hari, jatuhlah hatinya terhadap nona ketua ini dan serta merta ia majukan lamaran. Akan tetapi mana gadis ini mau menerimanya? Dengan sikap halus, ia menolak pinangan itu dengan alasan bahwa ia masih mempunyai tugas berat sebagai pemimpin Hek kin kaipang dan belum ada ingatan menikah. Gak Un Kiong mengerti bahwa penolakan ini berdasarkan rasa tidak suka maka diam diam ia merasa sakit hati sekali.
Namun terhadap ketua dari Hek kin kaipang, ia tidak berani mempergunakan kekerasan, ia bukan seorang bodoh dan tahu pula akan kelihaian Kiang Cun Eng yang dibantu oleh tiga orang tua yang berkepandaian tinggi pula, maka ia menahan hatinya dan diam diam ia berjanji pada diri sendiri bahwa ia akan merintangi dengan kekerasan, hanya apabila ketua Hek kin kaipang itu akan menikah dengan orang lain. Pendeknya, kedua fihak, baik dari Pihak Jit liong piauwkiok maupun dari fihak Hek kin kaipang saling menaruh perasaan jerih dan tidak mau membuat gara gara.
Dan akhirnya datanglah Lie Bu Tek yang kini sudah terkenal sebagai kekasih atau orang yang terpilih oleh Kiang Cun Eng. Hal ini tentu saja membuat Gak Un Kiong marah sekali. Kepala Jit liong piauwkiok ini merasa serba salah. Untuk mempergunakan kekerasan sesungguhnya ia merasa agak jerih terhadap nama Hek kin kaipang. Akan tetapi mendiamkannya saja, hatinya tidak rela mendengar nona yang dicintanya itu akan menjadi milik orang lain. Maka ia telah berhari hari tidak kembali ke rumah dan selalu mabok mabokan dan bermalam di dalam hotel di kota Taigoan.
Akhirnya enam orang saudaranya menyusul dan di dalam hotel itu mereka berunding, lalu mengambil keputusan untuk membunuh Lie Bu Tek kemudian merampas Kiang Cun Eng dengan paksa. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, kebetulan sekali ketika mereka mengadakan pertemuan di dalam hotel, datang Bi Lan yang mendengar percakapan mereka dan gadis ini bersiap sedia menolong suhengnya yang terancam bahaya. Demikianlah keadaan di kota Taigoan dan pengalaman pengalaman Lie Bu Tek, pemuda yang patah hati dan sengsara itu, yang kini berada dalam cengkeraman Kiang Cun Eng dan terancam oleh Gak Lu Kiong dan kawan kawannya yang merasa sakit hati kepadanya.
Kita kembali pula kepada Bi Lan yang bagaikan seekor burung walet menyambar turun dari atas genteng dan dalam segebrakan saja telah berhasil merampas golok dari tangan Kwa Swan, seorang saudara dari Un Kiong yang menjadi marah sekali. Kwa Swan adalah seorang saudaranya yang memiliki ilmu golok cukup lihai, namun dalam segebrakan saja telah roboh dalam keadaan pingsan oleh Bi Lan, maka tentu saja Gak Un Kiong selain menjadi marah juga amat kaget menyaksikan kehebatan sepak terjang nona muda yang cantik manis ini.
“Kawan kawan serbu!” seru Gak Un Kiong sambil menggerakkan sepasang ruyungnya. Dengan gerak tipu Ji liong jut tong (Sepasang Naga Keluar Dari Goa), ia menyerang Bi Lan dengan ruyungnya.
Namun Bi Lan sambil tersenyum mengejek, menggerakkan golok rampasannya dan sekaligus ia menindih ruyung kanan di tangan Gak Un Kiong dengan gerakan Yan cu liok sui (Burung Walet Menyambar Air). Bukan main kaget hati Gak Un Kiong ketika ia merasa seakan akan ruyung kanannya tertimpa oleh benda yang berat sekali sehingga saja ruyungnya itu terlepas dari pegangannya. Akan tetapi ia lihai sekali dan ruyung kirinya yang berada di atas itu secepat kilat menimpa dari atas mengarah kepala Bi Lan!
Dara perkasa ini tidak menjadi bingung menghadapi serangan hebat ini. Ia miringkan tubuh ke kanan dan begitu ruyung kiri lawannya lewat di samping kepalanya, goloknya, membabat diantara kedua ruyung dan langsung menyambar ke arah leher Gak Un Kiong. Sabetan iri demikian cepat dan kuatnya sehingga menimbulkan suara angin dan membuat Gak Un Kiong menjerit kaget. Piauwsu ini cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan di atas tanah menjauhkan diri. Keringat dingin berkumpul di dahinya karena serangan gadis itu tadi benar benar amat berbahaya dan hampir saja lehernya terbabat putus!
Ia meloncat lagi dan kini lima orang saudaranya dan beberapa orang anak buah Jit liong piauw kiok yang sudah memburu ke tempat itu, segera maju mengeroyok Bi Lan! Gadis ini sama sekali tidak menjadi jerih dan begitu goloknya berkelebat, robohlah beberapa orang anak buah piauw kiok itu. Betapapun juga, Bi Lan tidak mau sembarangan membunuh orang dan goloknya hanya menerbangkan senjata senjata lawan dan melukai tangan dan pundak mereka saja. Gerakan Bi Lan demikian cepatnya sehingga mereka yang terluka itu sendiri tidak tahu bagaimana mereka sampai dapat dirobohkan.
Pada saat itu, dari dalam rumah perkumpulan Hek kin kaipang, meloncat keluar empat orang. Mereka ini adalah Kiang Cun Eng dan tiga orang pembantunya yang menyeramkan, yaitu Bi Mo li, Siang tung him dan Beng san kui!
Ketika itu Gak Un Kiong sudah terluka pundaknya oleh ujung golok Bi Lan, maka ketika melihat empat orang pemimpin Hek kin kaipang ini keluar, mereka menjadi ketakutan dan tidak ada harapan untuk dapat melawan lagi. Un Kiong bersuit keras dan kawan kawannya segera angkat kaki sambil menyeret kawan kawan yang terluka!
“Gak Un Kiong. mulai saat ini kau tidak boleh terlihat di kota ini! Kalau kami melihat kau dan kawan kawanmu, jangan anggap kami keterlaluan kalau kami takkan memberi ampun lagi!” teriak Kiang Cun Eng dengan suaranya yang nyaring dan berpengaruh. Tentu saja untuk ini Gak Un Kiong tidak perlu mendapat peringatan dua kali, karena ia sendiripun sudah tahu bahwa setelah menderita kekalahan dan pengacauan yang dilakukannya terhadap Hek kin kaipang ini, ia dan kawan kawannya takkan mungkin tinggal di Taigoan lagi. Maka pergilah ia bersama kawan kawannya, kembali ke dalam hutan!
Kini Kiang Cun Eng menghadapi Bi Lan dan sepasang matanya yang bagus dan genit itu memandang tajam, penuh kekaguman. “Adik yang gagah perkasa, kau siapakah dan mengapa kau mencampuri urusan kami?” tanya Cun Eng dengan suara halus dan ramah, namun mengandung nada tinggi, tanda bahwa ketua Hek kin kaipang ini tidak merasa puas karena Gak Un Kiong dan kawan kawannya dihajar oleh orang lain.
Sebaliknya, Bi Lan memang sudah merasa jemu dan muak melihat lagak genit dari Kiang Cun Eng, apabgi kalau ia teringat akan pemandangan yang dilihatnya di dalam kamar tadi. “Sebelum kita bicara lebih jauh, ingin aku bertanya kepadamu, pangcu (ketua), siapakah pemuda di dalam kamarmu itu dan pernah apakah kau dengan dia?” Pertanyaan ini diajukan dengan nada gemas, karena memang Bi Lan merasa mendongkol terhadap perempuan ini, terutama sekali mendongkol melihat keadaan suhengnya yang sungguh mengecewakan hatinya.
Merahlah muka Cun Eng mendengar pertanyaan ini. Sepasang matanya dibuka lebar dan ia membentak marah, “Bocah lancang mulut! Perduli apa kau dengan urusan pribadiku dan mengapa kau mengurus perkara di dalam kamar orang lain! Sungguh tak tahu malu! Apakah kau iri hati? Kalau kau iri hati carilah pemuda lain jangan mencampuri urusanku. Dia adalah calon suamiku, kau mau apakah tanya tanya tentang dia?”
Bukan main malunya Bi Lan ketika mendengar bentakan ini, akan tetapi kemarahannya lebih besar dari pada rasa malunya. “Aku merasa heran mengapa dia sudi berdekatan dengan perempuan macam engkau! Lekas kau panggil dia keluar. Lie Bu Tek adalah suhengku dan biarpun aku tidak perduli apa yang ia lakukan dengan kau, namun aku hendak bicara tentang urusan penting sekali dengan dia.”
Cun Eng mengerutkan keningnya, akan tetapi hatinya lega. Kalau gadis ini hanya sumoi (adik seperguruan) dari Bu Tek saja, kepandaiannya tak perlu ditakuti. Namun mengingat bahwa gadis ini adalah sumoi dari kekasihnya, ia merobah nada suaranya dan kini ia berkata dengan suara agak ramah.
“Ah, tidak tahunya sumoi yang datang! Mengapa tidak dari tadi memperkenalkan diri sehingga tak perlu kita ribut ribut? Suheng mu sayang sekali tidak dapat keluar karena ia sedang menderita sakit panas. Marilah kau mengaso di rumah kami, akan kami sediakan kamar untukmu dan setelah suhengmu agak mereda sakitnya, boleh kau bertemu dengan dia.”
“Tidak, aku mau bertemu sekarang juga. Harap kau suka menyuruh dia keluar.” Bi Lan berkata tetap.
“Tidak bisa, adikku yang baik. Aku lebih sayang kepadanya dari pada kau menghormat suhengmu, pada waktu ini ia tidak boleh keluar dari kamarnya.”
“Kalau begitu, terpaksa aku akan masuk ke dalam mencarinya!” kata Bi Lan mengancam.
Tiba tiba Cun Eng mengeluarkan seruan marah dan tubuhnya melompat ke depan pintu, menghadang jalan masuk. “Bocah kurang ajar! Kau mengandalkan apakah maka demikian lancang dan berani mati? Kau sungguh sungguh tidak tahu diri, berani main gila dan bersikap sombong di depan kami! Kalau aku tidak mengingat bahwa kau adalah sumoi dari Lie Bu Tek, sudah semenjak tadi aku usir engkau!”
“Nona, pukul saja mulutnya yang lancang, habis perkara!” Bi Mo li yang melangkah maju dengan sikap mengancam, siap untuk menyerang Bi Lan.
“Nona muda, lebih baik kau menurut kata kata pangcu dan bermalam di sini menanti saatnya kau boleh bertemu dengan suhengmu,” kata Siang tung him si kakek buntung dengan suara membujuk.
“Benar, nona. Akupun tidak suka bermusuhan dengan seorang nona muda seperti engkau, apalagi engkau adalah sumoi dari calon pangcu kami,” kata Beng san kui sambil menyeringai.
“Kalian bandot tua mata keranjang!” Bi Mo li memaki marah kepada dua orang kawannya.
“Hek kin kaipang sudah mempunyai nama besar. Aku benar benar mengharap kalian tidak berlaku memalukan dan memberi kesempatan kepadaku untuk bicara dengan suheng ku. Kalau kalian tidak merintangi, akupun tidak akan memperdulikan segala urusanmu, akan tetapi kalau kalian memaksa merintangi aku bertemu dengan suhengku, terus terang saja kukatakan, bahwa itu berarti rusaknya Hek kin kaipang di tanganku!”
“Bocah sombongl Biarpun sumoi Lie Bu Tek, tidak boleh bersombong seperti itu di hadapanku. Hendak kulihat sampai di mana sih kepandaianmu maka begitu sombong kau!”
Setelah berkata demikian, Kiang Cun Eng mencabut keluar siang to ( sepasang golok ) yang berkilauan saking tajamnya. Ketua Hek kin kaipang ini memang ahli main golok pasangan dan kini sepasang goloknya itu menyambar dari kanan kiri, yang kanan menyambar leher Bi Lan sedangkan yang kiri, menyambar ke arah pinggang, inilah gerak tipu Ji seng hui thian (Dua Bintang Terbang di Langit) yang amat hebat dan berbahaya!
Akan tetapi, Bi Lan tersenyum mengejek dan sekali goloknya berkelebat mengitari tubuhnya, sepasang golok di tangan Cun Eng sudah dapat tertangkis dan alangkah kagetnya hati Cun Eng ketika merasa betapa telapak tangannya tergetar dan sakit sekali. “Kau benar benar hendak melihat perkumpulanmu hancur hari ini?” bentak Bi Lan yang cepat membalas dengan serangan bertubi tubi. Menghadapi serangan ini, Cun Eng cepat memutar dua batang goloknya, menangkis sambil mundur sehingga terdengar suara nyaring “trang!” berkali kali.
Melihat betapa dalam segebrakan saja ketua mereka sudah terdesak hebat, Bi Mo li menjerit dan menyerbu dengan siang kiamnya (sepasang pedangnya). Juga Siang tung him Si Beruang Tongkat Dua menyerbu dan membantu ketuanya dengan mainkan sepasang tongkat yang lihai. Beng san kui tidak mau tinggal diam. Betapapun ia merasa sayang kepada nona muda yang lihai ini, namun melihat kedudukan perkumpulannya terancam, ia lalu menerjang dengan tongkat hitamnya dan sebentar saja Bi Lan dikeroyok empat oleh tokoh tokoh Hek kin kaipang.
Namun, Bi Lan sekarang bukanlah Bi Lan dahulu lagi. Dara perkasa ini telah mendapat gemblengan hebat, tidak saja oleh Coa ong Sin kai, akan tetapi bahkan telah digembleng secara hebat oleh Thian Te Siang mo, maka jangankan baru empat orang ini, biar ditambah empat lagi agaknya takkan mungkin dapat menangkan gadis jelita yang lihai ini. Golok rampasan di tangannya bergerak laksana seekor naga mengamuk, gulungan sinar goloknya demikian lebar, panjang, dan kuat sehingga menindih dan mengurung empat orang pengeroyoknya yang menjadi bingung dan kabur pandangan matanya.
Kini tempat ini penuh dengan pengemis pengemis anggauta Hek kin kaipang dan mereka ini sambil berteriak teriak ikut pula menyerbu dan mengeroyok Bi Lan dengan tongkat mereka. Gadis ini menjadi gemas sekali, berkali kali ia berseru, “Roboh kau!” dan sebentar saja terdengar pekik disana sini karena di mana saja tubuh dara ini berkelebat, tentu seorang dua orang pengemis roboh terkena tendangan, pukulan tangan kiri atau juga kena dicium oleh ujung golok sehingga menderita luka dan tidak dapat bangun kembali.
Tiba tiba terlihat serombongan orang datang berlari lari. Melihat cara mereka berjalan, rombongan ini merupakan pasukan terlatih dan benar saja, mereka adalah penjaga penjaga kota dan tanpa banyak cakap lagi mereka ini menyerbu Bi Lan dan membantu para pengemis itu! Bi Lan terkejut buka main. Bagaimana ada penjaga penjaga kota bahkan membantu para pengemis yang mengeroyoknya?
“Eh, eh, apakah kalian sudah gila? Bukan menangkap pengemis pengemis yang mengacau ini, bahkan mengeroyokku!”
“Perempuan pemberontak, lebih baik kau menyerah!” komandan pasukan itu membentak sambil menyerang dengan goloknya.
Bi Lan menjadi makin marah. Ketika kaki kirinya menyambar dan mengenai pergelangan tangan komandan itu, orang ini menjerit dan goloknya terlempar. Ternyata pergelangan tangannya telah patah tulangnya. Bi Lan lalu mengamuk, ia pikir bahwa keroyokan para pengemis dan penjaga itu tak perlu ditakuti, dan yang paling penting merobohkan pentolannya. Goloknya dikerjakan menurut ajaran Te Lo mo, dicampuradukkan dengan Ilmu Pedang Sin coa kiam hoat yang ia pelajari dari Coa ong Sin kai. Baru beberapa jurus saja, ia telah berhasil melukai pundak Bi Mo li dan menendang roboh Siang tung him! Jerihlah semua pengeroyok melihat kehebatan gadis ini.
“Mundur semua! Kalau tidak, demi golok ini... akan kurobohkan kalian ini semua kacoa kacoa yang tiada guna!” Bi Lan berseru keras sambil mainkan goloknya sehingga tubuhnya lenyap terbungkus oleh gulungan sinar golok!
Para pengeroyok terkejut dan melangkah mundur, akan tetapi Kiang Cun Eng dan Beng san kui masih nekad mengeroyok. Dalam gemasnya, menggerakkan goloknya keras sekali. Terdengar suara nyaring dan sepasang golok di tangan Cun Eng terlempar jauh, kemudian terdengar ketua Hek kin kaipang ini menjerit karena pahanya telah terluka oleh tusukan golok, sedangkan Beng san kui sendiripun roboh karena dadanya didorong oleh tangan kiri Bi Lan.
“Kau yang menjadi biang keladinya! Kau perlu dihajar!” seru Bi Lan sambil memburu ke arah Cun Eng yang sudah rebah di atas tanah. Akan tetapi pada saat itu dari pintu muncul seorang laki laki yang cepat mencegah dengan tegurannya,
“Sumoi jangan...!”
Bi Lan tertegun dan menengok sambil bertolak pinggang. Sikapnya gagah sekali, matanya tajam bersinar sinar dan semua pengeroyok yang masih belum roboh menjauhkan diri dengan gentar. “Suheng, mengapa kau berada di neraka ini?” Bi Lan segera menegur Bu Tek. Pemuda itu menghela napas dan mukanya menjadi merah.
“Sumoi, sudahlah, jangan kau lanjutkan amukanmu. Betapapun juga, Hek kin kaipang telah berlaku baik kepadaku bahkan… bahkan mereka telah menolongku.” Pemuda ini dengan tindakan kaki terhuyung huyung menghampiri Kiang Cun Eng dan berkata, “Cun Eng, terima kasih atas segala kebaikanmu dan… maafkan aku orang yang tidak kenal budi dan tiada guna ini. Aku pergi...”
“Bu Tek, jangan tinggalkan aku…!” Cun Eng menangis, akan tetapi Bu Tek tidak memperdulikannya lagi dan pergi dari situ diikuti oleh Bi Lan.
“Serbu! Tangkap mereka. Bunuh keduanya!” Cun Eng meloncat dan bagaikan seekor harimau betina ia menerjang Bi Lan dan Bu Tek.
Akan tetapi dengan sekali tendang saja Bi Lan sudah merobohkannya kembali dan tidak ada seorangpun anak buahnya berani menyerbu Bi Lan lagi setelah menyaksikan kelihaian gadis ini. Bi Lan tersenyum sindir dan melemparkan golok rampasannya ke atas tanah, di mana golok itu menancap setengahnya lebih. Kemudian Bi Lan lalu menarik tangan Bu Tek berlari cepat pergi dari tempat itu. Setelah berada jauh dari Taigoan, Bi Lan berhenti dan bertanya kepada Bu Tek.
“Suheng, bagaimana kau menjadi begini kurus dan lenah? Aku sudah mendengar dari suheng Gan Hok Seng tentang kau dan… dan suci Ling In.”
“Jangan sebut sebut namanya lagi, sumoi…”
Terharu hati Bi Lan dan biarpun ia masih amat muda, ia dapat menyelami keadaan hati suhengnya ini. Agaknya karena kehilangan kekasihnya, Bu Tek menjadi manusia yang tidak bersemangat lagi sehingga sampai termasuk dalam perangkap ketua Hek kin kaipang.
“Suheng mengapa begitu lemah? Mana kegagahanmu? Mana semangat dan kepahlawanan murid Hoa san pai? Kau hanya menghancurkan nama Hoa san pai kalau kau bersikap selemah ini.” Bi Lan sengaja mengeluarkan kata kata keras untuk membakar semangat pemuda ini.
Bu Tek menundukkan kepalanya. “Apa dayaku, sumoi?”
“Suheng, tidak tahukah kau betapa rakyat sedang berjuang untuk melepaskan diri dari cengkeraman Bangsa Kin? Dari pada kau bersikap seperti ini, tidakkah lebih baik kalau kau menggabungkan diri dengan para pejuang? Suheng Gan Hok Seng juga menggabungkan diri, maka sayangnya kalau kau menyia nyiakan usia muda dan kepandaianmu. Pula ketahuilah, guru guru kita telah tertawan oleh Sam Thai Koksu dari pemerintah Kin dan sekarang...”
“Apa katamu?” berita ini membangunkan semangat Bu Tek dan ia nampak marah sekali.
Bi Lan menjadi girang dan ia menceritakan peristiwa yang terjadi di Hoa san. Bu Tek mengepal ngepal tinjunya dan memaki maki.
“Jahanam benar orang orang Kin! Tidak saja menghancurkan hidupku, bahkan berani mengganggu Hoa san pai. Aku bersumpah untuk membalas dendam ini. Sumoi, mari kita serbu ketempat mereka di Cin an.”
“Sabar, suheng. Aku memang hendak menuju ke sana untuk berusaha menolong guru guru kita. Akan tetapi, keadaanmu masih lemah, kau masih belum sehat benar. Paling baik kau carilah Gan suheng dan setelah merawat kesehatanmu, kau dan Gan suheng dapat berjuang di samping para patriot lainnya. Adapun tentang, keselamatan guru guru kita, kau doakanlah saja mudah mudahan aku berhasil menolong mereka.”
Bu Tek telah menyaksikan kepandaian sumoinya tadi, maka ia merasa akan kebenaran kata kata ini. Ia sendiri selain masih lemah tubuhnya, juga apakah artinya kepandaiannya? Bagaimana ia bisa menyerbu ke Cin an? Sedangkan menghadapi Giok Seng Cu saja ia tak berdaya! Maka ia lalu menyetujui pendapat Bi Lan dan berpisahlah kedua saudara seperguruan ini. Bi Lan melanjutkan perjalanan ke Cin an, adapun Lie Bu Tek lalu berangkat mencari sutenya, Gan Hok Seng. Sekarang pemuda ini seakan akan telah mendapat semangat baru dan hidupnya mempunyai cita cita yaitu membantu perjuangan rakyat menghalau pemerintah Kin!
Bi Lan melakukan perjalanan cepat sekali menuju ke Cin an. Ketika tiba di kota ini, ia tidak berani mengambil tempat bermalam di dalam hotel, karena tahu bahwa mata mata pemerintah Kin tersebar di mana mana. Ia lalu memilih sebuah kelenteng yang berada di luar kota dan bermalam di situ. Setelah beristirahat sehari lamanya, pada keesokan sorenya, masuklah ia ke kota Cin an dan malam hari itu ia mulai dengan penyelidikannya. Siang tadi ia telah bertanya tanya akan tetapi tak seorangpun dapat memberi tahu kepadanya tentang keadaan tokoh tokoh Hoa san pai yang tertawan. Agaknya hal ini dirahasiakan oleh Sam Thai Koksu.
Perlu diketahui bahwa ketika Sam Thai Koksu pulang ke Cin an membawa para tawanan di tengah jalan Liang Bi Suthai menghemhuskan napas terakhir karena tidak kuat menahan penderitaan luka lukanya. Ketiga saudara seperguruannya hanya dapat menangis dan jenazah nenek lihai ini dimakamkan di dalam sebuah hutan di tengah jalan. Kemudian, karena tidak sabar melihat perjalanan terlalu lambat baginya, Pak Hong Siansu mendahului rombongan itu dan berlari cepat lebih dulu pulang ke Cin an di mana seperti telah dituturkan di bagian depan, kebetulan sekali ia dapat bertemu dengan Ciang Le yang membaca surat dari suhengnya, yakni Pak Kek Siansu.
Malam itu sunyi sekali. Pemberontakan yang timbul di mana mana membuat keadaan Tiongkok utara menjadi kacau dan tidak aman. Jarang ada orang berani keluar pintu di malam hari karena boleh dibilang setiap malam tentu terjadi penyerbuan oleh fihak pemberontak yang tiba tiba menyerang tempat yang kurang kuat penjagaannya. Yang dijadikan sasaran oleh para penyerbu tentulah rumah rumah gedung pembesar Kin atau tangsi tangsi penjaga dan lain lain. Pokoknya, para pemberontak itu mengarahkan penyerbuan mereka terhadap kaki tangan pemerintah Kin yang mereka benci.
Bi Lan mengambil jalan di atas genteng, langsung menuju ke Enghiong Hweekoan untuk menyelidiki dan kalau mungkin menolong guru gurunya yang tertawan oleh Sam Thai Kok su. Tingkat kepandaian Bi Lan sekarang sudah tinggi sehingga ketika ia berlari di atas genteng tidak menimbulkan suara berisik. Pada waktu itu, biarpun nampaknya sunyi, namun sebetulnya penjagaan di Enghiong Hweekoan amat kuat. Sam Thai Koksu maklum bahwa sekarang para orang gagah dari selatan sudah bangkit dan membantu perjuangan para pemberontak, maka selain mengatur barisan barisan untuk memadamkan api pemberontakan, merekapun tidak lalai untuk menjaga gedung itu secara diam diam.
Maka ketika Bi Lan berada di atas genteng Enghiong Hweekoan, diam diam segala gerak geriknya telah dilihat oleh para penjaga yang sudah siap dengan anak panah di tangan dan mengurung tempat itu! Sam Thai Koksu sendiri yang memimpin penjagaan ini, terkejut melihat gerakan bayangan nona muda di atas genteng, karena gerakan itu benar benar cepat dan ringan sekali, tanda bahwa yang datang adalah seorang pandai.
Ketika Bi Lan sedang berdiri di atas genteng dan menduga duga di mana kiranya tokoh tokoh Hoa san pai dikurung, tiba tiba terdengar suara mendesing dan dari segenap penjuru menyambar anak panah ke arah dirinya! Gadis ini tidak menjadi gugup. Dengan cepat ia menanggalkan baju mantelnya dan memutar jubah itu sedemikian rupa melindungi dirinya, sehingga semua anak panah yang menyambar ke arahnya runtuh semua ke atas genteng.
“Sam Thai Koksu, manusia manusia curang!” bentaknya sambil mencabut pedang dan secepat terbangnya burung walet, tubuh Bi Lan sudah meloncat ke kanan di mana terdapat barisan panah yang tadi menyerangnya.
Keadaan menjadi gempar ketika Bi Lan menyerbu ke arah ini. Beberapa orang penjaga menyambutnya dengan golok, akan tetapi terdengar suara nyaring dan beberapa batang golok terbabat putus berikut tangan yang memegangnya. Teriakan teriakan ngeri terdengar dan tubuh beberapa orang penjaga berguling dari atas genteng! Bi Lan mengamuk terus dan dalam waktu pendek saja ia sudah merobohkan tujuh orang penjaga. Sam Thai Koksu marah sekali dan mereka ini muncul sendiri, menghadapi Bi Lan dengan senjata di tangan.
“Gadis liar dari manakah berani datang mengacau di sini?” bentak Kim Liong Hoat ong sambil melintangkan rantai bajanya di depan dada. “Sam Thai Koksu berada di sini, apakah kau tidak lekas lekas berlutut?”
Bi Lan melihat tiga orang gagah berdiri di hadapannya, maka dengan marah ia menudingkan pedangnya. “Sam Thai Koksu, bagus benar perbuatanmu! Ketahuilah bahwa aku datang untuk minta kembali guru guruku yang kalian tawan dari Hoa san!”
Kini Sam Thai Koksu mengenal gadis yang lihai ini, yang bukan lain adalah nona yang dulu telah mengacaukan pertemuan orang orang gagah di taman bunga di kota Cin an. Tertawalah Kim Liong Hoat ong. “Ha, ha, ha, tidak tahunya kau yang datang! Bagus, kebetulan sekali. Memang sudah lama kami hendak menangkapmu atas kedosannmu dahulu di taman bunga. Sekarang kami takkan memberi ampun lagi padamu!”
Biarpun mulutnya berkata demikian, namun diam diam Kim Liong Hoat ong menjadi terkejut dan juga gelisah. Dahulupun gadis ini yang mendatangkan malapetaka. Terhadap gadis ini sendiri, ia tidak merasa takut, akan tetapi siapa tahu kalau kalau gadis ini datang bersama Coa eng Sin kai dan Thian Te Siang mo! Diam diam Kim Liong Hoat ong lalu memberi tanda rahasia kepada seorang penjaga untuk menyusul Ba Mau Hoatsu dan Pan Hong Siansu yang bermalam di rumah kepala daerah, untuk memanggil mereka membantu, karena kalau Coa ong Sin kai dan Thian Te Siang mo benar benar datang bersama gadis ini, hanya Ba Mau Hoatsu dan Pak Hong Siansu saja yang kiranya dapat menghadapi mereka.
“Kim Liong Hoat ong, percuma saja kau dan dua orang saudaramu menyebut diri sebagai Sam Thai Koksu, karena ternyata kalian adalah pengecut dan berwatak curang. Mengapa kalian menawan guru guruku di Hoa san? Kalau memang kalian berkepandaian, bebaskan guru guruku dan marilah kita bertempur secara jujur! Biar aku yang mewakili Hoa san pai menghadapi kalian bertiga.”
Kim Liong Hoat ong tertawa. “Bocah sombong, kau dan semua orang Hoa san pai adalah pemberontak pemberontak yang mengacau keamanan, maka sekarang juga kami akan menangkapmu!” Sambil berkata demikian, rantai baja di tangan Kim Liong Hoat ong bergerak menyambar ke arah kepala Bi Lan.
Gadis ini menjadi marah sekali dan pedangnya berkelebat cepat. Dengan gerakan yang indah dan manis ia mengelak dari sambaran rantai baja dan dalam gerakan mengelak ini ia membarengi dengan tusukan maut ke arah dada lawannya. Kim Liong Hoat ong terkejut sekali. Gerakan nona ini benar benar cepat dan tidak terduga sekali, maka ia lalu melompat ke belakang sampai setombak jauhnya untuk menghindarkan diri dari serangan ganas itu.
Namun Bi Lan tidak mau memberi hati dan secepat kilat ia mengejar dengan tusukan lain dari pedangnya yang berkelebat kelebat ganas. Melihat betapa nona itu mendesak suheng mereka, Gin Liong Hoat ong menyerbu dengan sepasang ruyungnya yang berwarna hijau, sedangkan Tiat Liong Hoat ong juga tidak mau tinggal diam, langsung menyerang dengan goloknya yang lebar.
“Bagus, hari ini aku akan menamatkan riwayat Sam Thai Koksu!” Bi Lan berseru dan pedangnya diputar cepat sekali dalam permainan pedang Sin coa Kiam hoat (Ilmu Pedang Ular Sakti) yang dulu ia pelajari dari Coa ong Sin kai. Ilmu pedang ini memang sifatnya ganas sekali dan paling tepat dan cepat untuk dipergunakan menyerang lawan. Kalau saja tiga orang tokoh Kerajaan Kin ini maju seorang demi seorang, dalam beberapa jurus saja mereka tentu roboh oleh ilmu pedang ini. Namun, mereka adalah orang orang yang berkepandaian tinggi dan kini dengan jalan mengeroyok mereka masih dapat mempertahankan diri dan bahkan membalas dengan serangan yang tak kurang hebatnya.
Melihat ketangguhan tiga orang lawannya, Bi Lan kehilangan kesabarannya dan tiba tiba pedangnya berobah gerakannya. Kini ia mainkan Ilmu Pedang Thian te Kiam hoat yang ia pelajari dari Thian Te Siang mo. Kebebatan ilmu pedang ini luar biasa sekali dan dalam beberapa jurus saja. terdengar teriakan kesakitan ketika pedangnya berhasil melukai pundak Tiat Liong Hoat ong sehingga golok besar di tangan orang ini terlempar di atas genteng.
Kim Liong Hoat ong dan Gin Liong Hoat ong menjadi terkejut dan marah sekali. Mereka menyerbu makin ganas, akan tetapi kembali ujung pedang Bi Lan telah melukai lengan kiri Gin Liong Hoat ong sehingga kini terpaksa orang ke dua dari Sam Thai Koksu itu hanya mainkan ruyung kanan saja sambil meringis kesakitan karena lengan kirinya telah terluka dan ruyung kirinya juga terlepas dari pegangan. Bi Lan mendesak terus dan agaknya tak lama lagi ia akan dapat merobohkan lawannya yang tinggal dua orang itu kalau saja pada saat itu tidak terdengar bentakan hebat,
“Bocah liar kau mencari mampus!” Bentakan ini disusul dengan melayangnya dua senjata roda yang lihai sekali. Ba Mau Hotsu telah datang atas panggilan para penjaga tadi!
Melihat kedatangan kawan yang tangguh ini, Kim Liong Hoat ong dan Gin Liong Hoat ong menjadi lega dan meloncat mundur. Gin Liong Hoat ong segera merawat lengan kirinya, adapun Kim Liong Hoat ong lalu merawat Tiat Liong Hoat ong yang menderita luka parah di pundaknya.
Bi Lan terkejut melihat datangnya serangan sepasang roda itu, ia belum kenal siapa adanya pendeta yang bertubuh tinggi besar ini. Dengan cepat ia menangkis dengan pedangnya dan karena ia kurang mengenal kelihaian sepasang roda ini, hampir saja pedangnya terampas dari tangannya dan hampir ia mendapat celaka. Roda yang kiri berputar dan pedangnya seakan akan terbetot oleh tenaga yang luar biasa kuatnya, sedangkan roda kanan terbang menyambar kepalanya. Bi Lan cepat mengerahkan tenaganya mencabut pedangnya dan serangan roda kanan itu dapat dihindarkan dengan jalan merendahkan tubuhnya. Kemudian ia meloncat mundur dan memandang dengar penuh perhatian, la mulai merasa kuatir dan bersikap hati hati sekali. Ternyata olehnya bahwa yang menyerangnya adalah pendeta tinggi besar itu, yang datang bersama dua orang tua lain. Seorang diantaranya adalah seorang kakek yang sudah tua sekali, dan orang ke dua adalah seorang tosu. Ia tidak tahu bahwa yang menyerangnya, yaitu Ba Mau Hoatsu, datang bersama Pak Hong Siansu dan Giok Seng Cu yang amat lihai.
Ba Mau Hoatsu memang mempunyai watak yang agak sombong dan menganggap diri sendiri terpandai. Tadi ketika melihat Sam Thai Koksu tidak dapat mengalahkan lawannya yang ternyata hanya seorang gadis muda ia lalu berpesan kepada Pak liong Siansu dan Giok Seng Cu agar jangan turun tangan, karena ia sendiri hendak menghadapi gadis itu. Melihat betapa gadis itu dapat menangkis serangannya, Ba Mau Hoatsu menjadi terkejut dan juga penasaran, ia lalu menyerang lagi dan kini sepasang rodanya mengancam gadis itu dan mengurung rapat.
Diam diam Bi Lan nengeluh karena ternyata kepandaian lawannya ini benar benar hebat. Tahulah ia mengapa kakek dan gurunya dari Hoa san pai sampai kalah dan tertawan, karena Sam Thai Koksu mempunyai pembantu yang begini pandai, ia mengerahkan seluruh kepandaiannya dan melawan mati matian. Pedangnya bergerak cepat sekali dan kini ia mainkan Ilmu Pedang Thian te Kian hoat yang amat aneh gerakannya. Namun, tetap saja sepasang roda itu masih mengancam dan menindih pedangnya, bahkan beberapa kali hampir saja pedangnya dapat terampas, Bi Lan maklum bahwa menghadapi pendeta ini saja ia sukar mencapai kemenangan, apalagi kalau Kim Liong Hoat ong membantu, tentu akan kalah.
Tak seorangpun tahu bahwa diam diam sepasang mata yang tajam menyaksikan pertempuran ini dari balik wuwungan rumah. Mata ini memandang penuh kekhawatiran. Karena ia maklum bahwa tak lama lagi Bi Lan pasti akan kalah apalagi kalau Giok Seng Cu atau Pak Hong Siansu turun tangan! Yang mengintai adalah mata Ciang Le pemuda gagah perkasa yang memang selalu memasang mata menyelidiki keadaan Enghiong Hwee koan, bersiap untuk menolong orang orang gagah yang menyerbu tempat itu. Kini ia menjadi bingung. Untuk keluar membantu ia merasa sungkan dan takut kepada susioknya. Kalau dia diam saja tidak membantu, ia benar benar kasihan kepada gadis itu. Juga diam diam ia merasa kagum sekali melihat gadis yang perkasa itu.
Keadaan Bi Lan kini benar benar amat terdesak dan berbahaya sekali. Makin lama gerakan sepasang roda dari Ba Mau Hoatsn makin kuat saja dan Bi Lan yang tadi sudah mengeluarkan banyak tenaga ketika dikeroyok oleh Sam Thai Koksu dan kawan kawannya Uni mulai merasa lelah menghadapi Ba Mau Hoatsu yang demikian tangguhnya. Keadaan malam hari itu gelap dan penerangan di atas genteng itu hanya dari tiga buah lampu yang digantung tinggi tinggi di sekeliling rumah. Tiba tiba terdengar suara keras dan tiga buah lampu ini meledak pecah dan padam. Bahkan sebuah diantaranya, terbakar dan mulai membakar tiang di bawah gunungan sang melintang!
Pada saat itu, sepasang roda dari Ba Mau Hoatsu sedang mengurung dan mengancam Bi Lan. Tiba tiba nampak beberapa benda berkeredepan menyambar dan dengan cepat sekali menghantam kedua pundak Ba Mau Hoatsu. Kakek ini terkejut sekali, la melihat pula datangnya benda benda ini dan mendengar suara anginnya, maka cepat ia merendahkan tubuhnya untuk mengelak dari sambaran dua buah benda yang mengarah pundaknya, akan tetapi beberapa buah benda lain menghantam roda roda di tangannya sehingga ia merasa kedua rodanya terpukul dan hampir terlepas dari tangannya! Cepat ia melompat mundur dan pada saat itu terdengar seruan,
“Lari...!”
Bi Lan juga tahu bahwa ada orang pandai membantunya secara diam diam, maka kini mendengar seruan “lari!” itu, ia cepat melompat jauh, melarikan diri dari tempat berbahaya itu.
“Bangsat kecil, kau berani main gila?” Seru Pak Hong Siansu yang tahu tahu menggerakkan tubuhnya ke arah dari mana benda benda itu menyambar. Adapun Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu juga tidak tinggal diam.
“Gadis liar, kau hendak lari ke mana?” bentak Ba Mau Hoatsu yang bersama Giok Seng Cu mengejar Bi Lan.
Lain lain orang dikepalai oleh Kim Liong Hoat ong, segera memadamkan kebakaran kecil yang diakibatkan oleh pecahnya lampu, dan memasang lampu baru untuk menerangi tempat itu. Ciang Le yang menolong Bi Lan, ketika melihat susioknya melayang ke arahnya, tidak berani menyambut dan segera melompat jauh. Pak Hong Siansu dapat mengenal sambitan senjata rahasia yang berkeredepan tadi, karena itu adalah am gi (senjata gelap) yang disebut Siauw seng ciam (Jarum Bintang Kecil), semacam jarum yang ujungnya runcing dan gagangnya mempunyai kepala terbuat dari batu yang berkeredep. Inilah senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh Pak Kek Siansu di waktu muda, maka Pak Hong Siansu dapat menduga bahwa pelemparnya tentulah murid suhengnya itu. Karena Ciang Le berlaku hati hati dan tidak mau melayaninya ketika Pak Hong Siansu tiba di tempat itu, pemuda tadi telah pergi jauh.
Adapun Bi Lan yang melarikan diri, dikejar oleh Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu. Gadis ini berlari cepat sekali, melompat turun dari atas rumah. Akan tetapi Ba Mau Hoatsu yang merasa penasaran, terus mengejarnya dan telah mengambil keputusan hendak menangkap gadis ini. Setelah mereka keluar dari kota Cin an dan tiba di luar tembok kota, tiba tiba di atas tembok melayang turun sesosok bayangan yang menghadang larinya Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu. Ketika mereka ini memandang, bukan main marahnya Ba Mau Hoatsu mengenal bahwa penghadangnya bukan lain adalah Go Ciang Le, pemuda yang pernah mengalahkan sepasang rodanya ketika pemuda ini datang membawa surat suhunya untuk Pak Hong Siansu!
“Keparat! Lagi lagi kau yang mengganggu kami!” seru Ba Mau Hoatsu dan cepat ia menyerang dengan sepasang rodanya. Giok Seng Cu tanpa mengeluarkan kata kata langsung maju mengeroyok sambil mainkan senjata rantainya yang lihai.
Akan tetapi kali ini Ciang Le tidak main main lagi dan begitu ia mainkan pedangnya sambil mengerahkan tenaganya, Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu terpaksa mundur dengan kaget sekali. Serbuan pemuda ini benar benar hebat dan tenaga yang keluar dari sambaran pedang Kim kong kiam sekaligus dapat membuat sepasang roda dan rantai itu terpental memukul pemegangnya sendiri!
Beberapa jurus lamanya Ciang Le tidak mau memberi kesempatan kepada dua orang lawannya untuk membalas serangannya, ia mendesak dan mengeluarkan Ilmu Silat Pak kek Sin ciang hoat yang lihai. Oleh karena ilmu silat ini memang ilmu silat rahasia yang belum pernah terlihat di dunia dan yang kehebatannya menduduki tingkat tertinggi, tentu saja Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu menjadi bingung dan tidak dapat membalas serangan pemuda itu, melainkan sibuk menjaga diri karena pedang kuning emas itu seakan akan berobah menjadi puluhan banyaknya.
Ciang Le memang hanya bermaksud menolong Bi Lan saja dan memberi kesempatan kepada gadis itu untuk melarikan diri, maka setelah ia mendesak beberapa jurus dan mengerti bahwa kini Bi Lan telah lari jauh, tiba tiba ia meloncat keluar dari kalangan pertempuran dan berlari meninggalkan Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu!
Bukan main marahnya kedua orang ini. Sambil memaki maki mereka lalu melepaskan senjata senjata gelap ke arah bayangan Ciang Le yang meloncat jauh. Akan tetapi Ciang Le adalah bekas murid Thian Lo mo, seorang ahli am gi (senjata gelap) yang lihai sekali. Sebelum senjata senjata rahasia yang dilepas oleh kedua orang pendeta itu mengenai tubuh Ciang Le, terlebih dulu pemuda ini sudah menggerakkan tangan kirinya dan beberapa benda berkerdepan telah menyambar dan memukul runtuh semua senjata rahasia lawan. Sebelum menjadi murid Pak Kek Siansu, Ciang Le memang sudah ahli dalam penggunaan senjata rahasia yaitu kepandaian yang dipelajarinya dari Thian Lo mo. Setelah ia menjadi murid Pak Kek Siansu di puncak Lu liang san, ia menambah kepandaiannya ini dengan penggunaan Siauw seng ciam ( Jarum Bintang Kecil), yaitu senjata rahasia yang dahulu seringkali dipergunakan oleh Pak Kek Siansu di waktu muda.
Setelah dapat melarikan diri dari Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu, Ciang Le berlari terus. Akan tetapi, tiba tiba dari balik sebatang pohon meloncat keluar sesosok bayangan dan ketika ia memandang, ternyata Bi Lan telah berdiri di hadapannya! Keadaan suram suram mendekati gelap dan ia tidak dapat melihat wajah gadiss itu dengan jelas, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya, tahulah Ciang Le bahwa ia berhadapan dengan gadis yang ditolongnya tadi.
“Anjing pemerintah Kin, kau masih mengejarku? Asal jangan main keroyokan, aku Liang Bi Lan takkan mundur setapakpun!’ seru BiLan sambil maju menerjang dengan pedangnya. Di dalam gelap, gadis inipun tidak dapat mengenal siapa adanya orang yang ia hadapi, akan tetapi karena orang ini berlari cepat mengejarnya tentu saja ia menduga bahwa orang ini juga seorang kaki tangan Sam Thai Koksu yang mengejarnya.
Ciang Le menjadi geli dan diam diam ia memuji ketabahan hati gadis muda ini. Dimaki dan diserang, ia diam saja, hanya segera mengeluarkan pedangnya dan melayani Bi Lan bermain pedang! Ketika mereka bertempur dam bergebrak beberapa jurus lamanya, keduanya terkejut dan heran. Bi Lan merasa terkejut sekali karena ternyata bahwa kepandaian atau ilmu pedang dari lawannya ini benar benar lihai sekali, adapun Ciang Le merasa terheran heran karena ia mengenal ilmu pedang yang dimainkan oleh Bi Lan sebagai ilmu pedangnya sendiri sebelum menjadi murid Pak Kek Siansu, yakni ilmu pedang dari Thian Te Siang mo dan biarpun gerakan gadis ini lebih lihai dan juga ilmu pedang itu banyak sekali kemajuannya seakan akan kedua bekas gurunya itu telah menyempurnakannya, namun pada dasarnya sama saja dengan ilmu pedang yang ia pernah pelajari dari Iblis Kembar itu. Maka iapun lalu merobah gerakan pedangnya dan kini iapun mainkan ilmu Pedang Thian Te Kiam sut yang tentu saja dikenal baik oleh Bi Lan.
“Eh, siapa kau ?” gadis ini membentak dengan suara heran. “Dari mana kau mencuri ilmu pedang Thian Te Kiam hoat?”
“Tidak ada yang mencuri ilmu pedang. Sebaliknya kau tadi mengaku anak murid Hoa san pai, mengapa sekarang mainkan ilmu pedang dari Thian Te Siang mo?? Sejak kapankah kau menjadi murid dari kedua orang guruku?”
“Hm… kau mengaku guru kepada kedua suhuku? Tak salah lagi kau tentulah Go Ciang Le murid yang murtad dan yang mengkhianati kedua suhuku itu!” Seru Bi Lan yang sengaja bersikap keras, padahal hatinya berdebar debar karena ia kini berhadapan dengan cucu dari kakek angkatnya, yaitu Tan Seng.
“Eh, eh, nanti dulu!” kata Ciang Le. “Betapapun juga, kalau kau sudah menjadi murid mereka kau masih terhitung sumoiku sendiri. Bagaimana kau tadi dapat katakan bahwa aku seorang murid murtad dan mengkhianati guru guruku!”
“Karena kau meninggalkan mereka dan belajar silat kepada orang lain!”
Tiba tiba pemuda itu tertawa bergelak, seakan akan ia mendengar sesuatu yang amat menggelikan hatinya. Bi Lan menjadi gemas, sayang ia tidak dapat melihat dengan nyata wajah pemuda itu, karena keadaan gelap. Akan tetapi ia dapat melihat bahwa tubuh pemuda itu tinggi tegap, biarpun tidak setegap tubuh Lie Bu Tek suhengnya, dan dapat mendengar bahwa suara pemuda ini lantang akan tetapi bernada halus.
“Kenapa kau tertawa? Apanya yang lucu?”
Ciang Le menahan suara ketawanya. “Karena kau tadi memaki aku sebagai murid murtad dan berkhianat, sedangkun kau sendirpun murtad dan berkhianat.”
Bi Lan terkejut. “Kurang ajar, kau lancang sekali.”
“Bukankah betul kata kataku tadi. Kau seorang anak murid Hoa san pai, namun kau juga meninggalkan Hoa san pai dan menjadi murid Thian Te Siang mo. Orang selagi muda mencari kemajuan, mengapa disebut murtad dan berkhianat?”
Bi Lan tertegun. Memang, biarpun kedua orang suhunya telah berpesan agar kalau bertemu dengan Ciang Le ia suka menghajar murid murtad itu, namun di dalam hatinya tentu saja ia merasa berat untuk melakukan tugas ini. Pertama tama ia sendiripun berganti guru, sama halnya dengan Ciang Le, ke dua karena Ciang Le adalah cucu dari kakek angkatnya!
“Kau pandai memutar lidah! Cukup tentang itu, sekarang hendak kubertanya apakah maksudmu mengejarku? Apakah kau sudah menjadi kaki tangan pemerintah Kin?”
“Nona, jangan menuduh secara sembarangan saja. Kita bersatu haluan. Bahkan aku tahu pula akan maksud kedatanganmu, tentu hendak mencari tokoh tokoh Hoa san pai itu dan hendak menolong mereka bukan? Tak usah kau bersusah payah, kalau hendak bertemu dengan mereka, pergilah ke bio (kuil) rusak di sebelah barat kota, di dalam hutan bambu itu.” Setelah berkata demikian, Ciang Le meloncat ke dalam gelap dan lenyap dari situ.
“Sayang... aku belum dapat melihat mukanya… dan belum berkesempatan untuk menanya tentang riwayatnya. Apakah ia tidak tahu bahwa kong kong adalah kakeknya yang aseli?” pikir Bi Lan dan teringatlah ia akan kata kata pemuda itu. Benar benarkah ia akan dapat menemui kong kongnya dan suhu suhunya di dalam hutan sebelah barat kota? Hatinya berdebar penuh harapan ketika Bi Lan berlari lari dalam menuju ke barat.
Ketika ia tiba di dalam sebuah hutan bambu, benar saja ia melihat kuil kuno yang biar pun di bagian bawahnya sudah buruk dan rusak, namun gentengnya masih kuat dan baik. Ia meloncat ke atas karena sebagai seorang gadis kang ouw yang berpengalaman, ia selain berlaku hati hati dan menyelidiki lebih dulu sebelum mengambil tindakan.
Begitu kakinya menginjak genteng, lampu penerangan yang tadinya terpasang di dalam kuil itu padam dan tiba tiba dari bawah menyambar tiga buah benda ke arah tubuhnya, Bi Lan terkejut dan cepat mengelak sambil mengulur tangannya. Ia berhasil menyambar sebutir senjata rahasia itu dan ketika dilihatnya ternyata itu adalah sebutir besi thi lian ci, senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh Tan Seng, kakeknya!
“Kong kong! Suhu, teecu Bi Lan berada di sini!” teriak Bi Lan dengan girang sekali!
Terdengar seruan girang dan juga terheran dari bawah dan tak lama kemudian, dari bawah melayang naik, tiga bayangan yang bukan lain adalah Tan Seng, Liang Gi Cinjin dan Liang Tek Sian seng! Bi Lan cepat cepat memberi hormat dengan hati girang sekali.
“Bi Lan, sungguh tidak kami nyana bahwa kau yang datang! Semenjak tadi memang ada bayangan seorang yang mengintai kami, kami sedang menanti saat baik untuk menangkapnya. Agaknya ia mata mata dari pemerintah Kin!” kata Tan Seng.
“Kalau begitu, mari kita mencari dan membekuknya, kong kong!” kata Bi Lan dengan gemas.
“Tadi dia datang dari jurusan sana!” kata Liang Gi Cinjin sambil menunjuk ke arah kanan kuil. Beramai ramai mereka lalu mengejar ke jurusan itu, namun tidak nampak bayangan siapapun juga.
Padahal, memang ada seorang laki laki bertubuh pendek berkumis melintang panjang yang bersembunyi di balik wuwungan sebelah depan. Orang yang pendek kecil ini mempunyai gerakan yang amat lincah dan cepat. Juga ginkangnya sudah tinggi sekali sehingga ia tidak menerbitkan suara sedikitpun juga. Dengan sepasang matanya yang lebar ia mengintai ke arah mereka berempat yang mencoba mencarinya dan sikapnya seperti seorang maling yang amat mencurigakan.
Ketika sudah melihat dengan jelas dan mendapat kenyataan bahwa tiga orang tua itu adalah tokoh tokoh Hoa san pai, sedangkan nona itu adalah pendekar wanita yang paru saja mengacau Enghiong Hweekoan, orang ini lalu bergerak hendak meninggalkan kuil. Akan tetapi, baru saja ia meloncat, tiba tiba bayangan lain menyambar dan sebelum ia berdaya, ia telah kena ditotok oleh orang itu yang mempergunakan tiam hwat (ilmu menotok jalan darah) yang istimewa sekali. Orang pendek kecil ini seketika menjadi lumpuh seluruh tubuhnya dan ia tidak dapat melawan lagi ketika orang yang menotoknya itu memegang leher bajunya dan membawanya turun ke bawah dengan gerakan yang luar biasa ringannya. Orang yang menangkapnya ini bukan lain adalah Ciang Le yang diam diam tadi mengikuti perjalanan Bi Lan.
Setelah Ciang Le membuat pengintai itu tidak berdaya, ia lalu melemparkan tubuh itu ke dalam kuil, kemudian ia pergi meninggalkan kuil itu. Bi Lan dan tiga orang tokoh Hoa san pai kembali ke kuil dengan tangan hampa. Mereka telah mencari cari, namun tidak menemukan orang di dalam hutan yang sunyi itu. Maka, alangkah heran dan tercengang mereka ketika di dalam kuil mereka melihat seorang laki laki rebah dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya.
“Inilah dia orang yang mengintai kami tadi!” kata Liang Gi Cinjin kepada Bi Lan, kemudian kakek ini lalu menotok orang itu untuk membebaskannya dari pengaruh totokan Ciang Le. Orang pendek kecil berkumis itu berlutut dengan tubuh gemetar, ia maklum bahwa kini ia telah berada di tangan musuh dan dalam keadaan berbahaya.
“Kau siapa dan mengapa mengintai kami?” tanya Liang Gi Cinjin dengan suara keren.
“Aku… aku tidak mengintai… aku seorang pelancong yang kemalaman di… di hutan ini...” jawab orang itu gugup.
“Bohong!” Bi Lan membentak dan sekali pedangnya berkelebat, lenyaplah sebelah kumis orang itu! “Sekali lagi membohong, telingamu kupotong! Hayo mengaku kau siapa dan apa kerjamu di sini!”
Dengan muka pucat dan suara megap megap, orang ini mengaku. Dia adalah seorang pencopet atau pencuri yang kenamaan di kota Cin an dan telah lama bekerja sebagai mata mata yang amat dipercaya oleh Sam Thai Koksu. Karena ia memiliki kepandaian berlari cepat dan ginkang yang sudah tinggi maka gerakannya gesit dan cocok sekali kalau ia menjadi seorang mata mata. Ia bernama Lo Tek dan dijuluki Sin touw (Malaikat Copet)! Atas perintah Sam Thai Koksu ia disuruh menyelidiki keadaan orang orang gagah yang mengganggu kota Cin an dan kebetulan sekali ia dapat menemukan tempat bersembunyi tokoh tokoh Hoa san pai yang telah lari dari tempat kurungan mereka di Cin an.
“Dan bagaimana kau tahu tahu meringkuk....
...Halaman 62-63 tidak ada atau hilang...
Siang mo sehingga tokoh tokoh Hoa san pai itu menjadi girang sekali karena mereka dapat menduga bahwa kepandaian Bi Lan kini tentu amat tinggi. Sebaliknya Bi Lan lalu mendengar penuturan kakek angkatnya. Ternyata bahwa tiga orang tokoh Hoa san pai ini ditawan dan dibawa ke Cin an, di mana mereka selain menerima siksaan juga mendapat bujukan dari Sam Thai Koksu agar supaya suka menyerah saja dan membantu pemerintah Kin. Tentu saja tiga orang kakek gagah ini tidak sudi menerima bujukan ini dan menyatakan lebih baik binasa dari pada membantu pemerintah Kin yang menindas rakyat Tiongkok....
“Tutup mulutmu!” bentak Tiat Liong Hoat ong, orang termuda dari Sam Thai Koksu.
“Mengapa kami harus menutup mulut?” Liang Bi Suthai balas membentak. “Kami berada di tempat sendiri. Kami adalah tuan rumah dan kalian adalah tamu, tamu tamu yang tidak mengenal aturan. Kalian hendak menawan kami? Silakan kalau kalian sanggup!”
Ini merupakan tantangan hebat dan dengan marah sekali Tiat Liong Hoat ong lalu menerjang maju setelah mencabut goloknya yang lebar dan tajam. Liang Bi Suthai berlaku waspada dan cepat mengelak dan mencabut keluar pedangnya yang tipis pendek. Nenek tua yang lihai dari Hoa san pai ini maklum akan kelihaian lawan, namun ia tidak takut sama sekali dan dengan gemas membalas serangan lawan. Sebentar saja sinar pedang dan golok berkelebatan dan tubuh mereka terbungkus oleh gulungan sinar senjata.
Bu It Hosiang mengeluarkan suara geraman seperti harimau dan hwesio ini lalu menggerakkan tongkatnya menyerang Tan Seng yang segera menghadapinya sambil menggerak gerakkan kedua ujung lengan bajunya yang panjang. Memang untuk menghadapi serangan tongkat lawan, senjata yang berupa ujung legan baju kanan kiri merupakan senjata yang amat baik, karena selain ujung lengan baju ini dapat dipergunakan untuk menyampok ujung tongkat, juga dapat dipergunakan untuk melihat dan merampas tongkat lawan. Akan tetapi tentu saja dibutuhkan pengalaman, kepandaian, dan tenaga untuk dapat mainkan kedua ujung lengan baju dengan baik. Adapun Bu It Hosiang adalah seorang tokoh Go bi pai yang sudah tinggi ilmu silatnya, maka pertempuran itu berjalan seru sekali, tidak kalah ramainya dengan pertempuran yang berjalan antara Liang Bi Suthai melawan Tiat Liong Hoat ong.
Kim Liong Hoat ong dan Gin Liong Hoat ong tidak mau tinggal diam dan keduanya lalu melompat maju disambut oleh Liang Gi Cinjin din Liang Tek Sianseng. Seperti juga Tan Seng, Liang Gi Cinjin hanya mempergunakan kedua ujung lengan bajunya, adapun Liang Tek Sian seng telah mengeluarkan sepasang pit bulunya yang digerakkan secara lihai, menghadapi serbuan Gin Liong Hoat ong yang memegang sepasang ruyung warna hijau. Hebat sekali adalah gerakan Kim Liong Hoat ong yang bersenjatakan sebatang rantai baja yang besar dan berat. Liang Gi Cinjin yang kepandaiannya paling lihai diantara saudara saudaranya, harus mengerahkan ginkangnya untuk menghadapi rantai baja ini.
Sebetulnya, tingkat kepandaian Sam Thai koksu masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian tokoh tokoh Hoa san pai, namun karena pada saat itu para tokoh Hoa san pai maklum akan kelihaian lawan, mereka melawan mati matian dan bersemangat sehingga pertandingan berjalan seru sekali. Biarpun fihaknya takkan mengalami kekalahan, namun melihat jalannya pertandingan demikian lama, Pak Hong Siansu tidak sabar lagi. Tiba tiba tubuhnya berkelebat luar biasa cepatnya memasuki gelanggang pertempuran dan berturut turut Tan Seng, Liang Tek Sianseng, dan Liang Gi Ciijin roboh terkena totokannya. Bukan main lihainya tokoh besar Tibet ini, yang dengan sekali serang saja sudah berhasil merobohkan tiga tokoh Hoa san pai!
Akan tetapi, karena Liang Bi Suthai seorang wanita, ia merasa malu untuk menyentuh tubuh nenek ini dan ia hanya mengerahkan pikulannya dari jarak jauh Namun demikian, ketika sambaran hawa pukulan itu menyerang Liang Bi Suthai, nenek ini terhuyung kebelakang dan saat itu dipergunakan oleh Tiat Liong Hoat ong untuk menyerang dengan goloknya secara hebat sekali!
Tubuh Liang Bi Suthai sudah terhuyung dan kedudukannya amat lemah, maka menghadapi serangan golok ini, ia terkejut sekali dan cepat , menjatuhkan tubuhnya ke belakang agar jangan sampai “termakan” oleh golok lawan. Akan tetapi, Tiat Liong Hoat ong tidak mau memberi hati lagi dan ketika kaki kanannya menendang. Liang Bi Suthai terlampir dan menderita patah tulang iganya!
Namun, dasar seorang yang berkepandaian tinggi, ia masih dapat meloncat berdiri dengan muka pucat dan ketika Tiat Liong Hoat ong menotoknya, ia tidak berdaya lagi dan tertawan seperti juga tiga orang saudaranya.
Demikianlah, empat orang tokoh Hoa san pai ini tertawan dan digiring menuju ke Cin an oleh Pak Hong Siansu dan kawan kawannya. Mereka tidak berdaya untuk melawan lagi karena mereka berada dalam keadaan tertotok dan tidak dapat menggerakkan kedua tangannya. Lebih lebih Liang Bi Suthai, yang telah menderita luka dan tidak terawat, keadaannya amat sengsara sehingga tiga orang saudaranya yang melihat keadaan nenek ini menjadi kasihan dan terharu sekali.
********************
Dengan nafsu marah meluap luap, Bi Lan melakukan perjalanan cepat sekali dan pada suatu hari sampailah ia di kota Taigoan. Karena hari sudah malam, ia lalu bermalam di sebuah hotel besar dan menyewa sebuah kamar cukup bersih, ia bermaksud untuk melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya pagi pagi, akan tetapi keinginannya ini gagal karena tak tersangka sangka ia menghadapi perkara besar. Ketika ia memasuki hotel, ia melihat tujuh orang laki laki yang bertubuh tinggi besar dan nampaknya galak tengah duduk menghadapi meja di ruang tengah. Mereka ini terang sekali adalah orang orang kang ouw yang kasar, karena begitu mereka melihat Bi Lan, tujuh orang itu menghentikan percakapan dan memandang kepada Bi Lan dengan mata kurang ajar sekali.
Namun Bi Lan biarpun merasa amat mendongkol tidak mau memperdulikan mereka dan memasuki kamarnya. Akan tetapi sebelum ia menutup pintu ia mendengar percakapan mereka tanpa disengaja dan alangkah kagetnya ketika ia mendengar seorang diantara mereka menyebut nyebut nama Lie Bu Tek!
“Lebih dulu kita singkirkan Lie Bu Tek itu, baru kita menggunakan kekerasan terhadap Hek kin kaipang!” kata orang berbaju kotak kotak dengan lagak sombong. Agaknya dia yang menjadi kepalanya, karena Bi Lan mendengar orang orang yang lain membenarkan kata kata ini.
Malam itu Bi Lan tak dapat tidur. Ia berlaku waspada dan memasang telinga baik baik, siap untuk mengikuti tujuh orang yang mengancam hendak menyingkirkan suhengnya itu. Akan tetapi tujuh orang yang menyewa kamar kamar besar di bagian belakang, malam itu tidak keluar dan terpaksa Bi Lan menanti saja di dalam kamarnya dan akhirnya tertidur. Ia mengambil keputusan untuk menyelesaikan perkara ini lebih dulu sebelum melanjutkan perjalanannya, ia tidak tahu entah di mana adanya Lie Bu Tek yang diancam oleh tujuh orang kasar itu, akan tetapi ia hendak mengikuti mereka. Demikianlah pada keesokan harinya ketika pagi pagi rombongan dari tujuh orang itu keluar dari hotel, diam diam Bi Lan mengikuti mereka.
Tujuh orang itu kembali memandang kepadanya dengan sikap menjemukan sekali, akan tetapi oleh karena Bi Lan ingin mengikuti mereka, gadis mi menahan sabarnya. Ia pikir belum waktunya turun tangan karena ia ingin tahu lebih dulu kemana tujuh orang itu hendak pergi mencari Lie Bu Tek. Ternyata bahwa orang orang itu pergi menuju ke persimpangan jalan lalu membelok ke kiri. Mereka berhenti di depan sebuah rumah dan berdiri di depan pintu rumah itu dengan sikap ugal ugalan.
“Hek kin kai pangcu (ketua Perkumpulan Sabuk Hitam)! Suruh bangsat Lie Bu Tek keluar untuk mengadu kepandaian dengan kami kalau memang kau anggap dia lebih jantan!” seru orang yang berpakaian baju kotak kotak sambil menggerak gerakkan sepasang ruyungnya dengan lagak jagoan.
Bi Lan menjadi heran sekali. Apakah mungkin Lie Bu Tek suhengnya itu berada di dalam rumah ini? Mengapa suhengnya berada di dalam rumah perkumpulan pengemis? Untuk memuaskan keinginan tahunya kenapa sampai lama dari rumah itu tidak terdengar jawaban, diam diam Bi Lan, lalu mempergunakan kepandainnya, meloncat dari belakang tembok rumah dan terus naik ke atas genteng. Gerakannya demikian ringan dan lincah laksana seekor burung walet saja sehingga tidak di ketahui oleh lain orang, baik oleh tujuh orang yang sedang petentang petenteng di depan pintu maupun oleh penghuni rumah itu.
Ketika ia membuka genteng mengintai, tiba tiba mukanya menjadi merah sekali. Ia melihat Lie Bu Tek yang berwajah kurus sekali sedang rebah di atas pembaringan dan di pinggir pembaringan itu duduk seorang wanita cantik dan berpakaian mewah dan bersikap genit. Beberapa kali wanita itu menggunakan tangannya yang halus untuk membelai muka Lie Bu Tek, bahkan mengelus elus rambut pemuda itu dan terdengar ia berkata perlahan,
“Kau tenanglah dan tidurlah. Selama aku berada disampingmu orang orang kasar itu takkan dapat mengganggumu! tak seorangpun di dunia ini boleh merampas kau dari tanganku.”
Bi Lan menjadi tertegun, terheran, mendongkol dan juga jengah sendiri. Siapakah perempuan ini dan mengapa suhengnya rebah di situ dan dikawani oleh seorang perempuan cantik yang bersikap seakan akan menjadi kekasihnya? Akan tetapi untuk meloncat turun, ia merasa malu sekali, maka kini Bi Lan hendak menumpahkan kemendongkolan hatinya kepada orang orang kasar yang mengancam Lie Bu Tek. Ia maklum bahwa keadaan Lie Bu Tek demikian lemah seperti orang sakit maka tak mungkin dapat melawan orang orang itu. Ia hendak membereskan orang orang, itu lebih dulu, baru kemudian ia hendak menyelidiki ke dalam untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya dari suhengnya yang amat mencurigakan hatinya itu.
Dengan beberapa lompatan saja Bi Lan sudah berada di atas genteng halaman depan dan tubuhnya lalu melayang turun ke bawah menghadapi tujuh orang itu. Tentu saja tujuh erang itu menjadi terkejut sekali ketika mengenal Bi Lan. Tadinya mereka mengira bahwa Hek kin kai pangcu sendiri yang akan keluar menyambut mereka, tidak tahunya yang datang adalah gadis yang sehotel dengan mereka dan yang kecantikannya membuat mereka tertarik sekali.
“Eh, nona manis! Siapakah kau? Apakah kau kawan dari Hek kin kai pangcu yang sengaja menyuruhmu memata matai kami ?” tanya orang yang berbaju kotak kotak sambil menyeringai dan memandang dengan mata kurang ajar,
“Eh, Gak twako, bunga ini berikan kepadaku. Bukankah twako sudah punya bunga dari Hek kin kaipang?” tiba tiba seorang yang memegang golok berkata. Orang ini berbaju hitam dan tubuhnya tinggi besar dengan muka seperti seekor lutung. Ia cengar cengir dan mendekati Bi Lan, lalu berkata.
“Nona manis, kalau kami sudah membikin mampus bangsat Lie Bu Tek itu dan Gak twako menikah dengan nona Kiang Cun Eng kau pun menikah dengan aku! Aku masih bujang dan di seluruh Taigoan tidak ada yang tidak mengenal Kwa Swan si golok sakti! Ha ha ha!”
Akan tetapi, ketawanya terhenti sampai di situ ketika tiba tiba Bi Lan menggerakkan tubuhnya. Dengan kecepatan yang luar biasa sekali sehingga tidak terlihat oleh lawannya, Bi Lan menggunakan kedua tangannya dengan berbareng. Tangan kanan merampas golok dan tangan kiri menggaplok muka orang.
Kwa Swan menjerit jerit seperti babi disembelih. Hidungnya berdarah dan pecah terkena gamparan tangan kiri Bi Lan sedangkan goloknya kena dirampas oleh gadis itu! Selagi ia mengaduh aduh, kaki kiri Bi Lan bergerak menendang dan bagaikan sebutir pelor, tubuh orang she Kwa ini mencelat sampai tiga tombak jauhnya dan ia roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi karena ia telah menjadi pingsan!
********************
Sebelum menuturkan keadaan Bi Lan lebih jauh, baiklah kita mundur dulu dan melihat bagaimana Lie Bu Tek bisa berada di tempat itu dan siapa adanya rombongan tujuh orang yang mengancamnya ini.
Seperti pernah dituturkan di bagian depan dengan hati patah dan amat berduka, Lie But Tek meninggalkan Ling In dengan maksud hendak mencari Wan yen Kan. Kemudian, bukannya berhasil membunuh Wan yen Kan, bahkan ia terkalahkan oleh Giok Seng Cu dan hampir saja ia tertawan kalau tidak tertolong oleh bayangan aneh yang kita ketahui adalah Ciang Lee. Makin kecewalah hatinya dan ia merantau dengan hati patah dan keadaan amat sengsara. Akhirnya ia tiba di kota Taigoan dalam keadaan payah karena hatinnya yang tertindih serta makannya yang amat tidak terjaga itu membuat ia jatuh sakit.
Namun kegagahannya masih tetap tidak lenyap. Di kota ini, ketika ia sedang berjalan dengan muka pucat, kurus, dan mata sayu, ia melihat seorang pengemis tua diseret seret oleh dua orang pengemis muda. Jiwa kesatria di dalam tubuhnya menuntut melihat perlakuan tidak adil dari dua orang pengemis muda ini, maka biarpun tubuhnya amat lemah dan kepalanya pening, Lie Bu Tek melompat maju dan sekali ia menerkam, ia telah berhasil mencengkeram leher dua orang pengemis muda itu yang segera dilontarkan sehingga dua orang itu jatuh tunggang langgang!
“Congsu (orang gagah), jangan ikut campur urusan kami!” pengemis tua itu berseru kepadanya sehingga Bu Tek berdiri tertegun. Bagaimana ada orang ditolong bahkan menegurnya?
Sementara itu, tiba tiba ia telah dikerumuni oleh banyak orang pengemis dan baru sekarang Bu Tek mendapat kenyataan bahwa semua orang pengemis itu memakai ikat pinggang hitam yang sama! Diantara para pengemis ini, muncul seorang kakek bongkok yang memegang sebatang tongkat hitam. Dengan muka menyeringai, kakek ini menudingkan tongkatnya kepada Bu Tek lalu memaki.
“Orang muda yang lancang dari manakah berani mencampuri urusan dalam perserikatan kami Hek kin kaipang? Ketahuilah bahwa setelah aku Beng san kui berada di sini, kau takkan kuberi ampun sebelum kau berlutut dan minta ampun sambil membayar denda seratus tail perak!”
Lie Bu Tek adalah seorang pemuda perantau yang sudah banyak pengalamannya, maklum akan keanehan orang orang kang ouw dan kini mendengar sebutan Hek kin kaipang diam diam ia terkejut sekali karena nama ini adalah nama perkumpulan pengemis yang amat berpengaruh. Ia cepat menjura tanda hormat, lalu berkata,
“Maaf, lo enghiong Siauwte Lie Bu tek dai Hoa san pai tidak tahu bahwa siauwte berhadapan dengan para orang gagah dari Hek kin kaipang. Tadi siauwte melihat seorang pengemis tua diseret seret oleh dua orang muda, maka karena kasihan, tanpa menyelidiki lebih dulu telah turun tangan, harap dimaafkan.”
Beng san kui tertawa bergelak dengan suara besar, jauh berbeda dengan potongan tubuhnya yang kecil bongkok. “Ha, ha ha! Bocah Hoa san pai berani main gila. Kau tidak tahu bahwa pengemisitu adalah anggota kami yang melanggar dan melakukan pencurian makanan, karenanya harus dihukuum. Sekarang kau telah berlaku lancang, hayo lekas berlutut dan keluarkan uang denda itu!”
Mendengar ini, panaslah hati Lie Bu Tek. Ia memang sedang berduka dan hatinya, penuh dendam penasaran, sekarang ada orang menghinanya, tentu saja ia menjadi marah. “Beng san kui, kau sombong sekali! Apakah kau tidak mau memandang muka orang lain dan mengingat hubungan orang orang tang ouw? Aku sudah minta maaf, akan tetapi siapa sudi berlutut dan membayar denda?”
“Kalau begitu, kau harus merasakan kerasnya tongkatku!” kata Beng san kui yang segera menyerang dengan tongkat hitamnya.
Bu Tek terkejut sekali dan cepat ia menggerakkan tubuhnya mengelak lalu membalas serangan lawan. Akan tetapi, ternyata kakek pengemis yang bertubuh kecil itu gesit sekali dan sebentar saja Bu Tek yang sudah amat lelah dan pening itu terdesak hebat. Akhirnya, tak dapat tertangkis lagi pundaknya terpukul tongkat dan terasa amat sakit. Kini Bu Tek menjadi mata gelap dan dicabutnya pedangnya, lalu ia mengamuk, namun tongkat di tangan Beng san kui benar benar lihai dan dalam jurus ke tiga puluh, sebuah dorongan tongkat mengenai dada kanan pemuda itu yang segera terguling roboh dan pingsan! Kalau sekiranya tubuh Bu Tek tidak demikian lemah, belum tentu Beng san kui akan dapat merobohkannya dengan mudah, biarpun sebetulnya tingkat ilmu silat si kate ini memang masih lebih tinggi daripada kepandaian Bu Tek.
Beramai ramai tubuh Lie Bu Tek diangkat oleh para pengemis dan dibawa ke rumah perkumpulan mereka untuk melaporkan hal pemuda itu kepada ketua mereka, yaitu nona Kiang Cun Eng yang sudah lama kita kenal. Nona ini adalah ketua Hek kin kaipang yang dulu tergila gila kepada Ciang Le.
“Bunuh saja pemuda ini!” kata Bi Mo li, nenek pengemis seperti setan yang amat galak itu.
“Suruh dia membayar denda seribu tail perak!” kata Siang tung him, kakek tampan yang buntung kaki kirinya.
Seperti telah kita ketahui, Kiang Cun Eng mempunyai tiga orang pembantu yang lihai, yaitu kakek pendek bongkok Beng san kui (Setan Gunung Sakti), nenek jembel bermuka setan Bi Mo li (Setan Perempuan Cantik), dan kakek berkaki sebelah Siang tung him (Biruang Tongkat Dua). Akan tetapi, begitu melihat Lie Bu Tek, hati Kiang Cun Eng amat tertarik, apalagi ketika mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari Hoa san pai. Semenjak gagal menarik perhatian Ciang Le, nona ini merasa amat kecewa dan berduka. Memang tidak sukar baginya untuk mencari jodoh karena banyak laki laki yang tergila gila kepada nona yang cantik, kaya dan berkepandaian tinggi ini. Akan tetapi tak seorangpun diantara mereka berkenan di hati Kiang Cun Eng. Mana ia mau pandang mata kepada segala pemuda biasa yang biasanya hanya berpakaian mewah dan menjual lagak! Ia merindukan seorang suami yang gagah perkasa. Dan Bu Tek cocok dengan bayangan pemuda yang dirindukannya.
“Dia murid Hoa san pai, tidak boleh diganggu. Baringkan di kamarku dan sediakan obat!” kata ketua ini dan tak seorangpun berani membantahnya.
Dengan amat telaten dan penuh perhatian, Kiang Cun Eng sendiri merawat Lie Bu Tek. Hek kin kaipangcu ini tidak mengulangi kekecewaannya seperti dulu ketika ia bertemu dengan Ciang Le. Disamping memberi minum obat kepada Bu Tek yang selain terluka juga menderita sakit panas itu, ia memberi pula tiap hari semacam arak yang telah dicampur dengan obat pemabok. Oleh pengaruh obat inilah maka Lie Bu Tek menjadi tak berdaya, seakan akan berada dalam mimpi dan terjatuh ke dalam kekuasaan dan pengaruh kecantikan Kiang Cun Eng. Pemuda ini seakan akan tidak tahu lagi apa yang dilakukannya. Patah hati dan kedukaan telah membuat ia kurang perduli akan kehidupannya, dan sekarang di bawah pengaruh obat pemabok, wajah Cun Eng yang cantik, sikapnya yang genit, dan kesenangan yang diberikan oleh ketua Hek kin kaipang itu kepadanya, membuat Bu Tek lupa akan segalanya.
Namun di dalam lubuk hatinya. Bu Tek tetap merana, tetap menderita. Hal ini terbukti dari keadaan tubuhnya yang kurus pucat, ia seakan akan tak bersemangat lagi, bagaikan boneka hidup. Di dalam kota Taigoan, selain adanya perkumpulan pengemis Hek kin kaipang yang berpengaruh sekali dan boleh dibilang menjadi pembantu penjaga keamanan kota, baru baru ini terbentuk pula sebuah perusahaan pengantar barang yang dikepalai oleh tujuh orang saudara seperguruan. Perusahaan ekspedisi ini diberi nama Jit liong piauwkiok (Piauwkiok Tujuh Naga) dan setiap kali mereka mengantar dan mengawal barang, tempat barang ditancapi tujuh buah bendera kecil yang kesemuanya bergambarkan liong dalam tujuh macam warna!
Kalau diceritakan memang aneh, akan tetapi sesungguhnya betul bahwa diantara tujuh orang piauwsu ini, yang paling tinggi kepandainnya dan bahkan yang menjadi kepalanya orang termuda! Dia ini bernama Gak Un Kiong, dan biarpun ia termuda usianya, namun saudara saudaranya menyebutnya “twako” untuk tanda menghormat! Memang mereka ini orang orang kasar yang tidak begitu mengindahkan kesopanan atau peraturan dan hal ini pun tidak begitu aneh kalau orang mengetahui asal usul mereka. Gak Un Kiong dan kawannya ini memang bekas perampok perampok kejam yang telah keluar dari hutan dan kini mencoba peruntungan dengan menjadi piauwsu!
Kepandaian Gak Un Kiong dan kawan kawannya memang cukup lihai, apalagi orang she Gak ini sendiri, kepandaiannya tinggi dan tenaganya besar. Di samping itu, enam orang saudaranya juga memiliki kepandaian tinggi, belum diingat akan hubungan hubungannya dengan dunia hitam (penjahat penjahat), maka tentu saja ia amat berpengaruh.
Kiang Cun Eng maklum akan hal ini, namun ia melarang anak buahnya mengganggu. Gak Un Kiong karena ia anggap bahwa biarpun mereka itu bekas perampok, akan tetapi kalau sekarang sudah bertobat dan mau menjadi penduduk baik baik, bahkan menjadi piauwsu, mengapa harus diganggu? Ia tahu bahwa kalau ia mengganggu piauwsu piauwsu bekas perampok itu, ia akan mengundang permusuhan hebat dengan orang orang jahat dan hal ini amat berbahaya bagi perkumpulannya sendiri. Pendeknya, Kian Cun Eng hanya akan turun tangan kalau benar benar terbukti orang melakukan kejahatan.
Ketika Gak Un Kiong melihat Cun Eng pada suatu hari, jatuhlah hatinya terhadap nona ketua ini dan serta merta ia majukan lamaran. Akan tetapi mana gadis ini mau menerimanya? Dengan sikap halus, ia menolak pinangan itu dengan alasan bahwa ia masih mempunyai tugas berat sebagai pemimpin Hek kin kaipang dan belum ada ingatan menikah. Gak Un Kiong mengerti bahwa penolakan ini berdasarkan rasa tidak suka maka diam diam ia merasa sakit hati sekali.
Namun terhadap ketua dari Hek kin kaipang, ia tidak berani mempergunakan kekerasan, ia bukan seorang bodoh dan tahu pula akan kelihaian Kiang Cun Eng yang dibantu oleh tiga orang tua yang berkepandaian tinggi pula, maka ia menahan hatinya dan diam diam ia berjanji pada diri sendiri bahwa ia akan merintangi dengan kekerasan, hanya apabila ketua Hek kin kaipang itu akan menikah dengan orang lain. Pendeknya, kedua fihak, baik dari Pihak Jit liong piauwkiok maupun dari fihak Hek kin kaipang saling menaruh perasaan jerih dan tidak mau membuat gara gara.
Dan akhirnya datanglah Lie Bu Tek yang kini sudah terkenal sebagai kekasih atau orang yang terpilih oleh Kiang Cun Eng. Hal ini tentu saja membuat Gak Un Kiong marah sekali. Kepala Jit liong piauwkiok ini merasa serba salah. Untuk mempergunakan kekerasan sesungguhnya ia merasa agak jerih terhadap nama Hek kin kaipang. Akan tetapi mendiamkannya saja, hatinya tidak rela mendengar nona yang dicintanya itu akan menjadi milik orang lain. Maka ia telah berhari hari tidak kembali ke rumah dan selalu mabok mabokan dan bermalam di dalam hotel di kota Taigoan.
Akhirnya enam orang saudaranya menyusul dan di dalam hotel itu mereka berunding, lalu mengambil keputusan untuk membunuh Lie Bu Tek kemudian merampas Kiang Cun Eng dengan paksa. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, kebetulan sekali ketika mereka mengadakan pertemuan di dalam hotel, datang Bi Lan yang mendengar percakapan mereka dan gadis ini bersiap sedia menolong suhengnya yang terancam bahaya. Demikianlah keadaan di kota Taigoan dan pengalaman pengalaman Lie Bu Tek, pemuda yang patah hati dan sengsara itu, yang kini berada dalam cengkeraman Kiang Cun Eng dan terancam oleh Gak Lu Kiong dan kawan kawannya yang merasa sakit hati kepadanya.
Kita kembali pula kepada Bi Lan yang bagaikan seekor burung walet menyambar turun dari atas genteng dan dalam segebrakan saja telah berhasil merampas golok dari tangan Kwa Swan, seorang saudara dari Un Kiong yang menjadi marah sekali. Kwa Swan adalah seorang saudaranya yang memiliki ilmu golok cukup lihai, namun dalam segebrakan saja telah roboh dalam keadaan pingsan oleh Bi Lan, maka tentu saja Gak Un Kiong selain menjadi marah juga amat kaget menyaksikan kehebatan sepak terjang nona muda yang cantik manis ini.
“Kawan kawan serbu!” seru Gak Un Kiong sambil menggerakkan sepasang ruyungnya. Dengan gerak tipu Ji liong jut tong (Sepasang Naga Keluar Dari Goa), ia menyerang Bi Lan dengan ruyungnya.
Namun Bi Lan sambil tersenyum mengejek, menggerakkan golok rampasannya dan sekaligus ia menindih ruyung kanan di tangan Gak Un Kiong dengan gerakan Yan cu liok sui (Burung Walet Menyambar Air). Bukan main kaget hati Gak Un Kiong ketika ia merasa seakan akan ruyung kanannya tertimpa oleh benda yang berat sekali sehingga saja ruyungnya itu terlepas dari pegangannya. Akan tetapi ia lihai sekali dan ruyung kirinya yang berada di atas itu secepat kilat menimpa dari atas mengarah kepala Bi Lan!
Dara perkasa ini tidak menjadi bingung menghadapi serangan hebat ini. Ia miringkan tubuh ke kanan dan begitu ruyung kiri lawannya lewat di samping kepalanya, goloknya, membabat diantara kedua ruyung dan langsung menyambar ke arah leher Gak Un Kiong. Sabetan iri demikian cepat dan kuatnya sehingga menimbulkan suara angin dan membuat Gak Un Kiong menjerit kaget. Piauwsu ini cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan di atas tanah menjauhkan diri. Keringat dingin berkumpul di dahinya karena serangan gadis itu tadi benar benar amat berbahaya dan hampir saja lehernya terbabat putus!
Ia meloncat lagi dan kini lima orang saudaranya dan beberapa orang anak buah Jit liong piauw kiok yang sudah memburu ke tempat itu, segera maju mengeroyok Bi Lan! Gadis ini sama sekali tidak menjadi jerih dan begitu goloknya berkelebat, robohlah beberapa orang anak buah piauw kiok itu. Betapapun juga, Bi Lan tidak mau sembarangan membunuh orang dan goloknya hanya menerbangkan senjata senjata lawan dan melukai tangan dan pundak mereka saja. Gerakan Bi Lan demikian cepatnya sehingga mereka yang terluka itu sendiri tidak tahu bagaimana mereka sampai dapat dirobohkan.
Pada saat itu, dari dalam rumah perkumpulan Hek kin kaipang, meloncat keluar empat orang. Mereka ini adalah Kiang Cun Eng dan tiga orang pembantunya yang menyeramkan, yaitu Bi Mo li, Siang tung him dan Beng san kui!
Ketika itu Gak Un Kiong sudah terluka pundaknya oleh ujung golok Bi Lan, maka ketika melihat empat orang pemimpin Hek kin kaipang ini keluar, mereka menjadi ketakutan dan tidak ada harapan untuk dapat melawan lagi. Un Kiong bersuit keras dan kawan kawannya segera angkat kaki sambil menyeret kawan kawan yang terluka!
“Gak Un Kiong. mulai saat ini kau tidak boleh terlihat di kota ini! Kalau kami melihat kau dan kawan kawanmu, jangan anggap kami keterlaluan kalau kami takkan memberi ampun lagi!” teriak Kiang Cun Eng dengan suaranya yang nyaring dan berpengaruh. Tentu saja untuk ini Gak Un Kiong tidak perlu mendapat peringatan dua kali, karena ia sendiripun sudah tahu bahwa setelah menderita kekalahan dan pengacauan yang dilakukannya terhadap Hek kin kaipang ini, ia dan kawan kawannya takkan mungkin tinggal di Taigoan lagi. Maka pergilah ia bersama kawan kawannya, kembali ke dalam hutan!
Kini Kiang Cun Eng menghadapi Bi Lan dan sepasang matanya yang bagus dan genit itu memandang tajam, penuh kekaguman. “Adik yang gagah perkasa, kau siapakah dan mengapa kau mencampuri urusan kami?” tanya Cun Eng dengan suara halus dan ramah, namun mengandung nada tinggi, tanda bahwa ketua Hek kin kaipang ini tidak merasa puas karena Gak Un Kiong dan kawan kawannya dihajar oleh orang lain.
Sebaliknya, Bi Lan memang sudah merasa jemu dan muak melihat lagak genit dari Kiang Cun Eng, apabgi kalau ia teringat akan pemandangan yang dilihatnya di dalam kamar tadi. “Sebelum kita bicara lebih jauh, ingin aku bertanya kepadamu, pangcu (ketua), siapakah pemuda di dalam kamarmu itu dan pernah apakah kau dengan dia?” Pertanyaan ini diajukan dengan nada gemas, karena memang Bi Lan merasa mendongkol terhadap perempuan ini, terutama sekali mendongkol melihat keadaan suhengnya yang sungguh mengecewakan hatinya.
Merahlah muka Cun Eng mendengar pertanyaan ini. Sepasang matanya dibuka lebar dan ia membentak marah, “Bocah lancang mulut! Perduli apa kau dengan urusan pribadiku dan mengapa kau mengurus perkara di dalam kamar orang lain! Sungguh tak tahu malu! Apakah kau iri hati? Kalau kau iri hati carilah pemuda lain jangan mencampuri urusanku. Dia adalah calon suamiku, kau mau apakah tanya tanya tentang dia?”
Bukan main malunya Bi Lan ketika mendengar bentakan ini, akan tetapi kemarahannya lebih besar dari pada rasa malunya. “Aku merasa heran mengapa dia sudi berdekatan dengan perempuan macam engkau! Lekas kau panggil dia keluar. Lie Bu Tek adalah suhengku dan biarpun aku tidak perduli apa yang ia lakukan dengan kau, namun aku hendak bicara tentang urusan penting sekali dengan dia.”
Cun Eng mengerutkan keningnya, akan tetapi hatinya lega. Kalau gadis ini hanya sumoi (adik seperguruan) dari Bu Tek saja, kepandaiannya tak perlu ditakuti. Namun mengingat bahwa gadis ini adalah sumoi dari kekasihnya, ia merobah nada suaranya dan kini ia berkata dengan suara agak ramah.
“Ah, tidak tahunya sumoi yang datang! Mengapa tidak dari tadi memperkenalkan diri sehingga tak perlu kita ribut ribut? Suheng mu sayang sekali tidak dapat keluar karena ia sedang menderita sakit panas. Marilah kau mengaso di rumah kami, akan kami sediakan kamar untukmu dan setelah suhengmu agak mereda sakitnya, boleh kau bertemu dengan dia.”
“Tidak, aku mau bertemu sekarang juga. Harap kau suka menyuruh dia keluar.” Bi Lan berkata tetap.
“Tidak bisa, adikku yang baik. Aku lebih sayang kepadanya dari pada kau menghormat suhengmu, pada waktu ini ia tidak boleh keluar dari kamarnya.”
“Kalau begitu, terpaksa aku akan masuk ke dalam mencarinya!” kata Bi Lan mengancam.
Tiba tiba Cun Eng mengeluarkan seruan marah dan tubuhnya melompat ke depan pintu, menghadang jalan masuk. “Bocah kurang ajar! Kau mengandalkan apakah maka demikian lancang dan berani mati? Kau sungguh sungguh tidak tahu diri, berani main gila dan bersikap sombong di depan kami! Kalau aku tidak mengingat bahwa kau adalah sumoi dari Lie Bu Tek, sudah semenjak tadi aku usir engkau!”
“Nona, pukul saja mulutnya yang lancang, habis perkara!” Bi Mo li yang melangkah maju dengan sikap mengancam, siap untuk menyerang Bi Lan.
“Nona muda, lebih baik kau menurut kata kata pangcu dan bermalam di sini menanti saatnya kau boleh bertemu dengan suhengmu,” kata Siang tung him si kakek buntung dengan suara membujuk.
“Benar, nona. Akupun tidak suka bermusuhan dengan seorang nona muda seperti engkau, apalagi engkau adalah sumoi dari calon pangcu kami,” kata Beng san kui sambil menyeringai.
“Kalian bandot tua mata keranjang!” Bi Mo li memaki marah kepada dua orang kawannya.
“Hek kin kaipang sudah mempunyai nama besar. Aku benar benar mengharap kalian tidak berlaku memalukan dan memberi kesempatan kepadaku untuk bicara dengan suheng ku. Kalau kalian tidak merintangi, akupun tidak akan memperdulikan segala urusanmu, akan tetapi kalau kalian memaksa merintangi aku bertemu dengan suhengku, terus terang saja kukatakan, bahwa itu berarti rusaknya Hek kin kaipang di tanganku!”
“Bocah sombongl Biarpun sumoi Lie Bu Tek, tidak boleh bersombong seperti itu di hadapanku. Hendak kulihat sampai di mana sih kepandaianmu maka begitu sombong kau!”
Setelah berkata demikian, Kiang Cun Eng mencabut keluar siang to ( sepasang golok ) yang berkilauan saking tajamnya. Ketua Hek kin kaipang ini memang ahli main golok pasangan dan kini sepasang goloknya itu menyambar dari kanan kiri, yang kanan menyambar leher Bi Lan sedangkan yang kiri, menyambar ke arah pinggang, inilah gerak tipu Ji seng hui thian (Dua Bintang Terbang di Langit) yang amat hebat dan berbahaya!
Akan tetapi, Bi Lan tersenyum mengejek dan sekali goloknya berkelebat mengitari tubuhnya, sepasang golok di tangan Cun Eng sudah dapat tertangkis dan alangkah kagetnya hati Cun Eng ketika merasa betapa telapak tangannya tergetar dan sakit sekali. “Kau benar benar hendak melihat perkumpulanmu hancur hari ini?” bentak Bi Lan yang cepat membalas dengan serangan bertubi tubi. Menghadapi serangan ini, Cun Eng cepat memutar dua batang goloknya, menangkis sambil mundur sehingga terdengar suara nyaring “trang!” berkali kali.
Melihat betapa dalam segebrakan saja ketua mereka sudah terdesak hebat, Bi Mo li menjerit dan menyerbu dengan siang kiamnya (sepasang pedangnya). Juga Siang tung him Si Beruang Tongkat Dua menyerbu dan membantu ketuanya dengan mainkan sepasang tongkat yang lihai. Beng san kui tidak mau tinggal diam. Betapapun ia merasa sayang kepada nona muda yang lihai ini, namun melihat kedudukan perkumpulannya terancam, ia lalu menerjang dengan tongkat hitamnya dan sebentar saja Bi Lan dikeroyok empat oleh tokoh tokoh Hek kin kaipang.
Namun, Bi Lan sekarang bukanlah Bi Lan dahulu lagi. Dara perkasa ini telah mendapat gemblengan hebat, tidak saja oleh Coa ong Sin kai, akan tetapi bahkan telah digembleng secara hebat oleh Thian Te Siang mo, maka jangankan baru empat orang ini, biar ditambah empat lagi agaknya takkan mungkin dapat menangkan gadis jelita yang lihai ini. Golok rampasan di tangannya bergerak laksana seekor naga mengamuk, gulungan sinar goloknya demikian lebar, panjang, dan kuat sehingga menindih dan mengurung empat orang pengeroyoknya yang menjadi bingung dan kabur pandangan matanya.
Kini tempat ini penuh dengan pengemis pengemis anggauta Hek kin kaipang dan mereka ini sambil berteriak teriak ikut pula menyerbu dan mengeroyok Bi Lan dengan tongkat mereka. Gadis ini menjadi gemas sekali, berkali kali ia berseru, “Roboh kau!” dan sebentar saja terdengar pekik disana sini karena di mana saja tubuh dara ini berkelebat, tentu seorang dua orang pengemis roboh terkena tendangan, pukulan tangan kiri atau juga kena dicium oleh ujung golok sehingga menderita luka dan tidak dapat bangun kembali.
Tiba tiba terlihat serombongan orang datang berlari lari. Melihat cara mereka berjalan, rombongan ini merupakan pasukan terlatih dan benar saja, mereka adalah penjaga penjaga kota dan tanpa banyak cakap lagi mereka ini menyerbu Bi Lan dan membantu para pengemis itu! Bi Lan terkejut buka main. Bagaimana ada penjaga penjaga kota bahkan membantu para pengemis yang mengeroyoknya?
“Eh, eh, apakah kalian sudah gila? Bukan menangkap pengemis pengemis yang mengacau ini, bahkan mengeroyokku!”
“Perempuan pemberontak, lebih baik kau menyerah!” komandan pasukan itu membentak sambil menyerang dengan goloknya.
Bi Lan menjadi makin marah. Ketika kaki kirinya menyambar dan mengenai pergelangan tangan komandan itu, orang ini menjerit dan goloknya terlempar. Ternyata pergelangan tangannya telah patah tulangnya. Bi Lan lalu mengamuk, ia pikir bahwa keroyokan para pengemis dan penjaga itu tak perlu ditakuti, dan yang paling penting merobohkan pentolannya. Goloknya dikerjakan menurut ajaran Te Lo mo, dicampuradukkan dengan Ilmu Pedang Sin coa kiam hoat yang ia pelajari dari Coa ong Sin kai. Baru beberapa jurus saja, ia telah berhasil melukai pundak Bi Mo li dan menendang roboh Siang tung him! Jerihlah semua pengeroyok melihat kehebatan gadis ini.
“Mundur semua! Kalau tidak, demi golok ini... akan kurobohkan kalian ini semua kacoa kacoa yang tiada guna!” Bi Lan berseru keras sambil mainkan goloknya sehingga tubuhnya lenyap terbungkus oleh gulungan sinar golok!
Para pengeroyok terkejut dan melangkah mundur, akan tetapi Kiang Cun Eng dan Beng san kui masih nekad mengeroyok. Dalam gemasnya, menggerakkan goloknya keras sekali. Terdengar suara nyaring dan sepasang golok di tangan Cun Eng terlempar jauh, kemudian terdengar ketua Hek kin kaipang ini menjerit karena pahanya telah terluka oleh tusukan golok, sedangkan Beng san kui sendiripun roboh karena dadanya didorong oleh tangan kiri Bi Lan.
“Kau yang menjadi biang keladinya! Kau perlu dihajar!” seru Bi Lan sambil memburu ke arah Cun Eng yang sudah rebah di atas tanah. Akan tetapi pada saat itu dari pintu muncul seorang laki laki yang cepat mencegah dengan tegurannya,
“Sumoi jangan...!”
Bi Lan tertegun dan menengok sambil bertolak pinggang. Sikapnya gagah sekali, matanya tajam bersinar sinar dan semua pengeroyok yang masih belum roboh menjauhkan diri dengan gentar. “Suheng, mengapa kau berada di neraka ini?” Bi Lan segera menegur Bu Tek. Pemuda itu menghela napas dan mukanya menjadi merah.
“Sumoi, sudahlah, jangan kau lanjutkan amukanmu. Betapapun juga, Hek kin kaipang telah berlaku baik kepadaku bahkan… bahkan mereka telah menolongku.” Pemuda ini dengan tindakan kaki terhuyung huyung menghampiri Kiang Cun Eng dan berkata, “Cun Eng, terima kasih atas segala kebaikanmu dan… maafkan aku orang yang tidak kenal budi dan tiada guna ini. Aku pergi...”
“Bu Tek, jangan tinggalkan aku…!” Cun Eng menangis, akan tetapi Bu Tek tidak memperdulikannya lagi dan pergi dari situ diikuti oleh Bi Lan.
“Serbu! Tangkap mereka. Bunuh keduanya!” Cun Eng meloncat dan bagaikan seekor harimau betina ia menerjang Bi Lan dan Bu Tek.
Akan tetapi dengan sekali tendang saja Bi Lan sudah merobohkannya kembali dan tidak ada seorangpun anak buahnya berani menyerbu Bi Lan lagi setelah menyaksikan kelihaian gadis ini. Bi Lan tersenyum sindir dan melemparkan golok rampasannya ke atas tanah, di mana golok itu menancap setengahnya lebih. Kemudian Bi Lan lalu menarik tangan Bu Tek berlari cepat pergi dari tempat itu. Setelah berada jauh dari Taigoan, Bi Lan berhenti dan bertanya kepada Bu Tek.
“Suheng, bagaimana kau menjadi begini kurus dan lenah? Aku sudah mendengar dari suheng Gan Hok Seng tentang kau dan… dan suci Ling In.”
“Jangan sebut sebut namanya lagi, sumoi…”
Terharu hati Bi Lan dan biarpun ia masih amat muda, ia dapat menyelami keadaan hati suhengnya ini. Agaknya karena kehilangan kekasihnya, Bu Tek menjadi manusia yang tidak bersemangat lagi sehingga sampai termasuk dalam perangkap ketua Hek kin kaipang.
“Suheng mengapa begitu lemah? Mana kegagahanmu? Mana semangat dan kepahlawanan murid Hoa san pai? Kau hanya menghancurkan nama Hoa san pai kalau kau bersikap selemah ini.” Bi Lan sengaja mengeluarkan kata kata keras untuk membakar semangat pemuda ini.
Bu Tek menundukkan kepalanya. “Apa dayaku, sumoi?”
“Suheng, tidak tahukah kau betapa rakyat sedang berjuang untuk melepaskan diri dari cengkeraman Bangsa Kin? Dari pada kau bersikap seperti ini, tidakkah lebih baik kalau kau menggabungkan diri dengan para pejuang? Suheng Gan Hok Seng juga menggabungkan diri, maka sayangnya kalau kau menyia nyiakan usia muda dan kepandaianmu. Pula ketahuilah, guru guru kita telah tertawan oleh Sam Thai Koksu dari pemerintah Kin dan sekarang...”
“Apa katamu?” berita ini membangunkan semangat Bu Tek dan ia nampak marah sekali.
Bi Lan menjadi girang dan ia menceritakan peristiwa yang terjadi di Hoa san. Bu Tek mengepal ngepal tinjunya dan memaki maki.
“Jahanam benar orang orang Kin! Tidak saja menghancurkan hidupku, bahkan berani mengganggu Hoa san pai. Aku bersumpah untuk membalas dendam ini. Sumoi, mari kita serbu ketempat mereka di Cin an.”
“Sabar, suheng. Aku memang hendak menuju ke sana untuk berusaha menolong guru guru kita. Akan tetapi, keadaanmu masih lemah, kau masih belum sehat benar. Paling baik kau carilah Gan suheng dan setelah merawat kesehatanmu, kau dan Gan suheng dapat berjuang di samping para patriot lainnya. Adapun tentang, keselamatan guru guru kita, kau doakanlah saja mudah mudahan aku berhasil menolong mereka.”
Bu Tek telah menyaksikan kepandaian sumoinya tadi, maka ia merasa akan kebenaran kata kata ini. Ia sendiri selain masih lemah tubuhnya, juga apakah artinya kepandaiannya? Bagaimana ia bisa menyerbu ke Cin an? Sedangkan menghadapi Giok Seng Cu saja ia tak berdaya! Maka ia lalu menyetujui pendapat Bi Lan dan berpisahlah kedua saudara seperguruan ini. Bi Lan melanjutkan perjalanan ke Cin an, adapun Lie Bu Tek lalu berangkat mencari sutenya, Gan Hok Seng. Sekarang pemuda ini seakan akan telah mendapat semangat baru dan hidupnya mempunyai cita cita yaitu membantu perjuangan rakyat menghalau pemerintah Kin!
********************
Bi Lan melakukan perjalanan cepat sekali menuju ke Cin an. Ketika tiba di kota ini, ia tidak berani mengambil tempat bermalam di dalam hotel, karena tahu bahwa mata mata pemerintah Kin tersebar di mana mana. Ia lalu memilih sebuah kelenteng yang berada di luar kota dan bermalam di situ. Setelah beristirahat sehari lamanya, pada keesokan sorenya, masuklah ia ke kota Cin an dan malam hari itu ia mulai dengan penyelidikannya. Siang tadi ia telah bertanya tanya akan tetapi tak seorangpun dapat memberi tahu kepadanya tentang keadaan tokoh tokoh Hoa san pai yang tertawan. Agaknya hal ini dirahasiakan oleh Sam Thai Koksu.
Perlu diketahui bahwa ketika Sam Thai Koksu pulang ke Cin an membawa para tawanan di tengah jalan Liang Bi Suthai menghemhuskan napas terakhir karena tidak kuat menahan penderitaan luka lukanya. Ketiga saudara seperguruannya hanya dapat menangis dan jenazah nenek lihai ini dimakamkan di dalam sebuah hutan di tengah jalan. Kemudian, karena tidak sabar melihat perjalanan terlalu lambat baginya, Pak Hong Siansu mendahului rombongan itu dan berlari cepat lebih dulu pulang ke Cin an di mana seperti telah dituturkan di bagian depan, kebetulan sekali ia dapat bertemu dengan Ciang Le yang membaca surat dari suhengnya, yakni Pak Kek Siansu.
Malam itu sunyi sekali. Pemberontakan yang timbul di mana mana membuat keadaan Tiongkok utara menjadi kacau dan tidak aman. Jarang ada orang berani keluar pintu di malam hari karena boleh dibilang setiap malam tentu terjadi penyerbuan oleh fihak pemberontak yang tiba tiba menyerang tempat yang kurang kuat penjagaannya. Yang dijadikan sasaran oleh para penyerbu tentulah rumah rumah gedung pembesar Kin atau tangsi tangsi penjaga dan lain lain. Pokoknya, para pemberontak itu mengarahkan penyerbuan mereka terhadap kaki tangan pemerintah Kin yang mereka benci.
Bi Lan mengambil jalan di atas genteng, langsung menuju ke Enghiong Hweekoan untuk menyelidiki dan kalau mungkin menolong guru gurunya yang tertawan oleh Sam Thai Kok su. Tingkat kepandaian Bi Lan sekarang sudah tinggi sehingga ketika ia berlari di atas genteng tidak menimbulkan suara berisik. Pada waktu itu, biarpun nampaknya sunyi, namun sebetulnya penjagaan di Enghiong Hweekoan amat kuat. Sam Thai Koksu maklum bahwa sekarang para orang gagah dari selatan sudah bangkit dan membantu perjuangan para pemberontak, maka selain mengatur barisan barisan untuk memadamkan api pemberontakan, merekapun tidak lalai untuk menjaga gedung itu secara diam diam.
Maka ketika Bi Lan berada di atas genteng Enghiong Hweekoan, diam diam segala gerak geriknya telah dilihat oleh para penjaga yang sudah siap dengan anak panah di tangan dan mengurung tempat itu! Sam Thai Koksu sendiri yang memimpin penjagaan ini, terkejut melihat gerakan bayangan nona muda di atas genteng, karena gerakan itu benar benar cepat dan ringan sekali, tanda bahwa yang datang adalah seorang pandai.
Ketika Bi Lan sedang berdiri di atas genteng dan menduga duga di mana kiranya tokoh tokoh Hoa san pai dikurung, tiba tiba terdengar suara mendesing dan dari segenap penjuru menyambar anak panah ke arah dirinya! Gadis ini tidak menjadi gugup. Dengan cepat ia menanggalkan baju mantelnya dan memutar jubah itu sedemikian rupa melindungi dirinya, sehingga semua anak panah yang menyambar ke arahnya runtuh semua ke atas genteng.
“Sam Thai Koksu, manusia manusia curang!” bentaknya sambil mencabut pedang dan secepat terbangnya burung walet, tubuh Bi Lan sudah meloncat ke kanan di mana terdapat barisan panah yang tadi menyerangnya.
Keadaan menjadi gempar ketika Bi Lan menyerbu ke arah ini. Beberapa orang penjaga menyambutnya dengan golok, akan tetapi terdengar suara nyaring dan beberapa batang golok terbabat putus berikut tangan yang memegangnya. Teriakan teriakan ngeri terdengar dan tubuh beberapa orang penjaga berguling dari atas genteng! Bi Lan mengamuk terus dan dalam waktu pendek saja ia sudah merobohkan tujuh orang penjaga. Sam Thai Koksu marah sekali dan mereka ini muncul sendiri, menghadapi Bi Lan dengan senjata di tangan.
“Gadis liar dari manakah berani datang mengacau di sini?” bentak Kim Liong Hoat ong sambil melintangkan rantai bajanya di depan dada. “Sam Thai Koksu berada di sini, apakah kau tidak lekas lekas berlutut?”
Bi Lan melihat tiga orang gagah berdiri di hadapannya, maka dengan marah ia menudingkan pedangnya. “Sam Thai Koksu, bagus benar perbuatanmu! Ketahuilah bahwa aku datang untuk minta kembali guru guruku yang kalian tawan dari Hoa san!”
Kini Sam Thai Koksu mengenal gadis yang lihai ini, yang bukan lain adalah nona yang dulu telah mengacaukan pertemuan orang orang gagah di taman bunga di kota Cin an. Tertawalah Kim Liong Hoat ong. “Ha, ha, ha, tidak tahunya kau yang datang! Bagus, kebetulan sekali. Memang sudah lama kami hendak menangkapmu atas kedosannmu dahulu di taman bunga. Sekarang kami takkan memberi ampun lagi padamu!”
Biarpun mulutnya berkata demikian, namun diam diam Kim Liong Hoat ong menjadi terkejut dan juga gelisah. Dahulupun gadis ini yang mendatangkan malapetaka. Terhadap gadis ini sendiri, ia tidak merasa takut, akan tetapi siapa tahu kalau kalau gadis ini datang bersama Coa eng Sin kai dan Thian Te Siang mo! Diam diam Kim Liong Hoat ong lalu memberi tanda rahasia kepada seorang penjaga untuk menyusul Ba Mau Hoatsu dan Pan Hong Siansu yang bermalam di rumah kepala daerah, untuk memanggil mereka membantu, karena kalau Coa ong Sin kai dan Thian Te Siang mo benar benar datang bersama gadis ini, hanya Ba Mau Hoatsu dan Pak Hong Siansu saja yang kiranya dapat menghadapi mereka.
“Kim Liong Hoat ong, percuma saja kau dan dua orang saudaramu menyebut diri sebagai Sam Thai Koksu, karena ternyata kalian adalah pengecut dan berwatak curang. Mengapa kalian menawan guru guruku di Hoa san? Kalau memang kalian berkepandaian, bebaskan guru guruku dan marilah kita bertempur secara jujur! Biar aku yang mewakili Hoa san pai menghadapi kalian bertiga.”
Kim Liong Hoat ong tertawa. “Bocah sombong, kau dan semua orang Hoa san pai adalah pemberontak pemberontak yang mengacau keamanan, maka sekarang juga kami akan menangkapmu!” Sambil berkata demikian, rantai baja di tangan Kim Liong Hoat ong bergerak menyambar ke arah kepala Bi Lan.
Gadis ini menjadi marah sekali dan pedangnya berkelebat cepat. Dengan gerakan yang indah dan manis ia mengelak dari sambaran rantai baja dan dalam gerakan mengelak ini ia membarengi dengan tusukan maut ke arah dada lawannya. Kim Liong Hoat ong terkejut sekali. Gerakan nona ini benar benar cepat dan tidak terduga sekali, maka ia lalu melompat ke belakang sampai setombak jauhnya untuk menghindarkan diri dari serangan ganas itu.
Namun Bi Lan tidak mau memberi hati dan secepat kilat ia mengejar dengan tusukan lain dari pedangnya yang berkelebat kelebat ganas. Melihat betapa nona itu mendesak suheng mereka, Gin Liong Hoat ong menyerbu dengan sepasang ruyungnya yang berwarna hijau, sedangkan Tiat Liong Hoat ong juga tidak mau tinggal diam, langsung menyerang dengan goloknya yang lebar.
“Bagus, hari ini aku akan menamatkan riwayat Sam Thai Koksu!” Bi Lan berseru dan pedangnya diputar cepat sekali dalam permainan pedang Sin coa Kiam hoat (Ilmu Pedang Ular Sakti) yang dulu ia pelajari dari Coa ong Sin kai. Ilmu pedang ini memang sifatnya ganas sekali dan paling tepat dan cepat untuk dipergunakan menyerang lawan. Kalau saja tiga orang tokoh Kerajaan Kin ini maju seorang demi seorang, dalam beberapa jurus saja mereka tentu roboh oleh ilmu pedang ini. Namun, mereka adalah orang orang yang berkepandaian tinggi dan kini dengan jalan mengeroyok mereka masih dapat mempertahankan diri dan bahkan membalas dengan serangan yang tak kurang hebatnya.
Melihat ketangguhan tiga orang lawannya, Bi Lan kehilangan kesabarannya dan tiba tiba pedangnya berobah gerakannya. Kini ia mainkan Ilmu Pedang Thian te Kiam hoat yang ia pelajari dari Thian Te Siang mo. Kebebatan ilmu pedang ini luar biasa sekali dan dalam beberapa jurus saja. terdengar teriakan kesakitan ketika pedangnya berhasil melukai pundak Tiat Liong Hoat ong sehingga golok besar di tangan orang ini terlempar di atas genteng.
Kim Liong Hoat ong dan Gin Liong Hoat ong menjadi terkejut dan marah sekali. Mereka menyerbu makin ganas, akan tetapi kembali ujung pedang Bi Lan telah melukai lengan kiri Gin Liong Hoat ong sehingga kini terpaksa orang ke dua dari Sam Thai Koksu itu hanya mainkan ruyung kanan saja sambil meringis kesakitan karena lengan kirinya telah terluka dan ruyung kirinya juga terlepas dari pegangan. Bi Lan mendesak terus dan agaknya tak lama lagi ia akan dapat merobohkan lawannya yang tinggal dua orang itu kalau saja pada saat itu tidak terdengar bentakan hebat,
“Bocah liar kau mencari mampus!” Bentakan ini disusul dengan melayangnya dua senjata roda yang lihai sekali. Ba Mau Hotsu telah datang atas panggilan para penjaga tadi!
Melihat kedatangan kawan yang tangguh ini, Kim Liong Hoat ong dan Gin Liong Hoat ong menjadi lega dan meloncat mundur. Gin Liong Hoat ong segera merawat lengan kirinya, adapun Kim Liong Hoat ong lalu merawat Tiat Liong Hoat ong yang menderita luka parah di pundaknya.
Bi Lan terkejut melihat datangnya serangan sepasang roda itu, ia belum kenal siapa adanya pendeta yang bertubuh tinggi besar ini. Dengan cepat ia menangkis dengan pedangnya dan karena ia kurang mengenal kelihaian sepasang roda ini, hampir saja pedangnya terampas dari tangannya dan hampir ia mendapat celaka. Roda yang kiri berputar dan pedangnya seakan akan terbetot oleh tenaga yang luar biasa kuatnya, sedangkan roda kanan terbang menyambar kepalanya. Bi Lan cepat mengerahkan tenaganya mencabut pedangnya dan serangan roda kanan itu dapat dihindarkan dengan jalan merendahkan tubuhnya. Kemudian ia meloncat mundur dan memandang dengar penuh perhatian, la mulai merasa kuatir dan bersikap hati hati sekali. Ternyata olehnya bahwa yang menyerangnya adalah pendeta tinggi besar itu, yang datang bersama dua orang tua lain. Seorang diantaranya adalah seorang kakek yang sudah tua sekali, dan orang ke dua adalah seorang tosu. Ia tidak tahu bahwa yang menyerangnya, yaitu Ba Mau Hoatsu, datang bersama Pak Hong Siansu dan Giok Seng Cu yang amat lihai.
Ba Mau Hoatsu memang mempunyai watak yang agak sombong dan menganggap diri sendiri terpandai. Tadi ketika melihat Sam Thai Koksu tidak dapat mengalahkan lawannya yang ternyata hanya seorang gadis muda ia lalu berpesan kepada Pak liong Siansu dan Giok Seng Cu agar jangan turun tangan, karena ia sendiri hendak menghadapi gadis itu. Melihat betapa gadis itu dapat menangkis serangannya, Ba Mau Hoatsu menjadi terkejut dan juga penasaran, ia lalu menyerang lagi dan kini sepasang rodanya mengancam gadis itu dan mengurung rapat.
Diam diam Bi Lan nengeluh karena ternyata kepandaian lawannya ini benar benar hebat. Tahulah ia mengapa kakek dan gurunya dari Hoa san pai sampai kalah dan tertawan, karena Sam Thai Koksu mempunyai pembantu yang begini pandai, ia mengerahkan seluruh kepandaiannya dan melawan mati matian. Pedangnya bergerak cepat sekali dan kini ia mainkan Ilmu Pedang Thian te Kian hoat yang amat aneh gerakannya. Namun, tetap saja sepasang roda itu masih mengancam dan menindih pedangnya, bahkan beberapa kali hampir saja pedangnya dapat terampas, Bi Lan maklum bahwa menghadapi pendeta ini saja ia sukar mencapai kemenangan, apalagi kalau Kim Liong Hoat ong membantu, tentu akan kalah.
Tak seorangpun tahu bahwa diam diam sepasang mata yang tajam menyaksikan pertempuran ini dari balik wuwungan rumah. Mata ini memandang penuh kekhawatiran. Karena ia maklum bahwa tak lama lagi Bi Lan pasti akan kalah apalagi kalau Giok Seng Cu atau Pak Hong Siansu turun tangan! Yang mengintai adalah mata Ciang Le pemuda gagah perkasa yang memang selalu memasang mata menyelidiki keadaan Enghiong Hwee koan, bersiap untuk menolong orang orang gagah yang menyerbu tempat itu. Kini ia menjadi bingung. Untuk keluar membantu ia merasa sungkan dan takut kepada susioknya. Kalau dia diam saja tidak membantu, ia benar benar kasihan kepada gadis itu. Juga diam diam ia merasa kagum sekali melihat gadis yang perkasa itu.
Keadaan Bi Lan kini benar benar amat terdesak dan berbahaya sekali. Makin lama gerakan sepasang roda dari Ba Mau Hoatsn makin kuat saja dan Bi Lan yang tadi sudah mengeluarkan banyak tenaga ketika dikeroyok oleh Sam Thai Koksu dan kawan kawannya Uni mulai merasa lelah menghadapi Ba Mau Hoatsu yang demikian tangguhnya. Keadaan malam hari itu gelap dan penerangan di atas genteng itu hanya dari tiga buah lampu yang digantung tinggi tinggi di sekeliling rumah. Tiba tiba terdengar suara keras dan tiga buah lampu ini meledak pecah dan padam. Bahkan sebuah diantaranya, terbakar dan mulai membakar tiang di bawah gunungan sang melintang!
Pada saat itu, sepasang roda dari Ba Mau Hoatsu sedang mengurung dan mengancam Bi Lan. Tiba tiba nampak beberapa benda berkeredepan menyambar dan dengan cepat sekali menghantam kedua pundak Ba Mau Hoatsu. Kakek ini terkejut sekali, la melihat pula datangnya benda benda ini dan mendengar suara anginnya, maka cepat ia merendahkan tubuhnya untuk mengelak dari sambaran dua buah benda yang mengarah pundaknya, akan tetapi beberapa buah benda lain menghantam roda roda di tangannya sehingga ia merasa kedua rodanya terpukul dan hampir terlepas dari tangannya! Cepat ia melompat mundur dan pada saat itu terdengar seruan,
“Lari...!”
Bi Lan juga tahu bahwa ada orang pandai membantunya secara diam diam, maka kini mendengar seruan “lari!” itu, ia cepat melompat jauh, melarikan diri dari tempat berbahaya itu.
“Bangsat kecil, kau berani main gila?” Seru Pak Hong Siansu yang tahu tahu menggerakkan tubuhnya ke arah dari mana benda benda itu menyambar. Adapun Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu juga tidak tinggal diam.
“Gadis liar, kau hendak lari ke mana?” bentak Ba Mau Hoatsu yang bersama Giok Seng Cu mengejar Bi Lan.
Lain lain orang dikepalai oleh Kim Liong Hoat ong, segera memadamkan kebakaran kecil yang diakibatkan oleh pecahnya lampu, dan memasang lampu baru untuk menerangi tempat itu. Ciang Le yang menolong Bi Lan, ketika melihat susioknya melayang ke arahnya, tidak berani menyambut dan segera melompat jauh. Pak Hong Siansu dapat mengenal sambitan senjata rahasia yang berkeredepan tadi, karena itu adalah am gi (senjata gelap) yang disebut Siauw seng ciam (Jarum Bintang Kecil), semacam jarum yang ujungnya runcing dan gagangnya mempunyai kepala terbuat dari batu yang berkeredep. Inilah senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh Pak Kek Siansu di waktu muda, maka Pak Hong Siansu dapat menduga bahwa pelemparnya tentulah murid suhengnya itu. Karena Ciang Le berlaku hati hati dan tidak mau melayaninya ketika Pak Hong Siansu tiba di tempat itu, pemuda tadi telah pergi jauh.
Adapun Bi Lan yang melarikan diri, dikejar oleh Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu. Gadis ini berlari cepat sekali, melompat turun dari atas rumah. Akan tetapi Ba Mau Hoatsu yang merasa penasaran, terus mengejarnya dan telah mengambil keputusan hendak menangkap gadis ini. Setelah mereka keluar dari kota Cin an dan tiba di luar tembok kota, tiba tiba di atas tembok melayang turun sesosok bayangan yang menghadang larinya Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu. Ketika mereka ini memandang, bukan main marahnya Ba Mau Hoatsu mengenal bahwa penghadangnya bukan lain adalah Go Ciang Le, pemuda yang pernah mengalahkan sepasang rodanya ketika pemuda ini datang membawa surat suhunya untuk Pak Hong Siansu!
“Keparat! Lagi lagi kau yang mengganggu kami!” seru Ba Mau Hoatsu dan cepat ia menyerang dengan sepasang rodanya. Giok Seng Cu tanpa mengeluarkan kata kata langsung maju mengeroyok sambil mainkan senjata rantainya yang lihai.
Akan tetapi kali ini Ciang Le tidak main main lagi dan begitu ia mainkan pedangnya sambil mengerahkan tenaganya, Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu terpaksa mundur dengan kaget sekali. Serbuan pemuda ini benar benar hebat dan tenaga yang keluar dari sambaran pedang Kim kong kiam sekaligus dapat membuat sepasang roda dan rantai itu terpental memukul pemegangnya sendiri!
Beberapa jurus lamanya Ciang Le tidak mau memberi kesempatan kepada dua orang lawannya untuk membalas serangannya, ia mendesak dan mengeluarkan Ilmu Silat Pak kek Sin ciang hoat yang lihai. Oleh karena ilmu silat ini memang ilmu silat rahasia yang belum pernah terlihat di dunia dan yang kehebatannya menduduki tingkat tertinggi, tentu saja Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu menjadi bingung dan tidak dapat membalas serangan pemuda itu, melainkan sibuk menjaga diri karena pedang kuning emas itu seakan akan berobah menjadi puluhan banyaknya.
Ciang Le memang hanya bermaksud menolong Bi Lan saja dan memberi kesempatan kepada gadis itu untuk melarikan diri, maka setelah ia mendesak beberapa jurus dan mengerti bahwa kini Bi Lan telah lari jauh, tiba tiba ia meloncat keluar dari kalangan pertempuran dan berlari meninggalkan Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu!
Bukan main marahnya kedua orang ini. Sambil memaki maki mereka lalu melepaskan senjata senjata gelap ke arah bayangan Ciang Le yang meloncat jauh. Akan tetapi Ciang Le adalah bekas murid Thian Lo mo, seorang ahli am gi (senjata gelap) yang lihai sekali. Sebelum senjata senjata rahasia yang dilepas oleh kedua orang pendeta itu mengenai tubuh Ciang Le, terlebih dulu pemuda ini sudah menggerakkan tangan kirinya dan beberapa benda berkerdepan telah menyambar dan memukul runtuh semua senjata rahasia lawan. Sebelum menjadi murid Pak Kek Siansu, Ciang Le memang sudah ahli dalam penggunaan senjata rahasia yaitu kepandaian yang dipelajarinya dari Thian Lo mo. Setelah ia menjadi murid Pak Kek Siansu di puncak Lu liang san, ia menambah kepandaiannya ini dengan penggunaan Siauw seng ciam ( Jarum Bintang Kecil), yaitu senjata rahasia yang dahulu seringkali dipergunakan oleh Pak Kek Siansu di waktu muda.
Setelah dapat melarikan diri dari Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu, Ciang Le berlari terus. Akan tetapi, tiba tiba dari balik sebatang pohon meloncat keluar sesosok bayangan dan ketika ia memandang, ternyata Bi Lan telah berdiri di hadapannya! Keadaan suram suram mendekati gelap dan ia tidak dapat melihat wajah gadiss itu dengan jelas, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya, tahulah Ciang Le bahwa ia berhadapan dengan gadis yang ditolongnya tadi.
“Anjing pemerintah Kin, kau masih mengejarku? Asal jangan main keroyokan, aku Liang Bi Lan takkan mundur setapakpun!’ seru BiLan sambil maju menerjang dengan pedangnya. Di dalam gelap, gadis inipun tidak dapat mengenal siapa adanya orang yang ia hadapi, akan tetapi karena orang ini berlari cepat mengejarnya tentu saja ia menduga bahwa orang ini juga seorang kaki tangan Sam Thai Koksu yang mengejarnya.
Ciang Le menjadi geli dan diam diam ia memuji ketabahan hati gadis muda ini. Dimaki dan diserang, ia diam saja, hanya segera mengeluarkan pedangnya dan melayani Bi Lan bermain pedang! Ketika mereka bertempur dam bergebrak beberapa jurus lamanya, keduanya terkejut dan heran. Bi Lan merasa terkejut sekali karena ternyata bahwa kepandaian atau ilmu pedang dari lawannya ini benar benar lihai sekali, adapun Ciang Le merasa terheran heran karena ia mengenal ilmu pedang yang dimainkan oleh Bi Lan sebagai ilmu pedangnya sendiri sebelum menjadi murid Pak Kek Siansu, yakni ilmu pedang dari Thian Te Siang mo dan biarpun gerakan gadis ini lebih lihai dan juga ilmu pedang itu banyak sekali kemajuannya seakan akan kedua bekas gurunya itu telah menyempurnakannya, namun pada dasarnya sama saja dengan ilmu pedang yang ia pernah pelajari dari Iblis Kembar itu. Maka iapun lalu merobah gerakan pedangnya dan kini iapun mainkan ilmu Pedang Thian Te Kiam sut yang tentu saja dikenal baik oleh Bi Lan.
“Eh, siapa kau ?” gadis ini membentak dengan suara heran. “Dari mana kau mencuri ilmu pedang Thian Te Kiam hoat?”
“Tidak ada yang mencuri ilmu pedang. Sebaliknya kau tadi mengaku anak murid Hoa san pai, mengapa sekarang mainkan ilmu pedang dari Thian Te Siang mo?? Sejak kapankah kau menjadi murid dari kedua orang guruku?”
“Hm… kau mengaku guru kepada kedua suhuku? Tak salah lagi kau tentulah Go Ciang Le murid yang murtad dan yang mengkhianati kedua suhuku itu!” Seru Bi Lan yang sengaja bersikap keras, padahal hatinya berdebar debar karena ia kini berhadapan dengan cucu dari kakek angkatnya, yaitu Tan Seng.
“Eh, eh, nanti dulu!” kata Ciang Le. “Betapapun juga, kalau kau sudah menjadi murid mereka kau masih terhitung sumoiku sendiri. Bagaimana kau tadi dapat katakan bahwa aku seorang murid murtad dan mengkhianati guru guruku!”
“Karena kau meninggalkan mereka dan belajar silat kepada orang lain!”
Tiba tiba pemuda itu tertawa bergelak, seakan akan ia mendengar sesuatu yang amat menggelikan hatinya. Bi Lan menjadi gemas, sayang ia tidak dapat melihat dengan nyata wajah pemuda itu, karena keadaan gelap. Akan tetapi ia dapat melihat bahwa tubuh pemuda itu tinggi tegap, biarpun tidak setegap tubuh Lie Bu Tek suhengnya, dan dapat mendengar bahwa suara pemuda ini lantang akan tetapi bernada halus.
“Kenapa kau tertawa? Apanya yang lucu?”
Ciang Le menahan suara ketawanya. “Karena kau tadi memaki aku sebagai murid murtad dan berkhianat, sedangkun kau sendirpun murtad dan berkhianat.”
Bi Lan terkejut. “Kurang ajar, kau lancang sekali.”
“Bukankah betul kata kataku tadi. Kau seorang anak murid Hoa san pai, namun kau juga meninggalkan Hoa san pai dan menjadi murid Thian Te Siang mo. Orang selagi muda mencari kemajuan, mengapa disebut murtad dan berkhianat?”
Bi Lan tertegun. Memang, biarpun kedua orang suhunya telah berpesan agar kalau bertemu dengan Ciang Le ia suka menghajar murid murtad itu, namun di dalam hatinya tentu saja ia merasa berat untuk melakukan tugas ini. Pertama tama ia sendiripun berganti guru, sama halnya dengan Ciang Le, ke dua karena Ciang Le adalah cucu dari kakek angkatnya!
“Kau pandai memutar lidah! Cukup tentang itu, sekarang hendak kubertanya apakah maksudmu mengejarku? Apakah kau sudah menjadi kaki tangan pemerintah Kin?”
“Nona, jangan menuduh secara sembarangan saja. Kita bersatu haluan. Bahkan aku tahu pula akan maksud kedatanganmu, tentu hendak mencari tokoh tokoh Hoa san pai itu dan hendak menolong mereka bukan? Tak usah kau bersusah payah, kalau hendak bertemu dengan mereka, pergilah ke bio (kuil) rusak di sebelah barat kota, di dalam hutan bambu itu.” Setelah berkata demikian, Ciang Le meloncat ke dalam gelap dan lenyap dari situ.
“Sayang... aku belum dapat melihat mukanya… dan belum berkesempatan untuk menanya tentang riwayatnya. Apakah ia tidak tahu bahwa kong kong adalah kakeknya yang aseli?” pikir Bi Lan dan teringatlah ia akan kata kata pemuda itu. Benar benarkah ia akan dapat menemui kong kongnya dan suhu suhunya di dalam hutan sebelah barat kota? Hatinya berdebar penuh harapan ketika Bi Lan berlari lari dalam menuju ke barat.
Ketika ia tiba di dalam sebuah hutan bambu, benar saja ia melihat kuil kuno yang biar pun di bagian bawahnya sudah buruk dan rusak, namun gentengnya masih kuat dan baik. Ia meloncat ke atas karena sebagai seorang gadis kang ouw yang berpengalaman, ia selain berlaku hati hati dan menyelidiki lebih dulu sebelum mengambil tindakan.
Begitu kakinya menginjak genteng, lampu penerangan yang tadinya terpasang di dalam kuil itu padam dan tiba tiba dari bawah menyambar tiga buah benda ke arah tubuhnya, Bi Lan terkejut dan cepat mengelak sambil mengulur tangannya. Ia berhasil menyambar sebutir senjata rahasia itu dan ketika dilihatnya ternyata itu adalah sebutir besi thi lian ci, senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh Tan Seng, kakeknya!
“Kong kong! Suhu, teecu Bi Lan berada di sini!” teriak Bi Lan dengan girang sekali!
Terdengar seruan girang dan juga terheran dari bawah dan tak lama kemudian, dari bawah melayang naik, tiga bayangan yang bukan lain adalah Tan Seng, Liang Gi Cinjin dan Liang Tek Sian seng! Bi Lan cepat cepat memberi hormat dengan hati girang sekali.
“Bi Lan, sungguh tidak kami nyana bahwa kau yang datang! Semenjak tadi memang ada bayangan seorang yang mengintai kami, kami sedang menanti saat baik untuk menangkapnya. Agaknya ia mata mata dari pemerintah Kin!” kata Tan Seng.
“Kalau begitu, mari kita mencari dan membekuknya, kong kong!” kata Bi Lan dengan gemas.
“Tadi dia datang dari jurusan sana!” kata Liang Gi Cinjin sambil menunjuk ke arah kanan kuil. Beramai ramai mereka lalu mengejar ke jurusan itu, namun tidak nampak bayangan siapapun juga.
Padahal, memang ada seorang laki laki bertubuh pendek berkumis melintang panjang yang bersembunyi di balik wuwungan sebelah depan. Orang yang pendek kecil ini mempunyai gerakan yang amat lincah dan cepat. Juga ginkangnya sudah tinggi sekali sehingga ia tidak menerbitkan suara sedikitpun juga. Dengan sepasang matanya yang lebar ia mengintai ke arah mereka berempat yang mencoba mencarinya dan sikapnya seperti seorang maling yang amat mencurigakan.
Ketika sudah melihat dengan jelas dan mendapat kenyataan bahwa tiga orang tua itu adalah tokoh tokoh Hoa san pai, sedangkan nona itu adalah pendekar wanita yang paru saja mengacau Enghiong Hweekoan, orang ini lalu bergerak hendak meninggalkan kuil. Akan tetapi, baru saja ia meloncat, tiba tiba bayangan lain menyambar dan sebelum ia berdaya, ia telah kena ditotok oleh orang itu yang mempergunakan tiam hwat (ilmu menotok jalan darah) yang istimewa sekali. Orang pendek kecil ini seketika menjadi lumpuh seluruh tubuhnya dan ia tidak dapat melawan lagi ketika orang yang menotoknya itu memegang leher bajunya dan membawanya turun ke bawah dengan gerakan yang luar biasa ringannya. Orang yang menangkapnya ini bukan lain adalah Ciang Le yang diam diam tadi mengikuti perjalanan Bi Lan.
Setelah Ciang Le membuat pengintai itu tidak berdaya, ia lalu melemparkan tubuh itu ke dalam kuil, kemudian ia pergi meninggalkan kuil itu. Bi Lan dan tiga orang tokoh Hoa san pai kembali ke kuil dengan tangan hampa. Mereka telah mencari cari, namun tidak menemukan orang di dalam hutan yang sunyi itu. Maka, alangkah heran dan tercengang mereka ketika di dalam kuil mereka melihat seorang laki laki rebah dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya.
“Inilah dia orang yang mengintai kami tadi!” kata Liang Gi Cinjin kepada Bi Lan, kemudian kakek ini lalu menotok orang itu untuk membebaskannya dari pengaruh totokan Ciang Le. Orang pendek kecil berkumis itu berlutut dengan tubuh gemetar, ia maklum bahwa kini ia telah berada di tangan musuh dan dalam keadaan berbahaya.
“Kau siapa dan mengapa mengintai kami?” tanya Liang Gi Cinjin dengan suara keren.
“Aku… aku tidak mengintai… aku seorang pelancong yang kemalaman di… di hutan ini...” jawab orang itu gugup.
“Bohong!” Bi Lan membentak dan sekali pedangnya berkelebat, lenyaplah sebelah kumis orang itu! “Sekali lagi membohong, telingamu kupotong! Hayo mengaku kau siapa dan apa kerjamu di sini!”
Dengan muka pucat dan suara megap megap, orang ini mengaku. Dia adalah seorang pencopet atau pencuri yang kenamaan di kota Cin an dan telah lama bekerja sebagai mata mata yang amat dipercaya oleh Sam Thai Koksu. Karena ia memiliki kepandaian berlari cepat dan ginkang yang sudah tinggi maka gerakannya gesit dan cocok sekali kalau ia menjadi seorang mata mata. Ia bernama Lo Tek dan dijuluki Sin touw (Malaikat Copet)! Atas perintah Sam Thai Koksu ia disuruh menyelidiki keadaan orang orang gagah yang mengganggu kota Cin an dan kebetulan sekali ia dapat menemukan tempat bersembunyi tokoh tokoh Hoa san pai yang telah lari dari tempat kurungan mereka di Cin an.
“Dan bagaimana kau tahu tahu meringkuk....
...Halaman 62-63 tidak ada atau hilang...
Siang mo sehingga tokoh tokoh Hoa san pai itu menjadi girang sekali karena mereka dapat menduga bahwa kepandaian Bi Lan kini tentu amat tinggi. Sebaliknya Bi Lan lalu mendengar penuturan kakek angkatnya. Ternyata bahwa tiga orang tokoh Hoa san pai ini ditawan dan dibawa ke Cin an, di mana mereka selain menerima siksaan juga mendapat bujukan dari Sam Thai Koksu agar supaya suka menyerah saja dan membantu pemerintah Kin. Tentu saja tiga orang kakek gagah ini tidak sudi menerima bujukan ini dan menyatakan lebih baik binasa dari pada membantu pemerintah Kin yang menindas rakyat Tiongkok....