Tangan Gledek Jilid 22

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar budiman episode tangan gledek jilid 22
Sonny Ogawa

Tangan Gledek Jilid 20

NAMUN Tiang Bu yang sudab siap, cepat bergerak menurutkan jurus jurus mujijat dari Sam-hoan-sam-bu, tubuhnya menjadi seakan-akan bulu ringannya dan dapat mengelak sebelum pedang lawan menyambar, seakan-akan hawa pukulan pedang sudah lebih dulu mendorongnya menyingkir dari sabetan mata pedang. Betapapun hebatnya ilmu mengelak ini.

Namun Tiang Bu masih hijau dalam pengalaman pertempuran dan Ilmu Pedang Pak-kek Kiam-sut memang betul-betul luar biasa sekali sehingga pemuda ini sekarang menjadi terkurung sinar pedang dan sama sekali tidak mendapat kesempatan membalas. Ini disebabkan ia hanya mengandalkan pertahanan diri dengan jalan mengelak karena untuk menangkis ia tidak berani. Ia maklum akan ketajaman dan keampuhan Pak-kek Sin-kiam maka tidak mau mengambil resiko buntung lengan.

Setelah terdesak hebat, baru ia teringat akan pesan suhunya bahwa kalau terpaksa sekali ia boleh mempergunakan benda apa saja yang dekat dengan dia untuk menjaga diri. Dilihatnya sebatang ranting kayu kering tak jauh dari situ. Cepat ia menggeser kedudukannya ke tempat itu dan lain saat ia telah menjemput ranting ini terus melakukan perlawan hebat.

“Trangg! Tranggg!”

Berkali-kali pedang Pak-kek Sin-kiam berbunyi nyaring ketika bertemu dengan ranting dan Sin Hong men jadi pucat. Baru kali ini seumur hidupnya ia mengalami hal yang luar biasa ini. Sebatang ranting kayu kering kuat menahan pedangnya, padahal senjata-senjata berat jago-jago silat lain tidak akan kuat menahan dan pasti akan terbabat putus. Bukan hanya kuat menahan, bahkan dari ranting itu menjalar tenaga yang melalui pedangnya terus menghantam telapak tangannya dengan getaran dahsyat.

Ia merasa lweekangnya terpukul dan tergetar. Hebat sekali, pikirnya. Sin-kang yang sudah kumiliki ditambah latihan lm-kang dan Yang-kang bertahun-tahun, masa kalah kuat oleh tenaga bocah ini? Juga ia mengalami hal yang mengagetkan. Ilmu Pedang Pak-kek Kiam-sut sudah merupakan raja ilmu pedang dan setiap getaran membuat ujung pedangnya tergeser pecah menjadi tujuh yang langsung menyerang jalan darah lawan di tujuh bagian.

Tentu saja hanya mendiang Pak Kek Siansu yang sudah sanggup menggetarkan pedang menjadi tujuh bagian, akan tetapi Sin Hong sudah mencapai tingkat tinggi dan dalam kedudukan yang tidak terlalu terdesak ia dapat mengeluarkan pedangnya menjadi enam. Namun anehnya, bocah yang memegang ranting ini, biarpun ilmu silat yang dimainkan itu jelas sekali bukan ilmu pedang melainkan ilmu pukulan biasa yang dimainkan dengan biasa yang dimainkan dengan bantuan ranting, ternyata sudah dapat menggetarkan ranting itu menjadi enam pula, sehingga semua serangan Pak-kek Sin-kiam gagal.

Saking penasaran dan dalam niatnya mangadu tenaga lweekang. Sin Hong mengeluarkan seruan keras dan tiba-tiba pedang dan ranting bertemu di udara, saling menempel tak dapat dilepaskan lagi. Sin Hong mempergunakan lweekang dan mengerahkan tenaga menyedot sehingga ranting lawan tak dapat terlepas dari pedangnya, kemudian ia mulai mengerahkan tenaga melalui pedang untuk menyerang. Kalau ia sudah dapat memaksa pemuda melepaskan rantingnya. itu berarti tenaga lweekangnya masih menang setingkat!

Biarpun Tiang Bu belum pernah mengalami pertempuran mati-matian dan hebat seperti sekarang ini dan tidak tahu apa maksud dari Sin Hong namun tubuhnya yang sudah terisi tenaga sinkang yang ia warisi dari dua orang suhunya, secara otomalis telah merasai datangnya serangan dahsyat dari lawan dan otomatis te naga sinkang di badannya mengalir keluar melalui ranting untuk menahan gelombang serangan lawan.

Dua tenaga raksasa bertemu, saling dorong, kadang-kadang Tiang Bu terdorong sehingga tenaga-tenaga itu bergerak didalam rantingnya membuat ranting itu bergerak keras. Akan tetapi secara mendadak kadang- kadang arus tenaga itu membalik dan Sin Hong yang terdesak hebat sampai tenaga itu saling dorong di dalam pedangnya, membuat pedang Pak-kek Sin-kiam tergetar dan mengeluarkan suara mengaung!

Tenaga sinkang dari Sin Hong sudah tinggi dan hebat. Biarpun Tiang Bu telah mewarisi sinkang dari dua orang gurunya namun karena belum dapat mempergunakannya secara sempurna, ia tentu akan kalah oleh Sin Hong, kalau saja tidak secara kebetulan bocah ini mempelajari kitab Seng thian-to dalam perjalanannya. Di luar pengetahuannya sendiri, tenaga sinkang di tubuhnya telah melonjak tinggi tingkatnya ketika ia mulai melatih samadhi menurut petunjuk kitab suci itu.

Demikianlah, dalam pertandingan adu tenaga lweekang ini, Sin Hong sama sekali tidak dapat mendesak Tiang Bu. Setiap kali ia mengerahkan tenaga mendesak, selalu tenaganya mental kembali. Akan tetapi, juga Tiang Bu tidak dapat mendesak oleh karena memang pemuda ini belum pandai betul mempergunakan lweekang untuk menyerang lawan. Pada saat itu, terdengar suara sayap memukul dibarengi suara cecuwitan di atas kepala. Dua ekor, kelelawar menyambar Tiang Bu.

"Hushh... jangan...! seru Sin Hong dan tiba-tiba tubuhnya terpental ke belakang terhuyung-huyung dan ia muntahkan darah segar.

Saking cemasnya melihat Tiang Bu diserang dua ekor kelelawar berbisa, Sin Hong sampai lupa diri dan tadi mengeluarkan suara mengusir binatang-binatang itu. Padahal dalam pertandingan lweekang di mana menghadapi lawan yang sama kuatnya sehingga ia perlu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, bicara merupakan pantangan keras. Begitu ia terkejut dan terguncang hatinya ia mengeluarkan suara, tenaganya membalik dan memukul diri sendiri membuat ia terpental dan memuntahkan darah karena di dalam dadanya mergalami guncangan pukulan yang mendatangkan luka.

Sementara itu, Tiang Bu yang tadinya juga mencurahkan seluruh perhatian kepada lawannya, menjadi gugup ketika tahu-tahu dua titik hitam menyambar ke arahnya dengan tepat sekali. Baiknya Sin Hong sudah terpental mundur sehingga ia bebas. Akan tetapi saking lamanya ia mengadu tenaga tadi, tangan kanannya yang memegang ranting sampai terasa kaku dan kesemutan. Maka ia cepat mengangkat tangan kiri menyampok kelelawar yang menyerang kepalanya.

"Plak!” KeIelawar itu terlempar dan kepalanya remuk. Kelelawar ke dua sudah tiba dan tanpa dapat dicegah lagi menggigit leher Tiang Bu sebelah kiri. Akan tetapi, juga kelelawar ini begitu menggigit. tubuhnya berkelojotan dan terlempar kebawah terus mati! Kiranya tenaga sin-kang di tubuh Tiang Bu ketika tadi dikerahkan, masih bekerja keras dan begitu ada yang menggigit leher, otamatis tenaga itu mengalir keleher menyerang lelelawar tadi.

Sin Hong melihat betapa kelelawar itu menggigit leher Tiang Bu. ia menjadi kaget sekali. "Celaka...!" teriaknya dia cepat melompat ke dekat Tiang Bu tanpa memperdulikan lukanya sendiri. Tiang Bu hanya merasa lehernya tertusuk dan gatal sekali, hidungnya mencium hawa busuk yang memuakkan. Biarpun ia belum berpengalaman, namun sikap Sin Hong dan bau busuk itu menimbulkan dugaan Tiang Bu bahwa kelelawar ini tentu berbisa. Cepat ia meramkan mata dan mengarahkan kekuatan batinnya seperti yang pernah dilatihnya dari kitab Seng-thian-to. Di lain saat ia roboh pingsan!

Wan Sin Hong adalah seorang yang tidak saja memiliki ilmu silat tinggi dan ilmu pedang nomor satu, akan tetapi ia juga terkenal bagai ahli pengobatan yang jempolan sehingga beberapa orang kang-ouw yang pernah ditolongnya diam-diam memberi julukan Yok-ong (Raja Obat) kepadanya. Sebagai ahli waris kitab pengobatan dari Kwa-siucai ahli segala racun, tentu saja begitu melihat kelelawar peliharaan Toat-beng Kui-bo di tempat itu Sin Hong lantas tahu bahwa kelelawar itu adalah sejenis binatang yang amat berbisa.

Kelalawar pantai laut selatan ini sekali menggigit orang sukar diobati lagi. Bahkan setelah meneliti keadaan bisa kelelawar ini puluhan hari lamanya, Sin Hong hanya sanggup mengobati racun gi gitan binatang itu asal saja racun belum menjalar ke jantung orang yang digigit. Hal ini hanya bisa terjadi apabila orang yang digigit segera mendapat pertolongannya, akan tetapi tempat yang digigit itu jauh dari jantung, karena racun yang jahat ini agak lambat jalannya. Sekarang Tiang Bu di gigit di lehernya, dekat jalan darah, dalam beberapa detik saja tentu racun telah menjalar ke jantung dan tak mungkin diobati pula! Maka dengan sedih Sin Hong cepat berlutut memeriksa keadaan luka pemuda itu setelah agak merasa heran mengapa kelelawar yang menggigit itu mati mendadak.

Untuk ketiga kalinya, Sin Hong terkejut dan terheran-heran lalu kagum setelah ia mameriksa leher yang terkena gigitan kelelawar itu. Pertama kali ia kaget menyaksikan ilmu silat tangan kosong dari Tiang Bu yang terang jauh mengatasinya, kedua kalinya ia terperanjat menghadapi tenaga sinkang dari pemuda itu luar biasa sekali. Kini untuk ketiga kalinya ia kaget bukan main menyaksikan hal yang aneh sekali. Tiang Bu pingsan bukan karena gigitan kelelawar, akan tetapi pingsan yang aneh, jalan darahnya terhenti sama sekali akan tetapi napasnya masih berjalan perlahan-lahan.

Hebatnya, racun kelelawar yang jelas kelihatan hitam itu berkumpul dan diam di bawah kulit leher, tidak bergerak-gerak dan tidak menjalar ke mana-mana karena semua peredaran darah pemuda itu berhenti seperti tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi! Akan tetapi jelas pemuda itu masih hidup karena napasnya masih keluar masuk, hanya detak jantungnya berhenti!

Sin Hong tidak membuang banyak waktu lagi. Cepat ia mengeluarkan jarum peraknya dan menusuki luka di leher itu mengeluarkan semua racun hitam dengan amat mudah karena hanya berkumpul di bawah kulit. Sambil bekerja ia mengingat-ingat akan penuturan gurunya dahulu, Pak Kek Siansu tentang ilmu batin yang gaib seperti Ilmu sihir, yakni dalam keadaan hidup mematikan raga. Dengan ilmu inilah orang dapat me lakukan segala hal aneh seperti menusuk lidah dengan pisau, menusuk dada dengan pedang, menginjak api, dan lain-lain tanpa merasa sakit dan tanpa berpengaruh apa-apa oleh keadaan raga. Apakah pemuda ini sudah memiliki kepandaian semacam itu? Akan tetapi tidak mungkin kalau ini main sihir, karena pemuda itu pingsan.

Setelah selesai mengeluarkan semua racun dan selagi ia hendak mencekoki Tiang Bu dengan pel merah obat kuatnya, tiba-tiba Tiang Bu siuman, meraba lehernya yang sudah di tutup koyo (obat tempel), lalu berkata, "Terima kasih atas pertolongan Wan siok-siok."

Sin Hong melongo. Ia tidak tahu bahwa sebenarnya tadi Tiang Bu telah melakukan ilmu yang ia dapat dari kitab Seng-thian-to. Biarpun ia pingsan tak dapat bergerak karena seluruh peredaran darahnya ia "suruh" berhenti, namun ia masih sadar. Inilah kehebatan ilmu "menguasai" peredaran darah dan jalan napas dan hawa dalam tubuh!

“Kau... kau hebat sekali, Tiang Bu…”, kata Sin Hong dalam hatinya takluk betul. Kini ia boleh melepas anak ini menemui Toat-beng Kui-bo dengan hati tenang karena percaya penuh bahwa kepardaian pemuda cilik ini sudah cukup tinggi untuk menghadapi nyonya besar majikan daerah Ban-mo-tong ini.

"Wan siok-siok, kiranya sekarang kau takkan begitu pelit untuk membuka rahasiaku. Siapakah ayah bundaku sesungguhnya dan mengapa sejak kecil aku menjadi anak ayah bundaku di Kim bun-to?”

Sin Hong menjadi serba salah. Terbayang olehnya segala peristiwa di waktu dahulu (baca Pedang Penakluk Iblis). Ia sudah berjanji takkan membuka rahasia itu yang akibatnya hanya akan memalukan Tiang Bu sendiri dan berarti pula mendatangkan kecemaran bagi nama baik Nyonya Pangeran Wanyen Ci Lun. Pula Sin Hong maklum betapa bencinya nyonya itu, Gak Soan Li, kepada anaknya keturunan Liok Kong Ji. Kalau ia membuka rahasia Tiang Bu, bukanlah itu sama halnya dengan mendatangkan malapetaka bagi mereka semua? Sin Hong menjadi bingung betul dan tak dapat menjawab. Tiba-tiba bintang penolong datang, berupa isterinya sendiri.

"Eh, Tiang Bu! Kau di sini...” teguran ini keluar dari mulut Li Hwa yang muncul dari balik batu-batu karang.

Tiang Bu menengok dan melihat Hui-eng Niocu masih cantik dan lincah seperti dulu, hanya kini agak lambat gerakannya dan nampak lesu. Tentu saja pemuda ini tidak tahu bahwa itu adalah tanda-tanda seorang wanita sedang mengandung. Segera ia memberi hormat kepada Siok Li Hwa.

Melihat munculnya Li Hwa, Sin Hong mendapatkan kembali ketenangannya dan berkata kepada Tiang Bu. "Tiang Bu, kalau hendak bertemu dengan Toat-beng Kui-bo pergilah ke sana dulu. Kau ambillah jalan ini terus ke selatan, sampai di pinggir laut kau belok ke kanan melalui bukit batu-batu karang yang amat sukar. Di sana terdapat tujuh gua-gua besar. Nah, kau masuki gua-gua itu satu demi satu dan di salah satu antara tujuh gua itu kau tentu akan menjumpai orang tua itu. Kalau sudah selesai urusanmu dengan beliau, kau datanglah ke sini, nanti aku akan memberi jawaban atas pertanyaanmu tadi." Dengan kata-kata ini selain untuk memberi petunjuk tentang jalan menuju ke tempat tinggal Toat-beng Kui-bo, juga Sin Hong "minta tempo" untuk berunding lebih dulu dengan isterinya.

Tiang Bu girang sekali. Tidak saja untuk petunjuk jalan mencari Toat-beng Kui-bo, akan tetapi juga karena janji Sin Hong. Ia percaya akan kata-kata pendekar itu. maka ia cepat menghaturkan terima kasih, lalu menjura kepada Li Hwa lalu melompat berlari cepat ke selatan. Dalam sekejap mata saja ia lenyap dari pandangan mata.

Sin Hong menarik napas panjang. "Luar biasa sekali, anak itu kelak akan menjadi jago yang tiada taranya. Kalau saja watak buruk ayahnya tidak menurun kepadanya...” Ia lalu menceritakan semua peristiwa yang ia alami tadi kepada isterinya. Dengan terus terang ia akui sekarang saja kepandaian Tiang Bu sudah melampaui kepandaiannya, apalagi kelak beberapa tahun lagi kalau Tiang Bu sudah dewasa benar-benar dan sudah banyak pengalaman.

"Aku bingung bagaimana harus menjawabnya," ia menutup penuturannya.

"Mengapa mesti bingung, suamiku? Ceritakan saja kepadanya, bahwa dia bukan putera Hong Kin dan Hui Lian, melainkan putera Soaon Li dan Kong Ji."

“Ah, tak mungkin aku sekejam itu. Kau tahu apa yang akan terjadi kalau aku buka rahasia itu, Hwa-moi. Anak itu akan terpukul batinnya, Soan Li akan tercemar namanya dan kalau ibu dan anak itu dipertemukan, aku khawatir akan terjadi hal-hal hebat dan mengerikan."

Li Ilwa maklum akan maksud kata-kata suaminya. Dia memang sudah mendengar semua tentang peristiwa itu dan tahu betapa bencinya Soan Li kepada anak kandung keturunan Kong Ji. "Akan tetapi, lebih tidak baik lagi menutupi kenyataan. Kulihat Tiang Bu bukan anak bodoh dan akhirnya ia tentu akan tahu juga."

"Akan tetapi aku sudah bersumpah tak membuka rahasia Soan Li...“

"Kalau begitu mudah saja, diatur supaya dia mendengar dari orang lain. Lebih baik diatur begini saja..." Isterinya yang cerdik ini lalu memberi petunjuk-petunjuk kepada suaminya. Sin Hong mengangguk-angguk setuju.

********************

Serial Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Kata-kata Sin Hong ketika memberi petunjuk kepada Tiang Bu tentang tempat kediaman Toat-beng Kui-bo memang betul. Setelah Tiang Bu sampai di tepi laut dan membelok ke kanan, ia benar-benar menghadapi perjalanan yang amat sukar. Bukit batu karang yang mendoyong di sepanjang pantai laut itu nampak menyeramkan dan bukan tempat manusia. Pantas saja disebut Ban-mo-tong (Gua Selaksa Iblis) karena memang banya iblis dan siluman saja yang patut tinggal di daerah ini.

Perjalanan ke gua-gua yang disebutkan oleh Sin Hong bukan perjalanan mudah dan hanya orang-orang berkepan daian tinggi saja dapat lewat di sini. Jalan menanjak atau menurun selalu melalui ujung-ujung batu karang yan g tajam meruncing. Jalan di atas batu-batu karang ini tanpa pe ngerahan ginkang yang tinggi, akibatnya tentu sepatu hancur dan telapak kaki luka-luka.

Dari jauh sudah nampak tujuh buah gua menghitam seperti mulut-mulut siluman raksasa terbuka dengan gigi-gigi runting monongol dari bawah dan bergantungan di atas gigi-gigi runcing batu karang pula. Tentu saja Tiang Bu tidak tahu di dalam guha yang mana di antara tujuh buah itu adanya orang yang dicarinya, maka terpaksa ia mencari dari guha pertama. Perjalanan yang amat sukar.

Gua itu kosong, hanya ada beberapa ekor kelelawar menyambar keluar, akan tetapi segera menjauhi Tiang Bu ketika pemuda ini menyampok dongan pengerahan hawa pukulan yang cukup akan dapat mematikan binatang-binatang itu kalau berani mendekat. Terpaksa turun lagi dan perjalanan dari gua pertama ke gua kedua lebih sukar lagi. Kembali kosong!

Tiang Bu benar-benar diuji kesabarannya atau agaknya Toat beng Kui-bo sengaja mempermainkan anak muda ini karena setelah ia buang waktu setengah hari, bersusah-payah merayap dari gua ke gua sampai gua ke enam ternyata semua gua yang didatangi Tiang Bu kosong!

Hari telah mulai senja ketika Tiang Bu tanpa mengenal lelah mendaki naik ke bukit gua ke tujuh. Dari jauh sudah nampak titik-titik hitam, yang ternyata adalah kelelawar-kelelawar hitam kelelawar-kelelawar berbisa yang terbang tinggi di atas kepala Tiang Bu berkelil ing seakan-akan pengintai-pengintai yang pandai. Diam-diam Tiang Bu ngeri juga melihat ada kelelawar yang amat besar.

Panjang dari ujung sayap kiri ke ujung sayap kanan tidak kurang dari sedepa dan besar badan binatang itu seperti anjing kecil. Akan tetapi binatang-binatang ini tidak menyerang, maka Tiang Bu juga bersikap tenang saja me lanjutkan perjalanannya di atas batu-batu karang yang runcing itu, memegang sana meraba sini. Telapak tangan dan kakinya sudah mulai pedas-pedas.

Akhirnya ia sampai di mulut gua dan pertama-tama yang menyambutnya adalab asap putih yang harum dari dupa wangi yang dibakar orang di dalam gua! Ia merayap terus dan... benar saja, di dalam gua itu duduk bersila menghadapi dupa terbakar dan dikelilingi oleh "hulubalang-hulubalangnya" yaitu kelelawar-kelelawar besar yang sayapnya hitam berbintik-bintik. Toat-beng Kui-bo memandang ke arahnya dengan tersenyum mengerikan!

Nenek ini tertawa tanpa mengeluarkan suara, kemudian ketika ia mengangkat tangannya yang penuh kuku panjang ke depan, baru suara ketawanya terdengar, cekikikan seperti suara iblis tertawa.

“Hi-hi-hi-hi, kau bocah murid hwesio malas di Omei-san! Besar sekali nyalimu, datang dan menjenguk ke semua gua-guaku. Hi-hi-hi-hik, kalau bukan murid Omei-san aku suka mempunyai murid setabah ini...!”

Kata-kata sambutan ini melegakan hati Tiang Bu, karena tadinya ia mengira bahwa begitu bertemu ia tentu akan diserang mati-matian oleh nenek biang iblis ini. Ia sudah siap sedia dan diam-diam ia juga tidak berani memandang ringan kepada nenek tokoh dunia selatan ini.

"Locianpwe, harap maafkan kalau aku yang muda berlaku lancang, datang menghadap tanpa dipanggil," katanya hormat.

“Hi-hi-hi-hi, dasar murid gundul gendeng. Bersopan-sopan menjemukan!” Nenek itu mengambil babakan kayu harum dan mengawurkannya di atas pedupaan. Asap baru putih tebal bergulung-gulung naik dan bau harum memenuhi gua yang buruk dan kotor itu. "Orang muda, kau datang ada apakah? Apa tidak cukup bertemu dengan anak mantuku di luar sana?"

"Aku sengaja datang mencari locianpwe untuk minta kembali kitab Omei-san yang dulu terbawa ke sini." Tiang Bu masih berlaku sabar dan menghindar kata-kata tuduhan mencuri.

"Kalau aku tidak mau mengembalikannya kepadamu, bagaimana?” Sepasang mata itu liar menyapu keluar gua dan dua ekor kelelawar datang dari luar, sedangkan yang berada di dalam menggelepar-geleparkan sayap.

"Kalau demikian, terpaksa aku yang muda berlaku kurang ajar dan mohon dilanjutkan pibu di puncak Omei-san dahulu. Aku bersedia mengorbankan nyawa untuk memenuhi tugas ini mengumpulkan kembali kitab kitab Omei-san yang tercuri."

“Hi hi hi! Kau luar biasa sekali. Hebat. Setua ini baru sekarang ini aku mengalami ditantang oleh seorang bocah masih ingusan! Benar-benar besar sekali nyalinya. Bocah siapa namamu?”

"Namaku Tiang Bu." jawab pemuda singkat.

"Tidak pakai she (keturunan)?"

Tiang Bu menggeleng kepala. "Lupa lagi siapa she ku!"

Nenek itu tertawa cekikikan, suara ketawanya aneh sekali, ada nada marah ada juga nada menangis. Binatang-binatang kelelawar di dekatnya beterbangan tidak menentu di atas kepalanya, agaknya merekapun bingung mendengar suara ketawa ini dan tidak tahu mereka diperintah apa.

“Masih kecil kau sudah memiliki watak aneh," kata Toat-beng Kui-bo, kemudian ia nampak sungguh-sungguh ketika terkata lagi, "Tiang Bu, karena kau mewakili dua orang gundul Omei-san yang sudah tewas, baik aku mengaku terus terang bahwa dalam keributan itu, aku menyelamatkan sebuah kitab dari tangan pencuri itu. Akan tetapi setelah kulihat, kitab ini ternyata cocok sekali untuk seorang tua bangka yang penuh dosa seperti aku, sama sekali tidak ada artinya bagi seorang bocah seperti engkau. Kitab ini dapat berjasa besar sekali untuktu dan karenanya akan kupelajari untuk bekal mati. Kau tidak boleh minta kembali."

Mana Tiang Bu mau percaya? Kalau kitab tidak berarti, mana nenek ini mau mengambilnya dan menahannya? Tentu kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi. Ke dua orang suhunya pernah menyatakan kepadanya bahwa kalau kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi terjatuh ke dalam tangan orang jahat, maka akan merupakan hal yang berbahaya sekali, dan harus dihalangi. Lebih baik kitab pelajaran itu dibakar dari pada terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Karena selain hal itu berarti akan memperkuat kedudukan orang-orang jahat, juga kelak dapat mencemarkan nama baik dua orang hwesio Omei-san itu, bahkan dapat mencemarkan nama besar Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Couwsu dua orang guru besar itu.

"Kalau begitu, terpaksa aku minta pelajaran dari locianpwe," kata Tiang Bu menantang dengan sikap tenang. Kembali ia bersiap sedia menghadapi serangan mendadak dari nenek itu. Akan tetapi aneh, nenek itu menghela napas dan tidak berbuat apa-apa, lalu berkata perlahan.

"Aku sudah pernah mencoba kepandaianmu di 0mei-san. Ilmu silatmu tinggi dan sinkangmu hebat. Tidak kepalang dua orang kakek gundul mengambilmu sebagai murid. Akan tetapi jangan kira aku masih kurang akal dan kepandaian untuk membunuhmu. Mudah bagi ku untuk membunuhmu, apalagi kau berada di sini. Hemm, soalnya... semenjak membaca kitab itu, aku tidak mau lagi membunuh manuaia tanpa dosa. Dan kau anak baik... aku tidak mau menambah dosa"

“Locianpwe, memang akupun tidak suka berkelahi, apalagi dengan locianpwe yang berilmu tinggi. Akan tetapi kitab itu diambil dari Omei-san dan aku sudah menerima pesan suhu agar mengambil kembali semua kitab-kitab itu."

"Dan selanjutnya? Akan kau apakan kitab-kitab itu?"

“Selanjutnya terserah kepadaku. Akan tetapi sudah pasti kitab-kitab itu takkan terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat"

"Ha, kau menggolongkan aku manusia jahat? Memang tidak salah. Aku jahat, lebih jahat dari pada kelelawar-kelelawar berbisa ini. Aku tadinya tidak perduli, tidak takut hukuman neraka. Tidak tahunya semua itu ada hukuman timbal baliknya dan semua perbuatanku merupakan tamparan bagiku sendiri. Ah, bocah bernyali besar, tahukah kau bahwa kalau aku belum membaca kitab yang kau minta itu, pada saat ini kau tentu sudah menggeletak mampus dan darah serta dagingmu menjadi umpan kelelawar-kelelawarku?"

"Aku tidak takut mati, locianpwe. Lebih baik mati menjalankan tugas dari pada hidup melihat kitab dipelajari orang lain dan kelak kepandaian dari kitab di pergunakan untuk perbuatan jahat."

“Ha, kau memang hebat. Apa kau kira kitab itu kitab pelajaran ilmu silat Tiang Bu, kalau itu kitab pelajaran silat, mana aku sudi menyimpannya? Semua ilmu silatku boleh kutukar cuma-cuma dengan pelajaran dari kitab itu. Kau tidak percaya? Apa kau mau berjanji bahwa kalau kitab itu bbukan pelajaran silat kau mau meminjamkan atau memberikan kepadaku?”

Tiang Bu berpikir sejenak. Dua orang suhunya adalah hwesio-hwesio yang alim dan suci. Sangat boleh jadi diantara sekian banyaknya kitab-kitab itu, terdapat kitab-suci yang tidak ada hubungannya dengan ilmu silat, melainkan kitab pelajaran ilmu batin agar manusia dapat mencari kebenaran sejati. Kalau betul kitab itu hanya pe lajaran agama atau kebatinan dan dapat "menyembuhka Toat-beng Kui-bo dari kejahatannya, bukankah akan berjasa baik dan apa salahnya dipinjamkan?

"Baik. locianpwe. Aku berjanji bahwa setelah melihat kitab itu dan mendapat kenyataan hanya kitab pelajaran berhubungan dengan kebatinan dan tidak ada hubungannya dengan ilmu silat atau ilmu kegagahan lain, kitab itu boleh kupinjamkan kepada locianpwe untuk sepuluh tahun lamanya.

Nenek itu tertawa cekikikan. "Kau memang bocah pintar dan berhati baik. Nah, kau periksalah kitab ini!” Sambil berkata demikian, Toat-beng Kui-bo mengeluarkan sebuah kitab yang sampulnya kuning dan melemparkan kitab itu ke arah Tiang Bu.

Pemuda ini segera menerimanya dan cepat membalik-balik lembaran kitab itu di bawah penerangan matahari yang sudah menyuram. Pada halaman pertama ia melihat judul kitab itu ditulis dengan huruf-huruf besar. DELAPAN JALAN UTAMA. Di bawah huruf-huruf besar ini tertulis dengan huruf-huruf kecil. Sari pelajaran dari Yang Mulia Ji-lai-hud untuk membebaskan diri dari Siksa Dunia.

Tiang Bu mengerutkan kening. Melihat nama Tiong Jin Hwesio di ujung bawah sampul dan melihat tulisan-tulisan kecil itu, tidak salah lagi bahwa kitab ini memang kitab suhunya. Dan melihat bunyi judul dan penjelasannya, tidak dapat disangsikan lagi bahwa ini tentu kitab pelajaran yang menjadi kitab suci dari Agama Budha, mengandung semacam pelajaran kebatinan. Ia masih kurang puas, dan membuka-buka halaman selanjutnya.

Dengan pandang matanya yang tajam ia mencari-cari namun tak dapat menemukan sebuah kalimatpun yang menulis tentang ilmu silat. Ia melihat kalimat-kalimat yang tak dimengertinya seperti:

"Hanya ada Delapan Jalan Utama, Empat Kebenaran Mulia, kebajikan yang utama adalah Bebas Nafsu, manusia utama adalah dia yang dapat melihat pelajaran ini".

Di bagian lain dari kitab itu Tiang Bu membaca kalimat-kalimat yang berbunyi:

"Segala yang tercipta akan musnah. Segala yang tercipta mendatangkan duka nestapa dan sakit. Segala bentuk itu tidak aseli dan palsu adanya”

Dan banyak kaIimat-kalimat lain yang tidak begitu jelas baginya, akan tetapi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu silat...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.