Tangan Gledek Jilid 13

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar budiman episode tangan gledek jilid 13
Sonny Ogawa

Tangan Gledek Jilid 13

"Tidak mungkin! Kau baru boleh membawanya kalau dia sudah menjadi mayat..." bentak Thai Gu Cinjin.

"Hemm, kalau begitu terpaksa kita melanjutkan pertempuran untuk melihat siapa yang berhak membawa pergi anak itu."

Thai Gu Cinjin menjadi marah sekali. "Wan Sin Hong, kau terlalu sekali. Kalau tadi aku hendak menghabiskan urusan adalah karena aku mengingat akan orang-orang kangouw, bukan sekali-kali karena aku takut kepadamu! Masih lengkap kedua tanganmu saja aku tidak takut dan dapat mengalahkanmu, apalagi sekarang. Akan tetapi kau memaksaku dan menantang karena bocah ini. Benar-benar kau sudah bosan hidup."

"Terserah apa yang kau pikir, Thai Gu Cinjin. Aku tetap mempertahankan bocah ini yang harus pulang ke rumah orang tuanya."

"Keparat, kaukira aku takut menghadapi pembalasan orang-orangmu? Siaplah untuk mampus!" Setelah berkata demikian, Thai Gu Cinjin memutar tongkatnya dan menyerang hebat.

"Pendeta bau! Kalau kau bukan banci kau tentu melawan Wanbengcu dengan kepandaian silat, bukan dengan ilmu iblis!" Li Hwa berteriak-teriak dengan hati gelisah.

"Pendeta murid iblis jahat berhati keji macam dia mana becus main silat? Kalau tidak mengandalkan ilmu iblisnya jangankan oleh Wan-sioksiok, aku sendiri pun mampu menghajar kepala gundulnya sampai benjol-benjol!" Tiang Bu berseru keras-keras. Bocah yang amat cerdik ini tahu ke mana tujuan seruan Li Hwa tadi, maka ia serta merta membantu.

Mendengar teriakan-teriakan ini muka Thai Gu Cinjin menjadi merah kehitaman. Tadi boleh jadi ia jerih menghadapi Sin Hong tanpa mempergunakan ilmu hitamnya. Akan tetapi sekarang setelah, Sin Hong terluka berat di dalam dadanya dan tidak mampu lagi menggerakkan pundak dan lengan kanan, ia takut apakah?

"Tikus-tikus. cilik kalian lihat saja. Setelah manusia she Wan ini roboh, kalian akan kukubur hidup-hidup!"

"Asal saja menguburnya jangan menggunakan ilmu setan!" teriak Tiang Bu. "Thai Gu Cinjin, kalau kau memang jantan tulen bukan banci, kau harus berani menyatakan bahwa kau tidak akan menggunakan ilmu hitam!"

"Baik lihatlah, aku tidak menggunakan Hoatsut!" teriak Thai Gu Cinjin marah dan dengan perut panas.

Hoatsut adalah ilmu sihir yang banyak dipelajari tokoh-tokoh kangouw di daerah utara dan barat. Tibet adalah sebuah di antara pusat-pusat ilmu hitam itu. Dengan tongkatnya yang panjang dan berat Thai Gu Cinjin mulai menghujani Sin Hong dengan serangan-serangan dahsyat. Pikirnya, seorang lawan yang sudah menderita luka dalam seperti orang muda ini, tentu dalam beberapa jurus saja akan mudah ia robohkan. Akan tetapi Sin Hong bukanlah orang biasa. Ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang tinggi, apalagi ilmu pedangnya.

Biarpun ia hanya bermain pedang dengan tangan kiri sedangkan lengan kanannya tak dapat ia gerakkan untuk menjadi imbangan, namun kehebatan pedangnya masih luar biasa sekali. Pedang di tangan kirinya setelah ia mainkan berubah menjadi sinar seperti kilat menyambar-nyambar dan selalu dapat menangkis serbuan tongkat lawan, bahkan dengan secara tak terduga-duga sama sekali masih dapat melakukan tekanan dan serangan balasan yang tak kalah dahsyatnya!

Dengan gerakan dahsyat seperti gerak tipu Hai-ti-lauw-liong (Menyelam Laut Mengejar N aga), tongkat Thai Gu Cinjin digerakkan secara melengkung, menyambar ke arah pinggang Sin Hong. Angin dingin berbunyi bersiutan ketika tongkat itu mengancam pinggang Sin Hong yang akan remuk bersama tulangnya kalau terkena pukulan maut ini.

Sin Hong terlalu tenang. Dengan gerakan Pak-hong-phu-liu (Angin Meniup Cemara) dari Ilmu Pedang Sam-hong kiamsut (Ilmu Pedang Angin Puyuh) yang dulu ia pelajari dari Luliang Samlojin, tubuhnya meniarap hampir rata dengan bumi dan pedangnya bergerak di atas tubuh melindungi diri sehingga sabetan tongkat lawannya melewat di atas kemudian disentil oleh pedangnya untuk mencegah tongkat itu bergerak ke bawah.

Setelah meluputkan diri dari serangan dahsyat lawannya, Sin Hong melompat berdiri terus membalas kontan dengan gerak tipu Sian-jin Sia-ciok (Dewa Memanah Batu) dari ilmu pedangnya Pak-kek Kiamsut yang hebat. Serangannya tidak berhenti sampai di sini saja, melainkan disambung dengan serangan-serangan lain Hui-in-ci-tiam (Awan Mengeluarkan Kilat) dan Hui-po-liu-hong (Air Mancur Pelangi Melengkung).

Menghadapi serangan bertubi-tubi dari tipuan Pak-kek Kiamsut ini, biarpun hanya dilakukan dengan tangan kiri, Thai Gu Cinjin menjadi silau matanya dan kabur pandangannya. Kepalanya pening dan ia tidak tahu lagi ke mana meluncurnya sinar pedang lawan. Tahu-tahu ia merasa lengan kanannya perih dan tongkatnya terlepas, kemudian pundak kirinya sakit sekali menyebabkan lengan kirinya lumpuh dan di lain saat ia telah terjungkal dan roboh dalam keadaan duduk! Ternyata bahwa rentetan serangan hebat itu telah membuat lengan kanan Thai Gu Cinjin terobek kulit dan dagingnya, pundak kirinya putus tulang sambungannya dan dadanya tertendang kaki Sin Hong!

Di lain fihak, Sin Hong yang tertalu banyak mengerahkan tenaga dalam keadaan terluka hebat di dada kanannya, terhuyung-huyung dan tentu roboh kalau tidak cepat-cepat dipeluk oleh Li Hwa. Menyaksikan sepak terjang Sin Hong yang gagah perkasa, yang dalam keadaan terluka hebat dan terancam nyawanya masih tidak sudi melarikan diri meninggalkan Tiang Bu, kemudian betapa dalam keadaan terluka parah masih berhasil mengalahkan lawan berat dengan pedang di tangan kiri Li Hwa menjadi kagum bukan main dan cinta kasihnya sekaligus naik sampai tak dapat diukur lagi. Ia memeluk kekasihnya itu dengan bangga dan juga cemas karena wajah Sin Hong dan juga cemas karena wajah Sin Hong tampak pucat sekali!

"Sin Hong, kau... kau tidak apa-apa...??" tanyanya khawatir.

Sin Hong menggigit bibir dan memejamkan sebentar matanya, menahan rasa sakit di dalam dada. Ketika ia membuka mata, ia nampak terkejut dan berkata. "Aku tidak apa-apa... akan tetapi... Tiang Bu... dia terancam bahaya. Aku tak dapat menolongnya, tenagaku habis..." ia menjadi lemas sekali.

Li Hwa menengok dan melihat betapa dengan buas sekali Thai Gu Cinjin yang sudah terluka hebat itu kini menggunakan tangan kanannya yang sudah mandi darah untuk menyerang Tiang Bu! Ia nampak menyeramkan sekali dan tangan yang beberapa kali hendak mencengkeram kepala Tiang Bu itu penuh dengan darah yang mengucur dari kulit yang tergores dan terluka pedang di dekat siku.

"Sudah kalah tak tahu malu..." berkali-kali Tiang Bu menyindir sambil berlompatan dan menari-nari ke sana kemari untuk menghindarkan diri dari bahaya maut. la mainkan Sam-hoan Sambu (Tiga Kali Lingkaran Tiga Kali Menari) untuk menyelamatkan diri dan sekarang setelah Thai Gu Cinjin menyerangnya hanya dengan tangan kanan, bocah ini dapat mempertahankan diri dengan baik sekali. Gerakannya gesit sekali dan tubrukan atau pukulan Thian Gu Cinjin selalu mengenai angin.

Kakek itu menjadi makin marah, apalagi Tiang Bu mengelak sambil tertawa-tawa, meringis dan mengejeknya. Thai Gu Cinjin memang sudah menerima kalah dan tahu bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh Sin Hong. Akan tetapi sebelum ia pergi, ia hendak membunuh Tiang Bu dulu. Selain untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya, juga ia tidak ingin bocah yang telah mewarisi kitab yang ia curi dari Omeisan itu terjatuh ke dalam tangan orang lain. Tak seorang pun tahu bahwa ia mencuri kitab itu, atau lebih tepat lagi, tak seorang pun dapat membuktikan andaikata ada yang menuduhnya.

Hanya Tiang Bu satu-satunya orang yang menjadi saksi utama akan kesalahannya. Oleh karena itu Tiang Bu harus ikut dia kalau masih hidup, atau boleh berpisah dari sampingnya asal tak bernyawa lagi. Kalau Sampai orang lain mendengar bahwa dia telah menjadi pencuri kitab Omeisan, hal itu masih belum ada artinya. Akan tetapi kalau sampai kakek-kakek sakti di Omeisan mengetahuinya, ah... mengingat hal ini Thai Gu Cinjin merasa bulu tengkuknya berdiri dan ia menjadi makin bernafsu menyerang Tiang Bu.

Tiba-tiba Thai Gu Cinjln menghentikan serangannya karena tahu takkan ada hasilnya. Ia berdiri tegak, menudingkan telunjuknya ke arah Tiang Bu, lalu ia berseru. "Roboh kau, Tiang Bu! Tiang Bu maklum bahwa kakek itu mempergunakan sihir. Ia hendak mempertahankan, namun tentu saja ia kalah kuat. Tanpa dapat dicegah lagi ia roboh terguling! Thai Gu Cinjin mendekatinya dengan langkah lebar. Kakek ini hanya terluka pundak kiri dan lengan kanannya, akan tetapi kedua kakinya sama sekali tidak terluka dan gerakan kakinya masih cepat sekali. Setelah dekat dengan Tiang Bu yang masih rebah miring, ia mengangkat tangan kanannya hendak memukul. Akan tetapi ia menurunkan lagi tangan, itu sambil meringis kesakitan. Kiranya darah terlalu banyak keluar dari lengan itu, membuat tubuhnya terasa lemas dan tangan kanannya sakit sekali. ta tidak jadi memukul, lalu mengambil tongkatnya, mengayun tongkat itu ke arah kepala Tiang Bu, dan...

"Traangg...!"

Tongkat itu terpental hampir memukul kepala Thai Gu Cinjin sendiri sedangkan kedua kaki kakek ini terhuyung-huyung mundur saking kerasnya tangkisan pada tongkatnya tadi. Ia kaget dan memandang ke kiri, lalu... lari dengan langkah lebar seperti orang melihat setan yang menakutkan!

"Celaka..." dengusnya di sepanjang jalan, "selalu bertemu dengan Angjiu Moli... sialan betul...!"

Memang betul, yang menangkis tongkat Thian Gu Cinjin dan karenanya telah menyelamatkan nyawa Tiang Bu bukan lain adalah Ang-jiu Mo-li, tokoh wanita utara yang berwajah cantik manis dan gagah perkasa! Dengan tangan kosong, tangannya yang kemerahan dan berbentuk mungil bagus itu, ia telah menangkis pukulan tongkat tadi dan membuat Thai Gu Cinjin lari ketakutan.

Kini wanita gagah itu memandang ke sekelilingnya, menyapu dengan ujung matanya yang tajam dan bening. Melihat Li Hwa duduk di atas tanah sambil menaruh tangan di pundak seorang pemuda tampan yan g duduk bersila sambil meramkan mata dalam samadhi, ia mengerutkan kening. Lalu ia menoleh kembali kepada Tiang Bu yang sudah bangun dan duduk.

"Apa saja yang dilakukan oleh Thai Gu Cinjin di sini?" tanyanya.

Pertanyaan ini ia tujukan kepada dua orang dewasa yang duduk di atas tanah itu sungguhpun matanya memandan g kepada Tiang Bu. Ang-jiu Mo-li biarpun usianya sudah empat puluh tahun dan ia cantik jelita dan kelihatan masih muda, akan tetapi ia adalah seorang gadis yang selama hidup-nya belum pernah berdekatan dengan pria. Maka melihat pemandangan yang mesra, melihat cinta kasih demikian nyata tercurah dari pandang mata Li Hwa yang cemas, ia menjadi jengah dan tidak berani memandang terlalu lama!

Biarpun Li Hwa mendengar jelas dan ia pun sudah menengok memandang, akan tetapi ia tidak berani mengeluarkan suara menjawab. la melihat kekasihnya sedang bersamadhi mengerahkan hawa murni di dalam tubuh untuk mengobati luka di dalam dada dan semenjak tadi ia tidak berani berkutik. Menurunkan tangannya yang memegang pundak Sin Hong saja ia tidak berani, bernapas pun hati-hati sekali agar jangan sampai Sin Hong terganggu dalam pengerahan lwee-kangnya. Apalagi harus mengeluarkan suara keras untuk menjawab pertanyaan wanita aneh itu. Ia takut kalau-kalau Sin Hong akan terganggu dan keadaannya menjadi makin hebat.

Juga Tiang Bu diam saja. Anak yang cerdik ini tidak berani sembarangan membuka mulut. Ia tidak tahu siapa adanya wanita cantik yang sikapnya gagah tapi angkuh ini. Kawan ataukah lawan. Oleh. karena itu ia pilih tutup mulut saja agar jangan mengeluarkan kata-kata yang tidak pada tempatnya. Setelah menanti jawaban tak kunjung tiba, Angjiu Moli menjadi marah.

"Apa kalian ini orang-orang tuli!? Ataukah gagu?" bentaknya, kini lupa akan rasa jengahnya yang tadi dan ia menoleh ke arah Li hwa dah Sin hong.

Sin Hong membuka matanya dan rnelihat ini. Li Hwa cepat-cepat menurunkan tangannya dari pun dak pemuda itu. Memang tidak selayaknya di depan orang lain ia memperlihatkan cinta kasihnya kepada pemuda itu. Pandang mata Sin Hong tajam luar biasa. Sekilas pandang saja ia dapat menduga siapa gerangan wanita di depannya ini. Tangan yang merah seperti itu tak mungkin dimiliki orang kedua kecuali Ang-jiu Mo-li, tokoh utara yang pernah ia dengar kehebatannya.

"Ang-jiu Mo-li, kau telah menyelamatkan nyawa keponakanku Tiang Bu dari tongkat maut Thai Gu Cinjin. Terima kasih!" kata Sin Hong sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil tetap bersila di atas tanah.

Mendengar disebutnya nama Ang-jiu Mo-li, mata Li Hwa terbuka lebar-lebar peruh kekaguman dan juga keheranan. Tak disangkanya, Ang-jiu Mo-li yang dulu pernah disebut-sebut oleh mendiang gurunya, Pat-jiu Nio-nio, sebagai seorang wanita yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya, ternyata hanyalah seorang wanita yang belum tua dan cantik sekali!

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Di lain fihak mendengar kata-kata Sin Hong, biarpun pada wajahnya yang cantik itu tidak ada perubahan dan keangkuhan masih membayang jelas dari pandang matanya, namun di dalam hatinya An g jiu Mo-li merasa kaget dan heran. Kalau orang mengenal namanya, itu dianggapnya jamak saja, karena memang ia seorang yang amat terkenal, apalagi tangannya yang berkulit merah halus itu mudah dikenal orang.

Yang amat mengejutkan dan mengherankan hatinya adalah cara bagaimana pemuda yang pucat dan terluka berat di dalam dadanya itu bisa tahu bahwa tadi ia telah menolong bocah itu dan mengusir Thai Gu Cinjin? Padahal ia tahu benar bahwa pemuda itu sejak tadi meramkan mata dan mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh luka di dada. Mungkinkah orang ini sudah memiliki sinkang demikian tinggi sehingga dalam siulian (samadhi) tadi dapat memecah panca inderanya?

Juga Li Hwa yang tadi tahu bahwa Ang-jiu Mo-li menolong mereka mengusir Thai Gu Cinjin, lalu berdiri dan memberi hormat. "Sudah lama siauwmoi mendengar nama besar Toanio. Terima kasih atas pertolongan Toanio kepada kami."

Ang-jiu Mo-li menjebikan bibirnya dan diam-diam Li Hwa harus mengakui bahwa wanita yang berdiri di depannya ini cantik dan menarik sekali, terutama bentuk tubuhnya yang bagus dan padat. Di lain fihak Ang-jiu Mo-li juga memandang Li Hwa penuh perhatian, agaknya seperti hendak membanding-bandingkan kecantikan muka dan keindahan bentuk tubuh Li Hwa dengan dirinya sendiri!

"Kau siapa?" tanyanya dengan lagak seperti seorang kota yang sombong bertanya kepada seorang dusun yang dianggapn ya rendah dan tolol.

Kalau dulu diperlakukan begini, biarpun tahu orang yang menghinanya itu berkepandaian tinggi tentu Li Hwa akan mencak-mencak dan marah sekali. Akan tetapi semenjak ia dekat dengan Sin Hong, ia sudah ban yak berubah. Pandangannya makin jauh, pertimbangannya makin masak dan ia dapat menguasai wataknya yang mudah marah. Sambil tersenyum manis sekali, senyum Li Hwa memang luar biasa manisnya, ia menjawab,

"Siauw-moi bernama Siok Li Hwa, guruku adalah mendiang Pat-jiu Nio-nio di Go-bi-san."

Ang-jiu Mo-li tersenyum lebar, matanya jelas kelihatan bahwa ia memandang rendah. "Hemm, Pat-jiu Nio-nio dari Hui-eng-pai? Aku dulu kenal gurumu itu, kepandaiapnya tidak jelek."

Bukan main mendongkolnya hati Li Hwa melihat lagak yang amat sombong dari wanita bertangan merah itu, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi han ya mengalihkan pandang matanya, kini ia menengok ke arah Sin Hong yang masih duduk bersila dan telah meramkan mata kembali. Hati Li Hwa menjadi lega melihat betapa kedua pipi Sin Hong yang tadinya pucat kehijauan sekarang sudah menjadi merah. Tiang Bu ternyata sudah mendekati Sin Hong pula dan anak itu memandang kepada Sin Hong penuh kekaguman dan perhatian.

"Laki-laki itu siapa?" terdengar Ang jiu Moli bertanya pula. Suaranya seperti orang bertanya sambil lalu saja, acuh tak acuh karena ia tidak mau kalau disangka terlalu "menaruh perhatian" kepada seorang pria! Bahkan ketika Li Hwa menengok untuk menjawabnya, cepat sekali Angjiu Moli memutar leher mengalihkan pandang matanya yang tadinya menatap wajah Sin Hong!

"Dia ini adalah Wan-bengcu, namanya Wan Sin Hong." jawab Li Hwa sengaja memperkenalkan kedudukan Sin Hong untuk sedikit mengurangi kesombongan wanita itu, karena harus diakui bahwa nama Wan-bengcu bukanlah nama kecil saja, dikenal oleh hampir seluruh orang gagah di dunia persilatan. Akan tetapi ia kecele kalau mengira demikian. Biarpun agak tertegun mendengar nama ini, namun Angjiu Moli tidak berkurang sombongnya.

"Jadi dia ini Wan-bengcu? Siapa yang melukainya sampai demikian parah?"

"Thai Gu Cinjin yang melukainya... Li Hwa tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba Ang-jiu-Moli tertawa terkekeh-kekeh, nadanya menghina sekali.

"Hihihihi...! Kiraku Wan-bengcu adalah seorang yang berkepala tiga berlengan enam, sampai-sampai setiap malam aku mimpi karena ingin sekali bertemu dan mencoba kesaktiannya. Tidak tahunya hanya seorang muda bodoh yan g oleh Thai Gu Cinjin saja sudah kalah! Orang she Wan, sung'guh tak patut kau menjadi bengcu dan kecewa hatiku. Kalau kau tidak terluka oleh Thai Gu Cinjin tentu aku dapat mengajakmu mengadu kepandaian dan kau akan terluka bukan oleh pendeta Lama tolol itu, melainkan oleh tanganku! Sayang sekali!"

Mendengar kekasihnya dipermainkan orang, Li Hwa tak dapat menahan kemarahannya. Semangatnya yang dulu, semangat burung garuda yang tak kenal takut, bangkit kembali. Ia memandang kepada Angjiu Moli dengan sepasang mata bersinar, lalu berkata keras.

"Toanio, kau sombong sekali! Wan Sin Hong tidak kalah..."

Tiba-tiba Sin Hong membetot lengannya dan terdengar pemuda ini berkata kepada Angjiu Moli. "Angjiu Moli, mana orang seperti aku ada harga untuk berpibu dengan kau? Memang aku kalah oleh Thai Gu Cinjin, apalagi dengan kau, kepandaianku tidak ada artinya bagimu."

Tadinya Ang-jiu Moli sudah marah sekali melihat Li Hwa yang berani menentangnya. Biasanya, siapapun juga yang berani menentang Angjiu Moli, pasti akan menjadi korban pukulan tangan merahnya dan dapat dipastikan orang itu akan tewas! Tadi dia sudah mulai marah, wajah yang cantik itu sudah mulai merah, bulu matanya sudah bergerak-gerak seperti ditiup angin. Akan tetapi sikap dan kata-kata Sin Hong yang merendah itu mengurangi kemarahannya dan membuat hatinya senang. Wan-bengcu yang disohorkan orang jarang tandingannya itu kini merendahkan diri di hadapannya, nampak jerih dan takut! Kembali ia tertawa, kini bunyi tawanya merdu, tanda keriangan hati, bukan seperti tadi ketika mengejek.

"Kau tidak cantik tapi genit sekali!" bentaknya dan tangan kanannya melayang ke arah kepala Li Hwa.

Li Hwa terkejut dan tidak tinggal diam. Cepat ia mengerahkan tenaga dan menggunakan tangan menangkis. Tangannya bertemu dengan lengan yang halus dan panas sekali yang begitu bertemu telah menempel tangannya tak dapat ditarik kembali. Pada saat itu juga tahu-tahu tangan kiri Ang-jiu Moli sudah bergerak dan...

"Plak." pipi kanan Li Hwa kena tamparan, rasanya pedas, perih dan panas!

"Wan-bengcu, lain kali kalau kau sudah sembuh aku ingin mencoba kepandaianmu!" Ang-jiu Moli berseru keras dan tubuhnya berkelebat cepat sekali ke arah Sin Hong.

Li Hwa tak kuasa menghalanginya karena gerakan wanita tangan merah itu memang seperti sambaran kilat saja cepatnya. Tahu-tahu Ang-jiu Moli sudah menggunakan tangan kanannya yang merah sekali itu untuk menepuk punggung Sin Hong. Tepukannya keras dan terdengar suara "plak!" yang jauh lebih keras daripada ketika menampar pipi Li Hwa.

"Jangan pukul Sin Hong...!" Li Hwa menjerit dan melompat untuk menyerang Angjiu Moli, akan tetapi hanya terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh dara di lain saat bayangan wanita bertangan merah itu sudah lenyap dari situ.

Li Hwa tak pedulikan lagi wanita itu dan cepat menghampiri Sin Hong. Dan ia melihat pernuda itu masih bersila, kini sudah membuka mata dan memandang kepadanya dengan senyum lebar. Wajahnya kelihatan segar dan cahaya matanya berseri, agakn ya jauh lebih sehat daripada tadi!

"Sin Hong...! Kau tadi dipukul oleh... iblis... siluman wani..."

"Hush, tenang dan duduklah, Li Hwa." Sin Hong menyambar pergelangan tangan Li Hwa dan menarik gadis ini duduk berhadapan dengannya. Tiang Bu juga memandang kepada Li Hwa dengan bengong melihat ke arah pipi kanan gadis itu.

"Li Hwa, jangan memakinya. Dia tadi memukulku bukan dengan maksud buruk. Ang-jiu Mo-li memang ganas dan nakal seperti siluman, akan tetapi hatinya baik”.

"Apa...? Kau bilang dia itu baik? Dia menampar pipiku, dia memukul punggungmu. Sin Hong, jangan-jangan kau sudah terkena sihir lagi. Siapa tahu kalau-kalau siluman itu pun ahli ilmu hitam seperti Thai Gu Cinjin?"

"Ssst, jangan menuduh sembarangan saja, Li Hwa. Ketahuilah bahwa tadi dia telah menotok pusat jalan darah di punggungku dan rnemasukkan hawa Iweekang untuk mernbantuku sehingga dalam sedetik saja tenaga di dalam tubuhku menjadi berlipat ganda dan dapat menyembuhkan luka di dada kananku."

Li Hwa melongo. "Oohh, begitukah? Tapi... tapi tadi ia menampar pipiku, sampai sekarang masih terasa panas dan sakit. Apakah itu pun dengan maksud baik untuk menolongku?" katanya sambil meraba-raba pipi kanannya yang terasa panas.

"Niocu, pipi kananmu merah sekali. Ada gambar lima jari merah di situ!" kata Tiang Bu sambil menuding ke arah pipi kanan Li Hwa.

"Apa...?" Li Hwa membelalakkan matanya lalu cepat lari memasuki hutan kecil mencari air. Tak lama kemudian ia berlari kembali, berdiri di depan Sin Hong sambil membanting-banting kaki! Ia telah menangis dan dengan suara megap-megap ia berkata.

"Sin Hong kau harus balaskan hinaan ini! Harus!" katanya sambil menangis dan mengusap-usap pipinya yang sebelah kanan Sin Hong bersikap tenang.

"Duduklah, Li Hwa. Aku akan memeriksa pipimu yang ditampar."

Li Hwa menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan Sin Hong memeriksa pipinya, jari-jari Sin Hong yang meraba-raba pipinya mendatangkan rasa dingin dan sejuk, menghilangkan rasa panas. Dan dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terasa oleh Li Hwa betapa beda sikap Sin Hong sekarang terhadapnya. Betapa dalam pandangan mata Sin Hong kepadanya nampak sesuatu yang aneh namun mesra, sesuatu yang membuat hatinya berdebar ganjil. Seakan-akan ia melihat titik api di dalam manik mata pemuda itu, titik api yang hanya timbul apabila mata itu memandang kepadanya.

Sin Hong tersenyum. "Tidak apa-apa, Li Hwa, Ang-jiu Moli hanya main-main. Dalam waktu satu bulan paling lama, tanda merah itu akan lenyap sendiri."

"Tidak apa-apa katamu? Itu penghinaan namanya! Penghinaan besar yang harus dibalas? Sin Hong, apa kau tidak ikut terhina karena perbuatannya ini? Apa kau tidak malu melihat aku dihina seperti ini...?" Air matanya mengucur makin deras, hatinya sakit sekali, jauh lebih sakit daripada rasa panas di pipinya.

Sin Hong tersenyum. "Mengapa malu, Li Hwa. Dengan warna merah itu pipimu, kau nampak makin... cantik menarik. Bukankah begitu, Tiang Bu?"

Bocah itu tidak tahu tentang cinta kasih. Juga ia tidak tahu harus berkata apa. Baginya, gambar lima jari di atas pipi Li Hwa mana bisa disebut menambah cantik, kelihatannya lucu baginya. Akan tetapi karena ia cerdik dan dapat menduga bahwa Sin Hong bermaksud menghibur dan mengurangi kemarahan dan sakit hati Li Hwa, ia mengangguk-angguk.

Isak tangis yang agak keras itu tiba-tiba terhenti dan gadis itu menatap wajah Sin Hong dengan bengong, mata terbuka lebar dan mulut agak terbuka kelihatan giginya yang putih. Air mata masih mengalir di atas pipinya. Baru sekarang ia mendengar Sin Hong menyebutnya... cantik menarik! Pujian ini sekaligus melenyapkan semua kemarahannya, ia terlalu girang untuk dapat marah lagi, biar kepada Ang-jiu Moli sekalipun. Wajahnya perlahan-lahan menjadi merah dari akar-akar rambut di keningnya sampai ke leher dan telinganya. Cap jari merah di pipinya tidak kelihatan lagi karena sekarang semua wajahnya menjadi kemerahan dan berseri-seri.

"Be... betulkah itu, Sin Hong?" kata lirih dan gagap.

"Apakah yang betul, Li Hwa?" tanya Sin Hong yang benar-benar tidak dapat menangkap arti pertanyaan gadis ini.

Bibir Li Hwa yang merah bergerak-gerak akan tetapi tidak ada suara keluar. Ia memandang dengan ragu ke arah Tiang Bu, lalu terlompat kata-kata jawabannya, "Betulkah bahwa... Ang-jiu Moli tidak menghinaku?" Kegagapannya dan keragu-raguan dalam kata-katanya ini dapat ditangkap oleh Sin Hong yang dapat menduga pula bahwa Li Hwa sengaja menyimpangkan pertanyaannya karena di situ hadir orang ke tiga, Tiang Bu.

"Dia memang tidak menghinamu dan tak perlu hal ini kau jadikan dendam. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa perbuatannya itu nakal dan keterlaluan, timbul dari wataknya yang sombong. Aku berjanji bahwa kelak kalau ada kesempatan, aku akan berusaha supaya kau dapat membalas tamparan itu. Puaskah kau sekarang?"

Kegirangan hati Li Hwa bukan kepalang. Kalau di situ tidak ada Tiang Bu tentu ia akan mencubit kekasihnya itu. Hanya wajahnya saja makin berseri dan sekarang Sin Hong yang diam-diam memaki diri sendiri bermata buta. Li Hwa begini cantik jelita, begini manis, begini setia penuh cinta kasih dan begini mulia hatinya. Mengapa baru sekarang !a melihatnya seperti itu? Mengapa baru sekarang hatinya bicara?

“Disamping janjiku untuk memberi kesempatan kepadamu membalas tamparan itu, aku pun berjanji akan membalas budinya ketika ia menolongku tadi." kata pula Sin Hong.

Li Hwa diam saja, masih terlampau girang hatinya untuk timbul rasa cemburunya yang biasanya amat besar itu. Adapun Tiang Bu makin kagum akan kepribadian Sin Hong yang dianggapnya seorang gagah perkasa yang patut dicontoh, baik kelihaiannya, kecerdikannya, maupun kehalusan budinya.

Sin Hong bangkit berdiri perlahan, menggerak-gerakkan lengan kanannya, mula-mula hati-hati dan perlahan, makin lama makin cepat dan ia girang sekali mendapat kenyataan bahwa luka di dalam dadanya telah sembuh.

"Ang-jiu Moli memiliki Iweekang yang tinggi," katanya perlahan, kagum dan juga ingin sekali tahu apakah ia tidak dapat menandingi tokoh wanita utara yang amat terkenal itu.

"Akan tetapi wataknya buruk, sombong bukan main." Li Hwa mencela, kini agak merasa "tidak enak" karena Sin Hong memuji seorang wanita, walaupuri pujian itu bukan kosong belaka.

"Wan-siok siok apakah dia itu lebih lihai darimu?" tanya Tiang Bu, masih terheran-heran karena ia telah bertemu orang-orang yang amat pandai. Kalau tadinya ia menganggap Thai Gu Cinjin sebagai orang terpandai, tak tahunya muncul Wan Sin Hong yang lebih hebat, dan kini Wan Sin Hong memuji-muji Ang-jiu Moli. Begitu banyaknya orang pandai, setiap bertemu yang baru lebih pandai lagi. Siapa gerangan orang yang memiliki kepandaian tinggi?

Mendengar pertanyaan Tiang Bu, Sin Hong memandang bocah itu dan tersenyum. Ia suka kepada Tiang Bu setelah. menyaksikan keberanian dan kecerdikan anak ini, dan ia berbareng merasa heran sekali mengapa wajah Tiang Bu tidak tampan. Padahal ayahnya, Liok Kong Ji, biarpun berwatak jahat namun memiliki wajah yang tampan sekali dan ibunya Gak Soan Li, adalah seorang wanita gagah yang cantik. Tiba-tiba Sin Hong teringat akan hal yang menakjubkan hatinya tadi ketika ia melihat bocah ini berhasil memukul Thai Gu Cinjin!

"Tiang Bu, tak perlu kita ketahui siapa yang lebih lihai. Betapa pun tinggi kepandaian seorang manusia, tentu ada orang lain yang melebihinya dan setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tadi pun kau telah dapat memukul Thai Gu Cinjin, bukankah itu aneh sekali?"

Wajah Tiang Bu membayangkan kekecewaan hati. "Sayang aku bodoh dan tidak bertenaga. Kalau ada sedikit saja tenagaku, tentu akan dapat membantumu melawan Thai Gu Cinjin. Pukulan- pukulanku tidak terasa olehnya, bahkan telapak tanganku sendiri terasa sakit dan panas-panas."

Sin Hong tersenyum dan maklum, bahwa tentu saja pukulan seorang anak kecil ini tidak ada artinya bagi tubuh Thai Gu Cinjin yang sudah kebal. Yang mengherankan hatinya hanyalah cara Tiang Bu melakukan serangan sehingga berhasil tadi.

"Tiang Bu, coba kau menyerang aku dengan pukulan-pukulan seperti yang telah kau lakukan terhadap Thai Gu Cinjin tadi."

"Aah, Wan siokhu (Paman Wan), jangan mentertawakan kebodohanku!"

"Anak bodoh, orang mau memberi petunjuk disangka mentertawakan. Apa yang harus ditertawakan dalam ilmu silat?" Li Hwa mencela Tiang Bu.

Mendengar ini, merah wajah Tiang Bu, matanya berseri dan ia memandang kepada Sin Hong. "Sioksiok, kau benar-benar mau memberi petunjuk padaku?" tanyanya girang.

"Kita lihat saja nanti. Aku hanya ingin melihat pukulan-pukulanmu yang tadi telah berhasil mengenai tubuh Thai Gu Cinjin. Mulailah!"

Tadinya memang Tiang Bu merasa ragu-ragu untuk menyerang Sin Hong biarpun hal itu adalah atas kehendak Sin Hong sendiri, akan tetapi setelah mendengar bahwa ia akan diberi petunjuk, dengan penuh semangat ia lalu mulai menyerang dengan Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang sudah ia pelajari dari kitab pusaka Omeisan.

Sin Hong melihat kedua lengan bocah itu bergerak-gerak secara aneh dan cepat sekali juga kedudukan kakinya berpindah-pindah merupakan segi delapan. la merasa terkejut sekali, bukan saja karena sifat-sifat yang amat luar biasa dan lihai dari ilmu silat ini, akan tetapi terutama sekali karena ia tidak mengenalnya!

Inilah hebat. Sebagai seorang bengcu, tentu saja Sin Hong mengenal hampir semua ilmu silat, akan tetapi yang sekarang di mainkan oleh Tiang Bu ini sama sekali belum pernah ia melihatnya. Hampir mirip dengan Pak kwa kun-hwat akan tetapi lebih hebat, apalagi serangan-serangan dengan dua tangan itu berubah menjadi banyak!

Sin Hong menangkis perlahan dan mengelak akan tetapi segera ia mengeluarkan seruan tertahan karena sebentar saja ia terpaksa main mundur karena terdesak hebat! Kedua tangan bocah itu seakan-akan bergerak otomatis, apabila yang kiri ditangkis atau dihindarkan, yang kanan tentu melakukan serangan berikutnya, demikian seterusnya kedua tangan itu menghujankan serangan-serangan yang luar biasa dan tak terduga-duga. Demikian hebat serangan Tiang Bu sampai-sampai Sin Hong yang lihai terpaksa menggunakan seluruh perhatiannya untuk menjaga diri jangan sampai terpukul seperti Thai Gu Cinjin tadi.

"Hebat sekali ilmu silatnya ini," pikir Sin Hong kagum, "kalau ia sudah dewasa dan besar tenaga, sukar menahan serangan-serangannya. Ilmu silat apakah dan dari manakah ini yang demikian hebat mengatasi semua ilmu silat yang pernah kupelajari dan kukenal?"

Kemudian Sin Hong teringat betapa bocah ini dengan amat lihainya meloloskan diri dari serangan-serangan maut Thai Gu Cinjin sehingga kakek itu terpaksa merobohkannya dengan ilmu hitam. Teringat akan ini ia cepat berkata, "Cukup seranganmu ini. Sekarang jagalah baik-baik dan kelit semua seranganku!"

Tiang Bu mentaati perintah "Pamanya Wan" yang lihai dan mengagumkan hatinya itu. Ia menghentikan serangan-serangannya dengan Ilmu Silat Pat-hong-hong-i mulai menjaga diri dengan Ilmu Kelit Sam-hoan Sam-bu. Serangan Sin Hong dimulai dengan tubrukan yang dahsyat. Ia bermaksud menubruk dan menangkap bocah itu dari dua jurusan kanan kiri dengan kedua lengan dipentang. Akan tetapi, bagaikan belut saja, bocah itu membuat gerakan lemas dan aneh seperti orang menari dan Sin Hong menubruk angin!

la mengelak dan cepat mengirim serangan susulan yang makin lama makin dahsyat. N amun dengan cara yang luar biasa sekali Tiang Bu selalu dapat menyelamatkan diri sampai sepuluh jurus berturut-turut. Inilah hebat! Seorang bocah cilik dapat mengelak selama sepuluh jurus berturut-turut dari serangan Wan Sin Hong, benar-benar hebat. Jago silat tingkat menengah saja belum tentu mampu menahan sampai lima jurus.

Yang mengagumkan hati Sin Hong sesungguhnya bukan bocah itu yang sudah terlalu lihai, melainkan ilmu silat yang agaknya khusus untuk berkelit itulah yang terlalu hebat. limu kelit ini seperti gerakan menari, namun membuka banyak jalan untuk melepaskan diri dari bahaya ancaman serangan lawan secara aneh dan cepat. Untuk kedua kalinya Sin Hong merasa terpukul. Juga ilmu silat atau ilmu kelit ini ia tidak kenal dan tak pernah meli hatnya. Benar-benar membuat ia tertegun dan melompatlah ia ke belakang.

"Cukup! Tiang Bu anak baik, dari mana kau memperoleh dua ilmu silat yang luar biasa ini? Atau pernahkah kau mempelajari ilmu silat lain selama kau meninggalkan rumah?"

Dasar anak kecil. Biasanya ia hanya menghadapi celaan dan kebencian, sekarang melihat sikap Sin Hong yang amat ramah dan mendengar pujiannya, Tiang Bu menjadi girang sekali dan cepat menjawab untuk memamerkan. "Masih ada satu lagi, Wan-siok-siok!"

"Coba kau perlihatkan dan kau gunakan untuk menyerangku."

Dalam kegembiraannya untuk memamerkan ilmu silatnya yang ketiga, Tiang Bu cepat membuka pasangannya dan cepat mainkan Ilmu Silat Hui houw tongte yang ia pelajari dari Pak kek Samkui, jari-jari tangannya dibuka merupakan cengkeraman dan ia mengeluarkan gerengan-gerengan kecil seperti seekor harimau cilik berlagak. Dengan dahsyat ia menyerang Sin Hong. Akan tetapi alangkah kaget dan kecewanya ketika baru saja dua gebrakan ia menyerang, ia telah ditangkap lengannya dan didorong mundur, dibarengi suara Sin Hong yang penuh teguran.

“Ilmu silat apa yang kau perlihatkan ini? Ilmu silat jahat dan kotor seperti ini harap jangan kau mainkan lagi selama hidupmu!"

Tiang Bu melangkah mundur dengan muka merah. "Maaf, Sioksiok. Aku hanya dipaksa belajar ilmu silat ini oleh Pak-kek Samkui..." katanya lambat.

"Yang dua pertama tadi, dari siapa kau belajar dan apa namanya, ilmu silat menyerang dan mempertahankan tadi?"

"Yang ke dua adalah Ilmu Kelit Sam-hoan Sam-bu yang kupelajari dari Suhu Bu Hok Lokai, dan yang pertama..." Tiang Bu ragu-ragu. Menurut Bu Hok Lokai, kitab yang mengandung Ilmu Silat Pat hong hong i itu adalah kitab curian yang diperebutkan oleh orang-orang kangouw. Kitab itu terjatuh ke dalam tangannya secara kebetulan sekali. Haruslah ia ceritakan ini? Selagi ia ragu-ragu, tiba-tiba angin menyambar-nyambar, daun-daun pohon pada rontok dan beterbangan ke bawah.

"Ayaaa..." terdengar Li Hwa menjerit.

"Gunakan tenaga khikang menangkis daun-daun itu...!" teriak Sin Hong kepada Li Hwa dan ia menubruk ke depan untuk memeluk Tiang Bu dan melindunginya, akan tetapi alangkah kagetnya karena ia tidak dapat menemukan Tiang Bu...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.