Pedang Penakluk Iblis Jilid 15
MEMANG sukar menyerang seorang seperti Giok Seng Cu yang memiliki Ilmu Kebal Tiat-pouw-san, akan tetapi di antara jalan-jalan darah yang berada di dalam tubuh, terdapat banyak bagian yang tak dapat dilindungi oleh ilmu kebal, seperti misalnya jalan darar hai-yang-hiat, ong-cu-hiat dan lain-lain. Dan Yap Kong Ki yang cerdik tahu harus memilih yang mana, maka kini setiap serangannya selalu mengarah jalan darah mematikan yang berbahaya sehingga betapapun lihainya, Giok Seng Cu tidak berani lagi mengandalkan ilmu kebalnya.
Akan tetapi semua usaha itu sia-sia belaka karena tingkat kepandaian Giok Seng Cu masih lebih tinggi, apalagi dalam ilmu lwekang, kepandaiannya jauh melampaui lawannya. Melihat betapa Yap Kong Ki amat sukar dirobohkan, timbul kemarahan dalam hati Giok Seng Cu, kakek ini mengeluarkan suara keras mulailah ia bersilat dengan gaya merendah. Dia telah mulai mengeluarkan ilmu silatnya yang paling diandalkan yakni Ilmu Pukulan Tin-san-kang.
Yap Kong Ki terkejut sekali. Dari sepasang tangan kakek itu menyerang angin pukulan yang jauh bedanya dengan tadi. Kini setiap kali kakek itu menyerang tidak saja kebutannya terpental ke belakang, bahkan tubuhnya juga sampai terdorong seakan-akan ada gelombang tenaga yang dahsyat mendorongnya dari depan. Setelah Giok Seng Cu mengeluarkan Tin-san-kang mulailah Kong Ki terdesak hebat dan dalam belasan jurus kemudian ia telah terkurung oleh pukulan-pukulan maut dari Tin-san-kang! Ia mulai sibuk ke manapun juga ia melompat untuk mengelak, selalu ada hawa pukulan yang menghadangnya.
Tiba-tiba terdengar seruan dari Ah-Kai yang semenjak tadi menonton pertempuran itu. Si Bisu ini berdiri dengan mata terbelalak saking kagumnya melihat kehebatan Giok Seng Cu. Akan tetapi karena biarpun bisu ia tahu bahwa Kong Ki membela Hek-kin-kaipang, kini melihat majikan Pulau Kim-ke-tho ini terdesak hebat dan berada dalam bahaya, ia lalu melompat maju dan mengirim serangan dengan tongkatnya ke arah pusar dari Giok Seng Cu.
Giok Seng Cu cepat menyampok tongkat itu dengan tangan kirinya, akan tetapi begitu kena disampok, tongkat yang terpental itu segera menyeleweng dan melanjutkan serangannya dengan totokan kilat ke arah ulu hati. Serangan ini masih dilanjutkan secara bertubi-tubi dan gerakannya yang amat aneh membuat Giok Seng Cu mengeluarkan seruan tertahan.
"Ayaa, bukankah ini Cam-kauw-tungwat? Pernah apa kau dengan Camauw Sin-kai?" tanya Giok Seng Cu. Hatinya agak tidak enak karena dahulu ia pernah bertemu dengan Cam-kauw Sinkai dan mengingat akan Pengemis Sakti yang lihai dan tidak boleh dibuat main-main ini, Giok Seng Cu merasa tidak enak kalau pengemis yang menyerang ini masih ada hubungan dengan Ca kauw Sin-kai.
Akan tetapi, Ah Kai yang bisu mana dapat menjawab pertanyaannya? Ah Kau hanya mengeluarkan suara ah, ah, uh uh, dan tongkatnya menyerang terus dengan gencarnya, dibantu pula oleh kebutan di tangan Kong Ki. Yang juga bergerak cepat. Melihat betapa dua orang ini masih saja belum dapat mengalahkan Giok Seng Cu, Kiang Cun Eng berseru keras dan ketua perkumpulan kaipang ini melompat maju pula dan menyerang Giok Seng Cu dengan pedangnya.
Giok Seng Cu marah sekali. "Kiang Cun Eng, kau dahulu telah mempermainkan orang-orangku, sekarang kau tidak lekas-lekas menakluk? Apakah kau memilih jalan mampus?"
"Giok Seng Cu pendeta busuk, memang lebih baik mati daripada melihat kau menjadi Ketua Hek-kin-kaipang!" jawab Cun Eng.
Melihat Cun Eng sudah turun tangan, para anggauta Hek-kin-kaipang yang memiliki kepandaian cukup tinggi, mulai mengangkat tongkat mereka dan beramai-ramai mereka mengurung Giok Seng Cu.
"Teng Gai, kau tidak lekas menyuruh anak buahmu turun tangan, mau tunggu kapan lagi? Apakah benar-benar kalian berani mengkhianatiku?" kata Giok Seng Cu.
Mendengar ini, Kim-tung Mo-kai segera memberi tanda kepada kawan-kawannya yang berjumlah tiga puluh orang. Tadinya Kim-tung Mo-kai Teng Gai memang bermaksud hendak merampas kedudukan dalam perkumpulan itu, akan tetapi setelah ia kalah oleh Ah Kat dan tak tersangka-sangka di situ muncul Giok Seng Cu bekas pemimpinnya di 1m-yang-bu-pai dahulu pikirannya berubah dan ia mengambil siasat lain. Begitu mendapat isyaratnya, kawan-kawannya yang memang sebagian besar adalah bekas anggauta Im-yang-bu-pai, segera menyerbu dan sebentar saja di tempat itu terjadi pertempuran hebat.
Pihak Hek-kin-kaipang jauh lebih banyak orangnya, maka melihat ini, Seng Cu mengeluarkan gerengan keras dan beberapa kali ia melancarkan pukulan-pukulan Tin-san-kang yang paling hebat. Terdengar pekik mengerikan dan tubuh Kiang Cun Eng terlempar sampai tiga tombak lebih dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Bukan main marahnya Kong Ki dan Ah Kai. Dua orang ini memiliki kepadaian yang jauh lebih tinggi daripada Cun Eng, maka mereka berdua biarpun kalah lihai oleh Giok Seng Cu, sebegitu jauh masih dapat mempertahankan diri dan belum roboh oleh pukulan-pukulan Tin-san-kang. Kini melihat Giok Seng Cu telah membunuh Cun Eng secara mengerikan, keduanya menjadi makin nekat dan menyerang mati-matian. Lebih-lebih Kong Ki yang terasa hancur melihat kekasihnya tewas. Tanpa mempedulikan keselamatan sendiri, Sian-hud-tim Yap Ko Ki menyerbu Giok Seng Cu dengan serangan-serangan maut.
Giok Seng Cu berteriak kesakitan ketika daun telinganya pecah oleh pukulan kebutan di tangan Yap Kong Ki. ia marah dan kedua rangannya bergerak ke depan menghantam dada lawan ini, maka tubuh Kong Ki terpental dan ia pun tak jauh dari tubuh Cun Eng dalam keadaan mati pula.
Ah Kai yang bisu dapat melihat keadaan, ia melompat jauh ke belakang, memberi tanda dengan tongkat pusaka kepada para kawan yang masih bertempur, lalu melarikan diri cepat meninggalkan tempat itu. Ah Kat biarpun bisu amat cerdik. Dalam berlari, ia menyambar peti yang tadinya ditumpuk oleh Cun Eng di tempat itu. Melihat perbuatan Ah Kai ini, para anggauta Hek-kin-kaipang lalu meniru perbuatannya dan sebentar saja empat buah peti berisi harta benda Hek-kin-kaipang telah dibawa lari oleh para pengemis.
"Kejari Bunuh mereka yang melawan! Rampas kembali peti-peti dan tangkap hidup-hidup Si Bisu!" tenak Giok Seng Cu sambil melompat dan mengejar.
Karena Giok Seng Cu memang hebat, dalam beberapa loncatan saja ia telah dapat mengejar Ah Kai dan terpaksa Si Bisu ini melepaskan peti yang dipanggulnya. ia tidak berani menghadapi Giok Seng Cu, hanya memutar tongkatnya melindungi dirinya. Karena Giok Seng Cu masih tidak enak hati untuk membunuh orang yang agaknya ada hubungan dengan Cam-kauw sin-kai, maka Giok Seng Cu tidak mau menjatuhkan serangan maut, sebaliknya berusaha menawan. Namun, amat sukarlah mengalahkan Ah Kai tanpa membunuhnya, karena gerakan Ah Kai amat lincah dan ilmu tongkatnya memang tinggi sekali.
Tiga buah peti yang lain telah terampas pula, Giok Seng Cu akhirnya terpak ia meninggalkan Ah Kai untuk mengamuk dan membasmi para anggauta Hek kin-kaipang lebih dulu. Sepak terjangnya mengerikan hati para pengemis karena setiap kali ia mengayun tangan, sedikitnya tentu dua orang pengemis roboh dengan dada pecah atau kepala remuk.
"Semua orang akan diampuni kalau menyatakan takluk! Aku akan menjadi ketua Hek-kin-kaipang dan akan membawa perkumpulan ke arah kemuliaan. Seru Giok Seng Cu yang mengerahkan tenaga dalamnya sehingga suaranya terdengar amat nyaring dan berpengaruh.
Mendengar ini dan melihat betapa mereka sia-sia saja kalau melawan terus, banyak orang pengemis lalu melepaskan tongkat dan menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh yang lain-lain. Melihat ini, Ah Kai mengeluarkan seruan ah-ah, uh-uh beberapa kali, membanting-banting kakinya dengan gemas sekali, lalu cepat ia melarikan diri.
"Totiang, untuk menjadi ketua Hek-kin-kaipang, harus mempunyai po-tung (Tongkat pusaka) yang dipegang oleh Si Bisu itu!” kata seorang pengemis yang menakluk.
Mendengar ini Giok Seng Cu melomplat cepat dan mengejar Ah Kai yang tentu saja berlari makin kencang. Dalam hal ilmu berlari cepat, Ah Kai sudah mencapai tingkat tinggi juga, maka untuk beberapa lama, Giok Seng Cu belum dapat menyusulnya.
"He... Bisu, kau berhenti dan serahkan tongkat butut kepadaku, baru aku akan membebaskan kau!" Memang baginya lebih baik Si Bisu itu pergi dari situ dalam hal merampas tongkat pusaka itu ia pun akan merasa lebih senang kalau tak usah membunuh Ah Kai, karena Giok Seng Cu masih ragu-ragu siapa adanya orang bisu yang pandai mainkan ilmu tongkat Cam-kauw Tung-hoat itu.
Akan tetapi, sudah tentu saja Ah Kai tidak sudi memberikan tongkat pusaka itu kepada Giok Seng Cu. Semenjak kecilnya, Ah Kai telah berada di perkumpulan Hek-kin-kaipang dan ia amat setia kepada ayah Cun Eng yang ketika itu menjadi ketua perkumpulan. Setelah ayah Cun Eng meninggal, bocah bisu ini menjadi begitu berduka sehingga ia melarikan diri dan selama itu tak seorang pun tahu di mana adanya Ah Kai. Sebetulnya, Ah Kai telah bertemu dengan orang-orang pandai di antaranya Cam-kau Sin-kai dan dari orang-orang pandai Ah Kai menerima pelajaran ilmu silat tinggi. Setelah memiliki kepandaian Ah Kai mencari perkumpulan Hek-kin Kaipang yang sudah dipindahkan markasnya atau pusatnya oleh Kiang Cun Eng. Di dalam hatinya, Ah Kai tetap setia kepada perkumpulan ini dan hendak menyerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk membantu dan membela Kiang Cun Eng.
Tidak disangkanya, begitu ia datang, ia menghadapi orang-orang jahat yang hendak merampas kedudukan di perkumpulan itu. Lebih-lebih tidak disangkanya bahwa di antara orang-orang jahat itu muncul Giok Seng Cu yang amat lihai dan yang ilmu silatnya kiranya takkan kalah oleh guru-guru yang pernah mengajarnya. Tadi ketika melihat Cun Eng tewas hart Ah Kai sudah marah sekali dan ia merasa sakit hati kepada Giok Seng Cu. Sekarang Giok Seng Cu minta tongkat pusaka yang menjadi tongkat kekuasaan dari Hek-kin-kaipang, tentu saja ia tidak sudi menyerahkannya dan mengambil keputusan untuk melindungi tongkat itu sampai saat terakhir.
Melihat orang bisu itu tidak mau menyerahkan tongkat bahkan lari makin cepat Giok Seng Cu mulai hilang sabar. Kalau perlu, ia tidak takut membunuh siapapun juga. Andaikata benar dugaannya dan pengemis bisu itu murid Cam-kauw Sin-kai, ia pun tidak takut. Pula di tempat sunyi ini siapakah yang akan tahu bahwa pengemis bisu itu di bunuh olehnya?
"Bisu, tinggalkan tongkat itu pengganti nyawamu!" Sekali lagi Giok Seng Cu berseru ketika Ah Kai lagi-lagi tidak memperdulikannya, Giok Seng Cu menggerakkan kedua tangannya dan empat buah chi-piauw menyambar laksana kilat ke arah belakang leher, punggung, lutut dan mata kaki.
Ah Kai dapat mendengar sambaran angin senjata rahasia itu, maka cepat ia melompat ke kanan sejauh setombak lebih sehingga serangan amgi (senjat gelap) itu hanya mengenai angin belaka Namun, gerakannya ketika melepaskan diri dari ancaman senjata rahasia tadi telah memperlambat gerakannya dalam berlari sehingga Giok Seng Cu sudah dapat menyusulnya.
Ah Kai membalikkan tubuh dan dengan secara mendadak ia menyambut kedatangan kakek itu dengan serangan bertubi-tubi dari tongkatnya. Kembali Giok Seng Cu gelagapan dan sibuk menangkis dengan kibasan kedua ujung bajunya. Ia menjaga diri dari ujung tongkat yang amat berbahaya itu, akan tetapi diam-diam ia pun mencari kesempatan untuk menjatuhkan pukulan maut pada lawan yang tangguh ini. Kakek ini sudah kehilangan kesabarannya, bahkan kini rasa penasarannya memuncak menjadi kemarahan besar. Ketika dengan tenaganya yang dahsyat ujung bajunya dapat membuat tongkat lawan terpental, ia cepat mengirim pukulan Tin-san-kang dengan tubuh merendah hampir berjongkok. Inilah pukulan Tin-san-kang dalam jurus yang amat hebat, yaknt jurus Chun-luttong-tee (Geledek Musim Semi Menggetarkan Bumi)!
Ah Kai terkejut sekali. Cepat ia mergerahkan tenaganya, menyalurkan tenaga lweekang sepenuhnya di lengan kiri untuk menangkis pukulan itu sambil tubuhnya dimiringkan agar dadanya tidak terpukul oleh angin pukulan.
"Krek!" tubuh Ah Kai terlempar dan ia jatuh berdebuk terus bergulingan untuk menghindarkan diri dari pukulan susulan. Kemudian secepatnya ia melompat berdiri dengan muka meringis. Tongkat masih ia pegang di tangan kanan dadanya pun tidak terluka, akan tertapi lengan kirinya telah patah tulangnya, Demikian hebat pukulan Giok Seng tadi.
Di lain pihak, Giok Seng Cu memandang kagum. Menangkis pukulannya tadi dan tidak tewas, hanya mendapat luka patah tulang lengan, benar-benar tak mungkin dapat dilakukan oleh sembarangan ahli silat. "Bisu, kau lihai!" serunya. "Sayang kau harus mampus karena berani melawanku!" Kembali ia menubruk maju dengan serangannya, akan tetapi Ah Kai tidak mau melayaninya dan sekali berkelebat, pengemis bisu ini sudah kabur lagi.
Sekarang jarak antara mereka tidak begitu jauh lagi, maka keadaan Ah Kai amat terancam. Baru saja ia lari belum setengah li, Giok Seng Cu sudah dapat menyusulnya lagi dan dari belakang mengirim pukulan lagi dengan dahsyat. Ah Kai sudah mendapat pengalaman, maka kini ia tidak berani menangkis lagi, sebaliknya ia lalu membanting tubuhnya ke kiri dan terus bergulingan di atas tanah menjauhkan diri.
"Ha, ha, ha. Jembel bisu, kau hendak lari ke mana" Giok Seng Cu tertawa mengejek sambil mengejar lagi.
Mereka main kejar-kejaran dan setiap kali Giok Seng Cu memukul, Ah Kai menghindarkan serangan dengan membanting diri dan bergulingan. Sebegitu jauh pengemis bisu yang memiliki gerakan lincah ini dapat menyelamatkan diri, akan tetapi ia maklum bahwa kalau Giok Seng Cu mengejar terus, akhirnya ia takkan dapat mengelak lagi dan pasti akan terpukul oleh ilmu pukulan yang aneh dan dahsyat dan lawannya. Betapapun juga, tidak ada sedikit pun pikirannya untuk mengalah dan menyerahkan tongkat. Ia mengambil keputusan untuk melindungi tongkat itu dengan taruhan nyawa!
Setelah berkejaran sejauh lima li, mereka tiba di dalam sebuah hutan. Ah Kai sudah mulai lelah, bukan karena berkejaran itu, karena ia telah memiliki ilmu ginkang yang tinggi dan takkan merasa lelah biarpun berlari sampai puluhan li. Yang membuat ia lelah adalah luka pada lengannya. Tulang yang patah itu setelah dipakai bergerak, apalagi waktu ia bergulingan kadang-kadang tergencet tubuh, terasa amat sakit.
Giok Seng Cu menjadi makin penasaran dan marah sekali. Kemarahannya membuat kakek ini dapat berlari makin cepat dan baru saja mereka memasuk hutan, Giok Seng Cu sudah dapat menyusulnya lagi dan dengan mengeluarkan seruan seperti seekor harimau marah, kakek ini menyerang dari belakang menghantam punggung. Ah Kai kembali membanting tubuh dan bergulingan. Akan tetapi, Giok Seng Cu yang sudah tahu akan lawannya, menyerang dengan lontaran senjata rahasianya yang berupa uang logam. Tiga buah chi-piauw meluncur dan menyambar ke arah tiga jalan darah yang mematikan.
Ah Kai mencoba untuk mengelak, akan tetapi ketika itu ia sedang bergulingan, mana ia dapat bergerak dengan leluasa? Sebuah daripada am-gi berhasil mengenai pundaknya dan kembali tulang pundaknya sebelah kiri patah! Ah Kai menahan rasa sakit dan melompat berdiri, Giok Seng Cu sudah berdiri di depannya. Sambil menggigit bibir menahan marah dan sakit, Ah Kai menubruk dan mengirim serangan maut dengan tongkatnya. Kembali dua orang itu bertempur. Ah Kai marah sekali.
Giok Seng Cu tertawa-tawa mengejek karena maklum bahwa Si Bisu ini sekarang tak mungkin dapat melarikan diri lagi dan pasti binasa. "Jembel bisu, untuk tongkat butut dari Hek-kin-kaipang kau rela membuang nyawa, sungguh percuma hidupmu dan sayang sekali Cam-kauw Sin-kai telah menurunkan kepandaiannya kepadamu. Ha ha ha!"
Ah Kai menggigit bibir dan melawan terus. Akan tetapi, dalam keadaan sehat saja ia masih bukan tandingan Giok Seng Cu, apalagi sekarang ia telah mendapat luka. Tulang pundak dan lengan kirinya telah patah dan membuat seluruh lengannya sebelah kiri seakan-akan mati. Mana mungkin ia dapat menghadapi desakan Giok Seng Cu? Ketika Giok Seng Cu mengibaskan ujung lengan bajunya, Ah Kai terlambat menangkis dan dadanya terpukul. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak lebih. Akan tetapi, pengemis bisu ini benar-benar kuat sekali karena pukulan-pukulan yang demikian dahsyatnya hanya membuat ia terlempar, tidak sampai mengakibatkan luka di dalam tubuh. Namun, keadaannya sekarang berbahaya sekali. Sebelum ia dapat melompat bangun, Giok Seng Cu sudah berada di dekatnya dan kini kakek ini mengangkat tangan untuk mengirim pukulan maut terakhir.
Pada saat itu, berkelebat bayangan yang cepat laksana burung, disusul bentakan halus dan nyaring. "Kakek siluman jangan berbuat kejam!"
Giok Seng Cu melihat sinar yang menyilaukan matanya, menyambar cepat di depan mukanya. Terpaksa ia mengurungkan niatnya memukul Ah Kai karena kalau ia teruskan pukulan itu, tentu tangannya akan bertemu dengan pedang yang luar biasa cepat gerakannya. melompat mundur dan memandang. Bukan main herannya ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah seorang gadis yang cantik jelita dan berwajah gagah dan berpengaruh.
Ah Kai melihat kesempatan baik ini, ia melompat berdiri dan memandang kepada gadis itu dengan mata penuh pernyataan terima kasih. Kemudian ia menoleh kepada Giok Seng Cu, tertawa mengejek dan melompat jauh melarikan diri lagi.
"Jembel busuk hendak lari ke mana?” Giok Seng Cu membentak marah dan tubuhnya sudah bergerak hendak mengejar. Akan tetapi sekali berkelebat, gadis itu telah menghadang di tengah jalan.
"Tidak boleh mendesak orang yang sudah lari!" kata gadis itu.
Giok Seng Cu marah sekali. "Jangan mencampuri urusanku!" bentaknya dan tangan kirinya bergerak, ujung lengan bajunya dikibaskan ke arah gadis itu dengan maksud mendorong gadis ini ke pinggir.
Akan tetapi, gadis itu tidak menangkis, bahkan mempergunakan jari tangan kirinya yang dikepretkan ke arah ujung baju sehingga ujung kain yang amat kuat karena digerakkan dengan tenaga Tin-sin-kang itu terpukul kembali.
Kejadian ini membuat Giok Seng Cu membatalkan kehendaknya mengejar Ah Kai. Ia terlampau kagum dan heran sehingga tidak memperdulikan lagi kepada Ah Kai yang membawa lari tongkat pusaka Hek-kin-kaipang. Bagaimana dengan jari-jari tangan yang kecil runcing itu seorang gadis semuda ini dapat menangkis pukulannya?
"Bocah, kau memiliki kepandaian juga. Akan tetapi jangan dikira dengan sedikit kebisaanmu ini kau akan dapat menjual lagak di depan Giok Seng Cu! Siapa kau?"
Akan tetapi, sebaliknya dari gentar mendengar nama besar Giok Seng Cu ini, gadis ini bahkan nampak marah sekali dan pedang yang tadinya telah disimpan, dicabutnya kembali. Sikapnya bermusuh dan menantang, kemudian bibir yang manis tapi nampak membayangkan kekerasan hati bergerak.
"Kau Giok Seng Cu? Pantas! Sudah kuduga bahwa kau tentu bukan seorang baik-baik. Di dunia kang-ouw kau boleh menjadi raja iblis, akan tetapi bertemu dengan Gak Soan Li, berarti akan tamat riwayatmu!"
Setelah berkata demikian gadis ini menggerakkan pedangnya melakukan serangan yang datangnya cepat sekali dan melihat ujung pedangnya tergetar, membuktikan bahwa penyaluran tenaga lweekangnya sudah sampai ujung senjata, tanda dari keahlian yang tinggi.
Akan tetapi Giok Seng Cu adalah seorang kakek yang kepandaiannya amat tinggi. Juga pengalamannya sudah luas sekali, mana ia mau memandang sebelah mata kepada seorang gadis semuda itu? Ia tersenyum mengejek dan sambil mengelak dan menyampok ujung pedang dengan ujung Iengan baju, ia mengejek.
"Gak Soan Li, kau seperti anak kambing menantang harimau. Sayang kalau nyawamu terbang meninggalkan tubuhmu yang cantik. Lebih baik kau ikut aku nenjadi muridku, baru kau akan mendapatkan ilmu yang hebat."
Mendadak Giok Seng Cu menghentikan kata-katanya karena matanya menjadi silau melihat bergeraknya pedang di tangan gadis itu yang kini merupakan gulungan sinar pedang yang amat luar biasa gerakannya. Serangan pedang datang bertubi-tubi, setiap langkah atau jurus berisi empat sampai lima tikaman dan sabetan semuanya mengarah bagian berbahaya dan cepatnya, mengimbangi sambaran kilat!
Karena tadi memandang rendah, Giok Seng Cu kurang cepat bergerak dan dalam kesibukannya mengelak dan menangkis, sehelai kain dan ujung lengan bajunya terbabat putus oleh pedang yang tajam. Giok Seng Cu merasa kecele dan ia terkejut sekali, juga terheran-heran. Ia tidak saja terkejut melihat kelihatan gadis muda ini terutama sekali karena ia mengenaI ilmu pedang itu yang dasarnya sama dengan ilmu silat yang ia pelajari dari mendiang suhunva, Pak Hong Siansu! Tak bisa salah lagi ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis ini tentulah berasal dari orang yang paling ditakutinya sesudah See-thian Tok-ong yaitu Hwa I Enghiong Go Ciang Le, murid dari supeknya, Pak Kek Siansu.
"Eh, kau ada hubungan apa dengan Go Ciang Le," tanya Giok Seng Cu sambil mengelak dari sebuah tusukan.
"Dia Suhuku, kau mau apa?" jawab Soan Li yang menyerang terus dengan gemas karena ia merasa penasaran betapa semua jurus-jurus terlihai dari ilmu pedangnya hanya berhasil menyerempet dan membabat putus sedikit kain saja.
"He, kau kurang ajar sekali! Aku adalah suheng dari Gurumu, bagaimana kau berani melawan Supekmu sendiri?"
Gak Soan Li menahan pedangnya dan berdiri memandang dengan mata penuh kebencian. "Siapa sudi mempunyai Supek seperti engkau yang jahat ini? Suhu sudah banyaak menderita karena kejahatanmu, apakah kau masih hendak menipuku? Kata Suhu kejahatanmu sudah bertumpuk-tumpuk dan tadi kau mendesak seorang pengemis merupakan kejahatanmu yang terakhir karenanya kau harus menebus dosa di depan Giam kun (Malaikat Maut)!" Kembali Soan Li menyerang dengan pedangnya secara hebat.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Gak Soan Li adalah murid Go Ciang Le yang sudah mempelajari 1mu silat tinggi bahkan ia sudah pula menerima pelajaran silat warisan, yakni Pak-kek Kiam-hoat ciptaan mendiang Pak Kek Siansu. Memang gurunya sendiri hanya mewarisi paling banyak enam bagian dari ilmu silat ini dan dia sendiri paling banyak hanya empat bagian, akan tetapi bagian ini sudah cukup untuk ia pergunakan menghadapi lawan yang tangguh.
Seperti kita sudah maklum, Soan Li diam-diam melarikan diri dari tempat tinggal suhunya di Pulau Kim-bun-to dan pergi mengembara untuk menyusul atau mencari sumoinya, Go Hui Lian yang lari bersama Liok Kong Ji. Di dalam perjalanan, tidak lupa dara perkasa ini melakukan semua pesan dan cita-cita suhunya, yakni menolong orang-orang yang menderita kesengsaraan terutama sekali membela mereka dari para penjahat. Soan Li berwatak keras, tenang dan pendiam maka kalau bertemu dengan orang jahat, ia bersikap keras dan ganas sekali tak pernah memberi ampun. Oleh karena kekerasan hatinya ini dalam berapa bulan di perantauan ia telah banyak membasmi orang-orang jahat sehingga di kalangan hek-to (dunia penjahat) namanya terkenal sekali dan ia mendapat nama poyokan Kang-sim-li (Dara Berhati Baja).
Kini dalam perjalanannya, kebetulan sekali ia bertemu dengan Giok Seng Cu yang hendak membunuh Ah Kai. Wataknya yang suka menolong orang lemah, membuat ia turun tangan menolong Ah-Kai dan setelah mendengar bahwa kakek rambut panjang itu adalah Giok Seng Cu tentu saja Soan Li menjadi marah dan ingin menewaskan kakek yang kejahatana telah banyak didengarnya dari penuturan Go Ciang Le dan Liang Bi Lan, subonya.
Akan tetapi, kalau selama perantauannya Soan Li tidak pernah menemui tandingan berat adalah sekarang ia bertemu dengan batunya. Giok Seng Cu merupakan lawan yang amat tangguh. Hal ini baru diketahui setelah Giok Seng Cu timbul marahnya dan kakek ini mulai mengeluarkan kesaktiannya yang amat diandalkan, yakni pukulan-pukulan Tin-san-kang! Pukulan-pukulan pertama membuat Soan Li terkejut sekali karena hampir saja pedangnya terlepas ketika lengan kanannya terkena sambaran angin pukulan itu. Ia terkejut dan juga heran karena dalam pukulan ini, ia mengenal ilmu pukulan aneh yang pernah ia lihat dimainkan oleh Hui Lian dan yang menurut pengakuan sumoinya itu mendapat pelajaran dari Liok Kong Ji!
"Jadi kaukah guru keparat dan jahanam Kong Ji?" bentaknya sambil mempercepat permainan pedangnya.
Giok Seng Cu tertegun dan untuk sementara ia mengendurkan serangan dan hanya mengelak saja dari sambaran pedang yang membuatnya kewalahan. "Di mana adanya Kong Ji?" tanyanya.
"Di neraka dan kau sebentar lagi akan menyusulnya!" bentak Soan Li dengan ketus dan memperhebat serangannya.
Giok Seng Cu salah duga. Dikiranya Kong Ji sudah tewas oleh gadis ini, maka sambil berseru keras ia membalas serangan Soan Li dengan ilmu silat Tin- san-kang. Pertandingan hebat dan mati-matian terjadi dengan serunya. Soan Li gesit dan cekatan seperti seekor rajawali, pedangnya menyambar-nyambar dengan aneh dan indah, setiap saat mengintai nyawa lawan.
Sebaliknya, Giok Seng Cu teguh kuda- kudanya, tubuhnya direndahkan dan kedua kaki hanya digeser maju tanpa diangkat kadang-kadang tubuhnya seperti berjongkok dan dari kedua lengannya menyambar hawa pukulan yang seperti gelombang dahsyat. Betapapun gesit dan cepatnya Soan Li bergerak namun ia tidak berdaya menghadapi gelombang pukulan itu. Baru angin pukulannya saja sudah -membuat pedangnya beberapa kali terpental dan kalau menyerang dan menyambar tubuhnya membuat napasnya menjadi sesak.
Biarpun kepandaian lawannya hebat sekali, Soan Li takkan patut mengaku diri murid Go Ciang Le kalau ia menjadi jerih. Seperti juga Hui Lian, gadis ini tidak pernah mengenaI artinya takut hanya bedanya dengan sumoinya itu, kalau Hui Lian berwatak gembira, jenaka dan ramantis adalah watak Soan Li pendiam, tenang, dan bersungguh-sungguh.
Kini menghadapi desakan Giok Seng Cu, Soan Li tidak menjadi takut, bahkan ia penasaran dan marah. Pedangnya dtgerakkan cepat, tiba-tiba ia berseru keras dan tubuhnya seperti seekor walet terbang melambung ke udara dan dari atas, pedangnya diputar cepat menyerang Giok Seng Cu dengan tusukan maut.
"Ayaaa...!" Giok Seng Cu berteriak kaget sekali. Sekarang ini datangnya tidak tersangka-sangka dan amat hebatnya sukar untuk dielakkan lagi. Namun kakek ini yang sudah memiliki pengalaman luas dalam ratusan pertandingan, dapat mencari siasat bagaimana harus menghadapi bahaya ini dengan pihak sendiri mendapat keuntungan. Ia merendahk tubuh, miringkan pundak dan kepala hingga pedang yang menusuk leher hanya mengenai pundaknya, mengerahkan lweekang untuk menahan tusukan berbareng kedua tangannya bekerja, memukul dengan tenaga Tin-san-kang sepenuhnya ke arah dua kaki Soan Li yang tidak terlindung.
Terdengar suara tulang patah, tubuh Soan Li terlempar jauh dan gadis ini jatuh dalam keadaan duduk, kedua kakinya tak dapat digerakkan lagi karena tulang kedua pahanya telah remuk! Sebaliknya, pedang gadis itu telah dapat menembus pertahanan tenaga Iweekang dari Giok Seng Cu dan melukai pundak kakek itu agak dalam juga.
Giok Seng Cu terhuyung mundur, kemudian ia tertawa bergelak ketika dengan tindakan kaki perlahan dan muka menyeringai seperti iblis menghampiri gadis yang sudah tak berdaya lagi. Akan tetapi, biarpun kedua kakinya sudah lumpuh dan ia tidak dapat lari, Soan Li dengan mukanya pucat itu masih bersiap dengan pedang di tangan, matanya memandang kepada lawannya bagaikan seekor harimau marah.
"Ha-ha-ha! Nona manis, kau hendak berdaya apa lagi? Ha, ha, bersiaplah untuk menemui setan-setan di neraka agar kau dapat memilih seorang di antara mereka menjadi kekasihmu. Ha, ha, ha!" Giok Seng Cu tertawa bergelak sambil mengangkat muka ke atas, gemas sekali menderita luka, maka ia merasa amat puas akan dapat membunuh gadis yang telah melukainya. Dengan kedua tangan bertolak pinggang dan air muka seperti iblis ditambah dengan suara ketawa yang mengerikan, keadaannya benar-benar menyeramkan.
Setelah merasa puas mentertawakan Soan Li, kakek ini lalu menghentikan suara ketawanya dan bersiap hendak melakukan pukulan maut. Akan tetapi ketika ia menundukkan kepala lagi dan memandang ke depan, matanya dibuka lebar-lebar dan ia hampir tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Apakah yang dilihatnya?
Di hadapannya, membelakangi gadis yang masih bersimpuh dengan kedua kaki lumpuh itu, berdiri seorang muda berusia sembilan belas tahun. Pemuda ini wajahnya sederhana saja seperti juga pakaiannya yang terbuat dari kain kasar. Akan tetapi kesederhanaan wajah dan pakaiannya tidak menyembunyikan ketampanannya dan sepasang matanya seperti sepasang bintang yang menyinarkan pandangan tajam menembus jantung. Pemuda ini berdiri sambil memandangnya dengan bibir tersenyum.
Adapun Soan Li setelah mengerahkan tenaga dalam untuk mengusir rasa sakit pada kedua pahanya, kini duduk tak bergerak dengan mata dipejamkan tanda bahwa gadis ini dalam keadaan samadh atau setengah pingsan. Hanya orang yang sudah matang latihan samadhi dan pengaturan napas saja yang dapat duduk dan tidak roboh biarpun berada dalam keadaan setengah pingsan.
"Setan cilik, siapa kau?"
Pemuda Itu menjawab dengan suara yang halus dan tenang. "Sudah tahu aku setan cilik mengapa kau bertanya lagi? Aku setan cilik yang datang mencegah iblis gede yang hendak membunuh seorang gadis tak berdaya."
Dapat dibayangkan betapa marahnya Giok Seng Cu. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw tidak ada yang berani main-main dengannya, akan tetapi pemuda yang datangnya amat mengherankan itu seperti setan yang datang tanpa menimbulkan suara sehingga telinga Giok Seng Cu yang amat terlatih sekalipun tidak dapat menangkap sesuatu suara kini berani bicara main-main dengannya seperti seorang anak nakal kepada temannya.
"Kau sudah bosan hidup!" bentaknya marah dan biarpun pundaknya sudah terluka oleh tusukan pedang, Giok Seng Cu memaksa diri mendorong pemuda ini dengan Ilmu Pukulan Tin-san-kang! Dalam marahnya, ia hendak bikin mampus pemuda itu dengan sekali pukul. Giok Seng Cu terkejut sendiri melihat pemuda itu sama sekali tidak bergerak untuk menangkis atau mengelak. Pukulannya yang dahsyat itu diterima begitu saja dengan dada terbuka! Akan tetapi, watak yang kejam dari Giok Seng Cu tidak membuat ia merasa menyesal atau mengurangi daya pukulannya. Ia hanya merasa geli akan ketololan pemuda itu.
"Bukkk" dada itu kena pukul dan tubuh pemuda itu bagaikan sebuah bola karet terlempar jauh, bahkan terlemparnya agak ke atas seperti bola ditendang. Giok Seng Cu merasa betapa kepalan tangannya mengenai dada yang empuk seakan-akan dada pemuda itu tidak bertulang. Akan tetapi ia tidak peduli karena sudah merasa pasti bahwa dada itu tentu remuk sebelah dalamnya, maka tanpa menengok lagi bagaimana keadaan pemuda yang telah dipukulnya itu, ia melangkah maju hendak turun tangan terhadap Soan Li.
Akan tetapi, ia kembali menahan langkahnya dan hampir saja ia mengelukan seruan kaget dan herannya. Entah kapan karena ia tidak melihat gerakanya, tahu-tahu pemuda aneh yang dipukulnya tadi telah berdiri di hadapannya lagi sambil tersenyum-senyum!
"Setan gede, masih ada lagikah pukulan tahumu? Enak sekali rasanya, pingangku yang tadinya pegal-pegal menjadi sembuh seketika. Terima kasih," kata pemuda itu.
Giok Seng Cu memandang dengan mata terbelalak. Kalau tidak mengalaminya sendiri, pasti ia takkan dapat percaya. Ia biasanya membanggakan Tin-san-kang karena merasa yakin akan keampuhan ilmu pukulan itu. Bahkan See-thian Tok-ong sendiri takkan mampu menerima pukulannya tadi tanpa menderita luka. Akan tetapi pemuda ini secara gaib telah datang lagi dan minta tambahan! Bahkan mendiang suhunya sendiri, Pak Hong Siansu, takkan mungkin sanggup menerima Tin-san-kang tanpa terluka. Entah kalau Pak Kek Siansu supeknya, karena ia tahu bahwa supeknya itu memiliki sinkang yang hebat dan kesaktian seperti seorang dewa. Akan tetapi, mungkinkah pemuda yang belum dua puluh tahun usianya ini dapat memiliki kepandaian seperti Pak Kek Siansu? Tidak mungkin! Barangkali ini hanya kebetulan saja dan mungkin tadi ia kurang tepat mengerahkan tenaganya. Ataukah tenaga Tin san-kang-nya tiba-tiba bocor dan tidak ampuh lagi?
Giok Seng Cu menggerak-gerakkan kedua lengannya. Terdengar suara berkerotokan dari tulang-tulangnya dan ia masih merasa hawa panas mengalir di kedua lengannya, tanda bahwa hawa Tin-san kang dalam tubuhnya masih belum lenyap. Ia masih penasaran. Dengan sembarangan kedua tangannya digerak-gerakkan ke kanan kiri dan batu-batu yang berada di atas tanah menjadi pecah!
"Eh, setan gede. Apakah kau sedang menjual obat dan memamerkan ilmu sulap?" pemuda itu mengejek lagi.
Giok Seng Cu menjadi mata gelap saking marahnya. ia mengeluarkan bentakan keras dan kedua tangannya yang dikepal kini sekaligus menghantam dada pemuda itu. Seperti tadi, pemuda itu tidak mengelak sama sekali. hanya kedua kakinya tiba-tiba menegang dan ia memasang bhesi (kuda-kuda) yang kokoh kuat.
"Bukk!!" Suara bertemunya kedua kepalan tangan dan dada kini jauh lebih nyaring dari pada tadi dan akibatnya sungguh ajaib. Bukan pemuda itu yang dadanya hancur atau tubuhnya mencelat, sebaliknya cubuh Giok Seng Cu yang kini terpental seakan-akan sehelai daun kering tertiup angin. Kemudian tubuhnya jatuh berdebuk ke atas tanah, debu mengepul dan Giok Seng Cu duduk dengan mata terbelalak memandang kepada pemuda itu. Kepalanya bergoyang-goyang karena ia merasa pening sekali, telinganya mendengar suara mengiang. Ia tahu bahwa ia telah terluka oleh hawa pukulan Tin-san-kang.
Ketika kedua tangannya bertemu dengan pemuda itu, hawa pukulannya telah bertemu dengan tenaga yang luar biasa sehingga hawa pukulannya Tin-san-kang membalik lalu menyerang tubuhnya sendiri, senjata makan tuan! Giok Seng Cu cepat memejamkan mata dan mengatur pernapasan dan tidak lama kemudian ia dapat mengatasi dirinya. Kalau ia terlambat melakukan usaha ini, pasti isi perutnya akan luka-luka dirusak akibat membaliknya Tin-san-kang tadi.
Setelah dirinya terbebas dari ancaman maut, Giok Seng Cu membuka mata dan menengok. ia melihat pemuda itu telah berlutut di dekat tubuh Soan Li yang kini telah berbaring telentang. Pemuda itu demikian sibuk menolong Soal Li sehingga sama sekali tidak mempedulikan lagi, seakan-akan sudah lupa kepadanya. Giok Seng Cu berbangkit perlahan berdiri dan memandang ke arah pemuda itu dengan muka menyatakan kengerian hatinya seperti seekor tikus melihat kucing. Kemudian ia melompat dan lari tunggang langgang dari tempat itu.
"Siapa dia...?" pertanyaan ini berulang kali mengiang di telinga hati Giok Seng Cu. Baru kali ini selama hidupnya melarikan diri ketakutan melihat seorang pemuda yang tidak terkenal sama sekali. Padahal pemuda itu sama sekali belum pernah menggerakkan jari tangannya untuk menyerangnya.
"Sungguh memalukan" Giok Seng Cu mengeluh kalau teringat akan keadaannya yang memalukan, "Siapa dia begitu lihai?"
Mengingat kembali akan wajah pemuda itu, senyumnya, matanya, ia merasa pernah bertemu dengan pemuda itu, entah di mana ia lupa lagi. Di dalam dunia ini sudah banyak sekali. ia bertemu orang, maka tidak ingat lagi di mana ia pernah bertemu dengan muka itu, dengan senyum yang mengejek dan membayangkan ketabahan hati, dengan sinar mata yang demikian tajam menusuk kalbu. Siapa dia...? Ya, siapa dia? Siapa pemuda yang sederhana dan sakti ini?
Pembaca tentu dapat mengenalnya. Benar, dia bukan lain adalah Wan Sin Hong, pemuda yang semenjak kecilnya menderita hebat tiada hentinya. Banyak kaum arif bijaksana berkata bahwa penderitaan pahit getir yang dialami di waktu kecil, akan mendatangkan kebahagiaan di waktu tua. Bagi Wan Sin Hong yang di waktu masih kecil menderita banyak kesengsaraan hidup, siksaan lahir batin dan beberapa kali nyawanya tergantung di sehelai rambut, memang pada masa ini tak dapat dikatakan telah menemui bahagia.
Akan tetapi tidak dapat disangkal pula bahwa ia telah mendapatkan keberuntungan yang luar biasa besarnya. Tidak saja ia telah mewarisi isi kitab Pak Kek Siansu dan telah mempelajari sampai sempurna betul isi kitab itu, yakni Ilmu Silat Pak kek Sin-ciang dan ilmu-ilmu lweekang sehingga di dalam tubuhnya telah mengalir sinkang (hawa sakti) yang dahsyat tenaganya, akan tetapi juga ia telah matang dalam ilmu pengobatan setelah ia menjadi murid dan ahli waris dari mendiang Kwa Siucai, raja pengobatan nomor satu di dunia pada waktu itu.
Di samping itu semua, sebagaimana telah dituturkan bagian depan dari cerita ini, Sin Hong keluar dari tempat pertapaan dan berhasil bertemu dengan Lie Bu Tek ayah angkatnya. Kemudian Lie Bu Tek yang sudah buntung lengannya itu ikut dengan Sin Hong menuju ke puncak Luliang-san dan ikut pula memasuki gua rahasia sehingga kedua orang ini berlatih dan bertapa di dalam tempat rahasia itu sampai bertahun-tahun, tanpa diketahui oleh orang lain.
Kurang lebih lima tahun Sin Hong dan Lie Bu Tek bersembunyi di tempat itu, yakni di dalam jurang tak berdasar yang berada di puncak Luliang-san, yang sebetulnya merupakan lereng tersembunyi dari bukit itu. Kalau Sin Hong memperdalam latihan ilmu silat berdasarkan Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang sehingga ia dapat memperoleh kesempurnaan dalam ilmu silat itu, adalah Lie Bu Tek juga tidak tinggal diam. Di bawah petunjuk anak angkatnya yang kini memiliki kesaktian tinggi itu, Lie Bu Tek telah dapat merangkai Ilmu pedang baru yang tentu saja berdasarkan ilmu pedang Hoa-san-pai, akan tetapi ilmu pedang ini sekarang jauh lebih kuat dan cepat, dan ilmu pedang ini adalah ilmu pedang yang khusus dimainkan oleh seorang yang buntung sebelah tangannya. Setelah lima tahun lewat, kini Lie Bu Tek sekarang bukan Lie Tek dahulu lagi.
Biarpun kini ia hanya mainkan pedang dengan tangan kiri dan tangan kanannya yang buntung tidak dapat melakukan gerakan sebagai imbangan, namun kalau dibandingkan dengan keadaannya dahulu sebelum lengannya buntung, kiranya lima orang Lie Bu Tek dahulu dengan 1ima pasang lengan belum tentu akan dapat menangkan seorang Lie Bu Tek sekarang dengan sebuah lengan kiri saja! Hal ini bukan karena ilmu pedangnya memang menjadi jauh lebih kuat, akan tetapi juga sebagian besar karena tenaga lwee-kangnya sudah jauh lebih tinggi daripada dahulu.
Adapun kebaikan yang didapatkan oleh Sin Hong setelah ia berkumpul kembali dengan gihunya, adalah pelajaran ilmu bathin dan nasihat-nasihat berharga yang ia terima dari ayah angkatnya, yang membuat jiwanya lebih masak lagi dan pandangannya lebih jauh. Apalagi karena sekarang Lie Bu Tek menjalani hidup suci seperti seorang pertapa, maka tentu saja ia mengajar anak angkatnya tentang filsafat-filasafat hidup yang dalam dan amat penting bagi bekal hidup seorang muda.
"Sin Hong, pengaruh yang amat berbahaya dan yang perlu kita kekang dan kalahkan adalah pengaruh yang timbul dari dalam diri sendiri. Pengaruh perasaan dan nafsu amat jahatnya sehingga orang-orang cerdik pandai jaman dahulu selalu menyatakan bahwa mengalahkan musuh tangguh bukanlah hal yang terlalu luar biasa, akan tetapi mengalahkan diri sendiri adalah hal yang patut dikagumi karena ini menandakan sifat seorang kuncu (budiman)."
"Apakah yang Gihu maksudkan dengan mengalahkan diri sendiri itu" tanya Sin Hong yang ingin tahu lebih jelas tentang filsafat.
"Mengalahkan diri sendiri berarti mengalahkan segala rasa dan pikiran yang ditunggangi oleh nafsu buruk. Rasa yang bersih adalah rasa perikemanusiaan yang tidak dipengaruhi oleh nafsu, dan bertindak menurutkan rasa yang bersih itu adalah tugas seorang manusia karena rasa ini datangnya dari Thian Yang Maha Kuasa dan sifatnya suci. Rasa yang bersih ini sudah disaring oleh kesadaran sudah ditimbang oleh pertimbangan akal budi, sesuai dengan suara dan kehendak Thian yang selalu berkembang di dalam batin seorang kuncu (budiman).
Sebaliknya, kalau kita tidak dapat mengekang dan mengendalikan nafsu sehingga rasa ditunggangi oleh nafsu, tindakan kita akan menyeleweng. Nafsu membutakan kesadaran melemahkan pertimbangan dan menutupi telinga batin sehingga tidak mendengar kumandang suara Thian. Nah, karena itu ingatlah selalu, Sin Hong, bahwa musuh yang paling lihai di dunia adalah diri kita sendiri. Maka berhati-hatilah, karena musuh ini bekerja dengan halus, tidak peduli kau berada di mana, tiba-tiba saja ia akan menyerang tanpa dapat kau lihat atau dengar lebih dulu."
Sampai lama Sin Hong termenung untuk menangkap sari pelajaran dari ayah angkatnya ini. "Gihu, bagaimanakah kalau nafsu amarah timbul apabila kita melihat musuh besar kita? Bagaimana harus anak lakukan kalau ada orang telah menyakitkan hati kita?"
Lie Bu Tek diam-diam maklum ke mana maksud tujuan pertanyaan ini. Bocah ini memang mendendam sakit hati yang amat besarnya. Ayah bundanya dibunuh orang, kemudian semenjak kecilnya telah mengalami berbagai hal yang menimbulkan sakit hati. Peristiwa di Hoa-san-pai, terbunuhnya Liang Gi Tojin, terbuntungnya lengan tangan Lie Bu Tek sendiri, lalu perbuatan Liok Kong Ji sebagai siksaan yang diderita dan percobaan pembunuhan oleh orang-orang Im-yang-bu-pai, kemudian usaha pembunuhan yang dilakukan oleh Giok Seng Cu kepadanya, semua itu merupakan pengalaman pahit getir yang tentu telah melukai hati anak ini, yang dapat menimbulkan dendam dan sakit hati yang amat mendalam.
"Sin Hong, dendam dan sakit hati juga timbul dari nafsu, atau lebih tepatnya itu adalah nafsu yang berganti rupa. Oleh karena itu, kita jangan terseret olehnya dan kita harus lebih mendengarkan suara batin yang disaring oleh kesadaran dan pertimbangan. Menurutkan suara dendam dan sakit hati secara buta, sama halnya dengan menutup mata dan membiarkan kita terseret oleh seekor kuda liar. Bagiku, kalau ada balas membalas yang harus dilakukan, maka hanya budi kebaikan saja yang kita harus balas. Budi kebaikan yang sudah dilepas orang kepada kita, harus kita ingat selalu dan kita balas sedapat mungkin. Ada pun tentang sakit hati, kalau sekiranya kita yang disakiti orang dan hal itu sudah lampau, tiada gunanya kita balas dengan kejahatan pula."
Sin Hong nampak tidak puas. "Akan tetapi Gihu, apakah perbuatan manusia manusia jahat yang dilakukan kepada kita itu tidak harus kita balas? Apakah kejahatan mereka itu harus didiamkan saja? Kalau begitu akan tidak ada guna kita belajar ilmu kepandaian, Gihu."
Lie Bu Tek tersenyum, senyum ramah yang sekaligus mendinginkan otak Sin Hong yang panas. "Sin Hong. Nabi pernah berkata bahwa kebaikan harus kita balas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus ditindas dengan keadilan! Untuk menanggulangi kejahatan, tidak baik dipakai istilah membalas atau balas dendam. Kalau orang berbuat jahat kepada kita lalu kita balas, bukankah itu berarti bahwa kita pun ketularan dan menjadi jahat? Tidak, Sin Hong. Kita harus sadar dan kita harus mempergunakan keadilan. Sudah tentu kewajiban orang gagah adalah membasmi kejahatan, akan tetapi ingat perbuatan ini sama sekali lain artinya dengan pembalasan. Kalau kita membasmi seorang penjahat tak baik kalau kita lakukan dengan dasar bahwa orang itu merugikan atau menjahati kita akan tetapi kita lakukan dengan dasar bahwa orang itu berbahaya untuk umum dan bahwa membasmi orang itu akan berarti keamanan bagi umum. Sebaliknya kalau orang yang tadinya kita anggap jahat kemudian ternyata bahwa ia telah berubah baik dan telah sadar akan kesesatannya, kita tidak berhak membunuhnya."
Sin Hong mengerti akan isi dari pada pelajaran ini, namun ia masih bingung karena dalam mengajukan pertanyaan tadi, ia teringat akan musuh-musuhnya yang demikian banyaknya. "Gihu bagaimana pandangan Gihu tentang musuh?"
"Sin Hong yang punya musuh hanyalah negara. Bagi kita, tidak ada gunanya sama sekali. Thian melahirkan manusia- manusia untuk saling bekerja sama dan bersatu. Oleh karena itu, bagiku, seribu orang sahabat baik masih terlampau sedikit, sebaliknya, seorang musuh sudah terlampau banyak. Kalau kita berjuang membela negara kita memang sudah seharusnya membasmi musuh negara, bukan berdasarkan kebencian kita terhadap mereka sebagai manusia terhadap manusia, melainkan berdasarkan tugas suci kita sebagai pembela negara (patriot) terhadap musuh negara. Dengan selalu mengekang nafsu, segala perbuatan kita tidak ditunggangi oleh nafsu, melainkan perbuatan yang dilakukan penuh kesadaran dan perhitungan."
"Anak mulai mengerti dan terbuka mata anak oleh uraian Gihu. Akan tetapi, bagaimana aku harus bersikap terhadap seorang seperti Ba Mau Hoatsu yang telah membunuh Ayah Bundaku?"
"Ba Mau Hoatsu semenjak dahulu memang jahat. Entah berapa banyak manusia tidak berdosa yang menjadi korban kejahatannya. Kalau sampai sekarang dia tidak berubah dan masih jahat, jangankan dia membunuh Ayah Bundamu, biarpun tidak demikian, sudah menjadi kewajibanmu untuk membasmi dia demi menolong orang-orang lemah yang selalu menjadi korban."
"Bagaimana dengan Kong Ji manusia hianat itu, Gihu?"
Lie Bu Tek menarik napas panjang. "Anak itu di waktu kecilnya memang telah memperlihatkan watak yang luar biasa kejamnya. akan tetapi kita harus menaruh hati kasihan kepadanya. Kasihan bahwa sekecil itu ia telah tersesat. Memang kalau menurutkan nafsu hati, aku dan kau yang sudah menjadi korban kekejiannya di waktu kecil, sudah sepatutnya kalau kau membalasnya. Akan tetapi ini tidak tepat, berlawanan dengan kebajikan. Kalau kelak kau bertemu dengannya dan ia sudah menjadi pemuda dewasa yang baik dan berwatak gagah sudah dapat merubah wataknya yang buruk, tidak benarlah kalau kau masih menaruh dendam kepadanya. Kita harus menyediakan banyak maaf kepada mereka yang memang patut dimaafkan, dan boleh turun tangan kepada si jahat bukan untuk kepentingan diri pribadi atau menurutkan nafsu hati sendiri, melainkan untuk kepentingan umum."
Demikianlah, seringkali Sin Ho mendapat nasihat-nasihat dari Lie Bu Tek yang sudah banyak mengalami pahit-getir hidup. Sin Hong tahu akan kematangan pengalaman ayah angkatnya, karenanya ia selalu mencatat semua pesan gihunya ini di dalam hati. Tentu saja sebagai seorang pemuda yang memiliki kecerdikan dan pandangan luas, ia tidak menelan mentah-mentah semua nasihat ini, melainkan ia olah di dalam kepala dan ia pertimbangkan untuk diambil mana yang dirasa tepat dan dipertimbangkan kembali mana yang dirasa kurang cocok. Sesuai pula dengan pendapat Lie Bu Tek di antara semua tugas dan keharusan, ia merasa berhutang budi kepada Kiang Cun Eng ketua Hek-kin-kaipang.
"Budi kebaikan Kiang-pangcu terhatapmu itu harus selalu kau ingat di dalam hatimu, Sin Hong. Kewajibanmulah untuk mencari dia dan untuk membelanya seperti kau membela orang tuamu sendiri," demikian Lie Bu Tek sering kali berkata.
Setelah lima tahun bersembunyi di tempat itu dan Sin Hong merasa bahwa pelajarannya sudah tamat, anak dan ayah angkat ini lalu keluar dari tempat tersembunyi itu dan turun gunung. Tugas pertama yang mereka lakukan adalah mencari keterangan tentang Hek-kin-kaipang dan mencari tahu di mana tinggalnya Kiang Cun Eng. Amat mudah mencari Hek-kin-kaipang oleh karena kumpulan ini mempunyai anak buah banyak tempat. Dan Lie Bu Tek sudah terkenal baik oleh para pengemis Hek kin-kaipang, maka ketika ia berjumpa dengan mereka diberi tahu bahwa tak lama lagi akan diadakan pemilihan ketua baru. Karena Bi-nam-bun masih amat jauh, kedua orang ini cepat-cepat melakukan perjalanan ke tempat itu agar jangan sampai terlambat menyaksikan pemilihan ketua baru.
Akan tetapi, betapapun pandai mereka mempergunakan ilmu berlari cepat karena jarak antara Luliang-san dan Bi nam-bun masih dua ribu li lebih, mereka terlambat juga. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, mereka datang pada saat Giok Seng Cu mengejar-ngejar Gak Soan Li. Setelah dekat dengan Bi-nam-bun dan mendapat kenyataan bahwa mereka datang tepat pada hari diadakannya pemilihan ketua Hek-kin-kaipang, Sin Hong menjadi tidak sabar. Atas perkenan Lie Bu Tek, ia lalu mengerahkan kepandalanya dan sebentar saja ia telah meningalkan Lie Bu Tek sampai jauh.
Memang, dibandingkan dengan dulu, Lie Bu Tek sudah mendapat kemajuan luar biasa. Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan Wan Sin Hong, dalam segala bidang ilmu silat masih kalah jauh sekali. Tubuh Wan Sin Hong berkelebat cepat dan sebentar saja Lie Bu Tek sudah tak melihat bayangannya lagi. Pendekar yang buntung lengannya ini menarik napas panjang dan bibirnya bergerak-gerak mendoa.
"Sin Hong telah memiliki kepandaian yang luar biasa. ia telah menjadi seorang sakti, kiranya lebih hebat danipada Ciang Le. Semoga ia tidak akan tersesat dan dapat tetap mengikuti jalan kebenaran,"
Demikianlah mengapa Sin Hong dapat bertemu dengan Giok Seng Cu yang sedang menghajar Soan Li dan dengan kepandaiannya yang istimewa Sin Hong berhasil mengalahkan Giok Seng Cu bahkan membikin kakek itu menjadi jerih dan lari ketakutan! Sin Hong tidak tahu bahwa kakek itu adalah Giok Seng Cu yang dulu melemparnya ke dalam jurang. Ia hanya menduga bahwa kakek itu seorang jahat yang hendak membunuh gadis itu, maka ia turun tangan dan hanya mengusir kakek itu. Ia belum tahu akan duduknya perkara mengapa kakek itu hendak membunuh Soan Li, maka ia tidak berani berlaku lancang membunuh kakek tadi.
Ketika kakek itu pertama kali memukul, ia mengerahkan tenaga dan hawa sinkang tubuhnya membuat dadanya menjadi lunak dan lemas. Tenaga "Im" yang amat kuat telah menghisap pukulan Tin-san-kang sehingga biarpun tenaga pukulan itu membuat tubuhnya terlempar jauh namun ia tidak terluka sedikitpun. Sin Hong juga terkejut sekali menyaksikan tenaga pukulan yang demikian dahsyat dan ganasnya. Ketika tubuhnya terlempar, cepat mempergunakan ginkang, berpoksai (berjungkir balik) di udara dan meluncur cepat kembali menghadapi Giok Seng Cu.
"Kakek ini ganas sekali," pikirnya, “begitu bertemu telah tega memukulku dengan tenaga yang dapat mematikan siapa saja yang terpukul." Oleh karena itu, ketika kakek itu memukul dadanya untuk kedua kalinya, ia sengaja mengerahkan tenaga "Yang" dan hawa sinkangnya yang sudah kuat sekali itu ternyata dengan mudah dapat menahan tenaga Tin-san-kang lawan, bahkan dapat mengembalikan tenaga pukulan itu kepada si pemukul sendiri!
Setelah melihat kakek itu terluka oleh pukulannya sendiri, Sin Hong menengok ke arah Soan Li. Pemuda ini setelah mewarisi kepandaian dari kitab pegobatan dari Kwa Siucai, sekali pandang saja tahulah ia bahwa gadis yang duduk setengah ptngsan itu menderita luka hebat. Cepat ia berlutut dan dengan halus ia menolak tubuh Soan Lt sehingga gadis itu berbaring terlentang. Sin Hong memeriksa urat nadi, tahu bahwa gadis ini mendenta tulang patah di kedua paha.
Cepat ia menotok jalan darah di punggung nona itu untuk mematikan rasa sakit pada kedua paha kemudian dengan mengurut belakang leher, nona itu siuman kembali dari pingsannya dan mengeluarkan suara keluhan. Begitu ia membuka kedua matanya dan melihat seorang pemuda berjongkok di dekatnya, pemuda yang tersenyum dan memiliki mata seperti bintang, dengan gerakan otomatis Soan Li menggerakkan tubuh dan biarpun kedua kakinya sudah Iumpuh akan tetapi kedua tangannya masih dapat melakukan pukulan dahsyat ke arah dada Sin Hong.
Sin Hong cepat berseru, "Eh, jangan pukul, Nona. Aku hanya bermaksud menolong!" Sambil berkata demikian, ia memasang tenaga sinkang ke arah dada.
Kepalan tangan Soan Li yang hampir mengenai dada itu ditahan oleh gadis ini setelah ia mendengar seruan Sin Hong akan tetapi ia hanya dapat mengurangi tenaga saja, sudah tidak keburu menarik pulang tangannya. Kepalan tangannya sudah menyentuh pakaian, akan tetapi tiba-tiba kepalan tangan itu menyeleweng dan tidak mengenai dada orang yang dipukul. Soan Li terheran-heran, akan tetapi ia hanya mengira bahwa tenaganya yang sudah habis setelah menderita luka oleh Giok Seng Cu. ia sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda yang bersahaja dan seperti seorang pemuda dusun itu memiliki kepandaian.
Muka gadis itu menjadi merah sekali. “Maaf, aku sungguh bodoh dan tak kenal budi. Di mana Giok Seng Cu?"
Sin Hong terkejut mendengar nama ini, akan tetapi ia dapat menguasai perasaannya sehingga pada mukanya ia tidak tampak perubahan sesuatu. ia memang tidak menyangka bahwa kakek tadi adalah Giok Seng Cu. "Giok Seng Cu?" tanyanya perlahan.
"Ya, manusia siluman yang tadi hampir membunuhku. Di mana dia?" Sin Hong menengok ke arah kakek tadi melarikan diri. Ia merasa kecewa sekali mengapa tadi ia membiarkan kakek itu lari. Kalau ia tahu bahwa kakek tadi adalah Giok Seng Cu, tentu ia takkan membiarkan musuh besar itu melarikan diri. Ia telah mendapatkan alasan kuat untuk menewaskan Giok Seng Cu, yakni karena kakek itu tadi hendak membunuh gadis ini.
"Kakek yang buruk rupa tadi?" katanya menjawab pertanyaan gadis cantik ini. "Dia telah melarikan diri"
Soan Li memandang dengan heran "Tidak bohongkah kau, sobat?"
"Bohong?' Aku...? Mengapa harus bohong?" Sin Hong memandang dengan sinar mata tajam.
Ditatap sedemikian rupa oleh pemuda yang bermata bintang ini, tiba-tiba Soan Li menundukkan mukanya. Ada sesuatu memancar keluar dari sepasang mata itu yang membuat gadis ini berdebar hatinya. "Maaf, bukan maksudku menghinamu. Akan tetapi orang macam Giok Seng Cu kiranya takkan melarikan diri dengan mudah. Dia amat terlampau lihai untukku. Bagaimana dia bisa melarikan diri? Siapa yang membikin dia lari?"
Sin Hong mengangkat pundak. "Entahlah, mungkin ia takut dan menyesal akan perbuatannya sendiri setelah kau pingsan, Nona, dan ia melarikan diri melihat aku datang. Tentu ia takut kalau-kalau perbuatannya dilihat oleh orang lain." Keterangan yang sederhana ini terdengar lucu oleh Soan Li sehingga ia tersenyum. Sin Hong memandang kagum. Bagaimana dalam keadaan terluka hebat gadis ini masih dapat tersenyum?
"Sobat, kau benar-benar belum tahu apa adanya kakek siluman tadi," kata Soan Li sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Manusia macam dia mana kenal rasa menyesal atas perbuatan sendiri dan kenal takut? Membunuh manusia baginya seperti membunuh semut saja."
"Hebat..." Sin Hong memperlihatkan muka ketakutan.
Soan Li menarik napas panjang. "Kau benar-benar tidak mengenal dunia kang-ouw, sobat. Alangkah bahagianya menjadi seorang seperti engkau. Tak usah mengenal segala orang jahat, tak usah berurusun dengan segala kecurangan dan kekerasan, hidup bertani dan musuhmu hanya sawah ladang dan tanah subur. Kau tentu seorang petani, bukan? Bolehkah aku mengetahui namamu?'
Warna merah menjalar ke pipi Sin Hong. Diam-diam ia menjadi geli, akan tetapi ia tidak ingin memperkenalkan diri, maka ia mengangguk dan menjawab lirih, "Aku seorang bodoh, aku... namaku dipanggil orang Gong Lam (Pemuda Tolol)."
Soan Li mengerutkan alisnya yang berbentuk indah. "Ah, terlalu sekali orang yang menyebutmu demikian. Wajahmu sama sekali tidak kelihatan tolol."
"Memang aku tolol."
"Betul-betulkah kau tidak bisa apa-apa?"
Sin Hong menggeleng kepala dengan diam-diam ia kagum sekali melihat betapa gadis yang sudah patah kedua tulang pahanya ini dengan segala kekerasan hati melupakan rasa sakitnya. ia maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang gadis yang memillki kekuatan batin dan daya tahan yang luar biasa.
"Sayang," kata Soan Li, "kalau begitu kau tentu tidak bisa menolongku. Aku... aku terluka hebat dan tentu akan tewas di tempat ini kalau tidak ada yang menolongku. Sedikitnya kau tentu bisa mencarikan orang lain yang dapat menolong bukan? Misalnya membawaku ke sebuah kota terdekat agar aku dapat berobat."
"Kau kenapakah?"
"Kedua tulang pahaku remuk..." Mau tidak mau biarpun ia sudah mengeraskan hatinya suara Soan Li agak gemetar ketika ia mengucapkan kata-kata ini. Gadis mana yang takkan hancur hatinya mengingat bahwa kedua tulang pahanya telah remuk dan mungkin sekali selama hidupnya ia akan menjadi seorang gadis lumpuh.
"Aku akan mengobatinya, Nona."
Soan Li menggerakkan kepalanya cepat sekali. Ia memandang dengan mata tajam bersinar, menatap muka yang tampan itu sampai lama. Akan tetapi ia melihat muka itu tetap tenang dan sederhana dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa pemuda itu main-main atau berotak miring.
"Gong Lam-ko... kau tidak main-mainkah?"
Sin Hong dalam hatinya tersenyum merasa lucu mendengar panggilan itu. Gadis ini menyebutnya Gong Lam-ko (Kakak Gong Lam), tentu hanya untuk menyatakan hormat sebagaimana layaknya seorang gadis yang tahu adat.
"Siapa berani main-main terhadapmu Nona? Ketahuilah, aku... aku sudah semenjak kecil mempelajari kepandaian menyambung tulang patah. Ini perlu sekali. Banyak kaki kerbau di dusun patah kakinya dan kalau seorang dusun tidak pandai menyambung tulang kerbau yang patah, ia akan menderita rugi besar...
Akan tetapi semua usaha itu sia-sia belaka karena tingkat kepandaian Giok Seng Cu masih lebih tinggi, apalagi dalam ilmu lwekang, kepandaiannya jauh melampaui lawannya. Melihat betapa Yap Kong Ki amat sukar dirobohkan, timbul kemarahan dalam hati Giok Seng Cu, kakek ini mengeluarkan suara keras mulailah ia bersilat dengan gaya merendah. Dia telah mulai mengeluarkan ilmu silatnya yang paling diandalkan yakni Ilmu Pukulan Tin-san-kang.
Yap Kong Ki terkejut sekali. Dari sepasang tangan kakek itu menyerang angin pukulan yang jauh bedanya dengan tadi. Kini setiap kali kakek itu menyerang tidak saja kebutannya terpental ke belakang, bahkan tubuhnya juga sampai terdorong seakan-akan ada gelombang tenaga yang dahsyat mendorongnya dari depan. Setelah Giok Seng Cu mengeluarkan Tin-san-kang mulailah Kong Ki terdesak hebat dan dalam belasan jurus kemudian ia telah terkurung oleh pukulan-pukulan maut dari Tin-san-kang! Ia mulai sibuk ke manapun juga ia melompat untuk mengelak, selalu ada hawa pukulan yang menghadangnya.
Tiba-tiba terdengar seruan dari Ah-Kai yang semenjak tadi menonton pertempuran itu. Si Bisu ini berdiri dengan mata terbelalak saking kagumnya melihat kehebatan Giok Seng Cu. Akan tetapi karena biarpun bisu ia tahu bahwa Kong Ki membela Hek-kin-kaipang, kini melihat majikan Pulau Kim-ke-tho ini terdesak hebat dan berada dalam bahaya, ia lalu melompat maju dan mengirim serangan dengan tongkatnya ke arah pusar dari Giok Seng Cu.
Giok Seng Cu cepat menyampok tongkat itu dengan tangan kirinya, akan tetapi begitu kena disampok, tongkat yang terpental itu segera menyeleweng dan melanjutkan serangannya dengan totokan kilat ke arah ulu hati. Serangan ini masih dilanjutkan secara bertubi-tubi dan gerakannya yang amat aneh membuat Giok Seng Cu mengeluarkan seruan tertahan.
"Ayaa, bukankah ini Cam-kauw-tungwat? Pernah apa kau dengan Camauw Sin-kai?" tanya Giok Seng Cu. Hatinya agak tidak enak karena dahulu ia pernah bertemu dengan Cam-kauw Sinkai dan mengingat akan Pengemis Sakti yang lihai dan tidak boleh dibuat main-main ini, Giok Seng Cu merasa tidak enak kalau pengemis yang menyerang ini masih ada hubungan dengan Ca kauw Sin-kai.
Akan tetapi, Ah Kai yang bisu mana dapat menjawab pertanyaannya? Ah Kau hanya mengeluarkan suara ah, ah, uh uh, dan tongkatnya menyerang terus dengan gencarnya, dibantu pula oleh kebutan di tangan Kong Ki. Yang juga bergerak cepat. Melihat betapa dua orang ini masih saja belum dapat mengalahkan Giok Seng Cu, Kiang Cun Eng berseru keras dan ketua perkumpulan kaipang ini melompat maju pula dan menyerang Giok Seng Cu dengan pedangnya.
Giok Seng Cu marah sekali. "Kiang Cun Eng, kau dahulu telah mempermainkan orang-orangku, sekarang kau tidak lekas-lekas menakluk? Apakah kau memilih jalan mampus?"
"Giok Seng Cu pendeta busuk, memang lebih baik mati daripada melihat kau menjadi Ketua Hek-kin-kaipang!" jawab Cun Eng.
Melihat Cun Eng sudah turun tangan, para anggauta Hek-kin-kaipang yang memiliki kepandaian cukup tinggi, mulai mengangkat tongkat mereka dan beramai-ramai mereka mengurung Giok Seng Cu.
"Teng Gai, kau tidak lekas menyuruh anak buahmu turun tangan, mau tunggu kapan lagi? Apakah benar-benar kalian berani mengkhianatiku?" kata Giok Seng Cu.
Mendengar ini, Kim-tung Mo-kai segera memberi tanda kepada kawan-kawannya yang berjumlah tiga puluh orang. Tadinya Kim-tung Mo-kai Teng Gai memang bermaksud hendak merampas kedudukan dalam perkumpulan itu, akan tetapi setelah ia kalah oleh Ah Kat dan tak tersangka-sangka di situ muncul Giok Seng Cu bekas pemimpinnya di 1m-yang-bu-pai dahulu pikirannya berubah dan ia mengambil siasat lain. Begitu mendapat isyaratnya, kawan-kawannya yang memang sebagian besar adalah bekas anggauta Im-yang-bu-pai, segera menyerbu dan sebentar saja di tempat itu terjadi pertempuran hebat.
Pihak Hek-kin-kaipang jauh lebih banyak orangnya, maka melihat ini, Seng Cu mengeluarkan gerengan keras dan beberapa kali ia melancarkan pukulan-pukulan Tin-san-kang yang paling hebat. Terdengar pekik mengerikan dan tubuh Kiang Cun Eng terlempar sampai tiga tombak lebih dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Bukan main marahnya Kong Ki dan Ah Kai. Dua orang ini memiliki kepadaian yang jauh lebih tinggi daripada Cun Eng, maka mereka berdua biarpun kalah lihai oleh Giok Seng Cu, sebegitu jauh masih dapat mempertahankan diri dan belum roboh oleh pukulan-pukulan Tin-san-kang. Kini melihat Giok Seng Cu telah membunuh Cun Eng secara mengerikan, keduanya menjadi makin nekat dan menyerang mati-matian. Lebih-lebih Kong Ki yang terasa hancur melihat kekasihnya tewas. Tanpa mempedulikan keselamatan sendiri, Sian-hud-tim Yap Ko Ki menyerbu Giok Seng Cu dengan serangan-serangan maut.
Giok Seng Cu berteriak kesakitan ketika daun telinganya pecah oleh pukulan kebutan di tangan Yap Kong Ki. ia marah dan kedua rangannya bergerak ke depan menghantam dada lawan ini, maka tubuh Kong Ki terpental dan ia pun tak jauh dari tubuh Cun Eng dalam keadaan mati pula.
Ah Kai yang bisu dapat melihat keadaan, ia melompat jauh ke belakang, memberi tanda dengan tongkat pusaka kepada para kawan yang masih bertempur, lalu melarikan diri cepat meninggalkan tempat itu. Ah Kat biarpun bisu amat cerdik. Dalam berlari, ia menyambar peti yang tadinya ditumpuk oleh Cun Eng di tempat itu. Melihat perbuatan Ah Kai ini, para anggauta Hek-kin-kaipang lalu meniru perbuatannya dan sebentar saja empat buah peti berisi harta benda Hek-kin-kaipang telah dibawa lari oleh para pengemis.
"Kejari Bunuh mereka yang melawan! Rampas kembali peti-peti dan tangkap hidup-hidup Si Bisu!" tenak Giok Seng Cu sambil melompat dan mengejar.
Karena Giok Seng Cu memang hebat, dalam beberapa loncatan saja ia telah dapat mengejar Ah Kai dan terpaksa Si Bisu ini melepaskan peti yang dipanggulnya. ia tidak berani menghadapi Giok Seng Cu, hanya memutar tongkatnya melindungi dirinya. Karena Giok Seng Cu masih tidak enak hati untuk membunuh orang yang agaknya ada hubungan dengan Cam-kauw sin-kai, maka Giok Seng Cu tidak mau menjatuhkan serangan maut, sebaliknya berusaha menawan. Namun, amat sukarlah mengalahkan Ah Kai tanpa membunuhnya, karena gerakan Ah Kai amat lincah dan ilmu tongkatnya memang tinggi sekali.
Tiga buah peti yang lain telah terampas pula, Giok Seng Cu akhirnya terpak ia meninggalkan Ah Kai untuk mengamuk dan membasmi para anggauta Hek kin-kaipang lebih dulu. Sepak terjangnya mengerikan hati para pengemis karena setiap kali ia mengayun tangan, sedikitnya tentu dua orang pengemis roboh dengan dada pecah atau kepala remuk.
"Semua orang akan diampuni kalau menyatakan takluk! Aku akan menjadi ketua Hek-kin-kaipang dan akan membawa perkumpulan ke arah kemuliaan. Seru Giok Seng Cu yang mengerahkan tenaga dalamnya sehingga suaranya terdengar amat nyaring dan berpengaruh.
Mendengar ini dan melihat betapa mereka sia-sia saja kalau melawan terus, banyak orang pengemis lalu melepaskan tongkat dan menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh yang lain-lain. Melihat ini, Ah Kai mengeluarkan seruan ah-ah, uh-uh beberapa kali, membanting-banting kakinya dengan gemas sekali, lalu cepat ia melarikan diri.
"Totiang, untuk menjadi ketua Hek-kin-kaipang, harus mempunyai po-tung (Tongkat pusaka) yang dipegang oleh Si Bisu itu!” kata seorang pengemis yang menakluk.
Mendengar ini Giok Seng Cu melomplat cepat dan mengejar Ah Kai yang tentu saja berlari makin kencang. Dalam hal ilmu berlari cepat, Ah Kai sudah mencapai tingkat tinggi juga, maka untuk beberapa lama, Giok Seng Cu belum dapat menyusulnya.
"He... Bisu, kau berhenti dan serahkan tongkat butut kepadaku, baru aku akan membebaskan kau!" Memang baginya lebih baik Si Bisu itu pergi dari situ dalam hal merampas tongkat pusaka itu ia pun akan merasa lebih senang kalau tak usah membunuh Ah Kai, karena Giok Seng Cu masih ragu-ragu siapa adanya orang bisu yang pandai mainkan ilmu tongkat Cam-kauw Tung-hoat itu.
Akan tetapi, sudah tentu saja Ah Kai tidak sudi memberikan tongkat pusaka itu kepada Giok Seng Cu. Semenjak kecilnya, Ah Kai telah berada di perkumpulan Hek-kin-kaipang dan ia amat setia kepada ayah Cun Eng yang ketika itu menjadi ketua perkumpulan. Setelah ayah Cun Eng meninggal, bocah bisu ini menjadi begitu berduka sehingga ia melarikan diri dan selama itu tak seorang pun tahu di mana adanya Ah Kai. Sebetulnya, Ah Kai telah bertemu dengan orang-orang pandai di antaranya Cam-kau Sin-kai dan dari orang-orang pandai Ah Kai menerima pelajaran ilmu silat tinggi. Setelah memiliki kepandaian Ah Kai mencari perkumpulan Hek-kin Kaipang yang sudah dipindahkan markasnya atau pusatnya oleh Kiang Cun Eng. Di dalam hatinya, Ah Kai tetap setia kepada perkumpulan ini dan hendak menyerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk membantu dan membela Kiang Cun Eng.
Tidak disangkanya, begitu ia datang, ia menghadapi orang-orang jahat yang hendak merampas kedudukan di perkumpulan itu. Lebih-lebih tidak disangkanya bahwa di antara orang-orang jahat itu muncul Giok Seng Cu yang amat lihai dan yang ilmu silatnya kiranya takkan kalah oleh guru-guru yang pernah mengajarnya. Tadi ketika melihat Cun Eng tewas hart Ah Kai sudah marah sekali dan ia merasa sakit hati kepada Giok Seng Cu. Sekarang Giok Seng Cu minta tongkat pusaka yang menjadi tongkat kekuasaan dari Hek-kin-kaipang, tentu saja ia tidak sudi menyerahkannya dan mengambil keputusan untuk melindungi tongkat itu sampai saat terakhir.
Melihat orang bisu itu tidak mau menyerahkan tongkat bahkan lari makin cepat Giok Seng Cu mulai hilang sabar. Kalau perlu, ia tidak takut membunuh siapapun juga. Andaikata benar dugaannya dan pengemis bisu itu murid Cam-kauw Sin-kai, ia pun tidak takut. Pula di tempat sunyi ini siapakah yang akan tahu bahwa pengemis bisu itu di bunuh olehnya?
"Bisu, tinggalkan tongkat itu pengganti nyawamu!" Sekali lagi Giok Seng Cu berseru ketika Ah Kai lagi-lagi tidak memperdulikannya, Giok Seng Cu menggerakkan kedua tangannya dan empat buah chi-piauw menyambar laksana kilat ke arah belakang leher, punggung, lutut dan mata kaki.
Ah Kai dapat mendengar sambaran angin senjata rahasia itu, maka cepat ia melompat ke kanan sejauh setombak lebih sehingga serangan amgi (senjat gelap) itu hanya mengenai angin belaka Namun, gerakannya ketika melepaskan diri dari ancaman senjata rahasia tadi telah memperlambat gerakannya dalam berlari sehingga Giok Seng Cu sudah dapat menyusulnya.
Ah Kai membalikkan tubuh dan dengan secara mendadak ia menyambut kedatangan kakek itu dengan serangan bertubi-tubi dari tongkatnya. Kembali Giok Seng Cu gelagapan dan sibuk menangkis dengan kibasan kedua ujung bajunya. Ia menjaga diri dari ujung tongkat yang amat berbahaya itu, akan tetapi diam-diam ia pun mencari kesempatan untuk menjatuhkan pukulan maut pada lawan yang tangguh ini. Kakek ini sudah kehilangan kesabarannya, bahkan kini rasa penasarannya memuncak menjadi kemarahan besar. Ketika dengan tenaganya yang dahsyat ujung bajunya dapat membuat tongkat lawan terpental, ia cepat mengirim pukulan Tin-san-kang dengan tubuh merendah hampir berjongkok. Inilah pukulan Tin-san-kang dalam jurus yang amat hebat, yaknt jurus Chun-luttong-tee (Geledek Musim Semi Menggetarkan Bumi)!
Ah Kai terkejut sekali. Cepat ia mergerahkan tenaganya, menyalurkan tenaga lweekang sepenuhnya di lengan kiri untuk menangkis pukulan itu sambil tubuhnya dimiringkan agar dadanya tidak terpukul oleh angin pukulan.
"Krek!" tubuh Ah Kai terlempar dan ia jatuh berdebuk terus bergulingan untuk menghindarkan diri dari pukulan susulan. Kemudian secepatnya ia melompat berdiri dengan muka meringis. Tongkat masih ia pegang di tangan kanan dadanya pun tidak terluka, akan tertapi lengan kirinya telah patah tulangnya, Demikian hebat pukulan Giok Seng tadi.
Di lain pihak, Giok Seng Cu memandang kagum. Menangkis pukulannya tadi dan tidak tewas, hanya mendapat luka patah tulang lengan, benar-benar tak mungkin dapat dilakukan oleh sembarangan ahli silat. "Bisu, kau lihai!" serunya. "Sayang kau harus mampus karena berani melawanku!" Kembali ia menubruk maju dengan serangannya, akan tetapi Ah Kai tidak mau melayaninya dan sekali berkelebat, pengemis bisu ini sudah kabur lagi.
Sekarang jarak antara mereka tidak begitu jauh lagi, maka keadaan Ah Kai amat terancam. Baru saja ia lari belum setengah li, Giok Seng Cu sudah dapat menyusulnya lagi dan dari belakang mengirim pukulan lagi dengan dahsyat. Ah Kai sudah mendapat pengalaman, maka kini ia tidak berani menangkis lagi, sebaliknya ia lalu membanting tubuhnya ke kiri dan terus bergulingan di atas tanah menjauhkan diri.
"Ha, ha, ha. Jembel bisu, kau hendak lari ke mana" Giok Seng Cu tertawa mengejek sambil mengejar lagi.
Mereka main kejar-kejaran dan setiap kali Giok Seng Cu memukul, Ah Kai menghindarkan serangan dengan membanting diri dan bergulingan. Sebegitu jauh pengemis bisu yang memiliki gerakan lincah ini dapat menyelamatkan diri, akan tetapi ia maklum bahwa kalau Giok Seng Cu mengejar terus, akhirnya ia takkan dapat mengelak lagi dan pasti akan terpukul oleh ilmu pukulan yang aneh dan dahsyat dan lawannya. Betapapun juga, tidak ada sedikit pun pikirannya untuk mengalah dan menyerahkan tongkat. Ia mengambil keputusan untuk melindungi tongkat itu dengan taruhan nyawa!
Setelah berkejaran sejauh lima li, mereka tiba di dalam sebuah hutan. Ah Kai sudah mulai lelah, bukan karena berkejaran itu, karena ia telah memiliki ilmu ginkang yang tinggi dan takkan merasa lelah biarpun berlari sampai puluhan li. Yang membuat ia lelah adalah luka pada lengannya. Tulang yang patah itu setelah dipakai bergerak, apalagi waktu ia bergulingan kadang-kadang tergencet tubuh, terasa amat sakit.
Giok Seng Cu menjadi makin penasaran dan marah sekali. Kemarahannya membuat kakek ini dapat berlari makin cepat dan baru saja mereka memasuk hutan, Giok Seng Cu sudah dapat menyusulnya lagi dan dengan mengeluarkan seruan seperti seekor harimau marah, kakek ini menyerang dari belakang menghantam punggung. Ah Kai kembali membanting tubuh dan bergulingan. Akan tetapi, Giok Seng Cu yang sudah tahu akan lawannya, menyerang dengan lontaran senjata rahasianya yang berupa uang logam. Tiga buah chi-piauw meluncur dan menyambar ke arah tiga jalan darah yang mematikan.
Ah Kai mencoba untuk mengelak, akan tetapi ketika itu ia sedang bergulingan, mana ia dapat bergerak dengan leluasa? Sebuah daripada am-gi berhasil mengenai pundaknya dan kembali tulang pundaknya sebelah kiri patah! Ah Kai menahan rasa sakit dan melompat berdiri, Giok Seng Cu sudah berdiri di depannya. Sambil menggigit bibir menahan marah dan sakit, Ah Kai menubruk dan mengirim serangan maut dengan tongkatnya. Kembali dua orang itu bertempur. Ah Kai marah sekali.
Giok Seng Cu tertawa-tawa mengejek karena maklum bahwa Si Bisu ini sekarang tak mungkin dapat melarikan diri lagi dan pasti binasa. "Jembel bisu, untuk tongkat butut dari Hek-kin-kaipang kau rela membuang nyawa, sungguh percuma hidupmu dan sayang sekali Cam-kauw Sin-kai telah menurunkan kepandaiannya kepadamu. Ha ha ha!"
Ah Kai menggigit bibir dan melawan terus. Akan tetapi, dalam keadaan sehat saja ia masih bukan tandingan Giok Seng Cu, apalagi sekarang ia telah mendapat luka. Tulang pundak dan lengan kirinya telah patah dan membuat seluruh lengannya sebelah kiri seakan-akan mati. Mana mungkin ia dapat menghadapi desakan Giok Seng Cu? Ketika Giok Seng Cu mengibaskan ujung lengan bajunya, Ah Kai terlambat menangkis dan dadanya terpukul. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak lebih. Akan tetapi, pengemis bisu ini benar-benar kuat sekali karena pukulan-pukulan yang demikian dahsyatnya hanya membuat ia terlempar, tidak sampai mengakibatkan luka di dalam tubuh. Namun, keadaannya sekarang berbahaya sekali. Sebelum ia dapat melompat bangun, Giok Seng Cu sudah berada di dekatnya dan kini kakek ini mengangkat tangan untuk mengirim pukulan maut terakhir.
Pada saat itu, berkelebat bayangan yang cepat laksana burung, disusul bentakan halus dan nyaring. "Kakek siluman jangan berbuat kejam!"
Giok Seng Cu melihat sinar yang menyilaukan matanya, menyambar cepat di depan mukanya. Terpaksa ia mengurungkan niatnya memukul Ah Kai karena kalau ia teruskan pukulan itu, tentu tangannya akan bertemu dengan pedang yang luar biasa cepat gerakannya. melompat mundur dan memandang. Bukan main herannya ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah seorang gadis yang cantik jelita dan berwajah gagah dan berpengaruh.
Ah Kai melihat kesempatan baik ini, ia melompat berdiri dan memandang kepada gadis itu dengan mata penuh pernyataan terima kasih. Kemudian ia menoleh kepada Giok Seng Cu, tertawa mengejek dan melompat jauh melarikan diri lagi.
"Jembel busuk hendak lari ke mana?” Giok Seng Cu membentak marah dan tubuhnya sudah bergerak hendak mengejar. Akan tetapi sekali berkelebat, gadis itu telah menghadang di tengah jalan.
"Tidak boleh mendesak orang yang sudah lari!" kata gadis itu.
Giok Seng Cu marah sekali. "Jangan mencampuri urusanku!" bentaknya dan tangan kirinya bergerak, ujung lengan bajunya dikibaskan ke arah gadis itu dengan maksud mendorong gadis ini ke pinggir.
Akan tetapi, gadis itu tidak menangkis, bahkan mempergunakan jari tangan kirinya yang dikepretkan ke arah ujung baju sehingga ujung kain yang amat kuat karena digerakkan dengan tenaga Tin-sin-kang itu terpukul kembali.
Kejadian ini membuat Giok Seng Cu membatalkan kehendaknya mengejar Ah Kai. Ia terlampau kagum dan heran sehingga tidak memperdulikan lagi kepada Ah Kai yang membawa lari tongkat pusaka Hek-kin-kaipang. Bagaimana dengan jari-jari tangan yang kecil runcing itu seorang gadis semuda ini dapat menangkis pukulannya?
"Bocah, kau memiliki kepandaian juga. Akan tetapi jangan dikira dengan sedikit kebisaanmu ini kau akan dapat menjual lagak di depan Giok Seng Cu! Siapa kau?"
Akan tetapi, sebaliknya dari gentar mendengar nama besar Giok Seng Cu ini, gadis ini bahkan nampak marah sekali dan pedang yang tadinya telah disimpan, dicabutnya kembali. Sikapnya bermusuh dan menantang, kemudian bibir yang manis tapi nampak membayangkan kekerasan hati bergerak.
"Kau Giok Seng Cu? Pantas! Sudah kuduga bahwa kau tentu bukan seorang baik-baik. Di dunia kang-ouw kau boleh menjadi raja iblis, akan tetapi bertemu dengan Gak Soan Li, berarti akan tamat riwayatmu!"
Setelah berkata demikian gadis ini menggerakkan pedangnya melakukan serangan yang datangnya cepat sekali dan melihat ujung pedangnya tergetar, membuktikan bahwa penyaluran tenaga lweekangnya sudah sampai ujung senjata, tanda dari keahlian yang tinggi.
Akan tetapi Giok Seng Cu adalah seorang kakek yang kepandaiannya amat tinggi. Juga pengalamannya sudah luas sekali, mana ia mau memandang sebelah mata kepada seorang gadis semuda itu? Ia tersenyum mengejek dan sambil mengelak dan menyampok ujung pedang dengan ujung Iengan baju, ia mengejek.
"Gak Soan Li, kau seperti anak kambing menantang harimau. Sayang kalau nyawamu terbang meninggalkan tubuhmu yang cantik. Lebih baik kau ikut aku nenjadi muridku, baru kau akan mendapatkan ilmu yang hebat."
Mendadak Giok Seng Cu menghentikan kata-katanya karena matanya menjadi silau melihat bergeraknya pedang di tangan gadis itu yang kini merupakan gulungan sinar pedang yang amat luar biasa gerakannya. Serangan pedang datang bertubi-tubi, setiap langkah atau jurus berisi empat sampai lima tikaman dan sabetan semuanya mengarah bagian berbahaya dan cepatnya, mengimbangi sambaran kilat!
Karena tadi memandang rendah, Giok Seng Cu kurang cepat bergerak dan dalam kesibukannya mengelak dan menangkis, sehelai kain dan ujung lengan bajunya terbabat putus oleh pedang yang tajam. Giok Seng Cu merasa kecele dan ia terkejut sekali, juga terheran-heran. Ia tidak saja terkejut melihat kelihatan gadis muda ini terutama sekali karena ia mengenaI ilmu pedang itu yang dasarnya sama dengan ilmu silat yang ia pelajari dari mendiang suhunva, Pak Hong Siansu! Tak bisa salah lagi ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis ini tentulah berasal dari orang yang paling ditakutinya sesudah See-thian Tok-ong yaitu Hwa I Enghiong Go Ciang Le, murid dari supeknya, Pak Kek Siansu.
"Eh, kau ada hubungan apa dengan Go Ciang Le," tanya Giok Seng Cu sambil mengelak dari sebuah tusukan.
"Dia Suhuku, kau mau apa?" jawab Soan Li yang menyerang terus dengan gemas karena ia merasa penasaran betapa semua jurus-jurus terlihai dari ilmu pedangnya hanya berhasil menyerempet dan membabat putus sedikit kain saja.
"He, kau kurang ajar sekali! Aku adalah suheng dari Gurumu, bagaimana kau berani melawan Supekmu sendiri?"
Gak Soan Li menahan pedangnya dan berdiri memandang dengan mata penuh kebencian. "Siapa sudi mempunyai Supek seperti engkau yang jahat ini? Suhu sudah banyaak menderita karena kejahatanmu, apakah kau masih hendak menipuku? Kata Suhu kejahatanmu sudah bertumpuk-tumpuk dan tadi kau mendesak seorang pengemis merupakan kejahatanmu yang terakhir karenanya kau harus menebus dosa di depan Giam kun (Malaikat Maut)!" Kembali Soan Li menyerang dengan pedangnya secara hebat.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Gak Soan Li adalah murid Go Ciang Le yang sudah mempelajari 1mu silat tinggi bahkan ia sudah pula menerima pelajaran silat warisan, yakni Pak-kek Kiam-hoat ciptaan mendiang Pak Kek Siansu. Memang gurunya sendiri hanya mewarisi paling banyak enam bagian dari ilmu silat ini dan dia sendiri paling banyak hanya empat bagian, akan tetapi bagian ini sudah cukup untuk ia pergunakan menghadapi lawan yang tangguh.
Seperti kita sudah maklum, Soan Li diam-diam melarikan diri dari tempat tinggal suhunya di Pulau Kim-bun-to dan pergi mengembara untuk menyusul atau mencari sumoinya, Go Hui Lian yang lari bersama Liok Kong Ji. Di dalam perjalanan, tidak lupa dara perkasa ini melakukan semua pesan dan cita-cita suhunya, yakni menolong orang-orang yang menderita kesengsaraan terutama sekali membela mereka dari para penjahat. Soan Li berwatak keras, tenang dan pendiam maka kalau bertemu dengan orang jahat, ia bersikap keras dan ganas sekali tak pernah memberi ampun. Oleh karena kekerasan hatinya ini dalam berapa bulan di perantauan ia telah banyak membasmi orang-orang jahat sehingga di kalangan hek-to (dunia penjahat) namanya terkenal sekali dan ia mendapat nama poyokan Kang-sim-li (Dara Berhati Baja).
Kini dalam perjalanannya, kebetulan sekali ia bertemu dengan Giok Seng Cu yang hendak membunuh Ah Kai. Wataknya yang suka menolong orang lemah, membuat ia turun tangan menolong Ah-Kai dan setelah mendengar bahwa kakek rambut panjang itu adalah Giok Seng Cu tentu saja Soan Li menjadi marah dan ingin menewaskan kakek yang kejahatana telah banyak didengarnya dari penuturan Go Ciang Le dan Liang Bi Lan, subonya.
Akan tetapi, kalau selama perantauannya Soan Li tidak pernah menemui tandingan berat adalah sekarang ia bertemu dengan batunya. Giok Seng Cu merupakan lawan yang amat tangguh. Hal ini baru diketahui setelah Giok Seng Cu timbul marahnya dan kakek ini mulai mengeluarkan kesaktiannya yang amat diandalkan, yakni pukulan-pukulan Tin-san-kang! Pukulan-pukulan pertama membuat Soan Li terkejut sekali karena hampir saja pedangnya terlepas ketika lengan kanannya terkena sambaran angin pukulan itu. Ia terkejut dan juga heran karena dalam pukulan ini, ia mengenal ilmu pukulan aneh yang pernah ia lihat dimainkan oleh Hui Lian dan yang menurut pengakuan sumoinya itu mendapat pelajaran dari Liok Kong Ji!
"Jadi kaukah guru keparat dan jahanam Kong Ji?" bentaknya sambil mempercepat permainan pedangnya.
Giok Seng Cu tertegun dan untuk sementara ia mengendurkan serangan dan hanya mengelak saja dari sambaran pedang yang membuatnya kewalahan. "Di mana adanya Kong Ji?" tanyanya.
"Di neraka dan kau sebentar lagi akan menyusulnya!" bentak Soan Li dengan ketus dan memperhebat serangannya.
Giok Seng Cu salah duga. Dikiranya Kong Ji sudah tewas oleh gadis ini, maka sambil berseru keras ia membalas serangan Soan Li dengan ilmu silat Tin- san-kang. Pertandingan hebat dan mati-matian terjadi dengan serunya. Soan Li gesit dan cekatan seperti seekor rajawali, pedangnya menyambar-nyambar dengan aneh dan indah, setiap saat mengintai nyawa lawan.
Sebaliknya, Giok Seng Cu teguh kuda- kudanya, tubuhnya direndahkan dan kedua kaki hanya digeser maju tanpa diangkat kadang-kadang tubuhnya seperti berjongkok dan dari kedua lengannya menyambar hawa pukulan yang seperti gelombang dahsyat. Betapapun gesit dan cepatnya Soan Li bergerak namun ia tidak berdaya menghadapi gelombang pukulan itu. Baru angin pukulannya saja sudah -membuat pedangnya beberapa kali terpental dan kalau menyerang dan menyambar tubuhnya membuat napasnya menjadi sesak.
Biarpun kepandaian lawannya hebat sekali, Soan Li takkan patut mengaku diri murid Go Ciang Le kalau ia menjadi jerih. Seperti juga Hui Lian, gadis ini tidak pernah mengenaI artinya takut hanya bedanya dengan sumoinya itu, kalau Hui Lian berwatak gembira, jenaka dan ramantis adalah watak Soan Li pendiam, tenang, dan bersungguh-sungguh.
Kini menghadapi desakan Giok Seng Cu, Soan Li tidak menjadi takut, bahkan ia penasaran dan marah. Pedangnya dtgerakkan cepat, tiba-tiba ia berseru keras dan tubuhnya seperti seekor walet terbang melambung ke udara dan dari atas, pedangnya diputar cepat menyerang Giok Seng Cu dengan tusukan maut.
"Ayaaa...!" Giok Seng Cu berteriak kaget sekali. Sekarang ini datangnya tidak tersangka-sangka dan amat hebatnya sukar untuk dielakkan lagi. Namun kakek ini yang sudah memiliki pengalaman luas dalam ratusan pertandingan, dapat mencari siasat bagaimana harus menghadapi bahaya ini dengan pihak sendiri mendapat keuntungan. Ia merendahk tubuh, miringkan pundak dan kepala hingga pedang yang menusuk leher hanya mengenai pundaknya, mengerahkan lweekang untuk menahan tusukan berbareng kedua tangannya bekerja, memukul dengan tenaga Tin-san-kang sepenuhnya ke arah dua kaki Soan Li yang tidak terlindung.
Terdengar suara tulang patah, tubuh Soan Li terlempar jauh dan gadis ini jatuh dalam keadaan duduk, kedua kakinya tak dapat digerakkan lagi karena tulang kedua pahanya telah remuk! Sebaliknya, pedang gadis itu telah dapat menembus pertahanan tenaga Iweekang dari Giok Seng Cu dan melukai pundak kakek itu agak dalam juga.
Giok Seng Cu terhuyung mundur, kemudian ia tertawa bergelak ketika dengan tindakan kaki perlahan dan muka menyeringai seperti iblis menghampiri gadis yang sudah tak berdaya lagi. Akan tetapi, biarpun kedua kakinya sudah lumpuh dan ia tidak dapat lari, Soan Li dengan mukanya pucat itu masih bersiap dengan pedang di tangan, matanya memandang kepada lawannya bagaikan seekor harimau marah.
"Ha-ha-ha! Nona manis, kau hendak berdaya apa lagi? Ha, ha, bersiaplah untuk menemui setan-setan di neraka agar kau dapat memilih seorang di antara mereka menjadi kekasihmu. Ha, ha, ha!" Giok Seng Cu tertawa bergelak sambil mengangkat muka ke atas, gemas sekali menderita luka, maka ia merasa amat puas akan dapat membunuh gadis yang telah melukainya. Dengan kedua tangan bertolak pinggang dan air muka seperti iblis ditambah dengan suara ketawa yang mengerikan, keadaannya benar-benar menyeramkan.
Setelah merasa puas mentertawakan Soan Li, kakek ini lalu menghentikan suara ketawanya dan bersiap hendak melakukan pukulan maut. Akan tetapi ketika ia menundukkan kepala lagi dan memandang ke depan, matanya dibuka lebar-lebar dan ia hampir tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Apakah yang dilihatnya?
Di hadapannya, membelakangi gadis yang masih bersimpuh dengan kedua kaki lumpuh itu, berdiri seorang muda berusia sembilan belas tahun. Pemuda ini wajahnya sederhana saja seperti juga pakaiannya yang terbuat dari kain kasar. Akan tetapi kesederhanaan wajah dan pakaiannya tidak menyembunyikan ketampanannya dan sepasang matanya seperti sepasang bintang yang menyinarkan pandangan tajam menembus jantung. Pemuda ini berdiri sambil memandangnya dengan bibir tersenyum.
Adapun Soan Li setelah mengerahkan tenaga dalam untuk mengusir rasa sakit pada kedua pahanya, kini duduk tak bergerak dengan mata dipejamkan tanda bahwa gadis ini dalam keadaan samadh atau setengah pingsan. Hanya orang yang sudah matang latihan samadhi dan pengaturan napas saja yang dapat duduk dan tidak roboh biarpun berada dalam keadaan setengah pingsan.
"Setan cilik, siapa kau?"
Pemuda Itu menjawab dengan suara yang halus dan tenang. "Sudah tahu aku setan cilik mengapa kau bertanya lagi? Aku setan cilik yang datang mencegah iblis gede yang hendak membunuh seorang gadis tak berdaya."
Dapat dibayangkan betapa marahnya Giok Seng Cu. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw tidak ada yang berani main-main dengannya, akan tetapi pemuda yang datangnya amat mengherankan itu seperti setan yang datang tanpa menimbulkan suara sehingga telinga Giok Seng Cu yang amat terlatih sekalipun tidak dapat menangkap sesuatu suara kini berani bicara main-main dengannya seperti seorang anak nakal kepada temannya.
"Kau sudah bosan hidup!" bentaknya marah dan biarpun pundaknya sudah terluka oleh tusukan pedang, Giok Seng Cu memaksa diri mendorong pemuda ini dengan Ilmu Pukulan Tin-san-kang! Dalam marahnya, ia hendak bikin mampus pemuda itu dengan sekali pukul. Giok Seng Cu terkejut sendiri melihat pemuda itu sama sekali tidak bergerak untuk menangkis atau mengelak. Pukulannya yang dahsyat itu diterima begitu saja dengan dada terbuka! Akan tetapi, watak yang kejam dari Giok Seng Cu tidak membuat ia merasa menyesal atau mengurangi daya pukulannya. Ia hanya merasa geli akan ketololan pemuda itu.
"Bukkk" dada itu kena pukul dan tubuh pemuda itu bagaikan sebuah bola karet terlempar jauh, bahkan terlemparnya agak ke atas seperti bola ditendang. Giok Seng Cu merasa betapa kepalan tangannya mengenai dada yang empuk seakan-akan dada pemuda itu tidak bertulang. Akan tetapi ia tidak peduli karena sudah merasa pasti bahwa dada itu tentu remuk sebelah dalamnya, maka tanpa menengok lagi bagaimana keadaan pemuda yang telah dipukulnya itu, ia melangkah maju hendak turun tangan terhadap Soan Li.
Akan tetapi, ia kembali menahan langkahnya dan hampir saja ia mengelukan seruan kaget dan herannya. Entah kapan karena ia tidak melihat gerakanya, tahu-tahu pemuda aneh yang dipukulnya tadi telah berdiri di hadapannya lagi sambil tersenyum-senyum!
"Setan gede, masih ada lagikah pukulan tahumu? Enak sekali rasanya, pingangku yang tadinya pegal-pegal menjadi sembuh seketika. Terima kasih," kata pemuda itu.
Giok Seng Cu memandang dengan mata terbelalak. Kalau tidak mengalaminya sendiri, pasti ia takkan dapat percaya. Ia biasanya membanggakan Tin-san-kang karena merasa yakin akan keampuhan ilmu pukulan itu. Bahkan See-thian Tok-ong sendiri takkan mampu menerima pukulannya tadi tanpa menderita luka. Akan tetapi pemuda ini secara gaib telah datang lagi dan minta tambahan! Bahkan mendiang suhunya sendiri, Pak Hong Siansu, takkan mungkin sanggup menerima Tin-san-kang tanpa terluka. Entah kalau Pak Kek Siansu supeknya, karena ia tahu bahwa supeknya itu memiliki sinkang yang hebat dan kesaktian seperti seorang dewa. Akan tetapi, mungkinkah pemuda yang belum dua puluh tahun usianya ini dapat memiliki kepandaian seperti Pak Kek Siansu? Tidak mungkin! Barangkali ini hanya kebetulan saja dan mungkin tadi ia kurang tepat mengerahkan tenaganya. Ataukah tenaga Tin san-kang-nya tiba-tiba bocor dan tidak ampuh lagi?
Giok Seng Cu menggerak-gerakkan kedua lengannya. Terdengar suara berkerotokan dari tulang-tulangnya dan ia masih merasa hawa panas mengalir di kedua lengannya, tanda bahwa hawa Tin-san kang dalam tubuhnya masih belum lenyap. Ia masih penasaran. Dengan sembarangan kedua tangannya digerak-gerakkan ke kanan kiri dan batu-batu yang berada di atas tanah menjadi pecah!
"Eh, setan gede. Apakah kau sedang menjual obat dan memamerkan ilmu sulap?" pemuda itu mengejek lagi.
Giok Seng Cu menjadi mata gelap saking marahnya. ia mengeluarkan bentakan keras dan kedua tangannya yang dikepal kini sekaligus menghantam dada pemuda itu. Seperti tadi, pemuda itu tidak mengelak sama sekali. hanya kedua kakinya tiba-tiba menegang dan ia memasang bhesi (kuda-kuda) yang kokoh kuat.
"Bukk!!" Suara bertemunya kedua kepalan tangan dan dada kini jauh lebih nyaring dari pada tadi dan akibatnya sungguh ajaib. Bukan pemuda itu yang dadanya hancur atau tubuhnya mencelat, sebaliknya cubuh Giok Seng Cu yang kini terpental seakan-akan sehelai daun kering tertiup angin. Kemudian tubuhnya jatuh berdebuk ke atas tanah, debu mengepul dan Giok Seng Cu duduk dengan mata terbelalak memandang kepada pemuda itu. Kepalanya bergoyang-goyang karena ia merasa pening sekali, telinganya mendengar suara mengiang. Ia tahu bahwa ia telah terluka oleh hawa pukulan Tin-san-kang.
Ketika kedua tangannya bertemu dengan pemuda itu, hawa pukulannya telah bertemu dengan tenaga yang luar biasa sehingga hawa pukulannya Tin-san-kang membalik lalu menyerang tubuhnya sendiri, senjata makan tuan! Giok Seng Cu cepat memejamkan mata dan mengatur pernapasan dan tidak lama kemudian ia dapat mengatasi dirinya. Kalau ia terlambat melakukan usaha ini, pasti isi perutnya akan luka-luka dirusak akibat membaliknya Tin-san-kang tadi.
Setelah dirinya terbebas dari ancaman maut, Giok Seng Cu membuka mata dan menengok. ia melihat pemuda itu telah berlutut di dekat tubuh Soan Li yang kini telah berbaring telentang. Pemuda itu demikian sibuk menolong Soal Li sehingga sama sekali tidak mempedulikan lagi, seakan-akan sudah lupa kepadanya. Giok Seng Cu berbangkit perlahan berdiri dan memandang ke arah pemuda itu dengan muka menyatakan kengerian hatinya seperti seekor tikus melihat kucing. Kemudian ia melompat dan lari tunggang langgang dari tempat itu.
"Siapa dia...?" pertanyaan ini berulang kali mengiang di telinga hati Giok Seng Cu. Baru kali ini selama hidupnya melarikan diri ketakutan melihat seorang pemuda yang tidak terkenal sama sekali. Padahal pemuda itu sama sekali belum pernah menggerakkan jari tangannya untuk menyerangnya.
"Sungguh memalukan" Giok Seng Cu mengeluh kalau teringat akan keadaannya yang memalukan, "Siapa dia begitu lihai?"
Mengingat kembali akan wajah pemuda itu, senyumnya, matanya, ia merasa pernah bertemu dengan pemuda itu, entah di mana ia lupa lagi. Di dalam dunia ini sudah banyak sekali. ia bertemu orang, maka tidak ingat lagi di mana ia pernah bertemu dengan muka itu, dengan senyum yang mengejek dan membayangkan ketabahan hati, dengan sinar mata yang demikian tajam menusuk kalbu. Siapa dia...? Ya, siapa dia? Siapa pemuda yang sederhana dan sakti ini?
********************
Pembaca tentu dapat mengenalnya. Benar, dia bukan lain adalah Wan Sin Hong, pemuda yang semenjak kecilnya menderita hebat tiada hentinya. Banyak kaum arif bijaksana berkata bahwa penderitaan pahit getir yang dialami di waktu kecil, akan mendatangkan kebahagiaan di waktu tua. Bagi Wan Sin Hong yang di waktu masih kecil menderita banyak kesengsaraan hidup, siksaan lahir batin dan beberapa kali nyawanya tergantung di sehelai rambut, memang pada masa ini tak dapat dikatakan telah menemui bahagia.
Akan tetapi tidak dapat disangkal pula bahwa ia telah mendapatkan keberuntungan yang luar biasa besarnya. Tidak saja ia telah mewarisi isi kitab Pak Kek Siansu dan telah mempelajari sampai sempurna betul isi kitab itu, yakni Ilmu Silat Pak kek Sin-ciang dan ilmu-ilmu lweekang sehingga di dalam tubuhnya telah mengalir sinkang (hawa sakti) yang dahsyat tenaganya, akan tetapi juga ia telah matang dalam ilmu pengobatan setelah ia menjadi murid dan ahli waris dari mendiang Kwa Siucai, raja pengobatan nomor satu di dunia pada waktu itu.
Di samping itu semua, sebagaimana telah dituturkan bagian depan dari cerita ini, Sin Hong keluar dari tempat pertapaan dan berhasil bertemu dengan Lie Bu Tek ayah angkatnya. Kemudian Lie Bu Tek yang sudah buntung lengannya itu ikut dengan Sin Hong menuju ke puncak Luliang-san dan ikut pula memasuki gua rahasia sehingga kedua orang ini berlatih dan bertapa di dalam tempat rahasia itu sampai bertahun-tahun, tanpa diketahui oleh orang lain.
Kurang lebih lima tahun Sin Hong dan Lie Bu Tek bersembunyi di tempat itu, yakni di dalam jurang tak berdasar yang berada di puncak Luliang-san, yang sebetulnya merupakan lereng tersembunyi dari bukit itu. Kalau Sin Hong memperdalam latihan ilmu silat berdasarkan Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang sehingga ia dapat memperoleh kesempurnaan dalam ilmu silat itu, adalah Lie Bu Tek juga tidak tinggal diam. Di bawah petunjuk anak angkatnya yang kini memiliki kesaktian tinggi itu, Lie Bu Tek telah dapat merangkai Ilmu pedang baru yang tentu saja berdasarkan ilmu pedang Hoa-san-pai, akan tetapi ilmu pedang ini sekarang jauh lebih kuat dan cepat, dan ilmu pedang ini adalah ilmu pedang yang khusus dimainkan oleh seorang yang buntung sebelah tangannya. Setelah lima tahun lewat, kini Lie Bu Tek sekarang bukan Lie Tek dahulu lagi.
Biarpun kini ia hanya mainkan pedang dengan tangan kiri dan tangan kanannya yang buntung tidak dapat melakukan gerakan sebagai imbangan, namun kalau dibandingkan dengan keadaannya dahulu sebelum lengannya buntung, kiranya lima orang Lie Bu Tek dahulu dengan 1ima pasang lengan belum tentu akan dapat menangkan seorang Lie Bu Tek sekarang dengan sebuah lengan kiri saja! Hal ini bukan karena ilmu pedangnya memang menjadi jauh lebih kuat, akan tetapi juga sebagian besar karena tenaga lwee-kangnya sudah jauh lebih tinggi daripada dahulu.
Adapun kebaikan yang didapatkan oleh Sin Hong setelah ia berkumpul kembali dengan gihunya, adalah pelajaran ilmu bathin dan nasihat-nasihat berharga yang ia terima dari ayah angkatnya, yang membuat jiwanya lebih masak lagi dan pandangannya lebih jauh. Apalagi karena sekarang Lie Bu Tek menjalani hidup suci seperti seorang pertapa, maka tentu saja ia mengajar anak angkatnya tentang filsafat-filasafat hidup yang dalam dan amat penting bagi bekal hidup seorang muda.
"Sin Hong, pengaruh yang amat berbahaya dan yang perlu kita kekang dan kalahkan adalah pengaruh yang timbul dari dalam diri sendiri. Pengaruh perasaan dan nafsu amat jahatnya sehingga orang-orang cerdik pandai jaman dahulu selalu menyatakan bahwa mengalahkan musuh tangguh bukanlah hal yang terlalu luar biasa, akan tetapi mengalahkan diri sendiri adalah hal yang patut dikagumi karena ini menandakan sifat seorang kuncu (budiman)."
"Apakah yang Gihu maksudkan dengan mengalahkan diri sendiri itu" tanya Sin Hong yang ingin tahu lebih jelas tentang filsafat.
"Mengalahkan diri sendiri berarti mengalahkan segala rasa dan pikiran yang ditunggangi oleh nafsu buruk. Rasa yang bersih adalah rasa perikemanusiaan yang tidak dipengaruhi oleh nafsu, dan bertindak menurutkan rasa yang bersih itu adalah tugas seorang manusia karena rasa ini datangnya dari Thian Yang Maha Kuasa dan sifatnya suci. Rasa yang bersih ini sudah disaring oleh kesadaran sudah ditimbang oleh pertimbangan akal budi, sesuai dengan suara dan kehendak Thian yang selalu berkembang di dalam batin seorang kuncu (budiman).
Sebaliknya, kalau kita tidak dapat mengekang dan mengendalikan nafsu sehingga rasa ditunggangi oleh nafsu, tindakan kita akan menyeleweng. Nafsu membutakan kesadaran melemahkan pertimbangan dan menutupi telinga batin sehingga tidak mendengar kumandang suara Thian. Nah, karena itu ingatlah selalu, Sin Hong, bahwa musuh yang paling lihai di dunia adalah diri kita sendiri. Maka berhati-hatilah, karena musuh ini bekerja dengan halus, tidak peduli kau berada di mana, tiba-tiba saja ia akan menyerang tanpa dapat kau lihat atau dengar lebih dulu."
Sampai lama Sin Hong termenung untuk menangkap sari pelajaran dari ayah angkatnya ini. "Gihu, bagaimanakah kalau nafsu amarah timbul apabila kita melihat musuh besar kita? Bagaimana harus anak lakukan kalau ada orang telah menyakitkan hati kita?"
Lie Bu Tek diam-diam maklum ke mana maksud tujuan pertanyaan ini. Bocah ini memang mendendam sakit hati yang amat besarnya. Ayah bundanya dibunuh orang, kemudian semenjak kecilnya telah mengalami berbagai hal yang menimbulkan sakit hati. Peristiwa di Hoa-san-pai, terbunuhnya Liang Gi Tojin, terbuntungnya lengan tangan Lie Bu Tek sendiri, lalu perbuatan Liok Kong Ji sebagai siksaan yang diderita dan percobaan pembunuhan oleh orang-orang Im-yang-bu-pai, kemudian usaha pembunuhan yang dilakukan oleh Giok Seng Cu kepadanya, semua itu merupakan pengalaman pahit getir yang tentu telah melukai hati anak ini, yang dapat menimbulkan dendam dan sakit hati yang amat mendalam.
"Sin Hong, dendam dan sakit hati juga timbul dari nafsu, atau lebih tepatnya itu adalah nafsu yang berganti rupa. Oleh karena itu, kita jangan terseret olehnya dan kita harus lebih mendengarkan suara batin yang disaring oleh kesadaran dan pertimbangan. Menurutkan suara dendam dan sakit hati secara buta, sama halnya dengan menutup mata dan membiarkan kita terseret oleh seekor kuda liar. Bagiku, kalau ada balas membalas yang harus dilakukan, maka hanya budi kebaikan saja yang kita harus balas. Budi kebaikan yang sudah dilepas orang kepada kita, harus kita ingat selalu dan kita balas sedapat mungkin. Ada pun tentang sakit hati, kalau sekiranya kita yang disakiti orang dan hal itu sudah lampau, tiada gunanya kita balas dengan kejahatan pula."
Sin Hong nampak tidak puas. "Akan tetapi Gihu, apakah perbuatan manusia manusia jahat yang dilakukan kepada kita itu tidak harus kita balas? Apakah kejahatan mereka itu harus didiamkan saja? Kalau begitu akan tidak ada guna kita belajar ilmu kepandaian, Gihu."
Lie Bu Tek tersenyum, senyum ramah yang sekaligus mendinginkan otak Sin Hong yang panas. "Sin Hong. Nabi pernah berkata bahwa kebaikan harus kita balas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus ditindas dengan keadilan! Untuk menanggulangi kejahatan, tidak baik dipakai istilah membalas atau balas dendam. Kalau orang berbuat jahat kepada kita lalu kita balas, bukankah itu berarti bahwa kita pun ketularan dan menjadi jahat? Tidak, Sin Hong. Kita harus sadar dan kita harus mempergunakan keadilan. Sudah tentu kewajiban orang gagah adalah membasmi kejahatan, akan tetapi ingat perbuatan ini sama sekali lain artinya dengan pembalasan. Kalau kita membasmi seorang penjahat tak baik kalau kita lakukan dengan dasar bahwa orang itu merugikan atau menjahati kita akan tetapi kita lakukan dengan dasar bahwa orang itu berbahaya untuk umum dan bahwa membasmi orang itu akan berarti keamanan bagi umum. Sebaliknya kalau orang yang tadinya kita anggap jahat kemudian ternyata bahwa ia telah berubah baik dan telah sadar akan kesesatannya, kita tidak berhak membunuhnya."
Sin Hong mengerti akan isi dari pada pelajaran ini, namun ia masih bingung karena dalam mengajukan pertanyaan tadi, ia teringat akan musuh-musuhnya yang demikian banyaknya. "Gihu bagaimana pandangan Gihu tentang musuh?"
"Sin Hong yang punya musuh hanyalah negara. Bagi kita, tidak ada gunanya sama sekali. Thian melahirkan manusia- manusia untuk saling bekerja sama dan bersatu. Oleh karena itu, bagiku, seribu orang sahabat baik masih terlampau sedikit, sebaliknya, seorang musuh sudah terlampau banyak. Kalau kita berjuang membela negara kita memang sudah seharusnya membasmi musuh negara, bukan berdasarkan kebencian kita terhadap mereka sebagai manusia terhadap manusia, melainkan berdasarkan tugas suci kita sebagai pembela negara (patriot) terhadap musuh negara. Dengan selalu mengekang nafsu, segala perbuatan kita tidak ditunggangi oleh nafsu, melainkan perbuatan yang dilakukan penuh kesadaran dan perhitungan."
"Anak mulai mengerti dan terbuka mata anak oleh uraian Gihu. Akan tetapi, bagaimana aku harus bersikap terhadap seorang seperti Ba Mau Hoatsu yang telah membunuh Ayah Bundaku?"
"Ba Mau Hoatsu semenjak dahulu memang jahat. Entah berapa banyak manusia tidak berdosa yang menjadi korban kejahatannya. Kalau sampai sekarang dia tidak berubah dan masih jahat, jangankan dia membunuh Ayah Bundamu, biarpun tidak demikian, sudah menjadi kewajibanmu untuk membasmi dia demi menolong orang-orang lemah yang selalu menjadi korban."
"Bagaimana dengan Kong Ji manusia hianat itu, Gihu?"
Lie Bu Tek menarik napas panjang. "Anak itu di waktu kecilnya memang telah memperlihatkan watak yang luar biasa kejamnya. akan tetapi kita harus menaruh hati kasihan kepadanya. Kasihan bahwa sekecil itu ia telah tersesat. Memang kalau menurutkan nafsu hati, aku dan kau yang sudah menjadi korban kekejiannya di waktu kecil, sudah sepatutnya kalau kau membalasnya. Akan tetapi ini tidak tepat, berlawanan dengan kebajikan. Kalau kelak kau bertemu dengannya dan ia sudah menjadi pemuda dewasa yang baik dan berwatak gagah sudah dapat merubah wataknya yang buruk, tidak benarlah kalau kau masih menaruh dendam kepadanya. Kita harus menyediakan banyak maaf kepada mereka yang memang patut dimaafkan, dan boleh turun tangan kepada si jahat bukan untuk kepentingan diri pribadi atau menurutkan nafsu hati sendiri, melainkan untuk kepentingan umum."
Demikianlah, seringkali Sin Ho mendapat nasihat-nasihat dari Lie Bu Tek yang sudah banyak mengalami pahit-getir hidup. Sin Hong tahu akan kematangan pengalaman ayah angkatnya, karenanya ia selalu mencatat semua pesan gihunya ini di dalam hati. Tentu saja sebagai seorang pemuda yang memiliki kecerdikan dan pandangan luas, ia tidak menelan mentah-mentah semua nasihat ini, melainkan ia olah di dalam kepala dan ia pertimbangkan untuk diambil mana yang dirasa tepat dan dipertimbangkan kembali mana yang dirasa kurang cocok. Sesuai pula dengan pendapat Lie Bu Tek di antara semua tugas dan keharusan, ia merasa berhutang budi kepada Kiang Cun Eng ketua Hek-kin-kaipang.
"Budi kebaikan Kiang-pangcu terhatapmu itu harus selalu kau ingat di dalam hatimu, Sin Hong. Kewajibanmulah untuk mencari dia dan untuk membelanya seperti kau membela orang tuamu sendiri," demikian Lie Bu Tek sering kali berkata.
Setelah lima tahun bersembunyi di tempat itu dan Sin Hong merasa bahwa pelajarannya sudah tamat, anak dan ayah angkat ini lalu keluar dari tempat tersembunyi itu dan turun gunung. Tugas pertama yang mereka lakukan adalah mencari keterangan tentang Hek-kin-kaipang dan mencari tahu di mana tinggalnya Kiang Cun Eng. Amat mudah mencari Hek-kin-kaipang oleh karena kumpulan ini mempunyai anak buah banyak tempat. Dan Lie Bu Tek sudah terkenal baik oleh para pengemis Hek kin-kaipang, maka ketika ia berjumpa dengan mereka diberi tahu bahwa tak lama lagi akan diadakan pemilihan ketua baru. Karena Bi-nam-bun masih amat jauh, kedua orang ini cepat-cepat melakukan perjalanan ke tempat itu agar jangan sampai terlambat menyaksikan pemilihan ketua baru.
Akan tetapi, betapapun pandai mereka mempergunakan ilmu berlari cepat karena jarak antara Luliang-san dan Bi nam-bun masih dua ribu li lebih, mereka terlambat juga. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, mereka datang pada saat Giok Seng Cu mengejar-ngejar Gak Soan Li. Setelah dekat dengan Bi-nam-bun dan mendapat kenyataan bahwa mereka datang tepat pada hari diadakannya pemilihan ketua Hek-kin-kaipang, Sin Hong menjadi tidak sabar. Atas perkenan Lie Bu Tek, ia lalu mengerahkan kepandalanya dan sebentar saja ia telah meningalkan Lie Bu Tek sampai jauh.
Memang, dibandingkan dengan dulu, Lie Bu Tek sudah mendapat kemajuan luar biasa. Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan Wan Sin Hong, dalam segala bidang ilmu silat masih kalah jauh sekali. Tubuh Wan Sin Hong berkelebat cepat dan sebentar saja Lie Bu Tek sudah tak melihat bayangannya lagi. Pendekar yang buntung lengannya ini menarik napas panjang dan bibirnya bergerak-gerak mendoa.
"Sin Hong telah memiliki kepandaian yang luar biasa. ia telah menjadi seorang sakti, kiranya lebih hebat danipada Ciang Le. Semoga ia tidak akan tersesat dan dapat tetap mengikuti jalan kebenaran,"
Demikianlah mengapa Sin Hong dapat bertemu dengan Giok Seng Cu yang sedang menghajar Soan Li dan dengan kepandaiannya yang istimewa Sin Hong berhasil mengalahkan Giok Seng Cu bahkan membikin kakek itu menjadi jerih dan lari ketakutan! Sin Hong tidak tahu bahwa kakek itu adalah Giok Seng Cu yang dulu melemparnya ke dalam jurang. Ia hanya menduga bahwa kakek itu seorang jahat yang hendak membunuh gadis itu, maka ia turun tangan dan hanya mengusir kakek itu. Ia belum tahu akan duduknya perkara mengapa kakek itu hendak membunuh Soan Li, maka ia tidak berani berlaku lancang membunuh kakek tadi.
Ketika kakek itu pertama kali memukul, ia mengerahkan tenaga dan hawa sinkang tubuhnya membuat dadanya menjadi lunak dan lemas. Tenaga "Im" yang amat kuat telah menghisap pukulan Tin-san-kang sehingga biarpun tenaga pukulan itu membuat tubuhnya terlempar jauh namun ia tidak terluka sedikitpun. Sin Hong juga terkejut sekali menyaksikan tenaga pukulan yang demikian dahsyat dan ganasnya. Ketika tubuhnya terlempar, cepat mempergunakan ginkang, berpoksai (berjungkir balik) di udara dan meluncur cepat kembali menghadapi Giok Seng Cu.
"Kakek ini ganas sekali," pikirnya, “begitu bertemu telah tega memukulku dengan tenaga yang dapat mematikan siapa saja yang terpukul." Oleh karena itu, ketika kakek itu memukul dadanya untuk kedua kalinya, ia sengaja mengerahkan tenaga "Yang" dan hawa sinkangnya yang sudah kuat sekali itu ternyata dengan mudah dapat menahan tenaga Tin-san-kang lawan, bahkan dapat mengembalikan tenaga pukulan itu kepada si pemukul sendiri!
Setelah melihat kakek itu terluka oleh pukulannya sendiri, Sin Hong menengok ke arah Soan Li. Pemuda ini setelah mewarisi kepandaian dari kitab pegobatan dari Kwa Siucai, sekali pandang saja tahulah ia bahwa gadis yang duduk setengah ptngsan itu menderita luka hebat. Cepat ia berlutut dan dengan halus ia menolak tubuh Soan Lt sehingga gadis itu berbaring terlentang. Sin Hong memeriksa urat nadi, tahu bahwa gadis ini mendenta tulang patah di kedua paha.
Cepat ia menotok jalan darah di punggung nona itu untuk mematikan rasa sakit pada kedua paha kemudian dengan mengurut belakang leher, nona itu siuman kembali dari pingsannya dan mengeluarkan suara keluhan. Begitu ia membuka kedua matanya dan melihat seorang pemuda berjongkok di dekatnya, pemuda yang tersenyum dan memiliki mata seperti bintang, dengan gerakan otomatis Soan Li menggerakkan tubuh dan biarpun kedua kakinya sudah Iumpuh akan tetapi kedua tangannya masih dapat melakukan pukulan dahsyat ke arah dada Sin Hong.
Sin Hong cepat berseru, "Eh, jangan pukul, Nona. Aku hanya bermaksud menolong!" Sambil berkata demikian, ia memasang tenaga sinkang ke arah dada.
Kepalan tangan Soan Li yang hampir mengenai dada itu ditahan oleh gadis ini setelah ia mendengar seruan Sin Hong akan tetapi ia hanya dapat mengurangi tenaga saja, sudah tidak keburu menarik pulang tangannya. Kepalan tangannya sudah menyentuh pakaian, akan tetapi tiba-tiba kepalan tangan itu menyeleweng dan tidak mengenai dada orang yang dipukul. Soan Li terheran-heran, akan tetapi ia hanya mengira bahwa tenaganya yang sudah habis setelah menderita luka oleh Giok Seng Cu. ia sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda yang bersahaja dan seperti seorang pemuda dusun itu memiliki kepandaian.
Muka gadis itu menjadi merah sekali. “Maaf, aku sungguh bodoh dan tak kenal budi. Di mana Giok Seng Cu?"
Sin Hong terkejut mendengar nama ini, akan tetapi ia dapat menguasai perasaannya sehingga pada mukanya ia tidak tampak perubahan sesuatu. ia memang tidak menyangka bahwa kakek tadi adalah Giok Seng Cu. "Giok Seng Cu?" tanyanya perlahan.
"Ya, manusia siluman yang tadi hampir membunuhku. Di mana dia?" Sin Hong menengok ke arah kakek tadi melarikan diri. Ia merasa kecewa sekali mengapa tadi ia membiarkan kakek itu lari. Kalau ia tahu bahwa kakek tadi adalah Giok Seng Cu, tentu ia takkan membiarkan musuh besar itu melarikan diri. Ia telah mendapatkan alasan kuat untuk menewaskan Giok Seng Cu, yakni karena kakek itu tadi hendak membunuh gadis ini.
"Kakek yang buruk rupa tadi?" katanya menjawab pertanyaan gadis cantik ini. "Dia telah melarikan diri"
Soan Li memandang dengan heran "Tidak bohongkah kau, sobat?"
"Bohong?' Aku...? Mengapa harus bohong?" Sin Hong memandang dengan sinar mata tajam.
Ditatap sedemikian rupa oleh pemuda yang bermata bintang ini, tiba-tiba Soan Li menundukkan mukanya. Ada sesuatu memancar keluar dari sepasang mata itu yang membuat gadis ini berdebar hatinya. "Maaf, bukan maksudku menghinamu. Akan tetapi orang macam Giok Seng Cu kiranya takkan melarikan diri dengan mudah. Dia amat terlampau lihai untukku. Bagaimana dia bisa melarikan diri? Siapa yang membikin dia lari?"
Sin Hong mengangkat pundak. "Entahlah, mungkin ia takut dan menyesal akan perbuatannya sendiri setelah kau pingsan, Nona, dan ia melarikan diri melihat aku datang. Tentu ia takut kalau-kalau perbuatannya dilihat oleh orang lain." Keterangan yang sederhana ini terdengar lucu oleh Soan Li sehingga ia tersenyum. Sin Hong memandang kagum. Bagaimana dalam keadaan terluka hebat gadis ini masih dapat tersenyum?
"Sobat, kau benar-benar belum tahu apa adanya kakek siluman tadi," kata Soan Li sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Manusia macam dia mana kenal rasa menyesal atas perbuatan sendiri dan kenal takut? Membunuh manusia baginya seperti membunuh semut saja."
"Hebat..." Sin Hong memperlihatkan muka ketakutan.
Soan Li menarik napas panjang. "Kau benar-benar tidak mengenal dunia kang-ouw, sobat. Alangkah bahagianya menjadi seorang seperti engkau. Tak usah mengenal segala orang jahat, tak usah berurusun dengan segala kecurangan dan kekerasan, hidup bertani dan musuhmu hanya sawah ladang dan tanah subur. Kau tentu seorang petani, bukan? Bolehkah aku mengetahui namamu?'
Warna merah menjalar ke pipi Sin Hong. Diam-diam ia menjadi geli, akan tetapi ia tidak ingin memperkenalkan diri, maka ia mengangguk dan menjawab lirih, "Aku seorang bodoh, aku... namaku dipanggil orang Gong Lam (Pemuda Tolol)."
Soan Li mengerutkan alisnya yang berbentuk indah. "Ah, terlalu sekali orang yang menyebutmu demikian. Wajahmu sama sekali tidak kelihatan tolol."
"Memang aku tolol."
"Betul-betulkah kau tidak bisa apa-apa?"
Sin Hong menggeleng kepala dengan diam-diam ia kagum sekali melihat betapa gadis yang sudah patah kedua tulang pahanya ini dengan segala kekerasan hati melupakan rasa sakitnya. ia maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang gadis yang memillki kekuatan batin dan daya tahan yang luar biasa.
"Sayang," kata Soan Li, "kalau begitu kau tentu tidak bisa menolongku. Aku... aku terluka hebat dan tentu akan tewas di tempat ini kalau tidak ada yang menolongku. Sedikitnya kau tentu bisa mencarikan orang lain yang dapat menolong bukan? Misalnya membawaku ke sebuah kota terdekat agar aku dapat berobat."
"Kau kenapakah?"
"Kedua tulang pahaku remuk..." Mau tidak mau biarpun ia sudah mengeraskan hatinya suara Soan Li agak gemetar ketika ia mengucapkan kata-kata ini. Gadis mana yang takkan hancur hatinya mengingat bahwa kedua tulang pahanya telah remuk dan mungkin sekali selama hidupnya ia akan menjadi seorang gadis lumpuh.
"Aku akan mengobatinya, Nona."
Soan Li menggerakkan kepalanya cepat sekali. Ia memandang dengan mata tajam bersinar, menatap muka yang tampan itu sampai lama. Akan tetapi ia melihat muka itu tetap tenang dan sederhana dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa pemuda itu main-main atau berotak miring.
"Gong Lam-ko... kau tidak main-mainkah?"
Sin Hong dalam hatinya tersenyum merasa lucu mendengar panggilan itu. Gadis ini menyebutnya Gong Lam-ko (Kakak Gong Lam), tentu hanya untuk menyatakan hormat sebagaimana layaknya seorang gadis yang tahu adat.
"Siapa berani main-main terhadapmu Nona? Ketahuilah, aku... aku sudah semenjak kecil mempelajari kepandaian menyambung tulang patah. Ini perlu sekali. Banyak kaki kerbau di dusun patah kakinya dan kalau seorang dusun tidak pandai menyambung tulang kerbau yang patah, ia akan menderita rugi besar...