Pedang Penakluk Iblis Jilid 20
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali terjadi hal lain yang lebih menghebohkan. Ketika itu Su-taijin, pembesar berpangkat tikoan dikota itu, sedang duduk di ruang belakang dekat kebun kembang dihadap oleh Teng Sian seorang kepala tukang pukulnya yang berpakaian seperti guru silat. Kalau orang melihat Su-taijin pasti ia takkan mengira bahwa pembesar ini seorang mata keranjang dan jahat.
Orangnya sudah setengah tua, sikapnya halus, pendeknya sikap seorang terpelajar. Akan tetapi siapa kira, di balik dari segala kesopanan dan kehalusan itu tersembunyi watak yang gila harta gila pangkat, dan mata keranjang! Entah sudah berapa banyak orang yang menderita karena perbuatan Tikoan ini.
"Teng-kauwsu, bagaimana jawaban Kwee-wangwe?" terdengar pembesar itu bertanya kepada jagoannya yang baru saja datang melakukan tugas.
"Kwee-wangwe minta waktu sepekan untuk berpikir-pikir, Taijin," jawab jagoan itu.
Su-taijin mengangguk-angguk. "Hmm, kuharap saja ia tidak keras kepala. Beri waktu tiga hari kalau tidak meluluskan permintaanku, kau tangkap saja ia sekeluarga dengan tuduhan bersekongkol dengan penjahat Wan Sin Hong!"
"Baik, Taijin," jawab Teng Sian. "Memang Lee-wangwe sudah berpesan agar cepat-cepat membereskan urusan ini."
Apakah yang sedang mereka bicarakan? Tak lain adalah permintaan hartawan Lee yang menaruh hati kepada puteri keluarga Kwee yang kaya pula hingga ia tidak dapat mempergunakan hartanya untuk mendapatkan gadis yang diidamkan itu. Kini setelah muncul penjahat Wan Sin Hong, hartawan Lee mendatangi tikoan dan mereka merencanakan akal bulus untuk memfitnah keluarga Kwee kalau saja Nona Kwee tidak diberikan kepada Lee-wangwe untuk menjadi bini mudanya.
Memang pada saat muncul penjahat besar yang melakukan pembunuhan dan pencurian besar, tikoan sebagai pembesar setempat dengan mudah sekali menangkap siapa saja dengan alasan bercurigai atau menuduh orang itu bersekongkol dengan penjahat yang membunuh tihu dan mencuri. Kwee-wangwe menerima lamaran Lee wangwe yang sudah setengah tua, maklum pula akan bahayanya lamaran ini, apalagi karena yang menjadi "jembatan" adalah tikoan sendiri. Dalam bingungnya ia minta waktu sepekan untuk berpikir, atau lebih tepat untuk mencari jalan keluar daripada bencana yang mengancam itu.
"Memang betul, urusan ini harus cepat dibereskan," kata pula Su-taijin, sambil mengelus-elus jenggotnya. "Dengan menangkap Kwee-wangwe, sekali pukul kita dapat membunuh tiga lalat. Pertama kita dapat menyerahkan Kwee-siocia yang jelita itu kepada Lee-wangwe, ke dua kita dapat menyita harta bendanya, dan ketiga kita dapat melaporkan ke kota raja, bahwa biarpun kita belum berhasil menangkap Wan Sin Hong, namun kita sudah berhasil menangkap sahabatnya di mana penjahat itu bermalam, yakni keluarga Kwee!"
Dua orang itu bergembira membayangkan hasil yang mereka akan dapat dari siasat keji ini, tidak tahu bahwa semenjak tadi, di atas genteng mendekam tubuh seorang yang mendengarkan percakapan mereka.
"Tikoan bangsat tak tahu malu" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tubuh yang langsing padat melayang turun dari atas genteng, tepat di atas lantai di tengah-tengah antara Su-taijin dan Teng-kauwsu.
Dua orang itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba melihat seorang gadis cantik jelita dan membawa pedang tergantung di pinggang tahu-tahu telah berdiri di situ. Gadis ini bukan lain adalah Go Hui Lian yang baru kembali dari rumah gedung Lee-wangwe. Setelah berhasil membuntungi sepasang daun telinga hartawan busuk itu. Dari rumah hartawan itu ia langsung mendatangi rumah tikoan.
Su-taijin sudah seringkali menghadapi para penjahat kejam yang tertangkap dan diadili, maka sebetulnya ia sudah tabah sekali berhadapan dengan segala macam orang kasar. Akan tetapi sekarang ia duduk bengong bagaikan patung, bukan karena kaget dan takut melainkan saking kagumnya melihat seorang gadis yang cantik ini, dan yang turun dari atas seperti seorang bidadari baru turun dari kahyangan.
Juga Teng Sian untuk beberapa detik duduk melongo. Guru silat atau jagoan tangan kanan Su-taijin ini' lain lagi. Ia melongo saking heran dan kagetnya, karena sebagai seorang ahli silat tahulah dia bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli yang ulung, sehingga suara kakinya ketika berada di atas genteng tak dapat didengar sama sekali. Akan tetapi di lain saat ia telah melompat berdiri dan sekali menyambar ke dekat tembok, ia telah memegang toyanya yang tadi disandarkan di tembok.
"Penjahat wanita dari manakah berani main gila di rumah pembesar?" bentaknya sambil melompat maju mengancam Hui Lian.
Hui Lian membalikkan tubuh dan memandang kepada guru silat itu dengan senyum sindir. "Aduh gagahnya tukang pukul ini. Ke mana kau bersembunyi ketika muncul penjahat yang niengacau kota> Bagus betul, ada penjahat muncul mengganggu kota, tikoan dan jagoannya bukannya berusaha menangkap penjahat, bahkan menambah kekacauan hendak memfitnah orang baik-baik. Kalian harus diberi tahu rasa sedikit!"
Cepat sekali tubuh Hui Lian bergerak dan di lain saat terdengar suara gaduh ketika toya di tangan Teng-kauwsu terlepas dari tangan sedangkan guru silat itu sendiri terlempar jauh sampai tiga tombak dan roboh pingsan dengan tulang pundak dan lulang kaki patah! Hui Lian telah memukul dan menendang sekaligus sehingga guru silat itu roboh pingsan sebelum ia tahu bagaimana nona jelita itu bergerak.
"Tolong...! Tangkap penjahat!" Tikoan itu berteriak-teriak ketakutan. Baru sekarang ia benar-benar merasa takut ketika melihat betapa mudah gadis itu merobohkan orang kepercayaannya.
Akan tetapi, sebelum ia sempat lari dan sebelum para penjaga yang berlari-lari datang di tempat itu, Hui Lian sudah mencahut pedangnya dan dua kali pedang berkelebat, tikoan itu kehilangan lengan kiri dan ujung hidungnya. Pembesar itu menjerit-jerit seperti babi disembelih, lari ke sana ke mari saking perih dan sakitnya, kemudian roboh setelah menumbuk dinding. Belasan orang penjaga datang dengan golok di tangan. Bagaikan sekawanan anjing galak mereka ini mengepung dan menyerang Hui Lian.
"Kalian anjing-anjing jahat berkedok penjaga keamanan, harus dihajar semua!” dara perkasa itu membentak marah, tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedangnya yang berkelebatan.
Bukan main hebatnya sepak terjang Hui Lian ini. Di sana-sini terdengar jerit dan pekik kesakitan. Pedang dan golok beterbangan ke kanan kiri dan tubuh para pengeroyok terlempar dan saling bertumbukan. Baiknya dara perkasa ini masih mengingat kasihan, mengingat bahwa para pengeroyok ini hanyalah kaki-tangan atau alat belaka. Oleh karena itu, ia tidak tega untuk berlaku kejam dan hanya merobohkan mereka seorang demi seorang dengan luka ringan saja. Namun ini sudah cukup untuk membuat semua orang menjadi jerih dan sebagian pula mundur teratur. Tiba-tiba Hui Lian mendengar suara datang tanpa melihat orangnya.
"Cukup, Lihiap cukup. Tak baik menghina alat pemerintah. Lebih baik pergunakan kepandaian untuk mencari penjahat besar Wan Sin Hong!"
Hui Lian terkejut sekali. Cepat ia melompat keluar dari tempat itu dan di antara teriakan orang-orang Su-taijin, Hui Lian menghilang. Gadis ini menoleh kesana ke mari, mencari orang yang tadi mengeluarkan suara mencegahnya melanjutkan amukannya. Sebagai seorang ahli silat tinggi, maklumlah Hui Lian bahwa yang tadi menegurnya adalah seorang ahli lweekeh yang pandai mempergunakan Ilmu Coan-im-jap-bit, yakni ilmu mengirim suara dari jauh yang hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli silat tinggi yang memiliki tenaga lweekang tingkat tinggi. Akan tetapi, ke manapun ia mencari dengan pandang matanya, ia tidak melihat adanya orang yang kiranya melakukan hal tadi dan hanya bertemu dengan Can-piauwsu. Pendekar ini merasa gembira dan berterima kasih melihat hasil sepak terjang Hui Lian.
"Lihiap, kau patut sekali menjadi puteri Hwa I Enghiong! Mudah-mudahan saja dengan usahamu yang amat gagah ini keadaan kotaku akan menjadi aman dan tenteram," kata piauwsu itu sambil menjura.
Hui Lian tersenyum. "Aku hanya membantumu, Can-piauwsu. Kalau kotamu menjadi aman dan tenteram, itu sepenuhnya adalah karena jasamu yang besar bagi kota ini."
Oleh karena semua kaki tangan Su-tikoan sudah melihatnya, Hui Lian tidak mau lama-lama tinggal di kota itu agar jangan menimbulkan keributan lain. Pada keesokan harinya ia meninggalkan kota Ceng-sin-kwan, menuju ke kota Tiang-si, kurang lebih tiga puluh lima li dari Cengsin -kwan. Ia sengaja menyimpang dari perjalanannya pulang dan ingin ke Tiang si karena dari Can-piauwsu ia mendengar bahwa sehari setelah Ceng-sin-kwan kacau oleh Wan Sin Hong, kota Tiang-si mendapat gilirannya. Penjahat yang mengaku bernama Wan Sin Hong itu telah mengacau pula di Tiang-si, melakukan perbuatan terkutuk.
"Aku harus berusaha mencari dan menangkapnya," kata Hui Lian di dalam hatinya dan ia menjadi makin panas kalau teringat akan kata-kata orang yang tidak menampakkan diri ketika ia dikeroyok oleh anak buah tikoan.
Perjalanan ke Tiang-si ia lakukan secepatnya. Kurang lebih sepuluh li dari Ceng-sin-kwan, Hui Lian memasuki sebuah kampung dan perutnya tiba-tiba menjadi lapar sekali ketika mencium asap masakan yang amat sedap yang keluar dari sebuah rumah makan dalam dusun itu. Ketika Hui Lian tiba di ambang pintu rumah makan, seorang pelayan tua dengan kain lap putih bersih tergantung di pundaknya menyambutnya dengan ramah-tamah.
"Ah, Lihiap telah datang! Silakan duduk di meja terbesar."
Tadinya Hui Lian terkejut, akan tetapi melihat muka yang ramah itu, ia mengira bahwa memang sudah menjadi kebiasaan pelayan ini untuk berlaku ramah dan bersikap seakan-akan telah mengenal setiap pengunjung rumah makan. Juga tidak mengherankan kalau pelayan menyebutnya "lihiap" karena memang Hui Lian tidak menyembunyikan pedang yang digantung di pinggang. Dengan tenang ia lalu mengambil tempat duduk.
"Keluarkan nasi dan masakan yang asapnya tercium olehku sekarang ini,” katanya.
Pelayan itu tertawa, kelihatan giginya yang ompong sebelah kanan. "Ha, Siocia tidak beda dengan yang lain. Memang masakan bebek panggang di restoran kami amat terkenal. Biarpun restoran kecil dan di dusun kecil pula, namun para bangsawan dan hartawan dari kota Ceng-sin-kwan dan Tiang-si sudah mengenaI bebek panggang kami. Dua hari yang lalu rombongan orang-orang gagah yang tampan dan cantik yang amat royal dengan hadiahnya juga telah menghabiskan lima ekor bebek panggang!"
Hui Lian merasa jemu juga mendengar pelayan yang suka bicara ini. "Cukup, lekas kau keluarkan masakan itu, aku sudah lapar!" katanya.
Pelayan itu mengangguk-angguk dan mengundurkan diri. Memang tentang kelezatan masakan bebek panggang tidak terlalu dilebih-lebihkan oleh pelayan tadi. Harus diakui oleh Hui Lian bahwa jarang ia makan bebek panggang seenak itu, empuk gurih dan sedap. Setelah selesai makan, ia berdiri dan memanggil pelayan tadi hendak membayar. Akan tetapi alangkah herannya ketika pelayan itu menggeleng kepala dan menggoyang kedua tangan sambil berkata.
"Sudah dibayar... sudah dibayar, bahkan hadiahnya juga sudah cukup banyak, harap Lihiap jangan membikin hamba sungkan dan malu."
"Siapa yang membayar? jangan kau main main, Lopek!"
"Siapa berani main-main, Lihiap? Memang sudah dibayar pagi tadi, oleh seoang hwesio tinggi besar dan lucu. Dia meninggalkan uang dan berkata bahwa uang itu untuk membayar semua makanan yang dimakan oleh seorang dara perkasa!"
"Ah, aku tidak mengenal segala macam hwesio. Mungkin yang dimaksudkan bukan aku." Hui Lian membantah.
"Tidak bisa salah, Losuhu itu sudah menerangkan tentang wajah dan pakaianmu, juga pedang yang tergantung di pinggangmu. Mana kami bisa salah dan demikian sembrono? Harap Lihiap sudi membebaskan kami daripada keadaan tidak enak. Kalau Lihiap membayar, tentu kami akan mendapat marah besar dari hwesio itu. Kalau sampai di marah, waah, celakalah kami."
"Galakkah dia?" Hui Lian tertarik.
"Galak? Bukan main! Baru saja dia makan, datang dua orang pemimpin barisan pengawal tikoan. Losuhu itu tanpa banyak cakap lalu menendang meja di depan dua orang menjambak rambut dan mengadu kepala mereka sampai keduanya roboh pingsan beberapa jam lamanya."
Hui Lian makin terheran. "Bagaimana macam hwesio itu? Membawa apa dan siapa namanya?"
"Entahlah, namanya kami tidak tahu. Tak seorang pun di antara kami mendengar ia menyebut namanya. Ia bertubuh tinggi besar, pakaiannya lebar, mukanya putih dan di punggungnya tergantung sebatang penggada pendek dan besar mengerikan sekali. Ia menghabiskan arak tiga guci besar kemudian setelah merobohkan dua orang komandan itu, ia berpesan untuk membayarkan uang yang ia tinggalkan untuk makanmu, Lihiap. Kemudian ia masih berpesan lagi bahwa Lihiap sebaiknya melanjutkan perjalanan ke Tiang-si secepatnya. kemudian seperti mengigau hwesio itu berkata berulang-ulang bahwa ia pun hendak mencari orang she Wan."
Mendengar ini, Hui Lian cepat melangkah keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Ketika pelayan itu mengejar keluar untuk melihat, gadis itu telah lenyap dari situ. Pelayan itu memutar matanya sampai menjuling, menggaruk-garuk belakang kepala, lalu mengomel seorang diri.
"Banyak iblis dan siluman sekarang ini! Iblis dan siluman muncul di pagi hari. Kemudian ia menggeleng kepalanya dan memasuki restoran lagi.
Sementara Itu, Hui Lian mempergunakan ilmu lari cepat menuju ke Tiang-si. Ia tidak meragukan lagi bahwa orang yang telah menegurnya ketika ia dikeroyok oleh orang-orang tikoan, adalah orang yang kini membayar makanannya pula. Seorang hwesio tinggi besar. Siapakah gerangan dia? Akan tetapi diam-dam ia selain penasaran melihat orang itu tidak secara langsung menghubunginya, juga merasa heran mengapa orang itu seakan-akan mengajaknya mengejar dan menangkap penjahat yang bernama Wan Sin Hong.
Ilmu lari cepat yang dipergunakan oleh Hui Lian adalah lari cepat Liok-te-hui-teng (Terbang di Atas Bumi) ajaran ayahnya, maka cepatnya bukan main. Bagi pandang mata seorang yang bukan ahli silat tinggi, tentu yang tampak hanya berkelebatnya bayangan belaka. Oleh karena itu, tak lama kemudian ia sudah tiba di luar tembok kota Tiang-si.
Tiba-tiba Hui Lian melihat bayangan orang berlari cepat di sebelah depan. Yang berlari-lari itu adalah seorang hwesio tinggi besar, dan berdebarlah hati Hui Lian ketika melihat hwesio tinggi besar itu membawa sebuah senjata seperti penggada pendek yang dipanggul di atas pundaknya. Melihat cara hwesio itu berlari sebelah tangan memanggul penggada dan sebelah lagi dipentang dan digerak-gerakkan ke atas dan ke bawah, kembali Hui Lian terkejut karena ia mengenal gerakan tangan itu sebagai ilmu lari cepat Hui-eng-coan-in (Garuda Terbang Menembus Mega), semacam ilmu lari cepat yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah mempunyai ginkang tingkat tinggi.
Akan tetapi Hui Lian bukan puteri tunggal Hwa I Enghiong kalau ia tidak dapat mengejar hwesio itu. Dengan ilmu lari cepatnya yang jarang tandingannya, Hui Lian mengerahkan tenaganya dan sebentar saja ia dapat mengimbangi kecepatan hwesio itu. Setelah mereka berlari sampai di tembok kota Tiang-si, Hui Lian mehhat hwesio itu mendahului seorang laki-laki yang berjalan seenaknya kemudian tanpa mengeluarkan kata-kata sesuatu, hwesio itu membalikkan tubuh dan memandang kepada pemuda itu dengan penuh perhatian, setelah itu menggerakkan penggadanya yang besar dan berat itu menghantam kepada orang itu.
Hampir saja Hui Lion mengeluarkan suara teriakan kaget ketika ia melihat bahwa yang diserang oleh hwesio tinggi besar itu adalah seorang pemuda yang kelihatan lemah sederhana, berwajah tampan sekali dan bersikap tenang. Celaka, pikir gadis ini, pukulan hwesio demikian lihainya, pemuda itu tentu akan roboh dengan kepala pecah!
Sementara itu, pemuda yang tiba-tiba diserang oleh hwesio tinggi besar itu terdengar berseru, "Toa-suhu, kenapa kau datang-datang memukul orang"
Akan tetapi tanpa menjawab hwesio tinggi besar itu menyerang terus dengan hebatnya. Penggadanya yang berat bagaikan seekor biruang menubruk dengan cepat dan dahsyat. Pemuda itu dengan gerakan lambat mengelak ke sana ke mari. Hui Lian kaget sekali melihat serangan-serangan yang amat dahsyat itu! Ia maklum bahwa kepandaian hwesio itu lihai dan bahwa setiap pukulan yang dilakukan apabila mengenai tubuh pemuda itu tentu akan merenggut nyawanya.
Timbul hati tak senang dalam dada Hui Lian melihat peristiwa itu, tidak senang terhadap Si Hwesio. Melihat seorang pemuda yang kelihatan lemah, datang-datang diserang mati-matian oleh hwesio itu tanpa diketahui atau diselidiki dulu kesalahannya, Jiwa ksatria dalam dada Hui Lian memberontak. Siapa pun adanya hwesio itu, baik dia orangnya yang selama ini secara rahasia menghubungiku atau bukan, perbuatannya yang sekarang ini menyatakan bahwa dia bukan seorang baik-baik, pikir Hui Lian. Ia mencabut pedang dan sekali berkelebat tubuhnya telah melayang ke tempat perpuran.
Hwesio tua, jangan kau berlaku kejam curang...!" bentaknya dan di lain saat terdengar suara berdentang yang amat nyaring ketika pedang Hui Lian bertemu dengan penggada di tangan hwesio itu. Hui Lian terkejut sekali. Pertemuan senjata itu membuat telapak tangannya terasa tergetar dan hampir saja pedangnya terlepas dori pegangan kalau saja ia tidak lekas mengatur tenaganya.
Sementara itu, pemuda yang tadi diserang bertubi-tubi oleh hwesio tinggi besar, kini berdiri bagaikan patung hidup, memandang kepada Hui Lian dengan mata terbuka lebar-lebar penuh kekaguman. "Nona, jangan menghalangi pinceng. Kau bahkan harus membantu pinceng menangkapnya. Dialah penjahat besar Wan Sin Hong" kata hwesio itu sambil bergerak maju menyerang lagi mengirim serangan dengan tendangan kaki kanan yang dilakukan amat cepat dan kuatnya. Akan tetapi pemuda tampan itu dengan amat mudah menggerakkan kaki dan tendangan itu mengenai tempat kosong.
Muka Hui Lian menjadi merah karena jengah ketika tadi ia menengok, ia melihat pandang mata pemuda itu. Entah mengapa sudah biasa baginya melihat pandang mata ditujukan kepadanya dengan sinar kekaguman, akan tetapi baru kali ini pandang mata seorang pemuda membuat ia bermerah muka, jengah dan berdebar. Kemudian rasa jengah terganti oleh rasa kaget dan kagum lihat cara pemuda itu menggerakkan kaki untuk mengelak dari tendangan lawan. Tak salah lagi itulah gerakan Sha-gak jiauw-po (Langkah Segi Tiga) yang kadang-kadang dipergunakan dalam Ilmu Silat Pak-kek-sin-ciang!
"Nona, bukankah dari Ceng-sin-kwan kau sengaja datang ke sini hendak membasmi penjahat Wan Sin Hong? Nah, ini dia orangnya! Tidak lekas turun tangan mau tunggu kapan lagi?" Kembali hwesio tinggi besar itu berseru sambil mempercepat gerakan penggadanya. Lagi lagi pemuda itu mengelak tanpa memandang pada lawannya karena sepasang matanya masih saja menatap wajah Hui Lian.
"Go-lihiap, lekas turun tangan! Ayahmu Hwa I Enghiong tentu akan marah kalau melihat keraguanmu ini!" kembali hesio tinggi besar itu berkata keras untuk melanjutkan serangannya. Sebetulnya, hwesio ini sengaja menyebut-nyebut nama ayah Hui Lian dengan maksud tertentu. Ketika sampai hampir sepuluh kali penggadanya selalu mengenai angin, ia sudah terkejut sekali dan maklum bahwa pemuda yang diserangnya itu benar-benar seorang berkepandaian tinggi.
Oleh karena itu, ia sengaja menyebut nama Hwa I Enghiong untuk menakut-nakuti lawannya. Sadarlah Hui Lian dari lamunannya. Ia cepat menggerakkan pedang yang ditusukkan ke arah tenggorokan pemuda itu. Pemuda itu mengeluarkan suara mengeluh kecewa dan berduka, kemudian sekali ia berkelebat, Hui Lian dan hwesio itu hanya berdiri melongo karena gerakan pemuda itu bukan main cepatnya seperti terbang saja. Hanya suara pemuda itu yang terdengar jelas sebelum lenyap dari pandangan mata.
"Semua orang membenci Wan Sin Hong. Baiklah. Wan Sin Hong akan lenyap, kalau masih ada Wan Sin Hong dia itu palsu!"
Hui Lian dan hwesto itu saling pandang dengan bengong. Baik Hui Lian maupun hwesio yang lihai itu sendiri, baru kali ini menghadapi seorang pemuda yang demikian aneh dan luar biasa kepandaiannya. Tidak saja pemuda itu dengan tangan kosong dapat menghadapi penggada hwesio itu sampai beberapa jurus, juga pemuda itu dalam kepungan hwesto dan Hui Lian dapat melarikan diri sedemikian mudahnya. Padahal menilik kepandaian, hwesio itu agaknya memiliki kepandaian yang tidak kalah oleh Hui Lian, dan kiranya tidak sembarang orang yang akan sanggup melarikan diri dari kepungan dua orang ini.
"Hebat, hebat...! Kalau tidak menyaksikan sendiri, pinceng tidak akan dapat percaya ada seorang muda berkepandaian sedemikian tinggi. Benar-benar penjahat muda itu berbahaya sekali, seorang iblis yang akan menggemparkan dunia kang-ouw...! Nona Go, kali ini Ayah Bundamu harus turun tangan, kalau tidak, pinceng khawatir takkan ada orang lain yang sanggup menandingi penjahat muda Wan Sin Hong itu."
"Lo-suhu siapakah? Bagaimana bisa tahu bahwa aku adalah puteri Hwa l Enghiong?"
Hwesio tinggi besar itu menyeringai. Memang hwesio ini semenjak tadi mukanya seperti orang gembira selalu hingga nampaknya lucu, "Go-lihiap, kau memang mengagumkan, masih muda sudah berkepandaian tinggi. Akan tetapi, agaknya usiamu yang amat muda itulah yang membuat kau agak sembrono. Apakah sukarnya mengenalmu setelah kau bicara dengan piauwsu itu dan kau mengamuk di kota Ceng-sin-wan? Nama pinceng tidak ada orang kenal, bahkan ayah bundamu sendiri kiranya belum pernah mendengar namaku. Pinceng selamanya bertapa di dalam kelenteng dan tidak mau mencampuri urusan dunia. Sekarang ini karena nama Wan Sin Hong menggetarkan dunia menembus dinding kamarku, terpaksa pinceng keluar untuk berusaha menangkapnya. Telah beberapa hari pinceng mengikuti jejaknya akan tetapi melihat gerak-geriknya yang menyatakan bahwa Wan Sin Hong tak boleh dibuat sembarangan, pinceng menanti saat baik. Kebetulan di Ceng-sin-kwan pinceng melihatmu, maka setelah mendapat bantuanmu barulah pinceng turun tangan. Akan tetapi... ternyata tetap saja sia-sia. Wan Sin Hong manusia iblis yang sukar dilawan."
"Betapapun juga, kuharap Lo suhu sudi memperkenalkan nama yang mulia,” kata Hui Lian. "Aku sendiri adalah Go Hui Lian dan kedua orang tuaku Lo-suhu sudah mengenalnya."
Kalau tadi hwesio itu menyeringai dan tersenyum saja, sekarang ia menarik napas biarpun bibirnya masih tersenyum "Baiklah kali ini pinceng terpaksa membuka pantangan. Pinceng adalah seorang pertapa keliling, yang hidupnya dari kelenteng ke kelenteng, namaku Tang Hwesio."
Hui Lian memang belum pernah mendengar nama ini, nama yang sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw. "Lo-suhu, memang namamu sama sekali tidak pernah kukenal. Akan tetapi Ayah sering kali bilang bahwa orang-orang gagah di dunia ini yang tidak mau memperkenalkan diri dan sama sekali tidak terkenal banyaknya tidak terhitung. Sekarang bertemu dengan Lo suhu, tahulah aku apa yang dimaksudkan oleh Ayah."
"Ha ha ha, Ayahmu memang orang bijaksana. Biarpun belum pernah bertemu muka, hati emasnya sudah lama pinceng dengar."
"Tang-lo-suhu, mari kita kejar penjahat tadi sebelum ia pergi jauh!" tiba-tiba Hui Lian berkata. Setelah kini mengenal Tang Hwesio ia merasa menyesal mengapa tidak tadi-tadi ia dapat mengeroyok penjahat muda yang matanya "bisa bicara" itu.
Akan tetapi Tang Hwesio menggeleng kepalanya. "Tidak lihatkah kau tadi bahwa penjahat muda itu memiliki ilmu lari cepat yang amat luar biasa? Mungkin hanya Ayahmu yang dapat mengimbangi kecepatan larinya, akan tetapi pinceng selamanya baru satu kali pernah melihat ilmu lari cepat Siang-seng-hui (Sepasang Bintang Beterbangan) dari Partai Siauw-lim. Tadinya pinceng anggap ilmu lari cepat itu yang paling unggul, tidak tahunya penjahat tadi telah memperlihatkan ilmu lari cepat yang agaknya tidak kalah oleh Siang-seng-hui."
"Habis bagaimana kita bisa mengejarnya?"
"Dia pasti kembali ke kota Tiang-si. Mari kita menyelidik ke sana. Kiraku, kalau kita berdua maju menyerangnya, tak mungkin dia masih dapat mempertahankan diri. Hanya pinceng harap, kau tidak ragu-ragu dan lambat seperti tadi Nona."
Setelah berkata demikian, dengan langkahnya yang lebar, Tang hwesio berjalan cepat. Hui Lian mengejarnya dengan muka merah. Kata-kata terakhir hwesio tadi memang teguran yang wajar. Kalau saja dia tadi tidak ragu-ragu dan cepat menyerang, belum tentu penjahat Wan Sin Hong tadi dapat melarikan diri. Akan tetapi, mata itu! Sepasang mata pemuda tadi seakan-akan bicara kepadanya, menyatakan rangkaian kata-kata mencerminkan suara hati yang mendebarkan jantungnya.
Dia itukah putera angkat Lie Bu Tek? Betulkah pemuda itu menjadi penjahat? Kelihatan begitu sederhana, lemah lembut dan tampan. Akan tetapi matanya memang agak kurang ajar pikir Hui Lian. Dan kata-katanya itu? Bagaimanakah maksudnya? Apa artinya pemuda itu berkata bahwa Wan Sin Hong akan lenyap dan kalau ada hanya Wan Sin Hong palsu? Semua ini membingungkan Hui Lian, akan tetapi ia tidak mengeluarkan pernyataan sesuatu kepada Tang Hwesio yang berjalan cepat memasuki kota tanpa bicara pula.
"Nona, malam ini kita harus berpencar. Kau menyelidik bagian utara dan aku bagian selatan kota. Kita bertemu di kelenteng Ho-an-tang. Kalau kau bertemu dengan penjahat itu, kau lepaskan panah api ini, demikian pula kalau kau melihat panah api yang kulepaskan, harap kau cepat datang membantu. Kali ini kita harus dapat menangkapnya, mati atau hidup," kata Tang Hwesio sambil menyerahkan beberapa batang panah api kepada gadis itu. Hui Lian menyatakan setuju, menerima panah menyimpannya di dalam buntalan pakaian kemudia mereka berpisah. Tang Hwesio terus ke sebuah kelenteng di tengah kota, yakni kelenteng Hok an-tang, sedangkan Hui Lian mencari kamar di rumah penginapan.
Semenjak masuk ke dalam rumah penginapan, Hui Lian menaruh hati curiga kepada serombongan orang terdiri dari enam orang yang pakaiannya seperti jago-jago silat. Ia menduga bahwa enam orang itu tentulah sebangsa tukang pukul atau anak buah bangsawan atau hartawan okpa. Mungkin juga anggauta-anggauta perkumpulan silat yang menjaga di kota Tiang si. Akan tetapi, tak lama kemudian mereka itu main mata dan lenyap meninggalkan rumah penginapan itu tanpa mengganggunya. Hui Lian menarik napas lega. Ia tidak ingin mencari keributan dalam tugasnya yang lebih penting ini. Dan penuturan yang ia dengar selama ia tiba di Ceng-sin-kwan sampai Tiang-si, nama Wan Sin Hong memang tersohor sekali sebagai seorang penjahat yang kejam.
Tidak saja membunuh-bunuhi orang seperti membunuh ayam saja, juga ia merampok harta benda dan mengganggu anak bini orang lalu dibunuh secara mengerikan. Kejahatan yang terakhir inilah yang membuat Hui Lian menjadi marah sekali. Tidak peduli yang melakukan kejahatan itu putera pungut Lie Bu Tek, tak peduli yang melakukan itu seorang pemuda yang tampan, yang mempunyai mata pandai menyatakan isi hati, yang wajahnya mendebarkan hatinya, orang sekeji itu harus ia basmi! Oleh karena itu, Hui Lian bersemangat sekali dalam menjalankan tugas yang diserahkan kepadanya oleh Tang Hwesio.
Setelah makan malam, Hui Lian mengenakan pakaian yang ringkas, membawa pedang dan panah api. Ia menanti sampai rumah penginapan itu sunyi dan jalan raya juga sepi. Tanpa diketahui oleh seorang pun tamu lain, gadis perkasa ini melompat keluar melalui jendela yang ditutupnya kembali dari luar. Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung walet ia melompat ke atas genteng, Ia hati hati sekali, tidak segera pergi dari situ, melainkan mendekam di atas genteng sambil memandang ke sana ke mari, memasang mata dan telinga, takut kalau-kalau ada orang yang melihat gerakan-gerakannya. Akan tetapi keadaan di sekelilingnya sunyi belaka, hanya angin malam bertiup perlahan membelai pipi dan rambutnya. Dengan hati lega Hui Lian lalu mulai melompat dan sebentar saja sesosok bayangan yang gesit berlompatan dan berlarian melalui genteng-genteng rumah di kota Tiang si.
Ketika ia memutar ke bagian utara diam-diam ia kecewa dan mengecam Tang Hwesio di dalam hatinya. Ternyata bahwa ia mendapat tugas di bagian yang sunyi, rumah-rumah di situ kecil dan merupakan daerah penduduk miskin. Agaknya Tang Hwesio sengaja memilih daerah ramai untuk bagiannya sehingga tugas yang terberat berada di punggungnya. Sebagaimana telah diketahui, penjahat Wan Sin Hong itu selalu melakukan kejahatan di daerah orang kaya dan bangsawan-bangsaan. Di daerah yang miskin itu, seorang penjahat hendak mencari apakah? Tidak ada harta untuk dirampok, tidak ada gadis cantik untuk diganggu, dan tidak ada bangsawan untuk dibunuh.
"Tang Hwesio terlalu memandang rendah kepadaku..." kata Hui Lian bersungut-sungut. Sambil berjalan di atas jalan yang sunyi itu ia sering kali menegok ke selatan mengharapkan tanda panah dari Tang Hwesio. Akan tetapi angkasa sunyi pula, hanya beberapa butir bintang di langit mengiringkan bulan sepotong yang sudah timbul.
Hui Lian merasa jemu lalu tubuhnya digerakkan, meloncat naik lagi ke atas genteng rumah. Dan rumah ini ia melihat ke sekeliling dan pada saat itulah ia melihat di bawah sinar bulan bayangan seorang laki-laki berlari cepat mengejar seorang wanita. Wanita itu pun pandai ilmu silat dan pandai pula berlari cepat. Hal ini mudah dilihat dan gerakannya ketika melarikan diri. Kebetulan sekali dua orang yang berkejaran itu berlari melewati dekat rumah di mana Hui Lian bersembunyi dan bulan bersinar terang. Ketika wanita itu lewat dekat rumah dan terkena cahaya lampu yang tergantung di situ, Hui Lian melihat bahwa yang melarikan diri adalah seorang gadis yang cantik. Sekelebat ia seperti pernah melihat wajah perempuan ini akan tetapi ia lupa lagi entah di mana dan bilamana. Kemudian menyusul pengejar gadis itu, dan Hui Lian berdebar, mukanya merah. Ternyata pemuda itu adalah pemuda yang tadi siang ia lihat bersama Tang Hwesio, yakni pemuda yang oleh Tang Hwesio disebut Wan Sin Hong.
"Gadis keji, jangan harap bisa terlepas dan tanganku...!" terdengar pemuda itu berseru dan kini larinya cepat sekali. Dengan beberapa lompatan saja ia telah menyusul gadis yang lari di depannya.
Gadis itu tiba tiba membalikkan tubuh menyerang dengan pukulan yang tidak boleh dipandang ringan. Akan tetapi tanpa mempedulikan jatuhnya pukulan pada tubuhnya, pemuda itu mengulur tagan dan di lain saat gadis itu telah roboh dengan tubuh lemas! Ketika pemuda Itu membungkuk hendak mengangkat tubuh gadis yang sudah tak berdaya tiba-tiba terdengar bentakan di belakangnya.
"Bangsat tak tahu malu, kau memang harus mampus!" Sebatang pedang meyambar cepat sekali ke arah punggungnya.
Hui Lian sudah memastikan bahwa pedangnya tentu akan merobohkan lawan, karena selain kedudukan pemuda itu selang sukar dan kepalang, juga serangannya itu merupakan serangan dari jurus ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang yang terlihai. Akan tetapi hebat sekali pemuda itu. Biarpun ia juga terkejut sekali melihat datangnya serangan yang luar biasa cepat dan berbahayanya, namun sekali mengelak secara otomatis dan tangannya masih juga dapat menyambar tubuh gadis yang telah pingsan dan dikempitnya. Akan tetapi, ketika pemuda itu membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang menyerangnya, ia nampak gugup sekali.
"Kau... Nona..." Dan tak terasa pula tubuh gadis yang dikempitnya diletakkan kembali ke atas tanah.
Hui Lian tidak mau peduli akan sikap yang aneh dari pemuda ini. Ia merasa penasaran karena tadi serangan yang sudah begitu pasti ternyata menemui tempat kosong. Dengan gemas lalu menubruk maju menyerang dengan pedangnya, mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling sulit dan lihai karena ia maklum bahwa ia menghadapi seorang lawan lihai.
"Jangan serang aku... jangan kau ikut membenciku..." pemuda itu mengelak kesana ke mari sambil mengeluh.
Siapakah pemuda ini? Memang bukan lain dia adalah Wan Sin Hong sendiri! Seperti telah diketahui, Sin Hong merasa penasaran dan juga gemas sekali karena namanya dirusak orang. Di mana-mana terdengar perbuatan-perbuatan jahat yang katanya dilakukan oleh Wan Sin Hong, atau berarti olehnya! Oleh karena itu ia menggerahkan seluruh perhatian untuk menyelidiki persoalan ganjil ini. Sampai jauh ia merantau dan akhirnya ia melihat gadis yang dulu mengaku telah diganggu! Setelah Wan Sin Hong bertemu dengan Tang Hwesio dan Go Hui Lian kemudian dikeroyoknya, Sin Hong melarikan diri dengan hati berduka sekali.
Entah mengapa, melihat Go Hui Lian, hatinya tergerak dan bayangan gadis jelita itu tidak pernah dapat terusir dari depan matanya. Ia menjadi makin kecewa dan berduka. Tadinya ia merasa gembira juga melihat puteri Hwa I Enghiong Go Ciang Le yang sering kali dipuji oleh gihunya, ternyata merupakan seorang gadis yang demikian cantik jelita dan perkasa. Akan tetapi, kalau ia teringat betapa gadis manis ini pun menganggap dia orang penjahat, benar-benar Sin Hong, menjadi bingung dan sedih, dan makin bernafsulah ia untuk mencari orang merusak namanya.
Alangkah girang hatinya ketika ia sedang melarikan diri meninggalkan Hui Lian dan akan memasuki kota Tiang an ia melihat bayangan seorang gadis cantik yang dikenalnya sebagai gadis yang dia pernah mengaku menjadi korbannya! Gadis inilah yang dulu di depan para tokoh kang-ouw dan para ciangbunjin (ketua) dari partai-partai besar, mengaku telah diganggu dan yang agaknya sengaja hendak mencoret mukanya di depan tokoh-tokoh besar itu, entah karena kehendak sendiri ataukah disuruh oleh orang lain. Dahulu gadis itu melompat ke dalam jurang dan disangka mati oleh para tokoh besar tanpa menyelidiki lebih dulu. Dia sendiri sudah mencari ke bawah, akan tetapi tidak menemukan mayat gadis itu, tanda bahwa gadis itu bukannya membunuh diri dengan cara yang luar biasa sekali.
Sin Hong menahan gelora hatinya dan tidak mau berlancang tangan menyerang. Ia maklum bahwa gadis itu bukan orang biasa saja, dan kalau diingat bahwa selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan gadis itu, maka mustahil kalau itu sengaja merusak namanya begitu saja. Pasti ada apa-apanya di belakang atau dengan lain perkataan, pasti ada orang lain yang menggerakkan gadis ini melakukan fitnahan keji terhadap dirinya. Kalau memang ada orang di belakang layar itu, maka dia itulah orangnya yang selama ini merusak namanya. Hati Sin Hong berdebar. Diam-diam lalu mengikuti gadis itu karena menduga bahwa gadis itu tentu akan membawanya ke tempat orang yang selama ini merusak namanya.
Akan tetapi wanita muda yang cantik itu menyewa kamar di sebuah hotel. terpaksa Sin Hong juga menyewa kamar dan diam-diam ia terus menguntit. Bukan main mendongkol hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa wanita itu tidak pernah keluar dari kamarnya, bahkan memesan kepada pelayan untuk mengirim masakan ke kamar. Sampai jauh malam Sin Hong mengintai dari kamarnya sendiri ke arah kamar gadis ini. Menjelang tengah malam, ia melihat bayangan orang melompat-lompat di atas wuwungan rumah dan ketika bayangn itu menggerakkan tangan, ia melihat sebuah benda hitam kecil melayang masuk ke dalam kamar wanita muda tadi melalui celah-celah antara daun jendela.
Sin Hong cepat melompat keluar kamar, akan tetapi dengan beberapa gerakan saja bayangan itu telah lenyap. Sin Hon penasaran, cepat ia mendekati jendela kamar wanita itu dan mengintai ke dalam. dilihatnya wanita itu tengah memegang sehelai kertas yang ditulis dengan huruf-huruf besar.
"DIA MENGINTAIMU, LEKAS LARI, TERPISAH DAN TUTUP MULUT"
Pandang mata Sin Hong yang tajam dapat membaca tulisan itu dan ia menggigit bibir dengan mendongkol sekali. Tak disangkanya bahwa musuh yang merusak namanya itu benar-benar amat lihai. Tadi pun ia telah menyaksikan gerakannya yang luar biasa cepat dan kini yakinlah dia bahwa musuhnya itu adalah bayangan tadi. Dan wanita ini hanyalah kaki tangan dan musuh rahasianya. Ia mendengar wanita itu mengeluarkan keluhan dan nampak seperti ketakutan. Kemudian ia cepat menyelinap ketika melihat wanita itu berbenah, membungkus pakaian dan memanggulnya di punggung, kemudian wanita itu memadamkan api lilin dan melompat keluar melalui jendela dengan gerakan yang cukup lincah! Kemudian wanita muda yang cantik itu berlari cepat sekali ke arah utara, agaknya hendak keluar dari kota Tiangsi.
Sin Hong maklum bahwa gadis ini tentu taat akan surat perintah tadi, maka untuk berhadapan dengan musuh rahasianya ia harus menangkap gadis ini. Akan tetapi siapa kira, baru saja ia hendak membekuk gadis itu, tiba-tiba muncul Go Hui Lian menyerangnya, dengan hebat. Biarpun Sin Hong harus mengaku bahwa ilmu pedang dari Hui Lian tak boleh dipandang ringan, namun bukan serangan itulah yang membuat ia menjadi gugup, bingung, dan berduka. Ia maklum bahwa perbuatannya merobohkan gadis di tengah malam buta tentu akan mendatangkan kecurigaan besar sekali dan tentu Hui Lian kini akan merasa yakin bahwa Wan Sin Hong benar-benar seorang penjahat keji pengganggu wanita!
Di samping kedukaan ini. juga Sin Hong ingin sekali menguji sampai di mana kehebatan ilmu silat dari puteri pendekar yang sudah amat terkenal dan selalu dipuji-puji oleh gihunya. Maka lalu memperhatikan dan menghadapi pedang Hui Lian dengan tangan kosong.
Di lain pihak, Hui Lian merasa amat penasaran, mendongkol, dan juga heran, Dia adalah puteri tunggal Go Ciang Le jagoan nomor satu di dunia persilatan. Dia sudah mewarisi Ilmu Silat Pak-kek, Sin-ciang yang belum seratus prosen akan tetapi hanya di bawah tingkat ayahnya. Dia mempelajari ginkang darinya yang telah mewarisi ilmu ginkang luar biasa dari mendiang Thian Te Siang-mo (Sepasang Iblis Kembar). Bagaimana sekarang dengan pedangnya, ia hanya dihadapi dan dilawan dengan tangan kosong belaka oleh pemuda keji bernama Wan Sin Hong ini? Ia benar-benar penasaran, mendongkol dan heran. Baru ini kali selama hidupnya Hui Lian mengalami hal yang amat aneh dan tak masuk akal.
Di samping keheranan dan penasaran ini, ia pun diam-diam merasa amat kecewa. Rasa kecewa yang sudah terasa di dalam lubuk hatinya semenjak ia berjumpa dengan Sin Hong, kecewa karena melihat seorang pemuda yang demikian "baik" ternyata telah sesat menjadi seorang penjahat keji yang demikian tersohor. Kini, melihat sendiri betapa kejinya pemuda itu mengejar-ngejar seorang gadis dan merobohkannya, ditambah dengan kenyataan betapa tinggi ilmu silat pemuda rasa kecewa di dalam hatinya meningkat. Harus ia akui bahwa hatinya tergerak dan tertarik sekali terhadap pemuda mi. Betapa tidak? Selama hidupnya baru kali ini ia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian gagah dan tinggi ilmu silatnya. Tampan pula! Tidak kalah oleh Kong Ji dalam kelihaian maupun dalam ketampanan. Akan tetapi... sayangnya tidak kalah pula dalam kejahatan!
Rasa kecewa ini membuat Hui Lian menjadi makin gemas. Pedangnya berkelebat-kelebat menyambar bagaikan naga mengamuk, akan tetapi yang diamuknya tenang-tenang saja mengelak ke sana ke mari, kadang-kadang menyampok perlahan dan beberapa kali terdengar pemuda itu memuji ilmu pedangnya. Lima puluh jurus telah lewat tanpa satu kali pun Sin Hong membalas serangan Hui Lian.
"Keparat, kau balaslah!" Hui Lian membentak dengan penasaran dan gemas. Hatinya sakit sekali dan mau ia menangis sambil membanting-banting kaki kalau ia tidak malu kepada Sin Hong. Baru kali ini dia, puteri Hwa I Enghiong! dipermainkan orang seperti ini.
Akan tetapi tiba-tiba Sin Hong berseru keras, "Celaka, dia lari...!"
Hui Lian mengerling dan benar saja, gadis yang tadi dikejar-kejar dan dirobohkan oleh Sin Hong telah lenyap dari situ, tidak kelihatan lagi bayangannya. Ketika ia memandang lagi ke depan, Sin Hong juga telah lenyap. Tentu pemuda itu pergi mencari gadis tadi, pikirnya dan aneh sekali, timbul rasa tidak enak seperti orang iri hati dan cemburu didalam dadanya. Sin Hong agaknya tergila-gila dan suka sekali kepada gadis tadi sampai-sampai meninggalkan gelangang pertempuran, seakan-akan tidak ada gadis cantik lain di dunia ini, seakan-akan dia... Go Hui Lian... bukan seorang gadis atau bukan seorang gadis cantik! Sayang aku tadi tidak melihat wajah gadis itu, demikian bisikan hati Hui Lian.
Tiba-tiba gadis ini merah mukanya dan mau ia menampar pipinya sendiri untuk pikiran yang dianggapnya tak bermalu itu. Cepat dikeluarkan panah api dan tak lama kemudian di udara meluncur cahaya kekuningan. Tak lama kemudian datanglah Tang Hwesio sambil memanggul penggadanya. Langkahnya lebar dan larinya cepat seperti seekor singa.
"Mana dia...?" tanyanya dari jauh begitu dia melihat bayangan gadis itu.
"Dia telah lari, Lo-suhu. Sayang sekali." Kemudian dengan singkat Hui Lian menceritakan betapa ia melihat penjahat itu mengejar dan merobohkan seorang gadis. Kemudian ia menyerang penjahat itu yang melarikan diri setelah melihat gadis tadi sudah lenyap dan situ, agaknya sudah lari lebih dulu.
"Aneh sekali, pinceng juga melihat bayangan seorang laki-laki memondong seorang gadis wanita, cepat sekali larinya dan telah lenyap sebelum penceng dapat melihat apakah dia itu Wan Si Hong atau bukan."
Makin panas dan tidak enak hati Hui Lian. "Ah, tentu dia sudah menangkap lagi perempuan tadi. Sayang aku tidak mempunyai kemampuan untuk merobohkan dan membikin mampus dia!"
Tang Hwesio menarik napas panjang. "Siapa yang akan menyalahkan kau, Nona? Kita berdua sudah sama tahu betapa lihainya penjahat muda itu. Kau bertemu dengan dia seorang diri dan dia tidak mengganggumu, itu sudah amat bagus untukmu. Nona, sekarang tidak ada lain jalan bagi kita. Kau lebih baik lekas mencari Ayah bundamu, suruh mereka turun tagan menangkap penjahat keji ini. Pinceng sendiri akan menemui kawan-kawan di dunia kang-ouw untuk mengajak mereka beramai-ramai turun gunung membersihkan dunia dari kejahatan Wan Sin Hong!"
Memang tidak ada jalan lain yang lebih baik. Mereka berdua tidak berdaya menghadapi Wan Sin Hong. Dengan lemas dan kecewa Hui Lan berpisah dan Tang Hwesio. kembali ke hotelnya mengambil pakaian, meninggalkan uang pembayaran sewa kamar di atas meja dan pergi pada saat itu juga. Tengah malam telah lama lewat dan fajar sudah hampir menyingsing. Di sana-sini, jarang-jarang, sudah terdengar suara kokok ayam yang kepagian. Di angkasa sudah tidak ada buIan, hanya bintang-bintang masih menghias langit hitam, berkedap-kedip seakan-akan bermain mata dengan Hui Lian. Aneh, kedipan bintang mengingatkan Hui Lian akan kedipan mata Sin Hong dan ia mengutuk bintang-bintang itu dalam hatinya, tidak mau memandang ke atas lagi dan berjalan meninggalkan kota Tiang-si yang masih tidur.
Hawa pagi itu dingin benar. Ah, mengapa aku keluar sepagi ini? Dingin amat, pikir Hui Lian. Akan tetapi kalau ia teringat akan peristiwa tengah malam tadi, ia berpikir lain. Biarlah, biar aku kedinginan, hitung-hitung untuk menghukum kebodohan sendiri. Aku harus melupakan dia sebagai pemuda menarik hati, harus ingat dia sebagai seorang penjahat keji! Biarlah hawa dingin mencuci otakku yang keruh, pikirnya gema kepada diri sendiri.
Kokok ayam saling bersahutan menyambut fajar menyingsing ketika Hui Lian tiba di luar kota yang sunyi. Sawah dan tegal para petani membentang luas di kanan kini jalan yang sunyi itu. Kadang-kadang saja ia melihat pohon yang tumbuh di pinggir jalan, pohon-pohon tua yang batangnya sudah terbengkok-bengok membawa berat dahan dan daun. Ketika tiba di jalan membelok, ia melihat sinar api di depan. Dari jauh dapat dilihat bahwa itu adalah api unggun yang dibuat orang, sedangkan orangnyapun kelihatan berjongkok di dekat api, agaknya seorang petani membuat api untuk mengusir hawa dingin yang menggerogoti tulang.
Hut Lian tentu saja dapat mengusir serangan hawa dingin dengan pengerahan sinkangnya, akan tetapi pada saat itu semangatnya sedang lelah dan tidak mempunyai niat untuk berusaha sesuatu. Kini melihat orang mengusir dingin dengan api unggun, nampaknya begitu hangat dan enak, ia ingin sekali ikut menghanatkan tubuh di dekat api unggun. Tak terasa lagi ia lalu membelokkan tujuan kakinya dan menghampiri api unggun itu.
"Mari, silahkan duduk, Nona. Aku sengaja menunggumu di sini. Kita bercakap-cakap sambil menghangatkan tubuh. Silakan." Orang yang tadinya dikira petani itu menggeser sebuah batu besar ke dekat api unggun sambil mempersilahkan Hui Lian dengan tangan kanannya dibentangkan.
Hui Lian membelalakkan matanya hampir saja berteriak saking kagetnya. "Kau...?" serunya dan secepat kilat telah mencabut pedangnya! Ternyata bahwa orang itu bukan lain adalah Wan Sin Hong yang malam tadi diserangnya mati-matian dan yang semenjak kemarin bayangannya selalu mengganggunya.
Sin Hong menundukkan mukanya dia menarik napas panjang. "Alangkah buruknya kebiasaan seorang ahli silat. Di waktu sedingin ini pun mencabut pedang. Aahhh, kalau aku tidak mengerti ilmu silat, alangkah baiknya namaku tidak rusak... aku tidak dibenci orang..."
"Kau jahanam busuk pura-pura menyesal?" Hui Lian menodongkan ujung pedangnya di depan dada Sin Hong. "Jangan kau berusaha hendak menipuku. mana gadis malam tadi?"
Bibir Sin Hong tersenyum duka. "Tahukah kau di mana dia? Aku ingin sekali tahu, ingin sekali, karena aku harus dapat merangkap dia." Kemudian sambil menatap wajah Hui Lian yang nampak luar biasa cantiknya dalam cahaya api unggun. Sin Hong berkata tenang, "Kau duduklah baik-baik, Nona. Aku ingin bicara dari hati ke hati denganmu, aku merasa bahagia sekali dapat bertemu dengan puteri Hwa I Enghiong."
"Jangan coba berputar lidah! Hayo keluarkan senjatamu kalau kau memang laki-laki. Keparat jahanam, penjahat rendah, aku tidak begitu rendah untuk membunuh orang yang tidak melawan. Hayo kita bertempur seribu jurus sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa di sini!" Tangan Hui Lian yang memegang pedang sudah menegang, siap untuk menyerang.
Sin Hong memandang ke arah api dan menarik napas lagi, wajahnya agak pucat dan sinar matanya layu. "Simpan kembali pedangmu. Nona. Tiada gunanya lagi, aku bukan orang jahat."
"Mana ada penjahat mengaku jahat? Harimau ganas pun langkahnya perlahan, jejaknya tak terdengar orang. Hayo lekas berdiri dan siap untuk bertempur mati-matian!" Hui Lian menantang sambil membanting kakinya.
"Sesukamulah, kau boleh memaki aku apa saja. Akan tetapi yang jelas, aku takkan mau melawanmu bertempur. Sekali saja bagiku cukuplah, karena yang sekali itu pun sudah membuat aku merasa sengsara sekali."
"Pengecut jangan kau menghinaku! Apa kau kira aku takut kepadamu? Biar pun kau seribu kali lebih lihai, aku Go Hui Lian tidak takut mati, tahu? Bangkitlah dan mari kita tetapkan siapa yang harus menggeletak tak bernyawa di sini. Mati untuk membela para wanita yang kauganggu, aku rela!"
Sin Hong menggeleng-gelengkan kepaIanya. "Ucapanmu lebih tajam dan menyakitkan daripada tusukan pedangmu, Nona. Sudah kukatakan bahwa aku tidak sanggup lagi melawanmu. Hanya pintaku kalau kau memang mempunyai perikemanusiaan, duduklah dan dengarkan semua penjelasanku. Aku bersumpah bahwa Wan Sin Hong bukanlah seorang keji, bukan seorang hina yang melakukan segala, perbuatan terkutuk. Karena kau puteri Hwa I Enghiong yang sudah lama kukagumi, maka aku ingin menceritakan semua ini kepadamu. Karena kau... kau seorang yang ingin kujadikan kawan, maka aku mau menceritakan semua ini kepadamu. Akan tetapi kalau kau tidak percaya dan tetap hendak membunuhku, tusukkan saja pedangmu itu. Aku takkan melawan..." Sin Hong kembali memandang ke arah api. Ia sedih sekali. Benar-benar ia pun merasa heran mengapa begitu banyak orang menganggapnya jahat, ia bahkan merasa penasaran. Akan tetapi sekali saja gadis ini menganggapnya jahat, ia menjadi lemas dan berduka, dan ingin mati saja!
"Keparat jahanam! Berdirilah, lawanlah aku... jangan kau menghina! Sikapmu yang tak hendak melawan ini menghinaku. Kau tahu, aku puteri pendekar besar Go Ciang Le, aku tidak takut mati. Berdirilah... atau kalau tidak... demi Tuhan, kutusuk dadamu dengan pedangku!" Hui lian kini membanting-banting kedua kakinya dan mau dia menangis. Tangannya yang memegang pedang mulai gemetar, sedangkan ujung pedang yang runcing mendekat sampai menempel di baju Sin Hong, tepat di dada kiri di mana jantungnya berada, jantung yang berdebar lemah karena duka.
Sin Hong menggeleng-gelengkan kepala menengok dan menatap wajah Hui Lian sebentar, kemudian memandangi api lagi. "Mati di tangan dara perkasa puteri Hwa I Enghiong cukup berharga..." katanya perlahan.
"Bedebah, lihat pedang!" Hui Lian yang sudah marah sekali karena merasa dihina dengan semua kata -kata Sin Hong yang dianggapnya seorang penjahat besar pengganggu banyak wanita, menggerakkan tangan kanan. Pedangnya ditarik ke belakang lalu ditusukkan ke depan.
Sin Hong tidak bergeming, bergerak sedikit pun tidak. Akan tetapi terdengar baju robek dan darah mengucur keluar dari pundak kirinya, membasahi bajunya yang putih. Sebentar saja baju Sin Hong menjadi merah oleh darahnya sendiri!
"Mengapa kau selewengkan ke pundak, Nona?"
"Kau... kau... mengapa tidak mengelak...?" Hui Lian berdiri dengan muka pucat matanya terbelalak lebar, bibirnya gemetar dan tangan yang memegang pedang menggigil. Ngeri ia melihat darah membasahi baju di dada Sin Hong.
"Sudah kukatakan tadi, aku takkan melawan. Aku rela mati di tangan Nona Go Hui Lian, seorang dara perkasa yang gagah dan budiman..."
Dua titik air mata melompat keluar dari sepasang mata Hui Lian ketika ia mendengar suara yang halus ini. Akan tetapi ia menggigit bibir mengeraskan hatinya. "Kau jahat dan aneh. Apa artinya sikapmu ini? Kau demikian jahat, mengapa sekarang kau berpura-pura baik? Biarpun memakai bulu domba bertopeng muka kelinci, harimau tetap harimau buas dan liar. Siapa percaya kepadamu"
"Tidak ada yang percaya kepadaku, Nona. Oleh karena itulah maka harapanku satu-satunya kujatuhkan kepadamu. Aku mengharapkan kau suka mendengarkan ceritaku dan... percaya kepadaku..."
"Mengapa...? Mengapa kepadaku?"
Sin Hong tersenyum, menggerakkan jari tangan kanan menotok pundaknya sendiri untuk menghentikan darah yang mengalir. Hui Lian memandang kagum melihat pemuda itu menerima tusukan pedang dan menahan luka tanpa berkedip sedikit pun.
"Karena kau puteri Hwa I Enghiong. sudah semenjak kecil aku mendengar dari Gihu tentang Ayah Bundamu yang gagah perkasa dan budiman. Karena itu aku percaya bahwa puterinya tentu juga seorang gagah dan budiman pula."
"Apa yang hendak kau ceritakan lagi? Bukti banyak, semua orang di dunia kang-ouw mengetahui bahwa..." Hui Lian tidak melanjutkan kata-katanya. Teringat akan segala perbuatan keji yang dilakukan oleh pemuda ini, perasaan terharu yang tadi menipis.
"Memang demikian, Nona. Aku dianggap jahat, dan sudah banyak bukti-buktinya. Akan tetapi semua ini bukan atas kehendakku sendiri, ada orang yang sengaja merusak namaku..."
“Apa maksudmu?"
"Ada musuh rahasia yang sengaja melakukan semua perbuatan terkutuk dengan menggunakan namaku dan..."
"Bohong' Siapa bisa percaya? Wan Sin Hong, tak perlu kau mengarang dongeng, apakah para locianpwe di dunia kang-ouw semua sudah bodoh dan buta? Aku sendiri melihat kau mengejar dan merobohkan seorang gadis. Apa kau masih belum mati dan mempunyai muka untuk menyangkal?"
"Sayang gadis itu terlepas lagi," Sin Hong menghela napas. "Dia itu kaki tangan musuh rahasiaku. Sudah tertawan terlepas lagi…”
Hui Lian tertegun. "Ceritakan semua!"
Sin Hong menengok dan menatap wajah yang cantik dan kini tegang itu. "Nona, percayakah kau kepadaku?"
"Mengingat kau anak angkat Lie Bu Tek Pekhu, seharusnya aku percaya, akan tetapi mendengar nama busukmu dan melihat bukti sendiri malam tadi…”
"Jadi kau juga tidak percaya kepadaku?"
Hui Lian menggelengkan kepalanya, sungguhpun agak ragu-ragu. Sin Hong mengeluh, lalu duduk menghadapi apa lagi. "Kalau begitu tidak ada gunanya bagiku untuk bercerita. Kau boleh tusuk aku sampai mati atau... tinggalkan aku pergi!"
Hui Lian melengak, mukanya menjadi merah. Tangan yang memegang pedang sudah menggigil lagi, akan tetapi bagaimana ia bisa membunuh orang yang membuat hatinya tidak karuan rasanya ini? Orang yang membuat ia merasa bukan seperti diri sendiri, merasa lemah dan tidak dapat menguasai hati dan pikiran, tak tentu pendirian? Hati dan pikirannya bertempur hebat. Menurutkan kesadarannya sebagai seorang pendekar, ia harus membunuh manusia jahat ini akan tetapi menurut suara hatinya... ia tidak tega, bahkan baru melukai pundaknya saja ia merasa menyesal bukan main.
Akhirnya, sambil mengeluarkan jerit tertahan, pedangnya berkelebat dan robohlah sebatang pohon tak jauh dari situ, tumbang oleh sabetan pedangnya! Kemudian, dengan suara aneh di kerongkongan, tangis bukan tawa bukan akan tetapi menyerupai keduanya. Gadis itu mengerahkan tenaga dan lari meninggalkan Sin Hong yang masih duduk menghadapi api unggun bagaikan patung batu...!
Orangnya sudah setengah tua, sikapnya halus, pendeknya sikap seorang terpelajar. Akan tetapi siapa kira, di balik dari segala kesopanan dan kehalusan itu tersembunyi watak yang gila harta gila pangkat, dan mata keranjang! Entah sudah berapa banyak orang yang menderita karena perbuatan Tikoan ini.
"Teng-kauwsu, bagaimana jawaban Kwee-wangwe?" terdengar pembesar itu bertanya kepada jagoannya yang baru saja datang melakukan tugas.
"Kwee-wangwe minta waktu sepekan untuk berpikir-pikir, Taijin," jawab jagoan itu.
Su-taijin mengangguk-angguk. "Hmm, kuharap saja ia tidak keras kepala. Beri waktu tiga hari kalau tidak meluluskan permintaanku, kau tangkap saja ia sekeluarga dengan tuduhan bersekongkol dengan penjahat Wan Sin Hong!"
"Baik, Taijin," jawab Teng Sian. "Memang Lee-wangwe sudah berpesan agar cepat-cepat membereskan urusan ini."
Apakah yang sedang mereka bicarakan? Tak lain adalah permintaan hartawan Lee yang menaruh hati kepada puteri keluarga Kwee yang kaya pula hingga ia tidak dapat mempergunakan hartanya untuk mendapatkan gadis yang diidamkan itu. Kini setelah muncul penjahat Wan Sin Hong, hartawan Lee mendatangi tikoan dan mereka merencanakan akal bulus untuk memfitnah keluarga Kwee kalau saja Nona Kwee tidak diberikan kepada Lee-wangwe untuk menjadi bini mudanya.
Memang pada saat muncul penjahat besar yang melakukan pembunuhan dan pencurian besar, tikoan sebagai pembesar setempat dengan mudah sekali menangkap siapa saja dengan alasan bercurigai atau menuduh orang itu bersekongkol dengan penjahat yang membunuh tihu dan mencuri. Kwee-wangwe menerima lamaran Lee wangwe yang sudah setengah tua, maklum pula akan bahayanya lamaran ini, apalagi karena yang menjadi "jembatan" adalah tikoan sendiri. Dalam bingungnya ia minta waktu sepekan untuk berpikir, atau lebih tepat untuk mencari jalan keluar daripada bencana yang mengancam itu.
"Memang betul, urusan ini harus cepat dibereskan," kata pula Su-taijin, sambil mengelus-elus jenggotnya. "Dengan menangkap Kwee-wangwe, sekali pukul kita dapat membunuh tiga lalat. Pertama kita dapat menyerahkan Kwee-siocia yang jelita itu kepada Lee-wangwe, ke dua kita dapat menyita harta bendanya, dan ketiga kita dapat melaporkan ke kota raja, bahwa biarpun kita belum berhasil menangkap Wan Sin Hong, namun kita sudah berhasil menangkap sahabatnya di mana penjahat itu bermalam, yakni keluarga Kwee!"
Dua orang itu bergembira membayangkan hasil yang mereka akan dapat dari siasat keji ini, tidak tahu bahwa semenjak tadi, di atas genteng mendekam tubuh seorang yang mendengarkan percakapan mereka.
"Tikoan bangsat tak tahu malu" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tubuh yang langsing padat melayang turun dari atas genteng, tepat di atas lantai di tengah-tengah antara Su-taijin dan Teng-kauwsu.
Dua orang itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba melihat seorang gadis cantik jelita dan membawa pedang tergantung di pinggang tahu-tahu telah berdiri di situ. Gadis ini bukan lain adalah Go Hui Lian yang baru kembali dari rumah gedung Lee-wangwe. Setelah berhasil membuntungi sepasang daun telinga hartawan busuk itu. Dari rumah hartawan itu ia langsung mendatangi rumah tikoan.
Su-taijin sudah seringkali menghadapi para penjahat kejam yang tertangkap dan diadili, maka sebetulnya ia sudah tabah sekali berhadapan dengan segala macam orang kasar. Akan tetapi sekarang ia duduk bengong bagaikan patung, bukan karena kaget dan takut melainkan saking kagumnya melihat seorang gadis yang cantik ini, dan yang turun dari atas seperti seorang bidadari baru turun dari kahyangan.
Juga Teng Sian untuk beberapa detik duduk melongo. Guru silat atau jagoan tangan kanan Su-taijin ini' lain lagi. Ia melongo saking heran dan kagetnya, karena sebagai seorang ahli silat tahulah dia bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli yang ulung, sehingga suara kakinya ketika berada di atas genteng tak dapat didengar sama sekali. Akan tetapi di lain saat ia telah melompat berdiri dan sekali menyambar ke dekat tembok, ia telah memegang toyanya yang tadi disandarkan di tembok.
"Penjahat wanita dari manakah berani main gila di rumah pembesar?" bentaknya sambil melompat maju mengancam Hui Lian.
Hui Lian membalikkan tubuh dan memandang kepada guru silat itu dengan senyum sindir. "Aduh gagahnya tukang pukul ini. Ke mana kau bersembunyi ketika muncul penjahat yang niengacau kota> Bagus betul, ada penjahat muncul mengganggu kota, tikoan dan jagoannya bukannya berusaha menangkap penjahat, bahkan menambah kekacauan hendak memfitnah orang baik-baik. Kalian harus diberi tahu rasa sedikit!"
Cepat sekali tubuh Hui Lian bergerak dan di lain saat terdengar suara gaduh ketika toya di tangan Teng-kauwsu terlepas dari tangan sedangkan guru silat itu sendiri terlempar jauh sampai tiga tombak dan roboh pingsan dengan tulang pundak dan lulang kaki patah! Hui Lian telah memukul dan menendang sekaligus sehingga guru silat itu roboh pingsan sebelum ia tahu bagaimana nona jelita itu bergerak.
"Tolong...! Tangkap penjahat!" Tikoan itu berteriak-teriak ketakutan. Baru sekarang ia benar-benar merasa takut ketika melihat betapa mudah gadis itu merobohkan orang kepercayaannya.
Akan tetapi, sebelum ia sempat lari dan sebelum para penjaga yang berlari-lari datang di tempat itu, Hui Lian sudah mencahut pedangnya dan dua kali pedang berkelebat, tikoan itu kehilangan lengan kiri dan ujung hidungnya. Pembesar itu menjerit-jerit seperti babi disembelih, lari ke sana ke mari saking perih dan sakitnya, kemudian roboh setelah menumbuk dinding. Belasan orang penjaga datang dengan golok di tangan. Bagaikan sekawanan anjing galak mereka ini mengepung dan menyerang Hui Lian.
"Kalian anjing-anjing jahat berkedok penjaga keamanan, harus dihajar semua!” dara perkasa itu membentak marah, tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedangnya yang berkelebatan.
Bukan main hebatnya sepak terjang Hui Lian ini. Di sana-sini terdengar jerit dan pekik kesakitan. Pedang dan golok beterbangan ke kanan kiri dan tubuh para pengeroyok terlempar dan saling bertumbukan. Baiknya dara perkasa ini masih mengingat kasihan, mengingat bahwa para pengeroyok ini hanyalah kaki-tangan atau alat belaka. Oleh karena itu, ia tidak tega untuk berlaku kejam dan hanya merobohkan mereka seorang demi seorang dengan luka ringan saja. Namun ini sudah cukup untuk membuat semua orang menjadi jerih dan sebagian pula mundur teratur. Tiba-tiba Hui Lian mendengar suara datang tanpa melihat orangnya.
"Cukup, Lihiap cukup. Tak baik menghina alat pemerintah. Lebih baik pergunakan kepandaian untuk mencari penjahat besar Wan Sin Hong!"
Hui Lian terkejut sekali. Cepat ia melompat keluar dari tempat itu dan di antara teriakan orang-orang Su-taijin, Hui Lian menghilang. Gadis ini menoleh kesana ke mari, mencari orang yang tadi mengeluarkan suara mencegahnya melanjutkan amukannya. Sebagai seorang ahli silat tinggi, maklumlah Hui Lian bahwa yang tadi menegurnya adalah seorang ahli lweekeh yang pandai mempergunakan Ilmu Coan-im-jap-bit, yakni ilmu mengirim suara dari jauh yang hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli silat tinggi yang memiliki tenaga lweekang tingkat tinggi. Akan tetapi, ke manapun ia mencari dengan pandang matanya, ia tidak melihat adanya orang yang kiranya melakukan hal tadi dan hanya bertemu dengan Can-piauwsu. Pendekar ini merasa gembira dan berterima kasih melihat hasil sepak terjang Hui Lian.
"Lihiap, kau patut sekali menjadi puteri Hwa I Enghiong! Mudah-mudahan saja dengan usahamu yang amat gagah ini keadaan kotaku akan menjadi aman dan tenteram," kata piauwsu itu sambil menjura.
Hui Lian tersenyum. "Aku hanya membantumu, Can-piauwsu. Kalau kotamu menjadi aman dan tenteram, itu sepenuhnya adalah karena jasamu yang besar bagi kota ini."
Oleh karena semua kaki tangan Su-tikoan sudah melihatnya, Hui Lian tidak mau lama-lama tinggal di kota itu agar jangan menimbulkan keributan lain. Pada keesokan harinya ia meninggalkan kota Ceng-sin-kwan, menuju ke kota Tiang-si, kurang lebih tiga puluh lima li dari Cengsin -kwan. Ia sengaja menyimpang dari perjalanannya pulang dan ingin ke Tiang si karena dari Can-piauwsu ia mendengar bahwa sehari setelah Ceng-sin-kwan kacau oleh Wan Sin Hong, kota Tiang-si mendapat gilirannya. Penjahat yang mengaku bernama Wan Sin Hong itu telah mengacau pula di Tiang-si, melakukan perbuatan terkutuk.
"Aku harus berusaha mencari dan menangkapnya," kata Hui Lian di dalam hatinya dan ia menjadi makin panas kalau teringat akan kata-kata orang yang tidak menampakkan diri ketika ia dikeroyok oleh anak buah tikoan.
Perjalanan ke Tiang-si ia lakukan secepatnya. Kurang lebih sepuluh li dari Ceng-sin-kwan, Hui Lian memasuki sebuah kampung dan perutnya tiba-tiba menjadi lapar sekali ketika mencium asap masakan yang amat sedap yang keluar dari sebuah rumah makan dalam dusun itu. Ketika Hui Lian tiba di ambang pintu rumah makan, seorang pelayan tua dengan kain lap putih bersih tergantung di pundaknya menyambutnya dengan ramah-tamah.
"Ah, Lihiap telah datang! Silakan duduk di meja terbesar."
Tadinya Hui Lian terkejut, akan tetapi melihat muka yang ramah itu, ia mengira bahwa memang sudah menjadi kebiasaan pelayan ini untuk berlaku ramah dan bersikap seakan-akan telah mengenal setiap pengunjung rumah makan. Juga tidak mengherankan kalau pelayan menyebutnya "lihiap" karena memang Hui Lian tidak menyembunyikan pedang yang digantung di pinggang. Dengan tenang ia lalu mengambil tempat duduk.
"Keluarkan nasi dan masakan yang asapnya tercium olehku sekarang ini,” katanya.
Pelayan itu tertawa, kelihatan giginya yang ompong sebelah kanan. "Ha, Siocia tidak beda dengan yang lain. Memang masakan bebek panggang di restoran kami amat terkenal. Biarpun restoran kecil dan di dusun kecil pula, namun para bangsawan dan hartawan dari kota Ceng-sin-kwan dan Tiang-si sudah mengenaI bebek panggang kami. Dua hari yang lalu rombongan orang-orang gagah yang tampan dan cantik yang amat royal dengan hadiahnya juga telah menghabiskan lima ekor bebek panggang!"
Hui Lian merasa jemu juga mendengar pelayan yang suka bicara ini. "Cukup, lekas kau keluarkan masakan itu, aku sudah lapar!" katanya.
Pelayan itu mengangguk-angguk dan mengundurkan diri. Memang tentang kelezatan masakan bebek panggang tidak terlalu dilebih-lebihkan oleh pelayan tadi. Harus diakui oleh Hui Lian bahwa jarang ia makan bebek panggang seenak itu, empuk gurih dan sedap. Setelah selesai makan, ia berdiri dan memanggil pelayan tadi hendak membayar. Akan tetapi alangkah herannya ketika pelayan itu menggeleng kepala dan menggoyang kedua tangan sambil berkata.
"Sudah dibayar... sudah dibayar, bahkan hadiahnya juga sudah cukup banyak, harap Lihiap jangan membikin hamba sungkan dan malu."
"Siapa yang membayar? jangan kau main main, Lopek!"
"Siapa berani main-main, Lihiap? Memang sudah dibayar pagi tadi, oleh seoang hwesio tinggi besar dan lucu. Dia meninggalkan uang dan berkata bahwa uang itu untuk membayar semua makanan yang dimakan oleh seorang dara perkasa!"
"Ah, aku tidak mengenal segala macam hwesio. Mungkin yang dimaksudkan bukan aku." Hui Lian membantah.
"Tidak bisa salah, Losuhu itu sudah menerangkan tentang wajah dan pakaianmu, juga pedang yang tergantung di pinggangmu. Mana kami bisa salah dan demikian sembrono? Harap Lihiap sudi membebaskan kami daripada keadaan tidak enak. Kalau Lihiap membayar, tentu kami akan mendapat marah besar dari hwesio itu. Kalau sampai di marah, waah, celakalah kami."
"Galakkah dia?" Hui Lian tertarik.
"Galak? Bukan main! Baru saja dia makan, datang dua orang pemimpin barisan pengawal tikoan. Losuhu itu tanpa banyak cakap lalu menendang meja di depan dua orang menjambak rambut dan mengadu kepala mereka sampai keduanya roboh pingsan beberapa jam lamanya."
Hui Lian makin terheran. "Bagaimana macam hwesio itu? Membawa apa dan siapa namanya?"
"Entahlah, namanya kami tidak tahu. Tak seorang pun di antara kami mendengar ia menyebut namanya. Ia bertubuh tinggi besar, pakaiannya lebar, mukanya putih dan di punggungnya tergantung sebatang penggada pendek dan besar mengerikan sekali. Ia menghabiskan arak tiga guci besar kemudian setelah merobohkan dua orang komandan itu, ia berpesan untuk membayarkan uang yang ia tinggalkan untuk makanmu, Lihiap. Kemudian ia masih berpesan lagi bahwa Lihiap sebaiknya melanjutkan perjalanan ke Tiang-si secepatnya. kemudian seperti mengigau hwesio itu berkata berulang-ulang bahwa ia pun hendak mencari orang she Wan."
Mendengar ini, Hui Lian cepat melangkah keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Ketika pelayan itu mengejar keluar untuk melihat, gadis itu telah lenyap dari situ. Pelayan itu memutar matanya sampai menjuling, menggaruk-garuk belakang kepala, lalu mengomel seorang diri.
"Banyak iblis dan siluman sekarang ini! Iblis dan siluman muncul di pagi hari. Kemudian ia menggeleng kepalanya dan memasuki restoran lagi.
Sementara Itu, Hui Lian mempergunakan ilmu lari cepat menuju ke Tiang-si. Ia tidak meragukan lagi bahwa orang yang telah menegurnya ketika ia dikeroyok oleh orang-orang tikoan, adalah orang yang kini membayar makanannya pula. Seorang hwesio tinggi besar. Siapakah gerangan dia? Akan tetapi diam-dam ia selain penasaran melihat orang itu tidak secara langsung menghubunginya, juga merasa heran mengapa orang itu seakan-akan mengajaknya mengejar dan menangkap penjahat yang bernama Wan Sin Hong.
Ilmu lari cepat yang dipergunakan oleh Hui Lian adalah lari cepat Liok-te-hui-teng (Terbang di Atas Bumi) ajaran ayahnya, maka cepatnya bukan main. Bagi pandang mata seorang yang bukan ahli silat tinggi, tentu yang tampak hanya berkelebatnya bayangan belaka. Oleh karena itu, tak lama kemudian ia sudah tiba di luar tembok kota Tiang-si.
Tiba-tiba Hui Lian melihat bayangan orang berlari cepat di sebelah depan. Yang berlari-lari itu adalah seorang hwesio tinggi besar, dan berdebarlah hati Hui Lian ketika melihat hwesio tinggi besar itu membawa sebuah senjata seperti penggada pendek yang dipanggul di atas pundaknya. Melihat cara hwesio itu berlari sebelah tangan memanggul penggada dan sebelah lagi dipentang dan digerak-gerakkan ke atas dan ke bawah, kembali Hui Lian terkejut karena ia mengenal gerakan tangan itu sebagai ilmu lari cepat Hui-eng-coan-in (Garuda Terbang Menembus Mega), semacam ilmu lari cepat yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah mempunyai ginkang tingkat tinggi.
Akan tetapi Hui Lian bukan puteri tunggal Hwa I Enghiong kalau ia tidak dapat mengejar hwesio itu. Dengan ilmu lari cepatnya yang jarang tandingannya, Hui Lian mengerahkan tenaganya dan sebentar saja ia dapat mengimbangi kecepatan hwesio itu. Setelah mereka berlari sampai di tembok kota Tiang-si, Hui Lian mehhat hwesio itu mendahului seorang laki-laki yang berjalan seenaknya kemudian tanpa mengeluarkan kata-kata sesuatu, hwesio itu membalikkan tubuh dan memandang kepada pemuda itu dengan penuh perhatian, setelah itu menggerakkan penggadanya yang besar dan berat itu menghantam kepada orang itu.
Hampir saja Hui Lion mengeluarkan suara teriakan kaget ketika ia melihat bahwa yang diserang oleh hwesio tinggi besar itu adalah seorang pemuda yang kelihatan lemah sederhana, berwajah tampan sekali dan bersikap tenang. Celaka, pikir gadis ini, pukulan hwesio demikian lihainya, pemuda itu tentu akan roboh dengan kepala pecah!
Sementara itu, pemuda yang tiba-tiba diserang oleh hwesio tinggi besar itu terdengar berseru, "Toa-suhu, kenapa kau datang-datang memukul orang"
Akan tetapi tanpa menjawab hwesio tinggi besar itu menyerang terus dengan hebatnya. Penggadanya yang berat bagaikan seekor biruang menubruk dengan cepat dan dahsyat. Pemuda itu dengan gerakan lambat mengelak ke sana ke mari. Hui Lian kaget sekali melihat serangan-serangan yang amat dahsyat itu! Ia maklum bahwa kepandaian hwesio itu lihai dan bahwa setiap pukulan yang dilakukan apabila mengenai tubuh pemuda itu tentu akan merenggut nyawanya.
Timbul hati tak senang dalam dada Hui Lian melihat peristiwa itu, tidak senang terhadap Si Hwesio. Melihat seorang pemuda yang kelihatan lemah, datang-datang diserang mati-matian oleh hwesio itu tanpa diketahui atau diselidiki dulu kesalahannya, Jiwa ksatria dalam dada Hui Lian memberontak. Siapa pun adanya hwesio itu, baik dia orangnya yang selama ini secara rahasia menghubungiku atau bukan, perbuatannya yang sekarang ini menyatakan bahwa dia bukan seorang baik-baik, pikir Hui Lian. Ia mencabut pedang dan sekali berkelebat tubuhnya telah melayang ke tempat perpuran.
Hwesio tua, jangan kau berlaku kejam curang...!" bentaknya dan di lain saat terdengar suara berdentang yang amat nyaring ketika pedang Hui Lian bertemu dengan penggada di tangan hwesio itu. Hui Lian terkejut sekali. Pertemuan senjata itu membuat telapak tangannya terasa tergetar dan hampir saja pedangnya terlepas dori pegangan kalau saja ia tidak lekas mengatur tenaganya.
Sementara itu, pemuda yang tadi diserang bertubi-tubi oleh hwesio tinggi besar, kini berdiri bagaikan patung hidup, memandang kepada Hui Lian dengan mata terbuka lebar-lebar penuh kekaguman. "Nona, jangan menghalangi pinceng. Kau bahkan harus membantu pinceng menangkapnya. Dialah penjahat besar Wan Sin Hong" kata hwesio itu sambil bergerak maju menyerang lagi mengirim serangan dengan tendangan kaki kanan yang dilakukan amat cepat dan kuatnya. Akan tetapi pemuda tampan itu dengan amat mudah menggerakkan kaki dan tendangan itu mengenai tempat kosong.
Muka Hui Lian menjadi merah karena jengah ketika tadi ia menengok, ia melihat pandang mata pemuda itu. Entah mengapa sudah biasa baginya melihat pandang mata ditujukan kepadanya dengan sinar kekaguman, akan tetapi baru kali ini pandang mata seorang pemuda membuat ia bermerah muka, jengah dan berdebar. Kemudian rasa jengah terganti oleh rasa kaget dan kagum lihat cara pemuda itu menggerakkan kaki untuk mengelak dari tendangan lawan. Tak salah lagi itulah gerakan Sha-gak jiauw-po (Langkah Segi Tiga) yang kadang-kadang dipergunakan dalam Ilmu Silat Pak-kek-sin-ciang!
"Nona, bukankah dari Ceng-sin-kwan kau sengaja datang ke sini hendak membasmi penjahat Wan Sin Hong? Nah, ini dia orangnya! Tidak lekas turun tangan mau tunggu kapan lagi?" Kembali hwesio tinggi besar itu berseru sambil mempercepat gerakan penggadanya. Lagi lagi pemuda itu mengelak tanpa memandang pada lawannya karena sepasang matanya masih saja menatap wajah Hui Lian.
"Go-lihiap, lekas turun tangan! Ayahmu Hwa I Enghiong tentu akan marah kalau melihat keraguanmu ini!" kembali hesio tinggi besar itu berkata keras untuk melanjutkan serangannya. Sebetulnya, hwesio ini sengaja menyebut-nyebut nama ayah Hui Lian dengan maksud tertentu. Ketika sampai hampir sepuluh kali penggadanya selalu mengenai angin, ia sudah terkejut sekali dan maklum bahwa pemuda yang diserangnya itu benar-benar seorang berkepandaian tinggi.
Oleh karena itu, ia sengaja menyebut nama Hwa I Enghiong untuk menakut-nakuti lawannya. Sadarlah Hui Lian dari lamunannya. Ia cepat menggerakkan pedang yang ditusukkan ke arah tenggorokan pemuda itu. Pemuda itu mengeluarkan suara mengeluh kecewa dan berduka, kemudian sekali ia berkelebat, Hui Lian dan hwesio itu hanya berdiri melongo karena gerakan pemuda itu bukan main cepatnya seperti terbang saja. Hanya suara pemuda itu yang terdengar jelas sebelum lenyap dari pandangan mata.
"Semua orang membenci Wan Sin Hong. Baiklah. Wan Sin Hong akan lenyap, kalau masih ada Wan Sin Hong dia itu palsu!"
Hui Lian dan hwesto itu saling pandang dengan bengong. Baik Hui Lian maupun hwesio yang lihai itu sendiri, baru kali ini menghadapi seorang pemuda yang demikian aneh dan luar biasa kepandaiannya. Tidak saja pemuda itu dengan tangan kosong dapat menghadapi penggada hwesio itu sampai beberapa jurus, juga pemuda itu dalam kepungan hwesto dan Hui Lian dapat melarikan diri sedemikian mudahnya. Padahal menilik kepandaian, hwesio itu agaknya memiliki kepandaian yang tidak kalah oleh Hui Lian, dan kiranya tidak sembarang orang yang akan sanggup melarikan diri dari kepungan dua orang ini.
"Hebat, hebat...! Kalau tidak menyaksikan sendiri, pinceng tidak akan dapat percaya ada seorang muda berkepandaian sedemikian tinggi. Benar-benar penjahat muda itu berbahaya sekali, seorang iblis yang akan menggemparkan dunia kang-ouw...! Nona Go, kali ini Ayah Bundamu harus turun tangan, kalau tidak, pinceng khawatir takkan ada orang lain yang sanggup menandingi penjahat muda Wan Sin Hong itu."
"Lo-suhu siapakah? Bagaimana bisa tahu bahwa aku adalah puteri Hwa l Enghiong?"
Hwesio tinggi besar itu menyeringai. Memang hwesio ini semenjak tadi mukanya seperti orang gembira selalu hingga nampaknya lucu, "Go-lihiap, kau memang mengagumkan, masih muda sudah berkepandaian tinggi. Akan tetapi, agaknya usiamu yang amat muda itulah yang membuat kau agak sembrono. Apakah sukarnya mengenalmu setelah kau bicara dengan piauwsu itu dan kau mengamuk di kota Ceng-sin-wan? Nama pinceng tidak ada orang kenal, bahkan ayah bundamu sendiri kiranya belum pernah mendengar namaku. Pinceng selamanya bertapa di dalam kelenteng dan tidak mau mencampuri urusan dunia. Sekarang ini karena nama Wan Sin Hong menggetarkan dunia menembus dinding kamarku, terpaksa pinceng keluar untuk berusaha menangkapnya. Telah beberapa hari pinceng mengikuti jejaknya akan tetapi melihat gerak-geriknya yang menyatakan bahwa Wan Sin Hong tak boleh dibuat sembarangan, pinceng menanti saat baik. Kebetulan di Ceng-sin-kwan pinceng melihatmu, maka setelah mendapat bantuanmu barulah pinceng turun tangan. Akan tetapi... ternyata tetap saja sia-sia. Wan Sin Hong manusia iblis yang sukar dilawan."
"Betapapun juga, kuharap Lo suhu sudi memperkenalkan nama yang mulia,” kata Hui Lian. "Aku sendiri adalah Go Hui Lian dan kedua orang tuaku Lo-suhu sudah mengenalnya."
Kalau tadi hwesio itu menyeringai dan tersenyum saja, sekarang ia menarik napas biarpun bibirnya masih tersenyum "Baiklah kali ini pinceng terpaksa membuka pantangan. Pinceng adalah seorang pertapa keliling, yang hidupnya dari kelenteng ke kelenteng, namaku Tang Hwesio."
Hui Lian memang belum pernah mendengar nama ini, nama yang sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw. "Lo-suhu, memang namamu sama sekali tidak pernah kukenal. Akan tetapi Ayah sering kali bilang bahwa orang-orang gagah di dunia ini yang tidak mau memperkenalkan diri dan sama sekali tidak terkenal banyaknya tidak terhitung. Sekarang bertemu dengan Lo suhu, tahulah aku apa yang dimaksudkan oleh Ayah."
"Ha ha ha, Ayahmu memang orang bijaksana. Biarpun belum pernah bertemu muka, hati emasnya sudah lama pinceng dengar."
"Tang-lo-suhu, mari kita kejar penjahat tadi sebelum ia pergi jauh!" tiba-tiba Hui Lian berkata. Setelah kini mengenal Tang Hwesio ia merasa menyesal mengapa tidak tadi-tadi ia dapat mengeroyok penjahat muda yang matanya "bisa bicara" itu.
Akan tetapi Tang Hwesio menggeleng kepalanya. "Tidak lihatkah kau tadi bahwa penjahat muda itu memiliki ilmu lari cepat yang amat luar biasa? Mungkin hanya Ayahmu yang dapat mengimbangi kecepatan larinya, akan tetapi pinceng selamanya baru satu kali pernah melihat ilmu lari cepat Siang-seng-hui (Sepasang Bintang Beterbangan) dari Partai Siauw-lim. Tadinya pinceng anggap ilmu lari cepat itu yang paling unggul, tidak tahunya penjahat tadi telah memperlihatkan ilmu lari cepat yang agaknya tidak kalah oleh Siang-seng-hui."
"Habis bagaimana kita bisa mengejarnya?"
"Dia pasti kembali ke kota Tiang-si. Mari kita menyelidik ke sana. Kiraku, kalau kita berdua maju menyerangnya, tak mungkin dia masih dapat mempertahankan diri. Hanya pinceng harap, kau tidak ragu-ragu dan lambat seperti tadi Nona."
Setelah berkata demikian, dengan langkahnya yang lebar, Tang hwesio berjalan cepat. Hui Lian mengejarnya dengan muka merah. Kata-kata terakhir hwesio tadi memang teguran yang wajar. Kalau saja dia tadi tidak ragu-ragu dan cepat menyerang, belum tentu penjahat Wan Sin Hong tadi dapat melarikan diri. Akan tetapi, mata itu! Sepasang mata pemuda tadi seakan-akan bicara kepadanya, menyatakan rangkaian kata-kata mencerminkan suara hati yang mendebarkan jantungnya.
Dia itukah putera angkat Lie Bu Tek? Betulkah pemuda itu menjadi penjahat? Kelihatan begitu sederhana, lemah lembut dan tampan. Akan tetapi matanya memang agak kurang ajar pikir Hui Lian. Dan kata-katanya itu? Bagaimanakah maksudnya? Apa artinya pemuda itu berkata bahwa Wan Sin Hong akan lenyap dan kalau ada hanya Wan Sin Hong palsu? Semua ini membingungkan Hui Lian, akan tetapi ia tidak mengeluarkan pernyataan sesuatu kepada Tang Hwesio yang berjalan cepat memasuki kota tanpa bicara pula.
"Nona, malam ini kita harus berpencar. Kau menyelidik bagian utara dan aku bagian selatan kota. Kita bertemu di kelenteng Ho-an-tang. Kalau kau bertemu dengan penjahat itu, kau lepaskan panah api ini, demikian pula kalau kau melihat panah api yang kulepaskan, harap kau cepat datang membantu. Kali ini kita harus dapat menangkapnya, mati atau hidup," kata Tang Hwesio sambil menyerahkan beberapa batang panah api kepada gadis itu. Hui Lian menyatakan setuju, menerima panah menyimpannya di dalam buntalan pakaian kemudia mereka berpisah. Tang Hwesio terus ke sebuah kelenteng di tengah kota, yakni kelenteng Hok an-tang, sedangkan Hui Lian mencari kamar di rumah penginapan.
Semenjak masuk ke dalam rumah penginapan, Hui Lian menaruh hati curiga kepada serombongan orang terdiri dari enam orang yang pakaiannya seperti jago-jago silat. Ia menduga bahwa enam orang itu tentulah sebangsa tukang pukul atau anak buah bangsawan atau hartawan okpa. Mungkin juga anggauta-anggauta perkumpulan silat yang menjaga di kota Tiang si. Akan tetapi, tak lama kemudian mereka itu main mata dan lenyap meninggalkan rumah penginapan itu tanpa mengganggunya. Hui Lian menarik napas lega. Ia tidak ingin mencari keributan dalam tugasnya yang lebih penting ini. Dan penuturan yang ia dengar selama ia tiba di Ceng-sin-kwan sampai Tiang-si, nama Wan Sin Hong memang tersohor sekali sebagai seorang penjahat yang kejam.
Tidak saja membunuh-bunuhi orang seperti membunuh ayam saja, juga ia merampok harta benda dan mengganggu anak bini orang lalu dibunuh secara mengerikan. Kejahatan yang terakhir inilah yang membuat Hui Lian menjadi marah sekali. Tidak peduli yang melakukan kejahatan itu putera pungut Lie Bu Tek, tak peduli yang melakukan itu seorang pemuda yang tampan, yang mempunyai mata pandai menyatakan isi hati, yang wajahnya mendebarkan hatinya, orang sekeji itu harus ia basmi! Oleh karena itu, Hui Lian bersemangat sekali dalam menjalankan tugas yang diserahkan kepadanya oleh Tang Hwesio.
Setelah makan malam, Hui Lian mengenakan pakaian yang ringkas, membawa pedang dan panah api. Ia menanti sampai rumah penginapan itu sunyi dan jalan raya juga sepi. Tanpa diketahui oleh seorang pun tamu lain, gadis perkasa ini melompat keluar melalui jendela yang ditutupnya kembali dari luar. Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung walet ia melompat ke atas genteng, Ia hati hati sekali, tidak segera pergi dari situ, melainkan mendekam di atas genteng sambil memandang ke sana ke mari, memasang mata dan telinga, takut kalau-kalau ada orang yang melihat gerakan-gerakannya. Akan tetapi keadaan di sekelilingnya sunyi belaka, hanya angin malam bertiup perlahan membelai pipi dan rambutnya. Dengan hati lega Hui Lian lalu mulai melompat dan sebentar saja sesosok bayangan yang gesit berlompatan dan berlarian melalui genteng-genteng rumah di kota Tiang si.
Ketika ia memutar ke bagian utara diam-diam ia kecewa dan mengecam Tang Hwesio di dalam hatinya. Ternyata bahwa ia mendapat tugas di bagian yang sunyi, rumah-rumah di situ kecil dan merupakan daerah penduduk miskin. Agaknya Tang Hwesio sengaja memilih daerah ramai untuk bagiannya sehingga tugas yang terberat berada di punggungnya. Sebagaimana telah diketahui, penjahat Wan Sin Hong itu selalu melakukan kejahatan di daerah orang kaya dan bangsawan-bangsaan. Di daerah yang miskin itu, seorang penjahat hendak mencari apakah? Tidak ada harta untuk dirampok, tidak ada gadis cantik untuk diganggu, dan tidak ada bangsawan untuk dibunuh.
"Tang Hwesio terlalu memandang rendah kepadaku..." kata Hui Lian bersungut-sungut. Sambil berjalan di atas jalan yang sunyi itu ia sering kali menegok ke selatan mengharapkan tanda panah dari Tang Hwesio. Akan tetapi angkasa sunyi pula, hanya beberapa butir bintang di langit mengiringkan bulan sepotong yang sudah timbul.
Hui Lian merasa jemu lalu tubuhnya digerakkan, meloncat naik lagi ke atas genteng rumah. Dan rumah ini ia melihat ke sekeliling dan pada saat itulah ia melihat di bawah sinar bulan bayangan seorang laki-laki berlari cepat mengejar seorang wanita. Wanita itu pun pandai ilmu silat dan pandai pula berlari cepat. Hal ini mudah dilihat dan gerakannya ketika melarikan diri. Kebetulan sekali dua orang yang berkejaran itu berlari melewati dekat rumah di mana Hui Lian bersembunyi dan bulan bersinar terang. Ketika wanita itu lewat dekat rumah dan terkena cahaya lampu yang tergantung di situ, Hui Lian melihat bahwa yang melarikan diri adalah seorang gadis yang cantik. Sekelebat ia seperti pernah melihat wajah perempuan ini akan tetapi ia lupa lagi entah di mana dan bilamana. Kemudian menyusul pengejar gadis itu, dan Hui Lian berdebar, mukanya merah. Ternyata pemuda itu adalah pemuda yang tadi siang ia lihat bersama Tang Hwesio, yakni pemuda yang oleh Tang Hwesio disebut Wan Sin Hong.
"Gadis keji, jangan harap bisa terlepas dan tanganku...!" terdengar pemuda itu berseru dan kini larinya cepat sekali. Dengan beberapa lompatan saja ia telah menyusul gadis yang lari di depannya.
Gadis itu tiba tiba membalikkan tubuh menyerang dengan pukulan yang tidak boleh dipandang ringan. Akan tetapi tanpa mempedulikan jatuhnya pukulan pada tubuhnya, pemuda itu mengulur tagan dan di lain saat gadis itu telah roboh dengan tubuh lemas! Ketika pemuda Itu membungkuk hendak mengangkat tubuh gadis yang sudah tak berdaya tiba-tiba terdengar bentakan di belakangnya.
"Bangsat tak tahu malu, kau memang harus mampus!" Sebatang pedang meyambar cepat sekali ke arah punggungnya.
Hui Lian sudah memastikan bahwa pedangnya tentu akan merobohkan lawan, karena selain kedudukan pemuda itu selang sukar dan kepalang, juga serangannya itu merupakan serangan dari jurus ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang yang terlihai. Akan tetapi hebat sekali pemuda itu. Biarpun ia juga terkejut sekali melihat datangnya serangan yang luar biasa cepat dan berbahayanya, namun sekali mengelak secara otomatis dan tangannya masih juga dapat menyambar tubuh gadis yang telah pingsan dan dikempitnya. Akan tetapi, ketika pemuda itu membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang menyerangnya, ia nampak gugup sekali.
"Kau... Nona..." Dan tak terasa pula tubuh gadis yang dikempitnya diletakkan kembali ke atas tanah.
Hui Lian tidak mau peduli akan sikap yang aneh dari pemuda ini. Ia merasa penasaran karena tadi serangan yang sudah begitu pasti ternyata menemui tempat kosong. Dengan gemas lalu menubruk maju menyerang dengan pedangnya, mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling sulit dan lihai karena ia maklum bahwa ia menghadapi seorang lawan lihai.
"Jangan serang aku... jangan kau ikut membenciku..." pemuda itu mengelak kesana ke mari sambil mengeluh.
Siapakah pemuda ini? Memang bukan lain dia adalah Wan Sin Hong sendiri! Seperti telah diketahui, Sin Hong merasa penasaran dan juga gemas sekali karena namanya dirusak orang. Di mana-mana terdengar perbuatan-perbuatan jahat yang katanya dilakukan oleh Wan Sin Hong, atau berarti olehnya! Oleh karena itu ia menggerahkan seluruh perhatian untuk menyelidiki persoalan ganjil ini. Sampai jauh ia merantau dan akhirnya ia melihat gadis yang dulu mengaku telah diganggu! Setelah Wan Sin Hong bertemu dengan Tang Hwesio dan Go Hui Lian kemudian dikeroyoknya, Sin Hong melarikan diri dengan hati berduka sekali.
Entah mengapa, melihat Go Hui Lian, hatinya tergerak dan bayangan gadis jelita itu tidak pernah dapat terusir dari depan matanya. Ia menjadi makin kecewa dan berduka. Tadinya ia merasa gembira juga melihat puteri Hwa I Enghiong Go Ciang Le yang sering kali dipuji oleh gihunya, ternyata merupakan seorang gadis yang demikian cantik jelita dan perkasa. Akan tetapi, kalau ia teringat betapa gadis manis ini pun menganggap dia orang penjahat, benar-benar Sin Hong, menjadi bingung dan sedih, dan makin bernafsulah ia untuk mencari orang merusak namanya.
Alangkah girang hatinya ketika ia sedang melarikan diri meninggalkan Hui Lian dan akan memasuki kota Tiang an ia melihat bayangan seorang gadis cantik yang dikenalnya sebagai gadis yang dia pernah mengaku menjadi korbannya! Gadis inilah yang dulu di depan para tokoh kang-ouw dan para ciangbunjin (ketua) dari partai-partai besar, mengaku telah diganggu dan yang agaknya sengaja hendak mencoret mukanya di depan tokoh-tokoh besar itu, entah karena kehendak sendiri ataukah disuruh oleh orang lain. Dahulu gadis itu melompat ke dalam jurang dan disangka mati oleh para tokoh besar tanpa menyelidiki lebih dulu. Dia sendiri sudah mencari ke bawah, akan tetapi tidak menemukan mayat gadis itu, tanda bahwa gadis itu bukannya membunuh diri dengan cara yang luar biasa sekali.
Sin Hong menahan gelora hatinya dan tidak mau berlancang tangan menyerang. Ia maklum bahwa gadis itu bukan orang biasa saja, dan kalau diingat bahwa selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan gadis itu, maka mustahil kalau itu sengaja merusak namanya begitu saja. Pasti ada apa-apanya di belakang atau dengan lain perkataan, pasti ada orang lain yang menggerakkan gadis ini melakukan fitnahan keji terhadap dirinya. Kalau memang ada orang di belakang layar itu, maka dia itulah orangnya yang selama ini merusak namanya. Hati Sin Hong berdebar. Diam-diam lalu mengikuti gadis itu karena menduga bahwa gadis itu tentu akan membawanya ke tempat orang yang selama ini merusak namanya.
Akan tetapi wanita muda yang cantik itu menyewa kamar di sebuah hotel. terpaksa Sin Hong juga menyewa kamar dan diam-diam ia terus menguntit. Bukan main mendongkol hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa wanita itu tidak pernah keluar dari kamarnya, bahkan memesan kepada pelayan untuk mengirim masakan ke kamar. Sampai jauh malam Sin Hong mengintai dari kamarnya sendiri ke arah kamar gadis ini. Menjelang tengah malam, ia melihat bayangan orang melompat-lompat di atas wuwungan rumah dan ketika bayangn itu menggerakkan tangan, ia melihat sebuah benda hitam kecil melayang masuk ke dalam kamar wanita muda tadi melalui celah-celah antara daun jendela.
Sin Hong cepat melompat keluar kamar, akan tetapi dengan beberapa gerakan saja bayangan itu telah lenyap. Sin Hon penasaran, cepat ia mendekati jendela kamar wanita itu dan mengintai ke dalam. dilihatnya wanita itu tengah memegang sehelai kertas yang ditulis dengan huruf-huruf besar.
"DIA MENGINTAIMU, LEKAS LARI, TERPISAH DAN TUTUP MULUT"
Pandang mata Sin Hong yang tajam dapat membaca tulisan itu dan ia menggigit bibir dengan mendongkol sekali. Tak disangkanya bahwa musuh yang merusak namanya itu benar-benar amat lihai. Tadi pun ia telah menyaksikan gerakannya yang luar biasa cepat dan kini yakinlah dia bahwa musuhnya itu adalah bayangan tadi. Dan wanita ini hanyalah kaki tangan dan musuh rahasianya. Ia mendengar wanita itu mengeluarkan keluhan dan nampak seperti ketakutan. Kemudian ia cepat menyelinap ketika melihat wanita itu berbenah, membungkus pakaian dan memanggulnya di punggung, kemudian wanita itu memadamkan api lilin dan melompat keluar melalui jendela dengan gerakan yang cukup lincah! Kemudian wanita muda yang cantik itu berlari cepat sekali ke arah utara, agaknya hendak keluar dari kota Tiangsi.
Sin Hong maklum bahwa gadis ini tentu taat akan surat perintah tadi, maka untuk berhadapan dengan musuh rahasianya ia harus menangkap gadis ini. Akan tetapi siapa kira, baru saja ia hendak membekuk gadis itu, tiba-tiba muncul Go Hui Lian menyerangnya, dengan hebat. Biarpun Sin Hong harus mengaku bahwa ilmu pedang dari Hui Lian tak boleh dipandang ringan, namun bukan serangan itulah yang membuat ia menjadi gugup, bingung, dan berduka. Ia maklum bahwa perbuatannya merobohkan gadis di tengah malam buta tentu akan mendatangkan kecurigaan besar sekali dan tentu Hui Lian kini akan merasa yakin bahwa Wan Sin Hong benar-benar seorang penjahat keji pengganggu wanita!
Di samping kedukaan ini. juga Sin Hong ingin sekali menguji sampai di mana kehebatan ilmu silat dari puteri pendekar yang sudah amat terkenal dan selalu dipuji-puji oleh gihunya. Maka lalu memperhatikan dan menghadapi pedang Hui Lian dengan tangan kosong.
Di lain pihak, Hui Lian merasa amat penasaran, mendongkol, dan juga heran, Dia adalah puteri tunggal Go Ciang Le jagoan nomor satu di dunia persilatan. Dia sudah mewarisi Ilmu Silat Pak-kek, Sin-ciang yang belum seratus prosen akan tetapi hanya di bawah tingkat ayahnya. Dia mempelajari ginkang darinya yang telah mewarisi ilmu ginkang luar biasa dari mendiang Thian Te Siang-mo (Sepasang Iblis Kembar). Bagaimana sekarang dengan pedangnya, ia hanya dihadapi dan dilawan dengan tangan kosong belaka oleh pemuda keji bernama Wan Sin Hong ini? Ia benar-benar penasaran, mendongkol dan heran. Baru ini kali selama hidupnya Hui Lian mengalami hal yang amat aneh dan tak masuk akal.
Di samping keheranan dan penasaran ini, ia pun diam-diam merasa amat kecewa. Rasa kecewa yang sudah terasa di dalam lubuk hatinya semenjak ia berjumpa dengan Sin Hong, kecewa karena melihat seorang pemuda yang demikian "baik" ternyata telah sesat menjadi seorang penjahat keji yang demikian tersohor. Kini, melihat sendiri betapa kejinya pemuda itu mengejar-ngejar seorang gadis dan merobohkannya, ditambah dengan kenyataan betapa tinggi ilmu silat pemuda rasa kecewa di dalam hatinya meningkat. Harus ia akui bahwa hatinya tergerak dan tertarik sekali terhadap pemuda mi. Betapa tidak? Selama hidupnya baru kali ini ia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian gagah dan tinggi ilmu silatnya. Tampan pula! Tidak kalah oleh Kong Ji dalam kelihaian maupun dalam ketampanan. Akan tetapi... sayangnya tidak kalah pula dalam kejahatan!
Rasa kecewa ini membuat Hui Lian menjadi makin gemas. Pedangnya berkelebat-kelebat menyambar bagaikan naga mengamuk, akan tetapi yang diamuknya tenang-tenang saja mengelak ke sana ke mari, kadang-kadang menyampok perlahan dan beberapa kali terdengar pemuda itu memuji ilmu pedangnya. Lima puluh jurus telah lewat tanpa satu kali pun Sin Hong membalas serangan Hui Lian.
"Keparat, kau balaslah!" Hui Lian membentak dengan penasaran dan gemas. Hatinya sakit sekali dan mau ia menangis sambil membanting-banting kaki kalau ia tidak malu kepada Sin Hong. Baru kali ini dia, puteri Hwa I Enghiong! dipermainkan orang seperti ini.
Akan tetapi tiba-tiba Sin Hong berseru keras, "Celaka, dia lari...!"
Hui Lian mengerling dan benar saja, gadis yang tadi dikejar-kejar dan dirobohkan oleh Sin Hong telah lenyap dari situ, tidak kelihatan lagi bayangannya. Ketika ia memandang lagi ke depan, Sin Hong juga telah lenyap. Tentu pemuda itu pergi mencari gadis tadi, pikirnya dan aneh sekali, timbul rasa tidak enak seperti orang iri hati dan cemburu didalam dadanya. Sin Hong agaknya tergila-gila dan suka sekali kepada gadis tadi sampai-sampai meninggalkan gelangang pertempuran, seakan-akan tidak ada gadis cantik lain di dunia ini, seakan-akan dia... Go Hui Lian... bukan seorang gadis atau bukan seorang gadis cantik! Sayang aku tadi tidak melihat wajah gadis itu, demikian bisikan hati Hui Lian.
Tiba-tiba gadis ini merah mukanya dan mau ia menampar pipinya sendiri untuk pikiran yang dianggapnya tak bermalu itu. Cepat dikeluarkan panah api dan tak lama kemudian di udara meluncur cahaya kekuningan. Tak lama kemudian datanglah Tang Hwesio sambil memanggul penggadanya. Langkahnya lebar dan larinya cepat seperti seekor singa.
"Mana dia...?" tanyanya dari jauh begitu dia melihat bayangan gadis itu.
"Dia telah lari, Lo-suhu. Sayang sekali." Kemudian dengan singkat Hui Lian menceritakan betapa ia melihat penjahat itu mengejar dan merobohkan seorang gadis. Kemudian ia menyerang penjahat itu yang melarikan diri setelah melihat gadis tadi sudah lenyap dan situ, agaknya sudah lari lebih dulu.
"Aneh sekali, pinceng juga melihat bayangan seorang laki-laki memondong seorang gadis wanita, cepat sekali larinya dan telah lenyap sebelum penceng dapat melihat apakah dia itu Wan Si Hong atau bukan."
Makin panas dan tidak enak hati Hui Lian. "Ah, tentu dia sudah menangkap lagi perempuan tadi. Sayang aku tidak mempunyai kemampuan untuk merobohkan dan membikin mampus dia!"
Tang Hwesio menarik napas panjang. "Siapa yang akan menyalahkan kau, Nona? Kita berdua sudah sama tahu betapa lihainya penjahat muda itu. Kau bertemu dengan dia seorang diri dan dia tidak mengganggumu, itu sudah amat bagus untukmu. Nona, sekarang tidak ada lain jalan bagi kita. Kau lebih baik lekas mencari Ayah bundamu, suruh mereka turun tagan menangkap penjahat keji ini. Pinceng sendiri akan menemui kawan-kawan di dunia kang-ouw untuk mengajak mereka beramai-ramai turun gunung membersihkan dunia dari kejahatan Wan Sin Hong!"
Memang tidak ada jalan lain yang lebih baik. Mereka berdua tidak berdaya menghadapi Wan Sin Hong. Dengan lemas dan kecewa Hui Lan berpisah dan Tang Hwesio. kembali ke hotelnya mengambil pakaian, meninggalkan uang pembayaran sewa kamar di atas meja dan pergi pada saat itu juga. Tengah malam telah lama lewat dan fajar sudah hampir menyingsing. Di sana-sini, jarang-jarang, sudah terdengar suara kokok ayam yang kepagian. Di angkasa sudah tidak ada buIan, hanya bintang-bintang masih menghias langit hitam, berkedap-kedip seakan-akan bermain mata dengan Hui Lian. Aneh, kedipan bintang mengingatkan Hui Lian akan kedipan mata Sin Hong dan ia mengutuk bintang-bintang itu dalam hatinya, tidak mau memandang ke atas lagi dan berjalan meninggalkan kota Tiang-si yang masih tidur.
Hawa pagi itu dingin benar. Ah, mengapa aku keluar sepagi ini? Dingin amat, pikir Hui Lian. Akan tetapi kalau ia teringat akan peristiwa tengah malam tadi, ia berpikir lain. Biarlah, biar aku kedinginan, hitung-hitung untuk menghukum kebodohan sendiri. Aku harus melupakan dia sebagai pemuda menarik hati, harus ingat dia sebagai seorang penjahat keji! Biarlah hawa dingin mencuci otakku yang keruh, pikirnya gema kepada diri sendiri.
Kokok ayam saling bersahutan menyambut fajar menyingsing ketika Hui Lian tiba di luar kota yang sunyi. Sawah dan tegal para petani membentang luas di kanan kini jalan yang sunyi itu. Kadang-kadang saja ia melihat pohon yang tumbuh di pinggir jalan, pohon-pohon tua yang batangnya sudah terbengkok-bengok membawa berat dahan dan daun. Ketika tiba di jalan membelok, ia melihat sinar api di depan. Dari jauh dapat dilihat bahwa itu adalah api unggun yang dibuat orang, sedangkan orangnyapun kelihatan berjongkok di dekat api, agaknya seorang petani membuat api untuk mengusir hawa dingin yang menggerogoti tulang.
Hut Lian tentu saja dapat mengusir serangan hawa dingin dengan pengerahan sinkangnya, akan tetapi pada saat itu semangatnya sedang lelah dan tidak mempunyai niat untuk berusaha sesuatu. Kini melihat orang mengusir dingin dengan api unggun, nampaknya begitu hangat dan enak, ia ingin sekali ikut menghanatkan tubuh di dekat api unggun. Tak terasa lagi ia lalu membelokkan tujuan kakinya dan menghampiri api unggun itu.
"Mari, silahkan duduk, Nona. Aku sengaja menunggumu di sini. Kita bercakap-cakap sambil menghangatkan tubuh. Silakan." Orang yang tadinya dikira petani itu menggeser sebuah batu besar ke dekat api unggun sambil mempersilahkan Hui Lian dengan tangan kanannya dibentangkan.
Hui Lian membelalakkan matanya hampir saja berteriak saking kagetnya. "Kau...?" serunya dan secepat kilat telah mencabut pedangnya! Ternyata bahwa orang itu bukan lain adalah Wan Sin Hong yang malam tadi diserangnya mati-matian dan yang semenjak kemarin bayangannya selalu mengganggunya.
Sin Hong menundukkan mukanya dia menarik napas panjang. "Alangkah buruknya kebiasaan seorang ahli silat. Di waktu sedingin ini pun mencabut pedang. Aahhh, kalau aku tidak mengerti ilmu silat, alangkah baiknya namaku tidak rusak... aku tidak dibenci orang..."
"Kau jahanam busuk pura-pura menyesal?" Hui Lian menodongkan ujung pedangnya di depan dada Sin Hong. "Jangan kau berusaha hendak menipuku. mana gadis malam tadi?"
Bibir Sin Hong tersenyum duka. "Tahukah kau di mana dia? Aku ingin sekali tahu, ingin sekali, karena aku harus dapat merangkap dia." Kemudian sambil menatap wajah Hui Lian yang nampak luar biasa cantiknya dalam cahaya api unggun. Sin Hong berkata tenang, "Kau duduklah baik-baik, Nona. Aku ingin bicara dari hati ke hati denganmu, aku merasa bahagia sekali dapat bertemu dengan puteri Hwa I Enghiong."
"Jangan coba berputar lidah! Hayo keluarkan senjatamu kalau kau memang laki-laki. Keparat jahanam, penjahat rendah, aku tidak begitu rendah untuk membunuh orang yang tidak melawan. Hayo kita bertempur seribu jurus sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa di sini!" Tangan Hui Lian yang memegang pedang sudah menegang, siap untuk menyerang.
Sin Hong memandang ke arah api dan menarik napas lagi, wajahnya agak pucat dan sinar matanya layu. "Simpan kembali pedangmu. Nona. Tiada gunanya lagi, aku bukan orang jahat."
"Mana ada penjahat mengaku jahat? Harimau ganas pun langkahnya perlahan, jejaknya tak terdengar orang. Hayo lekas berdiri dan siap untuk bertempur mati-matian!" Hui Lian menantang sambil membanting kakinya.
"Sesukamulah, kau boleh memaki aku apa saja. Akan tetapi yang jelas, aku takkan mau melawanmu bertempur. Sekali saja bagiku cukuplah, karena yang sekali itu pun sudah membuat aku merasa sengsara sekali."
"Pengecut jangan kau menghinaku! Apa kau kira aku takut kepadamu? Biar pun kau seribu kali lebih lihai, aku Go Hui Lian tidak takut mati, tahu? Bangkitlah dan mari kita tetapkan siapa yang harus menggeletak tak bernyawa di sini. Mati untuk membela para wanita yang kauganggu, aku rela!"
Sin Hong menggeleng-gelengkan kepaIanya. "Ucapanmu lebih tajam dan menyakitkan daripada tusukan pedangmu, Nona. Sudah kukatakan bahwa aku tidak sanggup lagi melawanmu. Hanya pintaku kalau kau memang mempunyai perikemanusiaan, duduklah dan dengarkan semua penjelasanku. Aku bersumpah bahwa Wan Sin Hong bukanlah seorang keji, bukan seorang hina yang melakukan segala, perbuatan terkutuk. Karena kau puteri Hwa I Enghiong yang sudah lama kukagumi, maka aku ingin menceritakan semua ini kepadamu. Karena kau... kau seorang yang ingin kujadikan kawan, maka aku mau menceritakan semua ini kepadamu. Akan tetapi kalau kau tidak percaya dan tetap hendak membunuhku, tusukkan saja pedangmu itu. Aku takkan melawan..." Sin Hong kembali memandang ke arah api. Ia sedih sekali. Benar-benar ia pun merasa heran mengapa begitu banyak orang menganggapnya jahat, ia bahkan merasa penasaran. Akan tetapi sekali saja gadis ini menganggapnya jahat, ia menjadi lemas dan berduka, dan ingin mati saja!
"Keparat jahanam! Berdirilah, lawanlah aku... jangan kau menghina! Sikapmu yang tak hendak melawan ini menghinaku. Kau tahu, aku puteri pendekar besar Go Ciang Le, aku tidak takut mati. Berdirilah... atau kalau tidak... demi Tuhan, kutusuk dadamu dengan pedangku!" Hui lian kini membanting-banting kedua kakinya dan mau dia menangis. Tangannya yang memegang pedang mulai gemetar, sedangkan ujung pedang yang runcing mendekat sampai menempel di baju Sin Hong, tepat di dada kiri di mana jantungnya berada, jantung yang berdebar lemah karena duka.
Sin Hong menggeleng-gelengkan kepala menengok dan menatap wajah Hui Lian sebentar, kemudian memandangi api lagi. "Mati di tangan dara perkasa puteri Hwa I Enghiong cukup berharga..." katanya perlahan.
"Bedebah, lihat pedang!" Hui Lian yang sudah marah sekali karena merasa dihina dengan semua kata -kata Sin Hong yang dianggapnya seorang penjahat besar pengganggu banyak wanita, menggerakkan tangan kanan. Pedangnya ditarik ke belakang lalu ditusukkan ke depan.
Sin Hong tidak bergeming, bergerak sedikit pun tidak. Akan tetapi terdengar baju robek dan darah mengucur keluar dari pundak kirinya, membasahi bajunya yang putih. Sebentar saja baju Sin Hong menjadi merah oleh darahnya sendiri!
"Mengapa kau selewengkan ke pundak, Nona?"
"Kau... kau... mengapa tidak mengelak...?" Hui Lian berdiri dengan muka pucat matanya terbelalak lebar, bibirnya gemetar dan tangan yang memegang pedang menggigil. Ngeri ia melihat darah membasahi baju di dada Sin Hong.
"Sudah kukatakan tadi, aku takkan melawan. Aku rela mati di tangan Nona Go Hui Lian, seorang dara perkasa yang gagah dan budiman..."
Dua titik air mata melompat keluar dari sepasang mata Hui Lian ketika ia mendengar suara yang halus ini. Akan tetapi ia menggigit bibir mengeraskan hatinya. "Kau jahat dan aneh. Apa artinya sikapmu ini? Kau demikian jahat, mengapa sekarang kau berpura-pura baik? Biarpun memakai bulu domba bertopeng muka kelinci, harimau tetap harimau buas dan liar. Siapa percaya kepadamu"
"Tidak ada yang percaya kepadaku, Nona. Oleh karena itulah maka harapanku satu-satunya kujatuhkan kepadamu. Aku mengharapkan kau suka mendengarkan ceritaku dan... percaya kepadaku..."
"Mengapa...? Mengapa kepadaku?"
Sin Hong tersenyum, menggerakkan jari tangan kanan menotok pundaknya sendiri untuk menghentikan darah yang mengalir. Hui Lian memandang kagum melihat pemuda itu menerima tusukan pedang dan menahan luka tanpa berkedip sedikit pun.
"Karena kau puteri Hwa I Enghiong. sudah semenjak kecil aku mendengar dari Gihu tentang Ayah Bundamu yang gagah perkasa dan budiman. Karena itu aku percaya bahwa puterinya tentu juga seorang gagah dan budiman pula."
"Apa yang hendak kau ceritakan lagi? Bukti banyak, semua orang di dunia kang-ouw mengetahui bahwa..." Hui Lian tidak melanjutkan kata-katanya. Teringat akan segala perbuatan keji yang dilakukan oleh pemuda ini, perasaan terharu yang tadi menipis.
"Memang demikian, Nona. Aku dianggap jahat, dan sudah banyak bukti-buktinya. Akan tetapi semua ini bukan atas kehendakku sendiri, ada orang yang sengaja merusak namaku..."
“Apa maksudmu?"
"Ada musuh rahasia yang sengaja melakukan semua perbuatan terkutuk dengan menggunakan namaku dan..."
"Bohong' Siapa bisa percaya? Wan Sin Hong, tak perlu kau mengarang dongeng, apakah para locianpwe di dunia kang-ouw semua sudah bodoh dan buta? Aku sendiri melihat kau mengejar dan merobohkan seorang gadis. Apa kau masih belum mati dan mempunyai muka untuk menyangkal?"
"Sayang gadis itu terlepas lagi," Sin Hong menghela napas. "Dia itu kaki tangan musuh rahasiaku. Sudah tertawan terlepas lagi…”
Hui Lian tertegun. "Ceritakan semua!"
Sin Hong menengok dan menatap wajah yang cantik dan kini tegang itu. "Nona, percayakah kau kepadaku?"
"Mengingat kau anak angkat Lie Bu Tek Pekhu, seharusnya aku percaya, akan tetapi mendengar nama busukmu dan melihat bukti sendiri malam tadi…”
"Jadi kau juga tidak percaya kepadaku?"
Hui Lian menggelengkan kepalanya, sungguhpun agak ragu-ragu. Sin Hong mengeluh, lalu duduk menghadapi apa lagi. "Kalau begitu tidak ada gunanya bagiku untuk bercerita. Kau boleh tusuk aku sampai mati atau... tinggalkan aku pergi!"
Hui Lian melengak, mukanya menjadi merah. Tangan yang memegang pedang sudah menggigil lagi, akan tetapi bagaimana ia bisa membunuh orang yang membuat hatinya tidak karuan rasanya ini? Orang yang membuat ia merasa bukan seperti diri sendiri, merasa lemah dan tidak dapat menguasai hati dan pikiran, tak tentu pendirian? Hati dan pikirannya bertempur hebat. Menurutkan kesadarannya sebagai seorang pendekar, ia harus membunuh manusia jahat ini akan tetapi menurut suara hatinya... ia tidak tega, bahkan baru melukai pundaknya saja ia merasa menyesal bukan main.
Akhirnya, sambil mengeluarkan jerit tertahan, pedangnya berkelebat dan robohlah sebatang pohon tak jauh dari situ, tumbang oleh sabetan pedangnya! Kemudian, dengan suara aneh di kerongkongan, tangis bukan tawa bukan akan tetapi menyerupai keduanya. Gadis itu mengerahkan tenaga dan lari meninggalkan Sin Hong yang masih duduk menghadapi api unggun bagaikan patung batu...!