Tangan Gledek Jilid 30
SELAMA puluhan hari ini, Cui Kong bersembunyi tak jauh dari situ, sambil mengobati luka-lukanya dan menyambung tulang-tulang pahanya yang remuk oleh pukulan Tiang Bu, sementara dua orang wanita itu merayu dan menyeret Tiang Bu kelembah kehinaan mempergunakan kecantikan mereka dan di luar tahu semua orang, mereka men dapat bantuan dari katak pembangkit asmara!
Melihat pemuda ini muncul, pikiran Tiang Bu yang selama ini gelap dia tidak ingat apa-apa seperti dibuka. Dapatlah ia menduga bahwa selama ini ia memang sengaja dibikin mabok oleh dua orang gadis itu dengan rayuan dan cumbuan mereka. Karena tidak dapat menangkan dia dengan ilmu silat, mereka telah menggunakan kecantikannya dan agaknya semua ini diatur oleh Cui Kong yang menjadi dalang di belakang layar!
Marahlah Tiang Bu melihat pemuda itu dan cepat ia menubruk mengirim pukulan ke arah dada Cui Kong. Akan tetapi, dua orang "kekasihnya" yang selama puluhan hari dari malam berlaku amat manis kepadanya, kini merupakan lawan yang haus darah dan pedang mereka menyambar dari kanan kiri secara kilat. Terpaksa Tiang Bu menarik kembali serangannya terhadap Cui Kong untuk mengelak dan menggunakan jari tangannya menyentil pedang dua nona itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika hampir saja jari-jari tangannya terbabat putus ketika bertemu dengan pedang!
Masih baik ia cepat melompat ke samping sambil menarik tanganya. Ternyata bahwa tenaga sentilannyapun hilang kekuatannya. Pada saat itu, ujung huncwe di tangan Cui Kong sudah menyambar. Tiang Bu mencoba untuk mengelak, akan tetapi kedua kakinya lemas dan ia hanya sempat miringkan tubuh. Namun ujung huncwe terus mengejar dan leher belakangnya ditotok!
Tiang Bu mengeluh. Kalau biasanya, totokan seperti itu saja takkan mengakibatkan apa- apa karena hawa sinkangnya tentu akan melawannya, akan tetapi sekarang ia tidak kuat menolak sehingga jalan darahnya terkena totokan lihai, membuat ia lemas dan roboh terpelanting ketika Cui Kong menendang lututnya. Di lain saat, ujung dua pedang dan sebuah huncwe telah menodong jalan jalan darah kematian, membuat ia tak berdaya sama sekali.
"Ha ha ha tikus buruk. Kau mau apa sekarang?" bentak Cui Kong, menusuk-nusuk kulit dada Tiang Bu memancing pemuda itu mengaduh. Akan tetapi biarpun kesakitan, Tiang Bu diam saja, sama sekali tidak mengeluh. Ia lebih banyak merasa hanteur hatinya mengingat akan kesesatannya dari pada merasa takut.
Dua orang nona itupun tertawa cekikikan. “Twako, kalau tidak ada kami dua orang wanita lemah, tak mungkin hari ini berhasil membekuknya," kata Cui Kim.
"Memang kalian anak anak baik dan pintar sekali, telah menjalankan siasatku secara sempurna. Tunggulah, kelak aku akan menyatakan terima kasihku kepada kalian," jawab Cui Kong sambil tertawa-tawa.
Mendengar ini, hati Tiang Bu makin hancur dan ia ingin memukuli diri sendiri karena kebodohannya. Mataku telah buta, pikiranku penuh penyesalan. “Cui Kong, hayo kau bunuh saja aku. Orang macam aku memang layak dibunuh, tidak ada gunanya hidup!" kata Tiang Bu sambil memandang kepada Cui Kong dengan mata mendelik.
"Ha-ha ha ha, Tiang Bu. Kau merengek-rengek ingin minta kasihan? Apa kau mau mengingatkan aku bahwa kita masih saudara angkat?”
"Tidak, kau bunuhlah aku. Siapa sudi punya saudara angkat macammu? Juga aku bukan anak ayah angkatmu. Lebih baik mati!” jawab Tiang Bu gemas.
“Twako, tusuk saja jantungnya biar lekas beres. Sebal hatiku melihat monyet ini,” kata Cui Kim sambil menekan ujung pedangnya sehingga ujung pedang itu masuk ke dalam daging di pundak Tiang Bu sampai mengenai tulang pundaknya. Dapat dibayangkan betapa nyerinya, namun Tiang Bu sama sekali tidak memperlihatkan rasa sakit. Jangankan mengeluh berkedippun tidak!
“Biarkan aku yang memenggal lehernya, dia sudah terlalu banyak mempermainkan diriku. Aku ingin membalas sakit hati dan penghinaan itu!" kata Cui Lan dan nona ini mengayun pedangnya ke arah leher Tiang Bu yang menanti datangnya pedang dengan mata menantang berani.
"Traaangeg...! Pedang itu terpental oleh tangkisan huncwe di tangan Cui Kong.
“Eh, twako... mengapa kau tiba-tiba menjadi lemah hati dan penyayang?"
"Lin-moi. jangan lupa akan pesan ayah? Dia boleh ditawan, boleh dibikin tak berdaya dan dihilangkan kepandaiannya, akan tetapi tidak boleh dibunuh. Dia berbahaya dan aku masih meninggalkan hutang kepadanya, biar sekarang kusuruh dia membayarnya.” Setelah berkata demikian huncwenya bergcrak cepat sekali dan...
"krak... krak...!" tulang-tulang kaki Tiang Bu patah-patah oleh pukulan huncwe.
Rasa nyeri menyusup ke tulang-tulang seluruh tubuh Tiang Bu, membuat wajah menjadi pucat seperti mayat dan bibirnya yang tebal itu mengeluarkan darah karena digigitnya sendiri dalam menahan rasa sakit akan tetapi berkat kekerasan hatinya, ia masih sadar ketika ia diseret oleh Cui Kong dan dua orang nona itu, diseret keluar dari dalam pondok kemudian dilempar ke dalam jurang yang dalam di pantai sungai!
Dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan, Tiang Bu mempergunakan kesempatan terakhir menolong nyawa dari maut dengan cara membentangkan kedua lengannya mencari pegangan sesuatu penahan tubuhnya yang meluncur ke bawah, bergulingan di atas batu-batu yang tajam. Akhirnya ia tertolong, tangan kanannya dapat memeluk sebatang pohon yang tumbuh di lereng jurang. Mempergunakan sisa tenaganya Tiang Bu memeluk batang pohon itu dan ia berhenti bergulingan. Agaknya Thian masih menghendaki supaya ia hidup.
Setelah dapat menempatkan diri, duduk di atas batu di dekat pobon sambil memeluk batang pohon yang menjadi penolongnya itu, Tiang Bu pingsan. Tubuhnya menggelantung di pohon, matanya meram dan napasnya lemah sekali.
Biar kita tinggalkan dulu Tiang Bu yang berada dalam keadaan mati tidak hiduppun payah itu dan mari kita menengok keadaan dunia luar jurang itu di mana terjadi hal-hal yang tidak kalah hebatnya.
Pemimpin bangsa Mongol, Temu Cin yang pandai memimpin itu, makin lama makin terkenal di antara para suku bangsa yang tinggal di daerah utara. Suku bingsa demi suku bangsa ia taklukkan, bahkan suku bangsa Kerait yang amat kuat dan yang tadinya selalu mengalahkan orang-orang Mangol, dapat ia tundukkan. Oleh karena semua orang menganggap Temu Cin sebagai pemimpin besar yang amat boleh diandalkan.
Pada tahun l206 semua suku bangsa mengadakan rapat besar di hulu Sungai Onon dan dalam kesempatan inilah Temu Cin diangkat menjadi raja besar dari seluruh Mongolia dan diberi gelar Jengis Khan yang kemudian menjadi tokoh besar yang amat termasyhur di dalam sejarah.
Nama besar Jengis Khan ditakuti oleh semua suku bangsa dan banyak sekali suku bangsa yang takluk tanpa diserang, Sepak terjang barisan Jengis Khan yang gagah berani dan ganas kejam terkenal di mana-mana. Memang di dalam barisan Jengis Khan terdapat banyak sekali orang-orang pandai, bahkan ban yak pula orang Han dan orang orang selatan, ahli-ahli silat yang pandai, terkena bujukannya dan masuk menjadi pembantu.
Di antara suku-suku bangsa di daerah perbatasan di utara, hanya suku bangsa Han Hsia yang masih belum mau tunduk. Jengis Khan mulai memimpin tentaranya ke sana dan dalam waktu dua tiga tahun saja berturut-turut diserangnya suku bangsa ini hancurlah balatentara Hsi-Hsia. Setelah itu Jengis Khan mulailah dengan rencananya yang besar, rencana yang sudah lama ia idam-idamkan dan sudah lama ia mengatur siasat untuk rencana ini, yaitu menyerbu ke selatan. Di serangnya Kerajaan Kin.
Pada tahun 1211 ia mulai menyerbu Shensi dais Hopei, mambakar rumah-rumah rakyat, merampok, membinasakan, mengganas dan menghancurkan segala apa yang menghalangi tentaranya. Rakyat di daerah utara melakukan perlawanan mati matian. Di mana-mana Jengis Khan menemui perlawanan. Namun bala tentara Mongol terlampau kuat. Biarpun dengan adanya perlawanan rakyat ini pergerakan bala tentara Mongol agak terhalang, namun dalam waktu dua tahun saja bala tentaranya sudah berhasil menyerbu Yenking atau Peking, kota raja Kerajaan Kin!
Hebat sekali pertempuran-pertempuran yang terjadi sebelum bala tentara musuh berhasil menyerbu ibukota ini. Pihak Kerajaan Kin melakukan perlawanan gagah perkasa dan mati-matian. Pangeran Wanyen Ci Lun yang berhasil mengumpulkan banyak orang gagah, apa lagi akhir-akhir ini setelah ia mengutus Kwan Kok Sun untuk mercari bantuan ke selatan, melakukan perlawanan mati-matian. Oleh usaha Pangeran Wanyen Ci Lun yang melakukan segala daya upaya untuk menghalau musuh inilah maka tidak mudah bagi balatentara Mongol untuk memasuki atau membobolkan kota raja. Juga bukan sedikit tentara dan perwira Mongol yang tewas dalam perrempuran ini.
Beberapa kali pertempuran terpaksa ditunda karena kedua fihak sudah banyak mengalami kerusakan. Mereka menunda pertempuran untuk memberi nafas kepada balatentera masing-masing. Di fihak Mongol untuk dapat berunding guna mengatur siasat penyerbuan baru, sedangkan di fihak Kin untuk dapat berunding guna mengatur siasat pertahanan yang kokoh kuat.
Sudah untuk kedua belas kalinya kedua pihak menunda perang. Kembali masing-masing fihak mengatur siasat. Di fihak istana kaisar, Pangeran Wanyen Ci Lun mengadakan perundingan dengan para panglima perang. Pangeran ini nampak jauh lebih tua dari pada usianya yang sebenarnya, hal ini karena ia terlalu banyak menderira selama negaranya diserang oleh orang Mongol. Keningnya berkerut cambangnya panjang, menambah keangkeran wajahnya yang tampan.
Di dalam ruangan sidang itu. selain sepuluh orang panglima besar Kerajaan Kin, juga di sampingnya duduk berapa orang tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah datang untuk membantu Kerajaan menghadapi serbuan bala-tentara Mongol. Nampak di situ Tee-tok Kwan Kok Sun yang berpakaian panglima dan berkepala gundul, Hwa Thian Hwesio tukang dapur Kelenteng Kwan twe bio di selatan kota raja, hwesio gemuk bundar yang amat lucu akan tetapi kepandaiannya tinggi, dan banyak lagi tokoh kangouw yang datang ke situ karena tertarik oleh hadiah-hadiah besar!
Bahkan disitu hadir pula Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, sepasang suami isteri pendekar yang gagah perkasa, yang baru datang dari Kim-bun-to beberapa hari yang lalu. Kedatangan sepasang suami-isteri ini bersama puteri mereka Coa Lee Goat yang sudah remaja puteri dan selain cantik jelita juga gagah perkasa murid Wan Sin Hong. Mereka ini datang untuk menjemput Gak Soan Li dan anak-anak mereka karena dahulu Pangeran Wanyen Ci Lun sudah minta pertolongan mereka agar supaya memboyong anak isterinya ke Kim-bun-to apabila perang dengan orang-orang Mongol pecah.
Akan tetapi, Gak Soan Li juga dua orang anaknya, Wan Sun dan Wan Bi Li, berkeras tidak mau mengungsi pergi meninggalkan Pangeran Wanyen Ci Lun. 0leh karena itu, biar pun tidak tertarik oleh perang, sepasang suami isteri ini menjadi tidak enak hati kalau buru-buru pergi seakan-akan mereka takut menghadapi perang. Terpaksa mereka memutuskan untuk tinggal beberapa lama, selain mengawani Gak Soan Li, juga melihat-lihat apakah mereka dapat membantu sahabat mereka, Pangeran Wanyen Ci Lun yang sedang berjuang membela negaranya. Pangeran Wanyen Ci Lun merasa kecewa dan berduka karena Wan Sin Hong tidak datang membantunya.
“Wan-taihiap tak mungkin mau datang,” kata Coa Hong Kin yang sudah tahu akan pendirian pendekar besar itu. "Tentu siauw ongya dapat menyelami perasaannya. Dia adalah seorang patriot Han tulen dan terus terang saja dia tidak mau mencampuri urusan dua kerajaan bukan bangsanya." Memang Hong Kin suka berterus terang dan hubungannya dengan Pangeran Wanyen Ci Lun sudah amat erat, tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Dan pendirianmu sendiri bagaimana, kawan?" tanya Wanyen Ci Lun, memandang tajam dan penuh harap kepada suami isteri itu.
Coa Hang Kin tersenyum pahit dan menarik napas panjang. "Tentu saja kami berdua siap sedia membantumu dan akan rela mengorbankan nyawa untuk menolongmu. Akan tetapi ini hanya kesetiaan seorang terhadap sahabat baiknya, bukan kesetiaan seorang warga negara terhadap negaranya."
Wanyen Ci Len menarik napas panjang. "Sayang aku bukan orang Han. Aku akan senang sekali berjuang membela tanah air bahu membahu dengan kalian dan dengan orang-orang seperti Wan Sin Hong. Tidak, sobat-sobatku yang baik, aku takkan minta pengorban jiwa sahabat-sahabat baik untuk kepentinganku semata. Aku hanya minta apabila keadaan terlalu mendesak dan anak-anak serta isteriku terancam bahaya kalian suka membawanya mengungsi dan menyelamatkan diri ke selatan."
Demikianlah percakapan antara mereka sebelum rapat penundaan perang itu diadakan. Dengan kagum Hong Kin dan Hui Lian mendengar sahabatnya itu mengatur siasat, akan tetapi mereka juga berduka mendengar betapa keadaan sahabatnya itu sudah terdesak hebat seperti terbukti dalam ucapan Pangeran Wanyen Ci Lun kepada orang-orang gagah dan para panglima yang hadir di situ.
"Barisan musuh menggunakan siasat memecah belah pusat kekuatan kita. Maka mereka menyerang dari empat penjuru secara bergantian agar payah kita memusatkan tcnaga pertahanan secara berpindah-pindah. Memang pertahanan kita cukup kuat, benteng cukup tebal dan terjaga kuat. Akan tetapi tentara kita jauh kalah banyak jumlahnya. bahkan kini makin lama makin kecil karena jatuhnya korban tanpa dapat ditampung tenaga baru karena kota raja sudah terkurung. Makin berkurangnya anggauta barisan, berarti makin lemahnya pertahanan kita. Memang dengan cara baih ok (barisan bersembunyi) kita dapat melakukan pertempuran gerilya dan mendatangkan kerugian lebih besar pada mereka. Namun, biarpun kita andaikata dapat merobohkan seratus orang musuh hanya dengan mengorbankan sepuluh orang, yang sepuluh ini bagi kita amat besar artinya, karena tidak ada penggantinya sedangkan musuh mudah saja mendatangkan bala bantuan atau mengganti tentaranya yang luka-luka dan lelah. Juga, amat sukar bagi kita untuk mendatangkan rangsum dari luar tanpa menghadapi bahaya besar dirampas musuh." Ia berhenti sebentar untuk melihat reaksi pada muka para pendengarnya.
"Celakanya, semua hal yang tidak menguntungkan kita itu diketahui belaka dengan baiknya oleh pihak musuh!" kata Tee-tok Kwan Kok Sun dengan muka muram.
"Akan tetapi keadaan kita sebetulnya tidak amat buruk," kata Pangeran Wanyen Ci Lun cepat-cepat untuk mengusir kelemahan semangat para pembantunya, "memang harus diakui bahwa pihak musuh amat kuat. Akan tetapi selama semangat orang-orang kita berkobar seperti sekarang, jangan harap mereka dapat membobolkan pertahanan. Di samping pertahanan kita yang kuat juga aku sudah mengirim permintaan bala bantuan dari saudara saudara bangsa Hsi-Hsia yang menaruh dendam terhadap orang-orang Mongol. Kepala barisan mereka yang masih bersembunyi di hutan, Tiku Tami telah berjanji untuk memperkuat pertahanan kita dan memukul dari luar."
Berita ini menggirangkan semua orang. Kwan Kok Sun mangangguk-angguk dan berkata, "Memang baik sekali, dan pula, dapat diharapkan kehadiran seorang tokoh besar yang kepandaiannya amat tinggi. Tokoh besar inilah yang dapat diharapkan untuk merobohkan pentolan-pentolan Mongol seperti Thian-te Basek-Tai-hiap Liok Kong Ji. Bu-tek Sin ciang Bouw Gan dan yan g lain-lain."
Kaget semua orang mendengar ini. Siapakah yang dapat mengalahkan pentolan Mongol yang disebutkan tadi? Kwan Kok Sun tertawa cara ketawanya masih menyeramkan biarpun sudah memakai pakaian panglima besar.
"Dia itu adalah Toat-beng Kui-bo dari Ban-mo-tong!"
Baru saja nama ini disebut, tiba-tiba dari luar ruangan terdeagar suara ketawa cekikikan terbawa angin yang bertiup masuk, kemudian terdengar suara, "Hi-hi -hi-hi. Pangeran Wan-yen, aku datang membawa hadiah!”
Dua buah benda melayang masuk, jatuh berdebuk di atas meja yang dikelilingi mereka yang sedang berunding. Ketika dua benda itu berhenti menggelinding dan semua orang memandang, ternyata bahwa dua benda itu adalah dua buah kepala manusia yang agaknya baru saja dipenggal lehernya karena darah segar masih menetes netes dari leher! Melihat bahwa dua kepala itu memakai topi panglima Mongol, Kwan Kok Sun tertawa senang dan berkata ramah.
"Locianpwe Toat-be ng Toanio, silahkan masuk!”
Akan tetapi belum habis kata-kata ini, orang yang diundang itu telah berdiri di dekat meja sambil tertawa cekikikan. Mereka yang belum pernah melihat rupa Toat beng Kui-bo, menjadi pucat dan bergidik penuh kengerian hati. Apalagi ketika melihat bahwa nenek itu memondong seorang anak perempuan kecil yang usianya baru dua tiga tahun, anak yang mungil sekali, pipinya kemerahan dan bibirnya merah tersenyum-senyum. Akan tetapi, baju dan jidat anak ini bernoda darah, agaknya darah dari dua buah kepala yang dipenggal oleh nenek mengerikan itu!
"Pangeran Wanyen, aku memenuhi janji datang untuk memberi hajaran kepala anjing-anjing Mongol yang melampaui perbatasan dan mengacau di bumi Tiongkok! Ketika hendak masuk kota raja tadi, aku dihadang oleh pasukan tentara Mongol. Ketika mengamuk aku teringat bahwa seorang tamu harus bawa oleh-oleh, maka kusambar kepala dua orang panglima pemimpin pasukan itu dan kubawa kemari untuk dipersembahkan ke padamu. Hi-hi-hi!"
Tadi Pangeran Wanyen Ci Lun bengong dengan kagum dan ngeri. Sekarang ia cepat berdiri memberi hormat dan berkata. "Kedatangan locianpwe bagi kami adalah seperti datangnya air hujan di musim kering! Terima kasih atas pemberian hadiah locianpwe. Dalam masa seperti ini tidak ada hadiah yang lebih berharga dari pada kepala musuh!"
angeran itu mempersilakan nenek buruk rupa itu duduk dan memberi perintah kepada pelayan untuk membawa pergi dua buah kepala dan membersihkan bekas darah. Kemudian ia sendiri menuangkan arak ke dalam cawan emas untuk Toat-beng Kui-bo. Nenek itu menerima sambil tertawa-tawa senang. Kwan Kok Sun mengatur siasatnya. Orang seperti nenek ini sukar diurus dan kalau tidak memakai akal, biarpun nenek ini kepandaiannya tinggi sekali, takkan ada gunanya karena tentu takkan mau mentaati perintah.
"Locianpwe, tadinya kami sudah kegiranaan sekali karena mengira bahwa dua buah kepala itu adalah kepala dari Liok Kong Ji dan Bouw Gun. Eh, tidak tahunya hanya kepala dua perwira-perwira yang tidak ada nilainya. Akan tetapi aku tidak berani menyalahkan locianpwe oleh karena siapakah orangnya bisa memenggal kepala Thian-te Bu-tek Taihiap Liok kong Ji dan Bu-tek Sin-ciang Bouw Gun yang lihai sekali. Apalagi mereka berada di markas tentara musuh. Sukar... sukar...!”
Kwan Kok Sun terpaksa berhenti bicara karena arak dari cawan Toat-beng Kui-bo menyiram mukanya dan terasa pedas, bukan main sampai-sampai ia tidak bisa membuka matanya.
"Gundul pacul! Kau terlalu memandang rendah padaku. Kau kira aku tidak becus mencabut kepala tikus-tikus macam mereka?"
Kwan Kok Sun cepat memberi hormat pada nenek galak itu dan berkata sambil memaksa tersenyum di mulut padahal hatinya memaki marah. "Harap locianpwe tidak marah, tentu saja aku percaya penuh akan kemampuan locianpwe. Soalnya, kami sudah terlalu gawat dibikin pusing oleh orang orang seperti Thian-te Bu-tek Taihiap dan Bu-tek Sin ciang, tanpa mampu berbuat apa-apa. Kalau kiranya locianpwe sanggup mencabut kepala mereka dan dibawa ke sini. benar benar kami akan berterima kasih besar sekali kepada locianpwe.”
Semua orang, termasuk Pangeran Wanyen Ci Lun, diam-diam memuji kecerdikan Kwa Kok Sun yang mula-mula “membakar" hati nenek sakti itu untuk kemudian didorong kearah perbuatan yang akan banyak membantu pergerakan mereka melawan musuh. Hanya Toat-beng Kui-bo seorang yang tidak tahu, buta oleh kesombongannya. Toat beng Kui-bo menoleh kepada Wanyen Ci Lun, lalu tiba-tiba melontarkan anak kecil yang dipondongnya itu ke arah Pangeran Wanyen.
“Pangeran, aku titip bocah ini kepadamu. Nanti kalau sudah kubawa datang dua kepala tikus itu, aku ambil kembali anak itu!”
Wanyen Ci Lun sudah menangkap bocah perempuan yang menjadi kaget karena dilemparkan dan menangis itu. Sebelum ia sempat menjawab, angin mendesir dan nenek yang seperti siluman itu sudah lenyap dari ruangan itu. Semua orang menjadi bengong. Bahkan Hong Kin dan Hui Lian sendiri yang sudah banyak bertemu dengan orang-orang pandai, harus mengaku bahwa nenek itu memiliki kepandaian yang hebat sekali. Yang paling gembira adalah Pangeran Wanyen Ci Lun oleh karena kalau benar-benar nenek itu bisa membunuh dua orang yang disebutkan tadi berarti pihak musuh akan kehilangan dua orang panglima yang kuat dan pandai.
Toat-beng Kui-bo memang luar biasa sekali. Ketika ia berlari seperti terbang keluar dari kota raja, sukar bagi orang biasa untuk dapat melihatnya. Yang nampak hanya bayangan hitam berkelebat cepat, atau kalau orang melihat ke atas akan terlihat tiga titik hitam terbang cepat ke utara dan tiga titik hitam ini kalau diperhatikan adalah tiga ekor kelelawar besar.
Ketika Toat-beng Kui-bo memasuki kota-raja, ia sudah dihadang dan bertempur, maka para pasukan Mongol yang bertugas mengurung kota raja, tahu bahwa kini nenek itu sudah keluar lagi dari kota raja. Akan tetapi pengalaman tadi masih membuat mereka gentar, pengalaman hebat di mana sepasukan Mongol habis dibunuh oleh nenek itu dan dua orang panglimanya lenyap kepalanya dibawanya pergi. Kini melihat kelelawar dan bayangan hitam, mereka sebagian besar hanya pura-pura tidak melihat! Bahkan perwira yang memimpin pasukan kecil cepat-cepat menyimpangkan pasukannya ke arah lain agar jangan bertemu dengan nenek itu.
Toat-beng Kui bo juga tidak memperdulikan mereka. Tujuannya kini hanya mendatangi kemah para panglima Mongol dan berusaha mencari Liok Kong Ji dan Bouw Gun untuk dipenggal batang lehernya dan dibawa kepalanya ke istana Pangeran Wanyen Ci Lun sebagai bukti bahwa ia bukan hanya omong kosong. Kelelawar-kelelawar yang terbang di atas selalu mengikuti ke mana nenek itu menuju.
Pada saat itn kaisar Jangis Khan juga sedang mengadakan perundingan dengan para panglimanya, merundingkan siasat untuk mcmbobolkan benteng pertahanan Kora Raja Kin yang kokoh kuat itu. Di antara para pan gliwa besar, nampak pula di situl Liok Kong Ji, Bouw Gun, Pak-kek Sam kui. Dan orang-orang akan merasa terkejut, heran dan juga malu kalau saja mereka melihat siapa-siapa yang hadir pula dalam ruangan kemah Raja Mongol itu. Tokoh-tokoh besar dari selatan, orang-orang yang menamakan dirinya orang gagah di dunia kang-ouw banyak yang hadir di situ, menjadi pengkhianat-penghianat penjual negara, menjadi kaki tangan orang Mongol! Di antara mereka nampak Le Thong Hosiang ketua Tatyun-pai, Nam Kong Hosiang dan Nam-Siang Hosiang dua orang tokoh Kaolikung-pai, Heng-tuan Lojin, hwesio perantau dari Hengtuan-san dan masih banyak lagi.
“Jalan terbaik menurut pendapat hamba, Kota Raja Kin itu harus dikurung rapat. Jalan ke selatan harus dipotong, dan pembantu-pembantu yang berada di dalam kota raja dan mendapat kedudukan penting supaya mulai dengan gerakan mereka pada saat kita mengadakan penyerbuan besar-besaran, bukan dari satu pintu melainkan dari empat jurusan," demikian usul Liok Kong Ji kepada Jengis Khan.
Kaisar yang sekarang bertubuh kekar mengangguk-angguk. “Taihiap berkata benar, cocok dengan rencanaku. Memang kita tidak ada banyak waktu untuk di buang-buang di sini, hanya untuk mengepung sebuah kota saja. Aku sudah mendatangkan bala bantuan dari utara, tiga puluh laksa banyaknya, begitu mereka datang setelah diberi waktu mengaso sehari, malamnya kita serbu kota Kin dari empat penjuru. Kita habiskan dan ratakan kota itu dengan bumi. Setelah memberi keputusan terakhir dalam pertemuan itu, Jengis Khan memberi tanda bahwa persidangan ditutup dan ia masuk ruangan dalam.
Pada saat kaisar sudah masuk ke dalam dan para panglitna mulai berjalan keluar, tiba-tiba terjadi ribut-ribut yang datangnya dari arah kiri. Nampak para penjaga berlari-larian. Melihat ini Bu-tek Sin ciang Bouw Gun panglima Mongol tua yang tinggi besar berewokan itu menjadi marah. Memang dia terkenal berwatak keras dan berdisiplin sekali. Rata-rata panglima Mongol amat berdisiplin sehingga, barisan-barisan mereka terkenal sebagai barisan yang amat teratur dan kuat. Melihat para penjaga cerai-berai, Bouw Gun cepat lari ke arah tempat itu sambil beteriak-teriak memaki para penjaga.
“Anjing-anjing kekenyangan tak tahu malu. Begitukah caranya berjaga? Seorang penjaga kebetulan lari ke tempatnya tiba-tiba terlempar dengan kaki patah patah karena ditendang oleh Bauw Gun. Penjaga itu kesakitan hebat akan tetapi, masih dapat melapor dengan suara mrintih-rintih,
Ampun, tai-ciangkun... disana… ada... ada siluman mengamuk hebat... banyak kawan binasa...“
"Setan pengecut, di mana dia?”
"Di sana..." penjaga itu menudingkan jarinya, "dia tadi masuk ke dalam kemah tai-ciangkun...“
Bouw Gun marah sekali mendengar ada siluman mengamuk dan memasuki ke kemahnya, cepat ia melompat dan lari ke kemahnya. Alangkah kaget dan marahnya ketika ia melihat di sepanjang jalan menuju ke kemahnya penuh penjaga-penjaga yang menggeletak dalam keadaan mati atau terluka berat. Ada yang kepalanya pecah, lehernya patah, perutnya pecah berantakan, kaki tangan patah-patah. Juga di depan kemahnya bergelimpangan mayat penjaga. Bouw Gun berlari cepat dan menyerbu ke dalam kemahnya sendiri, begitu ia membuka pintu, ia melihat seorang perwira, kepala penjaga kemahnya sedang bertempur melawan seorang nenek yang mengerikan.
Perwira itu kepandaiannya cukup tinggi, akan tetapi pada saat itu ia kena dicengkeram oleh nenek itu yang menggerakkan tangan kanan mencengkeram kepalanya. Perwira itu menjerit keras dan mengerikan sekali sebelum muka dan kepalanya hancur oleh cengkeraman kuku panjang nenek itu. Darah dan otaknya berceceran, tubuhnya roboh tak bernyawa lagi.
"Hi hi hi hi, otak udang macam ini melawanku? Mana tikus tikus besar Liok Kong Ji dan Bauw Gun, suruh keluar jangan sembunyi di kosong ranjang!" nenek itu bersumbar.
Bouw Gun sudah pernah mendengar nama besar Toat-beng Kui-bo, bahkan di puncak Omei-san pernah ia bertemu dengan nenek itu. Biarpun. maklum akan kelihatan nenek ini namun saking marahnya ia tidak gentar. Apa lagi ia berada dalam kandang sendiri,
"Siluman betina kau ingin mampus!” bentaknya marah sambil menyerbu maju. Sesuai dengan julukannya, Bu tek Sin-ciang atau Tangan Sakti Tanpa Tandinganya Bouw Gun adalah ahli tangan kosong yang mengandalkan ilmu silat tangan kosong dan kekuatan kedua lengannya yang hebat.
Selain ilmu silatnya juga orang tinggi besar ini mahir ilmu gulat dari Mongol yang sudah terkenal dan berbahaya. Sekali saja orang tertangkap oleh tangannya, jangan harap akan dapat terlepas se belum ada yang patah-patah tulangnya. Oleh karena itu, kali inipun ia menyerbu Toat-beng Kui bo dungan tangan kosong saja, menubruk sambil mengirim pukulan yang disusul oleh cengkeraman.
Akan tetapi kali ini ia menghadapi Toat-beng Kui-bo seorang tokoh yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari padarya, baik dalam ilmu silat maupun dalam hal tenaga lweekang. Melihat orang tinggi besar itu, Toat-beng Kui-bo tertawa cekikikan.
"Ah! Kiranya kau? Mari cucuku, mari maju untuk kucabut kepalamu dari tubuhmu yang tak terharga itu!" Tongkatnya menyambar cepat memapaki serbuan Bouw Gun, langsung menyambar ke arah leher dengan kekuatan yang dahsyat dan kalau mengenai leher, bisa copot kepala itu dari tubuhnya.
Bouw Gun kaget sekali. Hawa pukulannya biasanya amat kuat dan dengan hawa pukulannya saja ia dapat membunuh orang. Akan tetapi nenek ini sama sekali tidak memperdulikan pukulannya, bahkan dengan tak terduga sudah mendahuluinya dengan serangan maut. Terpaksa ia mengelak mendekati untuk menyerang dari jarak dekat. Tangan kirinya menyambar tongkat untuk ditangkapnya, tangan kanan memukul dada.
"Hihi, kau lihai juga!" Toat beng Kui-bo mengejek. Ia hanya menarik tongkatnya agar jangan sampai terampas lawan sedangkan pukulan pada dadanya tidak dihiraukan sama sekali.
Bouw Gun kaget dan orang Mongol ini dapat menduga bahwa tentu nenek itu mengandalkan sinkangnya yang tinggi untuk menahan pukulannya, maka setelah kepalannya menyambar dekat dada, ia merubahnya menjadi cengkeraman. Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya ketika tangannya bertemu dengan permukaan yang rata dan keras seperti papan baja. Nenek itu sama sekali dadanya sudah tidak ada daging maupun kulit yang dapat dicengkeram. Agaknya kulitnya sudah mengeras dan rata dengan tulang sehingga kuat sekali.
Bouw Gun dalam kagetnya cepat hendak menarik kembali tangannya, akan tetapi terlambat. Toat beng Kui-bo sudah menggerakkan tongkatnya dan terdengar suara “buk” yang keras ketika tongkat itu mendorong dadanya. Tubuh orang Mongol itu terjengkang, darah tersembur dari mulutnya. Dalam keadaan sekarat ia tidak berdaya ketika kembali tongkat menyambar, kini mengenai lehernya.
"Krak..!” leher itu remuk sama sekali dan... putus. Kepala Bauw Gun sudah terpisah dari badannya.
“Hi hi-hi-hi...! Toat-beng Kui-bo tertawa-tawa ketika ia menyambar kepala dan diangkat untuk mengamat-amati muka Bouw Gun yang masih meringis dan masih marah.
"Iblis betina jangan kau menjual lagak!" Berturut-turut beberapa orang yang memiliki gerakan gesit sekali melompat masuk. Mereka ini adalah Liok Kong Ji yang diikuti oleh tokoh-tokoh lain. Melihat betapa kepala Bouw Gun sudah dicopot oleh nenek itu, karuan saja Liok Kong Ji dan kawan kawannya marah sekali.
Di lain saat, melihat datangnya Liok Kong Ji, Toat-beng Kui-bo juga menjadi girang. "Aha, kau datang pula, cucuku? Mari... mari sini, kawanmu ini sudah lama menanti. Berikan kepalamu kepada nenekmu ini, hi hi hi!"
Marah sekali Kong Ji mendengar ini. Tangannya bergerak dan dari tengan kirinya menyambar sinar hitam, yaitu Hek-tok-ciam (Jarum-jarum Racun Hitam) dan tangan kanannya mengeluarkan hawa pukulan Hek-tok-ciang yang amat berbahaya.
Toat-berg Kui bo yang terlalu memandang rendah kepada Kong Ji, berlaku sembrono dan tidak mengelak atau menangkis, hanya mangerahkan sinkangnya. Ketika jarum-jarum mengenai tubuhnya, jarum jarum itu runtuh, akan tetapi pukulan Hek-tok-ciang membuat tubuh nenek itu terhuyung ke belakang.
"Ayaaa...!” Setan, kau berani memukulku…!” bentak nenek itu marah sekali dan, tiba-tiba dari atas udara menyambar turun benda hitam yang cepat menyambar Kong Ji.
Tentu saja Li ok Kong Ji kaget dan menankis dengan tangannya. Sebuah benda hitam terlempar dan yang dua berhasil menyambar pundaknya. Baiknya Liok Kong Ji berkepandaian tinggi sehingga ia cepat miringkan tubuh dan kelelawar itu hanya merobek baju saja. Namun cukup membuat ia bergidik karena maklum bahwa terluka oleh kelelawar itu sukar sekali mengobatinya.
“Serbu, bunuh siluman ini!” Kong Ji berteriak-teriak marah sekali sambil menyerbu diikuti oleh kawan-kawannya.
Kini tahulah Toat-beng Kui-bo bahwa nama besar Liok Kong Ji bukan kosong belaka dan bahwa ia telah dikurung oleh banyak orang pandai. Sambil tertawa-tawa ia melempar kepala Bouw Gun ke depan. "Makanlah kepala sahabat baikmu!"
Liok Kong Ji dan kawan-kawannya terpaksa mengelak agar jangan sampai terkena sambitan dengan kepala ini. Kong Ji mengulur tangannya menyambar kepala itu dan memberikan kepada seorang pengawal untuk merawatnya. Sementara itu Toat-beng Kui-bo mempergunakan kesempatan ini untuk melompat keluar dari kemah. Akan tetapi Kong Ji dan kawan-kawannya mana mau melepaskannya? Cepat mereka mengejar. Akan tetapi dalam kegaduhan in mi, sambil tertawa cekikikan, kembali tongkat di tangan nerek itu sudah merobohkan tiga orang pengeroyok.
Pengepungan rapat sekali dan nenek itupun berlaku nekad, mengamuk bagaikan siluman terjepit. Tongkatnya sampai menjadi merah karena darah para korban yang dirobohkannya. Keadaan menjadi gempar. Baru kali ini orang-orang Mongol itu menghadapi lawan sehebat ini. Bahkan ketika Ang jiu Mo-li mengamuk dikeroyok oleh panglima-panglima Mongol tidak selihai nenek ini. Selain lihai nenek inipun ganas sekali, setiap kali tongkatnya menyambar tentu ada lawan roboh binasa. Akhirnya hanya yang pandai-pandai saja berani mengeroyok, di antaranya Liok Kong Ji sendiri, Pak Kek Sam-kui, dan para ketua partai yang membantunya.
Selagi mereka repot mengeroyok nenek yang benar-benar kosen sekali itu, tiba-tiba terdengar suitan panjang dan tinggi. Suitan ini memekakkan telinga.
“Lo thian-tung Cun Gi Toting datang…” seru Liok Kong Ji dengan suara girang sekali.
"Totiang yang mulia, bantulah kami!" Kemudian disambungnya dengan suara memerintah. "Cui Kong, lekas bantu kami!"
Yang datang adalah seorang tosu tua yang buntung kaki kanannya, namun biar kakinya hanya sebelah saja yang kiri, jalannya tidak pincang. Sebuah tongkat panjang menjadi pengganti kaki kanannya, gerakannya cepat sekali. Ia datang bersama seorang pemuda yang memegang huncwe. Liok Cui Kong yang sudah kita kenal kelihaiannya.
"Silakan semua minggir, biar kami berdua menangkap siluman ini." kata tosu buntung itu, yang bukan lain adalah Lo-thian-tung Can Gi Tosu.
Seperti dapat diduga dari julukannya Lo Thian-tung atau Tongkat Pengacau Langit, kakek ini adalah seorang ahli bermain tongkat yang jarang bandingannya. Dia adalah seorang tosu pengembara dari barat yang dapat diperalat oleh Liok Kong Ji, bahkan ia akhirnya mendapat kepercayaan dari Kong Ji untuk melatih ilmu silat kepada anak-anak angkatnya, yaitu putera angkatnya, yaitu Liok Cui Kong, dan dua orang puteri angkat sejak kecil Cui Lin dan Cui Kim. Melihat bakat yang amat baik dan luar biasa dalam diri Cui Kong, Liok Kong Ji menjadi amat sayang kepada putra angkat ini dan menurunkan semua kepandaiannya, maka ditambah oleh gemblengan dari tosu buntung itu, kepandaian Cui Kong menjadi hebat sekali.
Begitu Can Gi Totiang menggerakkan tongkatnya dan Cui Kong menyerang dengan huncwenya, Toat beng Kui-bo sudah maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang amat tangguh. Ia memutar tongkatnya dan sekaligus menangkis serangan dua orang lawannya itu. Terdengar suara keras, bunga api berpijar dan tiga orang itu melompat mundur untuk memeriksa senjata masing-masing. Setelah dengan lega melihat bahwa senjata masing-masing tidak rusak mereka maju bertempur lagi dengan seru.
Tiga ekor kelelawar menyambir ke bawah hendak membantu Toat beng Kui-bo, akan tetapi, Liok Kong Ji mengayun jarum-jarum Hek-tok-ciamnya sehingga binatang binatang itu jatuh ke bawah mengeliarkan pekik nyaring. Toat-beng Kui-bo berlaku nekad. Ia tadi sudah menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai dan sudah merasa lelah sekali. Kini ia dikeroyok oleh dua orang guru dan murid yang kepandaiannya tinggi, apa lagi Liok Kong Ji yang juga lihai sekali itu mulai maju mendesak membantu dua orang pengeroyok, maka Toat-beng Kui-bo merasa makin terdesak hebat.
Sambil mengeluarkan seruan-seruan seperti harimau terjepit, nenek yang sudah tua sekali ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga terakhir untuk membela diri dan membalas menyerang. Namun tiga orang lawannya terlampau kuat dan setelah beberepat kali terkena pukulan, akhirnya Toat bong Kui-bo terpaksa harus mengakui keunggulan lawan.
Tongkat dari Lo thian tung Cun Gi Tosu berhasil menyerampang kakinya, menibuat ia roboh dan pada saat itu, pukulan Tin san-kang dilancarkan oleh Liok Kong Ji, membuat nenek itu muntah darah, ditambah totokan hun-mcwe di tangan Cui Kong yang mengenai jalan darah kematian pada lehernya membuat nyawa Toat-beng Kui-bo melayang meninggalkan raganya.
Liok Kong Ji tertawa bergelak saking girangnya. Dengan kasar ia membalik tubuh nenek itu terlentang lalu menggerayangi saku-saku jubah nenek itu. Sebuah kitab keluar dari saku dan sektlas pandang saja Liok Kong Ji maklum bahwa itu adalah kitab wasiat dari Omeisan. Judulnya DELAPAN JALAN UTAMA. Cepat-cepat kitab itu menghilang di dalam bajunya sendiri...
Melihat pemuda ini muncul, pikiran Tiang Bu yang selama ini gelap dia tidak ingat apa-apa seperti dibuka. Dapatlah ia menduga bahwa selama ini ia memang sengaja dibikin mabok oleh dua orang gadis itu dengan rayuan dan cumbuan mereka. Karena tidak dapat menangkan dia dengan ilmu silat, mereka telah menggunakan kecantikannya dan agaknya semua ini diatur oleh Cui Kong yang menjadi dalang di belakang layar!
Marahlah Tiang Bu melihat pemuda itu dan cepat ia menubruk mengirim pukulan ke arah dada Cui Kong. Akan tetapi, dua orang "kekasihnya" yang selama puluhan hari dari malam berlaku amat manis kepadanya, kini merupakan lawan yang haus darah dan pedang mereka menyambar dari kanan kiri secara kilat. Terpaksa Tiang Bu menarik kembali serangannya terhadap Cui Kong untuk mengelak dan menggunakan jari tangannya menyentil pedang dua nona itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika hampir saja jari-jari tangannya terbabat putus ketika bertemu dengan pedang!
Masih baik ia cepat melompat ke samping sambil menarik tanganya. Ternyata bahwa tenaga sentilannyapun hilang kekuatannya. Pada saat itu, ujung huncwe di tangan Cui Kong sudah menyambar. Tiang Bu mencoba untuk mengelak, akan tetapi kedua kakinya lemas dan ia hanya sempat miringkan tubuh. Namun ujung huncwe terus mengejar dan leher belakangnya ditotok!
Tiang Bu mengeluh. Kalau biasanya, totokan seperti itu saja takkan mengakibatkan apa- apa karena hawa sinkangnya tentu akan melawannya, akan tetapi sekarang ia tidak kuat menolak sehingga jalan darahnya terkena totokan lihai, membuat ia lemas dan roboh terpelanting ketika Cui Kong menendang lututnya. Di lain saat, ujung dua pedang dan sebuah huncwe telah menodong jalan jalan darah kematian, membuat ia tak berdaya sama sekali.
"Ha ha ha tikus buruk. Kau mau apa sekarang?" bentak Cui Kong, menusuk-nusuk kulit dada Tiang Bu memancing pemuda itu mengaduh. Akan tetapi biarpun kesakitan, Tiang Bu diam saja, sama sekali tidak mengeluh. Ia lebih banyak merasa hanteur hatinya mengingat akan kesesatannya dari pada merasa takut.
Dua orang nona itupun tertawa cekikikan. “Twako, kalau tidak ada kami dua orang wanita lemah, tak mungkin hari ini berhasil membekuknya," kata Cui Kim.
"Memang kalian anak anak baik dan pintar sekali, telah menjalankan siasatku secara sempurna. Tunggulah, kelak aku akan menyatakan terima kasihku kepada kalian," jawab Cui Kong sambil tertawa-tawa.
Mendengar ini, hati Tiang Bu makin hancur dan ia ingin memukuli diri sendiri karena kebodohannya. Mataku telah buta, pikiranku penuh penyesalan. “Cui Kong, hayo kau bunuh saja aku. Orang macam aku memang layak dibunuh, tidak ada gunanya hidup!" kata Tiang Bu sambil memandang kepada Cui Kong dengan mata mendelik.
"Ha-ha ha ha, Tiang Bu. Kau merengek-rengek ingin minta kasihan? Apa kau mau mengingatkan aku bahwa kita masih saudara angkat?”
"Tidak, kau bunuhlah aku. Siapa sudi punya saudara angkat macammu? Juga aku bukan anak ayah angkatmu. Lebih baik mati!” jawab Tiang Bu gemas.
“Twako, tusuk saja jantungnya biar lekas beres. Sebal hatiku melihat monyet ini,” kata Cui Kim sambil menekan ujung pedangnya sehingga ujung pedang itu masuk ke dalam daging di pundak Tiang Bu sampai mengenai tulang pundaknya. Dapat dibayangkan betapa nyerinya, namun Tiang Bu sama sekali tidak memperlihatkan rasa sakit. Jangankan mengeluh berkedippun tidak!
“Biarkan aku yang memenggal lehernya, dia sudah terlalu banyak mempermainkan diriku. Aku ingin membalas sakit hati dan penghinaan itu!" kata Cui Lan dan nona ini mengayun pedangnya ke arah leher Tiang Bu yang menanti datangnya pedang dengan mata menantang berani.
"Traaangeg...! Pedang itu terpental oleh tangkisan huncwe di tangan Cui Kong.
“Eh, twako... mengapa kau tiba-tiba menjadi lemah hati dan penyayang?"
"Lin-moi. jangan lupa akan pesan ayah? Dia boleh ditawan, boleh dibikin tak berdaya dan dihilangkan kepandaiannya, akan tetapi tidak boleh dibunuh. Dia berbahaya dan aku masih meninggalkan hutang kepadanya, biar sekarang kusuruh dia membayarnya.” Setelah berkata demikian huncwenya bergcrak cepat sekali dan...
"krak... krak...!" tulang-tulang kaki Tiang Bu patah-patah oleh pukulan huncwe.
Rasa nyeri menyusup ke tulang-tulang seluruh tubuh Tiang Bu, membuat wajah menjadi pucat seperti mayat dan bibirnya yang tebal itu mengeluarkan darah karena digigitnya sendiri dalam menahan rasa sakit akan tetapi berkat kekerasan hatinya, ia masih sadar ketika ia diseret oleh Cui Kong dan dua orang nona itu, diseret keluar dari dalam pondok kemudian dilempar ke dalam jurang yang dalam di pantai sungai!
Dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan, Tiang Bu mempergunakan kesempatan terakhir menolong nyawa dari maut dengan cara membentangkan kedua lengannya mencari pegangan sesuatu penahan tubuhnya yang meluncur ke bawah, bergulingan di atas batu-batu yang tajam. Akhirnya ia tertolong, tangan kanannya dapat memeluk sebatang pohon yang tumbuh di lereng jurang. Mempergunakan sisa tenaganya Tiang Bu memeluk batang pohon itu dan ia berhenti bergulingan. Agaknya Thian masih menghendaki supaya ia hidup.
Setelah dapat menempatkan diri, duduk di atas batu di dekat pobon sambil memeluk batang pohon yang menjadi penolongnya itu, Tiang Bu pingsan. Tubuhnya menggelantung di pohon, matanya meram dan napasnya lemah sekali.
********************
Biar kita tinggalkan dulu Tiang Bu yang berada dalam keadaan mati tidak hiduppun payah itu dan mari kita menengok keadaan dunia luar jurang itu di mana terjadi hal-hal yang tidak kalah hebatnya.
Pemimpin bangsa Mongol, Temu Cin yang pandai memimpin itu, makin lama makin terkenal di antara para suku bangsa yang tinggal di daerah utara. Suku bingsa demi suku bangsa ia taklukkan, bahkan suku bangsa Kerait yang amat kuat dan yang tadinya selalu mengalahkan orang-orang Mangol, dapat ia tundukkan. Oleh karena semua orang menganggap Temu Cin sebagai pemimpin besar yang amat boleh diandalkan.
Pada tahun l206 semua suku bangsa mengadakan rapat besar di hulu Sungai Onon dan dalam kesempatan inilah Temu Cin diangkat menjadi raja besar dari seluruh Mongolia dan diberi gelar Jengis Khan yang kemudian menjadi tokoh besar yang amat termasyhur di dalam sejarah.
Nama besar Jengis Khan ditakuti oleh semua suku bangsa dan banyak sekali suku bangsa yang takluk tanpa diserang, Sepak terjang barisan Jengis Khan yang gagah berani dan ganas kejam terkenal di mana-mana. Memang di dalam barisan Jengis Khan terdapat banyak sekali orang-orang pandai, bahkan ban yak pula orang Han dan orang orang selatan, ahli-ahli silat yang pandai, terkena bujukannya dan masuk menjadi pembantu.
Di antara suku-suku bangsa di daerah perbatasan di utara, hanya suku bangsa Han Hsia yang masih belum mau tunduk. Jengis Khan mulai memimpin tentaranya ke sana dan dalam waktu dua tiga tahun saja berturut-turut diserangnya suku bangsa ini hancurlah balatentara Hsi-Hsia. Setelah itu Jengis Khan mulailah dengan rencananya yang besar, rencana yang sudah lama ia idam-idamkan dan sudah lama ia mengatur siasat untuk rencana ini, yaitu menyerbu ke selatan. Di serangnya Kerajaan Kin.
Pada tahun 1211 ia mulai menyerbu Shensi dais Hopei, mambakar rumah-rumah rakyat, merampok, membinasakan, mengganas dan menghancurkan segala apa yang menghalangi tentaranya. Rakyat di daerah utara melakukan perlawanan mati matian. Di mana-mana Jengis Khan menemui perlawanan. Namun bala tentara Mongol terlampau kuat. Biarpun dengan adanya perlawanan rakyat ini pergerakan bala tentara Mongol agak terhalang, namun dalam waktu dua tahun saja bala tentaranya sudah berhasil menyerbu Yenking atau Peking, kota raja Kerajaan Kin!
Hebat sekali pertempuran-pertempuran yang terjadi sebelum bala tentara musuh berhasil menyerbu ibukota ini. Pihak Kerajaan Kin melakukan perlawanan gagah perkasa dan mati-matian. Pangeran Wanyen Ci Lun yang berhasil mengumpulkan banyak orang gagah, apa lagi akhir-akhir ini setelah ia mengutus Kwan Kok Sun untuk mercari bantuan ke selatan, melakukan perlawanan mati-matian. Oleh usaha Pangeran Wanyen Ci Lun yang melakukan segala daya upaya untuk menghalau musuh inilah maka tidak mudah bagi balatentara Mongol untuk memasuki atau membobolkan kota raja. Juga bukan sedikit tentara dan perwira Mongol yang tewas dalam perrempuran ini.
Beberapa kali pertempuran terpaksa ditunda karena kedua fihak sudah banyak mengalami kerusakan. Mereka menunda pertempuran untuk memberi nafas kepada balatentera masing-masing. Di fihak Mongol untuk dapat berunding guna mengatur siasat penyerbuan baru, sedangkan di fihak Kin untuk dapat berunding guna mengatur siasat pertahanan yang kokoh kuat.
Sudah untuk kedua belas kalinya kedua pihak menunda perang. Kembali masing-masing fihak mengatur siasat. Di fihak istana kaisar, Pangeran Wanyen Ci Lun mengadakan perundingan dengan para panglima perang. Pangeran ini nampak jauh lebih tua dari pada usianya yang sebenarnya, hal ini karena ia terlalu banyak menderira selama negaranya diserang oleh orang Mongol. Keningnya berkerut cambangnya panjang, menambah keangkeran wajahnya yang tampan.
Di dalam ruangan sidang itu. selain sepuluh orang panglima besar Kerajaan Kin, juga di sampingnya duduk berapa orang tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah datang untuk membantu Kerajaan menghadapi serbuan bala-tentara Mongol. Nampak di situ Tee-tok Kwan Kok Sun yang berpakaian panglima dan berkepala gundul, Hwa Thian Hwesio tukang dapur Kelenteng Kwan twe bio di selatan kota raja, hwesio gemuk bundar yang amat lucu akan tetapi kepandaiannya tinggi, dan banyak lagi tokoh kangouw yang datang ke situ karena tertarik oleh hadiah-hadiah besar!
Bahkan disitu hadir pula Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, sepasang suami isteri pendekar yang gagah perkasa, yang baru datang dari Kim-bun-to beberapa hari yang lalu. Kedatangan sepasang suami-isteri ini bersama puteri mereka Coa Lee Goat yang sudah remaja puteri dan selain cantik jelita juga gagah perkasa murid Wan Sin Hong. Mereka ini datang untuk menjemput Gak Soan Li dan anak-anak mereka karena dahulu Pangeran Wanyen Ci Lun sudah minta pertolongan mereka agar supaya memboyong anak isterinya ke Kim-bun-to apabila perang dengan orang-orang Mongol pecah.
Akan tetapi, Gak Soan Li juga dua orang anaknya, Wan Sun dan Wan Bi Li, berkeras tidak mau mengungsi pergi meninggalkan Pangeran Wanyen Ci Lun. 0leh karena itu, biar pun tidak tertarik oleh perang, sepasang suami isteri ini menjadi tidak enak hati kalau buru-buru pergi seakan-akan mereka takut menghadapi perang. Terpaksa mereka memutuskan untuk tinggal beberapa lama, selain mengawani Gak Soan Li, juga melihat-lihat apakah mereka dapat membantu sahabat mereka, Pangeran Wanyen Ci Lun yang sedang berjuang membela negaranya. Pangeran Wanyen Ci Lun merasa kecewa dan berduka karena Wan Sin Hong tidak datang membantunya.
“Wan-taihiap tak mungkin mau datang,” kata Coa Hong Kin yang sudah tahu akan pendirian pendekar besar itu. "Tentu siauw ongya dapat menyelami perasaannya. Dia adalah seorang patriot Han tulen dan terus terang saja dia tidak mau mencampuri urusan dua kerajaan bukan bangsanya." Memang Hong Kin suka berterus terang dan hubungannya dengan Pangeran Wanyen Ci Lun sudah amat erat, tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Dan pendirianmu sendiri bagaimana, kawan?" tanya Wanyen Ci Lun, memandang tajam dan penuh harap kepada suami isteri itu.
Coa Hang Kin tersenyum pahit dan menarik napas panjang. "Tentu saja kami berdua siap sedia membantumu dan akan rela mengorbankan nyawa untuk menolongmu. Akan tetapi ini hanya kesetiaan seorang terhadap sahabat baiknya, bukan kesetiaan seorang warga negara terhadap negaranya."
Wanyen Ci Len menarik napas panjang. "Sayang aku bukan orang Han. Aku akan senang sekali berjuang membela tanah air bahu membahu dengan kalian dan dengan orang-orang seperti Wan Sin Hong. Tidak, sobat-sobatku yang baik, aku takkan minta pengorban jiwa sahabat-sahabat baik untuk kepentinganku semata. Aku hanya minta apabila keadaan terlalu mendesak dan anak-anak serta isteriku terancam bahaya kalian suka membawanya mengungsi dan menyelamatkan diri ke selatan."
Demikianlah percakapan antara mereka sebelum rapat penundaan perang itu diadakan. Dengan kagum Hong Kin dan Hui Lian mendengar sahabatnya itu mengatur siasat, akan tetapi mereka juga berduka mendengar betapa keadaan sahabatnya itu sudah terdesak hebat seperti terbukti dalam ucapan Pangeran Wanyen Ci Lun kepada orang-orang gagah dan para panglima yang hadir di situ.
"Barisan musuh menggunakan siasat memecah belah pusat kekuatan kita. Maka mereka menyerang dari empat penjuru secara bergantian agar payah kita memusatkan tcnaga pertahanan secara berpindah-pindah. Memang pertahanan kita cukup kuat, benteng cukup tebal dan terjaga kuat. Akan tetapi tentara kita jauh kalah banyak jumlahnya. bahkan kini makin lama makin kecil karena jatuhnya korban tanpa dapat ditampung tenaga baru karena kota raja sudah terkurung. Makin berkurangnya anggauta barisan, berarti makin lemahnya pertahanan kita. Memang dengan cara baih ok (barisan bersembunyi) kita dapat melakukan pertempuran gerilya dan mendatangkan kerugian lebih besar pada mereka. Namun, biarpun kita andaikata dapat merobohkan seratus orang musuh hanya dengan mengorbankan sepuluh orang, yang sepuluh ini bagi kita amat besar artinya, karena tidak ada penggantinya sedangkan musuh mudah saja mendatangkan bala bantuan atau mengganti tentaranya yang luka-luka dan lelah. Juga, amat sukar bagi kita untuk mendatangkan rangsum dari luar tanpa menghadapi bahaya besar dirampas musuh." Ia berhenti sebentar untuk melihat reaksi pada muka para pendengarnya.
"Celakanya, semua hal yang tidak menguntungkan kita itu diketahui belaka dengan baiknya oleh pihak musuh!" kata Tee-tok Kwan Kok Sun dengan muka muram.
"Akan tetapi keadaan kita sebetulnya tidak amat buruk," kata Pangeran Wanyen Ci Lun cepat-cepat untuk mengusir kelemahan semangat para pembantunya, "memang harus diakui bahwa pihak musuh amat kuat. Akan tetapi selama semangat orang-orang kita berkobar seperti sekarang, jangan harap mereka dapat membobolkan pertahanan. Di samping pertahanan kita yang kuat juga aku sudah mengirim permintaan bala bantuan dari saudara saudara bangsa Hsi-Hsia yang menaruh dendam terhadap orang-orang Mongol. Kepala barisan mereka yang masih bersembunyi di hutan, Tiku Tami telah berjanji untuk memperkuat pertahanan kita dan memukul dari luar."
Berita ini menggirangkan semua orang. Kwan Kok Sun mangangguk-angguk dan berkata, "Memang baik sekali, dan pula, dapat diharapkan kehadiran seorang tokoh besar yang kepandaiannya amat tinggi. Tokoh besar inilah yang dapat diharapkan untuk merobohkan pentolan-pentolan Mongol seperti Thian-te Basek-Tai-hiap Liok Kong Ji. Bu-tek Sin ciang Bouw Gan dan yan g lain-lain."
Kaget semua orang mendengar ini. Siapakah yang dapat mengalahkan pentolan Mongol yang disebutkan tadi? Kwan Kok Sun tertawa cara ketawanya masih menyeramkan biarpun sudah memakai pakaian panglima besar.
"Dia itu adalah Toat-beng Kui-bo dari Ban-mo-tong!"
Baru saja nama ini disebut, tiba-tiba dari luar ruangan terdeagar suara ketawa cekikikan terbawa angin yang bertiup masuk, kemudian terdengar suara, "Hi-hi -hi-hi. Pangeran Wan-yen, aku datang membawa hadiah!”
Dua buah benda melayang masuk, jatuh berdebuk di atas meja yang dikelilingi mereka yang sedang berunding. Ketika dua benda itu berhenti menggelinding dan semua orang memandang, ternyata bahwa dua benda itu adalah dua buah kepala manusia yang agaknya baru saja dipenggal lehernya karena darah segar masih menetes netes dari leher! Melihat bahwa dua kepala itu memakai topi panglima Mongol, Kwan Kok Sun tertawa senang dan berkata ramah.
"Locianpwe Toat-be ng Toanio, silahkan masuk!”
Akan tetapi belum habis kata-kata ini, orang yang diundang itu telah berdiri di dekat meja sambil tertawa cekikikan. Mereka yang belum pernah melihat rupa Toat beng Kui-bo, menjadi pucat dan bergidik penuh kengerian hati. Apalagi ketika melihat bahwa nenek itu memondong seorang anak perempuan kecil yang usianya baru dua tiga tahun, anak yang mungil sekali, pipinya kemerahan dan bibirnya merah tersenyum-senyum. Akan tetapi, baju dan jidat anak ini bernoda darah, agaknya darah dari dua buah kepala yang dipenggal oleh nenek mengerikan itu!
"Pangeran Wanyen, aku memenuhi janji datang untuk memberi hajaran kepala anjing-anjing Mongol yang melampaui perbatasan dan mengacau di bumi Tiongkok! Ketika hendak masuk kota raja tadi, aku dihadang oleh pasukan tentara Mongol. Ketika mengamuk aku teringat bahwa seorang tamu harus bawa oleh-oleh, maka kusambar kepala dua orang panglima pemimpin pasukan itu dan kubawa kemari untuk dipersembahkan ke padamu. Hi-hi-hi!"
Tadi Pangeran Wanyen Ci Lun bengong dengan kagum dan ngeri. Sekarang ia cepat berdiri memberi hormat dan berkata. "Kedatangan locianpwe bagi kami adalah seperti datangnya air hujan di musim kering! Terima kasih atas pemberian hadiah locianpwe. Dalam masa seperti ini tidak ada hadiah yang lebih berharga dari pada kepala musuh!"
angeran itu mempersilakan nenek buruk rupa itu duduk dan memberi perintah kepada pelayan untuk membawa pergi dua buah kepala dan membersihkan bekas darah. Kemudian ia sendiri menuangkan arak ke dalam cawan emas untuk Toat-beng Kui-bo. Nenek itu menerima sambil tertawa-tawa senang. Kwan Kok Sun mengatur siasatnya. Orang seperti nenek ini sukar diurus dan kalau tidak memakai akal, biarpun nenek ini kepandaiannya tinggi sekali, takkan ada gunanya karena tentu takkan mau mentaati perintah.
"Locianpwe, tadinya kami sudah kegiranaan sekali karena mengira bahwa dua buah kepala itu adalah kepala dari Liok Kong Ji dan Bouw Gun. Eh, tidak tahunya hanya kepala dua perwira-perwira yang tidak ada nilainya. Akan tetapi aku tidak berani menyalahkan locianpwe oleh karena siapakah orangnya bisa memenggal kepala Thian-te Bu-tek Taihiap Liok kong Ji dan Bu-tek Sin-ciang Bouw Gun yang lihai sekali. Apalagi mereka berada di markas tentara musuh. Sukar... sukar...!”
Kwan Kok Sun terpaksa berhenti bicara karena arak dari cawan Toat-beng Kui-bo menyiram mukanya dan terasa pedas, bukan main sampai-sampai ia tidak bisa membuka matanya.
"Gundul pacul! Kau terlalu memandang rendah padaku. Kau kira aku tidak becus mencabut kepala tikus-tikus macam mereka?"
Kwan Kok Sun cepat memberi hormat pada nenek galak itu dan berkata sambil memaksa tersenyum di mulut padahal hatinya memaki marah. "Harap locianpwe tidak marah, tentu saja aku percaya penuh akan kemampuan locianpwe. Soalnya, kami sudah terlalu gawat dibikin pusing oleh orang orang seperti Thian-te Bu-tek Taihiap dan Bu-tek Sin ciang, tanpa mampu berbuat apa-apa. Kalau kiranya locianpwe sanggup mencabut kepala mereka dan dibawa ke sini. benar benar kami akan berterima kasih besar sekali kepada locianpwe.”
Semua orang, termasuk Pangeran Wanyen Ci Lun, diam-diam memuji kecerdikan Kwa Kok Sun yang mula-mula “membakar" hati nenek sakti itu untuk kemudian didorong kearah perbuatan yang akan banyak membantu pergerakan mereka melawan musuh. Hanya Toat-beng Kui-bo seorang yang tidak tahu, buta oleh kesombongannya. Toat beng Kui-bo menoleh kepada Wanyen Ci Lun, lalu tiba-tiba melontarkan anak kecil yang dipondongnya itu ke arah Pangeran Wanyen.
“Pangeran, aku titip bocah ini kepadamu. Nanti kalau sudah kubawa datang dua kepala tikus itu, aku ambil kembali anak itu!”
Wanyen Ci Lun sudah menangkap bocah perempuan yang menjadi kaget karena dilemparkan dan menangis itu. Sebelum ia sempat menjawab, angin mendesir dan nenek yang seperti siluman itu sudah lenyap dari ruangan itu. Semua orang menjadi bengong. Bahkan Hong Kin dan Hui Lian sendiri yang sudah banyak bertemu dengan orang-orang pandai, harus mengaku bahwa nenek itu memiliki kepandaian yang hebat sekali. Yang paling gembira adalah Pangeran Wanyen Ci Lun oleh karena kalau benar-benar nenek itu bisa membunuh dua orang yang disebutkan tadi berarti pihak musuh akan kehilangan dua orang panglima yang kuat dan pandai.
Toat-beng Kui-bo memang luar biasa sekali. Ketika ia berlari seperti terbang keluar dari kota raja, sukar bagi orang biasa untuk dapat melihatnya. Yang nampak hanya bayangan hitam berkelebat cepat, atau kalau orang melihat ke atas akan terlihat tiga titik hitam terbang cepat ke utara dan tiga titik hitam ini kalau diperhatikan adalah tiga ekor kelelawar besar.
Ketika Toat-beng Kui-bo memasuki kota-raja, ia sudah dihadang dan bertempur, maka para pasukan Mongol yang bertugas mengurung kota raja, tahu bahwa kini nenek itu sudah keluar lagi dari kota raja. Akan tetapi pengalaman tadi masih membuat mereka gentar, pengalaman hebat di mana sepasukan Mongol habis dibunuh oleh nenek itu dan dua orang panglimanya lenyap kepalanya dibawanya pergi. Kini melihat kelelawar dan bayangan hitam, mereka sebagian besar hanya pura-pura tidak melihat! Bahkan perwira yang memimpin pasukan kecil cepat-cepat menyimpangkan pasukannya ke arah lain agar jangan bertemu dengan nenek itu.
Toat-beng Kui bo juga tidak memperdulikan mereka. Tujuannya kini hanya mendatangi kemah para panglima Mongol dan berusaha mencari Liok Kong Ji dan Bouw Gun untuk dipenggal batang lehernya dan dibawa kepalanya ke istana Pangeran Wanyen Ci Lun sebagai bukti bahwa ia bukan hanya omong kosong. Kelelawar-kelelawar yang terbang di atas selalu mengikuti ke mana nenek itu menuju.
Pada saat itn kaisar Jangis Khan juga sedang mengadakan perundingan dengan para panglimanya, merundingkan siasat untuk mcmbobolkan benteng pertahanan Kora Raja Kin yang kokoh kuat itu. Di antara para pan gliwa besar, nampak pula di situl Liok Kong Ji, Bouw Gun, Pak-kek Sam kui. Dan orang-orang akan merasa terkejut, heran dan juga malu kalau saja mereka melihat siapa-siapa yang hadir pula dalam ruangan kemah Raja Mongol itu. Tokoh-tokoh besar dari selatan, orang-orang yang menamakan dirinya orang gagah di dunia kang-ouw banyak yang hadir di situ, menjadi pengkhianat-penghianat penjual negara, menjadi kaki tangan orang Mongol! Di antara mereka nampak Le Thong Hosiang ketua Tatyun-pai, Nam Kong Hosiang dan Nam-Siang Hosiang dua orang tokoh Kaolikung-pai, Heng-tuan Lojin, hwesio perantau dari Hengtuan-san dan masih banyak lagi.
“Jalan terbaik menurut pendapat hamba, Kota Raja Kin itu harus dikurung rapat. Jalan ke selatan harus dipotong, dan pembantu-pembantu yang berada di dalam kota raja dan mendapat kedudukan penting supaya mulai dengan gerakan mereka pada saat kita mengadakan penyerbuan besar-besaran, bukan dari satu pintu melainkan dari empat jurusan," demikian usul Liok Kong Ji kepada Jengis Khan.
Kaisar yang sekarang bertubuh kekar mengangguk-angguk. “Taihiap berkata benar, cocok dengan rencanaku. Memang kita tidak ada banyak waktu untuk di buang-buang di sini, hanya untuk mengepung sebuah kota saja. Aku sudah mendatangkan bala bantuan dari utara, tiga puluh laksa banyaknya, begitu mereka datang setelah diberi waktu mengaso sehari, malamnya kita serbu kota Kin dari empat penjuru. Kita habiskan dan ratakan kota itu dengan bumi. Setelah memberi keputusan terakhir dalam pertemuan itu, Jengis Khan memberi tanda bahwa persidangan ditutup dan ia masuk ruangan dalam.
Pada saat kaisar sudah masuk ke dalam dan para panglitna mulai berjalan keluar, tiba-tiba terjadi ribut-ribut yang datangnya dari arah kiri. Nampak para penjaga berlari-larian. Melihat ini Bu-tek Sin ciang Bouw Gun panglima Mongol tua yang tinggi besar berewokan itu menjadi marah. Memang dia terkenal berwatak keras dan berdisiplin sekali. Rata-rata panglima Mongol amat berdisiplin sehingga, barisan-barisan mereka terkenal sebagai barisan yang amat teratur dan kuat. Melihat para penjaga cerai-berai, Bouw Gun cepat lari ke arah tempat itu sambil beteriak-teriak memaki para penjaga.
“Anjing-anjing kekenyangan tak tahu malu. Begitukah caranya berjaga? Seorang penjaga kebetulan lari ke tempatnya tiba-tiba terlempar dengan kaki patah patah karena ditendang oleh Bauw Gun. Penjaga itu kesakitan hebat akan tetapi, masih dapat melapor dengan suara mrintih-rintih,
Ampun, tai-ciangkun... disana… ada... ada siluman mengamuk hebat... banyak kawan binasa...“
"Setan pengecut, di mana dia?”
"Di sana..." penjaga itu menudingkan jarinya, "dia tadi masuk ke dalam kemah tai-ciangkun...“
Bouw Gun marah sekali mendengar ada siluman mengamuk dan memasuki ke kemahnya, cepat ia melompat dan lari ke kemahnya. Alangkah kaget dan marahnya ketika ia melihat di sepanjang jalan menuju ke kemahnya penuh penjaga-penjaga yang menggeletak dalam keadaan mati atau terluka berat. Ada yang kepalanya pecah, lehernya patah, perutnya pecah berantakan, kaki tangan patah-patah. Juga di depan kemahnya bergelimpangan mayat penjaga. Bouw Gun berlari cepat dan menyerbu ke dalam kemahnya sendiri, begitu ia membuka pintu, ia melihat seorang perwira, kepala penjaga kemahnya sedang bertempur melawan seorang nenek yang mengerikan.
Perwira itu kepandaiannya cukup tinggi, akan tetapi pada saat itu ia kena dicengkeram oleh nenek itu yang menggerakkan tangan kanan mencengkeram kepalanya. Perwira itu menjerit keras dan mengerikan sekali sebelum muka dan kepalanya hancur oleh cengkeraman kuku panjang nenek itu. Darah dan otaknya berceceran, tubuhnya roboh tak bernyawa lagi.
"Hi hi hi hi, otak udang macam ini melawanku? Mana tikus tikus besar Liok Kong Ji dan Bauw Gun, suruh keluar jangan sembunyi di kosong ranjang!" nenek itu bersumbar.
Bouw Gun sudah pernah mendengar nama besar Toat-beng Kui-bo, bahkan di puncak Omei-san pernah ia bertemu dengan nenek itu. Biarpun. maklum akan kelihatan nenek ini namun saking marahnya ia tidak gentar. Apa lagi ia berada dalam kandang sendiri,
"Siluman betina kau ingin mampus!” bentaknya marah sambil menyerbu maju. Sesuai dengan julukannya, Bu tek Sin-ciang atau Tangan Sakti Tanpa Tandinganya Bouw Gun adalah ahli tangan kosong yang mengandalkan ilmu silat tangan kosong dan kekuatan kedua lengannya yang hebat.
Selain ilmu silatnya juga orang tinggi besar ini mahir ilmu gulat dari Mongol yang sudah terkenal dan berbahaya. Sekali saja orang tertangkap oleh tangannya, jangan harap akan dapat terlepas se belum ada yang patah-patah tulangnya. Oleh karena itu, kali inipun ia menyerbu Toat-beng Kui bo dungan tangan kosong saja, menubruk sambil mengirim pukulan yang disusul oleh cengkeraman.
Akan tetapi kali ini ia menghadapi Toat-beng Kui-bo seorang tokoh yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari padarya, baik dalam ilmu silat maupun dalam hal tenaga lweekang. Melihat orang tinggi besar itu, Toat-beng Kui-bo tertawa cekikikan.
"Ah! Kiranya kau? Mari cucuku, mari maju untuk kucabut kepalamu dari tubuhmu yang tak terharga itu!" Tongkatnya menyambar cepat memapaki serbuan Bouw Gun, langsung menyambar ke arah leher dengan kekuatan yang dahsyat dan kalau mengenai leher, bisa copot kepala itu dari tubuhnya.
Bouw Gun kaget sekali. Hawa pukulannya biasanya amat kuat dan dengan hawa pukulannya saja ia dapat membunuh orang. Akan tetapi nenek ini sama sekali tidak memperdulikan pukulannya, bahkan dengan tak terduga sudah mendahuluinya dengan serangan maut. Terpaksa ia mengelak mendekati untuk menyerang dari jarak dekat. Tangan kirinya menyambar tongkat untuk ditangkapnya, tangan kanan memukul dada.
"Hihi, kau lihai juga!" Toat beng Kui-bo mengejek. Ia hanya menarik tongkatnya agar jangan sampai terampas lawan sedangkan pukulan pada dadanya tidak dihiraukan sama sekali.
Bouw Gun kaget dan orang Mongol ini dapat menduga bahwa tentu nenek itu mengandalkan sinkangnya yang tinggi untuk menahan pukulannya, maka setelah kepalannya menyambar dekat dada, ia merubahnya menjadi cengkeraman. Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya ketika tangannya bertemu dengan permukaan yang rata dan keras seperti papan baja. Nenek itu sama sekali dadanya sudah tidak ada daging maupun kulit yang dapat dicengkeram. Agaknya kulitnya sudah mengeras dan rata dengan tulang sehingga kuat sekali.
Bouw Gun dalam kagetnya cepat hendak menarik kembali tangannya, akan tetapi terlambat. Toat beng Kui-bo sudah menggerakkan tongkatnya dan terdengar suara “buk” yang keras ketika tongkat itu mendorong dadanya. Tubuh orang Mongol itu terjengkang, darah tersembur dari mulutnya. Dalam keadaan sekarat ia tidak berdaya ketika kembali tongkat menyambar, kini mengenai lehernya.
"Krak..!” leher itu remuk sama sekali dan... putus. Kepala Bauw Gun sudah terpisah dari badannya.
“Hi hi-hi-hi...! Toat-beng Kui-bo tertawa-tawa ketika ia menyambar kepala dan diangkat untuk mengamat-amati muka Bouw Gun yang masih meringis dan masih marah.
"Iblis betina jangan kau menjual lagak!" Berturut-turut beberapa orang yang memiliki gerakan gesit sekali melompat masuk. Mereka ini adalah Liok Kong Ji yang diikuti oleh tokoh-tokoh lain. Melihat betapa kepala Bouw Gun sudah dicopot oleh nenek itu, karuan saja Liok Kong Ji dan kawan kawannya marah sekali.
Di lain saat, melihat datangnya Liok Kong Ji, Toat-beng Kui-bo juga menjadi girang. "Aha, kau datang pula, cucuku? Mari... mari sini, kawanmu ini sudah lama menanti. Berikan kepalamu kepada nenekmu ini, hi hi hi!"
Marah sekali Kong Ji mendengar ini. Tangannya bergerak dan dari tengan kirinya menyambar sinar hitam, yaitu Hek-tok-ciam (Jarum-jarum Racun Hitam) dan tangan kanannya mengeluarkan hawa pukulan Hek-tok-ciang yang amat berbahaya.
Toat-berg Kui bo yang terlalu memandang rendah kepada Kong Ji, berlaku sembrono dan tidak mengelak atau menangkis, hanya mangerahkan sinkangnya. Ketika jarum-jarum mengenai tubuhnya, jarum jarum itu runtuh, akan tetapi pukulan Hek-tok-ciang membuat tubuh nenek itu terhuyung ke belakang.
"Ayaaa...!” Setan, kau berani memukulku…!” bentak nenek itu marah sekali dan, tiba-tiba dari atas udara menyambar turun benda hitam yang cepat menyambar Kong Ji.
Tentu saja Li ok Kong Ji kaget dan menankis dengan tangannya. Sebuah benda hitam terlempar dan yang dua berhasil menyambar pundaknya. Baiknya Liok Kong Ji berkepandaian tinggi sehingga ia cepat miringkan tubuh dan kelelawar itu hanya merobek baju saja. Namun cukup membuat ia bergidik karena maklum bahwa terluka oleh kelelawar itu sukar sekali mengobatinya.
“Serbu, bunuh siluman ini!” Kong Ji berteriak-teriak marah sekali sambil menyerbu diikuti oleh kawan-kawannya.
Kini tahulah Toat-beng Kui-bo bahwa nama besar Liok Kong Ji bukan kosong belaka dan bahwa ia telah dikurung oleh banyak orang pandai. Sambil tertawa-tawa ia melempar kepala Bouw Gun ke depan. "Makanlah kepala sahabat baikmu!"
Liok Kong Ji dan kawan-kawannya terpaksa mengelak agar jangan sampai terkena sambitan dengan kepala ini. Kong Ji mengulur tangannya menyambar kepala itu dan memberikan kepada seorang pengawal untuk merawatnya. Sementara itu Toat-beng Kui-bo mempergunakan kesempatan ini untuk melompat keluar dari kemah. Akan tetapi Kong Ji dan kawan-kawannya mana mau melepaskannya? Cepat mereka mengejar. Akan tetapi dalam kegaduhan in mi, sambil tertawa cekikikan, kembali tongkat di tangan nerek itu sudah merobohkan tiga orang pengeroyok.
Pengepungan rapat sekali dan nenek itupun berlaku nekad, mengamuk bagaikan siluman terjepit. Tongkatnya sampai menjadi merah karena darah para korban yang dirobohkannya. Keadaan menjadi gempar. Baru kali ini orang-orang Mongol itu menghadapi lawan sehebat ini. Bahkan ketika Ang jiu Mo-li mengamuk dikeroyok oleh panglima-panglima Mongol tidak selihai nenek ini. Selain lihai nenek inipun ganas sekali, setiap kali tongkatnya menyambar tentu ada lawan roboh binasa. Akhirnya hanya yang pandai-pandai saja berani mengeroyok, di antaranya Liok Kong Ji sendiri, Pak Kek Sam-kui, dan para ketua partai yang membantunya.
Selagi mereka repot mengeroyok nenek yang benar-benar kosen sekali itu, tiba-tiba terdengar suitan panjang dan tinggi. Suitan ini memekakkan telinga.
“Lo thian-tung Cun Gi Toting datang…” seru Liok Kong Ji dengan suara girang sekali.
"Totiang yang mulia, bantulah kami!" Kemudian disambungnya dengan suara memerintah. "Cui Kong, lekas bantu kami!"
Yang datang adalah seorang tosu tua yang buntung kaki kanannya, namun biar kakinya hanya sebelah saja yang kiri, jalannya tidak pincang. Sebuah tongkat panjang menjadi pengganti kaki kanannya, gerakannya cepat sekali. Ia datang bersama seorang pemuda yang memegang huncwe. Liok Cui Kong yang sudah kita kenal kelihaiannya.
"Silakan semua minggir, biar kami berdua menangkap siluman ini." kata tosu buntung itu, yang bukan lain adalah Lo-thian-tung Can Gi Tosu.
Seperti dapat diduga dari julukannya Lo Thian-tung atau Tongkat Pengacau Langit, kakek ini adalah seorang ahli bermain tongkat yang jarang bandingannya. Dia adalah seorang tosu pengembara dari barat yang dapat diperalat oleh Liok Kong Ji, bahkan ia akhirnya mendapat kepercayaan dari Kong Ji untuk melatih ilmu silat kepada anak-anak angkatnya, yaitu putera angkatnya, yaitu Liok Cui Kong, dan dua orang puteri angkat sejak kecil Cui Lin dan Cui Kim. Melihat bakat yang amat baik dan luar biasa dalam diri Cui Kong, Liok Kong Ji menjadi amat sayang kepada putra angkat ini dan menurunkan semua kepandaiannya, maka ditambah oleh gemblengan dari tosu buntung itu, kepandaian Cui Kong menjadi hebat sekali.
Begitu Can Gi Totiang menggerakkan tongkatnya dan Cui Kong menyerang dengan huncwenya, Toat beng Kui-bo sudah maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang amat tangguh. Ia memutar tongkatnya dan sekaligus menangkis serangan dua orang lawannya itu. Terdengar suara keras, bunga api berpijar dan tiga orang itu melompat mundur untuk memeriksa senjata masing-masing. Setelah dengan lega melihat bahwa senjata masing-masing tidak rusak mereka maju bertempur lagi dengan seru.
Tiga ekor kelelawar menyambir ke bawah hendak membantu Toat beng Kui-bo, akan tetapi, Liok Kong Ji mengayun jarum-jarum Hek-tok-ciamnya sehingga binatang binatang itu jatuh ke bawah mengeliarkan pekik nyaring. Toat-beng Kui-bo berlaku nekad. Ia tadi sudah menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai dan sudah merasa lelah sekali. Kini ia dikeroyok oleh dua orang guru dan murid yang kepandaiannya tinggi, apa lagi Liok Kong Ji yang juga lihai sekali itu mulai maju mendesak membantu dua orang pengeroyok, maka Toat-beng Kui-bo merasa makin terdesak hebat.
Sambil mengeluarkan seruan-seruan seperti harimau terjepit, nenek yang sudah tua sekali ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga terakhir untuk membela diri dan membalas menyerang. Namun tiga orang lawannya terlampau kuat dan setelah beberepat kali terkena pukulan, akhirnya Toat bong Kui-bo terpaksa harus mengakui keunggulan lawan.
Tongkat dari Lo thian tung Cun Gi Tosu berhasil menyerampang kakinya, menibuat ia roboh dan pada saat itu, pukulan Tin san-kang dilancarkan oleh Liok Kong Ji, membuat nenek itu muntah darah, ditambah totokan hun-mcwe di tangan Cui Kong yang mengenai jalan darah kematian pada lehernya membuat nyawa Toat-beng Kui-bo melayang meninggalkan raganya.
Liok Kong Ji tertawa bergelak saking girangnya. Dengan kasar ia membalik tubuh nenek itu terlentang lalu menggerayangi saku-saku jubah nenek itu. Sebuah kitab keluar dari saku dan sektlas pandang saja Liok Kong Ji maklum bahwa itu adalah kitab wasiat dari Omeisan. Judulnya DELAPAN JALAN UTAMA. Cepat-cepat kitab itu menghilang di dalam bajunya sendiri...