Tangan Gledek Jilid 05
MATAHARI telah naik tinggi ketika Tiang Bu membuka matanya, kaget dan bangun mendengar suara ribur-ribut. la melihat tiga orang suhunya telah bangun, bahkan Ang Louw nampak sedang ribut mulut dengan seorang hwesio yang berwajah angker. Ia marah-marah dan mencaci-maki.
"Kalian ini iblis-iblis dari mana berani membikin rusuh di Ui-cun?"
Si Muka Singa Ang Louw tertawa dan bertolak pinggang. "Badut Gundul, kau datang-datang marah mau apa? Kau seperti raja kehilangan selir saja. Apa gundulmu terbentur pintu?"
Memang Ang Louw yang mukanya seperti singa ini paling doyan berkelakar, berbeda dengan dua orang suhengnya yang bersungguh-sungguh menghadapi lain orang dan hanya tertawa bergurau dengan saudara sendiri.
Hwesio itu nampak makin marah. Ia membanting kaki kanannya dan lantai yang dihantam oleh kakinya menjadi jebol, kakinya masuk ke dalam lubang sekaki lebih!
"Keparat, kau ini saikong siluman agaknya yang telah menghina murid-muridku. Kau merampas hidangan orang, menurunkan tangan jahat, menotok hwesio-hwesio suci, menghina kelenteng dengan membawa pergi hiolouw yang kau isi dengan arak. Kau benar-benar dikutuk para dewata!"
Ang Louw menyeringai dan mukanya benar-benar menyerupai singa yang hendak menerkam mangsanya. "Badut Gundul! orang-orang macam kau dan murid-muridmu memang patut dihajar. Mana ada hwesio-hwesio menghadapi hidangan berupa arak dan mi yang penuh dengan daging? Kalian ini mempunyai pekerjaan mengemis dan minta belas kasihan orang untuk mengisi perut. Sekarang kami orang-orang asing datang dengan perut kosong, sudah sepatutnya kalian yang sudah seribu kali minta makanan dari orang lain itu sekali-kali memberi sedekah kepadaku. Tentang hiolouw, bagaimana kau bilang aku menghina? Hiolouw biasanya buat tempat abu, aku meminjamnya untuk diisi arak dan dipakai untuk minum itu tandanya malah menghormat."
Hwesio itu marah sekali. Dengan menggeram ia memukul Ang Louw. Gerakannya cepat pukulannya berat. Tidak aneh, karena hwesio ini sebetulnya adalah anak murid dari Kaolikung-pai, seorang di antara para murid ketua kelenteng di Kaolikung-san. Kepandaiannya sudah tinggi dan dengan murid-muridnya ia bertugas mengepalai kelenteng di Ui-cun sekalian memata-matai gerakan orang-orang utara yaitu orang-orang yang datang dari daerah Cin.
Kaoli-kung-pai termasuk partai yang anti kepada pemerintah Cin dan termasuk sebagai pelopor dalam tiap pertempuran kecil-kecilan antara orang-orang dari daerah Cin dengan orang-orang dari daerah Sung. Ketika hwesio itu pulang dari bepergian dan melihat murid-muridnya tertotok kaku seperti patung dan selain arak dan makanan, juga hiolouw dibawa pergi orang, ia menduga bahwa ini tentu perbuatan orang-orang dari utara. Cepat ia melakukan penyelidikan dan pada keesokan harinya baru ia rnendapatkan tiga orang aneh dan seorang bocah tidur di dalam kelenteng bobrok yang sudah tidak dipakai lagi itu.
Akan tetapi Ang Louw yang diserang itu tertawa-tawa mengejek. "Eh, eh, kau mau berkelahi? Apa kau sudah bosan hidup?"
Hwesio itu yang beberapa kali serangannya dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya menjadi naik darah dan serangannya makin gencar. Sebuah tonjokannya yang dilakukan dengan sekuat tenaga mampir di pundak An g Louw, membuat Si Muka Singa itu meringis-ringis. Memang ilmu silat memiliki keistimewaan masing-masing dan biarpun kepandaian Ang Louw jauh lebih tinggi, namun menghadapi lawan yang menggunakan ilmu silat asing baginya, tidak aneh kalau ia sampai terkena pukulan.
Akan tetapi pukulan ini membuat Si Muka Singa marah sekali. Ia mengeluarkan auman yang keras dan menyeramkan sekali. Hwesio itu terkejut karena tiba-tiba ia merasa tubuhnya tergetar hebat oleh suara auman yang melebihi auman singa hebatnya. Gerakan kaki tangannya menjadi lambat dan di lain saat Si Muka Singa menerkam maju dengan dahsyat, tangan kanannya menyambar dengan tenaga ratusan kati memukul dagu hwesio itu.
"Prakkk...!" Demikian kerasnya pukulan ini sehingga kepala hwesio yang tidak berambut itu menjadi pecah berantakan! Tubuhnya terlempar dan roboh terguling-guling di sudut, mati sebelum tubuhnya jatuh di tanah.
Melihat kehebatan pukulan ini, Tiang Bu diam-diam merasa ngeri, akan tetapi juga kagum. Akan tetapi Giam-lo-ong Ci Kui menegur Si Muka Singa. "Siauw-sute, kau benar-benar gegabah. Kita datang untuk menghubungi orang-orang kang-ouw, akan tetapi datang-datang kau membunuh seorang hwesio. Sungguh bukan permulaan yang baik."
"Twa-suheng, hwesio macam begini saja, apa sih artinya? Tugas kita adalah menghubungi tokoh-tokoh besar dan ketua-ketua partai," Sutenya membantah.
Ci Kui tidak banyak cakap lagi lalu mengajak rombongannya segera me lanjutkan perjalanan, menuju ke kota Cun-yi di sebelah selatan dusun itu. Jalan menuju ke Cun-yi melalui pegunungan yang sunyi dan penuh dengan hutan yang lebat. Oleh karena masih asing dengan daerah ini, maka biarpun jsrak ke kota itu hanya seratus li, akan tetapi Pak-kek Sam-kui harus bertanya-tanya kepada orang-orang dusun dan perjalanan tak dapat dilakukan cepat-cepat.
Salahnya, tiga orang kakek itu melakukan perjalanan terburu-buru oleh karena Ci Kui hendak menghindari segala ekor yang tidak enak dari peristiwa pembunuhan hwesio itu, maka pada hari pertama itu mereka telah sesat jalan! Mereka tersesat ke dalam hutan yang amat besar dan liar di antara perbatasan Propinsi Kwicu dan Secuan dan tanpa disadari mereka memasuki daerah Tai-hang-san!
Telah sehari penuh mereka berjalan cepat, Tiang Bu digendong oleh Liok-te Mo-ko Ang Bouw akan tetapi sampai matahari terbenam mereka masih belum keluar dari daerah pegunungan yang penuh hutan itu. Terpaksa malam hari itu mereka bermalam di hutan. Karena sehari penuh tidak pernah melihat ada dusun, tentu saja mereka masih belum dapat minta keterangan kepada penduduk dan karenanya masih belum sadar bahwa mereka mengambil jalan yang salah.
Pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian mereka berada di lereng gunung dan melihat puncak gunun g menjulang tinggi di depan, Ci Kui berkata, "Ah, kita telah salah jalan. Di depan ada gunung tinggi padahal menurut keterangan, jalan menuju ke Cun-yi tidak melewati puncak gunung yang tinggi."
"Sejak kemarin aku sudah bilang, Suheng. Kita menuju ke jurusan tenggelamnya matahari berarti kita telah mengambil jalan ke barat. Padahal seharusnya kita ke selatan," kata Liok-te Mo-ko sambil menurunkan Tiang Bu dari gendongan dan mengeringkan peluh di kepalanya yang botak menggunakan ujung bajunya. Selagi mereka termenung memandang puncak gunung yang tidak mereka kenal itu tiba-tiba Ci Kui berseru,
"Hai, di sana ada orang bertempur.” Dan ia lari melalui lereng yang menanjak naik, diikuti oleh kedua sutenya. Tiang Bu juga berlari secepatnya untuk mengikuti gurugurun ya, akan tetapi tentu saja ia tertinggal. Ia tidak takut ditinggalkan dan mengejar terus. Anak kecil ini sudah terlatih dalam hal berlari melalui jalan-jalan pegunungan yang sukar-sukar.
"Ah, yang bertempur adalah orang-orang pandai. Ini kesempatan baik bagi kita untuk menghubungi mereka dan membantu mereka," kata pula Ci Kui setelah melihat empat orang hwesio setengah tua yang berwajah keren tengah mengeroyok seorang hwesio lain yang lihai sekali llmu silatnya.
Empat orang hwesio itu dilihat dari bentuk pakaiannya saja dapat diduga bahwa rnereka adalah hwesio-hwesio yang biasa menjadi penghuni kelenteng-kelenteng di Tiongkok selatan, sedangkan hwesio yang dikeroyok dan lihai sekali itu berjubah merah darah, bermuka hitam dan tinggi sekali hidungnya bengkok. Melihat ini, Pak-kek Sam-kui segera dapat menduga bahwa hwesio lihai yang berjubah merah dan memakai topi pendeta kuning itu tentulah seorang pendeta dari Tibet, pendeta Lama yang banyak merantau ke Tiongkok.
"Sute, pendeta Lama itu lihai sekali. Akan tetapi kita harus membantu empat orang hwesio itu," kata Ci Kui kepada dua orang sutenya. Dua orang sutenya juga maklum akan maksud suheng mereka, maka tanpa banyak cakap lagi tiga orang ini lalu melompat ke gelanggang pertempuran.
"Lama kurang ajar, jangan banyak tingkah di sini!" bentak Ci Kui sambil menyerang dengan pukulan-pukulannya yang dahsyat. Juga Ang Bouw dan Ang ouw berseru keras.
"Empat sahabat jangan khawatir, kami datang membantu!"
Pendeta Lama yang mainkan sebuah tongkat pendeta panjang itu nampak terkejut sekali, karena serbuan tiga orang ini benar-benar hebat sekali. Tadi, menghadapi sebuah toya, dua buah tombak dan sepasang golok yang dimainkan oleh empat orang pengeroyoknya, ia masih mendapat angin dan berada di fihak yang mendesak. Akan tetapi begitu tiga orang kakek aneh seperti iblis itu menyerbu, biarpun mereka ini hanya bertangan kosong, sebentar saja ia menjadi terdesak hebat. Sebaliknya empat orang hwesio itu menjadi girang dan bertambah semangat mereka karena menerima bantuan tiga orang pandai yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
"He, kalian ini bukankah orang-orang dari dunia utara? Mengapa mencampuri urusan kami!" Pendeta Lama itu biarpun terdesak hebat, masih sempat menegur Pak-kek Sam-kui.
Tiga orang kakek ini kagum juga akan ketajaman mata pendeta yang sudah tua itu. "Kau ini pendeta dari barat berani kurang ajar terhadap sahabat-sahabat kami dari selatan, tentu saja kami membantu!" kata Ci Kui yang sengaja berkata demikian untuk menarik hati empat orang hwesio itu. Ia dapat menduga bahwa empat orang hwesio yang belum dikenalnya ini tentulah tokoh-tokoh selatan yang ternama, maka dengan mengambil hati mereka, akan lebih mudah ia menghubungl tokoh-tokoh selatan.
Di lain fihak, empat orang hwesio itu khawatir kalau-kalau tiga orang kakek aneh yang membantu akan meoghentikan bantuannya, maka seorang di antara mereka berseru. "Sam-wi Locianpwe, jangan melepaskan penjahat berkedok Lama ini. Dia telah mencuri pusaka dari Omei-san!"
Pendeta Lama itu tertawa terbahak bahak. "Ha, ha, ha, ada perampok-perampok berteriak maling. Sungguh lucu!" Setelah berkata demikian, karena tidak tahan akan desakan tujuh orang itu, ia memutar tongkat panjangnya secara istimewa sekali, cepat dan kuat-kuat hingga angin pukulannya saja membuat tujuh orang lawannya, kecuali Giam-lo-ong Ci Kui seorang, terpaksa bergerak mundur. Ini menandakan bahwa tenaga lweekang dari pendeta Lama itu amat besar dan hanya Ci Kui yang mampu menahan. Kesempatan ini dipergunakan oleh pendeta Lama untuk melompat pergi dan melarikan diri.
"Jangan lari!" seru Sin-saikong Ang Louw sambil menubruk maju dan ketika ia bergerak dari kedua tangannya menyambar sinar-sinar merah yang amat lembut. Inilah jarum-jarum rahasia dari Sin-saikong Ang Louw yang amat lihai.
Akan tetapi anehnya, pendeta Lama itu tidak mengelak dan terus saja lari. Jarum-jarum itu ketika mengenai jubah yang lebar dan berkibar di belakang menutupi tubuh pendeta itu, menancap akan tetapi tidak menembus. Ternyata bahwa yang dipakai oleh pendeta Lama itu bukanlah jubah sembarangan, melainkan jubah sutera istimewa yang di sebelah dalamnya terdapat kain benang-benang perak yang amat kuat!
"Kejar penjahat itu!" Empat orang hwesio tadi berteriak-teriak dan lari mengejar. Pak-kek Sam-kui juga mengejar, akan tetapi mereka ini ketika melihat bahwa ilmu lari cepat dari empat orang hwesio itu tidak dapat melawan ilmu lari cepat si pendeta Lama, lalu mengendurkan larinya dan tidak mengejar dengan sungguh-sungguh hendak memusuhi si pendeta Lama.
Pendeta Lama itu berlari cepat melihat tujuh orang mengejarnya terus. Tiba-tiba di depannya ia melihat seorang bocah yang wajahnya amat menarik perhatiannya. Bocah ini nampak sehat kuat, jujur dan sinar matanya tajam luar biasa. Pakaian bocah yang sederhana dan compang-camping itu menandakan bahwa ia berhadapan dengan seorang bocah gunung. Tiba-tiba terdengar suara aneh dari sebelah kiri, di balik puncak. Suara ini melengking tinggi seperti suling, kemudian mengalun dan lapat-lapat terdengar seperti suara ketawa seorang wanita, suara ketawa yang merdu.
"Celaka..." pendeta Lama itu menjadi pucat, "kalau dia ikut mengejar..." Timbul pikiran yang amat baik. Ia melompat ke dekat bocah itu yang bukan lain adalah Tiang Bu yang sedang susah payah mengejar tiga orang suhunya. Di-keluarkannya sebuah bungkusan dari jubahnya, diberikan bungkusan itu kepada Tiang Bu dan pendeta itu berkata. "Anak baik, kau simpankan ini. Ku titipkan kepadamu, kelak aku akan datang mengambilnya. Siapa namamu?"
"Namaku Tiang Bu," jawab bocah itu sambil menerima bungkusan. Pada saat itu terdengar suara lengking meninggi itu!
"Lekas, simpan dalam bajumu jangan kelihatan orang," kata pendeta Lama sambil membantu Tiang Bu memasukkan bungkusan itu ke dalam saku baju di sebelah dalam. Kemudian pendeta itu tiba-tiba menarik lengan Tiang Bu dan melemparkan anak itu ke dalam jurang!
"Tinggal dulu di sana, jangan berteriak. Kalau ada orang melihatmu, kau akan mampus!" kata pendeta Lama itu yang cepat lari ke depan.
Akan tetapi baru belasan kali lompatan, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang wanita cantik sekali telah berdiri di depannya. Wanita ini berpakaian serba putih, wajahnya kemerahan dan rambutnya yang halus hitam panjang itu terurai di belakang punggungnya. Sebatang pedang menempel pada punggung, sikapnya gagah sekali. Ketika ia mengangkat tangan kirinya ke atas dengan isyarat menyuruh Lama itu berhenti, nampak jelas bahwa telapak tangannya kemerahan seperti berlepotan darah. Inilah Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Tangan Merah).
"Thai Gu Cinjin, berhenti dulu" wanita itu berseru suaranya merdu dan tinggi nyaring menusuk telinga tanda bahwa dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang. Kemudian terdengar suara ketawanya yang aneh seperti lengking suling. Pendeta Lama itu nampak gelisah mendengar suara ketawa ini.
"Ang-jiu Mo-li, kau menghentikan pinceng ada keperluan apakah?" tanyanya, suaranya digagah- gagahkan agar tidak kelihatan bahwa dia gentar menghadapi wanita ini . Memang sungguh lucu melihat tokoh besar seperti Thai Gu Cin-jin yang di Tibet terkenal sebagai jagoan berilmu tinggi, kelihatan gentar menghadapi seorang wanita cantik yang biarpun kelihatan muda jelita akan tetapi sudah berusia lima puluh tahun ini!
Ang-jiu Mo-li sekali lagi tertawa cekikikan, kemudian suara ketawanya terhenti tiba-tiba dan keningnya berkerut, matanya memancarkan cahaya menakutkan. “Thai Gu Cinj in, sudah lama aku mendengar bahwa kau adalah seorang pendeta Lama yang paling cerdik banyak akal dan suka pura-pura. Ternyata sekarang betul, kau masih hendak berpura-pura dan bertanya apa maksudku menghentikanmu, seakan-akan kau tidak berdosa sama sekali! Akan tetapi aku tidak mau seperti kau, aku berterus terang saja. Aku sengaja menghadangmu dan lekas-lekas kau berikan kitab-kitab Omei-san itu."
Mendengar ini Thai Gu Cinjin berdongak ke atas, tertawa bergelak dan memukul-mukulkan ujung tongkatnya ke atas tanah sehinggga batu-balu menjadi remuk. "Ha ha ha ha! Kau juga, Ang-jiu Mo-li? Benar-benar lucu. Baru saja Le Thong Hosiang, Nam Kong Hosiang, Nam Siong Hosiang dan Hengtuan Lojin empat orang hwesio goblok itu mengeroyok pinceng dan juga minta kitab dari Omei-san. Apa kau kira mudah saja mengambil kitab dari dalam gua yang dijaga oleh dua ekor naga sakti itu? Kau boleh coba-coba mengambilnya di Omei-san! Ha ha ha!"
"Kalau mempergunakan tongkatmu itu aku percaya, kau takkan mampu mengambll kitab dari Omei-san. Akan tetapi tipu muslihatmu mungkin membuatmu berhasil. Aku mendengar berita bahwa kau sudah berhasil menipu Tiong Jin Hwesio. Nah, sekarang jangan banyak cakap, lekas kau serahkan kitab itu kepadaku."
"Eh, kau tidak percaya kepadaku, Ang-jiu Mo-li? Pinceng bersumpah bahwa kitab itu tidak ada pada pinceng!"
"Hmmm, siapa percaya pada sumpahmu? Perlihatkanlah isi saku bajumu."
"Ang-jiu Mo-li, kau benar-benar terlalu! Kau tidak saja tak percaya kepada kata-kata pinceng, bahkan sampai pinceng bersumpah kau tidak percaya. Kau ingin menggeledah?"
"Betul, lekas buka jubahmu dan jangan banyak cerewet!"
"Ini penghinaan namanya!"
"Habis kau mau apa?"
"Ang-jiu Mo-li, sudah lama pinceng tidak merasai kelihaianmu. Kalau kau dapat merampas tongkat pinceng ini, baru pinceng mengaku kalah dan menuruti kehendakmu memeriksa saku jubahku ini." Setelah berkata begini, pendeta Lama yan g bernama Thai Gu Cinjin itu lalu memegang tongkatnya lurus ke depan dada dengan tangan kanan disodorkan ke arah Ang-jiu Mo-li.
Wanita ini kembali tertawa aneh. "Kalau aku tidak melihat kau sudah tua dan sudah bersusah payah meninggalkan Tibet untuk mencari kitab Omei-san, tentu kau takkan dapat meninggalkan tempat ini dengan nyawa dalam tubuhmu. Baiklah, kaupertahankan tongkatmu!"
Ang-jiu Mo-li lalu menangkap tongkat itu dengan tangan kirinya, mengerahkan tenaga lweekang disalurkan ke arah tongkat untuk membetot, Thai Gu Cinjin mempertahankan. Ang-jiu Mo-li mengubah-ubah tenaganya, kadang-kadang membetot, kadang-kadang mendorong. Akan tetapi Thai Gu Cinjin tak dapat diakali dan dapat mengimbangi serangan lawan.
Tiba-tiba Ang-jiu Mo-li mengeluarkan seruan keras dan warna merah dari telapak kedua tangannya menjalar perlahan-lahan sehingga tak lama kemudian tongkat di bagian yang terpegang oleh wanita ttu mulai mengeluarkan uap! Terus saja uap itu menjalar menuju ke tangan Thai Gu Cinjin yang merasa terkejut sekali. Akan tetapi mengandalkan tenaga lweekangnya yang sudah tinggi sekali, dia tidak takut dan bersiap-siap menerima serangan hawa dari tangan merah itu. Uap terus menjalar menyusuri tongkat, tanda bahwa hawa itu makin lama menjalar makin jauh mendekati lawan. Akhirnya uap menyentuh tangan Thai Gu Cinjin yang memegang tongkat.
Pendeta Lama ini merasa seakan-akan ia memegang besi merah. Panasnya tak tertahankan lagi, apalagi selain hawa panas ini masih disertai hawa mendorong yang amat dahsyat. Ia mempertahankan, akibatnya, telapak tangannya mulai hangus dan beruap, mengeluarkan bau seperti kulit dibakar.
"Menyerah..." katanya terengah-engah karena ia menahan napas dan mengerahkan seluruh tenaga.
Ang-jiu Mo-li tertawa nyaring sekali dan menancapkan tongkat yang sudah berpindah tangan itu ke atas tanah. Tongkat amblas sampai setengahnya. Tanpa banyak cakap lagi, Thai Gu Cinjin membuka jubah luarnya dan melemparkan jubah di atas tanah. Ia kini hanya memakai pakaian dalam yang ringkas dan tidak bersaku.
Dengan ujung sepatunya, Ang-jiu Mo-Li meraba-raba jubah itu. Ketika mendapat kenyataan bahwa di situ tidak tersimpan kitab, ia nampak kecewa dan marah. Dipandangnya, wajah Thai Gu Cinjin dengan tajam.
"Thai Gu Cinjin, sekarang kau menang. Memang kau tidak membawa kitab, akan tetapi kalau kelak ternyata kitab itu ada padamu, ingatlah bahwa aku tidak biasa melupakan penghinaan orang kepadaku. Dan kalau saat ini kau menipuku, berarti kau telah menghinaku!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah wanita yang mengerikan itu.
Thai Gu Cinjin mencabut tongkatnya sambil menarik napas panjang, memakai lagi jubahnya yang merah, lalu tiba-tiba ia berpaling memandang ke arah tujuh orang yang baru saja muncul dari tempat persembunyiannya.
"Nah, apakah kalian hendak melanjutkan pertempuran tadi sampai mati?" bentaknya marah.
Tujuh orang ini bukan lain adalah empat orang hwesio dan tiga kakek Pak-kek Samkui. Mereka ini tadi mengejar dan melihat Thai Gu Cinjin bertengkar dengan seorang wanita baju putih yang kedua tangannya merah, mereka berhenti. Pak-kek Sam-kui menjadi pucat ketika mengenal bahwa wanita itu bukan lain adalah Ang-jiu Mo-li yang mereka takuti, maka buru-buru mereka mengajak empat orang hwesio itu bersembunyi di balik pohon-pohon. Setelah Ang-jiu Mo-li pergi, baru mereka berani muncul. Thai Gu Cinjin yang merasa terhina oleh Ang-jiu Mo-li akan tetapi tidak berdaya, melihat munculnya bekas lawan ini, menimpakan kemarahannya kepada mereka dan menantang mereka melanjutkan pertempuran.
Akan tetapi ketika empat orang hwesio itu melihat betapa setelah digeledah ternyata pendeta Lama itu benar-benar tidak menyimpan kitab yang mereka hendak rebut, mereka bahkan menjura memberi hormat dan Le Thong Hosiang berkata.
"Mohon Taisuhu sudi memaafkan kami yang keliru menyangka dan telah berlaku kurang ajar."
Thai Gu Cinjin mengeluarkan suara di hidung, melirik ke arah Pak-kek Sam-kui dan berkata perlahan, "Ang-jiu, Mo-Li Si Ratu Iblis dari utara datang untuk mencari kitab Omei-san, agaknya banyak orang-orang dari utara juga datang beramai-ramai. Hemmm, kalau yang tiga ini bukan Tiga Setan Kutub Utara, siapa lagi?”.
Giam-lo-ong Ci Kui menjura dan tertawa. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian dari Thai Gu Cinjin tinggi sekali dan biarpun mereka bertujuh mengeroyok, kalau dilakukan pertempuran mati-matian, andaikata mereka menang sekalipun tentu di fihak mereka akan jatuh banyak korban.
"Penglihatan Cinjin benar-benar tajam sekali. Kelak kalau ada kesempatan ke Tibet, tentu kami bertiga akan mengadakan kunjungan penghormatan."
Kembali Thai Gu Cinjin mengeluarkan suara mengejek di hidung, kemudian menyeret tongkatnya dan pergi dari situ. Tentu saja ia tidak terus pergi meninggalkan pegunungan itu, melainkan berkeliaran di sekitar situ mencari Tiang Bu. Akan tetapi alangkah heran, kaget dan mendongkolnya ketika ia tidak dapat menemukan bocah yang ia titipi kitab-kitab itu! Tadi ia melemparkan Tiang Bu ke dalam jurang mempergunakan ke-pandaiannya sehingga bocah itu tidak terluka ketika tiba di dasar jurang, akan. tetapi sekarang bocah itu sudah tidak berada di dalam jurang lagi, entah ke mana perginya dan dengan cara bagaimana. Thai Gu Cinjin marah-marah, terus mencari, bahkan pergi ke sekitar puncak gunung itu, tetap saja sia-sia dan tidak menemukan bocah itu.
"Celaka! Bocah s etan! Kalau aku mendapatkan engkau, akan kuputar batang lehermu. Berani kau mempermainkan aku," pikir pendeta Lama itu dengan marah dan terus mencari-cari, kini menuju ke selatan karena disangkanya bocah itu tentu telah lari ke selatan membawa bungkusan kitab-kitab itu.
Adapun Pak- kek Sam-kui pada saat itu sedang bercakap-cakap dengan empat orang hwesio itu. Memang, empat orang hwesio itu bukan lain adalah Le Thong Hosiang, N am Kong Hosiang, N am Siong Hosiang dan Hengtuan Lojin, empat orang hwesio yang pernah datang di Lu-liangsan dan membuka rahasia Wan-bengcu sebagai keturunan dari Pangeran Wanyen yang dibenci oleh orang-orang gagah, kemudian telah dituturkan di bagian depan betapa Le Thong Hosiang telah mengadu kepandaian dengan Bu Kek Siansu.
Le thong Hosiang dan kawan-kawannya memberi hormat kepada Pak-kek Sam-kui dan memperkenalkan namanya. Kemudian ia berkata. "Sudah lama pinceng mendengar nama besar Sam-wi Locianpwe dan kebetulan sekali hari ini selain menyaksikan kelihaian Sam-wi, juga telah menerima pertolongan. Pinceng dan kawan-kawan menghaturkan banyak terima kasih.”
Giam-lo-ong Ci Kui tertawa. "Ah, Saudara-saudara terlalu sungkan. Sudah selayaknya orang-orang segolongan saling membantu dan tentang kepandaian... ah, memalukan bicara tentang kepandaian setelah kita bertemu dengan orang-orang seperti Thai Gu Cinjin dan lebih-lebih Ang-jiu Mo-li itu. Hanya orang dengan kepandaian tinggi seperti Wan-bengcu kiranya boleh dibandingkan dengan mereka”
Ci Kui sengaja menyebut Wan-bengcu untuk melihat bagaimana hubungan mereka ini dengan bengcu itu. Girang hatinya melihat betapa wajah empat orang hwesio itu menjadi muram, bahkan Heng tuan Lojin berkata tak senang.
"Orang-orang utara memang banyak yang pandai, sayang mereka tolol, memilih bengcu keturunan Pangerah Cin dan bekas penjahat pula!"
Ci Kui tertawa girang. "Cocok! Memang kami sendiri merasa benci melihat bengcu yang muda sombong dan keturunan bangsawan penindas rakyat itu! Akan tetapi, mengapa saudara-saudara dari selatan tidak mau turun tangan dan mendiamkannya saja bangsat itu merajalela?"
Le Thong Hosiang menarik napas panjang. "Orang-orang kang-ouw di daerah utara itulah yang menyebabkan. Mereka semua percaya kepada bengcu mereka dan menyokongnya. Terus terang saja, di utara banyak terdapat orang-orang pandai dan andaikata kami turun tangan terhadap Wan-bengcu kami tentu akan bermusuhan dengan semua orang kang-ouw di sana."
Ci Kui melanjutkan pancingannya. "Heran sekali, bukankah di selatan ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai? Bahkan dulu aku pernah mendengar nama besar dari seorang bengcu di sini yang disebut Tung-nam Beng-cu (Ketua Persilatan Selatan dan Timur) dan bernama Liok Kong Ji!"
Le Thong Hosiang mengangguk-angguk. "Memang betul, akan tetapi Liok-taihiap itu hanya sebentar saja berada di sini memirripin kami. Sekarang dia telah pergi menghilang dari dunia kang-ouw, entah ke mana. Paling akhir ia berada di utara, akan tetapi di sana ia dimusuhi oleh orang-orang di bawah pimpinan Wan-bengcu. Kalau masih ada di sini, kiranya kami akan lebih kuat dan mudah untuk menghadapi penghinaan orang-orang utara."
Mendengar ini, kegirangan Ci Kui memuncak. Sambil tertawa-tawa ia mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya, memperlihatkan benda itu kepada Le Thong Hosiang dan kawan-kawannya sambil berkata. "Kenalkah Saudara-saudara akan benda ini?"
"Hek-tok-ciam dari Liok-taihiap....!" seru Le Thong Hosiang dan Hengtuan Lojin yang mengenal baik senjata rahasia berupa jarum hitam yang terkenal sebagai senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh Liok Kong Ji atau bengcu mereka dahulu. "Apakah Liok-taihiap masih hidup? Di mana dia dan bagairnana Hek-tokciam berada di tanganmu?" tanya hwesio ketua dari Taiyun-pai itu.
"Ketahuilah, Le Thong Hosiang, kami sebetulnya adalah utusan-utusan dari Thian-te Bu-tek Taihiap yang kini berada di luar daerah sebelah utara wilayah Cin."
"Siapa itu Thian-te Bu-tek Taihiap? tanya Nam Kong Hosiang, terkejut mendengar nama julukan yang demikian hebatnya.
"Apakah kau tidak bisa menduga? Thian-te Bu-tek Taihiap adalah Liok-taihiap yang kini menjadi tangan kanan raja besar di Mongolia."
Empat orang hwesio itu menjadi heran dan curiga. "Menjadi pembantu pemimpin bangsa Mongol yang disebut Temu Cin dan amat terkenal itu? Akan tetapi mengapa? Dan apa maksudnya mengutus Sam-wi ke selatan ini?"
"Ketahullah Saudara-saudara yang baik. Taihiap melihat keadaan yang makin buruk di utara, di mana rakyat ditindas oleh penjahat-penjahat bangsa Cin itu, bahkan orang-orang gagah di dunia kan g-ouw Sudah dikuasai pula oleh orang she Wan yang bukan lain adalah juga seorang keturunan Pangeran Wanyen dari suku bangsa Cin. Oleh karena itu, taihiap dengan bantuan raja besar dari bangsa Mongol, kami bermaksud memukul Kerajaan Cin dan membebaskan rakyat dari-pada penjajahan orang-orang Cin. Maka, kami diutus untuk menyampaikan hal ini kepada saudara-saudara di selatan agar kita dapat bekerja sama dalam usaha mulia itu.
“Hmmm, inilah urusan besar sekali yang tidak dapat begitu saja diputuskan oleh kami berempat," kata Le Thong Hosiang hati-hati sekali, "bagi pinceng sendiri, tentu saja pinceng bersedia bekerja sama kalau kerja sama ini dimaksudkan untuk memberi hukuman kepada Wan-bengcu dan mengangkat seorang bengcu baru yang lebih tepat, juga pinceng kira semua saudara di selatan akan setuju kalau diajak menggulingkan Pemerintah Cin untuk membebaskan rakyat daripada tindasan penjajahan." Ia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, "Akan tetapi, bukan semestinya kalau untuk usaha ini, kami menarik bantuan bangsa Mongol. Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk bekerja dengan kekuatan sendiri."
Ci Kui mengerutkan keningnya. tak disangkanya orang-orang di selatan begini angkuh. "Akan tetapi, Le Thong Hosiang. Kau sendiri tadi yang menyatakan bahwa di selatan kekurangan orang pandai, kalah oleh orang-orang di utara. Tanpa kerja sama, bagaimana akan berhasil cita-cita?"
Le Thong Hosiang tertawa. "Bukan di selatan tidak ada orang pandai, hanya belum muncul orang pandai. Kalau dua Naga Sakti yang bertapa di Omei-san tidak begitu tua dan mengasingkan diri puluhan tahun lamanya, kiranya di seluruh dunia ini tidak ada yang berani memandang rendah kepada kami orang-orang selatan."
Untuk meninggikan derajat orang-orang selatan, Le Thong Hosiang lalu menceritakan kepada tiga orang pendengarnya bahwa kitab yang diperebutkan oleh Thai Gu Cinjin dan Ang-jiu Mo-li tadi, dimaksudkan kitab dari Omei-san. Di puncak Omeisan yang amat keramat terdapat dua orang pertapa sakti bernama Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio, dua orang kakek pertapa yang sudah mengasingkan diri di tempat itu selama tiga puluh tahun lebih dan kabarnya dua orang kakek ini masing-masing telah mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya dari nenek moyang persilatan Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Couwsu. Karena dua orang kakek ini tidak mau "turun" ke dunia ramai dan tekun bertapa, maka banyak orang yang ingin sekali mencuri kitab-kitab pelajaran ilmu silat mereka yang kabarnya mereka simpan di dalam kuil tua di mana mereka tinggal. Inilah sebabnya maka ketika tersiar berita bahwa Thai Gu Cinjin dari Tibet berhasil mencuri kitab-kitab itu, ia dikejar-kejar oleh semua orang yang ingin merampas kitab-kitab itu.
“Demikianl ah, mengapa tadi kami berempat mengeroyoknya untuk merampas kembali kitab-kitab yang seharusnya tinggal di selatan. Akan tetapi ternyata kitab-kitab itu tidak berada padanya. Memang tadinya kami sudah bersangsi apakah betul-betul ada orang mampu mencuri kitab-kitab itu dari tangan dua orang kakek sakti itu," Le Thong Hosiang mengakhiri ceritanya.
Pak-kek Sam-kui tertarik sekali oleh cerita ini dan diam-diam mereka mencatat semua yang mereka dengar itu, karena sebagai orang-orang ahli silat, mendengar tentang ilmu silat tinggi yang dimiliki oleh dua orang kakek itu, amat menarik perhatian mereka dan ingin mereka berjumpa dengan dua orang kakek itu.
"Betapapun juga, seperti telah pinceng katakan tadi, urusan yang sam-wi kemukakan bukanlah urusan kecil yang dapat pinceng putuskan sendiri. Pinceng akan menyampaikan hal itu kepada kawan-kawan lain dan minta pendapat mereka. Kemudian, sekali lagi kami menghaturkan terima kasih dan apabila kebetulan sam-wi lewat di Taiyun-san, pinceng persilakan mampir."
Mereka berpisah di situ. Setelah empat orang hwesio itu pergi, Pak-kek Sam-kui baru teringat akan murid mereka, Tiang Bu.
"Eh, mana bocah itu?" kata Sin-saikong Ang Louw. Mereka mencari-cari, akan tetapi, seperti juga Thai Gu Cinjin, mereka tidak dapat menemukan TiangBu.
Mari kita menengok apa yang dialami oleh Tiang Bu, bocah yang dicari-cari oleh Thai Gu Cinjin dan Pak-kek Sam-kui itu. Tiang Bu kaget bukan main ketika pendeta Lama yang memaksanya menerima titipannya berupa bingkisan itu melemparkannya ke dalam jurang yan g cukup dalam. Anehnya, ia terlempar ke dalam jurang dalam keadaan berdiri dan agak memutar sehingga tidak laju benar jatuhnya dan ia jatuh dalam keadaan duduk. Ia tidak memperdulikan lagi seruan kakek Lama itu yang menyuruhnya tinggal menunggu di situ, karena pada saat itu Tiang Bu menghadapi keanehan lain yang membuatnya melongo.
Ternyata ketika ia jatuh dalam keadaan duduk, ia merasa betapa tubuhnya diterima oleh sepasang tangan yang kuat dan ketika ia memandang, betul saja bahwa ia terjatuh ke dalam pangkuan seorang kakek yan g kepalanya bundar botak dan tubuhnya pendek, kecil dan kurus seperti tengkorak ! Dengan sepasang mata seperti orang baru bangun tidur, kakek ini memandang bocah di pangkuann ya dengan pandangan tajam menyelidik, kemudian ia tersenyum aneh, disusul suara ketawa perlahan.
"Heh heh heh, peruntungan manusia memang aneh. Yang setengah mampus mencari tidak mendapat, yang duduk diam tak tersangka-sangka menerima apa yang direbutkan orang. Bocah, tahukah kau bahwa kau telah menerima sebuah pusaka yang tak ternilai harganya dari Thai Gu Cinjin tadi?"
Tiang Bu biarpun seorang anak kecil, karena ia sudah lama mengikuti tiga orang gurunya yan g juga orang-orang aneh dan sakti, dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang pandai. Cepat ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan locianpwe." Orang aneh yang pakaiannya bertambal-tambal seperti pengemis kelaparan itu mengangkat alis. "Eh...? Terima kasih untuk apa? Siapa yang menolongmu? Memang Thai Gu Cinjin tidak menghendaki kau binasa maka kau dilempar ke sini seperti tadi. Kau tahu, apa yang kau bawa di saku bajumu itu?"
Tiang Bu menggeleng kepala. "Teecu tidak tahu." Kembali kakek itu tertawa, hampir-hampir tidak bersuara, hanya angin dari mulutnya yang ompong saja terdengar hahaheheh.
"Lucu sekali... lucu sekali! Kalau kedua losuhu di Omei-san mendengar akan hal ini, mereka bisa mati tertawa. Pusaka berharga berada di dalam saku, masih tidak tahu benda apa sebenarnya itu! Heh heh heh, bocah tolol, ketahuilah bahwa bungkusan itu berisi kitab rahasia pelajaran ilmu silat yang luar biasa dari Tiong Jin Hwesio yang dicuri oleh Thai Gu Cinjin."
Tiang Bu tetap tidak berubah air mukanya. "Tiada gunanya bagiku, locian-pe."
"Tiada gunanya? Apa maksudmu?" Muka yang botak ini menjadi merah sekali, saking mendongkol dan heran mendengar kata-kata yang baginya tak masuk akal ini. Bagaimana orang yang mendapatkan kitab luar biasa itu berani mengatakan tiada guna?
"Pertama-tama, benda ini hanyalah barang titipan saja dan tentu akan diambil kembali oleh pendeta berjubah merah itu. Kedua kalinya, teecu tidak dapat membaca sebuah huruf pun."
"Bodoh! Pertama, Thai Gu Cinjin hanya akan menerima kembali kitab itu berikut nyawamu karena kau menjadi saksi utama bahwa kitab itu berada padanya. Kedua, apa sih sukarnya belajar membaca huruf ? Kau tidak tahu bahwa sebentar lagi, pendeta Lama itu tentu akan mencari-carimu untuk mengambil kembali kitab itu berikut nyawamu."
Kini Tiang Bu benar-benar kaget. "Locianpwe, harap tolong teecu."
"Mari kau ikut keluar dari sini." Kakek pengemis ini berdiri dan ternyata kakinya cacat, besar sebelah.
Kaki yang kiri amat kecil sehingga jalannya terpincang-pincang. Akan tetapi, sekali ia memegang lengan Tiang Bu dan menggerakkan kaki kanan, tubuh mereka berdua telah melayang naik dari dalam jurang itu. Tak lama kemudian, dengan menggandeng tangan Tiang Bu, atau lebih tepat mengangkat tubuh anak itu karena kedua kaki Tiang Bu tidak menyentuh tanah, kakek aneh ini berlari cepat sekali keluar dari tempat itu, memasuki hutan, keluar hutan dengan cekatan seperti seekor burung walet saja...
"Kalian ini iblis-iblis dari mana berani membikin rusuh di Ui-cun?"
Si Muka Singa Ang Louw tertawa dan bertolak pinggang. "Badut Gundul, kau datang-datang marah mau apa? Kau seperti raja kehilangan selir saja. Apa gundulmu terbentur pintu?"
Memang Ang Louw yang mukanya seperti singa ini paling doyan berkelakar, berbeda dengan dua orang suhengnya yang bersungguh-sungguh menghadapi lain orang dan hanya tertawa bergurau dengan saudara sendiri.
Hwesio itu nampak makin marah. Ia membanting kaki kanannya dan lantai yang dihantam oleh kakinya menjadi jebol, kakinya masuk ke dalam lubang sekaki lebih!
"Keparat, kau ini saikong siluman agaknya yang telah menghina murid-muridku. Kau merampas hidangan orang, menurunkan tangan jahat, menotok hwesio-hwesio suci, menghina kelenteng dengan membawa pergi hiolouw yang kau isi dengan arak. Kau benar-benar dikutuk para dewata!"
Ang Louw menyeringai dan mukanya benar-benar menyerupai singa yang hendak menerkam mangsanya. "Badut Gundul! orang-orang macam kau dan murid-muridmu memang patut dihajar. Mana ada hwesio-hwesio menghadapi hidangan berupa arak dan mi yang penuh dengan daging? Kalian ini mempunyai pekerjaan mengemis dan minta belas kasihan orang untuk mengisi perut. Sekarang kami orang-orang asing datang dengan perut kosong, sudah sepatutnya kalian yang sudah seribu kali minta makanan dari orang lain itu sekali-kali memberi sedekah kepadaku. Tentang hiolouw, bagaimana kau bilang aku menghina? Hiolouw biasanya buat tempat abu, aku meminjamnya untuk diisi arak dan dipakai untuk minum itu tandanya malah menghormat."
Hwesio itu marah sekali. Dengan menggeram ia memukul Ang Louw. Gerakannya cepat pukulannya berat. Tidak aneh, karena hwesio ini sebetulnya adalah anak murid dari Kaolikung-pai, seorang di antara para murid ketua kelenteng di Kaolikung-san. Kepandaiannya sudah tinggi dan dengan murid-muridnya ia bertugas mengepalai kelenteng di Ui-cun sekalian memata-matai gerakan orang-orang utara yaitu orang-orang yang datang dari daerah Cin.
Kaoli-kung-pai termasuk partai yang anti kepada pemerintah Cin dan termasuk sebagai pelopor dalam tiap pertempuran kecil-kecilan antara orang-orang dari daerah Cin dengan orang-orang dari daerah Sung. Ketika hwesio itu pulang dari bepergian dan melihat murid-muridnya tertotok kaku seperti patung dan selain arak dan makanan, juga hiolouw dibawa pergi orang, ia menduga bahwa ini tentu perbuatan orang-orang dari utara. Cepat ia melakukan penyelidikan dan pada keesokan harinya baru ia rnendapatkan tiga orang aneh dan seorang bocah tidur di dalam kelenteng bobrok yang sudah tidak dipakai lagi itu.
Akan tetapi Ang Louw yang diserang itu tertawa-tawa mengejek. "Eh, eh, kau mau berkelahi? Apa kau sudah bosan hidup?"
Hwesio itu yang beberapa kali serangannya dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya menjadi naik darah dan serangannya makin gencar. Sebuah tonjokannya yang dilakukan dengan sekuat tenaga mampir di pundak An g Louw, membuat Si Muka Singa itu meringis-ringis. Memang ilmu silat memiliki keistimewaan masing-masing dan biarpun kepandaian Ang Louw jauh lebih tinggi, namun menghadapi lawan yang menggunakan ilmu silat asing baginya, tidak aneh kalau ia sampai terkena pukulan.
Akan tetapi pukulan ini membuat Si Muka Singa marah sekali. Ia mengeluarkan auman yang keras dan menyeramkan sekali. Hwesio itu terkejut karena tiba-tiba ia merasa tubuhnya tergetar hebat oleh suara auman yang melebihi auman singa hebatnya. Gerakan kaki tangannya menjadi lambat dan di lain saat Si Muka Singa menerkam maju dengan dahsyat, tangan kanannya menyambar dengan tenaga ratusan kati memukul dagu hwesio itu.
"Prakkk...!" Demikian kerasnya pukulan ini sehingga kepala hwesio yang tidak berambut itu menjadi pecah berantakan! Tubuhnya terlempar dan roboh terguling-guling di sudut, mati sebelum tubuhnya jatuh di tanah.
Melihat kehebatan pukulan ini, Tiang Bu diam-diam merasa ngeri, akan tetapi juga kagum. Akan tetapi Giam-lo-ong Ci Kui menegur Si Muka Singa. "Siauw-sute, kau benar-benar gegabah. Kita datang untuk menghubungi orang-orang kang-ouw, akan tetapi datang-datang kau membunuh seorang hwesio. Sungguh bukan permulaan yang baik."
"Twa-suheng, hwesio macam begini saja, apa sih artinya? Tugas kita adalah menghubungi tokoh-tokoh besar dan ketua-ketua partai," Sutenya membantah.
Ci Kui tidak banyak cakap lagi lalu mengajak rombongannya segera me lanjutkan perjalanan, menuju ke kota Cun-yi di sebelah selatan dusun itu. Jalan menuju ke Cun-yi melalui pegunungan yang sunyi dan penuh dengan hutan yang lebat. Oleh karena masih asing dengan daerah ini, maka biarpun jsrak ke kota itu hanya seratus li, akan tetapi Pak-kek Sam-kui harus bertanya-tanya kepada orang-orang dusun dan perjalanan tak dapat dilakukan cepat-cepat.
Salahnya, tiga orang kakek itu melakukan perjalanan terburu-buru oleh karena Ci Kui hendak menghindari segala ekor yang tidak enak dari peristiwa pembunuhan hwesio itu, maka pada hari pertama itu mereka telah sesat jalan! Mereka tersesat ke dalam hutan yang amat besar dan liar di antara perbatasan Propinsi Kwicu dan Secuan dan tanpa disadari mereka memasuki daerah Tai-hang-san!
Telah sehari penuh mereka berjalan cepat, Tiang Bu digendong oleh Liok-te Mo-ko Ang Bouw akan tetapi sampai matahari terbenam mereka masih belum keluar dari daerah pegunungan yang penuh hutan itu. Terpaksa malam hari itu mereka bermalam di hutan. Karena sehari penuh tidak pernah melihat ada dusun, tentu saja mereka masih belum dapat minta keterangan kepada penduduk dan karenanya masih belum sadar bahwa mereka mengambil jalan yang salah.
Pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian mereka berada di lereng gunung dan melihat puncak gunun g menjulang tinggi di depan, Ci Kui berkata, "Ah, kita telah salah jalan. Di depan ada gunung tinggi padahal menurut keterangan, jalan menuju ke Cun-yi tidak melewati puncak gunung yang tinggi."
"Sejak kemarin aku sudah bilang, Suheng. Kita menuju ke jurusan tenggelamnya matahari berarti kita telah mengambil jalan ke barat. Padahal seharusnya kita ke selatan," kata Liok-te Mo-ko sambil menurunkan Tiang Bu dari gendongan dan mengeringkan peluh di kepalanya yang botak menggunakan ujung bajunya. Selagi mereka termenung memandang puncak gunung yang tidak mereka kenal itu tiba-tiba Ci Kui berseru,
"Hai, di sana ada orang bertempur.” Dan ia lari melalui lereng yang menanjak naik, diikuti oleh kedua sutenya. Tiang Bu juga berlari secepatnya untuk mengikuti gurugurun ya, akan tetapi tentu saja ia tertinggal. Ia tidak takut ditinggalkan dan mengejar terus. Anak kecil ini sudah terlatih dalam hal berlari melalui jalan-jalan pegunungan yang sukar-sukar.
"Ah, yang bertempur adalah orang-orang pandai. Ini kesempatan baik bagi kita untuk menghubungi mereka dan membantu mereka," kata pula Ci Kui setelah melihat empat orang hwesio setengah tua yang berwajah keren tengah mengeroyok seorang hwesio lain yang lihai sekali llmu silatnya.
Empat orang hwesio itu dilihat dari bentuk pakaiannya saja dapat diduga bahwa rnereka adalah hwesio-hwesio yang biasa menjadi penghuni kelenteng-kelenteng di Tiongkok selatan, sedangkan hwesio yang dikeroyok dan lihai sekali itu berjubah merah darah, bermuka hitam dan tinggi sekali hidungnya bengkok. Melihat ini, Pak-kek Sam-kui segera dapat menduga bahwa hwesio lihai yang berjubah merah dan memakai topi pendeta kuning itu tentulah seorang pendeta dari Tibet, pendeta Lama yang banyak merantau ke Tiongkok.
"Sute, pendeta Lama itu lihai sekali. Akan tetapi kita harus membantu empat orang hwesio itu," kata Ci Kui kepada dua orang sutenya. Dua orang sutenya juga maklum akan maksud suheng mereka, maka tanpa banyak cakap lagi tiga orang ini lalu melompat ke gelanggang pertempuran.
"Lama kurang ajar, jangan banyak tingkah di sini!" bentak Ci Kui sambil menyerang dengan pukulan-pukulannya yang dahsyat. Juga Ang Bouw dan Ang ouw berseru keras.
"Empat sahabat jangan khawatir, kami datang membantu!"
Pendeta Lama yang mainkan sebuah tongkat pendeta panjang itu nampak terkejut sekali, karena serbuan tiga orang ini benar-benar hebat sekali. Tadi, menghadapi sebuah toya, dua buah tombak dan sepasang golok yang dimainkan oleh empat orang pengeroyoknya, ia masih mendapat angin dan berada di fihak yang mendesak. Akan tetapi begitu tiga orang kakek aneh seperti iblis itu menyerbu, biarpun mereka ini hanya bertangan kosong, sebentar saja ia menjadi terdesak hebat. Sebaliknya empat orang hwesio itu menjadi girang dan bertambah semangat mereka karena menerima bantuan tiga orang pandai yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
"He, kalian ini bukankah orang-orang dari dunia utara? Mengapa mencampuri urusan kami!" Pendeta Lama itu biarpun terdesak hebat, masih sempat menegur Pak-kek Sam-kui.
Tiga orang kakek ini kagum juga akan ketajaman mata pendeta yang sudah tua itu. "Kau ini pendeta dari barat berani kurang ajar terhadap sahabat-sahabat kami dari selatan, tentu saja kami membantu!" kata Ci Kui yang sengaja berkata demikian untuk menarik hati empat orang hwesio itu. Ia dapat menduga bahwa empat orang hwesio yang belum dikenalnya ini tentulah tokoh-tokoh selatan yang ternama, maka dengan mengambil hati mereka, akan lebih mudah ia menghubungl tokoh-tokoh selatan.
Di lain fihak, empat orang hwesio itu khawatir kalau-kalau tiga orang kakek aneh yang membantu akan meoghentikan bantuannya, maka seorang di antara mereka berseru. "Sam-wi Locianpwe, jangan melepaskan penjahat berkedok Lama ini. Dia telah mencuri pusaka dari Omei-san!"
Pendeta Lama itu tertawa terbahak bahak. "Ha, ha, ha, ada perampok-perampok berteriak maling. Sungguh lucu!" Setelah berkata demikian, karena tidak tahan akan desakan tujuh orang itu, ia memutar tongkat panjangnya secara istimewa sekali, cepat dan kuat-kuat hingga angin pukulannya saja membuat tujuh orang lawannya, kecuali Giam-lo-ong Ci Kui seorang, terpaksa bergerak mundur. Ini menandakan bahwa tenaga lweekang dari pendeta Lama itu amat besar dan hanya Ci Kui yang mampu menahan. Kesempatan ini dipergunakan oleh pendeta Lama untuk melompat pergi dan melarikan diri.
"Jangan lari!" seru Sin-saikong Ang Louw sambil menubruk maju dan ketika ia bergerak dari kedua tangannya menyambar sinar-sinar merah yang amat lembut. Inilah jarum-jarum rahasia dari Sin-saikong Ang Louw yang amat lihai.
Akan tetapi anehnya, pendeta Lama itu tidak mengelak dan terus saja lari. Jarum-jarum itu ketika mengenai jubah yang lebar dan berkibar di belakang menutupi tubuh pendeta itu, menancap akan tetapi tidak menembus. Ternyata bahwa yang dipakai oleh pendeta Lama itu bukanlah jubah sembarangan, melainkan jubah sutera istimewa yang di sebelah dalamnya terdapat kain benang-benang perak yang amat kuat!
"Kejar penjahat itu!" Empat orang hwesio tadi berteriak-teriak dan lari mengejar. Pak-kek Sam-kui juga mengejar, akan tetapi mereka ini ketika melihat bahwa ilmu lari cepat dari empat orang hwesio itu tidak dapat melawan ilmu lari cepat si pendeta Lama, lalu mengendurkan larinya dan tidak mengejar dengan sungguh-sungguh hendak memusuhi si pendeta Lama.
Pendeta Lama itu berlari cepat melihat tujuh orang mengejarnya terus. Tiba-tiba di depannya ia melihat seorang bocah yang wajahnya amat menarik perhatiannya. Bocah ini nampak sehat kuat, jujur dan sinar matanya tajam luar biasa. Pakaian bocah yang sederhana dan compang-camping itu menandakan bahwa ia berhadapan dengan seorang bocah gunung. Tiba-tiba terdengar suara aneh dari sebelah kiri, di balik puncak. Suara ini melengking tinggi seperti suling, kemudian mengalun dan lapat-lapat terdengar seperti suara ketawa seorang wanita, suara ketawa yang merdu.
"Celaka..." pendeta Lama itu menjadi pucat, "kalau dia ikut mengejar..." Timbul pikiran yang amat baik. Ia melompat ke dekat bocah itu yang bukan lain adalah Tiang Bu yang sedang susah payah mengejar tiga orang suhunya. Di-keluarkannya sebuah bungkusan dari jubahnya, diberikan bungkusan itu kepada Tiang Bu dan pendeta itu berkata. "Anak baik, kau simpankan ini. Ku titipkan kepadamu, kelak aku akan datang mengambilnya. Siapa namamu?"
"Namaku Tiang Bu," jawab bocah itu sambil menerima bungkusan. Pada saat itu terdengar suara lengking meninggi itu!
"Lekas, simpan dalam bajumu jangan kelihatan orang," kata pendeta Lama sambil membantu Tiang Bu memasukkan bungkusan itu ke dalam saku baju di sebelah dalam. Kemudian pendeta itu tiba-tiba menarik lengan Tiang Bu dan melemparkan anak itu ke dalam jurang!
"Tinggal dulu di sana, jangan berteriak. Kalau ada orang melihatmu, kau akan mampus!" kata pendeta Lama itu yang cepat lari ke depan.
Akan tetapi baru belasan kali lompatan, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang wanita cantik sekali telah berdiri di depannya. Wanita ini berpakaian serba putih, wajahnya kemerahan dan rambutnya yang halus hitam panjang itu terurai di belakang punggungnya. Sebatang pedang menempel pada punggung, sikapnya gagah sekali. Ketika ia mengangkat tangan kirinya ke atas dengan isyarat menyuruh Lama itu berhenti, nampak jelas bahwa telapak tangannya kemerahan seperti berlepotan darah. Inilah Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Tangan Merah).
"Thai Gu Cinjin, berhenti dulu" wanita itu berseru suaranya merdu dan tinggi nyaring menusuk telinga tanda bahwa dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang. Kemudian terdengar suara ketawanya yang aneh seperti lengking suling. Pendeta Lama itu nampak gelisah mendengar suara ketawa ini.
"Ang-jiu Mo-li, kau menghentikan pinceng ada keperluan apakah?" tanyanya, suaranya digagah- gagahkan agar tidak kelihatan bahwa dia gentar menghadapi wanita ini . Memang sungguh lucu melihat tokoh besar seperti Thai Gu Cin-jin yang di Tibet terkenal sebagai jagoan berilmu tinggi, kelihatan gentar menghadapi seorang wanita cantik yang biarpun kelihatan muda jelita akan tetapi sudah berusia lima puluh tahun ini!
Ang-jiu Mo-li sekali lagi tertawa cekikikan, kemudian suara ketawanya terhenti tiba-tiba dan keningnya berkerut, matanya memancarkan cahaya menakutkan. “Thai Gu Cinj in, sudah lama aku mendengar bahwa kau adalah seorang pendeta Lama yang paling cerdik banyak akal dan suka pura-pura. Ternyata sekarang betul, kau masih hendak berpura-pura dan bertanya apa maksudku menghentikanmu, seakan-akan kau tidak berdosa sama sekali! Akan tetapi aku tidak mau seperti kau, aku berterus terang saja. Aku sengaja menghadangmu dan lekas-lekas kau berikan kitab-kitab Omei-san itu."
Mendengar ini Thai Gu Cinjin berdongak ke atas, tertawa bergelak dan memukul-mukulkan ujung tongkatnya ke atas tanah sehinggga batu-balu menjadi remuk. "Ha ha ha ha! Kau juga, Ang-jiu Mo-li? Benar-benar lucu. Baru saja Le Thong Hosiang, Nam Kong Hosiang, Nam Siong Hosiang dan Hengtuan Lojin empat orang hwesio goblok itu mengeroyok pinceng dan juga minta kitab dari Omei-san. Apa kau kira mudah saja mengambil kitab dari dalam gua yang dijaga oleh dua ekor naga sakti itu? Kau boleh coba-coba mengambilnya di Omei-san! Ha ha ha!"
"Kalau mempergunakan tongkatmu itu aku percaya, kau takkan mampu mengambll kitab dari Omei-san. Akan tetapi tipu muslihatmu mungkin membuatmu berhasil. Aku mendengar berita bahwa kau sudah berhasil menipu Tiong Jin Hwesio. Nah, sekarang jangan banyak cakap, lekas kau serahkan kitab itu kepadaku."
"Eh, kau tidak percaya kepadaku, Ang-jiu Mo-li? Pinceng bersumpah bahwa kitab itu tidak ada pada pinceng!"
"Hmmm, siapa percaya pada sumpahmu? Perlihatkanlah isi saku bajumu."
"Ang-jiu Mo-li, kau benar-benar terlalu! Kau tidak saja tak percaya kepada kata-kata pinceng, bahkan sampai pinceng bersumpah kau tidak percaya. Kau ingin menggeledah?"
"Betul, lekas buka jubahmu dan jangan banyak cerewet!"
"Ini penghinaan namanya!"
"Habis kau mau apa?"
"Ang-jiu Mo-li, sudah lama pinceng tidak merasai kelihaianmu. Kalau kau dapat merampas tongkat pinceng ini, baru pinceng mengaku kalah dan menuruti kehendakmu memeriksa saku jubahku ini." Setelah berkata begini, pendeta Lama yan g bernama Thai Gu Cinjin itu lalu memegang tongkatnya lurus ke depan dada dengan tangan kanan disodorkan ke arah Ang-jiu Mo-li.
Wanita ini kembali tertawa aneh. "Kalau aku tidak melihat kau sudah tua dan sudah bersusah payah meninggalkan Tibet untuk mencari kitab Omei-san, tentu kau takkan dapat meninggalkan tempat ini dengan nyawa dalam tubuhmu. Baiklah, kaupertahankan tongkatmu!"
Ang-jiu Mo-li lalu menangkap tongkat itu dengan tangan kirinya, mengerahkan tenaga lweekang disalurkan ke arah tongkat untuk membetot, Thai Gu Cinjin mempertahankan. Ang-jiu Mo-li mengubah-ubah tenaganya, kadang-kadang membetot, kadang-kadang mendorong. Akan tetapi Thai Gu Cinjin tak dapat diakali dan dapat mengimbangi serangan lawan.
Tiba-tiba Ang-jiu Mo-li mengeluarkan seruan keras dan warna merah dari telapak kedua tangannya menjalar perlahan-lahan sehingga tak lama kemudian tongkat di bagian yang terpegang oleh wanita ttu mulai mengeluarkan uap! Terus saja uap itu menjalar menuju ke tangan Thai Gu Cinjin yang merasa terkejut sekali. Akan tetapi mengandalkan tenaga lweekangnya yang sudah tinggi sekali, dia tidak takut dan bersiap-siap menerima serangan hawa dari tangan merah itu. Uap terus menjalar menyusuri tongkat, tanda bahwa hawa itu makin lama menjalar makin jauh mendekati lawan. Akhirnya uap menyentuh tangan Thai Gu Cinjin yang memegang tongkat.
Pendeta Lama ini merasa seakan-akan ia memegang besi merah. Panasnya tak tertahankan lagi, apalagi selain hawa panas ini masih disertai hawa mendorong yang amat dahsyat. Ia mempertahankan, akibatnya, telapak tangannya mulai hangus dan beruap, mengeluarkan bau seperti kulit dibakar.
"Menyerah..." katanya terengah-engah karena ia menahan napas dan mengerahkan seluruh tenaga.
Ang-jiu Mo-li tertawa nyaring sekali dan menancapkan tongkat yang sudah berpindah tangan itu ke atas tanah. Tongkat amblas sampai setengahnya. Tanpa banyak cakap lagi, Thai Gu Cinjin membuka jubah luarnya dan melemparkan jubah di atas tanah. Ia kini hanya memakai pakaian dalam yang ringkas dan tidak bersaku.
Dengan ujung sepatunya, Ang-jiu Mo-Li meraba-raba jubah itu. Ketika mendapat kenyataan bahwa di situ tidak tersimpan kitab, ia nampak kecewa dan marah. Dipandangnya, wajah Thai Gu Cinjin dengan tajam.
"Thai Gu Cinjin, sekarang kau menang. Memang kau tidak membawa kitab, akan tetapi kalau kelak ternyata kitab itu ada padamu, ingatlah bahwa aku tidak biasa melupakan penghinaan orang kepadaku. Dan kalau saat ini kau menipuku, berarti kau telah menghinaku!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah wanita yang mengerikan itu.
Thai Gu Cinjin mencabut tongkatnya sambil menarik napas panjang, memakai lagi jubahnya yang merah, lalu tiba-tiba ia berpaling memandang ke arah tujuh orang yang baru saja muncul dari tempat persembunyiannya.
"Nah, apakah kalian hendak melanjutkan pertempuran tadi sampai mati?" bentaknya marah.
Tujuh orang ini bukan lain adalah empat orang hwesio dan tiga kakek Pak-kek Samkui. Mereka ini tadi mengejar dan melihat Thai Gu Cinjin bertengkar dengan seorang wanita baju putih yang kedua tangannya merah, mereka berhenti. Pak-kek Sam-kui menjadi pucat ketika mengenal bahwa wanita itu bukan lain adalah Ang-jiu Mo-li yang mereka takuti, maka buru-buru mereka mengajak empat orang hwesio itu bersembunyi di balik pohon-pohon. Setelah Ang-jiu Mo-li pergi, baru mereka berani muncul. Thai Gu Cinjin yang merasa terhina oleh Ang-jiu Mo-li akan tetapi tidak berdaya, melihat munculnya bekas lawan ini, menimpakan kemarahannya kepada mereka dan menantang mereka melanjutkan pertempuran.
Akan tetapi ketika empat orang hwesio itu melihat betapa setelah digeledah ternyata pendeta Lama itu benar-benar tidak menyimpan kitab yang mereka hendak rebut, mereka bahkan menjura memberi hormat dan Le Thong Hosiang berkata.
"Mohon Taisuhu sudi memaafkan kami yang keliru menyangka dan telah berlaku kurang ajar."
Thai Gu Cinjin mengeluarkan suara di hidung, melirik ke arah Pak-kek Sam-kui dan berkata perlahan, "Ang-jiu, Mo-Li Si Ratu Iblis dari utara datang untuk mencari kitab Omei-san, agaknya banyak orang-orang dari utara juga datang beramai-ramai. Hemmm, kalau yang tiga ini bukan Tiga Setan Kutub Utara, siapa lagi?”.
Giam-lo-ong Ci Kui menjura dan tertawa. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian dari Thai Gu Cinjin tinggi sekali dan biarpun mereka bertujuh mengeroyok, kalau dilakukan pertempuran mati-matian, andaikata mereka menang sekalipun tentu di fihak mereka akan jatuh banyak korban.
"Penglihatan Cinjin benar-benar tajam sekali. Kelak kalau ada kesempatan ke Tibet, tentu kami bertiga akan mengadakan kunjungan penghormatan."
Kembali Thai Gu Cinjin mengeluarkan suara mengejek di hidung, kemudian menyeret tongkatnya dan pergi dari situ. Tentu saja ia tidak terus pergi meninggalkan pegunungan itu, melainkan berkeliaran di sekitar situ mencari Tiang Bu. Akan tetapi alangkah heran, kaget dan mendongkolnya ketika ia tidak dapat menemukan bocah yang ia titipi kitab-kitab itu! Tadi ia melemparkan Tiang Bu ke dalam jurang mempergunakan ke-pandaiannya sehingga bocah itu tidak terluka ketika tiba di dasar jurang, akan. tetapi sekarang bocah itu sudah tidak berada di dalam jurang lagi, entah ke mana perginya dan dengan cara bagaimana. Thai Gu Cinjin marah-marah, terus mencari, bahkan pergi ke sekitar puncak gunung itu, tetap saja sia-sia dan tidak menemukan bocah itu.
"Celaka! Bocah s etan! Kalau aku mendapatkan engkau, akan kuputar batang lehermu. Berani kau mempermainkan aku," pikir pendeta Lama itu dengan marah dan terus mencari-cari, kini menuju ke selatan karena disangkanya bocah itu tentu telah lari ke selatan membawa bungkusan kitab-kitab itu.
Adapun Pak- kek Sam-kui pada saat itu sedang bercakap-cakap dengan empat orang hwesio itu. Memang, empat orang hwesio itu bukan lain adalah Le Thong Hosiang, N am Kong Hosiang, N am Siong Hosiang dan Hengtuan Lojin, empat orang hwesio yang pernah datang di Lu-liangsan dan membuka rahasia Wan-bengcu sebagai keturunan dari Pangeran Wanyen yang dibenci oleh orang-orang gagah, kemudian telah dituturkan di bagian depan betapa Le Thong Hosiang telah mengadu kepandaian dengan Bu Kek Siansu.
Le thong Hosiang dan kawan-kawannya memberi hormat kepada Pak-kek Sam-kui dan memperkenalkan namanya. Kemudian ia berkata. "Sudah lama pinceng mendengar nama besar Sam-wi Locianpwe dan kebetulan sekali hari ini selain menyaksikan kelihaian Sam-wi, juga telah menerima pertolongan. Pinceng dan kawan-kawan menghaturkan banyak terima kasih.”
Giam-lo-ong Ci Kui tertawa. "Ah, Saudara-saudara terlalu sungkan. Sudah selayaknya orang-orang segolongan saling membantu dan tentang kepandaian... ah, memalukan bicara tentang kepandaian setelah kita bertemu dengan orang-orang seperti Thai Gu Cinjin dan lebih-lebih Ang-jiu Mo-li itu. Hanya orang dengan kepandaian tinggi seperti Wan-bengcu kiranya boleh dibandingkan dengan mereka”
Ci Kui sengaja menyebut Wan-bengcu untuk melihat bagaimana hubungan mereka ini dengan bengcu itu. Girang hatinya melihat betapa wajah empat orang hwesio itu menjadi muram, bahkan Heng tuan Lojin berkata tak senang.
"Orang-orang utara memang banyak yang pandai, sayang mereka tolol, memilih bengcu keturunan Pangerah Cin dan bekas penjahat pula!"
Ci Kui tertawa girang. "Cocok! Memang kami sendiri merasa benci melihat bengcu yang muda sombong dan keturunan bangsawan penindas rakyat itu! Akan tetapi, mengapa saudara-saudara dari selatan tidak mau turun tangan dan mendiamkannya saja bangsat itu merajalela?"
Le Thong Hosiang menarik napas panjang. "Orang-orang kang-ouw di daerah utara itulah yang menyebabkan. Mereka semua percaya kepada bengcu mereka dan menyokongnya. Terus terang saja, di utara banyak terdapat orang-orang pandai dan andaikata kami turun tangan terhadap Wan-bengcu kami tentu akan bermusuhan dengan semua orang kang-ouw di sana."
Ci Kui melanjutkan pancingannya. "Heran sekali, bukankah di selatan ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai? Bahkan dulu aku pernah mendengar nama besar dari seorang bengcu di sini yang disebut Tung-nam Beng-cu (Ketua Persilatan Selatan dan Timur) dan bernama Liok Kong Ji!"
Le Thong Hosiang mengangguk-angguk. "Memang betul, akan tetapi Liok-taihiap itu hanya sebentar saja berada di sini memirripin kami. Sekarang dia telah pergi menghilang dari dunia kang-ouw, entah ke mana. Paling akhir ia berada di utara, akan tetapi di sana ia dimusuhi oleh orang-orang di bawah pimpinan Wan-bengcu. Kalau masih ada di sini, kiranya kami akan lebih kuat dan mudah untuk menghadapi penghinaan orang-orang utara."
Mendengar ini, kegirangan Ci Kui memuncak. Sambil tertawa-tawa ia mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya, memperlihatkan benda itu kepada Le Thong Hosiang dan kawan-kawannya sambil berkata. "Kenalkah Saudara-saudara akan benda ini?"
"Hek-tok-ciam dari Liok-taihiap....!" seru Le Thong Hosiang dan Hengtuan Lojin yang mengenal baik senjata rahasia berupa jarum hitam yang terkenal sebagai senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh Liok Kong Ji atau bengcu mereka dahulu. "Apakah Liok-taihiap masih hidup? Di mana dia dan bagairnana Hek-tokciam berada di tanganmu?" tanya hwesio ketua dari Taiyun-pai itu.
"Ketahuilah, Le Thong Hosiang, kami sebetulnya adalah utusan-utusan dari Thian-te Bu-tek Taihiap yang kini berada di luar daerah sebelah utara wilayah Cin."
"Siapa itu Thian-te Bu-tek Taihiap? tanya Nam Kong Hosiang, terkejut mendengar nama julukan yang demikian hebatnya.
"Apakah kau tidak bisa menduga? Thian-te Bu-tek Taihiap adalah Liok-taihiap yang kini menjadi tangan kanan raja besar di Mongolia."
Empat orang hwesio itu menjadi heran dan curiga. "Menjadi pembantu pemimpin bangsa Mongol yang disebut Temu Cin dan amat terkenal itu? Akan tetapi mengapa? Dan apa maksudnya mengutus Sam-wi ke selatan ini?"
"Ketahullah Saudara-saudara yang baik. Taihiap melihat keadaan yang makin buruk di utara, di mana rakyat ditindas oleh penjahat-penjahat bangsa Cin itu, bahkan orang-orang gagah di dunia kan g-ouw Sudah dikuasai pula oleh orang she Wan yang bukan lain adalah juga seorang keturunan Pangeran Wanyen dari suku bangsa Cin. Oleh karena itu, taihiap dengan bantuan raja besar dari bangsa Mongol, kami bermaksud memukul Kerajaan Cin dan membebaskan rakyat dari-pada penjajahan orang-orang Cin. Maka, kami diutus untuk menyampaikan hal ini kepada saudara-saudara di selatan agar kita dapat bekerja sama dalam usaha mulia itu.
“Hmmm, inilah urusan besar sekali yang tidak dapat begitu saja diputuskan oleh kami berempat," kata Le Thong Hosiang hati-hati sekali, "bagi pinceng sendiri, tentu saja pinceng bersedia bekerja sama kalau kerja sama ini dimaksudkan untuk memberi hukuman kepada Wan-bengcu dan mengangkat seorang bengcu baru yang lebih tepat, juga pinceng kira semua saudara di selatan akan setuju kalau diajak menggulingkan Pemerintah Cin untuk membebaskan rakyat daripada tindasan penjajahan." Ia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, "Akan tetapi, bukan semestinya kalau untuk usaha ini, kami menarik bantuan bangsa Mongol. Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk bekerja dengan kekuatan sendiri."
Ci Kui mengerutkan keningnya. tak disangkanya orang-orang di selatan begini angkuh. "Akan tetapi, Le Thong Hosiang. Kau sendiri tadi yang menyatakan bahwa di selatan kekurangan orang pandai, kalah oleh orang-orang di utara. Tanpa kerja sama, bagaimana akan berhasil cita-cita?"
Le Thong Hosiang tertawa. "Bukan di selatan tidak ada orang pandai, hanya belum muncul orang pandai. Kalau dua Naga Sakti yang bertapa di Omei-san tidak begitu tua dan mengasingkan diri puluhan tahun lamanya, kiranya di seluruh dunia ini tidak ada yang berani memandang rendah kepada kami orang-orang selatan."
Untuk meninggikan derajat orang-orang selatan, Le Thong Hosiang lalu menceritakan kepada tiga orang pendengarnya bahwa kitab yang diperebutkan oleh Thai Gu Cinjin dan Ang-jiu Mo-li tadi, dimaksudkan kitab dari Omei-san. Di puncak Omeisan yang amat keramat terdapat dua orang pertapa sakti bernama Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio, dua orang kakek pertapa yang sudah mengasingkan diri di tempat itu selama tiga puluh tahun lebih dan kabarnya dua orang kakek ini masing-masing telah mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya dari nenek moyang persilatan Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Couwsu. Karena dua orang kakek ini tidak mau "turun" ke dunia ramai dan tekun bertapa, maka banyak orang yang ingin sekali mencuri kitab-kitab pelajaran ilmu silat mereka yang kabarnya mereka simpan di dalam kuil tua di mana mereka tinggal. Inilah sebabnya maka ketika tersiar berita bahwa Thai Gu Cinjin dari Tibet berhasil mencuri kitab-kitab itu, ia dikejar-kejar oleh semua orang yang ingin merampas kitab-kitab itu.
“Demikianl ah, mengapa tadi kami berempat mengeroyoknya untuk merampas kembali kitab-kitab yang seharusnya tinggal di selatan. Akan tetapi ternyata kitab-kitab itu tidak berada padanya. Memang tadinya kami sudah bersangsi apakah betul-betul ada orang mampu mencuri kitab-kitab itu dari tangan dua orang kakek sakti itu," Le Thong Hosiang mengakhiri ceritanya.
Pak-kek Sam-kui tertarik sekali oleh cerita ini dan diam-diam mereka mencatat semua yang mereka dengar itu, karena sebagai orang-orang ahli silat, mendengar tentang ilmu silat tinggi yang dimiliki oleh dua orang kakek itu, amat menarik perhatian mereka dan ingin mereka berjumpa dengan dua orang kakek itu.
"Betapapun juga, seperti telah pinceng katakan tadi, urusan yang sam-wi kemukakan bukanlah urusan kecil yang dapat pinceng putuskan sendiri. Pinceng akan menyampaikan hal itu kepada kawan-kawan lain dan minta pendapat mereka. Kemudian, sekali lagi kami menghaturkan terima kasih dan apabila kebetulan sam-wi lewat di Taiyun-san, pinceng persilakan mampir."
Mereka berpisah di situ. Setelah empat orang hwesio itu pergi, Pak-kek Sam-kui baru teringat akan murid mereka, Tiang Bu.
"Eh, mana bocah itu?" kata Sin-saikong Ang Louw. Mereka mencari-cari, akan tetapi, seperti juga Thai Gu Cinjin, mereka tidak dapat menemukan TiangBu.
********************
Mari kita menengok apa yang dialami oleh Tiang Bu, bocah yang dicari-cari oleh Thai Gu Cinjin dan Pak-kek Sam-kui itu. Tiang Bu kaget bukan main ketika pendeta Lama yang memaksanya menerima titipannya berupa bingkisan itu melemparkannya ke dalam jurang yan g cukup dalam. Anehnya, ia terlempar ke dalam jurang dalam keadaan berdiri dan agak memutar sehingga tidak laju benar jatuhnya dan ia jatuh dalam keadaan duduk. Ia tidak memperdulikan lagi seruan kakek Lama itu yang menyuruhnya tinggal menunggu di situ, karena pada saat itu Tiang Bu menghadapi keanehan lain yang membuatnya melongo.
Ternyata ketika ia jatuh dalam keadaan duduk, ia merasa betapa tubuhnya diterima oleh sepasang tangan yang kuat dan ketika ia memandang, betul saja bahwa ia terjatuh ke dalam pangkuan seorang kakek yan g kepalanya bundar botak dan tubuhnya pendek, kecil dan kurus seperti tengkorak ! Dengan sepasang mata seperti orang baru bangun tidur, kakek ini memandang bocah di pangkuann ya dengan pandangan tajam menyelidik, kemudian ia tersenyum aneh, disusul suara ketawa perlahan.
"Heh heh heh, peruntungan manusia memang aneh. Yang setengah mampus mencari tidak mendapat, yang duduk diam tak tersangka-sangka menerima apa yang direbutkan orang. Bocah, tahukah kau bahwa kau telah menerima sebuah pusaka yang tak ternilai harganya dari Thai Gu Cinjin tadi?"
Tiang Bu biarpun seorang anak kecil, karena ia sudah lama mengikuti tiga orang gurunya yan g juga orang-orang aneh dan sakti, dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang pandai. Cepat ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan locianpwe." Orang aneh yang pakaiannya bertambal-tambal seperti pengemis kelaparan itu mengangkat alis. "Eh...? Terima kasih untuk apa? Siapa yang menolongmu? Memang Thai Gu Cinjin tidak menghendaki kau binasa maka kau dilempar ke sini seperti tadi. Kau tahu, apa yang kau bawa di saku bajumu itu?"
Tiang Bu menggeleng kepala. "Teecu tidak tahu." Kembali kakek itu tertawa, hampir-hampir tidak bersuara, hanya angin dari mulutnya yang ompong saja terdengar hahaheheh.
"Lucu sekali... lucu sekali! Kalau kedua losuhu di Omei-san mendengar akan hal ini, mereka bisa mati tertawa. Pusaka berharga berada di dalam saku, masih tidak tahu benda apa sebenarnya itu! Heh heh heh, bocah tolol, ketahuilah bahwa bungkusan itu berisi kitab rahasia pelajaran ilmu silat yang luar biasa dari Tiong Jin Hwesio yang dicuri oleh Thai Gu Cinjin."
Tiang Bu tetap tidak berubah air mukanya. "Tiada gunanya bagiku, locian-pe."
"Tiada gunanya? Apa maksudmu?" Muka yang botak ini menjadi merah sekali, saking mendongkol dan heran mendengar kata-kata yang baginya tak masuk akal ini. Bagaimana orang yang mendapatkan kitab luar biasa itu berani mengatakan tiada guna?
"Pertama-tama, benda ini hanyalah barang titipan saja dan tentu akan diambil kembali oleh pendeta berjubah merah itu. Kedua kalinya, teecu tidak dapat membaca sebuah huruf pun."
"Bodoh! Pertama, Thai Gu Cinjin hanya akan menerima kembali kitab itu berikut nyawamu karena kau menjadi saksi utama bahwa kitab itu berada padanya. Kedua, apa sih sukarnya belajar membaca huruf ? Kau tidak tahu bahwa sebentar lagi, pendeta Lama itu tentu akan mencari-carimu untuk mengambil kembali kitab itu berikut nyawamu."
Kini Tiang Bu benar-benar kaget. "Locianpwe, harap tolong teecu."
"Mari kau ikut keluar dari sini." Kakek pengemis ini berdiri dan ternyata kakinya cacat, besar sebelah.
Kaki yang kiri amat kecil sehingga jalannya terpincang-pincang. Akan tetapi, sekali ia memegang lengan Tiang Bu dan menggerakkan kaki kanan, tubuh mereka berdua telah melayang naik dari dalam jurang itu. Tak lama kemudian, dengan menggandeng tangan Tiang Bu, atau lebih tepat mengangkat tubuh anak itu karena kedua kaki Tiang Bu tidak menyentuh tanah, kakek aneh ini berlari cepat sekali keluar dari tempat itu, memasuki hutan, keluar hutan dengan cekatan seperti seekor burung walet saja...