Tangan Gledek Jilid 16
SEMENTARA itu, Lee Goat sudah berlari lari meninggalkan suhunya sampai di tempat Tiang Bu tertidur di bawah pohon. Pedangnya masih membabat-babat rumput dan pohon kecil yang melintang di jalan, seakan-akan ia jalan sedang berperang dengan tetumbuhan itu. Memang dalam hatinya Lee Goat mengumpamakan rumput dan pohon kecil itu seperti Liok Kong Ji yang sudah menculik subonya maka ia membabat dan membacok dengan penuh semangat!
"Ular...!" serunya geli dan ngeri melihat seekor ular hijau mengangkat kepala dan lidahnya mendesis-desis ketika Lee Goat membabat alang-alang yang tadinya menjadi tempat sembunyi ular itu. Akan tetapi ia sebentar Lee Goat terkejut. Secepat kilat pedangnya me nyambar dan tubuh ular itu terbabat putus menjadi dua! Sambil menggerak-gerakkan kedua pun dak kegelian Lee Goat menggunakan ujung pedangnya untuk mencokel potongan-potongan tubuh ular itu ke dalam semak-semak.
"Setan berhati jahat!" Tiba-tiba mendengar makian dari dalam semak-semak itu dan muncullah seorang bocah perempuan yang sebaya dengan Lee Goat. Bocah ini juga membawa pedang dan dengan marah sekali ia lalu menerjang Lee Goat dengan bacokan pedang.
Tentu saja Lee Goat menjadi heran dan cepat menangkis sambil berkata. "Aku tidak sengaja melemparkan bangkai ular. Kalau kebetulan mengenaimu mengapa kau marah-marah? Apa kau mau bunuh orang?”
Gadis cilik yang berwajah jelita itu dengan alis berkerut memakinya. "Orang dengan hati keji seperti kau harus dibunuh! Kenapa kau membacok ular yang tidak bersalah apa-apa? Kau benar kejam.” Setelah berkata demikian, kembali ia menyerang Lee Goat dengan hebat.
Lee Goat menjadi marah sekali. Membunuh ular dianggap kejam. Orang macam apa ini! Setelah menangkis serangan lawan, iapun membalas dengan bacokan-bacokan sehingga dua orang gadis cilik itu saling serang dengan ramai. Pedang yang mereka gunakan adalah pedang biasa yang kelihatan terlalu panjang bagi mereka, akan tetapi ternyata bahwa keduanya dapat memainkannya dengan baik, tanda bahwa mereka adalah murid-murid dari guru yang pandai dalam ilmu pedang. Bagi Lee Goat mainkan senjata pedang bukan hal yang aneh karena gurunya adalah Wan Sin Hong, seorang ahli pedang yang lihai sekali. Akan tetapi gadis cilik yang marah -marah karena ada ular dibunuh Lee Goat yang juga lihai sekali ilmu pedangnya, siapakah dia ini?
Bocah perempuan yang lihai dan marah-marah melihat see kor ular dibunuh ini adalah Wan Bi Li yang datang ke tempat itu bersama Wan Sun kakaknya dan Ang jiu Mo-li gurunya. Seperti diketahui, Wan Sun dan Wan Bi Li menjadi murid Ang jiu Mo-li tokoh utara yang amat lihai itu dan kini Ang jiu Moli mengunjungi Omei-san membawa dua orang muridnya. Baik Sin Hong maupun Ang jiu Mo-li merasa heran melihat kehadiran masing masing di tempat ini. Ang-jiu Moli yang menegurnya lebih dulu.
"Wan-bengcu, agaknya murid-murid kita saling mewakili gurunya untuk mencoba kepandaian masing-masing. Bi Li, apakah kau kalah oleh murid Wan-bengcu ini?" tanya Ang-jiu Mo-li kepada Bi Li. Gadis cilik itu menjebikan bibirnva yang manis.
"Mana teecu bisa kalah oleh orang keji itu? Bertempur lagi sampai seribu jurus teecu masih berani!”
Lee Goat memandang dengan mata tajam dan marah. "Sombong, kau kira aku takut menghadapimu?”
Sin Hong tersenyum, lalu menegur muridnya dengan suara keren. "Lee Goat, jaagan mudah naik darah. Mengapa kau bertempur dengan orang lain?"
"Teecu tidak apa-apa diserang oleh bocah gila itu, suhu," Lee Goat membela diri.
"Tidak apa-apa katamu? Pandai membohong. Dia telah membunuh see kor ular yang tak berdosa!" kata Bi Li, sepasang matanya memancarkan sinar bercahaya yang mengejutkan hati Sin Hong. Bocah yang menjadi murid Ang-jiu Mo-li itu hebat sekali sinar matanya, pikir Sin Hong kagum, juga khawatir karena bocah seperti itu dapat menjadi seorang yang berbahaya kelak.
"Wan-bengcu, kau lihat bahwa muridmu yang bersalah dan bahwa muridku memiliki sifat pendekar, suka menolong yang lemah.” Ang jiu Mo-li menyindir sambil tersenyum mengejek.
"Baik sekali. Sayangnya yang ditolong adalah seekor ular yang jahat," jawab Sin Hong. "Betapapun juga, muridku telah salah karena berani melanggar pantanganku bertempur, Lee Goat. hayo kau minta maaf kepala Ang-jiu Mo-li dan dua muridnya!”
Lee Goat mengerutkan alisnya dan ragu-ragu. Apalagi ketika ia mendengar Wan Sun mengomeli adiknya. "Seharusnya kau tidak datang-datang menyerang orang lain, Bi Li. Kau mencari gara gara saja!"
Mendengar omelan Wan Sun ini, Lee Goat marasa dimenangkan dan ia merasa penasaran mendengar perintah suhunya agar supaya ia minta maaf. Akan tetapi ketika ia melirik dan melihat gurunya memandang kepadanya dengan senyum penuh arti dan pandang mata harapan ia lalu mengangkat kedua tangan membungkuk dengan hormat ke arah Ang-jiu Mo-li bertiga murid-muridnya sambil berkata. "Harap maafkan semua kesalahanku!”
Ang-jiu Mo li menjadi merah mukanya. "Wan-bengcu, benar-benar kau lebih pandai mendidik murid. Dan kebetulan sekali kita bertemu di sini. Ketahuilah, Wan-bengcu bahwa aku masih ingin sekali mengukur sampai di mana kehehatan ilmu pedangmu yang be gitu disohorkan orang. Setelah murid kira bermain-main, marilah kita mencoba-caba sebentar."
Akan tetapi Sin Hong yang sedang menderita batin karena kehilangan isterinya, tidak ada nafsu untuk mengadu kepandaian. Ia menggeleng kepala dan menjawab, "Ang jiu Mo-li, bukan sekali-kali aku tidak menghargai ajakanmu. Akan tetapi sekarang bukanlah saatnya yang tepat untuk mencoba kepandaian. Ingatlah bahwa kita, berada di daerah orang lain dan menurut patut kita harus menghormati tuan rumah di 0mei-san dan jangan memamerkan kepandaian di sini. Nanti saja kalau urusanku di sini sudah beres, tentu aku takkan manolak ajakanmu itu."
Kembali Ang-jiu Mo-li tersenyum. Ia masih nampak manis sekali kalau tersenyum. "Agaknya kau juga segan terhadap kedua couwsu dari Omei-san! Baiklah, aku setuju dengan pendapatmu. Akan tetapi, kau datang di tempat ini ada urusan apakah?”
Sin Hong merasa segan untuk mengaku terus terang. Kemudian ia teringat akan pemandangan di lereng bukit tadi di mana ia melihat banyak sekali orang kangouw mendaki gunung. “Aku tertarik karena melihat banyak orang gagah mendaki Gunung Omei-san. Hendak kulihat mereka itu akan berbuat apa. Dan mengapa pula kau jauh-jauh datang dari utara ke tempat ini, Ang-jiu Mo-li?" Diam-diam Sin Hong terkejut sendiri ketika timbul dugaan di dalam hatinya apakah wanita lihai ini bukan sekutu Kong Ji pula? Kalau betul sekutu Kong Ji, ia benar-benar akan menghadapi lawan yang amat tangguh.
Ang-jiu Mo li tersenyum, agaknya tidak percaya akan keterangan Sin Hong tadi. "Aku pun tadinya hanya ingin melancong saja. Kebetulan bertemu dengan kau di sini dan kalau benar banyak orang naik ke puncak Omei-san benar benar akan ada pesta hebat yang menggembirakan. Nah, sampai bertemu kelak di kaki gunung ini, Wan-bengcu. Ataukah... di puncak kita berjumpa"
"Kita sama lihat saja nanti. Ang-liu Mo-li," jawab Sin Hong.
Sejak tadi Wan Sun memandang kepada Sin Hong de ngan pandang mata penuh gairah. Beberapa kali ia menggerakkan bibir hendak mengeluarkan suara, akan tetapi ditahan-tahannya dan akhirnya ketika gurunya mengajak dia dan adiknya pergi, ia menurut saja tanpa mendapat kesempatan lagi untuk bicara dengan Sin Hong. Dapat dibayanglan betapa inginnya puteta pangeran ini bicara dengan Sin Hong setelah ketahui bahwa inilah Wa bengcu atau Wan Sin Hong yang masih terhitung pamannya sandiri.
Sejak kecil ayahnya sudah sering kali menuturkan kepadanya tentang Wan Sin Hong yang gagah perkasa dan yang memiliki wajah serupa benar dengan ayahnya, Wanyen Ci Lun. Sekarang setelah berhadapan muka. tentu saja ia ingin sekali bicara dengan pamannya ini. Akan tetapi ia tidak berani oleh krena gurunya sudah memesan dengan keras agar supaya di dalam perantauan, dua orang muridnya ini jangan mengaku bahwa mereka adalah putera Pangeran Wanyen Ci Lun dari Kerajaan Kin. Juga Sin Hong meninggalkan lereng itu dan mengajak Lee Goat melanjutkan perjalanan menuju ke puncak gunung. Lee Goat menengok ke sana ke mari mencari-cari dengan matanya.
"Kau mencari siapa?" tanya Sin Hong. "Suhu, tadi ketika teecu bertempur dengan anak... setan itu...“
"Hush. jangan menggunakan kata-kata makian! Lee Goat, bukankah tadi kau sudah minta maaf? Aneh sekali watakmu."
Lee Goat menjadi merah mukanya. "Ampun, suhu. Teecu tidak bermaksud memaki, karena di dalam hati teecu tidak ada kebencian terhadapnya."
"Lanjutkan penuturanmu tadi."
"Ketika tadi teecu bertempur, di antara kami berdua be lum ada yang kalah atau menang. Biarpun teecu sudah menggunakan Ilmu Pedang Soan-bong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin Puyuh), namun teecu tak dapat mendesaknya. ilmu pedangnya juga istimewa sekali, akan tetapi teecu tak mau kalah dan kami berdua masih seimbang. Tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki yang usianya sebaya dengan kakak lawan teecu tadi, ia mendorongkan tongkatnya di tengah-tengah, di antara kami. Pedang teecu menghantam torgkat itu dan... pedang kami berdua terlempar!”
Sin Hong mengelus-elus dagunya yang mulai ditumbuhi jenggot. Hati kecilnya menduga-duga dan ia merasa heran apakah bocah yang dimaksudkan ini bukan Tiang Bu! "Bagaimana rupanya?" tanyanya.
"Rupanya jelek, pakaiannya tambal-tambalan. Melihat rupanya, dia itu seperti anak kampung biasa saja, suhu. Akan terapi anehnya, begitu dia muncul dia lalu menyebut nama teecu! Inilah yang membikin teecu bingung dan heran sekali."
Berdebar hati Sin Hong. Tak salah lagi, tentu Tiang Bu yang mengenal wajah adiknya! "Apa katanya?" ia mendesak muridnya.
"Dia hanya bertanya bukankah teecu ini Lee Goat dan ketika teecu jawab bukan, dia terheran dan menyatakan bahwa wajah teecu serupa benar dengan wajah Lee Goat!"
Sin Hong mengangguk-angguk. Kini iapun menengok ke kanan kiri, memandang tajam untuk melihat apakah Tiang Bu masih berada di sekitar tempat itu. Akan temtapi Tiang Bu sudah pergi. karena anak inipun melihat datangnya banyak sekali orang orang aneh yang naik ke puncak, maka diam-diam iapun mendahului pulang ke puncak untuk memberi tahu gurunya.
"Ke mana dia pergi? Mengapa tadi aku tidak melihat dia?"
"Entahlah, tadi dia terus pergi lagi, suhu. Siapakah dia, suhu...” tanya Lee Goat.
"Kau tidak tahu. Dia itulah kakakmu sendiri yang pergi dari rumah ketika kau masih berusia dua tahun."
Lee Goat membelalak... matanya yang lebar. "Kakak Tiang Bu yang diculik orang? Akan tetapi kenapa dia... dia begitu buruk dan pakaiannya penuh tambalan seperti penggembala kerbau?"
"Dia itu kakakmu. Hemm, jangan kau melihat pakaian. Bukankah tongkatnya sekali gerak saja sudah membikin teelepas pe dangmu?"
Lee Goat membungkam. Dalam hatinya memang ada rasa bangga akan kepandaian kakaknya yang lebih tinggi darinya, akan tetapi ia merasa kecewa karena kakaknya itu menurut anggapannya berwajah jelek, tidak tampan gagah seperti kakak Bi Li tadi. Juga, mengapa kakaknya tidak membantunya dan memberi hajaran kepada Bi Li? Akan tetapi terus saja ia tidak berani membicarakan hal ini di depan suhunya dan tanpa banyak cakap ia mengikuti gurunya naik ke puncak. Apa lagi sekarang perjalanan amat sukar, melalui batu-batu karang yang tajam dan runcing, harus mempergunakan ginkang dan perhatian sepenuhnya. Di bagian yang paling berbahaya, Sin Hong memegang tangan muridnya. Jauh di depan ia melihat Ang-jiu Mo-li juga manggandeng kedua muridnya di kanan kiri untuk melalui tebing yang curam dan berbahaya.
Sementara itu, Tiang Bu berlari cepat naik ke puncak dan dengan wajah agak berubah ia memasuki pondok, ia melihat kedua orang kakek sakti itu sedang duduk berhadapan menghadapi papan catur. Melihat kedua orang gurunya yan g sudah amat tua dan akhir-akhir ini kelihatan lemah dan sering kali mengeluh karena tubuh sudah mulai digerogoti usia tua. Tiang Bu menjadi makin gelisah.
Tiong Sin hwesio sudah berusia hampir sembilan puluh tahun dan Tiong Jin Hwesio hanya lebih muda sepuluh tahun. Sering kali Tiong Sin Hwesio mengeluh bahwa tulang tulangnya sudah terlalu lapuk, tubuhnya sudah terlalu tua sehingga "tidak enak” lagi dijadikan tempat tinggil jiwanya! Dan sekarang dua orang hwesio tua ini masih enak-enak bermain catur, padahal dari bawah gunung naik banyak oran g yang kelih atannya aneh-aneh dan gagah-gagah!
Kalau mereka itu naik dengan maksud jahat, bukankah kedua orang suhunya akan ce laka? Selama lima tahun di Omei-san, Tiang Bu belum pernah manyaksikan kelihaian kedua orang gurunya. Biarpun ia telah menerima banyak pelajaran ilmu yang tinggi tinggi, namun kedua orang kakek itu tak pernah men demontrasikan kepandaian mereka, apalagi Tiong Sin Hwesio yang kerjanya hanya bersarnadhi dan main catur belaka.
Tiong Jin Hwesio masih mendingan karena di waktu melatih ginkang dan lweekang atau ilmu silat yang sulit-sulit, masih terlihat kelihaiannya. Oleh karena inilah maka tidak mengherankan apabila Tiang Bu mengkhawatirkan keselamatan dua orang kakek itu.
"Tiang Bu, kau sudah pulang. Apakah pekerjaamu mengisi tempat air sudah selesai?” Ti ong Jin Hwesio bertanya tanpa menoleh dari papan catur yang dihadapinya.
"Belum suhu. Akan tetapi...”
"Kalau begitu keluarlah dan selesaikan dulu pekerjaanmu baru nanti bicara!" Tiong Jin Hwesto memotong kata-katanya. Suara keren dan berpengaruh sehingga Tiang Bu tidak berani berlaku lambat.
"Baik, suhu..." Ia bangkit dari lantai di mina ia tadi berlutut lalu berjalan perlahan menuju ke pintu.
"Tiang Bu...!” Panggilan halus dari Tiong Sin Hwesio membuatnya menghentikan tindakan kakinya. Ia membalik dan menjatuhkan diri berlutut di ambang pintu, menanti kelanjutan bicara suhunya.
"Melihat apa-apa, bersikaplah tenang. Hanya ketenangan yang mempertajam kewaspadaan. Jangan mencampuri urusan orang lain dan jangan bertindak sembrono. Dua orang gurumu masih hidup dan masih berada di sini, mengapa kau gelisah? Bekerjalah dan tunggu saja perintah kami!"
"Baik, suhu dan terima kasih atas nasehat suhu," kata Tiang Bu.
Kini kedua kakinya terasa ringan seperti hatinya. Kata-kata Tiong Sin Hwesio seperti memberi semangat kepadanya oleh karena kata-kata itu seakan akan hendak membayangkan bahwa dua orang suhunya itu sudah tahu akan naiknya banyak orang ke puncak dan tentu sudah siap-siaga. Dengan hati lega Tiang Bu membawa pikulan dan tempat air, lalu berlari -lari turun dari puncak menuju ke lereng di mana terdapat pancuran air. Akan tetapi baru saja ia memenuhi dua kaleng tempat air itu dengan air gunung yang jernih dan sejuk, tiba-tiba terdengar orang tertawa dan berkata,
"Bagus kau datang menghantarkan diri!"
Ketika Tiang Bu membalikkan tubuh, ia melihat Thai Gu Cinjin sudah berdiri di hadapannya dan di samping Thai Gu Cinjin berdiri pula seorang laki-laki gundul setengah tua yang matanya berputar liar. Melihat laki-laki gundul ini, Tiang Bu menjadi makin terkejut karena ia mengenal laki-laki ini sebagai pembunuh gurunya, Ba Hok Lokai! Itulah laki-laki gundul berpakaian compang-camping yang senjatanya istimewa, yaitu dua ekor ular merah.
Karena maklum bahwa dua orang yang berdiri dihadapannya itu tentu tidak mengandung maksud baik. Tiang Bu lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri. Akan tetapi, ia merasa ada sambaran o ngin dari belakang. Cepat bocah ini menjatuh kan diri ke kiri dan tongkat panjang dari Thai G u Cinjin yang tadi menyambarnya itu lewat cepat di atas kepalanya.
"Tiang Bu, jangan lari! Kalau kau lari berarti kau akan mampus. Kami tidak akan mengganggu, hanya minta bantuanmu mengantar kita ke puncak, ke tempat dua orang kakek itu menyimpan kitab-kitabnya!" kata Thai Cu Cinjin.
Tiang Bu yan g sudah melompat bangun tentu saja tidak memperdulikan kata-kata ini dan sekali lagi ia melompat hendak melarikan diri. Tiba tiba terdengar desir angin dan tahu-tahu Thai Gu Cinjin dan orang gundul itu sudah melompat dan berada di depannya, menghadang dengan wajah mengandung ancaman.
“Jiwi mau apakah! Aku tidak mau berurusan dengan jiwi, biarkan aku lewat!" kata Tiang Bu sedikitpun tidak takut.
"Tiang Bu, sudah lama aku tahu bahwa kau sekarang menjadi murid di Omei-san. Aku hanya minta kau mengantar kami ke tempat simpanan kitab."
Orang gundul itu tertawa bergelak dan terdengar suaranya yan g menyeramkan. "Anak baik, aku masih mau mengambilrnu sebagai murid. Kau cocok dengan aku. Akan tetapi lebih dulu kau harus mengantar kami naik ke atas puncak!"
"Tidak, aku tidak sudi mengantar maling-maling kitab!" Jawab Tiang Bu yang segera hcndak lari lagi. Akan tetapi orang itu menubruknya dengan gerakan cepat lalu me ngirim totokan ke arah pundaknya. Sudah jelas maksud si gundul itu hendak menangkapnya. Akan tetapi ia sama sekali tidak tahu bahwa biarpun bocah di depannya ini baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya telah memiliki kepandaian yang amat tinggi.
Melihat datangnya serangan Tiang Bu menjadi marah. Ia selalu ingat akan nasehat dua orang suhunya bahwa apabila tidak diserang jangan sekali-kali ia mendahului menyerang orang. Apabila ia membela diri, kalau terpaksa sekali juga tidak beleh ia melukai atau merobohkan orang. Kini menghadapi tubrukan orang gundul itu yang cukup berbahaya, ia miringkan tubuh, mengerahkan tenaga dan secepat kilat tangannya bergerak menangkis terus menangkap tangan oran g dan melemparkan tubuh orang gundul itu dengan meminjam tenaga tubrukan lawan!
Gerakan Tiang Bu ini cepat, otomatis dan tidak terduga sama sekali. Kalau orang lain yang tadi menyerangnya tentu kini akan terlempar. Akan tetapi yang menyerangnya adalah Kwan Kok Sun yang berjuluk Tee-tok (Racun Bumi), seorang kang-ouw yang sudah terkenal. Baca Pedang Penakluk Iblis (Sin-kiam Hok-mo
Biarpun amat terkejut karena bocah itu tidak saja dapat menangkis tubrukannya bahkan dapat pula membalas dengan hebat namun Kwan Kok S un si orang gundul yang lihai itu masih dapat menguasai dirinya. Begitu lengan kanannya ditangkap, tangan kirinya lalu mengirim pukulan ke arah kepala Tiang Bu dan kali ini ia mengirim pukulan yang dahsyat yang bukan main- main lagi, melainkan pukulan maut yang dapat mematikan. Inilah pukulan Hek-tok-ciang (Pukulan Racun Hitam) yang luar biasa dahsyat dan berbahaya!
Tiong Bu sudah mewarisi kepandaian luar biasa dari kedua orang suhunya yan g sakti. Panca inderanya tajam dan perasa sekali, terutama matanya amat awas. Pukulan Hek-tok-ciang yang amat be rbahaya dan dilakukan dari jarak dekat ini sudah lebih dulu dirasainya, maka secepat kilat ia menangkis dengan hawa pukulan dari atas kebawah, me nggunakan dua tangan mendorong ke bawah menggunakan tenaga khikang sedangkan kedua kakinya menotol tanah sehingga tubuhnya mencel at ke atas melalui kepala Kwan Kok Sun!
"Lihai sekali...!" Kwan Kok Sun sampai berseru kagum dan juga kaget melihat cara bocah itu menyelamatkan diri.
Akan tetapi Thai Gu Cinjin sudah siap sedia. Ia tidak mau melepaskan Tiang Bu begitu saja karena memang ia amat membutuhkan bocah itu, Thai Gu Cinjin selain lihai ilmu silatnya juga ia terkenal amat cerdik.
Tiang Bu jangan lari!” Tongkatnya diputar menghadang di depan Tiang Bu yang menjadi bingung juga. Kalau dua orang itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh yaitu denganmaksud membunuh, kiranya akan sukar baginya untuk membebaskan diri. Biarpun ia sudah lima tahun belajar ilmu silat tinggi di Omei-san, namun kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian Thai Gu Cinjin masih tak mungkin dapat menang.
"Thai Gu Cinjin, kalau kau memaksa aku membantumu mencuri kitab lebih baik aku mengadu nyawa denganmu,” katanya gagah sedikitpun tidak merasa gentar biarpun tahu ia berada dalam bahaya maut.
Thai Gu Cinjin menahan tongkatnya dan berkata manis, "Tiang Bu. kepandaianmu sudah hebat sekarang! Kau bawalah aku menghadap Tiong Jin Hwesio.Untuk menghadap sendiri pasti ia tidak mau mencrimaku. Maka kau bisa membawa kami menghadap orang tua itu, cukuplah."
Memang Thai Gu Cinjin cerdik. Ia pikir tidak ada gunanya membunuh anak ini karena kalau sampai terjadi demikian tentu dua orang kakek Omei-san akan menjadi marah sekali dan ini amat berbahaya. Sebaliknya kalau anak ini mau mengantarkannya, ia akan dapat naik ke puncak dengan mudah, juga ia takkan dicurigai dan banyak kesempatan baginya untuk melakukan niatnya, yaitu mencuri kitab-kitab pelajaran di Omie-tan. Karena biarpun ia pernah naik ke puncak ini untuk bermain catur dengan kedua kakek itu, namun sekarang ia mengambil jalan lain dan ia belum mengenal jalan ini.
Salahnya Thai Gu Cinjin tidak memperhitungkan bahwa di dunia ini bukan dia seorang saja yang mempunyai akal. Juga Tiang Bu orang bocah yang cerdik dan mudah menangkap maksud hati orang yang dtsembunyi kan di balik senyum dan kepalsuan. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih belum cukup untuk dapat dipergunakan mengimbangi ke lihaian dua orang ini.
"Baiklah, Thai Gu Cinjin. Kalau hanya membawa kau menghadap saja, aku tidak melakukan sesuatu yang salah. Akupun tidak takut kau berlaku curang dan membunuh ku karena selain aku dapat menjaga diri, andai kata aku mati di tanganmu, aku takkan penasaran. Kedua orang suhuku pasti akan menghukummu dan membalaskan penasaran.”
Setelah melepas ancaman ini. Tiang Bu lalu mendahuiui dua orang itu naik ke puncak sambil memikul dua kaleng airnya. Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun mengikutinya dari belakang. Tiang Bu bersikap acuh tak acuh, padahal ia maklum bah wa nyawanya berada di dalam tangan dua orang di belakangnya itu.
Sementara itu, Sin Hong yang menggandeng muridnya meloncati batu karang dan jurang menuju ke puncak, akhirnya dapat melewati daerah batu karang yang sukar itu dan tiba di daerah datar yang ditumbuhi rumput semak hijau.
"Suhu, banyak sekali orang di sana!" kata Lee Goat, akan tetapi Sin Hong menarik muridnya ke bawah dan mengajaknya bersembunyi di balik rumput yang tinggi.
Di sebelah sana memang terdapat beberapa belas orang yang berjalan perlahan naik ke puncak. Dari balik rumput hijau Sin Hong mengintai dan ia melihat Kong Ji berjalan dengan beberapa oran g yang telah dilihatnya, yailu orang-orang Mongol dan tokoh-tokoh utara seperti Pak-kak Sam-kui, Bu-tek Sin-ciang Bouw Gin dan masih banyak lagi orang-orang yang kelihatan memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam Sin Hong menghitung dan memperhatikan calon lawannya seorang demi seorang. Termasuk Kong It, mereka semua ada e mpat belas orang. Akan tetapi di mana Li Hwa? Ia tidak melihat adanya Li Hwa di dalam rombongan itu dan hatinya amat tidak enak. Kong Ji memiliki banyak tipu muslihat, maka ia harus berhati-hati.
Setelah rombongan Kong Ji ini lewat, keadaan menjadi sunyi. Akan tetapi Sin Hong masih belum keluar dari tempat sembunyinya karena telinganya dapat me nangkap gerakan orang yang naik dari bawah puncak. Tak lama kemudian, benar saja ia melihat rombongan ke dua yang juga terdiri dari banyak orang, bah kan ada dua puluh orang. Mereka ini adalah rombongan orang-orang dari dunia kang-ouw di daerah selatan, karena antara mereka terdapat Le Thong Hosiang, Hengtuangsan Lojin dan kedua orang hwesio Koalikungsan yang selalu membawa bawa tombak, yaitu Nam Kong Hosiang dan Nam Siang Hosiang. Di antara mereka itu tardapat orang-orang yan g berpakaian seperti pangemis, seperti siucai (sasterawan), tosu, hwesio, dan lain-lain.
Setelah rombongan ke dua ini lewat, baru saja Sin Hong hendak berdiri. Tiba-tiba terden gar suara ketawa cekikikan, membuat dia kaget setengah mati dan cepat ia berjongkok kembali di balik rumput tinggi. Siapakah orangnya yang kedatangannya sampai tak terdengar olehnya? Tentu orang yang lihai luar biasa pikirnya. Akan tetapi biarpun suara ketawanya sudah terdengar, orangnya masih juga belum kelihatan.
Kemudian muncul titik-titik hitam di udara. Titik-titik ini melayang tinggi, lalu menukik ke bawah dan tak lama kemudian terdengar suara me mukul-mukul. Ternyata bahwa tiga buah titik hitam itu setelah dekat adalah tiga ekor kelelawar yang amat besar dan warnanya hitam berbintik-bintik kuning. Ketika tiga ekor kelelawar ini lewat di atas kepala, Sin Hong mencium bau amis dan ia menjadi terkejut sekali.
"Kelelawar berbisa dari Lam-hai (Laut Selatan)" katanya di dalam hati. Sebagai seorang ahli waris pengobatan dari Raja Tabib Kwa Siucai, Sin Hong mengenal kelelawar ini yang gigitannya sama bahayanya dengan gigitan ular yang paling berbisa!
Tak lama kemudian, kembali terdengar suara ketawa cekikikan dan muncullah orangnya. Pundak Lee Goat di bawah telapak tangan Sin Hong menggigil tan da bahwa bocah ini merasa ngeri dan ketakutan. Memang, manusia yang sekarang berjalan lewat, berbongkok-bongkok dibantu oleh tongkat panjang, hampir tidak menyerupai manusia dan lebih pantas disebut iblis atau siluman!
Orang ini adalah seorang nenek tua yang wajahnya menyeramkan. Rambutnya berwarna putih kelabu, kasar dan tebal, lengket menjadi satu tak pernah tercium sisir, panjang riap-riapan menutupi pundak dan sebagian mukanya. Pakaiannya hitam, hanya semacam selendang kuning melambai di pundak dan pinggangnya. Tangan yang memegang tongkat itu dihiasi jari-jari yang kukunya seperti kuku setan, runcing melengkung mengerikan. Kedua kakinya yang besar itu telanjang, jari-jari kakinya merenggang dan melebar seperti kaki bebek. Akan tetapi yang paling mengerikan adalah mukanya. Matanya kecil, nampak kejam karena kerut-merut pada dahi pinggir dan bawah matanya. Hidungnya pesek dan dari samping tidak kelih atan sedangkan mulutnya bisa membikin orang mengkirik. Mulut ini terisi gigi yang jarang-jarang meruncing seperti gigi ular.
Sambil berjalan tersaruk-saruk nenek ini mengeluarkan suara cekikikan, tertawa seorang diri. Tiba-tiba ia mengacungkan tongkatnya ke atas dan dari mulutnya keluar suara mendesis atau lebih tepat siulan yang amat tinggi, demikian tingginya sehingga yang terdengar suara desis yang menyakitkan anak telinga. Inilah suara yang di keluarkan dengan khikang tinggi. Lebih tinggi dan lebih hebat dari pada pekik Hui-eng Niocu yang terkenal. Dan kemudian ternyata bahwa suara ini adalah suara panggilan, karena seekor diantara tiga ekor kelelawar itu lalu menukik ke bawah dan hinggap di ujung tongkat nenek itu, lalu menggantung dengan kepala di bawah mengeluarkan suara mencicit seperti suara tikus.
"Anak nakal, biar kawan-kawanmu terbang dulu, kau harus mengawani aku di sini. Kau tahu aku kesepian, hi hi hi hi...!”
Setelah nenek menyeramkan itu lewat dan lenyap dari pardangan mata, baru Sin Hong berani berdiri dan mengusap-usap kepala Lee Goat yang nampak pucat sekali. Tiba-tiba Sin Hong tertawa melihat bahwa tak jauh dari situ, di sebelah kanannya terdapat seorang kakek yang juga bersembunyi dan mengintai seperti dia tadi. Agaknya orang itu lebih dulu berada di situ, karena ia tidak melihat kedatangannya.
Kebetulan kakek itu menengok dan terkejutlah Sin Hong ketika mengenal bahwa kakek itu bukan lain adalah hwesio gemuk bulat seperti bal yang pernah ia lihat dahulu di sebuah kelenteng dekat kota raja. Di sebelah selatan kota raja terdapat sebuah Kelenteng Kwan-te-bio dan di situ yang menjadi ketua adalah Hoan Ki Hosiang. Ia kenal baik dengan hwesio tua ini. Kemudian datang seorang hwesio baru yang pekerjaannya menjadi tukang dapur. Hwe sio itu bernama Hwa Thian Hwesio, biarpun hanya tukang dapur akan tetapi memiliki ilmu pedang tinggi.
Ketika Sin Hong mengunjungi kuil itu, dahulu ia melihat hwesio tukang dapur ini memindah-mindahkan patung yang be ratnya seribu kati dengan mudahnya, maka tahulah ia bahwa Hwa Thian Hwesio memiliki kepandaian lihay. Dan sekarang tahu-tahu hwesio gemuk bundar itu berada di situ bertiarap di antara rumput tinggi, presis seekor babi gemuk! Hwesso berusia lima puluh tahun ini memiliki wajah yang lucu dan orangnya selalu gembira.
"Eh, eh, kiranya Wan-sicu ada disini pula! Pinceng sampai kaget setengah mati, kukira nenek siluman tadi muncul di sini. Hi...!” Ia menggerak-gerakkan kedua pundak bergidik kengerian.
Sin Hong tersenyum lebar. Tidak ada orang yang takkan tersenyum apabila bertemu dan bicara dengan hwcsio gemuk ini karena segala gerak-geriknya serba lucu. Kepalanya bulat matanya, hidungnya, bibirnya serba tebal dan bentuknya bundar, demikian perutnya. Benar-benar menyerupai patung Ji-lai-hud yang banyak terdapat di kelenteng. Seperti patung pula, hwesio ini mulutnya selalu terbuka dengan senyum gembira, seakan-akan ia melihat dunia ini seperti panggung dimana orang-orangnya menjadi pelawak-pelawak menggelikan.
“Hwa Thian Suhu, angin apa yang meniupmu sampai ke sini?” tanya Sin Hong terbawa gembira oleh kelucuan hwesio itu.
Hwa Thian Hweio merengut akan tetapi mulutnya tidak scperti orang bersungut-sungut, tetap saja seperti orang tersenyum gembira. “Kalau pinceng terbawa angin, tentulah angin busuk yang meniup pinceng sampai di sini!" Ia menggunakan ujung bajunya untuk mengipasi dadanya yang telanjang. Inilah kebebatannya. Di dekat puncak 0mie-san yang begitu sejuk dan dingin, tetap ia berkeringat. "Kalau saja bukan Wanyen Siauw ongya yang memerintah, biar kaisar sekalipun menyuruh pinceng, pinceng takkan sudi datang di sini bertemu dengan segala macam siluman yang mengerikan. Hii!." Kembali ia bergidik dan Lee Goat tak dapat menahan ketawanya melihat pundak yang gemuk itu bergerak seperti menari-nari.
Sin Hong mendekati hwesio itu dan memegang lengannya, penuh perhatian ia bertanya, "Jadi kau menjadi utusan Pangeran Wanyen Ci Lun? Ada urusan penting apakah gerangan maka kau diutus ke sini? Atau ini rahasia yang tak boleh diketahui orang lain?”
Kepala bundar tak berleher itu bergerak-gerak kedepan membuat gerakan mengangguk. "Memang rahasia karena tugas pinceng menyelidik. Akan tetapi baiknya pinceng mengenal siapa Wan-sicu. Terhadap Wan-sicu pinceng tak perlu merahasiakan sesuatu, bahkan pinceng banyak mengharapkan bantuan Wan-sicu."
"Coba ceritakan!" kata Sin Hong.
Hwa Thian Hwesio lalu menceritakan pengalaman-pengalamannya. Wanyen Ci-Lun yang amat memperhatikan perkembangan keadaan, tahu dari para penyelidiknya bahwa raja bangsa Mongol mengirim banyak orang gagah ke selatan untuk mengajak orang-orang kang-ouw di daerah itu supaya kelak suka membantu pergerakan bangsa Mangol. Juga ia mendengar tentang perubahan yang terjadi di dunia orang kang-ouw bagian utara bahwa Wan-bengcu telah dibebaskan dari pada tugas dan orang orang itu kabarnya hendak memilih bengcu baru di selatan.
"Yang dicalonkan mereka adalah dua orang kakek sakti di 0mei-san ini,” Hwa Thian Hwesio melanjutkan ceritanya. "Oleh karena itulah maka pinceng diutus ke selatan untuk menyelidiki hal ini, bahkan kalau mungkin pinceng harus dapat menarik bantuan mereka untuk membantu Kerajaan Kin menghadapi serbuan orang orang Mongol."
Kemudian Imam itu melanjutkan penuturannya. Ketika ia mulai naik Bukit Omei-san, ia sudah lebih dulu menyelidiki keadaan orang-orang yang hendak naik ke puncak. Banyak sekali yang naik dan dalam panyelidikannya, hwesio yang cerdik ini mendapat kenyataan bahwa mereka itu semua datang dengan maksud hati yang berbeda-beda. Ketika ia melalui lereng sebelah timur, ia melihat seorang laki-laki tampan sedang menarik lengan seorang wanita cantik memasuki sebuah kuil tua yang berada di pinggir jurang. Melihat cara wanita ini diseret, Hwa Thian menjadi curiga. Cepat ia mengejar dan membentak ke arah kuil.
"Sobat yang berada di dalam keluarlah dulu, pinceng mau bicara!"
Tak lama kemudian dari dalam kuil itu melompat keluar laki-laki tadi, nampak gagah dengan pedang di punggung. Laki laki itu tersenyum mengejek ketika bertanya. "Hwesio gemuk, kau memanggil aku Tung Nam Bengcu ada keperluan apakah?"
"Hemm, pinceng tidak kenal segala Tung Nam Bengcu. Hanya melihat kau seorang laki-laki mayeret-nyeret wanita tadi dengan maksud apakah? Siapa dia?"
"Dia adalah tawananku dan kau tak perlu mencampuri urusanku. Ketahuilah bahwa aku adalah Thian-te Bu-tek Taihiap Liok Kong Ji. Lebih baik kau hwesio gemuk pergi dari sini dan jangan menggangguku!”
Hwa Thian Hwesio pernah mendengar nama Liok Kong Ji, maka biarpun ia sudah mengerti bahwa orang di depannya ini lihai sekali ia segera menyerang. "Kau jahanam tak tahu malu!” bentaknya sambil mengirim serangan dengan tendangan kaki kiri.
Namun Liok Kong Ji dengan mudah saja dapat mengelak lalu membalas dengan serangan serangan hebat yang membuat Hwa Thian Hwesio sebentar saja sibuk sekali. Hwesio gemuk ini kalah jauh ilmu silatnya. Baiknya ia memiliki ilmu kelit yaag baik sekali sehingga begitu jauh Kong Ji belum dapat menjatuhkannya, biarpun hwesio itu sudah mandi peluh dan napasnya memburu. Tak dapat diragukan lagi, dalam waktu cepat tentu Koug Ji akan dapat merobohkannya.
Dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba muncul bintang penolong. Terdeagar bentakan nyaring."Li ok Kong Ji manusia busuk, jangan menghina orang!"
Mendengar bantakan ini, Kong Ji mecelat ke belakang dan mcncabut pedangnya. "Ang-jiu Mo-li...!” serunya kaget.
Adapun Thian Hwesio girang bukan main melihat kedatangan wanita sakti ini. Baiknya Ang-jiu Mo-li sudah mengenalnya dan hwesio itupun mengenal guru dan putera-putera majikannya. Bahkan Wan Sun dan Wan Bi Li juga muncul dan tertawa-tawa melihat betapa Hwa Thian Hwesio mandi keringat dan napasnya megap-megap.
"Toanio, tolong kau hukum jahanam kurang ajar itu...!" akhirnya hwesio gemuk ini dapat mengeluarkan suara sambil mewek-mewek. "Dia menculik wanita, disembunyikan di dalam kuil itu!"
Ang-jiu Mo li memandang kepada Kong Ji dengan senyum menghina. "Memang itulah kepandaian tunggal dari Liok Kong Ji. Cih, tak tahu malu!"
"Ang-jiu Mo-li, jangan kau percaya omongan badut terlalu banyak makan ini. Wanita itu adalah tawananku, dia adalah Hui eng Niocu Siok Li Hwa, isteri dari Wan Sin Hong. Aku menawannya karena aku ada urusan dengan Wan Sin Hong. Siapa bilang aku hendak mengganggunya?"
Mendengar bahwa wanita itu isteri Wan Sin Hong, Hwa Thian Hwesio menjadi makin marah. Juga Ang-jiu Mo-li kaget karena tidak mengira bahwa Wan Sin Hong ternyata menikah dengan Siok Li Hwa yang pernah dilihatnya sekali. Yang paling kaget adalah Wan Sun. Pemuda cilik itu mendengar bahwa isteri Wan Sin Hong diculik dan disernbunyikan dalam kuil, segera melompat memasuki kuil dengan niat menolongnya. Wan Bi Li melompat pula menyusul kakaknya.
Akan tetapi, dilain saat terdengar dua orang bocah itu menjerit dan tubuh mereka bergulingan keluar pintu kuil! Ang-jin Mo-li terkejut sekali, namun hatinya lega kembali ketika melihat bahwa kedua orang muridnya itu bergulingan keluar karena menggunakan Ilmu Kelit Trenggiling Turun Gunung untuk menghindarkan diri dari serangan gelap yang berbahaya.
"Ular...!" serunya geli dan ngeri melihat seekor ular hijau mengangkat kepala dan lidahnya mendesis-desis ketika Lee Goat membabat alang-alang yang tadinya menjadi tempat sembunyi ular itu. Akan tetapi ia sebentar Lee Goat terkejut. Secepat kilat pedangnya me nyambar dan tubuh ular itu terbabat putus menjadi dua! Sambil menggerak-gerakkan kedua pun dak kegelian Lee Goat menggunakan ujung pedangnya untuk mencokel potongan-potongan tubuh ular itu ke dalam semak-semak.
"Setan berhati jahat!" Tiba-tiba mendengar makian dari dalam semak-semak itu dan muncullah seorang bocah perempuan yang sebaya dengan Lee Goat. Bocah ini juga membawa pedang dan dengan marah sekali ia lalu menerjang Lee Goat dengan bacokan pedang.
Tentu saja Lee Goat menjadi heran dan cepat menangkis sambil berkata. "Aku tidak sengaja melemparkan bangkai ular. Kalau kebetulan mengenaimu mengapa kau marah-marah? Apa kau mau bunuh orang?”
Gadis cilik yang berwajah jelita itu dengan alis berkerut memakinya. "Orang dengan hati keji seperti kau harus dibunuh! Kenapa kau membacok ular yang tidak bersalah apa-apa? Kau benar kejam.” Setelah berkata demikian, kembali ia menyerang Lee Goat dengan hebat.
Lee Goat menjadi marah sekali. Membunuh ular dianggap kejam. Orang macam apa ini! Setelah menangkis serangan lawan, iapun membalas dengan bacokan-bacokan sehingga dua orang gadis cilik itu saling serang dengan ramai. Pedang yang mereka gunakan adalah pedang biasa yang kelihatan terlalu panjang bagi mereka, akan tetapi ternyata bahwa keduanya dapat memainkannya dengan baik, tanda bahwa mereka adalah murid-murid dari guru yang pandai dalam ilmu pedang. Bagi Lee Goat mainkan senjata pedang bukan hal yang aneh karena gurunya adalah Wan Sin Hong, seorang ahli pedang yang lihai sekali. Akan tetapi gadis cilik yang marah -marah karena ada ular dibunuh Lee Goat yang juga lihai sekali ilmu pedangnya, siapakah dia ini?
Bocah perempuan yang lihai dan marah-marah melihat see kor ular dibunuh ini adalah Wan Bi Li yang datang ke tempat itu bersama Wan Sun kakaknya dan Ang jiu Mo-li gurunya. Seperti diketahui, Wan Sun dan Wan Bi Li menjadi murid Ang jiu Mo-li tokoh utara yang amat lihai itu dan kini Ang jiu Moli mengunjungi Omei-san membawa dua orang muridnya. Baik Sin Hong maupun Ang jiu Mo-li merasa heran melihat kehadiran masing masing di tempat ini. Ang-jiu Moli yang menegurnya lebih dulu.
"Wan-bengcu, agaknya murid-murid kita saling mewakili gurunya untuk mencoba kepandaian masing-masing. Bi Li, apakah kau kalah oleh murid Wan-bengcu ini?" tanya Ang-jiu Mo-li kepada Bi Li. Gadis cilik itu menjebikan bibirnva yang manis.
"Mana teecu bisa kalah oleh orang keji itu? Bertempur lagi sampai seribu jurus teecu masih berani!”
Lee Goat memandang dengan mata tajam dan marah. "Sombong, kau kira aku takut menghadapimu?”
Sin Hong tersenyum, lalu menegur muridnya dengan suara keren. "Lee Goat, jaagan mudah naik darah. Mengapa kau bertempur dengan orang lain?"
"Teecu tidak apa-apa diserang oleh bocah gila itu, suhu," Lee Goat membela diri.
"Tidak apa-apa katamu? Pandai membohong. Dia telah membunuh see kor ular yang tak berdosa!" kata Bi Li, sepasang matanya memancarkan sinar bercahaya yang mengejutkan hati Sin Hong. Bocah yang menjadi murid Ang-jiu Mo-li itu hebat sekali sinar matanya, pikir Sin Hong kagum, juga khawatir karena bocah seperti itu dapat menjadi seorang yang berbahaya kelak.
"Wan-bengcu, kau lihat bahwa muridmu yang bersalah dan bahwa muridku memiliki sifat pendekar, suka menolong yang lemah.” Ang jiu Mo-li menyindir sambil tersenyum mengejek.
"Baik sekali. Sayangnya yang ditolong adalah seekor ular yang jahat," jawab Sin Hong. "Betapapun juga, muridku telah salah karena berani melanggar pantanganku bertempur, Lee Goat. hayo kau minta maaf kepala Ang-jiu Mo-li dan dua muridnya!”
Lee Goat mengerutkan alisnya dan ragu-ragu. Apalagi ketika ia mendengar Wan Sun mengomeli adiknya. "Seharusnya kau tidak datang-datang menyerang orang lain, Bi Li. Kau mencari gara gara saja!"
Mendengar omelan Wan Sun ini, Lee Goat marasa dimenangkan dan ia merasa penasaran mendengar perintah suhunya agar supaya ia minta maaf. Akan tetapi ketika ia melirik dan melihat gurunya memandang kepadanya dengan senyum penuh arti dan pandang mata harapan ia lalu mengangkat kedua tangan membungkuk dengan hormat ke arah Ang-jiu Mo-li bertiga murid-muridnya sambil berkata. "Harap maafkan semua kesalahanku!”
Ang-jiu Mo li menjadi merah mukanya. "Wan-bengcu, benar-benar kau lebih pandai mendidik murid. Dan kebetulan sekali kita bertemu di sini. Ketahuilah, Wan-bengcu bahwa aku masih ingin sekali mengukur sampai di mana kehehatan ilmu pedangmu yang be gitu disohorkan orang. Setelah murid kira bermain-main, marilah kita mencoba-caba sebentar."
Akan tetapi Sin Hong yang sedang menderita batin karena kehilangan isterinya, tidak ada nafsu untuk mengadu kepandaian. Ia menggeleng kepala dan menjawab, "Ang jiu Mo-li, bukan sekali-kali aku tidak menghargai ajakanmu. Akan tetapi sekarang bukanlah saatnya yang tepat untuk mencoba kepandaian. Ingatlah bahwa kita, berada di daerah orang lain dan menurut patut kita harus menghormati tuan rumah di 0mei-san dan jangan memamerkan kepandaian di sini. Nanti saja kalau urusanku di sini sudah beres, tentu aku takkan manolak ajakanmu itu."
Kembali Ang-jiu Mo-li tersenyum. Ia masih nampak manis sekali kalau tersenyum. "Agaknya kau juga segan terhadap kedua couwsu dari Omei-san! Baiklah, aku setuju dengan pendapatmu. Akan tetapi, kau datang di tempat ini ada urusan apakah?”
Sin Hong merasa segan untuk mengaku terus terang. Kemudian ia teringat akan pemandangan di lereng bukit tadi di mana ia melihat banyak sekali orang kangouw mendaki gunung. “Aku tertarik karena melihat banyak orang gagah mendaki Gunung Omei-san. Hendak kulihat mereka itu akan berbuat apa. Dan mengapa pula kau jauh-jauh datang dari utara ke tempat ini, Ang-jiu Mo-li?" Diam-diam Sin Hong terkejut sendiri ketika timbul dugaan di dalam hatinya apakah wanita lihai ini bukan sekutu Kong Ji pula? Kalau betul sekutu Kong Ji, ia benar-benar akan menghadapi lawan yang amat tangguh.
Ang-jiu Mo li tersenyum, agaknya tidak percaya akan keterangan Sin Hong tadi. "Aku pun tadinya hanya ingin melancong saja. Kebetulan bertemu dengan kau di sini dan kalau benar banyak orang naik ke puncak Omei-san benar benar akan ada pesta hebat yang menggembirakan. Nah, sampai bertemu kelak di kaki gunung ini, Wan-bengcu. Ataukah... di puncak kita berjumpa"
"Kita sama lihat saja nanti. Ang-liu Mo-li," jawab Sin Hong.
Sejak tadi Wan Sun memandang kepada Sin Hong de ngan pandang mata penuh gairah. Beberapa kali ia menggerakkan bibir hendak mengeluarkan suara, akan tetapi ditahan-tahannya dan akhirnya ketika gurunya mengajak dia dan adiknya pergi, ia menurut saja tanpa mendapat kesempatan lagi untuk bicara dengan Sin Hong. Dapat dibayanglan betapa inginnya puteta pangeran ini bicara dengan Sin Hong setelah ketahui bahwa inilah Wa bengcu atau Wan Sin Hong yang masih terhitung pamannya sandiri.
Sejak kecil ayahnya sudah sering kali menuturkan kepadanya tentang Wan Sin Hong yang gagah perkasa dan yang memiliki wajah serupa benar dengan ayahnya, Wanyen Ci Lun. Sekarang setelah berhadapan muka. tentu saja ia ingin sekali bicara dengan pamannya ini. Akan tetapi ia tidak berani oleh krena gurunya sudah memesan dengan keras agar supaya di dalam perantauan, dua orang muridnya ini jangan mengaku bahwa mereka adalah putera Pangeran Wanyen Ci Lun dari Kerajaan Kin. Juga Sin Hong meninggalkan lereng itu dan mengajak Lee Goat melanjutkan perjalanan menuju ke puncak gunung. Lee Goat menengok ke sana ke mari mencari-cari dengan matanya.
"Kau mencari siapa?" tanya Sin Hong. "Suhu, tadi ketika teecu bertempur dengan anak... setan itu...“
"Hush. jangan menggunakan kata-kata makian! Lee Goat, bukankah tadi kau sudah minta maaf? Aneh sekali watakmu."
Lee Goat menjadi merah mukanya. "Ampun, suhu. Teecu tidak bermaksud memaki, karena di dalam hati teecu tidak ada kebencian terhadapnya."
"Lanjutkan penuturanmu tadi."
"Ketika tadi teecu bertempur, di antara kami berdua be lum ada yang kalah atau menang. Biarpun teecu sudah menggunakan Ilmu Pedang Soan-bong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin Puyuh), namun teecu tak dapat mendesaknya. ilmu pedangnya juga istimewa sekali, akan tetapi teecu tak mau kalah dan kami berdua masih seimbang. Tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki yang usianya sebaya dengan kakak lawan teecu tadi, ia mendorongkan tongkatnya di tengah-tengah, di antara kami. Pedang teecu menghantam torgkat itu dan... pedang kami berdua terlempar!”
Sin Hong mengelus-elus dagunya yang mulai ditumbuhi jenggot. Hati kecilnya menduga-duga dan ia merasa heran apakah bocah yang dimaksudkan ini bukan Tiang Bu! "Bagaimana rupanya?" tanyanya.
"Rupanya jelek, pakaiannya tambal-tambalan. Melihat rupanya, dia itu seperti anak kampung biasa saja, suhu. Akan terapi anehnya, begitu dia muncul dia lalu menyebut nama teecu! Inilah yang membikin teecu bingung dan heran sekali."
Berdebar hati Sin Hong. Tak salah lagi, tentu Tiang Bu yang mengenal wajah adiknya! "Apa katanya?" ia mendesak muridnya.
"Dia hanya bertanya bukankah teecu ini Lee Goat dan ketika teecu jawab bukan, dia terheran dan menyatakan bahwa wajah teecu serupa benar dengan wajah Lee Goat!"
Sin Hong mengangguk-angguk. Kini iapun menengok ke kanan kiri, memandang tajam untuk melihat apakah Tiang Bu masih berada di sekitar tempat itu. Akan temtapi Tiang Bu sudah pergi. karena anak inipun melihat datangnya banyak sekali orang orang aneh yang naik ke puncak, maka diam-diam iapun mendahului pulang ke puncak untuk memberi tahu gurunya.
"Ke mana dia pergi? Mengapa tadi aku tidak melihat dia?"
"Entahlah, tadi dia terus pergi lagi, suhu. Siapakah dia, suhu...” tanya Lee Goat.
"Kau tidak tahu. Dia itulah kakakmu sendiri yang pergi dari rumah ketika kau masih berusia dua tahun."
Lee Goat membelalak... matanya yang lebar. "Kakak Tiang Bu yang diculik orang? Akan tetapi kenapa dia... dia begitu buruk dan pakaiannya penuh tambalan seperti penggembala kerbau?"
"Dia itu kakakmu. Hemm, jangan kau melihat pakaian. Bukankah tongkatnya sekali gerak saja sudah membikin teelepas pe dangmu?"
Lee Goat membungkam. Dalam hatinya memang ada rasa bangga akan kepandaian kakaknya yang lebih tinggi darinya, akan tetapi ia merasa kecewa karena kakaknya itu menurut anggapannya berwajah jelek, tidak tampan gagah seperti kakak Bi Li tadi. Juga, mengapa kakaknya tidak membantunya dan memberi hajaran kepada Bi Li? Akan tetapi terus saja ia tidak berani membicarakan hal ini di depan suhunya dan tanpa banyak cakap ia mengikuti gurunya naik ke puncak. Apa lagi sekarang perjalanan amat sukar, melalui batu-batu karang yang tajam dan runcing, harus mempergunakan ginkang dan perhatian sepenuhnya. Di bagian yang paling berbahaya, Sin Hong memegang tangan muridnya. Jauh di depan ia melihat Ang-jiu Mo-li juga manggandeng kedua muridnya di kanan kiri untuk melalui tebing yang curam dan berbahaya.
Sementara itu, Tiang Bu berlari cepat naik ke puncak dan dengan wajah agak berubah ia memasuki pondok, ia melihat kedua orang kakek sakti itu sedang duduk berhadapan menghadapi papan catur. Melihat kedua orang gurunya yan g sudah amat tua dan akhir-akhir ini kelihatan lemah dan sering kali mengeluh karena tubuh sudah mulai digerogoti usia tua. Tiang Bu menjadi makin gelisah.
Tiong Sin hwesio sudah berusia hampir sembilan puluh tahun dan Tiong Jin Hwesio hanya lebih muda sepuluh tahun. Sering kali Tiong Sin Hwesio mengeluh bahwa tulang tulangnya sudah terlalu lapuk, tubuhnya sudah terlalu tua sehingga "tidak enak” lagi dijadikan tempat tinggil jiwanya! Dan sekarang dua orang hwesio tua ini masih enak-enak bermain catur, padahal dari bawah gunung naik banyak oran g yang kelih atannya aneh-aneh dan gagah-gagah!
Kalau mereka itu naik dengan maksud jahat, bukankah kedua orang suhunya akan ce laka? Selama lima tahun di Omei-san, Tiang Bu belum pernah manyaksikan kelihaian kedua orang gurunya. Biarpun ia telah menerima banyak pelajaran ilmu yang tinggi tinggi, namun kedua orang kakek itu tak pernah men demontrasikan kepandaian mereka, apalagi Tiong Sin Hwesio yang kerjanya hanya bersarnadhi dan main catur belaka.
Tiong Jin Hwesio masih mendingan karena di waktu melatih ginkang dan lweekang atau ilmu silat yang sulit-sulit, masih terlihat kelihaiannya. Oleh karena inilah maka tidak mengherankan apabila Tiang Bu mengkhawatirkan keselamatan dua orang kakek itu.
"Tiang Bu, kau sudah pulang. Apakah pekerjaamu mengisi tempat air sudah selesai?” Ti ong Jin Hwesio bertanya tanpa menoleh dari papan catur yang dihadapinya.
"Belum suhu. Akan tetapi...”
"Kalau begitu keluarlah dan selesaikan dulu pekerjaanmu baru nanti bicara!" Tiong Jin Hwesto memotong kata-katanya. Suara keren dan berpengaruh sehingga Tiang Bu tidak berani berlaku lambat.
"Baik, suhu..." Ia bangkit dari lantai di mina ia tadi berlutut lalu berjalan perlahan menuju ke pintu.
"Tiang Bu...!” Panggilan halus dari Tiong Sin Hwesio membuatnya menghentikan tindakan kakinya. Ia membalik dan menjatuhkan diri berlutut di ambang pintu, menanti kelanjutan bicara suhunya.
"Melihat apa-apa, bersikaplah tenang. Hanya ketenangan yang mempertajam kewaspadaan. Jangan mencampuri urusan orang lain dan jangan bertindak sembrono. Dua orang gurumu masih hidup dan masih berada di sini, mengapa kau gelisah? Bekerjalah dan tunggu saja perintah kami!"
"Baik, suhu dan terima kasih atas nasehat suhu," kata Tiang Bu.
Kini kedua kakinya terasa ringan seperti hatinya. Kata-kata Tiong Sin Hwesio seperti memberi semangat kepadanya oleh karena kata-kata itu seakan akan hendak membayangkan bahwa dua orang suhunya itu sudah tahu akan naiknya banyak orang ke puncak dan tentu sudah siap-siaga. Dengan hati lega Tiang Bu membawa pikulan dan tempat air, lalu berlari -lari turun dari puncak menuju ke lereng di mana terdapat pancuran air. Akan tetapi baru saja ia memenuhi dua kaleng tempat air itu dengan air gunung yang jernih dan sejuk, tiba-tiba terdengar orang tertawa dan berkata,
"Bagus kau datang menghantarkan diri!"
Ketika Tiang Bu membalikkan tubuh, ia melihat Thai Gu Cinjin sudah berdiri di hadapannya dan di samping Thai Gu Cinjin berdiri pula seorang laki-laki gundul setengah tua yang matanya berputar liar. Melihat laki-laki gundul ini, Tiang Bu menjadi makin terkejut karena ia mengenal laki-laki ini sebagai pembunuh gurunya, Ba Hok Lokai! Itulah laki-laki gundul berpakaian compang-camping yang senjatanya istimewa, yaitu dua ekor ular merah.
Karena maklum bahwa dua orang yang berdiri dihadapannya itu tentu tidak mengandung maksud baik. Tiang Bu lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri. Akan tetapi, ia merasa ada sambaran o ngin dari belakang. Cepat bocah ini menjatuh kan diri ke kiri dan tongkat panjang dari Thai G u Cinjin yang tadi menyambarnya itu lewat cepat di atas kepalanya.
"Tiang Bu, jangan lari! Kalau kau lari berarti kau akan mampus. Kami tidak akan mengganggu, hanya minta bantuanmu mengantar kita ke puncak, ke tempat dua orang kakek itu menyimpan kitab-kitabnya!" kata Thai Cu Cinjin.
Tiang Bu yan g sudah melompat bangun tentu saja tidak memperdulikan kata-kata ini dan sekali lagi ia melompat hendak melarikan diri. Tiba tiba terdengar desir angin dan tahu-tahu Thai Gu Cinjin dan orang gundul itu sudah melompat dan berada di depannya, menghadang dengan wajah mengandung ancaman.
“Jiwi mau apakah! Aku tidak mau berurusan dengan jiwi, biarkan aku lewat!" kata Tiang Bu sedikitpun tidak takut.
"Tiang Bu, sudah lama aku tahu bahwa kau sekarang menjadi murid di Omei-san. Aku hanya minta kau mengantar kami ke tempat simpanan kitab."
Orang gundul itu tertawa bergelak dan terdengar suaranya yan g menyeramkan. "Anak baik, aku masih mau mengambilrnu sebagai murid. Kau cocok dengan aku. Akan tetapi lebih dulu kau harus mengantar kami naik ke atas puncak!"
"Tidak, aku tidak sudi mengantar maling-maling kitab!" Jawab Tiang Bu yang segera hcndak lari lagi. Akan tetapi orang itu menubruknya dengan gerakan cepat lalu me ngirim totokan ke arah pundaknya. Sudah jelas maksud si gundul itu hendak menangkapnya. Akan tetapi ia sama sekali tidak tahu bahwa biarpun bocah di depannya ini baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya telah memiliki kepandaian yang amat tinggi.
Melihat datangnya serangan Tiang Bu menjadi marah. Ia selalu ingat akan nasehat dua orang suhunya bahwa apabila tidak diserang jangan sekali-kali ia mendahului menyerang orang. Apabila ia membela diri, kalau terpaksa sekali juga tidak beleh ia melukai atau merobohkan orang. Kini menghadapi tubrukan orang gundul itu yang cukup berbahaya, ia miringkan tubuh, mengerahkan tenaga dan secepat kilat tangannya bergerak menangkis terus menangkap tangan oran g dan melemparkan tubuh orang gundul itu dengan meminjam tenaga tubrukan lawan!
Gerakan Tiang Bu ini cepat, otomatis dan tidak terduga sama sekali. Kalau orang lain yang tadi menyerangnya tentu kini akan terlempar. Akan tetapi yang menyerangnya adalah Kwan Kok Sun yang berjuluk Tee-tok (Racun Bumi), seorang kang-ouw yang sudah terkenal. Baca Pedang Penakluk Iblis (Sin-kiam Hok-mo
Biarpun amat terkejut karena bocah itu tidak saja dapat menangkis tubrukannya bahkan dapat pula membalas dengan hebat namun Kwan Kok S un si orang gundul yang lihai itu masih dapat menguasai dirinya. Begitu lengan kanannya ditangkap, tangan kirinya lalu mengirim pukulan ke arah kepala Tiang Bu dan kali ini ia mengirim pukulan yang dahsyat yang bukan main- main lagi, melainkan pukulan maut yang dapat mematikan. Inilah pukulan Hek-tok-ciang (Pukulan Racun Hitam) yang luar biasa dahsyat dan berbahaya!
Tiong Bu sudah mewarisi kepandaian luar biasa dari kedua orang suhunya yan g sakti. Panca inderanya tajam dan perasa sekali, terutama matanya amat awas. Pukulan Hek-tok-ciang yang amat be rbahaya dan dilakukan dari jarak dekat ini sudah lebih dulu dirasainya, maka secepat kilat ia menangkis dengan hawa pukulan dari atas kebawah, me nggunakan dua tangan mendorong ke bawah menggunakan tenaga khikang sedangkan kedua kakinya menotol tanah sehingga tubuhnya mencel at ke atas melalui kepala Kwan Kok Sun!
"Lihai sekali...!" Kwan Kok Sun sampai berseru kagum dan juga kaget melihat cara bocah itu menyelamatkan diri.
Akan tetapi Thai Gu Cinjin sudah siap sedia. Ia tidak mau melepaskan Tiang Bu begitu saja karena memang ia amat membutuhkan bocah itu, Thai Gu Cinjin selain lihai ilmu silatnya juga ia terkenal amat cerdik.
Tiang Bu jangan lari!” Tongkatnya diputar menghadang di depan Tiang Bu yang menjadi bingung juga. Kalau dua orang itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh yaitu denganmaksud membunuh, kiranya akan sukar baginya untuk membebaskan diri. Biarpun ia sudah lima tahun belajar ilmu silat tinggi di Omei-san, namun kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian Thai Gu Cinjin masih tak mungkin dapat menang.
"Thai Gu Cinjin, kalau kau memaksa aku membantumu mencuri kitab lebih baik aku mengadu nyawa denganmu,” katanya gagah sedikitpun tidak merasa gentar biarpun tahu ia berada dalam bahaya maut.
Thai Gu Cinjin menahan tongkatnya dan berkata manis, "Tiang Bu. kepandaianmu sudah hebat sekarang! Kau bawalah aku menghadap Tiong Jin Hwesio.Untuk menghadap sendiri pasti ia tidak mau mencrimaku. Maka kau bisa membawa kami menghadap orang tua itu, cukuplah."
Memang Thai Gu Cinjin cerdik. Ia pikir tidak ada gunanya membunuh anak ini karena kalau sampai terjadi demikian tentu dua orang kakek Omei-san akan menjadi marah sekali dan ini amat berbahaya. Sebaliknya kalau anak ini mau mengantarkannya, ia akan dapat naik ke puncak dengan mudah, juga ia takkan dicurigai dan banyak kesempatan baginya untuk melakukan niatnya, yaitu mencuri kitab-kitab pelajaran di Omie-tan. Karena biarpun ia pernah naik ke puncak ini untuk bermain catur dengan kedua kakek itu, namun sekarang ia mengambil jalan lain dan ia belum mengenal jalan ini.
Salahnya Thai Gu Cinjin tidak memperhitungkan bahwa di dunia ini bukan dia seorang saja yang mempunyai akal. Juga Tiang Bu orang bocah yang cerdik dan mudah menangkap maksud hati orang yang dtsembunyi kan di balik senyum dan kepalsuan. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih belum cukup untuk dapat dipergunakan mengimbangi ke lihaian dua orang ini.
"Baiklah, Thai Gu Cinjin. Kalau hanya membawa kau menghadap saja, aku tidak melakukan sesuatu yang salah. Akupun tidak takut kau berlaku curang dan membunuh ku karena selain aku dapat menjaga diri, andai kata aku mati di tanganmu, aku takkan penasaran. Kedua orang suhuku pasti akan menghukummu dan membalaskan penasaran.”
Setelah melepas ancaman ini. Tiang Bu lalu mendahuiui dua orang itu naik ke puncak sambil memikul dua kaleng airnya. Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun mengikutinya dari belakang. Tiang Bu bersikap acuh tak acuh, padahal ia maklum bah wa nyawanya berada di dalam tangan dua orang di belakangnya itu.
Sementara itu, Sin Hong yang menggandeng muridnya meloncati batu karang dan jurang menuju ke puncak, akhirnya dapat melewati daerah batu karang yang sukar itu dan tiba di daerah datar yang ditumbuhi rumput semak hijau.
"Suhu, banyak sekali orang di sana!" kata Lee Goat, akan tetapi Sin Hong menarik muridnya ke bawah dan mengajaknya bersembunyi di balik rumput yang tinggi.
Di sebelah sana memang terdapat beberapa belas orang yang berjalan perlahan naik ke puncak. Dari balik rumput hijau Sin Hong mengintai dan ia melihat Kong Ji berjalan dengan beberapa oran g yang telah dilihatnya, yailu orang-orang Mongol dan tokoh-tokoh utara seperti Pak-kak Sam-kui, Bu-tek Sin-ciang Bouw Gin dan masih banyak lagi orang-orang yang kelihatan memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam Sin Hong menghitung dan memperhatikan calon lawannya seorang demi seorang. Termasuk Kong It, mereka semua ada e mpat belas orang. Akan tetapi di mana Li Hwa? Ia tidak melihat adanya Li Hwa di dalam rombongan itu dan hatinya amat tidak enak. Kong Ji memiliki banyak tipu muslihat, maka ia harus berhati-hati.
Setelah rombongan Kong Ji ini lewat, keadaan menjadi sunyi. Akan tetapi Sin Hong masih belum keluar dari tempat sembunyinya karena telinganya dapat me nangkap gerakan orang yang naik dari bawah puncak. Tak lama kemudian, benar saja ia melihat rombongan ke dua yang juga terdiri dari banyak orang, bah kan ada dua puluh orang. Mereka ini adalah rombongan orang-orang dari dunia kang-ouw di daerah selatan, karena antara mereka terdapat Le Thong Hosiang, Hengtuangsan Lojin dan kedua orang hwesio Koalikungsan yang selalu membawa bawa tombak, yaitu Nam Kong Hosiang dan Nam Siang Hosiang. Di antara mereka itu tardapat orang-orang yan g berpakaian seperti pangemis, seperti siucai (sasterawan), tosu, hwesio, dan lain-lain.
Setelah rombongan ke dua ini lewat, baru saja Sin Hong hendak berdiri. Tiba-tiba terden gar suara ketawa cekikikan, membuat dia kaget setengah mati dan cepat ia berjongkok kembali di balik rumput tinggi. Siapakah orangnya yang kedatangannya sampai tak terdengar olehnya? Tentu orang yang lihai luar biasa pikirnya. Akan tetapi biarpun suara ketawanya sudah terdengar, orangnya masih juga belum kelihatan.
Kemudian muncul titik-titik hitam di udara. Titik-titik ini melayang tinggi, lalu menukik ke bawah dan tak lama kemudian terdengar suara me mukul-mukul. Ternyata bahwa tiga buah titik hitam itu setelah dekat adalah tiga ekor kelelawar yang amat besar dan warnanya hitam berbintik-bintik kuning. Ketika tiga ekor kelelawar ini lewat di atas kepala, Sin Hong mencium bau amis dan ia menjadi terkejut sekali.
"Kelelawar berbisa dari Lam-hai (Laut Selatan)" katanya di dalam hati. Sebagai seorang ahli waris pengobatan dari Raja Tabib Kwa Siucai, Sin Hong mengenal kelelawar ini yang gigitannya sama bahayanya dengan gigitan ular yang paling berbisa!
Tak lama kemudian, kembali terdengar suara ketawa cekikikan dan muncullah orangnya. Pundak Lee Goat di bawah telapak tangan Sin Hong menggigil tan da bahwa bocah ini merasa ngeri dan ketakutan. Memang, manusia yang sekarang berjalan lewat, berbongkok-bongkok dibantu oleh tongkat panjang, hampir tidak menyerupai manusia dan lebih pantas disebut iblis atau siluman!
Orang ini adalah seorang nenek tua yang wajahnya menyeramkan. Rambutnya berwarna putih kelabu, kasar dan tebal, lengket menjadi satu tak pernah tercium sisir, panjang riap-riapan menutupi pundak dan sebagian mukanya. Pakaiannya hitam, hanya semacam selendang kuning melambai di pundak dan pinggangnya. Tangan yang memegang tongkat itu dihiasi jari-jari yang kukunya seperti kuku setan, runcing melengkung mengerikan. Kedua kakinya yang besar itu telanjang, jari-jari kakinya merenggang dan melebar seperti kaki bebek. Akan tetapi yang paling mengerikan adalah mukanya. Matanya kecil, nampak kejam karena kerut-merut pada dahi pinggir dan bawah matanya. Hidungnya pesek dan dari samping tidak kelih atan sedangkan mulutnya bisa membikin orang mengkirik. Mulut ini terisi gigi yang jarang-jarang meruncing seperti gigi ular.
Sambil berjalan tersaruk-saruk nenek ini mengeluarkan suara cekikikan, tertawa seorang diri. Tiba-tiba ia mengacungkan tongkatnya ke atas dan dari mulutnya keluar suara mendesis atau lebih tepat siulan yang amat tinggi, demikian tingginya sehingga yang terdengar suara desis yang menyakitkan anak telinga. Inilah suara yang di keluarkan dengan khikang tinggi. Lebih tinggi dan lebih hebat dari pada pekik Hui-eng Niocu yang terkenal. Dan kemudian ternyata bahwa suara ini adalah suara panggilan, karena seekor diantara tiga ekor kelelawar itu lalu menukik ke bawah dan hinggap di ujung tongkat nenek itu, lalu menggantung dengan kepala di bawah mengeluarkan suara mencicit seperti suara tikus.
"Anak nakal, biar kawan-kawanmu terbang dulu, kau harus mengawani aku di sini. Kau tahu aku kesepian, hi hi hi hi...!”
Setelah nenek menyeramkan itu lewat dan lenyap dari pardangan mata, baru Sin Hong berani berdiri dan mengusap-usap kepala Lee Goat yang nampak pucat sekali. Tiba-tiba Sin Hong tertawa melihat bahwa tak jauh dari situ, di sebelah kanannya terdapat seorang kakek yang juga bersembunyi dan mengintai seperti dia tadi. Agaknya orang itu lebih dulu berada di situ, karena ia tidak melihat kedatangannya.
Kebetulan kakek itu menengok dan terkejutlah Sin Hong ketika mengenal bahwa kakek itu bukan lain adalah hwesio gemuk bulat seperti bal yang pernah ia lihat dahulu di sebuah kelenteng dekat kota raja. Di sebelah selatan kota raja terdapat sebuah Kelenteng Kwan-te-bio dan di situ yang menjadi ketua adalah Hoan Ki Hosiang. Ia kenal baik dengan hwesio tua ini. Kemudian datang seorang hwesio baru yang pekerjaannya menjadi tukang dapur. Hwe sio itu bernama Hwa Thian Hwesio, biarpun hanya tukang dapur akan tetapi memiliki ilmu pedang tinggi.
Ketika Sin Hong mengunjungi kuil itu, dahulu ia melihat hwesio tukang dapur ini memindah-mindahkan patung yang be ratnya seribu kati dengan mudahnya, maka tahulah ia bahwa Hwa Thian Hwesio memiliki kepandaian lihay. Dan sekarang tahu-tahu hwesio gemuk bundar itu berada di situ bertiarap di antara rumput tinggi, presis seekor babi gemuk! Hwesso berusia lima puluh tahun ini memiliki wajah yang lucu dan orangnya selalu gembira.
"Eh, eh, kiranya Wan-sicu ada disini pula! Pinceng sampai kaget setengah mati, kukira nenek siluman tadi muncul di sini. Hi...!” Ia menggerak-gerakkan kedua pundak bergidik kengerian.
Sin Hong tersenyum lebar. Tidak ada orang yang takkan tersenyum apabila bertemu dan bicara dengan hwcsio gemuk ini karena segala gerak-geriknya serba lucu. Kepalanya bulat matanya, hidungnya, bibirnya serba tebal dan bentuknya bundar, demikian perutnya. Benar-benar menyerupai patung Ji-lai-hud yang banyak terdapat di kelenteng. Seperti patung pula, hwesio ini mulutnya selalu terbuka dengan senyum gembira, seakan-akan ia melihat dunia ini seperti panggung dimana orang-orangnya menjadi pelawak-pelawak menggelikan.
“Hwa Thian Suhu, angin apa yang meniupmu sampai ke sini?” tanya Sin Hong terbawa gembira oleh kelucuan hwesio itu.
Hwa Thian Hweio merengut akan tetapi mulutnya tidak scperti orang bersungut-sungut, tetap saja seperti orang tersenyum gembira. “Kalau pinceng terbawa angin, tentulah angin busuk yang meniup pinceng sampai di sini!" Ia menggunakan ujung bajunya untuk mengipasi dadanya yang telanjang. Inilah kebebatannya. Di dekat puncak 0mie-san yang begitu sejuk dan dingin, tetap ia berkeringat. "Kalau saja bukan Wanyen Siauw ongya yang memerintah, biar kaisar sekalipun menyuruh pinceng, pinceng takkan sudi datang di sini bertemu dengan segala macam siluman yang mengerikan. Hii!." Kembali ia bergidik dan Lee Goat tak dapat menahan ketawanya melihat pundak yang gemuk itu bergerak seperti menari-nari.
Sin Hong mendekati hwesio itu dan memegang lengannya, penuh perhatian ia bertanya, "Jadi kau menjadi utusan Pangeran Wanyen Ci Lun? Ada urusan penting apakah gerangan maka kau diutus ke sini? Atau ini rahasia yang tak boleh diketahui orang lain?”
Kepala bundar tak berleher itu bergerak-gerak kedepan membuat gerakan mengangguk. "Memang rahasia karena tugas pinceng menyelidik. Akan tetapi baiknya pinceng mengenal siapa Wan-sicu. Terhadap Wan-sicu pinceng tak perlu merahasiakan sesuatu, bahkan pinceng banyak mengharapkan bantuan Wan-sicu."
"Coba ceritakan!" kata Sin Hong.
Hwa Thian Hwesio lalu menceritakan pengalaman-pengalamannya. Wanyen Ci-Lun yang amat memperhatikan perkembangan keadaan, tahu dari para penyelidiknya bahwa raja bangsa Mongol mengirim banyak orang gagah ke selatan untuk mengajak orang-orang kang-ouw di daerah itu supaya kelak suka membantu pergerakan bangsa Mangol. Juga ia mendengar tentang perubahan yang terjadi di dunia orang kang-ouw bagian utara bahwa Wan-bengcu telah dibebaskan dari pada tugas dan orang orang itu kabarnya hendak memilih bengcu baru di selatan.
"Yang dicalonkan mereka adalah dua orang kakek sakti di 0mei-san ini,” Hwa Thian Hwesio melanjutkan ceritanya. "Oleh karena itulah maka pinceng diutus ke selatan untuk menyelidiki hal ini, bahkan kalau mungkin pinceng harus dapat menarik bantuan mereka untuk membantu Kerajaan Kin menghadapi serbuan orang orang Mongol."
Kemudian Imam itu melanjutkan penuturannya. Ketika ia mulai naik Bukit Omei-san, ia sudah lebih dulu menyelidiki keadaan orang-orang yang hendak naik ke puncak. Banyak sekali yang naik dan dalam panyelidikannya, hwesio yang cerdik ini mendapat kenyataan bahwa mereka itu semua datang dengan maksud hati yang berbeda-beda. Ketika ia melalui lereng sebelah timur, ia melihat seorang laki-laki tampan sedang menarik lengan seorang wanita cantik memasuki sebuah kuil tua yang berada di pinggir jurang. Melihat cara wanita ini diseret, Hwa Thian menjadi curiga. Cepat ia mengejar dan membentak ke arah kuil.
"Sobat yang berada di dalam keluarlah dulu, pinceng mau bicara!"
Tak lama kemudian dari dalam kuil itu melompat keluar laki-laki tadi, nampak gagah dengan pedang di punggung. Laki laki itu tersenyum mengejek ketika bertanya. "Hwesio gemuk, kau memanggil aku Tung Nam Bengcu ada keperluan apakah?"
"Hemm, pinceng tidak kenal segala Tung Nam Bengcu. Hanya melihat kau seorang laki-laki mayeret-nyeret wanita tadi dengan maksud apakah? Siapa dia?"
"Dia adalah tawananku dan kau tak perlu mencampuri urusanku. Ketahuilah bahwa aku adalah Thian-te Bu-tek Taihiap Liok Kong Ji. Lebih baik kau hwesio gemuk pergi dari sini dan jangan menggangguku!”
Hwa Thian Hwesio pernah mendengar nama Liok Kong Ji, maka biarpun ia sudah mengerti bahwa orang di depannya ini lihai sekali ia segera menyerang. "Kau jahanam tak tahu malu!” bentaknya sambil mengirim serangan dengan tendangan kaki kiri.
Namun Liok Kong Ji dengan mudah saja dapat mengelak lalu membalas dengan serangan serangan hebat yang membuat Hwa Thian Hwesio sebentar saja sibuk sekali. Hwesio gemuk ini kalah jauh ilmu silatnya. Baiknya ia memiliki ilmu kelit yaag baik sekali sehingga begitu jauh Kong Ji belum dapat menjatuhkannya, biarpun hwesio itu sudah mandi peluh dan napasnya memburu. Tak dapat diragukan lagi, dalam waktu cepat tentu Koug Ji akan dapat merobohkannya.
Dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba muncul bintang penolong. Terdeagar bentakan nyaring."Li ok Kong Ji manusia busuk, jangan menghina orang!"
Mendengar bantakan ini, Kong Ji mecelat ke belakang dan mcncabut pedangnya. "Ang-jiu Mo-li...!” serunya kaget.
Adapun Thian Hwesio girang bukan main melihat kedatangan wanita sakti ini. Baiknya Ang-jiu Mo-li sudah mengenalnya dan hwesio itupun mengenal guru dan putera-putera majikannya. Bahkan Wan Sun dan Wan Bi Li juga muncul dan tertawa-tawa melihat betapa Hwa Thian Hwesio mandi keringat dan napasnya megap-megap.
"Toanio, tolong kau hukum jahanam kurang ajar itu...!" akhirnya hwesio gemuk ini dapat mengeluarkan suara sambil mewek-mewek. "Dia menculik wanita, disembunyikan di dalam kuil itu!"
Ang-jiu Mo li memandang kepada Kong Ji dengan senyum menghina. "Memang itulah kepandaian tunggal dari Liok Kong Ji. Cih, tak tahu malu!"
"Ang-jiu Mo-li, jangan kau percaya omongan badut terlalu banyak makan ini. Wanita itu adalah tawananku, dia adalah Hui eng Niocu Siok Li Hwa, isteri dari Wan Sin Hong. Aku menawannya karena aku ada urusan dengan Wan Sin Hong. Siapa bilang aku hendak mengganggunya?"
Mendengar bahwa wanita itu isteri Wan Sin Hong, Hwa Thian Hwesio menjadi makin marah. Juga Ang-jiu Mo-li kaget karena tidak mengira bahwa Wan Sin Hong ternyata menikah dengan Siok Li Hwa yang pernah dilihatnya sekali. Yang paling kaget adalah Wan Sun. Pemuda cilik itu mendengar bahwa isteri Wan Sin Hong diculik dan disernbunyikan dalam kuil, segera melompat memasuki kuil dengan niat menolongnya. Wan Bi Li melompat pula menyusul kakaknya.
Akan tetapi, dilain saat terdengar dua orang bocah itu menjerit dan tubuh mereka bergulingan keluar pintu kuil! Ang-jin Mo-li terkejut sekali, namun hatinya lega kembali ketika melihat bahwa kedua orang muridnya itu bergulingan keluar karena menggunakan Ilmu Kelit Trenggiling Turun Gunung untuk menghindarkan diri dari serangan gelap yang berbahaya.