Kisah Si Pedang Kilat Jilid 10
AYAHNYA dikenal sebagai Pedang Tanpa Bayangan, membuktikan betapa ilmu pedang ayahnya memiliki gerakan yang amat cepat seolah-olah tidak nampak bayangannya. Namun lawannya ini memiliki gerakan tongkat yang tidak kalah cepatnya sehingga tadi, selama belasan jurus saja ujung tongkat hampir berhasil menotok dadanya! Dia memutar pedangnya dan pertandingan itu berlangsung semakin seru.
Tiba-tiba terdengar seruan suara wanita, "Toan-ko...! Hong-ko! Tahan senjata, jangan berkelahi!”
Mendengar suara Hui Hong, Ouwyang Toan dan Bun Houw menghentikan gerakan senjata mereka dan keduanya melompat ke belakang, terbelalak memandang heran mengapa Hui Hong menyuruh mereka berhenti.
Melihat dua orang pemuda itu masih marah dan setiap saat dapat saling serang lagi, tahulah Hui Hong bahwa tentu telah timbul kesalahpahaman antara mereka, maka iapun menghampiri kakaknya dan cepat memperkenalkan.
"Houw-ko, ini adalah kakakku, Ouwyang Toan. Dan Toan-ko, dia adalah Kwa Bun Houw seorang sahabat yang tadi baru saja menyelamatkan aku dari bencana dan maut!”
Kedua orang muda itu terkejut bukan main mendengar ucapan Hui Hong itu, apalagi Ouwyang Toan! Dia adalah seorang pemuda yang memiliki watak angkuh, keras dan merasa diri tidak pernah salah. Dan baru saja dia hampir membunuh seorang yang bukan saja tidak mengganggu adiknya, bahkan menjadi penyelamat adiknya. Dia memandang adiknya, matanya yang tajam melihat betapa pakaian adiknya tidak beres, dan adiknya mengenakan jubah pria, sedangkan pemuda yang baru saja diserangnya itupun tidak mengenakan jubah. Alisnya berkerut dan pandang matanya kembali dibayangi keraguan dan kecurigaan.
"Adik Hong, apa artinya semua ini? Kalau ia menolongmu, kenapa ia lari keluar guha dan kenapa pula engkau memakai jubahnya?” Dia yakin bahwa jubah yang dipakai adiknya itu tentu milik pria ini.
Hui Hong tentu saja mengenal watak kakaknya. Kakaknya ini teramat sayang kepadanya, bahkan memanjakannya, dan kakaknya ini keras hati dan juga cerdik dan angkuh. Hui Hong tersenyum, menoleh kepada Bun Houw dan berkata sambil tersenyum. "Houw-koko, kau lihat. Kakakku ini cerdik sekali, bukan? Dia tahu saja bahwa jubah ini milikmu!” Ketika Hui Hong memandang kakaknya dan melihat Ouwyang Toan mengerutkan alis dan memandangnya dengan keras, senyumnya melebar.
"Tenanglah, toako, dan jangan berpikir yang bukan-bukan. Di tempat ini aku sudah beruntung dapat berhadapan dengan Pek I Mo-ko untuk merampas akar yang kuyakin tentu telah berada padanya. Kami bertanding mati-matian dan tadinya aku yakin sudah mulai dapat mendesaknya. Tiba-tiba muncul si keparat jahanam curang busuk itu! Dia membantu Pek I Mo-ko!"
"Siapa dia?" Ouwyang Toan berseru, suaranya mengandung penuh ancaman.
"Hmm, aku akan menjaga jangan sampai bermusuhan dengan kakak beradik ini, pikir Bun Houw. Mengerikan! Mereka itu kelihatan begitu galak dan sadis!"
"Siapa lagi? Tentu saja Si Suling Beracun Suma Hok itu."
"Keparat dia!"
"Ketika kami berkelahi, Pek I Moko melarikan diri. Si jahanam Suma Hok tetap menyerangku dan akupun tidak akan kalah kalau saja dia tidak bertindak curang, mengebutkan kain yang mengandung debu pembius sehingga aku ditawannya. Ia membawaku ke guha ini dan nyaris aku bunuh diri menggigit putus lidahku sendiri dari pada diperkosa, ketika tiba-tiba muncul Houw-koko ini yang segera menyerangnya. Mereka bertanding dan Suma Hok yang licik dan curang pengecut itu melarikan diri. Houw-koko melepaskan ikatan kaki tanganku dan meninggalkan jubahnya untukku, lalu mengejar keluar. Ketika aku mengejarnya, ternyata dia malah berkelahi denganmu dan... untung aku... "
"Jahanam suma Hok!" Ouwyang Toan memotong keterangan adiknya dan diapun sudah meloncat pergi dan lari cepat meninggalkan tempat itu. Bun Houw memandang dengan bengong.
"Agaknya kakakmu akan mengejar dan mencari Suma Hok," katanya.
Hui Hong tertawa kecil. "Kakakku Ouw-yang Toan memang keras hati dan galak sekali. Mana mungkin dia dapat menangkap Suma Hok yang begitu licik? Tentu jahanam itu sudah lari jauh. Lebih baik mari kita kejar Pek I Mo-ko. Engkau mau membantuku, bukan? Aku harus merampas kembali akar itu dari tangannya."
"Tapi kakakmu...? Apakah tidak lebih baik kita menunggu dia dulu? Atau membantunya menghadapi Suma Hok?"
"Tidak, koko."
Entah mengapa, hati Bun Houw berdebar girang mendengar sebutan koko (kakak atau kakanda) yang memasuki telinganya dengan merdu dan mesra itu.
"Kalau dia kembali, pasti dia melarang kita melakukan perjalanan bersama. Dia lebih galak dan keras dari pada ayah sendiri. Dan aku juga tidak mau terlambat. Kalau sampai akar itu didahului Suma Hok yang mendapatkannya celakalah aku!”
"Ehh? Kenapa begitu?" Bun Houw bertanya heran.
Hui Hong membanting kakinya tak sabar. "Aih, kalau kita banyak mengobrol saja, berarti membuang waktu dan kalau tidak kakakku keburu datang lagi, juga tentu aku kedahuluan Suma Hok! Marilah, Houw-koko, apakah engkau tidak suka lagi membantu aku?"
Hui Hong cemberut, yang dalam pandangan Bun Houw menjadi semakin manis saja. "Kalau tidak mau, katakan saja terus terang dan aku akan pergi sendiri mengejar Pek I Mo-ko. Kalau engkau mau menunggu kakakku di sini, silakan!" Dan Hui Hong meloncat pergi, benar cepat sekali meninggalkan tempat itu.
"Nona Ouwyang Hui Hong...!” Bun Houw memanggil sambil cepat mengejar. Akan tetapi gadis itu bahkan mempercepat larinya sehingga Bun Houw juga harus mengerahkan tenaga untuk berlari lebih cepat.
"Nona Ouwyang, tunggu aku...!" Teriaknya dan teriakan ini dia ulangi sampai lima kali, akan tetapi Hui Hong berlari terus, dan panggilan yang terakhir dijawabnya tanpa menoleh.
"Tuan Kwa Bun Houw, tak usah engkau mengejarku!”
Jawaban ini membuat Bun Houw mengangkat kedua alisnya ke atas karena matanya dilebarkan saking herannya. Mengapa gadis itu tiba-tiba saja menyebut dia tuan? Padahal tadi telah menyebutnya koko dengan demikian mesranya! Dan diapun teringat. Dasar tolol kau! Dia mengeluarkan kepandaiannya dan bagaikan terbang dia mengejar, sekali ini dia berseru dengan mengerahkan khi-kang sehingga suaranya terdengar nyaring melengking.
"Hoog-moi...! Adinda Hui Hong... kau tunggulah aku...!”
Dan benar saja. Gadis itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuh, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum manis sekali. Bun Houw tiba di depannya. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan keduanya berkeringat, keduanya agak terengah-engah karena tadi mereka telah mengerahkan seluruh tenaga untuk berlari cepat dan tahu-tahu kini mereka telah tiba di bawah bukit!
"Hong-moi, kenapa kau panggil aku tuan!”
"Hemm, cobalah bercermin! Kau sendiri memanggil aku nona!”
Bun Houw tertawa. Hui Hong juga tertawa.
"Houw-koko, aku belum mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu di guha tadi. Nah sekarang terimalah ucapan terima kasihku."
Gadis aneh! Berterima kasih sesudah kejar-kejaran dan marah-marahan. "Sudahlah, Hong-moi. Di antara kita, mana ada yang disebut tolong-tolongan segala? Kita sudah menjadi sahabat baik, sudah seharusnya kita saling bantu, bukan!”
"Benarkah? Engkau selamanya mau membantuku? Selamanya sampai aku... sampai rambut kepalaku ini menjadi putih semua?"
Wah, makin aneh saja gadis ini. Saling bantu antara sahabat memang sudah sewajarnya. Akan tetapi mana menuntut saling bantu sampai mereka menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek? Akan tetapi tiba-tiba wajah pemuda itu berseri dan kulit mukanya menjadi kemerahan. Dia mengangguk serius.
"Tentu! Akan kubantu engkau sampai selama hidupku."
Agaknya jawaban ini memuaskan hati Hui Hong. "Mari kita lanjutkan perjalanan mencari Pek I Mo-ko dan nanti kuceritakan mengapa aku tidak ingin akar itu didapatkan lebih dulu oleh Suma Hok."
Setelah berkata demikian, tanpa sungkan tanpa ragu, seperti mereka masih kanak-kanak saja, Hui Hong menggunakan tangan kanan memegang tangan kiri Bun Houw dan menggandengnya sambil melangkah melanjutkan perjalanan. Tangan kiri Bun Houw merasakan kulit tangan gadis itu yang halus dan hangat, dan jantungnya berdebar tidak karuan. Saking tegangnya dan karena tidak ingin disangka yang bukan-bukan, maka dia tidak berani menggerakkan jari tangan kirinya yang digandeng itu. bahkan bukan hanya jari tangan, seluruh lengan, kirinya dia biarkan tengantung dan terkulai mati!”
Tiba-tiba Hui Hong menahan langkahnya, melepaskan tangannya yang memegang tangan Bun Houw, mengangkat muka memandangnya dengan alis berkerut. "Ihhhh...!”
"Ehh? Kenapa?" Bun Houw kaget melihat sikap gadis itu seolah tangannya dipagut ular.
"Tanganmu itu... seperti tangan mayat saja! Engkau kenapa sih, Houw-ko? Apakah engkau sakit? Tanganmu dingin dan gemetar dan seperti tidak hidup lagi!”
Tentu saja Bun Houw menjadi gugup karena pertanyaan itu seperti serangan yang langsung mengenai jantungnya. "Tidak... eh, aku... hanya... hanya..." Dia menggagap.
"Hanya apa? Engkau begini gugup!”
Bun Houw memang berwatak jujur, walaupun tidak dapat dikata bodoh. Dia merasa sukar kalau harus berbohong, maka dalam keadaan terhimpit itu, dia mengaku terus terang. "Ketika tanganmu menggandeng tanganku, aku... ah, entahlah Hong-moi. Aku merasa takut akan kau sangka yang bukan-bukan kalau aku menggerakkan tanganku."
"Apa itu yang bukan-bukan?”
"Misalnya engkau menganggap aku tidak sopan dan kurang ajar..."
"Ihhh, engkau ini aneh sekali. Belum pernah aku bertemu laki-laki seaneh engkau."
"Dan engkau lebih aneh lagi, Hong-moi, biarpun aku belum pernah bergaul dengan banyak wanita seperti kita sekarang ini."
"Hemmm, bohongnya! Dan engkau bahkan sudah pernah bertunangan!”
Bun Houw mengerutkan alirnya. "Hong-moi, harap jangan sebut-sebut lagi hal itu Sudah kuceritakan bahwa Cia Ling Ay menjadi sahabatku sejak kami masih kanak-kanak. Ia seperti adik saja bagiku. Kemudian hubungan perjodohan yang diikat oleh orang tua kami itu dibikin putus setelah orang tuaku meninggal dunia, dan ia dinikahkan dengan orang lain. Tidak ada apa-apa lagi antara kami, tidak ada apa-apa lagi ... " Bun Houw merasa sedih sekali.
Bukan sedih karena putusnya hubungan jodoh itu, melainkan sedih teringat dan membayangkan nasib Ling Ay yang demikian buruk, dijodohkan dengan seorang suami seperti putera pembesar pemberontak itu. Bahkan tidak hanya sampai sekian nasib buruk yang menimpa diri bekas tunangannya yang juga merupakan sahabatnya terbaik di waktu mereka masih remaja itu. Ketika ia gagal memperoleh jejak Hui Hong, dia merasa tidak enak karena dia telah meninggalkan keluarga Cia Kun Ti dengan janji bahwa dia akan mengantar dan mengawal mereka untuk pindah ke tempat aman di dusun.
Maka, sebelum melanjutkan pencariannya terhadap Hiu Hong, dia kembali dulu ke Nan-ping untuk memberitaku kepada keluarga Cia agar mereka itu berangkat lebih dulu dan dia akan melanjutkan pencariannya. Akan tetapi, ketika tiba di rumah keluarga Cia, dia terkejut setengah mari mendengar bahwa Cia Kun Ti dan isterinya tewas terbunuh, sedangkan Ling Ay sendiri lenyap diculik penjahat!
Dengan marah dan khawatir akan keselamatan Ling Ay, Bun Houw lalu berusaha mencari jejak penculik Ling Ay. Dia lalu menyelidiki dan menemukan jejaknya, terus melakukan pengejaran. Akhirnya dia tiba di kuil kosong di mana Ling Ay hampir diperkosa penculiknya. Akan tetapi, ketika Bun Houw tiba di situ, dia tidak menemukan Ling Ay dan penculiknya hanya menemukan sebuah tusuk sanggul perak di lantai. Dipungutnya tusuk sanggul itu. Dia tidak tahu apakah itu tusuk sanggul milik Ling Ay, akan tetapi dia menyimpannya dalam saku bajunya.
Bun Houw melakukan penyelidikan terus dan akhirnya dia mendapat keterangan dari penduduk dusun bahwa ada wanita muda yang menurut keterangan itu tentu Ling Ay adanya, melakukan perjalanan bersama seorang wanita lain yang cantik sekali. Mendengar bahwa Ling Ay nampak akrab dengan wanita itu, hatinya merasa lega. Ayah ibu Ling Ay telah tewas, akan tetapi Ling Ay masih dalam keadaan selamat. Dia lebih mengkhawatirkan Hui Hong yang mengejar Pek I Mo-ko, penjahat yang lihai itu.
Maka diapun melanjutkan usahanya mencari jejak Hui Hong. Ketika dia mendapat jejak itu menuju ke utara, diapun cepat melakukan perjalanan ke utara. Kebetulan sekali dia melihat rombongan Pek I Mo-ko dan membayanginya. Demikianiah, ketika percakapannya dengan Hui Hong menyangkut nama Ling Ay, dia teringat lagi kepada bekas tunangannya itu merasa bersedih mengingat akan nasibnya yang amat buruk.
"Tapi engkau kelihatan seperti orang berduka. Houw-ko. Ada apakah?"
Bun Houw teringat babwa gadis ini pernah menggodanya dan mengatakan bahwa dia masih mencinta Ling Ay. Oleh karena itu, diapun tidak berani berterus terang. "Aku tidak berduka, Hong-moi, hanya kecewa karena bukan saja engkau tidak berhasil merampas kembali mustika itu dari tangan Pek I Mo-ko, bahkan engkau nyaris celaka di tangan Suma Hok yang jahat itu."
Ucapan itu seperti menggugah Hui Hong dari tidurnya. Ia menyambar tangan Bun Houw dan menariknya, diajak lari cepat. "Celaka aku sampai lupa. Mari kita kejar Pek I Mo-ko sebelum jahanam itu lari jauh!”
Bun Houw mengikuti saja, bahkan dia menunjukkan ke arah mana larinya Suma Hok yang tadi dikejar pula oleh Ouwyang Toan. Hui Hong mengejar ke sana, karena ia tahu bahwa Suma Hok bekerja nama dengan Pek I Mo-ko, maka mencari Suma Hok tentu akan dapat bertemu pula dengan Pek I Mo-ko.
Dugaan Hui Hong memang benar. Ketika tadi Pek I Mo-ko melihat betapa Suma Hok telah bertanding melawan Hui Hong, dia lalu mempengunakan akal dan berhasil melarikan diri, membiarkan Suma Hok yang melawan gadis itu. Dia sendiri cepat lari ke arah di mana dia dan rombongannya meninggalkan kuda, dengan maksud untuk melepas panah api memberi isarat kepada kawan-kawannya dan melarikan diri dari tempat berbahaya itu.
Akan tetapi baru saja dia tiba di situ, dari balik semak belukar dan pohon-pohon, berlompatan keluar banyak orang dan Pek I Moko terbelalak memandang kepada mereka. Kiranya mereka adalah tujuh orang tokoh dunia persilatan yang rata-rata memiliki Ilmu kepandaian silat yang sudah tinggi tingkatnya! Biarpun dia tidak takut melawan mereka karena bagaimanapun juga, tingkat kepandaianaya masih lebih tinggi dari mereka, namun munculnya orang-orang ini jelas hendak memperebutkan Akar Bunga Gurun Pasir yang kini berada di saku jubahnya sebelah dalam. Ini berarti bahwa perjalanannya menyerahkan mustika itu kepada Kaisar Wei Ta Oag tidak akan lancar dan selalu akan terancam bahaya. Apalagi kalau muncul empat orang yang amat ditakutinya, yaitu Empat Datuk Besar!
Di antara mereka adalah bekas majikan dan gurunya sendiri, pemilik aseli dari mustika yang dicurinya, yaitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek Si Pedang Tanpa Bayangan! Puteri datuk itu, Ouwyang Hui Hong telah muncul mengejar-ngejarnya. Juga putera dari datuk besar ke dua yang ditakuti telah muncul, yaitu Suma Hok. Untung bahwa ayah pemuda itu, datuk besar Kui-siauw Giam-ong Suma Koan (Raja Maut Suling Setan) tidak ikut muncul!
Masih ada dua orang datuk besar lagi yang amat ditakutinya, keduanya wanita namun kelihaian mereka tidak kalah dibandingkan dua orang datuk besar yang pria itu. Kalau dia bertemu dengan seorang saja dari mereka, berarti celaka baginya dan akan sukarlah baginya mempertahankan mustika yang sudah berada di saku jubahnya, dan berarti lenyap pula harapannya untuk mendapatkan kedudukan tinggi dan kemuliaan di Kerajaan Wei di utara.
Dengan lagak angkuh dia menghadapi tujuh orang itu, mengangkat dada lalu bertanya dengan suara menantang, "Kalian menghadang perjalananku mempunyai maksud apakah? Aku Pek I Mo-ko tidak mempunyai banyak waktu untuk berurusan dengan kalian. Oleh karena itu, mengingat akan hubungan kita sebagai tokoh-tokoh kang-ouw, harap kalian mundur dan biarlah lain kali kalau ada waktu, aku Pek I Mo-ko Ciong Kui Le akan berkunjung kepada kalian sambil membawa oleh-oleh!"
"Ha-ha-ha, Moko. Tidak perlu lagi berpnra-pura bodoh dan bersih!" kata seorang pria hitam penuh beewok berusia lima puluhan tahun. Dia adalah Yang-ce Hek-kwi (Iblis Hitam Sungai Yang-ce), seorang kepala bajak sungai yang amat ditakuti karena selain berkepandaian tinggi, dia juga mempunyai banyak-anak buah dan wataknya kejam sekali.
"Kami-semua sudah tahu bahwa engkau telah mencuri mustika Akar Bunga Gurun Pasir. Nah, mengingat bahwa kita adalah orang-orang kang-ouw yang setia kawan, maka kaukeluarkan mustika itu, kita bagi rata agar masing-masing dari kita dapat memperoleh manfaat dari mustika itu. Kami pasti tidak akan melupakan kebaikanmu ini!”
Enam orang yang lain mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan usul atau tuntutan Iblis Hitam itu. Akan tetapi Pek I Mo-ko mengerutkan alisnya.
"Kalian semua adalah orang-orang tolol yang rakus. Aku tidak mempunyai akar itu!”
Tujuh orang itu saling pandang, akan tetapi seorang dari mereka yang tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat tertawa. Suara ketawanya seperti ringkik kuda dan mengandung getaran khi-kang kuat. "Hi-hi-hihhh e Kalau benar engkau tidak membawa mustika itu, biarkan kami menggeledah pakaianmu Moko. Baru kami percaya!”
"Pek-bio-go (Buaya Muka Putih), berani engkau menghinaku? Kalau engkau sekarang sudah begitu lihai, hendak kulihat apakah engkau berani menggeledah tubuhku. Lakukanlah kalau engkau bosan hidup!” bentak Pek I Mo-ko marah.
"Hi-hi-hiehhh, Ingat, kami bertujuh, Moko. Bukan aku sendiri yang membutuhkan mustika itu. Kami hanya minta bagian yang adil darimu. Kalau engkau berkeras, terpaksa kami bertujuh akan menggeledahmu. Kami sudah bersepakat untuk merampas mustika itu. dan kami bagi menjadi tujuh!”
Kini marahlah Pek I Mo-ko. Kedua tangannya bergerak dan tangan kanannya sudah memegang pedang, tangan kirinya memegang kipas mautnya. "Bagus, kalian semua sudah bosan hidup!” bentaknya dan diapun indah menerjang ke depan dengan marah.
Tujuh orang itu maklum akan kelihaiannya, maka mereka pun berloncatan ke belakang sambil mencabut senjata masing-masing dan mengeroyok Pek I Moko. Tujuh orang kang-ouw ini memang sudah bersepakat untuk bekerja sama. Mereka maklum bahwa yang memperebutkan mustika itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi, tokoh-tokoh besar itu biasanya bertindak sendiri-sendiri, bahkan saling bertentangan. Maka, kalau mereka bertujuh dapat bersatu dengan janji kelak hasilnya akan dibagi rata, yaitu akar itu akan mereka bagi rata, tentu mereka tidak takut menghadapi lawan yang lebih lihai.
Pertempuran antara Pek I Mo-ko yang dikeroyok tujuh orang itu berlangsung seru dan mati-matian. Melihat betapa Pek I Mo-ko tidak mau digeledah, tujuh orang kang-ouw itu makin bersemangat. Mereka yakin bahwa benda mustika yang diperebutkan tentu ada pada diri kakek rambut putih dan pakaian pulih itu, maka mereka mengepung dan mendesak dengan ganas, Pek I Mo-ko yang marah juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun, karena dikeroyok oleh tujuh orang yang tingkat kepandaian masing-masing hanya sedikit di bawah tingkatnya, dan karena tnjuh orang itu menyerang penuh semangat, setelah lewat empatpuluh jurus, Pek I Mo-ko terdesak sekali.
Bahkan tiga kali bajunya robek terkena senjata pengeroyok. Robekan yang ke tiga tepat mengenai saku jubah di sebelah kanan di mana tersimpan benda mustika itu. Dia terkejut dan merasa tidak perlu menyembunyikan lagi. Karena khawatir Akar Bunga Gurun Pasir itu akan terjatuh dari saku bajunya, dia mengeluarkannya dan menggigit kantung sutera kuning terisi mustika itu sambil terus mengamuk dengan pedang dan sulingnya. Sementara itu, tujuh orang kang-ouw yang mengeroyok, begitu melihat Pek I Mo-ko mengeluarkan sebuah kantong sutera dan menggigitnya, semangat mereka bertambah besar. Kini mereka yakin bahwa kantung itu terisi akar yang mereka perebutkan!
Pada saat itu, sepasang mata mengintai dari balik semak belukar yang tebal dan penuh duri. Sudah sejak tadi orang ini mengintai. Dia seorang laki-laki berusia tigapuluk tahun lebih, bertubuh kekar dan terbakar sinar matahari. Akan tetapi dia bukan seorang di antara para tokoh kang-ouw yang memperebutkan mustika. Sama sekali bukan! Dia hanya seorang pemburu binatang hutan dan biarpun dia bertenaga besar, namun tidak ada artinya, bila dibandingkan dengan para tokoh kang-ouw.
Maka, ketika dia dalam tempat pengintaiannya menyaksikan perkelahian antara para tokoh kang-ouw, dia memandang ketakutan. Orang ini bernama So Kian, pemburu yang tinggal di dusun tak jauh dari puncak Bukit Merpati Hitam bersama isterinya. Dia dan isterinya hidup sederhana dari penghasilannya sebagai pemburu dan juga bertani di kebun belakang rumah mereka.
Ketika pada pagi hari itu So Kian sedang mengintai kijang atau binatang apa saja yang dapat dijadikan uang untuk biaya hidupnya, dia melihat rombongan tujuh orang kang-ouw itu. Dia menjadi curiga, juga takut, lalu bersembunyi di dalam semak belukar itu. Dan dia kini menjadi saksi pertempuran hebat yang membuat tubuhnya gemetar. Dia tahu bahwa kalau dia memperlihatkan diri, nyawanya tentu takkan dapat tertolong lagi! Maka, diapun bersembunyi dan tidak berani berkutik. Dia juga tidak tahu mengapa orang-orang yang berilmu tinggi itu bertempur mati-matian.
Kini Pek I Mo-ko terdesak dan berada dalam bahaya! Dia bahkan tidak sempat melepas panah api untuk memberitahu kepada para jagoan Kerajaan Wei yang menjadi rombongannya dan yang ia tinggalkan ketika pasukan jagoan liu bertanding melawan para jagoan dari Kaisar Cang Bu Kerajaan Liu-sung di selatan.
Pada saat yang amat berbahaya baginya itu. nampak lagi beberapa orang bermunculan. Mereka adalah orang-orang dari partai-partai persilatan yang juga bertualang untuk memperebutkan benda mustika itu. Jumlah para pendatang ini tidak kurang dari lima belas orang, terdiri dari beberapa rombongan yang agaknya tertarik oleh perkelahian itu. Akan tetapi, di samping rasa kagetnya, Pek I Mo-ko juga girang ketika melihat Suma Hok berada di antara orang-orang yang datang itu dan pemuda tampan putera datuk besar majikan Bukit Kui-eng-san (Bukit Bayangan Iblis) itu sendirian saja.
Pek I Mo-ko hanya melihat satu jalan untuk menyelamatkan diri dan menyelamatkan benda mustika Akar Bunga Gurun Pasir. Kalau akar itu tidak ada lagi padanya, tentu tidak akan ada orang yang menyerangnya lagi. Dan akar itu akan aman kalau berada di tangan Suma Hok. pemuda yang dikenalnya, dan yang juga dapat diharapkan bisa bekerja sama dengannya itu. Tidak ada pilihan lain.
"Suma Kongcu, simpanlah benda ini untukku!" teriaknya dan diapun melemparkan kantung sutera ke atas, ke arah Suma Hok.
Pemuda yang berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Suling Beracun) itu cerdik sekali. Dia segera mengerti apa benda yang dilontarkan itu, maka sekali dia mengenjot tubuh, dia melayang ke atas untuk menangkap benda yang terlempar di udara itu.
"Suma Hok, engkau layak mampus!” terdengar bentakan dan sesosok tubuh lain melayang ke atas. Bukan untuk menangkap kantung sutera, melainkan untuk menangkap Suma Hok. Bayangan ini bukan lain adalah Ouwyang Toan.
Seperti diketahui, putera Bu-eng-kiam Ouwyang Cek ini marah sekali ketika mendengar bahwa Suma Hok nyaris memperkosa adik tirinya. Kini begilu melihat pemuda tampan itu, Ouwyang Toan yang bertubuh tinggi besar dan berwatak keras sudah meloncat dan menyerang tubuh Suma Hok yang masih melayang di udara!
Melihat serangan Ouwyang Toan ini, tentu saja Suma Hok terkejut dan terpaksa dia tidak dapat menyambar kantung sutera yang dilemparkan Pek I Mo-ko tadi, melainkan menggunakan kedua tangannya untuk menangkis serangan Ouwyang Toan.
"Desssss...!" Hebat sekali pertemuan tenaga melalui dua pasang tangan putera-putera datuk besar itu sehingga keduanya terpental dan melayang ke bawah. Sedangkan kantung sutera itu melayang lenyap, tak dapat dilihat siapapun. Pek I Mo-ko tidak dapat melihatnya karena dia sedang dihimpit serangan tujuh orang lawannya. Suma Hok maupun Ouwyang Toan juga tidak melihatnya.
Begitu mereka turun ke atas tanah, Ouwyang Toan sudah menerjang lagi. Suma Hok maklum bahwa tentu Ouwyang Toan telah tahu akan perbuatannya tadi yang nyaris memperkosa Ouwyang Hui Hong, adik Ouwyang Toan. Maka diapun tidak banyak cakap, menangkis dan membalas seningga terjadilah perkelahian seru antara dua orang muda perkasa itu.
Pada saat itu, sebelum belasan orang tokoh dunia persilatan yang tadi muncul tahu siapa yang memegang Akar Bunga Gurun Pasir dan siapa yang harus mereka serang, terdengar suara gaduh dan bermunculan rombongan jagoan Kerajaan Liu-sung dan rombongan jagoan Kerajaan Wei yang tadi saling serang. Para jagoan Liu-sung akhirnya tahu bahwa Pek I Mo-ko tidak berada di antara para jagoan Wei, maka merekapan dapat menduga bahwa Pek I Mo-ko tentu telah melarikan diri membawa mustika yang diperebutkan itu.
Maka, dengan sendirinya mereka meninggalkan lawan dan melakukan pengejaran. Para Jagoan Wei juga Ikut mengejar. Di antara kedua rombongan sudah ada beberapa orang yang terluka dalam pertempuran tadi. Setelah dua rombongan itu tiba, keadaan menjadi semakin kacau. Melihat betapa dia tidak akan mampu mengalahkan Ouwyang Toan dengan mudah, suma Hok mendapat akal dan diapun berteriak.
"Cuwi (saudara sekalian) harap hentikan perkelahian!" teriaknya sambil melompat ke belakang.
Ouwyang Toan yang keras hati itu mendelik. "Suma Hok, aku harus membunuh atas perbuatanmu terhadap adikku!”
"Ouwyang Toan, urusan pribadi yang tidak ada artinya perlukah diperpanjang di sini? Semua orang ribut mencari Akar Bunga Gurun Pasir, dan engkau ribut urusan tetek-bengek!"
Mendengar ini, Ouwyang Toan seperti diingatkan akan tugasnya. Dia di suruh ayahnya menyelidiki hasil tugas adiknya, Ouwyang Hui Hong yang ditugaskan mencari Pek I Mo-ko, merampas kembali Akar Bunga Gurun Pasir dan menghukum bekas pelayan dan murid yang murtad itu! Mendengar ucapan yang mengingatkan dia akan tugasnya itu, dia lalu menghadapi Pek I Mo-ko yang juga sudah tidak dikeroyok oleh tujuh orang kang-ouw karena mereka tadi melihat betapa Pek I Mo-ko yang tadinya menggigit kantung sutera, telah melemparkan kantung sutera itu.
"Pek I Mo-ko, cepat berlutut! Engkau harus mengembalikan Akar Bunga Gurun Pasir milik ayah dan menerima hukuman buntung lengan!”
Pek I Mo-ko memandang Ouwyang Toan dengan senyum mengejek. "Ouwyang Toan, orang menuduh seseorang mencuri haruslah disertai buktinya. Kalau ada buktinya bahwa Akar Bunga Gnrun Pasir berada di tanganku, barulah tuduhan itu berisi. Kalau tidak, bukankah itu hanya fitnah saja? Aku tidak membawa mustika itu, Kalau tidak percaya, siapa saja boleh menggeledahku!”
"Kami melihat dia melemparkan benda mustika itu ketika kami desak tadi!” Tiba-tiba Yang-ce Hek kwi berseru.
"Dia melemparkannya kepada pemuda bersuling itu!” kata orang ke dua sambil menuding ke arah Suma Hok. Dia tidak mengenal Suma Hok, yang dikiranya hanya seorang di antara mereka yang memperebutkan benda mustika itu atau juga kawan Pek I Mo-ko.
Mendengar ini semua orang mamandang kepada Suma Hok dengan sinar mata penuh selidik dan juga mengancam. Banyak di antara mereka yang mengenal Tok-siauw-kui Suma Hok dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena di situ berkumpul banyak tokoh kang-ouw yang memperebutkan, maka mereka yang mengenalnya juga tidak merasa takut. Siapa yang memegang mustika itu tentu akan dikeroyok banyak orang!
Suma Hok juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Akan tetapi dia tersenyum, dan menggeleng kepalanya. "Aku memang meloncat untuk menangkap benda yang melayang tadi, akan tetapi Ouwyang Toan muncul dan menyerangku. Aku terpaksa melayaninya dan benda tadi entah melayang ke mana?”
"Kalau begitu benda itu tentu masih berada di sekitar sini! Mari kita cari!” kata Yang-ce Hek-kwi dan tujuh orang kang-ouw yang sudah bersekutu itu lalu mulai mencari.
Melihat ini, tentu saja semua orang juga tidak mau ketinggalan dan ikut pula mencari, bahkan termasuk Pek I Mo-ko, Suma Hok, dan Ouwyang Toan! Semua semak belukar dibabat bersih dan semua orang bekerja keras sambil saling memperhatikan. Agar kalau ada yang menemukan dapat saling mengetahui. Dalam keadaan seperti itu, andaikata ada yang berhasil menemukan, tentu dia akan celaka, akan diserang oleh semua orang! Hal ini mereka sama mengetahui, maka tentu saja mereka mencari dengan hati tegang dan gelisah. Bahkan tujuh orang kang-ouw yang sudah bergabung itupun menjadi gelisah karena bagaimana mungkin mereka bertujuh dapat menghadapi lawan yang demikian banyak dan lihai?
Akan tetapi, sampai habis semak belukar di sekeliling tempat itu dibabat, kantung sutera itu tidak juga dapat ditemukan! Semua orang merasa heran, juga Pek I Mo-ko memandang dengan wajah pucat. Suma Hok juga terheran-heran, demikian pula tujuh orang yang tadi mengeroyok Pek I Mo-ko. Hanya mereka sembilan orang itulah yang tahu benar akan melayangnya kantung sutera tadi.
"Kita ditipu!” teriak seorang jagoan Liu-sung. "Mustika itu tentu masih disimpan Pek I Mo-ko!”
Mendengar ucapan ini, semua orang memandang kepada Pek I Mo-ko dengan pandang mata mengancam. Bahkan para jagoan Wei sendiri juga mengerutkan alisnya memandang kepada Pek I Mo-ko. Si kembar raksasa Liauw Gu dan Liauw Bu saling pandang. Mereka telah menerima tugas rahasia dari Kaisar Wei Ta Ong, bahwa kalau Pek I Mo-ko menipu mereka dan hendak melarikan mustika itu, boleh dikeroyok dan dibunuh saja!
"Kalau mustika itu dilemparkan lalu tidak diterima orang, mengapa tidak berada di sekitar tempat ini?" tanya Liauw Bu.
"Sungguh telah kulemparkan kepada Suma Hok...!” kata Pek I Mo-ko bingung dan gelisah!
"Dia bohong! Pek I Mo-ko bohong! Tentu mustika itu disembunyikan!” orang-orang mulai berteriak-teriak.
"Hukum dia! Bunuh dia kalau tidak mau menyerahkan mustika itu!" terdengar teriakan orang-orang lain.
Tiba-tiba terdengar suara yang dalam dan berat, mengandung getaran amat kuat. "Siapa-pun tidak berhak menghukum dan membnnuh Ciong Kui Le kecuali aku!"
Semua orang menengok ke arah orang yang bicara itu. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah muncul seorang pria yang gagah perkasa penuh wibawa. Usianya sekitar limapuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat seperti sebongkah batu karang, mukanya hitam seperti arang, akan tetapi muka itu tidak buruk, bahkan ganteng dan gagah. Pakaiannya dari sutera halus dan nampak bersih, dan di punggungnya tengantung sebatang pedang yang sarungnya dibuat dari emas murni berukir naga yang amat indah, dan gagang pedang itu dihias ronce merah kuning.
Mereka yang mengenal pria ini nampak gemetar dan gentar karena pria ini bukan lain adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, majikan Lembab Bukit Siluman, seorang di antara Empat Datuk Besar yang aneh dan ditakuti orang! Setelah melempar pandang matanya yang mencorong, menyapu semua orang yang berada di situ dengan sinar mata merendahkan, dia berkata lagi.
“Akar Bunga Gurun Pasir adalah benda mustika yang tidak boleh dimiliki orang lain! Pek I Mo-ko harus menyerahkannya kepadaku dan yang lain boleh pergi dari sini!”
Mendengar ucapan ini, tujuh orang kang-ouw yang tadi mengeroyok Pek I Mo-ko dan yang belum pernah bertemu dengan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, menjadi marah sekali. Mereka bertujuh mengandalkan diri sebagai sekelompok orang yang tangguh karena mereka bekerja sama. Dengan maju bertujuh, mereka tidak takut menghadapi siapapun juga. Dengan dipimpin Yang-ce Hek-kwi, mereka kini maju dan mengepung Ouwyang Sek, Si Iblis Hitam itu berdiri di depan Ouwyang Sek dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka datuk besar itu.
"Dari mana datangnya manusia sombong ini? Akar Bunga Gurun Pasir dimiliki siapa saja yang menang dalam perebutan! Kami bertujuh yang akan membunuh Pek I Mo-ko kalau dia tidak mau menyerahkan mustika itu, dan kalau engkau ini manusia sombong hendak menghalangi, kau akan kami bunuh pula!”
Bu-eng-kiam Ouwyang Sek tersenyum, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Kalian bertujuh sudah bosan hidup agaknya,” katanya perlahan.
"Engkaulah yang bosan hidup dan sekarang juga akan kuantar engkau ke alam baka!” Yang-ce Hek-kwi yang sudah marah sekali dan pemberani karena mengandalkan gerombolannya, sudah menggerakkan goloknya membacok ke arah muka Bu-eng kiam Ouwyang Sek. Melihat ini, semua orang kang-ouw yang sudah mengenal datuk besar itu memandang dengan hati tegang dan mereka semua maklum bahwa tujuh orang tokoh kang-ouw tingkat pertengahan itu sungguh mencari penyakit!
Melihat golok menyambar ke arah mukanya. Ouwyang Sek sana sekali tidak mengelak, bahkan tangan kirinya bergerak, dengan tangan terbuka dia menyambut golok itu! Golok itu menyambar dengan cepat dan kuat. namun tertahan dan tertangkap tangan itu bagaikan terjepit catut baja yang amat kuat.
Tentu saja Yang-ce Hek-kwi terkejut dan marah. Dia mengerahkan tenaga untuk membuat tangan itu terbuka, juga ingin menarik lepas goloknya sekuat tenaga. Akan tetapi, golok itu seperti melekat pada tangan itu dan pada saat Yang-ce Hek-kwi mengerahkan tenaga terakhir, tiba-tiba Ouwyang Sek mendorong golok itu sehingga membalik dan meluncur ke arah muka pemiliknya. Yang-ce Hek-kwi terbelalak, akan tetapi tidak sempat mengelak lagi ketika golok yang ditariknya itu meluncur ke arah mukanya.
"Crakkk...!” Golok itu tepat membacok di tengah-tengah mukanya sehingga kepala bagian depan itu terbelah karena golok itu masuk sampai ke tengah kepala. Tubuh Yang-ce Hek-kwi terjengkang dan dia tewas seketika dengan muka terbelah!
Seorang temannya menyerang Ouwyang Sek dari belakang dengan menusukkan pedang kanan ke arah punggung dan pedang kiri mengikuti dengan bacokan ke arah kepala datuk besar itu. Ouwyang Sek miringkan tubuh, mengangkat lengan kanan sehingga pedang itu terjepit di bawah ketiaknya, lalu tubuhnya membalik ke kiri, tangan kirinya membuat gerakan menampar kepala penyerangnya lalu merampas pedang kirinya.
Penyerang itu mengeluarkan pekik dan roboh terjengkang. Sepasang pedangnya tertinggal di jepitan ketiak kanan Ouwyang Sek dan di tangan kiri datuk itu. Kepala orang itu retak dan diapun tewas seketika!
Lima orang kawanan kang-ouw itu terkejut dan marah. Mereka serentak menyerang dari lima penjuru. Akan tetapi, begitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek menggerakkan sepasang pedang rampasan, tiga orang pengeroyok yang berada di depan, kanan dan kiri roboh mandi darah dan lewat dengan leher hampir putus. Melihat ini, dua orang yang tersisa menjadi gentar dan mereka melarikan diri. Akan tetapi, belum sepuluh langkah mereka melarikan diri, terdengar suara berciut nyaring dan dua batang pedang rampasan itu telah menembus tubuh mereka dari punggung sampai ke dada dan merekapun roboh menelungkup dan tewas seketika!
Suasana menjadi sunyi melengang! Semua orang menahan napas, tegang dan kagum bukan main. Biarpun tujuh orang kang-ouw tadi hanya memiliki ilmu kepandaian pertengahan saja, namun mereka maju bertujuh dan sungguh membutuhkan ketangkasan luar biasa untuk membunuh mereka dalam beberapa gerakan saja. Pek I Mo-ko sudah seperti lumpuh saking takutnya. Tadipun dia tidak berani menggunakan kesempatan untuk melarikan diri, dan dia terpukau di tempatnya, memandang dengan muka pucat sekali.
"Ciong Kui Le, ke sini kau!” Tiba-tiba Bu-eng-kiam Oowyang Sek membentak. Suaranya penuh wibawa, terasa getaran kuat dalam suara itu oleh semua orang.
Pek I Mo-ko menghampiri bekas guru dan majikannya, lalu menjatuhkan diri berlutut. "Hamba Ciong Kui Le menerima kesalahan hamba dan mohon pengampunan." katanya merendah.
"Serahkan Akar Bunga Gurun Pasir kepadaku!”
Tubuh Pek I Mo-ko menggigil dan mukanya menjadi semakin pucat. "Mohon maaf, suhu..."
"Lancang! Siapa sudi mempunyai murid macam engkau? Aku bukan gurumu!” bentak Bu eng-kiam Ouwyang Sek dan mukanya yang berkulit hitam itu nampak semakin hitam!
"Maaf... lo cian-pwe... akan tetapi akar itu... tadi hamba lemparkan kepada Suma Kongcu...! Banyak yang melihatnya ... hamba tidak berani berbohong..."
Ouwyang Sek mencari dengan pandang matanya rampai pandang mata itu berhenti pada wajah Suma Hok. Pemuda putera Kui-siauw Giam ong Suma Koan ini tersenyum, melangkah maju dan memberi hormat kepada Ouwyang Sek dengan kedua tangan di depan dada. "Paman Ouwyang, selamat datang, paman."
Terhadap pemuda itu. Ouwyang Sek bersikap ramah, karena ayah pemuda itu merupakan seorang yang setingkat dengan kedudukannya. "Hemm, kiranya engkau pun barada di sini! Di mana ayahmu?"
"Ayah mengutus saya untuk mencoba merampas kembali mustika itu dari tangan Pek I Mo-ko, dan tentu akan kami serahkan kepada paman kalau saya berhasil mendapatkannya. Saya tidak tahu apakah ayah sendiri juga akan datang."
"Benarkah engkau menerima akar itu dari Pek I Mo-ko seperti diceritakannya tadi...?"
"Ketika Pek I Mo-ko dikeroyok tujuh orang tak tahu diri itu," dia menunjuk mayat tujuh orang yang tewas di tangan Ouwyang Sek, "dia terdesak dan dia melemparkan sebuah kantung sutera kepada saya. Ketika saya meloncat untuk menyambutnya, tiba-tiba saya diserang oleh saudara Ouwyang Toan! Terpaksa saya menangkis dan kantung sutera itu lenyap entah ke mana. Sudah kami cari sampai ke seluruh tempat di sekitar ini, namun tidak berhasil."
Ouwyang Sek memandang puteranya yang sudah mendekat. "Benarkah itu. Toan-ji (anak Toan)?"
"Memang benar, ayah. Aku tidak tahu bahwa kantung sutera itu berisi akar yang kita cari. Setelah kami semua tahu, kami mencarinya namun tidak berhasil. Sudah pasti bahwa akar dalam kantung sutera itu dibawa pergi orang lain."
"Kenapa kau menyerang Suma Hok?"
"Dia telah berbuat kurang ajar terhadap adik Hui Hong, ayah."
"Paman, saya mencinta adik Hui Hong, bagaimana berani berbuat kurang ajar? Kelak saya dan ayah akan berkunjung dan melamar adik Hui Hong." kata Suma Hok cepat.
Ouwyang Sek mengerutkan alisnya. Urusan itu tidak penting baginya. "Sudahlah, aku ingin mendapatkan kembali akar itu." Dia lalu memandang ke sekeliling. "Kalau di antara saudara ada yang menemukan akar itu dan mengembalikannya kepadaku, tentu akan kuberi hadiah besar. Sebaliknya, siapa saja yang menemukannya dan tidak mau mengembalikan, biar dia bersembunyi di manapun akan dapat kutemukan dan kubunuh! Nah, aku sudah bicara dan harap saudara sekalian pergi dari sini meninggalkan kami sendiri!”
Orang-orang kang-ouw itu merasa jerih, bahkan para pendekar dari partai persilatan yang hadir di situ, tidak ingin bermusuhan dengan datuk besar yang lihai itu. Akan yang diperebutkan sudah lenyap, apalagi pemilik aselinya sudah berada di situ. Tidak perlu lagi memperebutkan benda yang tidak tentu ke mana lenyapnya. Maka, pergilah mereka meninggalkan tempat itu...
Tiba-tiba terdengar seruan suara wanita, "Toan-ko...! Hong-ko! Tahan senjata, jangan berkelahi!”
Mendengar suara Hui Hong, Ouwyang Toan dan Bun Houw menghentikan gerakan senjata mereka dan keduanya melompat ke belakang, terbelalak memandang heran mengapa Hui Hong menyuruh mereka berhenti.
Melihat dua orang pemuda itu masih marah dan setiap saat dapat saling serang lagi, tahulah Hui Hong bahwa tentu telah timbul kesalahpahaman antara mereka, maka iapun menghampiri kakaknya dan cepat memperkenalkan.
"Houw-ko, ini adalah kakakku, Ouwyang Toan. Dan Toan-ko, dia adalah Kwa Bun Houw seorang sahabat yang tadi baru saja menyelamatkan aku dari bencana dan maut!”
Kedua orang muda itu terkejut bukan main mendengar ucapan Hui Hong itu, apalagi Ouwyang Toan! Dia adalah seorang pemuda yang memiliki watak angkuh, keras dan merasa diri tidak pernah salah. Dan baru saja dia hampir membunuh seorang yang bukan saja tidak mengganggu adiknya, bahkan menjadi penyelamat adiknya. Dia memandang adiknya, matanya yang tajam melihat betapa pakaian adiknya tidak beres, dan adiknya mengenakan jubah pria, sedangkan pemuda yang baru saja diserangnya itupun tidak mengenakan jubah. Alisnya berkerut dan pandang matanya kembali dibayangi keraguan dan kecurigaan.
"Adik Hong, apa artinya semua ini? Kalau ia menolongmu, kenapa ia lari keluar guha dan kenapa pula engkau memakai jubahnya?” Dia yakin bahwa jubah yang dipakai adiknya itu tentu milik pria ini.
Hui Hong tentu saja mengenal watak kakaknya. Kakaknya ini teramat sayang kepadanya, bahkan memanjakannya, dan kakaknya ini keras hati dan juga cerdik dan angkuh. Hui Hong tersenyum, menoleh kepada Bun Houw dan berkata sambil tersenyum. "Houw-koko, kau lihat. Kakakku ini cerdik sekali, bukan? Dia tahu saja bahwa jubah ini milikmu!” Ketika Hui Hong memandang kakaknya dan melihat Ouwyang Toan mengerutkan alis dan memandangnya dengan keras, senyumnya melebar.
"Tenanglah, toako, dan jangan berpikir yang bukan-bukan. Di tempat ini aku sudah beruntung dapat berhadapan dengan Pek I Mo-ko untuk merampas akar yang kuyakin tentu telah berada padanya. Kami bertanding mati-matian dan tadinya aku yakin sudah mulai dapat mendesaknya. Tiba-tiba muncul si keparat jahanam curang busuk itu! Dia membantu Pek I Mo-ko!"
"Siapa dia?" Ouwyang Toan berseru, suaranya mengandung penuh ancaman.
"Hmm, aku akan menjaga jangan sampai bermusuhan dengan kakak beradik ini, pikir Bun Houw. Mengerikan! Mereka itu kelihatan begitu galak dan sadis!"
"Siapa lagi? Tentu saja Si Suling Beracun Suma Hok itu."
"Keparat dia!"
"Ketika kami berkelahi, Pek I Moko melarikan diri. Si jahanam Suma Hok tetap menyerangku dan akupun tidak akan kalah kalau saja dia tidak bertindak curang, mengebutkan kain yang mengandung debu pembius sehingga aku ditawannya. Ia membawaku ke guha ini dan nyaris aku bunuh diri menggigit putus lidahku sendiri dari pada diperkosa, ketika tiba-tiba muncul Houw-koko ini yang segera menyerangnya. Mereka bertanding dan Suma Hok yang licik dan curang pengecut itu melarikan diri. Houw-koko melepaskan ikatan kaki tanganku dan meninggalkan jubahnya untukku, lalu mengejar keluar. Ketika aku mengejarnya, ternyata dia malah berkelahi denganmu dan... untung aku... "
"Jahanam suma Hok!" Ouwyang Toan memotong keterangan adiknya dan diapun sudah meloncat pergi dan lari cepat meninggalkan tempat itu. Bun Houw memandang dengan bengong.
"Agaknya kakakmu akan mengejar dan mencari Suma Hok," katanya.
Hui Hong tertawa kecil. "Kakakku Ouw-yang Toan memang keras hati dan galak sekali. Mana mungkin dia dapat menangkap Suma Hok yang begitu licik? Tentu jahanam itu sudah lari jauh. Lebih baik mari kita kejar Pek I Mo-ko. Engkau mau membantuku, bukan? Aku harus merampas kembali akar itu dari tangannya."
"Tapi kakakmu...? Apakah tidak lebih baik kita menunggu dia dulu? Atau membantunya menghadapi Suma Hok?"
"Tidak, koko."
Entah mengapa, hati Bun Houw berdebar girang mendengar sebutan koko (kakak atau kakanda) yang memasuki telinganya dengan merdu dan mesra itu.
"Kalau dia kembali, pasti dia melarang kita melakukan perjalanan bersama. Dia lebih galak dan keras dari pada ayah sendiri. Dan aku juga tidak mau terlambat. Kalau sampai akar itu didahului Suma Hok yang mendapatkannya celakalah aku!”
"Ehh? Kenapa begitu?" Bun Houw bertanya heran.
Hui Hong membanting kakinya tak sabar. "Aih, kalau kita banyak mengobrol saja, berarti membuang waktu dan kalau tidak kakakku keburu datang lagi, juga tentu aku kedahuluan Suma Hok! Marilah, Houw-koko, apakah engkau tidak suka lagi membantu aku?"
Hui Hong cemberut, yang dalam pandangan Bun Houw menjadi semakin manis saja. "Kalau tidak mau, katakan saja terus terang dan aku akan pergi sendiri mengejar Pek I Mo-ko. Kalau engkau mau menunggu kakakku di sini, silakan!" Dan Hui Hong meloncat pergi, benar cepat sekali meninggalkan tempat itu.
"Nona Ouwyang Hui Hong...!” Bun Houw memanggil sambil cepat mengejar. Akan tetapi gadis itu bahkan mempercepat larinya sehingga Bun Houw juga harus mengerahkan tenaga untuk berlari lebih cepat.
"Nona Ouwyang, tunggu aku...!" Teriaknya dan teriakan ini dia ulangi sampai lima kali, akan tetapi Hui Hong berlari terus, dan panggilan yang terakhir dijawabnya tanpa menoleh.
"Tuan Kwa Bun Houw, tak usah engkau mengejarku!”
Jawaban ini membuat Bun Houw mengangkat kedua alisnya ke atas karena matanya dilebarkan saking herannya. Mengapa gadis itu tiba-tiba saja menyebut dia tuan? Padahal tadi telah menyebutnya koko dengan demikian mesranya! Dan diapun teringat. Dasar tolol kau! Dia mengeluarkan kepandaiannya dan bagaikan terbang dia mengejar, sekali ini dia berseru dengan mengerahkan khi-kang sehingga suaranya terdengar nyaring melengking.
"Hoog-moi...! Adinda Hui Hong... kau tunggulah aku...!”
Dan benar saja. Gadis itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuh, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum manis sekali. Bun Houw tiba di depannya. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan keduanya berkeringat, keduanya agak terengah-engah karena tadi mereka telah mengerahkan seluruh tenaga untuk berlari cepat dan tahu-tahu kini mereka telah tiba di bawah bukit!
"Hong-moi, kenapa kau panggil aku tuan!”
"Hemm, cobalah bercermin! Kau sendiri memanggil aku nona!”
Bun Houw tertawa. Hui Hong juga tertawa.
"Houw-koko, aku belum mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu di guha tadi. Nah sekarang terimalah ucapan terima kasihku."
Gadis aneh! Berterima kasih sesudah kejar-kejaran dan marah-marahan. "Sudahlah, Hong-moi. Di antara kita, mana ada yang disebut tolong-tolongan segala? Kita sudah menjadi sahabat baik, sudah seharusnya kita saling bantu, bukan!”
"Benarkah? Engkau selamanya mau membantuku? Selamanya sampai aku... sampai rambut kepalaku ini menjadi putih semua?"
Wah, makin aneh saja gadis ini. Saling bantu antara sahabat memang sudah sewajarnya. Akan tetapi mana menuntut saling bantu sampai mereka menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek? Akan tetapi tiba-tiba wajah pemuda itu berseri dan kulit mukanya menjadi kemerahan. Dia mengangguk serius.
"Tentu! Akan kubantu engkau sampai selama hidupku."
Agaknya jawaban ini memuaskan hati Hui Hong. "Mari kita lanjutkan perjalanan mencari Pek I Mo-ko dan nanti kuceritakan mengapa aku tidak ingin akar itu didapatkan lebih dulu oleh Suma Hok."
Setelah berkata demikian, tanpa sungkan tanpa ragu, seperti mereka masih kanak-kanak saja, Hui Hong menggunakan tangan kanan memegang tangan kiri Bun Houw dan menggandengnya sambil melangkah melanjutkan perjalanan. Tangan kiri Bun Houw merasakan kulit tangan gadis itu yang halus dan hangat, dan jantungnya berdebar tidak karuan. Saking tegangnya dan karena tidak ingin disangka yang bukan-bukan, maka dia tidak berani menggerakkan jari tangan kirinya yang digandeng itu. bahkan bukan hanya jari tangan, seluruh lengan, kirinya dia biarkan tengantung dan terkulai mati!”
Tiba-tiba Hui Hong menahan langkahnya, melepaskan tangannya yang memegang tangan Bun Houw, mengangkat muka memandangnya dengan alis berkerut. "Ihhhh...!”
"Ehh? Kenapa?" Bun Houw kaget melihat sikap gadis itu seolah tangannya dipagut ular.
"Tanganmu itu... seperti tangan mayat saja! Engkau kenapa sih, Houw-ko? Apakah engkau sakit? Tanganmu dingin dan gemetar dan seperti tidak hidup lagi!”
Tentu saja Bun Houw menjadi gugup karena pertanyaan itu seperti serangan yang langsung mengenai jantungnya. "Tidak... eh, aku... hanya... hanya..." Dia menggagap.
"Hanya apa? Engkau begini gugup!”
Bun Houw memang berwatak jujur, walaupun tidak dapat dikata bodoh. Dia merasa sukar kalau harus berbohong, maka dalam keadaan terhimpit itu, dia mengaku terus terang. "Ketika tanganmu menggandeng tanganku, aku... ah, entahlah Hong-moi. Aku merasa takut akan kau sangka yang bukan-bukan kalau aku menggerakkan tanganku."
"Apa itu yang bukan-bukan?”
"Misalnya engkau menganggap aku tidak sopan dan kurang ajar..."
"Ihhh, engkau ini aneh sekali. Belum pernah aku bertemu laki-laki seaneh engkau."
"Dan engkau lebih aneh lagi, Hong-moi, biarpun aku belum pernah bergaul dengan banyak wanita seperti kita sekarang ini."
"Hemmm, bohongnya! Dan engkau bahkan sudah pernah bertunangan!”
Bun Houw mengerutkan alirnya. "Hong-moi, harap jangan sebut-sebut lagi hal itu Sudah kuceritakan bahwa Cia Ling Ay menjadi sahabatku sejak kami masih kanak-kanak. Ia seperti adik saja bagiku. Kemudian hubungan perjodohan yang diikat oleh orang tua kami itu dibikin putus setelah orang tuaku meninggal dunia, dan ia dinikahkan dengan orang lain. Tidak ada apa-apa lagi antara kami, tidak ada apa-apa lagi ... " Bun Houw merasa sedih sekali.
Bukan sedih karena putusnya hubungan jodoh itu, melainkan sedih teringat dan membayangkan nasib Ling Ay yang demikian buruk, dijodohkan dengan seorang suami seperti putera pembesar pemberontak itu. Bahkan tidak hanya sampai sekian nasib buruk yang menimpa diri bekas tunangannya yang juga merupakan sahabatnya terbaik di waktu mereka masih remaja itu. Ketika ia gagal memperoleh jejak Hui Hong, dia merasa tidak enak karena dia telah meninggalkan keluarga Cia Kun Ti dengan janji bahwa dia akan mengantar dan mengawal mereka untuk pindah ke tempat aman di dusun.
Maka, sebelum melanjutkan pencariannya terhadap Hiu Hong, dia kembali dulu ke Nan-ping untuk memberitaku kepada keluarga Cia agar mereka itu berangkat lebih dulu dan dia akan melanjutkan pencariannya. Akan tetapi, ketika tiba di rumah keluarga Cia, dia terkejut setengah mari mendengar bahwa Cia Kun Ti dan isterinya tewas terbunuh, sedangkan Ling Ay sendiri lenyap diculik penjahat!
Dengan marah dan khawatir akan keselamatan Ling Ay, Bun Houw lalu berusaha mencari jejak penculik Ling Ay. Dia lalu menyelidiki dan menemukan jejaknya, terus melakukan pengejaran. Akhirnya dia tiba di kuil kosong di mana Ling Ay hampir diperkosa penculiknya. Akan tetapi, ketika Bun Houw tiba di situ, dia tidak menemukan Ling Ay dan penculiknya hanya menemukan sebuah tusuk sanggul perak di lantai. Dipungutnya tusuk sanggul itu. Dia tidak tahu apakah itu tusuk sanggul milik Ling Ay, akan tetapi dia menyimpannya dalam saku bajunya.
Bun Houw melakukan penyelidikan terus dan akhirnya dia mendapat keterangan dari penduduk dusun bahwa ada wanita muda yang menurut keterangan itu tentu Ling Ay adanya, melakukan perjalanan bersama seorang wanita lain yang cantik sekali. Mendengar bahwa Ling Ay nampak akrab dengan wanita itu, hatinya merasa lega. Ayah ibu Ling Ay telah tewas, akan tetapi Ling Ay masih dalam keadaan selamat. Dia lebih mengkhawatirkan Hui Hong yang mengejar Pek I Mo-ko, penjahat yang lihai itu.
Maka diapun melanjutkan usahanya mencari jejak Hui Hong. Ketika dia mendapat jejak itu menuju ke utara, diapun cepat melakukan perjalanan ke utara. Kebetulan sekali dia melihat rombongan Pek I Mo-ko dan membayanginya. Demikianiah, ketika percakapannya dengan Hui Hong menyangkut nama Ling Ay, dia teringat lagi kepada bekas tunangannya itu merasa bersedih mengingat akan nasibnya yang amat buruk.
"Tapi engkau kelihatan seperti orang berduka. Houw-ko. Ada apakah?"
Bun Houw teringat babwa gadis ini pernah menggodanya dan mengatakan bahwa dia masih mencinta Ling Ay. Oleh karena itu, diapun tidak berani berterus terang. "Aku tidak berduka, Hong-moi, hanya kecewa karena bukan saja engkau tidak berhasil merampas kembali mustika itu dari tangan Pek I Mo-ko, bahkan engkau nyaris celaka di tangan Suma Hok yang jahat itu."
Ucapan itu seperti menggugah Hui Hong dari tidurnya. Ia menyambar tangan Bun Houw dan menariknya, diajak lari cepat. "Celaka aku sampai lupa. Mari kita kejar Pek I Mo-ko sebelum jahanam itu lari jauh!”
Bun Houw mengikuti saja, bahkan dia menunjukkan ke arah mana larinya Suma Hok yang tadi dikejar pula oleh Ouwyang Toan. Hui Hong mengejar ke sana, karena ia tahu bahwa Suma Hok bekerja nama dengan Pek I Mo-ko, maka mencari Suma Hok tentu akan dapat bertemu pula dengan Pek I Mo-ko.
Dugaan Hui Hong memang benar. Ketika tadi Pek I Mo-ko melihat betapa Suma Hok telah bertanding melawan Hui Hong, dia lalu mempengunakan akal dan berhasil melarikan diri, membiarkan Suma Hok yang melawan gadis itu. Dia sendiri cepat lari ke arah di mana dia dan rombongannya meninggalkan kuda, dengan maksud untuk melepas panah api memberi isarat kepada kawan-kawannya dan melarikan diri dari tempat berbahaya itu.
Akan tetapi baru saja dia tiba di situ, dari balik semak belukar dan pohon-pohon, berlompatan keluar banyak orang dan Pek I Moko terbelalak memandang kepada mereka. Kiranya mereka adalah tujuh orang tokoh dunia persilatan yang rata-rata memiliki Ilmu kepandaian silat yang sudah tinggi tingkatnya! Biarpun dia tidak takut melawan mereka karena bagaimanapun juga, tingkat kepandaianaya masih lebih tinggi dari mereka, namun munculnya orang-orang ini jelas hendak memperebutkan Akar Bunga Gurun Pasir yang kini berada di saku jubahnya sebelah dalam. Ini berarti bahwa perjalanannya menyerahkan mustika itu kepada Kaisar Wei Ta Oag tidak akan lancar dan selalu akan terancam bahaya. Apalagi kalau muncul empat orang yang amat ditakutinya, yaitu Empat Datuk Besar!
Di antara mereka adalah bekas majikan dan gurunya sendiri, pemilik aseli dari mustika yang dicurinya, yaitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek Si Pedang Tanpa Bayangan! Puteri datuk itu, Ouwyang Hui Hong telah muncul mengejar-ngejarnya. Juga putera dari datuk besar ke dua yang ditakuti telah muncul, yaitu Suma Hok. Untung bahwa ayah pemuda itu, datuk besar Kui-siauw Giam-ong Suma Koan (Raja Maut Suling Setan) tidak ikut muncul!
Masih ada dua orang datuk besar lagi yang amat ditakutinya, keduanya wanita namun kelihaian mereka tidak kalah dibandingkan dua orang datuk besar yang pria itu. Kalau dia bertemu dengan seorang saja dari mereka, berarti celaka baginya dan akan sukarlah baginya mempertahankan mustika yang sudah berada di saku jubahnya, dan berarti lenyap pula harapannya untuk mendapatkan kedudukan tinggi dan kemuliaan di Kerajaan Wei di utara.
Dengan lagak angkuh dia menghadapi tujuh orang itu, mengangkat dada lalu bertanya dengan suara menantang, "Kalian menghadang perjalananku mempunyai maksud apakah? Aku Pek I Mo-ko tidak mempunyai banyak waktu untuk berurusan dengan kalian. Oleh karena itu, mengingat akan hubungan kita sebagai tokoh-tokoh kang-ouw, harap kalian mundur dan biarlah lain kali kalau ada waktu, aku Pek I Mo-ko Ciong Kui Le akan berkunjung kepada kalian sambil membawa oleh-oleh!"
"Ha-ha-ha, Moko. Tidak perlu lagi berpnra-pura bodoh dan bersih!" kata seorang pria hitam penuh beewok berusia lima puluhan tahun. Dia adalah Yang-ce Hek-kwi (Iblis Hitam Sungai Yang-ce), seorang kepala bajak sungai yang amat ditakuti karena selain berkepandaian tinggi, dia juga mempunyai banyak-anak buah dan wataknya kejam sekali.
"Kami-semua sudah tahu bahwa engkau telah mencuri mustika Akar Bunga Gurun Pasir. Nah, mengingat bahwa kita adalah orang-orang kang-ouw yang setia kawan, maka kaukeluarkan mustika itu, kita bagi rata agar masing-masing dari kita dapat memperoleh manfaat dari mustika itu. Kami pasti tidak akan melupakan kebaikanmu ini!”
Enam orang yang lain mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan usul atau tuntutan Iblis Hitam itu. Akan tetapi Pek I Mo-ko mengerutkan alisnya.
"Kalian semua adalah orang-orang tolol yang rakus. Aku tidak mempunyai akar itu!”
Tujuh orang itu saling pandang, akan tetapi seorang dari mereka yang tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat tertawa. Suara ketawanya seperti ringkik kuda dan mengandung getaran khi-kang kuat. "Hi-hi-hihhh e Kalau benar engkau tidak membawa mustika itu, biarkan kami menggeledah pakaianmu Moko. Baru kami percaya!”
"Pek-bio-go (Buaya Muka Putih), berani engkau menghinaku? Kalau engkau sekarang sudah begitu lihai, hendak kulihat apakah engkau berani menggeledah tubuhku. Lakukanlah kalau engkau bosan hidup!” bentak Pek I Mo-ko marah.
"Hi-hi-hiehhh, Ingat, kami bertujuh, Moko. Bukan aku sendiri yang membutuhkan mustika itu. Kami hanya minta bagian yang adil darimu. Kalau engkau berkeras, terpaksa kami bertujuh akan menggeledahmu. Kami sudah bersepakat untuk merampas mustika itu. dan kami bagi menjadi tujuh!”
Kini marahlah Pek I Mo-ko. Kedua tangannya bergerak dan tangan kanannya sudah memegang pedang, tangan kirinya memegang kipas mautnya. "Bagus, kalian semua sudah bosan hidup!” bentaknya dan diapun indah menerjang ke depan dengan marah.
Tujuh orang itu maklum akan kelihaiannya, maka mereka pun berloncatan ke belakang sambil mencabut senjata masing-masing dan mengeroyok Pek I Moko. Tujuh orang kang-ouw ini memang sudah bersepakat untuk bekerja sama. Mereka maklum bahwa yang memperebutkan mustika itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi, tokoh-tokoh besar itu biasanya bertindak sendiri-sendiri, bahkan saling bertentangan. Maka, kalau mereka bertujuh dapat bersatu dengan janji kelak hasilnya akan dibagi rata, yaitu akar itu akan mereka bagi rata, tentu mereka tidak takut menghadapi lawan yang lebih lihai.
Pertempuran antara Pek I Mo-ko yang dikeroyok tujuh orang itu berlangsung seru dan mati-matian. Melihat betapa Pek I Mo-ko tidak mau digeledah, tujuh orang kang-ouw itu makin bersemangat. Mereka yakin bahwa benda mustika yang diperebutkan tentu ada pada diri kakek rambut putih dan pakaian pulih itu, maka mereka mengepung dan mendesak dengan ganas, Pek I Mo-ko yang marah juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun, karena dikeroyok oleh tujuh orang yang tingkat kepandaian masing-masing hanya sedikit di bawah tingkatnya, dan karena tnjuh orang itu menyerang penuh semangat, setelah lewat empatpuluh jurus, Pek I Mo-ko terdesak sekali.
Bahkan tiga kali bajunya robek terkena senjata pengeroyok. Robekan yang ke tiga tepat mengenai saku jubah di sebelah kanan di mana tersimpan benda mustika itu. Dia terkejut dan merasa tidak perlu menyembunyikan lagi. Karena khawatir Akar Bunga Gurun Pasir itu akan terjatuh dari saku bajunya, dia mengeluarkannya dan menggigit kantung sutera kuning terisi mustika itu sambil terus mengamuk dengan pedang dan sulingnya. Sementara itu, tujuh orang kang-ouw yang mengeroyok, begitu melihat Pek I Mo-ko mengeluarkan sebuah kantong sutera dan menggigitnya, semangat mereka bertambah besar. Kini mereka yakin bahwa kantung itu terisi akar yang mereka perebutkan!
Pada saat itu, sepasang mata mengintai dari balik semak belukar yang tebal dan penuh duri. Sudah sejak tadi orang ini mengintai. Dia seorang laki-laki berusia tigapuluk tahun lebih, bertubuh kekar dan terbakar sinar matahari. Akan tetapi dia bukan seorang di antara para tokoh kang-ouw yang memperebutkan mustika. Sama sekali bukan! Dia hanya seorang pemburu binatang hutan dan biarpun dia bertenaga besar, namun tidak ada artinya, bila dibandingkan dengan para tokoh kang-ouw.
Maka, ketika dia dalam tempat pengintaiannya menyaksikan perkelahian antara para tokoh kang-ouw, dia memandang ketakutan. Orang ini bernama So Kian, pemburu yang tinggal di dusun tak jauh dari puncak Bukit Merpati Hitam bersama isterinya. Dia dan isterinya hidup sederhana dari penghasilannya sebagai pemburu dan juga bertani di kebun belakang rumah mereka.
Ketika pada pagi hari itu So Kian sedang mengintai kijang atau binatang apa saja yang dapat dijadikan uang untuk biaya hidupnya, dia melihat rombongan tujuh orang kang-ouw itu. Dia menjadi curiga, juga takut, lalu bersembunyi di dalam semak belukar itu. Dan dia kini menjadi saksi pertempuran hebat yang membuat tubuhnya gemetar. Dia tahu bahwa kalau dia memperlihatkan diri, nyawanya tentu takkan dapat tertolong lagi! Maka, diapun bersembunyi dan tidak berani berkutik. Dia juga tidak tahu mengapa orang-orang yang berilmu tinggi itu bertempur mati-matian.
Kini Pek I Mo-ko terdesak dan berada dalam bahaya! Dia bahkan tidak sempat melepas panah api untuk memberitahu kepada para jagoan Kerajaan Wei yang menjadi rombongannya dan yang ia tinggalkan ketika pasukan jagoan liu bertanding melawan para jagoan dari Kaisar Cang Bu Kerajaan Liu-sung di selatan.
Pada saat yang amat berbahaya baginya itu. nampak lagi beberapa orang bermunculan. Mereka adalah orang-orang dari partai-partai persilatan yang juga bertualang untuk memperebutkan benda mustika itu. Jumlah para pendatang ini tidak kurang dari lima belas orang, terdiri dari beberapa rombongan yang agaknya tertarik oleh perkelahian itu. Akan tetapi, di samping rasa kagetnya, Pek I Mo-ko juga girang ketika melihat Suma Hok berada di antara orang-orang yang datang itu dan pemuda tampan putera datuk besar majikan Bukit Kui-eng-san (Bukit Bayangan Iblis) itu sendirian saja.
Pek I Mo-ko hanya melihat satu jalan untuk menyelamatkan diri dan menyelamatkan benda mustika Akar Bunga Gurun Pasir. Kalau akar itu tidak ada lagi padanya, tentu tidak akan ada orang yang menyerangnya lagi. Dan akar itu akan aman kalau berada di tangan Suma Hok. pemuda yang dikenalnya, dan yang juga dapat diharapkan bisa bekerja sama dengannya itu. Tidak ada pilihan lain.
"Suma Kongcu, simpanlah benda ini untukku!" teriaknya dan diapun melemparkan kantung sutera ke atas, ke arah Suma Hok.
Pemuda yang berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Suling Beracun) itu cerdik sekali. Dia segera mengerti apa benda yang dilontarkan itu, maka sekali dia mengenjot tubuh, dia melayang ke atas untuk menangkap benda yang terlempar di udara itu.
"Suma Hok, engkau layak mampus!” terdengar bentakan dan sesosok tubuh lain melayang ke atas. Bukan untuk menangkap kantung sutera, melainkan untuk menangkap Suma Hok. Bayangan ini bukan lain adalah Ouwyang Toan.
Seperti diketahui, putera Bu-eng-kiam Ouwyang Cek ini marah sekali ketika mendengar bahwa Suma Hok nyaris memperkosa adik tirinya. Kini begilu melihat pemuda tampan itu, Ouwyang Toan yang bertubuh tinggi besar dan berwatak keras sudah meloncat dan menyerang tubuh Suma Hok yang masih melayang di udara!
Melihat serangan Ouwyang Toan ini, tentu saja Suma Hok terkejut dan terpaksa dia tidak dapat menyambar kantung sutera yang dilemparkan Pek I Mo-ko tadi, melainkan menggunakan kedua tangannya untuk menangkis serangan Ouwyang Toan.
"Desssss...!" Hebat sekali pertemuan tenaga melalui dua pasang tangan putera-putera datuk besar itu sehingga keduanya terpental dan melayang ke bawah. Sedangkan kantung sutera itu melayang lenyap, tak dapat dilihat siapapun. Pek I Mo-ko tidak dapat melihatnya karena dia sedang dihimpit serangan tujuh orang lawannya. Suma Hok maupun Ouwyang Toan juga tidak melihatnya.
Begitu mereka turun ke atas tanah, Ouwyang Toan sudah menerjang lagi. Suma Hok maklum bahwa tentu Ouwyang Toan telah tahu akan perbuatannya tadi yang nyaris memperkosa Ouwyang Hui Hong, adik Ouwyang Toan. Maka diapun tidak banyak cakap, menangkis dan membalas seningga terjadilah perkelahian seru antara dua orang muda perkasa itu.
Pada saat itu, sebelum belasan orang tokoh dunia persilatan yang tadi muncul tahu siapa yang memegang Akar Bunga Gurun Pasir dan siapa yang harus mereka serang, terdengar suara gaduh dan bermunculan rombongan jagoan Kerajaan Liu-sung dan rombongan jagoan Kerajaan Wei yang tadi saling serang. Para jagoan Liu-sung akhirnya tahu bahwa Pek I Mo-ko tidak berada di antara para jagoan Wei, maka merekapan dapat menduga bahwa Pek I Mo-ko tentu telah melarikan diri membawa mustika yang diperebutkan itu.
Maka, dengan sendirinya mereka meninggalkan lawan dan melakukan pengejaran. Para Jagoan Wei juga Ikut mengejar. Di antara kedua rombongan sudah ada beberapa orang yang terluka dalam pertempuran tadi. Setelah dua rombongan itu tiba, keadaan menjadi semakin kacau. Melihat betapa dia tidak akan mampu mengalahkan Ouwyang Toan dengan mudah, suma Hok mendapat akal dan diapun berteriak.
"Cuwi (saudara sekalian) harap hentikan perkelahian!" teriaknya sambil melompat ke belakang.
Ouwyang Toan yang keras hati itu mendelik. "Suma Hok, aku harus membunuh atas perbuatanmu terhadap adikku!”
"Ouwyang Toan, urusan pribadi yang tidak ada artinya perlukah diperpanjang di sini? Semua orang ribut mencari Akar Bunga Gurun Pasir, dan engkau ribut urusan tetek-bengek!"
Mendengar ini, Ouwyang Toan seperti diingatkan akan tugasnya. Dia di suruh ayahnya menyelidiki hasil tugas adiknya, Ouwyang Hui Hong yang ditugaskan mencari Pek I Mo-ko, merampas kembali Akar Bunga Gurun Pasir dan menghukum bekas pelayan dan murid yang murtad itu! Mendengar ucapan yang mengingatkan dia akan tugasnya itu, dia lalu menghadapi Pek I Mo-ko yang juga sudah tidak dikeroyok oleh tujuh orang kang-ouw karena mereka tadi melihat betapa Pek I Mo-ko yang tadinya menggigit kantung sutera, telah melemparkan kantung sutera itu.
"Pek I Mo-ko, cepat berlutut! Engkau harus mengembalikan Akar Bunga Gurun Pasir milik ayah dan menerima hukuman buntung lengan!”
Pek I Mo-ko memandang Ouwyang Toan dengan senyum mengejek. "Ouwyang Toan, orang menuduh seseorang mencuri haruslah disertai buktinya. Kalau ada buktinya bahwa Akar Bunga Gnrun Pasir berada di tanganku, barulah tuduhan itu berisi. Kalau tidak, bukankah itu hanya fitnah saja? Aku tidak membawa mustika itu, Kalau tidak percaya, siapa saja boleh menggeledahku!”
"Kami melihat dia melemparkan benda mustika itu ketika kami desak tadi!” Tiba-tiba Yang-ce Hek kwi berseru.
"Dia melemparkannya kepada pemuda bersuling itu!” kata orang ke dua sambil menuding ke arah Suma Hok. Dia tidak mengenal Suma Hok, yang dikiranya hanya seorang di antara mereka yang memperebutkan benda mustika itu atau juga kawan Pek I Mo-ko.
Mendengar ini semua orang mamandang kepada Suma Hok dengan sinar mata penuh selidik dan juga mengancam. Banyak di antara mereka yang mengenal Tok-siauw-kui Suma Hok dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena di situ berkumpul banyak tokoh kang-ouw yang memperebutkan, maka mereka yang mengenalnya juga tidak merasa takut. Siapa yang memegang mustika itu tentu akan dikeroyok banyak orang!
Suma Hok juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Akan tetapi dia tersenyum, dan menggeleng kepalanya. "Aku memang meloncat untuk menangkap benda yang melayang tadi, akan tetapi Ouwyang Toan muncul dan menyerangku. Aku terpaksa melayaninya dan benda tadi entah melayang ke mana?”
"Kalau begitu benda itu tentu masih berada di sekitar sini! Mari kita cari!” kata Yang-ce Hek-kwi dan tujuh orang kang-ouw yang sudah bersekutu itu lalu mulai mencari.
Melihat ini, tentu saja semua orang juga tidak mau ketinggalan dan ikut pula mencari, bahkan termasuk Pek I Mo-ko, Suma Hok, dan Ouwyang Toan! Semua semak belukar dibabat bersih dan semua orang bekerja keras sambil saling memperhatikan. Agar kalau ada yang menemukan dapat saling mengetahui. Dalam keadaan seperti itu, andaikata ada yang berhasil menemukan, tentu dia akan celaka, akan diserang oleh semua orang! Hal ini mereka sama mengetahui, maka tentu saja mereka mencari dengan hati tegang dan gelisah. Bahkan tujuh orang kang-ouw yang sudah bergabung itupun menjadi gelisah karena bagaimana mungkin mereka bertujuh dapat menghadapi lawan yang demikian banyak dan lihai?
Akan tetapi, sampai habis semak belukar di sekeliling tempat itu dibabat, kantung sutera itu tidak juga dapat ditemukan! Semua orang merasa heran, juga Pek I Mo-ko memandang dengan wajah pucat. Suma Hok juga terheran-heran, demikian pula tujuh orang yang tadi mengeroyok Pek I Mo-ko. Hanya mereka sembilan orang itulah yang tahu benar akan melayangnya kantung sutera tadi.
"Kita ditipu!” teriak seorang jagoan Liu-sung. "Mustika itu tentu masih disimpan Pek I Mo-ko!”
Mendengar ucapan ini, semua orang memandang kepada Pek I Mo-ko dengan pandang mata mengancam. Bahkan para jagoan Wei sendiri juga mengerutkan alisnya memandang kepada Pek I Mo-ko. Si kembar raksasa Liauw Gu dan Liauw Bu saling pandang. Mereka telah menerima tugas rahasia dari Kaisar Wei Ta Ong, bahwa kalau Pek I Mo-ko menipu mereka dan hendak melarikan mustika itu, boleh dikeroyok dan dibunuh saja!
"Kalau mustika itu dilemparkan lalu tidak diterima orang, mengapa tidak berada di sekitar tempat ini?" tanya Liauw Bu.
"Sungguh telah kulemparkan kepada Suma Hok...!” kata Pek I Mo-ko bingung dan gelisah!
"Dia bohong! Pek I Mo-ko bohong! Tentu mustika itu disembunyikan!” orang-orang mulai berteriak-teriak.
"Hukum dia! Bunuh dia kalau tidak mau menyerahkan mustika itu!" terdengar teriakan orang-orang lain.
Tiba-tiba terdengar suara yang dalam dan berat, mengandung getaran amat kuat. "Siapa-pun tidak berhak menghukum dan membnnuh Ciong Kui Le kecuali aku!"
Semua orang menengok ke arah orang yang bicara itu. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah muncul seorang pria yang gagah perkasa penuh wibawa. Usianya sekitar limapuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat seperti sebongkah batu karang, mukanya hitam seperti arang, akan tetapi muka itu tidak buruk, bahkan ganteng dan gagah. Pakaiannya dari sutera halus dan nampak bersih, dan di punggungnya tengantung sebatang pedang yang sarungnya dibuat dari emas murni berukir naga yang amat indah, dan gagang pedang itu dihias ronce merah kuning.
Mereka yang mengenal pria ini nampak gemetar dan gentar karena pria ini bukan lain adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, majikan Lembab Bukit Siluman, seorang di antara Empat Datuk Besar yang aneh dan ditakuti orang! Setelah melempar pandang matanya yang mencorong, menyapu semua orang yang berada di situ dengan sinar mata merendahkan, dia berkata lagi.
“Akar Bunga Gurun Pasir adalah benda mustika yang tidak boleh dimiliki orang lain! Pek I Mo-ko harus menyerahkannya kepadaku dan yang lain boleh pergi dari sini!”
Mendengar ucapan ini, tujuh orang kang-ouw yang tadi mengeroyok Pek I Mo-ko dan yang belum pernah bertemu dengan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, menjadi marah sekali. Mereka bertujuh mengandalkan diri sebagai sekelompok orang yang tangguh karena mereka bekerja sama. Dengan maju bertujuh, mereka tidak takut menghadapi siapapun juga. Dengan dipimpin Yang-ce Hek-kwi, mereka kini maju dan mengepung Ouwyang Sek, Si Iblis Hitam itu berdiri di depan Ouwyang Sek dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka datuk besar itu.
"Dari mana datangnya manusia sombong ini? Akar Bunga Gurun Pasir dimiliki siapa saja yang menang dalam perebutan! Kami bertujuh yang akan membunuh Pek I Mo-ko kalau dia tidak mau menyerahkan mustika itu, dan kalau engkau ini manusia sombong hendak menghalangi, kau akan kami bunuh pula!”
Bu-eng-kiam Ouwyang Sek tersenyum, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Kalian bertujuh sudah bosan hidup agaknya,” katanya perlahan.
"Engkaulah yang bosan hidup dan sekarang juga akan kuantar engkau ke alam baka!” Yang-ce Hek-kwi yang sudah marah sekali dan pemberani karena mengandalkan gerombolannya, sudah menggerakkan goloknya membacok ke arah muka Bu-eng kiam Ouwyang Sek. Melihat ini, semua orang kang-ouw yang sudah mengenal datuk besar itu memandang dengan hati tegang dan mereka semua maklum bahwa tujuh orang tokoh kang-ouw tingkat pertengahan itu sungguh mencari penyakit!
Melihat golok menyambar ke arah mukanya. Ouwyang Sek sana sekali tidak mengelak, bahkan tangan kirinya bergerak, dengan tangan terbuka dia menyambut golok itu! Golok itu menyambar dengan cepat dan kuat. namun tertahan dan tertangkap tangan itu bagaikan terjepit catut baja yang amat kuat.
Tentu saja Yang-ce Hek-kwi terkejut dan marah. Dia mengerahkan tenaga untuk membuat tangan itu terbuka, juga ingin menarik lepas goloknya sekuat tenaga. Akan tetapi, golok itu seperti melekat pada tangan itu dan pada saat Yang-ce Hek-kwi mengerahkan tenaga terakhir, tiba-tiba Ouwyang Sek mendorong golok itu sehingga membalik dan meluncur ke arah muka pemiliknya. Yang-ce Hek-kwi terbelalak, akan tetapi tidak sempat mengelak lagi ketika golok yang ditariknya itu meluncur ke arah mukanya.
"Crakkk...!” Golok itu tepat membacok di tengah-tengah mukanya sehingga kepala bagian depan itu terbelah karena golok itu masuk sampai ke tengah kepala. Tubuh Yang-ce Hek-kwi terjengkang dan dia tewas seketika dengan muka terbelah!
Seorang temannya menyerang Ouwyang Sek dari belakang dengan menusukkan pedang kanan ke arah punggung dan pedang kiri mengikuti dengan bacokan ke arah kepala datuk besar itu. Ouwyang Sek miringkan tubuh, mengangkat lengan kanan sehingga pedang itu terjepit di bawah ketiaknya, lalu tubuhnya membalik ke kiri, tangan kirinya membuat gerakan menampar kepala penyerangnya lalu merampas pedang kirinya.
Penyerang itu mengeluarkan pekik dan roboh terjengkang. Sepasang pedangnya tertinggal di jepitan ketiak kanan Ouwyang Sek dan di tangan kiri datuk itu. Kepala orang itu retak dan diapun tewas seketika!
Lima orang kawanan kang-ouw itu terkejut dan marah. Mereka serentak menyerang dari lima penjuru. Akan tetapi, begitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek menggerakkan sepasang pedang rampasan, tiga orang pengeroyok yang berada di depan, kanan dan kiri roboh mandi darah dan lewat dengan leher hampir putus. Melihat ini, dua orang yang tersisa menjadi gentar dan mereka melarikan diri. Akan tetapi, belum sepuluh langkah mereka melarikan diri, terdengar suara berciut nyaring dan dua batang pedang rampasan itu telah menembus tubuh mereka dari punggung sampai ke dada dan merekapun roboh menelungkup dan tewas seketika!
Suasana menjadi sunyi melengang! Semua orang menahan napas, tegang dan kagum bukan main. Biarpun tujuh orang kang-ouw tadi hanya memiliki ilmu kepandaian pertengahan saja, namun mereka maju bertujuh dan sungguh membutuhkan ketangkasan luar biasa untuk membunuh mereka dalam beberapa gerakan saja. Pek I Mo-ko sudah seperti lumpuh saking takutnya. Tadipun dia tidak berani menggunakan kesempatan untuk melarikan diri, dan dia terpukau di tempatnya, memandang dengan muka pucat sekali.
"Ciong Kui Le, ke sini kau!” Tiba-tiba Bu-eng-kiam Oowyang Sek membentak. Suaranya penuh wibawa, terasa getaran kuat dalam suara itu oleh semua orang.
Pek I Mo-ko menghampiri bekas guru dan majikannya, lalu menjatuhkan diri berlutut. "Hamba Ciong Kui Le menerima kesalahan hamba dan mohon pengampunan." katanya merendah.
"Serahkan Akar Bunga Gurun Pasir kepadaku!”
Tubuh Pek I Mo-ko menggigil dan mukanya menjadi semakin pucat. "Mohon maaf, suhu..."
"Lancang! Siapa sudi mempunyai murid macam engkau? Aku bukan gurumu!” bentak Bu eng-kiam Ouwyang Sek dan mukanya yang berkulit hitam itu nampak semakin hitam!
"Maaf... lo cian-pwe... akan tetapi akar itu... tadi hamba lemparkan kepada Suma Kongcu...! Banyak yang melihatnya ... hamba tidak berani berbohong..."
Ouwyang Sek mencari dengan pandang matanya rampai pandang mata itu berhenti pada wajah Suma Hok. Pemuda putera Kui-siauw Giam ong Suma Koan ini tersenyum, melangkah maju dan memberi hormat kepada Ouwyang Sek dengan kedua tangan di depan dada. "Paman Ouwyang, selamat datang, paman."
Terhadap pemuda itu. Ouwyang Sek bersikap ramah, karena ayah pemuda itu merupakan seorang yang setingkat dengan kedudukannya. "Hemm, kiranya engkau pun barada di sini! Di mana ayahmu?"
"Ayah mengutus saya untuk mencoba merampas kembali mustika itu dari tangan Pek I Mo-ko, dan tentu akan kami serahkan kepada paman kalau saya berhasil mendapatkannya. Saya tidak tahu apakah ayah sendiri juga akan datang."
"Benarkah engkau menerima akar itu dari Pek I Mo-ko seperti diceritakannya tadi...?"
"Ketika Pek I Mo-ko dikeroyok tujuh orang tak tahu diri itu," dia menunjuk mayat tujuh orang yang tewas di tangan Ouwyang Sek, "dia terdesak dan dia melemparkan sebuah kantung sutera kepada saya. Ketika saya meloncat untuk menyambutnya, tiba-tiba saya diserang oleh saudara Ouwyang Toan! Terpaksa saya menangkis dan kantung sutera itu lenyap entah ke mana. Sudah kami cari sampai ke seluruh tempat di sekitar ini, namun tidak berhasil."
Ouwyang Sek memandang puteranya yang sudah mendekat. "Benarkah itu. Toan-ji (anak Toan)?"
"Memang benar, ayah. Aku tidak tahu bahwa kantung sutera itu berisi akar yang kita cari. Setelah kami semua tahu, kami mencarinya namun tidak berhasil. Sudah pasti bahwa akar dalam kantung sutera itu dibawa pergi orang lain."
"Kenapa kau menyerang Suma Hok?"
"Dia telah berbuat kurang ajar terhadap adik Hui Hong, ayah."
"Paman, saya mencinta adik Hui Hong, bagaimana berani berbuat kurang ajar? Kelak saya dan ayah akan berkunjung dan melamar adik Hui Hong." kata Suma Hok cepat.
Ouwyang Sek mengerutkan alisnya. Urusan itu tidak penting baginya. "Sudahlah, aku ingin mendapatkan kembali akar itu." Dia lalu memandang ke sekeliling. "Kalau di antara saudara ada yang menemukan akar itu dan mengembalikannya kepadaku, tentu akan kuberi hadiah besar. Sebaliknya, siapa saja yang menemukannya dan tidak mau mengembalikan, biar dia bersembunyi di manapun akan dapat kutemukan dan kubunuh! Nah, aku sudah bicara dan harap saudara sekalian pergi dari sini meninggalkan kami sendiri!”
Orang-orang kang-ouw itu merasa jerih, bahkan para pendekar dari partai persilatan yang hadir di situ, tidak ingin bermusuhan dengan datuk besar yang lihai itu. Akan yang diperebutkan sudah lenyap, apalagi pemilik aselinya sudah berada di situ. Tidak perlu lagi memperebutkan benda yang tidak tentu ke mana lenyapnya. Maka, pergilah mereka meninggalkan tempat itu...