Pedang Penakluk Iblis Jilid 25
KETIKA keadaan negara kacau karena kelemahan Kaisar dan disana-sini orang-orang jahat merajalela, dusun tempat tinggal Liang Ti Ek menjadi korban serbuan perampok, Liang Ti Ek adalah seorang gagah dan berkepandaian tinggi. Seorang diri dengan paculnya, ia berhasil membasmi perampok-perampok ini sehingga akhirnya mereka takut dan mengangkatnya menjadi kepala.
Melihat keadaan negara kacau dan para petugas negara tukang korup besar, Liang Ti Ek meninggalkan dunia sawah-ladangnya dan masuk ke dunia lok-lim, menjadi kepala rampok. Tadinya memang yang diganggunya hanya para pedagang dan pembesar yang lewat, akan tetapi lambat laun, watak anak buahnya yang kasar dan keji rupa-rupanya menular kepadanya dan dia menjadi kepala rampok tak pandang bulu dan kejam.
Setelah Hwa I Enghiong Ciang Le tinggal di selatan, Liang Ti Ek ketakutan dan berpindah-pindah, bahkan ia membubarkan anak buahnya dan bekerja seorang diri menjadi perampok tunggal. Kemudian ia bertemu dengan Thian-sin Siok Hoat dan bersahabat. Demikianlah hari ini ia ikut membantu Siok Hoat untuk membunuh Kaisar.
Akan tetapi, siapa kira, baru saja memperlihatkan keahliannya menyambit dengan tiga batang piauw sekaligus ke arah Kaisar, muncul seorang nenek perkasa yang dengan mudah meruntuhkan tiga batang piauwnya dan kini bahkan menyerangnya dengan hebat. Liang Ti Ek memutar paculnya mengerahkan tenaga lweekangnya untuk mendesak. Namun, alangkah terkejutnya ketika matanya matanya menjadi berkunang dan ia harus membuka mata lebar-lebar karena kalau tidak demikian, ia mungkin akan kehilangan lawannya dan tahu-tahu akan menerima pukulan maut.
Demikian cepat gerakan lawannya dan alangkah ringan kakinya bergerak ke sana ke mari, tanda bahwa ia menghadapi seorang nenek tua yang memiliki ginkang luar biasa sekali. Maka cepat ia menggerakkan paculnya dan mainkan ilmu silat yang aneh gerakannya. Tidak sembarangan ahli silat dapat mainkan alat pertanian ini sebagai senjata.
Kalau orang tidak memiliki dasar ilmu silat tinggi, maka senjata ini hanya membikin kaku gerakannya dan tak mungkin menjadi senjata yang ampuh. Akan tetapi, kalau yang mainkan itu sudah memiliki kepandaian tinggi, apalagi memang sudah berpuluh tahun Liang Ti Ek berlatih ilmu mainkan pacul, senjata aneh ini amat berbahaya dan merupakan senjata yang dapat mengimbangi kelihaian ranting di tangan Kwan Ji Nio.
Pertempuran yang amat ramai dan paling mengerikan hati adalah pertempuran antara Pouw Bin dan Kwan Kok Sun. Kwan Kok Sun sebagaimana diketahui adalah seorang pemuda yang berkepala gundul dan kepandaiannya yang diwarisi dari ayah bundanya yang kosen, tentu saja amat hebat. Di lain pihak Pouw Bin yang menjadi lawannya adalah seorang bertubuh tinggi besar dan kepalanya di tengah-tengah botak kelimis menyaingi kepala Kwan Kok Su.
Muka Pouw Bin menghitam dan mengkilap seperti pantat kwali digosok minyak. Ia berjuluk Thiat touw kang- jiu (Kepala Besi Tangan Baja) dan kepandaiannya tinggi karena sebetulnya dia adalah sute (adik seperguruan) dari Thian-sin Siok Hoat bekas kepala itu. Yang diandalkan adalah ilmu pukulan tangan kosong yang disebut Kang-san-jiu (Tangan Gunung Baja). Setiap jari tangannya merupakan senjata seperti batang baja yang kokoh kuat, yang sekali ditusukkan dapat melubangi tembok.
Selain ini, juga julukannya Kepala Besi bukan tidak ada artinya. Kepalanya yang botak itu bukan karena penyakit juga bukan sengaja botak, melainkan akibat daripada latihan lweekang dengan kepalanya. Dari kulit kepalanya yang botak ini kalau dipergunakan keluar hawa pukulan yang dahsyat dan sudah banyak sekali lawan yang ia robohkan dengan benturan kepalanya yang lihai.
Tadinya Pouw Bin memandang rendah kepada Kwan Kok Sun, akan tetapi setelah pertandingan berlangsung beberapa belas jurus, bukan main kagetnya melihat bahwa sepasang ular hijau di tangan pemuda gundul itu benar-benar amat berbahaya. Sepasang ular itu dimainkan oleh Kok Sun seperti orang mainkan senjata ruyung lemas (joan-pian) dan bahkan jauh melebihi joan-pian bahayanya.
Kalau orang terkena pukulan joan-pian, asal memiliki tenaga lweekang dan pernah melatih diri dengan ilmu kebal, paling banyak hanya terluka. Akan tetapi, sekali saja kena sabetan ular hijau ini berarti terkena gigitan dan racunnya. Betapapun kebal seseorang, betapapun lihai lweekangnya asal darah sudah dimasuki racun ular ini, celakalah dia!
Oleh karena itu Pouw Bin yang berlengan besi tidak berani mengadu lengannya dengan ular-ular itu, sebaliknya Kwan Kok Sun juga tidak berani mengadu ularnya dengan sepasang lengan yang demikian keras dan kuat. Melihat tangan yang mengeluarkan cahaya kehitaman itu saja maklumlah Kok Sun bahwa lawannya memiliki sepasang tangan rang sudah dilatih secara hebat.
Adapun orang ke lima adalah Pouw Sin, berjuluk Siang-sin-to, atau Sepasang Golok Sakti. Orangnya kurus kecil, dia ini adik dari Pouw Bin, juga sute dari Siok Hoat. Sesuai dengan julukannya, sepasang goloknya jarang menemui tandingan. Tadi, ia disambut oleh Liok-te Mo-ong Wie It. Kalau saja Wie It maju seorang diri, kiranya ia takkan dapat menang melawan Siang-sin-to Pouw-Sin.
Baiknya ia maju dengan bantuan Bu Tong busu tinggi besar itu dan empat orang busu lain. Dengan berenam ia mengeroyok Siang-sin-to Pouw Sin. Pouw Sin menggerakkan sepasang goloknya lihai sekali. Baru belasan jurus saja sudah ada dua orang busu yang terluka dan terpaksa mengundurkan diri dari kalangan pertempuran.
Melihat ini, dua orang busu lain yang lebih lihai menggantikan mereka dan kini Liok-te Mo ong Wie It yang melihat cara lawan ini bersilat golok memberi aba-aba untuk mengeroyok dari jauh, mempergunakan serangan bertubi-tubi dan bergiliran secara teratur. Benar saja, Pouw Sin kewalahan sekali dan kini ia terdesak hebat.
Tiba-tiba terdengar pekik mengerikan dan tubuh Kwan Kok Sun terlempar membentur dinding di belakangnya. Sebaliknya, lawannya Pouw Bin Si Kepala Baja terhuyung-huyung. Dialah yang memekik tadi dan mencoba dengan tangan kirinya untuk membetot seekor ular hijau yang menggigit pergelangan tangan kanannya. Akan tetapi sebelum ia berhasil membetot, racun ular itu telah menjalar ke dalam tubuh menyerang jantungnya dan ia roboh binasa, mukanya menjadi hijau sekali.
Bagaimana Kwan Kok Sun sampai terlempar jauh? Tadi ketika pemuda gundul ini menjadi gemas karena sudah tiga puluh jurus belum juga ia dapat mengalahkan lawannya, lalu menyimpan seekor ularnya di dalam saku dan sebaliknya mengeluarkan sebuah bungkusan kecil yang segera dimasukkan ke dalam mulutnya! Tak lama kemudian sambil mengeluarkan bentakan nyaring dari mulutnya menyambar uap hitam ke arah Pouw Bin. Inilah obat tadi yang dikeluarkan dengan saluran hawa lweekang. Kalau bukan Kok Sun putera Si Raja Racun, tentu saja tidak berani memasukkan bubuk racun hotam ke dalam mulutnya!
. Pouw Bin terkejut dan cepat sekali ia menggerakkan tubuh mengelak, akan tetapi hawa beracun itu masih menguasainya ketika hidungnya mencium bau racun itu, membuat pandangan matanya untuk sedetik berkunang. Ia cepat menyalurkan hawa murni untuk mengusir pengaruh ini, akan tetapi pada saat itu, Kok Sun tidak membuang kesempatan baik, menyerang dengan ularnya yang masih seekor berada di tangannya. Ular menyambar ke arah leher Pouw Bin.
Tiat-thouw-kang-jiu Pouw Bin pada saat itu sudah sadar kembali dari pengaruh bau busuk racun hitam. Telinganya mendengar sambaran hawa pukulan kawan. Maklum bahwa tidak ada jalan lain untuk menangkan pertandingan itu selain mengadu nyawa, ia cepat mengulur tangan menangkap leher ular dan berbareng ia menggunakan kepalanya menyeruduk ke depan, ke arah perut Kwan Kok Sun.
Akibatnya hebat! Kok Sun kena diseraduk sampai terpental jauh dan menubruk dinding. Dinding itu jebol dan Kok Sun roboh akan tetapi bocah gundul ini hanya kaget saja, di dalam perut dan dadanya tidak terluka! Sebaliknya, Pouw Bin tak dapat mengelak lagi ketika ular yang dipegang terlalu tengah itu membalikkan kepalanya dan menggigit pergelangan tangannya, mengakibatkan Si Kepala Besi Tangan Baja ini roboh binasa.
Ular itu pun hancur perutnya karena cengkeraman tangan baja Pouw Bin, berberkelojotan dan tak lama kemudian mati bersama korbannya. Kematian Pouw Bin melemahkan hati kawan-kawannya, terutama sekali Liang Ti Ek yang sudah didesak mati-matian oleh Kwan Ji Nio.
Sebaliknya Kwan Ji Nio dan juga See-thian Tok-ong merasa penasaran dan gemas sekali kepada lawannya karena Kwan Kok Sun tertawa-tawa sambil mengejek ayah bundanya.
"Ha ha ha, Ayah dan Ibu sudah tua sekarang, Tidak bisa lekas merobohkan lawan. Ha ha ha!"
Kwan Ji Nio memekik keras dan tiba-tiba tubuhnya mumbul di atas melalui kepala lawannya dan sebelum Liang Ti Ek hilang kagetnya, ranting di tangan nyonya kosen itu telah meluncur dari atas, bukan ditusukkan melainkan disambitkan. Inilah serangan paling lihai dari Kwan Ji Nio dan jarang ada yang dapat selamat dari serangan ini. Liang Ti Ek menjarit, paculnya melesat ke arah Kaisar!
Seorang pengawal mengangkat toya dan memukul pacul itu runtuh di atas lantai, adapun Liang Ti Ek sendiri roboh binasa dengan kepala berlobang, di mana menancap ranting yang disambitkan oleh Kwan Ji Nio tadi!
Melihat suaminya belum juga dapat merobohkan dua orang lawannya yang memang paling lihai di antara lima orang itu, Kwan Ji Nio mencabut ranting dari kepala lawannya, lalu sekali berkelebat ia telah membantu suaminya menghadapi Swi Tok Sai-ong. Terpaksa tosu dari Pegunungan Gobi ini meninggalkan See- thian Tok-ong menghadapi Kwan Ji Nio yang amat gesit gerakannya itu.
Setelah See-thian Tok-ong menghadapi Thian-sin Siok Hoat seorang, Raja Racun dari Barat ini mengeluarkan seruan ketawa yang menyeramkan, sepasan Ngo-tok Mo-jiauw di tangannya bergerak makin cepat dan di lain gebrakan robohlah Siok Hoat tanpa bernapas lagi. Ngo-tok Mo-jiauw mendapat korban baru!
Melihat ini, kuncup hati Swi Tok Sai-ong sehingga tanpa malu-malu lagi ia menjatuhkan diri berlutut sambil berseru keras minta-minta ampun kepada Kaisar. Akan tetapi dibarengi dengan suara ketawa nyaring dari Kwan Ji Nio, di lain saat ia terjengkang roboh tak bernyawa. Dadanya berlubang ditembus ranting di tangan nenek itu!
Kini tinggal seorang lagi yang masih melawan dikeroyok oleh Liok-te Mo-ong Wie It dan kawan-kawannya. Keadaannya juga sudah amat terdesak dan melihat betapa empat orang kawannya sudah tewas, orang terakhir ini, yaitu Siang-sin-to Pouw Sin, menjadi gentar bukan main.
Jalan keluar ke arah hidup sudah tidak ada lagi dan ia maklum bahwa ia pun sebentar lagi akan menerima nasib seperti empat orang kawannya. Timbul sifat pengecut dalam hatinya dan sambil melompat ke luar dari kalangan, Pouw Sin melempar golok menjatuhkan diri berlutut dan minta-minta ampun!
Wie It yang sudah merasa gemas dan malu sejak tadi belum juga dapat merobohkan lawan yang dikeroyok, tidak mempedulikan permintaan ampun ini dan hendak membunuhnya dengan pedang. Tiba-tiba terdengar suara Kaisar.
"Wie lt, jangan bunuh dia. Bawa dia ke sini!"
Terpaksa Wie It mengurungkan niatnya membunuh Pouw Sin dan menyeret tawanan itu pada rambutnya kemudian membantingnya didepan kaki Kaisar yang kini sudah tidak dikurung lagi oleh para pengawal pribadinya. Pouw Sin tidak berani memandang muka Kaisar dan berlutut sambil membentur-benturkan jidatnya pada lantai.
"Siapa namamu?" tanya Kaisar. Biar pun suara Kaisar halus dan tidak kasar seperti biasa suaranya pembesar tinggi yang memandang hina kepada kalangan rakyat kecil, namun suara ini amat berpengaruh dan membuat tubuh Pouw Sin yang berkepandaian tinggi menggigil.
"Hamba yang rendah bernama Pouw Sin."
"Apa alasanmu kau dan kawan-kawanmu datang dan berdaya untuk membunuh Kaisar?"
"Hamba... hamba hanya disuruh..." jawab Pouw Sin gagap. "Hm, siapa dia yang menyuruhmu?"
Muka Pouw Sin nampak kaget dan seakan-akan ia menyesal telah bicara terus terang. Akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya dan menjawab. "Yang menyuruh dan mengajak hamba adalah Thian-sin Siok Hoat. Dialah yang mempunyai rencana pembunuhan ini. Hamba hanya ikut-ikutan saja, mohon Paduka sudi mengampuni hamba..."
"Bohong!" Kaisar membentak. Kaisar bukanlah seorang bodoh dan ia tahu bahwa di dalam pengakuan ini terletak kebohongan. Tahu pula bahwa Pouw Sin agaknya takut akan sesuatu kalau membuat pengakuan sebenarnya. "Kau akuilah sejelasnya, baru kami mau memperhatikan ampunan untukmu. Kalau tidak mengaku kau akan dihukum siksa sampai mati"
Pouw Sin makin ketakutan. Ia menoleh ke kanan kiri, kemudian terpaksa mengaku juga. "Sebetulnya hamba berlima... hamba berlima hanya menjalankan perintah..."
"Perintah siapa"
"Perintah dari... bengcu..."
Kaisar nampak terkejut. Bengcu adalah kepala atau ketua perhimpunan besar, tentu yang dimaksud oleh Pouw Sin adalah ketua dari dunia kang-ouw. Akan tetapi sepanjang Kaisar mengetahui, pemilihan bengcu belum dilakukan, bagaimana sudah ada seorang bengcu baru?
"Bengcu mu ini... ketua apakah?" tanya Kaisar.
"Belum lama ini perkumpulan-perkumpulan besar persilatan, yakni Im-yang-bu-pai, Bu-cin-pang, Kwan-cin-pai, Shan-si-Kaipang, dan Twa-to-bu-pai telah memilih seorang bengcu di puncak Pegunungan Tai-hang. Bengcu baru inilah yang mengutus hamba berlima... mohon ampun, Tuanku...."
"Siapa bengcumu itu? Siapa namanya?"
"Namanya adalah Li..." Tiba- tiba menyambar turun sinar putih ke arah Pouw Sin. See-thian Tok-ong dan Kwan-Ji Nio cepat menggerakkan tangan mengibas sinar ini. Empat sinar dapat di tangkis oleh See-thian Tok-ong, dua oleh Kwan Ji Nio. Akan tetapi yang sebuah lagi terlalu cepat sehingga tahu-tahu sudah menancap di leher Pouw Sin yang menjerit keras dan roboh berkelojotan kemudian mati!
See-thian Tok-ong dan isterinya melompat memandang keluar dan melihat bayangan seorang busu muda yang tampan wajahnya melarikan diri cepat sekali. "Pembunuh. jangan lari!" teriak See-thian Tok-ong akan tetapi tanpa mengeluarkan suara, Kwan Ji Nio sudah mendahului suammya mengejar bayangan itu.
Geger di ruangan persidangan. Kaisar memberi perintah supaya para mayat diurus, tempat itu supaya dibersihkan, kemudian mengundurkan diri, terlalu lelah menghadapi peristiwa-peristiwa yang menegangkan itu dan tidak beristirahat. Dia masuk diiringkan oleh para siuli dan semerbaklah bau harum ketika rombongan suili ini berjalan dengan lenggang-lenggok lemas dan ayu.
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati para siuli ini mendapat kesempatan mengundurkan diri karena tadi mereka sudah setengah mati takutnya menghadapi pertempuran dan pembunuhan yang mengerikan hati mereka yang lemah.
Biarpun Kwan Ji Nio memiliki gingkang luar biasa, akan tetapi ternyata orang yang dikejarnya itu pun cepat sekali gerakannya. Kalau mereka berkejaran di tanah datar dan tempat terbuka, sudah dapat chpastikan Kwan Ji Nio akan dapat menyusulnya segera, karena jarang ada orang dapat menandingi kecepatan lari nyonya ini.
Akan tetapi, orang yang berpakaian busu ini agaknya sudah hapal dan kenal baik jalan-jalan di lingkungan istana, sedangkan bagi Kwan Ji Nio tempat ani adalah tempat asing, maka enak saja busu yang dikejar itu membelok ke sana-sini membingungkan hati Kwan Ji Nio. See-thian Tok-ong yang dalam berlari cepat kalah oleh isterinya, tertinggal jauh.
Setelah Kwan Ji Nio akhirnya dapat juga menyusul dan jarak antara dia dan orang yang dikejarnya tinggal beberapa tombak lagi, tiba-tiba orang itu membalikkan tubuh dan mengayun tangannya. Sinar putih berkeredepan menyambar ke arah Kwan Ji Nio. Jumlah senjata rahasia yang ternyata adalah gin ciam (jarum-jarum perak) itu ada tiga belas banyaknya, menyerang tiga betas jalan darah di tubuh Kwan Ji Nio, luar biasa bahayanya!
Kwan Ji Nio sampai mengeluarkan suara keras saking kagetnya. Ia cepat mempergunakan ginkangnya untuk mengelak sambil menyampok jarum-jarum itu, akan tetapi tetap saja pundaknya terkena tusukan sebatang jarum yang mendatangkan rasa sakit dan gatal-gatal!
Kwan Ji Nio kiranya tak patut menjadi isteri See-thian Tok-ong kalau ia tak tahu apa artinya ini! Sebagai isteri dari See-thian-Tok-ong Si Raja Rarun dari Barat tentu saja ia tahu seketika itu juga bahwa ia telah terkena jarum beracun yang jahat sekali. Terpaksa ia mengerahkan hawa dalam tubuh, berdiri tegak, mengambil obat penawar segala racun dari dalam saku bajunya.
Pada saat itu, suaminya juga tiba di situ, maka suami ini lalu mengobati luka isterinya yang biarpun kecil saja namun amat berbahaya itu. Ia mencabut jarumnya dan menyimpan jarum itu di kantongnya, lalu diobatinya luka itu. tentu saja mereka tak melihat lagi bayangan orang yang mereka kejar.
"Kau kenali dia?" tanya suaminya. Kwan Ji Nio mengerutkan alisnya. “Bentuk tubuhnya seperti Si Setan Kong Ji akan tetapi mukanya dirobah dengan abat bubuk, maka muka itu menjadi kedok. Siapa bisa mengenalinya?"
See-thian Tok-ong mengangguk-angguk. "Memang mungkin sekali setan cilik itu. Kalau tidak, siapa pula orangnya yang dapat mempergunakan jarum-jarum macam ini?"
"Kalau benar dia, mengapa dia melukai aku?" tanya Kwan Ji Nio penasaran
"Dia orang cerdik, tentu tahu bahwa kau takkan mati oleh jarumnya. Akan tetapi kalau betul dia, aku mengerti..."
"Sudahlah, dari dulu juga aku bilang tak perlu bekerja sama dengan setan cilik itu. Lebih baik kita bekerja sendiri, bukankah kita ada harapan memperoleh kedudukan tinggi di istana?" kata Kwan Ji Nio.
Sementara itu para pengawal yang ikut mengejar sudah tiba di tempat itu. Kwan Ji Nio dan suaminya tentu saja tidak sudi menyatakan bahwa Kwan Ji Nio terluka, hanya menyatakan menyesal tak dapat menangkap orang itu.
"Dia berpakaian busu dan agaknya kenal baik tempat ini. Dia membelok ke sana ke mari dan kami menjadi bingung ke mana harus mengejar," kata See-thian Tok-ong dan Kwan ji Nio. Beramai-ramai mereka lalu kembali ke dalam istana.
"Menurut perintah Hongsiang, Jiwi locianpwe suarni isteri dan putera dipersilakan mengaso di dalam bangunan yang sudah disediakan untuk Sam-wi (Tuan Bertiga). Kelak Hongsiang akan memanggil Sam-wi menghadap, karena sekarang Hongsiang sendiri sedang mengaso setelah nienghadapi perastiwa-peristiwa yang hebat tadi," kata Liok-te Mo-ong Wie It kepada See-thian Tok-ong.
Maka diantarlah ayah ibu dan anak yang kosen itu ke dalam sebuah bangunan di antara kompleks perumahan istana. Ternyata bangunan ini merupakan gedung kecil yang indah dan mewah sekali, lengkap dengan para pelayan laki-laki wanita! Tentu saja Kwan Ji Nio menjadi girang bukan main, demikian pula Kwan Kok Sun. Ibunya girang karena seperti wanita-wanita lain, ia senang tinggal di rumah yang indah dan lengkap, adapun Kok Sun girang melihat bahwa di antara para pelayan banyak terdapat gadis-gadis yang cantik.
Di lain pihak, See-thian Tok-ong menghadapi semua ini dengan sikap acuh tak acuh. Memang dia seorang luar biasa dan aneh yang lain dari pada manusia biasa. Baginya tidur di dalam kamar indah atau di atas padang rumput, sama saja. Makan lima kali sehari atau lima hari sekali pun sama juga.
"Wanyen Ci Lun, tentang pemuda bernama Coa Hong Kin itu oleh karena memang dia orang kepercayaanmu, tentu saja sekarang juga boleh dikeluarkan dan dibebaskan dari tahanan. Akan tetapi, sungguh aku tidak mengerti sama sekali mengapa kau membela seorang gadis seperti Go Hui Lian yang kau tahu adalah seorang pemberontak. Hm, kalau kau bukan keponakanku yang kupercaya penuh, tentu aku akan bercuriga kepadamu, Wanyen Ci Lun"
Demikianlah kata-kata Kaisar kepada Pangeran Wanyen Ci Lun ketika dua orang ini mengadakan pertemuan dan bercakap-cakap di dalam kamar kaisar, hanya dijaga oleh beberapa orang selir kaisar yang dapat dipercaya penuh. Memang, begitu menerima kabar bahwa Hong Kin dan Hui Lian ditangkap, Wanyen Ci Lun terus saja mengunjungi kaisar antuk memintakan pembebasan bagi orang muda itu.
Kini mendengar kata-kata kaisar, pangeran itu menjawab. "Bahwa Go Hui Lian seorang pemberontak ini hanyalah fitnahan belaka. Gadis itu datang ke kota raja untuk mencari Ayah Bundanya yang pergi merantau. Baru saja tiba di kota raja, ia diangkap. Apakah buktinya bahwa dia memberontak? Bahwa dia pernah bertemu dengan Temu Cin bukan alasan bahwa dia memberontak. Pada saat seperti sekarang ini, lebih baik menjadikan orang-orang gagah sebagai kawan daripada sebagai lawan. Go Hui Lian adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa, apalagi Ayah Bundanya. Kalau kita membaiki Nona ini dan dengan perantaraan Nona ini kita dapat pula menarik tangan Ayah Bundanya, bukankah itu sama halnya dengan memperkuat kedudukan kita sendiri? Harap saja Hongsiang berpikir baik-baik sebelum menjatuhkan hukuman kepadanya."
Kaisar mengangguk-angguk dan ia cepat mengerti akan maksud keponakannya yang terkenal cerdik sekali ini. "Akan tetapi dia diminta oleh Kwa Kok Sun dan gadis itu tidak mau, bukankah hal ini akan menimbulkan kerepotan saja?" tanya Kaisar.
Wanyen Ci Lun mendengarkan kata-kata ini dengan hati kecut, akan tetapi ia tersenyum. "Hal ini adalah urusan pribadi, biarlah diselesaikan di antara mereka sendiri. Bagi kita pokoknya asal semua orang gagah membantu itulah yang terbaik. Hamba mendengar bahwa tak lama lagi di Puncak Ngo-heng-san akan diadakan pemilihan bengcu baru dari seluruh partai besar di dunia kang-ouw. Hal ini amat kebetulan dan tepat dengan rencana kita memperkuat kedudukan kerajaan dan untuk membuat persiapan menghadapi serbuan dan ancaman orang orang Mongol. Hongsiang dapat memberi tugas kepada See-thian Tok-ong bertiga untuk menarik kawan-kawan yang berkumpul di sana agar suka membantu memperkuat kota raja, dan alangkah baiknya kalau saja bengcu baru yang didapat kita tarik! Dengan adanya bantuan bengcu yang berarti seluruh orang gagah di dunia membantu kita, apalagi yang kita takuti? Biarkan bangsat-bangsat Mongol datang menyerbu, kita tak usah takut!"
Girang hati Kaisar mendengar ini dan kembali mengangguk-angguk. "Ci Lun, kau hebat. Baiklah diatur seperti yang kauusulkan itu."
"Di samping bertugas menarik kawan, juga See-thian Tok-ong sekalian bertugas mengawasi dan mengawal Nona Go Hui Lian dan Hong Kin di dalam perjalanan ke Ngo-heng-san," kata pula Pangeran Wanyen Ci Lun.
Kaisar nampak tercengang. "Apa? Apakah kau hendak membebaskan Go Hui Lian dan mengirim ke Ngo-heng-san pula?”
"Kalau Hongsiang memberi ijin, demikianlah. Akan hamba atur sebaiknya hingga Nona itu percaya kepada kita dan suka membantu, dan hamba akan membujuknya agar supaya dia berusaha menarik Ayah Bundanya pula untuk memperkuat barisan pertahanan kita. Siapa pula yang lebih cepat selain Nona Go Hui Lian untuk menarik bantuan Hwa l Enghiong Go Ciang Le dan isterinya?"
"Bagaimana kalau dia berkhianat?"
"Hamba yang menanggung, Pula, hamba juga memata-matainya, yakni dengan adanya Hong Kin yang mengawalnya.” Setelah berhenti sebentar, pangeran itu berkata lagi, sinar matanya mengandung penuh rahasia, "Bahkan ada sebuah rahasia hamba yang hendaknya jangan sampai tersiar, hamba sendiri diam-diam akan mengunjungi Ngo-heng-san.”
Kaisar kaget dan memegang lengan keponakannya, “Ci Lun, apa kau gila? Perjalanan ke Ngo-heng-san jauh sekali. Dan pula kau tahu betapa banyak orang yang membenci kita, kalau mereka itu tahu bahwa kau Pangeran Wanyen Ci Lun, bukankah itu berarti kau akan menghadapi malapetaka besar?"
"Harap Hong Siang jangan khawatir, Hamba menyamar sebagai rakyat biasa. Hamba perlu pergi sendiri untuk melihat keadaan dan juga untuk melihat apakah rencana kita berjalan baik."
Akhirnya Kaisar setuju karena bukankah semua urusan itu dilakukan untuk menyelamatkan kerajaan? Demikianlah, di dalam kamar tahanan masing-masing ditempatkan berlainan akan tetapi pada waktu yang bersamaan, Hui Lian didatangi penjaga yang mengantarkan pedang dan buntalan pakaiannya demikian pun Coa Hong Kin. Keduanya tentu saja terheran-heran, akan tetapi penjaga hanya memberitahu bahwa mereka ditunggu di luar ruangan tahanan oleh penolong mereka.
Ketika Hui Lian hendak keluar, tiba-tiba seorang laki-laki memasuki kamar tahanan itu dan ketika Hui Lian mengangkat muka, gadis ini hampir saja mengeluarkan seruan kaget dan hampir saja bibirnya berseru. "Wan Sin Hong!" Baiknya ia teringat bahwa yang dihadapinya, biarpun segalanya serupa benar dengan Sin Hong, namun mata Sin Hong tidak begitu tua birunya dan pula pakaian orang ini menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan Pangeran Wanyen Ci Lun! Maka Hui Lian segera menjura dengan hormat, lalu berkata mendahului pangeran itu.
"Kalau hamba tidak salah duga tentu kali ini pun Siauw-ongya yang menolong hamba."
Dengan kedipan matanya, Wanyen Ci-Lun mengusir penjaga dari ruangan tahanan itu, kemudian ia menghadapi Hui Lian dengan senyum di bibir. "Ah, Nona. Kau terlalu sungkan. Kau seorang dara perkasa yang berhati bersih gagah, mana boleh dijadikan orang tahanan? Kau jangan berkecil hati. Kaisar melakukan hal ini hanya karena mendengar laporan busu saja dan juga para busu itu salah sangka terhadapmu, Nona."
"Sesungguhnya Ongya seorang bijaksana di istana ini. Kalau tidak ada Ongya, tentu hamba mengalami banyak kesulitan," kata pula Hui Lian.
Wanyen Ci Lun maju selangkah, lalu berkata dengan suara agak gemetar. "Nona Go Hui Lian, biarlah aku bicara empat mata denganmu dengan sejujurnya. Bicara dengan seorang gagah seperti engkau tak perlu menyembunyikan sesuatu, Nona. Ketahuilah, terus terang aku mengaku bahwa aku amat kagum kepadamu. Baik melihat wajahmu maupun melihat sikap atau watakmu, terutama sekali karena kepandaianmu yang tinggi. Aku kagum dan memujamu, Nona, dan karena aku suka main kartu terbuka, besar sekali hasratku untuk menarik dirimu dalam istanaku dan menjadi teman hidupku untuk selamanya! Nah, aku sudah membuka isi hatiku, Nona. Harap kau tidak marah dan secara terus terang pula aku mengharapkan jawabanmu"
Seketika pucat wajah Hui Lian mendengar ini. Benar-benar merupakan satu hal yang mengejutkan baginya, hal yang mendebarkan hati dan memalukan. Hanya sedetik mukanya pucat kemudian terganti warna merah sampai ke leher dan telinganya. Bukan main Pangeran ini. Bicara begitu terbuka tanpa tedeng aling aling, sedikit pun tidak malu atau sungkan-sungkan mengutarakan isi hati seperti itu.
"Bagaimana, Nona? jawablah sebelum kita menemui Hong Kin." Wanyen Ci Lun mendesak sambil senyumnya masih ramah menarik.
"Ini... ini… hamba tidak tahu... ah bagaimana harus hamba jawab? Hamba sedikit pun tak pernah berpikir tentang perjodohan, Siauw-ongya. Hamba... tak dapat menjawab."
Wanyen Ci Lun maklum bahwa gadis ini merasa malu-malu dan memang sukarlah bagi seorang gadis baik-baik untuk menjawab pertanyaannya yang dipandang dari sudut kesopanan, boleh juga dianggap kurang ajar itu. Akan tetapi ia telah berterus terang, tak baik mengandung dendam asmara secara sembunyi-sembunyi.
"Baiklah, kau boleh menjawab lain waktu, Nona. Sekarang mari kita menjumpai Hong Kin di luar."
Akan tetapi baru saja mereka keluar dari kamar tahanan nu, Hong Kin telah berlutut di depan pintu kepada Pangeran Wanyen Ci Lun. Merah muka Hui Lian dan Pangeran itu memandang kepada Hong Kin yang berlutut dengan kening berkerut.
"Hong Kin, kau... kau di sini?”
"Hamba setelah dikeluarkan oleh penjaga mendengar suara Paduka lalu menghampiri ke sini, akan tetapi melihat Ongya sedang bercakap-cakap, hamba tidak berani mengganggu," jawab Hong Kin sambil melirik.
Tanpa bertanya tahulah Pangeran itu dan Hui Lian bahwa Coa Hong Kin tentu saja mendengar percakapan mereka tadi. Mengingat akan hal ini, Pangeran itu menjadi merah mukanya.
“Hm, berdirilah dan mari kita ke istanaku untuk berunding tentang hal yang amat penting bagi kalian."
Berangkatlah tiga orang ini menuju ke gedung di mana Pangeran Wanyen Ci Lun tinggal. Mereka duduk di ruangan dalam dan pelayan segera keluar menghidangkan makanan dan minuman serba mewah. Sambli mempersilakan dua orang muda itu makan minum, Pangeran Wan-yen Ci Lun mulai membicarakan niatnya seperti yang tadi ia telah' rundingkan dengan Kaisar.
Akan tetapi pangeran yang amat cerdik ini memutarbalikkan percakapan yang dirundingkan dengan Kaisar tadi atau lebih tepat tadi di depan Kaisar ia memutarbalikkan rencananya agar jangan sampai Kaisar mendapat kesan bahwa ia lebih mempercayai Hui Lian dan Hong Kin daripada See-thian Tok-ong seanak isteri.
"Hong Kin dan Go-lihiap," katanya kepada dua orang muda itu, "Kalian tentu belum mendengar bahwa baru tiga hari yang lalu hampir saja Kaisar dibunuh oleh lima orang penjahat."
Dua orang muda itu terkejut. Pangeran Wanyen Ci Lun lalu menceritakan peristiwa itu. "Nah, karena sudah jelas See-thian Tok-ong dan anak isterinya berjasa telah menggagalkan mereka itu, Kaisar berkenan menerima See-thian Tok-ong bertiga menjadi pengawal di dalam istana, bahkan mengepalai semua pengawal kaisar.”
"See-thian Tok-ong bukan manusia baik-baik!" kata Hui Lian.
"Dia berbahaya, apalagi anaknya, bocah gundul edan itu!" kata pula Hong Kin.
Wanyen Ci Lun tersenyum. "Memang aku pun sudah berpikir demikian, akan tetapi setelah mereka memperlihatkan jasa tentu saja Kaisar mau menerima mereka. Dan sekarang, apakah kalian suka menolongku? Jangan kira bahwa aku minta balas jasa kalian, sama sekali bukan. Hanya ketahuilah bahwa tugas yang sekarang hendak kuserahkan kepada kalian, bukan semata-mata untuk menolongku, juga bukan semata-mata untuk menolong Kaisar, melainkan untuk menolong negara dari bahaya."
"Harap Siauw-ongya sudi memberi penjelasan. Sudah tentu hamba suka menolong kalau saja tenaga mengijinkan," kata Hong Kin dan Hui Lian mengangguk tanda setuju akan kata-kata Hong Kin.
"Seperti kalian ketahui, sekarang ini orang Mongol sedang bangkit hendak menggempur ke selatan." Melihat Hui Lian mengangkat muka dan sepasang mata gadis itu dengan tajam menatapnya. Pangeran Wanyen Ci Lun maklum dan disambungnya kata-katanya cepat, "Sudah tentu sekali banyak pula yang menaruh simpati kepada Temu Cin dan pasukan Mongolnya, mengingat desas-desus betapa Kaisar kurang bijaksana dulu memegang tapuk pemerintahan." Kembali ia berhenti dan memperhatikan Hui Lian yang nampak sengaja mengangguk-anggukan kepalanya.
"Memang hal ini aku harus akui. Biarpun Kaisar itu pamanku sendiri, namun beliau kurang memperhatikan urusan pemerintahan kurang memperhatikan kepentingan rakyat jelata. Akan tetapi hal ini dapat diperbaiki. Betapapun juga, lebih baik pemerintahan berada di tangan bangsa sendiri daripada terjatuh ke dalam tangan orang-orang asing!"
Memang, bangsa Kin sesungguhnya masih bangsa Tiongkok juga, merupakan suku bangsa yang hidup di sebelah utara San-si dan dahulu sebelum mendirikan Kerajaan Kin, bangsa Kin disebut bangsa Yucen.
"Nah, kalau kalian sependapat denganku maka sudah jelas bahwa negara diselamatkan, bukan saja terhadap bahaya serangan orang-orang Mongol yang belum begitu dekat. Melainkan harus diselamatkan dari orang-orang seperti See-thian Tok-ong dan lain-lain! Para penyerbu itu mengaku telah diperintah oleh seorang bengcu yang belum diketahui namanya, ini sudah merupakan ancaman dari satu pihak. Adanya See-thian Tok-ong didalam istana, juga merupakan ancaman yang amat berbahaya."
"Siauw-ongya, tugas apakah yang harus kukerjakan?" tanya Hui Lian karena gadis ini tidak begitu mengambil pusing tentang politik pemerintahan keadaan kerajaan Kin.
Wanyen Ci Lun tersenyum sabar. “Go-lihiap, kau tentu sudah mendengar bahwa kurang lebih dua bulan lagi, tiba masanya orang-orang gagah sedunia mengadakan pemilihan bengcu di puncak Ngo heng-san. Aku mendengar bahwa Kaisar menyuruh See-thian Tok-ong dan anak isterinya pergi ke Ngo-heng-san untuk menarik kawan-kawan dan pembantu. Hal ini tentu baik-baik saja ditinjau dari sudut maksud Kaisar, akan tetapi aku merasa khawatir kalau-kalau hal pergunakan oleh See-thian Tok-ong sebagai kesempatan mengajak orang-orang jahat memasuki istana! Oleh karena Go-lihiap, aku memohon pertolonganmu sudilah kiranya kau bersama Coa Hong Kin juga pergi ke Ngo-heng-san menghadiri pemilihan bengcu sambil melihat gerak-gerik See-thian Tok-ong. Selama ini, juga untuk menyelidiki siapa adanya bengcu yang telah menitah orang-orang untuk berusaha membunuh Kaisar."
Berseri wajah Hui Lian. Dia memang sudah mendengar tentang hal pemilihan bengcu dan kalau ia tidak salah menduga, ayah-bundanya pasti takkan melewatkan peristiwa bersejarah di dunia persilatan ini tanpa menghadirinya.
"Baiklah, Siauw-ongya, aku menerima tugas ini karena di sana aku pasti akan bertemu dengan Ayah-bundaku!" kata Hui Lian girang.
"Hamba mentaati perintah Siauw-ong ya," kata Hong Kin cepat-cepat dan pada wajah pemuda ini nampak jelas bahwa ia amat gembira mendapat tugas “mengawani" Hui Lian dalam perjalanan. Akan tetapi dalam sekejap mata kegembiraannya lenyap terganti oleh kecemasan dan kedukaan kalau teringat akan percakapan yang ia dengar antara Hui Lian dan Wanyen Ci Lun, bahwa pangeran itu mencinta Hui Lian dan ia terpaksa harus mengundurkan diri. Terhadap pangeran ini Hong Kin memang memiliki kesetiaan yang luar biasa besarnya.
"Memang itu pun termasuk rencanaku Lihiap. Selain tugasmu yang tadi, aku pun minta dengan hormat kepadamu, sudilah kiranya kau minta bantuan Ayah-bundamu agar ikut membantu negara menghalau para pengkhianat dan penjahat yang hendak mengacaukan negara."
Mendengar ini, Hui Lian mengerutkan kening. Ia maklum betapa ayah-bundanya membenci pemerintah Kin. Hal ini pun diketallui baik oleh Pangeran Wanyen Ci Lun yang segera berkata,
"Harap kausampaikan hormatku kepada Ayah-bundamu, Nona, dan sesungguhnya sudah lama sekali aku merasa kagum sekali mendengar nama Hwa l Enghiong Go Ciang Le dan ibumu Lian Bi Lan yang namanya terkenal di seluruh kolong langit. Hendaknya kau mengingatkan sedikit kepada Ayah-bundamu bahwa bantuan mereka bukan berarti bantuan kepada pemerintah Kin semata, melainkan bantuan untuk mencegah datangnya bahaya serangan musuh lain bangsa yang akan datang menjajah dan mencekik bangsa kita!"
Diam-diam Hui Lain harus mengaku bahwa pangeran ini selain pandai bicara juga amat cerdik dan dapat membaca gerak-gerak dan isi hati orang lain. Karena kata-kata pangeran ini semua tepat dan beralasan, bagi Hui Lian tidak ada lain jawaban selain menyatakan kesanggupannya. Setelah membuat persiapan, berangkatlah Hui Lian dan Hong Ki pada keesokan harinva, keduanya menunggang kuda yang bagus dan kuat pemberian Pangeran Wanyen Ci Lun.
Hui Lian dan Hong Kin melakukan perjalanan dengan cepat dan gembira. Setelah bersama menghadapi peristiwa di dalam istana, hubungan mereka makin akrab, sungguhpun di pihak Hui Lian tidak terkandung perasaan sesuatu kecuali persahabatan yang tutus ikhlas karena ia maklum bahwa pemuda baju hijau ini benar-benar seorang muda yang baik sekali dijadikan sahabat.
Adapun di pihak Hong Kin, biarpun harus ia akui bahwa ia makin dalam terjatuh di jurang asmara, makin dalam ia mencinta nona itu, akan tetapi ia tidak berani sembarangan menyatakan perasaannya. Kalau ia teringat akan sikap Pangeran Wanyen Ci Lun yang juga cinta kepada Hui Lian, ia menjadi "mundur teratur" dan tidak berani bersikap sembrono. Dua hari mereka tiba di kaki Pegunungan Tai-hang-san yang sunyi senyap. Tanah gundul membentang luas di depan mereka.
"Saudara Coa, alangkah sunyi jalan ini dan alangkah panasnya kiranya kalau tengah hari." kata Hui Lian yang belum mengenal daerah ini.
“Tidak jauh daerah kering ini, di sana. Hanya kurang lebih tiga puluh li. Sekarang masih pagi lebih baik kita mempercepat perjalanan agar jangan sampai dikejar matahari di waktu kita masih berada di jalan gundul ini. Selewatnya tiga puluh lie, kita akan menemui daerah yang dingin dan subur," jawab Hong Kin.
Keduanya lalu menggebrak kuda binatang tunggangan mereka segera lompat dan lari cepat sekali, meninggalkan debu yang mengepul tinggi sepanjang jalan di belakang ekor mereka. Akan tetapi, baru saja lima lie mereka tempuh, tiba-tiba mereka melihat bayangan enam orang di tengah jalan.
"Hati hatilah, Nona. Daerah ini paling tidak aman. Siapa tahu kalau-kalau mereka yang di depan itu bukan orang-orang balk."
Hui Lian meraba gagang pedangnya dan bersikap waspada. Hatinya berdebar tegang dan gembira karena gadis ini memang selalu bergembira apabila menghadapi pengalaman hebat terutama pertempuran. Darah pendekar mengalir sepenuhnya dalam tubuh nona ini.
"Kau lihat saja, Saudara Coa. kalau mereka itu penjahat, kita akan basmi sampai ke akar-akarnya!"
Akan tetapi Coa Hong Kin tidak segembira Hui Lian karena pemuda ini maklum bahwa penjahat-penjahat yang berani beroperasi dekat kota raja, bukanlah penjahat-penjahat kecil yang mudah dibasmi. Karena daerah itu gundul, maka biarpun jauh enam orang itu sudah kelihatan dan kini jarak mereka sudah makin mendekat.
Tiba-tiba Hui Lian mengeluarkan seruan kaget. "Ada apa, Nona?"
"Dia itu Liok Kong Ji...!" "Siapa itu Liok Kong Ji?”
"Dia masih Suhengku, akan tetapi dia jahat, aku benci padanya!" kata Hui Lian akan tetapi hatinya berdebar tidak enak sekali. Ia tahu betapa jahatnya pemuda itu dan juga tahu betul betapa lihainya. Kalau muncul orang ini pasti akan terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.
"Yang manakah dia? Apakah yang hitam tinggi besar itu?" tanya Hong Ki kaget mendengar bahwa seorang di antara enam orang itu adalah suheng dari Hui Lian dan tentu saja amat lihai.
"Bukan, yang tengah itulah, yang membawa hudtim (kebutan pertapa)."
"Dia...?" Hong Kin memandang ke arah seorang pemuda yang tampan gagah, yang membawa kebutan sebagai mana biasa dipegang oleh seorang pendeta sehingga nampak lucu berada di tangan pemuda. Akan tetapi ia harus akui bahwa pemuda itu bertubuh tinggi tegap bersikap halus dan berwajah tampan.
Sementara itu, kuda mereka sudah tiba di tempat itu dan kini mereka telah berhadapan dengan enam orang yang menghadang di jalan. Hui Lian menyapa mereka itu dengan pandang matanya. Ia melihat Kong Ji kini bersikap angkuh lagaknya congkak seperti seorang bangsawan tinggi. Lima orang yang lain adalah orang laki-laki berusia empat paluh tahunan dan yang tiga berusia enam puluh tahun lebih.
Mereka rata-rata nampak berkepandaian tinggi. Memang lima orang ini bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah ketua-ketua partai besar yang berpengaruh yang sudah takluk kepada Kong Ji dan yang beramai-ramai mengangkat Kong ji sebagai pemimpin atau bengcu mereka!
Di antara lima orang itu, terdapat seorang kakek tua berusia enam puluh tahun lebih yang pakaiannya tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat kepala harimau, yakni gagang tongkat diukir seperti kepala harimau. Melihat kakek ini, Coa Hong Kin menegur.
"Eh, kiranya Shansi Kai-pangcu, Lo Bong Lo-enghiong yang berada di suni"
Hong Kin melompat turun dari kudanya, diturut oleh Hui Lian dan pemuda itu menjura kepada kakek itu. Memang kakek itu adalah Sin-houw (Harimau Sakti) Lo Bong yang menjadi kai-pangcu (Ketua perkumpulan pengemis) dari Shansi Kaipang, yakni perkumpulan pengemis di Shansi. Ketika Lo Bong memandang kepada pemuda tampan berbaju hijau yang menegurnya, ia pun lalu membalas dengan salam.
"Hm, Coa Sicu, apakah Suhumu Cam kauw Sin-kai sehat-sehat saja? Harap kausampaikan hormatku kepada orang tua gagah perkasa itu!"
"Terima kasih, Pangcu." Sebelum Hong Kin melanjutkan kata-katanya, terdengar suara Liok Kong Ji nyaring.
"Ah, Sumoiku yang manis. Kau berada di sini? Kebetulan sekali, sudah lama aku mencari-carimu. Bukankah kau datang dari istana bersama pemuda she Coa ini dan menerima tugas dari Pangeran Wanyen Ci Lun untuk menghadiri pemilihan Bengcu di Ngo-heng-san?"
Hui Lian terkejut. Juga Hong Ki memandang dengan mata terbelalak. bagaimana setan ini bisa mengetahui hal itu? Sebelum Hui Lian menjawab, Kong Ji sudah bicara lagi, kini ditujukan kepada Hong Kin.
"Jadi kau ini murid Cam kauw Sin-kai? Bagus sekali, tentu kau lihai seperti Gurumu. Di antara orang sendiri, tak usah kita berlaku sungkan. Mari kalian berdua bersama dengan kami pergi ke Ngo-heng-san, karena ketahuilah bahwa bengcu atau calon bengcu terutama sudah terpilih.”
Hui Lian masih benci kepada Kong Ji, maka dengan ketus ia menjawab. “Aku tidak sudi melakukan perjalanan bersamamu. Minggir dan jangan ganggu aku!”
Kong Ji tertawa bergelak dan terlihat deretan gigi yang putih. "Ha ha ha, kau masih galak saja, Sumoi. Akan tetapi makin galak makin manis. Benar-benar kau gagah dan berani sekali, berani bersikap seperti itu di depanku."
"Orang lain boleh takut kepadamu, Akan tetapi aku tidak!" Hui Lian meraba gagang pedangnya. Kong Ji hanya menggerak-gerakkan kebutan di tangannya sambil tertawa mengejek.
"Jangan kurang ajar'" seorang di antara kakek yang usianya sudah lanjut melompat dengan gerakan ringan di depan Hui Lian.
Gadis ini melihat gerakan kakek rambut panjang yang wajahnya menyeramkan sepertI lblis ini maklum bahwa ia menghadapi orang yang tinggi kepandaiannya. Ia pernah melihat kakek ini dahulu ketika mereka bersama mengeroyok dan mengejar-ngejar Wan Sin Hong.
Memang kakek ini bukan lain adalah Giok Seng Cu. Mendengar bahwa Hui Lian adalah puttri Go Ciang Le, siang siang Giok Seng Cu sudah merasa gemas dan kalau mungkin dan diperbolehkan oleh Kong ji, tentu ia akan mengganggu atau membunuh gadis puteri musuh besar yang dibencinya itu.
"Kau mau apa?" Hui Lian juga menantang dengan sikap tenang tak kenal takut.
Akan tetapi Hong Kin yang bermata tajam dan tahu bahwa enam orang lawan ini tak boleh dipandang ringan, berkata, "Go-siocia, harap bersabar." Kemudian ia bertanya kepada Lo Bong. "Shansi Kai pangcu, siapakah bengcu yang kau sebutkan tadi?"
Lo Bong tanpa ragu-ragu menuding ke arah Kong Ji sambil berkata, "Dialah bengcu kami, juga calon bengcu besar yang akan dipilih. Oleh karena itu, daripada ribut mulut tidak karuan, lebih baik kau dan kawanmu ini menggabungkan diri dengan kami dan kelak memillh bengcu kami. Merupakan kehormatan besar melakukan perjalanan dengan bengcu."
Hui Lian mengeluarkan suara mengejek, lalu melompat ke atas kudanya dan berkata kepada Hong Kin. "Saudara Coa, untuk apa melayani orang-orang yang miring otaknya? Mari kita lanjutkan perjalanan!"
"Sumoi, aku melarangmu melakukan perjalanan memisahkan dengan kami. Kau harus ikut dengan kami!" kata Kong Ji, suaranya berpengaruh.
"Aku bukan Sumoimu dan kau tidak berhak melarang. Pergilah..."
"Bengcu, tangkap saja dua orang bocah ini!" seru Giok Seng Cu yang sudah marah sekali, kemudian tanpa banyak cakap lalu menyerbu dan menubruk Hui Lian.
Memang di antara semua orang yang sudah menjadi kaki tangan Liok Kong Ji, hanya Giok Seng Cu yang agak berani sikapnya terhadap pemuda luar biasa itu. Hal ini karena Giok Seng Cu mengingat bahwa anak muda itu pernah menjadi muridnya.
Hui Lian terkejut sekali melihat tubrukan kakek rambut panjang yang amat berbahaya. Desir angin serangannya menyatakan betapa besar tenaga kakek ini, maka Hui Lian tidak berani menangkis melainkan melompat dari atas kudanya berjungkir balik dan turun dua tombak dari kudanya. Terdengar suara kuda meringkik dan kuda tunggangan yang tinggalkan Hui Lian itu kena ditampar oleh Giok Seng Cu terguling roboh!
"Kau kejam!" seru Hong Kin yang cepat maju menghadang melihat kakek itu hendak mengejar Hui Lian. Akan tetapi Giok Seng Cu mengibaskan tangannya ke arah dada Hong Kin sambil membentak.
"Roboh kau!" Giok Seng Cu sudah memperhitungkan bahwa kibasan lengan bajunya yang disertai tenaga Tin-san-kang ini tentu akan dapat merobohkan Hong Kin yang kelihatannya tidak begitu kuat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika kibasannva yang cepat sekali itu mengenai angin kosong karena Hong Kin talah mengelak dan bahkan balas menyerang dengan pukulan yang jitu sekali mengenai pundak Giok Seng Cu.
"Plak...!"
Giok Seng Cu terhuyung dua tindak akan tetapi Hong Kin tiba-tiba merasa tanganya panas, tanda bahwa ia terserang oleh tenaga pukulannya sendiri yang membalik ketika bertemu dengan pundak kakek itu. Hal ini menjadi bukti bahwa tenaganya jauh kalah besar, maka dapat dibayangkan betapa gelisahnya hati Hong Kin. Seorang kakek ini saja merupakan lawan yang amat berat, apalagi kalau enam orang itu semua maju.
"Bocah kurang ajar, apakah kau sudah bosan hidup?" Giok Seng Cu membentak marah kepada Hong Kin. Tadinya ia terkejut sekali melihat keanehan pukulan pemuda ini yang selain dapat mengelak dari serangannya, juga secara otomatis dapat membalas kontan dan memukul pundaknya. Tak disangkanya bahwa Ilmu Silat Cam-kauw-kun-hoat (Ilmu Silat Pemukul Anjing) dari Cam-kauw Sin-kai sedemikian lihatnya. Akan tetapi setelah merasa betapa pukulan pemuda ini tidak begitu kuat, hatinya lega dan amarahnya timbul. Dengan cepat ia lalu mendesak Hong Kin dengan pukulan-pukulan Tin-san-kang yang dahsyat.
"Giok Sengcu Suhu jangan bunuh utusan Pangeran Wanyen,” seru Kong Ji.
Seruan ini menolong nyawa Hong Kin karena kalau Giok Seng Cu tidak ditahan oleh Kong Ji, kiranya Hong Kin takka kuat menerima pukulan-pukulan Tin-san kang yang luar biasa hebatnya itu. Sebaliknya, ketika mendengar larangan dari Kong Ji, Giok Seng Cu tidak berani melanggar, ia lalu mengurangi tenaga akan tetapi memperhebat serangan sehingga beberapa jurus kemudian Hong Kin roboh terkena totokan yang lihai pada jalan darah Kong-goan-kiat membuatnya lemah dan lumpuh.
Sementara itu, ketika Hui Lian mendengar Kong Ji menyebut nama Giok Seng Cu, gadis ini terkejut sekali. Sebetulnya kakek berambut panjang yang lihai itu masih terhitung supeknya (uak gurunya) karena ia mendengar dari ayahnya bahwa kakek ini adalah murid dari Pak Hong Siansu. Diam-diam gadis ini terheran-heran bagaimana tokoh besar seperti Giok Seng Cu demikian tunduk terhadap Liok Kong Ji. Akan tetapi ia tidak sempat memikirkan hal ini karena ia sudah marah sekali melihat Hong Kin dirobohkan oleh Giok Seng Cu. Sekali melompat ia telah menghadapi kakek itu dengan pedang di tangan dan tanpa banyak cakap ia menyerang dengan tikaman berantai.
Melihat berkelebatnya ujung pedang ke arah tenggorokan, Giok Seng Cu cepat miringkan kepalanya dan hendak menyampok pedang dengan ujung lengan bajunya. Akan tetapi pedangnya itu telah dibalik gerakannya dan kini secara langsung melanjutkan serangannya dengan bacokan dari atas ke bawah mengarah dada. Giok Seng Cu kaget sekali melihat kelincahan kecepatan gerakan ini. Namun ia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah kawakan, tidak mudah gugup oleh desakan lawan. Sambil mengerahkan tenaga Tin-san-kang, ia menyampok pedang itu dengan lengannya. Pedang terpental akan tetapi lengan baju kakek itu robek!
Dan hebatnya, biarpun pedangnya sudah terpental karena ditangkis oleh Giok Seng Cu, masih saja pedang itu menyerang terus dengan tusukan lain pada lambung. Menghadapi serangan bertubi-tubi yang kesemuanya merupakan cengkeraman maut ini. Giok Seng Cu agak gentar dan sambil berseru keras ia melompat ke belakang.
"Hebat ilmu pedangmu, bocah!" serunya kagum. “Akan tetapi jangan kau kurang ajar. Bapakmu adalah Suteku (Adik Seperguruan), maka kau sekarang berhadapan dengan Supekmu. Hayo lekas lepaskan pedang dan berlutut!"
Hui Lian tertawa menyindir dan menudingkan pedangnya kepada Kong Ji katanya, "Kau kakek siluman yang terhadap dia itu bersikap seperti anjing penjilat, mau suruh aku berlutut? Hm, aku tidak pernah mempunyai Supek macam kau!" kata-kata ini ditutup oleh berkelebatnya tubuh Hui Lian yang sudah menyerang lagi dengan pedangnya.
Ilmu pedang yang dimainkan oleh Hui Lian adalah ilmu pedang warisan ayahnya yang menerima dart Pak Kek Siansu, maka Ilmu Pak-kek-sin kiam-hoat ini bukan main lihainya. Giok Seng Cu sudah mendapat perintah agar supaya tidak membunuh atau melukai gadis ini maka kalau ia melawan tanpa kebebasan melukai, kiranya ia takkan menang. Hal ini diketahui baik-baik.
Tanpa mempergunakan Tin-san-kang, tak mungkin ia dapat menang melawan gadis kosen ini, sebaliknva kalau ia mempergunakan Tin-sankang, ia takut kalau-kalau ia menjatuhkan tangan maut dan membunuh Hut Lian sehingga ia akan mendapat marah besar dari Kong ji. Oleh karena itu, ketika gadis itu menyerangnya, Giok Seng Cu hanya mengelak ke sana ke mari sambil menyampok pedang mempergunakan tenaga yang besar. Namun ia kalah gesit oleh Hui Lian sehingga pada jurus ke sebelas pangkal lengannya tergores pedang dan mengeluarkan darah.
"Giok Seng Cu Suhu, mundurlah...!" seru Kong Ji dengan suara berpengaruh ia merasa malu terhadap yang lain kalau ia tidak turun tangan sendiri memperlihatkan kelihaiannya.
Sudah diceritakan tadi bahwa lima orang kawan Kong Ji adalah orang-orang penting. Selain Giok Seng Cu dan Sin-houw Lo Bong ketua dari Shan-si Kai-pang, yang tiga orang lagi adalah ketua darit Bu-cin-pang, Kwan ci pai, dan Twa-to-bu-pai. Mereka ini inilah yang mengangkat Kong-Ji sebagai bengcu dan mereka bersama anak buah atau anggauta partai mereka yang banyak jumlahnya yang akan menyokong Kong Ji dalam segala usaha dan cita-citanya.
Kini dengan tenang Kong it menghadapi Hui Lian, hudtim atau kebutan panjang masih terpegang di tangan kanannya. "Sumoi..."
"Aku bukan Sumoimu," bentak Hui Lian, pedangnya sudah gemetar di tangan, siap untuk menyerang. Ia sekarang benci sekali kepada pemuda ini dan sudah gatal-gatal tangannya untuk melakukan pertempuran mati-matian.
"Hui Lian, kau benar tidak adil. Marilah kita bicara baik-baik. Kalau kau ikut dengan aku dan memberi sokongan suara dan kelak aku menjadi bengcu untuk seluruh dunia kang-ouw, bukankah berarti aku menjunjung tinggi nama Suhu? Bukankah kau sebagai Sumoi juga akan terbawa naik namamu? Pikirlah baik-baik, kau tahu bahwa aku selalu sayang kepadamu."
"Tutup mulutmu yang palsu dan ingatlah akan kepalsuanmu di Mongolia dahulu" bentak Hui Lian yang terus saja menyerang dengan pedangnya.
Kong Ji maklum betapa lihainya gadis ini bermain pedang, maka ia melompat mundur sambil berkata dengan nada menyesal, "Terpaksa aku harus menggunakan kekerasan, Sumoi. Kau keras hati dan kepala batu."
Hudtim pindah ke tangan kiri dan diputar menangkis serangan pedang dari Hui Lian. Terdengar suara gemerincing dan Hui Lian merasa telapak tangannya tergetar. Kagetlah hati gadis ini karena ia tahu bahwa Kong Ji benar-benar telah memperoleh kemajuan yang hebat. Sudah dapat menyalurkan tenaga sehingga bulu-bulu hudtim itu menjadi sekeras baja benar-benar membuktikan bahwa pemuda itu telah mencapai tingkat yang sukar dicari bandingannya.
Akan tetapi Hui Lian tidak pernah mengenal apa artinya takut. Bagaikan seekor singa betina gadis ini menyerang terus, mengerahkan tenaga mengandalkan kegesitan tubuhnya dan mengeluarkan jurus-jurus yang terhebat dari ilmunya.
Kong Ji merasa kewalahan juga. Pemuda ini sesungguhnya jauh kalau dibandingkan dengan dahulu ketika baru meninggalkan Kim bun-tho bersama Hui Lian. Sekarang ilmu kepandaiannya sudah jauh lebih tinggi daripada dahulu dan kalau saja ia bermaksud membunuh atau melukai Hui Lian, kiranya dengan hudtimnya saja ia akan dapat merobohkan gadis itu.
Akan tetapi ia tidak mau melukai Hui Lian, apalagi membunuhnya, karena ia mempunyai niat dan cita-cita yang lebih tinggi. Mengalahkan gadis ini tanpa melukainya memang bukan hal yang mudah dan biarpun seorang lihai seperti Kong Ji merasa kewalahan juga. Setelah dua puluh jurus lewat, Kong Ji menggerakkan tangan kanan dan sinar terang menyilaukan mata Hui Lian.
"Bangsat rendah, kembalikan Pak-kek Sin-kiam!"
Hui Lian makin gemas melihat pedang pusaka sucouwnya kini berada di tangan kanan pemuda itu. Dengan nekat ia menyerang dan berusaha merobohkan Kong ji untuk merampas kembali pedang itu. Akan tetapi, sambil tertawa mengejek Kong Ji menggunakan Pak-kek Sinkiam membabat pedang di tangan Hui Lian sambil mengerahkan tenaganya.
"Krek!" Pedang di tangan Hui Lian terbabat patah menjadi dua dengan amat mudah oleh pedang pusaka Pak-kek Sin-kiam. Dan di lain saat, selagi Hui Lian marah dan kaget, beberapa lembar bulu hudtim yang sudah mengeras karena tenaga lweekang menyambar dan menotok beberapa bagian jalan darah. Hui Lian mencoba mengelak, akan tetapi kekagetannya karena pedang patah tadi membuatnya kurang cepat dan Thian-hu-hiat tubuhnya terkena totokan bulu hudtim, gadis ini terhuyung dan roboh tak berdaya lagi!
Kong Ji tertawa puas dan menyimpan pedang Pak-kek Sin-kiam di balik jubah luarnya yang lebar dan panjang. Kemudian dengan hudtimnya ia memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang berusia empat puluh tahun lebih untuk melucuti senjata-senjata yang masih ada pada pakaian dua orang muda itu, lalu Hong Kin dan Hui Lian diikat pergelangan tangannya dengan sebuah belenggu baja yang amat kuat!
"Bawa mereka ini menyingkir dari sini dan jaga baik-baik agar jangan sampai mereka terlepas. Juga tak boleh apapun juga mengganggu mereka, perlakukan baik-baik sebagai tamu agung. Dalam perjalanan ke Ngo-heng san, nona ini dimasukkan saja ke dalam joli dan diusung agar jangan menimbulkan keheranan di tengah perjalanan.”
Hong Kin dan Hui Lian yang sudah tak berdaya lagi itu dibawa pergi oleh dua orang itu. Kemudian Kong Ji menyuruh Lo Bong untuk mengumpulkan dan mempersiapkan barisan dari semua partai agar berkumpul di situ. Lo Bong berkelebat pergi dengan kecepatan yang mengagumkan. Kini di tempat itu tinggal Kong Ji, Giok Seng Cu, dan seorang kakek tua sebaya dengan Giok Seng Cu.
Kakek ini bukan orang biasa. Tubuhnya sudah tua dan bungkuk kurus, kepalanya besar dan bundar, rambutnya jarang dan sudah banyak rontok, berwarna putih, kulit mukanya kerut merut seperti jeruk layu. Gagang pedang tergantung di pundak kanannya dan sebatang tongkat bambu selalu membantunya berjalan. Biarpun kelihatan begini lemah dan tua, akan tetapi orang ini adalah jago nomor satu di seluruh Prowinsi An-hwei, bernama Siangkoan Bu berjuluk Mo-kiam (Pedang Iblis).
Dia adalah ketua dari perkumpulan Kwan-cin-pai di Provinsi An-hwei, sebuah perkumpulan yang sudah terkenal dan berpengaruh sekali. Kakek ini pernah didatangi oleh Kong Ji yang mengajak pibu dan dalam sebuah pertempuran seru hampir seratus jurus, barulah pedang Pak-kek Sin-kiam dapat menundukkan pedangnya dan kakek ini menerima kalah, takluk dan amat kagum kepada Kong Ji. Selanjutnya ia dengan suka-rela membantu pelaksanaan cita-cita pemuda aneh yang luar biasa ini.
Kong Ji belum mau meninggalkan tempat itu dan ia selalu memandang ke timur, seakan-akan menanti datangnya sesuatu. Memang, dia sedang menanti rombongan kedua dari kota raja yang tahu pasti akan lewat di situ tak lama lagi. Pemuda ini benar-benar luar biasa dalam waktu pendek sudah dapat mempengaruhi banyak orang, bahkan ia telah banyak menyebar mata-mata. Di kota raja sendiri, bahkan sampai di dalam istana, banyak terdapat pembantu-pembantunya.
Para pembantu ini semua menganggap bahwa Kong Ji adalah seorang pemuda perkasa ahli waris Pak Kek Siansu, seorang pemuda yang berjiwa patriotik dan yang hendak menggulingkan pemerintah Kin yang dianggapnya mencekik rakyat jelata. Kong Ji pandai sekali bicara dan pandai pula berlagak, maka semua orang percaya kepadanya. Dua orang busu yang pernah menolong Hui Lian di istana, yakni busu yang mengaku pejuang rakyat, bukan lain adalah pembantu-pembantu dan Kong Ji pula!
Oleh karena inilah maka Kong Ji dapat mengetahui segala gerak-gerak dalam istana, dan tahu pula bahwa Hui Lian dan Hong Kin akan lewat di tempat itu dalam tugas mereka yang diperintahkan oleh Wanyen Ci Lun. Benar saja, tak lama kemudian nampak debu mengepul tinggi dari arah timur. See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio, Kwan Kok Sun dan diiringkan oleh delapan orang perwira busu yang mengganti pakaian seperti ahli-ahli silat biasa, dengan menunggang kuda yang besar-besar.
See-thian Tok-ong menunggang kuda - paling depan dan kakek gundul ini meram melek di atas kuda, sama sekali tidak memegangi kendali kuda dan duduknya begitu enak seperti orang duduk di atas kasur yang empuk saja. Biarpun tidak dipegangnya kendali kuda, namun sesungguhnya kuda itu sudah dikuasai sepenuhnya. Memang See than Tok-ong seorang aneh, caranya menunggang kuda pun aneh...!
Melihat keadaan negara kacau dan para petugas negara tukang korup besar, Liang Ti Ek meninggalkan dunia sawah-ladangnya dan masuk ke dunia lok-lim, menjadi kepala rampok. Tadinya memang yang diganggunya hanya para pedagang dan pembesar yang lewat, akan tetapi lambat laun, watak anak buahnya yang kasar dan keji rupa-rupanya menular kepadanya dan dia menjadi kepala rampok tak pandang bulu dan kejam.
Setelah Hwa I Enghiong Ciang Le tinggal di selatan, Liang Ti Ek ketakutan dan berpindah-pindah, bahkan ia membubarkan anak buahnya dan bekerja seorang diri menjadi perampok tunggal. Kemudian ia bertemu dengan Thian-sin Siok Hoat dan bersahabat. Demikianlah hari ini ia ikut membantu Siok Hoat untuk membunuh Kaisar.
Akan tetapi, siapa kira, baru saja memperlihatkan keahliannya menyambit dengan tiga batang piauw sekaligus ke arah Kaisar, muncul seorang nenek perkasa yang dengan mudah meruntuhkan tiga batang piauwnya dan kini bahkan menyerangnya dengan hebat. Liang Ti Ek memutar paculnya mengerahkan tenaga lweekangnya untuk mendesak. Namun, alangkah terkejutnya ketika matanya matanya menjadi berkunang dan ia harus membuka mata lebar-lebar karena kalau tidak demikian, ia mungkin akan kehilangan lawannya dan tahu-tahu akan menerima pukulan maut.
Demikian cepat gerakan lawannya dan alangkah ringan kakinya bergerak ke sana ke mari, tanda bahwa ia menghadapi seorang nenek tua yang memiliki ginkang luar biasa sekali. Maka cepat ia menggerakkan paculnya dan mainkan ilmu silat yang aneh gerakannya. Tidak sembarangan ahli silat dapat mainkan alat pertanian ini sebagai senjata.
Kalau orang tidak memiliki dasar ilmu silat tinggi, maka senjata ini hanya membikin kaku gerakannya dan tak mungkin menjadi senjata yang ampuh. Akan tetapi, kalau yang mainkan itu sudah memiliki kepandaian tinggi, apalagi memang sudah berpuluh tahun Liang Ti Ek berlatih ilmu mainkan pacul, senjata aneh ini amat berbahaya dan merupakan senjata yang dapat mengimbangi kelihaian ranting di tangan Kwan Ji Nio.
Pertempuran yang amat ramai dan paling mengerikan hati adalah pertempuran antara Pouw Bin dan Kwan Kok Sun. Kwan Kok Sun sebagaimana diketahui adalah seorang pemuda yang berkepala gundul dan kepandaiannya yang diwarisi dari ayah bundanya yang kosen, tentu saja amat hebat. Di lain pihak Pouw Bin yang menjadi lawannya adalah seorang bertubuh tinggi besar dan kepalanya di tengah-tengah botak kelimis menyaingi kepala Kwan Kok Su.
Muka Pouw Bin menghitam dan mengkilap seperti pantat kwali digosok minyak. Ia berjuluk Thiat touw kang- jiu (Kepala Besi Tangan Baja) dan kepandaiannya tinggi karena sebetulnya dia adalah sute (adik seperguruan) dari Thian-sin Siok Hoat bekas kepala itu. Yang diandalkan adalah ilmu pukulan tangan kosong yang disebut Kang-san-jiu (Tangan Gunung Baja). Setiap jari tangannya merupakan senjata seperti batang baja yang kokoh kuat, yang sekali ditusukkan dapat melubangi tembok.
Selain ini, juga julukannya Kepala Besi bukan tidak ada artinya. Kepalanya yang botak itu bukan karena penyakit juga bukan sengaja botak, melainkan akibat daripada latihan lweekang dengan kepalanya. Dari kulit kepalanya yang botak ini kalau dipergunakan keluar hawa pukulan yang dahsyat dan sudah banyak sekali lawan yang ia robohkan dengan benturan kepalanya yang lihai.
Tadinya Pouw Bin memandang rendah kepada Kwan Kok Sun, akan tetapi setelah pertandingan berlangsung beberapa belas jurus, bukan main kagetnya melihat bahwa sepasang ular hijau di tangan pemuda gundul itu benar-benar amat berbahaya. Sepasang ular itu dimainkan oleh Kok Sun seperti orang mainkan senjata ruyung lemas (joan-pian) dan bahkan jauh melebihi joan-pian bahayanya.
Kalau orang terkena pukulan joan-pian, asal memiliki tenaga lweekang dan pernah melatih diri dengan ilmu kebal, paling banyak hanya terluka. Akan tetapi, sekali saja kena sabetan ular hijau ini berarti terkena gigitan dan racunnya. Betapapun kebal seseorang, betapapun lihai lweekangnya asal darah sudah dimasuki racun ular ini, celakalah dia!
Oleh karena itu Pouw Bin yang berlengan besi tidak berani mengadu lengannya dengan ular-ular itu, sebaliknya Kwan Kok Sun juga tidak berani mengadu ularnya dengan sepasang lengan yang demikian keras dan kuat. Melihat tangan yang mengeluarkan cahaya kehitaman itu saja maklumlah Kok Sun bahwa lawannya memiliki sepasang tangan rang sudah dilatih secara hebat.
Adapun orang ke lima adalah Pouw Sin, berjuluk Siang-sin-to, atau Sepasang Golok Sakti. Orangnya kurus kecil, dia ini adik dari Pouw Bin, juga sute dari Siok Hoat. Sesuai dengan julukannya, sepasang goloknya jarang menemui tandingan. Tadi, ia disambut oleh Liok-te Mo-ong Wie It. Kalau saja Wie It maju seorang diri, kiranya ia takkan dapat menang melawan Siang-sin-to Pouw-Sin.
Baiknya ia maju dengan bantuan Bu Tong busu tinggi besar itu dan empat orang busu lain. Dengan berenam ia mengeroyok Siang-sin-to Pouw Sin. Pouw Sin menggerakkan sepasang goloknya lihai sekali. Baru belasan jurus saja sudah ada dua orang busu yang terluka dan terpaksa mengundurkan diri dari kalangan pertempuran.
Melihat ini, dua orang busu lain yang lebih lihai menggantikan mereka dan kini Liok-te Mo ong Wie It yang melihat cara lawan ini bersilat golok memberi aba-aba untuk mengeroyok dari jauh, mempergunakan serangan bertubi-tubi dan bergiliran secara teratur. Benar saja, Pouw Sin kewalahan sekali dan kini ia terdesak hebat.
Tiba-tiba terdengar pekik mengerikan dan tubuh Kwan Kok Sun terlempar membentur dinding di belakangnya. Sebaliknya, lawannya Pouw Bin Si Kepala Baja terhuyung-huyung. Dialah yang memekik tadi dan mencoba dengan tangan kirinya untuk membetot seekor ular hijau yang menggigit pergelangan tangan kanannya. Akan tetapi sebelum ia berhasil membetot, racun ular itu telah menjalar ke dalam tubuh menyerang jantungnya dan ia roboh binasa, mukanya menjadi hijau sekali.
Bagaimana Kwan Kok Sun sampai terlempar jauh? Tadi ketika pemuda gundul ini menjadi gemas karena sudah tiga puluh jurus belum juga ia dapat mengalahkan lawannya, lalu menyimpan seekor ularnya di dalam saku dan sebaliknya mengeluarkan sebuah bungkusan kecil yang segera dimasukkan ke dalam mulutnya! Tak lama kemudian sambil mengeluarkan bentakan nyaring dari mulutnya menyambar uap hitam ke arah Pouw Bin. Inilah obat tadi yang dikeluarkan dengan saluran hawa lweekang. Kalau bukan Kok Sun putera Si Raja Racun, tentu saja tidak berani memasukkan bubuk racun hotam ke dalam mulutnya!
. Pouw Bin terkejut dan cepat sekali ia menggerakkan tubuh mengelak, akan tetapi hawa beracun itu masih menguasainya ketika hidungnya mencium bau racun itu, membuat pandangan matanya untuk sedetik berkunang. Ia cepat menyalurkan hawa murni untuk mengusir pengaruh ini, akan tetapi pada saat itu, Kok Sun tidak membuang kesempatan baik, menyerang dengan ularnya yang masih seekor berada di tangannya. Ular menyambar ke arah leher Pouw Bin.
Tiat-thouw-kang-jiu Pouw Bin pada saat itu sudah sadar kembali dari pengaruh bau busuk racun hitam. Telinganya mendengar sambaran hawa pukulan kawan. Maklum bahwa tidak ada jalan lain untuk menangkan pertandingan itu selain mengadu nyawa, ia cepat mengulur tangan menangkap leher ular dan berbareng ia menggunakan kepalanya menyeruduk ke depan, ke arah perut Kwan Kok Sun.
Akibatnya hebat! Kok Sun kena diseraduk sampai terpental jauh dan menubruk dinding. Dinding itu jebol dan Kok Sun roboh akan tetapi bocah gundul ini hanya kaget saja, di dalam perut dan dadanya tidak terluka! Sebaliknya, Pouw Bin tak dapat mengelak lagi ketika ular yang dipegang terlalu tengah itu membalikkan kepalanya dan menggigit pergelangan tangannya, mengakibatkan Si Kepala Besi Tangan Baja ini roboh binasa.
Ular itu pun hancur perutnya karena cengkeraman tangan baja Pouw Bin, berberkelojotan dan tak lama kemudian mati bersama korbannya. Kematian Pouw Bin melemahkan hati kawan-kawannya, terutama sekali Liang Ti Ek yang sudah didesak mati-matian oleh Kwan Ji Nio.
Sebaliknya Kwan Ji Nio dan juga See-thian Tok-ong merasa penasaran dan gemas sekali kepada lawannya karena Kwan Kok Sun tertawa-tawa sambil mengejek ayah bundanya.
"Ha ha ha, Ayah dan Ibu sudah tua sekarang, Tidak bisa lekas merobohkan lawan. Ha ha ha!"
Kwan Ji Nio memekik keras dan tiba-tiba tubuhnya mumbul di atas melalui kepala lawannya dan sebelum Liang Ti Ek hilang kagetnya, ranting di tangan nyonya kosen itu telah meluncur dari atas, bukan ditusukkan melainkan disambitkan. Inilah serangan paling lihai dari Kwan Ji Nio dan jarang ada yang dapat selamat dari serangan ini. Liang Ti Ek menjarit, paculnya melesat ke arah Kaisar!
Seorang pengawal mengangkat toya dan memukul pacul itu runtuh di atas lantai, adapun Liang Ti Ek sendiri roboh binasa dengan kepala berlobang, di mana menancap ranting yang disambitkan oleh Kwan Ji Nio tadi!
Melihat suaminya belum juga dapat merobohkan dua orang lawannya yang memang paling lihai di antara lima orang itu, Kwan Ji Nio mencabut ranting dari kepala lawannya, lalu sekali berkelebat ia telah membantu suaminya menghadapi Swi Tok Sai-ong. Terpaksa tosu dari Pegunungan Gobi ini meninggalkan See- thian Tok-ong menghadapi Kwan Ji Nio yang amat gesit gerakannya itu.
Setelah See-thian Tok-ong menghadapi Thian-sin Siok Hoat seorang, Raja Racun dari Barat ini mengeluarkan seruan ketawa yang menyeramkan, sepasan Ngo-tok Mo-jiauw di tangannya bergerak makin cepat dan di lain gebrakan robohlah Siok Hoat tanpa bernapas lagi. Ngo-tok Mo-jiauw mendapat korban baru!
Melihat ini, kuncup hati Swi Tok Sai-ong sehingga tanpa malu-malu lagi ia menjatuhkan diri berlutut sambil berseru keras minta-minta ampun kepada Kaisar. Akan tetapi dibarengi dengan suara ketawa nyaring dari Kwan Ji Nio, di lain saat ia terjengkang roboh tak bernyawa. Dadanya berlubang ditembus ranting di tangan nenek itu!
Kini tinggal seorang lagi yang masih melawan dikeroyok oleh Liok-te Mo-ong Wie It dan kawan-kawannya. Keadaannya juga sudah amat terdesak dan melihat betapa empat orang kawannya sudah tewas, orang terakhir ini, yaitu Siang-sin-to Pouw Sin, menjadi gentar bukan main.
Jalan keluar ke arah hidup sudah tidak ada lagi dan ia maklum bahwa ia pun sebentar lagi akan menerima nasib seperti empat orang kawannya. Timbul sifat pengecut dalam hatinya dan sambil melompat ke luar dari kalangan, Pouw Sin melempar golok menjatuhkan diri berlutut dan minta-minta ampun!
Wie It yang sudah merasa gemas dan malu sejak tadi belum juga dapat merobohkan lawan yang dikeroyok, tidak mempedulikan permintaan ampun ini dan hendak membunuhnya dengan pedang. Tiba-tiba terdengar suara Kaisar.
"Wie lt, jangan bunuh dia. Bawa dia ke sini!"
Terpaksa Wie It mengurungkan niatnya membunuh Pouw Sin dan menyeret tawanan itu pada rambutnya kemudian membantingnya didepan kaki Kaisar yang kini sudah tidak dikurung lagi oleh para pengawal pribadinya. Pouw Sin tidak berani memandang muka Kaisar dan berlutut sambil membentur-benturkan jidatnya pada lantai.
"Siapa namamu?" tanya Kaisar. Biar pun suara Kaisar halus dan tidak kasar seperti biasa suaranya pembesar tinggi yang memandang hina kepada kalangan rakyat kecil, namun suara ini amat berpengaruh dan membuat tubuh Pouw Sin yang berkepandaian tinggi menggigil.
"Hamba yang rendah bernama Pouw Sin."
"Apa alasanmu kau dan kawan-kawanmu datang dan berdaya untuk membunuh Kaisar?"
"Hamba... hamba hanya disuruh..." jawab Pouw Sin gagap. "Hm, siapa dia yang menyuruhmu?"
Muka Pouw Sin nampak kaget dan seakan-akan ia menyesal telah bicara terus terang. Akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya dan menjawab. "Yang menyuruh dan mengajak hamba adalah Thian-sin Siok Hoat. Dialah yang mempunyai rencana pembunuhan ini. Hamba hanya ikut-ikutan saja, mohon Paduka sudi mengampuni hamba..."
"Bohong!" Kaisar membentak. Kaisar bukanlah seorang bodoh dan ia tahu bahwa di dalam pengakuan ini terletak kebohongan. Tahu pula bahwa Pouw Sin agaknya takut akan sesuatu kalau membuat pengakuan sebenarnya. "Kau akuilah sejelasnya, baru kami mau memperhatikan ampunan untukmu. Kalau tidak mengaku kau akan dihukum siksa sampai mati"
Pouw Sin makin ketakutan. Ia menoleh ke kanan kiri, kemudian terpaksa mengaku juga. "Sebetulnya hamba berlima... hamba berlima hanya menjalankan perintah..."
"Perintah siapa"
"Perintah dari... bengcu..."
Kaisar nampak terkejut. Bengcu adalah kepala atau ketua perhimpunan besar, tentu yang dimaksud oleh Pouw Sin adalah ketua dari dunia kang-ouw. Akan tetapi sepanjang Kaisar mengetahui, pemilihan bengcu belum dilakukan, bagaimana sudah ada seorang bengcu baru?
"Bengcu mu ini... ketua apakah?" tanya Kaisar.
"Belum lama ini perkumpulan-perkumpulan besar persilatan, yakni Im-yang-bu-pai, Bu-cin-pang, Kwan-cin-pai, Shan-si-Kaipang, dan Twa-to-bu-pai telah memilih seorang bengcu di puncak Pegunungan Tai-hang. Bengcu baru inilah yang mengutus hamba berlima... mohon ampun, Tuanku...."
"Siapa bengcumu itu? Siapa namanya?"
"Namanya adalah Li..." Tiba- tiba menyambar turun sinar putih ke arah Pouw Sin. See-thian Tok-ong dan Kwan-Ji Nio cepat menggerakkan tangan mengibas sinar ini. Empat sinar dapat di tangkis oleh See-thian Tok-ong, dua oleh Kwan Ji Nio. Akan tetapi yang sebuah lagi terlalu cepat sehingga tahu-tahu sudah menancap di leher Pouw Sin yang menjerit keras dan roboh berkelojotan kemudian mati!
See-thian Tok-ong dan isterinya melompat memandang keluar dan melihat bayangan seorang busu muda yang tampan wajahnya melarikan diri cepat sekali. "Pembunuh. jangan lari!" teriak See-thian Tok-ong akan tetapi tanpa mengeluarkan suara, Kwan Ji Nio sudah mendahului suammya mengejar bayangan itu.
Geger di ruangan persidangan. Kaisar memberi perintah supaya para mayat diurus, tempat itu supaya dibersihkan, kemudian mengundurkan diri, terlalu lelah menghadapi peristiwa-peristiwa yang menegangkan itu dan tidak beristirahat. Dia masuk diiringkan oleh para siuli dan semerbaklah bau harum ketika rombongan suili ini berjalan dengan lenggang-lenggok lemas dan ayu.
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati para siuli ini mendapat kesempatan mengundurkan diri karena tadi mereka sudah setengah mati takutnya menghadapi pertempuran dan pembunuhan yang mengerikan hati mereka yang lemah.
Biarpun Kwan Ji Nio memiliki gingkang luar biasa, akan tetapi ternyata orang yang dikejarnya itu pun cepat sekali gerakannya. Kalau mereka berkejaran di tanah datar dan tempat terbuka, sudah dapat chpastikan Kwan Ji Nio akan dapat menyusulnya segera, karena jarang ada orang dapat menandingi kecepatan lari nyonya ini.
Akan tetapi, orang yang berpakaian busu ini agaknya sudah hapal dan kenal baik jalan-jalan di lingkungan istana, sedangkan bagi Kwan Ji Nio tempat ani adalah tempat asing, maka enak saja busu yang dikejar itu membelok ke sana-sini membingungkan hati Kwan Ji Nio. See-thian Tok-ong yang dalam berlari cepat kalah oleh isterinya, tertinggal jauh.
Setelah Kwan Ji Nio akhirnya dapat juga menyusul dan jarak antara dia dan orang yang dikejarnya tinggal beberapa tombak lagi, tiba-tiba orang itu membalikkan tubuh dan mengayun tangannya. Sinar putih berkeredepan menyambar ke arah Kwan Ji Nio. Jumlah senjata rahasia yang ternyata adalah gin ciam (jarum-jarum perak) itu ada tiga belas banyaknya, menyerang tiga betas jalan darah di tubuh Kwan Ji Nio, luar biasa bahayanya!
Kwan Ji Nio sampai mengeluarkan suara keras saking kagetnya. Ia cepat mempergunakan ginkangnya untuk mengelak sambil menyampok jarum-jarum itu, akan tetapi tetap saja pundaknya terkena tusukan sebatang jarum yang mendatangkan rasa sakit dan gatal-gatal!
Kwan Ji Nio kiranya tak patut menjadi isteri See-thian Tok-ong kalau ia tak tahu apa artinya ini! Sebagai isteri dari See-thian-Tok-ong Si Raja Rarun dari Barat tentu saja ia tahu seketika itu juga bahwa ia telah terkena jarum beracun yang jahat sekali. Terpaksa ia mengerahkan hawa dalam tubuh, berdiri tegak, mengambil obat penawar segala racun dari dalam saku bajunya.
Pada saat itu, suaminya juga tiba di situ, maka suami ini lalu mengobati luka isterinya yang biarpun kecil saja namun amat berbahaya itu. Ia mencabut jarumnya dan menyimpan jarum itu di kantongnya, lalu diobatinya luka itu. tentu saja mereka tak melihat lagi bayangan orang yang mereka kejar.
"Kau kenali dia?" tanya suaminya. Kwan Ji Nio mengerutkan alisnya. “Bentuk tubuhnya seperti Si Setan Kong Ji akan tetapi mukanya dirobah dengan abat bubuk, maka muka itu menjadi kedok. Siapa bisa mengenalinya?"
See-thian Tok-ong mengangguk-angguk. "Memang mungkin sekali setan cilik itu. Kalau tidak, siapa pula orangnya yang dapat mempergunakan jarum-jarum macam ini?"
"Kalau benar dia, mengapa dia melukai aku?" tanya Kwan Ji Nio penasaran
"Dia orang cerdik, tentu tahu bahwa kau takkan mati oleh jarumnya. Akan tetapi kalau betul dia, aku mengerti..."
"Sudahlah, dari dulu juga aku bilang tak perlu bekerja sama dengan setan cilik itu. Lebih baik kita bekerja sendiri, bukankah kita ada harapan memperoleh kedudukan tinggi di istana?" kata Kwan Ji Nio.
Sementara itu para pengawal yang ikut mengejar sudah tiba di tempat itu. Kwan Ji Nio dan suaminya tentu saja tidak sudi menyatakan bahwa Kwan Ji Nio terluka, hanya menyatakan menyesal tak dapat menangkap orang itu.
"Dia berpakaian busu dan agaknya kenal baik tempat ini. Dia membelok ke sana ke mari dan kami menjadi bingung ke mana harus mengejar," kata See-thian Tok-ong dan Kwan ji Nio. Beramai-ramai mereka lalu kembali ke dalam istana.
"Menurut perintah Hongsiang, Jiwi locianpwe suarni isteri dan putera dipersilakan mengaso di dalam bangunan yang sudah disediakan untuk Sam-wi (Tuan Bertiga). Kelak Hongsiang akan memanggil Sam-wi menghadap, karena sekarang Hongsiang sendiri sedang mengaso setelah nienghadapi perastiwa-peristiwa yang hebat tadi," kata Liok-te Mo-ong Wie It kepada See-thian Tok-ong.
Maka diantarlah ayah ibu dan anak yang kosen itu ke dalam sebuah bangunan di antara kompleks perumahan istana. Ternyata bangunan ini merupakan gedung kecil yang indah dan mewah sekali, lengkap dengan para pelayan laki-laki wanita! Tentu saja Kwan Ji Nio menjadi girang bukan main, demikian pula Kwan Kok Sun. Ibunya girang karena seperti wanita-wanita lain, ia senang tinggal di rumah yang indah dan lengkap, adapun Kok Sun girang melihat bahwa di antara para pelayan banyak terdapat gadis-gadis yang cantik.
Di lain pihak, See-thian Tok-ong menghadapi semua ini dengan sikap acuh tak acuh. Memang dia seorang luar biasa dan aneh yang lain dari pada manusia biasa. Baginya tidur di dalam kamar indah atau di atas padang rumput, sama saja. Makan lima kali sehari atau lima hari sekali pun sama juga.
"Wanyen Ci Lun, tentang pemuda bernama Coa Hong Kin itu oleh karena memang dia orang kepercayaanmu, tentu saja sekarang juga boleh dikeluarkan dan dibebaskan dari tahanan. Akan tetapi, sungguh aku tidak mengerti sama sekali mengapa kau membela seorang gadis seperti Go Hui Lian yang kau tahu adalah seorang pemberontak. Hm, kalau kau bukan keponakanku yang kupercaya penuh, tentu aku akan bercuriga kepadamu, Wanyen Ci Lun"
Demikianlah kata-kata Kaisar kepada Pangeran Wanyen Ci Lun ketika dua orang ini mengadakan pertemuan dan bercakap-cakap di dalam kamar kaisar, hanya dijaga oleh beberapa orang selir kaisar yang dapat dipercaya penuh. Memang, begitu menerima kabar bahwa Hong Kin dan Hui Lian ditangkap, Wanyen Ci Lun terus saja mengunjungi kaisar antuk memintakan pembebasan bagi orang muda itu.
Kini mendengar kata-kata kaisar, pangeran itu menjawab. "Bahwa Go Hui Lian seorang pemberontak ini hanyalah fitnahan belaka. Gadis itu datang ke kota raja untuk mencari Ayah Bundanya yang pergi merantau. Baru saja tiba di kota raja, ia diangkap. Apakah buktinya bahwa dia memberontak? Bahwa dia pernah bertemu dengan Temu Cin bukan alasan bahwa dia memberontak. Pada saat seperti sekarang ini, lebih baik menjadikan orang-orang gagah sebagai kawan daripada sebagai lawan. Go Hui Lian adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa, apalagi Ayah Bundanya. Kalau kita membaiki Nona ini dan dengan perantaraan Nona ini kita dapat pula menarik tangan Ayah Bundanya, bukankah itu sama halnya dengan memperkuat kedudukan kita sendiri? Harap saja Hongsiang berpikir baik-baik sebelum menjatuhkan hukuman kepadanya."
Kaisar mengangguk-angguk dan ia cepat mengerti akan maksud keponakannya yang terkenal cerdik sekali ini. "Akan tetapi dia diminta oleh Kwa Kok Sun dan gadis itu tidak mau, bukankah hal ini akan menimbulkan kerepotan saja?" tanya Kaisar.
Wanyen Ci Lun mendengarkan kata-kata ini dengan hati kecut, akan tetapi ia tersenyum. "Hal ini adalah urusan pribadi, biarlah diselesaikan di antara mereka sendiri. Bagi kita pokoknya asal semua orang gagah membantu itulah yang terbaik. Hamba mendengar bahwa tak lama lagi di Puncak Ngo-heng-san akan diadakan pemilihan bengcu baru dari seluruh partai besar di dunia kang-ouw. Hal ini amat kebetulan dan tepat dengan rencana kita memperkuat kedudukan kerajaan dan untuk membuat persiapan menghadapi serbuan dan ancaman orang orang Mongol. Hongsiang dapat memberi tugas kepada See-thian Tok-ong bertiga untuk menarik kawan-kawan yang berkumpul di sana agar suka membantu memperkuat kota raja, dan alangkah baiknya kalau saja bengcu baru yang didapat kita tarik! Dengan adanya bantuan bengcu yang berarti seluruh orang gagah di dunia membantu kita, apalagi yang kita takuti? Biarkan bangsat-bangsat Mongol datang menyerbu, kita tak usah takut!"
Girang hati Kaisar mendengar ini dan kembali mengangguk-angguk. "Ci Lun, kau hebat. Baiklah diatur seperti yang kauusulkan itu."
"Di samping bertugas menarik kawan, juga See-thian Tok-ong sekalian bertugas mengawasi dan mengawal Nona Go Hui Lian dan Hong Kin di dalam perjalanan ke Ngo-heng-san," kata pula Pangeran Wanyen Ci Lun.
Kaisar nampak tercengang. "Apa? Apakah kau hendak membebaskan Go Hui Lian dan mengirim ke Ngo-heng-san pula?”
"Kalau Hongsiang memberi ijin, demikianlah. Akan hamba atur sebaiknya hingga Nona itu percaya kepada kita dan suka membantu, dan hamba akan membujuknya agar supaya dia berusaha menarik Ayah Bundanya pula untuk memperkuat barisan pertahanan kita. Siapa pula yang lebih cepat selain Nona Go Hui Lian untuk menarik bantuan Hwa l Enghiong Go Ciang Le dan isterinya?"
"Bagaimana kalau dia berkhianat?"
"Hamba yang menanggung, Pula, hamba juga memata-matainya, yakni dengan adanya Hong Kin yang mengawalnya.” Setelah berhenti sebentar, pangeran itu berkata lagi, sinar matanya mengandung penuh rahasia, "Bahkan ada sebuah rahasia hamba yang hendaknya jangan sampai tersiar, hamba sendiri diam-diam akan mengunjungi Ngo-heng-san.”
Kaisar kaget dan memegang lengan keponakannya, “Ci Lun, apa kau gila? Perjalanan ke Ngo-heng-san jauh sekali. Dan pula kau tahu betapa banyak orang yang membenci kita, kalau mereka itu tahu bahwa kau Pangeran Wanyen Ci Lun, bukankah itu berarti kau akan menghadapi malapetaka besar?"
"Harap Hong Siang jangan khawatir, Hamba menyamar sebagai rakyat biasa. Hamba perlu pergi sendiri untuk melihat keadaan dan juga untuk melihat apakah rencana kita berjalan baik."
Akhirnya Kaisar setuju karena bukankah semua urusan itu dilakukan untuk menyelamatkan kerajaan? Demikianlah, di dalam kamar tahanan masing-masing ditempatkan berlainan akan tetapi pada waktu yang bersamaan, Hui Lian didatangi penjaga yang mengantarkan pedang dan buntalan pakaiannya demikian pun Coa Hong Kin. Keduanya tentu saja terheran-heran, akan tetapi penjaga hanya memberitahu bahwa mereka ditunggu di luar ruangan tahanan oleh penolong mereka.
Ketika Hui Lian hendak keluar, tiba-tiba seorang laki-laki memasuki kamar tahanan itu dan ketika Hui Lian mengangkat muka, gadis ini hampir saja mengeluarkan seruan kaget dan hampir saja bibirnya berseru. "Wan Sin Hong!" Baiknya ia teringat bahwa yang dihadapinya, biarpun segalanya serupa benar dengan Sin Hong, namun mata Sin Hong tidak begitu tua birunya dan pula pakaian orang ini menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan Pangeran Wanyen Ci Lun! Maka Hui Lian segera menjura dengan hormat, lalu berkata mendahului pangeran itu.
"Kalau hamba tidak salah duga tentu kali ini pun Siauw-ongya yang menolong hamba."
Dengan kedipan matanya, Wanyen Ci-Lun mengusir penjaga dari ruangan tahanan itu, kemudian ia menghadapi Hui Lian dengan senyum di bibir. "Ah, Nona. Kau terlalu sungkan. Kau seorang dara perkasa yang berhati bersih gagah, mana boleh dijadikan orang tahanan? Kau jangan berkecil hati. Kaisar melakukan hal ini hanya karena mendengar laporan busu saja dan juga para busu itu salah sangka terhadapmu, Nona."
"Sesungguhnya Ongya seorang bijaksana di istana ini. Kalau tidak ada Ongya, tentu hamba mengalami banyak kesulitan," kata pula Hui Lian.
Wanyen Ci Lun maju selangkah, lalu berkata dengan suara agak gemetar. "Nona Go Hui Lian, biarlah aku bicara empat mata denganmu dengan sejujurnya. Bicara dengan seorang gagah seperti engkau tak perlu menyembunyikan sesuatu, Nona. Ketahuilah, terus terang aku mengaku bahwa aku amat kagum kepadamu. Baik melihat wajahmu maupun melihat sikap atau watakmu, terutama sekali karena kepandaianmu yang tinggi. Aku kagum dan memujamu, Nona, dan karena aku suka main kartu terbuka, besar sekali hasratku untuk menarik dirimu dalam istanaku dan menjadi teman hidupku untuk selamanya! Nah, aku sudah membuka isi hatiku, Nona. Harap kau tidak marah dan secara terus terang pula aku mengharapkan jawabanmu"
Seketika pucat wajah Hui Lian mendengar ini. Benar-benar merupakan satu hal yang mengejutkan baginya, hal yang mendebarkan hati dan memalukan. Hanya sedetik mukanya pucat kemudian terganti warna merah sampai ke leher dan telinganya. Bukan main Pangeran ini. Bicara begitu terbuka tanpa tedeng aling aling, sedikit pun tidak malu atau sungkan-sungkan mengutarakan isi hati seperti itu.
"Bagaimana, Nona? jawablah sebelum kita menemui Hong Kin." Wanyen Ci Lun mendesak sambil senyumnya masih ramah menarik.
"Ini... ini… hamba tidak tahu... ah bagaimana harus hamba jawab? Hamba sedikit pun tak pernah berpikir tentang perjodohan, Siauw-ongya. Hamba... tak dapat menjawab."
Wanyen Ci Lun maklum bahwa gadis ini merasa malu-malu dan memang sukarlah bagi seorang gadis baik-baik untuk menjawab pertanyaannya yang dipandang dari sudut kesopanan, boleh juga dianggap kurang ajar itu. Akan tetapi ia telah berterus terang, tak baik mengandung dendam asmara secara sembunyi-sembunyi.
"Baiklah, kau boleh menjawab lain waktu, Nona. Sekarang mari kita menjumpai Hong Kin di luar."
Akan tetapi baru saja mereka keluar dari kamar tahanan nu, Hong Kin telah berlutut di depan pintu kepada Pangeran Wanyen Ci Lun. Merah muka Hui Lian dan Pangeran itu memandang kepada Hong Kin yang berlutut dengan kening berkerut.
"Hong Kin, kau... kau di sini?”
"Hamba setelah dikeluarkan oleh penjaga mendengar suara Paduka lalu menghampiri ke sini, akan tetapi melihat Ongya sedang bercakap-cakap, hamba tidak berani mengganggu," jawab Hong Kin sambil melirik.
Tanpa bertanya tahulah Pangeran itu dan Hui Lian bahwa Coa Hong Kin tentu saja mendengar percakapan mereka tadi. Mengingat akan hal ini, Pangeran itu menjadi merah mukanya.
“Hm, berdirilah dan mari kita ke istanaku untuk berunding tentang hal yang amat penting bagi kalian."
Berangkatlah tiga orang ini menuju ke gedung di mana Pangeran Wanyen Ci Lun tinggal. Mereka duduk di ruangan dalam dan pelayan segera keluar menghidangkan makanan dan minuman serba mewah. Sambli mempersilakan dua orang muda itu makan minum, Pangeran Wan-yen Ci Lun mulai membicarakan niatnya seperti yang tadi ia telah' rundingkan dengan Kaisar.
Akan tetapi pangeran yang amat cerdik ini memutarbalikkan percakapan yang dirundingkan dengan Kaisar tadi atau lebih tepat tadi di depan Kaisar ia memutarbalikkan rencananya agar jangan sampai Kaisar mendapat kesan bahwa ia lebih mempercayai Hui Lian dan Hong Kin daripada See-thian Tok-ong seanak isteri.
"Hong Kin dan Go-lihiap," katanya kepada dua orang muda itu, "Kalian tentu belum mendengar bahwa baru tiga hari yang lalu hampir saja Kaisar dibunuh oleh lima orang penjahat."
Dua orang muda itu terkejut. Pangeran Wanyen Ci Lun lalu menceritakan peristiwa itu. "Nah, karena sudah jelas See-thian Tok-ong dan anak isterinya berjasa telah menggagalkan mereka itu, Kaisar berkenan menerima See-thian Tok-ong bertiga menjadi pengawal di dalam istana, bahkan mengepalai semua pengawal kaisar.”
"See-thian Tok-ong bukan manusia baik-baik!" kata Hui Lian.
"Dia berbahaya, apalagi anaknya, bocah gundul edan itu!" kata pula Hong Kin.
Wanyen Ci Lun tersenyum. "Memang aku pun sudah berpikir demikian, akan tetapi setelah mereka memperlihatkan jasa tentu saja Kaisar mau menerima mereka. Dan sekarang, apakah kalian suka menolongku? Jangan kira bahwa aku minta balas jasa kalian, sama sekali bukan. Hanya ketahuilah bahwa tugas yang sekarang hendak kuserahkan kepada kalian, bukan semata-mata untuk menolongku, juga bukan semata-mata untuk menolong Kaisar, melainkan untuk menolong negara dari bahaya."
"Harap Siauw-ongya sudi memberi penjelasan. Sudah tentu hamba suka menolong kalau saja tenaga mengijinkan," kata Hong Kin dan Hui Lian mengangguk tanda setuju akan kata-kata Hong Kin.
"Seperti kalian ketahui, sekarang ini orang Mongol sedang bangkit hendak menggempur ke selatan." Melihat Hui Lian mengangkat muka dan sepasang mata gadis itu dengan tajam menatapnya. Pangeran Wanyen Ci Lun maklum dan disambungnya kata-katanya cepat, "Sudah tentu sekali banyak pula yang menaruh simpati kepada Temu Cin dan pasukan Mongolnya, mengingat desas-desus betapa Kaisar kurang bijaksana dulu memegang tapuk pemerintahan." Kembali ia berhenti dan memperhatikan Hui Lian yang nampak sengaja mengangguk-anggukan kepalanya.
"Memang hal ini aku harus akui. Biarpun Kaisar itu pamanku sendiri, namun beliau kurang memperhatikan urusan pemerintahan kurang memperhatikan kepentingan rakyat jelata. Akan tetapi hal ini dapat diperbaiki. Betapapun juga, lebih baik pemerintahan berada di tangan bangsa sendiri daripada terjatuh ke dalam tangan orang-orang asing!"
Memang, bangsa Kin sesungguhnya masih bangsa Tiongkok juga, merupakan suku bangsa yang hidup di sebelah utara San-si dan dahulu sebelum mendirikan Kerajaan Kin, bangsa Kin disebut bangsa Yucen.
"Nah, kalau kalian sependapat denganku maka sudah jelas bahwa negara diselamatkan, bukan saja terhadap bahaya serangan orang-orang Mongol yang belum begitu dekat. Melainkan harus diselamatkan dari orang-orang seperti See-thian Tok-ong dan lain-lain! Para penyerbu itu mengaku telah diperintah oleh seorang bengcu yang belum diketahui namanya, ini sudah merupakan ancaman dari satu pihak. Adanya See-thian Tok-ong didalam istana, juga merupakan ancaman yang amat berbahaya."
"Siauw-ongya, tugas apakah yang harus kukerjakan?" tanya Hui Lian karena gadis ini tidak begitu mengambil pusing tentang politik pemerintahan keadaan kerajaan Kin.
Wanyen Ci Lun tersenyum sabar. “Go-lihiap, kau tentu sudah mendengar bahwa kurang lebih dua bulan lagi, tiba masanya orang-orang gagah sedunia mengadakan pemilihan bengcu di puncak Ngo heng-san. Aku mendengar bahwa Kaisar menyuruh See-thian Tok-ong dan anak isterinya pergi ke Ngo-heng-san untuk menarik kawan-kawan dan pembantu. Hal ini tentu baik-baik saja ditinjau dari sudut maksud Kaisar, akan tetapi aku merasa khawatir kalau-kalau hal pergunakan oleh See-thian Tok-ong sebagai kesempatan mengajak orang-orang jahat memasuki istana! Oleh karena Go-lihiap, aku memohon pertolonganmu sudilah kiranya kau bersama Coa Hong Kin juga pergi ke Ngo-heng-san menghadiri pemilihan bengcu sambil melihat gerak-gerik See-thian Tok-ong. Selama ini, juga untuk menyelidiki siapa adanya bengcu yang telah menitah orang-orang untuk berusaha membunuh Kaisar."
Berseri wajah Hui Lian. Dia memang sudah mendengar tentang hal pemilihan bengcu dan kalau ia tidak salah menduga, ayah-bundanya pasti takkan melewatkan peristiwa bersejarah di dunia persilatan ini tanpa menghadirinya.
"Baiklah, Siauw-ongya, aku menerima tugas ini karena di sana aku pasti akan bertemu dengan Ayah-bundaku!" kata Hui Lian girang.
"Hamba mentaati perintah Siauw-ong ya," kata Hong Kin cepat-cepat dan pada wajah pemuda ini nampak jelas bahwa ia amat gembira mendapat tugas “mengawani" Hui Lian dalam perjalanan. Akan tetapi dalam sekejap mata kegembiraannya lenyap terganti oleh kecemasan dan kedukaan kalau teringat akan percakapan yang ia dengar antara Hui Lian dan Wanyen Ci Lun, bahwa pangeran itu mencinta Hui Lian dan ia terpaksa harus mengundurkan diri. Terhadap pangeran ini Hong Kin memang memiliki kesetiaan yang luar biasa besarnya.
"Memang itu pun termasuk rencanaku Lihiap. Selain tugasmu yang tadi, aku pun minta dengan hormat kepadamu, sudilah kiranya kau minta bantuan Ayah-bundamu agar ikut membantu negara menghalau para pengkhianat dan penjahat yang hendak mengacaukan negara."
Mendengar ini, Hui Lian mengerutkan kening. Ia maklum betapa ayah-bundanya membenci pemerintah Kin. Hal ini pun diketallui baik oleh Pangeran Wanyen Ci Lun yang segera berkata,
"Harap kausampaikan hormatku kepada Ayah-bundamu, Nona, dan sesungguhnya sudah lama sekali aku merasa kagum sekali mendengar nama Hwa l Enghiong Go Ciang Le dan ibumu Lian Bi Lan yang namanya terkenal di seluruh kolong langit. Hendaknya kau mengingatkan sedikit kepada Ayah-bundamu bahwa bantuan mereka bukan berarti bantuan kepada pemerintah Kin semata, melainkan bantuan untuk mencegah datangnya bahaya serangan musuh lain bangsa yang akan datang menjajah dan mencekik bangsa kita!"
Diam-diam Hui Lain harus mengaku bahwa pangeran ini selain pandai bicara juga amat cerdik dan dapat membaca gerak-gerak dan isi hati orang lain. Karena kata-kata pangeran ini semua tepat dan beralasan, bagi Hui Lian tidak ada lain jawaban selain menyatakan kesanggupannya. Setelah membuat persiapan, berangkatlah Hui Lian dan Hong Ki pada keesokan harinva, keduanya menunggang kuda yang bagus dan kuat pemberian Pangeran Wanyen Ci Lun.
********************
Hui Lian dan Hong Kin melakukan perjalanan dengan cepat dan gembira. Setelah bersama menghadapi peristiwa di dalam istana, hubungan mereka makin akrab, sungguhpun di pihak Hui Lian tidak terkandung perasaan sesuatu kecuali persahabatan yang tutus ikhlas karena ia maklum bahwa pemuda baju hijau ini benar-benar seorang muda yang baik sekali dijadikan sahabat.
Adapun di pihak Hong Kin, biarpun harus ia akui bahwa ia makin dalam terjatuh di jurang asmara, makin dalam ia mencinta nona itu, akan tetapi ia tidak berani sembarangan menyatakan perasaannya. Kalau ia teringat akan sikap Pangeran Wanyen Ci Lun yang juga cinta kepada Hui Lian, ia menjadi "mundur teratur" dan tidak berani bersikap sembrono. Dua hari mereka tiba di kaki Pegunungan Tai-hang-san yang sunyi senyap. Tanah gundul membentang luas di depan mereka.
"Saudara Coa, alangkah sunyi jalan ini dan alangkah panasnya kiranya kalau tengah hari." kata Hui Lian yang belum mengenal daerah ini.
“Tidak jauh daerah kering ini, di sana. Hanya kurang lebih tiga puluh li. Sekarang masih pagi lebih baik kita mempercepat perjalanan agar jangan sampai dikejar matahari di waktu kita masih berada di jalan gundul ini. Selewatnya tiga puluh lie, kita akan menemui daerah yang dingin dan subur," jawab Hong Kin.
Keduanya lalu menggebrak kuda binatang tunggangan mereka segera lompat dan lari cepat sekali, meninggalkan debu yang mengepul tinggi sepanjang jalan di belakang ekor mereka. Akan tetapi, baru saja lima lie mereka tempuh, tiba-tiba mereka melihat bayangan enam orang di tengah jalan.
"Hati hatilah, Nona. Daerah ini paling tidak aman. Siapa tahu kalau-kalau mereka yang di depan itu bukan orang-orang balk."
Hui Lian meraba gagang pedangnya dan bersikap waspada. Hatinya berdebar tegang dan gembira karena gadis ini memang selalu bergembira apabila menghadapi pengalaman hebat terutama pertempuran. Darah pendekar mengalir sepenuhnya dalam tubuh nona ini.
"Kau lihat saja, Saudara Coa. kalau mereka itu penjahat, kita akan basmi sampai ke akar-akarnya!"
Akan tetapi Coa Hong Kin tidak segembira Hui Lian karena pemuda ini maklum bahwa penjahat-penjahat yang berani beroperasi dekat kota raja, bukanlah penjahat-penjahat kecil yang mudah dibasmi. Karena daerah itu gundul, maka biarpun jauh enam orang itu sudah kelihatan dan kini jarak mereka sudah makin mendekat.
Tiba-tiba Hui Lian mengeluarkan seruan kaget. "Ada apa, Nona?"
"Dia itu Liok Kong Ji...!" "Siapa itu Liok Kong Ji?”
"Dia masih Suhengku, akan tetapi dia jahat, aku benci padanya!" kata Hui Lian akan tetapi hatinya berdebar tidak enak sekali. Ia tahu betapa jahatnya pemuda itu dan juga tahu betul betapa lihainya. Kalau muncul orang ini pasti akan terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.
"Yang manakah dia? Apakah yang hitam tinggi besar itu?" tanya Hong Ki kaget mendengar bahwa seorang di antara enam orang itu adalah suheng dari Hui Lian dan tentu saja amat lihai.
"Bukan, yang tengah itulah, yang membawa hudtim (kebutan pertapa)."
"Dia...?" Hong Kin memandang ke arah seorang pemuda yang tampan gagah, yang membawa kebutan sebagai mana biasa dipegang oleh seorang pendeta sehingga nampak lucu berada di tangan pemuda. Akan tetapi ia harus akui bahwa pemuda itu bertubuh tinggi tegap bersikap halus dan berwajah tampan.
Sementara itu, kuda mereka sudah tiba di tempat itu dan kini mereka telah berhadapan dengan enam orang yang menghadang di jalan. Hui Lian menyapa mereka itu dengan pandang matanya. Ia melihat Kong Ji kini bersikap angkuh lagaknya congkak seperti seorang bangsawan tinggi. Lima orang yang lain adalah orang laki-laki berusia empat paluh tahunan dan yang tiga berusia enam puluh tahun lebih.
Mereka rata-rata nampak berkepandaian tinggi. Memang lima orang ini bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah ketua-ketua partai besar yang berpengaruh yang sudah takluk kepada Kong Ji dan yang beramai-ramai mengangkat Kong ji sebagai pemimpin atau bengcu mereka!
Di antara lima orang itu, terdapat seorang kakek tua berusia enam puluh tahun lebih yang pakaiannya tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat kepala harimau, yakni gagang tongkat diukir seperti kepala harimau. Melihat kakek ini, Coa Hong Kin menegur.
"Eh, kiranya Shansi Kai-pangcu, Lo Bong Lo-enghiong yang berada di suni"
Hong Kin melompat turun dari kudanya, diturut oleh Hui Lian dan pemuda itu menjura kepada kakek itu. Memang kakek itu adalah Sin-houw (Harimau Sakti) Lo Bong yang menjadi kai-pangcu (Ketua perkumpulan pengemis) dari Shansi Kaipang, yakni perkumpulan pengemis di Shansi. Ketika Lo Bong memandang kepada pemuda tampan berbaju hijau yang menegurnya, ia pun lalu membalas dengan salam.
"Hm, Coa Sicu, apakah Suhumu Cam kauw Sin-kai sehat-sehat saja? Harap kausampaikan hormatku kepada orang tua gagah perkasa itu!"
"Terima kasih, Pangcu." Sebelum Hong Kin melanjutkan kata-katanya, terdengar suara Liok Kong Ji nyaring.
"Ah, Sumoiku yang manis. Kau berada di sini? Kebetulan sekali, sudah lama aku mencari-carimu. Bukankah kau datang dari istana bersama pemuda she Coa ini dan menerima tugas dari Pangeran Wanyen Ci Lun untuk menghadiri pemilihan Bengcu di Ngo-heng-san?"
Hui Lian terkejut. Juga Hong Ki memandang dengan mata terbelalak. bagaimana setan ini bisa mengetahui hal itu? Sebelum Hui Lian menjawab, Kong Ji sudah bicara lagi, kini ditujukan kepada Hong Kin.
"Jadi kau ini murid Cam kauw Sin-kai? Bagus sekali, tentu kau lihai seperti Gurumu. Di antara orang sendiri, tak usah kita berlaku sungkan. Mari kalian berdua bersama dengan kami pergi ke Ngo-heng-san, karena ketahuilah bahwa bengcu atau calon bengcu terutama sudah terpilih.”
Hui Lian masih benci kepada Kong Ji, maka dengan ketus ia menjawab. “Aku tidak sudi melakukan perjalanan bersamamu. Minggir dan jangan ganggu aku!”
Kong Ji tertawa bergelak dan terlihat deretan gigi yang putih. "Ha ha ha, kau masih galak saja, Sumoi. Akan tetapi makin galak makin manis. Benar-benar kau gagah dan berani sekali, berani bersikap seperti itu di depanku."
"Orang lain boleh takut kepadamu, Akan tetapi aku tidak!" Hui Lian meraba gagang pedangnya. Kong Ji hanya menggerak-gerakkan kebutan di tangannya sambil tertawa mengejek.
"Jangan kurang ajar'" seorang di antara kakek yang usianya sudah lanjut melompat dengan gerakan ringan di depan Hui Lian.
Gadis ini melihat gerakan kakek rambut panjang yang wajahnya menyeramkan sepertI lblis ini maklum bahwa ia menghadapi orang yang tinggi kepandaiannya. Ia pernah melihat kakek ini dahulu ketika mereka bersama mengeroyok dan mengejar-ngejar Wan Sin Hong.
Memang kakek ini bukan lain adalah Giok Seng Cu. Mendengar bahwa Hui Lian adalah puttri Go Ciang Le, siang siang Giok Seng Cu sudah merasa gemas dan kalau mungkin dan diperbolehkan oleh Kong ji, tentu ia akan mengganggu atau membunuh gadis puteri musuh besar yang dibencinya itu.
"Kau mau apa?" Hui Lian juga menantang dengan sikap tenang tak kenal takut.
Akan tetapi Hong Kin yang bermata tajam dan tahu bahwa enam orang lawan ini tak boleh dipandang ringan, berkata, "Go-siocia, harap bersabar." Kemudian ia bertanya kepada Lo Bong. "Shansi Kai pangcu, siapakah bengcu yang kau sebutkan tadi?"
Lo Bong tanpa ragu-ragu menuding ke arah Kong Ji sambil berkata, "Dialah bengcu kami, juga calon bengcu besar yang akan dipilih. Oleh karena itu, daripada ribut mulut tidak karuan, lebih baik kau dan kawanmu ini menggabungkan diri dengan kami dan kelak memillh bengcu kami. Merupakan kehormatan besar melakukan perjalanan dengan bengcu."
Hui Lian mengeluarkan suara mengejek, lalu melompat ke atas kudanya dan berkata kepada Hong Kin. "Saudara Coa, untuk apa melayani orang-orang yang miring otaknya? Mari kita lanjutkan perjalanan!"
"Sumoi, aku melarangmu melakukan perjalanan memisahkan dengan kami. Kau harus ikut dengan kami!" kata Kong Ji, suaranya berpengaruh.
"Aku bukan Sumoimu dan kau tidak berhak melarang. Pergilah..."
"Bengcu, tangkap saja dua orang bocah ini!" seru Giok Seng Cu yang sudah marah sekali, kemudian tanpa banyak cakap lalu menyerbu dan menubruk Hui Lian.
Memang di antara semua orang yang sudah menjadi kaki tangan Liok Kong Ji, hanya Giok Seng Cu yang agak berani sikapnya terhadap pemuda luar biasa itu. Hal ini karena Giok Seng Cu mengingat bahwa anak muda itu pernah menjadi muridnya.
Hui Lian terkejut sekali melihat tubrukan kakek rambut panjang yang amat berbahaya. Desir angin serangannya menyatakan betapa besar tenaga kakek ini, maka Hui Lian tidak berani menangkis melainkan melompat dari atas kudanya berjungkir balik dan turun dua tombak dari kudanya. Terdengar suara kuda meringkik dan kuda tunggangan yang tinggalkan Hui Lian itu kena ditampar oleh Giok Seng Cu terguling roboh!
"Kau kejam!" seru Hong Kin yang cepat maju menghadang melihat kakek itu hendak mengejar Hui Lian. Akan tetapi Giok Seng Cu mengibaskan tangannya ke arah dada Hong Kin sambil membentak.
"Roboh kau!" Giok Seng Cu sudah memperhitungkan bahwa kibasan lengan bajunya yang disertai tenaga Tin-san-kang ini tentu akan dapat merobohkan Hong Kin yang kelihatannya tidak begitu kuat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika kibasannva yang cepat sekali itu mengenai angin kosong karena Hong Kin talah mengelak dan bahkan balas menyerang dengan pukulan yang jitu sekali mengenai pundak Giok Seng Cu.
"Plak...!"
Giok Seng Cu terhuyung dua tindak akan tetapi Hong Kin tiba-tiba merasa tanganya panas, tanda bahwa ia terserang oleh tenaga pukulannya sendiri yang membalik ketika bertemu dengan pundak kakek itu. Hal ini menjadi bukti bahwa tenaganya jauh kalah besar, maka dapat dibayangkan betapa gelisahnya hati Hong Kin. Seorang kakek ini saja merupakan lawan yang amat berat, apalagi kalau enam orang itu semua maju.
"Bocah kurang ajar, apakah kau sudah bosan hidup?" Giok Seng Cu membentak marah kepada Hong Kin. Tadinya ia terkejut sekali melihat keanehan pukulan pemuda ini yang selain dapat mengelak dari serangannya, juga secara otomatis dapat membalas kontan dan memukul pundaknya. Tak disangkanya bahwa Ilmu Silat Cam-kauw-kun-hoat (Ilmu Silat Pemukul Anjing) dari Cam-kauw Sin-kai sedemikian lihatnya. Akan tetapi setelah merasa betapa pukulan pemuda ini tidak begitu kuat, hatinya lega dan amarahnya timbul. Dengan cepat ia lalu mendesak Hong Kin dengan pukulan-pukulan Tin-san-kang yang dahsyat.
"Giok Sengcu Suhu jangan bunuh utusan Pangeran Wanyen,” seru Kong Ji.
Seruan ini menolong nyawa Hong Kin karena kalau Giok Seng Cu tidak ditahan oleh Kong Ji, kiranya Hong Kin takka kuat menerima pukulan-pukulan Tin-san kang yang luar biasa hebatnya itu. Sebaliknya, ketika mendengar larangan dari Kong Ji, Giok Seng Cu tidak berani melanggar, ia lalu mengurangi tenaga akan tetapi memperhebat serangan sehingga beberapa jurus kemudian Hong Kin roboh terkena totokan yang lihai pada jalan darah Kong-goan-kiat membuatnya lemah dan lumpuh.
Sementara itu, ketika Hui Lian mendengar Kong Ji menyebut nama Giok Seng Cu, gadis ini terkejut sekali. Sebetulnya kakek berambut panjang yang lihai itu masih terhitung supeknya (uak gurunya) karena ia mendengar dari ayahnya bahwa kakek ini adalah murid dari Pak Hong Siansu. Diam-diam gadis ini terheran-heran bagaimana tokoh besar seperti Giok Seng Cu demikian tunduk terhadap Liok Kong Ji. Akan tetapi ia tidak sempat memikirkan hal ini karena ia sudah marah sekali melihat Hong Kin dirobohkan oleh Giok Seng Cu. Sekali melompat ia telah menghadapi kakek itu dengan pedang di tangan dan tanpa banyak cakap ia menyerang dengan tikaman berantai.
Melihat berkelebatnya ujung pedang ke arah tenggorokan, Giok Seng Cu cepat miringkan kepalanya dan hendak menyampok pedang dengan ujung lengan bajunya. Akan tetapi pedangnya itu telah dibalik gerakannya dan kini secara langsung melanjutkan serangannya dengan bacokan dari atas ke bawah mengarah dada. Giok Seng Cu kaget sekali melihat kelincahan kecepatan gerakan ini. Namun ia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah kawakan, tidak mudah gugup oleh desakan lawan. Sambil mengerahkan tenaga Tin-san-kang, ia menyampok pedang itu dengan lengannya. Pedang terpental akan tetapi lengan baju kakek itu robek!
Dan hebatnya, biarpun pedangnya sudah terpental karena ditangkis oleh Giok Seng Cu, masih saja pedang itu menyerang terus dengan tusukan lain pada lambung. Menghadapi serangan bertubi-tubi yang kesemuanya merupakan cengkeraman maut ini. Giok Seng Cu agak gentar dan sambil berseru keras ia melompat ke belakang.
"Hebat ilmu pedangmu, bocah!" serunya kagum. “Akan tetapi jangan kau kurang ajar. Bapakmu adalah Suteku (Adik Seperguruan), maka kau sekarang berhadapan dengan Supekmu. Hayo lekas lepaskan pedang dan berlutut!"
Hui Lian tertawa menyindir dan menudingkan pedangnya kepada Kong Ji katanya, "Kau kakek siluman yang terhadap dia itu bersikap seperti anjing penjilat, mau suruh aku berlutut? Hm, aku tidak pernah mempunyai Supek macam kau!" kata-kata ini ditutup oleh berkelebatnya tubuh Hui Lian yang sudah menyerang lagi dengan pedangnya.
Ilmu pedang yang dimainkan oleh Hui Lian adalah ilmu pedang warisan ayahnya yang menerima dart Pak Kek Siansu, maka Ilmu Pak-kek-sin kiam-hoat ini bukan main lihainya. Giok Seng Cu sudah mendapat perintah agar supaya tidak membunuh atau melukai gadis ini maka kalau ia melawan tanpa kebebasan melukai, kiranya ia takkan menang. Hal ini diketahui baik-baik.
Tanpa mempergunakan Tin-san-kang, tak mungkin ia dapat menang melawan gadis kosen ini, sebaliknva kalau ia mempergunakan Tin-sankang, ia takut kalau-kalau ia menjatuhkan tangan maut dan membunuh Hut Lian sehingga ia akan mendapat marah besar dari Kong ji. Oleh karena itu, ketika gadis itu menyerangnya, Giok Seng Cu hanya mengelak ke sana ke mari sambil menyampok pedang mempergunakan tenaga yang besar. Namun ia kalah gesit oleh Hui Lian sehingga pada jurus ke sebelas pangkal lengannya tergores pedang dan mengeluarkan darah.
"Giok Seng Cu Suhu, mundurlah...!" seru Kong Ji dengan suara berpengaruh ia merasa malu terhadap yang lain kalau ia tidak turun tangan sendiri memperlihatkan kelihaiannya.
Sudah diceritakan tadi bahwa lima orang kawan Kong Ji adalah orang-orang penting. Selain Giok Seng Cu dan Sin-houw Lo Bong ketua dari Shan-si Kai-pang, yang tiga orang lagi adalah ketua darit Bu-cin-pang, Kwan ci pai, dan Twa-to-bu-pai. Mereka ini inilah yang mengangkat Kong-Ji sebagai bengcu dan mereka bersama anak buah atau anggauta partai mereka yang banyak jumlahnya yang akan menyokong Kong Ji dalam segala usaha dan cita-citanya.
Kini dengan tenang Kong it menghadapi Hui Lian, hudtim atau kebutan panjang masih terpegang di tangan kanannya. "Sumoi..."
"Aku bukan Sumoimu," bentak Hui Lian, pedangnya sudah gemetar di tangan, siap untuk menyerang. Ia sekarang benci sekali kepada pemuda ini dan sudah gatal-gatal tangannya untuk melakukan pertempuran mati-matian.
"Hui Lian, kau benar tidak adil. Marilah kita bicara baik-baik. Kalau kau ikut dengan aku dan memberi sokongan suara dan kelak aku menjadi bengcu untuk seluruh dunia kang-ouw, bukankah berarti aku menjunjung tinggi nama Suhu? Bukankah kau sebagai Sumoi juga akan terbawa naik namamu? Pikirlah baik-baik, kau tahu bahwa aku selalu sayang kepadamu."
"Tutup mulutmu yang palsu dan ingatlah akan kepalsuanmu di Mongolia dahulu" bentak Hui Lian yang terus saja menyerang dengan pedangnya.
Kong Ji maklum betapa lihainya gadis ini bermain pedang, maka ia melompat mundur sambil berkata dengan nada menyesal, "Terpaksa aku harus menggunakan kekerasan, Sumoi. Kau keras hati dan kepala batu."
Hudtim pindah ke tangan kiri dan diputar menangkis serangan pedang dari Hui Lian. Terdengar suara gemerincing dan Hui Lian merasa telapak tangannya tergetar. Kagetlah hati gadis ini karena ia tahu bahwa Kong Ji benar-benar telah memperoleh kemajuan yang hebat. Sudah dapat menyalurkan tenaga sehingga bulu-bulu hudtim itu menjadi sekeras baja benar-benar membuktikan bahwa pemuda itu telah mencapai tingkat yang sukar dicari bandingannya.
Akan tetapi Hui Lian tidak pernah mengenal apa artinya takut. Bagaikan seekor singa betina gadis ini menyerang terus, mengerahkan tenaga mengandalkan kegesitan tubuhnya dan mengeluarkan jurus-jurus yang terhebat dari ilmunya.
Kong Ji merasa kewalahan juga. Pemuda ini sesungguhnya jauh kalau dibandingkan dengan dahulu ketika baru meninggalkan Kim bun-tho bersama Hui Lian. Sekarang ilmu kepandaiannya sudah jauh lebih tinggi daripada dahulu dan kalau saja ia bermaksud membunuh atau melukai Hui Lian, kiranya dengan hudtimnya saja ia akan dapat merobohkan gadis itu.
Akan tetapi ia tidak mau melukai Hui Lian, apalagi membunuhnya, karena ia mempunyai niat dan cita-cita yang lebih tinggi. Mengalahkan gadis ini tanpa melukainya memang bukan hal yang mudah dan biarpun seorang lihai seperti Kong Ji merasa kewalahan juga. Setelah dua puluh jurus lewat, Kong Ji menggerakkan tangan kanan dan sinar terang menyilaukan mata Hui Lian.
"Bangsat rendah, kembalikan Pak-kek Sin-kiam!"
Hui Lian makin gemas melihat pedang pusaka sucouwnya kini berada di tangan kanan pemuda itu. Dengan nekat ia menyerang dan berusaha merobohkan Kong ji untuk merampas kembali pedang itu. Akan tetapi, sambil tertawa mengejek Kong Ji menggunakan Pak-kek Sinkiam membabat pedang di tangan Hui Lian sambil mengerahkan tenaganya.
"Krek!" Pedang di tangan Hui Lian terbabat patah menjadi dua dengan amat mudah oleh pedang pusaka Pak-kek Sin-kiam. Dan di lain saat, selagi Hui Lian marah dan kaget, beberapa lembar bulu hudtim yang sudah mengeras karena tenaga lweekang menyambar dan menotok beberapa bagian jalan darah. Hui Lian mencoba mengelak, akan tetapi kekagetannya karena pedang patah tadi membuatnya kurang cepat dan Thian-hu-hiat tubuhnya terkena totokan bulu hudtim, gadis ini terhuyung dan roboh tak berdaya lagi!
Kong Ji tertawa puas dan menyimpan pedang Pak-kek Sin-kiam di balik jubah luarnya yang lebar dan panjang. Kemudian dengan hudtimnya ia memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang berusia empat puluh tahun lebih untuk melucuti senjata-senjata yang masih ada pada pakaian dua orang muda itu, lalu Hong Kin dan Hui Lian diikat pergelangan tangannya dengan sebuah belenggu baja yang amat kuat!
"Bawa mereka ini menyingkir dari sini dan jaga baik-baik agar jangan sampai mereka terlepas. Juga tak boleh apapun juga mengganggu mereka, perlakukan baik-baik sebagai tamu agung. Dalam perjalanan ke Ngo-heng san, nona ini dimasukkan saja ke dalam joli dan diusung agar jangan menimbulkan keheranan di tengah perjalanan.”
Hong Kin dan Hui Lian yang sudah tak berdaya lagi itu dibawa pergi oleh dua orang itu. Kemudian Kong Ji menyuruh Lo Bong untuk mengumpulkan dan mempersiapkan barisan dari semua partai agar berkumpul di situ. Lo Bong berkelebat pergi dengan kecepatan yang mengagumkan. Kini di tempat itu tinggal Kong Ji, Giok Seng Cu, dan seorang kakek tua sebaya dengan Giok Seng Cu.
Kakek ini bukan orang biasa. Tubuhnya sudah tua dan bungkuk kurus, kepalanya besar dan bundar, rambutnya jarang dan sudah banyak rontok, berwarna putih, kulit mukanya kerut merut seperti jeruk layu. Gagang pedang tergantung di pundak kanannya dan sebatang tongkat bambu selalu membantunya berjalan. Biarpun kelihatan begini lemah dan tua, akan tetapi orang ini adalah jago nomor satu di seluruh Prowinsi An-hwei, bernama Siangkoan Bu berjuluk Mo-kiam (Pedang Iblis).
Dia adalah ketua dari perkumpulan Kwan-cin-pai di Provinsi An-hwei, sebuah perkumpulan yang sudah terkenal dan berpengaruh sekali. Kakek ini pernah didatangi oleh Kong Ji yang mengajak pibu dan dalam sebuah pertempuran seru hampir seratus jurus, barulah pedang Pak-kek Sin-kiam dapat menundukkan pedangnya dan kakek ini menerima kalah, takluk dan amat kagum kepada Kong Ji. Selanjutnya ia dengan suka-rela membantu pelaksanaan cita-cita pemuda aneh yang luar biasa ini.
Kong Ji belum mau meninggalkan tempat itu dan ia selalu memandang ke timur, seakan-akan menanti datangnya sesuatu. Memang, dia sedang menanti rombongan kedua dari kota raja yang tahu pasti akan lewat di situ tak lama lagi. Pemuda ini benar-benar luar biasa dalam waktu pendek sudah dapat mempengaruhi banyak orang, bahkan ia telah banyak menyebar mata-mata. Di kota raja sendiri, bahkan sampai di dalam istana, banyak terdapat pembantu-pembantunya.
Para pembantu ini semua menganggap bahwa Kong Ji adalah seorang pemuda perkasa ahli waris Pak Kek Siansu, seorang pemuda yang berjiwa patriotik dan yang hendak menggulingkan pemerintah Kin yang dianggapnya mencekik rakyat jelata. Kong Ji pandai sekali bicara dan pandai pula berlagak, maka semua orang percaya kepadanya. Dua orang busu yang pernah menolong Hui Lian di istana, yakni busu yang mengaku pejuang rakyat, bukan lain adalah pembantu-pembantu dan Kong Ji pula!
Oleh karena inilah maka Kong Ji dapat mengetahui segala gerak-gerak dalam istana, dan tahu pula bahwa Hui Lian dan Hong Kin akan lewat di tempat itu dalam tugas mereka yang diperintahkan oleh Wanyen Ci Lun. Benar saja, tak lama kemudian nampak debu mengepul tinggi dari arah timur. See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio, Kwan Kok Sun dan diiringkan oleh delapan orang perwira busu yang mengganti pakaian seperti ahli-ahli silat biasa, dengan menunggang kuda yang besar-besar.
See-thian Tok-ong menunggang kuda - paling depan dan kakek gundul ini meram melek di atas kuda, sama sekali tidak memegangi kendali kuda dan duduknya begitu enak seperti orang duduk di atas kasur yang empuk saja. Biarpun tidak dipegangnya kendali kuda, namun sesungguhnya kuda itu sudah dikuasai sepenuhnya. Memang See than Tok-ong seorang aneh, caranya menunggang kuda pun aneh...!