Tangan Gledek Jilid 19
TlANG BU merasa kaget sendiri. Memang ia sudah memiliki ginkang yang tInggi bahkan dapat dengan baik melakukan ilmu lompat Liap-in-sut (Ilmu Mengejar Awan) akan tetapi kali ini begitu ia me nggerakkan kedua kakinya tubuhnya melesat bagaikan didorong orang dari belakang. Ia mengira tentu suhunya yang membantunya, maka hatinya besar lagi dalam melakukan penyerangannya kepada nenek yang menakutkan ini.
Toat-beng Kui-ho tertawa mengejek. "Kau seperti burung baru tumbuh sayap...” Akan tetapi kata-katanya terputus dengan terpaksa karena tahu-tahu pukulan anak itu sudah mendekati dadanya dan didahului angin pukulan yang kuat sekali. Cepat nenek ini mengangkat lengan menangkis dan untuk kedua kalinya ia terkejut karena lengan tangannya tergetar hebat.
Sebaliknya Tiang Bu juga merasa lengannya tergetar, akan tetapi hanya sebentar. Dari dalam perutnya naik semacam hawa panas yang mengalir ke lengaan yang membuatnya merasa kuat sekali. Sebelum tubuh turun ke atas tanah, ia telah dapat manggerakkan tangan kanan menampar pundak kiri Toat beng Kui-bo. Gerakan ini bukan tamparan bias a karena sekali me nampar ia telah mengancam tiga pusat jalan darah terutama di tubuh bagian atas.
“Hayaaaa…!” Toat-beng Kui-bo menjerit dan cepat ia mengeluarkan gerakan ilmu silatnya yang aneh. Kedua tangannya ying seperti cakar ayam itu mencakar ke depan yang kiri mengejar gerakan tangan Tiang Bu, yang kanan mencakar ke arah muka bocah itu. Perlu diketahui bahwa kuku-kuku tangan nenek ini mengandung hawa pukulan beracun yang amat lih ai, yaitu racun kelelawar yang selalu mengawaninya. Jangankan kuku-kuku itu sampai masuk di daging lawan, baru menggurat kulit saja sudah cukup membuat lawan roboh binasa!
Akan tetapi Tiang Bu sudah mempelajari banyak gerukan ilmu silat yang amat tinggi. Sebelum ia berlatih di bawah pengawasan dua orang kakek sakti Omei-san itu, diapun sudah paham Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang hebat dan cukup kuat untuk menghadapi tokoh-toko h besar, serta sudah ahli malakukan gerakan kaki Lam-hoan Sam-hu untuk membebaskan diri dari segala macam serangan aneh. Cuma saja, kepandaiannya itu dahulu masih belum masak, belum kuat dasarnya.
Apalagi dia masih belum memiliki sinkang, maka tentu ia takkan menang kalau menghadapi lawan tangguh. Sekarang lain lagi, di luar pengetahuannya sendiri, anak ini sudah memiliki lwee-kang yang tiada taranya di dalam tubuhnya, warisan dari twa-suhunya. Sayang ia selain belum mengetahui akan hal ini, juga belum biasa mempergunakan sinkang dengan sebaiknya. Begitu melihat bergeraknya kedua tangan lawan, Tiang Bu cepat mengangkat tangan kiri, dengan jari telunjuknya ia melakukan sentilan ke arah pergelangan tangan itu.
Inilah gerakan dari It-ci-tian-hoat (Menotok Satu Jari) dan tangan kanannya tetap saja melakukan serangan. Ketika hendak dicakar, tangan kanannya itu otomatis mengelak sambil melanjutkan serangan... "kokk!” leher nenek itu telah kena dipukul dengan jari-jari miring. Nenek itu mengeluh, tubuhnya terhuyung-huyung sampai lima tindak. Inilah hebat! Tadi melihat datangnya pukulan yang tak mungkin dapat dihindarkannya lagi, ia sudah bersiaga. Dengan pengerahan tenaga Chian-kin.jat (Tenaga Seribu Kati) ia menanti datangnya serangan anak itu sambil dia diam-diam mentertawai Tiang Bu karena sudah banyak orang gagah berjungkir balik roboh memukul nenek yang mengerahkan tenaga hebat ini.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika tangan bocah itu mengenai lehernya ia merasa jalan pernapasan di lehernya seperti dicekik setan dan tubuhnya terhuyung tak dapat ditahan lagi! Masih baik bahwa tubuhnya terhuyung dan ia tidak mengerahkan tenaga pada kedua kakinya. Kalau sekiranya demikian tentu pukulan itu datangnya akan lebih hebat dan sangat boleh jadi tulang lehernya akan remuk.
Kejadian ini benar benar hebat dan luar biasa. Toat-beng Kui-bo adalah seorang yang kepandaiannya amat tinggi dan tenaga lweekangnya sudah sampai di puncak yang amat tinggi. Biarpun harus ia akui bahwa semua kesalahannya itu memang sebagian besar karena kesalahannya sendiri, yaitu terlalu memandang rendah lawan, namun seorang bocah seperti ini dapat memukulnya sampai sedemikian benar-benar hampir tak dapat dipercaya.
"Setan iblis anak haram, kau ingin mampus?' bentak Toat-bong Kui-bo yang merasa tersinggung kehormatannya sebagai seorang datuk persilatan. Tongkatnya diputar sampai berubah menjadi sinar hitam bergumpal-gumpal menyilaukan dan menggelapkan pandangan mata. Akan letapi pada saat itu terdengar Tiong Sin Hwesio berseru kaget.
"Celaka, penjahat membakar gedung kitab...!"
Ketika semua orang memandang, benar saja pondok itu bagian belakangnya sudah menjadi lautan api dan di antara asap dan api itu berkelebatan beberapa bayangan orang.
"Tiang Bu! Bantu pinceng menangkap penjahat dan melindungi kitab-kitab!" seru Tiong Jin Hwesio.
Akan tetapi pada saat itu, Tiang Bu sedang memandang ke arah Tiong Sin Hwesio yang kini sudah rebah terlentang dengan muka ditutup kain. Ia tidak tahu bahwa tadi Tiong Jin Hwesio merawat janazah suhengnya yang sudah mulai mendoyong letak duduknya dan membaringkan jenazah itu dengan baik di atas tanah serta menutupi muka itu dangan kain. Kini Tiang Bu tidak memperdulikan seruan Tiong Jin Hwesio, bahkan tidak perdulikan gurunya itu berlari ke arah tempat kebakaran.
Anak itu sebaliknya lari menghampiri tubuh suhunya, berlutut dan menyingkap kain pcnutup muka. Melihat muka suhunya pucat kebiruan dan tak bergerak lagi, ia kaget bukan main. Apa lagi se telah ia menjamah tangan gurunya itu dan mendapatkan bahwa kakek ini sebenarnya telah putus nyawanya. Tiang Bu lalu menangis mengggerung-gerung.
Kebakaran itu merubah keadaan di depan pondok. Toat-beng Kui-bo tiba-tba lupa kepada Tiang Bu dan sambil mengeluarkan suara ketawa cekikikan, ia menutulkan tongkatnya di atas tanah dan tubuhnya berkelebat menengejar Tiong Jin Hwesio.
"Toat bcng Kui-bo, berhenti dulu" Tubuh Sin Horg berkelebat dan cepat sekali ia mengejar Toat-beng Kui-bo.
Juga Ang jiu Mo-li sambil menggandeng dua orang muridnya telah pergi dari situ, demikian pula Pek-thow-tiauw-ong Lie Kong betsama isterinya saling pandang dan cepat menyusul orang.orang itu menuju ke tempat kebakaran. Mudah saja diduga niat mereka. Tentu akan mcncoba-coba barangkali mereka dapat memperoleh sebuah dua buah kitab pusaka.
"Tiang Bu...! siniii...!"
Teriakan dahsyat dari Tiong Jin Hwesio ini menyadarkan Tiang Bu. Bocah ini mendengar suara ji-suhunya seperti orang minta tolong. Cepat ia menutupkan kain di atas muka suhunya yang sudah mati itu dan menggerakkan tubuh, ia telah melesat cepat sekali ke arah suara itu. Untuk kedua kalinya ia merasa heran atas keringanan tubuhnya sendiri. Akan tetapi ia tidak ada tempo lagi untuk banyak berpikir akan hal ini. Ketika ia tiba di tempat itu, yaitu di belakang pondok, di situ telah terjadi pertempuran hebat.
Bagian yang terbakar adalah di sebelah kamar kitab dan kini api sudah mulai membakar gudang kitab di mana terdapat ratusan buah kitab kuno dari macam-macam pelajaran. Dan di luar tempat kebakaran itu. Di sana-sini menggeletak tubuh orang yang sudah menjadi mayat. Pek-thouw-tiauw.ong Lie Kong yang beradu punggung dengan isterinya, bertempur melawan enam orang yang tak dikenal oleh Tiang Bu. Kalau saja dua ekor burung rajawali mereka tidak membantu, tentu suami isteri ini akan terdesak hebat. Agaknya beberapa pengeroyok tadi telah tewas oleh dua cakar burung itu, terbukti adanya tanda-tanda darah pada paruh dan cakar mereka dan di dekat tempat itu tcrdapat beberapa orang yang kepalanya dan mukanya pecah-pecah penuh darah.
Di lain bagian, Ang-jiu Mo-li juga mengamuk. Tokoh utara ini mainkan pedang yan g bersinar merah, tangan kirinya juga memukul-mukul, bahkan kadang-kadan g tangan kirinya menyebar pat-kwa-ci, senjata rahasianya yang mengintai nyawa para pengeroyoknya. Ia dikeroyok oleh empat orang yang kosen juga. Tak jauh dari situ, Toat-beng Kui-bo bertempur melawan Sin Hong dan dua orang tak terkenal membantu Sin Hong mengeroyok nenek itu. Yang mengherankan hati Tiang Bu adalah orang-orang yang tidak dikenalnya yang semua berpakaian seperti orang-orang asing dan melihat pakaian mereka, mudah duga bahwa mereka itu adalah orang-orang segolongan yang entah datang diri mana.
Akan tetapi ia tidak dapat memperhatikan terlalu lama karena segera ia melihat gurunya tengah dikeroyok oleh tiga orang. Orang pertama adalah seorang tosu berkaki satu, yang luar biasa lihainya. Orang ke dua ia kenal yaitu Bu-tek Sin-ciang Bouw Gun dan orang ke tiga membuat Tiang Bu marah bukan main karena orang ini adalah Liok Kong Ji yang mengaku berjuluk Thian-te Bu-te k Taihiap mengaku pula sebagai calon bengcu seluruh dunia dan paling celaka mengaku sebagai ayahnya!
Keadaan Tiong Jiu Hwesio payah sekali Tangan kiri hwesio jangkung kurus ini memeluk tiga buah kitab dan ia menghadapi tiga orang lawannya hanya dengan sebelah tangan, namun ia terdesak hebat. Terutama sekali tosu buntung kakinya itu lihai bukan main, sedangkan Bouw Gin dan Liok Kong Ji juga bukan oran g-orang lemah. Jelas sekali bahwa Tiong Jin Hwesio sudah terluka hebat.
Tanpa membuang banyak waktu lagi, Tiang Bu mengeluarkan suara bentakan dan cepat menyerbu, membantu suhunya. Karena ia paling benci kepada Kong Ji yang mengaku-aku sebagai anaknya, Tiang Bu menyerang Kong Ji dengan memukulkan tangan kanannya ke dada orang itu.
Liok Kong Ji adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia adalah ahli ilmu-ilmu keji seperti Ilmu Pukulan Tin-san-kang (Pukulan Merobohkan Gunung) yang lihai dari Giok Seng Cu, Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) dari See-thian Tok-ong, bahkan ia paham pula Thian-bong-ciang-hoat (Ilmu Pukulan Angin Taufan) yang dipelajarinya dari Hwa I Enghiong Go Ciang Lee dahulu. Di samping ilmu-ilmu hebat ini, ia masih memiliki banyak macam ilmu silat yang lihai dan ganas.
Oleh karena itu, tentu saja ia memandang rendah kepada Tiang Bu. Akan tetapi oleh karena ia tahu bahwa bocah ini adalah puteranya, ia tentu saja tidak mau mencelakai Tiang Bu. Pukulan bocah itu diterimanya dengan tangkisan pelahan agar jangan sampai ia melukai tangan bocah itu. Akan tetapi ia kecele dan alangkah terkejutnya ketika belum juga tangan Tiang Bu mengenainya, hawa pukulan yang menyambar keluar dari tangan anak itu sudah terasa olehnya, kuat sekali. Kedua lengan bertemu!
Kong Ji mengeluarkan seruan kaget dan tak dapat ditahan lagi ia terjengkang roboh ketika Tiang Bu yang cepat sekali gerakan tangannya telah merobah serangannya yang tertangkis tadi menjadi dorongan. Dengan gemas Tiang Bu melompat mendekati dan hendak mengirim pukulan pula. Kong Ji menyesal sekali mengapa tadi ia memandang ringan bocah ini sehingga saking kurang hati-hatinya ia kena dorongan roboh. Ia melihat sinar maut di dalam pandang mata anak itu dan serangan yang datang bukan main cepatnya.
Betapapun besarnya kasih hatinya kepada anaknya yang belum mau mengakuinya itu, Kong Ji tentu saja lebih cinta kepada diri sendiri. Melihat kedatangan Tiang Bu yang melakukan serangan luar biasa, Kong Ji cepat menggerakkan kedua tangannya dan... sinar hitam yang banyak sekali meluncur memapak kedatangan tubuh Tiang Bu.
“Tiang Bu, hati-hati...!" seru Tiong Jin Hwesio kaget. Akan tetapi karena ia memecah perhatian ke arah Tiang Bu, ia berlaku lengah dan ujung tongkat dari tosu buntung itu tepat menotok iga kanannya.
"Tukk!"
Tubuh Tiong Jin Hwesio terlempar dalam keadaan masih berdiri. Hwesio jangkung kurus ini tidak roboh akan tetapi ketika kakek buntung itu melayang dan menyambar, sebuah kitab dapat terampas lawan. Sekarang tinggal dua buah kliab saja di tangan Tiong Jin Hwesio.
Namun hwesio tua ini benar-benar sakti. Biarpun ia sudah terkena totokan demikian hebat, hanya sebuah saja dapat dirampas musuh dan di lain saat ia sudah mengamuk lagi. Tangan kanannya bergerak-gerak mengeluarkan angin dan hawa pukulannya dapat menahan serangan Bouw Gun dan tosu kaki buntung.
Adapun Tiang Bu yang terancam bahaya maut oleh jarum-jarum racun hitam (Hek-tok-ciam) yang dilepaskan Kong Ji menjadi bingung. Biarpun bocah ini sudah memiliki kepandaian tinggi, namun pengalamannya masih dangkal sekali. Ia belum pernah bertempur menghadapi orang-orang lihai apalagi menghadapi se rangan senjata rahasia yang mengandung racun jahat. Melihat sinar hitam yang berbau amis itu menyerangnya, Tiang Bu hanya menggerakkan dua tangan untuk mengibasnya sambil mengerahkan tenaga. Memang hebat!
Dari kibasan kedua tangannya itu keluar hawa pukulan yang kuat sekali sehingga jarum-jarum hitam itu terkibas runtuh semua. Namun ada dua buah jarum hitam yang masih melukai tangan kirinya sebelum tersampok jatuh . Darah mengucur dari dua luka kecil ditangannya. Tiang Bu tidak menjadi gentar biarpun rasa luka-luka di tangan itu sakit dan panas sekali. ia menubruk maju dan mengirim serangan lagi selagi Kong Ji berdiri termangu-mangu. Melihat anaknya terluka Hek-tok-ciang Kong Ji menjadi khawatir juga.
"Tiang Bu, kau terluka jarumku, jang banyak bergerak...”
Akan tetapi Tiang Bu tidak perdulikan seruan ini dan segera menyerang orang yang mengaku ayahnya akan tetapi melukainya itu dengan pukulan-pukulan Tat-Mo Ciang-hoat yang ia pelajari dari Tiong Sin Hweso. Ilmu silat kuno warisan Tat Mo Couwsu, yang merupakan s ebuah dari pada sumber-sumber seluruh ilmu silat di dunia. Menghadapi ilmu silat yang aneh, kelihatan lambat namun sukar diikuti gerakan-gerakannya ini, Kong Ji menjadi bingung.
Ia tahu bahwa bocah di depannya ini biarpun memiliki kepandaian tinggi, namun dalam pertempuran masih hijau sekali, akan tetapi untuk menjatuhkan tangan maut ia merasa sayang karena bacah ini adalah anaknya sendiri. Selain itu, sejak semula telah menyelinap di dalam otaknya yang cerdik suatu niat yang dianggapnya amat baik. Tiang Bu agaknya telah mewarisi kepandaian sakti dari dua orang kakek Omei-san. Kalau kelak bocah itu mau mengakui sebagai ayah, bukankah mudah saja "mengoper" semua kepandaian itu melalui anaknya?
"Tiang Bu, kau... kau puteraku. Jangan serang aku, mari kuobati tangnnmu yan g terluka itu," katanya berulang-ulang melompat lompat mundur menghindarkan tangan Tiang Bu.
"Kau pembohong, penipu, pengecut!" Tiang Bu bukan tunduk terhadap bujukan itu bahkan menjadi marah sekali dan terus menyerang dengan gencar. Karena bingung menahan ilmu silat itu dia tahu bahwa Tiang Bu memiliki tenaga sinkang yang bukan sewajarnya Kong Ji serba susah dan menjadi bingung. Pada saat itu terdengar seruan tosu kaki butung.
"Tai ciangkun (panglima besar), sudah dapat kitab. Hayo pergi...!”
Biarpun kata-kata ini diucapkan seperti perintah, namun jelas bahwa kakek buntung menganggap Kong Ji sebagai atasannya. Kong Ji mendengar ini segera bersuit keras. Heran sekali. Semua orang yang tadi bertempur melawan Pek-thouw thiauw-ong Lie Kong, dan isterinya, juga yang mengeroyok Ang-jiu Mo-li mendengar suitan ini lalu melompat pergi dan sekejap saja pertempuran berhenti semua dan Kong Ji serta kawan-kawannya lenyap dari situ, meninggalkan kawan-kawan yang sudah tewas, membawa yang terluka bersama mereka. Tiang Bu melompat ke arah gurunya yang telah roboh dan duduk bersila di atas tanah dengan muka pucat. Gurunya masih memegang dua buah kitab dan napasnya terengab-engah. ketika meli hat bocah itu, ia berkata lemah
"Tiang Bu, yang membakar ini... Thai Gu Cinjin... kau cari dan kejar dia, rampas kitab yang dibawanya... kalau perlu bunuh dia...“
Tiang Bu melompat cepat ke arah gudang yang terbakar. Hatinya terasa perih melihat betapa kitab-kitab kuno itu telah menjadi umpan api yang tak mungkin dapat dipadamkan lagi. Kitab-kitab itu tak dapat ditolong lagi. Ia memandaog ke kanan kiri dengan beringas. Akan tetapi di situ tidak terdapat bayangan manusia, maka ia lalu melo mpat ke atas genteng pondok dan memandang t ajam kesemua jurusan.
Jauh sekali di lereng gunung ia melihat bayangan Liok Kong Ji dan kawan- kawannya. Kalau saja di antara tombongan ini tidak terdapat tosu buntung yang lihai, tentu Tiang Bu tidak akan mengenal rombongan siapa itu. Meli hat tosu buntung dan banyaknya orang-orang yang turun, ia dapat menduga bahwa itulah bayangan Liok Kong Ji dan kawan-kawannya.
“Hmmm, kalau saja suhu tidak menyuruh aku mencari Thai Gu Cinjin, tentu aku akan mengejar mereka pikirnya. Tiba tiba di sebelah kiri ia melihat bayangan orang berkelebat. Cepat ia melompat turun dan mengejar sampai di bawah puncak, di daerah batu-batu karang tidak kelihatan ada orang di situ, ia terheran-heran. Tak salah lagi penglihatannya, tadi ada dua atau tiga bayan gan orang berkelebatan mengapa sebentar saja lenyap?
Selagi ia celingukan, tiba-tiba terdengar suara orang berkelahi. Suara ini baru terdengar karena terbawa angin yang tiba-tiba bertiup ke arahnya, ia mengejar dan kiranya Giam-lo-ong Ci-Kui yang sedang bertempur itu, melawan seorang hwesio yang bertubuh gemuk bundar. Hwesio gemuk bundar itu mengeluarkan suara "hah! heh! hayaaa...!" dengan suara jenaka. Ilmu silatnyapun aneh, berloncat-loncatan seperti katak melompat. Akan tetapi sudah tentu ia bukan lawan Giam-lo-ong Ci-Kui yang mendesak hebat dengan pukulan-pukulan Hui houw-tong-ree yang ganas.
Tiang Bu mengintai dari belakang batu karang dan ia menjadi bingung siapa yang harus dibantunya. Ia tidak mengenal hwesio gemuk itu, dan tidak tahu pula mengapa mereka bertempur. Ia hanya bingung karena tidak melihat adanya Thai Gu Cinjin, ia merasa tidak perlu mencampuri urusan Giam-lo ong Ci-Kui dan hendak meninggalkan tempat itu. Tiba tiba muncul Liok-te Mo-ko Ang Bouw den Siangkong Ang Louw. Ang Bouw segera berkata.
"Suheng, tikus gemuk ini bereskan saja lekas-lekas. Semua orang sudah pergi dan biarpun kakek tua itu terluka parah, kalau dia menyusul ke sini kita bisa celaka!"
"Kalian bantulah. Anjing gemuk ini sukar sekali dipukul mampus," kata Ci Kui. Segera kedua orang sutenya menyerbu.
"Heh-heh heh, siluman-siluman hutan, majulah. Sebelum kalian mengembalikan kitab curian, aku Hwa Thian Hwesio takkan mau mengampuni kalian maling-maling hina-dina."
"Hwa Thian Hwe sio, kau ini anjing pemerintah Kin, ada sangkut paut apakah dengan urusan kami? Kitab ini bukan kitabmu, kau perduli apakah?" kata Ci Kui marah.
"Ha-ha-ha, dasar bangsat tetap bangsat. Barang siapapun juga yang kau colong, itu namanya tetap maling. Bagaimana pinceng harus mendiamkan saja? Pinceng paling anti kepada segala macam maling dan copet. Hayo kau kembalikan!”
"Suheng, habiskan saja dia ini!” seru Sin saikong Ang Louw marah sekali sambil melompat dan menyerang hwesio gemuk itu dengan cakarnya yang berbahaya.
"Ayaaa...! Ini siluman atau binatang buas?" seru Hwa Tian Hwesio sambil mengelak dengan lompatan ke kiri. Biarpun tubuhnya gemuk bundar, namun gerakannya ternyata ringan sekali. Tiap kali tubuhnya turun ke tanah, segera terpental kembali ke atas. Karena ia menarik kedua kakinya, maka ia merupakan segundukan tubuh bundar seperti bola yang selalu mental ke atas lagi tiap kali menyentuh tanah.
Betapapun gesitnya, karena yang menyerangnya adalah Pak kek Sam-kui yang lihai, dalam dua gebrakan saja cakar kuku tangan Sin-saikong Ang Louw telah mengenai pundaknya. Hwesio itu cepat miringkan pundak dan "breett!" bajunya terobek kebawah sehinggga nampak dadanya yang penuh daging dan gajih serta sedikit perut yang gendut seperti kerbau hamil.
"Eh, main rusuh...! Berkelahi ya berkelahi, masa merobek baju seperti perempuan berkelahi! Rusuh tak tahu malu!” Hwesio gendut itu marah-marah dan mengejek ketiga orang lawannya.
Diam-diam Tiang Bu menjadi geli melihat lagak hwesio gemuk itu, geli tercampur kagum karena biarpun terdesak hebat terang sekali nyawanya terancam maut, hwesio ge ndut itu masih sempat mengolok-olok para lawannya, juga Tiang Bu tergerak hatinya ketika mendengar percakapan antara mereka tadi dan sekilas pandang kearah baju Giam-lo-ong Ci-Kui, ia melihat sesuatu yang menonjol dari dalam saku baju Ci Kui. Tak salah lagi, tentu diapun mencuri sebuah kitab dari gudan g yang terbakar, pikir Tiang Bu. Segera ia melompat dan menerjang iblis jangkung itu.
Lompatan Tiang Bu seperti kilat menyambar. Empat orang itu tidak melihat ia datang dan tahu-tahu bocah ini sudah tiba di depan Ci Kui, mengirim pukulan dengan tangan kiri ke arah muka kakek itu sedangkan tangan kanan terulur ke arah jubah yang menonjol.
“Plakk... Brettt...!”
Giam lo-ong Ci Kui menangkis. Terpekik kesakitan ketika lengan tangannya patah beradu dengan lengan Tiang Bu disusul terobeknya bajunya dan kitab yang disimpan di dalam sakunya telah berada di dalam tangan Tiang Bu. Tiga orang setan utara itu menjadi bengong dan juga marah. Mereka merasa kaget dan heran menyaksikan ke hebatan bocah yang pernah menjadi murid mereka itu.
“Tiang Bu... Kembalikan kitab kami!” Seru Ang Houw dan Ang Louw yang sudah melompat menghadapi Tiang Bu.
Bocah itu menggeleng kepalanya. "Apakah kalian ikut-ikut membakar gudang kitab Omei-san?” tanyanya, suaranya perlahan dan lambat, akan tetapi di dalamnya mengandung ancaman hebat. Kalau tiga orang kakek mengaku ikut membakar, ia takkan segan-sogan lagi untuk menyerang mereka dan kalau perlu membunuh mereka.
"Tidak, kami tidak membakar... kau tanya Thai Cu Cinjin, dialah yang membakarnya bersama Tee-tok Kwan Kok Sun..." kata Ci Kui. "Akan tetapi kitab itu… kau berikanlah kepada kami, Tiang Bu."
Biarpun ia kesakitan dan marah sekali tulang lengannya sudah dipatahkan oleh bocah itu namun ia masih lebih sayang kepada kitab itu dan hendak membujuk Tiang Bu supaya suka memberikannya.
"Tak mungkin. Bahkan perbuatan kalian mencuri kitab ini saja sudah harus dihukum.”
"Keparat busuk, murid murtad. Berani kau melawan guru-gurumu?” bentak Ang Bou sambil menubruk maju.
"Aku bukan murid kalian, hanya murid paksaan. Bahkan kalian telah menculikku.” Jawab Tiang Bu tenang sambil mengolok, lalu balas menyerang.
Ang Bouw menangkis berbareng dengan datangn ya Ang Louw yang menyerang hebat. Namun seperti juga Ci Kui, begitu beradu lengan dengan bocah itu, keduanya melompat mundur dengan meringis kesakitan. Baiknya Tiang Bu yang kini sudah maklum akan kehebatan tenaga sendiri, masih ingat bahwa mereka pernah mengaku murid kepadanya maka tidak mau mengerahkan seluruh tenaga sehingga Ang Bouw dan Ang Louw tidak mengalami patah tulang lengan seperti Ci Kui. Namun cukup ketiga orang kakek ini maklum akan kelihaian Tiang Bu, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu melarikan diri menyusul rombongan Liok Kong Ji.
"Hayaaaa...! Kalau tidak kedua mataku yang lamur melihat sen diri, mana aku bisa percaya? Bocah ajaib... apakah kau penjelmaan Sin-tong Lo-cia!” tanya H wa Thian Hwesio sambil mengelus-elus perutnya yang gendut.
Lo Cia adalah seorang anak dewa yang sakti, tokoh terkenal sekali sepanjang masa dalam dongeng-dongeng Tiongkok. Karena Lo Cia adalah seorang bocah sakti (sin tong) atau bocah ajaib, maka Hwa Thian Hwesio yang melihat kelihaian Tiang Bu mengucapkan perbandingan itu. Memang sesungguhnya hwesio gandut ini kagum dan heran sekali. Selama hidupnya baru kali ini ia bertemu dengan seorang anak berusia paling banyak empat belas tahun dapat mengalahkan tiga orang tokoh iblis seperti Pak kek Sam-kui.
Sekali pandang saja Tiang Bu merasa suka kepada hwesio gendut ini. Apalagi tadi ia sudah jelas mendengar kata-kata hwesio ini yang berjiwa gagah, hendak mencegah orang membawa lari kitab Omei-san. Akan tetapi pada saat itu ia tidak mempunyai banyak waktu untuk bercakap-cakap, maka setelah tersenyum sebentar ia bertanya.
"Mohon tanya, apakah losuhu tadi melihat Thai Gu Cinjin? Kemana larinya?”
Sepasang mata Hwa Thian Hwesio yang sudah bundar besar itu kini melotot makin lebar seperti hendak meloncat keluar dari pelupuk matanya. Kalau ia terheran heran metihat bocah ini dapat mengusir Pak-kek Sam-kui, sekarang ia hampir tak percaya mendengar bocah ini bertanya tentang Thai Gu Cinjin dan seolah-olah hendak mengejarnya. Akan tetapi ia masih penasaran dan balas bertanya,
"Siauw-hiap mencari Lama Jubah Merah itu mau apakah?”
"Diapun mencuri kitab dan dia yang membakar pondok, aku harus mengejarnya dan menyeretnya kedepan suhu atau membunuhnya!" jawab Tiang Bu tanpa ragu-ragu lagi dengan suara gemas.
Baru Hwa Thian Hwesio percaya dan sepasang matanya memandang penuh kekaguman. Dapatkah ia menduga bahwa tentu anak ini adalah murid dari kedua orang kakek sakti Omei-san. Ia cepat menudingkan telunjuknya ke arah utara sambil berkata,
"Tadi pinceng melihat Thai Gu Cinjin berdua Tee-tok Kwan Kok Sun berlari ke sana, masing-masing membawa sebuah kitab. Pinceng tidak berani menghalangi mereka yang amat jahat dan lihai.”
"Sudah lamakah?" Tiang Bu cepat memandang kejurusan yang ditunjuk oleh hwesio itu.
"Sudah, tadi sebelum pinceng menghadang Pak-kek Sam-kui. Kiranya sekarang mereka sudah jauh di kaki gunung sebelah utara. Tiang Bu membanting-bantin g kaki kanannya dan hwesio yang berdiri kira-kira dua meter jauhnya dari padanya itu tiba.tiba terdorong roboh!
"Celaka... harus kuberitahukan kepada suhu. Terima kasih atas kebaikanmu, losuhu." Tiang Bu terus berkelebat kembali ke atas puncak tanpa memperdulikan hwesio gendut itu yang masih rebah di atas tanah sambil memandang kepadanya dengan mulut ternganga dan mata terbelalak.
Setelah ia tiba di dekat pondok, ternyata gudang kitab itu sudah habis terbakar di kini api sudah merembet sampai di pondok depan dan agaknya tak lama lagi seluruh pondok bekas tempat tinggal kedua orang kakek sakti itu akan mus nah menjadi abu. Hati Tiang Bu tiba-tiba menjadi perih dan untuk sejenak ia meramkan mata sambil menggigit bibir.
"Maling-maling buruk itu jahat sekali. Awaslah, kelak aku akan mencari kalian seorang demi seorang untuk diberi hajaran atas kejahatan kalian ini!” katanya perlahan. Kemudian ia menengok kearah Tiong Jin Hwesio yang masih duduk bersila. Tubuhnya tid ak bergerak-gerak, akan tetapi bayangannya bergerak-gerak di depannya karena nyala api yang membakar dibelakangnya itu bergerak.
"Suhu...!" Tiang Bo berlutut di depan gurunya, hatinya penuh haru dan duka. Tahu betapa sedihnya hati gurunya ini yang tidak saja kematian suhengnya, akan tetapi juga kehilangan kitab pusaka yang selama ini amat disayang melebihi nyawa sendiri. Kedua orang kakek itu selama ini menjaga dan melindungi kitab di dalam gudang itu seperti menjaga keselamatan sendiri dan sekarang…... sekaligus kitab-kitab peninggalan Tat Mo, Cauwsu dan Hoat Hian Couwsu itu menjadi abu.
"Suhu...!" sekali lagi Tiang Bu berbisik dengan suara serak.
Tiong Jin Hwesio menarik napas panjang, membuka mata dan di bawah sinar api itu wajahnya nampak angker sekali. Ia memandang kepada Tiang Bu dan bertanya.
"Bagaimana dengan Thai Gu Cinjin?"
"Dia sudah melarikan diri bersama seorang yang bernama Tee tok Kwan Kok Sun. Kalau suhu menghendaki, sekarang juga teecu akan mengejar mereka sampai dapat dan mengadu nyawa dengan maling maling itu,” kata Tiang Bu penuh semangat. Gurunya menghela napas dan menggeleng-geleng kepala.
"Mereka terlalu lihai. Mungkin dengan kepandaianmu dan tenaga sinkang yang diturunkan oleh suheng kepadamu kau akan mampu mengalahkan mereka, akan tetapi kau bisa celaka oleh tipu muslihat mereka. Kau belum banyak pengalaman, muridku dan kau tidak tahu betapa jahat dan kejinya orang orang di dunia kangouw. Hemmm...”
Tiba-tiba hwesio jangkung kurus ini menatap tangan muridnya. "Coba dekatkan lenganmu yang kiri!”
Ketika tangan kiri itu diulurkan dan dipe gang oleh Tiong Jin Hwesio, kakek ini berkata. “Hemm, siapa yang melukai tanganmu ini?"
"Luka tidak seberapa suhu, hanya kulitnya lecet, mengeluarkan sedikit datah. Tidak apa-apa."
"Hemm... inilah yang kumaksudkan bahwa kau masih hijau. Kau tidak tahu bahwa tanganmu ini telah terkena racun yang amat berbahaya. Sudah tentu kau mati seketika kalau saja sinkang di dalam tubuh tidak menolak hawa berbisa itu. Bagaima kau sampai terluka?”
Tiang Bu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa jarum-jarum hitam itu mengandung racun yang demikian berbahaya. "Orang bernama Liok Kong Ji itu yang melukai teecu dengan jarum-jarum gelapnya."
"Ah, Hek-tok ciam (Jarum Racun Hiram). Nih, kautelan obat ini!" kata Tiong Sin Hwesio sambil memberikan pel putih. Tiang Bu menelannya.
"Tiang Bu, dengan hawa sin-kang di tubuhmu yang sekarang sudah cukup kuat, memang kau dapat menahan racun yang tidak berapa banyak itu. Akan tetapi di dunia ini masih berkeliaran manusia-manusia macam Liok Kong Ji dan yang sudah biasa mempergunakan senjata gelap dan racun jahat. Apalagi orang yang datang bersama Thai Gu Cinjin dan bernama Tee tok Kwan Kok Sun itu, yang sudah biasa dengan racun racun ular. Belum lagi kita bicara tentang Toat beng Kui Bo dengan racun-racun kelelawar, kelabang dan lain-lain. Kau... kau berhati-hatilah, Tiang Bu karena sebentar lagi kau harus hidup sebatang kara dan harus menghadapi mereka seorang diri…”
Jantung Tiang Bu berdebar. "Apa maksudmu, suhu...?”
"Tiang Bu, tosu kaki buntung kawan Liok Kong Ji tadi amat lihai ilmu silatnya. Aku terluka hebat olehnya, takkan tortolong lagi.”
"Suhuuu...!"
"Hush, tenanglah. Manusia di dunia ini siapa yang takkan mati? Bagiku, untuk apa susah ? Aku akan menyusul suheng dan... kitab-kitab kita... Sekarang kau dengar baik-baik pesanku. Lihat, aku telah berhasil menyelamatkan dua buah kitab ini. Kitab ini bersama sebuah kitab lain yang terampas o leh tosu kaki buntung, adalah kitab-kitab paling penting dan berharga dari sekalian kitab peninggalan dua couwsu kita. Kau pelajari dua kitab ini baik-baik dan kiranya kau takkan mudah dikalahkan orang dalam ilmu silat dengan kepandaianmu asalkan berlatih baik-baik, Liok Kong Ji itu manusia jahat, jangan kau mudah dipengaruhi olehnya.”
"Satu-satunya manusia yang boleh kau percaya hanya Wan Sin Hong. Kau datanglah kepadanya dan kauminta dia membuka rahasia apakah benar kau putera Litok Kong Ji yang jahat itu. Kalau benar demikian terserah kepadamu akan tetapi pinceng ikut menyesalkan kalau benar kau putera Liok Kong Ji. Kitab-kitab di sini sebagian besar terbakar musnah lebih baik dari pada terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat. Akan tetapi selain kitab Suan hong-kiam-coan-si yang dirampas oleh tosu buntung tadi, masih ada beberapa kitab terjatuh ke dalam tangan mereka. Kalau pinceng tidak salah lihat Pak-kek Sam-kui juga telah mencuri sebuah."
"Teecu merampasnya dari tangan Giam-lo-ong Ci Kui," kata Tiang Bu yang lalu menuturkan tentang pertentuannya dengan Pak-kek Sam kui, juga tentang hwesio gendut yang bernama Hwa Thian Hwesio.
"Bagus, kau simpan juga kitab itu. Kemudian kaucari Ang-jiu Mo-li, Pek-thouw-tiauw-ong, Thai Gu Cinjin. Tee-tok Kwan Kok Sun dan tosu kaki buntung itu serta Liok K ong Ji. Mungkin mereka itu masing-masing telah membawa pergi sebuah kitab, harus kau rampas kembali.”
"Baik, suhu. Akan teccu balaskan sakit hati itu hari ini,” jawab Tiang Bu, mencatat baik-baik nama-nama itu di dalam hatinya.
"Jangan berlaku kejam. Hanya Thai Gu C injin yang membakar pondok kita. Yang lain-lain itu hanya mengambil kitab karena ingin mempelajari ilmu tinggi. Akan tetapi hatiku masih belum tenteram kalau kau tidak memiliki kepandaian dalam ilmu pengo batan seperti Wan Sin Hong. Kalau bisa, muridku, kau... kau mintalah Wan sicu mengajarmu..."
Tiba-tiba kakek itu berhenti bicara dan batuk-batuk. Tiang Bu kaget melihat suhunya itu pucat sekali dan darah menyembur keluar dari mulutnya ketika batuk-buruk hebat. "Suhu, kau istirahatlah...“ katanya.
Toat-beng Kui-ho tertawa mengejek. "Kau seperti burung baru tumbuh sayap...” Akan tetapi kata-katanya terputus dengan terpaksa karena tahu-tahu pukulan anak itu sudah mendekati dadanya dan didahului angin pukulan yang kuat sekali. Cepat nenek ini mengangkat lengan menangkis dan untuk kedua kalinya ia terkejut karena lengan tangannya tergetar hebat.
Sebaliknya Tiang Bu juga merasa lengannya tergetar, akan tetapi hanya sebentar. Dari dalam perutnya naik semacam hawa panas yang mengalir ke lengaan yang membuatnya merasa kuat sekali. Sebelum tubuh turun ke atas tanah, ia telah dapat manggerakkan tangan kanan menampar pundak kiri Toat beng Kui-bo. Gerakan ini bukan tamparan bias a karena sekali me nampar ia telah mengancam tiga pusat jalan darah terutama di tubuh bagian atas.
“Hayaaaa…!” Toat-beng Kui-bo menjerit dan cepat ia mengeluarkan gerakan ilmu silatnya yang aneh. Kedua tangannya ying seperti cakar ayam itu mencakar ke depan yang kiri mengejar gerakan tangan Tiang Bu, yang kanan mencakar ke arah muka bocah itu. Perlu diketahui bahwa kuku-kuku tangan nenek ini mengandung hawa pukulan beracun yang amat lih ai, yaitu racun kelelawar yang selalu mengawaninya. Jangankan kuku-kuku itu sampai masuk di daging lawan, baru menggurat kulit saja sudah cukup membuat lawan roboh binasa!
Akan tetapi Tiang Bu sudah mempelajari banyak gerukan ilmu silat yang amat tinggi. Sebelum ia berlatih di bawah pengawasan dua orang kakek sakti Omei-san itu, diapun sudah paham Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang hebat dan cukup kuat untuk menghadapi tokoh-toko h besar, serta sudah ahli malakukan gerakan kaki Lam-hoan Sam-hu untuk membebaskan diri dari segala macam serangan aneh. Cuma saja, kepandaiannya itu dahulu masih belum masak, belum kuat dasarnya.
Apalagi dia masih belum memiliki sinkang, maka tentu ia takkan menang kalau menghadapi lawan tangguh. Sekarang lain lagi, di luar pengetahuannya sendiri, anak ini sudah memiliki lwee-kang yang tiada taranya di dalam tubuhnya, warisan dari twa-suhunya. Sayang ia selain belum mengetahui akan hal ini, juga belum biasa mempergunakan sinkang dengan sebaiknya. Begitu melihat bergeraknya kedua tangan lawan, Tiang Bu cepat mengangkat tangan kiri, dengan jari telunjuknya ia melakukan sentilan ke arah pergelangan tangan itu.
Inilah gerakan dari It-ci-tian-hoat (Menotok Satu Jari) dan tangan kanannya tetap saja melakukan serangan. Ketika hendak dicakar, tangan kanannya itu otomatis mengelak sambil melanjutkan serangan... "kokk!” leher nenek itu telah kena dipukul dengan jari-jari miring. Nenek itu mengeluh, tubuhnya terhuyung-huyung sampai lima tindak. Inilah hebat! Tadi melihat datangnya pukulan yang tak mungkin dapat dihindarkannya lagi, ia sudah bersiaga. Dengan pengerahan tenaga Chian-kin.jat (Tenaga Seribu Kati) ia menanti datangnya serangan anak itu sambil dia diam-diam mentertawai Tiang Bu karena sudah banyak orang gagah berjungkir balik roboh memukul nenek yang mengerahkan tenaga hebat ini.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika tangan bocah itu mengenai lehernya ia merasa jalan pernapasan di lehernya seperti dicekik setan dan tubuhnya terhuyung tak dapat ditahan lagi! Masih baik bahwa tubuhnya terhuyung dan ia tidak mengerahkan tenaga pada kedua kakinya. Kalau sekiranya demikian tentu pukulan itu datangnya akan lebih hebat dan sangat boleh jadi tulang lehernya akan remuk.
Kejadian ini benar benar hebat dan luar biasa. Toat-beng Kui-bo adalah seorang yang kepandaiannya amat tinggi dan tenaga lweekangnya sudah sampai di puncak yang amat tinggi. Biarpun harus ia akui bahwa semua kesalahannya itu memang sebagian besar karena kesalahannya sendiri, yaitu terlalu memandang rendah lawan, namun seorang bocah seperti ini dapat memukulnya sampai sedemikian benar-benar hampir tak dapat dipercaya.
"Setan iblis anak haram, kau ingin mampus?' bentak Toat-bong Kui-bo yang merasa tersinggung kehormatannya sebagai seorang datuk persilatan. Tongkatnya diputar sampai berubah menjadi sinar hitam bergumpal-gumpal menyilaukan dan menggelapkan pandangan mata. Akan letapi pada saat itu terdengar Tiong Sin Hwesio berseru kaget.
"Celaka, penjahat membakar gedung kitab...!"
Ketika semua orang memandang, benar saja pondok itu bagian belakangnya sudah menjadi lautan api dan di antara asap dan api itu berkelebatan beberapa bayangan orang.
"Tiang Bu! Bantu pinceng menangkap penjahat dan melindungi kitab-kitab!" seru Tiong Jin Hwesio.
Akan tetapi pada saat itu, Tiang Bu sedang memandang ke arah Tiong Sin Hwesio yang kini sudah rebah terlentang dengan muka ditutup kain. Ia tidak tahu bahwa tadi Tiong Jin Hwesio merawat janazah suhengnya yang sudah mulai mendoyong letak duduknya dan membaringkan jenazah itu dengan baik di atas tanah serta menutupi muka itu dangan kain. Kini Tiang Bu tidak memperdulikan seruan Tiong Jin Hwesio, bahkan tidak perdulikan gurunya itu berlari ke arah tempat kebakaran.
Anak itu sebaliknya lari menghampiri tubuh suhunya, berlutut dan menyingkap kain pcnutup muka. Melihat muka suhunya pucat kebiruan dan tak bergerak lagi, ia kaget bukan main. Apa lagi se telah ia menjamah tangan gurunya itu dan mendapatkan bahwa kakek ini sebenarnya telah putus nyawanya. Tiang Bu lalu menangis mengggerung-gerung.
Kebakaran itu merubah keadaan di depan pondok. Toat-beng Kui-bo tiba-tba lupa kepada Tiang Bu dan sambil mengeluarkan suara ketawa cekikikan, ia menutulkan tongkatnya di atas tanah dan tubuhnya berkelebat menengejar Tiong Jin Hwesio.
"Toat bcng Kui-bo, berhenti dulu" Tubuh Sin Horg berkelebat dan cepat sekali ia mengejar Toat-beng Kui-bo.
Juga Ang jiu Mo-li sambil menggandeng dua orang muridnya telah pergi dari situ, demikian pula Pek-thow-tiauw-ong Lie Kong betsama isterinya saling pandang dan cepat menyusul orang.orang itu menuju ke tempat kebakaran. Mudah saja diduga niat mereka. Tentu akan mcncoba-coba barangkali mereka dapat memperoleh sebuah dua buah kitab pusaka.
********************
"Tiang Bu...! siniii...!"
Teriakan dahsyat dari Tiong Jin Hwesio ini menyadarkan Tiang Bu. Bocah ini mendengar suara ji-suhunya seperti orang minta tolong. Cepat ia menutupkan kain di atas muka suhunya yang sudah mati itu dan menggerakkan tubuh, ia telah melesat cepat sekali ke arah suara itu. Untuk kedua kalinya ia merasa heran atas keringanan tubuhnya sendiri. Akan tetapi ia tidak ada tempo lagi untuk banyak berpikir akan hal ini. Ketika ia tiba di tempat itu, yaitu di belakang pondok, di situ telah terjadi pertempuran hebat.
Bagian yang terbakar adalah di sebelah kamar kitab dan kini api sudah mulai membakar gudang kitab di mana terdapat ratusan buah kitab kuno dari macam-macam pelajaran. Dan di luar tempat kebakaran itu. Di sana-sini menggeletak tubuh orang yang sudah menjadi mayat. Pek-thouw-tiauw.ong Lie Kong yang beradu punggung dengan isterinya, bertempur melawan enam orang yang tak dikenal oleh Tiang Bu. Kalau saja dua ekor burung rajawali mereka tidak membantu, tentu suami isteri ini akan terdesak hebat. Agaknya beberapa pengeroyok tadi telah tewas oleh dua cakar burung itu, terbukti adanya tanda-tanda darah pada paruh dan cakar mereka dan di dekat tempat itu tcrdapat beberapa orang yang kepalanya dan mukanya pecah-pecah penuh darah.
Di lain bagian, Ang-jiu Mo-li juga mengamuk. Tokoh utara ini mainkan pedang yan g bersinar merah, tangan kirinya juga memukul-mukul, bahkan kadang-kadan g tangan kirinya menyebar pat-kwa-ci, senjata rahasianya yang mengintai nyawa para pengeroyoknya. Ia dikeroyok oleh empat orang yang kosen juga. Tak jauh dari situ, Toat-beng Kui-bo bertempur melawan Sin Hong dan dua orang tak terkenal membantu Sin Hong mengeroyok nenek itu. Yang mengherankan hati Tiang Bu adalah orang-orang yang tidak dikenalnya yang semua berpakaian seperti orang-orang asing dan melihat pakaian mereka, mudah duga bahwa mereka itu adalah orang-orang segolongan yang entah datang diri mana.
Akan tetapi ia tidak dapat memperhatikan terlalu lama karena segera ia melihat gurunya tengah dikeroyok oleh tiga orang. Orang pertama adalah seorang tosu berkaki satu, yang luar biasa lihainya. Orang ke dua ia kenal yaitu Bu-tek Sin-ciang Bouw Gun dan orang ke tiga membuat Tiang Bu marah bukan main karena orang ini adalah Liok Kong Ji yang mengaku berjuluk Thian-te Bu-te k Taihiap mengaku pula sebagai calon bengcu seluruh dunia dan paling celaka mengaku sebagai ayahnya!
Keadaan Tiong Jiu Hwesio payah sekali Tangan kiri hwesio jangkung kurus ini memeluk tiga buah kitab dan ia menghadapi tiga orang lawannya hanya dengan sebelah tangan, namun ia terdesak hebat. Terutama sekali tosu buntung kakinya itu lihai bukan main, sedangkan Bouw Gin dan Liok Kong Ji juga bukan oran g-orang lemah. Jelas sekali bahwa Tiong Jin Hwesio sudah terluka hebat.
Tanpa membuang banyak waktu lagi, Tiang Bu mengeluarkan suara bentakan dan cepat menyerbu, membantu suhunya. Karena ia paling benci kepada Kong Ji yang mengaku-aku sebagai anaknya, Tiang Bu menyerang Kong Ji dengan memukulkan tangan kanannya ke dada orang itu.
Liok Kong Ji adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia adalah ahli ilmu-ilmu keji seperti Ilmu Pukulan Tin-san-kang (Pukulan Merobohkan Gunung) yang lihai dari Giok Seng Cu, Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) dari See-thian Tok-ong, bahkan ia paham pula Thian-bong-ciang-hoat (Ilmu Pukulan Angin Taufan) yang dipelajarinya dari Hwa I Enghiong Go Ciang Lee dahulu. Di samping ilmu-ilmu hebat ini, ia masih memiliki banyak macam ilmu silat yang lihai dan ganas.
Oleh karena itu, tentu saja ia memandang rendah kepada Tiang Bu. Akan tetapi oleh karena ia tahu bahwa bocah ini adalah puteranya, ia tentu saja tidak mau mencelakai Tiang Bu. Pukulan bocah itu diterimanya dengan tangkisan pelahan agar jangan sampai ia melukai tangan bocah itu. Akan tetapi ia kecele dan alangkah terkejutnya ketika belum juga tangan Tiang Bu mengenainya, hawa pukulan yang menyambar keluar dari tangan anak itu sudah terasa olehnya, kuat sekali. Kedua lengan bertemu!
Kong Ji mengeluarkan seruan kaget dan tak dapat ditahan lagi ia terjengkang roboh ketika Tiang Bu yang cepat sekali gerakan tangannya telah merobah serangannya yang tertangkis tadi menjadi dorongan. Dengan gemas Tiang Bu melompat mendekati dan hendak mengirim pukulan pula. Kong Ji menyesal sekali mengapa tadi ia memandang ringan bocah ini sehingga saking kurang hati-hatinya ia kena dorongan roboh. Ia melihat sinar maut di dalam pandang mata anak itu dan serangan yang datang bukan main cepatnya.
Betapapun besarnya kasih hatinya kepada anaknya yang belum mau mengakuinya itu, Kong Ji tentu saja lebih cinta kepada diri sendiri. Melihat kedatangan Tiang Bu yang melakukan serangan luar biasa, Kong Ji cepat menggerakkan kedua tangannya dan... sinar hitam yang banyak sekali meluncur memapak kedatangan tubuh Tiang Bu.
“Tiang Bu, hati-hati...!" seru Tiong Jin Hwesio kaget. Akan tetapi karena ia memecah perhatian ke arah Tiang Bu, ia berlaku lengah dan ujung tongkat dari tosu buntung itu tepat menotok iga kanannya.
"Tukk!"
Tubuh Tiong Jin Hwesio terlempar dalam keadaan masih berdiri. Hwesio jangkung kurus ini tidak roboh akan tetapi ketika kakek buntung itu melayang dan menyambar, sebuah kitab dapat terampas lawan. Sekarang tinggal dua buah kliab saja di tangan Tiong Jin Hwesio.
Namun hwesio tua ini benar-benar sakti. Biarpun ia sudah terkena totokan demikian hebat, hanya sebuah saja dapat dirampas musuh dan di lain saat ia sudah mengamuk lagi. Tangan kanannya bergerak-gerak mengeluarkan angin dan hawa pukulannya dapat menahan serangan Bouw Gun dan tosu kaki buntung.
Adapun Tiang Bu yang terancam bahaya maut oleh jarum-jarum racun hitam (Hek-tok-ciam) yang dilepaskan Kong Ji menjadi bingung. Biarpun bocah ini sudah memiliki kepandaian tinggi, namun pengalamannya masih dangkal sekali. Ia belum pernah bertempur menghadapi orang-orang lihai apalagi menghadapi se rangan senjata rahasia yang mengandung racun jahat. Melihat sinar hitam yang berbau amis itu menyerangnya, Tiang Bu hanya menggerakkan dua tangan untuk mengibasnya sambil mengerahkan tenaga. Memang hebat!
Dari kibasan kedua tangannya itu keluar hawa pukulan yang kuat sekali sehingga jarum-jarum hitam itu terkibas runtuh semua. Namun ada dua buah jarum hitam yang masih melukai tangan kirinya sebelum tersampok jatuh . Darah mengucur dari dua luka kecil ditangannya. Tiang Bu tidak menjadi gentar biarpun rasa luka-luka di tangan itu sakit dan panas sekali. ia menubruk maju dan mengirim serangan lagi selagi Kong Ji berdiri termangu-mangu. Melihat anaknya terluka Hek-tok-ciang Kong Ji menjadi khawatir juga.
"Tiang Bu, kau terluka jarumku, jang banyak bergerak...”
Akan tetapi Tiang Bu tidak perdulikan seruan ini dan segera menyerang orang yang mengaku ayahnya akan tetapi melukainya itu dengan pukulan-pukulan Tat-Mo Ciang-hoat yang ia pelajari dari Tiong Sin Hweso. Ilmu silat kuno warisan Tat Mo Couwsu, yang merupakan s ebuah dari pada sumber-sumber seluruh ilmu silat di dunia. Menghadapi ilmu silat yang aneh, kelihatan lambat namun sukar diikuti gerakan-gerakannya ini, Kong Ji menjadi bingung.
Ia tahu bahwa bocah di depannya ini biarpun memiliki kepandaian tinggi, namun dalam pertempuran masih hijau sekali, akan tetapi untuk menjatuhkan tangan maut ia merasa sayang karena bacah ini adalah anaknya sendiri. Selain itu, sejak semula telah menyelinap di dalam otaknya yang cerdik suatu niat yang dianggapnya amat baik. Tiang Bu agaknya telah mewarisi kepandaian sakti dari dua orang kakek Omei-san. Kalau kelak bocah itu mau mengakui sebagai ayah, bukankah mudah saja "mengoper" semua kepandaian itu melalui anaknya?
"Tiang Bu, kau... kau puteraku. Jangan serang aku, mari kuobati tangnnmu yan g terluka itu," katanya berulang-ulang melompat lompat mundur menghindarkan tangan Tiang Bu.
"Kau pembohong, penipu, pengecut!" Tiang Bu bukan tunduk terhadap bujukan itu bahkan menjadi marah sekali dan terus menyerang dengan gencar. Karena bingung menahan ilmu silat itu dia tahu bahwa Tiang Bu memiliki tenaga sinkang yang bukan sewajarnya Kong Ji serba susah dan menjadi bingung. Pada saat itu terdengar seruan tosu kaki butung.
"Tai ciangkun (panglima besar), sudah dapat kitab. Hayo pergi...!”
Biarpun kata-kata ini diucapkan seperti perintah, namun jelas bahwa kakek buntung menganggap Kong Ji sebagai atasannya. Kong Ji mendengar ini segera bersuit keras. Heran sekali. Semua orang yang tadi bertempur melawan Pek-thouw thiauw-ong Lie Kong, dan isterinya, juga yang mengeroyok Ang-jiu Mo-li mendengar suitan ini lalu melompat pergi dan sekejap saja pertempuran berhenti semua dan Kong Ji serta kawan-kawannya lenyap dari situ, meninggalkan kawan-kawan yang sudah tewas, membawa yang terluka bersama mereka. Tiang Bu melompat ke arah gurunya yang telah roboh dan duduk bersila di atas tanah dengan muka pucat. Gurunya masih memegang dua buah kitab dan napasnya terengab-engah. ketika meli hat bocah itu, ia berkata lemah
"Tiang Bu, yang membakar ini... Thai Gu Cinjin... kau cari dan kejar dia, rampas kitab yang dibawanya... kalau perlu bunuh dia...“
Tiang Bu melompat cepat ke arah gudang yang terbakar. Hatinya terasa perih melihat betapa kitab-kitab kuno itu telah menjadi umpan api yang tak mungkin dapat dipadamkan lagi. Kitab-kitab itu tak dapat ditolong lagi. Ia memandaog ke kanan kiri dengan beringas. Akan tetapi di situ tidak terdapat bayangan manusia, maka ia lalu melo mpat ke atas genteng pondok dan memandang t ajam kesemua jurusan.
Jauh sekali di lereng gunung ia melihat bayangan Liok Kong Ji dan kawan- kawannya. Kalau saja di antara tombongan ini tidak terdapat tosu buntung yang lihai, tentu Tiang Bu tidak akan mengenal rombongan siapa itu. Meli hat tosu buntung dan banyaknya orang-orang yang turun, ia dapat menduga bahwa itulah bayangan Liok Kong Ji dan kawan-kawannya.
“Hmmm, kalau saja suhu tidak menyuruh aku mencari Thai Gu Cinjin, tentu aku akan mengejar mereka pikirnya. Tiba tiba di sebelah kiri ia melihat bayangan orang berkelebat. Cepat ia melompat turun dan mengejar sampai di bawah puncak, di daerah batu-batu karang tidak kelihatan ada orang di situ, ia terheran-heran. Tak salah lagi penglihatannya, tadi ada dua atau tiga bayan gan orang berkelebatan mengapa sebentar saja lenyap?
Selagi ia celingukan, tiba-tiba terdengar suara orang berkelahi. Suara ini baru terdengar karena terbawa angin yang tiba-tiba bertiup ke arahnya, ia mengejar dan kiranya Giam-lo-ong Ci-Kui yang sedang bertempur itu, melawan seorang hwesio yang bertubuh gemuk bundar. Hwesio gemuk bundar itu mengeluarkan suara "hah! heh! hayaaa...!" dengan suara jenaka. Ilmu silatnyapun aneh, berloncat-loncatan seperti katak melompat. Akan tetapi sudah tentu ia bukan lawan Giam-lo-ong Ci-Kui yang mendesak hebat dengan pukulan-pukulan Hui houw-tong-ree yang ganas.
Tiang Bu mengintai dari belakang batu karang dan ia menjadi bingung siapa yang harus dibantunya. Ia tidak mengenal hwesio gemuk itu, dan tidak tahu pula mengapa mereka bertempur. Ia hanya bingung karena tidak melihat adanya Thai Gu Cinjin, ia merasa tidak perlu mencampuri urusan Giam-lo ong Ci-Kui dan hendak meninggalkan tempat itu. Tiba tiba muncul Liok-te Mo-ko Ang Bouw den Siangkong Ang Louw. Ang Bouw segera berkata.
"Suheng, tikus gemuk ini bereskan saja lekas-lekas. Semua orang sudah pergi dan biarpun kakek tua itu terluka parah, kalau dia menyusul ke sini kita bisa celaka!"
"Kalian bantulah. Anjing gemuk ini sukar sekali dipukul mampus," kata Ci Kui. Segera kedua orang sutenya menyerbu.
"Heh-heh heh, siluman-siluman hutan, majulah. Sebelum kalian mengembalikan kitab curian, aku Hwa Thian Hwesio takkan mau mengampuni kalian maling-maling hina-dina."
"Hwa Thian Hwe sio, kau ini anjing pemerintah Kin, ada sangkut paut apakah dengan urusan kami? Kitab ini bukan kitabmu, kau perduli apakah?" kata Ci Kui marah.
"Ha-ha-ha, dasar bangsat tetap bangsat. Barang siapapun juga yang kau colong, itu namanya tetap maling. Bagaimana pinceng harus mendiamkan saja? Pinceng paling anti kepada segala macam maling dan copet. Hayo kau kembalikan!”
"Suheng, habiskan saja dia ini!” seru Sin saikong Ang Louw marah sekali sambil melompat dan menyerang hwesio gemuk itu dengan cakarnya yang berbahaya.
"Ayaaa...! Ini siluman atau binatang buas?" seru Hwa Tian Hwesio sambil mengelak dengan lompatan ke kiri. Biarpun tubuhnya gemuk bundar, namun gerakannya ternyata ringan sekali. Tiap kali tubuhnya turun ke tanah, segera terpental kembali ke atas. Karena ia menarik kedua kakinya, maka ia merupakan segundukan tubuh bundar seperti bola yang selalu mental ke atas lagi tiap kali menyentuh tanah.
Betapapun gesitnya, karena yang menyerangnya adalah Pak kek Sam-kui yang lihai, dalam dua gebrakan saja cakar kuku tangan Sin-saikong Ang Louw telah mengenai pundaknya. Hwesio itu cepat miringkan pundak dan "breett!" bajunya terobek kebawah sehinggga nampak dadanya yang penuh daging dan gajih serta sedikit perut yang gendut seperti kerbau hamil.
"Eh, main rusuh...! Berkelahi ya berkelahi, masa merobek baju seperti perempuan berkelahi! Rusuh tak tahu malu!” Hwesio gendut itu marah-marah dan mengejek ketiga orang lawannya.
Diam-diam Tiang Bu menjadi geli melihat lagak hwesio gemuk itu, geli tercampur kagum karena biarpun terdesak hebat terang sekali nyawanya terancam maut, hwesio ge ndut itu masih sempat mengolok-olok para lawannya, juga Tiang Bu tergerak hatinya ketika mendengar percakapan antara mereka tadi dan sekilas pandang kearah baju Giam-lo-ong Ci-Kui, ia melihat sesuatu yang menonjol dari dalam saku baju Ci Kui. Tak salah lagi, tentu diapun mencuri sebuah kitab dari gudan g yang terbakar, pikir Tiang Bu. Segera ia melompat dan menerjang iblis jangkung itu.
Lompatan Tiang Bu seperti kilat menyambar. Empat orang itu tidak melihat ia datang dan tahu-tahu bocah ini sudah tiba di depan Ci Kui, mengirim pukulan dengan tangan kiri ke arah muka kakek itu sedangkan tangan kanan terulur ke arah jubah yang menonjol.
“Plakk... Brettt...!”
Giam lo-ong Ci Kui menangkis. Terpekik kesakitan ketika lengan tangannya patah beradu dengan lengan Tiang Bu disusul terobeknya bajunya dan kitab yang disimpan di dalam sakunya telah berada di dalam tangan Tiang Bu. Tiga orang setan utara itu menjadi bengong dan juga marah. Mereka merasa kaget dan heran menyaksikan ke hebatan bocah yang pernah menjadi murid mereka itu.
“Tiang Bu... Kembalikan kitab kami!” Seru Ang Houw dan Ang Louw yang sudah melompat menghadapi Tiang Bu.
Bocah itu menggeleng kepalanya. "Apakah kalian ikut-ikut membakar gudang kitab Omei-san?” tanyanya, suaranya perlahan dan lambat, akan tetapi di dalamnya mengandung ancaman hebat. Kalau tiga orang kakek mengaku ikut membakar, ia takkan segan-sogan lagi untuk menyerang mereka dan kalau perlu membunuh mereka.
"Tidak, kami tidak membakar... kau tanya Thai Cu Cinjin, dialah yang membakarnya bersama Tee-tok Kwan Kok Sun..." kata Ci Kui. "Akan tetapi kitab itu… kau berikanlah kepada kami, Tiang Bu."
Biarpun ia kesakitan dan marah sekali tulang lengannya sudah dipatahkan oleh bocah itu namun ia masih lebih sayang kepada kitab itu dan hendak membujuk Tiang Bu supaya suka memberikannya.
"Tak mungkin. Bahkan perbuatan kalian mencuri kitab ini saja sudah harus dihukum.”
"Keparat busuk, murid murtad. Berani kau melawan guru-gurumu?” bentak Ang Bou sambil menubruk maju.
"Aku bukan murid kalian, hanya murid paksaan. Bahkan kalian telah menculikku.” Jawab Tiang Bu tenang sambil mengolok, lalu balas menyerang.
Ang Bouw menangkis berbareng dengan datangn ya Ang Louw yang menyerang hebat. Namun seperti juga Ci Kui, begitu beradu lengan dengan bocah itu, keduanya melompat mundur dengan meringis kesakitan. Baiknya Tiang Bu yang kini sudah maklum akan kehebatan tenaga sendiri, masih ingat bahwa mereka pernah mengaku murid kepadanya maka tidak mau mengerahkan seluruh tenaga sehingga Ang Bouw dan Ang Louw tidak mengalami patah tulang lengan seperti Ci Kui. Namun cukup ketiga orang kakek ini maklum akan kelihaian Tiang Bu, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu melarikan diri menyusul rombongan Liok Kong Ji.
"Hayaaaa...! Kalau tidak kedua mataku yang lamur melihat sen diri, mana aku bisa percaya? Bocah ajaib... apakah kau penjelmaan Sin-tong Lo-cia!” tanya H wa Thian Hwesio sambil mengelus-elus perutnya yang gendut.
Lo Cia adalah seorang anak dewa yang sakti, tokoh terkenal sekali sepanjang masa dalam dongeng-dongeng Tiongkok. Karena Lo Cia adalah seorang bocah sakti (sin tong) atau bocah ajaib, maka Hwa Thian Hwesio yang melihat kelihaian Tiang Bu mengucapkan perbandingan itu. Memang sesungguhnya hwesio gandut ini kagum dan heran sekali. Selama hidupnya baru kali ini ia bertemu dengan seorang anak berusia paling banyak empat belas tahun dapat mengalahkan tiga orang tokoh iblis seperti Pak kek Sam-kui.
Sekali pandang saja Tiang Bu merasa suka kepada hwesio gendut ini. Apalagi tadi ia sudah jelas mendengar kata-kata hwesio ini yang berjiwa gagah, hendak mencegah orang membawa lari kitab Omei-san. Akan tetapi pada saat itu ia tidak mempunyai banyak waktu untuk bercakap-cakap, maka setelah tersenyum sebentar ia bertanya.
"Mohon tanya, apakah losuhu tadi melihat Thai Gu Cinjin? Kemana larinya?”
Sepasang mata Hwa Thian Hwesio yang sudah bundar besar itu kini melotot makin lebar seperti hendak meloncat keluar dari pelupuk matanya. Kalau ia terheran heran metihat bocah ini dapat mengusir Pak-kek Sam-kui, sekarang ia hampir tak percaya mendengar bocah ini bertanya tentang Thai Gu Cinjin dan seolah-olah hendak mengejarnya. Akan tetapi ia masih penasaran dan balas bertanya,
"Siauw-hiap mencari Lama Jubah Merah itu mau apakah?”
"Diapun mencuri kitab dan dia yang membakar pondok, aku harus mengejarnya dan menyeretnya kedepan suhu atau membunuhnya!" jawab Tiang Bu tanpa ragu-ragu lagi dengan suara gemas.
Baru Hwa Thian Hwesio percaya dan sepasang matanya memandang penuh kekaguman. Dapatkah ia menduga bahwa tentu anak ini adalah murid dari kedua orang kakek sakti Omei-san. Ia cepat menudingkan telunjuknya ke arah utara sambil berkata,
"Tadi pinceng melihat Thai Gu Cinjin berdua Tee-tok Kwan Kok Sun berlari ke sana, masing-masing membawa sebuah kitab. Pinceng tidak berani menghalangi mereka yang amat jahat dan lihai.”
"Sudah lamakah?" Tiang Bu cepat memandang kejurusan yang ditunjuk oleh hwesio itu.
"Sudah, tadi sebelum pinceng menghadang Pak-kek Sam-kui. Kiranya sekarang mereka sudah jauh di kaki gunung sebelah utara. Tiang Bu membanting-bantin g kaki kanannya dan hwesio yang berdiri kira-kira dua meter jauhnya dari padanya itu tiba.tiba terdorong roboh!
"Celaka... harus kuberitahukan kepada suhu. Terima kasih atas kebaikanmu, losuhu." Tiang Bu terus berkelebat kembali ke atas puncak tanpa memperdulikan hwesio gendut itu yang masih rebah di atas tanah sambil memandang kepadanya dengan mulut ternganga dan mata terbelalak.
Setelah ia tiba di dekat pondok, ternyata gudang kitab itu sudah habis terbakar di kini api sudah merembet sampai di pondok depan dan agaknya tak lama lagi seluruh pondok bekas tempat tinggal kedua orang kakek sakti itu akan mus nah menjadi abu. Hati Tiang Bu tiba-tiba menjadi perih dan untuk sejenak ia meramkan mata sambil menggigit bibir.
"Maling-maling buruk itu jahat sekali. Awaslah, kelak aku akan mencari kalian seorang demi seorang untuk diberi hajaran atas kejahatan kalian ini!” katanya perlahan. Kemudian ia menengok kearah Tiong Jin Hwesio yang masih duduk bersila. Tubuhnya tid ak bergerak-gerak, akan tetapi bayangannya bergerak-gerak di depannya karena nyala api yang membakar dibelakangnya itu bergerak.
"Suhu...!" Tiang Bo berlutut di depan gurunya, hatinya penuh haru dan duka. Tahu betapa sedihnya hati gurunya ini yang tidak saja kematian suhengnya, akan tetapi juga kehilangan kitab pusaka yang selama ini amat disayang melebihi nyawa sendiri. Kedua orang kakek itu selama ini menjaga dan melindungi kitab di dalam gudang itu seperti menjaga keselamatan sendiri dan sekarang…... sekaligus kitab-kitab peninggalan Tat Mo, Cauwsu dan Hoat Hian Couwsu itu menjadi abu.
"Suhu...!" sekali lagi Tiang Bu berbisik dengan suara serak.
Tiong Jin Hwesio menarik napas panjang, membuka mata dan di bawah sinar api itu wajahnya nampak angker sekali. Ia memandang kepada Tiang Bu dan bertanya.
"Bagaimana dengan Thai Gu Cinjin?"
"Dia sudah melarikan diri bersama seorang yang bernama Tee tok Kwan Kok Sun. Kalau suhu menghendaki, sekarang juga teecu akan mengejar mereka sampai dapat dan mengadu nyawa dengan maling maling itu,” kata Tiang Bu penuh semangat. Gurunya menghela napas dan menggeleng-geleng kepala.
"Mereka terlalu lihai. Mungkin dengan kepandaianmu dan tenaga sinkang yang diturunkan oleh suheng kepadamu kau akan mampu mengalahkan mereka, akan tetapi kau bisa celaka oleh tipu muslihat mereka. Kau belum banyak pengalaman, muridku dan kau tidak tahu betapa jahat dan kejinya orang orang di dunia kangouw. Hemmm...”
Tiba-tiba hwesio jangkung kurus ini menatap tangan muridnya. "Coba dekatkan lenganmu yang kiri!”
Ketika tangan kiri itu diulurkan dan dipe gang oleh Tiong Jin Hwesio, kakek ini berkata. “Hemm, siapa yang melukai tanganmu ini?"
"Luka tidak seberapa suhu, hanya kulitnya lecet, mengeluarkan sedikit datah. Tidak apa-apa."
"Hemm... inilah yang kumaksudkan bahwa kau masih hijau. Kau tidak tahu bahwa tanganmu ini telah terkena racun yang amat berbahaya. Sudah tentu kau mati seketika kalau saja sinkang di dalam tubuh tidak menolak hawa berbisa itu. Bagaima kau sampai terluka?”
Tiang Bu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa jarum-jarum hitam itu mengandung racun yang demikian berbahaya. "Orang bernama Liok Kong Ji itu yang melukai teecu dengan jarum-jarum gelapnya."
"Ah, Hek-tok ciam (Jarum Racun Hiram). Nih, kautelan obat ini!" kata Tiong Sin Hwesio sambil memberikan pel putih. Tiang Bu menelannya.
"Tiang Bu, dengan hawa sin-kang di tubuhmu yang sekarang sudah cukup kuat, memang kau dapat menahan racun yang tidak berapa banyak itu. Akan tetapi di dunia ini masih berkeliaran manusia-manusia macam Liok Kong Ji dan yang sudah biasa mempergunakan senjata gelap dan racun jahat. Apalagi orang yang datang bersama Thai Gu Cinjin dan bernama Tee tok Kwan Kok Sun itu, yang sudah biasa dengan racun racun ular. Belum lagi kita bicara tentang Toat beng Kui Bo dengan racun-racun kelelawar, kelabang dan lain-lain. Kau... kau berhati-hatilah, Tiang Bu karena sebentar lagi kau harus hidup sebatang kara dan harus menghadapi mereka seorang diri…”
Jantung Tiang Bu berdebar. "Apa maksudmu, suhu...?”
"Tiang Bu, tosu kaki buntung kawan Liok Kong Ji tadi amat lihai ilmu silatnya. Aku terluka hebat olehnya, takkan tortolong lagi.”
"Suhuuu...!"
"Hush, tenanglah. Manusia di dunia ini siapa yang takkan mati? Bagiku, untuk apa susah ? Aku akan menyusul suheng dan... kitab-kitab kita... Sekarang kau dengar baik-baik pesanku. Lihat, aku telah berhasil menyelamatkan dua buah kitab ini. Kitab ini bersama sebuah kitab lain yang terampas o leh tosu kaki buntung, adalah kitab-kitab paling penting dan berharga dari sekalian kitab peninggalan dua couwsu kita. Kau pelajari dua kitab ini baik-baik dan kiranya kau takkan mudah dikalahkan orang dalam ilmu silat dengan kepandaianmu asalkan berlatih baik-baik, Liok Kong Ji itu manusia jahat, jangan kau mudah dipengaruhi olehnya.”
"Satu-satunya manusia yang boleh kau percaya hanya Wan Sin Hong. Kau datanglah kepadanya dan kauminta dia membuka rahasia apakah benar kau putera Litok Kong Ji yang jahat itu. Kalau benar demikian terserah kepadamu akan tetapi pinceng ikut menyesalkan kalau benar kau putera Liok Kong Ji. Kitab-kitab di sini sebagian besar terbakar musnah lebih baik dari pada terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat. Akan tetapi selain kitab Suan hong-kiam-coan-si yang dirampas oleh tosu buntung tadi, masih ada beberapa kitab terjatuh ke dalam tangan mereka. Kalau pinceng tidak salah lihat Pak-kek Sam-kui juga telah mencuri sebuah."
"Teecu merampasnya dari tangan Giam-lo-ong Ci Kui," kata Tiang Bu yang lalu menuturkan tentang pertentuannya dengan Pak-kek Sam kui, juga tentang hwesio gendut yang bernama Hwa Thian Hwesio.
"Bagus, kau simpan juga kitab itu. Kemudian kaucari Ang-jiu Mo-li, Pek-thouw-tiauw-ong, Thai Gu Cinjin. Tee-tok Kwan Kok Sun dan tosu kaki buntung itu serta Liok K ong Ji. Mungkin mereka itu masing-masing telah membawa pergi sebuah kitab, harus kau rampas kembali.”
"Baik, suhu. Akan teccu balaskan sakit hati itu hari ini,” jawab Tiang Bu, mencatat baik-baik nama-nama itu di dalam hatinya.
"Jangan berlaku kejam. Hanya Thai Gu C injin yang membakar pondok kita. Yang lain-lain itu hanya mengambil kitab karena ingin mempelajari ilmu tinggi. Akan tetapi hatiku masih belum tenteram kalau kau tidak memiliki kepandaian dalam ilmu pengo batan seperti Wan Sin Hong. Kalau bisa, muridku, kau... kau mintalah Wan sicu mengajarmu..."
Tiba-tiba kakek itu berhenti bicara dan batuk-batuk. Tiang Bu kaget melihat suhunya itu pucat sekali dan darah menyembur keluar dari mulutnya ketika batuk-buruk hebat. "Suhu, kau istirahatlah...“ katanya.