Tangan Gledek Jilid 20
Hwesio itu menggeleng kepala, lalu berkata, suaranya lantang berpengaruh. "Thiang Bu, kau lakukan Khai-khi jiu-hiat!"
Thing Bu kaget. Biarpun hanya menduga-duga ia sudah tahu apa artinya kalau ia melakukan perintahitu. Bukan kah tadi twa-suhunya, Tiong Sin Hwesio, juga menyuruh ia Khai-khi-jiu-hiat dan kakek itu lalu memukul kepalanya dan rupa-rupanya memindahkan sin-kang ke dalam tubuhnya sampai gurunya itu sendiri mati? Apakah guru ke dua inipun bukan hendak melakukan seperti guru pentama tadi? Ia menggeleng-geleng kepalanya.
“Tidak... tidak... jangan,... suhu...” katanya gagap.
"Tiang Bu, twa-suhumu berlaku betul tepat. Kalau kau tadi tidak menerima sinkangnya, kiranya sekarang kau sudah tidak bernapas lain atau diculik oleh orang jahat. Twa-suhumu tadi sudah hampir tewas dan takkan dapat membantu menghadapi orang orang jahat. Se karang pinceng juga sudah menghadapi pintu kematian, me ngapa pin ceng harus membawa pergi sinkang yan g di dunia sana tidak akan ada gunanya l agi? Tiang Bu, biarpun sekarang ini sinkang di dalam tubuhmu tidak banyak selisihnya dengan sinkang di dalam tubuhku, namun sedikit hawa murni yang selama ini pinceng latih puluhan tahun, kiranya akan dapat menambah kekuranganmu. Hayo jangan kau membantah lagi, ini perintahku. Khai-khi jiu-hiat!"
Tiang Bu berlutut sambil menangis menggerung-gerung di depan suhunya. "Pesan ku terakhir, Tiang Bu. Selama hidupmu kau tidak boleh membawa-bawa senjata tajam, juga tidak boleh membawa-bawa senjata gelap. Kau pergunakan kaki tanganmu untuk melindungi diri dan segala apa yang berada di dekat mu boleh kau pergunakan sementara kau memerlukannya. Akan tetapi senjata, itu pantang benar." Lapat-lapat terdengar suara Tiong-Jin Hwesio, disusul perintah lagi. "Sekarang, Khai-khi jiu-hiat!"
Tiang Bu sang amat patuh akan perintah suhunya, tidak berani membantah. Dengan hati dan perasaan hancur ia melakukan perintah suhunya berlutut. Tiong Jin Hwesio sambil tetap duduk bersila lalu mengangkat tangan kanan dan seperti dilakukan oleh Tiong Sin Hwesio tadi, ia memukul kepala muridnya dengan pengerahan seluruh hawa sinkangnya,yang dipaksa keluar dari jari-jari tangannya memasuki tubuh muridnya!
Tadi ketika menerima hawa sinkang dari twa-suhunya, kontan keras Tiang Bu terjungkal dan berkelojotan tak ingat orang. Akan tetapi sekarang lain lagi ke adaannya. Di dalam tubuhnya telah mengalir hawa sinkang yang biarpun belum dapat ia gerakkan secara tepat karena belum terlatih namun sudah memiliki tenaga otomatis yang menolak penyerangan dari luar.
Oleh karena itu, biarpun sebagian dari pada tenaga sinkang yang dilancarkan oleh pukulan Tiong Jin Hwesio dapat memasuki tubuhnya, namun sebagian pula terpental kembali membuat Tiong Jin Hwesio terpelanting roboh dan tewas di saat itu juga. Ada pun Tiang Bu juga terpental dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, akan tetapi ia hanya merasa dada dan perutnya panas seperti orang baru menenggak secawan besar arak keras, ia segera dapat melompat berdiri dan menubruk suhunya yang ternyata telah meninggal dunia.
Dengan hati sedih dan terharu sekali, Tiang Bu lalu mengurus jenazah kedua orang suhunya itu, dikuburnya di tempat yang baik di dekat pondok yang sekarang sudah padam apinya dan menjadi tumpukan puing. Setelah berlutut berjam-jam di depan gundukan kuburan kedua orang suhunya, Tiang Bu ia berdiri dan bagaikan patung ia memandang mayat orang-orang yang masih malang melintang di tempat itu.
Ada tujuh mayat yang tak dikenalnya siapa orangnya, hatinya gemas karena ia maklum bahwa tujuh orang itu adalah mayat dari kawan-kawan Liok Kong Ji yang agaknya tewas ketika memperebutkan kitab-kitab dengan tokoh tokoh seperti Ang-jiu Mo-li dan Lie Kong.
Akan tetapi, kegemasan itu dikalahkan oleh bisikan h ati nuraninya yang mengumandangkan ajaran-ajaran dua kakek sakti Omei-san tentang pribadi dan kebajikan. Akhirnya, ia menggali lubang di suatu tempat dan mengubur mayat-mayat itu secara baik.
Setelah sekali lagi berlutut sampai lama sambil mengheningkan cipta untuk menghormati makam dua orang suhunya, Tiang Bu lalu turun gunung sambil membawa tiga buah kitab. Dua kitab dari suhunya tadi adalah Seng-thian-to (Jalan Naik ke Sorga) dan Thian-to Si keng (Kitab Sajak Bumi Langit). Tiang Bu terheran sendiri mengapa dua kitab yang judulnya aneh ini dianggap terpenting oleh suhunya. padahal isi dua kitab Seng-thian to itu adalah petunjuk ilmu kebatinan dan Thian-te Si-keng terisi sajak-sajak dan syair-syair melulu.
Akan tetapi ini hanya pandangan sepintas lalu saja dan Tiang Bu belum sempat mempelajari secara mendalam. Adapun kitab yang dirampasnya dari Giam-lo-ong Ci Kui tadi berjudul Kiang-liong-kun-hoat (lImu Silat Naga Tangguh).
Demikianlah, sambil membawa tiga buah kitab ini Tiang Bu mulai turun gunung menempuh jalan hidup baru. Cita-citanya, pertama-tama hendak mencari Wan Sin Hong untuk bertanya tentang rahasia hidupnya. Ia akan bertanya secara baik-baik atau memaksa. Pcndeknya. Wan Sin Hong harus bicara terus terang kepadanya siapa sebenarnya ayah bundanya dan me ngapa orang yang bernama Liok K ong Ji itu mengaku-aku sebagai ayahnya.
Selagi ia berjalan perlahan menuruni puncak ia mendengar suara orang batuk-batuk. Tiang Bu memang tidak menggunakan ilmu lari cepat karena sesungguhnya hatinya berat sekali meninggalkan puncak Omei-San dimana ia telah tinggal lima enam tahun lamanya. Cepat ia menengok dan kelihatanlah tubuh gemuk bulat menggelinding keluar dari balik batu karang. Agaknya Hwa Thian Hwesio yang bertubuh gendut itu tadi telah melepaskan lelah di balik batu karang. Wajah yang gemuk itu tersenyum lebar ketika ia melihat Tiang Bu.
"Eh, kiranya siauwhiap. Hendak kemanakah? Harap sebelum pergi kau suka menolong pinceng lebih dulu."
"Losuhu, kau berada di puncak Omei-san ada perlu apakah?” tiba-tiba Tiang Bu bertanya penuh curiga. Semenjak datang orang-orang yang telah mendatangkan mala petaka hatinya selalu curiga kepada siapapun juga.
"Pinceng sengaja datang untuk menghadap Jiwi locianpwe di puncak Omei-san. Bukan saja karena pinceng sudah lama kagum sekali kepada Jiwi-locianpwe itu, juga kedatangan pinceng ini diutus oleh Pangeran Wanyen Ci-Lun di kota raja, kerajaan Kin di utara. Kulihat siauw-sicu ini tentulah murid dari Jiwi locianpwe di sini, maka mohon sudilah siauw-hiap melaporkan kedatangan pinceng untuk menghadap.”
Tiang Bu memandang tajam, keningnya berkerut. Kalau ia tidak salah ingat, yang bernama Pangeran Wanyen Ci Lun adalah Pangeran di Negara Kin yang mukanya hampir sama dengan Wan Sin Hong dan yang pernah menolongnya dari serangan Pak-kek Sam kui dahulu. Apakah niat pangeran itu mengutus seorang hwesio mene mui kedua orang gurunya
"Losuhu hendak menghadap dua orang guruku? Boleh, mari ikut!" pemuda cilik ini membalikkan tubuh dan berjalan naik kepuncak lagi. Dengan wajah tersenyum lebar Hwa Thi an Hwesio mengulur langkah mengikuti Tiang Bu.
Akan tetapi alangkah heran hati hwesio itu ketika Tiang Bu mengajaknya berhenti didepan dua makam yang masih amat baru yang berada di dekat tumpukan puing.
"Losuhu. kau sudah menghadap kedua guruku. Lekas kau beritahukan apa maksud kedatanganmu dan apa kehendakmu datang ka tempat ini.”
"Omitohud... jadi... jadi jiwi locianpwe telah... telah meninggal dunia...?" katanya gagap.
“Akan tetapi kau sudah kubawa menghadap, Biarpun dua orang guruku sudah meninggal dunia, namun ada aku wakilnya yang dapat mendengar apa maksud kedatanganmu !” kata Tiang Bu suaranya keren.
Hwesio gendut itu melirik ke arah Tiang Bu, kagum dan juga heran. Melihat betapa bocah berusia tiga empat belas tahun itu bersikap gagah biarpun pakaiann ya ro bek-robek dan dandanannya sederhana sekali, benar-benar ia merasa kagum. Apalagi sepasang mata bocah itu yang membuat Hwa Thian Hwesio diam-diam berpikir bahwa anak ini kelak akan lebih hebat dari Wan Sin Hong pen dekar yang ia kagumi.
"Hayo katakan apa maksud kedatangan di depan makam suhu-suhuku, kalau tidak akan berubah pandanganku kepadamu, losuhu. Tadin ya kau kuanggap satu-satunya di antara orang yang baru-baru ini banyak datang ke sini, satu-satunya yang dapat dipercaya dan bukan maling kitab. Akan tetapi kalau kau tidak mau mengaku apa maksud kedatargan mungkin akan berubah pandanganku itu."
Hwa Thian Hwesio menarik napas panjang. Lebih dulu ia memberi hormat di depan makam itu, lalu ia menghadapi Tiang Bu. "Siauw-sicu, ketahuilah bahwa pinceng adalah utusan Pangeran Wanyen Ci Lun. Pinceng disuruh menghadap Jiwi locianpwe di Omei-san untuk mohon bantuan mereka. Pada waktu ini, Negara kita di utara sedang terancam bahaya besar, bahaya penyerbuan bangsa Mongol yang dirajai oleh Temu Cin dan dibantu oleh orang-orang pandai dan jahat seperti Liok Kong Ji, Pak-kek Sam kui, dan lain-lain. Oleh karena itu demi menjaga keselamatan rakyat apabila bangsa Mongol menyerbu, Pangeran Wanyen Ci Lun atas nama kaisar Kerajaan mohon bantuan Jiwi-locianpwe di sini. Sudi kiranya untuk sementara tinggal di istana dan melatih ilmu silat kepada panglima-panglima Kerajaan Kin. Demikianlah tugas pinceng, tidak tahunya Jiwi locianpwe meninggal dunia."
Tiang Bu mengerutkan kening. Ia tidak begitu tahu tentang keadaan kerajaan dan negara juga tidak perduli. Akan tetapi dise butnya Liok Kong Ji sebagai pe mbantu kaisar bangsa Mongol mengingatkan dia akim pengalaman-pengalamannya ketika dahulu ia dibawa melalui perbatasan utara ke daerah orang Mongol oleh Pak-kek Sam-kui. Hatinya makin timbul kebenciannya tcrhadap orang yang bernama Liok Kong Ji itu. Inilah serangan macamnya orang yang oleh suhunya dianggap penghianat baugsa, penjahat yang paling rendah di permukaan bumi. Tiong Sin Hwesio dahulu pernah berkata kepadanya bahwa penjahat yang paling hina dina dan harus dibasmi di dunia ini adalah Penghianat bangsa itu orang yang membantu musuh negara serta orang semacam Liok Korg Ji.
Kong Ji seorang bangsa Han, mengapa membantu bangsa Mongol musuh negara? Getir dan pahit rasa hati Tiang Bu kalau ia ingat akan kemungkinan bahwa orang macam ini menjadi ayahnya.
"Kedatanganmu percuma saja, losuhu." jawabnya. suaranya dingin. "Andaikata kedua orang suhuku masih hidup. Juga takkan ada gunanya. Di waktu hidupnya, kedua orang guruku adalah orang-orang yang menyucikan diri, tidak mau memusingkan urusan dunia bagaimana beliau dapat diajak ke istana kaisar ? Pula, kedua orang guruku patriot-patriot sejati, bagaimana bisa diajak membantu Kerajaan Kin? Tidak, kedatanganmu s ia-sia belaka, losuhu.”
Biarpun orangnya suka melawak dan tingkah lakunya kadang-kadang lucu. Hwa Thian Hwesio adalah seorang yang cerdik. Ia, dapat menduga bahwa satu-satunya orang yang telah mewarisi ilmu kepandaian hebat dari dua orang kakek sakti di Omei-sun hanyalah bocah ini.
"Siauw-sicu, salah duga. Biarpun daerah utara dipimpin oleh Kerajaan Kin, namun mereka itu tidak ada bedanya dengan kita orang-orang Han. Buktinya, banyak orang-orang pandai seperti Wan-sicu dan lain-lain membantu Kerajaan Kin Bahkan Ang-jiu Sian li juga membantu menjadi guru di sana. Sedangkan orang-orang Mongol merupakan pengaruh asing yang hendak menjajah kita dan pasti rakyat akan menderita kalau mereka sampai menyerbu ke selatan, maka membantu memperkuat kedudukan Kerajaan Kin diperbatasan utara sama halnya dengan membantu negara dan menyelamatkan rakyat, kewajiban utama bagi para patriot. Oleh karena itu, sauw-sicu sendiri tentu saja sebagai seorang patriot muda, sudah berkewajiban untuk membela rakyat Han yang tinggal di utara dan terancam maut di tangan para serdadu Mongol."
Hati Tiang Bu tergerak. "Bagaimana nanti sajalah. Toh sekarang orang-orang Mongol belum menyerbu dan pula orang seperti aku ini yang bodoh dan tidak tahu apa.apa, sungguh bingung memikirkan tentang perang dan sebagainya. Aku masih mempunyai banyak tugas dari mendiang suhu-suhuku untuk kulaksanakan." "Memang kau belum mengerti tentang semua itu, siauw sicu. Sayang sekali Wan sicu telah pergi, kalau tidak tentu dia dapat menjelaskan kepadamu. Ah, entah bagaimana dengan nasib, Wan.sicu tadi..."
Kata-kata tentang Wan Sin Hong yang tak disengaja ini menarik hati Tiang Bu. Memang ia sedang mencari Wan Sin Hong dan tidak tahu harus mencari di mana. “Di manakah adanya Wan Sin Hong?" tanyanya sambil lalu, akan tetapi sebetulnya penuh perhatian. Memang Tiang Bu biar masih kecil sudah memiliki kecerdikan.
“Entah di mana. Tadi pinceng melihat bertempur dengan Toat-beng Kui-bo nenek mengerikan itu. Kemudian nenek itupun menyerbu gudang kitab dan mencuri sebuah kitab, tetapi dikejar dan diserang oleh Wan-sicu yang hendak memaksa nenek itu mengembalikan isterinya yang dirampas oleh nenek dari tangan Liok Kong Ji. Akan tetapi agaknya Wan-sicu biarpun lihai sekali belum dapat menangkan nenek itu. Akhirnya pince ng yang bersembunyi di balik batu karang, melihat nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil berseru kepada Wan-sicu bahwa kalau Wan-sicu hendak mencari isterinya, supaya menyusulnya ke Ban-mo tong (Gua Selaksa Iblis) di tepi pantai Laut Selatan."
"Lalu bagaimana?” tanya Tiang Bu, kini amat tertarik.
"Nenek itu lari cepat sekali, dikejar-kejar oleh Wan-bengcu. Entah bagaimana jadinya. Akan tetapi melihat gerakan nenek itu, pinceng menduga kiranya Wan-bengcu takkan dapat menyusulnya."
Tiang Bu diam tejenak berpikir. "Losuhu yang baik, kelak kalau sudah selesai tugasku tentu kita akan bertemu lagi di kota raja Kerajaan Kin. Kita sama lihat saja kelak, apakah aku perlu membantumu. Sekarang bolehkah aku bertanya di mana adanya Ban mo-tong itu?"
"Siauw-sicu hendak menyusul ke sana?” tanya hwesio itu membelalakkan mata. Tiang Bu mengangguk. 'Dia membawa kitab, aku harus memintanya kembali,” katanya dingin.
Hwa Thian Hwesio menggerak gerakkan kepala yang bundar itu ke atas ke bawah beberapa kali. "Siauw-sicu pandai, memang baik berbakti kepada guru biarpun guru sudah meninggal dunia. Siauw-sicu pergilah ke selatan, ke Propinsi Kiangsi yang berbatasan dengan Hokkian, carilah Pegunungan Wuyi-san dan Tai-yun-san dan di antara dua pegunungan itu pergilah terus ke selatan sampai bertemu dengan laut. Di daerah situlah kalau tidak salah letaknya Ban-mo-tong. Akan tetapi harap siauw-sicu berhati-hati karena daerah itu amat berbahaya."
Tiang Bu menghaturkan terima kasih lalu cepat mempergunakan kepandaiannya, dalam sekejap mata saja ia lenyap dari depan Hwa Thian Hwesio yang berdiri melongo. Ginkang bocah itu malah lebih hebat dari Wan-bengcu pikirnya. Kemudian iapun turun gunung. Pagunungan Wu-yi-san da Tai-yun-san terletak di bagian paling selatan dari daratan Tiongkok yan g luas. Untuk mencapai daerah ini, Tiang Bu telah melalui perjalanan beberapa bulan lamanya menjelajah daerah-daerah yang amat asing baginya menempuh bahaya-bahaya besar dalam perjalanan. Akan tetapi berkat kepandaiannya yang tinggi dan kekuatan tubuhnya yang luar biasa semua rintangan dapat diatasinya dan pada suatu hari kelihatan pemuda cilik ini dengan tenangnya berjalan masuk hutan keluar hutan yang tumbuh di lereng gunung di antara Pegunungan Wu-yin-san dan Tai-yun-san itu.
Biarpun usia Tiang Bu baru kurang lebih empat atau lima belas tahun, namun benar-benar mengherankan sekali, setelah ia mewarisi sinkang yang hebat dari dua orang suhunya, tubuhnya mengalami perubahan cepat. Pertumbuhan badannya mengagetkan sekali, membuat ia dalam usia itu kelihatan seperti seorang laki-laki dewasa. Bahkan wajahnya yang membayangkan kejujuran itu kelihatan "matang” hilang sifat kekanak-kanakannya. Tiang Bu memang rajin bukan main. Selama melakukan perjalanan, tiada hentinya ia membuka-buka tiga buah kitab yang di bawanya untuk dipelajari.
Kitab yang mengandung pelajaran silat Kiang liong-kun-hwat dibuka-buka sebentar saja karena Ilmu Silat Naga Tangguh yang termuat di situ tidak begitu berarti baginya. Dia telah pula mempelajari ilmu-ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada Kiang liong-kun-hwat ini dari dua orang suhunya. Akan tetapi dua kitab lainnya yang tadinya sukar ia mengerti dan yang mengherankan hatinya mengapa justru dua kitab ini yang dibela mati-matian oleh suhunya, sekarang amat menarik hatinya.
Setelah ia teliti secara mendalam, ia menjadi girang bukan main karena ilmu-ilmu yang luar biasa sekali bersembunyi di dalam dua kitab ini. Kitab Seng-thian to (Jalan Naik ke Surga) mengandung pelajaran samadhi tingkat tertinggi. Biasanya, pelajaran siulian atau samadhi sudah mencapai tingkat paling tinggi apabila orang dapat mengheningkan cipta mengumpulkan segala panca-indra sampai lupa diri atau yang disebut "mati dalam hidup" atau "tidur dalam kesadaran".
Akan tetapi ilmu Seng thian-to ini mengajar cara bersamadhi lebih tinggi lagi sehingga orang mencapai persatuan dengan jalannya pernapasan dan peredaran darah. Apabila ilmu ini sudah dilatih baik-baik, maka orang itu akan dapat mengikuti dan menguasai jalannya pernapasan dan darah di dalam tubuh dan ini merupa sinkang yang tertinggi juga khikang yang tak dapat diukur lagi tingkatnya karena orang akan dapat mempergunakan hawa didalam tubuh sesuka hatinya.
Dengan kekuatan hawa ini orang akan dapat membikin semua bagian tubuh menjadi kebal, karena tidak ada kekuatan dan kekerasan di dunia ini yang dapat melebihi hawa. Adapun kitab yang ke dua, yaitu Thian-te Sikeng (Kitab Sejak Bumi Langit) itu biarpun kalau dibuka lembarannya hanya akan berisi sajak dan syair melulu, namun di situ tercakup rahasia alam tentang bumi dan langit. Inilah sari pelajaran yang tidak saja membuka rahasia tentang Im dan Yang, termasuk sifat dan kekuatan Ngo heng yang menjadi lima sifat bumi langit.
Setiap sajak yang termuat dalam Thian-te Sike ng ini dengan sendirinya merupakan semacam imbangan yang dapat dirangkaikan menjadi semacam ilmu silat yang luar biasa. Tiang Bu yang memiliki kecerdikan luar biasa tentu saja segera dapat membentuk atau mencipta bermacam-macam ilmu silat dari pada sajak-sajak ini. Tentu saja ia menjadi girang luar biasa dan kemajuan ilmu kepandaiannya meningkat secara kilat.
Selagi Tiang Bu berlari-lari keluar dari hutan untuk memasuki hutan berikutnya yang amat besar, tiba-tiba ia mendengar suara keras orang menebang po hon. Suara orang menebang pohon bukanlah ane h, karena kiranya setiap orang tentu sudah pernah men dengar bunyi kapak membacok batang pohon yang berbunyi “crok, crok, crok...” dengan irama me nentu dan tiada he nti hentinya. Akan tatapi pendengaran Tiang Bu sudah menjadi luar biasa sekali setelah ia melatih diri dengan ilmu Se ng-thian-to, maka ia mendengar sesuatu yang tidak sewajarnya dengan penebangan ini. Saking tertarik, ia menghent ikan larinya dan mendengarkan lebih teliti.
"Crok crak-cruk… bruuuukk...!" demikian terdengar suara jauh di sebelah kirinya. Belum juga habis gema suara ini, terutama suara terakhir yang diikuti oleh getaran tanah, tahu-tahu di sebelah belakangnya sudah terdengar lagi, "Crok-crak-cruk... bruuuk...!" Cepat Tiang Bu menengok kebelakang dan... eh... lagi-lagi terdengar suara yang sama, kini dari sebelah kanannya. “Crok-cruk... cruk... bruuuuk...!"
"Hebat," pikirnya sambil cepat-cepat mempergunakun ginkangn ya me lompat ke kanan, ke arah suara terakhir itu. Mana ada cara menebang pohon secepat itu?
Ketika mengejar ke kanan tadi Tiang Bu sudah mempergunaken ilmunya yang hebat yaitu Liap-in-sut (Ilmu Mengejar Awan), cepatnya bukan main. Akan tetapi tetap saja terlambat karena ketika ia tiba di tempat suara tadi, ia hanya melihat se batang pohon siong besar sekali telah tumbang dan melihat daun-daunnya masih bergoyang-goyang menandakan bahwa pohon itu baru saja tumbang. Dan saat itu, jauh di depan sudah mulai lagi terdengar suara yang sama, suara orang menebang pohon besar hanya dengan tiga kali bacokan.
"Hebat!" Tanpa membuang waktu lagi Tiang Bu melompat, kali ini ia menggunakan ilmunya melompat, yang disebut Sam-teng-jig thian (Tipa Kali Lari Melompat Memasuki Langit)! Ilmu ini luar biasa hebatnya sehingga tubuh pemuda itu lenyap dan tak dapat diikuti lagi dengan pandan gan mata saking cepatnya gerakannya. Satu kali lompatan ia bisa mencapai jarak belasan sampai dua puluh tombak.
Kali ini Tiang Bu tidak terlambat dan dapat melihat seorang laki berusia kurang lebih empat puluh tahun sedang menebang pohon besar. Laki-laki ini hebat sekali. Tubutnya tinggi besar, jenggot dan kumis pendek kasar, mukanya segi empat, dan telinganya lebar. Karena ia bekerja dengan tubuh atas telanjang, nampak dadanya yan g bidang peruh otot-otot besar. Demikian pula sepasang lengannya penuh otot-otot yang melingkar, celananya sampai sebatas lutut, berwarna hitam. Kapak yang dipergunakan juga luar biasa. Besar dan matanya lebar, tajam bukan kepalang tajam sampai gemerlapan terkena sinar matahari. Orang itu bekerja dengan tubuh penuh peluh. Dengan ge rakan tegap, kapak diayun ke arah batang pohon siong yang besarnya dua kali tubuh orang.
"Crok-crak cruk..." Tiga kali ayunan saja batang pohon itu roboh dan tumbang, mengeluarkan suara "brukkk!" dan tergetarlah pohon-pohon disekelilingnya.
Begitu pohon itu roboh, orang itu lalu berlari cepat sekali ke depan, kepalanya menengok ke kanan kiri memilih pohon lain. Begitu mendapatkan pohon yang dike hendaki, ia berhenti dan kembali mengayun kapaknya!
"Sahabat gagah, harap berhenti dulu. Siauwte ingin bicara...!"
Tiang Bu cepat melompat mengejar dan mengangkat tangan mengajak bicara, Akan tetapi orang itu mengerlingpun tidak, terus melanjutkan pekerjaannya, mengayun kapaknya. Tiang Bu memperhatikan. Kapak itu mula-mula mengh antam dari kanan agak miring atau menyerong dari atas ke bawah, lalu ayunan kedua kali dari kiri ke kanan kemudian yang ke tiga kalinya kembali dari kanan, akan tetapi kali ini gerakannya lurus menabas. Dan kembali sebatang pohon baru tumbang. Kemudian orang itu lari lagi.
"Hee, sahabat tukang kayu ! Be rhenti dulu sebentar!" Kembali Tiang Bu berseru keras. Namun orang itu tetap tidak perduli, terus saja lari ke depan sambil memilih pohon dengan pandang matanya kemudian berdiri de kat pohon yang terpilih dan mengayun kapak.
"Sahabat baik, siauwte Tiang Bu mohon bicara sebentar...!" kata Tiang Bu lagi, ia berdiri di depan orang tinggi besar ini. Namun ia dianggap seperti lalat saja oleh orang luar biasa itu.
Tiang Bu mendongkol. Terlalu memandang rendah orang ini, pikirnya. Aku harus memperlihatkan sedikit kepandaian. Tanpa berkata apa-apa lagi ia lalu menggunakan gin kangnya melompat ke atas menyambar ujung cabang yang cukup besar dari pohon yang ditebang itu, dan duduklah Tiang Bu di dalam pohon yang berdekatan sambil memegangi cabang pohon yang ditebang. Pe muda ini t adi sudah memperhatikan betapa pohon yang ditebang oleh penebang aneh itu, robohnya kekiri, oleh karena itu ia sengaja duduk di atas pohon sebelah kanan pohon yang ditebang itu.
“Crok-crak crok...!
Tiga kali ayunan dahsyat itu dilakukan dan batang pohon yang besar itu telah terbacok dalam sekali dan hanya tinggal sedikit hati kayu saja yang masih menahan. Biasanya sedikit tahanan ini tid ak kuat menahan batang itu berdiri dan tentu segera tumbang akan tetapi kali ini tidak demikian. Barang pobon yang sudah kena sambaran kapak sampai tiga kali itu tidak roboh. Masih be rdiri tegak bagaikan raksasa yang tidak merasakan hantaman kapak.
Penebang kayu itu mengerutkan keningnya yang lebar, mengusap muka yang penuh peluh itu, lalu memandang keatas. Segera ia dapat melihat seorang pemuda tegap, berhidung pesek berbibir tebal dan berkulit hitam sedang duduk diatas cabang pohon yang berdekatan sambil memegangi ujung cabang pohon yang ditebangnya!
Pantas saja pohon ini tak mau roboh, pikirnya, kiranya ada orang yang sengaja menahan dengan memegang cabangnya. Dengan tak acuh penebang pohon itu mendupak pohon di depannya. Pohon berguncang keras, namun tetap tidak tumbang!
Mulailah penebang pohon itu menaruh sedikit perhatian kepada Tiang Bu. Ia maklum bahwa untuk menahan sebatang pohon roboh dengan memegangi cabangnya saja bukanlah pekerjaan sukar, karena memang daya berat pohon itu berada di bawah, di atasnya ringan sekali. Seorang bocah saja kiranya akan mampu melakukan hal itu. Akan tetapi tadi ia sudah mendorong pohon dengan kakinya dan bocah di atas itu sanggup mempertahankan, tentu memiliki sedikit tenaga.
“Monyet cari perkara, rasakanlah!”
Tiba-tba penebang pohon itu berkata dengan suaranya yang keras dan tiba-tiba ia menendang pohon itu bukan ke kiri, melainkan ke kanan! Ia sengaja membalik arah robohnya pohon sehingga bagi pemuda itu tidak ada jalan lain lagi untuk menahan, bahkan akan tartimpa oleh pohon itu!
Akan tetapi, aneh di atas aneh, pohon yang didupak oleh kakinya yang sedikitnya bertenaga lima ratus kati itu, tetap saja tidak roboh sungguhpun sudah bergoyang-goyang dan daunnya pada rontok! Kali ini penebang kayu itu tertegun sejenak. Menarik cabang untuk menahan robohnya pohon bukan hal mengherankan akan te tapi menahan robohnya pohon ke arahnya dengan jalan mendorong caban g itu, benar benar mustahil! Namun benar-benar telah dilakukan oleh pemuda itu.
"Anak muda, turunlah. Kau cukup berharga untuk orang meninggalkan pekerjaannya dan melayanimu."
"Ha, akhirnya kau mau juga bicara, lopek!" seru Tiang Bu dengan girang dan sekarang pcmuda ini melepaskan pegangannya pada ujung cabang sambilmelompat ke bawah, pohon itupun tumbanglah, menerbitkan suara hiruk pikuk. Dengan gerakan ringan Tiang Bu melayang ke depan penebang pohon itu dan ia sudah menjura dengan hormat sebelum penebang itu hilang kaget dan herannya menyaksikan cara Tiang Bu melayang turun benar-benar merupakan gerakan yang jarang ia jumpai. Pemuda itu tadi telah melayang diantara cabang-cabang dan ranting-ranting pohon raksasa yang sedang tumbang menimpanya, benar-benar gesit melebihi seekor burung kecil.
Penebang kayu itu memandang kepada Tiang Bu dengan tajam dan penuh perhatian peluhnya deleweran dari leher dan dadanya. Kemudian ia berkata. "Kau yang semuda ini sudah memiliki tenaga luar biasa, siapakah kau dan mengapa kau menggan ggu pekerjaanku?”
Sambil tersenyum ramah dan bersikap hormat- Tiang Bu menjawab, "Harap maafkan lopek. Aku Tiang Bu dan bukan maksud mengganggu pekerjaan lopek. Aku merasa amat tertarik dan kagum sekali menyaksikan cara lopek menebang kayu yang menunjukkan bah wa lopek adalah seorang berilmu tinggi. Mohon tanya siapakah nama lopek yang terhormat dan mengapa lopek menebangi kayu-kayu pohon yang besar besar ini?”
Penebang itu menggerak-gerakkan alisnya yang hitam dan tebal. "Hemm, apa sih anehnya menebang kayu, dan lebih-lebih lagi apa sih anehnya seorang penebang kayu? Kerjaku menebangi kayu-kayu yang tua dan dan baik, kukapak menjadi kayu-kayu balok dan kujual kepada pedagang kayu. Apa anehnya dalam hal itu? Kau bilang aku memiliki kepandaian luar biasa dan berilmu, tentu saja. Kepandaianku ialah menebang kayu dan ilmuku tentu saja cara mempergunakan kapak menumbangkan pohon. Apa anehnya dalam hal ini? Orang muda jadikanlah hal ini sebagai pegangan olehmu bahwa di dunia ini memang terdapat banyak sekali macam ilmu, setiap orang lain lagi ilmunya. Ilmu apakah yang boleh dibanggakan? Kau boleh memiliki lweekang dan ginkang istimewa, akan tetapi dalam hal menebang kayu, kiranya kau harus belajar dulu kepadaku! Juga terhadap ahli silat lain seperti aku ini, kau tentu akan kalah. Apa anehnya dalam hal itu? Seorang ahli tentu saja mudah mengerjakan pekerjaan keahliannya, ini sudah lumrah."
Tiang Bu menjura dengan lebih hormat setelah mendengar kata-kata ini. Ia tahu bahwa dibalik kesederhanaan gerak-gerik dan kata-katanya ini, ia berhadapan dengan seorang yang pandai. “Lopek, hari ini aku Tiang Bu yang muda dan bodoh telah bertemu dengun lopek dan menerima pelajaran, sungguh merupakan hari yang amat beruntung bagiku. Mohon tanya namamu yang mulia agar tak mudah kulupakan."
"Eh, orang muda, apakah tadi kau menghentikan pekerjaanku hanya untuk bertanya nama belaka?" tiba-tiba orang itu membentak kelihatan marah.
Diam-diam Tiang Bu merasa terkejut akan sikap orang yang amat aneh. Tak disangkan ya bahwa di bagian selatan, ditempat yang sunyi ini terdapat orang seaneh ini. Ia tidak berani membohong dan segera berkata terus terang.
"Sesungguhnya, lopek. Selain merasa tertarik dan kagum sehingga aku ingin sekali mengenal dan mengetahui nama lopek, juga ada sedikit urusan yang ingin aku mendapat bantuanmu. Aku sedang mencari pantai dimana terdapat gua-gua yang disebut Ban-mo-to. Dapatkah kau menunjukkan di mana tempat itu dan jalan mana yang harus kuambil untuk menuju kesana?"
Tiba-tiba orang itu memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, untuk sementara tak dapat menjawab. "Kau... kau hendak pergi ke Ban mo-tong...?” akhirnya ia dapat bertanya gagap. Tiang Bu mengangguk dan pada saat itu terdengar suara nyaring.
"Thia thia (ayah), mengapa kau berhenti menebang?" Suara ini nyaring sekali dan tak lama kemudian dari selatan datang berlari-lari seorang gadis berpakaian serba hijau. Gadis ini cepat sekali larinya, pakaiannya berkibar ketika ia lari membuat ia kelihatan seperti seekor kupu besar. Tangannya memegang sepasang kapak kecil di kanan kiri dan tiap kali ia tiba di dekat pohon yang sudah ditumbangkan oleh ayahnya, ia menggerakkan kedua kapak itu cepat sekali dan tubuhnya melompat ke sana ke mari disekitar pohon itu.
Gerakannya tangkas dan gesit seperti burung walet menyambar-nyambar, dan sebentar saja pohon yang telah tumbang itu telah digunduli, semua cabang dan ranting berikut daun-daunnya telah habis dibacok kapak, tinggal batang pohonnya saja yang kini telah merupakan balok besar panjang. Kalau cara mane bang pohon dari perebang tadi sudah luar biasa, maka cara membersihkan cabang ranting dan daun ini tidak kalah hebatnya. Pekerjaan yang kiranya oleh dua orang laki-laki biasa akan dilakukan setengah hari, oleh gadis baju hijau itu hanya dilakukan dalam beberapa menit saja!
Setelah memandang ke arah puterinya yang bekerja itu dengan puas dan mulut tersenyum si pene bang pohon lalu menjawab pertanyaan tadi. "Pemuda ini yang menghentikan pekerjaanku. Kau ke sinilah, Fei Lan!”
Karena pohon yang ditebang oleh ayahnya sudah dibersihkanya semua, gadis itu lalu berlari-lari ke tempat ayahnya. Dari jauh ia sudah memandang ke arah Tiang Bu dengan penuh perhatian. Akan terapi setelah tiba di situ ia membuang muka dan berkata kepada ayahnya
"Ayah, bocah seperti ini bagaimana sampai bisa menghentikan pekerjaanmu?" Memang sudah sepatutnya kalau Fei Lan terheran-heran karena ia tahu betul bahwa biasanya kalau ayahnya sudah mulai bekerja jangankan manusia, biarpun alam yang mendatangkan hujan angin besar, tidak mampu menghentikan ayahnya dan pekerjaannya. Bagaimana sekarang seorang manusia biasa saja dapat melakukan hal itu?
“A-Lan, jangan kau memandang ringan kepadanya," kata penebang pohon itu sambil tersenyum penuh arti, "semuda ini ia telah memiliki kepandaian tinggi. Kiranya inilah orang yang kau nanti-nantikan. Kalau kau setuju hemmm... aku akan girang sekali menjadi mertuanya!"
Mendengar ucapan ayahnya, sepasang pipi gadis itu menjadi merah sekali. Namun dengan tabah ia memutar tubuh menghadapi Tiang Bu dan sepasang matanya memandangi pemuda itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Terdengar ia menarik napas panjang lalu berkata, "Hemmm, kau tak dapat dikatakan tampan...”
Tiang Bu sejak tadi sudah memperhatikan gadis baju hijau yang berdiri tegak di depannya itu. Gadis ini usianya tentu tak kurang dari delapan belas tahun, tubuhnya berbentuk indah, ramping dan berisi seperti biasa bentuk tubuh gadis gunung yang biasa bekerja berat. Kulit tangan dan leher yang tidak tertutup pakaian nampak tidak begitu putih karena setiap hari terbakar matahari, namun kelihatan kulit yang halus kecuali di telapak tangan yang sudah biasa bertemu dengan gagang kapak.
Kedua kakinya biasa, tidak kecil seperti kaki wanita yang dibungkus semenjak lahir. Rambutnya panjang dan hitam sekali, digelung ke atas secara sederhena dan diikat dengan tali rambut warna hi jau pula. Wajah gadis itu cantik dan manis, sayang sekali matanya tidak lembut seperti ke banyakan gadis cantik, keras dan membayangkan kegalakan dan kesombongan.
“Memang aku buruk, akan tetapi kau cantik, cici..." kata-kata ini terlepas dari mulut Tian Bu begitu saja, sama sekali tidak mengandung maksud kurang ajar atau kagum melainkan untuk menyatakan bahwa ia tidak sakit hati disebut tidak tampan. Adapun pujiannya bahwa gadis itu cantik memang sewajarnya. Tiang Bu masib belum cukup dewasa untuk merasa sungkan memuji kecantikan seorang gadis yang baru dilihatnya begitu saja.
Anehnya, mendengar kata-kata Tiang Bu seketika sinar mata yang keras galak untuk beberapa detik melembut dan pada bibir yang merah sewajarnya itu terbayang senyum bangga. Pandang mata Tiang Bu amat tajam dan ia dapat menangkap semua ini tanpa mengerti sebab-sebabnya. Ia belum tahu bahwa wanita manapun juga, kanak-kanak, muda maupun nenek nenek, selalu akan merasa senang kalau dipuji cantik.
"Memang dia kurang tampan, A-Lan. Akan tetapi perhatikan baik-baik sepasang matanya lihat alisnya. Mata yang seperti bintang dengan alis yang seperti golok itu cukup jelas membayangkan kegagahannya. Air mukanya segi empat, daun telinga lebar, hidung pesek dan bibir tebal. Lihat, apakah dia tidak berwajah toapan (wajah yang mulia)?” kata penebang pohon dengan wajah berseri. "Pilihan yang baik sekali, Fei Lan...”
"Apakah dia lebih kuat daripada pohon siong ayah?” Pohon siong adalah nama pahon yang setiap hari "dikerjakan” oleh gadis itu dan ayahnya. karenanya dianggap lemah. Kalau pemuda ini lebih kuat dari pada pohon siong, berarti lebih tangguh dari pada dirinya sendiri.
"Kau cobalah," ayahnya menganjuri.
Tiba-tiba pandang mata gadis itu berubah keras ketika ia menatap wajah Tiang Bu. "Awas, lihat kapakku!" teriaknya dan pada saat itu juga ia menerjang maju dengan kapak di kedua tangannya diayun cepat sekali, yang kiri menyambar leher yang kanan menyambar pundak Tiang Bu! Gerakannya kuat dan cepat seperti ketika ia "menyerbu" pohon yang telah ditebang ayahnya tadi, maka kalau serangannya berhasil, tentu dalam sesaat saja leher dan pundak akan terbabat putus!
Tiang Bukaget sekali karena tidak menduga bahwa dirinya akan diserang hebat. Namun serangan itu baginya tidak berarti, dan dengan gerakan lambat saja ia dapat menghindarkan diri sehingga dua kapak itu menghantam angin. Akan tetapi, cepat seperti kilat sepasang kapak itu telah menyambar lagi, yang kiri mengapak hidung yang kanan menyambar perut. Cepat sekali datangnya dua serangan ini sehingga kalau Tiang Bu tidak dapat bergerak cepat, hidungnya akan makin pendek lagi dan perutnya akan ambrol!
“Hayaaaa! Galak amat...!!” seru Tiang Bu sambil menggeser kaki miringkan muka dan dua tangannya bergerak maju. Tahu-tahu sepasang kapak telah pindah ke dalam tangannya tanpa si gadis tahu bagaimana cara lawan merampasnya. Untuk sejenak Fei Lan tertegun dan berdiri seperti patung.
"Sulap...! Sihir...!” bisiknya, akan tetapi segera disambungnya marah. "Hidung pesek, aku masih belum kalah, belum roboh.” Cepat ia menyerang maju, kini mempergunakan dua tangannya yang tak kalah lihainya oleh sepasang kapak tadi. Sambaran kedua tangannya mendatangkan angin pukulan yang cukup dahsyat dan kiranya takkan dapat ditahan oleh tukang-tukang silat biasa.
“Aduh galaknya..." Diam-diam Tiang Bu mengeluh. Ia memang tadi sengaja hanya merampas kapak, tentu saja ia merasa sungkan untuk menjatuhkan gadis orang, apalagi karena di antara mereka tidak ada permusuhan apa-apa. Cepat ia melempar sepasang kapak ke kiri dan kapak itu melayang lalu menancap di atas tanah berjajar rapi, kemudian menghadapi serangan gadis itu dengan tenang. Dengan langkah Sam-hoan Sam-bu, mudah saja ia mengelak dari serangan-serangan Fei Lan yang bertubi-tubi datangnya. Kemudian Tiang Bu membuat gerakan mengulet, pinggangnya melengkung ke kiri, lalu dengan cepat jari telunjuknya bekerja.
"Catt!” Dengan cepat sekali jalan darah tai-wi-hiat telah kena ditotok dan... tubuh gadis itu menjadi kaku dalam keadaan kedua tangan sedang ditarik ke belakang, dada membusung ke depan dan kedua kaki setengah berlutut, muka dikedikan kedepan. Benar-benar ia telah berubah menjadi patung yang manis dan indah sekali!
"Wah-wah wah... kali ini benar-benar kami beruntung sekali. Tanpa melepas umpan datang ikan emas yang jarang terdapat. Calon mantuku yang baik, kau benar-benar pantas dibanggakan!” Penebang pohon itu tertawa bergerak-gelak keras sekali.
Tiang Bu hanya memandang dan mengerutkan kening. “Calon mantu kepalamu!” Diam-diam ia memaki di dalam hati. Ayah dan anak ini benar-benar bikin hati mendongkol, pikirnya. Ia dianggap apa sih datang-datang mau diperlakukan sesuka mereka sendiri saja? Dengan puas ia melihat penebang kayu itu berkutetan dengan gadisnya, ditepuk sana ditepuk sini, digosok-gosok sana dipijit sini dalam usahanya membebaskan Fei Lan dari pengaruh totokan. Ada empat macam cara pembebas tiam-hoat yang lihai dipergunakan oleh penebang kayu itu dan ini saja sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang memiliki banyak macam ilmu kepandaian tinggi.
Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat menyembuhkan puterinya! Hal ini benar-benar di luar dugaan tukang penebang kayu itu hingga kalau tadi ia berusaha membebaskan totokan itu dengan masih tertawa-tawa, kini suara ketawanya berhenti seketika dan mukanya bahkan nampak terheran-heran...
Thing Bu kaget. Biarpun hanya menduga-duga ia sudah tahu apa artinya kalau ia melakukan perintahitu. Bukan kah tadi twa-suhunya, Tiong Sin Hwesio, juga menyuruh ia Khai-khi-jiu-hiat dan kakek itu lalu memukul kepalanya dan rupa-rupanya memindahkan sin-kang ke dalam tubuhnya sampai gurunya itu sendiri mati? Apakah guru ke dua inipun bukan hendak melakukan seperti guru pentama tadi? Ia menggeleng-geleng kepalanya.
“Tidak... tidak... jangan,... suhu...” katanya gagap.
"Tiang Bu, twa-suhumu berlaku betul tepat. Kalau kau tadi tidak menerima sinkangnya, kiranya sekarang kau sudah tidak bernapas lain atau diculik oleh orang jahat. Twa-suhumu tadi sudah hampir tewas dan takkan dapat membantu menghadapi orang orang jahat. Se karang pinceng juga sudah menghadapi pintu kematian, me ngapa pin ceng harus membawa pergi sinkang yan g di dunia sana tidak akan ada gunanya l agi? Tiang Bu, biarpun sekarang ini sinkang di dalam tubuhmu tidak banyak selisihnya dengan sinkang di dalam tubuhku, namun sedikit hawa murni yang selama ini pinceng latih puluhan tahun, kiranya akan dapat menambah kekuranganmu. Hayo jangan kau membantah lagi, ini perintahku. Khai-khi jiu-hiat!"
Tiang Bu berlutut sambil menangis menggerung-gerung di depan suhunya. "Pesan ku terakhir, Tiang Bu. Selama hidupmu kau tidak boleh membawa-bawa senjata tajam, juga tidak boleh membawa-bawa senjata gelap. Kau pergunakan kaki tanganmu untuk melindungi diri dan segala apa yang berada di dekat mu boleh kau pergunakan sementara kau memerlukannya. Akan tetapi senjata, itu pantang benar." Lapat-lapat terdengar suara Tiong-Jin Hwesio, disusul perintah lagi. "Sekarang, Khai-khi jiu-hiat!"
Tiang Bu sang amat patuh akan perintah suhunya, tidak berani membantah. Dengan hati dan perasaan hancur ia melakukan perintah suhunya berlutut. Tiong Jin Hwesio sambil tetap duduk bersila lalu mengangkat tangan kanan dan seperti dilakukan oleh Tiong Sin Hwesio tadi, ia memukul kepala muridnya dengan pengerahan seluruh hawa sinkangnya,yang dipaksa keluar dari jari-jari tangannya memasuki tubuh muridnya!
Tadi ketika menerima hawa sinkang dari twa-suhunya, kontan keras Tiang Bu terjungkal dan berkelojotan tak ingat orang. Akan tetapi sekarang lain lagi ke adaannya. Di dalam tubuhnya telah mengalir hawa sinkang yang biarpun belum dapat ia gerakkan secara tepat karena belum terlatih namun sudah memiliki tenaga otomatis yang menolak penyerangan dari luar.
Oleh karena itu, biarpun sebagian dari pada tenaga sinkang yang dilancarkan oleh pukulan Tiong Jin Hwesio dapat memasuki tubuhnya, namun sebagian pula terpental kembali membuat Tiong Jin Hwesio terpelanting roboh dan tewas di saat itu juga. Ada pun Tiang Bu juga terpental dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, akan tetapi ia hanya merasa dada dan perutnya panas seperti orang baru menenggak secawan besar arak keras, ia segera dapat melompat berdiri dan menubruk suhunya yang ternyata telah meninggal dunia.
Dengan hati sedih dan terharu sekali, Tiang Bu lalu mengurus jenazah kedua orang suhunya itu, dikuburnya di tempat yang baik di dekat pondok yang sekarang sudah padam apinya dan menjadi tumpukan puing. Setelah berlutut berjam-jam di depan gundukan kuburan kedua orang suhunya, Tiang Bu ia berdiri dan bagaikan patung ia memandang mayat orang-orang yang masih malang melintang di tempat itu.
Ada tujuh mayat yang tak dikenalnya siapa orangnya, hatinya gemas karena ia maklum bahwa tujuh orang itu adalah mayat dari kawan-kawan Liok Kong Ji yang agaknya tewas ketika memperebutkan kitab-kitab dengan tokoh tokoh seperti Ang-jiu Mo-li dan Lie Kong.
Akan tetapi, kegemasan itu dikalahkan oleh bisikan h ati nuraninya yang mengumandangkan ajaran-ajaran dua kakek sakti Omei-san tentang pribadi dan kebajikan. Akhirnya, ia menggali lubang di suatu tempat dan mengubur mayat-mayat itu secara baik.
Setelah sekali lagi berlutut sampai lama sambil mengheningkan cipta untuk menghormati makam dua orang suhunya, Tiang Bu lalu turun gunung sambil membawa tiga buah kitab. Dua kitab dari suhunya tadi adalah Seng-thian-to (Jalan Naik ke Sorga) dan Thian-to Si keng (Kitab Sajak Bumi Langit). Tiang Bu terheran sendiri mengapa dua kitab yang judulnya aneh ini dianggap terpenting oleh suhunya. padahal isi dua kitab Seng-thian to itu adalah petunjuk ilmu kebatinan dan Thian-te Si-keng terisi sajak-sajak dan syair-syair melulu.
Akan tetapi ini hanya pandangan sepintas lalu saja dan Tiang Bu belum sempat mempelajari secara mendalam. Adapun kitab yang dirampasnya dari Giam-lo-ong Ci Kui tadi berjudul Kiang-liong-kun-hoat (lImu Silat Naga Tangguh).
Demikianlah, sambil membawa tiga buah kitab ini Tiang Bu mulai turun gunung menempuh jalan hidup baru. Cita-citanya, pertama-tama hendak mencari Wan Sin Hong untuk bertanya tentang rahasia hidupnya. Ia akan bertanya secara baik-baik atau memaksa. Pcndeknya. Wan Sin Hong harus bicara terus terang kepadanya siapa sebenarnya ayah bundanya dan me ngapa orang yang bernama Liok K ong Ji itu mengaku-aku sebagai ayahnya.
Selagi ia berjalan perlahan menuruni puncak ia mendengar suara orang batuk-batuk. Tiang Bu memang tidak menggunakan ilmu lari cepat karena sesungguhnya hatinya berat sekali meninggalkan puncak Omei-San dimana ia telah tinggal lima enam tahun lamanya. Cepat ia menengok dan kelihatanlah tubuh gemuk bulat menggelinding keluar dari balik batu karang. Agaknya Hwa Thian Hwesio yang bertubuh gendut itu tadi telah melepaskan lelah di balik batu karang. Wajah yang gemuk itu tersenyum lebar ketika ia melihat Tiang Bu.
"Eh, kiranya siauwhiap. Hendak kemanakah? Harap sebelum pergi kau suka menolong pinceng lebih dulu."
"Losuhu, kau berada di puncak Omei-san ada perlu apakah?” tiba-tiba Tiang Bu bertanya penuh curiga. Semenjak datang orang-orang yang telah mendatangkan mala petaka hatinya selalu curiga kepada siapapun juga.
"Pinceng sengaja datang untuk menghadap Jiwi locianpwe di puncak Omei-san. Bukan saja karena pinceng sudah lama kagum sekali kepada Jiwi-locianpwe itu, juga kedatangan pinceng ini diutus oleh Pangeran Wanyen Ci-Lun di kota raja, kerajaan Kin di utara. Kulihat siauw-sicu ini tentulah murid dari Jiwi locianpwe di sini, maka mohon sudilah siauw-hiap melaporkan kedatangan pinceng untuk menghadap.”
Tiang Bu memandang tajam, keningnya berkerut. Kalau ia tidak salah ingat, yang bernama Pangeran Wanyen Ci Lun adalah Pangeran di Negara Kin yang mukanya hampir sama dengan Wan Sin Hong dan yang pernah menolongnya dari serangan Pak-kek Sam kui dahulu. Apakah niat pangeran itu mengutus seorang hwesio mene mui kedua orang gurunya
"Losuhu hendak menghadap dua orang guruku? Boleh, mari ikut!" pemuda cilik ini membalikkan tubuh dan berjalan naik kepuncak lagi. Dengan wajah tersenyum lebar Hwa Thi an Hwesio mengulur langkah mengikuti Tiang Bu.
Akan tetapi alangkah heran hati hwesio itu ketika Tiang Bu mengajaknya berhenti didepan dua makam yang masih amat baru yang berada di dekat tumpukan puing.
"Losuhu. kau sudah menghadap kedua guruku. Lekas kau beritahukan apa maksud kedatanganmu dan apa kehendakmu datang ka tempat ini.”
"Omitohud... jadi... jadi jiwi locianpwe telah... telah meninggal dunia...?" katanya gagap.
“Akan tetapi kau sudah kubawa menghadap, Biarpun dua orang guruku sudah meninggal dunia, namun ada aku wakilnya yang dapat mendengar apa maksud kedatanganmu !” kata Tiang Bu suaranya keren.
Hwesio gendut itu melirik ke arah Tiang Bu, kagum dan juga heran. Melihat betapa bocah berusia tiga empat belas tahun itu bersikap gagah biarpun pakaiann ya ro bek-robek dan dandanannya sederhana sekali, benar-benar ia merasa kagum. Apalagi sepasang mata bocah itu yang membuat Hwa Thian Hwesio diam-diam berpikir bahwa anak ini kelak akan lebih hebat dari Wan Sin Hong pen dekar yang ia kagumi.
"Hayo katakan apa maksud kedatangan di depan makam suhu-suhuku, kalau tidak akan berubah pandanganku kepadamu, losuhu. Tadin ya kau kuanggap satu-satunya di antara orang yang baru-baru ini banyak datang ke sini, satu-satunya yang dapat dipercaya dan bukan maling kitab. Akan tetapi kalau kau tidak mau mengaku apa maksud kedatargan mungkin akan berubah pandanganku itu."
Hwa Thian Hwesio menarik napas panjang. Lebih dulu ia memberi hormat di depan makam itu, lalu ia menghadapi Tiang Bu. "Siauw-sicu, ketahuilah bahwa pinceng adalah utusan Pangeran Wanyen Ci Lun. Pinceng disuruh menghadap Jiwi locianpwe di Omei-san untuk mohon bantuan mereka. Pada waktu ini, Negara kita di utara sedang terancam bahaya besar, bahaya penyerbuan bangsa Mongol yang dirajai oleh Temu Cin dan dibantu oleh orang-orang pandai dan jahat seperti Liok Kong Ji, Pak-kek Sam kui, dan lain-lain. Oleh karena itu demi menjaga keselamatan rakyat apabila bangsa Mongol menyerbu, Pangeran Wanyen Ci Lun atas nama kaisar Kerajaan mohon bantuan Jiwi-locianpwe di sini. Sudi kiranya untuk sementara tinggal di istana dan melatih ilmu silat kepada panglima-panglima Kerajaan Kin. Demikianlah tugas pinceng, tidak tahunya Jiwi locianpwe meninggal dunia."
Tiang Bu mengerutkan kening. Ia tidak begitu tahu tentang keadaan kerajaan dan negara juga tidak perduli. Akan tetapi dise butnya Liok Kong Ji sebagai pe mbantu kaisar bangsa Mongol mengingatkan dia akim pengalaman-pengalamannya ketika dahulu ia dibawa melalui perbatasan utara ke daerah orang Mongol oleh Pak-kek Sam-kui. Hatinya makin timbul kebenciannya tcrhadap orang yang bernama Liok Kong Ji itu. Inilah serangan macamnya orang yang oleh suhunya dianggap penghianat baugsa, penjahat yang paling rendah di permukaan bumi. Tiong Sin Hwesio dahulu pernah berkata kepadanya bahwa penjahat yang paling hina dina dan harus dibasmi di dunia ini adalah Penghianat bangsa itu orang yang membantu musuh negara serta orang semacam Liok Korg Ji.
Kong Ji seorang bangsa Han, mengapa membantu bangsa Mongol musuh negara? Getir dan pahit rasa hati Tiang Bu kalau ia ingat akan kemungkinan bahwa orang macam ini menjadi ayahnya.
"Kedatanganmu percuma saja, losuhu." jawabnya. suaranya dingin. "Andaikata kedua orang suhuku masih hidup. Juga takkan ada gunanya. Di waktu hidupnya, kedua orang guruku adalah orang-orang yang menyucikan diri, tidak mau memusingkan urusan dunia bagaimana beliau dapat diajak ke istana kaisar ? Pula, kedua orang guruku patriot-patriot sejati, bagaimana bisa diajak membantu Kerajaan Kin? Tidak, kedatanganmu s ia-sia belaka, losuhu.”
Biarpun orangnya suka melawak dan tingkah lakunya kadang-kadang lucu. Hwa Thian Hwesio adalah seorang yang cerdik. Ia, dapat menduga bahwa satu-satunya orang yang telah mewarisi ilmu kepandaian hebat dari dua orang kakek sakti di Omei-sun hanyalah bocah ini.
"Siauw-sicu, salah duga. Biarpun daerah utara dipimpin oleh Kerajaan Kin, namun mereka itu tidak ada bedanya dengan kita orang-orang Han. Buktinya, banyak orang-orang pandai seperti Wan-sicu dan lain-lain membantu Kerajaan Kin Bahkan Ang-jiu Sian li juga membantu menjadi guru di sana. Sedangkan orang-orang Mongol merupakan pengaruh asing yang hendak menjajah kita dan pasti rakyat akan menderita kalau mereka sampai menyerbu ke selatan, maka membantu memperkuat kedudukan Kerajaan Kin diperbatasan utara sama halnya dengan membantu negara dan menyelamatkan rakyat, kewajiban utama bagi para patriot. Oleh karena itu, sauw-sicu sendiri tentu saja sebagai seorang patriot muda, sudah berkewajiban untuk membela rakyat Han yang tinggal di utara dan terancam maut di tangan para serdadu Mongol."
Hati Tiang Bu tergerak. "Bagaimana nanti sajalah. Toh sekarang orang-orang Mongol belum menyerbu dan pula orang seperti aku ini yang bodoh dan tidak tahu apa.apa, sungguh bingung memikirkan tentang perang dan sebagainya. Aku masih mempunyai banyak tugas dari mendiang suhu-suhuku untuk kulaksanakan." "Memang kau belum mengerti tentang semua itu, siauw sicu. Sayang sekali Wan sicu telah pergi, kalau tidak tentu dia dapat menjelaskan kepadamu. Ah, entah bagaimana dengan nasib, Wan.sicu tadi..."
Kata-kata tentang Wan Sin Hong yang tak disengaja ini menarik hati Tiang Bu. Memang ia sedang mencari Wan Sin Hong dan tidak tahu harus mencari di mana. “Di manakah adanya Wan Sin Hong?" tanyanya sambil lalu, akan tetapi sebetulnya penuh perhatian. Memang Tiang Bu biar masih kecil sudah memiliki kecerdikan.
“Entah di mana. Tadi pinceng melihat bertempur dengan Toat-beng Kui-bo nenek mengerikan itu. Kemudian nenek itupun menyerbu gudang kitab dan mencuri sebuah kitab, tetapi dikejar dan diserang oleh Wan-sicu yang hendak memaksa nenek itu mengembalikan isterinya yang dirampas oleh nenek dari tangan Liok Kong Ji. Akan tetapi agaknya Wan-sicu biarpun lihai sekali belum dapat menangkan nenek itu. Akhirnya pince ng yang bersembunyi di balik batu karang, melihat nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil berseru kepada Wan-sicu bahwa kalau Wan-sicu hendak mencari isterinya, supaya menyusulnya ke Ban-mo tong (Gua Selaksa Iblis) di tepi pantai Laut Selatan."
"Lalu bagaimana?” tanya Tiang Bu, kini amat tertarik.
"Nenek itu lari cepat sekali, dikejar-kejar oleh Wan-bengcu. Entah bagaimana jadinya. Akan tetapi melihat gerakan nenek itu, pinceng menduga kiranya Wan-bengcu takkan dapat menyusulnya."
Tiang Bu diam tejenak berpikir. "Losuhu yang baik, kelak kalau sudah selesai tugasku tentu kita akan bertemu lagi di kota raja Kerajaan Kin. Kita sama lihat saja kelak, apakah aku perlu membantumu. Sekarang bolehkah aku bertanya di mana adanya Ban mo-tong itu?"
"Siauw-sicu hendak menyusul ke sana?” tanya hwesio itu membelalakkan mata. Tiang Bu mengangguk. 'Dia membawa kitab, aku harus memintanya kembali,” katanya dingin.
Hwa Thian Hwesio menggerak gerakkan kepala yang bundar itu ke atas ke bawah beberapa kali. "Siauw-sicu pandai, memang baik berbakti kepada guru biarpun guru sudah meninggal dunia. Siauw-sicu pergilah ke selatan, ke Propinsi Kiangsi yang berbatasan dengan Hokkian, carilah Pegunungan Wuyi-san dan Tai-yun-san dan di antara dua pegunungan itu pergilah terus ke selatan sampai bertemu dengan laut. Di daerah situlah kalau tidak salah letaknya Ban-mo-tong. Akan tetapi harap siauw-sicu berhati-hati karena daerah itu amat berbahaya."
Tiang Bu menghaturkan terima kasih lalu cepat mempergunakan kepandaiannya, dalam sekejap mata saja ia lenyap dari depan Hwa Thian Hwesio yang berdiri melongo. Ginkang bocah itu malah lebih hebat dari Wan-bengcu pikirnya. Kemudian iapun turun gunung. Pagunungan Wu-yi-san da Tai-yun-san terletak di bagian paling selatan dari daratan Tiongkok yan g luas. Untuk mencapai daerah ini, Tiang Bu telah melalui perjalanan beberapa bulan lamanya menjelajah daerah-daerah yang amat asing baginya menempuh bahaya-bahaya besar dalam perjalanan. Akan tetapi berkat kepandaiannya yang tinggi dan kekuatan tubuhnya yang luar biasa semua rintangan dapat diatasinya dan pada suatu hari kelihatan pemuda cilik ini dengan tenangnya berjalan masuk hutan keluar hutan yang tumbuh di lereng gunung di antara Pegunungan Wu-yin-san dan Tai-yun-san itu.
Biarpun usia Tiang Bu baru kurang lebih empat atau lima belas tahun, namun benar-benar mengherankan sekali, setelah ia mewarisi sinkang yang hebat dari dua orang suhunya, tubuhnya mengalami perubahan cepat. Pertumbuhan badannya mengagetkan sekali, membuat ia dalam usia itu kelihatan seperti seorang laki-laki dewasa. Bahkan wajahnya yang membayangkan kejujuran itu kelihatan "matang” hilang sifat kekanak-kanakannya. Tiang Bu memang rajin bukan main. Selama melakukan perjalanan, tiada hentinya ia membuka-buka tiga buah kitab yang di bawanya untuk dipelajari.
Kitab yang mengandung pelajaran silat Kiang liong-kun-hwat dibuka-buka sebentar saja karena Ilmu Silat Naga Tangguh yang termuat di situ tidak begitu berarti baginya. Dia telah pula mempelajari ilmu-ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada Kiang liong-kun-hwat ini dari dua orang suhunya. Akan tetapi dua kitab lainnya yang tadinya sukar ia mengerti dan yang mengherankan hatinya mengapa justru dua kitab ini yang dibela mati-matian oleh suhunya, sekarang amat menarik hatinya.
Setelah ia teliti secara mendalam, ia menjadi girang bukan main karena ilmu-ilmu yang luar biasa sekali bersembunyi di dalam dua kitab ini. Kitab Seng-thian to (Jalan Naik ke Surga) mengandung pelajaran samadhi tingkat tertinggi. Biasanya, pelajaran siulian atau samadhi sudah mencapai tingkat paling tinggi apabila orang dapat mengheningkan cipta mengumpulkan segala panca-indra sampai lupa diri atau yang disebut "mati dalam hidup" atau "tidur dalam kesadaran".
Akan tetapi ilmu Seng thian-to ini mengajar cara bersamadhi lebih tinggi lagi sehingga orang mencapai persatuan dengan jalannya pernapasan dan peredaran darah. Apabila ilmu ini sudah dilatih baik-baik, maka orang itu akan dapat mengikuti dan menguasai jalannya pernapasan dan darah di dalam tubuh dan ini merupa sinkang yang tertinggi juga khikang yang tak dapat diukur lagi tingkatnya karena orang akan dapat mempergunakan hawa didalam tubuh sesuka hatinya.
Dengan kekuatan hawa ini orang akan dapat membikin semua bagian tubuh menjadi kebal, karena tidak ada kekuatan dan kekerasan di dunia ini yang dapat melebihi hawa. Adapun kitab yang ke dua, yaitu Thian-te Sikeng (Kitab Sejak Bumi Langit) itu biarpun kalau dibuka lembarannya hanya akan berisi sajak dan syair melulu, namun di situ tercakup rahasia alam tentang bumi dan langit. Inilah sari pelajaran yang tidak saja membuka rahasia tentang Im dan Yang, termasuk sifat dan kekuatan Ngo heng yang menjadi lima sifat bumi langit.
Setiap sajak yang termuat dalam Thian-te Sike ng ini dengan sendirinya merupakan semacam imbangan yang dapat dirangkaikan menjadi semacam ilmu silat yang luar biasa. Tiang Bu yang memiliki kecerdikan luar biasa tentu saja segera dapat membentuk atau mencipta bermacam-macam ilmu silat dari pada sajak-sajak ini. Tentu saja ia menjadi girang luar biasa dan kemajuan ilmu kepandaiannya meningkat secara kilat.
Selagi Tiang Bu berlari-lari keluar dari hutan untuk memasuki hutan berikutnya yang amat besar, tiba-tiba ia mendengar suara keras orang menebang po hon. Suara orang menebang pohon bukanlah ane h, karena kiranya setiap orang tentu sudah pernah men dengar bunyi kapak membacok batang pohon yang berbunyi “crok, crok, crok...” dengan irama me nentu dan tiada he nti hentinya. Akan tatapi pendengaran Tiang Bu sudah menjadi luar biasa sekali setelah ia melatih diri dengan ilmu Se ng-thian-to, maka ia mendengar sesuatu yang tidak sewajarnya dengan penebangan ini. Saking tertarik, ia menghent ikan larinya dan mendengarkan lebih teliti.
"Crok crak-cruk… bruuuukk...!" demikian terdengar suara jauh di sebelah kirinya. Belum juga habis gema suara ini, terutama suara terakhir yang diikuti oleh getaran tanah, tahu-tahu di sebelah belakangnya sudah terdengar lagi, "Crok-crak-cruk... bruuuk...!" Cepat Tiang Bu menengok kebelakang dan... eh... lagi-lagi terdengar suara yang sama, kini dari sebelah kanannya. “Crok-cruk... cruk... bruuuuk...!"
"Hebat," pikirnya sambil cepat-cepat mempergunakun ginkangn ya me lompat ke kanan, ke arah suara terakhir itu. Mana ada cara menebang pohon secepat itu?
Ketika mengejar ke kanan tadi Tiang Bu sudah mempergunaken ilmunya yang hebat yaitu Liap-in-sut (Ilmu Mengejar Awan), cepatnya bukan main. Akan tetapi tetap saja terlambat karena ketika ia tiba di tempat suara tadi, ia hanya melihat se batang pohon siong besar sekali telah tumbang dan melihat daun-daunnya masih bergoyang-goyang menandakan bahwa pohon itu baru saja tumbang. Dan saat itu, jauh di depan sudah mulai lagi terdengar suara yang sama, suara orang menebang pohon besar hanya dengan tiga kali bacokan.
"Hebat!" Tanpa membuang waktu lagi Tiang Bu melompat, kali ini ia menggunakan ilmunya melompat, yang disebut Sam-teng-jig thian (Tipa Kali Lari Melompat Memasuki Langit)! Ilmu ini luar biasa hebatnya sehingga tubuh pemuda itu lenyap dan tak dapat diikuti lagi dengan pandan gan mata saking cepatnya gerakannya. Satu kali lompatan ia bisa mencapai jarak belasan sampai dua puluh tombak.
Kali ini Tiang Bu tidak terlambat dan dapat melihat seorang laki berusia kurang lebih empat puluh tahun sedang menebang pohon besar. Laki-laki ini hebat sekali. Tubutnya tinggi besar, jenggot dan kumis pendek kasar, mukanya segi empat, dan telinganya lebar. Karena ia bekerja dengan tubuh atas telanjang, nampak dadanya yan g bidang peruh otot-otot besar. Demikian pula sepasang lengannya penuh otot-otot yang melingkar, celananya sampai sebatas lutut, berwarna hitam. Kapak yang dipergunakan juga luar biasa. Besar dan matanya lebar, tajam bukan kepalang tajam sampai gemerlapan terkena sinar matahari. Orang itu bekerja dengan tubuh penuh peluh. Dengan ge rakan tegap, kapak diayun ke arah batang pohon siong yang besarnya dua kali tubuh orang.
"Crok-crak cruk..." Tiga kali ayunan saja batang pohon itu roboh dan tumbang, mengeluarkan suara "brukkk!" dan tergetarlah pohon-pohon disekelilingnya.
Begitu pohon itu roboh, orang itu lalu berlari cepat sekali ke depan, kepalanya menengok ke kanan kiri memilih pohon lain. Begitu mendapatkan pohon yang dike hendaki, ia berhenti dan kembali mengayun kapaknya!
"Sahabat gagah, harap berhenti dulu. Siauwte ingin bicara...!"
Tiang Bu cepat melompat mengejar dan mengangkat tangan mengajak bicara, Akan tetapi orang itu mengerlingpun tidak, terus melanjutkan pekerjaannya, mengayun kapaknya. Tiang Bu memperhatikan. Kapak itu mula-mula mengh antam dari kanan agak miring atau menyerong dari atas ke bawah, lalu ayunan kedua kali dari kiri ke kanan kemudian yang ke tiga kalinya kembali dari kanan, akan tetapi kali ini gerakannya lurus menabas. Dan kembali sebatang pohon baru tumbang. Kemudian orang itu lari lagi.
"Hee, sahabat tukang kayu ! Be rhenti dulu sebentar!" Kembali Tiang Bu berseru keras. Namun orang itu tetap tidak perduli, terus saja lari ke depan sambil memilih pohon dengan pandang matanya kemudian berdiri de kat pohon yang terpilih dan mengayun kapak.
"Sahabat baik, siauwte Tiang Bu mohon bicara sebentar...!" kata Tiang Bu lagi, ia berdiri di depan orang tinggi besar ini. Namun ia dianggap seperti lalat saja oleh orang luar biasa itu.
Tiang Bu mendongkol. Terlalu memandang rendah orang ini, pikirnya. Aku harus memperlihatkan sedikit kepandaian. Tanpa berkata apa-apa lagi ia lalu menggunakan gin kangnya melompat ke atas menyambar ujung cabang yang cukup besar dari pohon yang ditebang itu, dan duduklah Tiang Bu di dalam pohon yang berdekatan sambil memegangi cabang pohon yang ditebang. Pe muda ini t adi sudah memperhatikan betapa pohon yang ditebang oleh penebang aneh itu, robohnya kekiri, oleh karena itu ia sengaja duduk di atas pohon sebelah kanan pohon yang ditebang itu.
“Crok-crak crok...!
Tiga kali ayunan dahsyat itu dilakukan dan batang pohon yang besar itu telah terbacok dalam sekali dan hanya tinggal sedikit hati kayu saja yang masih menahan. Biasanya sedikit tahanan ini tid ak kuat menahan batang itu berdiri dan tentu segera tumbang akan tetapi kali ini tidak demikian. Barang pobon yang sudah kena sambaran kapak sampai tiga kali itu tidak roboh. Masih be rdiri tegak bagaikan raksasa yang tidak merasakan hantaman kapak.
Penebang kayu itu mengerutkan keningnya yang lebar, mengusap muka yang penuh peluh itu, lalu memandang keatas. Segera ia dapat melihat seorang pemuda tegap, berhidung pesek berbibir tebal dan berkulit hitam sedang duduk diatas cabang pohon yang berdekatan sambil memegangi ujung cabang pohon yang ditebangnya!
Pantas saja pohon ini tak mau roboh, pikirnya, kiranya ada orang yang sengaja menahan dengan memegang cabangnya. Dengan tak acuh penebang pohon itu mendupak pohon di depannya. Pohon berguncang keras, namun tetap tidak tumbang!
Mulailah penebang pohon itu menaruh sedikit perhatian kepada Tiang Bu. Ia maklum bahwa untuk menahan sebatang pohon roboh dengan memegangi cabangnya saja bukanlah pekerjaan sukar, karena memang daya berat pohon itu berada di bawah, di atasnya ringan sekali. Seorang bocah saja kiranya akan mampu melakukan hal itu. Akan tetapi tadi ia sudah mendorong pohon dengan kakinya dan bocah di atas itu sanggup mempertahankan, tentu memiliki sedikit tenaga.
“Monyet cari perkara, rasakanlah!”
Tiba-tba penebang pohon itu berkata dengan suaranya yang keras dan tiba-tiba ia menendang pohon itu bukan ke kiri, melainkan ke kanan! Ia sengaja membalik arah robohnya pohon sehingga bagi pemuda itu tidak ada jalan lain lagi untuk menahan, bahkan akan tartimpa oleh pohon itu!
Akan tetapi, aneh di atas aneh, pohon yang didupak oleh kakinya yang sedikitnya bertenaga lima ratus kati itu, tetap saja tidak roboh sungguhpun sudah bergoyang-goyang dan daunnya pada rontok! Kali ini penebang kayu itu tertegun sejenak. Menarik cabang untuk menahan robohnya pohon bukan hal mengherankan akan te tapi menahan robohnya pohon ke arahnya dengan jalan mendorong caban g itu, benar benar mustahil! Namun benar-benar telah dilakukan oleh pemuda itu.
"Anak muda, turunlah. Kau cukup berharga untuk orang meninggalkan pekerjaannya dan melayanimu."
"Ha, akhirnya kau mau juga bicara, lopek!" seru Tiang Bu dengan girang dan sekarang pcmuda ini melepaskan pegangannya pada ujung cabang sambilmelompat ke bawah, pohon itupun tumbanglah, menerbitkan suara hiruk pikuk. Dengan gerakan ringan Tiang Bu melayang ke depan penebang pohon itu dan ia sudah menjura dengan hormat sebelum penebang itu hilang kaget dan herannya menyaksikan cara Tiang Bu melayang turun benar-benar merupakan gerakan yang jarang ia jumpai. Pemuda itu tadi telah melayang diantara cabang-cabang dan ranting-ranting pohon raksasa yang sedang tumbang menimpanya, benar-benar gesit melebihi seekor burung kecil.
Penebang kayu itu memandang kepada Tiang Bu dengan tajam dan penuh perhatian peluhnya deleweran dari leher dan dadanya. Kemudian ia berkata. "Kau yang semuda ini sudah memiliki tenaga luar biasa, siapakah kau dan mengapa kau menggan ggu pekerjaanku?”
Sambil tersenyum ramah dan bersikap hormat- Tiang Bu menjawab, "Harap maafkan lopek. Aku Tiang Bu dan bukan maksud mengganggu pekerjaan lopek. Aku merasa amat tertarik dan kagum sekali menyaksikan cara lopek menebang kayu yang menunjukkan bah wa lopek adalah seorang berilmu tinggi. Mohon tanya siapakah nama lopek yang terhormat dan mengapa lopek menebangi kayu-kayu pohon yang besar besar ini?”
Penebang itu menggerak-gerakkan alisnya yang hitam dan tebal. "Hemm, apa sih anehnya menebang kayu, dan lebih-lebih lagi apa sih anehnya seorang penebang kayu? Kerjaku menebangi kayu-kayu yang tua dan dan baik, kukapak menjadi kayu-kayu balok dan kujual kepada pedagang kayu. Apa anehnya dalam hal itu? Kau bilang aku memiliki kepandaian luar biasa dan berilmu, tentu saja. Kepandaianku ialah menebang kayu dan ilmuku tentu saja cara mempergunakan kapak menumbangkan pohon. Apa anehnya dalam hal ini? Orang muda jadikanlah hal ini sebagai pegangan olehmu bahwa di dunia ini memang terdapat banyak sekali macam ilmu, setiap orang lain lagi ilmunya. Ilmu apakah yang boleh dibanggakan? Kau boleh memiliki lweekang dan ginkang istimewa, akan tetapi dalam hal menebang kayu, kiranya kau harus belajar dulu kepadaku! Juga terhadap ahli silat lain seperti aku ini, kau tentu akan kalah. Apa anehnya dalam hal itu? Seorang ahli tentu saja mudah mengerjakan pekerjaan keahliannya, ini sudah lumrah."
Tiang Bu menjura dengan lebih hormat setelah mendengar kata-kata ini. Ia tahu bahwa dibalik kesederhanaan gerak-gerik dan kata-katanya ini, ia berhadapan dengan seorang yang pandai. “Lopek, hari ini aku Tiang Bu yang muda dan bodoh telah bertemu dengun lopek dan menerima pelajaran, sungguh merupakan hari yang amat beruntung bagiku. Mohon tanya namamu yang mulia agar tak mudah kulupakan."
"Eh, orang muda, apakah tadi kau menghentikan pekerjaanku hanya untuk bertanya nama belaka?" tiba-tiba orang itu membentak kelihatan marah.
Diam-diam Tiang Bu merasa terkejut akan sikap orang yang amat aneh. Tak disangkan ya bahwa di bagian selatan, ditempat yang sunyi ini terdapat orang seaneh ini. Ia tidak berani membohong dan segera berkata terus terang.
"Sesungguhnya, lopek. Selain merasa tertarik dan kagum sehingga aku ingin sekali mengenal dan mengetahui nama lopek, juga ada sedikit urusan yang ingin aku mendapat bantuanmu. Aku sedang mencari pantai dimana terdapat gua-gua yang disebut Ban-mo-to. Dapatkah kau menunjukkan di mana tempat itu dan jalan mana yang harus kuambil untuk menuju kesana?"
Tiba-tiba orang itu memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, untuk sementara tak dapat menjawab. "Kau... kau hendak pergi ke Ban mo-tong...?” akhirnya ia dapat bertanya gagap. Tiang Bu mengangguk dan pada saat itu terdengar suara nyaring.
"Thia thia (ayah), mengapa kau berhenti menebang?" Suara ini nyaring sekali dan tak lama kemudian dari selatan datang berlari-lari seorang gadis berpakaian serba hijau. Gadis ini cepat sekali larinya, pakaiannya berkibar ketika ia lari membuat ia kelihatan seperti seekor kupu besar. Tangannya memegang sepasang kapak kecil di kanan kiri dan tiap kali ia tiba di dekat pohon yang sudah ditumbangkan oleh ayahnya, ia menggerakkan kedua kapak itu cepat sekali dan tubuhnya melompat ke sana ke mari disekitar pohon itu.
Gerakannya tangkas dan gesit seperti burung walet menyambar-nyambar, dan sebentar saja pohon yang telah tumbang itu telah digunduli, semua cabang dan ranting berikut daun-daunnya telah habis dibacok kapak, tinggal batang pohonnya saja yang kini telah merupakan balok besar panjang. Kalau cara mane bang pohon dari perebang tadi sudah luar biasa, maka cara membersihkan cabang ranting dan daun ini tidak kalah hebatnya. Pekerjaan yang kiranya oleh dua orang laki-laki biasa akan dilakukan setengah hari, oleh gadis baju hijau itu hanya dilakukan dalam beberapa menit saja!
Setelah memandang ke arah puterinya yang bekerja itu dengan puas dan mulut tersenyum si pene bang pohon lalu menjawab pertanyaan tadi. "Pemuda ini yang menghentikan pekerjaanku. Kau ke sinilah, Fei Lan!”
Karena pohon yang ditebang oleh ayahnya sudah dibersihkanya semua, gadis itu lalu berlari-lari ke tempat ayahnya. Dari jauh ia sudah memandang ke arah Tiang Bu dengan penuh perhatian. Akan terapi setelah tiba di situ ia membuang muka dan berkata kepada ayahnya
"Ayah, bocah seperti ini bagaimana sampai bisa menghentikan pekerjaanmu?" Memang sudah sepatutnya kalau Fei Lan terheran-heran karena ia tahu betul bahwa biasanya kalau ayahnya sudah mulai bekerja jangankan manusia, biarpun alam yang mendatangkan hujan angin besar, tidak mampu menghentikan ayahnya dan pekerjaannya. Bagaimana sekarang seorang manusia biasa saja dapat melakukan hal itu?
“A-Lan, jangan kau memandang ringan kepadanya," kata penebang pohon itu sambil tersenyum penuh arti, "semuda ini ia telah memiliki kepandaian tinggi. Kiranya inilah orang yang kau nanti-nantikan. Kalau kau setuju hemmm... aku akan girang sekali menjadi mertuanya!"
Mendengar ucapan ayahnya, sepasang pipi gadis itu menjadi merah sekali. Namun dengan tabah ia memutar tubuh menghadapi Tiang Bu dan sepasang matanya memandangi pemuda itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Terdengar ia menarik napas panjang lalu berkata, "Hemmm, kau tak dapat dikatakan tampan...”
Tiang Bu sejak tadi sudah memperhatikan gadis baju hijau yang berdiri tegak di depannya itu. Gadis ini usianya tentu tak kurang dari delapan belas tahun, tubuhnya berbentuk indah, ramping dan berisi seperti biasa bentuk tubuh gadis gunung yang biasa bekerja berat. Kulit tangan dan leher yang tidak tertutup pakaian nampak tidak begitu putih karena setiap hari terbakar matahari, namun kelihatan kulit yang halus kecuali di telapak tangan yang sudah biasa bertemu dengan gagang kapak.
Kedua kakinya biasa, tidak kecil seperti kaki wanita yang dibungkus semenjak lahir. Rambutnya panjang dan hitam sekali, digelung ke atas secara sederhena dan diikat dengan tali rambut warna hi jau pula. Wajah gadis itu cantik dan manis, sayang sekali matanya tidak lembut seperti ke banyakan gadis cantik, keras dan membayangkan kegalakan dan kesombongan.
“Memang aku buruk, akan tetapi kau cantik, cici..." kata-kata ini terlepas dari mulut Tian Bu begitu saja, sama sekali tidak mengandung maksud kurang ajar atau kagum melainkan untuk menyatakan bahwa ia tidak sakit hati disebut tidak tampan. Adapun pujiannya bahwa gadis itu cantik memang sewajarnya. Tiang Bu masib belum cukup dewasa untuk merasa sungkan memuji kecantikan seorang gadis yang baru dilihatnya begitu saja.
Anehnya, mendengar kata-kata Tiang Bu seketika sinar mata yang keras galak untuk beberapa detik melembut dan pada bibir yang merah sewajarnya itu terbayang senyum bangga. Pandang mata Tiang Bu amat tajam dan ia dapat menangkap semua ini tanpa mengerti sebab-sebabnya. Ia belum tahu bahwa wanita manapun juga, kanak-kanak, muda maupun nenek nenek, selalu akan merasa senang kalau dipuji cantik.
"Memang dia kurang tampan, A-Lan. Akan tetapi perhatikan baik-baik sepasang matanya lihat alisnya. Mata yang seperti bintang dengan alis yang seperti golok itu cukup jelas membayangkan kegagahannya. Air mukanya segi empat, daun telinga lebar, hidung pesek dan bibir tebal. Lihat, apakah dia tidak berwajah toapan (wajah yang mulia)?” kata penebang pohon dengan wajah berseri. "Pilihan yang baik sekali, Fei Lan...”
"Apakah dia lebih kuat daripada pohon siong ayah?” Pohon siong adalah nama pahon yang setiap hari "dikerjakan” oleh gadis itu dan ayahnya. karenanya dianggap lemah. Kalau pemuda ini lebih kuat dari pada pohon siong, berarti lebih tangguh dari pada dirinya sendiri.
"Kau cobalah," ayahnya menganjuri.
Tiba-tiba pandang mata gadis itu berubah keras ketika ia menatap wajah Tiang Bu. "Awas, lihat kapakku!" teriaknya dan pada saat itu juga ia menerjang maju dengan kapak di kedua tangannya diayun cepat sekali, yang kiri menyambar leher yang kanan menyambar pundak Tiang Bu! Gerakannya kuat dan cepat seperti ketika ia "menyerbu" pohon yang telah ditebang ayahnya tadi, maka kalau serangannya berhasil, tentu dalam sesaat saja leher dan pundak akan terbabat putus!
Tiang Bukaget sekali karena tidak menduga bahwa dirinya akan diserang hebat. Namun serangan itu baginya tidak berarti, dan dengan gerakan lambat saja ia dapat menghindarkan diri sehingga dua kapak itu menghantam angin. Akan tetapi, cepat seperti kilat sepasang kapak itu telah menyambar lagi, yang kiri mengapak hidung yang kanan menyambar perut. Cepat sekali datangnya dua serangan ini sehingga kalau Tiang Bu tidak dapat bergerak cepat, hidungnya akan makin pendek lagi dan perutnya akan ambrol!
“Hayaaaa! Galak amat...!!” seru Tiang Bu sambil menggeser kaki miringkan muka dan dua tangannya bergerak maju. Tahu-tahu sepasang kapak telah pindah ke dalam tangannya tanpa si gadis tahu bagaimana cara lawan merampasnya. Untuk sejenak Fei Lan tertegun dan berdiri seperti patung.
"Sulap...! Sihir...!” bisiknya, akan tetapi segera disambungnya marah. "Hidung pesek, aku masih belum kalah, belum roboh.” Cepat ia menyerang maju, kini mempergunakan dua tangannya yang tak kalah lihainya oleh sepasang kapak tadi. Sambaran kedua tangannya mendatangkan angin pukulan yang cukup dahsyat dan kiranya takkan dapat ditahan oleh tukang-tukang silat biasa.
“Aduh galaknya..." Diam-diam Tiang Bu mengeluh. Ia memang tadi sengaja hanya merampas kapak, tentu saja ia merasa sungkan untuk menjatuhkan gadis orang, apalagi karena di antara mereka tidak ada permusuhan apa-apa. Cepat ia melempar sepasang kapak ke kiri dan kapak itu melayang lalu menancap di atas tanah berjajar rapi, kemudian menghadapi serangan gadis itu dengan tenang. Dengan langkah Sam-hoan Sam-bu, mudah saja ia mengelak dari serangan-serangan Fei Lan yang bertubi-tubi datangnya. Kemudian Tiang Bu membuat gerakan mengulet, pinggangnya melengkung ke kiri, lalu dengan cepat jari telunjuknya bekerja.
"Catt!” Dengan cepat sekali jalan darah tai-wi-hiat telah kena ditotok dan... tubuh gadis itu menjadi kaku dalam keadaan kedua tangan sedang ditarik ke belakang, dada membusung ke depan dan kedua kaki setengah berlutut, muka dikedikan kedepan. Benar-benar ia telah berubah menjadi patung yang manis dan indah sekali!
"Wah-wah wah... kali ini benar-benar kami beruntung sekali. Tanpa melepas umpan datang ikan emas yang jarang terdapat. Calon mantuku yang baik, kau benar-benar pantas dibanggakan!” Penebang pohon itu tertawa bergerak-gelak keras sekali.
Tiang Bu hanya memandang dan mengerutkan kening. “Calon mantu kepalamu!” Diam-diam ia memaki di dalam hati. Ayah dan anak ini benar-benar bikin hati mendongkol, pikirnya. Ia dianggap apa sih datang-datang mau diperlakukan sesuka mereka sendiri saja? Dengan puas ia melihat penebang kayu itu berkutetan dengan gadisnya, ditepuk sana ditepuk sini, digosok-gosok sana dipijit sini dalam usahanya membebaskan Fei Lan dari pengaruh totokan. Ada empat macam cara pembebas tiam-hoat yang lihai dipergunakan oleh penebang kayu itu dan ini saja sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang memiliki banyak macam ilmu kepandaian tinggi.
Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat menyembuhkan puterinya! Hal ini benar-benar di luar dugaan tukang penebang kayu itu hingga kalau tadi ia berusaha membebaskan totokan itu dengan masih tertawa-tawa, kini suara ketawanya berhenti seketika dan mukanya bahkan nampak terheran-heran...