Kisah Si Pedang Kilat Jilid 06
NYONYA Cia Kun Ti sedang berada di dalam kamar bersama puterinya, Cia Ling Ay, yang sudah menjadi Nyonya Cun Hok Seng. Putra kepala daerah itu masih marah dan dia yang merasa sangat cemburu itu melarang iterinya keluar dari kamar, mengurungnya dan mengijinkan Ibu mertuanya saja yang menemui Ling Ay. Mendengar laporan pelayan itu, Nyonya Cia Kun Ti mengerutkan alisnya dan dengan lagak seorang nyonya besar iapun bangkit dari tempat duduknya, lalu berkata kepada pelayan itu dengan nada memerintah.
"Persilakan Tuan Besar Cia untuk duduk menanti di ruang tengah sebentar, aku akan segera menemuinya."
"Baik, Nyonya Besar," kata pelayan itu yang segera keluar lagi.
"Ling Ay, sudahlah, engkau jangan menangis. Ayahmu datang, entah mau apa dia. Aku akan keluar sebentar menemuinya, dan engkau jangan keluar agar tidak mendapat kemarahan lagi dari suamimu. Percayalah, kalau engkau menurut dan bersikap manis, kemarahannya tentu akan mereda. Nah, aku keluar dulu." berkata nyonya itu kepada puterinya yang duduk menangis di atas pembaringan. Ling Ay tidak menjawab ketika ibunya keluar dan menutupkan daun pintu dari luar.
"Hmm, ada urusan apa engkau ke sini? Mantu kita sedang marah kepada Ling Ay, sebaiknya engkau tidak usah datang dulu sebelum reda marahnya," begitu memasuki ruangan itu, Nyonya Cia menegur suaminya.
Akan tetapi, Cia Kun Ti segera mendekati isterinya. Dia tahu benar watak isterinya yang haus akan kemewahan dan kemuliaan, tahu betapa isterinya amat menikmati kebanggaan menjadi besan kepala daerah. Maka, diapau tidak berani membuka rahasia itu kepada isterinya yang tentu akan mati-matian membela keluarga Cun.
"Aku datang justeru untuk urusan itu! Anak kita memang bersalah, karena itu aku ingin agar ia ikut pulang dengan kita dulu dan aku akan menasehatinya agar ia pandai-pandai membawa diri sebagai mantu kepala daerah."
"Ihh! Mana bisa? Meninggalkan tempat ini dan kembali ke rumah kita? Jangan-jangan malah keluarga Cun salah sangka, mengira bahwa kita hendak menarik kembali anak kita? Apakah engkau sudah menjadi gila?"
Cia Kun Ti menjadi bingung sekali. Untuk berterus terang, dia tidak berani. Isterinya tak mungkin akan percaya, dan isterinya bahkan tentu akan membocorkan rahasia itu kepada keluarga Cun sehingga akan kacaulah segala-galanya. Dan anaknya tidak akan tertolong, juga isterinya kalau sampai keluarga itu diserbu. Mereka berdua tentu akau dijadikan tawanan sebagai anggauta keluarga Cun, atau bahkan mungkin juga akan tewas dalam penyerbuan itu kalau terjadi pertempuran.
"Percayalah kepadaku. Aku belum gila untuk mencelakakan anak kita sendiri, anak tunggal kita. Mari, kau ajak Ling Ay pulang dulu barang sehari dua hari..."
"Tidak! Tidak mungkin, pergilah engkau pulang sendiri sana dan jangan datang lagi membujuk hal yang tidak tidak. Kami tidak akan meninggalkan tempat ini selangkahpun, dan aku akan pulang kalau hubungan Ling Ay dengan suaminya sudah membaik kembali...!”
Tiba tiba mereka menghentikan percakapan karena dari luar terdengar langkah kaki dan daun pinlu itu dibuka dari luar. Terkejutlah suami isteri itu ketika melihat munculnya Cun Hok Seng, mantu mereka! Wajah yang tampan itu nampak muram. Hati Cun Hok Seng masih kesal kepada isterinya, dipenuhi cemburu dan kini dia melihat ayah dan Ibu mertuanya kasak-kusuk di situ!”
"Hmm, rupanya ada hal yang amat penting dibicarakau ayah dan Ibu di sini!” katanya dengan suara ketus.
"Ah... tidak ... tidak ada apa-apa... heh-heh, ayahmu hanya datang menjenguk..." Nyonya Cia berkata gugup sambil tersenyum-senyum menjilat.
Akan tetapi Cia Kun Ti melihat kesempatan baik itu. "Terus terang saja, putera mantuku yang baik. Aku datang karena prihatin mendengar tentang isterimu, anak kami. Aku tahu bahwa ia bersalah besar, akan tetapi kesalahan itu dilakukan karena ia bodoh. Oleh karena itu, perkenankanlah aku membawa ia pulang barang sehari dua hari, agar di rumah kami aku dapat memberinya nasihat sampai ia bertaubat dan mengerti betul bagaimana menjadi seorang isteri yang baik, setia, dan mengabdi kepada suaminya tercinta. Tentu saja kalau diperbolehkan, karena engkaulah yang berhak sepenuhnya, putera mantuku yang baik."
Sepasang alis itu berkerut, kepala itu menunduk, kemudian Cun Hok Seng mengangguk-angguk. "Baiklah, kalau memang ayah hendak menasihatinya. Mudah-mudahan ia dapat merobah dan tidak mengulang lagi kesalahannya. Aku beri waktu dua hari kepada Ling Ay untuk pulang ke rumah ayah dan menerima nasihat-nasihat ayah." Setelah berkata demikian dia membalikkan tubuhnya, tidak jadi mendatangi kamar isterinya, melainkan kembali ke ruangan dalam.
Setelah putera mantunya pergi. Nyonya Cia mengomeli suaminya. "Engkau sudah gila! Memberi nasihat saja, apa tidak bisa di sini. Kenapa harus dibawa pulang? Celaka, bagaimana kalau tidak diterima kembali? Kita yang akan celaka dan malu!”
"Hushhh, tenanglah. Engkau mendengar sendiri bahwa Hok Seng sudah memberi ijin untuk isterinya pulang selama dua hari. Dia sendiri sudah setuju dan memberi ijin, kenapa engkau malah masih rewel dan banyak ribut?"
"Engkau memang laki-laki tolol. Sekali keluar dari rumah, kalau pintunya ditutup dari dalam, bagaimana bisa masuk kembali? Tidak, aku tidak mau pulang. Kalau engkau hendak mengajak Ling Ay pulang dua hari, silakan. Akan tatapi aku tinggal di sini agar dapat membukai pintu kalau Ling Ay kembali ke sini!"
Tentu saja Cia Kun Ti terkejut sekali mendengar ini, "Jangan, kau harus ikut pulang!” katanya.
"Masa bodoh! Aku tidak mau pergi dari sini. Sudah kukatakan, aku di sini merupakan jaminan kembalinya Ling Ay di keluarga ini. Tahu? Bodoh amat engkau ini!”
Tentu saja Cia Kun Ti, biarpun seringkali dirong-rong oleh wanita yang galak itu. tetap mencinta isterinya dan dia khawatir sekali kalau isterinya tinggal di situ. Akan tetapi bagaimana dia dapat memaksa wanita ini? Semakin dipaksa, semakin keras kepala.
"Kau panggil dulu Ling Ay ke sini, dan bujuk ia agar suka pulang bersamaku sekarang juga." Akhirnya dia berkata.
Dengan sikap marah sang isteri lalu meninggalkan suaminya, memasuki kamar puterinya. Ketika ia mengatakan bahwa ayahnya datang dan mengajaknya pulang dua hari, Ling Ay tidak nampak kaget atau khawatir, bahkan nampak lega hatinya.
"Baik, aku akan ikut ayah pulang." katanya dan cepat ia berkemas, membawa pakaian secukupnya saja.
"Aku akan tinggal di sini menunggu engkau kembali setelah dua hari bersama ayahmu di rumah sana." kata pula ibunya.
Ling Ay tidak perduli dan ia lalu keluar bersama ibunya, menemui ayahnya yang telah menanti di kamar tamu. Melihat Ling Ay keluar diantar pelayan yang membawakan buntalan pakaian, dan melihat isterinya sebaliknya masih biasa saja tidak nampak siap pergi, tentu saja Cia Kun Ti menjadi bingung.
"Engkaupun harus ikut, mengantarkan anak kita pulang. Dan engkaupun dapat membantuku menasihatinya!” katanya kepada isterinya.
"Sudahlah, jangan banyak cerewet lagi!” kata Nyonya Cia dan ia segera memanggil seorang pelayan dengan sikap angkuh. "Cepat beritahukan pelayan di belakang agar mempersiapkan kereta untuk Nyonya Muda yang akan bepergian keluar bersama Tuan Besar Cia!"
"Baik, Nyonya Besar." kata pelayan itu.
"Tapi Ibu, aku harus berpamit dulu kepada ayah dan ibu mertua." kata Ling Ay yang bagaimanapun juga tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang anak mantu. Diantar ibunya, ia masuk ke ruangan dalam.
Akan tetapi, kepala daerah Cun masih sibuk di kantornya sehingga Ling Ay hanya dapat berpamit kepada ibu mertuanya yang tidak berkeberatan mantunya yang sedang dimarahi puteranya itu pulang untuk dinasehati ayahnya selama dua hari. Setelah berpamit dari ibu mertuanya dan tidak berhasil menemukan suaminya yang sudah keluar rumah. Ibunya berkata.
"Biarlah aku yang tinggal dan yang akan memamitkan dari ayah mertuamu dan suamimu."
Dibujuk bagaimanapun. Nyonya Cia Kun Ti tidak mau ikut pulang, bahkan meninggalkan suaminya yang membujuk-bujuknya itu, lari ke dalam lagi. Terpaksa, dengan hati amat berat, Cia Kun Ti lalu mengantar puterinya pulang dalam sebuah kereta.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan juga rikuh perasaan hati Ling Ay ketika ia memasuki rumah orang tuanya, di ruangan dalam ia disambut oleh Bun Houw dan seorang wanita yang cantik dan juga nampak gagah dan angkuh. Ia menundukkan mukanya, menahan langkah kakinya. Mukanya berubah merah sekali dan ia lalu memutar tubuh menghadapi ayahnya dan memandang dengan sinar mata penuh pertanyaan.
"Jangan heran, anakku. Memang Bun Houw sudah berada di sini ketika aku berkunjung ke rumah suamimu. Duduklah dan aku akan menerangkan. Ini adalah li-hiap (nona pendekar) Ouwyang Hui Hong, sahabat Kwa Bun Houw yang ikut datang mengunjungiku dan membawa kabar yang amat hebat." kata Cia Kun Ti.
Mendengar ucapan ayahnya itu, barulah Ling Ay berani memutar tubuh lagi menghadapi Bun Houw dan Hui Hong, dan berani mengangkat muka memandang. Bun Houw segera mengangkat kedua tangan ke depan dada yang dibalas oleh Ling Ay.
"Adik Ling Ay... aku... mohon maaf karena telah menyebabkan engkau mendapat banyak kesukaran sejak pertemuan kita di kuburan itu." kata Bun Houw cepat-cepat dengan suara penuh penyesalan.
Ling Ay tersenyum, senyum yang pahit menurut penglihatan Hui Hong. "Engkau tidak bersalah apa-apa, toako. Akulah yang ... ng, memang sudah ditakdirkan demikian. Tidak apa-apa..."
Hui Hong memandang dan ia merasa menyesal bahwa ia pernah mengejek Bun Houw yang dianggapnya masih saling mencinta dengan bekas tunangannya yang kini sudah menjadi Isteri orang lain. Kiranya, Ling Ay seorang wanita yang selain cantik, juga berhati bersih! Ia lalu memberi hormat.
"Enci Ling Ay, aku sudah mendengar tentang engkau dari Houw-toako, dan aku girang dapat bertemu denganmu."
Melihat gadis itu memberi hormat, Ling Ay menghampiri dan merangkulnya. Matanya yang jernih itu menjadi agak basah dan ia berkata lirih. "Lihiap..."
“Ihh, enci. Jangan sebut lihiap, namaku Hui Hong."
"Hong-moi, engkau sungguh seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa dan berhati mulia. Aku girang toako Bun Houw mempunyai seorang sahabat seperti engkau. Semoga kalian berbahagia..."
Hui Hong membelalakkan matanya dan tiba-tiba ia tertawa, tertawa geli dan bebas sehingga mengejutkan Cia Kun Ti dan juga Ling Ay. Akan tetapi Bun Houw hanya tersenyum, tidak merasa heran melihat gadis itu tertawa sebebas itu sehingga nampak deretan giginya yang rapi dan putih. Justeru kebebasan gadis itu yang menambah daya tarik baginya.
"Eh, adik Hong, kenapa engkau tertawa?" Ling Ay bertanya, tidak marah, melainkan heran.
"Engkau salah duga, enci. Memang Houw ko dan aku telah menjadi sahabat, akan tetapi kamipun baru saja saling bertemu dan berkenalan. Baru beberapa hari. Jadi... eh, tidak ada apa apanya antara dia dan aku!" kembali ia tertawa dan Ling Ay juga ikut tertawa, tawa sopan. Ia semakin suka. Gadis ini terbuka, dan jujur, tidak pura-pura.
"Aih, kiranya begitu?" katanya. "Biarlah, sekarang belum, akan tetapi aku ikut mendoakan..."
Bun Houw mengerutkan alisnya. Dua orang wanita muda yang sama-sama cantiknya itu seolah olah bicara dengan kata-kata sandi yang tidak dimengerti artinya sama sekali. Cia Kun Ti yang melihat kegembiraan antara dua orang wanita muda itu, merasa tidak enak karena dia masih gelisah membayangkan apa yang akan terjadi dengan keluarga Cun, sedangkan isterinya masih berada di sana, segera berkata,
"Ling Ay, duduklah dan mari kita bicarakan hal yang amat penting ini."
Ling Ay duduk di atas bangku di sebelah Hui Hong, sedangkan Bun Houw duduk berhadapan di seberang meja berdampingan dengan ayahnya, "Ayah, bukankah ayah mengajak aku pulang untuk memberi nasihat?" tanyanya, memandang heran.
Akan tetapi ayahnya menggeleng kepalanya. "Sama sekali bukan! Aku memang sengaja membujuk agar engkau meninggalkan rumah keluarga Cun setelah aku menerima kunjungan Bun Houw dan Ouwyang Lihiap ini. Akan tetapi... ah. ibumu berkeras kepala, tidak mau ikut!”
"Ah. jadi bibi masih berada di sana?" tanya Bun Houw. Dia sudah melupakan semua sikap wanita Ibu kandung bekas tunangannya itu, lupa bahwa wanita itulah sesungguhnya yang memaksa putus hubungan pertalian jodohnya dengan Ling Ay.
"Ia tidak mau pergi! Sungguh keras kepala...!” kata Cia Kun Ti.
"Ayah, sesungguhnya apakah yang telah terjadi? Mengapa ayah menghendaki agar aku dan Ibu meninggalkan keluarga suamiku"
"Ling Ay, orang yang menjadi ayah mertuamu itu, kepala daerah yang dikenal sebagai Cun Taijin yang terhormat itu, ternyata dia adalah seorang pemberontak!”
"Ahhh...?” Ling Ay terbelalak. "Bagaimana mungkin...? Bukankah dia seorang pejabat yang paling berkuasa di Nan-ping?"
"Justeru itulah! Dia menghimpun kekuatan, memelihara tokoh-tokoh penjahat besar, dan dia membunuhi saingan-saingannya atau orang-orang yang menentangnya, seperti dahulu... sahabatku, ayah kandung Bun Houw juga terbunuh oleh anak buahnya..."
"Aihhh...! Be... benarkah itu...?" Ling Ay kini menoleh dan menatap wajah bekas tunangannya itu, wajahnya sendiri berubah pucat.
Bun Houw menarik napas panjang, merasa kasihan sekali kepada bekas tunangannya lalu mengangguk. "Sesungguhnya begitulah,"
"Ahhh...!” Ling Ay menutupi mukanya dan ia menangis. "Jadi... mereka... membunuh ayah ibumu... kemudian... kemudian mengambil pula aku... ah, Houw-toako, betapa... betapa buruk nasibmu..."
Bun Houw menarik napas panjang. "Sudahlah, adik Ling Ay. Tidak ada gunanya menyesali hal yang telah lalu. Yang penting sekarang bagaimana agar ibumu dapat diselamatkan pula."
"Apa... apa yang akan terjadi...?" Wajah yang bernasib malang itu mengangkat mukanya yang kini pucat dan basah air mata.
Hui Hong merasa kasihan sekali kepada Ling Ay. Ia tahu bahwa dahulu tentu wanita ini amat mencinta Bun Houw. akan tetapi dipaksa berpisah dari calon suaminya itu dan dipaksa menikah dengan putera kepala daerah yang ternyata tidak pula mendatangkan kebahagiaan baginya, babkan kini menghadapi malapetaka.
"Enci. perbuatan jahat kepala daerah itu telah diketahui oleh Souw Ciangkun, komandan pasukan keamanan di kota ini karena dia pun malam tadi hampir dibunuh oleh anak buah Cun Taijin. Dan pemberontak itu akan diserbu. Sebelum penyerbuan dilakukan. Houw-toako lebih dahulu ingin menyelamatkau engkau dari sana."
"Ahhh... mengapa begitu? Houw-ko, aku sudah menjadi isteri Cun Hok Seng. Apapun yang terjadi, aku adalah keluarga mereka dan kalau mereka dibasmi, kalau mereka dihukum, sudah sepatutnya kalau akupun ikut bertanggung jawab. Ayah, biarkan aku kembali ke sana dan bawa saja ibu keluar dari sana...” wanita itu menangis lagi dan kembali.
Hui Hong memandang kagum. Seorang wanita yang hebat, pikirnya. Seorang isteri yang setia. Ia lalu merangkulnya, "Enci, kurasa pendapat itu keliru. Kalau engkau tadinya mengetahui semua kejahatan itu dan menyetujuinya atau membantunya, maka engkau harus mempertanggungjawabkan kesalahanmu itu. Akan tetapi, engkau hanya seorang korban! Korban kejahatan mereka. Bagaimana mungkin engkau harus mempertanggungjawabkan kejahatan mereka?"
"Akan tetapi, adik Hong. Aku Isteri Cun Hok Seng! Aku keluarga mereka."
"Keluarga yang dipaksa! Bukankah engkau dahulu dipaksa untuk menikah dengan putera kepala daerah itu? Bukankah sejak kecil sebetulnya yang menjadi calon suamimu adalah Houw-toako ini? Tidak, enci, engkau tidak sepatutnya bertanggung jawab. Bahkan engkau sepatutnya sakit hati kepada mereka. Biarlah, aku yang akan membalaskan sakit hatimu, enci."
"Tapi... tapi... biarpun aku berada di sini, tetap saja tersangkut dan pasti akan ditangkap, bahkan ayah dan Ibu juga. Bukankah ayah dan ibu besan mereka dan aku bahkan anak mantu?" kembali Ling Ay membantah dan ayahnya juga terkejut karena melihat kebenaran yang terkandung dalam ucapan puterinya itu.
"Jangan khawatir." kata Bun Houw cepat. "Aku yang akan minta kepada Souw Ciangkun agar keluarga Cia tidak diganggu, dan aku akan menjelaskan semuanya."
"Benar," kata Hui Hong. "Souw Ciangkun, pasti akan suka mendengarkan keterangan kami!"
"Kalau begitu, biar aku mencoba lagi membujuk isteriku agar keluar dari sana sebelum terlambat," kata pula Cia Kun Ti.
Bun Houw bangkit berdiri, juga Hui Hong. "Memang sebaiknya begitu, paman, karena kami berdua akan melapor kepada Souw Ciangkun sekarang juga."
"Ayah, kalau ibu tidak mau, katakan saja bahwa aku tiba-tiba jatuh sakit, atau apa saja, asal dapat memaksa ia pulang," kata Ling Ay dengan khawatir.
Mereka lalu pergi. Bun Houw pergi bersama Hui Hong, dan Cia Kun Ti berlari-lari menuju ke rumah kepala daerah. Ling Ay yang ditinggal seorang diri membanting diri di atas pembaringan di dalam kamar ibunya dan menangis, menutupi mulutnya dengan bantal agar tidak sampai terdengar tangisnya keluar kamar.
Tidak mudah bagi Cia Kun Ti untuk dapat membujuk isterinya meninggalkan gedung kepala daerah itu.
"Tidak! Aku tidak mau menemuinya. Suruh dia datang kalau bersama Nyonya Muda." katanya kepada pelayan yang melapor kepadanya akan kedatangan suaminya itu.
Akan tetapi, maklum bahwa ini menyangkut urusan mati hidupnya atau setidaknya keselamatan isterinya, Cia Kun Ti tidak mau pergi kalau isterinya tidak mau ikut.
"Katakan kepadanya bahwa aku mau bicara urusan penting sekali, urusan yang menyangkut diri Nyonya Muda. Sebentar saja!”
Hari telah hampir sore, maka hati Cia Kun Ti gelisah bukan main. Akhirnya, isterinya keluar dengan mulut cemberut runcing dan muka keruh seperti air lumpur. "Ihhh, engkau ini sungguh menjengkelkan! Mau apa sih mengganggu aku terus? Bukan menasihati anaknya malah datang mengganggu aku!"
"Ssttt, dengar baik-baik, jangan sampai terdengar orang lain. Ketahuilah, anak kita mengalami kecelakaan..."
"Ahhh? Celaka? Ling Ay... kenapa, ia...? Kenapa...?”
"Iya ... setelah tiba di rumah, kunasihati ia malah mencoba untuk membunuh diri...”
"Bunuh diri?" Nyonya itu menjerit lalu mencengkeram lengan suaminya. "Ia mati? Kau membunuhnya...! Engkau yang membunuhnya!"
"Tenanglah, tenang. Ia tidak mati, hanya luka. Untung masih dapat kucegah. Karena itu. mari cepat pulang... cepat. Jangan sampai ia mencoba membunuh diri lagi...“
"Ling Ay... anakku... ahhhh...!”
Kini tanpa banyak cingcong lagi Nyonya Cia Kun Ti berlari keluar, lupa berganti pakaian, lupa berpamit. Cia Kun Ti mengikuti dari belakang, diam-diam merasa girang sekali, mereka berdua tidak memperdulikan pandang mata terheran-heran dari para pelayan yang melihat suami isteri itu berlari-lari keluar dari dalam gedung itu. Mereka tidak berani bertanya karena dua orang itu adalah besan majikan mereka, hanya saling pandang kemudian peristiwa itu menjadi bahan pergunjingan mereka.
Bagaimanapun juga, telah terbocor bahwa tuan muda mereka marah kepada isterinya, karena nyonya muda dikabarkan mengadakan pertemuan dengan pemuda bekas kekasihnya. Tentu saja mereka mempengunjingkan sambil tertawa-tawa di balik lengan baju mereka.
Sudah lajim bahwa kita suka sekali, membicarakan keburukan orang lain, suka sekali mempergunjingkan aib orang lain, bahkan suka mentertawakan penderitaan orang lain. Nafsu setan menguasai batin kita sehingga seolah kita selalu merasa iri kalau melihat orang lain serba lebih dari kita, dan merasa senang kalau melihat orang lain lebih sengsara dari pada kita.
Nafsu daya rendah yang mencengkeram batin kita membuat kita diperbudak nafsu sehingga kita lupa segalanya. Jiwa murni yang datang dari Tuhan seperti tertutup oleh selubung nafsu daya rendah yang menguasai kita. Susah kalau sudah begitu, nafsu setanlah yang mengendalikan semua tingkah laku kita, bahkan mencengkeram hati dan akal pikiran kita, seluruh panca indra kitapun dikuasainya sehingga apapun yang kita pikirkan, ucapan, lakukan, semua hanya mempunyai satu pamrih, yaitu menyenangkan si aku. dan si aku itu yalah nafsu setan itulah!
Nafsu setan yang sudah mencengkeram segalanya, seluruh diri kita lahir batin. Kalau "aku" yang sesungguhnya adalah jiwa, setetes air dari samudera yang menjadi pusat, secercah sinar dari matahari yang menjadi pusat, sebagian kecil dari kekuasaan Tuhan, maka setelah bergelimang nafsu setanlah, yang mengaku-aku. Tidak ada kekuasaan yang akan mampu mengusir setan itu dari kita, karena sesungguhnya, hidup manusia ini tidak akan dapat bertahan tanpa adanya nafsu yang menjadi pelengkap bahkan menjadi pelayan dan alat penting bagi kita hidup di dunia ini.
Karena daya-daya rendah itu merupakan berkah dan kasih sayang Tuhan kepada kita, melengkapi kita dengan alat-alat itu yang akan dapat membuat kita hidup berbahagia, maka kalau daya-daya rendah itu menjadi nafsu yang tidak terkendalikan lagi bahkan mengendalikan kita, maka hanya kekuasaan Tuhan pula yang akan mampu menolong kita. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu membebaskan kita dari daya pengaruh setan sehingga bukan kita manusia yang diperhamba, melainkan daya-daya rendah itu yang menjadi hamba, menjadi alat.
Ayah dan ibu itu berlari-larian menuju ke rumah mereka. Ketika mereka memasuki rumah. Nyonya Cia Kun Ti yang melihat puterinya duduk di tempat tidur dan kelihatan habis menangis, segera menubruknya.
"Ling Ay anakku, apa yang telah kau lakukan, anakku?"
Ling Ay merasa lega melihat Ibunya, akan tetapi juga hatinya seperti ditusuk mengingat akan nasibnya. Biarpun ia menjadi isteri Cun Hok Seng secara terpaksa, namun ia telah menjadi isterinya, dan biarpun suami itu hanya menyanjung dan memanjakannya selama beberapa bulan saja ketika berbulan madu, namun ia tetap Isterinya dan kalau keluarga suaminya tertimpa malapetaka, berarti ia pun akan terkena aib. Maka iapun merangkul ibunya dan menangis, merasa kasihan pula kepada ibunya yang ia tahu amat menikmati keadaannya sebagai besan kepala daerah.
"Ibu, ah, ibu..."
"Anakku, kata ayahmu, engkau hampir membunuh diri? Ling Ay, apakah engkau tega meninggalkan Ibumu? Kenapa engkau begitu putus asa? Suamimu hanya sedang marah, sebentar juga akan baik kembali dan..."
"Ibu, kalau ibu tidak mau menemani aku selama beberapa hari ini di sini, aku benar-benar akan membunuh diri!” kata Ling Ay dengan suara yang tegas.
Mendengar ini, ibunya terbelalak, akan tetapi tidak berani banyak bicara lagi. "Aku akan di sini... aku akan menemanimu...“ katanya berulang-ulang.
Sementara itu, bersama dengan datangnya malam, dua sosok bayangan berkelebat cepat meloncati pagar tembok belakang bangunan yang menjadi perumahan kepala daerah. Mereka itu adalah Bun Houw dan Hui Hong yang sudah melapor kepada Souw Ciangkun. Mereka telah bekerja sama dan mengatur rencana bahwa dua orang pendekar itu akan lebih dahulu menyusup ke dalam, selain untuk membuat para penjahat di situ tidak menduga akan adanya penyerbuan pasukan, juga untuk menyelesaikan urusan pribadi Hui Hong yang hendak mencari Pek I Mo-ko yang telah mencuri akar bunga gurun pasir dari ayahnya.
Dengan Bun Houw sebagai penunjuk jalan, mereka tiba di luar ruang pertemuan dan mengintai ke dalam. Kiranya Pek I Mo-ko sedang marah-marah, memaki-maki para pembantunya yang dianggap tolol karena semua tidak dapat melaksanakan tugas mereka dengan baik. Siauw-bin Pek ti bersama tiga orang rekannya gagal membunuh Kwa Bun Houw, bahkan dihajar habis-habisan oleh pemuda itu. Bu-tek Kiam-mo yang sudah dibantu Ngo-kwi juga gagal membunuh Souw Ciangkun, bahkan dua orang di antara Ngo-kwi terluka oleh Bun Houw.
"Kalian semua tidak becus! Kalian sungguh memalukan sekali menjadi pembantu-pembantuku yang kupercaya! Bu-tek Kiam-mo, engkau adalah pembantuku yang utama, bagaimana sekali ini engkau gagal melaksanakan tugasmu? Padahal, Ngo-kwi sudah kusuruh membantumu!”
"Kalau tidak ada Kwa Bun Houw itu dan seorang gadis yang lihai sekali, tentu tugas itu berhasil. Aku sendiri sudah dapat berhadapan muka dengan Souw Ciangkun dan menyerangnya, akan tetapi tiba-tiba muncul gadis itu."
"Hemm, dikalahkan oleh seorang perempuan muda? Sungguh tak tahu malu. Percuma saja julukanmu Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) kalau engkau kalah oleh seorang perempuan, apalagi masih gadis. Siapakah gadis itu?”
"Aku... aku tidak tahu, Ciong Tai-hiap..."
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Ciong Kui Le, akulah gadis itu!”
Yang berkumpul di dalam ruangan itu kurang lebih dua puluh orang, yaitu Pek I Mo-ko Ciong Kui Le yang menjadi pemimpin. Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe, Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw, Ngo-kwi, dan beberapa orang lagi yang kesemuanya merupakan jagoan-jagoan itu dan berkepandaian tinggi maka mereka ditarik oleh Pek I Mo-ko sebagai pembantu pembantunya. Mendengar bentakan itu mereka semua terkejut dan memandang ke arah datangnya suara.
Nampak dua bayangan orang berkelebat dan di ruangan itu telah berdiri Kwa Bun Houw dan seorang gadis yang cantik dan gagah, yang masih muda, paling banyak delapan belas tahun usianya. Melihat gadis ini. Butek Kiam-ong terkejut karena gadis itulah yang telah menghalanginya membunuh Siauw Cingkun. Dia tidak khawatir akan dikenal orang karena ketika melaksanakan tugas itu, dia dan Ngokwi mengenakan topeng.
Akan tetapi ketika dia menoleh kepada Pek I Mo-ko untuk memberi isyarat dia melihat betapa pemimpinnya itupun terbalalak dan mukanya membayangkan rasa kaget dan juga takut. Akan tetapi hanya sebentar saja, karena Pek I Mo-ko segera dapat menguasai dirinya lagi, mengandalkan banyaknya anak buah, lalu dia bahkan tertawa.
"Ha-ha-ha ha, kukira siapa gadis yang menentang kami itu, kiranya engkau, Ouwyang Hui Hong!"
Wajah gadis itu menjadi merah dan sinar matanya mencorong. Orang ini telah dikenalnya sejak ia kecil, dan dahulu ketika masih menjadi pembantu ayahnya, sikap Ciong Kui Le cukup baik dan sayang kepadanya, juga menghormatnya dengan menyebutnya Hong Siociay (Nona Hong). Akan tetapi sekarang, sikapnya demikian congkak dan menyebut namanya dengan nada mengejek!
"Ciong Kui Le manusia tak mengenal budi dan tak tahu malu! Selama belasan tahun, engkau hidup di bawah pemeliharaan ayahku, bahkan menerima ilmu silat dari ayah, dan engkau membalasnya dengan melarikan diri mencuri benda mustika simpanan ayah! Hayo cepat berlutut menerima hukuman dan kembalikan mustika itu!" Berkata demikian, gadis-itu menggerakkan kedua tangan dan tahu-tahu kedua tangan itu telah menghunus sepasang pedang yang gemerlapan.
Kembali Pek I Mo-ko tertawa. "Ha ha ha ha, Hui Hong anak kemarin sore, berani engkau bicara besar di depanku? Lupakah engkau bahwa dulu seringkali aku yang membimbingmu dan memberi petunjuk kalau engkau berlatih silat? Ha ha ha, orang lain boleh jadi takut kepadamu, akan tetapi aku tidak! Engkau tidak akan menang melawanku, Hui Hong. Mustika itu ada padaku dan takkan kukembalikan. dan sakarang engkau bahkan menyerahkan diri. Ouwyang Hui Hong, engkau tidak akan dapat keluar lari dari tempat ini!"
Pek I Mo-ko lalu memberi aba-aba dan dua puluh orang lebih itu segera membuat gerakan mengepung. Bun Houw dan Hui Hong kini terkepung di ruangan yang cukup luas itu, dan di luar masih berdatangan lagi puluhan orang anak buah kepala daerah Cun yaitu pasukan penjaga keamanan!
"Pek I Mo-ko!” teriak Bun Houw dengan kata lantang. "Engkau dan kawan-kawanmu ini menjadi kaki tangan Cun Tai-jin, melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang menentangnya. Kalian adalah kaki tangan pemberontak! Dan aku mengenal siapa Ngo-kwi yang membantumu ini! Mereka ini sejak enam tujuh tahun yang lalu telah menjadi kaki tangan Cun Tai-jin untuk membunuhi orang-orang yang menentangnya, termasuk ayahku! Pendekar Kwa telah mereka keroyok dan bunuh, juga ibuku!”
Bun Houw menekan perasaannya karena dia tidak mau dicengkeram oleh nafsu kebencian karena dendam. Dia hanya bertindak melaksanakan tugasnya sebagai pendekar untuk menentang kejahatan, membasmi mereka yang jahat, bukan bertindak karena dendam dan benci seperti yang diajarkan mendiang ayahnya, juga yang dipesankan gurunya. Kalau sampai dalam pertempuran dia merobohkan dan membunuh penjahat, biarlah penjahat itu tewas sebagai akibat kejahatan mereka, bukan sebagai akibat balas dendamnya!
"Tangkap atau bunuh mereka!" Pek I Mo-ko memberi aba-aba dan semua anak buahnya maklum bahwa aba-aba itu berarti bahwa kalau mungkin mereka ditaruskan menangkap hidup-hidup dua orang muda itu, terutama sekali tentunya gadis cantik itu, akan tetapi kalau tidak mungkin, mereka diperbolehkan membunuh mereka berdua dan tidak membiarkan mereka lolos!
"Singggg...!” Nampak sinar berkilat dan tangan kanan Bun Houw lelah memegang sebatang pedang yang sinarnya menyilaukan mata ketika cahaya lampu menimpa pedang itu, itulah Lui-kong-kiam, pedang pusaka yang disebut Pedang Kilat, yang selama ini disembunyikan saja di dalam sarungnya yang berupa sebatang tongkat butut yang kini berada di tangan kiri pemuda itu. Karena maklum bahwa pihak lawan jauh lebih banyak dan di antara mereka terdapat banyak orang yang lihai, maka sekali ini Bun Houw terpaksa mencabut Lui-kong-kiam. Dia tahu bahwa yang paling lihai di antara mereka tentulah Pek I Mo-ko, laki-laki yang berpakaian serba putih itu.
Akan tetapi, Bu-tek Kiam-mo. Siauw-bin Pek-ti dan Ngo-kwi sudah mengepung dan mengeroyoknya, menyerang dari semua penjuru sehingga dia tidak sempat lagi menghadapi Pek I Mo-ko. Agaknya hal ini memang sudah diatur oleh pemimpin gerombolan itu, karena Pek I Mo-ko sendiri menghadapi Hui Hong gadis yang telah dikenalnya dengan baik dan diketahui tingkat kepandaiannya maka dia memandang ringan,
. "Biarkan aku menangkap gadis ini. Yang lain keroyok dan bunuh pemuda berbahaya itu!” teriaknya dan diapun mencabut sebatang pedang dengan tangan kanan, dan sebatang kipas bergagang baja dengan tangan kirinya.
"Pengkhianat rendah!" Hui Hong membentak dan iapun menyerang dengan sepasang pedangnya. Pek I Mo-ko Ciong Kui Le yang mengenal ilmu pedang pasangan gadis itu, sengaja menangkis, mengelak dan membalas dengan totokan gagang kipasnya. Hui Hong meloncat ke samping untuk menghindarkan diri dan sepasang pedangnya membuat gerakan menggunting dengan serangan yang amat dahsyat.
"Hemmm...!” Pek I Mo-ko berseru, terpaksa melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik sambil mengelebatkan pedang dan kipasnya untuk membalas. Tahulah dia bahwa setelah dia pergi, gadis ini telah memperdalam ilmunya sehingga kini merupakan seorang lawan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Dari pertemuan pedang tadi saja dia maklum bahwa Hui Hong telah memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat dan hampir mengimbangi tenaganya sendiri. Agaknya dia hanya harus mengandalkan pengalamannya untuk dapat mengalahkan puteri bekas majikan dan juga gurunya itu.
Sementara itu, Bun Houw dikeroyok oleh banyak orang, akan tetapi bagaikan seekor jengkerik dikeroyok banyak semut, dalam gebrakan pertama saja, dua orang di antara Ngo-kwi dan dua orang pengeroyok lain telah roboh karena tubuh mereka disambar Lui-kong-kiam bersama dengan buntungnya senjata mereka ketika terbabat pedang pusaka itu! Dan makin hebat dan makin banyak para pengeroyok menyerangnya, makin hebat pula amukan Bun Houw dengan Pedang Kilat di tangan kanannya. Bahkan tongkat butut yang kini kosong di tangan kirinya itupun sempat merobohkan dua orang pengeroyok dengan totokannya.
Mereka yang roboh ditarik keluar oleh pengeroyok lain dan tempatnya digantikan orang lain sehingga tempat yang luas itu penuh dengan mereka yang mengeroyok Bun Houw. Pemuda ini tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri melainkan khawatir melihat betapa Hui Hong menghadapi seorang lawan yang dia tahu amat berbahaya. Apalagi ketika dilihatnya beberapa kali gadis itu terdesak dan sempat terhuyung. Akan tetapi, yang mengeroyoknya terlalu banyak sehingga dia tidak mungkin dapat membantu atau melindungi gadis itu.
Pula, dia mengenal watak gadis yang keras dan gagah itu, yang mungkin malah akan tersinggung kalau dia maju membantunya padahal ia belum kalah. Dia hanya mengharapkan Hui Hong akan mampu bertahan sampai datangnya bala bantuan yang dia tahu tidak lama lagi tiba karena tentu kini pasukan yang dipimpin sendiri oleh Souw Ciangkun telah melakukan pengepungan terhadap kompleks bangunan gedung tempat tinggal kepala daerah Cun.
Perhitungan Bun Houw memang tepat dan, harapannya terkabul ketika tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan tambur sebagai tanda penyerbuan pasukan tentara penjaga keamanan. Bukan saja seluruh penghuni perumahan kepala daerah Cun yang menjadi geger dan panik, bahkan seluruh kota Nan-ping menjadi gempar ketika terdengar berita bahwa gedung tempat tinggal kepala daerah Cun dikepung dan diserbu oleh pasukan tentara penjaga keamanan dari benteng.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya kepala daerah Cun dan keluarganya. Juga Pek I Mo-ko yang sedang bertanding mati-matian mendesak Hui Hong kaget sekali, ketika mendengar bunyi tambur dan terompet, dan tahulah dia bahwa dia telah gagal, bahwa majikannya, kepala daerah Cun telah gagal dan telah diketahui rahasianya oleh komandan pasukan keamanan. Habislah semua harapan dan tidak ada artinya lagi membela kepala daerah yang ambisius dan telah gagal itu.
Juga para penbantunya yang tadinya masih bersemangat mengeroyok Bun Houw walaupun sudah banyak di antara mereka roboh oleh Si Pedang Kilat. Ngo kwi, kelima orang yang dahulu membunuh Kwa Tin dan isterinya, juga menjadi korban Si Pedang Kilat, tewas bersama Bu-tek Kiam-mo dan Siauw-bin Pek ti, walaupun yang dua orang ini melanjutkan perlawanan dengan gigih dan bagi Bun Houw tidak amat mudah merobohkan mereka. Karena dua orang ini dan Ngo kwi, maka tadi Bun Houw tidak berdaya membantu atau melindungi Hui Hong. Bahkan ketika Ngo-kwi sudah tewas, kedua orang itu dibantu kawan-kawan mereka masih mengepungnya ketat.
Baru setelah pasukan keamanan datang menyerbu sampai ke ruangan di mana terjadi pertempuran itu, Bun Houw barhasil merobohkan Bu-tek Kiam-mo dengan pedangnya, dan merobohkan Siauw bin Pek-ti dengan tongkatnya. Dia tidak memperdulikan lagi para pengeroyok lain yang sudah dikepung para perajurit, lalu meloncat ke arah sudut kanan di mana tadi dia melihat Hui Hong bertempur-mati-matian melawan Pek I Mo-ko. Akan tetapi, keduanya tidak nampak lagi di situ! Baik Hui Hong maupun Pek I Mo-ko tidak berada di sana lagi, telah pergi entah ke mana. Bun Houw lari keluar dan bertemu dengan Souw Ciangkun di dekat pintu ruangan itu. Panglima yang mengenakan pakaian dinas itu tersenyum kepadanya.
"Terima kasih, tai-hiap, semua berhasil baik!"
"Ciangkun, apakah ciangkun melihat nona Ouwyang?"
Komandan pasukan itu mengacungkan jempolnya memuji. "Hebat sekali Ouwyang Li-hiap, ia tadi mengejar-ngejar lawannya yang lari ketakutan,"
"Lawannya Pek I Mo-ko yang berpakaian serba putih?"
"Benar."
"Ke arah mana larinya?"
Komandan itu hanya menuding keluar dan sebelum dia sempat menjawab, Bun Houw sudah meloncat ke luar perumahan itu melakukan pengejaran. Namun, karena keadaan di situ penuh dengan tentara, maka dia kehilangan jejak dan tak seorangpun dapat memberi keterangan ke arah mana Hui Hong mengejar musuhnya. Hatinya khawatir sekali, akan tetapi dia tidak mampu berbuat apa-apa. Dan diapun tidak ingin kembali menemui Souw Ciangkun karena dia menganggap bahwa tugasnya telah selesai. Dia berputar-putar di dalam kota Nan-ping, bertanya-tanya kalau ada yang melihat Hui Hong, namun tak berhasil dan akhirnya diapun menuju ke rumah Cia Kun Ti.
Karena mencari-cari jejak Hui Hong semalam suntuk tanpa hasil, hari telah mulai terang ketika dia tiba di rumah Cia Kun Ti. Keadaan kota telah aman, tidak panik lagi dan di mana-mana orang membicarakan peristiwa yang menggemparkan itu, bahwa keluarga Cun semua ditangkap, banyak kaki tangan yang melakukan perlawanan tewas dan kini rumah kepala daerah itu ditutup dan dijaga oleh pasukan prajurit yang tidak membolehkan siapa-pun memasuki pekarangannya.
Cia Kun Ti dan Ling Ay menyambut kedatangan Bun Houw dengan perasaan haru. Dengan muka masih pucat karena semalam dia mendengar geger yang terjadi di rumah keluarga bekas besannya, Cia Kun Ti merangkul Bun Houw, bekas calon mantunya itu.
"Ah, Bun Houw. kalau tidak ada engkau bagaimana jadinya dengan kami...! Hanya Tuhan yang tahu betapa basar penyesalan hati kami atas perlakuan dan sikap kami dahulu terhadap dirimu dan betapa besar rasa sukur dan terima kasih kami kepadamu..."
Ling Ay tidak mampu bicara, hanya menangis terisak-isak. Gadis inipun pucat sekali, rambutnya kusut, pakaiannya juga kusut dan jelas bahwa semalam ia tidak tidur dan berada dalam keadaan gelisah dan berduka.
"Sudahlah, paman. Kita harus bersyukur kepada Thian bahwa kita masih dilindungi, dan masih utung pula bagi rakyat bahwa usaha pemberontakan itu dapat dibasmi sehingga tidak jatuh korban lebih banyak lagi."
"Aihhh... kalau Ingat bahwa engkau telah menjadi korban, Bun Houw. Ayahmu, ibumu, semua tewas oleh kaki tangan penjahat ]yang berkhianat itu..."
"Bukan hanya keluarga saya yang menjadi korban. Juga keluarga lain, dan adik Ling Ay... semua menjadi korban. Eh, di mana bibi? Kenapa ia tidak kelihatan?" Tiba-tiba Bun Houw bertanya dengan khawatir...
"Persilakan Tuan Besar Cia untuk duduk menanti di ruang tengah sebentar, aku akan segera menemuinya."
"Baik, Nyonya Besar," kata pelayan itu yang segera keluar lagi.
"Ling Ay, sudahlah, engkau jangan menangis. Ayahmu datang, entah mau apa dia. Aku akan keluar sebentar menemuinya, dan engkau jangan keluar agar tidak mendapat kemarahan lagi dari suamimu. Percayalah, kalau engkau menurut dan bersikap manis, kemarahannya tentu akan mereda. Nah, aku keluar dulu." berkata nyonya itu kepada puterinya yang duduk menangis di atas pembaringan. Ling Ay tidak menjawab ketika ibunya keluar dan menutupkan daun pintu dari luar.
"Hmm, ada urusan apa engkau ke sini? Mantu kita sedang marah kepada Ling Ay, sebaiknya engkau tidak usah datang dulu sebelum reda marahnya," begitu memasuki ruangan itu, Nyonya Cia menegur suaminya.
Akan tetapi, Cia Kun Ti segera mendekati isterinya. Dia tahu benar watak isterinya yang haus akan kemewahan dan kemuliaan, tahu betapa isterinya amat menikmati kebanggaan menjadi besan kepala daerah. Maka, diapau tidak berani membuka rahasia itu kepada isterinya yang tentu akan mati-matian membela keluarga Cun.
"Aku datang justeru untuk urusan itu! Anak kita memang bersalah, karena itu aku ingin agar ia ikut pulang dengan kita dulu dan aku akan menasehatinya agar ia pandai-pandai membawa diri sebagai mantu kepala daerah."
"Ihh! Mana bisa? Meninggalkan tempat ini dan kembali ke rumah kita? Jangan-jangan malah keluarga Cun salah sangka, mengira bahwa kita hendak menarik kembali anak kita? Apakah engkau sudah menjadi gila?"
Cia Kun Ti menjadi bingung sekali. Untuk berterus terang, dia tidak berani. Isterinya tak mungkin akan percaya, dan isterinya bahkan tentu akan membocorkan rahasia itu kepada keluarga Cun sehingga akan kacaulah segala-galanya. Dan anaknya tidak akan tertolong, juga isterinya kalau sampai keluarga itu diserbu. Mereka berdua tentu akau dijadikan tawanan sebagai anggauta keluarga Cun, atau bahkan mungkin juga akan tewas dalam penyerbuan itu kalau terjadi pertempuran.
"Percayalah kepadaku. Aku belum gila untuk mencelakakan anak kita sendiri, anak tunggal kita. Mari, kau ajak Ling Ay pulang dulu barang sehari dua hari..."
"Tidak! Tidak mungkin, pergilah engkau pulang sendiri sana dan jangan datang lagi membujuk hal yang tidak tidak. Kami tidak akan meninggalkan tempat ini selangkahpun, dan aku akan pulang kalau hubungan Ling Ay dengan suaminya sudah membaik kembali...!”
Tiba tiba mereka menghentikan percakapan karena dari luar terdengar langkah kaki dan daun pinlu itu dibuka dari luar. Terkejutlah suami isteri itu ketika melihat munculnya Cun Hok Seng, mantu mereka! Wajah yang tampan itu nampak muram. Hati Cun Hok Seng masih kesal kepada isterinya, dipenuhi cemburu dan kini dia melihat ayah dan Ibu mertuanya kasak-kusuk di situ!”
"Hmm, rupanya ada hal yang amat penting dibicarakau ayah dan Ibu di sini!” katanya dengan suara ketus.
"Ah... tidak ... tidak ada apa-apa... heh-heh, ayahmu hanya datang menjenguk..." Nyonya Cia berkata gugup sambil tersenyum-senyum menjilat.
Akan tetapi Cia Kun Ti melihat kesempatan baik itu. "Terus terang saja, putera mantuku yang baik. Aku datang karena prihatin mendengar tentang isterimu, anak kami. Aku tahu bahwa ia bersalah besar, akan tetapi kesalahan itu dilakukan karena ia bodoh. Oleh karena itu, perkenankanlah aku membawa ia pulang barang sehari dua hari, agar di rumah kami aku dapat memberinya nasihat sampai ia bertaubat dan mengerti betul bagaimana menjadi seorang isteri yang baik, setia, dan mengabdi kepada suaminya tercinta. Tentu saja kalau diperbolehkan, karena engkaulah yang berhak sepenuhnya, putera mantuku yang baik."
Sepasang alis itu berkerut, kepala itu menunduk, kemudian Cun Hok Seng mengangguk-angguk. "Baiklah, kalau memang ayah hendak menasihatinya. Mudah-mudahan ia dapat merobah dan tidak mengulang lagi kesalahannya. Aku beri waktu dua hari kepada Ling Ay untuk pulang ke rumah ayah dan menerima nasihat-nasihat ayah." Setelah berkata demikian dia membalikkan tubuhnya, tidak jadi mendatangi kamar isterinya, melainkan kembali ke ruangan dalam.
Setelah putera mantunya pergi. Nyonya Cia mengomeli suaminya. "Engkau sudah gila! Memberi nasihat saja, apa tidak bisa di sini. Kenapa harus dibawa pulang? Celaka, bagaimana kalau tidak diterima kembali? Kita yang akan celaka dan malu!”
"Hushhh, tenanglah. Engkau mendengar sendiri bahwa Hok Seng sudah memberi ijin untuk isterinya pulang selama dua hari. Dia sendiri sudah setuju dan memberi ijin, kenapa engkau malah masih rewel dan banyak ribut?"
"Engkau memang laki-laki tolol. Sekali keluar dari rumah, kalau pintunya ditutup dari dalam, bagaimana bisa masuk kembali? Tidak, aku tidak mau pulang. Kalau engkau hendak mengajak Ling Ay pulang dua hari, silakan. Akan tatapi aku tinggal di sini agar dapat membukai pintu kalau Ling Ay kembali ke sini!"
Tentu saja Cia Kun Ti terkejut sekali mendengar ini, "Jangan, kau harus ikut pulang!” katanya.
"Masa bodoh! Aku tidak mau pergi dari sini. Sudah kukatakan, aku di sini merupakan jaminan kembalinya Ling Ay di keluarga ini. Tahu? Bodoh amat engkau ini!”
Tentu saja Cia Kun Ti, biarpun seringkali dirong-rong oleh wanita yang galak itu. tetap mencinta isterinya dan dia khawatir sekali kalau isterinya tinggal di situ. Akan tetapi bagaimana dia dapat memaksa wanita ini? Semakin dipaksa, semakin keras kepala.
"Kau panggil dulu Ling Ay ke sini, dan bujuk ia agar suka pulang bersamaku sekarang juga." Akhirnya dia berkata.
Dengan sikap marah sang isteri lalu meninggalkan suaminya, memasuki kamar puterinya. Ketika ia mengatakan bahwa ayahnya datang dan mengajaknya pulang dua hari, Ling Ay tidak nampak kaget atau khawatir, bahkan nampak lega hatinya.
"Baik, aku akan ikut ayah pulang." katanya dan cepat ia berkemas, membawa pakaian secukupnya saja.
"Aku akan tinggal di sini menunggu engkau kembali setelah dua hari bersama ayahmu di rumah sana." kata pula ibunya.
Ling Ay tidak perduli dan ia lalu keluar bersama ibunya, menemui ayahnya yang telah menanti di kamar tamu. Melihat Ling Ay keluar diantar pelayan yang membawakan buntalan pakaian, dan melihat isterinya sebaliknya masih biasa saja tidak nampak siap pergi, tentu saja Cia Kun Ti menjadi bingung.
"Engkaupun harus ikut, mengantarkan anak kita pulang. Dan engkaupun dapat membantuku menasihatinya!” katanya kepada isterinya.
"Sudahlah, jangan banyak cerewet lagi!” kata Nyonya Cia dan ia segera memanggil seorang pelayan dengan sikap angkuh. "Cepat beritahukan pelayan di belakang agar mempersiapkan kereta untuk Nyonya Muda yang akan bepergian keluar bersama Tuan Besar Cia!"
"Baik, Nyonya Besar." kata pelayan itu.
"Tapi Ibu, aku harus berpamit dulu kepada ayah dan ibu mertua." kata Ling Ay yang bagaimanapun juga tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang anak mantu. Diantar ibunya, ia masuk ke ruangan dalam.
Akan tetapi, kepala daerah Cun masih sibuk di kantornya sehingga Ling Ay hanya dapat berpamit kepada ibu mertuanya yang tidak berkeberatan mantunya yang sedang dimarahi puteranya itu pulang untuk dinasehati ayahnya selama dua hari. Setelah berpamit dari ibu mertuanya dan tidak berhasil menemukan suaminya yang sudah keluar rumah. Ibunya berkata.
"Biarlah aku yang tinggal dan yang akan memamitkan dari ayah mertuamu dan suamimu."
Dibujuk bagaimanapun. Nyonya Cia Kun Ti tidak mau ikut pulang, bahkan meninggalkan suaminya yang membujuk-bujuknya itu, lari ke dalam lagi. Terpaksa, dengan hati amat berat, Cia Kun Ti lalu mengantar puterinya pulang dalam sebuah kereta.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan juga rikuh perasaan hati Ling Ay ketika ia memasuki rumah orang tuanya, di ruangan dalam ia disambut oleh Bun Houw dan seorang wanita yang cantik dan juga nampak gagah dan angkuh. Ia menundukkan mukanya, menahan langkah kakinya. Mukanya berubah merah sekali dan ia lalu memutar tubuh menghadapi ayahnya dan memandang dengan sinar mata penuh pertanyaan.
"Jangan heran, anakku. Memang Bun Houw sudah berada di sini ketika aku berkunjung ke rumah suamimu. Duduklah dan aku akan menerangkan. Ini adalah li-hiap (nona pendekar) Ouwyang Hui Hong, sahabat Kwa Bun Houw yang ikut datang mengunjungiku dan membawa kabar yang amat hebat." kata Cia Kun Ti.
Mendengar ucapan ayahnya itu, barulah Ling Ay berani memutar tubuh lagi menghadapi Bun Houw dan Hui Hong, dan berani mengangkat muka memandang. Bun Houw segera mengangkat kedua tangan ke depan dada yang dibalas oleh Ling Ay.
"Adik Ling Ay... aku... mohon maaf karena telah menyebabkan engkau mendapat banyak kesukaran sejak pertemuan kita di kuburan itu." kata Bun Houw cepat-cepat dengan suara penuh penyesalan.
Ling Ay tersenyum, senyum yang pahit menurut penglihatan Hui Hong. "Engkau tidak bersalah apa-apa, toako. Akulah yang ... ng, memang sudah ditakdirkan demikian. Tidak apa-apa..."
Hui Hong memandang dan ia merasa menyesal bahwa ia pernah mengejek Bun Houw yang dianggapnya masih saling mencinta dengan bekas tunangannya yang kini sudah menjadi Isteri orang lain. Kiranya, Ling Ay seorang wanita yang selain cantik, juga berhati bersih! Ia lalu memberi hormat.
"Enci Ling Ay, aku sudah mendengar tentang engkau dari Houw-toako, dan aku girang dapat bertemu denganmu."
Melihat gadis itu memberi hormat, Ling Ay menghampiri dan merangkulnya. Matanya yang jernih itu menjadi agak basah dan ia berkata lirih. "Lihiap..."
“Ihh, enci. Jangan sebut lihiap, namaku Hui Hong."
"Hong-moi, engkau sungguh seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa dan berhati mulia. Aku girang toako Bun Houw mempunyai seorang sahabat seperti engkau. Semoga kalian berbahagia..."
Hui Hong membelalakkan matanya dan tiba-tiba ia tertawa, tertawa geli dan bebas sehingga mengejutkan Cia Kun Ti dan juga Ling Ay. Akan tetapi Bun Houw hanya tersenyum, tidak merasa heran melihat gadis itu tertawa sebebas itu sehingga nampak deretan giginya yang rapi dan putih. Justeru kebebasan gadis itu yang menambah daya tarik baginya.
"Eh, adik Hong, kenapa engkau tertawa?" Ling Ay bertanya, tidak marah, melainkan heran.
"Engkau salah duga, enci. Memang Houw ko dan aku telah menjadi sahabat, akan tetapi kamipun baru saja saling bertemu dan berkenalan. Baru beberapa hari. Jadi... eh, tidak ada apa apanya antara dia dan aku!" kembali ia tertawa dan Ling Ay juga ikut tertawa, tawa sopan. Ia semakin suka. Gadis ini terbuka, dan jujur, tidak pura-pura.
"Aih, kiranya begitu?" katanya. "Biarlah, sekarang belum, akan tetapi aku ikut mendoakan..."
Bun Houw mengerutkan alisnya. Dua orang wanita muda yang sama-sama cantiknya itu seolah olah bicara dengan kata-kata sandi yang tidak dimengerti artinya sama sekali. Cia Kun Ti yang melihat kegembiraan antara dua orang wanita muda itu, merasa tidak enak karena dia masih gelisah membayangkan apa yang akan terjadi dengan keluarga Cun, sedangkan isterinya masih berada di sana, segera berkata,
"Ling Ay, duduklah dan mari kita bicarakan hal yang amat penting ini."
Ling Ay duduk di atas bangku di sebelah Hui Hong, sedangkan Bun Houw duduk berhadapan di seberang meja berdampingan dengan ayahnya, "Ayah, bukankah ayah mengajak aku pulang untuk memberi nasihat?" tanyanya, memandang heran.
Akan tetapi ayahnya menggeleng kepalanya. "Sama sekali bukan! Aku memang sengaja membujuk agar engkau meninggalkan rumah keluarga Cun setelah aku menerima kunjungan Bun Houw dan Ouwyang Lihiap ini. Akan tetapi... ah. ibumu berkeras kepala, tidak mau ikut!”
"Ah. jadi bibi masih berada di sana?" tanya Bun Houw. Dia sudah melupakan semua sikap wanita Ibu kandung bekas tunangannya itu, lupa bahwa wanita itulah sesungguhnya yang memaksa putus hubungan pertalian jodohnya dengan Ling Ay.
"Ia tidak mau pergi! Sungguh keras kepala...!” kata Cia Kun Ti.
"Ayah, sesungguhnya apakah yang telah terjadi? Mengapa ayah menghendaki agar aku dan Ibu meninggalkan keluarga suamiku"
"Ling Ay, orang yang menjadi ayah mertuamu itu, kepala daerah yang dikenal sebagai Cun Taijin yang terhormat itu, ternyata dia adalah seorang pemberontak!”
"Ahhh...?” Ling Ay terbelalak. "Bagaimana mungkin...? Bukankah dia seorang pejabat yang paling berkuasa di Nan-ping?"
"Justeru itulah! Dia menghimpun kekuatan, memelihara tokoh-tokoh penjahat besar, dan dia membunuhi saingan-saingannya atau orang-orang yang menentangnya, seperti dahulu... sahabatku, ayah kandung Bun Houw juga terbunuh oleh anak buahnya..."
"Aihhh...! Be... benarkah itu...?" Ling Ay kini menoleh dan menatap wajah bekas tunangannya itu, wajahnya sendiri berubah pucat.
Bun Houw menarik napas panjang, merasa kasihan sekali kepada bekas tunangannya lalu mengangguk. "Sesungguhnya begitulah,"
"Ahhh...!” Ling Ay menutupi mukanya dan ia menangis. "Jadi... mereka... membunuh ayah ibumu... kemudian... kemudian mengambil pula aku... ah, Houw-toako, betapa... betapa buruk nasibmu..."
Bun Houw menarik napas panjang. "Sudahlah, adik Ling Ay. Tidak ada gunanya menyesali hal yang telah lalu. Yang penting sekarang bagaimana agar ibumu dapat diselamatkan pula."
"Apa... apa yang akan terjadi...?" Wajah yang bernasib malang itu mengangkat mukanya yang kini pucat dan basah air mata.
Hui Hong merasa kasihan sekali kepada Ling Ay. Ia tahu bahwa dahulu tentu wanita ini amat mencinta Bun Houw. akan tetapi dipaksa berpisah dari calon suaminya itu dan dipaksa menikah dengan putera kepala daerah yang ternyata tidak pula mendatangkan kebahagiaan baginya, babkan kini menghadapi malapetaka.
"Enci. perbuatan jahat kepala daerah itu telah diketahui oleh Souw Ciangkun, komandan pasukan keamanan di kota ini karena dia pun malam tadi hampir dibunuh oleh anak buah Cun Taijin. Dan pemberontak itu akan diserbu. Sebelum penyerbuan dilakukan. Houw-toako lebih dahulu ingin menyelamatkau engkau dari sana."
"Ahhh... mengapa begitu? Houw-ko, aku sudah menjadi isteri Cun Hok Seng. Apapun yang terjadi, aku adalah keluarga mereka dan kalau mereka dibasmi, kalau mereka dihukum, sudah sepatutnya kalau akupun ikut bertanggung jawab. Ayah, biarkan aku kembali ke sana dan bawa saja ibu keluar dari sana...” wanita itu menangis lagi dan kembali.
Hui Hong memandang kagum. Seorang wanita yang hebat, pikirnya. Seorang isteri yang setia. Ia lalu merangkulnya, "Enci, kurasa pendapat itu keliru. Kalau engkau tadinya mengetahui semua kejahatan itu dan menyetujuinya atau membantunya, maka engkau harus mempertanggungjawabkan kesalahanmu itu. Akan tetapi, engkau hanya seorang korban! Korban kejahatan mereka. Bagaimana mungkin engkau harus mempertanggungjawabkan kejahatan mereka?"
"Akan tetapi, adik Hong. Aku Isteri Cun Hok Seng! Aku keluarga mereka."
"Keluarga yang dipaksa! Bukankah engkau dahulu dipaksa untuk menikah dengan putera kepala daerah itu? Bukankah sejak kecil sebetulnya yang menjadi calon suamimu adalah Houw-toako ini? Tidak, enci, engkau tidak sepatutnya bertanggung jawab. Bahkan engkau sepatutnya sakit hati kepada mereka. Biarlah, aku yang akan membalaskan sakit hatimu, enci."
"Tapi... tapi... biarpun aku berada di sini, tetap saja tersangkut dan pasti akan ditangkap, bahkan ayah dan Ibu juga. Bukankah ayah dan ibu besan mereka dan aku bahkan anak mantu?" kembali Ling Ay membantah dan ayahnya juga terkejut karena melihat kebenaran yang terkandung dalam ucapan puterinya itu.
"Jangan khawatir." kata Bun Houw cepat. "Aku yang akan minta kepada Souw Ciangkun agar keluarga Cia tidak diganggu, dan aku akan menjelaskan semuanya."
"Benar," kata Hui Hong. "Souw Ciangkun, pasti akan suka mendengarkan keterangan kami!"
"Kalau begitu, biar aku mencoba lagi membujuk isteriku agar keluar dari sana sebelum terlambat," kata pula Cia Kun Ti.
Bun Houw bangkit berdiri, juga Hui Hong. "Memang sebaiknya begitu, paman, karena kami berdua akan melapor kepada Souw Ciangkun sekarang juga."
"Ayah, kalau ibu tidak mau, katakan saja bahwa aku tiba-tiba jatuh sakit, atau apa saja, asal dapat memaksa ia pulang," kata Ling Ay dengan khawatir.
Mereka lalu pergi. Bun Houw pergi bersama Hui Hong, dan Cia Kun Ti berlari-lari menuju ke rumah kepala daerah. Ling Ay yang ditinggal seorang diri membanting diri di atas pembaringan di dalam kamar ibunya dan menangis, menutupi mulutnya dengan bantal agar tidak sampai terdengar tangisnya keluar kamar.
********************
Tidak mudah bagi Cia Kun Ti untuk dapat membujuk isterinya meninggalkan gedung kepala daerah itu.
"Tidak! Aku tidak mau menemuinya. Suruh dia datang kalau bersama Nyonya Muda." katanya kepada pelayan yang melapor kepadanya akan kedatangan suaminya itu.
Akan tetapi, maklum bahwa ini menyangkut urusan mati hidupnya atau setidaknya keselamatan isterinya, Cia Kun Ti tidak mau pergi kalau isterinya tidak mau ikut.
"Katakan kepadanya bahwa aku mau bicara urusan penting sekali, urusan yang menyangkut diri Nyonya Muda. Sebentar saja!”
Hari telah hampir sore, maka hati Cia Kun Ti gelisah bukan main. Akhirnya, isterinya keluar dengan mulut cemberut runcing dan muka keruh seperti air lumpur. "Ihhh, engkau ini sungguh menjengkelkan! Mau apa sih mengganggu aku terus? Bukan menasihati anaknya malah datang mengganggu aku!"
"Ssttt, dengar baik-baik, jangan sampai terdengar orang lain. Ketahuilah, anak kita mengalami kecelakaan..."
"Ahhh? Celaka? Ling Ay... kenapa, ia...? Kenapa...?”
"Iya ... setelah tiba di rumah, kunasihati ia malah mencoba untuk membunuh diri...”
"Bunuh diri?" Nyonya itu menjerit lalu mencengkeram lengan suaminya. "Ia mati? Kau membunuhnya...! Engkau yang membunuhnya!"
"Tenanglah, tenang. Ia tidak mati, hanya luka. Untung masih dapat kucegah. Karena itu. mari cepat pulang... cepat. Jangan sampai ia mencoba membunuh diri lagi...“
"Ling Ay... anakku... ahhhh...!”
Kini tanpa banyak cingcong lagi Nyonya Cia Kun Ti berlari keluar, lupa berganti pakaian, lupa berpamit. Cia Kun Ti mengikuti dari belakang, diam-diam merasa girang sekali, mereka berdua tidak memperdulikan pandang mata terheran-heran dari para pelayan yang melihat suami isteri itu berlari-lari keluar dari dalam gedung itu. Mereka tidak berani bertanya karena dua orang itu adalah besan majikan mereka, hanya saling pandang kemudian peristiwa itu menjadi bahan pergunjingan mereka.
Bagaimanapun juga, telah terbocor bahwa tuan muda mereka marah kepada isterinya, karena nyonya muda dikabarkan mengadakan pertemuan dengan pemuda bekas kekasihnya. Tentu saja mereka mempengunjingkan sambil tertawa-tawa di balik lengan baju mereka.
Sudah lajim bahwa kita suka sekali, membicarakan keburukan orang lain, suka sekali mempergunjingkan aib orang lain, bahkan suka mentertawakan penderitaan orang lain. Nafsu setan menguasai batin kita sehingga seolah kita selalu merasa iri kalau melihat orang lain serba lebih dari kita, dan merasa senang kalau melihat orang lain lebih sengsara dari pada kita.
Nafsu daya rendah yang mencengkeram batin kita membuat kita diperbudak nafsu sehingga kita lupa segalanya. Jiwa murni yang datang dari Tuhan seperti tertutup oleh selubung nafsu daya rendah yang menguasai kita. Susah kalau sudah begitu, nafsu setanlah yang mengendalikan semua tingkah laku kita, bahkan mencengkeram hati dan akal pikiran kita, seluruh panca indra kitapun dikuasainya sehingga apapun yang kita pikirkan, ucapan, lakukan, semua hanya mempunyai satu pamrih, yaitu menyenangkan si aku. dan si aku itu yalah nafsu setan itulah!
Nafsu setan yang sudah mencengkeram segalanya, seluruh diri kita lahir batin. Kalau "aku" yang sesungguhnya adalah jiwa, setetes air dari samudera yang menjadi pusat, secercah sinar dari matahari yang menjadi pusat, sebagian kecil dari kekuasaan Tuhan, maka setelah bergelimang nafsu setanlah, yang mengaku-aku. Tidak ada kekuasaan yang akan mampu mengusir setan itu dari kita, karena sesungguhnya, hidup manusia ini tidak akan dapat bertahan tanpa adanya nafsu yang menjadi pelengkap bahkan menjadi pelayan dan alat penting bagi kita hidup di dunia ini.
Karena daya-daya rendah itu merupakan berkah dan kasih sayang Tuhan kepada kita, melengkapi kita dengan alat-alat itu yang akan dapat membuat kita hidup berbahagia, maka kalau daya-daya rendah itu menjadi nafsu yang tidak terkendalikan lagi bahkan mengendalikan kita, maka hanya kekuasaan Tuhan pula yang akan mampu menolong kita. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu membebaskan kita dari daya pengaruh setan sehingga bukan kita manusia yang diperhamba, melainkan daya-daya rendah itu yang menjadi hamba, menjadi alat.
Ayah dan ibu itu berlari-larian menuju ke rumah mereka. Ketika mereka memasuki rumah. Nyonya Cia Kun Ti yang melihat puterinya duduk di tempat tidur dan kelihatan habis menangis, segera menubruknya.
"Ling Ay anakku, apa yang telah kau lakukan, anakku?"
Ling Ay merasa lega melihat Ibunya, akan tetapi juga hatinya seperti ditusuk mengingat akan nasibnya. Biarpun ia menjadi isteri Cun Hok Seng secara terpaksa, namun ia telah menjadi isterinya, dan biarpun suami itu hanya menyanjung dan memanjakannya selama beberapa bulan saja ketika berbulan madu, namun ia tetap Isterinya dan kalau keluarga suaminya tertimpa malapetaka, berarti ia pun akan terkena aib. Maka iapun merangkul ibunya dan menangis, merasa kasihan pula kepada ibunya yang ia tahu amat menikmati keadaannya sebagai besan kepala daerah.
"Ibu, ah, ibu..."
"Anakku, kata ayahmu, engkau hampir membunuh diri? Ling Ay, apakah engkau tega meninggalkan Ibumu? Kenapa engkau begitu putus asa? Suamimu hanya sedang marah, sebentar juga akan baik kembali dan..."
"Ibu, kalau ibu tidak mau menemani aku selama beberapa hari ini di sini, aku benar-benar akan membunuh diri!” kata Ling Ay dengan suara yang tegas.
Mendengar ini, ibunya terbelalak, akan tetapi tidak berani banyak bicara lagi. "Aku akan di sini... aku akan menemanimu...“ katanya berulang-ulang.
********************
Sementara itu, bersama dengan datangnya malam, dua sosok bayangan berkelebat cepat meloncati pagar tembok belakang bangunan yang menjadi perumahan kepala daerah. Mereka itu adalah Bun Houw dan Hui Hong yang sudah melapor kepada Souw Ciangkun. Mereka telah bekerja sama dan mengatur rencana bahwa dua orang pendekar itu akan lebih dahulu menyusup ke dalam, selain untuk membuat para penjahat di situ tidak menduga akan adanya penyerbuan pasukan, juga untuk menyelesaikan urusan pribadi Hui Hong yang hendak mencari Pek I Mo-ko yang telah mencuri akar bunga gurun pasir dari ayahnya.
Dengan Bun Houw sebagai penunjuk jalan, mereka tiba di luar ruang pertemuan dan mengintai ke dalam. Kiranya Pek I Mo-ko sedang marah-marah, memaki-maki para pembantunya yang dianggap tolol karena semua tidak dapat melaksanakan tugas mereka dengan baik. Siauw-bin Pek ti bersama tiga orang rekannya gagal membunuh Kwa Bun Houw, bahkan dihajar habis-habisan oleh pemuda itu. Bu-tek Kiam-mo yang sudah dibantu Ngo-kwi juga gagal membunuh Souw Ciangkun, bahkan dua orang di antara Ngo-kwi terluka oleh Bun Houw.
"Kalian semua tidak becus! Kalian sungguh memalukan sekali menjadi pembantu-pembantuku yang kupercaya! Bu-tek Kiam-mo, engkau adalah pembantuku yang utama, bagaimana sekali ini engkau gagal melaksanakan tugasmu? Padahal, Ngo-kwi sudah kusuruh membantumu!”
"Kalau tidak ada Kwa Bun Houw itu dan seorang gadis yang lihai sekali, tentu tugas itu berhasil. Aku sendiri sudah dapat berhadapan muka dengan Souw Ciangkun dan menyerangnya, akan tetapi tiba-tiba muncul gadis itu."
"Hemm, dikalahkan oleh seorang perempuan muda? Sungguh tak tahu malu. Percuma saja julukanmu Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) kalau engkau kalah oleh seorang perempuan, apalagi masih gadis. Siapakah gadis itu?”
"Aku... aku tidak tahu, Ciong Tai-hiap..."
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Ciong Kui Le, akulah gadis itu!”
Yang berkumpul di dalam ruangan itu kurang lebih dua puluh orang, yaitu Pek I Mo-ko Ciong Kui Le yang menjadi pemimpin. Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe, Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw, Ngo-kwi, dan beberapa orang lagi yang kesemuanya merupakan jagoan-jagoan itu dan berkepandaian tinggi maka mereka ditarik oleh Pek I Mo-ko sebagai pembantu pembantunya. Mendengar bentakan itu mereka semua terkejut dan memandang ke arah datangnya suara.
Nampak dua bayangan orang berkelebat dan di ruangan itu telah berdiri Kwa Bun Houw dan seorang gadis yang cantik dan gagah, yang masih muda, paling banyak delapan belas tahun usianya. Melihat gadis ini. Butek Kiam-ong terkejut karena gadis itulah yang telah menghalanginya membunuh Siauw Cingkun. Dia tidak khawatir akan dikenal orang karena ketika melaksanakan tugas itu, dia dan Ngokwi mengenakan topeng.
Akan tetapi ketika dia menoleh kepada Pek I Mo-ko untuk memberi isyarat dia melihat betapa pemimpinnya itupun terbalalak dan mukanya membayangkan rasa kaget dan juga takut. Akan tetapi hanya sebentar saja, karena Pek I Mo-ko segera dapat menguasai dirinya lagi, mengandalkan banyaknya anak buah, lalu dia bahkan tertawa.
"Ha-ha-ha ha, kukira siapa gadis yang menentang kami itu, kiranya engkau, Ouwyang Hui Hong!"
Wajah gadis itu menjadi merah dan sinar matanya mencorong. Orang ini telah dikenalnya sejak ia kecil, dan dahulu ketika masih menjadi pembantu ayahnya, sikap Ciong Kui Le cukup baik dan sayang kepadanya, juga menghormatnya dengan menyebutnya Hong Siociay (Nona Hong). Akan tetapi sekarang, sikapnya demikian congkak dan menyebut namanya dengan nada mengejek!
"Ciong Kui Le manusia tak mengenal budi dan tak tahu malu! Selama belasan tahun, engkau hidup di bawah pemeliharaan ayahku, bahkan menerima ilmu silat dari ayah, dan engkau membalasnya dengan melarikan diri mencuri benda mustika simpanan ayah! Hayo cepat berlutut menerima hukuman dan kembalikan mustika itu!" Berkata demikian, gadis-itu menggerakkan kedua tangan dan tahu-tahu kedua tangan itu telah menghunus sepasang pedang yang gemerlapan.
Kembali Pek I Mo-ko tertawa. "Ha ha ha ha, Hui Hong anak kemarin sore, berani engkau bicara besar di depanku? Lupakah engkau bahwa dulu seringkali aku yang membimbingmu dan memberi petunjuk kalau engkau berlatih silat? Ha ha ha, orang lain boleh jadi takut kepadamu, akan tetapi aku tidak! Engkau tidak akan menang melawanku, Hui Hong. Mustika itu ada padaku dan takkan kukembalikan. dan sakarang engkau bahkan menyerahkan diri. Ouwyang Hui Hong, engkau tidak akan dapat keluar lari dari tempat ini!"
Pek I Mo-ko lalu memberi aba-aba dan dua puluh orang lebih itu segera membuat gerakan mengepung. Bun Houw dan Hui Hong kini terkepung di ruangan yang cukup luas itu, dan di luar masih berdatangan lagi puluhan orang anak buah kepala daerah Cun yaitu pasukan penjaga keamanan!
"Pek I Mo-ko!” teriak Bun Houw dengan kata lantang. "Engkau dan kawan-kawanmu ini menjadi kaki tangan Cun Tai-jin, melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang menentangnya. Kalian adalah kaki tangan pemberontak! Dan aku mengenal siapa Ngo-kwi yang membantumu ini! Mereka ini sejak enam tujuh tahun yang lalu telah menjadi kaki tangan Cun Tai-jin untuk membunuhi orang-orang yang menentangnya, termasuk ayahku! Pendekar Kwa telah mereka keroyok dan bunuh, juga ibuku!”
Bun Houw menekan perasaannya karena dia tidak mau dicengkeram oleh nafsu kebencian karena dendam. Dia hanya bertindak melaksanakan tugasnya sebagai pendekar untuk menentang kejahatan, membasmi mereka yang jahat, bukan bertindak karena dendam dan benci seperti yang diajarkan mendiang ayahnya, juga yang dipesankan gurunya. Kalau sampai dalam pertempuran dia merobohkan dan membunuh penjahat, biarlah penjahat itu tewas sebagai akibat kejahatan mereka, bukan sebagai akibat balas dendamnya!
"Tangkap atau bunuh mereka!" Pek I Mo-ko memberi aba-aba dan semua anak buahnya maklum bahwa aba-aba itu berarti bahwa kalau mungkin mereka ditaruskan menangkap hidup-hidup dua orang muda itu, terutama sekali tentunya gadis cantik itu, akan tetapi kalau tidak mungkin, mereka diperbolehkan membunuh mereka berdua dan tidak membiarkan mereka lolos!
"Singggg...!” Nampak sinar berkilat dan tangan kanan Bun Houw lelah memegang sebatang pedang yang sinarnya menyilaukan mata ketika cahaya lampu menimpa pedang itu, itulah Lui-kong-kiam, pedang pusaka yang disebut Pedang Kilat, yang selama ini disembunyikan saja di dalam sarungnya yang berupa sebatang tongkat butut yang kini berada di tangan kiri pemuda itu. Karena maklum bahwa pihak lawan jauh lebih banyak dan di antara mereka terdapat banyak orang yang lihai, maka sekali ini Bun Houw terpaksa mencabut Lui-kong-kiam. Dia tahu bahwa yang paling lihai di antara mereka tentulah Pek I Mo-ko, laki-laki yang berpakaian serba putih itu.
Akan tetapi, Bu-tek Kiam-mo. Siauw-bin Pek-ti dan Ngo-kwi sudah mengepung dan mengeroyoknya, menyerang dari semua penjuru sehingga dia tidak sempat lagi menghadapi Pek I Mo-ko. Agaknya hal ini memang sudah diatur oleh pemimpin gerombolan itu, karena Pek I Mo-ko sendiri menghadapi Hui Hong gadis yang telah dikenalnya dengan baik dan diketahui tingkat kepandaiannya maka dia memandang ringan,
. "Biarkan aku menangkap gadis ini. Yang lain keroyok dan bunuh pemuda berbahaya itu!” teriaknya dan diapun mencabut sebatang pedang dengan tangan kanan, dan sebatang kipas bergagang baja dengan tangan kirinya.
"Pengkhianat rendah!" Hui Hong membentak dan iapun menyerang dengan sepasang pedangnya. Pek I Mo-ko Ciong Kui Le yang mengenal ilmu pedang pasangan gadis itu, sengaja menangkis, mengelak dan membalas dengan totokan gagang kipasnya. Hui Hong meloncat ke samping untuk menghindarkan diri dan sepasang pedangnya membuat gerakan menggunting dengan serangan yang amat dahsyat.
"Hemmm...!” Pek I Mo-ko berseru, terpaksa melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik sambil mengelebatkan pedang dan kipasnya untuk membalas. Tahulah dia bahwa setelah dia pergi, gadis ini telah memperdalam ilmunya sehingga kini merupakan seorang lawan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Dari pertemuan pedang tadi saja dia maklum bahwa Hui Hong telah memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat dan hampir mengimbangi tenaganya sendiri. Agaknya dia hanya harus mengandalkan pengalamannya untuk dapat mengalahkan puteri bekas majikan dan juga gurunya itu.
Sementara itu, Bun Houw dikeroyok oleh banyak orang, akan tetapi bagaikan seekor jengkerik dikeroyok banyak semut, dalam gebrakan pertama saja, dua orang di antara Ngo-kwi dan dua orang pengeroyok lain telah roboh karena tubuh mereka disambar Lui-kong-kiam bersama dengan buntungnya senjata mereka ketika terbabat pedang pusaka itu! Dan makin hebat dan makin banyak para pengeroyok menyerangnya, makin hebat pula amukan Bun Houw dengan Pedang Kilat di tangan kanannya. Bahkan tongkat butut yang kini kosong di tangan kirinya itupun sempat merobohkan dua orang pengeroyok dengan totokannya.
Mereka yang roboh ditarik keluar oleh pengeroyok lain dan tempatnya digantikan orang lain sehingga tempat yang luas itu penuh dengan mereka yang mengeroyok Bun Houw. Pemuda ini tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri melainkan khawatir melihat betapa Hui Hong menghadapi seorang lawan yang dia tahu amat berbahaya. Apalagi ketika dilihatnya beberapa kali gadis itu terdesak dan sempat terhuyung. Akan tetapi, yang mengeroyoknya terlalu banyak sehingga dia tidak mungkin dapat membantu atau melindungi gadis itu.
Pula, dia mengenal watak gadis yang keras dan gagah itu, yang mungkin malah akan tersinggung kalau dia maju membantunya padahal ia belum kalah. Dia hanya mengharapkan Hui Hong akan mampu bertahan sampai datangnya bala bantuan yang dia tahu tidak lama lagi tiba karena tentu kini pasukan yang dipimpin sendiri oleh Souw Ciangkun telah melakukan pengepungan terhadap kompleks bangunan gedung tempat tinggal kepala daerah Cun.
Perhitungan Bun Houw memang tepat dan, harapannya terkabul ketika tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan tambur sebagai tanda penyerbuan pasukan tentara penjaga keamanan. Bukan saja seluruh penghuni perumahan kepala daerah Cun yang menjadi geger dan panik, bahkan seluruh kota Nan-ping menjadi gempar ketika terdengar berita bahwa gedung tempat tinggal kepala daerah Cun dikepung dan diserbu oleh pasukan tentara penjaga keamanan dari benteng.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya kepala daerah Cun dan keluarganya. Juga Pek I Mo-ko yang sedang bertanding mati-matian mendesak Hui Hong kaget sekali, ketika mendengar bunyi tambur dan terompet, dan tahulah dia bahwa dia telah gagal, bahwa majikannya, kepala daerah Cun telah gagal dan telah diketahui rahasianya oleh komandan pasukan keamanan. Habislah semua harapan dan tidak ada artinya lagi membela kepala daerah yang ambisius dan telah gagal itu.
Juga para penbantunya yang tadinya masih bersemangat mengeroyok Bun Houw walaupun sudah banyak di antara mereka roboh oleh Si Pedang Kilat. Ngo kwi, kelima orang yang dahulu membunuh Kwa Tin dan isterinya, juga menjadi korban Si Pedang Kilat, tewas bersama Bu-tek Kiam-mo dan Siauw-bin Pek ti, walaupun yang dua orang ini melanjutkan perlawanan dengan gigih dan bagi Bun Houw tidak amat mudah merobohkan mereka. Karena dua orang ini dan Ngo kwi, maka tadi Bun Houw tidak berdaya membantu atau melindungi Hui Hong. Bahkan ketika Ngo-kwi sudah tewas, kedua orang itu dibantu kawan-kawan mereka masih mengepungnya ketat.
Baru setelah pasukan keamanan datang menyerbu sampai ke ruangan di mana terjadi pertempuran itu, Bun Houw barhasil merobohkan Bu-tek Kiam-mo dengan pedangnya, dan merobohkan Siauw bin Pek-ti dengan tongkatnya. Dia tidak memperdulikan lagi para pengeroyok lain yang sudah dikepung para perajurit, lalu meloncat ke arah sudut kanan di mana tadi dia melihat Hui Hong bertempur-mati-matian melawan Pek I Mo-ko. Akan tetapi, keduanya tidak nampak lagi di situ! Baik Hui Hong maupun Pek I Mo-ko tidak berada di sana lagi, telah pergi entah ke mana. Bun Houw lari keluar dan bertemu dengan Souw Ciangkun di dekat pintu ruangan itu. Panglima yang mengenakan pakaian dinas itu tersenyum kepadanya.
"Terima kasih, tai-hiap, semua berhasil baik!"
"Ciangkun, apakah ciangkun melihat nona Ouwyang?"
Komandan pasukan itu mengacungkan jempolnya memuji. "Hebat sekali Ouwyang Li-hiap, ia tadi mengejar-ngejar lawannya yang lari ketakutan,"
"Lawannya Pek I Mo-ko yang berpakaian serba putih?"
"Benar."
"Ke arah mana larinya?"
Komandan itu hanya menuding keluar dan sebelum dia sempat menjawab, Bun Houw sudah meloncat ke luar perumahan itu melakukan pengejaran. Namun, karena keadaan di situ penuh dengan tentara, maka dia kehilangan jejak dan tak seorangpun dapat memberi keterangan ke arah mana Hui Hong mengejar musuhnya. Hatinya khawatir sekali, akan tetapi dia tidak mampu berbuat apa-apa. Dan diapun tidak ingin kembali menemui Souw Ciangkun karena dia menganggap bahwa tugasnya telah selesai. Dia berputar-putar di dalam kota Nan-ping, bertanya-tanya kalau ada yang melihat Hui Hong, namun tak berhasil dan akhirnya diapun menuju ke rumah Cia Kun Ti.
Karena mencari-cari jejak Hui Hong semalam suntuk tanpa hasil, hari telah mulai terang ketika dia tiba di rumah Cia Kun Ti. Keadaan kota telah aman, tidak panik lagi dan di mana-mana orang membicarakan peristiwa yang menggemparkan itu, bahwa keluarga Cun semua ditangkap, banyak kaki tangan yang melakukan perlawanan tewas dan kini rumah kepala daerah itu ditutup dan dijaga oleh pasukan prajurit yang tidak membolehkan siapa-pun memasuki pekarangannya.
Cia Kun Ti dan Ling Ay menyambut kedatangan Bun Houw dengan perasaan haru. Dengan muka masih pucat karena semalam dia mendengar geger yang terjadi di rumah keluarga bekas besannya, Cia Kun Ti merangkul Bun Houw, bekas calon mantunya itu.
"Ah, Bun Houw. kalau tidak ada engkau bagaimana jadinya dengan kami...! Hanya Tuhan yang tahu betapa basar penyesalan hati kami atas perlakuan dan sikap kami dahulu terhadap dirimu dan betapa besar rasa sukur dan terima kasih kami kepadamu..."
Ling Ay tidak mampu bicara, hanya menangis terisak-isak. Gadis inipun pucat sekali, rambutnya kusut, pakaiannya juga kusut dan jelas bahwa semalam ia tidak tidur dan berada dalam keadaan gelisah dan berduka.
"Sudahlah, paman. Kita harus bersyukur kepada Thian bahwa kita masih dilindungi, dan masih utung pula bagi rakyat bahwa usaha pemberontakan itu dapat dibasmi sehingga tidak jatuh korban lebih banyak lagi."
"Aihhh... kalau Ingat bahwa engkau telah menjadi korban, Bun Houw. Ayahmu, ibumu, semua tewas oleh kaki tangan penjahat ]yang berkhianat itu..."
"Bukan hanya keluarga saya yang menjadi korban. Juga keluarga lain, dan adik Ling Ay... semua menjadi korban. Eh, di mana bibi? Kenapa ia tidak kelihatan?" Tiba-tiba Bun Houw bertanya dengan khawatir...