Tangan Gledek Jilid 04
KINI, menghadapi hal yang menyangkut nama baik Hui-eng-pai, biarpun semua anggauta takut dan mundur atas seruan Li Hwa, tujuh belas orang toanio ini menghadapi ketua mereka dengan muka sungguh-sungguh.
"Niocu, harap Niocu ingat akan peraturan kita. Usir laki-laki kurang ajar ini dan biarkan ahli-ahli kita mengobati Niocu." kata seorang di antara mereka. Dia ini adalah Toanio yang tertua dan yang paling lihai kepandaiannya di antara kawan-kawannya, nama julukannya Pek-eng Toanio (Nyonya Garuda Putih).
"Aku tidak mau diobati orang lain! Sin Hong, mari antarkan aku kembali ke puncak dan kau obati aku sampai sembuh”
Sin Hong ragu-ragu dan tidak tahu harus berkata apa. Sementara itu, Pek-eng Toanio berkata lagi, suaranya kaku. "Niocu, betul-betul sudah lupakah kau akan aturan-aturan yang diadakan oleh Nio-nio dahulu? Tidak diperbolehkan laki-laki, hidup atau mati, berada di tempat tinggal kita! Setiap anggauta yang berani memasukkan seorang pria, hukumannya mati dan peraturan ini berlaku baik bagi seorang pelayan sampai ketuanya sendiri Niocu, biarpun kau sendiri, tidak boleh membawa orang ini naik ke atas. Itu pelanggaran besar namanya, dan kami tidak boleh tinggal diam saja."
Li Hwa marah, "Pek-eng Toanio kau mengandalkan apamu maka berani bicara seperti ini di depanku? Biarpun kau dan enam belas orang Suci yang lain, takkan mampu menahan aku seorang. Aku sekarang sedang terluka, mungkin tak berdaya. Akan tetapi tahukah kau akan kelihaian Wan-bengcu ini yang sepuluh kali lebih lihai daripada aku? Jangan kan baru kalian tujuh belas Cap-jit Toanio, biarpun seluruh Hui-eng-pai ditambah beberapa kali lipat takkan mampu menahannya kalau dia membawaku ke atas."
"Apa boleh buat, Niocu. Biarpun sampai mati semua, kami tetap akan menentang siapapun juga menghina perkumpulan kami dan melanggar peraturan yang diadakan oleh Nio-nio!" jawab Pek-eng Toanio.
"Kau mau melawan?" Tiba-tiba tangan Li Hwa bergerak. Sinar hijau menyambar dan Pek-eng Toanio mengeluh roboh pingsan. Ia telah menjadi korban Cheng-jouw-ciam (Jarum Rumput Hijau) yang lihai dari Li Hwa! "Baru kau tahu kelihaianku," gerutunya, agak menyesal bahwa ia terpaksa harus merobohkan orang sendiri. Akan tetapi enam belas orang wanita yang lain tetap berdiri tegak, bahkan mereka berkata tegas.
”Pek-eng Toanio betul, Niocu. Kami terpaksa menghalangi kehendak Niocu, biarpun kami harus berkorban nyawa untuk memegang teguh peraturan dari Nio-nio almarhum."
Li Hwa marah bukan main. "Sin Hong, pondong aku dan bawa ke atas! Jangan kau pedulikan perawan-perawan tua ini, sapu saja siapa yang berani merintangi kita!" katanya kepada Sin Hong.
Akan tetapi Sin Hong tidak bergerak. Ia telah selesai mengobati paha Li Hwa dan telah membalutnya. Selama pertengkaran itu, ia tidak mencampuri, hanya melanjutkan pengobatannya. Sekarang setelah selesai dan mendengar kata-kata Li Hwa itu, ia tidak menurut, bahkan menarik napas panjang dan berkata.
"Tidak, Li Hwa. Kau yang keliru, mereka itu benar. Pulanglah kau dan beristirahatlah. Aku harus mencari Tiang Bu dan merampasnya kembali dari tangan Pak-kek Sam-kui."
"Aku tidak mau!" Li Hwa menjerit dan beberapa titik air mata melompat keluar dari matanya. "Aku takkan kembali ke puncak, aku tidak sudi lagi menjadi ketua Hui-eng-pai. Aku mau ikut kau mencari Tiang Bu, karena akulah yang bertanggung jawab atas kehilangannya."
"Jangan, Li Hwa, kau masih terluka dan..."
"Kau sembuhkan aku lebih dulu, atau kau boleh meninggalkan aku mampus di sini, karena kau tidak mau membawa aku, aku pun tidak sudi kembali ke atas, aku... biarlah kalian semua meninggalkan aku di sini, biar mampus dimakan srigala..." Dan ketua Hui-eng-pai yang gagah berani dan tak kenal takut itu sekarang menangis tersedu-sedu.
Sementara itu, Pek-eng Toanio telah siuman kembali setelah ditolong oleh kawan-kawannya. Melihat keadaan ketua mereka, ia menghela napas dan sebagai seorang yang sudah berpengalaman ia maklum bahwa ketuanya sampai berbuat begitu aneh bukan lain adalah karena gadis itu telah tergila-gila dan cinta kepada Wan Sin Hong.
"Wan-bengcu, terserah kepadamu apakah kau hendak membiarkan Niocu mati di sini ataukah hendak menolongnya. Kami tak berdaya, dan mati hidup Niocu berada di tanganmu." Setelah berkata demikian, tujuh belas orang rombongan pemimpin Hui-eng-pai ini lalu mengajak semua anak buah mereka kembali ke puncak.
Dengan air mata masih mengucur, Li Hwa berkata kepada Sin Hong. "Wan Sin Hong, kau pergilah, kau tinggalkanlah aku. Aku tahu, selama ini aku telah berlaku bodoh, bahkan sampai sekarang aku masih bodoh dan gila. Aku mencintamu sedangkan kau kau tidak peduli sama sekali kepadaku. Aku memang seorang gadis tidak berharga... biarlah aku mati di sini, tak patut seorang bengcu seperti kau dekat dengan seorang hina seperti aku..."
Sin Hong menarik napas panjang. Benar-benar luar biasa sekali, gadis ini. Di suatu saat bersikap keras dan galak seperti iblis wanita, di lain saat dapat berlaku lemah lembut dan mengalah, menimbulkan kasihan.
"Li Hwa, kau memang aneh. Kalau kau mau dibawa pulang dan dirawat oleh orang-orangmu, bukankah hal ini sudah beres? Akan tetapi kau tidak mau dan kau rela mati kalau aku tidak mau membawamu bersamaku. Ahh... apakah yang harus kulakukan? Meninggalkan kau membunuh diri di sini, benar-benar aku tidak tega. Apalagi kau telah menjadi korban senjata karena membantu aku menghadapi setan'setan dari utara itu."
"Pergilah, jangan memikirkan orang seperti aku ini..."
"Tidak mungkin. Aku tidak akan meninggalkan kau, Li Hwa. Biar aku mengobati lukamu sampai kau sembuh dan dapat berjalan lagi."
Wajah Li Hwa mulai berseri akan tetapi ia tetap cemberut. "Akan tetapi aku tidak mau pergi dari sini, aku mau mati di sini."
"Aku pun akan menunggumu di sini."
"Di tempat ini siang malam? Menahan serangan angin dan hujan?"
"Mengapa tidak? Kalau kau kuat, aku pun tentu kuat menahan." jawab Sin Hong mendongkol juga menghadapi gadis yang aneh wataknya ini. Tanpa ia ketahui. Li Hwa kini tersenyum, penuh kemenangan.
"Sin Hong, kau benar-benar berhati mulia. Kakakku yang baik, aku tidak nanti mau tinggal siang malam di tempat terbuka ini. Lihat, di sebelah utara sana, kurang lebih satu li dari sini, terdapat sebuah gua besar di bukit batu karang. Kita dapat sementara waktu tinggal di sana sampai kakiku sembuh. Di sana kita dapat berlindung dari angin dan hujan, juga dari serangan binatang buas di waktu malam". Ketika mengeluarkan ucapan ini suaranya ramah-tamah dan manis sekali.
Sin Hong yang mendengar perubahan suara ini cepat menengok dan memandang, akan tetapi lebih cepat lagi Li Hwa sudah mengubah lagi mukanya sehingga tidak kelihatan seri gembira yang tadi membayang di situ.
"Hm, akhirnya, ternyata kau bukan seorang yang sudah nekat kepingin mati." gerutunya sambil berdiri. "Mari kupondong kau.ke sana."
"Kau tidak malu memondong aku?" Li Hwa pura-pura bersungut-sungut, padahal hatinya berdebar girang.
Sin Hong tidak menjawab, melainkan membungkuk dan memondong tubuh gadis itu. Ketika kedua lengannya merasa betapa hangat tubuh Li Hwa dalam pondongannya, ia berdebar dan mukanya merah. Untuk menghilangkan perasaan dan menghibur hatinya sendiri, ia berkata, suaranya seperti orang mendongkol.
”Mengapa mesti malu memondongmu? Dalam keadaan terpaksa seperti ini memondongmu tidak melanggar kesopanan. Apalagi memondong, bahkan aku telah... telah... mengobati pahamu..."
Ingin Sin Hong menampar mulutnya sendiri, karena kata-kata ini seperti melompat saja dari mulutnya. Kata-kata ini bukan menghibur dan menghilangkan debar hati dan merah mukanya, bahkan menambah! Apalagi ketika terasa olehnya betapa pinggir dada Li Hwa yang menempel di lengannya berdebar-debar keras dan melihat sepasang pipi gadis itu menjadi merah sampai ke telinga sedangkan kedua matanya dipejamkan!
"Sin Hong, kau memang seorang laki-laki berhati mulia, seorang laki-laki tahan uji dan sopan, pemalu dan canggung. Karena itulah aku cinta kepadamu," kata Li Hwa dengan sepasang mata masih terpejam.
Kata-kata ini membuat Sin Hong makin bingung sehingga jalan kakinya tidak tetap. "Hush, jangan bicara tentang cinta lebih baik kaki kananmu itu jangan bergerak-gerak nanti sambungan tulangnya tidak betul lagi."
Akan tetapi Li Hwa seperti sengaja menggerak-gerakkan kaki kanannya, Sin Hong memandang heran dan marah, kemudian ia melepaskan tangan kiri yang memondong, dan menotok pinggang kanan gadis itu. Kaki kanan Li Hwa menjadi lumpuh tak dapat bergerak-gerak lagi
"Nah, sekarang bergeraklah kalau bisa," katanya, tersenyum puas dapat memberi "pelajaran" kepada gadis nakal itu.
Akan tetapi Li Hwa tidak menjadi marah karena totokan yang membuat ia tidak berdaya menggerakkan kakinya itu. Sebaliknya ia berkata dengan nada menggoda. "Kau tahu Sin Hong? Setiap kali kau bermaksud meninggalkan aku seorang diri, aku akan menggerak-gerakkan kaki kananku supaya lukanya pecah dan tulangnya putus kembali. Kalau kau menotokku terus sampai kakiku sembuh akan kupukul patah sendiri supaya jerih payahmu sia-sia."
Sin Hong mengerutkan keningnya, "Mengapa kau seaneh ini, Li Hwa? Mengapa kau hendak melakukan hal itu"
"Habis, tujuan hidupku hanya dua macam. Hidup di sampingmu atau mati, habis perkara. Selama kau mau membawaku bersamamu, aku malah takut mati. Akan tetapi kalau kau meninggalkan aku, aku jadi takut hidup. Mengertikah kau?"
Seluruh muka Sin Hong berkerut-kerut dan ia berpikir keras. Akan tetapi tetap saja ia tidak mengerti watak gadis yang dianggapnya aneh ini. Bagi orang yang sudah tahu akan racun dan madu asmara, watak atau sikap yang diperlihatkan Li Hwa ini sama sekali tidak aneh. Akan tetapi, biarpun ia memiliki kepandaian yang sudah berada di tingkat tinggi sekali dan pengalamannya bertempur, sudah banyak sekali, namun dalam hal asmara, Sin Hong boleh dibilang masih "hijau”.
Demikianlah, Sin Hong membawa Li Hwa ke gua yang ditunjuk oleh gadis itu dan tinggal di situ berdua dengan Li Hwa untuk merawat dan mengobati paha Li Hwa yang patah tulangnya. Sikapnya selalu sopan dan ia menjaga keras agar selalu ingat dan sadar, jangan sampai terpengaruh oleh nafsu dan jangan sampai melanggar kesusilaan. Ia bersikap sopan sekali, ya, terlalu sopan sehingga kadang-kadang membikin mengkal hati Li Hwa!
Kita tinggalkan dulu dua orang ini dan mari kita mengikuti pengalaman Tiang Bu, bocah yang dalam usia paling banyak lima tahun telah mengalami hal-hal yang hebat itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, baru saja kakinya yang patah tulangnya sembuh, ia dipaksa menjadi murid Hui-eng-pai dan bersumpah, kemudian mendengar cerita tentang ayah-bundanya yang menggores dalam-dalam di hati dan pikiran anak kecil ini.
Ia menjadi bingung sekali kalau memikirkan kata-kata Hui-eng Niocu Siok Li Hwa bahwa ia bukanlah putera Coa Hong Kin dan Go Hui Lian yang selama ini memang ia anggap ayah-bundanya, melainkan putra Liok Kong Ji dan Gak Soan Li, dua nama yang sama sekali asing baginya dan baru sekali ini didengarnya dari mulut Li Hwa.
Akan tetapi karena urusannya menggores di hatinya, dua nama ini menempel dalam ingatannya dan tidak terlupakan lagi. Kemudian ia mengalami perebutan atas dirinya antara seorang laki-laki gagah yang tak dikenalnya dan Siok Li Hwa, akan tetapi di dalam hati ia memihak laki-laki itu karena maklum bahwa laki-laki itu hendak menolongnya dari tangan ketua Hui-eng-pai yang tak disukanya itu. Lebih hebat lagi muncul orang-orang aneh yang merampas dirinya dan sekarang ia dibawa lari seperti terbang cepatnya oleh tiga orang aneh itu.
Ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh) dan ilmu berlari cepat dari tiga orang kakek aneh ini memang benar-benar luar biasa sekali. Dalam waktu pendek saja mereka telah turun dari puncak dan telah melalui dua puncak lain dan tiba di sebuah hutan. Hutan ini berada di lereng sebuah puncak lain karena Pegunungan Gobi memang mempunyai banyak puncak yang sebagian besar tidak didiami manusia.
Setelah masuk di dalam hutan lebat ini dan merasa bahwa mereka telah lari cukup jauh, Giam-lo-ong Ci Kui yang tinggi gun dul itu tiba-tiba berhenti, diturut pula oleh dua orang sutenya Agaknya bagi Si Gundul ini teringat bahwa sejak tadi ia mengempit tubuh seorang anak kecil di bawah lengan kirinya.
Melihat ini, ia menyumpah-nyumpah dan sekali menggerakkan lengan kiri, anak itu terlempar ke dalam semak-semak di pinggir jalan. Tiang Bu merangkak bangun dari semak-semak yang penuh duri itu, pengalaman dilempar ke dalam semak-semak bukan apa-apa lagi baginya. Setelah terlalu menderita, menjerit dan menangis penderitaan kecil tidak dirasakannya lagi dan ia merasa enggan untuk menjerit maupun menangis.
"Kutu busuk! Sejak tadi kau ikut, he? Setan!" Giam-lo-ong Ci Kui memaki dan menyeringai tangan kirinya menggaruk-garuk kepala gundulnya seperti orang kehabisan akal mengapa ia sampai tidak ingat lagi bahwa sejak tadi ia mengempit seorang bocah. "Kalau ingat tadi-tadi, kau sudah kulempar ke dalam jurang!"
"Twa-suheng, kulihat bocah ini ada nyalinya. Sayang kalau dibuang begitu saja. Hati dan otaknya akan menambah semangat," kata Sin-sai-kong Ang Louw Si Muka Singa.
"Juga dia berbakat, kalau sudah tiba waktunya memilih murid, aku mau memilih dia ini," kata Liok-te Mo-ko Ang Bouw Si Muka Burung. Giam-lo-ong Ci .
Kui mengeluarkan suara menghina dari lubang hidungnya. "Hah, mana ada bocah Han mempunyai nyali?" ia mendekati Tiang Bu, memegang leher anak itu dan sekali menyendal, tubuh Tiang Bu terlempar tinggi di udara!
Dapat dibayangkan betapa rasa kaget dan takutnya hati Tiang Bu. Akan tetapi memang betul bahwa anak ini memiliki nyali yang besar. Pula semenjak kecil sering kali ia mendengar dongeng dari Hui Lian tentang orang-orang gagah sehingga pikirannya terbuka dan ia dapat melihat kenyataan. Melihat sikap orang-orang gagah ini, bocah ini sudah dapat menduga bahwa ia tidak akan dapat hidup lebih lama lagi.
Ia pernah mendengar dari ibunya tentang sikap seorang gagah yaitu biarpun menghadapi kematian bernyali seperti harimau, bukan seperti babi. Mengingat semua ini, ketika tubuhnya dilempar ke atas dan mulai melayang turun cepat sekali dan membuat jantungnya berhenti berdetik, ia meramkan mata dan menggigit bibir agar supaya tidak mengeluarkan jerit dan tangis.
Akan tetapi, ia tidak mati terbanting di atas tanah karena tangan Giam-lo-ong Ci Kui sekarang sudah menyambarnya dan melemparkannya perlahan ke atas tanah di mana Tiang Bu jatuh terguling.
"Ha ha ha, apa kubilang? Dia mempunyai nyali naga." kata Ang Louw suara ketawanya seperti singa mengaum.
"Siapa tahu, barangkali dia diam saja saking takutnya. Ji-sute, coba kau tangkap seekor kucing atau anjing untuk mencobanya," kata Giam-lo-ong Ci Kui yang mulai tertarik.
Tiga orang aneh dari utara ini boleh dibilang manusia-manusia aneh yang seperti iblis, kejam, tak mengenal kasihan dan watak mereka buruk mengerikan. Hanya satu hal yang mereka junjung tinggi dan mereka kagumi, yaitu sifat keberanian yang luar biasa.
Kalau saja Tiang Bu memperlihatkan ketakutan, tentu mereka takkan segan-segan membanting mati bocah itu, atau menurut Ang Louw, membelek dadanya memecahkan kepalanya untuk mengambil jantung otaknya sebagai "obat kuat". Akan tetapi Tiang Bu memperlihatkan sikap yang berani sekali, maka mereka mulai menjadi tertarik. Berani dan pendiam, sikap ini selain mengagumkan mereka, juga membuat mereka suka sekali.
Ang Bouw berkelebat pergi bagaikan iblis menghilang, dan tak lama kemudian dia sudah kembali memanggul seekor harimau. Inilah agaknya yang dimaksudkan “kucing” oleh Giam-lo-ong Ci Kui tadi. Menangkap seekor harimau seperti menangkap kucing saja, benar-benar dari sini sudah dapat dibayangkan betapa hebat kepandaian Ang Bouw. Ia memanggul harimau itu, empat kaki harimau dipegang dengan satu tangan dan lain tangan memutar leher. Dengan cara demikian ia memanggul harimau itu dengan enaknya tanpa si raja hutan dapat berkutik sedikit pun juga!
Setelah tiba di tempat itu, Liok-te Mo-ko Ang Bouw lalu menurunkan harimau itu di depan Tiang Bu yang sudah duduk di atas tanah dengan tenang. Harimau itu mengaum dan meronta marah, akan tetapi ia tidak berdaya di dalam pegangan Ang Bouw. Kini ia melihat seorang bocah di depan mulutnya, bocah yang merupakan makanan dan daging yang empuk, ia mencium-cium dengan hidungnya berkembang-kempis, seperti seekor kucing yang lebih dulu mencium-cium makanan yang hendak dimakannya.
Dapat dibayangkan betapa takut rasa hati Tiang Bu. Ia merasa betapa kulit hidung yang kasar dan dingin dan basah menyentuh-nyentuh seluruh mukanya, betapa kumis harimau yang kasar itu menyikat mukanya menimbulkan rasa perih. Apalagi sepasang mata harimau itu mendatangkan kengerian di dalam hatinya. Bau harimau itu memuakkan perutnya dan suaranya menggereng-gereng membuat jantungnya meloncat-loncat keras. Akan tetapi dengan seluruh kekuatan, anak ini menggigit bibir dan menghadapi, harimau itu dengan mata terbelaiak memandang tabah.
"Hayo, kucing terkam dia, robek-robek dadanya, cokel keluar matanya! Bikin dia menjerit-jerit minta ampun! Ha ha ha!" Ci Kui berteriak-teriak menakut-nakuti Tiang Bu.
Harimau yang tadinya kebingungan itu, yang tadinya marah akan tetapi tidak berdaya, sekarang menimpakan kemarahannya kepada anak kecil yang duduk di depannya. Ia mulai menampar dengan kaki depan yang kanan. Tamparan ini mengenai pundak Tiang Bu merobek baju dan kulit pundaknya, dan membuat ia terguling-guling. Air mata meloncat, keluar dari mata anak itu, pundaknya berdarah dan bibirnya yang tebal itu pun berdarah saking kerasnya ia menggigit bibir yang menahan sakit dan menahan keluarnya tangis atau jeritan. Biarpun air matanya mengucur, sedikit pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya.
Tiga orang kakek Pak-kek Sam-kui ini tertawa bergelak-gelak dan berteriak-teriak, agar harimau itu menyerang terus. Mencium bau darah yang segera dijilat-jilat dari kuku kaki depannya, harimau itu menjadi buas. Ia menubruk lagi, mempermainkan tubuh Tiang Bu seperti seekor kucing main-main dengan bola karet. Akan tetapi tiap kali ia mau menggigit anak itu, ia menerima pukulan atau ekornya ditarik dari belakang oleh Ci Kui. Memang bukan maksud Ci Kui untuk membunuh anak ini. I a hendak menguji ketabahan Tiang Bu. Sekali saja Tiang Bu menjerit takut atau menangis tentu ia akan mengajak dua orang sutenya pergi meninggalkan Tiang Bu untuk menjadi mangsa harimau. Akan tetapi melihat anak itu belum juga mengeluarkan jeritan, ia selalu menahan apabila harimau hendak menggigit.
Tubuh Tiang Bu terasa sakit semua, pakaiannya robek-robek tidak karuan dan darah memenuhi pakaian dan mukanya. Giginya tertanam dalam-dalam di bibirnya yang mengucurkan darah karena gigitannya sendiri. Akhirnya saking terlampau banyak mengeluarkan darah dan seluruh tubuhnya lemas tak berdaya lagi ia menjadi pingsan. Tubuhnya seperti sudah menjadi mayat saja, tidak bergerak lagi dalam permainan harimau.
"Dia pingsan" kata Sin-sai-kong Ang Louw.
Terdengar suara keras dan kepala harimau itu pecah berantakan terkena pukulan tangan Ang Louw yang lebih hebat daripada pukulan martil besi lima puluh kilo.
"Dia betul-betul bernyali besar!" kata Ci Kui kagum. la menghampiri tubuh anak yang sudah mandi darah itu, lalu merawat dan memberi obat dengan pandangan mata sayang. "Anak baik, murid baik..." berkali-kali ia bicara sedangkan kedua tangannya bekerja. Ia membersihkan darah dengan lidahnya sendiri yang menjilat-jilat darah itu sampai bersih.
Kemudian Ci Kui mengeluarkan bungkusan, dibukanya dan ternyata isinya adalah obat-obat bubuk bermacam-macam. Diobatinya luka-luka di tubuh Tiang Bu dengan obat dan ditotoknya jalan darah anak itu di beberapa bagian sehingga Tiang Bu menjadi siuman kembali. Ia merasa tubuhnya sakit-sakit semua dan lemas sekali. Setelah luka-lukanya dijilati oleh Giam-lo-ong Ci Kui, rasanya lebih sakit dan perih daripada tadi. Ia meringis dan menahan rasa sakit sampai pingsan lagi. Bukan main hebatnya penderitaan anak ini. Ketika Tiang Bu membuka matanya perlahan-lahan, hari telah senja dan tubuhnya terasa sejuk dan nyaman sekali.
Tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang mendengkur. I a hendak bangkit akan tetapi mendapat kenyataan bahwa tubuhnya terikat, kaki tangan dan pinggangnya terikat pada sebuah cabang pohon yang besar. Ketika ia melirik ke kanan kiri, ia melihat tiga orang kakek itu tidur malang melintang di atas cabang-cabang pohon, tidur begitu saja di atas cabang pohon yang lebih kecil daripada tubuh mereka tanpa diikat dan mereka enak-enak mendengkur!
Tiang Bu melirik ke bawah dan wajahnya yang sudah pucat itu menjadi makin pucat ketika melihat bahwa mereka berempat itu berada di atas pohon yang tinggi sekali. Akan tetapi rasa ngerinya hilang ketika ia teringat bahwa tubuhnya diikat dengan kuat pada cabang pohon hingga tak mungkin ia jatuh ke bawah. Kini ia mulai memperhatikan tiga orang kakek itu dengan heran sekali, juga geli karena cara mereka tidur dan mendengkur lucu sekali.
Si Gundul itu tidur miring di atas cabang kecil, kepalanya sudah tergantung ke bawah seperti menjadi buah dari pohon itu dan kaki kirinya menindih muka Si Muka Burung dekat sekali dengan hidungnya. Si Muka Burung ini tidur telentang dengan kedua kaki tergantung ke bawah dari kanan kiri cabang, hidungnya kembang-kempis dan dengkurnya disertai suara dari hidung seperti orang yang merasa jijik mencium bau yang tidak enak dari kaki suhengnya.
Si Muka Singa tidur terpisah telungkup dengan muka miring, dengkurnya keras sekali sehingga ranting pohon berikut daun-daunnya yang berada di depan mukanya, sebentar tertiup pergi sebentar tersedot sampai menutupi mukanya.
Geli hati Tiang Bu melihat semua ini. Apalagi ketika ia melihat ranting dan daundaun di depan muka Ang Louw itu seperti menggelitik lubang hidung Si Muka Singa sehingga Si Muka Singa berbangkis beberapa kali dan dengan mata masih meram ia menggerakkan tubuh, miring ke kanan. Hampir saja Tiang Bu berteriak ketika melihat betapa tubuh itu miring dan seperti hampir terguling dari atas dahan. Namun, ajaib sekali, biarpun tubuh itu sudah lebih setengahnya berada di bawah dahan, tetap saja Ang Louw tidak terguling ke bawah, seakan-akan tubuhnya telah lekat pada dahan pohon itu!
"Hi hi hi hi...!" Tiang Bu tak dapat menahan gelak ketawanya. Suara bocah ini nyaring sekali biarpun ia berada dalam keadaan sakit.
Tiba-tiba tiga orang kakek itu serentak melompat bangun dari tidurnya dan tentu saja karena mereka melompat, tubuh mereka semua terguling ke bawah!
"Celaka!" Tiang Bu berseru lirih melihat hal ini. Akan tetapi di lain saat, bagaikan tiga ekor burung besar yang beterbangan kacau-balau terdengar suara keras dan tiga orang kakek itu sudah berada di atas dahan pula. Mata mereka terbelalak dan dengan liar memandang ke kanan kiri.
"Mana siluman wanita itu?" Liok-te Mo-ko Ang Bouw bertanya sambil memandang ke kanan kiri.
"Mana dia Ang-jiu Mo-li?" Sin-saikong Ang Louw juga ikut bertanya, suaranya terdengar gentar. Ci Kui mendekati Tiang Bu dan memegang lengannya.
"Bocah, apakah kau tadi melihat seorang wanita muda cantik berlengan merah di dekat sini?" tanyanya.
"Aku tidak melihat siapa-siapa kecuali kalian bertiga." jawab Tiang Bu terheran-heran. Bukan hanya heran karena pertanyaan ini, terutama sekali heran melihat bahwa orang-orang seperti ini, masih mengenal takut.
"Tolol kau. Apa telingamu tuli?" Ci Kui membentak sambil melotot, "baru saja dia tertawa di dekat sini!"
Mendengar kata-kata ini, Tiang Bu mengerti bahwa tiga orang kakek ini telah salah duga. Suara ketawanya dianggap sebagai suara ketawa seorang iblis wanita yang bernama Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Bertangan Merah)! Mengingat ini, ia menjadi geli hati dan tak dapat ditahannya pula ia tertawa.
"Hi hi hi hi... lucu sekali..."
Tiga orang kakek ini melongo, saling pandang kemudian tertawa bergelak. Ci Kui lalu melepaskan tali yang mengikat tubuh Tiang Bu dan membantu anak itu duduk di atas cabang. Tiang Bu berpegang erat-erat pada ranting pohon supaya jangan terguling ke bawah.
"Anak baik, kau bernyali besar dan ketawamu seperti iblis wanita. Ha ha ha! Siapakah namamu?"
Tiang Bu berpikir sebentar. Teringat ia akan ucapan-ucapan Siok Li Hwa tentang orang tuanya dan ia menjadi ragu-ragu. Benarkah Coa Hong Kin dan Go Hui Lian itu bukan ayah bundanya? Ayahnya tampan sekali ibunya cantik jelita, juga adiknya Lee Goat yang baru berusia dua tahun sudah kelihatan cantik mungil. Akan tetapi dia? Banyak pelayan mengatakan bahwa rupanya seperti setan cilik! Akan tetapi, untuk percaya omongan Hui-eng Niocu, ia pun masih ragu-ragu karena ia benci kepada Li Hwa.
"Namaku Tiang Bu," akhirnya ia menjawab, tanpa menyebutkan shenya karena ia masih ragu-ragu tentang ayah bundanya.
"Kau anak siapa?"
"Aku... yatim piatu, dan aku tidak tahu siapa ayah bundaku..." kata-kata ini ia ucapkan dengan sejujurnya karena memang pada saat itu ia merasa ragu-ragu dan tidak tahu siapakah sebetulnya ayah bundanya. Ia masih belum mau percaya omongan Siok Li Hwa. Pendeknya, untuk saat itu ia tidak tahu betul siapa gerangan ayah bundan ya yang sesungguhnya.
"Kenapa kau bisa diperebutkan oleh Wan-bengcu dan Hui-eng Niocu?" tanya pula Ci Kui.
"Aku tidak tahu sebab-sebabnya. Akan tetapi Hui-eng Niocu memaksaku menjadi muridnya, lalu datang laki-laki yang tak kukenal itu merampasku dari tangan Huieng Niocu."
"Ah, ah, tak salah lagi. Dua orang itu sudah melihat bakat baik dalam dirinya, Suheng. Maka mereka berebut untuk mengambil murid padanya," kata Sin-saikong Ang Louw.
"Betul begitu kiranya," Ci Kui mengangguk-angguk. "Memang bocah ini berjodoh dengan kita. Kalau kita bertiga mengajarnya, kelak dia akan membikin harum nama kita."
"Tiang Bu, mulai sekarang kau menjadi murid Pak-kek Sam-kui, hayo kau berlutut memberi hormat," kata Sin-sai-kong Ang Louw yang kegirangan sekali karena memang sejak ia melihat Tiang Bu, ia sudah ingin mengambil anak itu sebagai muridnya.
Biarpun baru berusia lima tahun, Tiang Bu memang seorang bocah yang cerdik luar biasa. Ia maklum bahwa ia berada di dalam cengkeraman tiga orang yang jahat dan lihai seperti iblis, dan bahwa ia tidak berdaya sama sekali dan tidak mempunyai pilihan lain kecuali mentaati segala kehendak tiga orang itu. Juga ia maklum bahwa tiga orang ini tidak membunuhnya, bahkan mengambilnya sebagai murid hanya berkat ketabahan yang telah ia perlihatkan.
Maka, mendengar perintah Ang Louw, ia lalu berlutut di atas dahan itu, sama sekali tidak takut terguling karena ia yakin bahwa tiga orang gurunya takkan membiarkan ia jatuh terguling. Anehnya, karena pikiran ini, ia memperoleh ketenangan dan kalau tadinya ia merasa sukar sekali untuk menahan dirinya agar jangan jatuh, sekarang ia merasa mudah saja berdiri atau duduk di atas dahan, bahkan ia dapat berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada tiga orang kakek itu tanpa kehilangan keseimbangan tubuhnya.
Demikianlah, mulai saat itu, Tiang Bu telah menjadi murid tiga orang tokoh besar dari utara yang kepandaiannya tinggi sekali dan memiliki watak aneh dan jahat seperti setan. Dengan bergiliran mereka mulai memberi pelajaran ilmu silat kepada Tiang Bu yang ternyata benar-benar mempunyai bakat yang luar biasa dalam ilmu ini. Pelajaran ini diberikan sambil melakukan perjalanan, yaitu menuju ke selatan, melewati Sungai Yangce, meninggalkan daerah Cin dan memasuki daerah, Sung.
Siapakah sebetulnya Pak-kek Sam-kui dan apa tujuan mereka pergi ke daerah Kerajaan Sung?
Tiga orang kakek ini sebetulnya adalah tiga di antara banyak sekali orang-orang pandai yang membantu Temu Cin, raja dari bangsa Mongol yang mulai bangkit dan kuat. Masih banyak orang-orang yang selihai mereka ini, bahkan ada yang lebih lihai lagi, yang masih berada di Mongol membantu Temu Cin menaklukkan semua suku bangsa di utara yang masih belum mau tunduk.
Adapun Pak- kek Sam-kui tadinya diutus oleh Temu Cin untuk menemui Wan-bengcu di Lu-liang-san dan mengundang bengcu muda yang tersohor namanya itu. Tentu saja maksud Temu Cin adalah hendak menarik hati bengcu ini, karena adalah menjadi cita-citanya untuk kelak menyerbu ke selatan dan paling baik ia mendekati orang-orang gagah di selatan. Kalau sampai mereka ini mau membantunya, tentu kedudukannya menjadi makin kuat. Temu Cin amat cerdik dan pandai mengambil hati orang-orang gagah. Untuk membagi hadiah ia berlaku royal sekali.
Akan tetapi sebagaimana telah dituturkan di bagian atas, Wan-bengcu tidak mau menerima undangan itu, bahkan mereka menjadi bentrok dengan Hui-eng Niocu yang kebetulan berada di Lu-liang-san. Semua ini mereka laporkan kepada Temu Cin yang menyatakan kekecewaannya, kemudian tiga orang kakek ini disuruh mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw di daerah selatan, yaitu di wilayah Negara Sung.
Berangkatlah Pak-kek Sam-kui. Mereka teringat akan hinaan yang mereka peroleh ketika di Lu-liang-san oleh Hui-eng Niocu, maka sambil membawa pasukan yang kuat, mereka singgah di Go-bi-san yang dekat dengan perbatasan negaranya untuk melakukan balas dendam, kalau perlu membasmi Hui-eng- pai. Akan tetapi siapa kira di situ mereka bertemu pula dengan Wan-bengcu yang membantu Hui-eng Niocu sehingga tiga orang kakek ini mengalami kekalahan dan terpaksa melarikan diri sambil membawa Tiang Bu yang dianggap sebagai penebus kekalahan mereka.
Dengan berhasil menculik murid Hui-eng Niocu atau bahkan calon murid Wan-bengcu, tiga orang kakek ini sudah merasa puas dan mereka tidak mempedulikan lagi nasib pasukan yang mereka tinggalkan.
Pada suatu hari, setelah mereka melakukan perjalanan melalui Propinsi Shen-si dan Se-cuan mereka melintasi Sungai Yang-ce dan tiba di sebuah dusun di Propinsi Kwicu. Dusun ini terkenal sebagai tempat di mana seringkali terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara orang-orang di daerah selatan. Di sebelah selatan dusun ini terletak kota Cun-yi yang menjadi pusat perkumpulannya orang-orang gagah. Ke kota inilah yang menjadi tujuan Pak-kek Sam-kui.
Akan tetapi oleh karena hari sudah mulai gelap ketika mereka tiba di dusun Ui-cun itu, mereka lalu bermalam di sebuah kelenteng yang sudah rusak dan nampak kotor karena tidak terurus. Ketika mereka memasuki kelenteng yang tidak berdaun pintu lagi itu, di dalam banyak terdapat sarang laba-laba. Bau tempat itu pun tidak enak sekali, tanda bahwa selain tidak terurus, juga tempat ini kotor sekali, berbau kencing dan kotoran manusia. Baru masuk saja Tiang Bu sudah merasa muak. Akan tetapi Pak-kek Sam-kui dengan enaknya terus saja masuk dan melempar tubuh di atas lantai.
"Siauw-sute, coba kau cari makanan dan terutama minuman, aku merasa haus sekali," kata Ci Kui kepada Ang Louw.
Si Muka Singa ini terkekeh-kekeh, kemudian tubuhnya berkelebat dan lenyaplah ia. Hanya bayangannya saja yang berkelebat cepat keluar dari pintu. Baru saja Sin-saikong Ang Louw keluar, terdengar dengkur dua orang kakek yan g rebah di atas lantai!
Tiang Bu duduk bersila setelah membersihkan lantai di sudut ruangan itu, mengenangkan semua pengalamannya. Biarpun ia harus hidup tidak karuan, kadang-kadang dua hari tidak makan dan ada kalanya perutnya dipenuhi makanan lezat tiada habis-habisnya sampai kekenyangan, kadang-kadang ia disuruh berlari-lari naik turun gunung akan tetapi karena tiga orang gurunya tidak sabar melihat kelambatannya, ia lebih sering digendong, namun tak boleh disangkal bahwa tiga orang gurunya yang buruk watak itu memperlakukan dengan baik.
Telah ribuan li ia melakukan perjalanan bersama Pak-kek Sam-kui dan telah berbulan-bulan ia mengikuti mereka. Dan dia mendapatkan sesuatu yang amat menonjol pada diri tiga orang kakek yang kasar dan jahat itu, yaitu watak setia kawan di antara mereka bertiga.
Tak lama kemudian terdengar suara terkekeh-kekeh dari Si Muka Singa. Keadaan di dalam ruangan kelenteng itu sudah gelap. Hanya Tiang Bu yang masih belum tidur, anak ini duduk mengatur pernapasannya seperti yang ia pelajari dari guru-gurunya dan menahan lapar yang menggerogoti isi perutnya. Hanya ada angin menyambar ketika Ang Louw masuk ke dalam ruangan itu dan tak lama kemudian nampak api menyala dan tiga batang lilin dipasang oleh Si Muka Singa ini di atas meja sembahyang yang sudah bobrok.
Selain lilin menyala ini, juga di atas meja kelihatan sepanci besar mi dan di sebelahnya terlihat hiolouw (tempat abu hio) besar sekali yang terisi arak wangi! Dan lucunya, dua orang kakek yang tadinya tidur mendengkur, seperti disiram air dingin, tiba-tiba melompat bangun dan berteriak-teriak.
"Arak! Arak...!" Mereka tertawa dan menyerbu meja. Bergantian tiga orang kakek ini minum arak wangi itu dari hiolouw besar begitu saja tanpa cawan lagi.
"Enak... enak... eh, Sute, kau mendapatkan arak dan mie ini dari mana?" kata Liok-te Mo-ko Ang Bouw.
Adapun Giam-lo-ong Ci Kui lalu memanggil Tiang Bu untuk ikut makan mi yang ternyata memang enak sekali. Untuk minum arak dengan mengangkat hiolouw itu, tentu saja Tiang Bu tidak kuat, maka ia lalu minum arak menggunakan tangannya yang dijadikan pengganti cawan! Anak berusia lima tahun ini sekarang sudah biasa minum arak keras.
Setelah tertawa bergelak, Ang Louw menjawab pertanyaan ji-suhengnya. "Di dusun seperti ini, mana ada warung arak yang baik? Mana ada masakan mie yang selezat ini? Aku sudah putar-putar dan hanya mendapatkan warung arak yang menjual arak campur air. Baiknya hidungku tajam, aku mencium bau arak wangi keluar dari sebuah kelenteng. Ketika aku masuk ke dalam, kulihat lima orang hwesio muda menghadapi arak dan masakan mie ini. Aku totok mereka, aku kumpulkan mie dalam panci dan karena di sana tidak ada guci besar, aku lalu mengambil hio-louw kelenteng itu, menuang-nuangkan semua arak dari guci kecil, dan membawa semua ini ke sini setelah menyambar tiga buah lilin."
Kembali tiga orang itu tertawa, tergelak. Sebentar saja mie yang sepanci besar banyaknya telah habis, pindah ke dalam perut empat orang, ada sepuluh kati lebih dan arak sehiolouw penuh itu. Dan tak lama kemudian terdengar dengkur mereka, dan kali ini Tiang Bu juga ikut tidur pula setelah perutnya diisi.
Di atas meja sembahyang yang bobrok itu hanya kelihatan sisa-sisa makanan, dan hiolouw bekas tempat arak telah terguling miring di atas meja, sedikit sisa arak mengalir keluar membasahi meja...
"Niocu, harap Niocu ingat akan peraturan kita. Usir laki-laki kurang ajar ini dan biarkan ahli-ahli kita mengobati Niocu." kata seorang di antara mereka. Dia ini adalah Toanio yang tertua dan yang paling lihai kepandaiannya di antara kawan-kawannya, nama julukannya Pek-eng Toanio (Nyonya Garuda Putih).
"Aku tidak mau diobati orang lain! Sin Hong, mari antarkan aku kembali ke puncak dan kau obati aku sampai sembuh”
Sin Hong ragu-ragu dan tidak tahu harus berkata apa. Sementara itu, Pek-eng Toanio berkata lagi, suaranya kaku. "Niocu, betul-betul sudah lupakah kau akan aturan-aturan yang diadakan oleh Nio-nio dahulu? Tidak diperbolehkan laki-laki, hidup atau mati, berada di tempat tinggal kita! Setiap anggauta yang berani memasukkan seorang pria, hukumannya mati dan peraturan ini berlaku baik bagi seorang pelayan sampai ketuanya sendiri Niocu, biarpun kau sendiri, tidak boleh membawa orang ini naik ke atas. Itu pelanggaran besar namanya, dan kami tidak boleh tinggal diam saja."
Li Hwa marah, "Pek-eng Toanio kau mengandalkan apamu maka berani bicara seperti ini di depanku? Biarpun kau dan enam belas orang Suci yang lain, takkan mampu menahan aku seorang. Aku sekarang sedang terluka, mungkin tak berdaya. Akan tetapi tahukah kau akan kelihaian Wan-bengcu ini yang sepuluh kali lebih lihai daripada aku? Jangan kan baru kalian tujuh belas Cap-jit Toanio, biarpun seluruh Hui-eng-pai ditambah beberapa kali lipat takkan mampu menahannya kalau dia membawaku ke atas."
"Apa boleh buat, Niocu. Biarpun sampai mati semua, kami tetap akan menentang siapapun juga menghina perkumpulan kami dan melanggar peraturan yang diadakan oleh Nio-nio!" jawab Pek-eng Toanio.
"Kau mau melawan?" Tiba-tiba tangan Li Hwa bergerak. Sinar hijau menyambar dan Pek-eng Toanio mengeluh roboh pingsan. Ia telah menjadi korban Cheng-jouw-ciam (Jarum Rumput Hijau) yang lihai dari Li Hwa! "Baru kau tahu kelihaianku," gerutunya, agak menyesal bahwa ia terpaksa harus merobohkan orang sendiri. Akan tetapi enam belas orang wanita yang lain tetap berdiri tegak, bahkan mereka berkata tegas.
”Pek-eng Toanio betul, Niocu. Kami terpaksa menghalangi kehendak Niocu, biarpun kami harus berkorban nyawa untuk memegang teguh peraturan dari Nio-nio almarhum."
Li Hwa marah bukan main. "Sin Hong, pondong aku dan bawa ke atas! Jangan kau pedulikan perawan-perawan tua ini, sapu saja siapa yang berani merintangi kita!" katanya kepada Sin Hong.
Akan tetapi Sin Hong tidak bergerak. Ia telah selesai mengobati paha Li Hwa dan telah membalutnya. Selama pertengkaran itu, ia tidak mencampuri, hanya melanjutkan pengobatannya. Sekarang setelah selesai dan mendengar kata-kata Li Hwa itu, ia tidak menurut, bahkan menarik napas panjang dan berkata.
"Tidak, Li Hwa. Kau yang keliru, mereka itu benar. Pulanglah kau dan beristirahatlah. Aku harus mencari Tiang Bu dan merampasnya kembali dari tangan Pak-kek Sam-kui."
"Aku tidak mau!" Li Hwa menjerit dan beberapa titik air mata melompat keluar dari matanya. "Aku takkan kembali ke puncak, aku tidak sudi lagi menjadi ketua Hui-eng-pai. Aku mau ikut kau mencari Tiang Bu, karena akulah yang bertanggung jawab atas kehilangannya."
"Jangan, Li Hwa, kau masih terluka dan..."
"Kau sembuhkan aku lebih dulu, atau kau boleh meninggalkan aku mampus di sini, karena kau tidak mau membawa aku, aku pun tidak sudi kembali ke atas, aku... biarlah kalian semua meninggalkan aku di sini, biar mampus dimakan srigala..." Dan ketua Hui-eng-pai yang gagah berani dan tak kenal takut itu sekarang menangis tersedu-sedu.
Sementara itu, Pek-eng Toanio telah siuman kembali setelah ditolong oleh kawan-kawannya. Melihat keadaan ketua mereka, ia menghela napas dan sebagai seorang yang sudah berpengalaman ia maklum bahwa ketuanya sampai berbuat begitu aneh bukan lain adalah karena gadis itu telah tergila-gila dan cinta kepada Wan Sin Hong.
"Wan-bengcu, terserah kepadamu apakah kau hendak membiarkan Niocu mati di sini ataukah hendak menolongnya. Kami tak berdaya, dan mati hidup Niocu berada di tanganmu." Setelah berkata demikian, tujuh belas orang rombongan pemimpin Hui-eng-pai ini lalu mengajak semua anak buah mereka kembali ke puncak.
Dengan air mata masih mengucur, Li Hwa berkata kepada Sin Hong. "Wan Sin Hong, kau pergilah, kau tinggalkanlah aku. Aku tahu, selama ini aku telah berlaku bodoh, bahkan sampai sekarang aku masih bodoh dan gila. Aku mencintamu sedangkan kau kau tidak peduli sama sekali kepadaku. Aku memang seorang gadis tidak berharga... biarlah aku mati di sini, tak patut seorang bengcu seperti kau dekat dengan seorang hina seperti aku..."
Sin Hong menarik napas panjang. Benar-benar luar biasa sekali, gadis ini. Di suatu saat bersikap keras dan galak seperti iblis wanita, di lain saat dapat berlaku lemah lembut dan mengalah, menimbulkan kasihan.
"Li Hwa, kau memang aneh. Kalau kau mau dibawa pulang dan dirawat oleh orang-orangmu, bukankah hal ini sudah beres? Akan tetapi kau tidak mau dan kau rela mati kalau aku tidak mau membawamu bersamaku. Ahh... apakah yang harus kulakukan? Meninggalkan kau membunuh diri di sini, benar-benar aku tidak tega. Apalagi kau telah menjadi korban senjata karena membantu aku menghadapi setan'setan dari utara itu."
"Pergilah, jangan memikirkan orang seperti aku ini..."
"Tidak mungkin. Aku tidak akan meninggalkan kau, Li Hwa. Biar aku mengobati lukamu sampai kau sembuh dan dapat berjalan lagi."
Wajah Li Hwa mulai berseri akan tetapi ia tetap cemberut. "Akan tetapi aku tidak mau pergi dari sini, aku mau mati di sini."
"Aku pun akan menunggumu di sini."
"Di tempat ini siang malam? Menahan serangan angin dan hujan?"
"Mengapa tidak? Kalau kau kuat, aku pun tentu kuat menahan." jawab Sin Hong mendongkol juga menghadapi gadis yang aneh wataknya ini. Tanpa ia ketahui. Li Hwa kini tersenyum, penuh kemenangan.
"Sin Hong, kau benar-benar berhati mulia. Kakakku yang baik, aku tidak nanti mau tinggal siang malam di tempat terbuka ini. Lihat, di sebelah utara sana, kurang lebih satu li dari sini, terdapat sebuah gua besar di bukit batu karang. Kita dapat sementara waktu tinggal di sana sampai kakiku sembuh. Di sana kita dapat berlindung dari angin dan hujan, juga dari serangan binatang buas di waktu malam". Ketika mengeluarkan ucapan ini suaranya ramah-tamah dan manis sekali.
Sin Hong yang mendengar perubahan suara ini cepat menengok dan memandang, akan tetapi lebih cepat lagi Li Hwa sudah mengubah lagi mukanya sehingga tidak kelihatan seri gembira yang tadi membayang di situ.
"Hm, akhirnya, ternyata kau bukan seorang yang sudah nekat kepingin mati." gerutunya sambil berdiri. "Mari kupondong kau.ke sana."
"Kau tidak malu memondong aku?" Li Hwa pura-pura bersungut-sungut, padahal hatinya berdebar girang.
Sin Hong tidak menjawab, melainkan membungkuk dan memondong tubuh gadis itu. Ketika kedua lengannya merasa betapa hangat tubuh Li Hwa dalam pondongannya, ia berdebar dan mukanya merah. Untuk menghilangkan perasaan dan menghibur hatinya sendiri, ia berkata, suaranya seperti orang mendongkol.
”Mengapa mesti malu memondongmu? Dalam keadaan terpaksa seperti ini memondongmu tidak melanggar kesopanan. Apalagi memondong, bahkan aku telah... telah... mengobati pahamu..."
Ingin Sin Hong menampar mulutnya sendiri, karena kata-kata ini seperti melompat saja dari mulutnya. Kata-kata ini bukan menghibur dan menghilangkan debar hati dan merah mukanya, bahkan menambah! Apalagi ketika terasa olehnya betapa pinggir dada Li Hwa yang menempel di lengannya berdebar-debar keras dan melihat sepasang pipi gadis itu menjadi merah sampai ke telinga sedangkan kedua matanya dipejamkan!
"Sin Hong, kau memang seorang laki-laki berhati mulia, seorang laki-laki tahan uji dan sopan, pemalu dan canggung. Karena itulah aku cinta kepadamu," kata Li Hwa dengan sepasang mata masih terpejam.
Kata-kata ini membuat Sin Hong makin bingung sehingga jalan kakinya tidak tetap. "Hush, jangan bicara tentang cinta lebih baik kaki kananmu itu jangan bergerak-gerak nanti sambungan tulangnya tidak betul lagi."
Akan tetapi Li Hwa seperti sengaja menggerak-gerakkan kaki kanannya, Sin Hong memandang heran dan marah, kemudian ia melepaskan tangan kiri yang memondong, dan menotok pinggang kanan gadis itu. Kaki kanan Li Hwa menjadi lumpuh tak dapat bergerak-gerak lagi
"Nah, sekarang bergeraklah kalau bisa," katanya, tersenyum puas dapat memberi "pelajaran" kepada gadis nakal itu.
Akan tetapi Li Hwa tidak menjadi marah karena totokan yang membuat ia tidak berdaya menggerakkan kakinya itu. Sebaliknya ia berkata dengan nada menggoda. "Kau tahu Sin Hong? Setiap kali kau bermaksud meninggalkan aku seorang diri, aku akan menggerak-gerakkan kaki kananku supaya lukanya pecah dan tulangnya putus kembali. Kalau kau menotokku terus sampai kakiku sembuh akan kupukul patah sendiri supaya jerih payahmu sia-sia."
Sin Hong mengerutkan keningnya, "Mengapa kau seaneh ini, Li Hwa? Mengapa kau hendak melakukan hal itu"
"Habis, tujuan hidupku hanya dua macam. Hidup di sampingmu atau mati, habis perkara. Selama kau mau membawaku bersamamu, aku malah takut mati. Akan tetapi kalau kau meninggalkan aku, aku jadi takut hidup. Mengertikah kau?"
Seluruh muka Sin Hong berkerut-kerut dan ia berpikir keras. Akan tetapi tetap saja ia tidak mengerti watak gadis yang dianggapnya aneh ini. Bagi orang yang sudah tahu akan racun dan madu asmara, watak atau sikap yang diperlihatkan Li Hwa ini sama sekali tidak aneh. Akan tetapi, biarpun ia memiliki kepandaian yang sudah berada di tingkat tinggi sekali dan pengalamannya bertempur, sudah banyak sekali, namun dalam hal asmara, Sin Hong boleh dibilang masih "hijau”.
Demikianlah, Sin Hong membawa Li Hwa ke gua yang ditunjuk oleh gadis itu dan tinggal di situ berdua dengan Li Hwa untuk merawat dan mengobati paha Li Hwa yang patah tulangnya. Sikapnya selalu sopan dan ia menjaga keras agar selalu ingat dan sadar, jangan sampai terpengaruh oleh nafsu dan jangan sampai melanggar kesusilaan. Ia bersikap sopan sekali, ya, terlalu sopan sehingga kadang-kadang membikin mengkal hati Li Hwa!
********************
Kita tinggalkan dulu dua orang ini dan mari kita mengikuti pengalaman Tiang Bu, bocah yang dalam usia paling banyak lima tahun telah mengalami hal-hal yang hebat itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, baru saja kakinya yang patah tulangnya sembuh, ia dipaksa menjadi murid Hui-eng-pai dan bersumpah, kemudian mendengar cerita tentang ayah-bundanya yang menggores dalam-dalam di hati dan pikiran anak kecil ini.
Ia menjadi bingung sekali kalau memikirkan kata-kata Hui-eng Niocu Siok Li Hwa bahwa ia bukanlah putera Coa Hong Kin dan Go Hui Lian yang selama ini memang ia anggap ayah-bundanya, melainkan putra Liok Kong Ji dan Gak Soan Li, dua nama yang sama sekali asing baginya dan baru sekali ini didengarnya dari mulut Li Hwa.
Akan tetapi karena urusannya menggores di hatinya, dua nama ini menempel dalam ingatannya dan tidak terlupakan lagi. Kemudian ia mengalami perebutan atas dirinya antara seorang laki-laki gagah yang tak dikenalnya dan Siok Li Hwa, akan tetapi di dalam hati ia memihak laki-laki itu karena maklum bahwa laki-laki itu hendak menolongnya dari tangan ketua Hui-eng-pai yang tak disukanya itu. Lebih hebat lagi muncul orang-orang aneh yang merampas dirinya dan sekarang ia dibawa lari seperti terbang cepatnya oleh tiga orang aneh itu.
Ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh) dan ilmu berlari cepat dari tiga orang kakek aneh ini memang benar-benar luar biasa sekali. Dalam waktu pendek saja mereka telah turun dari puncak dan telah melalui dua puncak lain dan tiba di sebuah hutan. Hutan ini berada di lereng sebuah puncak lain karena Pegunungan Gobi memang mempunyai banyak puncak yang sebagian besar tidak didiami manusia.
Setelah masuk di dalam hutan lebat ini dan merasa bahwa mereka telah lari cukup jauh, Giam-lo-ong Ci Kui yang tinggi gun dul itu tiba-tiba berhenti, diturut pula oleh dua orang sutenya Agaknya bagi Si Gundul ini teringat bahwa sejak tadi ia mengempit tubuh seorang anak kecil di bawah lengan kirinya.
Melihat ini, ia menyumpah-nyumpah dan sekali menggerakkan lengan kiri, anak itu terlempar ke dalam semak-semak di pinggir jalan. Tiang Bu merangkak bangun dari semak-semak yang penuh duri itu, pengalaman dilempar ke dalam semak-semak bukan apa-apa lagi baginya. Setelah terlalu menderita, menjerit dan menangis penderitaan kecil tidak dirasakannya lagi dan ia merasa enggan untuk menjerit maupun menangis.
"Kutu busuk! Sejak tadi kau ikut, he? Setan!" Giam-lo-ong Ci Kui memaki dan menyeringai tangan kirinya menggaruk-garuk kepala gundulnya seperti orang kehabisan akal mengapa ia sampai tidak ingat lagi bahwa sejak tadi ia mengempit seorang bocah. "Kalau ingat tadi-tadi, kau sudah kulempar ke dalam jurang!"
"Twa-suheng, kulihat bocah ini ada nyalinya. Sayang kalau dibuang begitu saja. Hati dan otaknya akan menambah semangat," kata Sin-sai-kong Ang Louw Si Muka Singa.
"Juga dia berbakat, kalau sudah tiba waktunya memilih murid, aku mau memilih dia ini," kata Liok-te Mo-ko Ang Bouw Si Muka Burung. Giam-lo-ong Ci .
Kui mengeluarkan suara menghina dari lubang hidungnya. "Hah, mana ada bocah Han mempunyai nyali?" ia mendekati Tiang Bu, memegang leher anak itu dan sekali menyendal, tubuh Tiang Bu terlempar tinggi di udara!
Dapat dibayangkan betapa rasa kaget dan takutnya hati Tiang Bu. Akan tetapi memang betul bahwa anak ini memiliki nyali yang besar. Pula semenjak kecil sering kali ia mendengar dongeng dari Hui Lian tentang orang-orang gagah sehingga pikirannya terbuka dan ia dapat melihat kenyataan. Melihat sikap orang-orang gagah ini, bocah ini sudah dapat menduga bahwa ia tidak akan dapat hidup lebih lama lagi.
Ia pernah mendengar dari ibunya tentang sikap seorang gagah yaitu biarpun menghadapi kematian bernyali seperti harimau, bukan seperti babi. Mengingat semua ini, ketika tubuhnya dilempar ke atas dan mulai melayang turun cepat sekali dan membuat jantungnya berhenti berdetik, ia meramkan mata dan menggigit bibir agar supaya tidak mengeluarkan jerit dan tangis.
Akan tetapi, ia tidak mati terbanting di atas tanah karena tangan Giam-lo-ong Ci Kui sekarang sudah menyambarnya dan melemparkannya perlahan ke atas tanah di mana Tiang Bu jatuh terguling.
"Ha ha ha, apa kubilang? Dia mempunyai nyali naga." kata Ang Louw suara ketawanya seperti singa mengaum.
"Siapa tahu, barangkali dia diam saja saking takutnya. Ji-sute, coba kau tangkap seekor kucing atau anjing untuk mencobanya," kata Giam-lo-ong Ci Kui yang mulai tertarik.
Tiga orang aneh dari utara ini boleh dibilang manusia-manusia aneh yang seperti iblis, kejam, tak mengenal kasihan dan watak mereka buruk mengerikan. Hanya satu hal yang mereka junjung tinggi dan mereka kagumi, yaitu sifat keberanian yang luar biasa.
Kalau saja Tiang Bu memperlihatkan ketakutan, tentu mereka takkan segan-segan membanting mati bocah itu, atau menurut Ang Louw, membelek dadanya memecahkan kepalanya untuk mengambil jantung otaknya sebagai "obat kuat". Akan tetapi Tiang Bu memperlihatkan sikap yang berani sekali, maka mereka mulai menjadi tertarik. Berani dan pendiam, sikap ini selain mengagumkan mereka, juga membuat mereka suka sekali.
Ang Bouw berkelebat pergi bagaikan iblis menghilang, dan tak lama kemudian dia sudah kembali memanggul seekor harimau. Inilah agaknya yang dimaksudkan “kucing” oleh Giam-lo-ong Ci Kui tadi. Menangkap seekor harimau seperti menangkap kucing saja, benar-benar dari sini sudah dapat dibayangkan betapa hebat kepandaian Ang Bouw. Ia memanggul harimau itu, empat kaki harimau dipegang dengan satu tangan dan lain tangan memutar leher. Dengan cara demikian ia memanggul harimau itu dengan enaknya tanpa si raja hutan dapat berkutik sedikit pun juga!
Setelah tiba di tempat itu, Liok-te Mo-ko Ang Bouw lalu menurunkan harimau itu di depan Tiang Bu yang sudah duduk di atas tanah dengan tenang. Harimau itu mengaum dan meronta marah, akan tetapi ia tidak berdaya di dalam pegangan Ang Bouw. Kini ia melihat seorang bocah di depan mulutnya, bocah yang merupakan makanan dan daging yang empuk, ia mencium-cium dengan hidungnya berkembang-kempis, seperti seekor kucing yang lebih dulu mencium-cium makanan yang hendak dimakannya.
Dapat dibayangkan betapa takut rasa hati Tiang Bu. Ia merasa betapa kulit hidung yang kasar dan dingin dan basah menyentuh-nyentuh seluruh mukanya, betapa kumis harimau yang kasar itu menyikat mukanya menimbulkan rasa perih. Apalagi sepasang mata harimau itu mendatangkan kengerian di dalam hatinya. Bau harimau itu memuakkan perutnya dan suaranya menggereng-gereng membuat jantungnya meloncat-loncat keras. Akan tetapi dengan seluruh kekuatan, anak ini menggigit bibir dan menghadapi, harimau itu dengan mata terbelaiak memandang tabah.
"Hayo, kucing terkam dia, robek-robek dadanya, cokel keluar matanya! Bikin dia menjerit-jerit minta ampun! Ha ha ha!" Ci Kui berteriak-teriak menakut-nakuti Tiang Bu.
Harimau yang tadinya kebingungan itu, yang tadinya marah akan tetapi tidak berdaya, sekarang menimpakan kemarahannya kepada anak kecil yang duduk di depannya. Ia mulai menampar dengan kaki depan yang kanan. Tamparan ini mengenai pundak Tiang Bu merobek baju dan kulit pundaknya, dan membuat ia terguling-guling. Air mata meloncat, keluar dari mata anak itu, pundaknya berdarah dan bibirnya yang tebal itu pun berdarah saking kerasnya ia menggigit bibir yang menahan sakit dan menahan keluarnya tangis atau jeritan. Biarpun air matanya mengucur, sedikit pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya.
Tiga orang kakek Pak-kek Sam-kui ini tertawa bergelak-gelak dan berteriak-teriak, agar harimau itu menyerang terus. Mencium bau darah yang segera dijilat-jilat dari kuku kaki depannya, harimau itu menjadi buas. Ia menubruk lagi, mempermainkan tubuh Tiang Bu seperti seekor kucing main-main dengan bola karet. Akan tetapi tiap kali ia mau menggigit anak itu, ia menerima pukulan atau ekornya ditarik dari belakang oleh Ci Kui. Memang bukan maksud Ci Kui untuk membunuh anak ini. I a hendak menguji ketabahan Tiang Bu. Sekali saja Tiang Bu menjerit takut atau menangis tentu ia akan mengajak dua orang sutenya pergi meninggalkan Tiang Bu untuk menjadi mangsa harimau. Akan tetapi melihat anak itu belum juga mengeluarkan jeritan, ia selalu menahan apabila harimau hendak menggigit.
Tubuh Tiang Bu terasa sakit semua, pakaiannya robek-robek tidak karuan dan darah memenuhi pakaian dan mukanya. Giginya tertanam dalam-dalam di bibirnya yang mengucurkan darah karena gigitannya sendiri. Akhirnya saking terlampau banyak mengeluarkan darah dan seluruh tubuhnya lemas tak berdaya lagi ia menjadi pingsan. Tubuhnya seperti sudah menjadi mayat saja, tidak bergerak lagi dalam permainan harimau.
"Dia pingsan" kata Sin-sai-kong Ang Louw.
Terdengar suara keras dan kepala harimau itu pecah berantakan terkena pukulan tangan Ang Louw yang lebih hebat daripada pukulan martil besi lima puluh kilo.
"Dia betul-betul bernyali besar!" kata Ci Kui kagum. la menghampiri tubuh anak yang sudah mandi darah itu, lalu merawat dan memberi obat dengan pandangan mata sayang. "Anak baik, murid baik..." berkali-kali ia bicara sedangkan kedua tangannya bekerja. Ia membersihkan darah dengan lidahnya sendiri yang menjilat-jilat darah itu sampai bersih.
Kemudian Ci Kui mengeluarkan bungkusan, dibukanya dan ternyata isinya adalah obat-obat bubuk bermacam-macam. Diobatinya luka-luka di tubuh Tiang Bu dengan obat dan ditotoknya jalan darah anak itu di beberapa bagian sehingga Tiang Bu menjadi siuman kembali. Ia merasa tubuhnya sakit-sakit semua dan lemas sekali. Setelah luka-lukanya dijilati oleh Giam-lo-ong Ci Kui, rasanya lebih sakit dan perih daripada tadi. Ia meringis dan menahan rasa sakit sampai pingsan lagi. Bukan main hebatnya penderitaan anak ini. Ketika Tiang Bu membuka matanya perlahan-lahan, hari telah senja dan tubuhnya terasa sejuk dan nyaman sekali.
Tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang mendengkur. I a hendak bangkit akan tetapi mendapat kenyataan bahwa tubuhnya terikat, kaki tangan dan pinggangnya terikat pada sebuah cabang pohon yang besar. Ketika ia melirik ke kanan kiri, ia melihat tiga orang kakek itu tidur malang melintang di atas cabang-cabang pohon, tidur begitu saja di atas cabang pohon yang lebih kecil daripada tubuh mereka tanpa diikat dan mereka enak-enak mendengkur!
Tiang Bu melirik ke bawah dan wajahnya yang sudah pucat itu menjadi makin pucat ketika melihat bahwa mereka berempat itu berada di atas pohon yang tinggi sekali. Akan tetapi rasa ngerinya hilang ketika ia teringat bahwa tubuhnya diikat dengan kuat pada cabang pohon hingga tak mungkin ia jatuh ke bawah. Kini ia mulai memperhatikan tiga orang kakek itu dengan heran sekali, juga geli karena cara mereka tidur dan mendengkur lucu sekali.
Si Gundul itu tidur miring di atas cabang kecil, kepalanya sudah tergantung ke bawah seperti menjadi buah dari pohon itu dan kaki kirinya menindih muka Si Muka Burung dekat sekali dengan hidungnya. Si Muka Burung ini tidur telentang dengan kedua kaki tergantung ke bawah dari kanan kiri cabang, hidungnya kembang-kempis dan dengkurnya disertai suara dari hidung seperti orang yang merasa jijik mencium bau yang tidak enak dari kaki suhengnya.
Si Muka Singa tidur terpisah telungkup dengan muka miring, dengkurnya keras sekali sehingga ranting pohon berikut daun-daunnya yang berada di depan mukanya, sebentar tertiup pergi sebentar tersedot sampai menutupi mukanya.
Geli hati Tiang Bu melihat semua ini. Apalagi ketika ia melihat ranting dan daundaun di depan muka Ang Louw itu seperti menggelitik lubang hidung Si Muka Singa sehingga Si Muka Singa berbangkis beberapa kali dan dengan mata masih meram ia menggerakkan tubuh, miring ke kanan. Hampir saja Tiang Bu berteriak ketika melihat betapa tubuh itu miring dan seperti hampir terguling dari atas dahan. Namun, ajaib sekali, biarpun tubuh itu sudah lebih setengahnya berada di bawah dahan, tetap saja Ang Louw tidak terguling ke bawah, seakan-akan tubuhnya telah lekat pada dahan pohon itu!
"Hi hi hi hi...!" Tiang Bu tak dapat menahan gelak ketawanya. Suara bocah ini nyaring sekali biarpun ia berada dalam keadaan sakit.
Tiba-tiba tiga orang kakek itu serentak melompat bangun dari tidurnya dan tentu saja karena mereka melompat, tubuh mereka semua terguling ke bawah!
"Celaka!" Tiang Bu berseru lirih melihat hal ini. Akan tetapi di lain saat, bagaikan tiga ekor burung besar yang beterbangan kacau-balau terdengar suara keras dan tiga orang kakek itu sudah berada di atas dahan pula. Mata mereka terbelalak dan dengan liar memandang ke kanan kiri.
"Mana siluman wanita itu?" Liok-te Mo-ko Ang Bouw bertanya sambil memandang ke kanan kiri.
"Mana dia Ang-jiu Mo-li?" Sin-saikong Ang Louw juga ikut bertanya, suaranya terdengar gentar. Ci Kui mendekati Tiang Bu dan memegang lengannya.
"Bocah, apakah kau tadi melihat seorang wanita muda cantik berlengan merah di dekat sini?" tanyanya.
"Aku tidak melihat siapa-siapa kecuali kalian bertiga." jawab Tiang Bu terheran-heran. Bukan hanya heran karena pertanyaan ini, terutama sekali heran melihat bahwa orang-orang seperti ini, masih mengenal takut.
"Tolol kau. Apa telingamu tuli?" Ci Kui membentak sambil melotot, "baru saja dia tertawa di dekat sini!"
Mendengar kata-kata ini, Tiang Bu mengerti bahwa tiga orang kakek ini telah salah duga. Suara ketawanya dianggap sebagai suara ketawa seorang iblis wanita yang bernama Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Bertangan Merah)! Mengingat ini, ia menjadi geli hati dan tak dapat ditahannya pula ia tertawa.
"Hi hi hi hi... lucu sekali..."
Tiga orang kakek ini melongo, saling pandang kemudian tertawa bergelak. Ci Kui lalu melepaskan tali yang mengikat tubuh Tiang Bu dan membantu anak itu duduk di atas cabang. Tiang Bu berpegang erat-erat pada ranting pohon supaya jangan terguling ke bawah.
"Anak baik, kau bernyali besar dan ketawamu seperti iblis wanita. Ha ha ha! Siapakah namamu?"
Tiang Bu berpikir sebentar. Teringat ia akan ucapan-ucapan Siok Li Hwa tentang orang tuanya dan ia menjadi ragu-ragu. Benarkah Coa Hong Kin dan Go Hui Lian itu bukan ayah bundanya? Ayahnya tampan sekali ibunya cantik jelita, juga adiknya Lee Goat yang baru berusia dua tahun sudah kelihatan cantik mungil. Akan tetapi dia? Banyak pelayan mengatakan bahwa rupanya seperti setan cilik! Akan tetapi, untuk percaya omongan Hui-eng Niocu, ia pun masih ragu-ragu karena ia benci kepada Li Hwa.
"Namaku Tiang Bu," akhirnya ia menjawab, tanpa menyebutkan shenya karena ia masih ragu-ragu tentang ayah bundanya.
"Kau anak siapa?"
"Aku... yatim piatu, dan aku tidak tahu siapa ayah bundaku..." kata-kata ini ia ucapkan dengan sejujurnya karena memang pada saat itu ia merasa ragu-ragu dan tidak tahu siapakah sebetulnya ayah bundanya. Ia masih belum mau percaya omongan Siok Li Hwa. Pendeknya, untuk saat itu ia tidak tahu betul siapa gerangan ayah bundan ya yang sesungguhnya.
"Kenapa kau bisa diperebutkan oleh Wan-bengcu dan Hui-eng Niocu?" tanya pula Ci Kui.
"Aku tidak tahu sebab-sebabnya. Akan tetapi Hui-eng Niocu memaksaku menjadi muridnya, lalu datang laki-laki yang tak kukenal itu merampasku dari tangan Huieng Niocu."
"Ah, ah, tak salah lagi. Dua orang itu sudah melihat bakat baik dalam dirinya, Suheng. Maka mereka berebut untuk mengambil murid padanya," kata Sin-saikong Ang Louw.
"Betul begitu kiranya," Ci Kui mengangguk-angguk. "Memang bocah ini berjodoh dengan kita. Kalau kita bertiga mengajarnya, kelak dia akan membikin harum nama kita."
"Tiang Bu, mulai sekarang kau menjadi murid Pak-kek Sam-kui, hayo kau berlutut memberi hormat," kata Sin-sai-kong Ang Louw yang kegirangan sekali karena memang sejak ia melihat Tiang Bu, ia sudah ingin mengambil anak itu sebagai muridnya.
Biarpun baru berusia lima tahun, Tiang Bu memang seorang bocah yang cerdik luar biasa. Ia maklum bahwa ia berada di dalam cengkeraman tiga orang yang jahat dan lihai seperti iblis, dan bahwa ia tidak berdaya sama sekali dan tidak mempunyai pilihan lain kecuali mentaati segala kehendak tiga orang itu. Juga ia maklum bahwa tiga orang ini tidak membunuhnya, bahkan mengambilnya sebagai murid hanya berkat ketabahan yang telah ia perlihatkan.
Maka, mendengar perintah Ang Louw, ia lalu berlutut di atas dahan itu, sama sekali tidak takut terguling karena ia yakin bahwa tiga orang gurunya takkan membiarkan ia jatuh terguling. Anehnya, karena pikiran ini, ia memperoleh ketenangan dan kalau tadinya ia merasa sukar sekali untuk menahan dirinya agar jangan jatuh, sekarang ia merasa mudah saja berdiri atau duduk di atas dahan, bahkan ia dapat berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada tiga orang kakek itu tanpa kehilangan keseimbangan tubuhnya.
Demikianlah, mulai saat itu, Tiang Bu telah menjadi murid tiga orang tokoh besar dari utara yang kepandaiannya tinggi sekali dan memiliki watak aneh dan jahat seperti setan. Dengan bergiliran mereka mulai memberi pelajaran ilmu silat kepada Tiang Bu yang ternyata benar-benar mempunyai bakat yang luar biasa dalam ilmu ini. Pelajaran ini diberikan sambil melakukan perjalanan, yaitu menuju ke selatan, melewati Sungai Yangce, meninggalkan daerah Cin dan memasuki daerah, Sung.
********************
Siapakah sebetulnya Pak-kek Sam-kui dan apa tujuan mereka pergi ke daerah Kerajaan Sung?
Tiga orang kakek ini sebetulnya adalah tiga di antara banyak sekali orang-orang pandai yang membantu Temu Cin, raja dari bangsa Mongol yang mulai bangkit dan kuat. Masih banyak orang-orang yang selihai mereka ini, bahkan ada yang lebih lihai lagi, yang masih berada di Mongol membantu Temu Cin menaklukkan semua suku bangsa di utara yang masih belum mau tunduk.
Adapun Pak- kek Sam-kui tadinya diutus oleh Temu Cin untuk menemui Wan-bengcu di Lu-liang-san dan mengundang bengcu muda yang tersohor namanya itu. Tentu saja maksud Temu Cin adalah hendak menarik hati bengcu ini, karena adalah menjadi cita-citanya untuk kelak menyerbu ke selatan dan paling baik ia mendekati orang-orang gagah di selatan. Kalau sampai mereka ini mau membantunya, tentu kedudukannya menjadi makin kuat. Temu Cin amat cerdik dan pandai mengambil hati orang-orang gagah. Untuk membagi hadiah ia berlaku royal sekali.
Akan tetapi sebagaimana telah dituturkan di bagian atas, Wan-bengcu tidak mau menerima undangan itu, bahkan mereka menjadi bentrok dengan Hui-eng Niocu yang kebetulan berada di Lu-liang-san. Semua ini mereka laporkan kepada Temu Cin yang menyatakan kekecewaannya, kemudian tiga orang kakek ini disuruh mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw di daerah selatan, yaitu di wilayah Negara Sung.
Berangkatlah Pak-kek Sam-kui. Mereka teringat akan hinaan yang mereka peroleh ketika di Lu-liang-san oleh Hui-eng Niocu, maka sambil membawa pasukan yang kuat, mereka singgah di Go-bi-san yang dekat dengan perbatasan negaranya untuk melakukan balas dendam, kalau perlu membasmi Hui-eng- pai. Akan tetapi siapa kira di situ mereka bertemu pula dengan Wan-bengcu yang membantu Hui-eng Niocu sehingga tiga orang kakek ini mengalami kekalahan dan terpaksa melarikan diri sambil membawa Tiang Bu yang dianggap sebagai penebus kekalahan mereka.
Dengan berhasil menculik murid Hui-eng Niocu atau bahkan calon murid Wan-bengcu, tiga orang kakek ini sudah merasa puas dan mereka tidak mempedulikan lagi nasib pasukan yang mereka tinggalkan.
Pada suatu hari, setelah mereka melakukan perjalanan melalui Propinsi Shen-si dan Se-cuan mereka melintasi Sungai Yang-ce dan tiba di sebuah dusun di Propinsi Kwicu. Dusun ini terkenal sebagai tempat di mana seringkali terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara orang-orang di daerah selatan. Di sebelah selatan dusun ini terletak kota Cun-yi yang menjadi pusat perkumpulannya orang-orang gagah. Ke kota inilah yang menjadi tujuan Pak-kek Sam-kui.
Akan tetapi oleh karena hari sudah mulai gelap ketika mereka tiba di dusun Ui-cun itu, mereka lalu bermalam di sebuah kelenteng yang sudah rusak dan nampak kotor karena tidak terurus. Ketika mereka memasuki kelenteng yang tidak berdaun pintu lagi itu, di dalam banyak terdapat sarang laba-laba. Bau tempat itu pun tidak enak sekali, tanda bahwa selain tidak terurus, juga tempat ini kotor sekali, berbau kencing dan kotoran manusia. Baru masuk saja Tiang Bu sudah merasa muak. Akan tetapi Pak-kek Sam-kui dengan enaknya terus saja masuk dan melempar tubuh di atas lantai.
"Siauw-sute, coba kau cari makanan dan terutama minuman, aku merasa haus sekali," kata Ci Kui kepada Ang Louw.
Si Muka Singa ini terkekeh-kekeh, kemudian tubuhnya berkelebat dan lenyaplah ia. Hanya bayangannya saja yang berkelebat cepat keluar dari pintu. Baru saja Sin-saikong Ang Louw keluar, terdengar dengkur dua orang kakek yan g rebah di atas lantai!
Tiang Bu duduk bersila setelah membersihkan lantai di sudut ruangan itu, mengenangkan semua pengalamannya. Biarpun ia harus hidup tidak karuan, kadang-kadang dua hari tidak makan dan ada kalanya perutnya dipenuhi makanan lezat tiada habis-habisnya sampai kekenyangan, kadang-kadang ia disuruh berlari-lari naik turun gunung akan tetapi karena tiga orang gurunya tidak sabar melihat kelambatannya, ia lebih sering digendong, namun tak boleh disangkal bahwa tiga orang gurunya yang buruk watak itu memperlakukan dengan baik.
Telah ribuan li ia melakukan perjalanan bersama Pak-kek Sam-kui dan telah berbulan-bulan ia mengikuti mereka. Dan dia mendapatkan sesuatu yang amat menonjol pada diri tiga orang kakek yang kasar dan jahat itu, yaitu watak setia kawan di antara mereka bertiga.
Tak lama kemudian terdengar suara terkekeh-kekeh dari Si Muka Singa. Keadaan di dalam ruangan kelenteng itu sudah gelap. Hanya Tiang Bu yang masih belum tidur, anak ini duduk mengatur pernapasannya seperti yang ia pelajari dari guru-gurunya dan menahan lapar yang menggerogoti isi perutnya. Hanya ada angin menyambar ketika Ang Louw masuk ke dalam ruangan itu dan tak lama kemudian nampak api menyala dan tiga batang lilin dipasang oleh Si Muka Singa ini di atas meja sembahyang yang sudah bobrok.
Selain lilin menyala ini, juga di atas meja kelihatan sepanci besar mi dan di sebelahnya terlihat hiolouw (tempat abu hio) besar sekali yang terisi arak wangi! Dan lucunya, dua orang kakek yang tadinya tidur mendengkur, seperti disiram air dingin, tiba-tiba melompat bangun dan berteriak-teriak.
"Arak! Arak...!" Mereka tertawa dan menyerbu meja. Bergantian tiga orang kakek ini minum arak wangi itu dari hiolouw besar begitu saja tanpa cawan lagi.
"Enak... enak... eh, Sute, kau mendapatkan arak dan mie ini dari mana?" kata Liok-te Mo-ko Ang Bouw.
Adapun Giam-lo-ong Ci Kui lalu memanggil Tiang Bu untuk ikut makan mi yang ternyata memang enak sekali. Untuk minum arak dengan mengangkat hiolouw itu, tentu saja Tiang Bu tidak kuat, maka ia lalu minum arak menggunakan tangannya yang dijadikan pengganti cawan! Anak berusia lima tahun ini sekarang sudah biasa minum arak keras.
Setelah tertawa bergelak, Ang Louw menjawab pertanyaan ji-suhengnya. "Di dusun seperti ini, mana ada warung arak yang baik? Mana ada masakan mie yang selezat ini? Aku sudah putar-putar dan hanya mendapatkan warung arak yang menjual arak campur air. Baiknya hidungku tajam, aku mencium bau arak wangi keluar dari sebuah kelenteng. Ketika aku masuk ke dalam, kulihat lima orang hwesio muda menghadapi arak dan masakan mie ini. Aku totok mereka, aku kumpulkan mie dalam panci dan karena di sana tidak ada guci besar, aku lalu mengambil hio-louw kelenteng itu, menuang-nuangkan semua arak dari guci kecil, dan membawa semua ini ke sini setelah menyambar tiga buah lilin."
Kembali tiga orang itu tertawa, tergelak. Sebentar saja mie yang sepanci besar banyaknya telah habis, pindah ke dalam perut empat orang, ada sepuluh kati lebih dan arak sehiolouw penuh itu. Dan tak lama kemudian terdengar dengkur mereka, dan kali ini Tiang Bu juga ikut tidur pula setelah perutnya diisi.
Di atas meja sembahyang yang bobrok itu hanya kelihatan sisa-sisa makanan, dan hiolouw bekas tempat arak telah terguling miring di atas meja, sedikit sisa arak mengalir keluar membasahi meja...