Tangan Gledek Jilid 18

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar budiman episode tangan gledek jilid 18
Sonny Ogawa

Tangan Gledek Jilid 18

Sin Hong memandang ke arah Tiang Bu yang seakan-akan hendak menelannya dengan pandang mata yang tajam itu, kemudian menoleh ke arah Kong Ji, kemudian berpaling kepada Tiong Jin Hwesio din menundukkan kepalanya. "Memang betul," jawabnya lemah.

"Bohong...!" Tiang Bu menjerit, lupa akan pesan gurunya dan ia melompat ke depan Sin Hong, kedua tangan terkepal, matanya berapi. "Wan-siok-siok, bukankah kau sudah tahu bahwa ayah bundaku di Kim-bun-to. Dia itu, muridmu itu, bukankah dia Lee Goat, adikku? Aku tahu ketika ia masih kecil sekali, masih bayi. Aku yang menggendongnya, mengajaknya main-main! Mengapa pula dia pura-pura tak kenal padaku? Siok-siok, katakan sebenarnya bahwa aku bukan anak orang itu!"

Sin Hong tersenyum pahit, merasa amat kasihan kepada bocah ini. Salahnya sendiri, pikirnya. Dialah yang berdosa, membuka rahasia itu kepada Kong Ji karena khawatir akan keselamatan isterinya yang tertawan oleh Kong Ji, anak ini harus menelan kenyataan pahit sekali. "Tiang Bu, kau memang puteranya. Semenjak masih bayi kau dipelihara oleh ayah bundamu di Kim-bun-to..."

Wajah Tong Bu menjadi pucat. "Aku masih belum percaya!" Ia menoleh dan memandang kepada orang yang mengaku ayahnya itu dengan pandangan mata menantang. "Wan siok-siok, kau ceritakan mengapa semenjak bayi aku dipelihara oleh ayah bunda di Kim-bun-to. Mengapa kalau aku memang anak orang lain, orang tuaku yang aseli tidak memeliharaku sendiri?”

Muka Sin Hong sebentar pucat sebentar merah. Keningnya berkerut. Ia berada dalam keadaan yang amat sukar. Tidak menjawab bagaimana dan kalau ia menjawab dan meceritakan hal sebenarnya, berarti ia akan membanting nama bocah itu ke dalam jurang kehinaan! Mana ia tega untuk merendahkan bocah ini dengan bercerita di depan orang banyak bahwa bocah ini terlahir dari ibu yang gila dan yang dipermainkan oleh Kong Ji. Sama saja dengan membuka rahasia bahwa Tiang Bu adalah anak dari perhubungan gelap, anak yang tidak karuan ayahnya atau anak haram!

Sin Hong menggeleng geleng kepalanya sambil menarik napas panjang. "Aku... aku tak dapat menceritakannya, Tiang Bu...”

"Wan siok-siok, kau harus...! Kau harus menceritakannya kepadaku. Harus...!” Tiang Bu mendesak.

Sing Hong menggeleng kepalanya dengan sedih dan memandang kepada bocah itu dengan kasihan. Tidak bisa, Tiang Bu...”

"Kalau begitu kau bohong! Kau pembohong besar di dunia ini... atau kau pengecut besar!" Tiang Bu melangkah maju dan matanya bcrsinar marah dan kedua tangan nya dikepal seakan-akan dia hendak menyerang Sin Hong.

Terdengar Kong Ji tertawa mengejek dan Sin Hong menjadi pucat sekali. "Tiang Bu...!" bentaknya keras. "Siapapun tidak boleh menyebut aku pengecut!"

"Mengapa kau menyembunyikan rahasia orang? Mengapa kau tidak berani bicara terus terang? Hanya seorang pengecut yang menyimpan rahasia orang dan membuat orang mendapat malu dan terhina!” kata Tiang Bu makin berani. "Hayo katakan... atau harus aku memaksa...??”

“Tiang Bu...!” Sin Hong hampir tak dapat menahan kesabarannya lagi. Mukanya sebentar merah sebentar pucat.

Pada saat itu, Tiong Sin Hwesio membentak. “Tiang Bu, kau memalukan guru-gurumu. Hayo mundur dan masuk ke rumah!"

Mendengar bentakan ini, terdengar isak naik dari dada Tiang Bu, mukanya pucat sekali dan dengan kaki limbung dan maka pucat ditundukan, ia lalu berlari masuk ke dalam pondok, di mana ia membanting diri di atas lantai dan menangis! Baru kali ini selama hidupnya Tiang Bu merasa sakit sekali hatinya. Sementara itu, Le Thong Hosiang berkata mengejek,

“Dasar keturunan pangeran penjajah, tidak lurus hatinya, berani menghina murid tuan rumah. Dasar pengecut tetap pengecut!"

Sin Hong menggerakkan lehernya dan menengok ke arah pembicara. "Le Thong Hosiang, kau memaki siapa?” tanyanya, suaranya lambat dan agak tergetar.

"Ho ho-ho, memaki kau, siapa lagi?"

Baru saja kata-kata ini keluar dari bibir Le Thong Hosiang tubuh Sin Hong mencelat dan dengan marah ia menyerang Le Thong Hosiang. Akan tetapi Ketua Tai-yun-pai memang sengaja mencari percekcokan dengan Sin Hong dan karenanya ia sudah siap sedia. Dua orang sutenya yaitu Lo Kong Hosiang dan Le Tak Hosiang, sudah menjaga. Begitu Sin Hong bergerak, dua orang hwesio ini menggerakkan toya mereka menyerang Sin Hong dari dua jurusan. Juga Le Thong Hosiang menggerakkan toyanya sambil berkata kepada Tiong Jin Hwesio.

“Jiwi locianpwe, harap maafkan, pinceng hendak memberi hajaran kepada pangeran kesasar ini!”

Akan tetapi, kata-katanya terhenti karena Sin Hong dengan gerakan cepat sekali mangeluarkan kepandaiannya. Bagaikan halilintar menyambar tubuhnya berkelebat di antara tiga barang toya lawan dan dilain saat Le Tak Hosiang terlempar ke kanan, Le Kong Hosian, terjungkal dan Le Thong Hosiang roboh dengan toyanya patah-patah! Baiknya Sin Hong masih ingat bahwa ia berada di Omei-san dan di depan dua orang kakek sakti yang menjadi tuan rumah. Pula dia ingat bahwa pertempuran hanya urusan kecil saja. maka ia tidak sampai menurunkan tangan maut, hanya membuat Le Thong Hosiang patah patah toya berikut tulang lengan kanannya sehingga hwesio menjadi pingsan. Adapun Le Kong Hosiang dan Le Tak Hosiang hanya terlempar mendapat kepala benjol saja.

Semua orang menjadi kaget sekali menyaksikan kehebatan Sin Hong. Kong Ji tersenyum masam. Ang-jiu Mo-li memandang kagum penuh gairah kepada Sin Hong. Mulut Toat-beng Kui-bo bergerak-gerak seperti orang makan kacang goreng, atau seperti mulut domba menggayem kembali makanan dari perutnya. Keadaan menjadi sunyi sekali. Tiba-tiba terdengar. suara Tiong Jin Hwesio, bernada tak senang.

"Wan-bengcu, kau kasar sekali. Apakah disini kau hendak memamerkan kepandaianmu?”

Sin Hong cepat memberi hormat kepada kakek itu, “Maaf locianpwe. Bukan sekali-kali boanpwe berani bersikap kurang ajar, akan tetapi orang-orang itu terlalu mendesak boanpwe."

"Hemmm, memang tidak keliru kata kata Tiang Bu tadi. Seorang yang tidak berani berkata terus terang, biarpun sikapnya itu hendak menolong orang lain misalnya, tetap saja ia mendekati sikap pengecut. Kau datang ini ada keperluan apakah?”

Merah wajah Sin Hong dan sikapnya menjadi berani. Dia tidak mau membuka rahasia itu semata-mata untuk melindungi muka dan nama baik Tiang Bu, akan tetapi bocah kurang terima itu mengatakannya pengecut dan kakek ini malah membenarkan bocah itu.

"Locianpwe memang bukan menjadi watakku untuk membuka rahasia orang lain di depan umum. Oleh karena itu pulalah maka aku yang muda dan bodoh kali ini juga tidak membuka rahasia mengapa aku datang ke tempat ini. Hanya terus terang saja, kedatanganku ke sini sama sekali tidak ada hubungannya dengan segala keributan urusan bengcu dan segala tetek-bengek lain tetapi aku datang untuk mencari isteriku yang diculik orang. Akan tetapi aku belum begitu kurang ajar untuk mengganggu locianpwe sebagai tuan rumah yang hendak melayani tamu-tamunya, maka silakan. Biar aku menanti setelah urusan semua selesai, barulah aku berurusan dengan pcnculik isteriku!"

Tiba-tiba Tiong Sin Hwesio tertawa geli. “Heh-heh-heh, murid Pak Kek Siansu ini bersemangat juga. Sayang ia terlalu seeji (sungkan) dan mengalah sehingga diinjak-injak orang jahat." Kemudian ia berkata kepada Tiong Jin Hwesio. "Sute, lekas kau bereskan orang-orang ini. Pinceng sudah lelah.”

Tiong Jin Hwesio dengan muka sebal dan hilang sabar berkata. "Siapa lagi yang masih ada urusan hayo lekas katakan, jangan bikin capai hati orang!"

Liok Kong Ji melabgkah maju. Dengan senyum cerdik sekali ia berkata, "Jiwi Locianpwe tadi menyatakan tidak hendak mencampuri urusan dunia, itu baik sekali. Biarpun kita semua tidak berani minta pertolongan jiwi untuk segala urusan keduniaan. akan tetapi kami sangat mengharapkan agar kelak jiwi memenuhi janji dan tidak turun gunung untuk mencampuri urusan kami."

"Eh, lancang! Kau anggap kami ini siapa sudi melanggar janji dan kau ini punya hak apa bicara seperti itu?" Tiong Jin membentak.

“Bagus, locianpwe. Memang aku percaya penuh bahwa locianpwe kelak takkan melanggar janji. Adapun aku memang hendak mewakili para orang gagah karena ketahuilah bahwa aku pernah mereka pilih sebagai Tung Nam Bengcu dan sekarang setelah Wan Sin Hong tidak berhak menjadi bengcu lagi, aku mewakilkan diri untuk menjadi calon bengcu. Bagaimana, para sobat yang hadir di sini. Setujukah mengangkat siauwte sebagai bengcu?” tanyanya kepada kawan-kawannya.

Yang hadir di situ sebagian besar adalah kawan-kawan Kong Ji. Maka tokoh-tokoh selatan seperti La Thong Hosiang yang sudah siuman, bersama sute-sutenya dan Nam Kong Hosiang berdua Nam Sion, Hosiang ketua Kaolikung-bio (kelenteng di Bukit Keolikung-san), Heng-tuan-san Lojin, Pak-kek Sam-kui, Bouw Cun beberapa orang ternama lain. serentak menyatakan setuju dengan suara gemuruh.

"Tidak, kami tidak setuju.” Tiba-tiba Bu Kek Siansu berseru keras. "Semua tokoh utara tidak setuju kalau Liok-sicu yang menjadi bengcu!"

"Habis kau mau apa?" Bu-tek Sin-ciang Bouw Gun naelompat maju di depan Bu Kek Siansu sambil melotot dengan sikap menantang.

Bu Kek Siansu tidak melayani orang kasar itu, melainkan menghadap Tiong Jin Hwesio dan berkata, "Harap locianpwe sudi turun tangan. Liok Kong Ji itu seorang manusia jahat, kalau dia menjadi bengcu, akan celakalah dunia kang-ouw...“

"Bu Kek Siansu, tak malukah kau memburukkan orang lain di depan umum? Laginya kau lupa bahwa dua orang kakek sakti dari Omei-san sudah berjanji tidak akan mencampuri urusan kita."

Dengan mendongkol sekali Tiong Jin Hwesio menggerak-gerakkan tangannya. "Pergilah kalian urus sendiri persoalan ini, jangan mengganggu kami."

Liok Kong Ji tertawa bergelak. Tercapailah maksud hatinya, berhasillah tipu muslihatnya walaupun ia tak mungkin dapat mengharapkan bantuan dua orang kakek itu, tetapi sudah berhasil mengikat mereka dengan janji takkan mencampuri urusannya. Kelak dalam penyerbuan tentara Mongol ke selatan, kiranya ia mempunyai senjata janji ini untuk membuat dua orang sakti ini tak berdaya andaikata mereka hendak turun tangan.

"Cuwi bengyu sekalian, mari kita turun dan jangan mengganggu lagi dewa-dewa Omei-san!” katanya sambil mengajak kawan-kawannya turun dari puncak.

“Hemm Liok Kong Ji, biarpun akan hancur tubuhku, kelak akulah yang akan menjadi lawanmu,” kata Wan Sin Hong dengan suara lantang, akan tetapi Kong Ji hanya tertawa.

"Jiwi locianpwe harap ingat bahwa anak itu adalah puteraku, jadi kelak aku membawanya pulang."

“Tutup mulutmu,” Sin Hong membentak. “Mana buktinya bahwa dia puteramu?" Kong Ji hanya tertawa mengejek lalu pergi dari situ.

Tiong Jin Hwesio menghela napas, dongkol sekali, "Benar-benar hari ini kami sedang sial, didatangi oleh orang-orang dogol, tukang berkelahi. Eh, eh kalian ini masih belum pergi, mau apa lagikah? Apakah masih ada urusan lain? Ini nenek tua bukankah Toat beng-Kui-bo dari Laut Selatan? Hemm, kau sudah tua mau mampus seperti kami masih berkeliaran di sini, mau apakah?" tegur Tiong Jin Hwesio.

Terdengar suara ketawa cekikikan ketika nenek mengerikan itu menggerakkan mulutnya. Tiga ekor kele lawar terbang dari tongkatnya ketika nenek itu tertawa, beterbangan di atas kepala nenek itu seakan-akan suara tawa tadi merupakan isarat bagi mereka untuk siap menjaga keselamatan majikan mereka!

"Hi-hi-hi-hi, Tiong Jin Hwesio dan kau tua bangka Tiong Sin Hwesio tukang tidur! Dari tadi aku heran apakah kalian sudah lupa kepadaku. Kiranya kalian masih ingat. Alangkah sombongnya kalian, makin tua makin sombong sehingga sejak tadi kalian berlaku seolah-olah tidak kenal lagi padaku! Cihh, laki-laki memang selalu berwatak tinggi hati."

Tiong Sin Hwesio tiba-tiba membuka matanya dia menarik napas panjang. "Kau masih sama saja seperti lima puluh tahun yang lalu sedikitpun tidak berobah!"

Harus diketahui bahwa ketika masih mudanya, Toat-beng Kui-bo adalah seorang wanita yang cantik jelita, oleh karena itu, kini mendengar kata-kata Tiong Sin Hwesio, ia merasa mendapat pujian. Oleh karena itu, kembali mengeluarkan suara ketawa haha-hihi me nyeramkan sekali.

"Hi hi hi hi, Tiong Sin Hwesio biarpun sudah tua bangka, tetap saja seorang laki-laki yang pandai mengambil hati! Tiong Sin Hwesio biarpun tadinya aku agak gentar menghadapimu dan berniat mengajak pibu sutemu saja, namun melihat kebaikan hatimu, aku merubah niatku dan sekarang aku ingin mancoba sampai dimana kelihaianmu yang amat disohorkan orang. Orang bilang bahwa ilmu silat warisan Tat Mo Couwsu lebih lihai dari pada warisan Hoat Hian Couwsu. Akan tetapi aku tetap berpendirian bahwa selain dua orang couw-su itu, masih ada ilmu silat lain yang tak kalah hebatnya!”

Tiong Sin Hwesio merem melekkan matanya, lalu mengambil napas panjang, "Toat-beng Kui-bo, kata-katamu itu benar belaka. Memang banyak sekali ilmu silat dunia ini yang lihai-lihai dan hebat-hebat akan tetapi sebagian besar adalah ilmu silat yang sengaja diciptakan orang untuk orang-orang jahat. Maka kalau dibandingkan dengan peninggalan cauw-su, ahh, jauh sekali.”

"Pandai kau bicara, orang tua. Coba kau jelaskan, bagaimana bedanya!” nenek itu menuntut.

"Sute, nenek ini bawel amat. Coba kau menjelaskannya, bukan hanya untuk Toat beng Kui-bo, juga untuk orang yang menyebut diri ahli ilmu silat disini agar supaya membuka matanya "

Tiong Jin Hwesio mengangguk, lalu berkata dengan suara lantang. “Ilmu silat adalah kelaujutan dari pada ilmu batin. Manusia harus lebih dulu belajar memperkuat batin membersihkan hati dan pikiran. Kalau pikiran dan hati tidak bersih, mana bisa mempelajari ilmu batin untuk mencari Nirwana? Manusia terdiri dari lahir dan batin, keduanya harus maju bersama, tak boleh pincang sebelah. Batinnya saja yang kuat tanpa lahir yang kuat takkan selaras, sebaliknya lahirnya kuat batinnya tidak kuat mendatangkan kekerasan dan penyelewengan. Setelah mempelajari ilmu batin dan sudah memiliki jiwa yang kuat dan bersih, sudah semestinya melatih lahir supaya kuat pula karena sudah menjadi kewajiban setiap mahluk untuk menjaga dan melindungi tubuh sendiri dari bahaya yang mengancam dari luar. Inilah mengapa orang-orang pandai di jaman dahulu menciptakan ilmu silat, diciptakan penuh kesadaran dan kesucian batin, ditujukan dalam mencipta untuk memberi perisai dan pelindung kepada manusia lemah supaya dapat menjaga tubuh. Kemudian oleh orang orang yang bersemangat dan berjiwa besar, malah ilmu ini dipergunakan untuk membantu berputarnya keadilan dan mendorong terlaksananya kebajikan. Akan tetapi, sungguh celaka, banyak sekali disamping ilmu silat yang bersih ini muncul ilmu silat yang dipergunakan untuk mengagulkan diri, untuk menyombongkan diri dan memamerkan kepandaian, untuk berkelahi dan mengalahkan orang lain. Alangkah sesatnya!"

Setelah Tiong Jin Hwesio berhenti bicara Tiong Sin Hwesio berkata, “Nah, kau dengar itu, Toat beng Kui-bo. Pinceng tahu kau berilmu tinggi. Apakah kau masih hendak menantangku mengadu ilmu? Itu tandanya ilmumu sesat."

"Kakek tua bangka banyak lagak! Aku belajar ilmu untuk dipergunakan, bukan seperti kalian ini belajar puluhan tahun hanya untuk dipakai bekal mampus. Kalau kalian tidak mau melayani aku pibu, juga tidak apa. Akan tetapi segala macam ilmu peninggalan Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Couwsau itu untuk apakah? Lebih baik kalian berikan kapadaku sebelum kalian mampus agar dapat kuperkembangkan dan kuturunkan kepada orang baik."

Mendengar ini, Tiong Sin Hwesio bergerak dan tahu-tahu kakek tua yang sejak tadi duduk sudah berdiri ke depan Toat-beng Kui-bo. Gerakannya tak dapat dibilang cepat karena ia nampak lambat-lambatan, akan tetapi tak seorangpun dapat melihat kapan dia bangkit dari duduknya!

"Toat-beng Kui-bo, apakah kau juga seperti orang-orang yang berwatak maling itu? Kitab-kitab pusaka tak boleh diganggu oleh siapa-pun juga. Kau sendiripun tidak boleh"

Nenek itu tertawa, memperlihatkan giginya yang jarang dan runcing seperti gigi tikus atau gigi kelelawar. "Ini berarti kau mau melayani aku bertanding!”

"Lebih baik main-main sebentar dengan tulang-tulangku yang sudah lapuk dari pada membiarkan kau mengotori kitab-kitab kami!" kata Tiong Sin Hwesio.

"Kalau begitu kau terimalah ini!" seru nenek itu dan kedua tangannya yang berkuku panjang itu mendorong ke depan. Gerakannya biasa saja akan tetapi ketika kedua lengan itu menyambar, orang-orang yang berdiri beberapa tombak jauhnya dari tempat itu masih merasai hawa dorongan yang dahsyat! Dan ketika kedua kaki nenek itu berganti-ganti dibantingkan ke tanah, tempat di sekitar itu tergetar seperti gempa bumi.

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Tiong Sin Hwesio menyebut, "0mitohud!” dan dengan gerakan sederhana pula ia meluruskan kedua lengan tangannya. Di lain saat dorongan nenek itu sudah diterimanya dan dua pasang telapak tangan itu saling menempel. “Omitohud, kau hendak mengadu lweekang. Bagus... kau takkan menang, Toat-beng Kui-bo...!” kata Tiong Sin Hwesio sambil tersenyum memperlihatkan mulut yang tak bergigi lagi.

Yang masih hadir di tempat itu hanya tinggal Sin Hong, Ang-jiu Mo-li dan suami isteri Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong berdua. Mereka merasa kagum bukan main terhadap kakek tua itu. Mengadu tenaga lweekang seperti itu adalah pertandingan yang amat berbahaya. Seluruh perhatian dan tenaga dalam harus dikerahkan kepada telapak tangan untuk mendesak hawa pukulan atau hawa dorong lawan. Akan tetapi kakek itu masih dapat bicara seenaknya!

Juga Toat-beng Kui-bo terkejut sekali dan menyesal bukan main mengapa ia datang-datang mengadu tenaga lweekang dengan kakek tua yang sudah mau mati itu. Begitu mendengar kakek itu bicara, tahulah ia bahwa tenaga lweekangnya kalah jauh. Namun nenek ini adalah seorang yang terkenal keras hati dan tidak mau kalah. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, kedua kakinya berganti-ganti menjejak tanah, dan dari dalam perutnya keluar suara gerengan seperti harimau dan tanah di sekitarya bergerak gerak terkena getaran tenaganya yang dahsyat. Pohon kembang di belakang dua orang kakek itu tergetar dan berhamburanlah bunga dan daun s egar ke bawah sehingra sebentar saja pohon itu telah menjadi gundul sama sekali tak berbunga atau berdaun lagi.

Melihat orang-orang gagah yang hadir di situ kembali terkejut. Harus mereka akui bahwa nenek buruk rupa ini memiliki tenaga lweekang yang lebih tinggi dari pada mereka sendiri. Namun, kakek Tiong Sin Hwesio masih tampak tenang-tenang saja.

"Omitohud, Toat-beng Kui-bo, mengapa kau berlaku nekad? Kau tak kan menang. Tariklah tenagamu dan kau melompat mundur, kita sudahi saja adu tenaga ini.”

Akan tetapi-nenek itu bukannya menurut bahkan makin hebat ia mengerahkan tenaganya, sampai uap putih mengepul dari kepalanya dan peluh membasahi dadanya.

"Kau tidak mau mundur baik-baik? Terserah, terpaksa pinceng mendorongmu mundur. Satu dua... tiga!"

Tubuh Toat-beng Kui-bo tiba-tiba terlempar kebelakang seperti disambitkan. Baiknya nenek ini lihai sekali. Ia cepat mengerahkan ginkangnya, berjumpalitan dan hanya terhuyung-huyung, tidak sampai roboh terlentang. Mukanya pucat, napasnya memburu dan peluhnya memenuhi tubuh. Ia berdiri meramkan mata sebentar untuk mengatur napas. Lega hatinya karena kakek itu ternyata tidak melukainya. Ketika ia membuka matanya, ia melihat Tiong Sin Hwesio masih berdiri. Segera melompat maju dan berkata,

"Kita masih belum main ilmu silat. Hayo, kau layani aku barang sepuluh jurus. Kalau dalam adu tenaga lweekang aku kalah, kini aku akan menebus kekalahanku!" katanya menantang.

Aneh sekali, tubuh Tiong Sin Hwesio gemetar, kedua kakinya menggigil dan suaranya terdengar lemah sekali ketika menjawab, "Aku tidak bisa... tidak mau mengadu ilmu silat dengan kau, ilmu silat mu jahat dan kotor...”

“Kau takut ? Hi-hi hihi, Tiong Sin Hwesio takutkah? Kau mau atau tidak, harus kau layani aku kalau tidak mau kusebut pengecut dan penakut yang ngeri menghadapi kekalahan!”

"Pinceng bukan takut, kau takkan menang. Muridku saja cukup untuk melayanimu. Tiang Bu...!” Kakek ini menoleh ke arah pondok memanggil muridnya. Dalam suara panggilannya itu terdengar getaran yang aneh sehingga Tiong Jin Hwesio tidak hanya memandang kepada suhengnya itu, bahkan kini menghampirinya dan tanpa berkata sesuatu hwesio jangkung kurus ini menaruh tangan di punggug suhengnya, lalu keningnya berkerut.

Sementara itu, Tiang Bu berlari keluar. Pada mukanya masih nampak bekas air mata. biarpun ia merasa sungkan keluar menemui atau menghadapi orang-orang itu terutama sekali Sin Hong, namun tentu saja ia tidak berani membantah panggilan twa-suhunya. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan Tiong Sin Hwesio, siap menanti perintah selanjutnya.

"Tiang Bu, seorang jantan pantang mengalirkan air mata keluar." Tiong Sin Hwesio menegur muridnya.

"Ampunkan teecu, suhu. Hati teecu terasa sakit dan perih, air mata keluar tanpa dapat teecu cagah lagi..."

"Kau sakit hati? Bagus, asal saja jangan kau menjadi buta karena perasaan itu. Tiang Bu, kau akan mewakili pinceng menyambut tantangan untuk berpibu dengan Toat-beng Kui-bo. Beranikah kau?" kata Tiong Sin Hwesio sambil menunjuk ke arah nenek itu.

Tiang Bu memandang. Nenek ini rupanya saja sudah demikian mengerikan dan membuat semangat lawan terbang setengahnya, apalagi nama julukannya yang begitu menyeramkan Toat beng Kui-bo yang berarti Iblis Wanita Pencabut Nyawa!

"Tentu saja teecu akan mentaati perintah suhu, dan teecu tidak penasaran andaikata locianpwe ini benar-benar akan mencabut nyawa teecu,” jawabnya.

Tiong Sin Hwesio tertawa girang. "Ha, kau seperti anak itik yang takut air! Akan tetapi lebih baik seperti anak itik takut air dari pada menjadi seperti anak ayam tenggelam disungai!"

Perumpamaan anak itik takut air adalah sikap orang yang merendah, tidak tahu akan kepandaian sendiri maka takut-takut seperti anak itik takut air padahal pandai sekali renang ! Sebaliknya anak ayam mati di sungai menyindirkan sifat seorang sombong yang tidak insaf akan kepandaian sendiri yang terbatas sehingga ia akan tenggelam dalam kesombongannya sendiri.

"Tiang Bu, selama aku berada di sini, kau telah mempelajari ilmu-ilmu yang kalau kau pergunakan benar-benar akan dapat mengatasi atau setidaknya mengimbangi kepandaian Toat-beng Kui-bo. Majulah!”

Tiang Bu merangkak maju dan berlutut di depan kaki suhunya. “Coba kau lakukan Khai-khi-jiu hiat!"

Sin Hong dan yang lain-lain kagum sekali. Khai-khi-jiu-hiat (Membuka Hawa Melemaskan Jalan Darah) adalah semacam ilmu yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang hanya dapat dilkukan oleh orang yang sudah memiliki sinkang di tubuhnya dan sudah mempelajari dasar ilmu lweekang yang paling tinggi. Khai -khi-jiu-hiat ini biasanya dipergunakan dalam keadaan samadhi untuk menerima sarinya bulan sebagai tenaga Im-kang dan sarinya matahari sebagai tenaga Yang-kang. Apakah benar-benar bocah ini dapat melakukannya? Dan kakek itu menyuruhnya melakukan Khai-khi-jiu-hiat untuk apakah?

Setelah Tiang Bu bersila dan me lakukan Khai-khi-jiu-hiat, Tiong Sin Hwesio melangkah maju mendekati Tiang Bu, lalu mengangkat kedua tangan ke atas kepala. Tiba-tiba Tiong Sin Hwesio melompat maju dan memegang lengan suhengnya.

"Suheng, jangan...!” Hwesio jangkung kurus ini sudah dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh suhengnya maka dengan hati ngeri ia hendak mencegah.

Tiong Sin Hwesio tersenyum ramah ke pada sutenya itu. “Sute, kau sudah dapat mengerti niatku. Memang jalan ini yang terbaik. Ketahuilah bahwa setelah mengadu lweekang tadi, pertahananku melawan datangnya Giam lo ong karena usia tua sudah lumpuh. Kematian sudah di depan mata, mengapa harus mati sia-sia. Lebih baik kuwariskan dia yang kelak harus melanjutkan riwayat kita. Toat-beng Kui-bo berkata benar, sayang pelajaran puluhan tahun dibawa ke lubang kubur begitu saja.”

Tiong Jin Hwesio mengangguk-angguk, tak dapat berkata apa-apa lagi kecuali memandang kepada kakek tua itu dengan pandang mata terharu. "Kau mendahului aku, suheng? Terserah sesukamulah" katanya perlahan sekali.

"Tiang Bu, bersiaplah kau, buka selebar-lebarnya jalan darahmu!"

Sambil berkata demikian, kembali Tiong Sin Hwesio mengangkat kedua lengan tangannya ke atas, jari-jari tangan dibuka sepeti hendak mencengkeram sesuatu dari udara. Makin lama jari-jari tangan ini makin tergetar mula-mula hanya jari tangan saja yang berge tar, makin lama menjalar ke lengan, pundak, tubuh dan tak lama kemudian seluruh tubuh kakek itu tergetar hebat. Demikian hebat tenaga getaran sampai-sampai Sin Hong yang sudah tinggi lweekangnya ikut pula tergetar kedua kakinya, seakan-akan tenaga itu menjalar melalui tanah dan udara!

Hebat bukan main kakek tua itu ketika mengerahkan seluruh tenapa sinkangnya. Mau apakah dia? Sin Hong sendiri tidak dapat menduga kakek ini mau berbuat apa, ia hanya khawatir kalau-kalau kakek ini menyerang orang, kiranya biarpun Tiat beng Kui-bo sendiri takkan mungkin dapat menahan.

"Terimalah!” Teriakan ini keluar bagaikan jerit mengerikan dari mulut Tiong Sin Hwesio dan tiba-tiba sepuluh jari tangannya bergerak dan memukul ke arah ubun-ubun kepala Tiang Bu!

"Celaka..." Sin Hong melompat bagaikan seekor burung walet menyambar ke arah kakek itu untuk menolong Tiang Bu. Dengan mcngerahkan seluruh lwee kangnya karena maklum akan kelihaian kakek itu. Sin Hong cepat menggunakan kedua lengannya untuk menangkis ge rakan ke dua tangan kakek yang memukul ubun-ubun kepala Tiang Bu.

"Plak...!” terdengar suara keras dan tubuh Sin Hong terlempar jauh kebelakang sampai lima tombak lebih!

Baiknya kepandaian Sin Hong sudah tinggi, maka dapat ia mangatur keseimbangan tuhuhnya dan turun ke bumi dalam keadaan berdiri. Namun ia merasa tubuhnya lelah bukan main seperti kehabisan tenaga sama sekali. Seakan akan tenaga sinkangnya terbetot dan terhisap habis ketika lengannya bertemu dengan lengan kakek itu. Kini ia hanya dapat berdiri memandang dengan mata ngeri. Setelah beradu dengan lengan Sin Hong lengan tangan kakek itu seakan-akan ditambah tenaga lagi dan kini meluncur cepat ke arah ubun-ubun kepala Tiang Bu tanpa dapat dicegah lagi.

"Capp...!"

Orang orang melihat seakan-akan sepuluh buah jari tangan itu menancap kepala Tiang Bu yang masih duduk bersila. Tubuh anak itu seperti orang disambar petir, berkelojotan dan rambut kepal anya berdiri semua! Setelah berkelojotan dan matanya mendelik, lalu tubuh Tiang Bu roboh di atas tanah, tak bergerak lagi. Juga Tiong Sin Hwesio jatuh duduk di dekat tubuh anak itu bersila dan tak bergerak seakan-akan tubuh hwesio tua itu sudah menjadi patung. Hanya jenggotnya yang putih panjang saja bergerak gerak tertiup angin.

"Suheng...!” Tiong Jin H wesio mengeluarkan suara seperti mengeluh kemudian ia merangkap kedua tangan kedada memberi hormat kepada suhengnya yang duduk tak bergerak itu.

“Eh, apa apaan ini?" Toat-beng Kui-bo berseru tak senang merasa diabaikan oleh kakek Omei-san.

"Diamlah, Toat bang Kui-bo!” Tiong Jin Hwesio membentaknyn marah. "Tunggu saja sebentar, kalau kau demikian haus berkelahi, murid kami yang akan mewakili suheng mengajar adat kepadamu!"

Sementara itu, Sin Hong melompat ke dekat Tiang Bu yang menggeletak terlentang di dekat Tiong Sin Hwesio. Akan tetapi ia melompat balik lagi dan matanya terbelalak. Ia tadi hampir saja menyentuh tubuh Tiang Bu akan tetapi cepat ia menjauhkan diri ketika melihat pemuda cilik itu menggerak-gerakkan dua tangan seperti orang kepanasan, mengeluh menoleh ke kanan kiri seperti orang sakit demam. Dan dari gerakan kedua tangan Tiang Bu itu menyambar hawa pukulan yang membuat Sin Hong melompat mundur dengan terkejut sekali.

Ia menoleh ke arah Tiong Sin Hwesio dan... ia segera merangkapkan kedua tangan sebagai tanda penghormatan. Tahulah kini Sin Hong akan ke anehan kakek tadi, atau sedikitnya ia dapat menduga apa yang sesungguhnya telah terjadi. Tentu kakek itu telah menurunkan ilmunya yang terakhir kepada Tiang Bu, boleh jadi telah mendatangkan kekuatan hebat pada diri anak itu melalui pukulan tadi. Dan kakek itu telah melakukan ini dengan me ngorbankan nyawanya!

Dugaan Sin Hong memang banyak betulnya. Akan tetapi ia tidak mengetahui hal yang sesungguhnya. Hanya Tiong Jin Hwesio saja yang tahu sejak tadi apa yang dilakukan oleh suhengnya. Ternyata bahwa ketika tadi mengadu lweekang dengan Toat-beng Kui-bo, keadaan Tiong Sin Hwesio sudah payah sekali. Hwesio ini sudah lama menderita sakit tua, usianya sudah terlalu tua dan agaknya ia hanya “menanti saatnya" saja. Kemudian ia ditantang oleh nenek itu sehingga terpaksa turun tangan.

Tentu saja Toat-beng Kui-bo bukan lawannya dan mudah ia mengalahkan pertandingan lweekang itu. Namun, tubuhnya yang sudah rapuh itu mana kuat menahan pertandingan lweekang? Segera kakek ini merasa bahwa isi dadanya terluka hebat akibat pengerahan tenaga lweekang dan tahulah ia bahwa ia menghadapi kematian yang tak dapat ditolong lagi. Maka ia lalu mengambil keputusan, mempergunakan saat terakhir itu untuk menurunkan seluruh tenaga sinkangnya kepada muridnya yang terkasih, Tiang Bu.

Anak ini cerdik sekali dan sudah banyak mempelajari ilmu pukulan yang tinggi-tinggi. Namun oleh karena tubuhnya masih amat muda dan belum memiliki sinkang yang tinggi apabila bertemu dengan lawan tangguh masih belum dapat diandalkan. Oleh karena itu, di saat terakhir itu ia menyuruh muridnya melakukan Khai-khi-jiu-hiat, kemudian ia melakukan pukulan he bat itu untuk memindahkan tenaga sinkang ke dalam tubuh muridnya.

Pukulannya tadi adalah semacam pukulan hebat sekali, tidak dikenal oleh ahli silat lain dan merupakan pukulan gaib yang disebut Sin-siang-hoan-kang (Tangan Sakti Memindahkan Tenaga). Pukulan ini kalau dipergunakan untuk menyerang lawan jarang ada lawan dapat menghindarkan diri karena setiap gerak mengandung aliran tenaga sinkang yang luar biasa.

Akan tetapi kakek itu telah dapat mempergunakan untuk memindahkan tenaga sinkangnya ke dalam tubuh Tiang Bu yang sedang “terbuka," benar-benar hebat luar biasa. Dalam keadaan "terbuka", seperti Tiang Bu tadi, jangankan pukulan sehebat Sin ciang hoan-kang, walaupun pukulan biasa dari seorang ahli lweekeh saja sudah akan mematikannya.

Baiknya Tiang Bu sudah diberi latihan dasar lweekang dan tubuhnya sudah berisi hawa murni. Maka ia tidak mati oleh pukulan dan biarpun tubuhnya kemasukan tenaga hebat seperti aliran listrik, ia hanya roboh pingsan dan berkelojotan saja. Tak lama kemudian, gerakan kaki tangannya yang seperti orang menghadapi sakratul maut itu makin mengendur akhirnya terhenti dan ia bangkit duduk sambil meramkan matanya. Kepalanya masih puyeng, kedua telingannya mendengar suara “ngiiiiiiiing...” tak kunjung henti.

"Tiang Bu, loncatlah berdiri dan gunakan Lo pai-hud (Kakek Menyembah Buddha) ke arah angkasa tiga kali!" terdengar Tiong Jin h wesio berkata kepada muridnya itu. Biarpun kepalanya masih pening, namun anak ini yang selalu mentaati suhunya, tanpa ragu-ragu lagi lalu meloncat berdiri dan melakukan gerak itu memukul udara di atas kepalanya tiga kali dengan kedua mata masih meram.

"Krotok... kratok... krekkk...! Terdengar bunyi di seluruh bagian tubuhnya ketika ia melakukan tiga kali pukulan udara kosong itu, dan... Tiang Bu baru membuka mata dan tersenyum memandang suhunya.

“Suhu, aku merasa segar sekali!"

"Tiang Bu, sekarang kau bersiaplah menghadapi tantangan Toat-beng Kui-bo sebagai wakil guru-gurumu."

Tiang Bu kaget bukan main mendengar kata suhunya ini sehingga tak terasa ia memandang. Akan tetapi gurunya itu tidak main-main, bahkan menatap wajahnya penuh ketegasan. Ia tidak berani membantah, lalu bangun berdiri, menjura kepada suhunya, berkata, “Baik suhu," lalu menghampiri Toat beng Kui-bo. "Nenek tua, aku datang mewakili guru-guruku. Kau mau memberi pelajaran cepatlah bergerak." katanya, suaranya membayangkan kenekatan.

Memang hati Tiang Bu amat perih karena peristiwa tadi, batinnya masih sakit sekali kepada Liok Kong Ji yang sikapnya mendatangkan benci dan yang mengakuinya sebagai putera dan juga ia merasa sakit hati kepada Wan Sin Hong yang menutup rahasianya. Oleh karena merasa hancur hatinya mendengar bahwa ia bukan putera ayah bundanya di Kim-bun-to, ia menjadi sedih dan nekad. Dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya ketika ia "dipukul" pingsan oleh Tiong Sin Hwesio tadi.

Toat beng Kui-bo adalah seorarg sakti yang tinggi ilmu silatnya. Tentu saja setelah hilang kaget dan herannya, seperti Sin Hong i apun dapat menduga apa yan g tadi dilakukan oleh Tiong Sin Hwesio yang kini bersila dal am keadaan tak bernyawa lagi itu. Ia tersenyum sindir lalu tertawa cekikikan menyeramkan sekali.

"Hi hi-hi-hi, Tiong Sin Hwe sio tua bangka yang sudah tahu nyawanya akan terbang, lalu mengoperkan segalanya kepada bocah ini masih mending. Akan tetapi Tiong Jin Hwesio tidak malukah kau bersembunyi di balik bocah goblok ini untuk menutupi kege ntaranmu. Majulah sendiri jangan mengirim bocah ini ke neraka menyusul suhengmu."

"Nenek tua ngacau balau! Kau tidak saja menghina ji-suhu, bahkan kau menghina twa-suhu. Siapa bilang twa-suhu sudah meninggal lihat dia masih bersila dan tidak mati. Kau benar-benar perlu diusir dari sini!” Selesai memaki demikian, Tiang Bu melompat ke arah nenek itu dan mengirim pukulan den gan tangan kirinya...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.