Pedang Penakluk Iblis Jilid 32
NIOCU, jangan begitu. Kau tahu bahwa aku tidak mengusirmu, hanya minta dengan hormat supaya kau turun gunung lebih dulu agar urusan ini dapat diselesaikan dengan damai.“
“Aku tidak mau pergi, kau mau apa?“ tantang Li Hwa. Sin Hong menjadi serba susah.
“Niocu, kalau kau nekad dan terjadi pertempuran, sudah pasti pasukanmu yang kecil jumlahnya akan binasa...“
“Tak peduli! Aku tak dapat meninggalkan kau seorang diri begitu saja, aku bukan pengecut!“ Kata-kata yang diucapkan secara kasar dan terus terang ini membuat hati Sin Hong berguncang.
“Niocu... apakah kau... rela mengorbankan nyawa semua anak buahmu hanya untuk... melindungi keselamatanku...?“ tanyanya lirih, matanya tajam.
Li Hwa menjadi merah mukanya dan gadis ini menggigit bibir dengan gemas. Ia nampak marah sekali. “Kau bicara apa...??“ Tangan kirinya menampar dan “plok!“ pipi kanan Sin Hong menjadi marah dan di situ nampak jalur jalur lima jari yang kecil meruncing.
Terdengar Liok Kong Ji tertawa bergelak. Jarak antara dia dan dua orang yang bertengkar itu terlampau jauh sehingga ia tidak dapat mendengar suara mereka. “Eh, Sin Hong, apa kau gila? Mengapa di tempat ini kau berani mampus hendak mengganggu wanita?“ katanya penuh ejekan.
Sementara itu, Li Hwa sudah berjalan pergi diikuti oleh anak buahnya di kanan kiri. Akan tetapi baru berjalan seratus tindak lebih, ia berhenti dan memutar tubuhnya memandang Sin Hong yang masih bengong berdiri di situ. Tiba-tiba Li Hwa mengayun tangan kanannya dan sinar hijau melayang ke arah dada Sin Hong!
Pemuda ini cepat mengulurkan tangan dan menangkap gagang pedang Cheng- liong-kiam yang disambitkan Li Hwa. Kelihatannya gadis itu menyerang dengan sambitan pedang, akan tetapi Sin Hong tahu bahwa gadis itu sengaja memberikan pedangnya, sungguhpun kalau orang biasa saja tentu dadanya akan tertembus pedang.
“Aku titipkan dulu pedangku!“ kata Li Hwa dan di lain saat ia telah berlari-lari meninggalkan tempat itu, diikuti oleh anak buahnya.
Diam-diam Sin Hong berterima kasih sekali. Sekarang ia tahu bahwa Li Hwa yang jujur itu tetap merasa curiga kepada Kong Ji dan menyangka bahwa kalau Sin Hong sudah berada di situ seorang diri pasti pemuda ini akan dikeroyok. Begitu pedang dan kitab diserahkan dan pemuda ini bertangan kosong apakah dayanya kalau dikeroyok? Maka dari itu ia tadi merasa tidak tega meninggalkan Sin Hong seorang diri di tengah-tengah para srigala bermuka manusia itu dan akhirnya ia sengaja meminjamkan pedangnya karena hanya Cheng-liong-kiam yang dapat menghadapi Pak-kek Sin-kiam.
Kini Sin Hong berada seorang diri di tempat itu, dikepung oleh lima ribu orang anak buah Kong Ji yang siap bergerak kalau diperintah oleh pemuda iblis itu. Sikap Sin Hong tenang-tenang saja dan ia menanti sampai semua orang yang turun gunung tadi sudah berada di tempat aman. Baru ia menghadapi Kong Ji dan berkata,
“Ternyata kau maslh kenal artinya memenuhi janji. Nah, sekarang tiba giliranku. Ambillah semua barang milikku yang berada padaku. Kau mau Pak-kek Sin-kiam? lni, terimalah!“ Sin Hong mengambil pedang pusaka itu dan melemparkannya ke depan Kong Ji. Pedang itu menancap di atas tanah di depan Kong Ji, gagangnya bergoyang goyang.
“Apa lagi yang kaukehendaki? Yang ada padaku hanya sedikit pakaian, obat-obat dan beberapa puluh tael perak. Yang mana kau mau ambil?“
“Sin Hong, jangan kau pura-pura bodoh dan pelupa. Aku menghendaki Pak-Kek Sin-kiam dan kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Berikan kitab itu!“
Sin Hong tersenyum. “Bagaimana mungkin? Kitab itu sudah lama kubakar di dasar jurang Gunung Luliang-san.“
“Sin Hong, tidak malukah kau untuk melanggar janjimu tad!? Bukankah kau sudah bersumpah hendak memberikan semua itu kepadaku setelah aku melepaskan semua orang turun gunung?“
“Kong Ji, peraslah otakmu dan ingat baik-baik bagaimana bunyi sumpahku tadi. Aku tadi bersumpah akan memberikan segala benda milikku yang berada padaku, bukan? Nah. sekarang yang berada padaku hanya pedang pusaka dan lain-lain barang yang telah kasebutkan tadi. Dan aku pun sama sekali tidak membohong dengan keteranganku bahwa kitab suci itu sudah kubakar. Kau tidak percaya? Boleh kau periksa pakaianku kalau-kalau kusembunyikan kitab itu.“ Sambil berkata demikian, Sin Hong memegang pedang Cheng-liong-kiam tinggi-tinggi dengan tangan kanannya dan mengangkat dua lengan dua lengan itu ke atas.
Kong Ji mencahut pedang Pak-kek Sin-kiam dari atas tanah, lalu meyuruh seorang pembantunya untuk memeriksa tubuh Sin Hong. Di luar tahu Sin Hong ia membisikkan sesuatu kepada pembantu ini, seorang yang pendek gemuk dan kelihatan bertenaga besar dan berkepandaian tinggi. Orang ini lalu berjalan dengan tegapnya menghampiri Sin Hong.
“Aku diberi tugas memeriksamu,“ katanya singkat.
“Silakan,“ jawab Sin Hong tersenyum.
Si Pendek Gemuk itu lalu menggunakan dua tangannya untuk menggeratak, meraba raba dan memeriksa seluruh kantong dan lipatan pakaian Sin Hong dan sepuluh buah jari tangannya seperti sepuluh ekor cecak merayap-rayap. Satu demi satu bawaan Sin Hong dikeluarkan, dan bungkusan-bungkusan obat, jarum-jarum pengobatan, uang bekal, sampai buntalan pakaian. Akan tetapi tetap tidak terlihat sebuah pun kitab.
Tadinya jari-jari tangan itu meraba-raba dan merayap-rayap sehingga Sin Hong terpaksa harus mengerahkan tenaga menahan kegelian. Akan tetapi tiba-tiba jari-jari tangan itu menegang dan bagaikan kilat cepatnya orang itu menggunakan sebuah pisau tajam menusuk lambung Sin Hong! Inilah perintah rahasia yang dibisikkan oleh Kong Ji tadi, yaitu apabila kitab tak dapat ditemukan, selagi memeriksa dan Sin Hong lengah orang ini supaya membunuh Sin Hong dengan tusukan mendadak.
Dapat dibayangkan betapa sukarnya menghindarkan diri dari serangan yang begini tiba-tiba dan dekat apa lagi dalam keadaan tidak menyangka dan kedua tangan diangkat ke atas seperti keadaan Sin Hong. Sin Hong yang merasa terkejut juga tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak, maka ia lalu mengerahkan sinkangnya ke dada, merendahkan diri dan memutar tubuh sehingga pisau nu tidak mengenai lambungnya melainkan mengenai dadanya, kemudian hampir pada saat yang sama, tangan kirinya sudah menempeleng kepala orang itu.
Baju Sin Hong di bagian dada robek, kulit dadanya hanya tergurat sedikit karena orang itu menusuk dengan sepenuh tenaga lweekangnya. Akan tetapi orang gemuk yang kena ditempeleng kepalanya itu, berputar-putar seperti sebuah gasing lalu terhuyung-huyung dengan mata mendelik dan di lain saat ia roboh mencium tanah tak bergerak lagi!
Sin Hong cepat mengambil barang barangnya yang tadi dikeluarkan dan di lempar di atas tanah, kemudian ia memandang kepada Kong Ji dengan mata berapi. “Hemm, kau benar-benar seorang iblis yang palsu dan pengecut, Kong Ji. Kau lihat sendiri bahwa kitab itu tidak ada padaku. Aku tidak biasa membohong atau menipu, sebaliknya kau benar-benar tak tahu malu menyuruh babi itu melakukan serangan menggelap. Apa sih kehendak mu?“
Kong Ji tidak merasa malu, hanya kecewa karena orangnya gagal membunuh Sin Hong. Kalau ia sendiri yang tadi melakukan pemeriksaan dan penyerangan menggelap itu. sudah dapat dipastikan Sin Hong akan tewas. ia tertawa menyeringai ketika menjawab,
“Sin Hong, dia itu menyerang karena mendongkol tidak dapat menemukan kitab. Biarlah sekarang kau ganti kitab itu dengan pedang hijau itu, baru kau boleh pergi tanpa gangguan kami lagi.“
Sin Hong tersenyum mengejek. Ia tahu bahwa kata-kata ini pun palsu belaka. Kalau ia memberikan pedang Cheng-liong-kiam itu, atau bahkan andalkata ia mempunyai kitab itu dan memberikannya kepada Kong Ji sekalipun, tetap saja ia takkan dibiarkan turun gunung begitu saja. Ia sudah tahu betul akan dasar watak Kong Ji.
“Kong Ji, kau tahu bahwa pedang ini adalah pedang pusaka milik Hui-eng Nio-cu yang dititipkan kepadaku, bagaimana kau menghendakinya? Lebih baik aku kehilangan nyawa daripada kehilangan barang pusaka yang dititipkan dan dipercayakan kepadaku!“
“Ha ha ha, bodoh mata keranjang! Kau cinta pada gadis garuda itu, bukan?“
“Kong Ji tutup mulutmu yang kotor!“ Sin Hong membentak marah, akan tetapi jawaban Kong Ji merupakan aba-aba kepada pasukannya dan serentak lima ribu orang anak buahnya bergerak, pengurungan makin kuat!
Sin Hong mengerti bahwa ia seorang diri tak mungkin dapat membobolkan kepungan lima ribu orang lawan, maka sambil menggerak-gerakkan Pedang Cheng-liong-kiam ia berseru keras,
“Kong Ji, ingat bahwa biarpun kau berhasil membunuhku, banyak sekali anak buahmu akan tewas lebih dulu oleh tanganku. Bahkan kau sendiri takkan terlepas dari pedangku!“
“Ha ha ha, Sin Hong, kata-katamu seperti suara katak dalam sumur.. Bersiaplah untuk mampus!“ kembali Kong Ji memberi aba-aba dan ratusan batang anak panah menyambar ke arah Sin Hong!
Pemuda itu memutar pedangnya yang segera berubah menenjadi segulungan sinar hijau yang menyelimuti tubuhnya. Anak-anak panah itu runtuh semua dan patah- patah. Kemudian pasukan golok besar menyerbu Sin Hong. Anak buah pasukan itu rata-rata pandai Ilmu Silat Golok karena memang mereka ini terlatih baik oleh ketuanya, yakni Twa-to Kwa Seng. Golok mereka besar dan berat, gerakan mereka cepat dan serangan, serangan mereka teratur sekali seperti sebuah barisan golok.
Akan tetapi sekarang mereka menghadapi Sin Hong yang memegang pedang pusaka ampuh. Tentu saja mereka merupakan makanan empuk bagi Sin Hong. Serapat- rapatnya pengurungan, untuk mengeroyok seorang lawan saja tak mungkin dapat maju bersama lebih dari dua puluh orang. Yang aktip menyergap Sin Hong paling banyak dua puluh dari segala jurusan, sedangkan yang lain-lain hanya bersorak-sorak sambil mengamang-amangkan golok besarnya saja.
Begitu Sin Hong menggerakkan tubuh dan pedang, bagaikan batang-batang pohon ditebang para pengeroyok itu roboh. Darah membanjir, pekik kesakitan saling susul dan tubuh bergelimpangan tumpang tindih. Masih untung bagi mereka bahwa Sin Hong memang seorang pemuda yang memiliki hati penuh welas asih, sehingga pemuda ini tidak tega untuk menjatuhkan tangan maut.
Yang roboh itu semua hanya menderita luka-luka di kulit dan daging saja tidak sampai mati akan tetapi juga tidak mampu bangun karena di luar tahunya Sin Hong, pedang pusaka Cheng liong-kiam mengandung semacam bisa yang membuat luka terasa perih seperti dituangi cuka campur garam! Tidak mengherankan apabila orang-orang yang terluka itu menjerit-jerit dan memekik, meraung-raung seperti babi-babi disembelih saking perih dan saking luka di tubuh mereka akibat sabetan pedang hijau itu.
Akan tetapi musuh terlampau banyak. roboh sepuluh maju penggantinya sehingga Sin Hong terus-menerus dikeroyok oleh dua puluh orang, tak peduli setiap kali diganti mereka itu roboh. Juga tempat menjadi penuh orang luka yang tentu saja menghalangi gerakan Sin Hong, memaksa pemuda itu setiap kali berganti gelanggang. ia maklum bahwa kalau diteruskan, ia akan terpaksa merobohkan banyak sekali orang, mungkin sampai ratusan dan akhirnya dia sendiri akan kehabisan tenaga dan menyerah.
Hatinya menjadi gemas sekali terhadap Kong Ji yang dapat menggerakkan begini banyak orang sedangkan dia sendiri bersembunyi. Maka sambil bertempur Sin Hong mencari-cari Kong Ji dengan sudut matanya. Akhirnya ia melihat pemuda itu memberi aba-aba dan mengatur di barisan tengah. Cepat bagaikan kilat Sin Hong menerjang para pengepung sebelah kiri. Ia harus membobolkan kepungan ini untuk dapat menyerang Kong Ji. Akan tetapi sia-sia.
Kong Ji yang melihat usahanya ini segera memberi aba-aba dan selain bagian itu diperkuat, juga Kong Ji sendiri lenyap dari tempat tadi, pindah ke lain tempat yang tidak terlihat oleh Sin Hong. Tiba tibu terdengar suara Kong Ji memberi aba-aba.
“Mundur semua, hujani anak panah!“
Inilah yang dikhawatirkan oleh Sin Hong. Selama ia dikepung oleh pasukan bersenjata, ia masih aman karena tentu saja ia tidak takut menghadapi serangan-serangan dari dekat dan dapat merobohkan para lawannya. Akan tetapi kalau diserang dengan anak panah, ia tak dapat berbuat lain kecuali melindungi dirinya, tanpa dapat membalas.
Pasukan-pasukan itu sudah terlatih sekali dan mendengar aba-aba ini, mereka serentak mundur, membiarkan Sin Hong berada di tengah-tengah. Kemudian dari seluruh jurusan hujan anak panah menycrbu Sin Hong. Tadi Kong Ji telah mengatur sehingga barisan panah dipencar mengelilingi tempat itu sehingga kini penyerangan anak panah dapat dilakukan dari empat jurusan. Bukan saja anak pariah yang menyambar, juga ada pisau, piauw, dan lain-lain senjata rahasia seperti jarum dan paku atau pelor besi. Di antara semua senjata rahasia yang datang seperti ini, terdapat juga Hek-tok-ciam, yakni jarum-jarum berbisa dari Kong Ji sendiri.
Sin Hong terpaksa memutar lagi pedangnya seperti tadi dan semua senjata rahasia runtuh. Akan tetapi Kong Ji sangat cerdik. ia tidak melakukan serangan sekaligus, melainkan berantai, kalau rombongan pertama selesai melepaskan anak panah, rombongan ke dua menyusul, lalu rombongan selanjutnya sampai rombongan pertama siap lagi. Dengan demikian, senjata rahasia yang menghujani Sin Hong tidak pernah berhenti!
Sin Hong mendongkol bukan main. Sambil memutar terus pedangnya sehingga tubuhnya tidak kelihatan, terbungkus oleh sinar hijau, ia berseru, “Kong Ji manusia jahanam, mengapa kau begini curang dan pengecut? Hayo kita bertempur seribu jurus kalau kau memang jantan!“
Akan tetapi jawabannya hanya ketawa mengejek dan tiba-tiba dari kanan kiri datang balok-balok bergulingan ke arah Sin Hong. Sin Hong terkejut sekali. Memang tempat ia dikeroyok ini agak rendah sehingga kalau ada balok dilempar dari kanan kiri, akan bergulingan ke tengah dan akan menyerang kakinya!
Balok itu datang dengan cepat dan menakutkan karena biarpun Sin Hong amat kuat, apabila terdorong oleh balok balok itu, sukar ia dapat mempertahankan. Cepat ia melompat dan sambil terus melindungi tubuh bagian atas dengan gulungan sinar pedang, ia kini harus berlompat-lompatan ke atas untuk menghindarkan diri dan gilasan balok-balok itu. Tak lama kemudian tempat itu sudah penuh dengan balok-balok yang ternyata adalah batang-batang pohon yang ditebang oleh pasukan-pasukan itu untuk dipergunakan sebagai senjata. Sekarang bukan hanya balok- balok yang datang bergulingan, bahkan ada batu-batu besar yang mulai dipergunakan!
Sin Hong melompat dari balok ke balok, dari batu ke batu, dan kadang-kadang batu yang jatuh menimpa batu lain mendatangkan goncangan hebat sehingga gerakannya menjadi kacau dan terdapat lubang pada pertahanan pedangnya. Tiga buah anak panah sudah menancap di pundak dan punggungnya. Sin Hong menggigit bibirnya, menahan rasa sakit dan tetap mempertahankan diri. Sampai saat terakhir ia tidak sudi mengalah atau menyerah.
Diam-diam Kong Ji kagum bukan main. Balok dan batu sudah penuh, sampai rata dengan tebing kanan kiri dan tak dapat orang menggulingkan sesuatu namun tetap saja Sin Hong belum mau menyerah. Sudah tiga jam lebih pemuda itu dikeroyok, sudah seratus orang lebih yang terluka dan kini dirawat di bagian belakang karena tadi sebelum orang- orang menghujankan balok dan batu, para korban yang terluka oleh pedang Sin Hong itu disereti ke dalam pasukan.
Kalau tidak demikian, tentu mereka ini akan gepeng- gepeng tergilas dan tertindih batu-batu dan balok-balok itu. Akan tetapi tetap pemuda perkasa itu tidak mau menyerah. Padahal tiga batang anak panah masih menancap di tubuhnya. Benar-benar gagah perkasa!
“Sin Hong...! Lekas lempar Cheng-liong-kiam dan berlutut minta ampun kepadaku kalau kau ingin selamat!“ Kong Ji mencoba lagi membujuk karena ia merasa ngeri menyaksikan kehebatan sepak terjang Sin Hong dan khawatir kalau-kalau Sin Hong dapat melepaskan diri dari kepungan itu.
Akan tetapi jawabannya hebat. Bukan dengan kata-kata melainkan tiba-tiba gulungan sinar pedang hijau itu meninggalkan tempat tadi dan kini sambil terus sinar pedang bergulung-gulung melindungi tubuhnya. Sin Hong mendesak ke arah tempat Kong Ji berdiri. Beberapa orang anak buah Kong Ji menyambutnya dengan tombak di tangan, akan tetapi begitu terdengar suara keras, tombak-tombak itu patah dan tujuh orang sekaligus roboh dengan pinggang terbabat pedang!
Kong Ji menjadi penasaran dan marah. Ternyata kini Sin Hong tidak berlaku kasihan lagi dan mulai membunuh anak buahnya. Dengan gemas Kong Ji memerintahkan para pembantunya yang kepandaiannya agak tinggi untuk membantunya dan ia sendiri mencabut Pak-kek Sin-kiam lalu menyerang dengan bengisnya. Diam diam Sin Hong terheran dan juga kagum. Baru saja dalam pertempuran tadi di puncak ini, Kong Ji sudah terluka olehnya, akan tetapi mengapa dalam waktu singkat Kong Ji sudah pulih lagi tenaganya?
Benar-benar Kong Ji sudah memiliki kepandaian yang tinggi tingkatnya. Sayang sekali ia tersesat dan menyeleweng. Dengan penuh semangat Sin Hong menyambut serangan Kong Ji dengan pedang pinjamannya dan di lain saat dikeroyok hebat oleh Kong Ji dan tiga orang ketua pasukan yakni Siang-pian Giam-ong Ma Ek, Sin-houw Lo Bong dan Twa-to Kwa Seng.
Memang betul bahwa dalam pibu tadi, tiga orang ketua ini telah terlukakan tetapi luka-luka mereka ringan saja dan kini mereka sudah dapat bertempur lagi membantu Kong Ji. Selain empat orang gagah ini, masih ada belasan orang anggauta pasukan yang paling tinggi ilmu silatnya yang mengeroyok Sin Hong.
Pada saat itu, Sin Hong sudah lelah sekali, juga darah yang mengucur keluar dari tiga tempat yang terluka oleh anak panah, membuat tubuhnya lemas dan tangan yang terluka kaku-kaku. Baiknya tiga anak panah itu masih menancap sehingga darah yang keluar dapat tertahan dan tidak begitu banyak. Kalau tidak demikian tentu dalam pergerakan ilmu silat, otot-otot yang bergerak dan mengejang membuat darah keluar banyak sekali!
Sin Hong mengerahkan seluruh tenaga, keuletan dan kepandaian untuk melindungi diri, juga untuk membalas serangan lawan. Sudah beberapa orang robohkan dan pada saat-saat terakhir ini dengan serangan kilat ia telah berturut turut merobohkan Ma Ek dan Kwa Sen sehingga dua orang ini binasa dengan leher terbabat putus. Akan tetapi di lain pihak, Kong Ji juga berhasil melukai pangkal lengan kirinya sehingga kulit dan daging pangkal lengan itu terobek sampai kelihatan tulangnya. Bukan main sakitnya dan Sin Hong merasa lengan kirinya lumpuh saking nyerinya.
Keadaannya sudah amat berbahaya karena Kong Ji tiba-tiba melenyapkan diri dan memberi aba-aba untuk menghujani anak panah lagi. Akan tetapi, pada saat itu, terdengar sorak sorai yang riuh dan barisan belakang dari para pengepung itu mengalami keributan hebat. Kong Ji kaget sekali dan cepat ia lari ke barisan belakang.
Ternyata bahwa yang datang adalah pasukan yang sebagian besar terdiri dari pendeta-pendeta hwesto gundul dan tosu yang mengamuk bagaikan naga terluka. Sambil mengamuk mereka berteriak -teriak. “Di mana adanya, jahanam Liok Kong Ji, biar kami cincang hancur!“
Melihat bahwa yang datang itu adalah pendeta-pendeta dari partai-partai besar, yakni hwesio-hwesio dari Siauw-lim-pai, tosu-tosu dan pendeta-pendeta dari Teng-san-pai, Hong-san-pai dan lain-lain yang dipimpin sendiri oleh ketua-ketua mereka, bahkan ada pula di situ pasukan Hui-eng Nio-cu, diikuti pula oleh Tai Wi Siansu, Leng Hoat Taisu, Bu Kek Siansu dan lain-lain orang yang tadi hadir dan turun dari puncak. Kong Ji merasa semangatnya terbang melayang meninggalkan raganya! Tanpa pamit ia kepada anak buahnya, pemuda licik ini lalu diam-diam mengangkat kaki seribu dan lari minggat dari tempat itu.
Memang yang datang itu adalah rombongan-rombongan pendeta tersebut yang telah mendengar tentang wakil-wakil mereka yang terbunuh oleh orang-orang Liok Kong Ji. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ketua Teng-san-pai Pang Soan Tojin, sudah bertemu dengan Sin Hong dan mendengar tentang terbunuhnya para utusannya. Demikian pula partai-partai lain telah melihat utusan- utusan mereka terbunuh di kaki gunung, maka ketua dari masing- masing partai membawa barisan anak muridnya mendatangi Ngo-heng-san dengan cepat.
Di lereng bukit ini mereka bertemu dengan rombongan Tai Wi Siansu yang turun gunung dan mendengar semua hal ini secara singkat. Marahlah mereka ini dan beramai ramai mereka lalu menyerbu ke puncak. Barisan anak buah Liok Kong Ji kocar-kacir, apalagi karena mereka sudah tidak mempunyai pemimpin pula. Sin houw Lo Bong juga sudah roboh oleh Sin Hong dan dalam keadaan kacau balau pasukan-pasukan itu mencari Kong ji untuk minta petunjuk. Akan tetapi yang dicari sudah tidak kelihatan lagi mata hidungnya!
Karena keributan ini, tertolonglah nyawa Sin Hong. Ta ditinggalkan para pengeroyoknya dan kini pemuda ini melompat ke atas tumpukan batu balok, melihat penyembelihan besar-besaran yang dilakukan oleh para hwesio Siauw-limpai dan tosu Go-bi-pai, juga oleh gadis Hui-eng-pai dan anak-anak murid partai besar lain. Hatinya tidak tega. Ta mengerahkan tenaga khikangnya, lalu berseru keras,
“Semua Enghiong yang bertempur, tahan senjata...!!“
Suara ini menggeledek di angkasa, bergema diempat penjuru dan selain menusuk anak telinga juga menggetarkan hati sehingga semua orang yang sedang ribut bertempur itu otomatis menghentikan gerakan mereka dan berpaling ke arah orang yang bicara ini.
Mereka melihat Si Hong berdiri dengan muka pucat, nampak gagah menyeramkan, berdiri di atas tumpukan balok dan batu, pakaiannya compang camping, bajunya bernoda darah, di pundak kiri dan di punggung kelihatan tiga batang anak panah menancap, pangkal lengan kirinya terluka hebat dan dari situ mengahr darah. Dalam keadaan terluka sehebat itu masih dapat mengeluarkan suara demikian dahsyat. benar-benar luar biasa sekali pemuda itu.
“Para Enghiong dari timur dan selatan, dengarlah kata- kataku! Kalian secara membuta telah ditipu oleh manusia sesat Liok Kong Ji. Kalian telah mengangkat seorang Tung-nam Tai-bengcu yang jahat! Buktinya kalian sudah melihat dan mendengar sendiri bagaimana sikapnya yang jahat tadi. Dan sekarang, setelah datang serangan dari para orang gagah yang marah kepadanya, di manakah adanya Liok Kong Ji? Dia telah lari! Dan secara pengecut sekali meninggalkan kalian. Oleh karena itu, mengapa kalian begitu bodoh untuk membela orang dan mempertaruhkan nyawa secara sia-sia belaka? Kematian kalian bukan kematian orang gagah, melainkan kematian orang-orang bodoh yang membela Kong Ji orang yang jahat!
Para pengikut Liok Kong Ji saling pandang, mereka mulai mencari-cari apakah pemuda yang mereka puja itu telah pergi tanpa pamit.
“Cuwi-locianpwe dari partai-partai besar, harap suka maafkan mereka ini yang karena kebodohan telah ditipu oleh Kong Ji. Yang berdosa adalah Liok Kong Ji, bukan mereka ini. Aku minta dengan sangat supaya pertempuran ini dihentikun saja!“
Karena tidak melihat adanya Liok Kong Ji yang membantah omongan ini, para anak buah Bu-cin-pai, Tm-yang-bupai, Twa-to-bu-pai, Kwan-cin-pai, Shansi Kai-pang dan lain-lain mulai kendur semangatnya dan mereka benar-benar tidak mau bertempur Mereka mulai mengumpulkan kawan-kawan sendiri yang terluka dan binasa dan sedikit demi sedikit mereka mulai mengundurkan diri.
Adapun rombongan yang baru datang, mulai bergerak naik dan memenuhi tempat pertemuan di puncak. Nampak bayangan yang gesit berkelebat dan di lain saat Siok Li Hwa telah melompat keatas tumpukan balok dan batu, berdiri di depan Sin Hong dengan mata terpentang lebar.
“Wan Sin Hong, kau... terluka hebat...!“ Sin Hong tersenyum, pandang matanya kepada gadis ini penuh terima kasih.
“Aku masih hidup, berkat pokiam (pedang pusaka) yang kau pinjamkan kepadaku dan berkat kembalimu ke sini, Niocu. terima kasih banyak dan selamanya Wan Sin Hong takkan melupakan budi kebaikan Siok Li Hwa,” Sin Hong mengangsurkan pedang hijau yang berlumuran darah.
Ketika Li Hwa melihat betapa tangan yang memegang pedang itu mulai menggigil, ia menjadi kasihan dan terharu sekali. Ia sendiri merasa heran sekali karena selama hidupnya baru kali ini ia mengalami perasaan seperti ini dan lebih aneh lagi, tiba-tiba saja perasaannya naik membuat air matanya bertitik turun ketika ia menerima pedangnya itu kembali.
Akan tetapi ia segera bergerak maju dan menyambar tubuh Sin Hong karena pemuda ini sudah limbung dan tentu akan roboh terguling dari tumpukan batu dan balok kalau saja Li Hwa tidak cepat-cepat menyambarnya. Sin Hong telah jatuh pingsan dalam pelukan Li Hwa!
Ketika Sin Hong siuman kembali, ia telah dibaringkan di atas rumput dan kelihatan muka-muka yang ramah dan terkenal. Mereka ini adalah ketua-ketua partai yang tadi datang menolongnya. Para tokoh besar ini duduk mengelilinginya dalam jarak dua tombak dan Tai Wi Siansu sendiri yang merawatnya. Tiga batang anak panah sudah dicabut dan luka-lukanya sudah ditempeli obat oleh ketua Kun-lun-pai itu, rasanya nyaman dan dingin.
Ketika Sin Hong menggerakkan matanya, terlihat olehnya wajah Siok Li Hwa memandang mesra kepadanya dengan mata masih basah, lalu wajah Leng Hoat Taisu ketua Thian-san-pai, wajah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, wajah hwesio gundul Kian Hok Taisu ketua Go-bi-pai, Pang Soan Lojin ketua Teng-san pal, Kong Hian ketua Siaw-lim-pai, Pek Kong Lojin ketua Hong-san-pai dan banyak lagi tokoh-tokoh besar dunia persilatan pada waktu itu.
Melihat dirinya dikelilingi oleh tokoh-tokoh terbesar dari seluruh dunia kangouw, Sin Hong cepat bangkit duduk. hendak memberi hormat akan tetapi Tai Wi Siansu berkata dengan suara hormat, “Harap bengcu jangan banyak bergerak dulu karena masih lemah. Dengan duduk saja kami sudah cukup puas mendengar kata-kata bengcu.“
Kata-kata ini membuat Sin Hong kaget setengah mati. “Eh, Locianpwe... apa artinya ini..?“
“Ketika Bengcu sedang pingsan, sambil menanti Bengcu siuman kembali, kami telah berunding dan mengambil keputusan mengangkat Bengcu sebagai bengcu baru.“
“Eh, mana ada aturan ini? Di samping aku sendiri yang bodoh masih ada Hui-eng Niocu yang gagah perkasa.“ Ia memandang kepada Li Hwa yang duduknya tepat di depannya.
Li Hwa berkata dengan suara halus, “Aku suka mengalah, biar kau saja yang menjadi bengcu. Kau seorang laki-laki sedangkan aku hanya seorang wanita, sepantasnya kau yang menjadi bengcu.“
Mendengar kata-kata ini Sin Hong memandang tajam dan bukan main anehnya, setelah berkata demikian Li Hwa menundukkan mukanya yang menjadi kemerah-merahan, nampaknya malu-malu. Setelah menarik napas, Sin Hong berkata kepada para ciangbunjin yang berada di situ.
“Apa boleh buat, tadinya aku hanya menjaga jangan sampai kedudukan bengcu jatuh ke dalam tangan orang jahat. Tidak tahunya aku sendiri sekarang terpilih. Aku harus bertanggung jawab dan tak dapat aku menolak begitu saja. Terima kasih atas kepercayaan para ciangbunjin yang berada di sini. Akan tetapi oleh karena aku yang muda memang tidak tahu apa apa dan kurang pengalaman. aku mengandalkan bantuan dan bimbingan Cuwi Locianpwe dalam kedudukan ini. Segala kesalahan sepak terjangku harap ditegur dan apa yang aku tidak mengerti harap dijelaskan.“
“Sudah tentu demikian, harap Bengcu tak usah khawattr. Kedudukan Bengcu hanya untuk menjadi pegangan bagi kita semua bahwa dunia kang-ouw ada seorang yang dipandang, seorang yang akan memutuskan apabila terjadi kesalahpahaman di antara kawan sendiri. Seorang yang akan memutuskan dan membimbing kita sekalian apabila ada peristiwa penting di dunia. Dengan adanya seorang bengcu baru di dunia kang-ouw, kiranya antara kita akan ada persatuan yang lebih erat, memandang muka Bengcu yang bijaksana dan mulia,“ kata Tai Wi Siansu.
“Tepat sekali kata-kata Tai Wi Siansu tadi,“ kata Kong Hian Hwesio ketua Siauw-lim-pai. “Dewasa ini muncul banyak orang jahat yang lihai dan ingin menduduki kedudukan bengcu agar dapat mempengaruhi dunia orang gagah. Baiknya sekarang kita telah memilih seorang yang biarpun masih muda namun dapat kita percaya kekuatan lahir batinnya. Memang amat perlu kita memperkuat persatuan karena pinceng mendengar bahwa banyak sekali orang-orang sakti dari utara dan barat hendak datang menjajah negara yang dianggap sedang berada dalam keadaan lemah. Kita harus menghadapi mereka dan kalau mereka datang, kita harus mengusir mereka agar pengaruh mereka tidak merusak kebudayaan kita. Semua ini dapat dilakukan dengan baik dan teratur kalau kita semua taat dan mendengar komando dari bengcu. Setiap orang di setiap daerah masing-masing bekerja dan semua hasil pengawasan dilaporkan kepada bengcu. Juga setiap ada peristiwa penting harus dilaporkan kepada bengcu. Akhirnya bengcu yang mengatur dan menentukan langkah selanjutnya.“
“Hal ini mana dapat kulaksanakan tanpa bantuan Cuwi locianpwe?“ kata Sin Hong yang diam-diam merasa betapa berat dan besar tanggung jawabnya sebagai bengcu.
“Bengcu jangan khawatir, sudah tentu dalam menentukan sesuatu, Bengcu merundingkan hal itu dengan para ketua yang Bengcu tunjuk dan angkat sebagai pembantu,” kata Bu Kek Siansu.
”Nah, kalau begitu barulah aku yang muda dan bodoh berani menghadapi tanggung jawab yang maha besar ini. Apabila Cuwi-locianpwe tidak keberatan aku menetapkan Samwi-locianpwe, tiga ketua dari Kun-lun-pai, dan Thian-san-pai dan Bu-tong-pai sebagai pembantu-pembantu atau wakil-wakilku, karena Samwi-locianpwe ini yang telah menjadi saksi tadi tentang keadaanku dan tentang pemilihan bengcu. Apakah Cuwi semua setuju?”
”Kami setuju dan taat akan perintah Bengcu,” kata Pek Kong Lojin ketua Hong-san-pai sehingga diam-diam Sin Hong terkejut bukan main. Ah, kata katanya agaknya merupakan perintah dan selalu akan ditaati oleh para tokoh besar dunia persilatan ini. Inilah kekuasaan yang amat hebat! Pantas saja kedudukan ini begitu dikehendaki oleh Kong Ji, kiranya untuk mendapat kekuasaan yang maha besar ini. Kalau kedudukan bengcu jatuh di tangan seorang jahat seperti Kong Ji, alangkah akan kacaunya dunia!
“Mohon tanya di manakah tempat kedudukan Bengcu agar mudah bagi kami untuk menyampaIkan sesuatu?” Pertanyaan ini diajukan olah Pang Soan Tojin. Untuk pertanyaan ini Sin Hong sudah mempunyai jawaban. Dengan sungguh-sungguh ia menjawab.
”Untuk sementara ini oleh karena aku hendak mencari dan menangkap Liok Kong Ji, maka segala sesuatu harap ditempatkan kepada Tai Wi Siansu di Kun-lun pai. Kelak apabila semua urusan sudah beres aku akan menetap di Luliang-san yakni di puncuk Jeng-in-thia.”
Setelah tanya jawab selesai, di puncak Ngo-heng-san ini lalu disediakan meja sembahyang dan diatur oleh Tai Wi Siansu dan tokoh-tokoh lain yang sudah tua dan tahu akan peraturan pengangkatan atau pengesahan bengcu. Setelah persiapan selesai, Sin Hong diminta untuk bersembahyang, bersumpah kepada Langit dan Bumi bahwa ia akan menjabat kedudukan bengcu dengan hati ikhlas dan tulus, akan memimpin dunia kang-ouw ke arah jalan kebenaran dan memberantas kejahatan tanpa pamrih untuk menguntungkan diri sendiri.
Setelah Sin Hong selesai sembahyang lalu semua orang bersembahyang dari tokoh-tokoh besar, ketua-ketua partai besar bersumpah pula bahwa mereka akan setia dan taat kepada bengcu yang mereka angkat sendiri dan takkan mempunyai hati bercabang serta akan membantu semua usaha bengcu!
Sin Hong terharu sekalt mendengar sumpah mereka itu. Hanya Li Hwa seorang yang tidak bersumpah, akan tetapi tidak ada yang mendesak gadis ini oleh karena mereka menganggap bahwa seorang gadis muda seperti Li Hwa tidak perlu harus ikut dalam upacara ini.
Setelah upacara selesai, beramai-ramai para ketua itu memberi hadiah kepada Sin Hong. Pemuda ini terharu, terkejut, dan girang sekali melihat hadiah-hadiah itu, karena tak disangkanya sama sekali bahwa para ketua partai itu memberi hadiah dengan barang-barang pusaka dari partai masing-masing! Kong Hian Hwesio ketua Siauw-lim-pai memberi sebuah Kim-si-joan-pian, sebuah senjata pecut lemas yang gagangnya terbuat dari emas dan pecut itu sendiri terbuat daripada logam yang lebih lemas dan kuat daripada baja.
Pek Kong Lojin ketua Hong-san-pai memberi Pek kim-i sebuah kutang terbuat dari pada emas putih yang sudah diolah sedemiklan rupa sehingga kalau kutang ini dipakai maka tubuh bagian atas sebata pinggang sampai ke leher akan terlindung dan takkan terluka oleh bacokan senjata tajam! Tat Wi Siansu sendiri memberikan pedang Bok-shin-kiam, sebatang pedang yang mengandung khasiat untuk mengusir hawa jahat dari siluman dan dapat dtpergunakan pula untuk menyembuhkan luka bekas gigitan binatang berbisa, pendeknya sebuah pedang kayu yang amat tinggi nilainya, bukan pedang untuk bertarung.
Leng Hoat Taisu ketua Thian-san-pai memberi hadiah tongkat pendek berkepala burung hong yang terbuat daripada jantung batu hitam dan kerasnya melebihi baja. Pendeknya, masih terlalu banyak barang-barang indah pusaka ampuh diberikan oleh para ketua itu sebagai hadiah kepada Sin Hong. Li Hwa tidak mau ketinggalan. Dengan gerakan lemah gemulal gadis ini memberikan pedangnya yang bersinar hijau, yakni pedang Chen liong-kiam kepada Sin Hong, katanya.
“Kau kehilangan Pak-kek Sin-kiam, biarlah pedang ini menjadi penggantinya“
Tai Wi Siansu dan yang tersenyum maklum bahwa gadis ini telah jatuh hati kepada bengcu mereka. Akan tetapi Kian Hok Taisu ketua Gobi-pai berkata kaget,
“Hui-eng Niocu, pokiam (pedang pusaka) itu adalah warisan Pat-jiu Nio-nio dan dahulu disayang melebihi nyawa sendiri. Sebaliknya kau memberi barang lain kepada Bengcu, jangan pedang itu!“
Siok Li jiwa memandang tak senang kepada pendeta itu. “Kian Hok Taisu, kau orang tua peduli apakah dengan urusanku sendiri? Bukan hanya mendiang Nio-nio, aku pun sayang akan pedang itu, melebihi nyawaku sendiri“
“Kalau begitu mengapa diberikan kepada Bengcu?“
Ditanya begini, muka Li Hwa menjadi merah sekali dan ia tahu bahwa tadi telah kesalahan bicara. “Aku berikan kepada siapapun juga, mau peduli apakah?“ tanyanya marah dan sepasang mata yang indah itu memandang kepada Kian Hok Taisu.
Pendeta ini tersenyum sabar. “Memang tidak ada sangkutannya dengan pinceng, hanya pinceng hendak mengingatkan bahwa kalau Pat-jiu Nio-nio masih hidup dia akan menganggap pemberian pedang ini sebagai tanda ikatan jodoh.“
Mendengar kata-kata mi, muka Li Hwa menjadi pucat. Ia otomatis berpaling kepada Sin Hong yang mengangsurkan pedang Cheng liong-kiam kepadanya, mukanya menjadi merah sekali. “Kau menolak pemberianku?“ tanyanya dengan suara gemetar.
“Pedang pusaka adalah pelindung diri tak baik berpisah denganmu, Niocu,” kata Sin Hong tersenyum.
Dengan muka sebentar pucat sebentar marah dan tubuh sebentar panas sebentar dingin, Li Hwa menyambar pedang Cheng-liong-kiam dari tangan Sin Hong, lalu melompat bangun dan berlari cepat meninggalkan puncak itu. Anak buahnya melihat ini lalu cepat mengikuti ketua mereka.
“Ah, dia marah...“ kata Sin Hong suaranya menyesal sekali.
“Harap Bengcu suka memaafkan kelancangan pinceng. Pernyataan pinceng tadi memang bukan buatan pinceng sendiri melainkan dahulu memang Pat jiu Nio-nio menyatakan demikian. Di samping ini, juga pinceng kurang suka kalau sampai benar-benar pedang itu dijadikan ikatan jodoh antara Bengcu dan dia. Hui-eng Nio-cu terlalu banyak mewarisi watak Pat-jiu Nio-nio“
“Tidak apa. Locianpwe. Memang kalau pemberian pedang itu berarti ikatan jodoh, tak boleh dilakukan secara sembrono dan tentu saja aku pun tak dapat menerima begitu saja.“
Setelah beramah-tamah dan semua tokoh menyatakan gembira melihat betapa bengcu baru ini dengan cepat pulih kembali kesehatannya setelah Sin Hong mempergunakan obat-obatnya sendiri, mereka lalu berpamit dan turun gunung kembali ke tempat masing-masing. Semua jenazah yang bertumpuk di tempat itu tadi telah dikubur atas perintah Sin Hong, dan untuk pekerjaan ini dikerahkan tenaga anak murid partai besar yang bekerja secara bergotong-royong sehingga sebentar saja penguburan selesai dan keadaan menjadi bersih kembali.
Setelah semua orang turun gunung, Sin Hong lalu turun gunung pula. Barang-barang hadiah yang diterima tadi semua dititipkan kepada Tai Wi Siansu, kecuali Kim-si-joan-pian pemberian Kong thian Hwesio dari Siauw-lim-si, pecut ini dibawa untuk senjata, karena selain pecut ini merupakan senjata ampuh. juga amat mudah dibawa, dapat digulung dan dimasukkan saku atau dililitkan di pinggang. Biarpun tubuhnya masih terasa lemas namun kesehatannya sudah pulih kembali.
“Aku harus mendapatkan Kong Ji dan membunuhnya. Dia terlampau berbahaya dan akan banyak terjadi kejahatan kalau dia masih hidup,“ pikir Sin Hong sambil menuruni Gunung Ngo-heng-san.
Ketika ia tiba di sebuah lereng, mendengar suara orang memaki-maki. Sin Hong melihat dari jauh di bawah, di atas batu-batu karang dan terpisah jauh dari tempatnya, ia melihat bayangan dua orang sedang bergerak gerak seperti bertempur. Yang seorang memegang pedang dan orang ke dua yang diserang dan didesak adalah seorang tua tinggi bertangan kosong. Dalam beberapa gebrakan saja, orang bertangan kosong itu tertusuk pedang yang menembus dadanya. Jeritnya mengerikan ketika pemegang pedang mencabut pedangnya dan menendang mayat musuhnya ke dalam jurang yang amat dalam. Sebentar saja orang berpedang itu menghilang lagi.
Sin Hong tak berdaya menolong. Jangankan menolong, mendekat saja tak mungkin. Jarak antara tempat dia berdiri dan tempat dua orang bertempur tadi amat jauhnya, selain ini, untuk berlari cepat menuju ke tempat itu harus mengambil jalan memutar, sedangkan tenaganya masih lemah. Biarpun hanya melihat bayangannya saja dan tidak mengenal dua orang itu, tetapi sinar pedang itu tidak diragukannya pula. Itulah sinar pedang Pak kek Sin-kiam dan orang yang melakukan pembunuhan itu bukan lain tentulah Liok Kong Ji orangnya!
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa tadi sebenarnya Liok Kong Ji belum turun gunung, melainkan bersembunyi di dekat situ dan bukan tidak mungkin kalau Kong Ji mendengarkan dan melihat semua peristiwa yang terjadi di puncak Ngo-heng- san. Diam-diam Sin Hong bergidik. Tak disangkanya bahwa Kong Ji telah berubah menjadi seorang iblis jahat! Seorang iblis yang berkepandaian tinggi, berotak cerdik penuh siasat dan muslihat, seorang yang amat berbahaya di dunia ini.
Ia berjalan terus. Ketika hampir tiba di kaki gunung, mendengar seruan orang. “Wan Sin Hong...!“ Sin Hong berhenti dan tak lama kemudian Siok Li Hwa sudah berdiri di hadapann)a. Gadis ini nampak cantik sekali, sepasang pipinya kemerahan, matanya memandang mesra dan bibirnya tersenyum-senyun malu.
“Sin Hong, aku menyesal sekali tadi telah bersikap kasar. Harap kau maafkan...“ suaranya merdu dan halus.
“Ah, tidak Niocu. Eh, mana pasukanmu dan kau mengapa masih berada di sini?“ tanya Sin Hong untuk menyimpangkan pembicaraan tentang hal yang amat tidak enak baginya itu. Akan tetapi usahanya sia-sia karena ternyata kemudian gadis ini memang agaknya hendak membicarakan hal itu!
“Anak buahku kusuruh berangkat lebih dulu dan aku memang sengaja menanti kau di sini. Baiknya aku melihat kau lewat di sini, karena aku menanti di sebelah sana,“ jari telunjuk yang mungil itu menuding ke arah kiri, dari mana tadi ia datang berlari-lari.
“Kau menanti aku? Ada apakah?“ Hati Sin Hong berdebar. Li Hwa bicara menundukkan mukanya.
“Aku... aku sengaja menanti, pertama-tama untuk minta maaf kepadamu tentang sikapku tadi. Sungguh mati aku tidak tahu akan maksud pemberian pedang seperti yang dikatakan oleh tua bangka Kian Hok Taisu tadi. Misalnya benar-benar artinya seperti itu pun, bagiku... eh, aku tidak menaruh keberatan.“ Tiba-tiba ia mengangkat mukanya memandang dan kini Sin Hong yang harus menundukkan muka untuk menyembunyikan wajahnya yang menjadi pucat.
Akan tetapi Li Hwa masih dapat melihat betapa wajah Sin Hong amat pucat. Ia mengira bahwa Sin Hong masih menderita karena sakit dan lukanya, maka ia berkata cepat-cepat. “Eh, maafkan, Sin Hong. Tidak seharusnya kita bicarakan soal itu, kau masih menderita karena luka-lukamu. Sebetulnya, aku menantimu terutama sekali untuk mengajakmu ke Go-bi-san, marilah kau tinggal untuk beberapa lama di tempatku agar aku dapat merawatmu sampai kau sembuh betul, Sin Hong.“
Sin Hong masih berdebar dan kata- kata ini membuat ia terpaksa menjawab, “Terima kasih, Niocu. Tak usah kau repot-repot, aku tidak perlu dirawat, lukaku hanya luka di luar saja, tak lama lagi juga akan sembuh.“
“Kau masih begitu pucat, Sin Hong. Marilah, biar kau... kugendong dan nanti kalau sudah dapat menyusul anak buah ku, kau dapat kusuruh carikan kuda. Aku hendak menolongmu dengan hati tulus Sin Hong, Jangan kau salah mengerti.“
Bukan main terharunya hati Sin Hong, juga ia bingung sekali karena ia tahu bahwa penolakan berarti akan melukai gadis yang mudah marah dan mudah ter singgung “Sekali lagi terima kasih atas segala budimu, Niocu. Sudah terlampau banyak aku berhutang budi kepadamu, harap jangan kautumpuki lagi agar tidak terlalu sukar bagiku untuk membalasmu kelak. Bukan sekali-kali aku tidak suka terima tawaranmu untuk tinggal di tempatmu yang tentu nyaman dan meyenangkan. Akan tetapi, kau tahu bahwa Liok Kong Ji masih hidup dan berkeliaran di muka bumi. Aku akan mencarinya, aku harus dapat melenyapkan manusia iblis itu dari muka bumi baru dapat bernapas lega. Oleh karena itu bukan aku menolak ajakanmu, hanya aku tidak mungkin dapat menunda usahaku mengejar dan mencari Liok Kong Ji. Biarlah lain kali kalau sudah selesai tugasku ini, aku pasti akan mencari dan mengunjungimu di Go-bi-san..."
Li Hwa menundukkan mukanya, nampaknya kecewa dan berduka sekali. “Betulkah kau akan ke sana, Sin Hong?“
“Pasti aku akan ke sana kelak, Niocu.“
“Kau tidak bohong?“
Sin Hong ketawa. Percakapan itu seperti percakapan anak kecil. “Mana aku berani membohong?“
“Aku... aku akan selalu menanti kedatanganmu. Sin Hong.“
Kata-kata yang diucapkan dengan jujur sekali ini membuat Sin Hong terharu dan makin perih rasa hatinya. “Jangan khawatir, Niocu. Kalau nyawa masih berada di badanku, kelak aku pasti akan datang mengunjungimu.“
Mendengar kata-kata ini, tiba tiba Li Hwa mengucurkan air mata. “Eh, eh, kau kenapa. Niocu…?“
“Sin Hong jangan bilang tentang mati. Baru-baru ini hampir saja kau tewas. Kalau... kalau kau tewas... hidup tidak ada artinya lagi bagiku...“
“Niocu...!“ Sin Hong benar-benar terkejut karena tak disangkanya gadis itu akan sedemikian berterus terang.
“Benar, Sin Hong! Selama ini hidupku kosong, tidak ada artinya. Aku merasa bosan hidup di puncak dan pada waktu itu, aku akan menghadapi kematian sewaktu-waktu dengan hati terbuka. Akan tetapi... semenjak pertemuan di puncak Ngo-heng-san... perasaan hatiku lain se kali. Lebih terasa ketika tadi aku meninggalkanmu... aku takkan dapat hidup seorang diri lagi. Sin Hong, aku takkan dapat hidup kalau... kalau kau jauh dariku. Karena itu, kau tahu bahwa aku akan menanti kedatanganmu di tempatku, kalau kau membohong, aku akan mencarimu, Sin Hong.“ Setelah berkata demikian, ia mengangsurkan pedang Cheng-liong-kiam sambil berkata, “Terimalah pedangku ini!“
Sin Hong merasa bingung, kemudian dengan suara sedih ia menjawab, “Aku tak dapat menerimanya, Niocu.“
Pucat wajah gadis itu. “Kau menolak ikatan jodoh denganku? Jangan khawatir, pemberianku ini sekedar supaya kau mempunyai senjata pelindung diri. Kelak kalau berkunjung kepadaku, dapat kau bawa kembali.“
Kembali Sin Hong menolak. “Bukan demikian, Niocu...“
“Namaku Li Hwa, Siok Li Hwa, kau tak perlu menyebut Niocu!“
“Baiklah. Kuulangi, bukan demikian maksudku tadi, Li Hwa. Aku tidak memerlukan pedang, apalagi pedang yang kau pakai sebagai senjata pelindung dirimu sendiri. Aku sudah mempunyai ini!“ Ia mengeluarkan pecutnya kepada gadis itu.
Li Hwa menarik napas panjang. “Sudahlah, aku tak dapat memaksa. Asal saja kelak kau tidak melanggar janjimu. Aku selalu menantimu sampai setahun, Sin Hong. Lewat setahun, kalau kau belum juga datang menjengukku, aku akan turun gunung mencarimu!“ Setelah berkata demikian, sekali lagi Li Hwa menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata mesra sekali, kemudian ia membalikkan tubuh dan berlari bagaikan terbang cepatnya, menyusul rombongan anak buahnya.
Sin Hong berdiri bagaikan patung. Celaka, pikirnya, gadis itu benar benar telah jatuh cinta kepadanya dan cinta seorang gadis seperti Li Hwa amat berhahaya. Gadis itu semenjak kecil hidup menyendiri hatinya keras dan sekali mempunyai kehendak, akan dibelanya pelaksanaannya dengan nyawa. Ia maklum bahwa kelak ia akan mengalami banyak susah dari gadis ini. Akan tetapi, apa dayanya? ia tidak mencinta Li Hwa. Hanya satu kali ia mencinta orang, ialah Go Hui Lian, atau boleh jadi juga Gak Soan Li. Ia sendiri tidak begitu yakin akan hal ini. Sin Hong melanjutkan perjalanannya sambil melamun.
Kaisar duduk di atas singgasana di balai pertemuan, dihadap oleh para panglima dan menterinya. Di antara panglima, tampak juga See-thian Tok-ong yang sekarang telah kembali ke istana. Kepada Kaisar, See-thian Tok-ong menceritakan tentang pertemuan orang orang gagah di Puncak Ngo-heng-san, menceritakan bahwa di sana terjadi pertempuran besar dan delapan orang busu pengikutnya gugur dalam pertempuran itu!
Diceritakannya pula bahwa terjadi perubahan kedudukan bengcu, dan akhirnya karena pihak sana lebih kuat, kedudukan bengcu tak dapat ia rebut dan jatuh ke dalam tangan seorang penjahat dan orang yang anti kaisar bernama Wan Sin Hong! Ta menceritakan pula bahwa Go Ciang Le berdiri di pihak penjahat Wan Sin Hong itu dan bahwa Go Hui Lian ternyata telah lari tidak kembali ke kota raja, melainkan ikut ayahnya.
Semua ini tentu hisapan jempol belaka dan See-thian Tok-ong yang diam-diam telah mengadakan persekutuan dengan Liok Kong ji. Delapan orang busu yang ikut dengan dia telah dibunuh di tengah perjalanan pulang!
Tentu saja Kaisar amat marah mendengar ini. “Kami akan mengirim pasukan untuk menangkap pemberontak Go Ciang Le dan mencari penjahat Wan Sin Hong!“ kata Kaisar.
“Hal itu tidak demikian mudah dilakukan, Sri Baginda,“ kata See-thian Tok-ong. “Wan Sin Hong dan Go Ciang Le selain memiliki kepandaian tinggi, juga banyak sekali pengikutnya. Apalagi sekarang penjahat dan pemberontak Wan Sin Hong telah menjadi bengcu, pengaruhnya amat besar. Dia sedang mengumpulkan tenaga untuk memberontak dan menyerbu kota raja. Partai-partai besar kaum persilatan berdiri di belakangnya..."
“Koksu, bagaimana baiknya?“ tanya kaisar kepada Sce-thian Tok-ong dengan nada khawatir.
“Menurut pendapat hamba, untuk menghadapi mereka harus menyusun kekuatan yang terdiri dari orang-orang gagah di dunia persilatan pula. Hamba akan mengumpulkan kawan-kawan di rimba persilatan, dan di antara mereka, bahkan kemarin hamba bertemu dengan seorang tokoh besar yang biarpun masih muda, namun telah diangkat menjadi bengcu dari kaum persilatan selatan dan timur. Dia telah berjanji hendak mengerahkan kawan-kawannya membantu apabila Paduka sudi menerima dan memberi kedudukan kepadanya.“
Kaisar menjadi girang, apalagi ketika mendengar obrolan See-thian Tok-ong bahwa pemuda bernama Liok Kong Ji itu memiliki kepandaian yang setingkat dengan kepandaian See-thian Tok-ong. “Panggil dia ke sini! Kalau dia mencocoki hati, kami akan memberi pangkat sebagai wakilmu!“
Demikianlah, pada hari itu, Liok Kong Ji dibawa masuk ke dalam istana kaisar dihadapkan kepada Kaisar. Melihat kedatangan pemuda ini, dan mendengar dari See-thian tok- ong bahwa sekarang ini harus berlaku hati-hati dan perundingan menghancurkan Wan Sin Hong dan Go Ciang Le tidak baik kalau terdengar semua punggawa, Kaisar lalu membubarkan pertemuan itu. dua belas pengawal pnbadinya yang masih berada di situ, menjaga kalau-kalau ada bahaya dari luar pada waktu berunding dengan ‘See- thian Tok-ong, Kwan Ji Nio, Kwan Kok Sun, dan Liok Kong Ji.
Melihat seorang pemuda tampan dan lemah lembut serta sopan santun, Kaisar gembira sekali. ia merasa kagum melihat seorang masih demikian muda akan tetapi sudah dipuji setinggi langit oleh See-thian Tok-ong. Apalagi setelah mereka bercakap-cakap, Kong Ji menyatakan dengan berani bahwa telah bertemu Temu Cin dan menjawab pertanyaan Kaisar ia menyatakan bahwa Temu Cin adalah seorang pemuda hutan liar yang sombong, padahal kekuatannya tidak berapa hebat, Kaisar merasa terhibur dan makin suka kepada Kong Ji.
Pada saat itu, penjaga pintu melaporkan kedatangan seorang tamu. “Wanyen Siauw ongya mohon menghadap!“ Kaisar memandang keluar dengan muka berseri. “Ah, dia juga baru datang? Suruh dia masuk“
Dari luar muncul seorang pemuda yang membuat wajah Liok Kong Ji menjadi pucat seketika akan tetapi ia teringat akan cerita See-thian Tok-ong bahwa di istana terdapat seorang pangeran bernama Wanyen Ci Lun yang wajahnya sama benar dengan wajah Wan Sin Hong, yaitu pangeran yang pernah datang di Puncak Ngo-heng san dan telah terluka oleh Hek-tok-ciam dari tangan Kong Ji. Untuk menghadapi pertemuan ini Kong Ji telah berjaga-jaga dan telah diatur siasat untuk membela diri. Bagaimana Pangeran Wanyen Ci Lun tiba-tiba bisa muncul di istana? Bukankah dalam keadaan terluka ia dibawa lari oleh seorang gadis cantik bermuka pucat?
Di bagian depan telah diceritakan bahwa Wanyen Ci Lun ketika sedang dijaga oleh para gadis anak buah Hui-Eng-pai yang bertempur melawan para perajurit pangeran itu, telah dibawa lari oleh seorang gadis cantik yang bermuka pucat. Siapakah gadis ini?
Kiranya tidak hegitu sukar untuk diduga. Gadis itu bukan lain adalah Gak Soan Li, gadis bernasib malang yang patut dikasihani itu. Ketika Liok Kong Ji dengan keji dan kejamnya membeber rahasia Gak Soan Li menceritakan di depan umum bahwa gadis itu telah menjafli korban gangguan Wan Sin Hong, Soan Li tak dapat menahan malu dan hancur perasaannya, dan gadis ini sambil mengeluarkan teriakan menyayat hati lalu berlari turun gunung.
Setelah ia berjalan terus sampai napasnya hampir-hampir putus, ia menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon, bergulingan di atas rumput sambil menangis. Semua pemandangan di atas Puncak Ngo-heng-san, ditambah lagi oleh kata kata Liok Kong Ji tadi, sedikit membuka tabir yang menutupi ingatan Gak Soan Li. Tadi Kong Ji membuka di de pan umum bahwa dia telah menjadi korban penjahat Wan Sin Hong dan ditolong oleh Liok Kong Ji. Melihat muka Kong Ji, ingatlah Soan Li sekarang dan kenyataan yang amat pahit mengiris jantungnya. Saking terlalu menahan perasaan, setelah bergulingan sambil menangis, Soan Li muntahkan darah segar dari mulutnya dan jatuh pingsan.
Halimun gunung membasahi muka Soan Li yang pucat seperti mayat dan membuatnya siuman kembali dari pingsannya yang lama juga. ia menarik napas panjang, mengeluh dan membersihkan darah yang masih berada di dagu. Pikirannya bekerja kembali dan sekarang di dalam ingatannya terbayang wajah dua orang dan di dalam hatinya tercatat tiga nama orang. Wajah itu adalah wajah Liok Kong Ji dan wajah Gong Lam. Adapun tiga nama itu adalah Gong Lam, Liok Kong Ji dan Wan Sin Hong.
Kesimpulan dari ingatannya yang masih belum terang betul itu adalah bahwa ia tercemarkan oleh Wan Sin Hong yang tak pernah ia lihat mukanya, kemudian ditolong oleh Liok Kong Ji yang mengaku sebagai Gong Lam dan kemudian memperlakukannya sebagai isteri. Adapun wajah Gong Lam memang tak pernah ia kupakan, yaitu pemuda yang pernah menolongnya, pemuda tolol yang pernah merebut hatinya, merebut cinta pertamanya.
“Aku harus membunuh Wan Sin Hong, dan aku harus bunuh Liok Kong Ji,“ bisiknya perlahan, karena ia sekarang merasa yakin bahwa dua orang inilah yang telah merusak hidupnya. Wan Sin Hong telah mencemarkannya dengan cara menggelap dan mempergunakan kepandaian, adapun Liok Kong Ji telah mencemarkannya dengan cara mengaku sebagai Gong Lam. Dan ia telah maklum sekarang bahwa anak yang telah dilahirkannya, yang sekarang dirawat di Pulau Kim-bun-to, anak laki-laki yang dipelihara oleh inang pengasuh, dia itu adalah anak keturunan Liok Kong Ji.
“Aku harus bunuh dia lebih dulu...!" pikir Soan Li dan sakit hati yang menjadi dendam ini memulihkan tubuhnya. Ia berdiri, termenung sebentar, menghapus darah di mulut dan air mata di depan pipinya, lalu naik lagi ke Gunung Ngo heng-san.
Ketika ia tiba di lereng, dari jauh ia sudah mendengar suara orang-orang bertempur. Soan Li menyelinap di antara batang-batang pohon dan ia melihat serombongan gadis cantik yang dikenalnya sebagai anggauta-anggauta Hui-eng pai tengah bertempur melawan serombongan orang yang baru muncul. Akan tetapi pertempuran ini tidak menarik hati Soan Li. Dia sedang bengong memandang kepada tubuh seorang laki-laki yang menggeletak di bawah pohon, tubuh orang yang dikenalnya bukan lain adalah Gong Lam, kekasih hatinya!
Sebagaimana diketahui, laki-laki yang terluka itu bukan lain adalah Wanyen Ci lun dan karena muka pangeran ini sama benar dengan Wan Sin Hong sedangkan Gong Lam itu bukan lain adalah Wan Sin Hong sendiri, maka tidak mengherankan apabila Soan Li mengira pangeran itu Gong Lam.
Karena girang dapat bertemu dengan Gong Lam, dan merasa bahwa kekasihnya ini berada dalam bahaya, Soan Li melompat keluar, menyambar tubuh Gong Lam dan membawanya lari cepat sekali. Ketika ias melihat ada orang mengejarnya, ia berlari lebih cepat lagi sehingga dapat membebaskan diri dari para pengejarnya. Soan Li sudah amat lelah, akan tetapi sambil memondong tubuh Wanyen Ci Lun ia berlari terus, takut kalau terkejar orang, sampai akhirnya ia jatuh terguling di sebuah hutan, jauh di kaki Gunung Ngo heng-san, kakinya terpeleset di atas rumput yang licin. Baiknya mereka jatuh di tempat rata, dan di atas rumput sehingga tidak terluka parah.
Wanyen Ci Lun yang semenjak tadi sudah terheran-heran, kini mengaduh. “Aduh, aduh... hati-hati, Nona! Baiknya kita tidak terguling ke dalam jurang. Kau tergesa-gesa amat, hendak membawaku ke manakah?“ Karena pangeran ini memang benar-benar amat heran melihat tingkah laku gadis cantik yang membawanya lari lintang-pukang sampai jatuh bangun, juga karena amat kagum memandang wajah gadis cantik yang memondongnya sekian jauh dan lamanya, wajah pangeran ini menjadi bengong dan nampak bodoh.
Melihat wajah yang bengong dan bodoh ini, Soan Li tertawa geli kemudian menubruk dan memeluk pundak Wanyen Ci Lun sambil menangis terisak-isak. Timbul perasaan kasihan dalam hati pangeran ini, karena ia dapat menduga bahwa tentu ada apa-apa yang tidak beres dalam ingatan gadis ini.
“Gong Lam-ko... akhirnya kita dapat bertemu kembali...“ berkali-kali Soan Li berbisik, nampaknya amat terharu dan juga girang.
Mendengar ini, makin tebal dugaan pangeran Wanyen Ci Lun bahwa gadis cantik ini memang betul betul agak miring otaknya. Bagaimana ia dipanggil Gong Lam (Pemuda Tolol)?
“Lam-ko, jangan tinggalkan aku lagi seorang diri. Bawalah aku ke mana juga pergi, Lam-ko. Aku selama hidup tidak mau berpisah darimu lagi. Aku selalu mengalami malapetaka kalau terpisah darimu.“
“Nona, malapetaka apakah yang telah menimpa dirimu?“ tanya Wanyen Ci Lun dengan suara halus. Saking merasa kasihan, tanpa disengaja tangannya lalu mengusap-usap rambut yang hitam halus dan awut-awutan menutupi sebagian muka yang pucat itu.
“Lam-ko, maukah kau... kaumaafkan aku akan segala yang telah menimpa diriku? Apakah nanti kau tidak membenciku?“
“Tidak, Nona. Bagaimana orang bisa membenci seorang gadis seperti engkau" aku takkan membencimu.“
“Berjanjilah dulu bahwa kau takkan menjauhkan diri lagi, bahwa kau akan menerimaku ikut denganmu selama hidupku, ke manapun kau pergi aku boleh ikut.“
Pangeran Wanyen Ci Lun terharu. Ia tak dapat menyangkal bahwa begitu melihat nona yang menarik ini, dan biarpun ia sudah mempunyai beberapa orang selir, ditambah seorang seperti ini, tak kan berarti apa apa, bahkan siapa tahu kalau perempuan inilah yang akan mendatangkan bahagia dalam hidupnya. Berpikir demikian tanpa ragu ragu lagi pangeran ini menjawab...
“Aku tidak mau pergi, kau mau apa?“ tantang Li Hwa. Sin Hong menjadi serba susah.
“Niocu, kalau kau nekad dan terjadi pertempuran, sudah pasti pasukanmu yang kecil jumlahnya akan binasa...“
“Tak peduli! Aku tak dapat meninggalkan kau seorang diri begitu saja, aku bukan pengecut!“ Kata-kata yang diucapkan secara kasar dan terus terang ini membuat hati Sin Hong berguncang.
“Niocu... apakah kau... rela mengorbankan nyawa semua anak buahmu hanya untuk... melindungi keselamatanku...?“ tanyanya lirih, matanya tajam.
Li Hwa menjadi merah mukanya dan gadis ini menggigit bibir dengan gemas. Ia nampak marah sekali. “Kau bicara apa...??“ Tangan kirinya menampar dan “plok!“ pipi kanan Sin Hong menjadi marah dan di situ nampak jalur jalur lima jari yang kecil meruncing.
Terdengar Liok Kong Ji tertawa bergelak. Jarak antara dia dan dua orang yang bertengkar itu terlampau jauh sehingga ia tidak dapat mendengar suara mereka. “Eh, Sin Hong, apa kau gila? Mengapa di tempat ini kau berani mampus hendak mengganggu wanita?“ katanya penuh ejekan.
Sementara itu, Li Hwa sudah berjalan pergi diikuti oleh anak buahnya di kanan kiri. Akan tetapi baru berjalan seratus tindak lebih, ia berhenti dan memutar tubuhnya memandang Sin Hong yang masih bengong berdiri di situ. Tiba-tiba Li Hwa mengayun tangan kanannya dan sinar hijau melayang ke arah dada Sin Hong!
Pemuda ini cepat mengulurkan tangan dan menangkap gagang pedang Cheng- liong-kiam yang disambitkan Li Hwa. Kelihatannya gadis itu menyerang dengan sambitan pedang, akan tetapi Sin Hong tahu bahwa gadis itu sengaja memberikan pedangnya, sungguhpun kalau orang biasa saja tentu dadanya akan tertembus pedang.
“Aku titipkan dulu pedangku!“ kata Li Hwa dan di lain saat ia telah berlari-lari meninggalkan tempat itu, diikuti oleh anak buahnya.
Diam-diam Sin Hong berterima kasih sekali. Sekarang ia tahu bahwa Li Hwa yang jujur itu tetap merasa curiga kepada Kong Ji dan menyangka bahwa kalau Sin Hong sudah berada di situ seorang diri pasti pemuda ini akan dikeroyok. Begitu pedang dan kitab diserahkan dan pemuda ini bertangan kosong apakah dayanya kalau dikeroyok? Maka dari itu ia tadi merasa tidak tega meninggalkan Sin Hong seorang diri di tengah-tengah para srigala bermuka manusia itu dan akhirnya ia sengaja meminjamkan pedangnya karena hanya Cheng-liong-kiam yang dapat menghadapi Pak-kek Sin-kiam.
Kini Sin Hong berada seorang diri di tempat itu, dikepung oleh lima ribu orang anak buah Kong Ji yang siap bergerak kalau diperintah oleh pemuda iblis itu. Sikap Sin Hong tenang-tenang saja dan ia menanti sampai semua orang yang turun gunung tadi sudah berada di tempat aman. Baru ia menghadapi Kong Ji dan berkata,
“Ternyata kau maslh kenal artinya memenuhi janji. Nah, sekarang tiba giliranku. Ambillah semua barang milikku yang berada padaku. Kau mau Pak-kek Sin-kiam? lni, terimalah!“ Sin Hong mengambil pedang pusaka itu dan melemparkannya ke depan Kong Ji. Pedang itu menancap di atas tanah di depan Kong Ji, gagangnya bergoyang goyang.
“Apa lagi yang kaukehendaki? Yang ada padaku hanya sedikit pakaian, obat-obat dan beberapa puluh tael perak. Yang mana kau mau ambil?“
“Sin Hong, jangan kau pura-pura bodoh dan pelupa. Aku menghendaki Pak-Kek Sin-kiam dan kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Berikan kitab itu!“
Sin Hong tersenyum. “Bagaimana mungkin? Kitab itu sudah lama kubakar di dasar jurang Gunung Luliang-san.“
“Sin Hong, tidak malukah kau untuk melanggar janjimu tad!? Bukankah kau sudah bersumpah hendak memberikan semua itu kepadaku setelah aku melepaskan semua orang turun gunung?“
“Kong Ji, peraslah otakmu dan ingat baik-baik bagaimana bunyi sumpahku tadi. Aku tadi bersumpah akan memberikan segala benda milikku yang berada padaku, bukan? Nah. sekarang yang berada padaku hanya pedang pusaka dan lain-lain barang yang telah kasebutkan tadi. Dan aku pun sama sekali tidak membohong dengan keteranganku bahwa kitab suci itu sudah kubakar. Kau tidak percaya? Boleh kau periksa pakaianku kalau-kalau kusembunyikan kitab itu.“ Sambil berkata demikian, Sin Hong memegang pedang Cheng-liong-kiam tinggi-tinggi dengan tangan kanannya dan mengangkat dua lengan dua lengan itu ke atas.
Kong Ji mencahut pedang Pak-kek Sin-kiam dari atas tanah, lalu meyuruh seorang pembantunya untuk memeriksa tubuh Sin Hong. Di luar tahu Sin Hong ia membisikkan sesuatu kepada pembantu ini, seorang yang pendek gemuk dan kelihatan bertenaga besar dan berkepandaian tinggi. Orang ini lalu berjalan dengan tegapnya menghampiri Sin Hong.
“Aku diberi tugas memeriksamu,“ katanya singkat.
“Silakan,“ jawab Sin Hong tersenyum.
Si Pendek Gemuk itu lalu menggunakan dua tangannya untuk menggeratak, meraba raba dan memeriksa seluruh kantong dan lipatan pakaian Sin Hong dan sepuluh buah jari tangannya seperti sepuluh ekor cecak merayap-rayap. Satu demi satu bawaan Sin Hong dikeluarkan, dan bungkusan-bungkusan obat, jarum-jarum pengobatan, uang bekal, sampai buntalan pakaian. Akan tetapi tetap tidak terlihat sebuah pun kitab.
Tadinya jari-jari tangan itu meraba-raba dan merayap-rayap sehingga Sin Hong terpaksa harus mengerahkan tenaga menahan kegelian. Akan tetapi tiba-tiba jari-jari tangan itu menegang dan bagaikan kilat cepatnya orang itu menggunakan sebuah pisau tajam menusuk lambung Sin Hong! Inilah perintah rahasia yang dibisikkan oleh Kong Ji tadi, yaitu apabila kitab tak dapat ditemukan, selagi memeriksa dan Sin Hong lengah orang ini supaya membunuh Sin Hong dengan tusukan mendadak.
Dapat dibayangkan betapa sukarnya menghindarkan diri dari serangan yang begini tiba-tiba dan dekat apa lagi dalam keadaan tidak menyangka dan kedua tangan diangkat ke atas seperti keadaan Sin Hong. Sin Hong yang merasa terkejut juga tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak, maka ia lalu mengerahkan sinkangnya ke dada, merendahkan diri dan memutar tubuh sehingga pisau nu tidak mengenai lambungnya melainkan mengenai dadanya, kemudian hampir pada saat yang sama, tangan kirinya sudah menempeleng kepala orang itu.
Baju Sin Hong di bagian dada robek, kulit dadanya hanya tergurat sedikit karena orang itu menusuk dengan sepenuh tenaga lweekangnya. Akan tetapi orang gemuk yang kena ditempeleng kepalanya itu, berputar-putar seperti sebuah gasing lalu terhuyung-huyung dengan mata mendelik dan di lain saat ia roboh mencium tanah tak bergerak lagi!
Sin Hong cepat mengambil barang barangnya yang tadi dikeluarkan dan di lempar di atas tanah, kemudian ia memandang kepada Kong Ji dengan mata berapi. “Hemm, kau benar-benar seorang iblis yang palsu dan pengecut, Kong Ji. Kau lihat sendiri bahwa kitab itu tidak ada padaku. Aku tidak biasa membohong atau menipu, sebaliknya kau benar-benar tak tahu malu menyuruh babi itu melakukan serangan menggelap. Apa sih kehendak mu?“
Kong Ji tidak merasa malu, hanya kecewa karena orangnya gagal membunuh Sin Hong. Kalau ia sendiri yang tadi melakukan pemeriksaan dan penyerangan menggelap itu. sudah dapat dipastikan Sin Hong akan tewas. ia tertawa menyeringai ketika menjawab,
“Sin Hong, dia itu menyerang karena mendongkol tidak dapat menemukan kitab. Biarlah sekarang kau ganti kitab itu dengan pedang hijau itu, baru kau boleh pergi tanpa gangguan kami lagi.“
Sin Hong tersenyum mengejek. Ia tahu bahwa kata-kata ini pun palsu belaka. Kalau ia memberikan pedang Cheng-liong-kiam itu, atau bahkan andalkata ia mempunyai kitab itu dan memberikannya kepada Kong Ji sekalipun, tetap saja ia takkan dibiarkan turun gunung begitu saja. Ia sudah tahu betul akan dasar watak Kong Ji.
“Kong Ji, kau tahu bahwa pedang ini adalah pedang pusaka milik Hui-eng Nio-cu yang dititipkan kepadaku, bagaimana kau menghendakinya? Lebih baik aku kehilangan nyawa daripada kehilangan barang pusaka yang dititipkan dan dipercayakan kepadaku!“
“Ha ha ha, bodoh mata keranjang! Kau cinta pada gadis garuda itu, bukan?“
“Kong Ji tutup mulutmu yang kotor!“ Sin Hong membentak marah, akan tetapi jawaban Kong Ji merupakan aba-aba kepada pasukannya dan serentak lima ribu orang anak buahnya bergerak, pengurungan makin kuat!
Sin Hong mengerti bahwa ia seorang diri tak mungkin dapat membobolkan kepungan lima ribu orang lawan, maka sambil menggerak-gerakkan Pedang Cheng-liong-kiam ia berseru keras,
“Kong Ji, ingat bahwa biarpun kau berhasil membunuhku, banyak sekali anak buahmu akan tewas lebih dulu oleh tanganku. Bahkan kau sendiri takkan terlepas dari pedangku!“
“Ha ha ha, Sin Hong, kata-katamu seperti suara katak dalam sumur.. Bersiaplah untuk mampus!“ kembali Kong Ji memberi aba-aba dan ratusan batang anak panah menyambar ke arah Sin Hong!
Pemuda itu memutar pedangnya yang segera berubah menenjadi segulungan sinar hijau yang menyelimuti tubuhnya. Anak-anak panah itu runtuh semua dan patah- patah. Kemudian pasukan golok besar menyerbu Sin Hong. Anak buah pasukan itu rata-rata pandai Ilmu Silat Golok karena memang mereka ini terlatih baik oleh ketuanya, yakni Twa-to Kwa Seng. Golok mereka besar dan berat, gerakan mereka cepat dan serangan, serangan mereka teratur sekali seperti sebuah barisan golok.
Akan tetapi sekarang mereka menghadapi Sin Hong yang memegang pedang pusaka ampuh. Tentu saja mereka merupakan makanan empuk bagi Sin Hong. Serapat- rapatnya pengurungan, untuk mengeroyok seorang lawan saja tak mungkin dapat maju bersama lebih dari dua puluh orang. Yang aktip menyergap Sin Hong paling banyak dua puluh dari segala jurusan, sedangkan yang lain-lain hanya bersorak-sorak sambil mengamang-amangkan golok besarnya saja.
Begitu Sin Hong menggerakkan tubuh dan pedang, bagaikan batang-batang pohon ditebang para pengeroyok itu roboh. Darah membanjir, pekik kesakitan saling susul dan tubuh bergelimpangan tumpang tindih. Masih untung bagi mereka bahwa Sin Hong memang seorang pemuda yang memiliki hati penuh welas asih, sehingga pemuda ini tidak tega untuk menjatuhkan tangan maut.
Yang roboh itu semua hanya menderita luka-luka di kulit dan daging saja tidak sampai mati akan tetapi juga tidak mampu bangun karena di luar tahunya Sin Hong, pedang pusaka Cheng liong-kiam mengandung semacam bisa yang membuat luka terasa perih seperti dituangi cuka campur garam! Tidak mengherankan apabila orang-orang yang terluka itu menjerit-jerit dan memekik, meraung-raung seperti babi-babi disembelih saking perih dan saking luka di tubuh mereka akibat sabetan pedang hijau itu.
Akan tetapi musuh terlampau banyak. roboh sepuluh maju penggantinya sehingga Sin Hong terus-menerus dikeroyok oleh dua puluh orang, tak peduli setiap kali diganti mereka itu roboh. Juga tempat menjadi penuh orang luka yang tentu saja menghalangi gerakan Sin Hong, memaksa pemuda itu setiap kali berganti gelanggang. ia maklum bahwa kalau diteruskan, ia akan terpaksa merobohkan banyak sekali orang, mungkin sampai ratusan dan akhirnya dia sendiri akan kehabisan tenaga dan menyerah.
Hatinya menjadi gemas sekali terhadap Kong Ji yang dapat menggerakkan begini banyak orang sedangkan dia sendiri bersembunyi. Maka sambil bertempur Sin Hong mencari-cari Kong Ji dengan sudut matanya. Akhirnya ia melihat pemuda itu memberi aba-aba dan mengatur di barisan tengah. Cepat bagaikan kilat Sin Hong menerjang para pengepung sebelah kiri. Ia harus membobolkan kepungan ini untuk dapat menyerang Kong Ji. Akan tetapi sia-sia.
Kong Ji yang melihat usahanya ini segera memberi aba-aba dan selain bagian itu diperkuat, juga Kong Ji sendiri lenyap dari tempat tadi, pindah ke lain tempat yang tidak terlihat oleh Sin Hong. Tiba tibu terdengar suara Kong Ji memberi aba-aba.
“Mundur semua, hujani anak panah!“
Inilah yang dikhawatirkan oleh Sin Hong. Selama ia dikepung oleh pasukan bersenjata, ia masih aman karena tentu saja ia tidak takut menghadapi serangan-serangan dari dekat dan dapat merobohkan para lawannya. Akan tetapi kalau diserang dengan anak panah, ia tak dapat berbuat lain kecuali melindungi dirinya, tanpa dapat membalas.
Pasukan-pasukan itu sudah terlatih sekali dan mendengar aba-aba ini, mereka serentak mundur, membiarkan Sin Hong berada di tengah-tengah. Kemudian dari seluruh jurusan hujan anak panah menycrbu Sin Hong. Tadi Kong Ji telah mengatur sehingga barisan panah dipencar mengelilingi tempat itu sehingga kini penyerangan anak panah dapat dilakukan dari empat jurusan. Bukan saja anak pariah yang menyambar, juga ada pisau, piauw, dan lain-lain senjata rahasia seperti jarum dan paku atau pelor besi. Di antara semua senjata rahasia yang datang seperti ini, terdapat juga Hek-tok-ciam, yakni jarum-jarum berbisa dari Kong Ji sendiri.
Sin Hong terpaksa memutar lagi pedangnya seperti tadi dan semua senjata rahasia runtuh. Akan tetapi Kong Ji sangat cerdik. ia tidak melakukan serangan sekaligus, melainkan berantai, kalau rombongan pertama selesai melepaskan anak panah, rombongan ke dua menyusul, lalu rombongan selanjutnya sampai rombongan pertama siap lagi. Dengan demikian, senjata rahasia yang menghujani Sin Hong tidak pernah berhenti!
Sin Hong mendongkol bukan main. Sambil memutar terus pedangnya sehingga tubuhnya tidak kelihatan, terbungkus oleh sinar hijau, ia berseru, “Kong Ji manusia jahanam, mengapa kau begini curang dan pengecut? Hayo kita bertempur seribu jurus kalau kau memang jantan!“
Akan tetapi jawabannya hanya ketawa mengejek dan tiba-tiba dari kanan kiri datang balok-balok bergulingan ke arah Sin Hong. Sin Hong terkejut sekali. Memang tempat ia dikeroyok ini agak rendah sehingga kalau ada balok dilempar dari kanan kiri, akan bergulingan ke tengah dan akan menyerang kakinya!
Balok itu datang dengan cepat dan menakutkan karena biarpun Sin Hong amat kuat, apabila terdorong oleh balok balok itu, sukar ia dapat mempertahankan. Cepat ia melompat dan sambil terus melindungi tubuh bagian atas dengan gulungan sinar pedang, ia kini harus berlompat-lompatan ke atas untuk menghindarkan diri dan gilasan balok-balok itu. Tak lama kemudian tempat itu sudah penuh dengan balok-balok yang ternyata adalah batang-batang pohon yang ditebang oleh pasukan-pasukan itu untuk dipergunakan sebagai senjata. Sekarang bukan hanya balok- balok yang datang bergulingan, bahkan ada batu-batu besar yang mulai dipergunakan!
Sin Hong melompat dari balok ke balok, dari batu ke batu, dan kadang-kadang batu yang jatuh menimpa batu lain mendatangkan goncangan hebat sehingga gerakannya menjadi kacau dan terdapat lubang pada pertahanan pedangnya. Tiga buah anak panah sudah menancap di pundak dan punggungnya. Sin Hong menggigit bibirnya, menahan rasa sakit dan tetap mempertahankan diri. Sampai saat terakhir ia tidak sudi mengalah atau menyerah.
Diam-diam Kong Ji kagum bukan main. Balok dan batu sudah penuh, sampai rata dengan tebing kanan kiri dan tak dapat orang menggulingkan sesuatu namun tetap saja Sin Hong belum mau menyerah. Sudah tiga jam lebih pemuda itu dikeroyok, sudah seratus orang lebih yang terluka dan kini dirawat di bagian belakang karena tadi sebelum orang- orang menghujankan balok dan batu, para korban yang terluka oleh pedang Sin Hong itu disereti ke dalam pasukan.
Kalau tidak demikian, tentu mereka ini akan gepeng- gepeng tergilas dan tertindih batu-batu dan balok-balok itu. Akan tetapi tetap pemuda perkasa itu tidak mau menyerah. Padahal tiga batang anak panah masih menancap di tubuhnya. Benar-benar gagah perkasa!
“Sin Hong...! Lekas lempar Cheng-liong-kiam dan berlutut minta ampun kepadaku kalau kau ingin selamat!“ Kong Ji mencoba lagi membujuk karena ia merasa ngeri menyaksikan kehebatan sepak terjang Sin Hong dan khawatir kalau-kalau Sin Hong dapat melepaskan diri dari kepungan itu.
Akan tetapi jawabannya hebat. Bukan dengan kata-kata melainkan tiba-tiba gulungan sinar pedang hijau itu meninggalkan tempat tadi dan kini sambil terus sinar pedang bergulung-gulung melindungi tubuhnya. Sin Hong mendesak ke arah tempat Kong Ji berdiri. Beberapa orang anak buah Kong Ji menyambutnya dengan tombak di tangan, akan tetapi begitu terdengar suara keras, tombak-tombak itu patah dan tujuh orang sekaligus roboh dengan pinggang terbabat pedang!
Kong Ji menjadi penasaran dan marah. Ternyata kini Sin Hong tidak berlaku kasihan lagi dan mulai membunuh anak buahnya. Dengan gemas Kong Ji memerintahkan para pembantunya yang kepandaiannya agak tinggi untuk membantunya dan ia sendiri mencabut Pak-kek Sin-kiam lalu menyerang dengan bengisnya. Diam diam Sin Hong terheran dan juga kagum. Baru saja dalam pertempuran tadi di puncak ini, Kong Ji sudah terluka olehnya, akan tetapi mengapa dalam waktu singkat Kong Ji sudah pulih lagi tenaganya?
Benar-benar Kong Ji sudah memiliki kepandaian yang tinggi tingkatnya. Sayang sekali ia tersesat dan menyeleweng. Dengan penuh semangat Sin Hong menyambut serangan Kong Ji dengan pedang pinjamannya dan di lain saat dikeroyok hebat oleh Kong Ji dan tiga orang ketua pasukan yakni Siang-pian Giam-ong Ma Ek, Sin-houw Lo Bong dan Twa-to Kwa Seng.
Memang betul bahwa dalam pibu tadi, tiga orang ketua ini telah terlukakan tetapi luka-luka mereka ringan saja dan kini mereka sudah dapat bertempur lagi membantu Kong Ji. Selain empat orang gagah ini, masih ada belasan orang anggauta pasukan yang paling tinggi ilmu silatnya yang mengeroyok Sin Hong.
Pada saat itu, Sin Hong sudah lelah sekali, juga darah yang mengucur keluar dari tiga tempat yang terluka oleh anak panah, membuat tubuhnya lemas dan tangan yang terluka kaku-kaku. Baiknya tiga anak panah itu masih menancap sehingga darah yang keluar dapat tertahan dan tidak begitu banyak. Kalau tidak demikian tentu dalam pergerakan ilmu silat, otot-otot yang bergerak dan mengejang membuat darah keluar banyak sekali!
Sin Hong mengerahkan seluruh tenaga, keuletan dan kepandaian untuk melindungi diri, juga untuk membalas serangan lawan. Sudah beberapa orang robohkan dan pada saat-saat terakhir ini dengan serangan kilat ia telah berturut turut merobohkan Ma Ek dan Kwa Sen sehingga dua orang ini binasa dengan leher terbabat putus. Akan tetapi di lain pihak, Kong Ji juga berhasil melukai pangkal lengan kirinya sehingga kulit dan daging pangkal lengan itu terobek sampai kelihatan tulangnya. Bukan main sakitnya dan Sin Hong merasa lengan kirinya lumpuh saking nyerinya.
Keadaannya sudah amat berbahaya karena Kong Ji tiba-tiba melenyapkan diri dan memberi aba-aba untuk menghujani anak panah lagi. Akan tetapi, pada saat itu, terdengar sorak sorai yang riuh dan barisan belakang dari para pengepung itu mengalami keributan hebat. Kong Ji kaget sekali dan cepat ia lari ke barisan belakang.
Ternyata bahwa yang datang adalah pasukan yang sebagian besar terdiri dari pendeta-pendeta hwesto gundul dan tosu yang mengamuk bagaikan naga terluka. Sambil mengamuk mereka berteriak -teriak. “Di mana adanya, jahanam Liok Kong Ji, biar kami cincang hancur!“
Melihat bahwa yang datang itu adalah pendeta-pendeta dari partai-partai besar, yakni hwesio-hwesio dari Siauw-lim-pai, tosu-tosu dan pendeta-pendeta dari Teng-san-pai, Hong-san-pai dan lain-lain yang dipimpin sendiri oleh ketua-ketua mereka, bahkan ada pula di situ pasukan Hui-eng Nio-cu, diikuti pula oleh Tai Wi Siansu, Leng Hoat Taisu, Bu Kek Siansu dan lain-lain orang yang tadi hadir dan turun dari puncak. Kong Ji merasa semangatnya terbang melayang meninggalkan raganya! Tanpa pamit ia kepada anak buahnya, pemuda licik ini lalu diam-diam mengangkat kaki seribu dan lari minggat dari tempat itu.
Memang yang datang itu adalah rombongan-rombongan pendeta tersebut yang telah mendengar tentang wakil-wakil mereka yang terbunuh oleh orang-orang Liok Kong Ji. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ketua Teng-san-pai Pang Soan Tojin, sudah bertemu dengan Sin Hong dan mendengar tentang terbunuhnya para utusannya. Demikian pula partai-partai lain telah melihat utusan- utusan mereka terbunuh di kaki gunung, maka ketua dari masing- masing partai membawa barisan anak muridnya mendatangi Ngo-heng-san dengan cepat.
Di lereng bukit ini mereka bertemu dengan rombongan Tai Wi Siansu yang turun gunung dan mendengar semua hal ini secara singkat. Marahlah mereka ini dan beramai ramai mereka lalu menyerbu ke puncak. Barisan anak buah Liok Kong Ji kocar-kacir, apalagi karena mereka sudah tidak mempunyai pemimpin pula. Sin houw Lo Bong juga sudah roboh oleh Sin Hong dan dalam keadaan kacau balau pasukan-pasukan itu mencari Kong ji untuk minta petunjuk. Akan tetapi yang dicari sudah tidak kelihatan lagi mata hidungnya!
Karena keributan ini, tertolonglah nyawa Sin Hong. Ta ditinggalkan para pengeroyoknya dan kini pemuda ini melompat ke atas tumpukan batu balok, melihat penyembelihan besar-besaran yang dilakukan oleh para hwesio Siauw-limpai dan tosu Go-bi-pai, juga oleh gadis Hui-eng-pai dan anak-anak murid partai besar lain. Hatinya tidak tega. Ta mengerahkan tenaga khikangnya, lalu berseru keras,
“Semua Enghiong yang bertempur, tahan senjata...!!“
Suara ini menggeledek di angkasa, bergema diempat penjuru dan selain menusuk anak telinga juga menggetarkan hati sehingga semua orang yang sedang ribut bertempur itu otomatis menghentikan gerakan mereka dan berpaling ke arah orang yang bicara ini.
Mereka melihat Si Hong berdiri dengan muka pucat, nampak gagah menyeramkan, berdiri di atas tumpukan balok dan batu, pakaiannya compang camping, bajunya bernoda darah, di pundak kiri dan di punggung kelihatan tiga batang anak panah menancap, pangkal lengan kirinya terluka hebat dan dari situ mengahr darah. Dalam keadaan terluka sehebat itu masih dapat mengeluarkan suara demikian dahsyat. benar-benar luar biasa sekali pemuda itu.
“Para Enghiong dari timur dan selatan, dengarlah kata- kataku! Kalian secara membuta telah ditipu oleh manusia sesat Liok Kong Ji. Kalian telah mengangkat seorang Tung-nam Tai-bengcu yang jahat! Buktinya kalian sudah melihat dan mendengar sendiri bagaimana sikapnya yang jahat tadi. Dan sekarang, setelah datang serangan dari para orang gagah yang marah kepadanya, di manakah adanya Liok Kong Ji? Dia telah lari! Dan secara pengecut sekali meninggalkan kalian. Oleh karena itu, mengapa kalian begitu bodoh untuk membela orang dan mempertaruhkan nyawa secara sia-sia belaka? Kematian kalian bukan kematian orang gagah, melainkan kematian orang-orang bodoh yang membela Kong Ji orang yang jahat!
Para pengikut Liok Kong Ji saling pandang, mereka mulai mencari-cari apakah pemuda yang mereka puja itu telah pergi tanpa pamit.
“Cuwi-locianpwe dari partai-partai besar, harap suka maafkan mereka ini yang karena kebodohan telah ditipu oleh Kong Ji. Yang berdosa adalah Liok Kong Ji, bukan mereka ini. Aku minta dengan sangat supaya pertempuran ini dihentikun saja!“
Karena tidak melihat adanya Liok Kong Ji yang membantah omongan ini, para anak buah Bu-cin-pai, Tm-yang-bupai, Twa-to-bu-pai, Kwan-cin-pai, Shansi Kai-pang dan lain-lain mulai kendur semangatnya dan mereka benar-benar tidak mau bertempur Mereka mulai mengumpulkan kawan-kawan sendiri yang terluka dan binasa dan sedikit demi sedikit mereka mulai mengundurkan diri.
Adapun rombongan yang baru datang, mulai bergerak naik dan memenuhi tempat pertemuan di puncak. Nampak bayangan yang gesit berkelebat dan di lain saat Siok Li Hwa telah melompat keatas tumpukan balok dan batu, berdiri di depan Sin Hong dengan mata terpentang lebar.
“Wan Sin Hong, kau... terluka hebat...!“ Sin Hong tersenyum, pandang matanya kepada gadis ini penuh terima kasih.
“Aku masih hidup, berkat pokiam (pedang pusaka) yang kau pinjamkan kepadaku dan berkat kembalimu ke sini, Niocu. terima kasih banyak dan selamanya Wan Sin Hong takkan melupakan budi kebaikan Siok Li Hwa,” Sin Hong mengangsurkan pedang hijau yang berlumuran darah.
Ketika Li Hwa melihat betapa tangan yang memegang pedang itu mulai menggigil, ia menjadi kasihan dan terharu sekali. Ia sendiri merasa heran sekali karena selama hidupnya baru kali ini ia mengalami perasaan seperti ini dan lebih aneh lagi, tiba-tiba saja perasaannya naik membuat air matanya bertitik turun ketika ia menerima pedangnya itu kembali.
Akan tetapi ia segera bergerak maju dan menyambar tubuh Sin Hong karena pemuda ini sudah limbung dan tentu akan roboh terguling dari tumpukan batu dan balok kalau saja Li Hwa tidak cepat-cepat menyambarnya. Sin Hong telah jatuh pingsan dalam pelukan Li Hwa!
Ketika Sin Hong siuman kembali, ia telah dibaringkan di atas rumput dan kelihatan muka-muka yang ramah dan terkenal. Mereka ini adalah ketua-ketua partai yang tadi datang menolongnya. Para tokoh besar ini duduk mengelilinginya dalam jarak dua tombak dan Tai Wi Siansu sendiri yang merawatnya. Tiga batang anak panah sudah dicabut dan luka-lukanya sudah ditempeli obat oleh ketua Kun-lun-pai itu, rasanya nyaman dan dingin.
Ketika Sin Hong menggerakkan matanya, terlihat olehnya wajah Siok Li Hwa memandang mesra kepadanya dengan mata masih basah, lalu wajah Leng Hoat Taisu ketua Thian-san-pai, wajah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, wajah hwesio gundul Kian Hok Taisu ketua Go-bi-pai, Pang Soan Lojin ketua Teng-san pal, Kong Hian ketua Siaw-lim-pai, Pek Kong Lojin ketua Hong-san-pai dan banyak lagi tokoh-tokoh besar dunia persilatan pada waktu itu.
Melihat dirinya dikelilingi oleh tokoh-tokoh terbesar dari seluruh dunia kangouw, Sin Hong cepat bangkit duduk. hendak memberi hormat akan tetapi Tai Wi Siansu berkata dengan suara hormat, “Harap bengcu jangan banyak bergerak dulu karena masih lemah. Dengan duduk saja kami sudah cukup puas mendengar kata-kata bengcu.“
Kata-kata ini membuat Sin Hong kaget setengah mati. “Eh, Locianpwe... apa artinya ini..?“
“Ketika Bengcu sedang pingsan, sambil menanti Bengcu siuman kembali, kami telah berunding dan mengambil keputusan mengangkat Bengcu sebagai bengcu baru.“
“Eh, mana ada aturan ini? Di samping aku sendiri yang bodoh masih ada Hui-eng Niocu yang gagah perkasa.“ Ia memandang kepada Li Hwa yang duduknya tepat di depannya.
Li Hwa berkata dengan suara halus, “Aku suka mengalah, biar kau saja yang menjadi bengcu. Kau seorang laki-laki sedangkan aku hanya seorang wanita, sepantasnya kau yang menjadi bengcu.“
Mendengar kata-kata ini Sin Hong memandang tajam dan bukan main anehnya, setelah berkata demikian Li Hwa menundukkan mukanya yang menjadi kemerah-merahan, nampaknya malu-malu. Setelah menarik napas, Sin Hong berkata kepada para ciangbunjin yang berada di situ.
“Apa boleh buat, tadinya aku hanya menjaga jangan sampai kedudukan bengcu jatuh ke dalam tangan orang jahat. Tidak tahunya aku sendiri sekarang terpilih. Aku harus bertanggung jawab dan tak dapat aku menolak begitu saja. Terima kasih atas kepercayaan para ciangbunjin yang berada di sini. Akan tetapi oleh karena aku yang muda memang tidak tahu apa apa dan kurang pengalaman. aku mengandalkan bantuan dan bimbingan Cuwi Locianpwe dalam kedudukan ini. Segala kesalahan sepak terjangku harap ditegur dan apa yang aku tidak mengerti harap dijelaskan.“
“Sudah tentu demikian, harap Bengcu tak usah khawattr. Kedudukan Bengcu hanya untuk menjadi pegangan bagi kita semua bahwa dunia kang-ouw ada seorang yang dipandang, seorang yang akan memutuskan apabila terjadi kesalahpahaman di antara kawan sendiri. Seorang yang akan memutuskan dan membimbing kita sekalian apabila ada peristiwa penting di dunia. Dengan adanya seorang bengcu baru di dunia kang-ouw, kiranya antara kita akan ada persatuan yang lebih erat, memandang muka Bengcu yang bijaksana dan mulia,“ kata Tai Wi Siansu.
“Tepat sekali kata-kata Tai Wi Siansu tadi,“ kata Kong Hian Hwesio ketua Siauw-lim-pai. “Dewasa ini muncul banyak orang jahat yang lihai dan ingin menduduki kedudukan bengcu agar dapat mempengaruhi dunia orang gagah. Baiknya sekarang kita telah memilih seorang yang biarpun masih muda namun dapat kita percaya kekuatan lahir batinnya. Memang amat perlu kita memperkuat persatuan karena pinceng mendengar bahwa banyak sekali orang-orang sakti dari utara dan barat hendak datang menjajah negara yang dianggap sedang berada dalam keadaan lemah. Kita harus menghadapi mereka dan kalau mereka datang, kita harus mengusir mereka agar pengaruh mereka tidak merusak kebudayaan kita. Semua ini dapat dilakukan dengan baik dan teratur kalau kita semua taat dan mendengar komando dari bengcu. Setiap orang di setiap daerah masing-masing bekerja dan semua hasil pengawasan dilaporkan kepada bengcu. Juga setiap ada peristiwa penting harus dilaporkan kepada bengcu. Akhirnya bengcu yang mengatur dan menentukan langkah selanjutnya.“
“Hal ini mana dapat kulaksanakan tanpa bantuan Cuwi locianpwe?“ kata Sin Hong yang diam-diam merasa betapa berat dan besar tanggung jawabnya sebagai bengcu.
“Bengcu jangan khawatir, sudah tentu dalam menentukan sesuatu, Bengcu merundingkan hal itu dengan para ketua yang Bengcu tunjuk dan angkat sebagai pembantu,” kata Bu Kek Siansu.
”Nah, kalau begitu barulah aku yang muda dan bodoh berani menghadapi tanggung jawab yang maha besar ini. Apabila Cuwi-locianpwe tidak keberatan aku menetapkan Samwi-locianpwe, tiga ketua dari Kun-lun-pai, dan Thian-san-pai dan Bu-tong-pai sebagai pembantu-pembantu atau wakil-wakilku, karena Samwi-locianpwe ini yang telah menjadi saksi tadi tentang keadaanku dan tentang pemilihan bengcu. Apakah Cuwi semua setuju?”
”Kami setuju dan taat akan perintah Bengcu,” kata Pek Kong Lojin ketua Hong-san-pai sehingga diam-diam Sin Hong terkejut bukan main. Ah, kata katanya agaknya merupakan perintah dan selalu akan ditaati oleh para tokoh besar dunia persilatan ini. Inilah kekuasaan yang amat hebat! Pantas saja kedudukan ini begitu dikehendaki oleh Kong Ji, kiranya untuk mendapat kekuasaan yang maha besar ini. Kalau kedudukan bengcu jatuh di tangan seorang jahat seperti Kong Ji, alangkah akan kacaunya dunia!
“Mohon tanya di manakah tempat kedudukan Bengcu agar mudah bagi kami untuk menyampaIkan sesuatu?” Pertanyaan ini diajukan olah Pang Soan Tojin. Untuk pertanyaan ini Sin Hong sudah mempunyai jawaban. Dengan sungguh-sungguh ia menjawab.
”Untuk sementara ini oleh karena aku hendak mencari dan menangkap Liok Kong Ji, maka segala sesuatu harap ditempatkan kepada Tai Wi Siansu di Kun-lun pai. Kelak apabila semua urusan sudah beres aku akan menetap di Luliang-san yakni di puncuk Jeng-in-thia.”
Setelah tanya jawab selesai, di puncak Ngo-heng-san ini lalu disediakan meja sembahyang dan diatur oleh Tai Wi Siansu dan tokoh-tokoh lain yang sudah tua dan tahu akan peraturan pengangkatan atau pengesahan bengcu. Setelah persiapan selesai, Sin Hong diminta untuk bersembahyang, bersumpah kepada Langit dan Bumi bahwa ia akan menjabat kedudukan bengcu dengan hati ikhlas dan tulus, akan memimpin dunia kang-ouw ke arah jalan kebenaran dan memberantas kejahatan tanpa pamrih untuk menguntungkan diri sendiri.
Setelah Sin Hong selesai sembahyang lalu semua orang bersembahyang dari tokoh-tokoh besar, ketua-ketua partai besar bersumpah pula bahwa mereka akan setia dan taat kepada bengcu yang mereka angkat sendiri dan takkan mempunyai hati bercabang serta akan membantu semua usaha bengcu!
Sin Hong terharu sekalt mendengar sumpah mereka itu. Hanya Li Hwa seorang yang tidak bersumpah, akan tetapi tidak ada yang mendesak gadis ini oleh karena mereka menganggap bahwa seorang gadis muda seperti Li Hwa tidak perlu harus ikut dalam upacara ini.
Setelah upacara selesai, beramai-ramai para ketua itu memberi hadiah kepada Sin Hong. Pemuda ini terharu, terkejut, dan girang sekali melihat hadiah-hadiah itu, karena tak disangkanya sama sekali bahwa para ketua partai itu memberi hadiah dengan barang-barang pusaka dari partai masing-masing! Kong Hian Hwesio ketua Siauw-lim-pai memberi sebuah Kim-si-joan-pian, sebuah senjata pecut lemas yang gagangnya terbuat dari emas dan pecut itu sendiri terbuat daripada logam yang lebih lemas dan kuat daripada baja.
Pek Kong Lojin ketua Hong-san-pai memberi Pek kim-i sebuah kutang terbuat dari pada emas putih yang sudah diolah sedemiklan rupa sehingga kalau kutang ini dipakai maka tubuh bagian atas sebata pinggang sampai ke leher akan terlindung dan takkan terluka oleh bacokan senjata tajam! Tat Wi Siansu sendiri memberikan pedang Bok-shin-kiam, sebatang pedang yang mengandung khasiat untuk mengusir hawa jahat dari siluman dan dapat dtpergunakan pula untuk menyembuhkan luka bekas gigitan binatang berbisa, pendeknya sebuah pedang kayu yang amat tinggi nilainya, bukan pedang untuk bertarung.
Leng Hoat Taisu ketua Thian-san-pai memberi hadiah tongkat pendek berkepala burung hong yang terbuat daripada jantung batu hitam dan kerasnya melebihi baja. Pendeknya, masih terlalu banyak barang-barang indah pusaka ampuh diberikan oleh para ketua itu sebagai hadiah kepada Sin Hong. Li Hwa tidak mau ketinggalan. Dengan gerakan lemah gemulal gadis ini memberikan pedangnya yang bersinar hijau, yakni pedang Chen liong-kiam kepada Sin Hong, katanya.
“Kau kehilangan Pak-kek Sin-kiam, biarlah pedang ini menjadi penggantinya“
Tai Wi Siansu dan yang tersenyum maklum bahwa gadis ini telah jatuh hati kepada bengcu mereka. Akan tetapi Kian Hok Taisu ketua Gobi-pai berkata kaget,
“Hui-eng Niocu, pokiam (pedang pusaka) itu adalah warisan Pat-jiu Nio-nio dan dahulu disayang melebihi nyawa sendiri. Sebaliknya kau memberi barang lain kepada Bengcu, jangan pedang itu!“
Siok Li jiwa memandang tak senang kepada pendeta itu. “Kian Hok Taisu, kau orang tua peduli apakah dengan urusanku sendiri? Bukan hanya mendiang Nio-nio, aku pun sayang akan pedang itu, melebihi nyawaku sendiri“
“Kalau begitu mengapa diberikan kepada Bengcu?“
Ditanya begini, muka Li Hwa menjadi merah sekali dan ia tahu bahwa tadi telah kesalahan bicara. “Aku berikan kepada siapapun juga, mau peduli apakah?“ tanyanya marah dan sepasang mata yang indah itu memandang kepada Kian Hok Taisu.
Pendeta ini tersenyum sabar. “Memang tidak ada sangkutannya dengan pinceng, hanya pinceng hendak mengingatkan bahwa kalau Pat-jiu Nio-nio masih hidup dia akan menganggap pemberian pedang ini sebagai tanda ikatan jodoh.“
Mendengar kata-kata mi, muka Li Hwa menjadi pucat. Ia otomatis berpaling kepada Sin Hong yang mengangsurkan pedang Cheng liong-kiam kepadanya, mukanya menjadi merah sekali. “Kau menolak pemberianku?“ tanyanya dengan suara gemetar.
“Pedang pusaka adalah pelindung diri tak baik berpisah denganmu, Niocu,” kata Sin Hong tersenyum.
Dengan muka sebentar pucat sebentar marah dan tubuh sebentar panas sebentar dingin, Li Hwa menyambar pedang Cheng-liong-kiam dari tangan Sin Hong, lalu melompat bangun dan berlari cepat meninggalkan puncak itu. Anak buahnya melihat ini lalu cepat mengikuti ketua mereka.
“Ah, dia marah...“ kata Sin Hong suaranya menyesal sekali.
“Harap Bengcu suka memaafkan kelancangan pinceng. Pernyataan pinceng tadi memang bukan buatan pinceng sendiri melainkan dahulu memang Pat jiu Nio-nio menyatakan demikian. Di samping ini, juga pinceng kurang suka kalau sampai benar-benar pedang itu dijadikan ikatan jodoh antara Bengcu dan dia. Hui-eng Nio-cu terlalu banyak mewarisi watak Pat-jiu Nio-nio“
“Tidak apa. Locianpwe. Memang kalau pemberian pedang itu berarti ikatan jodoh, tak boleh dilakukan secara sembrono dan tentu saja aku pun tak dapat menerima begitu saja.“
Setelah beramah-tamah dan semua tokoh menyatakan gembira melihat betapa bengcu baru ini dengan cepat pulih kembali kesehatannya setelah Sin Hong mempergunakan obat-obatnya sendiri, mereka lalu berpamit dan turun gunung kembali ke tempat masing-masing. Semua jenazah yang bertumpuk di tempat itu tadi telah dikubur atas perintah Sin Hong, dan untuk pekerjaan ini dikerahkan tenaga anak murid partai besar yang bekerja secara bergotong-royong sehingga sebentar saja penguburan selesai dan keadaan menjadi bersih kembali.
Setelah semua orang turun gunung, Sin Hong lalu turun gunung pula. Barang-barang hadiah yang diterima tadi semua dititipkan kepada Tai Wi Siansu, kecuali Kim-si-joan-pian pemberian Kong thian Hwesio dari Siauw-lim-si, pecut ini dibawa untuk senjata, karena selain pecut ini merupakan senjata ampuh. juga amat mudah dibawa, dapat digulung dan dimasukkan saku atau dililitkan di pinggang. Biarpun tubuhnya masih terasa lemas namun kesehatannya sudah pulih kembali.
“Aku harus mendapatkan Kong Ji dan membunuhnya. Dia terlampau berbahaya dan akan banyak terjadi kejahatan kalau dia masih hidup,“ pikir Sin Hong sambil menuruni Gunung Ngo-heng-san.
Ketika ia tiba di sebuah lereng, mendengar suara orang memaki-maki. Sin Hong melihat dari jauh di bawah, di atas batu-batu karang dan terpisah jauh dari tempatnya, ia melihat bayangan dua orang sedang bergerak gerak seperti bertempur. Yang seorang memegang pedang dan orang ke dua yang diserang dan didesak adalah seorang tua tinggi bertangan kosong. Dalam beberapa gebrakan saja, orang bertangan kosong itu tertusuk pedang yang menembus dadanya. Jeritnya mengerikan ketika pemegang pedang mencabut pedangnya dan menendang mayat musuhnya ke dalam jurang yang amat dalam. Sebentar saja orang berpedang itu menghilang lagi.
Sin Hong tak berdaya menolong. Jangankan menolong, mendekat saja tak mungkin. Jarak antara tempat dia berdiri dan tempat dua orang bertempur tadi amat jauhnya, selain ini, untuk berlari cepat menuju ke tempat itu harus mengambil jalan memutar, sedangkan tenaganya masih lemah. Biarpun hanya melihat bayangannya saja dan tidak mengenal dua orang itu, tetapi sinar pedang itu tidak diragukannya pula. Itulah sinar pedang Pak kek Sin-kiam dan orang yang melakukan pembunuhan itu bukan lain tentulah Liok Kong Ji orangnya!
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa tadi sebenarnya Liok Kong Ji belum turun gunung, melainkan bersembunyi di dekat situ dan bukan tidak mungkin kalau Kong Ji mendengarkan dan melihat semua peristiwa yang terjadi di puncak Ngo-heng- san. Diam-diam Sin Hong bergidik. Tak disangkanya bahwa Kong Ji telah berubah menjadi seorang iblis jahat! Seorang iblis yang berkepandaian tinggi, berotak cerdik penuh siasat dan muslihat, seorang yang amat berbahaya di dunia ini.
Ia berjalan terus. Ketika hampir tiba di kaki gunung, mendengar seruan orang. “Wan Sin Hong...!“ Sin Hong berhenti dan tak lama kemudian Siok Li Hwa sudah berdiri di hadapann)a. Gadis ini nampak cantik sekali, sepasang pipinya kemerahan, matanya memandang mesra dan bibirnya tersenyum-senyun malu.
“Sin Hong, aku menyesal sekali tadi telah bersikap kasar. Harap kau maafkan...“ suaranya merdu dan halus.
“Ah, tidak Niocu. Eh, mana pasukanmu dan kau mengapa masih berada di sini?“ tanya Sin Hong untuk menyimpangkan pembicaraan tentang hal yang amat tidak enak baginya itu. Akan tetapi usahanya sia-sia karena ternyata kemudian gadis ini memang agaknya hendak membicarakan hal itu!
“Anak buahku kusuruh berangkat lebih dulu dan aku memang sengaja menanti kau di sini. Baiknya aku melihat kau lewat di sini, karena aku menanti di sebelah sana,“ jari telunjuk yang mungil itu menuding ke arah kiri, dari mana tadi ia datang berlari-lari.
“Kau menanti aku? Ada apakah?“ Hati Sin Hong berdebar. Li Hwa bicara menundukkan mukanya.
“Aku... aku sengaja menanti, pertama-tama untuk minta maaf kepadamu tentang sikapku tadi. Sungguh mati aku tidak tahu akan maksud pemberian pedang seperti yang dikatakan oleh tua bangka Kian Hok Taisu tadi. Misalnya benar-benar artinya seperti itu pun, bagiku... eh, aku tidak menaruh keberatan.“ Tiba-tiba ia mengangkat mukanya memandang dan kini Sin Hong yang harus menundukkan muka untuk menyembunyikan wajahnya yang menjadi pucat.
Akan tetapi Li Hwa masih dapat melihat betapa wajah Sin Hong amat pucat. Ia mengira bahwa Sin Hong masih menderita karena sakit dan lukanya, maka ia berkata cepat-cepat. “Eh, maafkan, Sin Hong. Tidak seharusnya kita bicarakan soal itu, kau masih menderita karena luka-lukamu. Sebetulnya, aku menantimu terutama sekali untuk mengajakmu ke Go-bi-san, marilah kau tinggal untuk beberapa lama di tempatku agar aku dapat merawatmu sampai kau sembuh betul, Sin Hong.“
Sin Hong masih berdebar dan kata- kata ini membuat ia terpaksa menjawab, “Terima kasih, Niocu. Tak usah kau repot-repot, aku tidak perlu dirawat, lukaku hanya luka di luar saja, tak lama lagi juga akan sembuh.“
“Kau masih begitu pucat, Sin Hong. Marilah, biar kau... kugendong dan nanti kalau sudah dapat menyusul anak buah ku, kau dapat kusuruh carikan kuda. Aku hendak menolongmu dengan hati tulus Sin Hong, Jangan kau salah mengerti.“
Bukan main terharunya hati Sin Hong, juga ia bingung sekali karena ia tahu bahwa penolakan berarti akan melukai gadis yang mudah marah dan mudah ter singgung “Sekali lagi terima kasih atas segala budimu, Niocu. Sudah terlampau banyak aku berhutang budi kepadamu, harap jangan kautumpuki lagi agar tidak terlalu sukar bagiku untuk membalasmu kelak. Bukan sekali-kali aku tidak suka terima tawaranmu untuk tinggal di tempatmu yang tentu nyaman dan meyenangkan. Akan tetapi, kau tahu bahwa Liok Kong Ji masih hidup dan berkeliaran di muka bumi. Aku akan mencarinya, aku harus dapat melenyapkan manusia iblis itu dari muka bumi baru dapat bernapas lega. Oleh karena itu bukan aku menolak ajakanmu, hanya aku tidak mungkin dapat menunda usahaku mengejar dan mencari Liok Kong Ji. Biarlah lain kali kalau sudah selesai tugasku ini, aku pasti akan mencari dan mengunjungimu di Go-bi-san..."
Li Hwa menundukkan mukanya, nampaknya kecewa dan berduka sekali. “Betulkah kau akan ke sana, Sin Hong?“
“Pasti aku akan ke sana kelak, Niocu.“
“Kau tidak bohong?“
Sin Hong ketawa. Percakapan itu seperti percakapan anak kecil. “Mana aku berani membohong?“
“Aku... aku akan selalu menanti kedatanganmu. Sin Hong.“
Kata-kata yang diucapkan dengan jujur sekali ini membuat Sin Hong terharu dan makin perih rasa hatinya. “Jangan khawatir, Niocu. Kalau nyawa masih berada di badanku, kelak aku pasti akan datang mengunjungimu.“
Mendengar kata-kata ini, tiba tiba Li Hwa mengucurkan air mata. “Eh, eh, kau kenapa. Niocu…?“
“Sin Hong jangan bilang tentang mati. Baru-baru ini hampir saja kau tewas. Kalau... kalau kau tewas... hidup tidak ada artinya lagi bagiku...“
“Niocu...!“ Sin Hong benar-benar terkejut karena tak disangkanya gadis itu akan sedemikian berterus terang.
“Benar, Sin Hong! Selama ini hidupku kosong, tidak ada artinya. Aku merasa bosan hidup di puncak dan pada waktu itu, aku akan menghadapi kematian sewaktu-waktu dengan hati terbuka. Akan tetapi... semenjak pertemuan di puncak Ngo-heng-san... perasaan hatiku lain se kali. Lebih terasa ketika tadi aku meninggalkanmu... aku takkan dapat hidup seorang diri lagi. Sin Hong, aku takkan dapat hidup kalau... kalau kau jauh dariku. Karena itu, kau tahu bahwa aku akan menanti kedatanganmu di tempatku, kalau kau membohong, aku akan mencarimu, Sin Hong.“ Setelah berkata demikian, ia mengangsurkan pedang Cheng-liong-kiam sambil berkata, “Terimalah pedangku ini!“
Sin Hong merasa bingung, kemudian dengan suara sedih ia menjawab, “Aku tak dapat menerimanya, Niocu.“
Pucat wajah gadis itu. “Kau menolak ikatan jodoh denganku? Jangan khawatir, pemberianku ini sekedar supaya kau mempunyai senjata pelindung diri. Kelak kalau berkunjung kepadaku, dapat kau bawa kembali.“
Kembali Sin Hong menolak. “Bukan demikian, Niocu...“
“Namaku Li Hwa, Siok Li Hwa, kau tak perlu menyebut Niocu!“
“Baiklah. Kuulangi, bukan demikian maksudku tadi, Li Hwa. Aku tidak memerlukan pedang, apalagi pedang yang kau pakai sebagai senjata pelindung dirimu sendiri. Aku sudah mempunyai ini!“ Ia mengeluarkan pecutnya kepada gadis itu.
Li Hwa menarik napas panjang. “Sudahlah, aku tak dapat memaksa. Asal saja kelak kau tidak melanggar janjimu. Aku selalu menantimu sampai setahun, Sin Hong. Lewat setahun, kalau kau belum juga datang menjengukku, aku akan turun gunung mencarimu!“ Setelah berkata demikian, sekali lagi Li Hwa menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata mesra sekali, kemudian ia membalikkan tubuh dan berlari bagaikan terbang cepatnya, menyusul rombongan anak buahnya.
Sin Hong berdiri bagaikan patung. Celaka, pikirnya, gadis itu benar benar telah jatuh cinta kepadanya dan cinta seorang gadis seperti Li Hwa amat berhahaya. Gadis itu semenjak kecil hidup menyendiri hatinya keras dan sekali mempunyai kehendak, akan dibelanya pelaksanaannya dengan nyawa. Ia maklum bahwa kelak ia akan mengalami banyak susah dari gadis ini. Akan tetapi, apa dayanya? ia tidak mencinta Li Hwa. Hanya satu kali ia mencinta orang, ialah Go Hui Lian, atau boleh jadi juga Gak Soan Li. Ia sendiri tidak begitu yakin akan hal ini. Sin Hong melanjutkan perjalanannya sambil melamun.
********************
Kaisar duduk di atas singgasana di balai pertemuan, dihadap oleh para panglima dan menterinya. Di antara panglima, tampak juga See-thian Tok-ong yang sekarang telah kembali ke istana. Kepada Kaisar, See-thian Tok-ong menceritakan tentang pertemuan orang orang gagah di Puncak Ngo-heng-san, menceritakan bahwa di sana terjadi pertempuran besar dan delapan orang busu pengikutnya gugur dalam pertempuran itu!
Diceritakannya pula bahwa terjadi perubahan kedudukan bengcu, dan akhirnya karena pihak sana lebih kuat, kedudukan bengcu tak dapat ia rebut dan jatuh ke dalam tangan seorang penjahat dan orang yang anti kaisar bernama Wan Sin Hong! Ta menceritakan pula bahwa Go Ciang Le berdiri di pihak penjahat Wan Sin Hong itu dan bahwa Go Hui Lian ternyata telah lari tidak kembali ke kota raja, melainkan ikut ayahnya.
Semua ini tentu hisapan jempol belaka dan See-thian Tok-ong yang diam-diam telah mengadakan persekutuan dengan Liok Kong ji. Delapan orang busu yang ikut dengan dia telah dibunuh di tengah perjalanan pulang!
Tentu saja Kaisar amat marah mendengar ini. “Kami akan mengirim pasukan untuk menangkap pemberontak Go Ciang Le dan mencari penjahat Wan Sin Hong!“ kata Kaisar.
“Hal itu tidak demikian mudah dilakukan, Sri Baginda,“ kata See-thian Tok-ong. “Wan Sin Hong dan Go Ciang Le selain memiliki kepandaian tinggi, juga banyak sekali pengikutnya. Apalagi sekarang penjahat dan pemberontak Wan Sin Hong telah menjadi bengcu, pengaruhnya amat besar. Dia sedang mengumpulkan tenaga untuk memberontak dan menyerbu kota raja. Partai-partai besar kaum persilatan berdiri di belakangnya..."
“Koksu, bagaimana baiknya?“ tanya kaisar kepada Sce-thian Tok-ong dengan nada khawatir.
“Menurut pendapat hamba, untuk menghadapi mereka harus menyusun kekuatan yang terdiri dari orang-orang gagah di dunia persilatan pula. Hamba akan mengumpulkan kawan-kawan di rimba persilatan, dan di antara mereka, bahkan kemarin hamba bertemu dengan seorang tokoh besar yang biarpun masih muda, namun telah diangkat menjadi bengcu dari kaum persilatan selatan dan timur. Dia telah berjanji hendak mengerahkan kawan-kawannya membantu apabila Paduka sudi menerima dan memberi kedudukan kepadanya.“
Kaisar menjadi girang, apalagi ketika mendengar obrolan See-thian Tok-ong bahwa pemuda bernama Liok Kong Ji itu memiliki kepandaian yang setingkat dengan kepandaian See-thian Tok-ong. “Panggil dia ke sini! Kalau dia mencocoki hati, kami akan memberi pangkat sebagai wakilmu!“
Demikianlah, pada hari itu, Liok Kong Ji dibawa masuk ke dalam istana kaisar dihadapkan kepada Kaisar. Melihat kedatangan pemuda ini, dan mendengar dari See-thian tok- ong bahwa sekarang ini harus berlaku hati-hati dan perundingan menghancurkan Wan Sin Hong dan Go Ciang Le tidak baik kalau terdengar semua punggawa, Kaisar lalu membubarkan pertemuan itu. dua belas pengawal pnbadinya yang masih berada di situ, menjaga kalau-kalau ada bahaya dari luar pada waktu berunding dengan ‘See- thian Tok-ong, Kwan Ji Nio, Kwan Kok Sun, dan Liok Kong Ji.
Melihat seorang pemuda tampan dan lemah lembut serta sopan santun, Kaisar gembira sekali. ia merasa kagum melihat seorang masih demikian muda akan tetapi sudah dipuji setinggi langit oleh See-thian Tok-ong. Apalagi setelah mereka bercakap-cakap, Kong Ji menyatakan dengan berani bahwa telah bertemu Temu Cin dan menjawab pertanyaan Kaisar ia menyatakan bahwa Temu Cin adalah seorang pemuda hutan liar yang sombong, padahal kekuatannya tidak berapa hebat, Kaisar merasa terhibur dan makin suka kepada Kong Ji.
Pada saat itu, penjaga pintu melaporkan kedatangan seorang tamu. “Wanyen Siauw ongya mohon menghadap!“ Kaisar memandang keluar dengan muka berseri. “Ah, dia juga baru datang? Suruh dia masuk“
Dari luar muncul seorang pemuda yang membuat wajah Liok Kong Ji menjadi pucat seketika akan tetapi ia teringat akan cerita See-thian Tok-ong bahwa di istana terdapat seorang pangeran bernama Wanyen Ci Lun yang wajahnya sama benar dengan wajah Wan Sin Hong, yaitu pangeran yang pernah datang di Puncak Ngo-heng san dan telah terluka oleh Hek-tok-ciam dari tangan Kong Ji. Untuk menghadapi pertemuan ini Kong Ji telah berjaga-jaga dan telah diatur siasat untuk membela diri. Bagaimana Pangeran Wanyen Ci Lun tiba-tiba bisa muncul di istana? Bukankah dalam keadaan terluka ia dibawa lari oleh seorang gadis cantik bermuka pucat?
Di bagian depan telah diceritakan bahwa Wanyen Ci Lun ketika sedang dijaga oleh para gadis anak buah Hui-Eng-pai yang bertempur melawan para perajurit pangeran itu, telah dibawa lari oleh seorang gadis cantik yang bermuka pucat. Siapakah gadis ini?
Kiranya tidak hegitu sukar untuk diduga. Gadis itu bukan lain adalah Gak Soan Li, gadis bernasib malang yang patut dikasihani itu. Ketika Liok Kong Ji dengan keji dan kejamnya membeber rahasia Gak Soan Li menceritakan di depan umum bahwa gadis itu telah menjafli korban gangguan Wan Sin Hong, Soan Li tak dapat menahan malu dan hancur perasaannya, dan gadis ini sambil mengeluarkan teriakan menyayat hati lalu berlari turun gunung.
Setelah ia berjalan terus sampai napasnya hampir-hampir putus, ia menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon, bergulingan di atas rumput sambil menangis. Semua pemandangan di atas Puncak Ngo-heng-san, ditambah lagi oleh kata kata Liok Kong Ji tadi, sedikit membuka tabir yang menutupi ingatan Gak Soan Li. Tadi Kong Ji membuka di de pan umum bahwa dia telah menjadi korban penjahat Wan Sin Hong dan ditolong oleh Liok Kong Ji. Melihat muka Kong Ji, ingatlah Soan Li sekarang dan kenyataan yang amat pahit mengiris jantungnya. Saking terlalu menahan perasaan, setelah bergulingan sambil menangis, Soan Li muntahkan darah segar dari mulutnya dan jatuh pingsan.
Halimun gunung membasahi muka Soan Li yang pucat seperti mayat dan membuatnya siuman kembali dari pingsannya yang lama juga. ia menarik napas panjang, mengeluh dan membersihkan darah yang masih berada di dagu. Pikirannya bekerja kembali dan sekarang di dalam ingatannya terbayang wajah dua orang dan di dalam hatinya tercatat tiga nama orang. Wajah itu adalah wajah Liok Kong Ji dan wajah Gong Lam. Adapun tiga nama itu adalah Gong Lam, Liok Kong Ji dan Wan Sin Hong.
Kesimpulan dari ingatannya yang masih belum terang betul itu adalah bahwa ia tercemarkan oleh Wan Sin Hong yang tak pernah ia lihat mukanya, kemudian ditolong oleh Liok Kong Ji yang mengaku sebagai Gong Lam dan kemudian memperlakukannya sebagai isteri. Adapun wajah Gong Lam memang tak pernah ia kupakan, yaitu pemuda yang pernah menolongnya, pemuda tolol yang pernah merebut hatinya, merebut cinta pertamanya.
“Aku harus membunuh Wan Sin Hong, dan aku harus bunuh Liok Kong Ji,“ bisiknya perlahan, karena ia sekarang merasa yakin bahwa dua orang inilah yang telah merusak hidupnya. Wan Sin Hong telah mencemarkannya dengan cara menggelap dan mempergunakan kepandaian, adapun Liok Kong Ji telah mencemarkannya dengan cara mengaku sebagai Gong Lam. Dan ia telah maklum sekarang bahwa anak yang telah dilahirkannya, yang sekarang dirawat di Pulau Kim-bun-to, anak laki-laki yang dipelihara oleh inang pengasuh, dia itu adalah anak keturunan Liok Kong Ji.
“Aku harus bunuh dia lebih dulu...!" pikir Soan Li dan sakit hati yang menjadi dendam ini memulihkan tubuhnya. Ia berdiri, termenung sebentar, menghapus darah di mulut dan air mata di depan pipinya, lalu naik lagi ke Gunung Ngo heng-san.
Ketika ia tiba di lereng, dari jauh ia sudah mendengar suara orang-orang bertempur. Soan Li menyelinap di antara batang-batang pohon dan ia melihat serombongan gadis cantik yang dikenalnya sebagai anggauta-anggauta Hui-eng pai tengah bertempur melawan serombongan orang yang baru muncul. Akan tetapi pertempuran ini tidak menarik hati Soan Li. Dia sedang bengong memandang kepada tubuh seorang laki-laki yang menggeletak di bawah pohon, tubuh orang yang dikenalnya bukan lain adalah Gong Lam, kekasih hatinya!
Sebagaimana diketahui, laki-laki yang terluka itu bukan lain adalah Wanyen Ci lun dan karena muka pangeran ini sama benar dengan Wan Sin Hong sedangkan Gong Lam itu bukan lain adalah Wan Sin Hong sendiri, maka tidak mengherankan apabila Soan Li mengira pangeran itu Gong Lam.
Karena girang dapat bertemu dengan Gong Lam, dan merasa bahwa kekasihnya ini berada dalam bahaya, Soan Li melompat keluar, menyambar tubuh Gong Lam dan membawanya lari cepat sekali. Ketika ias melihat ada orang mengejarnya, ia berlari lebih cepat lagi sehingga dapat membebaskan diri dari para pengejarnya. Soan Li sudah amat lelah, akan tetapi sambil memondong tubuh Wanyen Ci Lun ia berlari terus, takut kalau terkejar orang, sampai akhirnya ia jatuh terguling di sebuah hutan, jauh di kaki Gunung Ngo heng-san, kakinya terpeleset di atas rumput yang licin. Baiknya mereka jatuh di tempat rata, dan di atas rumput sehingga tidak terluka parah.
Wanyen Ci Lun yang semenjak tadi sudah terheran-heran, kini mengaduh. “Aduh, aduh... hati-hati, Nona! Baiknya kita tidak terguling ke dalam jurang. Kau tergesa-gesa amat, hendak membawaku ke manakah?“ Karena pangeran ini memang benar-benar amat heran melihat tingkah laku gadis cantik yang membawanya lari lintang-pukang sampai jatuh bangun, juga karena amat kagum memandang wajah gadis cantik yang memondongnya sekian jauh dan lamanya, wajah pangeran ini menjadi bengong dan nampak bodoh.
Melihat wajah yang bengong dan bodoh ini, Soan Li tertawa geli kemudian menubruk dan memeluk pundak Wanyen Ci Lun sambil menangis terisak-isak. Timbul perasaan kasihan dalam hati pangeran ini, karena ia dapat menduga bahwa tentu ada apa-apa yang tidak beres dalam ingatan gadis ini.
“Gong Lam-ko... akhirnya kita dapat bertemu kembali...“ berkali-kali Soan Li berbisik, nampaknya amat terharu dan juga girang.
Mendengar ini, makin tebal dugaan pangeran Wanyen Ci Lun bahwa gadis cantik ini memang betul betul agak miring otaknya. Bagaimana ia dipanggil Gong Lam (Pemuda Tolol)?
“Lam-ko, jangan tinggalkan aku lagi seorang diri. Bawalah aku ke mana juga pergi, Lam-ko. Aku selama hidup tidak mau berpisah darimu lagi. Aku selalu mengalami malapetaka kalau terpisah darimu.“
“Nona, malapetaka apakah yang telah menimpa dirimu?“ tanya Wanyen Ci Lun dengan suara halus. Saking merasa kasihan, tanpa disengaja tangannya lalu mengusap-usap rambut yang hitam halus dan awut-awutan menutupi sebagian muka yang pucat itu.
“Lam-ko, maukah kau... kaumaafkan aku akan segala yang telah menimpa diriku? Apakah nanti kau tidak membenciku?“
“Tidak, Nona. Bagaimana orang bisa membenci seorang gadis seperti engkau" aku takkan membencimu.“
“Berjanjilah dulu bahwa kau takkan menjauhkan diri lagi, bahwa kau akan menerimaku ikut denganmu selama hidupku, ke manapun kau pergi aku boleh ikut.“
Pangeran Wanyen Ci Lun terharu. Ia tak dapat menyangkal bahwa begitu melihat nona yang menarik ini, dan biarpun ia sudah mempunyai beberapa orang selir, ditambah seorang seperti ini, tak kan berarti apa apa, bahkan siapa tahu kalau perempuan inilah yang akan mendatangkan bahagia dalam hidupnya. Berpikir demikian tanpa ragu ragu lagi pangeran ini menjawab...