Tangan Gledek Jilid 06
BEBERAPA hari kemudian, di dalam sebuah hutan yang luas, di tempat sunyi yang jarang didatangi manusia dimana-mana sekitar tempat itu hanya terdapat pohon-pohon dan batu karang menjulang tinggi bersaingan dengan pohon, kelihatan Tiang Bu membalik-balik lembaran buku, belajar membaca di bawah petunjuk kakek pengemis pincang. Anak ini belajar dengan tekun sekali karena hatinya berbisik bahwa inilah kesempatan baginya untuk maju setelah ia mendengar penuturan pengemis tua itu tentang kitab yang jatuh di dalam tangannya.
Siapakah kakek botak ini? Dia bukanlah orang yang tidak ternama di dunia kangouw. Kepandaian tinggi dalam ilmu silat dan ilmu sastra membuat la dahulu dianggap sebagai seorang bun-bu-cwan-jai (ahli silat dan surat). Tidak saja ia pandai membaca menulis, juga ia terkenal sebagai ahli bermain catur. Kegemaran inilah yang membuat ia akhirnya berkenalan dengan dua orang sakti yang bertapa di Omei-san.
Pada suatu hari, kakek yang lihai ini ketika berjalan seorang diri, tiba-tiba ia mendengar desir angin dan tahu-tahu ia merasa dikempit dan dibawa pergi orang. Tahu-tahu ia telah berada di puncak Omei-san dan ketika ia dibebaskan dari totokan yang luar biasa lihainya itu, ia berhadapan dengan dua orang hwesio tinggi besar yang sudah tua sekali.
Akhirnya ia tahu bahwa dua orang hwesio itu bukan lain adalah dua orang pertapa sakti yang ditakuti semua orang karena dikabarkan memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya, bernama Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio, berusia tujuh puluh tahun lebih. Tiong Jin Hwesio yang "menculiknya" tadi dan perbuatan ini saja sudah menjadi bukti betapa hebat dan tinggi kepandaian hwe-sio ini. Menculik orang biasa secara demikian saja sudah merupakan kelihaian yang jarang dimiliki orang, apalagi menculik orang yang ilmunya sudah tinggi seperti kakek botak ini!
Ternyata bahwa dua orang hwesio itu sengaja membawanya ke Omei-san untuk diajak bermain catur! Kakek botak itu yang mempunyai nama julukan Bu Hok Lokai (Pengemis Tua Tidak Beruntung) menjadi girang sekali dan melayani keinginan dua orang kakek sakti itu dengan gembira. Sampai sebulan lebih ia tinggal di sana dan sebagai tanda terima kasih, dua orang kakel sakti itu menurunkan semacam ilmu silat kepadanya atau lebih tepat disebut ilmu menghindarkan diri dari serangan musuh.
Ilmu ini disebut Sam-hoan-san-bu (Tiga Kali Lingkaran Tiga Kali Menari), semacam ilmu yang berdasarkan ginkang dan khusus dipergunakan untuk menghadapi serangan lawan, baik dengan tangan kosong maupun bersenjata. Dengan memiliki ilmu silat ini, sewaktu apabila menghadapi lawan yang jauh lebih lihai sekalipun, Bu Hok Lokai tak usah takut, akan tetapi sudah pasti ia dapat menyelamatkan diri mempergunakan ilmu silat ini.
Dua orang kakek sakti itu menurunkan ilmu ini mengingat bahwa Bu Hok Lokai adalah seorang yang bercacad kakinya. Bu Hok Lokai setelah menerima ilmu ini mendapat kenyataan bahwa dua orang sakti itu benar-benar lihai sekali dan kalau saja ia bisa menjadi murid mereka, tidak ada apa-apa lagi di dunia ini yang ia inginkan. Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut, minta diangkat murid.
Tak diduga sama sekali, dua orang kakek itu menjadi marah-marah, memaki-makinya sebagai orang tak tahu terima kasih, kemudian mengusirnya dengan ancaman ilmunya akan dicabut kembali kalau ia berani kembali ke situ! Inilah yang menimbulkan sakit hati Bu Hok Lokai maka ketika ia melihat kitab rahasia Omei-san terjatuh ke dalam tangan Tiang Bu, ia mendapat pikiran, untuk mengambil bocah ini sebagai muridnya. Dia sendiri adalah seorang bercacad, lagi sudah tua, kalau belajar sendiri takkan mungkin jadi. Kalau dia mempunyai seorang murid pandai, bukankah hari tuanya akan terjamin?
Memang nasib manusia kadang-kadang ditentukan oleh sikapnya yang dianggapnya tidak akan berakibat sesuatu. Andaikata dua orang kakek sakti itu tidak marah ketika melihat Bu Hok Lokai minta diangkat menjadi murid dan menolak dengan halus saja, kiranya Bu Hok Lokai melihat kitab itu akan cepat-cepat membawa kitab itu kembali ke Omei-san untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Akan tetapi, kemarahan dua orang sakti yang sebetulnya tidak berarti, dapat membalikkan sejarah, dan kitab itu tidak kembali kepada pemiliknya melainkan dipelajari oleh Tiang Bu!
Makin lama Bu Hok Lokai menjadi makin sayang kepada Tiang Bu yang ternyata memang luar biasa sekali ketajaman ingatannya. Biarpun setiap hari dijejali puluhan huruf-huruf baru, akan tetapi sekali huruf-huruf itu menempel pada ingatannya, takkan terlupa lagi. Di samping kepintarannya ini, ia juga amat tekun. jarang sekali ia kelihatan menganggur dan buku pelajaran tak pernah dilepas dari tangannya!
Setahun kemudian Tiang Bu telah dapat membaca kitab dari Omei-san itu yang ternyata berisi pelajaran ilmu silat tinggi yang disebut Pat-hong Hong-i (Ilmu Pukulan Delapan Penjuru Angin Hujan)! la mulai mempelajari ilmu pukulan ini di bawah pengawasan gurunya yang baru, Bu Hok Lokai. Bahkan Bu Hok Lokai menurunkan pula pelajaran ilmu silat yang ia dulu terima dari dua kakek sakti Omei-san, yaitu Ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu kepada muridnya yan g ia sayang.
Di lingkungan bangunan-bangunan istana kaisar di ibu kota Yen Ping (Pe-king}, yaitu istana Kerajaan Cin, terdapat sebuah istana yang indah dengan pekarangan depan yan g lebar dan taman bunga yang penuh dengan bunga-bunga indah di bagian belakang. Inilah istana dari Pangeran Wanyen Ci Lun, seorang pangeran yang tidak saja amat berpengaruh dan dipercaya oleh kaisar, akan tetapi juga terkenal di kalangan rakyat sebagai seorang pangeran yang budiman dan tidak pernah menolak permintaan tolong orang.
Anehnya, pangeran yang hartawan, berpengaruh dan berwajah tampan ini sampai berusia tiga puluh tahun belum juga menikah, menikah dengan sah. Karena isterinya di luar kawin sah ada lima orang! Atau pendeknya pangeran yang masih perjaka ini telah mempunyai lima orang selir. Di antara selir-selirnya terdapat seorang selir yang paling disayanginya dan agaknya selir inilah yang membuat ia segan untuk menikah lagi.
Di dalam diri selir ini ia mendapatkan seorang yang ia cinta sepenuh hatinya, seorang yang menjadi ibu dari puteranya, dan seorang pelindung keselamatannya. Oleh karena itu, biarpun selir ini ia kawin di luar upacara yang sah, akan tetapi agaknya selir ini menjadi pengganti dari isteri yang sah. Selir ini yang menjadi ratu rumah tangga dan mengepalai semua penghuni rumah.
Akan tetapi para selir lain tidak merasa iri hati, karena memang selir ini mempunyai watak yang pendiam dan tidak sombong biarpun ia amat disayang oleh Pangeran Wanyen Ci Lun. Adanya selir inilah maka tidak ada orang yang berani sembarangan menggan ggu istana ini, dan keluarga di rumah itu merasa aman dan tenteram seakan-akan di situ terdapat seorang dewi pelindung.
Orang takkan merasa heran kalau sudah mengetahui bahwa selir ini bukan lain adalah pendekar wanita yang amat gagah perkasa murid dari Hwa l Enghiong Go Ciang Le pendekar besar dari Kim-bun-to. Dia inilah yang dulu dijuluki orang Kangsim-li atau Dara Berhati Baja, karena ia keras hati dan jujur, tidak mengenal ampun menghadapi para penjahat. N amanya Gak Soan Li dan ia adalah suci (kakak seperguruan) dari Go Hui Lian.
Di dalam cerita Pedang Penakluk iblis telah diceritakan betapa Gak Soan Li telah menjadi gila karena perbuatan keji yang dilakukan oleh penjahat besar Liok Kong Ji dan betapa kemudian Gak Soan Li telah ditolong oleh Pangeran Wanyen Ci Lun yang mencintanya. Kemudian akhirnya Gak Soan Li tinggal di istana pangeran itu dan menjadi selir yang paling dicinta.
Apalagi karena Wanyen Ci Lun tidak mendapatkan seorang pun anak dari empat orang selir yang lain, sedangkan setahun setelah ia mengambil Gak Soan Li, pendekar wanita ini melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan sekali. Cinta kasih dan sayangnya makin besar dan dengan tidak resmi Gak Soan Li menjadi Toanio atau Toa-hujin (N yonya Besar)!
Anak itu diberi nama Sun, dan Wan-yen Ci Lun yang ingat akan jasa-jasa Wan Sin Hong memberi she atas nama keturunan Wan kepada puteranya, karena ia tahu bahwa she Wan itu pun asalnya adalah she Wanyen. Demikianlah, puteranya itu nama lengkapnya Wan Sun dan semenjak kecilnya Wan Sun sudah nampak bahwa ia akan menjadi seorarg yang cerdik dan tampan sekali.
Ketika Wan Sun baru berusia dua tahun, pada suatu malam yang sunyi, seorang pelayan wanita yang kebetulan pergi ke taman bunga, mendengar tangis bayi dari taman itu. Pelayan ini ketakutan dan lari masuk sambil berteriak-teriak, "Siluman...! Siluman...!"
Mendengar ini, para pelayan lain dan selir-selir Pangeran Wanyen Ci Lun menjadi ketakutan pula. Hanya Gak Soan Li yang tidak takut sama sekali, bahkan dengan marah ia mengguncang-guncangkan pun dak pelayan yang menjerit-jerit ketakutan itu sambil menghardik.
"Diam! Ceritakan apa yang kau telah lihat!"
"Ampun... Toanio... hamba melihat... eh, mendengar tangis bayi di dalam taman... tentu siluman..."
Soan Li tidak menanti habisnya ocehan pelayan yang ketakutan ini melainkan cepat ia berlari ke belakang sambil menyambar pedan gpya. Ketika tiba di taman bunganya yang indah itu, tiba-tiba ia tertegun dan tak terasa pula bulu tengkuknya meremang. Benar saja, ia pun mendengar suara tangis anak kecil yang nyaring sekali, keluar dari tengah-tengah taman. Bagaimana bisa ada bayi menangis di situ kalau bukan perbuatan siluman? Akan tetapi, dia adalah seorang wanita yang memiliki kegagahan. Sebentar saja ditindasnya perasaan seram ini dan di lain saat ia telah melompat ke tengah taman.
Malam itu gelap, hanya ribuan bintang yan g menimbulkan cahaya remang-remang menambah keseraman keadaan di taman itu. Setelah tiba di tempat di mana terdengar suara tangis bayi itu, kembali Soan Li tertegun dan kedua kakinya seperti terpaku pada tanah ketika ia melihat sebuah benda kecil ber-gerak-gerak di atas tanah di depannya. Ketika ia memperhatikan, tak salah lagi, benda itu bukan lain adalah seorang bayi yang baru beberapa bulan usianya! Tangis bayi itu luar biasa nyaringnya, hampir senyaring tangis Wan Sun ketika masih bayi.
Soan Li menyarungkan pedangnya dan cepat menyambar tubuh bocah itu yang ternyata hanya dibungkus dengan sehelai kain kuning. Tubuh anak itu montok dan sehat sekali dan ketika Soan Li mendekap bocah itu pada dadanya ia mencium bau yang harum sekali, keharuman yang amat aneh seakan-akan dalam tubuh anak itu bersembunyi ribuan tangkai kembang beraneka warna!
Wanyen Ci Lun dan yang lain-lain menjadi bengong ketika melihat Soan Li datang memondong seorang bayi perempuan yang montok dan mungil. "Eh, eh... anak siapakah ini...?" tanya Wanyen Ci Lun.
"Entah dia ditinggalkan menangis di tengah taman. Harus diselidiki perbuatan siapa ini yang demikian kejam dan biadab. Orang tuanya harus diberi hukuman berat. Kurasa tentu seorang di antara pegawai kita atau dari rumah yang berdampingan, karena kalau bukan orang dalam yang berdekatan, siapa bisa meninggalkan anak di tengah taman?" kata Soan Li marah sambil merawat anak itu penuh kasih sayang.
Melihat bocah yang begitu mungil dengan rambutnya yang hitam lebat, matanya bercahaya dan beni ng, kulitnya yang putih halus, timbul rasa sayang. Cepat ia menyuruh pelayan memanggil seorang inang pengasuh yang biasa menyusui anak-anak dan sebentar saja setelah mendapat minum susu, anak. itu tidur pulas dengan bibir tersenyum manis. Anak ini berusia paling banyak lima bulan.
Usaha Wanyen Ci Lun untuk menemukan orang tua anak perempuan itu sia-sia belaka. Tidak saja ia menyelidiki para pelayan, bahkan ia telah memerintahkan penjaga-penjaga untuk menyelidiki siapa orang-orang yang mempun yai seorang anak perempuan berusia lima bulan, namun ternyata bahwa yang dicari-cari tidak dapat diketemukan. Banyak yang mempun yai anak, akan tetapi anak-anak itu masih ada semua pada orang-orang tuanya, jadi anak perempuan itu seakan-akan jatuh dari langit ke taman bunga itu!
Soan Li mengerutkan kening dan mukanya yang cantik itu berpikir keras. "Tidak mungkin anak ini jatuh begitu saja dari atas langit. Pasti ada orangnya yang menaruhnya di tengah taman pada malam hari. Akan tetapi, memasuki lingkungan istana, apalagi memasuki taman kita tanpa diketahui oleh siapapun juga kemudian meninggalkan seorang bayi di situ, sungguh hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Entah apa maksud dan kehendak orang yang meninggalkan anak itu, aku tidak tahu. Akan tetapi, anak ini bukanlah bocah biasa, melainkan seorang anak yang memiliki bakat baik sekali dan kelak pasti menjadi orang luar biasa. Melihat anak ini, timbul rasa suka dalam hatiku dan kalau sekiranya kau tidak keberatan, biarlah anak ini menjadi anak kita yang ke dua, menjadi kawan bermain dari anak kita Sun-ji."
Mendengar ini, Wanyen Ci Lun tidak keberatan sama sekali oleh karena ia sendiri pun suka melihat bocah yang cantik itu. Puteranya hanya seorang, tentu saja ia ingin anak ke dua, apalagi kalau perempuan. Dengan demikian, ia mempunyai dua orang anak, seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan.
Demikianlah, bocah yang mereka dapatkan di tengah taman bunga itu menjadi anak mereka dan mereka beri nama Bi Li (Wanita Cantik) dan selanjutnya disebut Wan Bi Li. Bi Li semenjak kecilnya sudah mengalami hal yang aneh-aneh. Pertama-tama, munculnya di keluarga pangeran itu sudah merupakan teka-teki yang tidak diketahui artinya.
Kemudian, pada suatu malam, ketika Bi Li berusia satu tahun, terdengar Soan Li menjerit keras. Wanyen Ci Lun yang masih tidur nyenyak itu kaget bukan main dan cepat-cepat ia melompat dari tempat tidurnya untuk memburu ke arah isterinya yang sedang berdiri di dekat tempat tidur Bi Li.
Dan alangkah kagetnya ketika ia melihat isterinya itu memegang seekor ular pada kepalanya dan dengan tenaganya telah meremas kepala ular itu sampai hancur di dalam genggamann ya! Ular itu hanya dapat menggeliat-geliatkan ekornya beberapa kali sebelum diam dan mati. Dan anehnya, Bi Li tetap tidur nyenyak seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
"Aneh..." kata Soan Li menjawab pertanyaan suaminya. "Tadi aku mendengar Bi Li tertawa-tawa dalam tidurnya, kemudian karena mendengar keresekan-keresekan di dalam tempat tidurnya, aku turun dan menengoknya. Kau mengerti betapa kagetku melihat seekor ular hijau yang berbisa ini melingkar di dekatnya, dengan kepalanya diusap-usapkan pada pipi Bi Li saking ngeri dan terkejut aku menjerit dan cepat menyambar kepala ular itu untuk kubunuh."
Wanyen Ci Lun membelalakkan matanya dan memandang kepada Bi Li yang tidur dengan nyenyak dan nampak begitu mungil! "Heran benar, Bi Li selalu berbau begini harum, apalagi kalau sedang tidur," katanya.
Kata-kata. ini seakan-akan mengingatkan Soan Li akan sesuatu. Ia mendekati Bi Li dan hidungnya mencium-cium. Kemudian, ia memandang suaminya dan mengangguk-angguk, lalu menarik napas panjang. "Entah ini anak siapa dan dari mana datangnya. Bau harum ini mengingatkan aku akan cerita mendiang Suhu dahulu akan semacam bunga aneh yang harum sekali dan amat disuka oleh bangsa ular berbisa namanya Coa-ong-hwa (Bunga Raja Ular). Bunga seperti ini hanya tumbuh di dekat Kutub Utara dan banyak orang-orang kang-ouw yang tinggi kepandaiannya mempergunakan bunga ini untuk menjaga diri apabila mereka bermalam di dalam hutan liar. Dengan bunga seperti itu di dalam saku baju, binatang-binatang berbisa takkan mau mengganggu, malah ular-ular berbisa akan melindungi orang yang membawa bunga itu! Dan bocah ini... entah bagaimana tubuhnya terutama hawa mulutnya, berbau harum sekali seperti bunga itu!"
"Isteriku, anak ini benar-benar anak yang aneh. Kiranya kelak akan menjadi seorang gagah perkasa, atau seorang yang cerdik pan dai. Oleh karena itu, bukankah ini berarti kita telah memperoleh sebuah keuntungan bagus sekali? Kita mempunyai Wan Sun yang kita sayang, sekarang bertambah lagi seorang anak perempuan yang begini luar biasa. Kita harus mengucap syukur kepada Thian Yang Maha Kuasa."
Akan tetapi Soan Li mengerutkan alisnya yang bagus bentuknya itu. "Kata-katamu memang benar, Koko. Akan tetapi kalau aku teringat akan orang yang menaruh Bi Li di dalam taman, hatiku tidak enak sekali. Siapa dia dan apa maksudnya? Ahh... kalau saja aku tahu siapa orangnya itu, takkan begini gelisah hatiku. Kalau saja aku tahu dan yakin bahwa ia memang hendak memberikan anak ini kepada kita, akan lega dan puaslah hatiku..."
Wanyen Ci Lun merangkul isterinya. “Sudahlah, mari kita tidur. Tak perlu hal itu dipikirkan terlalu dalam. Siapapun juga orangnya, dia tidak bermaksud buruk, dan lagi andaikata ia bermaksud buruk, kita takut apakah? Kau sendiri berilmu tinggi, belum lagi di sini terjaga kuat. Lebih baik kita jangan beritahu kepada para pelayan tentang ular itu, supaya mencegah cerita-cerita yang tidak karuan tentang anak kita Bi Li."
Pangeran itu lalu melempar sendiri ular tadi ke dalam empang di taman, kemudian tidur bersama isterinya setelah Soan Li membersihkan bekas-bekas darah ular dengan teliti. Akan tetapi, keanehan ini tak dapat ditutup untuk selamanya. Ketika Bi Li sudah berusia dua tahun, dan Wan Sun empat tahun, dua orang bocah itu selalu bermain-main dengan rukun sekali. Sering-kali mereka main -main berdua di taman bunga, dikawani oleh beberapa orang pengasuh.
Pada suatu hari, ketika dua orang anak kecil itu sedang bermain-main di taman bunga tiba-tiba seorang di antara pelayan-pelayan itu menjerit. Semua pelayan memandang dan mereka menjadi pucat melihat tiga ekor ular belang yang ganas melenggang-lenggok datang menuju ke arah dua orang anak yang sedang duduk bermain-main pasir di bawah pohon itu.
Seorang di antara para pelayan itu takut kalau-kalau tiga ekor ular itu akan menggigit anak-anak tadi, maka ia cepat mengambil sepotong kayu dan memukul pada ular-ular itu, dengan maksud mengusirnya pergi dari situ. Akan tetapi, tiba-tiba seekor ular belang mendesis dan tubuhnya meluncur cepat ke depan. Di lain saat pelayan itu sudah memekik dan roboh dengan muka kehitaman dan napas terhenti. Ular yang menggigit lengannya itu merayap pergi dan bersama kawannya terus saja menghampiri Bi Li dan Wan Sun!
Dua orang pelayan wanita yang lain berdiri terpaku dengan mata terbuka lebarlebar. Mereka tadi kaget setengah mati melihat seorang kawan mereka roboh tergigit ular, dan sekarang semangat mereka seperti terbang pergi meninggalkan tubuh ketika mereka melihat ular-ular itu merayap mendekati asuhan mereka. Ketika mereka melihat seekor ular merayap ke atas pangkuan Bi Li dan lidahnya yang dijulurkan keluar itu menjilat-jilat muka anak itu, ia menjadi setengah pingsan dan lari bersama kawannya yang sudah pucat seperti orang dikejar setan!
"Celaka... mati... ular... aduuhhh..." ratap mereka tidak karuan.
Keduanya jatuh berdebuk di depan Soan Li dan selir-selir Pangeran Wanyen Ci Lun yang lain. Yang seorang megap-megap seperti ikan dilempar di darat, mulutnya terbuka tertutup tanpa suara apa-apa. Sedangkan pelayan ke dua malah sudah pingsan seperti orang t»dur, tertelungkup di atas lantai.
"Ada apakah? Mana Kongcu dan Siocia?" tanya Soan Li, hanya dia yang nampak tenang, sedangkan selir-selir yang lain sudah ikut-ikutan panik.
"Ular... ular... aduh celaka, toanio... ular... mati..."
"Apa? Ular mati? Kenapa takut ular mati?" Soan Li bertanya gemas.
Gak Soan Li memang semenjak muda berwatak keras sehingga ia mendapat julukan Kang-sim-li (Wanita Berhati Baja). Ia paling benci melihat sifat pengecut, maka paling sebal kalau melihat orang ketakutan seperti pelayan-pelayannya itu. Dibentak-bentaknya pelayan itu sehingga menjadi makin panik.
"Toanio, ular... ada ular di taman... Siocia dan Kongcu... digigit ular belang-belang..." kata pelayan itu sambil menangis tidak karuan.
Mendengar ini, tanpa membuang waktu lagi Soan Li melompat dan berlari cepat ke taman sambil membawa pedangnya. Sambil mengeluh cemas Pangeran Wanyen Ci Lun ikut berlari ke belakang sedang para selirnya dan pelayan-pelayan lain mengejar pula, akan tetapi dengan hati kecut dan kedua kaki siap berlari balik apabila terdapat bahaya!
Ketika Soan Li tiba di taman di mana kedua orang anaknya sedang duduk di bawah pohon, wanita gagah yang tak kenal takut itu tiba-tiba menjadi pucat mukanya dan ia berdiri tegak tak bergerak, hanya dua tombak dari tempat dua bocah itu duduk, ia melihat pemandangan yang menggetarkan jantungnya saking cemas dan khawatir.
Seekor ular mengalungi leher Bi Ci, seekor lagi merayap-rayap melingkari pinggangn ya dan ular ketiga yang paling panjang ekornya melilit tangan kanan Wan Sun sedangkan kepalanya berada di pundak Bi Li dan menjilat-jilat. Kalau Soan Li menahan napas panjang saking khawatirnya, adalah Bi Li yang berada dalam keadaan mengerikan itu tertawa-tawa. Melihat ibunya datang, Bi Li bahkan berkata,
"Ibu, ular bagus... ular bagus...!"
Tak jauh dari situ menggeletak tubuh pelayan yang mukanya kehitaman dan sudah tak bergerak. Benar-benar pemandangan yang menyeramkan. Yang mengagumkan adalah Wan Sun. Bocah ini sudah empat tahun usianya sudah mengerti urusan. Ia tahu bahwa pelayan itu roboh karena gigitan ular dan bahwa sekarang yang bermain-main dengan dia dan Bi Li adalah ular-ular berbisa yang amat berbahaya.
Akan tetapi, biarpun tak mungkin dapat tertawa-tawa seperti Bi Li yang bermain-main dengan tiga ekor ular itu, namun ia tidak kelihatan takut sama sekali, hanya diam seperti patung memandang adiknya, mengeraskan hati mengusir rasa jijik dan takut ketika ular ketiga merayapi tubuhnya dan kini ekornya melilit tangannya!
Anak yang lain kiranya akan menjerit-jerit atau lari dan kalau ia lakukan hal ini, besar ke mungkinannya ia pun akan menggeletak seperti pelayan itu. Akan tetapi melihat kedatangan ibunya, baru Wan Suh teringat akan bahaya besar yang mengancam. Maka ia memanggil ibunya dengan suara penuh harapan pertolongan.
"Ibu..."
Baru saja ia membuka mulut mengeluarkan suara, ular yang paling panjang dan melilit tangannya itu tiba-tiba membalik dan kini ia merayap pundak Wan Sun, mendesis-desis dan lidahnya menjilat-jilat leher dan muka Wan Sun, agaknya siap untuk menyerang! Kalau tadi Bi Li tertawa-tawa dan bicara keras ular-ular itu jinak saja, adalah sekarang terhadap Wan Sun yang baru saja mengeluarkan sedikit katakata, ular itu sudah nampak marah.
Melihat bahaya ini, Soan Li menggigil. Ia tidak berani bergerak secara sembrono. Ular itu sudah terlampau dekat dengan anaknya, kalau ia menyerang, tentu ular itu akan marah. Sekali saja gigitan, nyawa puteranya sukar ditolong lagi. I a melihat ular-ular ini sebagai ular belang yang paling berbisa, yaitu ular belang kuning dengan leher berkalung biru.
"Wan Sun, jangan bergerak, jangan? bicara..." katanya, kemudian dia berkata kepada Bi Li, "Bi Li, kau berdirilah perlahan-lahan, ya... ya... begitu... sekarang berjalan ke sini, perlahan-lahan..."
Bi Li amat sayang kepada ibunya dan segala permintaan ibunya tentu ditaatinya. Sambil tertawa-tawa ia berdiri dan berjalan mendekati ibunya, meninggalkan Wan Sun. Ular yang tadi melilit Wan Sun, melihat Bi Li bergerak menjauhi, lalu merayap turun dan mengejar, akan tetapi secepat kilat Soan Li menggerak-kan pedangnya dan "sratt!" kepala ular itu terpisah dari tubuhnya yang menggeliat-geliat.
"Ibu... ular baik mengapa dibunuh...?" tanya Bi Li kaget. Dua ekor ular masih melilit tubuhnya.
"Bi Li, ular-ular itu jahat... Awas...!" teriak Soan Li ketika tiba-tiba ular yang melilit pinggang anak itu nampak marah, demikian pula yang mengalungi lehernya.
Ular-ular itu mencium bau darah kawannya dan kini kepala mereka bergerak-gerak mencari. Tiba-tiba ular yang melilit pinggang Bi Li menjulurkan kepala dan lehernya ke arah Soan Li dan tiba-tiba. dengan gerakan mendadak ular itu meluncur melakukan serangan dahsyat ke leher nyonya itu. Akan tetapi tentu saja binatang ini bukan apa-apa bagi Soan Li. Sekali pedangnya berkelebat, tubuh ular itu putus menjadi dua.
"Jangan gigit Ibuku..." berkali-kali Bi li berteriak-teriak sambil memanggil ular yang mengalungi lehernya dan yang meronta-ronta hendak membela kawannya. Anak itu kalah kuat dan ular hampir terlepas dari pegangnya, hanya tinggal ekornya yang dipegang.
"Jangan serang Ibuku, kau ular nakal!" teriak Bi Li lagi, Kemudian anak ini menggigit ekor ular yang dipeganginya dan... Soan Li melongo melihat ular itu tiba-tiba menjadi lemas, tergantung lumpuh seperti seekor ular yang sudah mati di tangan anak itu.
Dengan suara di tenggorokan, setengah menangis dan setengah tertawa. Soan Li melompat, merampas dan melempar ular itu ke taman dengan kuat yang membuat tubuh ular itu remuk, kemudian ia merangkul dan menciumi kedua anaknya yang selamat. Diam-diam ia mengaku bahwa betul-betul dalam diri Bi Li terdapat sesuatu yang luar biasa, dan tidak saja ular-ular ganas tidak mau mengganggu anak yang berkeringat harum ini, akan tetapi juga dengan sekali gigitan anak ini telah melumpuhkan seekor ular berbisa!
Wanyen Ci Lun dan yang lain-lain juga girang sekali melihat dua orang bocah itu selamat, akan tetapi pangeran itu mengerutkan kening melihat pelayan yang menggeletak di situ. Soan Li yang sedang me ngenangkan perbuatan Bi Li menggigit ular tadi, mendapat pikiran baik. Ia melepaskan kedua orang anaknya dan cepat menghampiri tubuh pelayan yang tertelungkup di atas tanah. Diperiksanya pergelangan lengan dan ketukan jantungnya. Tubuh pelayan itu sudah dingin akan tetapi ketukan jantungnya masih terasa sedikit, tanda bahwa pelayan itu sesungguhnya belum tewas. Ia lalu menghampiri Bi Li dan berbisik.
"Anak baik, mari ikut Ibu." Ia menggendong Bi Li dan menggandeng Wan Sun kemudian mengajak suaminya memasuki rumah, setelah memesan kepada para pelayan untuk mengangkat tubuh pelayan yang digigit ular itu ke dalam kamar.
"Jangan beri obat apa-apa, aku sendiri mau mengobatinya," pesan nyonya ini kepada para pelayan. "Dan bersihkan tempat ini, babat semua tanaman yang berupa alang-alang. Juga perkuat pagar tembok agar jangan ada ular berbisa masuk sini." Setelah tiba di dalam kamar, ia memberi tahu kepada suaminya tentang pikirannya hendak mengobati pelayan itu.
"Kurasa sedikit darah dari Bi Li mungkin menolong nyawa pelayan itu," katanya kepada suaminya. "Setujukah kau kalau aku menghisap sedikit darah anak kita ini?"
Biarpun dalam hal-hal seperti ini Soan Li lebih pandai dan mengerti daripada suaminya, akan tetapi ia selalu minta pendapat suaminya sebelum melakukan sesuatu hal, tanda akan kasih sayangnya dan kesetiaannya kepada suaminya ini.
"Tidak membahayakan diri Bi Li sendiri?" tanya Wanyen Ci Lun. Isterinya menggeleng kepala. "Tidak ada bahayanya diambil sedikit saja darahnya. Melihat betapa sekali menggigit ekor ular dia bisa membikin ular itu tidak berdaya, kurasa di dalam darah anak ini terkandung khasiat melumpuhkan pengaruh bisa ular."
"Kalau tidak membahayakan jiwanya, tentu saja aku setuju. Mulia sekali orang yang dapat menolong keselamatan nyawa lain orang, biarpun yang ditolong itu hanya seorang pelayan. Lakukanlah kehendakmu itu."
Soan Li mencium Bi Li yang merangkul ibunya dengan manja. "Bi Li, anakku yang manis. Kau tadi tentu melihat pelayan yang digigit ular tadi, bukau?"
"Ibu maksudkan Liang Ma?"
"Ya, dia itulah. Bi Li, kita harus mengobatinya dan kalau Ibumu ini tidak salah, sedikit darahmu akan menolong nyawanya. Bi Li, kuatkanlah, aku hendak mengambil sedikit darahmu!" Dengan gerakan cepat sekali agar anak itu tidak mengira dan tidak merasa ngeri, tahu-tahu Soan Li telah menancapkan sebuah jarum dan menggurat pangkal lengan Bi Li. Darah mengucur dari luka ini dan Bi Li hanya menjerit kecil, mukanya menjadi merah dan air matanya bertitik akan tetapi tidak menangis.
"Anak baik, siapa tahu dengan darahmu ini kau menolong nyawa lain orang," kata Soan Li sambil menggunakan jari-jari tangannya memencet lengan Bi Li dan menggunakan lweekang untuk mendorong keluar darah anak itu keluar melalui luka pangkal lengannya.
Setelah mendapatkan darah sebanyak dua puluh lima tetes, Soan Li menutup luka itu dengan koyo (obat tempel) dan mencium kedua pipi anaknya dengan pandang mata sayang dan kagum. Sepasang mata Bi Li yang bening itu bersinar-sinar, sedikit pun tidak kelihatan takut biar darahnya diambil sampai dua puluh lima tetes! Benar-benar anak yang luar biasa mengingat bahwa usianya baru dua tahun lebih. Wan Sun memandang semua ini dengan mata penuh kekhawatiran dan kasihan terhadap adiknya.
Soan Li membawa darah itu ke kamar pelayan yang sakit, menggunakan sedikit darah dioles-oleskan kepada luka bekas gigitan ular yang sudah menggembung bengkak, kemudian sisa darah itu ia minumkan dengan paksa ke mulut pelayan itu. Memang amat sukar memasukkan darah itu karena orang ini hampir tak bernapas lagi. Akan tetapi perlahan-lahan darah itu dapat juga mengalir masuk.
Tidak seorang pun pelayan mengira bahwa yang dipergunakan sebagai obat itu adalah darah dari siocia! Semua pelayan dan selir melihat cara pengobatan ini dengan penuh harapan. Tak seorang pun berani mengeluarkan suara berisik, dan semua, termasuk Soan Li dan Wan-yen Ci Lun, menjaga di situ melihat akibat daripada obat istimewa itu.
Tak lama kemudlan terdengar suara kerurak-keruruk seperti suara ayam di tenggorokan dan perut pelayan itu, kemudian seperti tersentak ia muntah-muntah, muntah darah, darah hitam! Para pelayan atas perintah Soan Li lalu menolongnya. Banyak sekali darah hitam keluar dan makin banyak yang keluar, keadaan si sakit makin baik. Cahaya kehitaman yang menyelimuti seluruh tubuhnya berangsur-angsur hilang, terganti warna pucat.
Melihat pelayan itu muntah-muntah, Wanyen Ci Lun dan Soan Li meninggalkan kamar itu dan Soan Li memesan kepada para pelayan agar supaya si sakit itu dibersihkan, kemudian diberi obat makan bubur encer dan diberi obat penambah darah. Betul seperti dugaan Soan Li, dalam waktu dua pekan saja pelayan itu sudah sembuh kembali.
Semenjak saat itu, kesayangan suami isteri ini terhadap Bi Li makin dalam, akan tetapi tetap saja teka-teki tentang siapa adanya Bi Li siapa orang tuanya dan apa maksud orang yang meninggalkannya di taman bunga, masih selalu menggelisahkan hati mereka. Diam-diam Wanyen Ci Lun teringat kepada saudara misannya, Wan Sin Hong dan alangkah rindu hatinya untuk bertemu dengan Sin Hong karena kiranya hanya Wan Sin Hong yang akan dapat membantunya memecahkan teka-teki tentang diri Bi Li ini.
Oleh karena itu, alangkah girangnya hati Wanyen Ci Lun ketika dua bulan setelah peristiwa di atas, tiba-tiba muncul Coa Hong Kin! Seperti telah diketahui dalam cerita Pedang Penakluk Iblis, Coa Hong Kin ini dahulu adalah sahabat dan tangan kanan Wanyen Ci Lun yang amat disayang dan dipercaya penuh, seorang pembantu yang amat setia.
Dua orang sahabat yang telah lama berpisah ini saling peluk dengan tertawa-tawa terharu. Kemudian mereka duduk bercakap-cakap melepas rindu. Hong Kin ti dak mau bercerita tentang terculiknya Tiang Bu, karena memang ia tahu bahwa tidak pada tempatnya kalau ia bercerita tentang putera Gak Soan Li yang menjadi anak tiri pangeran ini. Pula Pangeran Wanyen Ci Lun juga tidak mau banyak bertanya. Apalagi Soan Li yang juga menjumpai bekas sahabat suaminya ini, sama sekali tidak bicara tentang bocah itu, karena memang ia sama sekali tidak tahu di mana adanya bocah yang dilahirkannya dengan penuh kebencian itu.
Hong Kin mertgeluarkan surat yang ia bawa dari Luliang-san. "Selain datang berkunjung dan menengok karena sudah rindu, juga hamba membawa surat dari Wan-bengcu," katanya sambil memberikan surat itu kepada Wanyen Ci Lun. Ia menanti sampai Soan Li meninggalkan mereka berdua saja sebelum memberikan surat itu, karena ia pun tahu bahwa baik Wanyen Ci Lun tidak menghendaki nyonya itu tahu akan adanya seorang Wan Sin Hong di permukaan bumi ini.
Seperti telah diceritakan dalam cerita Pedang Penakluk Iblis, mula-mula Gak Soan Li jatuh cinta ke pada Wan Sin Hong dan kemudian ia menjadi isteri Wanyen Ci Lun yang mukanya serupa benar dengan Sin Hong. Bagi Soan Li, orang yang pertama-tama merebut hatinya itu disangkanya suaminya yang sekarang itulah!
Setelah membaca surat dari Sin Hong, Wanyen Ci Lun duduk termenung. Di dalam surat itu Wan Sin Hong menceritakan tentang keadaan bahaya dari Pemerintah Cin berhubung dengan makin kuatnya bangsa Mongol dan betapa ia telah didatangi oleh tokoh-tokoh utusan Temu Cin. Sin Hong selanjutnya menyatakan bahwa apabila kelak terjadi perang kalau tentara Mongol menyerang Kerajaan Cin, sukarlah diharapkan bantuan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, karena selain orang-orang gagah itu sebagian besar tidak suka kepada Kerajaan Cin, juga bahwa mereka sekarang tahu bahwa bengcu mereka juga keturunan bangsa Cin dan agaknya hendak memberontak! Selanjutnya Sin Hong memberi nasihat kepada saudara misannya itu agar supaya mengundurkan diri saja di tempat yang aman dan, tenteram.
Demikianlah, Wanyen Ci Lun merasa bingung dan gelisah. Dengan nasihatnya itu, Sin Hong seakan-akan memberi tahu lebih dulu bahwa kalau sampai terjadi perang, Sin Hong sendiri pun takkan mau membantu Kerajaan Cin untuk memukul mundur musuh. Hal ini dapat dimaklumi oleh Pangeran Wanyen Ci Lun. Biarpun keturunan bangsawan Cin, akan tetapi seperti mendiang ayahnya, Wan Sin Hong lebih dekat dengan rakyat jelata daripada dengan kebangsawanannya.
Akan tetapi bagi dia sendiri, sampai mati Wanyen Ci Lun tidak nanti mau rnembelakangi Kerajaan Cin begitu saja. Ia bukan seorang pengecut, ia telah mengecap kebahagiaan dengan berdirinya Kerajaan Cin, tak mungkin ia sudi me-ninggalkan lari begitu saja setelah kini menghadapi bahaya! Akan tetapi kalau ia memikirkan dua orang anak-anaknya... ia menjadi gelisah sekali.
Coa Hong Kin tinggal sampai satu bulan di istana Pangeran Wanyen Ci Lun. Pangeran itu tidak menyimpan rahasia tentang anak pungutnya dan menceritakan tentang Bi Li kepada Hong Kin. Tentu saja Hong Kin menjadi terheran-heran dan ia pun tidak dapat menduga siapa orangnya yang telah meninggalkan anak itu di dalam taman, dan anak siapa pula gerangan bocah itu.
Ketika Hong Kin hendak pulang, Wan-yen Ci Lun memberi banyak barang hadiah dan Gak Soan Li juga minta disampaikan pesannya kepada sumoinya, Go Hui Lian, bahwa dia sudah merasa rindu sekali dan sewaktu-waktu hendak pergi menengok ke Kim-bun-to.
"Hong Kin, kalau sudah tiba masanya, harap kau bersiap menerima kedua anakku bersama ibu mereka untuk tinggal di Kim-bun-to, mengungsi apabila keadaan sudah amat mendesak," katanya.
Hong Kin yang diberitahu juga tentang isi surat dari Sin Hong, mengerti akan maksud hati Wanyen Ci Lun. Ia sudah kenal baik akan watak Wanyen Ci Lun yang setia kepada negara dan bangsanya. Ia tahu bahwa kalau sampai terjadi perang, Wanyen Ci Lun tak mungkin mau lari seperti yang diusulkan oleh Sin Hong, dan akan membela Kerajaan Cin sampai mati. Dan agaknya pangeran itu sudah bersiap-siap, kalau terjadi sesuatu, tentu Gak Soan Li dan dua orang anak itu disuruh mengungsi ke Kim-bun-to. Oleh karena itu Hong Kin mengangguk dan menjawab.
"Harap jangan khawatir, tentu kami akan menerima dengan segala senang hati."
Maka berangkat pulanglah Hong Kin, diantar oleh pangeran itu sampai keluar istana...
Siapakah kakek botak ini? Dia bukanlah orang yang tidak ternama di dunia kangouw. Kepandaian tinggi dalam ilmu silat dan ilmu sastra membuat la dahulu dianggap sebagai seorang bun-bu-cwan-jai (ahli silat dan surat). Tidak saja ia pandai membaca menulis, juga ia terkenal sebagai ahli bermain catur. Kegemaran inilah yang membuat ia akhirnya berkenalan dengan dua orang sakti yang bertapa di Omei-san.
Pada suatu hari, kakek yang lihai ini ketika berjalan seorang diri, tiba-tiba ia mendengar desir angin dan tahu-tahu ia merasa dikempit dan dibawa pergi orang. Tahu-tahu ia telah berada di puncak Omei-san dan ketika ia dibebaskan dari totokan yang luar biasa lihainya itu, ia berhadapan dengan dua orang hwesio tinggi besar yang sudah tua sekali.
Akhirnya ia tahu bahwa dua orang hwesio itu bukan lain adalah dua orang pertapa sakti yang ditakuti semua orang karena dikabarkan memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya, bernama Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio, berusia tujuh puluh tahun lebih. Tiong Jin Hwesio yang "menculiknya" tadi dan perbuatan ini saja sudah menjadi bukti betapa hebat dan tinggi kepandaian hwe-sio ini. Menculik orang biasa secara demikian saja sudah merupakan kelihaian yang jarang dimiliki orang, apalagi menculik orang yang ilmunya sudah tinggi seperti kakek botak ini!
Ternyata bahwa dua orang hwesio itu sengaja membawanya ke Omei-san untuk diajak bermain catur! Kakek botak itu yang mempunyai nama julukan Bu Hok Lokai (Pengemis Tua Tidak Beruntung) menjadi girang sekali dan melayani keinginan dua orang kakek sakti itu dengan gembira. Sampai sebulan lebih ia tinggal di sana dan sebagai tanda terima kasih, dua orang kakel sakti itu menurunkan semacam ilmu silat kepadanya atau lebih tepat disebut ilmu menghindarkan diri dari serangan musuh.
Ilmu ini disebut Sam-hoan-san-bu (Tiga Kali Lingkaran Tiga Kali Menari), semacam ilmu yang berdasarkan ginkang dan khusus dipergunakan untuk menghadapi serangan lawan, baik dengan tangan kosong maupun bersenjata. Dengan memiliki ilmu silat ini, sewaktu apabila menghadapi lawan yang jauh lebih lihai sekalipun, Bu Hok Lokai tak usah takut, akan tetapi sudah pasti ia dapat menyelamatkan diri mempergunakan ilmu silat ini.
Dua orang kakek sakti itu menurunkan ilmu ini mengingat bahwa Bu Hok Lokai adalah seorang yang bercacad kakinya. Bu Hok Lokai setelah menerima ilmu ini mendapat kenyataan bahwa dua orang sakti itu benar-benar lihai sekali dan kalau saja ia bisa menjadi murid mereka, tidak ada apa-apa lagi di dunia ini yang ia inginkan. Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut, minta diangkat murid.
Tak diduga sama sekali, dua orang kakek itu menjadi marah-marah, memaki-makinya sebagai orang tak tahu terima kasih, kemudian mengusirnya dengan ancaman ilmunya akan dicabut kembali kalau ia berani kembali ke situ! Inilah yang menimbulkan sakit hati Bu Hok Lokai maka ketika ia melihat kitab rahasia Omei-san terjatuh ke dalam tangan Tiang Bu, ia mendapat pikiran, untuk mengambil bocah ini sebagai muridnya. Dia sendiri adalah seorang bercacad, lagi sudah tua, kalau belajar sendiri takkan mungkin jadi. Kalau dia mempunyai seorang murid pandai, bukankah hari tuanya akan terjamin?
Memang nasib manusia kadang-kadang ditentukan oleh sikapnya yang dianggapnya tidak akan berakibat sesuatu. Andaikata dua orang kakek sakti itu tidak marah ketika melihat Bu Hok Lokai minta diangkat menjadi murid dan menolak dengan halus saja, kiranya Bu Hok Lokai melihat kitab itu akan cepat-cepat membawa kitab itu kembali ke Omei-san untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Akan tetapi, kemarahan dua orang sakti yang sebetulnya tidak berarti, dapat membalikkan sejarah, dan kitab itu tidak kembali kepada pemiliknya melainkan dipelajari oleh Tiang Bu!
Makin lama Bu Hok Lokai menjadi makin sayang kepada Tiang Bu yang ternyata memang luar biasa sekali ketajaman ingatannya. Biarpun setiap hari dijejali puluhan huruf-huruf baru, akan tetapi sekali huruf-huruf itu menempel pada ingatannya, takkan terlupa lagi. Di samping kepintarannya ini, ia juga amat tekun. jarang sekali ia kelihatan menganggur dan buku pelajaran tak pernah dilepas dari tangannya!
Setahun kemudian Tiang Bu telah dapat membaca kitab dari Omei-san itu yang ternyata berisi pelajaran ilmu silat tinggi yang disebut Pat-hong Hong-i (Ilmu Pukulan Delapan Penjuru Angin Hujan)! la mulai mempelajari ilmu pukulan ini di bawah pengawasan gurunya yang baru, Bu Hok Lokai. Bahkan Bu Hok Lokai menurunkan pula pelajaran ilmu silat yang ia dulu terima dari dua kakek sakti Omei-san, yaitu Ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu kepada muridnya yan g ia sayang.
********************
Di lingkungan bangunan-bangunan istana kaisar di ibu kota Yen Ping (Pe-king}, yaitu istana Kerajaan Cin, terdapat sebuah istana yang indah dengan pekarangan depan yan g lebar dan taman bunga yang penuh dengan bunga-bunga indah di bagian belakang. Inilah istana dari Pangeran Wanyen Ci Lun, seorang pangeran yang tidak saja amat berpengaruh dan dipercaya oleh kaisar, akan tetapi juga terkenal di kalangan rakyat sebagai seorang pangeran yang budiman dan tidak pernah menolak permintaan tolong orang.
Anehnya, pangeran yang hartawan, berpengaruh dan berwajah tampan ini sampai berusia tiga puluh tahun belum juga menikah, menikah dengan sah. Karena isterinya di luar kawin sah ada lima orang! Atau pendeknya pangeran yang masih perjaka ini telah mempunyai lima orang selir. Di antara selir-selirnya terdapat seorang selir yang paling disayanginya dan agaknya selir inilah yang membuat ia segan untuk menikah lagi.
Di dalam diri selir ini ia mendapatkan seorang yang ia cinta sepenuh hatinya, seorang yang menjadi ibu dari puteranya, dan seorang pelindung keselamatannya. Oleh karena itu, biarpun selir ini ia kawin di luar upacara yang sah, akan tetapi agaknya selir ini menjadi pengganti dari isteri yang sah. Selir ini yang menjadi ratu rumah tangga dan mengepalai semua penghuni rumah.
Akan tetapi para selir lain tidak merasa iri hati, karena memang selir ini mempunyai watak yang pendiam dan tidak sombong biarpun ia amat disayang oleh Pangeran Wanyen Ci Lun. Adanya selir inilah maka tidak ada orang yang berani sembarangan menggan ggu istana ini, dan keluarga di rumah itu merasa aman dan tenteram seakan-akan di situ terdapat seorang dewi pelindung.
Orang takkan merasa heran kalau sudah mengetahui bahwa selir ini bukan lain adalah pendekar wanita yang amat gagah perkasa murid dari Hwa l Enghiong Go Ciang Le pendekar besar dari Kim-bun-to. Dia inilah yang dulu dijuluki orang Kangsim-li atau Dara Berhati Baja, karena ia keras hati dan jujur, tidak mengenal ampun menghadapi para penjahat. N amanya Gak Soan Li dan ia adalah suci (kakak seperguruan) dari Go Hui Lian.
Di dalam cerita Pedang Penakluk iblis telah diceritakan betapa Gak Soan Li telah menjadi gila karena perbuatan keji yang dilakukan oleh penjahat besar Liok Kong Ji dan betapa kemudian Gak Soan Li telah ditolong oleh Pangeran Wanyen Ci Lun yang mencintanya. Kemudian akhirnya Gak Soan Li tinggal di istana pangeran itu dan menjadi selir yang paling dicinta.
Apalagi karena Wanyen Ci Lun tidak mendapatkan seorang pun anak dari empat orang selir yang lain, sedangkan setahun setelah ia mengambil Gak Soan Li, pendekar wanita ini melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan sekali. Cinta kasih dan sayangnya makin besar dan dengan tidak resmi Gak Soan Li menjadi Toanio atau Toa-hujin (N yonya Besar)!
Anak itu diberi nama Sun, dan Wan-yen Ci Lun yang ingat akan jasa-jasa Wan Sin Hong memberi she atas nama keturunan Wan kepada puteranya, karena ia tahu bahwa she Wan itu pun asalnya adalah she Wanyen. Demikianlah, puteranya itu nama lengkapnya Wan Sun dan semenjak kecilnya Wan Sun sudah nampak bahwa ia akan menjadi seorarg yang cerdik dan tampan sekali.
Ketika Wan Sun baru berusia dua tahun, pada suatu malam yang sunyi, seorang pelayan wanita yang kebetulan pergi ke taman bunga, mendengar tangis bayi dari taman itu. Pelayan ini ketakutan dan lari masuk sambil berteriak-teriak, "Siluman...! Siluman...!"
Mendengar ini, para pelayan lain dan selir-selir Pangeran Wanyen Ci Lun menjadi ketakutan pula. Hanya Gak Soan Li yang tidak takut sama sekali, bahkan dengan marah ia mengguncang-guncangkan pun dak pelayan yang menjerit-jerit ketakutan itu sambil menghardik.
"Diam! Ceritakan apa yang kau telah lihat!"
"Ampun... Toanio... hamba melihat... eh, mendengar tangis bayi di dalam taman... tentu siluman..."
Soan Li tidak menanti habisnya ocehan pelayan yang ketakutan ini melainkan cepat ia berlari ke belakang sambil menyambar pedan gpya. Ketika tiba di taman bunganya yang indah itu, tiba-tiba ia tertegun dan tak terasa pula bulu tengkuknya meremang. Benar saja, ia pun mendengar suara tangis anak kecil yang nyaring sekali, keluar dari tengah-tengah taman. Bagaimana bisa ada bayi menangis di situ kalau bukan perbuatan siluman? Akan tetapi, dia adalah seorang wanita yang memiliki kegagahan. Sebentar saja ditindasnya perasaan seram ini dan di lain saat ia telah melompat ke tengah taman.
Malam itu gelap, hanya ribuan bintang yan g menimbulkan cahaya remang-remang menambah keseraman keadaan di taman itu. Setelah tiba di tempat di mana terdengar suara tangis bayi itu, kembali Soan Li tertegun dan kedua kakinya seperti terpaku pada tanah ketika ia melihat sebuah benda kecil ber-gerak-gerak di atas tanah di depannya. Ketika ia memperhatikan, tak salah lagi, benda itu bukan lain adalah seorang bayi yang baru beberapa bulan usianya! Tangis bayi itu luar biasa nyaringnya, hampir senyaring tangis Wan Sun ketika masih bayi.
Soan Li menyarungkan pedangnya dan cepat menyambar tubuh bocah itu yang ternyata hanya dibungkus dengan sehelai kain kuning. Tubuh anak itu montok dan sehat sekali dan ketika Soan Li mendekap bocah itu pada dadanya ia mencium bau yang harum sekali, keharuman yang amat aneh seakan-akan dalam tubuh anak itu bersembunyi ribuan tangkai kembang beraneka warna!
Wanyen Ci Lun dan yang lain-lain menjadi bengong ketika melihat Soan Li datang memondong seorang bayi perempuan yang montok dan mungil. "Eh, eh... anak siapakah ini...?" tanya Wanyen Ci Lun.
"Entah dia ditinggalkan menangis di tengah taman. Harus diselidiki perbuatan siapa ini yang demikian kejam dan biadab. Orang tuanya harus diberi hukuman berat. Kurasa tentu seorang di antara pegawai kita atau dari rumah yang berdampingan, karena kalau bukan orang dalam yang berdekatan, siapa bisa meninggalkan anak di tengah taman?" kata Soan Li marah sambil merawat anak itu penuh kasih sayang.
Melihat bocah yang begitu mungil dengan rambutnya yang hitam lebat, matanya bercahaya dan beni ng, kulitnya yang putih halus, timbul rasa sayang. Cepat ia menyuruh pelayan memanggil seorang inang pengasuh yang biasa menyusui anak-anak dan sebentar saja setelah mendapat minum susu, anak. itu tidur pulas dengan bibir tersenyum manis. Anak ini berusia paling banyak lima bulan.
Usaha Wanyen Ci Lun untuk menemukan orang tua anak perempuan itu sia-sia belaka. Tidak saja ia menyelidiki para pelayan, bahkan ia telah memerintahkan penjaga-penjaga untuk menyelidiki siapa orang-orang yang mempun yai seorang anak perempuan berusia lima bulan, namun ternyata bahwa yang dicari-cari tidak dapat diketemukan. Banyak yang mempun yai anak, akan tetapi anak-anak itu masih ada semua pada orang-orang tuanya, jadi anak perempuan itu seakan-akan jatuh dari langit ke taman bunga itu!
Soan Li mengerutkan kening dan mukanya yang cantik itu berpikir keras. "Tidak mungkin anak ini jatuh begitu saja dari atas langit. Pasti ada orangnya yang menaruhnya di tengah taman pada malam hari. Akan tetapi, memasuki lingkungan istana, apalagi memasuki taman kita tanpa diketahui oleh siapapun juga kemudian meninggalkan seorang bayi di situ, sungguh hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Entah apa maksud dan kehendak orang yang meninggalkan anak itu, aku tidak tahu. Akan tetapi, anak ini bukanlah bocah biasa, melainkan seorang anak yang memiliki bakat baik sekali dan kelak pasti menjadi orang luar biasa. Melihat anak ini, timbul rasa suka dalam hatiku dan kalau sekiranya kau tidak keberatan, biarlah anak ini menjadi anak kita yang ke dua, menjadi kawan bermain dari anak kita Sun-ji."
Mendengar ini, Wanyen Ci Lun tidak keberatan sama sekali oleh karena ia sendiri pun suka melihat bocah yang cantik itu. Puteranya hanya seorang, tentu saja ia ingin anak ke dua, apalagi kalau perempuan. Dengan demikian, ia mempunyai dua orang anak, seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan.
Demikianlah, bocah yang mereka dapatkan di tengah taman bunga itu menjadi anak mereka dan mereka beri nama Bi Li (Wanita Cantik) dan selanjutnya disebut Wan Bi Li. Bi Li semenjak kecilnya sudah mengalami hal yang aneh-aneh. Pertama-tama, munculnya di keluarga pangeran itu sudah merupakan teka-teki yang tidak diketahui artinya.
Kemudian, pada suatu malam, ketika Bi Li berusia satu tahun, terdengar Soan Li menjerit keras. Wanyen Ci Lun yang masih tidur nyenyak itu kaget bukan main dan cepat-cepat ia melompat dari tempat tidurnya untuk memburu ke arah isterinya yang sedang berdiri di dekat tempat tidur Bi Li.
Dan alangkah kagetnya ketika ia melihat isterinya itu memegang seekor ular pada kepalanya dan dengan tenaganya telah meremas kepala ular itu sampai hancur di dalam genggamann ya! Ular itu hanya dapat menggeliat-geliatkan ekornya beberapa kali sebelum diam dan mati. Dan anehnya, Bi Li tetap tidur nyenyak seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
"Aneh..." kata Soan Li menjawab pertanyaan suaminya. "Tadi aku mendengar Bi Li tertawa-tawa dalam tidurnya, kemudian karena mendengar keresekan-keresekan di dalam tempat tidurnya, aku turun dan menengoknya. Kau mengerti betapa kagetku melihat seekor ular hijau yang berbisa ini melingkar di dekatnya, dengan kepalanya diusap-usapkan pada pipi Bi Li saking ngeri dan terkejut aku menjerit dan cepat menyambar kepala ular itu untuk kubunuh."
Wanyen Ci Lun membelalakkan matanya dan memandang kepada Bi Li yang tidur dengan nyenyak dan nampak begitu mungil! "Heran benar, Bi Li selalu berbau begini harum, apalagi kalau sedang tidur," katanya.
Kata-kata. ini seakan-akan mengingatkan Soan Li akan sesuatu. Ia mendekati Bi Li dan hidungnya mencium-cium. Kemudian, ia memandang suaminya dan mengangguk-angguk, lalu menarik napas panjang. "Entah ini anak siapa dan dari mana datangnya. Bau harum ini mengingatkan aku akan cerita mendiang Suhu dahulu akan semacam bunga aneh yang harum sekali dan amat disuka oleh bangsa ular berbisa namanya Coa-ong-hwa (Bunga Raja Ular). Bunga seperti ini hanya tumbuh di dekat Kutub Utara dan banyak orang-orang kang-ouw yang tinggi kepandaiannya mempergunakan bunga ini untuk menjaga diri apabila mereka bermalam di dalam hutan liar. Dengan bunga seperti itu di dalam saku baju, binatang-binatang berbisa takkan mau mengganggu, malah ular-ular berbisa akan melindungi orang yang membawa bunga itu! Dan bocah ini... entah bagaimana tubuhnya terutama hawa mulutnya, berbau harum sekali seperti bunga itu!"
"Isteriku, anak ini benar-benar anak yang aneh. Kiranya kelak akan menjadi seorang gagah perkasa, atau seorang yang cerdik pan dai. Oleh karena itu, bukankah ini berarti kita telah memperoleh sebuah keuntungan bagus sekali? Kita mempunyai Wan Sun yang kita sayang, sekarang bertambah lagi seorang anak perempuan yang begini luar biasa. Kita harus mengucap syukur kepada Thian Yang Maha Kuasa."
Akan tetapi Soan Li mengerutkan alisnya yang bagus bentuknya itu. "Kata-katamu memang benar, Koko. Akan tetapi kalau aku teringat akan orang yang menaruh Bi Li di dalam taman, hatiku tidak enak sekali. Siapa dia dan apa maksudnya? Ahh... kalau saja aku tahu siapa orangnya itu, takkan begini gelisah hatiku. Kalau saja aku tahu dan yakin bahwa ia memang hendak memberikan anak ini kepada kita, akan lega dan puaslah hatiku..."
Wanyen Ci Lun merangkul isterinya. “Sudahlah, mari kita tidur. Tak perlu hal itu dipikirkan terlalu dalam. Siapapun juga orangnya, dia tidak bermaksud buruk, dan lagi andaikata ia bermaksud buruk, kita takut apakah? Kau sendiri berilmu tinggi, belum lagi di sini terjaga kuat. Lebih baik kita jangan beritahu kepada para pelayan tentang ular itu, supaya mencegah cerita-cerita yang tidak karuan tentang anak kita Bi Li."
Pangeran itu lalu melempar sendiri ular tadi ke dalam empang di taman, kemudian tidur bersama isterinya setelah Soan Li membersihkan bekas-bekas darah ular dengan teliti. Akan tetapi, keanehan ini tak dapat ditutup untuk selamanya. Ketika Bi Li sudah berusia dua tahun, dan Wan Sun empat tahun, dua orang bocah itu selalu bermain-main dengan rukun sekali. Sering-kali mereka main -main berdua di taman bunga, dikawani oleh beberapa orang pengasuh.
Pada suatu hari, ketika dua orang anak kecil itu sedang bermain-main di taman bunga tiba-tiba seorang di antara pelayan-pelayan itu menjerit. Semua pelayan memandang dan mereka menjadi pucat melihat tiga ekor ular belang yang ganas melenggang-lenggok datang menuju ke arah dua orang anak yang sedang duduk bermain-main pasir di bawah pohon itu.
Seorang di antara para pelayan itu takut kalau-kalau tiga ekor ular itu akan menggigit anak-anak tadi, maka ia cepat mengambil sepotong kayu dan memukul pada ular-ular itu, dengan maksud mengusirnya pergi dari situ. Akan tetapi, tiba-tiba seekor ular belang mendesis dan tubuhnya meluncur cepat ke depan. Di lain saat pelayan itu sudah memekik dan roboh dengan muka kehitaman dan napas terhenti. Ular yang menggigit lengannya itu merayap pergi dan bersama kawannya terus saja menghampiri Bi Li dan Wan Sun!
Dua orang pelayan wanita yang lain berdiri terpaku dengan mata terbuka lebarlebar. Mereka tadi kaget setengah mati melihat seorang kawan mereka roboh tergigit ular, dan sekarang semangat mereka seperti terbang pergi meninggalkan tubuh ketika mereka melihat ular-ular itu merayap mendekati asuhan mereka. Ketika mereka melihat seekor ular merayap ke atas pangkuan Bi Li dan lidahnya yang dijulurkan keluar itu menjilat-jilat muka anak itu, ia menjadi setengah pingsan dan lari bersama kawannya yang sudah pucat seperti orang dikejar setan!
"Celaka... mati... ular... aduuhhh..." ratap mereka tidak karuan.
Keduanya jatuh berdebuk di depan Soan Li dan selir-selir Pangeran Wanyen Ci Lun yang lain. Yang seorang megap-megap seperti ikan dilempar di darat, mulutnya terbuka tertutup tanpa suara apa-apa. Sedangkan pelayan ke dua malah sudah pingsan seperti orang t»dur, tertelungkup di atas lantai.
"Ada apakah? Mana Kongcu dan Siocia?" tanya Soan Li, hanya dia yang nampak tenang, sedangkan selir-selir yang lain sudah ikut-ikutan panik.
"Ular... ular... aduh celaka, toanio... ular... mati..."
"Apa? Ular mati? Kenapa takut ular mati?" Soan Li bertanya gemas.
Gak Soan Li memang semenjak muda berwatak keras sehingga ia mendapat julukan Kang-sim-li (Wanita Berhati Baja). Ia paling benci melihat sifat pengecut, maka paling sebal kalau melihat orang ketakutan seperti pelayan-pelayannya itu. Dibentak-bentaknya pelayan itu sehingga menjadi makin panik.
"Toanio, ular... ada ular di taman... Siocia dan Kongcu... digigit ular belang-belang..." kata pelayan itu sambil menangis tidak karuan.
Mendengar ini, tanpa membuang waktu lagi Soan Li melompat dan berlari cepat ke taman sambil membawa pedangnya. Sambil mengeluh cemas Pangeran Wanyen Ci Lun ikut berlari ke belakang sedang para selirnya dan pelayan-pelayan lain mengejar pula, akan tetapi dengan hati kecut dan kedua kaki siap berlari balik apabila terdapat bahaya!
Ketika Soan Li tiba di taman di mana kedua orang anaknya sedang duduk di bawah pohon, wanita gagah yang tak kenal takut itu tiba-tiba menjadi pucat mukanya dan ia berdiri tegak tak bergerak, hanya dua tombak dari tempat dua bocah itu duduk, ia melihat pemandangan yang menggetarkan jantungnya saking cemas dan khawatir.
Seekor ular mengalungi leher Bi Ci, seekor lagi merayap-rayap melingkari pinggangn ya dan ular ketiga yang paling panjang ekornya melilit tangan kanan Wan Sun sedangkan kepalanya berada di pundak Bi Li dan menjilat-jilat. Kalau Soan Li menahan napas panjang saking khawatirnya, adalah Bi Li yang berada dalam keadaan mengerikan itu tertawa-tawa. Melihat ibunya datang, Bi Li bahkan berkata,
"Ibu, ular bagus... ular bagus...!"
Tak jauh dari situ menggeletak tubuh pelayan yang mukanya kehitaman dan sudah tak bergerak. Benar-benar pemandangan yang menyeramkan. Yang mengagumkan adalah Wan Sun. Bocah ini sudah empat tahun usianya sudah mengerti urusan. Ia tahu bahwa pelayan itu roboh karena gigitan ular dan bahwa sekarang yang bermain-main dengan dia dan Bi Li adalah ular-ular berbisa yang amat berbahaya.
Akan tetapi, biarpun tak mungkin dapat tertawa-tawa seperti Bi Li yang bermain-main dengan tiga ekor ular itu, namun ia tidak kelihatan takut sama sekali, hanya diam seperti patung memandang adiknya, mengeraskan hati mengusir rasa jijik dan takut ketika ular ketiga merayapi tubuhnya dan kini ekornya melilit tangannya!
Anak yang lain kiranya akan menjerit-jerit atau lari dan kalau ia lakukan hal ini, besar ke mungkinannya ia pun akan menggeletak seperti pelayan itu. Akan tetapi melihat kedatangan ibunya, baru Wan Suh teringat akan bahaya besar yang mengancam. Maka ia memanggil ibunya dengan suara penuh harapan pertolongan.
"Ibu..."
Baru saja ia membuka mulut mengeluarkan suara, ular yang paling panjang dan melilit tangannya itu tiba-tiba membalik dan kini ia merayap pundak Wan Sun, mendesis-desis dan lidahnya menjilat-jilat leher dan muka Wan Sun, agaknya siap untuk menyerang! Kalau tadi Bi Li tertawa-tawa dan bicara keras ular-ular itu jinak saja, adalah sekarang terhadap Wan Sun yang baru saja mengeluarkan sedikit katakata, ular itu sudah nampak marah.
Melihat bahaya ini, Soan Li menggigil. Ia tidak berani bergerak secara sembrono. Ular itu sudah terlampau dekat dengan anaknya, kalau ia menyerang, tentu ular itu akan marah. Sekali saja gigitan, nyawa puteranya sukar ditolong lagi. I a melihat ular-ular ini sebagai ular belang yang paling berbisa, yaitu ular belang kuning dengan leher berkalung biru.
"Wan Sun, jangan bergerak, jangan? bicara..." katanya, kemudian dia berkata kepada Bi Li, "Bi Li, kau berdirilah perlahan-lahan, ya... ya... begitu... sekarang berjalan ke sini, perlahan-lahan..."
Bi Li amat sayang kepada ibunya dan segala permintaan ibunya tentu ditaatinya. Sambil tertawa-tawa ia berdiri dan berjalan mendekati ibunya, meninggalkan Wan Sun. Ular yang tadi melilit Wan Sun, melihat Bi Li bergerak menjauhi, lalu merayap turun dan mengejar, akan tetapi secepat kilat Soan Li menggerak-kan pedangnya dan "sratt!" kepala ular itu terpisah dari tubuhnya yang menggeliat-geliat.
"Ibu... ular baik mengapa dibunuh...?" tanya Bi Li kaget. Dua ekor ular masih melilit tubuhnya.
"Bi Li, ular-ular itu jahat... Awas...!" teriak Soan Li ketika tiba-tiba ular yang melilit pinggang anak itu nampak marah, demikian pula yang mengalungi lehernya.
Ular-ular itu mencium bau darah kawannya dan kini kepala mereka bergerak-gerak mencari. Tiba-tiba ular yang melilit pinggang Bi Li menjulurkan kepala dan lehernya ke arah Soan Li dan tiba-tiba. dengan gerakan mendadak ular itu meluncur melakukan serangan dahsyat ke leher nyonya itu. Akan tetapi tentu saja binatang ini bukan apa-apa bagi Soan Li. Sekali pedangnya berkelebat, tubuh ular itu putus menjadi dua.
"Jangan gigit Ibuku..." berkali-kali Bi li berteriak-teriak sambil memanggil ular yang mengalungi lehernya dan yang meronta-ronta hendak membela kawannya. Anak itu kalah kuat dan ular hampir terlepas dari pegangnya, hanya tinggal ekornya yang dipegang.
"Jangan serang Ibuku, kau ular nakal!" teriak Bi Li lagi, Kemudian anak ini menggigit ekor ular yang dipeganginya dan... Soan Li melongo melihat ular itu tiba-tiba menjadi lemas, tergantung lumpuh seperti seekor ular yang sudah mati di tangan anak itu.
Dengan suara di tenggorokan, setengah menangis dan setengah tertawa. Soan Li melompat, merampas dan melempar ular itu ke taman dengan kuat yang membuat tubuh ular itu remuk, kemudian ia merangkul dan menciumi kedua anaknya yang selamat. Diam-diam ia mengaku bahwa betul-betul dalam diri Bi Li terdapat sesuatu yang luar biasa, dan tidak saja ular-ular ganas tidak mau mengganggu anak yang berkeringat harum ini, akan tetapi juga dengan sekali gigitan anak ini telah melumpuhkan seekor ular berbisa!
Wanyen Ci Lun dan yang lain-lain juga girang sekali melihat dua orang bocah itu selamat, akan tetapi pangeran itu mengerutkan kening melihat pelayan yang menggeletak di situ. Soan Li yang sedang me ngenangkan perbuatan Bi Li menggigit ular tadi, mendapat pikiran baik. Ia melepaskan kedua orang anaknya dan cepat menghampiri tubuh pelayan yang tertelungkup di atas tanah. Diperiksanya pergelangan lengan dan ketukan jantungnya. Tubuh pelayan itu sudah dingin akan tetapi ketukan jantungnya masih terasa sedikit, tanda bahwa pelayan itu sesungguhnya belum tewas. Ia lalu menghampiri Bi Li dan berbisik.
"Anak baik, mari ikut Ibu." Ia menggendong Bi Li dan menggandeng Wan Sun kemudian mengajak suaminya memasuki rumah, setelah memesan kepada para pelayan untuk mengangkat tubuh pelayan yang digigit ular itu ke dalam kamar.
"Jangan beri obat apa-apa, aku sendiri mau mengobatinya," pesan nyonya ini kepada para pelayan. "Dan bersihkan tempat ini, babat semua tanaman yang berupa alang-alang. Juga perkuat pagar tembok agar jangan ada ular berbisa masuk sini." Setelah tiba di dalam kamar, ia memberi tahu kepada suaminya tentang pikirannya hendak mengobati pelayan itu.
"Kurasa sedikit darah dari Bi Li mungkin menolong nyawa pelayan itu," katanya kepada suaminya. "Setujukah kau kalau aku menghisap sedikit darah anak kita ini?"
Biarpun dalam hal-hal seperti ini Soan Li lebih pandai dan mengerti daripada suaminya, akan tetapi ia selalu minta pendapat suaminya sebelum melakukan sesuatu hal, tanda akan kasih sayangnya dan kesetiaannya kepada suaminya ini.
"Tidak membahayakan diri Bi Li sendiri?" tanya Wanyen Ci Lun. Isterinya menggeleng kepala. "Tidak ada bahayanya diambil sedikit saja darahnya. Melihat betapa sekali menggigit ekor ular dia bisa membikin ular itu tidak berdaya, kurasa di dalam darah anak ini terkandung khasiat melumpuhkan pengaruh bisa ular."
"Kalau tidak membahayakan jiwanya, tentu saja aku setuju. Mulia sekali orang yang dapat menolong keselamatan nyawa lain orang, biarpun yang ditolong itu hanya seorang pelayan. Lakukanlah kehendakmu itu."
Soan Li mencium Bi Li yang merangkul ibunya dengan manja. "Bi Li, anakku yang manis. Kau tadi tentu melihat pelayan yang digigit ular tadi, bukau?"
"Ibu maksudkan Liang Ma?"
"Ya, dia itulah. Bi Li, kita harus mengobatinya dan kalau Ibumu ini tidak salah, sedikit darahmu akan menolong nyawanya. Bi Li, kuatkanlah, aku hendak mengambil sedikit darahmu!" Dengan gerakan cepat sekali agar anak itu tidak mengira dan tidak merasa ngeri, tahu-tahu Soan Li telah menancapkan sebuah jarum dan menggurat pangkal lengan Bi Li. Darah mengucur dari luka ini dan Bi Li hanya menjerit kecil, mukanya menjadi merah dan air matanya bertitik akan tetapi tidak menangis.
"Anak baik, siapa tahu dengan darahmu ini kau menolong nyawa lain orang," kata Soan Li sambil menggunakan jari-jari tangannya memencet lengan Bi Li dan menggunakan lweekang untuk mendorong keluar darah anak itu keluar melalui luka pangkal lengannya.
Setelah mendapatkan darah sebanyak dua puluh lima tetes, Soan Li menutup luka itu dengan koyo (obat tempel) dan mencium kedua pipi anaknya dengan pandang mata sayang dan kagum. Sepasang mata Bi Li yang bening itu bersinar-sinar, sedikit pun tidak kelihatan takut biar darahnya diambil sampai dua puluh lima tetes! Benar-benar anak yang luar biasa mengingat bahwa usianya baru dua tahun lebih. Wan Sun memandang semua ini dengan mata penuh kekhawatiran dan kasihan terhadap adiknya.
Soan Li membawa darah itu ke kamar pelayan yang sakit, menggunakan sedikit darah dioles-oleskan kepada luka bekas gigitan ular yang sudah menggembung bengkak, kemudian sisa darah itu ia minumkan dengan paksa ke mulut pelayan itu. Memang amat sukar memasukkan darah itu karena orang ini hampir tak bernapas lagi. Akan tetapi perlahan-lahan darah itu dapat juga mengalir masuk.
Tidak seorang pun pelayan mengira bahwa yang dipergunakan sebagai obat itu adalah darah dari siocia! Semua pelayan dan selir melihat cara pengobatan ini dengan penuh harapan. Tak seorang pun berani mengeluarkan suara berisik, dan semua, termasuk Soan Li dan Wan-yen Ci Lun, menjaga di situ melihat akibat daripada obat istimewa itu.
Tak lama kemudlan terdengar suara kerurak-keruruk seperti suara ayam di tenggorokan dan perut pelayan itu, kemudian seperti tersentak ia muntah-muntah, muntah darah, darah hitam! Para pelayan atas perintah Soan Li lalu menolongnya. Banyak sekali darah hitam keluar dan makin banyak yang keluar, keadaan si sakit makin baik. Cahaya kehitaman yang menyelimuti seluruh tubuhnya berangsur-angsur hilang, terganti warna pucat.
Melihat pelayan itu muntah-muntah, Wanyen Ci Lun dan Soan Li meninggalkan kamar itu dan Soan Li memesan kepada para pelayan agar supaya si sakit itu dibersihkan, kemudian diberi obat makan bubur encer dan diberi obat penambah darah. Betul seperti dugaan Soan Li, dalam waktu dua pekan saja pelayan itu sudah sembuh kembali.
Semenjak saat itu, kesayangan suami isteri ini terhadap Bi Li makin dalam, akan tetapi tetap saja teka-teki tentang siapa adanya Bi Li siapa orang tuanya dan apa maksud orang yang meninggalkannya di taman bunga, masih selalu menggelisahkan hati mereka. Diam-diam Wanyen Ci Lun teringat kepada saudara misannya, Wan Sin Hong dan alangkah rindu hatinya untuk bertemu dengan Sin Hong karena kiranya hanya Wan Sin Hong yang akan dapat membantunya memecahkan teka-teki tentang diri Bi Li ini.
Oleh karena itu, alangkah girangnya hati Wanyen Ci Lun ketika dua bulan setelah peristiwa di atas, tiba-tiba muncul Coa Hong Kin! Seperti telah diketahui dalam cerita Pedang Penakluk Iblis, Coa Hong Kin ini dahulu adalah sahabat dan tangan kanan Wanyen Ci Lun yang amat disayang dan dipercaya penuh, seorang pembantu yang amat setia.
Dua orang sahabat yang telah lama berpisah ini saling peluk dengan tertawa-tawa terharu. Kemudian mereka duduk bercakap-cakap melepas rindu. Hong Kin ti dak mau bercerita tentang terculiknya Tiang Bu, karena memang ia tahu bahwa tidak pada tempatnya kalau ia bercerita tentang putera Gak Soan Li yang menjadi anak tiri pangeran ini. Pula Pangeran Wanyen Ci Lun juga tidak mau banyak bertanya. Apalagi Soan Li yang juga menjumpai bekas sahabat suaminya ini, sama sekali tidak bicara tentang bocah itu, karena memang ia sama sekali tidak tahu di mana adanya bocah yang dilahirkannya dengan penuh kebencian itu.
Hong Kin mertgeluarkan surat yang ia bawa dari Luliang-san. "Selain datang berkunjung dan menengok karena sudah rindu, juga hamba membawa surat dari Wan-bengcu," katanya sambil memberikan surat itu kepada Wanyen Ci Lun. Ia menanti sampai Soan Li meninggalkan mereka berdua saja sebelum memberikan surat itu, karena ia pun tahu bahwa baik Wanyen Ci Lun tidak menghendaki nyonya itu tahu akan adanya seorang Wan Sin Hong di permukaan bumi ini.
Seperti telah diceritakan dalam cerita Pedang Penakluk Iblis, mula-mula Gak Soan Li jatuh cinta ke pada Wan Sin Hong dan kemudian ia menjadi isteri Wanyen Ci Lun yang mukanya serupa benar dengan Sin Hong. Bagi Soan Li, orang yang pertama-tama merebut hatinya itu disangkanya suaminya yang sekarang itulah!
Setelah membaca surat dari Sin Hong, Wanyen Ci Lun duduk termenung. Di dalam surat itu Wan Sin Hong menceritakan tentang keadaan bahaya dari Pemerintah Cin berhubung dengan makin kuatnya bangsa Mongol dan betapa ia telah didatangi oleh tokoh-tokoh utusan Temu Cin. Sin Hong selanjutnya menyatakan bahwa apabila kelak terjadi perang kalau tentara Mongol menyerang Kerajaan Cin, sukarlah diharapkan bantuan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, karena selain orang-orang gagah itu sebagian besar tidak suka kepada Kerajaan Cin, juga bahwa mereka sekarang tahu bahwa bengcu mereka juga keturunan bangsa Cin dan agaknya hendak memberontak! Selanjutnya Sin Hong memberi nasihat kepada saudara misannya itu agar supaya mengundurkan diri saja di tempat yang aman dan, tenteram.
Demikianlah, Wanyen Ci Lun merasa bingung dan gelisah. Dengan nasihatnya itu, Sin Hong seakan-akan memberi tahu lebih dulu bahwa kalau sampai terjadi perang, Sin Hong sendiri pun takkan mau membantu Kerajaan Cin untuk memukul mundur musuh. Hal ini dapat dimaklumi oleh Pangeran Wanyen Ci Lun. Biarpun keturunan bangsawan Cin, akan tetapi seperti mendiang ayahnya, Wan Sin Hong lebih dekat dengan rakyat jelata daripada dengan kebangsawanannya.
Akan tetapi bagi dia sendiri, sampai mati Wanyen Ci Lun tidak nanti mau rnembelakangi Kerajaan Cin begitu saja. Ia bukan seorang pengecut, ia telah mengecap kebahagiaan dengan berdirinya Kerajaan Cin, tak mungkin ia sudi me-ninggalkan lari begitu saja setelah kini menghadapi bahaya! Akan tetapi kalau ia memikirkan dua orang anak-anaknya... ia menjadi gelisah sekali.
Coa Hong Kin tinggal sampai satu bulan di istana Pangeran Wanyen Ci Lun. Pangeran itu tidak menyimpan rahasia tentang anak pungutnya dan menceritakan tentang Bi Li kepada Hong Kin. Tentu saja Hong Kin menjadi terheran-heran dan ia pun tidak dapat menduga siapa orangnya yang telah meninggalkan anak itu di dalam taman, dan anak siapa pula gerangan bocah itu.
Ketika Hong Kin hendak pulang, Wan-yen Ci Lun memberi banyak barang hadiah dan Gak Soan Li juga minta disampaikan pesannya kepada sumoinya, Go Hui Lian, bahwa dia sudah merasa rindu sekali dan sewaktu-waktu hendak pergi menengok ke Kim-bun-to.
"Hong Kin, kalau sudah tiba masanya, harap kau bersiap menerima kedua anakku bersama ibu mereka untuk tinggal di Kim-bun-to, mengungsi apabila keadaan sudah amat mendesak," katanya.
Hong Kin yang diberitahu juga tentang isi surat dari Sin Hong, mengerti akan maksud hati Wanyen Ci Lun. Ia sudah kenal baik akan watak Wanyen Ci Lun yang setia kepada negara dan bangsanya. Ia tahu bahwa kalau sampai terjadi perang, Wanyen Ci Lun tak mungkin mau lari seperti yang diusulkan oleh Sin Hong, dan akan membela Kerajaan Cin sampai mati. Dan agaknya pangeran itu sudah bersiap-siap, kalau terjadi sesuatu, tentu Gak Soan Li dan dua orang anak itu disuruh mengungsi ke Kim-bun-to. Oleh karena itu Hong Kin mengangguk dan menjawab.
"Harap jangan khawatir, tentu kami akan menerima dengan segala senang hati."
Maka berangkat pulanglah Hong Kin, diantar oleh pangeran itu sampai keluar istana...
********************