Kisah Si Pedang Kilat Jilid 11
ROMBONGAN para jagoan dari Kerajaan Wei melangkah maju menghadapi Ouwyang Sek. Pemimpin rombongan, yaitu Liauw Gu dan Liauw Bu, raksasa kembar itu, mewakili rombongannya. Liauw Gu. berkata,
"Lo-cian-pwe, kami adalah utusan Kerajaan Wei. Kami tidak ingin bermusuhan dengan lo-cian-pwe. Akan tetapi hendaknya diketahui bahwa Pek I Mo-ko Ciong Kui Le ini sekarang telah menjadi seorang ponggawa Kerajaan Wei dan merupakan anggauta rombongan kami. Oleh karena itu, kami harap dapatlah kiranya lo-cian-pwe memandang kaisar kami dan membiarkan dia pergi bersama kami."
Berkerut sepasang alis yang tebal itu. "Hemm, urusan antara Ciong Kui Le dan aku adalah urusan pribadi kami berdua saja, dan terjadi sebelum dia menjadi orangnya kaisar Kerajaan Wei. Aku tidak mempunyai urusan dengan Kerajaan Wei. Kalian kembalilah ke utara dan sampaikan kepada Kaisar Wei Ta Ong bahwa setelah aku selesai membuat perhitungan dengan orang ini, baru kulepaskan dan untuk pergi menghadap beliau. Kalau sekarang ada yang melindungi dia dariku, siapapun juga, termasuk kalian, maka contohnya adalah tujuh orang itu!" Ouwyang Sek menunjuk ke arah mayat tujuh orang yang tadi dibunuhnya.
Para jagoan Kerajaan Wei tidak berani nekat menentangnya. Pula, sudah jelas bahwa mustika itu tidak ada lagi kepada Pek I Mo-ko sudah lenyap tanpa ada yang mengetahui ke mana lenyapnya. Untuk apa mempertaruhkan nyawa membela Pek I Mo-ko? Bahkan Sribaginda Kaisar sendiri tentu akan menjatuhkan hukuman berat kepada Pek I Mo-ko apabila dia pulang tanpa membawa mustika itu, dan dianggap sebagai pembohong dan penipu yang berani mempermainkan kaisar. Mereka lalu saling memberi isyarat dengan pandang mata dan pergilah mereka tanpa bicara apa-apa lagi. Akhirnya, yang tinggal di situ hanyalah Ouwyang Sek. Ouwyang Toan, dan Pek I Mo-ko yang masih berlutut, di antara tujuh mayat yang berserakan.
"Toan-ji, kau geledah dia!” Ouwyang Sek berkata, Ouwyang Toan mengangguk dan begitu tubuhnya bergerak, terdengar suara kain robek dan pakaian luar yang membungkus tubuh Pek I Mo-ko sudah menjadi koyak-koyak, tinggal pakaian dalam saja. Akan tetapi, mereka tidak menemukan Akar Bunga Gurun Pasir yang mereka cari, Ouwyang Sek menjadi kecewa dan dia memandang ke sekeliling, seolah-olah hendak mencari mustika itu.
"Kami semua tadi sudah mencari dan aku memperhatikan kalau-kalau mustika itu di temukan orang, akan tetapi tidak berhasil, ayah. Benda itu hilang. Tentu sudah diambil orang lain yang tadinya bersembunyi."
"Kui Le," kata Ouwyang Sek kepada bekas murid dan pelayannya, "Katakan siapa yang kini menguasai mustika milikku itu! Baru akan kupertimbangkan nyawamu!”
Pek I Mo-ko yang kini hanya mengenakan celana dalam sebatas lutut dan tubuh atasnya tidak berpakaian, memberi hormat sambil berlutut, "Lo-cian-pwe, hamba tidak berbohong. Tadinya memang berada pada hamba. Hamba ditekan oleh Kaisar Wei Ta Ong untuk menyerahkan benda itu kepadanya. Ketika tadi hamba dikeroyok dan terdesak, dari pada benda itu dirampas penjahat, maka hamba lemparkan kepada Suma Hok karena hamba tahu bahwa dia hendak mengembalikan kepada lo-cian-pwe kalau nanti dia meminang Ouwyang Siocia. Akan tetapi Ouwyang Kongcu menyerangnya pada saat dia hendak menyambut benda itu sehingga benda itu melayang dan entah jatuh ke mana. Anehnya, ketika semua orang mencari, benda itu tidak dapat ditemukan. Hamba kira pengambilnya tentulah orang yang berkepandaian tinggi sehingga tak seorangpun di antara kami semua dapat melihatnya. Dan yang memiliki kepandaian tinggi itu, selain lo-cian-pwe, hanya ada tiga orang lain lagi."
"Hmm, kau maksudkan, tiga orang datuk besar lainnya! Kui-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Iblis), Bi Mo-li (Iblis Betina Cantik), atau Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im)?"
"Siapalagi kalau bukan mereka yang memiliki ilmu kepandaian setinggi lo-cian-pwe?"
Ouwyang Sek mengangguk-angguk, kemudian dia memandang kepada bekas pelayan itu dan suaranya terdengar tegas. "Baik, kuampunkan nyawamu, akan tetapi karena perbuatanmu, mustika milikku itu lenyap. Hayo cepat kau buntungi sendiri tangan kirimu!”
"Lo-cian-pwe, ampunkan hamba..." Pek I Moko meratap.
"Jahanam busuk!" Ouwyang Toan membentak. "Apa kau ingin ayah atau aku yang membuntunginya? Kalau aku yang diperintahkan membuntungi, bukan hanya tanganmu, juga kedua kakimu!”
Ouwyang Sek tersenyum mendengar ucapan puteranya. Pek I Mo-ko maklum bahwa tidak mungkin ada pengampunan baginya dan ucapan Ouwyang Toan tadi memang ada benarnya. Perintah bekas majikannya hanya membuntungi tangan kiri. Hal itu masih ringan dari padat dibuntungi lengan kanannya, atau bahkan kedua lengannya dan kakinya! Cepat dia menyambar sebatang golok yang banyak berserakan di situ, senjata tujuh orang yang tewas, dan sekali tabas, buntunglah pengelangan tagan kirinya. Darah mengucur deras dan Pek I Mo-ko cepat menotok jalan darah di lengan kirinya untuk menghentikan keluarnya darah dari luka di pergelangan tangannya.
Ouwyang Sek mengangguk-anggnk. "Toan-ji, mari kita pergi! Kita cari Hui Hong!”
Ayah dan anak itu berkelebat lenyap meninggalkan Pek I Mo-ko di antara mayat-mayat itu. Pek I Mo-ko menggigit bibir menahan rasa nyeri, dan dengan tangan kanannya dia mengambil obat luka dari pakaiannya yang terkoyak-koyak tadi, mengobati luka dan membalut pergelangan tangan kiri yang buntung itu dengan robekan kain pakaiannya. Kemudian, tertatih-tatih dia meninggalkan tempat itu.
"Mari, Hong-moi, kita harus cepat dapat menangkap Pek I Mo-ko!” kata Bun Houw yang berlari cepat di samping Hui Hong.
"Houw-ko, tentu saja aku ingin cepat menangkapnya, agar benda mustika milik ayah itu tidak sampai dia serahkan kepada orang lain."
"Dan dia harus memberitahu siapa yang membunuh keluarga Cia dan menculik Ling Ay." kata pula Bun Houw yang masih penasaran karena dia teringat akan nasib Ling Ay.
Tiba-tiba Hui Hong menghentikan langkahnya. Tentu saja Bun Houw merasa heran dan diapun berhenti, lalu menghampiri gadis itu. "Hong-moi, kenapa engkau berhenti?"
Hui Hong menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut. Sudah sejak pertemuannya dengan Bun Houw. hatinya merasa tidak senang melihat Bun Houw mencampuri urusan rumah tangga wanita yang pernah menjadi tunangannya itu.
"Kwa Bun Houw," katanya dengan suara dingin. "Sebagai seorang pendekar, engkau sungguh tidak pantas sekali mencampuri urusan pribadi dan rumah tangga seorang wanita yang bukan apa-apamu!”
"Eihhh?" Bun Houw membelalakkan matanya memandang, "Apa maksudmu, Hong-moi dan kenapa engkau tiba-tiba marah kepadaku?"
"Engkau masih pura-pura tidak mengerti? Aku muak melihat sikapmu itu, mengingat bahwa kita telah bersahabat. Engkau tidak berhak mencampuri urusan perempuan bernama Cia Ling Ay itu! Ingat, ia tetah menjadi isteri orang lain. Kenapa engkau masih memperhatikan dan mengurus dirinya? Tidak malukah engkau kalau diketahui orang bahwa engkau, seorang pendekar yang berkepandaian lumayan, memperhatikan isteri orang lain?"
Bun Houw menjadi semakin heran, akan tetapi juga penasaran. Kenapa begitu dia menyebut nama Ling Ay, Hui Hong berubah sikap, menjadi marah dan galak? Tiba-tiba Bun Houw teringat akan sesuatu dan diapun tersenyum memandang wajah gadis itu.
"Kwa Bun Houw, mengapa engkau cengar-cengir seperti itu? Aku tidak main-main! Aku marah dan jengkel, engkau tahu?"
Bun Houw tertawa. "Ha ha ha, aku tahu, Hongmoi. Engkau... cemburu kepada Ling Ay! Benarkah?"
Wajah Hui Hong menjadi merah sekali dan matanya melotot. "Aku? Cemburu? Kalau bukan engkau yang mengeluarkan ucapan itu, tentu akan kutampar mulutmu sampai hancur! Kenapa aku mesti cemburu? Huh, Bun Houw, engkau tidak patut menjadi sahabatku!” Dan iapun menggerakkan tubuhnya, lari meninggalkan Bun Houw.
Kini pemuda itu, terkejut. "Heiii..! Hong-moi, jangan begitu! Jangan marah dan meninggalkan aku. Maafkan ucapanku tadi!” teriak Bun Houw sambil mengerahkan tenaga mengejar.
Karena ilmu berlari cepat Bun Houw tidak berada di bawah tingkat Hui Hong, maka gadis itu tetap tidak mampu meninggalkannya. Hal ini membuat Hui Hong menjadi semakin marah. Gadis ini marah kepada diri sendiri karena ia merasakan benar bahwa ia memang cemburu! Ia merasa tidak senang karena Bun Houw begitu memperhatikan Ling Ay yang sudah menjadi isteri orang lain. Hal ini membuat ia merasa seolah ia sama sekali tidak menarik hati, kalah oleh seorang wanita lain yang sudah menjadi uteri orang. Akan tetapi, tentu saja ia tidak mau mengaku bahwa ia cemburu, bahkan perasaan ini membuat ia merasa malu dan bahkan menambah kemarahannya. Marah kepada diri sendiri yang semua ia tumpahkan kepada Bun Houw yang ia anggap sebagai biang keladinya!
Melihat ia tidak mampu meninggalkan Bun Houw, ia pun tiba-tiba berhenti, "Mau apa engkau mengejarku?"
"Hong-moi, Jangan begitu. Jangan engkau marah kepadaku. Aku... aku minta maaf kalau ucapanku menyinggung hatimu."
"Tidak ada yang menyinggung, tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku hanya ingin engkau jangan mendekati aku, jangan mengikuti aku!” kata Hui Hong ketus.
"Tapi, Hong-moi. Tadi kita begitu akrab, engkau bersikap demikian ramah dan baik kepadaku dan..."
"Cukup. pergilah! pergi dan jangan ikut aku lagi!” kata Hui Hong dan iapun lari lagi. Tentu saja Bun Houw masih merasa penasaran dan diapun mengejar lagi. Terjadi lagi kejar-kejaran sampai Hui Hong berhenti lagi dan membalik.
"Kalau engkau masih mengejar, akan kuhajar kau!”
"Hong-moi...!" Bun Houw terkejut karena tidak menyangka bahwa Hui Hong benar-benar marah sekali dan seperti membencinya.
"Cukup! Aku tidak mau lagi berkenalan denganmu, tidak mau lagi bicara denganmu!”
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, "Hong-moi. apakah dia kurang ajar kepadamu?" Dan muncullah Ouwyang Toan dan Ouwyang Sek.
"Ayah...!” Hui Hong lari menghampiri ayahnya.
"Hong-moi, apa yang dilakukan orang ini kepadamu?” Ouwyang Toan kembali bertanya sikapnya marah.
"Dia... dia menjengkelkan, dia menuduh aku cemburu!" kata Hui Hong yang masih marah dan jengkel.
Ouwyang Toan menghampiri Bun Houw dengan sikap menantang. Pemuda tinggi besar ini memang berwatak keras, pencemburu, dan memandang rendah orang lain. "Hemmm, siapapun yang mengganggu adikku, harus dihajar!”
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Aku tidak ingin berkelahi dengan siapapun."
"Engkau pengecut! Hanya berani mengganggu perempuan, tidak berani bertanggung jawab dan takut menerima tantanganku?" Ouwyang Toan tersenyum mengejek.
Wajah Bun Houw berubah merah. "Sobat, harap jangan keterlaluan dan jangan mendesakku. Aku tidak mempunyai alasan untuk berkelahi denganmu."
"Kalau aku mendesak, kau mau apa? Aku mempunyai alasan cukup kuat untuk menantangmu, kalau engkau berani. Kalau engkau takut. cepat berlutut dan minta ampun kepada kami!”
Sepasang mata Bun Houw berkilat, "Engkau terlalu sombong!”
"Kau berani? Nah, sambutlah ini!” Ouwyang Toan menyerang dengan dahsyat sekali.
Tangan kanannya yang dikepal menghantam ke arah kepala Bun Houw, diikuti tangan kiri yang menyusut dan mencengkeram ke arah dada. Bun Houw mengelak dan ketika tangan kiri lawan mencengkeram, diapun menangkis dengan pengerahan tenaga. Tangan kirinya berputar di depan dada ketika menangkis sambil miringkan tubuhnya ke kanan.
"Dukkk!” Pertemuan kedua lengan kiri itu membuat keduanya terdorong ke belakang. Ouwyang Toan merasa penasaran dan diapun menyerang kalang kabut, gerakannya bengis dan ganas sekali. Biarpun dia tidak ingin bermusuhan dengan kakak Hui Hong, namun karena dihina dan didesak, timbul kemarahan di hati Bun Houw dan diapun mulai membalas serangan lawan. Terjadilah perkelahian yang seru. Karena maklum bahwa lawan lihai dan memiliki tenaga yang kuat, Bun Houw segera menggunakan ilmu silatnya yang menggunakan jari-jari tangan untuk menotok.
"Ihhh...!” Ouwyang Toan terhuyung ketika lengannya bertemu dengan totokan jari tangan lawan. Dia menjadi semakin marah karena terhuyungnya itu menunjukkan bahwa dia terdesak walaupun belum roboh. Diapun cepat mencabut pedangnya.
"Kalau engkau benar laki-laki, keluarkan senjatamu!" tantang Ouwyang Toan, pedangnya melintang di depan dada.
Karena tantangan itu juga merupakan penghinaan, Bun Houw mencabut tongkat bututnya dari pinggang. "Hemm. engkau terlalu mendesakku, Ouwyang Toan. Jangan salahkan aku kalau sampai engkau terluka." Dia memperingatkan, merasa tidak enak sekali ketika dia melihat ke arah Hui Hong gadis itu tetap memandangnya dengan marah.
"Lihat pedang!” Ouwyang Toan membentak, dan nampak sinar berkilat ketika pedangnya menyambar-nyambar.
Bun Houw seperti tidak melihat datangnya bahaya, bersikap acuh dan tetap memandang ke arah Hui Hong, akan tetapi begitu pedang lawan menyambar, dia sudah mengelak dengan ringan. Memang bagi pemuda murid Tiauw Sun Ong ini, tidak perlu mempergunakan matanya ketika bertanding. Dia biasa berlatih tanpa menggunakan penglihatan matanya, berlatih di dalam kegelapan yang pekat, bahkan berlatih dengan mata terpejam, seperti gurunya yang buta. Karena latihan-latihan itu, seluruh bagian tubuhnya memiliki kepekaan seolah-olah di semua bagian tubuhnya terdapat mata. Gerakannya demikian otomatis tanpa melihat lagi.
Setiap kali pedang di tangan Ouwyang Toan bertemu tongkat, terdengar suara nyaring seolah-olah tongkat butut itu merupakan sebuah benda logam yang amat kuat. Mudah diduga bahwa tongkat butut itu menyembunyikan senjata yang terbuat dari pada baja. Permainan tongkat Bun Houw demikian aneh, cepat dan kuat sehingga setelah lewat belasan jurus, gulungan sinar pedang Ouwyang Toan makin menyempit dan mengecil, tanda bahwa dia terdesak.
"Toan-ji, mundur, biar aku bermain-main sebentar dengan bocah ini!” terdengar suara yang dalam dan berwibawa.
Mendengar suara ayahnya, Ouwyang Toan terkejut dan heran, akan tetapi dia meloncat keluar dari perkelahian itu, ke dekat ayah dan adiknya. Tentu saja dia merasa heran. Ayahnya adalah seorang datuk besar yang tidak mau sembarangan melayani orang-orang yang rendah tingkatnya, Apalagi seorang pemuda! Dan bagaimana mungkin pemuda ini akan mampu menandingi ayahnya? Tingkat kepandaiannya hanya setinggi tingkatnya, tidak banyak selisihnya!”
Sementara itu, ketika kakek berusia lima-puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam itu menghampirinya, Bun Houw merasa jantungnya berdebar tegang. Dia tidak takut, akan tetapi merasa tidak enak sekali. pria ini adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang sudah banyak didengar namanya. Gurunya sendiri pernah menceritakan kepadanya tentang Empat Datuk Besar. Biarpun gurunya yang buta belum pernah melihat mereka, namun gurunya mendengar banyak tentang mereka.
Hal ini masih belum banyak artinya bagi Bun Houw. Yang membuat dia tidak enak dan gelisah adalah karena Bu eng-kiam ini adalah ayah kandung Hui Hong! Tadipun dia sudah merasa tidak enak harus berkelahi melawan kakak gadis itu, Apalagi sekarang dia beehasspan dengan ayahnya. Maka, cepat dia mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada orang tua itu.
"Lo-cian-pwe, harap maafkan saya. Sesungguhnya, saya tidak ingin bermusuhan atau berkelahi dengan siapapun apa lagi dengan lo-cian-pwe yang saya hormati. Tidak ada alasan bagi kita untuk bertanding dan saya tidak berani kurang ajar melawan lo-cian-pwe yang berkedudukan tinggi dalam dunia persilatan.”
“Orang muda, siapa namamu?”
“Nama saya Kwa Bun Houw, locianpwee.”
“Kwa Bun Houw, engkan sudah berani menentang kedua orang anakku, dan kulihat tadi ilmu pedangmu cukup baik sehingga Toan-ji tidak mampu mengalahkanmu. Sudah sepatutnya kalau aku mengukur sampai di mana kehebatan Ilmu pedangmu yang tersembunyi dalam tongkat. Biarlah aku melawan pedangmu itu dengan tangan kosong, agar jangan dikatakan aku yang tua menghina yang muda. Hayo maju dan seranglah aku."
"Saya tidak berani, lo-cian-pwe." Alis yang tebal itu berkerut.
"Berani atau tidak, tidak perduli! Engkau harus menyerangku, atau aku akan tutun tangan membunuhmu. Aku membenci seorang penakut!”
"Kalan begitu, biar lo-cian-pwe yang menghajar dan membunuh saya, dan saya akan mencoba untuk membela diri," kata Bun Houw yang tetap tidak mau mendahului menyerang.
Ouwyang Sek mendengus. "Huh, memang kau sudah bosan hidup. Kalau engkau menyerang dulu, paling banyak aku hanya akan menjatuhkanmu. Akan tetapi, kalau sekali aku menyerang, aku tidak akan berhenti sebelum orang yang kuserang mampus!”
"Terserah kepada lo-cian-pwe. Saya tidak akan berani menyerang lebih dulu." kata Bun Houw sambil memandang ke arah Hui Hong. Dia melihat betapa Hui Hong berdiri dengan alis berkerut dan muka berubah agak pucat. Jelas gadis itu nampak gelisah sekali dan diam-diam ada perasaan lega dan girang dalam hati Bun Houw. Gadis itu mengkhawatirkan keselamatannya! ini saja sudah cukup mengobati semua kegelisahannya! Hui Hong mengkhawatirkan dirinya. Hal ini hanya berarti bahwa gadis itu diam-diam suka kepadanya dan tidak membencinya seperti diperlihatkan dalam sikapnya tadi. Sungguh membuat dia semakin bingung karena dia tidak dapat mengetahui bagaimana sebenarnya isi hati gadis itu.
Bu-eng-kiam Ouwyang Sek tentu tidak akan dikenal sebagai seorang di antara Empat Datuk besar kalau wataknya tidak aneh, di samping ilmu silat tinggi yang dimilikinya. Dia aneh, wataknya keras dan kadang amat kejam, akan tetapi juga adil, bahkan kadang dapat lembut seperti seorang gagah atau seorang pendekar sejati. Sikapnya selalu tengantung dari keadaan perasaannya pada saat itu yang berubah-ubah seperti pasang surutnya air laut.
Saat itu hatinya sedang kesal dan marah karena mustika Akar Bunga Gurun Pasir miliknya yang dicuri dan dilarikan Pek I Mo-ko belum dapat kembali kepadanya. Dalam keadaan kecewa dan marah ini, dia bertemu Bun Houw yang dianggapnya berani memusuhi puterinya dan puteranya. Tentu saja timbul perasaan benci terhadap pemuda itu.
"Engkau benar-benar sudah bosan hidup! Baik, akan kuantar engkau ke neraka!” bentak datuk itu dan begitu tubuhnya bergerak, tangan kirinya sudah menyambar ke arah pelipis kanan Bun Houw. Gerakannya demikian cepat dan kuat sehingga sebelum pukulan tiba, angin pukulan dahsyat telah menyambar.
Bun Houw menjadi serba salah. Dia mengenal serangan maut yang berbahaya, maka cepat dia mengelak dengan loncatan ke belakang. Dia tidak berani menggunakan senjata, mengingat bahwa yang dihadapinya adalah ayah Hui Hong, gadis yang telah menarik hatinya itu. Maka, mengandalkan kelincahan tabuhnya, dia mengelak. Akan tetapi, begitu pukulannya luput, kaki datuk itu sudah menyusul dengan sambaran tendangan yang lebih berbahaya lagi.
Kembali Bun Houw berbasil menghindarkan diri dengan elakan. Makin gagal, kakek itu menjadi semakin penasaran dan marah. Serangan susulannya semakin ganas sehingga dalam waktu sepuluh jurus saja, Bun Houw sudah merasa kewalahan, terdesak dan terhimpit oleh serangkaian serangan yang kalau mengenal sasaran berarti maut! Akan tetapi tetap saja dia tidak berani mempergunakan senjata untuk melindungi dirinya, karena mempergunakan senjata berarti balas menyerang. Walaupun dia tahu bahwa dalam sebuah perkelahian, sikap menghindar tanpa membalas merupakan suatu kelemahan yang membahayakan diri sendiri, Apalagi menghadapi lawan yang jauh lebih kuat.
"Hyaanattt...!" Untuk kesekian kalinya Ouwyang Sek menyerang dan sekali ini, kedua tangannya itu bergerak secara beruntun, saling susul menyusul sehingga tidak sempat bagi Bun Houw untuk mengelak terus. Terpaksa dia lalu mengerahkan tenaga pada telunjuknya dan menyambut serangan talapak tangan kiri lawan itu dengan totokan. Hanya itu satu-satunya jalan untuk melindungi dirinya dari sambaran telapak tangan yang ampuh itu.
"Tukk ...!” Ouwyang Sek mengeluarkan seruan tertahan dan melangkah mundur tiga tindak, sedangkan Bun Houw meloncat ke samping dan merasa betapa tangannya tergetar hebat saking kuatnya telapak tangan lawan yang ditotoknya tadi.
"It-sin-ci (Satu Jari Sakti)...!” Ouwyang Sek berseru dan pandang matanya menjadi semakin marah. "Bagus, memang engkau layak mati di tanganku!" Dan kini dia menyerang dengan semakin bebat, bagaikan gelombang dahsyat yang hendak menelan dirinya.
Biarpun Bun Houw sudah siap siaga dan menggunakan kedua tangannya ditambah kegesitan tubuhnya untuk menangkis dan mengelak, tetap saja dia tidak kuat menahan dan angin pukulan yang kuat sekali membuat dia terjengkang dan terguling-guling.
"Mampuslah!" Ouwyang Sek membentak dan menyusulkan serangan maut. Karena tubuh Bun Houw bengulingan, agaknya pukulan maut itu akan benar-benar mengantar nyawanya ke alam baka. Pukulan datang menyambar ke arah dada pemuda yang sedang terguling-guling itu.
“Dukk...!” Ouwyang Sek berseru kaget dan terhuyung ke belakang. Tak disangkanya sama sekali bahwa pada detik pukulannya mendekati dada lawan, sebatang tongkat telah menangkis sedemikian kuatnya sehingga dia merasa lengannya yang tertangkis nyeri dan tubuhnya terhuyung ke belakang karena tongkat itu menotok pula lutut kirinya!
Kini mereka berhadapan dan Bun Houw sudah berdiri dengan tongkat di tangan. "Lo-cian-pwe, bagaimanapun juga, saya adalah seorang manusia yang berhak hidup dan mempertahankan hidupnya. Kalau lo-cian-pwe mendesak terpaksa saya bersikap tidak hormat dan menggunakan senjata saya."
Datuk besar itu memandang tajam penuh selidik, dan Bun Houw yang maklum bahwa dia berada di ambang maut karena lawan sungguh amat lihai, tidak mau bersikap sungkan lagi dan begitu tangan kanannya bergerak, nampak sinar berkilat menyilaukan mata dan Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) telah terlolos dari sarungnya yang merupakan sebatang tongkat butut itu. Kini tangan kanan memegang pedang dan tangan kirinya memegang tongkat.
Ouwyang Sek mengangguk-angguk ketika melihat pedang itu, "Orang muda, apa hubunganmu dengan Tiauw Sun Ong? tiba-tiba dia bertanya.
Bun Houw mengerutkan alisnya, dia sudah dipesan oleh gurunya agar tidak menyebut namanya karena tidak mau berurusan dengan dunia ramai. "Lo-cian-pwe, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan beliau, dan saya tidak mau menyebut-nyebut tentang beliau."
Tiba tiba datuk besar itu tertawa. "Ha-ha-ha, Tiauw Sun Ong telah menjadi pengecut yang menyembunyikan diri dan nama. Kwa Bun Houw, sekarang tidak ada siapa-apalagi yang dapat menyelamatkan nyawamu! Hari ini engkau akan mati di tanganku dan nyawamu boleh memberitahu kepada Tiauw Sun Ong!” Setelah berkata demikian, tiba tiba datuk itu menyerang dengan tubrukan seperti seekor beruang.
Bun Houw mengelebatkan pedang dan tongkatnya dan sekarang dia melawan mati-matian. Untuk dapat terhindar dari malapetaka, satu-satunya jalan adalah balas menyerang. Dia tidak ragu-ragu lagi sekarang karena bagaimanapun juga, dia tidak mau mati konyol di tangan datuk ini, walaupun mengingat Hui Hong, dia tidak senang harus bermusuhan dengan orang tua ini.
Akan tetapi, tingkat kepandaian datuk setar itu memang jauh lebih tinggi dari pada tingkat Bun Houw, maka biarpun pemuda itu menggunakan pedang dan tongkat, tetap saja dia terdesak hebat setelah lewat limabelas jurus. Sebuah tendangan mengenai pahanya, membuat dia terhuyung dan sebelum dia dapat sempat mengatur keseimbangan dirinya, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya terpukul. Pedang itu terlepas dan pindah tangan, dan sebuah hantaman keras mengenai dadanya. Tubuh Bun Houw terjengkang, tongkatnya terlepas dari tangan kiri dan diapun muntah darah. Dadanya terasa sesak dan nyeri bukan main.
"Ha-ha-ha, bersiaplah engkau untuk mati melalui Pedang Kilat!” Ouwyang Sek berseru sambil tertawa-tawa, lalu mengelebatkan pedang rampasan tadi untuk memenggal leher Bun Houw yang sudah tidak berdaya, Pemuda itu hanya dapat bangkit duduk dan dia memejamkan mata, maklum bahwa dia tidak akan mampu menghindarkan diri dari maut.
"Ayah, jangan bunuh dia!” Tiba-tiba Hui Hong meloncat dan tahu-tahu tubuhnya sudah menghadang di depan Bun Houw, menghadapi ayahnya.
"Hong-moi, jangan lancang kau!” Ouwyang Toan meloncat mendekati adiknya dan menyentuh pundaknya, hendak menarik adiknya itu agar jangan menghalangi ayah mereka membunuh Bun Houw.
Akan tetapi Hui Hong mengibaskan tangan kakaknya yang menyentuh pundak dan berkata ketus, "Toan-koko, ini urusanku pribadi dengan ayah, jangan kau mencampuri!” Kemudian dia menoleh kepada ayahnya dan suaranya terdengar tegas, "Ayah, aku minta agar ayah jangan membunuh Kwa Bun Houw!”
"Hui Hong, apakah engkau sudah gila? Engkau berani menghalangi ayahmu dan membela anak setan ini?" Ouwyang Sek mengerutkan alisnya, memandang kepada puterinya dengan bengis.
“Ayah, maukah ayah menukar nyawa Kwa Bun Houw dengan nyawa puterimu?"
"Ehh? Apa maksudmu?"
"Ayah, tanpa adanya pertolongan pemuda ini, saat ini anakmu tentu telah mati. Ketika aku nyaris diperkosa Suma Hok dan pada saat akan membunuh diri dengan menggigit lidah sendiri, Kwa Bun Houw muncul dan menyelamatkan aku. Aku berhutang nyawa kepadanya, ayah. Oleh kerena itu, aku minta ayah jangan membunuhuya."
"Hemm, sekali aku mengambil keputusan, tidak dapat diubah lagi. Aku akan membunuh dia, apalagi dengan adanya pedang ini!”
"Ada apa dengan pedang itu, ayah!”
"Kau tak perlu tahu!” Tiba-tiba suara datuk besar itu terdengar kaku dan marah. "Minggirlah dan aku akan membunuhnya!”
"Hong-moi. minngirlah dan jangan membikin ayah marah!" tegur Ouwyang Toan kepada, adiknya.
Akan tetapi Hui Hong tetap berdiri tegak menghadang. "Ayah, kalau ayah memaksa hendak membunuhnya, biarlah aku yang mati lebih dulu. Aku akan malu hidup kalau berhutang nyawa tanpa mampu membalas. Ayah bebaskanlah dia, berarti ayah telah membayar hutangku kepadanya!”
Ouwyang Sek mengerutkan alisnya, lalu mendengus dan memandang kepada Kwa Bun Houw. Sekali pandang saja dia tahu bahwa pemuda itu telah menderita luka parah yang akhirnya akan membawanya ke lubang kubur juga. Pukulannya tadi hebat sekali, kalau bukan pemuda yang memiliki kekuatan tubuh yang hebat, tentu sudah mati seketika.
"Baiklah, biar dia pergi!” akhirnya dia berkata. "Biar pedang ini menjadi pengganti nyawanya, ha-ha-ha!”
"Terima kasih, ayah!" Hui Hong berkata dengan girang, lalu membalik dan menghadapi Bun Houw. "Nah, engkau telah bebas, Kwa Bun Houw, pergilah cepat selagi ada kesempatan." Suara Hui Hong dingin, akan tetapi Bun Houw melihat betapa pandang mata gadis itu kepadanya membayangkan perasaan iba. Biarpun dadanya terasa amat nyeri, akan tetapi sikap Hui Hong tadi sudah mendatangkan perasaan senang yang membuat dia lupa akan kenyeriannya. Gadis itu membelanya! Bahkan mempertaruhkan nyawanya!”
"Sampai... jumpa... " Bun Houw berkata lirih, membalikkan tubuhnya dan terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Hui Hong.
"Ha ha ha-ha!” Tiba-tiba Ouwyang Sek tertawa bergelak setelah bayangan Bun Houw lenyap ditelan pohon-pohon. "Tiauw Sun Ong, bocah itu tentu ada hubungan dekat denganmu. Biar belum dapat menemukan dan membunuhmu, setidaknya aku telah dapat menghajar orang yang dekat denganmu. Hatiku puas, ha-ha ha!”
"Ayah, siapakah Tiauw Sun Ong?" Hui Hong bertanya.
"Tak perlu kau tahu!" Ouwyang Sek membentak dengan suara ketus dan diapun melangkah pergi dari situ, diikuti Ouwyang Toan dan Ouwyang Hui Hong.
Bun Houw menahan rasa nyeri dan terhuyung huyung keluar dari dalam hutan. Dadanya sesak dan ada rasa panas dan pedih menghentak-hentak. Rasa hatinya bahkan lebih sakit dibanding tubuhnya. Dia dihajar oleh ayah gadis yang dicintanya. Bahkan pedang pemberian garunya juga disita. Ayah Hui Hong membencinya. Juga kakak Hui Hong. Gadis itu sendiri? Hanya mengenal budi. Kalau gadis itu juga mencintanya, tentu takkan membiarkan dia dihajar seperti itu. Cintanya bertepuk tangan sebelah! Satu hal lagi yang membuat dia semakin sakit adalah kenyataan bahwa ayah Hui Hong telah mengenal gurunya dan agaknya amat membenci gurunya itu.
Suara orang dari belakang membuat Bun Houw cepat menyusup ke dalam semak-semak. Dia tidak ingin bertemu dengan siapapun dalam keadaan seperti itu. Begitu dia menyusup ke dalam semak-semak, Ouwyang Sek dan kedua orang anaknya lewat. Dia merasa beruntung sudah bersembunyi. Dia tidak sudi bertemu lagi dengan mereka, sekarang maupun kapan saja. Keluarga Ouwyang itu bukan keluarga orang baik-baik.
"Ayah, yang mengambil mustika itu tentu seorang di antara tiga datuk lainnya." terdengar suara Ouwyang Hui Hong suara yang membuat jantungnya berdebar. Hemm, gadis itupun tentu sekejam ayahnya, bantah hatinya sendiri untuk meredakan rasa rindunya.
"Akan kucari mereka! Kalau seorang di antara mereka berani menguasai benda milikku itu, akan kurampas dengan kekerasan!” suara Ouwyang Sek masih terdengar olehnya sebelum mereka lenyap sama sekali.
Setelah mereka pergi jauh, barulah Bun Houw keluar dari semak belukar dan melanjutkan perjalanan menuruni lembah. Dia harus mencari obat. Setidaknya dia harus mencari tempat yang aman untuk melakukan siu-lian (samadhi), untuk mencoba menyembuhkan atau mengurangi lukanya.
Beberapa jam kemudian, setelah dengan susah payah menuruni lereng, dari tempat itu dia melihat genteng-genteng rumah sebuah dusun kecil. Dia lalu mengerahkan sisa tenaganya menuju ke dusun itu karena matahari telah condong jauh ke barat. Dia harus mendapatkan tempat berlindung melewati malam, karena dalam keadaan terluka dalam separah itu, amat berbahaya kalau dia melewatkan malam di tempat terbuka. Apalagi kalau sampai diserang binatang buas atau orang jahat. Dia takkan mampu membela diri sama sekali. Sedikit saja dia mengerahkan tenaga, lukanya akan makin menghebat dan mungkin nyawanya akan melayang saat itu juga.
Tiba-tiba dia terkejut melihat dua sosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang pria berusia lima puluh lima tahun yang bertubuh kecil kurus dan seorang pemuda tampan. Pemuda inilah yang mengejutkan hatinya karena dia mengenalnya sebagai pemuda yang lihai, yang nyaris memperkosa Hui Hong.
Suma Hok juga mengenal Bun Houw dan dengan muka merah dan mata melotot dia berkata kepada pria kecil kurus yang ternyata adalah ayahnya. "Ayah, orang ini pasti tahu siapa yang mengambil mustika itu! Mungkin dia sendiri yang mengambilnya!"
Pria kurus itu memang Suma Koan yang berjuluk Kui-siauw Kiam-ong (Raja Maut Suling Iblis), seorang di antara Empat Datuk Besar yang ditakuti dunia kang-ouw. Melihat orangnya, sungguh takkan ada yang mengira bahwa dia datuk besar yang ditakuti itu. Namanya sejajar dengan Ouwyang Sek dan para datuk lainnya. Akan tetapi tubuhnya yang kecil kurus, penampilannya yang tidak mengesankan, akan membuat siapapun memandang rendah kepadanya. Entah berapa banyaknya orang yang mati konyol hanya karena memandang rendah datuk itu!”
Suma Koan menyeringai mendengar ucapan puteranya itu. Sudah beberapa orang dibunuhnya tadi karena dia dan puteranya mengira orang itu yang mengambil Akar Bunga Gurun Pasir yang diperebutkan dan yang lenyap ketika diperebutkan.
"Begitukah? Kalau begitu, geledah seluruh badannya!" katanya.
Akan tetapi, Suma Hok kelihatan ragu-ragu. Dia sudah merasakan kelihaian Kwa Bun Houw, maka menggeledah badan merupakan pekerjaan yang berbahaya. Ayahnya melihat keraguan ini dan dia mengerutkan alisnya. "Kenapa ragu-ragu?"
"Ayah, orang ini lihai sekali, sebelum kurobohkan bagaimana dapat menggeledahnya?"
"Hemm, ada aku di sini, takut apa?" bentak ayahnya marah karena sikap takut-takut dari puteranya itu merupakan tamparan bagi keangkuhannya.
Suma Hok menghampiri Bun Houw, tangannya mencengkeram ke arah baju, menduga bahwa Bun Houw tentu akan mengelak atau menangkis. Akan tetapi, ternyata dia dapat mencengkeram baju itu dengan mudah dan sekali tarik, terdengar suara memberebet dan baju itupun koyak-koyak! Nampaklah dada Bun Houw dan melihat kulit dada yang matang biru itu, Suma Hok tertawa.
"Ha-ha-ha, kiranya engkau telah terluka parah!” Dan timbullah kesombongan Suma Hok. Dengan sikap gagah dia lalu merobek-robek pakaian Bun Houw sehingga tinggal cawat saja yang menutupi tubuh pemuda itu. Akan tetapi, Suma Hok tidak menemukan apa-apa kecuali sebuah kantung kecil berisi beberapa potong emas, yaitu emas pemberian gurunya yang masih bersisa. Melihat isi kantung itu sambil menyeringai Suma Hok memasukkannya ke dalam saku bajunya sendiri.
"Dia tidak membawa akar itu, ayah. Tentu dia sembunyikan entah ke mana. Orang ini licik sekali, ayah."
"Hemm, terhadap aku dia tidak dapat licik!” kata Suma Koan sambil menghampiri Bun Houw. Sepasang matanya yang tajam dan mengandung kekejaman itu menyelidiki wajah Bun Houw.
"Hayo katakan, di mana engkau simpan akar itu!" Dia bertanya, langsung saja menuduh seperti yang dilakukannya tadi terhadap banyak orang yang dibunuhnya satu demi satu karena mereka tidak mampu menunjukkan di mana adanya benda yang amat diinginkannya itu.
Bun Houw sudah menderita luka parah. Dia tahu bahwa kalau tidak mendapatkan obat yang amat manjur, dia akan terancam maut. Kini, dia ditelanjangi dan dihina tanpa mampu membalas karena begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, dia akan mati seketika. Maka, tentu saja dia tidak mengenal lakut lagi. Dia tahu dengan siapa dia berhadapan. Sudah pernah didengarnya tentang Kui-siauw Giam-ong.
Karena tadi dia telah mendengar bahwa pemuda yang nyaris memperkosa Hui Hong adalah Suma Hok putera Kui-siauw Giam-ong, siapa lagi kakek kecil kurus ini kalau bukan si datuk sesat itu? Dia merasa penasaran sekali dan biarpun terancam maut. Sebelum mati dia harus memperlihatkan keberaniannya dan menyatakan perasaan hatinya. Dengan pandang mata berani dia menatap wajah Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, lalu tersenyum mengejek.
"Orang tua, apakah engkau tidak malu dengan sikapmu ini?"
Sepasang mata Suma Koan terbelalak dan mukanya berubah merah sekali. Beraninya anak ini! "Hei, setan. Apakah engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan?" bentaknya, sedangkan puteranya. Suma Hok, juga marah sekali. Akan tetapi melihat kemarahan ayahnya, dia tilak berani lancang turun tangan membunuh Bun Houw dan membiarkau ayahnya yang akan menangani sendiri pemuda itu.
Senyum di bibir Bun Houw melebar. "Tentu saja aku tahu, paman. Namamu disohorkan orang sebagai Kui-siauw Giam-ong, seorang di antara datuk sesat yang besar dan berkepandaian tinggi, dihormati dan ditakuti orang. Siapa kira orangnya hanyalah pengecut besar!"
“Apa kaukata? Orang muda, engkau benar-benar sudah bosan hidup!” datuk besar itu membentak, kemarahannya sudah memenuhi kepala sampai ke ubun-ubun.
"Mati hidup di tangan Tuhan! Engkau dihormati sebagai seorang datuk besar, akan tetapi engkau hanya pandai memaksa dan menghina seorang muda yang sudah tertuka parah! Sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu tentang akar itu, bahkan melihatpun belum. Kalau engkau tidak percaya, sudahlah mau bunuh tinggal bunuh. Lebih senang aku yang mati dari pada engkau yang hidup akan tetapi sebagai seorang pengecut besar yang namanya akan ditertawakan orang sampai tujuh turunan!”
"Jahanam busuk, tutup mulutmu! Ayah, biar kuhabiskan saja keparat ini!” Suma Hok melangkah maju dan mengangkat tangannya.
Akan tetapi ayahnya mendelik kepadanya, "Jangan bunuh! Kau ingin ucapannya yang menghina tadi terbukti? Aku tidak akan membunuhnya, aku akan membuat dia tetap hidup, menderita dan tersiksa, dan biar dia tahu betapa lihainya Kui-siauw Giam-ong yang dihinanya!"
Suma Koan mengerahkan tenaga dan sekali dia menepuk punggung Bun Houw, pemuda itu terpelanting dan roboh, tak mampu bangkit kembali, terengah-engah seperti ikan dilempar ke darat, seluruh tubuh terasa nyeri seperti ditusuki seribu batang jarum dan napasnya makin sukar seolah dadanya terhimpit kuat. Kui-siauw Giam-ong Suma Koan tertawa, diikuti oleh puteranya dan Suma Hok berkata,
"Jahanam sombong, rasakan kau sekarang. Pukulan ayah itu akan membuat engkau mati perlahan-lahan. Tidak ada tabib di dunia ini mampu menyembuhkanmu dan dalam waktu tiga bulan atau paling lama seratus hari, engkau akan mampus dalam keadaan yang amat tersiksa!"
"Sudah, biarkan dia mengenang kelihaianku. Mari kita pergi!” kata datuk sesat itu dan mereka berdua berkelebat lenyap dari situ, meninggalkan Bun Houw yang masih terengah-engah di atas tanah...
"Lo-cian-pwe, kami adalah utusan Kerajaan Wei. Kami tidak ingin bermusuhan dengan lo-cian-pwe. Akan tetapi hendaknya diketahui bahwa Pek I Mo-ko Ciong Kui Le ini sekarang telah menjadi seorang ponggawa Kerajaan Wei dan merupakan anggauta rombongan kami. Oleh karena itu, kami harap dapatlah kiranya lo-cian-pwe memandang kaisar kami dan membiarkan dia pergi bersama kami."
Berkerut sepasang alis yang tebal itu. "Hemm, urusan antara Ciong Kui Le dan aku adalah urusan pribadi kami berdua saja, dan terjadi sebelum dia menjadi orangnya kaisar Kerajaan Wei. Aku tidak mempunyai urusan dengan Kerajaan Wei. Kalian kembalilah ke utara dan sampaikan kepada Kaisar Wei Ta Ong bahwa setelah aku selesai membuat perhitungan dengan orang ini, baru kulepaskan dan untuk pergi menghadap beliau. Kalau sekarang ada yang melindungi dia dariku, siapapun juga, termasuk kalian, maka contohnya adalah tujuh orang itu!" Ouwyang Sek menunjuk ke arah mayat tujuh orang yang tadi dibunuhnya.
Para jagoan Kerajaan Wei tidak berani nekat menentangnya. Pula, sudah jelas bahwa mustika itu tidak ada lagi kepada Pek I Mo-ko sudah lenyap tanpa ada yang mengetahui ke mana lenyapnya. Untuk apa mempertaruhkan nyawa membela Pek I Mo-ko? Bahkan Sribaginda Kaisar sendiri tentu akan menjatuhkan hukuman berat kepada Pek I Mo-ko apabila dia pulang tanpa membawa mustika itu, dan dianggap sebagai pembohong dan penipu yang berani mempermainkan kaisar. Mereka lalu saling memberi isyarat dengan pandang mata dan pergilah mereka tanpa bicara apa-apa lagi. Akhirnya, yang tinggal di situ hanyalah Ouwyang Sek. Ouwyang Toan, dan Pek I Mo-ko yang masih berlutut, di antara tujuh mayat yang berserakan.
"Toan-ji, kau geledah dia!” Ouwyang Sek berkata, Ouwyang Toan mengangguk dan begitu tubuhnya bergerak, terdengar suara kain robek dan pakaian luar yang membungkus tubuh Pek I Mo-ko sudah menjadi koyak-koyak, tinggal pakaian dalam saja. Akan tetapi, mereka tidak menemukan Akar Bunga Gurun Pasir yang mereka cari, Ouwyang Sek menjadi kecewa dan dia memandang ke sekeliling, seolah-olah hendak mencari mustika itu.
"Kami semua tadi sudah mencari dan aku memperhatikan kalau-kalau mustika itu di temukan orang, akan tetapi tidak berhasil, ayah. Benda itu hilang. Tentu sudah diambil orang lain yang tadinya bersembunyi."
"Kui Le," kata Ouwyang Sek kepada bekas murid dan pelayannya, "Katakan siapa yang kini menguasai mustika milikku itu! Baru akan kupertimbangkan nyawamu!”
Pek I Mo-ko yang kini hanya mengenakan celana dalam sebatas lutut dan tubuh atasnya tidak berpakaian, memberi hormat sambil berlutut, "Lo-cian-pwe, hamba tidak berbohong. Tadinya memang berada pada hamba. Hamba ditekan oleh Kaisar Wei Ta Ong untuk menyerahkan benda itu kepadanya. Ketika tadi hamba dikeroyok dan terdesak, dari pada benda itu dirampas penjahat, maka hamba lemparkan kepada Suma Hok karena hamba tahu bahwa dia hendak mengembalikan kepada lo-cian-pwe kalau nanti dia meminang Ouwyang Siocia. Akan tetapi Ouwyang Kongcu menyerangnya pada saat dia hendak menyambut benda itu sehingga benda itu melayang dan entah jatuh ke mana. Anehnya, ketika semua orang mencari, benda itu tidak dapat ditemukan. Hamba kira pengambilnya tentulah orang yang berkepandaian tinggi sehingga tak seorangpun di antara kami semua dapat melihatnya. Dan yang memiliki kepandaian tinggi itu, selain lo-cian-pwe, hanya ada tiga orang lain lagi."
"Hmm, kau maksudkan, tiga orang datuk besar lainnya! Kui-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Iblis), Bi Mo-li (Iblis Betina Cantik), atau Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im)?"
"Siapalagi kalau bukan mereka yang memiliki ilmu kepandaian setinggi lo-cian-pwe?"
Ouwyang Sek mengangguk-angguk, kemudian dia memandang kepada bekas pelayan itu dan suaranya terdengar tegas. "Baik, kuampunkan nyawamu, akan tetapi karena perbuatanmu, mustika milikku itu lenyap. Hayo cepat kau buntungi sendiri tangan kirimu!”
"Lo-cian-pwe, ampunkan hamba..." Pek I Moko meratap.
"Jahanam busuk!" Ouwyang Toan membentak. "Apa kau ingin ayah atau aku yang membuntunginya? Kalau aku yang diperintahkan membuntungi, bukan hanya tanganmu, juga kedua kakimu!”
Ouwyang Sek tersenyum mendengar ucapan puteranya. Pek I Mo-ko maklum bahwa tidak mungkin ada pengampunan baginya dan ucapan Ouwyang Toan tadi memang ada benarnya. Perintah bekas majikannya hanya membuntungi tangan kiri. Hal itu masih ringan dari padat dibuntungi lengan kanannya, atau bahkan kedua lengannya dan kakinya! Cepat dia menyambar sebatang golok yang banyak berserakan di situ, senjata tujuh orang yang tewas, dan sekali tabas, buntunglah pengelangan tagan kirinya. Darah mengucur deras dan Pek I Mo-ko cepat menotok jalan darah di lengan kirinya untuk menghentikan keluarnya darah dari luka di pergelangan tangannya.
Ouwyang Sek mengangguk-anggnk. "Toan-ji, mari kita pergi! Kita cari Hui Hong!”
Ayah dan anak itu berkelebat lenyap meninggalkan Pek I Mo-ko di antara mayat-mayat itu. Pek I Mo-ko menggigit bibir menahan rasa nyeri, dan dengan tangan kanannya dia mengambil obat luka dari pakaiannya yang terkoyak-koyak tadi, mengobati luka dan membalut pergelangan tangan kiri yang buntung itu dengan robekan kain pakaiannya. Kemudian, tertatih-tatih dia meninggalkan tempat itu.
********************
"Mari, Hong-moi, kita harus cepat dapat menangkap Pek I Mo-ko!” kata Bun Houw yang berlari cepat di samping Hui Hong.
"Houw-ko, tentu saja aku ingin cepat menangkapnya, agar benda mustika milik ayah itu tidak sampai dia serahkan kepada orang lain."
"Dan dia harus memberitahu siapa yang membunuh keluarga Cia dan menculik Ling Ay." kata pula Bun Houw yang masih penasaran karena dia teringat akan nasib Ling Ay.
Tiba-tiba Hui Hong menghentikan langkahnya. Tentu saja Bun Houw merasa heran dan diapun berhenti, lalu menghampiri gadis itu. "Hong-moi, kenapa engkau berhenti?"
Hui Hong menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut. Sudah sejak pertemuannya dengan Bun Houw. hatinya merasa tidak senang melihat Bun Houw mencampuri urusan rumah tangga wanita yang pernah menjadi tunangannya itu.
"Kwa Bun Houw," katanya dengan suara dingin. "Sebagai seorang pendekar, engkau sungguh tidak pantas sekali mencampuri urusan pribadi dan rumah tangga seorang wanita yang bukan apa-apamu!”
"Eihhh?" Bun Houw membelalakkan matanya memandang, "Apa maksudmu, Hong-moi dan kenapa engkau tiba-tiba marah kepadaku?"
"Engkau masih pura-pura tidak mengerti? Aku muak melihat sikapmu itu, mengingat bahwa kita telah bersahabat. Engkau tidak berhak mencampuri urusan perempuan bernama Cia Ling Ay itu! Ingat, ia tetah menjadi isteri orang lain. Kenapa engkau masih memperhatikan dan mengurus dirinya? Tidak malukah engkau kalau diketahui orang bahwa engkau, seorang pendekar yang berkepandaian lumayan, memperhatikan isteri orang lain?"
Bun Houw menjadi semakin heran, akan tetapi juga penasaran. Kenapa begitu dia menyebut nama Ling Ay, Hui Hong berubah sikap, menjadi marah dan galak? Tiba-tiba Bun Houw teringat akan sesuatu dan diapun tersenyum memandang wajah gadis itu.
"Kwa Bun Houw, mengapa engkau cengar-cengir seperti itu? Aku tidak main-main! Aku marah dan jengkel, engkau tahu?"
Bun Houw tertawa. "Ha ha ha, aku tahu, Hongmoi. Engkau... cemburu kepada Ling Ay! Benarkah?"
Wajah Hui Hong menjadi merah sekali dan matanya melotot. "Aku? Cemburu? Kalau bukan engkau yang mengeluarkan ucapan itu, tentu akan kutampar mulutmu sampai hancur! Kenapa aku mesti cemburu? Huh, Bun Houw, engkau tidak patut menjadi sahabatku!” Dan iapun menggerakkan tubuhnya, lari meninggalkan Bun Houw.
Kini pemuda itu, terkejut. "Heiii..! Hong-moi, jangan begitu! Jangan marah dan meninggalkan aku. Maafkan ucapanku tadi!” teriak Bun Houw sambil mengerahkan tenaga mengejar.
Karena ilmu berlari cepat Bun Houw tidak berada di bawah tingkat Hui Hong, maka gadis itu tetap tidak mampu meninggalkannya. Hal ini membuat Hui Hong menjadi semakin marah. Gadis ini marah kepada diri sendiri karena ia merasakan benar bahwa ia memang cemburu! Ia merasa tidak senang karena Bun Houw begitu memperhatikan Ling Ay yang sudah menjadi isteri orang lain. Hal ini membuat ia merasa seolah ia sama sekali tidak menarik hati, kalah oleh seorang wanita lain yang sudah menjadi uteri orang. Akan tetapi, tentu saja ia tidak mau mengaku bahwa ia cemburu, bahkan perasaan ini membuat ia merasa malu dan bahkan menambah kemarahannya. Marah kepada diri sendiri yang semua ia tumpahkan kepada Bun Houw yang ia anggap sebagai biang keladinya!
Melihat ia tidak mampu meninggalkan Bun Houw, ia pun tiba-tiba berhenti, "Mau apa engkau mengejarku?"
"Hong-moi, Jangan begitu. Jangan engkau marah kepadaku. Aku... aku minta maaf kalau ucapanku menyinggung hatimu."
"Tidak ada yang menyinggung, tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku hanya ingin engkau jangan mendekati aku, jangan mengikuti aku!” kata Hui Hong ketus.
"Tapi, Hong-moi. Tadi kita begitu akrab, engkau bersikap demikian ramah dan baik kepadaku dan..."
"Cukup. pergilah! pergi dan jangan ikut aku lagi!” kata Hui Hong dan iapun lari lagi. Tentu saja Bun Houw masih merasa penasaran dan diapun mengejar lagi. Terjadi lagi kejar-kejaran sampai Hui Hong berhenti lagi dan membalik.
"Kalau engkau masih mengejar, akan kuhajar kau!”
"Hong-moi...!" Bun Houw terkejut karena tidak menyangka bahwa Hui Hong benar-benar marah sekali dan seperti membencinya.
"Cukup! Aku tidak mau lagi berkenalan denganmu, tidak mau lagi bicara denganmu!”
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, "Hong-moi. apakah dia kurang ajar kepadamu?" Dan muncullah Ouwyang Toan dan Ouwyang Sek.
"Ayah...!” Hui Hong lari menghampiri ayahnya.
"Hong-moi, apa yang dilakukan orang ini kepadamu?” Ouwyang Toan kembali bertanya sikapnya marah.
"Dia... dia menjengkelkan, dia menuduh aku cemburu!" kata Hui Hong yang masih marah dan jengkel.
Ouwyang Toan menghampiri Bun Houw dengan sikap menantang. Pemuda tinggi besar ini memang berwatak keras, pencemburu, dan memandang rendah orang lain. "Hemmm, siapapun yang mengganggu adikku, harus dihajar!”
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Aku tidak ingin berkelahi dengan siapapun."
"Engkau pengecut! Hanya berani mengganggu perempuan, tidak berani bertanggung jawab dan takut menerima tantanganku?" Ouwyang Toan tersenyum mengejek.
Wajah Bun Houw berubah merah. "Sobat, harap jangan keterlaluan dan jangan mendesakku. Aku tidak mempunyai alasan untuk berkelahi denganmu."
"Kalau aku mendesak, kau mau apa? Aku mempunyai alasan cukup kuat untuk menantangmu, kalau engkau berani. Kalau engkau takut. cepat berlutut dan minta ampun kepada kami!”
Sepasang mata Bun Houw berkilat, "Engkau terlalu sombong!”
"Kau berani? Nah, sambutlah ini!” Ouwyang Toan menyerang dengan dahsyat sekali.
Tangan kanannya yang dikepal menghantam ke arah kepala Bun Houw, diikuti tangan kiri yang menyusut dan mencengkeram ke arah dada. Bun Houw mengelak dan ketika tangan kiri lawan mencengkeram, diapun menangkis dengan pengerahan tenaga. Tangan kirinya berputar di depan dada ketika menangkis sambil miringkan tubuhnya ke kanan.
"Dukkk!” Pertemuan kedua lengan kiri itu membuat keduanya terdorong ke belakang. Ouwyang Toan merasa penasaran dan diapun menyerang kalang kabut, gerakannya bengis dan ganas sekali. Biarpun dia tidak ingin bermusuhan dengan kakak Hui Hong, namun karena dihina dan didesak, timbul kemarahan di hati Bun Houw dan diapun mulai membalas serangan lawan. Terjadilah perkelahian yang seru. Karena maklum bahwa lawan lihai dan memiliki tenaga yang kuat, Bun Houw segera menggunakan ilmu silatnya yang menggunakan jari-jari tangan untuk menotok.
"Ihhh...!” Ouwyang Toan terhuyung ketika lengannya bertemu dengan totokan jari tangan lawan. Dia menjadi semakin marah karena terhuyungnya itu menunjukkan bahwa dia terdesak walaupun belum roboh. Diapun cepat mencabut pedangnya.
"Kalau engkau benar laki-laki, keluarkan senjatamu!" tantang Ouwyang Toan, pedangnya melintang di depan dada.
Karena tantangan itu juga merupakan penghinaan, Bun Houw mencabut tongkat bututnya dari pinggang. "Hemm. engkau terlalu mendesakku, Ouwyang Toan. Jangan salahkan aku kalau sampai engkau terluka." Dia memperingatkan, merasa tidak enak sekali ketika dia melihat ke arah Hui Hong gadis itu tetap memandangnya dengan marah.
"Lihat pedang!” Ouwyang Toan membentak, dan nampak sinar berkilat ketika pedangnya menyambar-nyambar.
Bun Houw seperti tidak melihat datangnya bahaya, bersikap acuh dan tetap memandang ke arah Hui Hong, akan tetapi begitu pedang lawan menyambar, dia sudah mengelak dengan ringan. Memang bagi pemuda murid Tiauw Sun Ong ini, tidak perlu mempergunakan matanya ketika bertanding. Dia biasa berlatih tanpa menggunakan penglihatan matanya, berlatih di dalam kegelapan yang pekat, bahkan berlatih dengan mata terpejam, seperti gurunya yang buta. Karena latihan-latihan itu, seluruh bagian tubuhnya memiliki kepekaan seolah-olah di semua bagian tubuhnya terdapat mata. Gerakannya demikian otomatis tanpa melihat lagi.
Setiap kali pedang di tangan Ouwyang Toan bertemu tongkat, terdengar suara nyaring seolah-olah tongkat butut itu merupakan sebuah benda logam yang amat kuat. Mudah diduga bahwa tongkat butut itu menyembunyikan senjata yang terbuat dari pada baja. Permainan tongkat Bun Houw demikian aneh, cepat dan kuat sehingga setelah lewat belasan jurus, gulungan sinar pedang Ouwyang Toan makin menyempit dan mengecil, tanda bahwa dia terdesak.
"Toan-ji, mundur, biar aku bermain-main sebentar dengan bocah ini!” terdengar suara yang dalam dan berwibawa.
Mendengar suara ayahnya, Ouwyang Toan terkejut dan heran, akan tetapi dia meloncat keluar dari perkelahian itu, ke dekat ayah dan adiknya. Tentu saja dia merasa heran. Ayahnya adalah seorang datuk besar yang tidak mau sembarangan melayani orang-orang yang rendah tingkatnya, Apalagi seorang pemuda! Dan bagaimana mungkin pemuda ini akan mampu menandingi ayahnya? Tingkat kepandaiannya hanya setinggi tingkatnya, tidak banyak selisihnya!”
Sementara itu, ketika kakek berusia lima-puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam itu menghampirinya, Bun Houw merasa jantungnya berdebar tegang. Dia tidak takut, akan tetapi merasa tidak enak sekali. pria ini adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang sudah banyak didengar namanya. Gurunya sendiri pernah menceritakan kepadanya tentang Empat Datuk Besar. Biarpun gurunya yang buta belum pernah melihat mereka, namun gurunya mendengar banyak tentang mereka.
Hal ini masih belum banyak artinya bagi Bun Houw. Yang membuat dia tidak enak dan gelisah adalah karena Bu eng-kiam ini adalah ayah kandung Hui Hong! Tadipun dia sudah merasa tidak enak harus berkelahi melawan kakak gadis itu, Apalagi sekarang dia beehasspan dengan ayahnya. Maka, cepat dia mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada orang tua itu.
"Lo-cian-pwe, harap maafkan saya. Sesungguhnya, saya tidak ingin bermusuhan atau berkelahi dengan siapapun apa lagi dengan lo-cian-pwe yang saya hormati. Tidak ada alasan bagi kita untuk bertanding dan saya tidak berani kurang ajar melawan lo-cian-pwe yang berkedudukan tinggi dalam dunia persilatan.”
“Orang muda, siapa namamu?”
“Nama saya Kwa Bun Houw, locianpwee.”
“Kwa Bun Houw, engkan sudah berani menentang kedua orang anakku, dan kulihat tadi ilmu pedangmu cukup baik sehingga Toan-ji tidak mampu mengalahkanmu. Sudah sepatutnya kalau aku mengukur sampai di mana kehebatan Ilmu pedangmu yang tersembunyi dalam tongkat. Biarlah aku melawan pedangmu itu dengan tangan kosong, agar jangan dikatakan aku yang tua menghina yang muda. Hayo maju dan seranglah aku."
"Saya tidak berani, lo-cian-pwe." Alis yang tebal itu berkerut.
"Berani atau tidak, tidak perduli! Engkau harus menyerangku, atau aku akan tutun tangan membunuhmu. Aku membenci seorang penakut!”
"Kalan begitu, biar lo-cian-pwe yang menghajar dan membunuh saya, dan saya akan mencoba untuk membela diri," kata Bun Houw yang tetap tidak mau mendahului menyerang.
Ouwyang Sek mendengus. "Huh, memang kau sudah bosan hidup. Kalau engkau menyerang dulu, paling banyak aku hanya akan menjatuhkanmu. Akan tetapi, kalau sekali aku menyerang, aku tidak akan berhenti sebelum orang yang kuserang mampus!”
"Terserah kepada lo-cian-pwe. Saya tidak akan berani menyerang lebih dulu." kata Bun Houw sambil memandang ke arah Hui Hong. Dia melihat betapa Hui Hong berdiri dengan alis berkerut dan muka berubah agak pucat. Jelas gadis itu nampak gelisah sekali dan diam-diam ada perasaan lega dan girang dalam hati Bun Houw. Gadis itu mengkhawatirkan keselamatannya! ini saja sudah cukup mengobati semua kegelisahannya! Hui Hong mengkhawatirkan dirinya. Hal ini hanya berarti bahwa gadis itu diam-diam suka kepadanya dan tidak membencinya seperti diperlihatkan dalam sikapnya tadi. Sungguh membuat dia semakin bingung karena dia tidak dapat mengetahui bagaimana sebenarnya isi hati gadis itu.
Bu-eng-kiam Ouwyang Sek tentu tidak akan dikenal sebagai seorang di antara Empat Datuk besar kalau wataknya tidak aneh, di samping ilmu silat tinggi yang dimilikinya. Dia aneh, wataknya keras dan kadang amat kejam, akan tetapi juga adil, bahkan kadang dapat lembut seperti seorang gagah atau seorang pendekar sejati. Sikapnya selalu tengantung dari keadaan perasaannya pada saat itu yang berubah-ubah seperti pasang surutnya air laut.
Saat itu hatinya sedang kesal dan marah karena mustika Akar Bunga Gurun Pasir miliknya yang dicuri dan dilarikan Pek I Mo-ko belum dapat kembali kepadanya. Dalam keadaan kecewa dan marah ini, dia bertemu Bun Houw yang dianggapnya berani memusuhi puterinya dan puteranya. Tentu saja timbul perasaan benci terhadap pemuda itu.
"Engkau benar-benar sudah bosan hidup! Baik, akan kuantar engkau ke neraka!” bentak datuk itu dan begitu tubuhnya bergerak, tangan kirinya sudah menyambar ke arah pelipis kanan Bun Houw. Gerakannya demikian cepat dan kuat sehingga sebelum pukulan tiba, angin pukulan dahsyat telah menyambar.
Bun Houw menjadi serba salah. Dia mengenal serangan maut yang berbahaya, maka cepat dia mengelak dengan loncatan ke belakang. Dia tidak berani menggunakan senjata, mengingat bahwa yang dihadapinya adalah ayah Hui Hong, gadis yang telah menarik hatinya itu. Maka, mengandalkan kelincahan tabuhnya, dia mengelak. Akan tetapi, begitu pukulannya luput, kaki datuk itu sudah menyusul dengan sambaran tendangan yang lebih berbahaya lagi.
Kembali Bun Houw berbasil menghindarkan diri dengan elakan. Makin gagal, kakek itu menjadi semakin penasaran dan marah. Serangan susulannya semakin ganas sehingga dalam waktu sepuluh jurus saja, Bun Houw sudah merasa kewalahan, terdesak dan terhimpit oleh serangkaian serangan yang kalau mengenal sasaran berarti maut! Akan tetapi tetap saja dia tidak berani mempergunakan senjata untuk melindungi dirinya, karena mempergunakan senjata berarti balas menyerang. Walaupun dia tahu bahwa dalam sebuah perkelahian, sikap menghindar tanpa membalas merupakan suatu kelemahan yang membahayakan diri sendiri, Apalagi menghadapi lawan yang jauh lebih kuat.
"Hyaanattt...!" Untuk kesekian kalinya Ouwyang Sek menyerang dan sekali ini, kedua tangannya itu bergerak secara beruntun, saling susul menyusul sehingga tidak sempat bagi Bun Houw untuk mengelak terus. Terpaksa dia lalu mengerahkan tenaga pada telunjuknya dan menyambut serangan talapak tangan kiri lawan itu dengan totokan. Hanya itu satu-satunya jalan untuk melindungi dirinya dari sambaran telapak tangan yang ampuh itu.
"Tukk ...!” Ouwyang Sek mengeluarkan seruan tertahan dan melangkah mundur tiga tindak, sedangkan Bun Houw meloncat ke samping dan merasa betapa tangannya tergetar hebat saking kuatnya telapak tangan lawan yang ditotoknya tadi.
"It-sin-ci (Satu Jari Sakti)...!” Ouwyang Sek berseru dan pandang matanya menjadi semakin marah. "Bagus, memang engkau layak mati di tanganku!" Dan kini dia menyerang dengan semakin bebat, bagaikan gelombang dahsyat yang hendak menelan dirinya.
Biarpun Bun Houw sudah siap siaga dan menggunakan kedua tangannya ditambah kegesitan tubuhnya untuk menangkis dan mengelak, tetap saja dia tidak kuat menahan dan angin pukulan yang kuat sekali membuat dia terjengkang dan terguling-guling.
"Mampuslah!" Ouwyang Sek membentak dan menyusulkan serangan maut. Karena tubuh Bun Houw bengulingan, agaknya pukulan maut itu akan benar-benar mengantar nyawanya ke alam baka. Pukulan datang menyambar ke arah dada pemuda yang sedang terguling-guling itu.
“Dukk...!” Ouwyang Sek berseru kaget dan terhuyung ke belakang. Tak disangkanya sama sekali bahwa pada detik pukulannya mendekati dada lawan, sebatang tongkat telah menangkis sedemikian kuatnya sehingga dia merasa lengannya yang tertangkis nyeri dan tubuhnya terhuyung ke belakang karena tongkat itu menotok pula lutut kirinya!
Kini mereka berhadapan dan Bun Houw sudah berdiri dengan tongkat di tangan. "Lo-cian-pwe, bagaimanapun juga, saya adalah seorang manusia yang berhak hidup dan mempertahankan hidupnya. Kalau lo-cian-pwe mendesak terpaksa saya bersikap tidak hormat dan menggunakan senjata saya."
Datuk besar itu memandang tajam penuh selidik, dan Bun Houw yang maklum bahwa dia berada di ambang maut karena lawan sungguh amat lihai, tidak mau bersikap sungkan lagi dan begitu tangan kanannya bergerak, nampak sinar berkilat menyilaukan mata dan Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) telah terlolos dari sarungnya yang merupakan sebatang tongkat butut itu. Kini tangan kanan memegang pedang dan tangan kirinya memegang tongkat.
Ouwyang Sek mengangguk-angguk ketika melihat pedang itu, "Orang muda, apa hubunganmu dengan Tiauw Sun Ong? tiba-tiba dia bertanya.
Bun Houw mengerutkan alisnya, dia sudah dipesan oleh gurunya agar tidak menyebut namanya karena tidak mau berurusan dengan dunia ramai. "Lo-cian-pwe, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan beliau, dan saya tidak mau menyebut-nyebut tentang beliau."
Tiba tiba datuk besar itu tertawa. "Ha-ha-ha, Tiauw Sun Ong telah menjadi pengecut yang menyembunyikan diri dan nama. Kwa Bun Houw, sekarang tidak ada siapa-apalagi yang dapat menyelamatkan nyawamu! Hari ini engkau akan mati di tanganku dan nyawamu boleh memberitahu kepada Tiauw Sun Ong!” Setelah berkata demikian, tiba tiba datuk itu menyerang dengan tubrukan seperti seekor beruang.
Bun Houw mengelebatkan pedang dan tongkatnya dan sekarang dia melawan mati-matian. Untuk dapat terhindar dari malapetaka, satu-satunya jalan adalah balas menyerang. Dia tidak ragu-ragu lagi sekarang karena bagaimanapun juga, dia tidak mau mati konyol di tangan datuk ini, walaupun mengingat Hui Hong, dia tidak senang harus bermusuhan dengan orang tua ini.
Akan tetapi, tingkat kepandaian datuk setar itu memang jauh lebih tinggi dari pada tingkat Bun Houw, maka biarpun pemuda itu menggunakan pedang dan tongkat, tetap saja dia terdesak hebat setelah lewat limabelas jurus. Sebuah tendangan mengenai pahanya, membuat dia terhuyung dan sebelum dia dapat sempat mengatur keseimbangan dirinya, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya terpukul. Pedang itu terlepas dan pindah tangan, dan sebuah hantaman keras mengenai dadanya. Tubuh Bun Houw terjengkang, tongkatnya terlepas dari tangan kiri dan diapun muntah darah. Dadanya terasa sesak dan nyeri bukan main.
"Ha-ha-ha, bersiaplah engkau untuk mati melalui Pedang Kilat!” Ouwyang Sek berseru sambil tertawa-tawa, lalu mengelebatkan pedang rampasan tadi untuk memenggal leher Bun Houw yang sudah tidak berdaya, Pemuda itu hanya dapat bangkit duduk dan dia memejamkan mata, maklum bahwa dia tidak akan mampu menghindarkan diri dari maut.
"Ayah, jangan bunuh dia!” Tiba-tiba Hui Hong meloncat dan tahu-tahu tubuhnya sudah menghadang di depan Bun Houw, menghadapi ayahnya.
"Hong-moi, jangan lancang kau!” Ouwyang Toan meloncat mendekati adiknya dan menyentuh pundaknya, hendak menarik adiknya itu agar jangan menghalangi ayah mereka membunuh Bun Houw.
Akan tetapi Hui Hong mengibaskan tangan kakaknya yang menyentuh pundak dan berkata ketus, "Toan-koko, ini urusanku pribadi dengan ayah, jangan kau mencampuri!” Kemudian dia menoleh kepada ayahnya dan suaranya terdengar tegas, "Ayah, aku minta agar ayah jangan membunuh Kwa Bun Houw!”
"Hui Hong, apakah engkau sudah gila? Engkau berani menghalangi ayahmu dan membela anak setan ini?" Ouwyang Sek mengerutkan alisnya, memandang kepada puterinya dengan bengis.
“Ayah, maukah ayah menukar nyawa Kwa Bun Houw dengan nyawa puterimu?"
"Ehh? Apa maksudmu?"
"Ayah, tanpa adanya pertolongan pemuda ini, saat ini anakmu tentu telah mati. Ketika aku nyaris diperkosa Suma Hok dan pada saat akan membunuh diri dengan menggigit lidah sendiri, Kwa Bun Houw muncul dan menyelamatkan aku. Aku berhutang nyawa kepadanya, ayah. Oleh kerena itu, aku minta ayah jangan membunuhuya."
"Hemm, sekali aku mengambil keputusan, tidak dapat diubah lagi. Aku akan membunuh dia, apalagi dengan adanya pedang ini!”
"Ada apa dengan pedang itu, ayah!”
"Kau tak perlu tahu!” Tiba-tiba suara datuk besar itu terdengar kaku dan marah. "Minggirlah dan aku akan membunuhnya!”
"Hong-moi. minngirlah dan jangan membikin ayah marah!" tegur Ouwyang Toan kepada, adiknya.
Akan tetapi Hui Hong tetap berdiri tegak menghadang. "Ayah, kalau ayah memaksa hendak membunuhnya, biarlah aku yang mati lebih dulu. Aku akan malu hidup kalau berhutang nyawa tanpa mampu membalas. Ayah bebaskanlah dia, berarti ayah telah membayar hutangku kepadanya!”
Ouwyang Sek mengerutkan alisnya, lalu mendengus dan memandang kepada Kwa Bun Houw. Sekali pandang saja dia tahu bahwa pemuda itu telah menderita luka parah yang akhirnya akan membawanya ke lubang kubur juga. Pukulannya tadi hebat sekali, kalau bukan pemuda yang memiliki kekuatan tubuh yang hebat, tentu sudah mati seketika.
"Baiklah, biar dia pergi!” akhirnya dia berkata. "Biar pedang ini menjadi pengganti nyawanya, ha-ha-ha!”
"Terima kasih, ayah!" Hui Hong berkata dengan girang, lalu membalik dan menghadapi Bun Houw. "Nah, engkau telah bebas, Kwa Bun Houw, pergilah cepat selagi ada kesempatan." Suara Hui Hong dingin, akan tetapi Bun Houw melihat betapa pandang mata gadis itu kepadanya membayangkan perasaan iba. Biarpun dadanya terasa amat nyeri, akan tetapi sikap Hui Hong tadi sudah mendatangkan perasaan senang yang membuat dia lupa akan kenyeriannya. Gadis itu membelanya! Bahkan mempertaruhkan nyawanya!”
"Sampai... jumpa... " Bun Houw berkata lirih, membalikkan tubuhnya dan terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Hui Hong.
"Ha ha ha-ha!” Tiba-tiba Ouwyang Sek tertawa bergelak setelah bayangan Bun Houw lenyap ditelan pohon-pohon. "Tiauw Sun Ong, bocah itu tentu ada hubungan dekat denganmu. Biar belum dapat menemukan dan membunuhmu, setidaknya aku telah dapat menghajar orang yang dekat denganmu. Hatiku puas, ha-ha ha!”
"Ayah, siapakah Tiauw Sun Ong?" Hui Hong bertanya.
"Tak perlu kau tahu!" Ouwyang Sek membentak dengan suara ketus dan diapun melangkah pergi dari situ, diikuti Ouwyang Toan dan Ouwyang Hui Hong.
********************
Bun Houw menahan rasa nyeri dan terhuyung huyung keluar dari dalam hutan. Dadanya sesak dan ada rasa panas dan pedih menghentak-hentak. Rasa hatinya bahkan lebih sakit dibanding tubuhnya. Dia dihajar oleh ayah gadis yang dicintanya. Bahkan pedang pemberian garunya juga disita. Ayah Hui Hong membencinya. Juga kakak Hui Hong. Gadis itu sendiri? Hanya mengenal budi. Kalau gadis itu juga mencintanya, tentu takkan membiarkan dia dihajar seperti itu. Cintanya bertepuk tangan sebelah! Satu hal lagi yang membuat dia semakin sakit adalah kenyataan bahwa ayah Hui Hong telah mengenal gurunya dan agaknya amat membenci gurunya itu.
Suara orang dari belakang membuat Bun Houw cepat menyusup ke dalam semak-semak. Dia tidak ingin bertemu dengan siapapun dalam keadaan seperti itu. Begitu dia menyusup ke dalam semak-semak, Ouwyang Sek dan kedua orang anaknya lewat. Dia merasa beruntung sudah bersembunyi. Dia tidak sudi bertemu lagi dengan mereka, sekarang maupun kapan saja. Keluarga Ouwyang itu bukan keluarga orang baik-baik.
"Ayah, yang mengambil mustika itu tentu seorang di antara tiga datuk lainnya." terdengar suara Ouwyang Hui Hong suara yang membuat jantungnya berdebar. Hemm, gadis itupun tentu sekejam ayahnya, bantah hatinya sendiri untuk meredakan rasa rindunya.
"Akan kucari mereka! Kalau seorang di antara mereka berani menguasai benda milikku itu, akan kurampas dengan kekerasan!” suara Ouwyang Sek masih terdengar olehnya sebelum mereka lenyap sama sekali.
Setelah mereka pergi jauh, barulah Bun Houw keluar dari semak belukar dan melanjutkan perjalanan menuruni lembah. Dia harus mencari obat. Setidaknya dia harus mencari tempat yang aman untuk melakukan siu-lian (samadhi), untuk mencoba menyembuhkan atau mengurangi lukanya.
Beberapa jam kemudian, setelah dengan susah payah menuruni lereng, dari tempat itu dia melihat genteng-genteng rumah sebuah dusun kecil. Dia lalu mengerahkan sisa tenaganya menuju ke dusun itu karena matahari telah condong jauh ke barat. Dia harus mendapatkan tempat berlindung melewati malam, karena dalam keadaan terluka dalam separah itu, amat berbahaya kalau dia melewatkan malam di tempat terbuka. Apalagi kalau sampai diserang binatang buas atau orang jahat. Dia takkan mampu membela diri sama sekali. Sedikit saja dia mengerahkan tenaga, lukanya akan makin menghebat dan mungkin nyawanya akan melayang saat itu juga.
Tiba-tiba dia terkejut melihat dua sosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang pria berusia lima puluh lima tahun yang bertubuh kecil kurus dan seorang pemuda tampan. Pemuda inilah yang mengejutkan hatinya karena dia mengenalnya sebagai pemuda yang lihai, yang nyaris memperkosa Hui Hong.
Suma Hok juga mengenal Bun Houw dan dengan muka merah dan mata melotot dia berkata kepada pria kecil kurus yang ternyata adalah ayahnya. "Ayah, orang ini pasti tahu siapa yang mengambil mustika itu! Mungkin dia sendiri yang mengambilnya!"
Pria kurus itu memang Suma Koan yang berjuluk Kui-siauw Kiam-ong (Raja Maut Suling Iblis), seorang di antara Empat Datuk Besar yang ditakuti dunia kang-ouw. Melihat orangnya, sungguh takkan ada yang mengira bahwa dia datuk besar yang ditakuti itu. Namanya sejajar dengan Ouwyang Sek dan para datuk lainnya. Akan tetapi tubuhnya yang kecil kurus, penampilannya yang tidak mengesankan, akan membuat siapapun memandang rendah kepadanya. Entah berapa banyaknya orang yang mati konyol hanya karena memandang rendah datuk itu!”
Suma Koan menyeringai mendengar ucapan puteranya itu. Sudah beberapa orang dibunuhnya tadi karena dia dan puteranya mengira orang itu yang mengambil Akar Bunga Gurun Pasir yang diperebutkan dan yang lenyap ketika diperebutkan.
"Begitukah? Kalau begitu, geledah seluruh badannya!" katanya.
Akan tetapi, Suma Hok kelihatan ragu-ragu. Dia sudah merasakan kelihaian Kwa Bun Houw, maka menggeledah badan merupakan pekerjaan yang berbahaya. Ayahnya melihat keraguan ini dan dia mengerutkan alisnya. "Kenapa ragu-ragu?"
"Ayah, orang ini lihai sekali, sebelum kurobohkan bagaimana dapat menggeledahnya?"
"Hemm, ada aku di sini, takut apa?" bentak ayahnya marah karena sikap takut-takut dari puteranya itu merupakan tamparan bagi keangkuhannya.
Suma Hok menghampiri Bun Houw, tangannya mencengkeram ke arah baju, menduga bahwa Bun Houw tentu akan mengelak atau menangkis. Akan tetapi, ternyata dia dapat mencengkeram baju itu dengan mudah dan sekali tarik, terdengar suara memberebet dan baju itupun koyak-koyak! Nampaklah dada Bun Houw dan melihat kulit dada yang matang biru itu, Suma Hok tertawa.
"Ha-ha-ha, kiranya engkau telah terluka parah!” Dan timbullah kesombongan Suma Hok. Dengan sikap gagah dia lalu merobek-robek pakaian Bun Houw sehingga tinggal cawat saja yang menutupi tubuh pemuda itu. Akan tetapi, Suma Hok tidak menemukan apa-apa kecuali sebuah kantung kecil berisi beberapa potong emas, yaitu emas pemberian gurunya yang masih bersisa. Melihat isi kantung itu sambil menyeringai Suma Hok memasukkannya ke dalam saku bajunya sendiri.
"Dia tidak membawa akar itu, ayah. Tentu dia sembunyikan entah ke mana. Orang ini licik sekali, ayah."
"Hemm, terhadap aku dia tidak dapat licik!” kata Suma Koan sambil menghampiri Bun Houw. Sepasang matanya yang tajam dan mengandung kekejaman itu menyelidiki wajah Bun Houw.
"Hayo katakan, di mana engkau simpan akar itu!" Dia bertanya, langsung saja menuduh seperti yang dilakukannya tadi terhadap banyak orang yang dibunuhnya satu demi satu karena mereka tidak mampu menunjukkan di mana adanya benda yang amat diinginkannya itu.
Bun Houw sudah menderita luka parah. Dia tahu bahwa kalau tidak mendapatkan obat yang amat manjur, dia akan terancam maut. Kini, dia ditelanjangi dan dihina tanpa mampu membalas karena begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, dia akan mati seketika. Maka, tentu saja dia tidak mengenal lakut lagi. Dia tahu dengan siapa dia berhadapan. Sudah pernah didengarnya tentang Kui-siauw Giam-ong.
Karena tadi dia telah mendengar bahwa pemuda yang nyaris memperkosa Hui Hong adalah Suma Hok putera Kui-siauw Giam-ong, siapa lagi kakek kecil kurus ini kalau bukan si datuk sesat itu? Dia merasa penasaran sekali dan biarpun terancam maut. Sebelum mati dia harus memperlihatkan keberaniannya dan menyatakan perasaan hatinya. Dengan pandang mata berani dia menatap wajah Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, lalu tersenyum mengejek.
"Orang tua, apakah engkau tidak malu dengan sikapmu ini?"
Sepasang mata Suma Koan terbelalak dan mukanya berubah merah sekali. Beraninya anak ini! "Hei, setan. Apakah engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan?" bentaknya, sedangkan puteranya. Suma Hok, juga marah sekali. Akan tetapi melihat kemarahan ayahnya, dia tilak berani lancang turun tangan membunuh Bun Houw dan membiarkau ayahnya yang akan menangani sendiri pemuda itu.
Senyum di bibir Bun Houw melebar. "Tentu saja aku tahu, paman. Namamu disohorkan orang sebagai Kui-siauw Giam-ong, seorang di antara datuk sesat yang besar dan berkepandaian tinggi, dihormati dan ditakuti orang. Siapa kira orangnya hanyalah pengecut besar!"
“Apa kaukata? Orang muda, engkau benar-benar sudah bosan hidup!” datuk besar itu membentak, kemarahannya sudah memenuhi kepala sampai ke ubun-ubun.
"Mati hidup di tangan Tuhan! Engkau dihormati sebagai seorang datuk besar, akan tetapi engkau hanya pandai memaksa dan menghina seorang muda yang sudah tertuka parah! Sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu tentang akar itu, bahkan melihatpun belum. Kalau engkau tidak percaya, sudahlah mau bunuh tinggal bunuh. Lebih senang aku yang mati dari pada engkau yang hidup akan tetapi sebagai seorang pengecut besar yang namanya akan ditertawakan orang sampai tujuh turunan!”
"Jahanam busuk, tutup mulutmu! Ayah, biar kuhabiskan saja keparat ini!” Suma Hok melangkah maju dan mengangkat tangannya.
Akan tetapi ayahnya mendelik kepadanya, "Jangan bunuh! Kau ingin ucapannya yang menghina tadi terbukti? Aku tidak akan membunuhnya, aku akan membuat dia tetap hidup, menderita dan tersiksa, dan biar dia tahu betapa lihainya Kui-siauw Giam-ong yang dihinanya!"
Suma Koan mengerahkan tenaga dan sekali dia menepuk punggung Bun Houw, pemuda itu terpelanting dan roboh, tak mampu bangkit kembali, terengah-engah seperti ikan dilempar ke darat, seluruh tubuh terasa nyeri seperti ditusuki seribu batang jarum dan napasnya makin sukar seolah dadanya terhimpit kuat. Kui-siauw Giam-ong Suma Koan tertawa, diikuti oleh puteranya dan Suma Hok berkata,
"Jahanam sombong, rasakan kau sekarang. Pukulan ayah itu akan membuat engkau mati perlahan-lahan. Tidak ada tabib di dunia ini mampu menyembuhkanmu dan dalam waktu tiga bulan atau paling lama seratus hari, engkau akan mampus dalam keadaan yang amat tersiksa!"
"Sudah, biarkan dia mengenang kelihaianku. Mari kita pergi!” kata datuk sesat itu dan mereka berdua berkelebat lenyap dari situ, meninggalkan Bun Houw yang masih terengah-engah di atas tanah...