Kisah Si Pedang Kilat Jilid 13
KETIKA ia melihat dua orang pemuda berusia duapuluhan tahun berdiri di tepi jalan memandang kepadanya, ia lalu menghampiri mereka. Seorang membawa sabit panjang dan seorang lagi memegang cangkul. Agaknya dua orang pemuda petani yang hendak pergi ke ladang.
"Sobat, tolong tunjukkan di mana aku dapat membeli makanan di tempat ini! Aku merasa lapar dan ingin makan." kata wanita itu, suaranya lembut dan merdu.
Dua orang pemuda itu sudah menyeringai girang ketika wanita cantik itu mendekati mereka tadi. Kini, mendengar ucapan itu, mereka saling pandang dan wajah mereka berseri, gembira dan bangga. Siapa orangnya tidak akan bangga dilihat orang bahwa wanita kota yang cantik itu menghampiri mereka dan mengajak mereka bercakap-cakap? Dan benar saja, para penduduk berhenti melangkah dan memandang ke arah mereka, dengan heran. Dua orang pemuda yang merasa bangga itu setelah saling pandang, lalu dengan ramah seorang di antara mereka, yang hidungnya pesek, memperlihatkan senyumnya yang dianggsap paling manis.
"Aih, nona hendak mencari kedai makanan? Di dusun ini tidak ada yang menjualnya, nona."
Wanita itu tersenyum. Senyumnya mengandung sejuta madu dan dua orang pemuda itu semakin terpesona. "Tidak perlu kedai penjual makanan. Kalau ada penduduk yang mau membagi sedikit makanan dan air teh kepadaku, akan kubayar mahal."
Pemuda ke dua yang mempunyai tahi lalat di dagu, segera berkata, "Kalau begitu, marilah ikut dengan kami ke rumah kami, nona. Kami dapat menyuguhkan makanan dan minum sekadarnya untuk nona."
Wanita itu nampak girang bahwa dua orang pemuda itu menyebutnya "nona" dan iapun mengangguk. Dapat dibayangkan betapa bangga dan girangnya hati dua orang pemuda itu. Dengan dada membusung mereka berjalan mendampingi wanita itu di kanan kirinya dan membawanya pergi ke rumah mereka yang tak jauh dari situ.
Rumah mereka sederhana namun bersih dan dua orang pemuda kakak beradik itu segera memanggil Ibu mereka yang menjanda. Ibu mereka sudah berusia lima puluh tahun, tampak tua sekali dan ia tergopoh memasuki rumah dari belakang ketika mendengar suara, anak-anaknya.
"Eh, kenapa kalian tidak ke ladang dan hei, siapakah ia?"
"Ibu, nona ini datang untuk minta sedikit makan dan minum, ia lapar dan ingin membeli makanan dan minuman, akan tetapi tidak ada." kata yang pesek.
"Ibu, keluarkan semua yang ada untuk nona ini." kata yang bertahi lalat.
"Maafkan kalau aku mengganggu," kata wanita itu, "aku hanya ingin sarapan karena lapar, dan nanti kubayar harganya, berapapun kalian minta."
"Aih, tidak usah, nona..." kata Ibu itu yang tentu saja bersikap hormat melihat seorang wanita kota. Ia lalu sibuk di dapur dan tak lama kemudian ia sudah menghidangkan nasi putih dengan lauknya sayuran dan ikan asin. Juga semangkok teh hangat.
Melihat hidangan yang sederhana itu, sang tamu nampak girang. Perut yang lapar hanya menuntut makanan, tidak memilih lagi dan tanpa sungkan iapun segera makan dan minum sampai kenyang. Ketika ibu itu menyingkirkan mangkok piring, wanita itu menghapus bibirnya dengan saputangan dan memandang kepada dua orang pemuda yang masih duduk menghadapinya dan tadi dengan ramahnya menemaninya makan. Ia melihat betapa pandang mata dua orang pemuda itu berbeda dari tadi.
Kalau tadi ketika bertemu di jalan dan mengajaknya ke rumah mereka, dua orang pemuda itu ramah dan sopan, kini pandang mata mereka membuat alisnya berkerut. Ia sudah hafal akan pandang mata pria seperti ini, pandang mata penuh gairah yang membuatnya marah dan tidak senang. Akan tetapi mengingat bahwa baru saja ia terhindar dari rasa lapar karena keramahan dan suguhan mereka, ia menahan diri, hal yang jarang sekali ia lakukan, dan dengan acuh ia bertanya kepada mereka.
"Wah, aku sudah makan dan minum cukup kenyang, sobat. Sekarang katakan berapa yang harus kubayar kepada kalian untuk harga makanan dan minuman ini."
Doa orang pemuda itu saling lirik dan menyeringai, kemudian yang berhidung pesek mengangkat muka, memberanikan diri dan dengan cengar cengir dia menjawab, "Aih, nona yang manis, makanan dan minuman itu tidak kami jual. Kami tidak minta uang, hanya minta...“
Makin dalam kerut di antara alis mata yang hitam kecil dan panjang melengkung itu. "Minta apa?”
Dua orang pemuda itu kembali saling pandang dan tertawa kecil, kemudian yang bertahi lalat melanjutkan ucapan saudaranya yang terputus tadi, "kami hanya minta engkau bersikap manis kepada kami."
Dan seperti dikomando saja, dua orang pemuda itu bangkit berdiri dan menghampiri wanita itu dari kanan kiri, kemudian keduanya merangkul dan mendekatkan muka hendak menciuminya!
Wanita itu masih duduk dan melihat niat dua orang pemuda itu, tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak menampar ke kanan kiri dengan punggung tangannya.
"Plak! Plakk!"
Kelihatan perlahan saja kedua tangan itu menampar, akan tetapi akibatnya sungguh hebat. Dua orang pemuda itu terpelanting dan roboh pingsan dengan sebelah muka hancur seperti kena ditampar dengan senjata baja yang amat kuat. Kulit sebelah muka mereka itu seperti terkupas, telinga remuk dan mata membengkak. Mereka hanya sempat memekik pendek terus roboh pingsan.
Mendengar pekik ini, ibu kedua orang pemuda itu berlari masuk dari belakang dan ia menjerit-jerit ketika melihat kedua orang anaknya roboh dengan muka mandi darah. Wanita cantik itu bangkit berdiri, memandang dengan senyum dingin dan berkata,
"Mengingat ibunya, aku mengampuni mereka dan tidak akan membunuh meraka." Setelah berkata demikian, dengan langkah gontai ia keluar dari rumah itu.
Ibu kedua orang anak itu mengejarnya kasar dan masih menjerit-jerit. "Tolooonggg... perempuan ini membunuh kedua orang anakku...!”
Wanita cantik itu tidak berhenti atau menengok. Ia tahu bahwa Ibu itu mengira kalau anaknya yang pingsan itu tewas. Akan tetapi pada saat itu, teriakan si Ibu yang berulang-ulang membuat para tetangga berlarian ke tempat itu dan terpaksa si wanita cantik menghentikan langkahnya karena terhalang, bahkan terkepung.
"Tangkap perempuan ini! Ia membunuh dua orang anakku setelah kami menyuguhkan makan dan minum kepadanya. Ia jahat, ia siluman betina!” ibu itu berteriak-teriak sambil menudingkan telunjuknya ke arah si perempuan cantik yang masih tersenyum-senyum saja.
Melihat belasan orang laki-laki maju dengan sikap marah, wanita itu menyapu mereka dengan pandang matanya yang jeli dan tajam. "Aku menghajar mereka. Dan, kalian mau apa! Minta sekalian dihajar?”
Tentu saja ucapan ini membuat semua orang menjadi marah. Perempuan ini memang cantik, akan tetapi jahat bukan main, "Tangkap perempuan ini!” teriak seorang laki-laki setengah tua.
"Seret ia dan hadapkan kepala dusun!”
“Pembunuh ini harus dihukum!" Dua belas orang mengepung dan menggerakkan tangan hendak menangkap wanita itu.
Ia tersenyum dan mendengus, "Kalian memang menjemukan!" dan sebelum ada tangan yang dapat menyentuhnya, wanita itu bergerak, tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri dan terdengarlah guara orang-orang itu mengaduh kesakitan dan dua belas orang itupun roboh satu demi satu.
Semua orang terbelalak melihat dua belas orang itu merintih-rintih dengan tulang patah atau muka matang biru. Padahal, wanita itu hanya nampak berkelebatan dan menggerakkan kedua tangannya secara lembut saja. Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan muncul dua orang pria yang pakaiannya gagah seperti yang biasa dipakai oleh para pendekar. Dengan pakaian ringkas, pedang tergantung di punggung, dua orang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh lima tahun ini sudah melompat ke depan wanita cantik itu.
"Dari mana datangnya perempuan jahat, iblis betina yang kejam?” bentak seorang di antara mereka yang rambutnya sudah banyak dihias uban.
Wanita itu mengangkat muka, memandang kepada dua orang itu dengan senyum dingin mengejek. Sejenak ia mempelajari keadaan mereka. Memang ada keanehan pada dua orang yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun itu. Keduanya membawa pedang di punggung, dan kalau yang seorang rambut kepalanya sudah banyak putihnya, yang ke dua biar rambutnya masih hitam, akan tetapi jenggot dan kumisnya semua sudah putih!
"Hemm, kiranya Pek-mau Siang-kaw (Sepasang Anjing Rambut Putih) yang muncul! Kalian mau apa?" tanya wanita itu dengan suara lembut.
Dua orang gagah itu saling pandang, membelalakkan mata dan muka mereka berubah merah sekali. Mereka adalah sepasang pendekar yang terkenal di wilayah Hwa-san, terkenal dengan julukan Pek-mau Siang-houw (Sepasang Harimau Rambut Putih) karena mereka memiliki kelainan pada rambut dan jenggot kumis mereka. Akan tetapi wanita cantik ini sengaja mengubah julukan mereka Siang-houw (Sepasang Harimau) menjadi Siang-Kaw (Sepasang Anjing)! Sungguh penghinaan yang berupa ejekan merendahkan.
"Siluman betina, siapakah engkau yang berani bermain gila dan bersikap kurang ajar terhadap Pek-mau Siang-houw?" bentak yang kumisnya putih.
Kini sepasang mata itu mencorong marah dan senyumnya berubah menjadi dingin mengejek. "Anjing-anjing seperti kalian tidak pantas mengenal namaku. Pergilah sebelum engkau tidak hanya menjadi sepasang anjing, melainkan menjadi sepasang bangkai anjing!"
Sungguh hebat penghinaan ini, amat memandang rendah dan makian itu dilakukan di depan banyak orang pula! Pek-mau Siang Houw adalah dua orang bersaudara yang selalu menentang kejahatan sehingga mereka telah membuat nama besar. Kebetulan sekali pada pagi hari itu mereka lewat di situ dan mendengar ribut-ribut. Melihat bahwa yang mengacau di dusun itu hanya seorang wanita cantik setengah tua, mereka masih bersikap sabar dan lembut. Siapa kira wanita itu malah menghinanya.
"Singgg...!” Keduanya mencabut pedang dari punggung dan nampak sinar berkilat saking tajamnya pedang mereka, berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.
Wanita itu sama sekali tidak kelihatan gentar, bahkan mengeluarkan saputangan merahnya dan menghapus keringat dari leher dan mukanya, nampak kesal melihat lagak kedua orang pendekar itu.
"Siluman betina! Keluarkan senjatamu dan hadapi pedang kami!” bentak dua orang pendekar itu.
Mereka melihat betapa wanita itu telah merobohkan dua belas orang dengan mudah, maka merekapun dapat menduga bahwa tentu wanita ini lihai, maka mereka tidak ragu dan sungkan untuk maju bersama, akan tetapi tetap saja mereka tidak suka menyerang lawan seorang wanita yang bertangan kosong dengan pedang mereka.
“Huh, pedang mainan kanak-kanak itu kau pergunakan untuk menakut-nakuti aku? Majulah, agaknya kalian memang sudah bosan hidup!" bentak wanita itu, mengebut-ngebutkan saputangannya di depan leher untuk mengusir panasnya matahari pagi yang makin meninggi.
"Siluman, engkau patut dibasmi dari muka bumi!" bentak kedua orang pendekar itu dan merekapun menyerang dengan pedang mereka dari kanan kiri.
"Wuuuttt, sing-sing...!”
Nampak sinar pedang bergulung-gulung ketika sepasang pedang itu menyambar. Namun, yang diserangnya lenyap dan berkelebat di antara sambaran sinar pedang! Dua orang pendekar itu membalik dan mereka menghujankan serangan kilat ke arah wanita itu. Namun, sungguh hebat gerakan wanita itu. Lembut seperti orang menari saja, namun langkahnya ringan dan seperi bayangan yang tak pernah dapat disentuh sinar pedang!
Sampai belasan jurus, dua orang pendekar itu menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga mereka dan memainkan jurus-jurus pilihan yang paling ampuh, namun wanita itu tetap saja tidak dapat disentuh pedang mereka. Kemudian, wanita itu menggerakkan saputangan suteranya yang panjangnya hanya tiga jengkal, saputangan sutera yang lembut dan ringan. Akan tetapi, begitu sapu tangan itu menyambar sebatang pedang, ujungnya melibat dan sekali wanita itu menggerakkan tangannya, pedang yang di libat saputangan itu patah! Melihat pedang saudaranya patah, si rambut putih menusukkan pedangnya ke arah lambung wanita itu dari arah kiri.
"Cappp...!”
Pedang itu menancap sampai setengahnya dan semua orang ternganga, mengira bahwa wanita itu tentu akan tewas. Akan tetapi, tiba-tiba si rambut putih memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat karena dia melihat bahwa pedang itu bukan menembus lambung melainkan dijepit di bawah ketiak wanita itu. Sebelum dia mampu menghindarkan diri, kaki wanita itu menendang bawah pusarnya.
"Kekkk..!"
Tubuh si rambut putih terjengkang, pedangnya terlepas dan diapun roboh terbanting dan tewas seketika karena tubuhnya di bawah pusar, bagian kelamin, telah hancur oleh ujung sepatu wanita itu. Si kumis putih terkejut, akan tetapi pada saat itu, wanita tadi melemparkan pedang yang dijepit dengan lengannya ke arah si kumis putih. Pedang itu meluncur seperti anak panah, tak dapat dielakkan atau ditangkis lagi oleh si kumis putih dan pedang itu memasuki dadanya sampai tembus ke punggung. Si kumis putih roboh dan tewas di dekat mayat saudaranya.
Wanita itu tertawa, suara kerawa yang merdu dan halus, lalu ia pergi dari situ sambil mengebut-ngebutkan saputangan suteranya untuk mengusir keringat, dan tangan kirinya menyapu-nyapu baju yang terkena debu. Semua penghuni dusun memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Tak seorang pun berani menghalangi wanita itu atau mengejarnya. Andaikata ada yang mengejar pun tidak akan berhasil menyusul wanita itu yang kini berkelebatan dengan ilmu lari cepat, mendaki bukit di depan dengan kecepatan seperti larinya seekor kijang.
Siapakah wanita yang demikian lihainya dan juga amat kejamnya itu. Kalau saja dua orang pendekar itu, Pek-mau Siang-houw, mengetahui dengan siapa mereka berhadapan, belum tentu mereka berani bersikap seperti itu di depan wanita cantik itu. Ia sungguh bukan wanita biasa, bahkan bukan wanita kang-ouw biasa. Ia adalah seorang datuk besar yang namanya ditakuti semua orang, bahkan para pendekar juga harus berpikir masak-masak untuk menentang datuk yang luar biasa lihai dan kejamnya ini.
Kekejamannya itu hanya ditujukan kepada para pria! Ia seorang pembenci laki-laki! Tidak ada lagi orang yang mengenal nama aselinya, hanya mengenalnya dengan julukan Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im). Sungguh julukan yang sama sekali berlawanan dengan wataknya, karena julukan ini memang ia sendiri yang memilihnya. Ia menyamakan dirinya dengan Kwan Im Pouw-sat. Dewi Belas Kasih yang dipuja orang karena ia merasa bahwa selama ini belum pernah ia berhubungan dengan pria, ia masih perawan walau usianya sudah hampir lima puluh tahun.
Dan memang penampilannya seperti seorang dewi, cantik jelita, sederhana, lemah lembut dan sedikitpun tidak menunjukkan bahwa ia seorang ahli silat. Apa lagi seorang yang dapat membunuh banyak orang tanpa berkedip. Pagi hari itu saja, ia telah melukai parah dua orang pemuda yang memberinya hidangan, kemudian melukai dua belas orang dusun, bahkan membunuh dua orang pendekar yang menentangnya. Tidak ada yang tahu bahwa watak kejamnya terhadap pria ini muncul ketika ia menderita patah hati karena cintanya gagal. Pria yang dicintanya tidak membalas cintanya dan sejak itu ia membenci pria yang dianggapnya palsu dan hanya mendatangkan duka saja bagi wanita!
Cepat sekali wanita itu mendaki bukit Hwat-san, biarpun pendakian itu amat sukar, namun ternyata wanita cantik itu dapat mencapai puncak dalam waktu tingkat. Tebing-tebing yang licin dan keras ia panjat dengan mudah, jurang yang amat curam dan lebar dapat ia lompati. Ketika tiba di puncak yang landai dan penuh bunga, Kwan Im sianli tertegun dan sejenak ia berdiri terpesona, memandang ke sekeliling dan berputar pada ujung kakinya.
"Aihhhh, betapa indahnya...!” Ia menghirup napas panjang, memasukkan udara sejuk segar itu sebanyaknya ke dalam paru-parunya, ia merasa nyaman sekali. Kalau orang melihatnya pada saat itu, tentu akan mengakui bahwa julukan wanita itu memang tepat. Berdiri di puncak bukit, di antara bunga-bunga yang sedang mekar, pantaslah ia menjadi seorang dewi!
"Pantas kalau tempat seindah ini menjadi tempat tinggal Si Buta yang menjengkelkan hati itu...“ katanya lirih dan di dalam suaranya terkandung penyesalan, kekecewaan dan penasaran.
"Bwe Si Ni... engkaukah yang datang itu...?"
Tiba-tiba terdengar suara lembut, dan Kwan Im Sianli cepat meloncat ke arah datangnya suara. Dan di sana, di atas batu datar yang lebar, duduklah pria itu! Pria yang dicari-carinya selama ini.
"Pangeran...!” serunya sambil menghampiri dan sekali ini dalam suaranya terdengar kelembutan yang luar biasa, suara yang mengandung kasih sayang dan kerinduan. Pancaran matanya juga lembut dan sayu, dan mulutnya tersenyum pahit, menggetar penuh harap.
Pria itu, Tiauw Sun Ong, tertawa dan ketika dia tertawa, wajahnya nampak lebih muda. "Ha-ha-ha, Si Ni, apakah engkau tidak pernah tua? Engkau masih seperti dulu saja. Engkau tahu, aku bukan lagi seorang pangeran, melainkan seorang jembel. Bahkan sekarang Kerajaan Liu-sung juga sudah jatuh, keluargaku sudah terbasmi. Aku orang buangan, jangan sebut pangeran lagi."
Dia lalu menggerakkan tangan mempersilakan. "Duduklah, Si Ni. Sudah bertahun-tahun kita tidak saling jumpa. Bagaimana kabarnya dengan dirimu?"
Kwan Im Sianli duduk pula di atas batu yang lebar itu, berhadapan dengan Tiauw Sun Ong. Sejenak mereka berdiam diri dan wanita itu memandang dengan sinar mata penuh kasih dan keharuan. Sementara itu, Tiauw Sun Ong hanya menunduk, diam-diam dia terkejut ketika tadi mengenal suara wanita ini, seorang di antara wanita yang tak pernah dapat dia lupakan. Teringat olehnya betapa dahulu, ketika dia masih menjadi pangeran, di antara para gadis yang mengejar dan merindukannya terdapat seorang dayang istana yang cantik bernama Bwe Si Ni. Tanpa main-main Bwe Si Ni menyatakan cintanya, rela mengorbankan nyawa sekalipun untuknya asal cintanya diterima.
Karena merasa kasihan kepada gadis cantik manja yang begitu pasrah, Tiauw Sun Ong merasa tidak tega untuk menolak begitu saja. Dia bersikap ramah dan manja walaupun belum menyatakan bahwa dia membalas cinta kasih gadis dayang istana itu. Apalagi ketika itu dia sudah mempunyai seorang pacar, yaitu seorang gadis bangsawan puteri keluarga Kwan. Memang Tiauw Sun Ong mempunyai kelemahan terhadap wanita. Dia tidak tega menolak untuk bersikap manis terhadap wanita yang jatuh cinta kepadanya!
Akan tetapi, dalam taman, dia bertemu selir kaisar, Pouw Cu Lan dan dia begitu tergila-gila sehingga terjadilah hubungan antara-mereka. Melihat ini, Bwe Si Ni menjadi cemburu dan marah, bahkan sakit hati. Ialah seorang di antara mereka yang melapor kepada kaisar sehingga hubungan antara selir dan adik kaisar itu tertangkap basah. Ketika Tiauw Sun Ong membutakan matanya dan meninggalkan istana, Bwe Si Ni, gadis dayang itupun minggat dari Istana!
Belasan tahun kemudian setelah Tiauw sun Ong menjadi perantau buta dan mendapatkan ilmu, manjadi orang sakti, pada suatu hari muncul Bwe Si Ni di depannya! Akan tetapi bukan Bwe Si Ni gadis dayang yang dahulu, yang lemah lembut dan hangat, yang mati-matian mencintanya, melainkan Bwe Si Ni yang sudah berubah menjadi seorang iblis betina, seorang yang memiliki Ilmu kepandaian yang tinggi dan dahsyat. Dan Bwe Si Ni yang ketika itu sudah berusia tiga puluh lima tahun, menuntut agar dia suka hidup bersamanya menjadi suami isteri.
Biarpun dia telah menjadi seorang buta yang hidup terlunta-lunta ternyata cinta kasih Bwe Si Ni tidak pernah berkurang! Namun, bekas pangeran itu menolak dan hal ini membuat Bwe Si Ni menjadi kecewa dan berduka sekali. Ia menangis dan memohon, mengatakan bahwa ia tidak pernah mau berdekatan dengan pria lain karena ia sudah bersumpah untuk hidup menjadi isteri Tiauw Sun Ong. Ketika bekas pangeran itu tetap menolak, ia menjadi penasaran dan marah. Dengan tegas ia mengatakan, bahwa kalau Tiauw Sun Ong menolak, ia akan membunuhnya kemudian membunuh diri sendiri. Ingin mati bersama!
Tiauw Sun Ong tetap menolak dan Bwe Si Ni menyerang. Terjadi perkelahian yang hebat. Akan tetapi, ternyata tingkat kepandaian Bwe Si Ni masih belum mampu menandingi Tiauw Sun Ong walaupun bekas pangeran yang buta ini mengalah dan selalu mengelak dan menangkis saja. Akhirnya, dengan hati kecewa, duka, penasaran dan makin mendendam, Bwe Si Ni pergi dan ia memperdalam Ilmunya sehingga akhirnya ia terkenal sebagai seorang wanita sakti yang berjuluk Kwan Im Sianli. Akan tetapi, kegagalan cintanya dengan bekas pacarnya itu membuat hatinya menjadi pahit getir dan pembenci pria. Kalau ada pria bersalah sedikit saja kepadanya, apalagi bersikap kurang ajar. ia dengan kejam akan membunuhnya atau setidaknya membikin cacat!
Dan kini, dalam usia hampir lima paluh tahun, setelah bertahun-tahun mencari, akhirnya ia dapat berhadapan dengan Tiauw Sun Ong lagi! Tentu saja ada ketegangan di hati Tiauw Sun Ong yang maklum akan isi hati bekas dayang ini, akan tetapi ia tetap tenang dan menahan diri sehingga suaranya tidak membayangkan perasaan hatinya.
Sementara itu, begitu berjumpa dengan bekas pangeran itu, hati bekas dayang itu seperti terbakar kembali api cintanya. Biarpun pria yang menjadi idaman hatinya itu kini sudah hampir enampuluh tahun usianya, namun dalam pandangannya, tidak ada pria lain di dunia ini yang lebih disayangnya dari pada si buta ini. Bagaikan awan disapu angin, dendamnya untuk membunuh pria yang dikasihinya itu lenyap, terganti perasaan rindu yang menyesakkan dadanya. Selama ini ia membenci pria. tidak sudi didekati pria manapun juga karena seluruh hatinya telah terisi oleh pangeran ini.
Selama belasan tahun ini, sejak kegagalannya membujuk kekasihnya untuk hidup bersama atau mati bersama, Bwe Si Ni telah memperdalam ilmu-ilmunya sehingga ia menjadi datuk besar dunia kang-ouw yang ditakuti orang. Akan tatapi, begitu bertemu, semua dendamnya, mengabur dan kembali timbul kerinduannya kepada pria ini.
"Pangeran, aku datang untuk mengajakmu hidup bersama. Ketahuilah, pangeran, aku tetap setia kepadamu dan sampai kini aku tetap menjaga diriku sebagai calon milikmu, tidak membiarkan diriku disentuh pria manapun juga. Pangeran, aku tetap mengharapkan untuk menghabiskan sisa hidup kita yang tidak berapa lama lagi ini sebagai suami isteri..."
"Si Ni..."
"Pangeran, kasihanilah aku, bayangkan betapa selama puluhan tahun aku menunggu saat ini, penuh penderitaan, penuh harapan dan kerinduan. Tegakah engkau mengecewakan harapanku yang terakhir ini? Pangeran, aku rela meninggalkan segalanya, dan hidup di sini, di sisimu, sampai hayat meninggalkan badan...“ Wanita itu meratap dengan suara yang bercampur tangis.
Sampai lama Tiauw Sun Ong tidak mampu menjawab. Diam-diam dia mengeluh. Tak disangkanya sama sekali bahwa kedamaian yang dinikmatinya itu kini dapat terganggu dan terguncang sedemikian hebatnya! Kemudian, setelah menarik napas panjang beberapa kali, diapun berkata dengan suara yang tenang namun tegas.
“Bwe Si Ni, dengarlah baik-baik. Aku sekarang tidak mempunyai apa-apa lagi, maka yang bersisa hanya tinggal kejujuran. Kalau aku tidak jujur, berarti aku kehilangan segala-galanya. Dan kejujuran kadang kala menyakitkan perasaan, Si Ni. Maka, dengarlah baik-baik, pertimbangkan baik-baik dan jangan terburu nafsu, karena aku akan membuat pengakuan secara sejujurnya."
Wanita itu menghapus sisa air matanya dan iapun duduk bersila dengan tegak di depan pria itu, di atas batu datar. "Bicaralah, pangeran."
"Si Ni, menghadapi urusan kita ini, aku hanya mempunyai dua pilihan. Yaitu, menjadi seorang yang jujur akan tetapi dianggap kejam, atau menjadi seorang yang palsu akan tetapi dianggap baik. Dan setelah kupertimbangkan, aku memilih menjadi orang pertama. Yaitu jujur biarpun engkau akan menganggap aku kejam dan jahat. Kalau aku menuruti perasaan hatiku yang penuh iba kepadamu, tentu aku akan menerima permintaanmu, hidup sebagai suami isteri denganmu di sini sampai kita mati tua. Akan tetapi, itu berarti aku palsu biarpun kau anggap baik, karena terus-terang saja, Si Ni, sejak mataku buta, hatiku tidak buta lagi dan aku tidak mau mengikat diri dalam perjodohan dengan siapapun juga. Aku akan berterus terang bahwa tidak ada lagi cinta berahi di dalam hatiku terhadap seorang wanita. Kau tentu tidak ingin kubohongi, bukan! Nah, tinggalkan aku dalam damai. Si Ni, dan aku tahu bahwa kalau engkau mau, engkau akan dapat menemukan seorang suami yang jauh lebih baik dari pada aku yang tua dan buta ini."
"Pangeran Tiauw Sun Ong!” Tiba-tiba wanita itu membentak marah, "Sudah tiga puluh tahun aku menanti dangan sabar, dengan setia, dan engkau tetap menolakku? Aku bisa membikin orang yang paling kau cinta menderita, aku bahkan dapat membunuhnya!”
"Sudahlah, Si Ni, kita berpisah dengan baik-baik saja. Engkau tidak perlu membujuk dan mengancam, aku sudah bicara dan tidak akan mengubah sikapku."
"Keparat! Kalau aka tidak dapat hidup bersamamu, aku bersumpah untuk mati bersamamu!”
“Sin Ni...!” Akan tetapi teriakan Tiauw Sun Ong ini tidak ada gunanya karena wanita itu sudah meloncat sambil menghunus pedang yang tersembunyi dibalik jubahbya, ia sudah menyerang bagaikan kilat menyambar cepatnya! Pedang itu menusuk Tiauw Sun Ong!
"Trranggg ...!” Tongkat itu seperti otomatis bergerak dan berhasil menangkis pedang.
Kwan Im Sianli Bwe Si Ni merasa betapa tangannya tergetar, maka iapun meloncat turun dari atas batu. "Bagus! Engkau masih lihai, pangeran. Mari kita membuat perhitungan terakhir. Engkau dulu atau aku dulu yang mati!”
"Si Ni, janganlah..." akan tetapi bujukan ini dijawab dengan serangan begitu Tiauw Sun Ong turun dari atas batu. Si buta yang memiliki pendengaran amat tajam dan peka itu melompat dan menghindarkan diri dari serangan pedang. Wanita itu mengejar dan menyerang terus, dan pangeran itu kagum. Serangan-serangan Bwe Si Ni bukan main dahyatnya.
Sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan lima belas tahun yang lalu! Serangan itu didukung tenaga sin-kang yang kuat sekali, dan selain gerakannya kuat, juga cepat dan amat berbebaya. Untuk melindungi dirinya, dari ancaman bahaya maut, bekas pangeran itu didukung tenaga sinkang yang kuat sekali dan selain gerakannya kuat, juga cepat dan amat berbahaya. Untuk melindungi dirinya dari ancaman maut bekas pangeran itu sudah memutar tongkatnya dengan pengerahan sin-kang sehingga potongan kayu itu membentuk sebuah sinar bergulung-gulung seperti payung yang menjadi perisai dirinya.
Sebetulnya, Tiauw Sun Ong juga tidak takut mati atau begitu ingin untuk hidup terus dalam keadaan yang tak dapat dikata bahagia secara lahiriah. Akan tetapi, dia tidak mau bunuh diri, juga dia tidak ingin kalau wanita itu sampai menjadi pembunuhnya hanya karena ingin hidup atau mati bersama! Dia tidak ingin menjadi sebab kedosaan Bwe Si Ni setelah dia tidak mampu membahagiakan wanita itu.
Sementara itu. Kwan Im Sianli juga terkejut bukan main di samping kekagumannya. Ia telah maju pesat dalam ilmu silat, bahkan ditakuti dunia kang-ouw, dianggap sebagai seorang datuk persilatan yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, kini kembali ia tahu bahwa untuk membunuh pria yang dikasihinya ini jelas bukan perkara mudah. Bahkan untuk mengalahkannya saja belum tentu ia mampu! Ilmu tongkat yang dimainkan orang buta itu selain aneh, juga sukar ditembus pedangnya, bahkan setiap kali pedangnya bertemu tongkat, tangannya terasa panas dan nyeri!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa seorang wanita. Suara tawa yang amat aneh, makin lama semakin nyaring dan amat mengejutkan hati Kwan Im Sianli dan juga Tiauw Sun Ong karena tanpa dapat mereka tahan lagi. Kwan Im Sianli ikut pula tertawa bergelak dan biarpun dia sudah menahannya, tetap saja bekas pangeran itupun tertawa di luar kehendaknya. Tentu saja keduanya terkejut dan otomatis meloncat ke belakang.
Kwan Im Sianli menoleh ke arah wanita yang tertawa itu, sedangkan bekas pangeran itu memperhatikan dengan pendengarannya yang tajam. Setelah, kini tidak perlu lagi mengerahkan sin-kang untuk menandingi Tiauw Sun Ong, Kwan Im Sianli berhasil memusatkan sin-kangnya dan menghentikan tawanya yang tak dapat dikendalikannya tadi itu. Dan ia melihat seorang wanita yang satu dua tahun lebih tua darinya, akan tetapi yang juga kelihatan masih muda sekali, bersama seorang wanita muda berusia, dnapuluh tahun lebih. Dan iapun segera mengenal wanita itu dan mukanya berubah merah karena marah!
“Setan perempuan, kiranya engkau yang menggangguku?" bentak Kwan Im Sianli dengan marah. "Engkau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!”
Wanita yang baru datang itu tidak kalah cantiknya dibandingkan Bwe Si Ni dan ia tertawa lagi, lalu berkata kepada wanita muda yang ikut datang bersamanya. "Hi-hi-hi hik... Ling Ay, kau lihat baik-baik. Inilah wanita yang pernah kuceritakan kepadamu. Kwan Im Sianli Bwe Si Ni. Engkau berhati-hatilah kalau bertemu dengan orang ini!"
Wanita muda itu memang Ling Ay adanya, Cia Ling Ay, janda muda dari Nan-ping yang ditolong oleh Bi Moli Kwan Hwe Li dan kemudian menjadi murid wanita cantik yang menjadi datuk besar persilatan itu. Sudah tiga tahun lamanya Cia Ling Ay ikut gurunya, setiap hari digembleng Ilmu silat dan sihir sehingga kini ia bukanlah Ling Ay tiga tahun yang lalu. Dan selain gurunya memiliki cara mengajar yang istimewa, juga Ling Ay ternyata memiliki bakat terpendam yang besar sekali sehingga mudah baginya menguasai Ilmu-Ilmu yang aneh dan dahsyat. Kini ia mengikuti gurunya mandaki puncak Hwa-san dan mereka melihat betapa Kwan Im Sianli bertanding atau lebih tepat lagi mendesak dan menyerang seorang laki-laki buta yang lihai sekali.
"Bi Moli, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Jangan angkau mencampuri urusan pribadi kami dan pergilah, biarkan aku menyelesaikan urusanku dengan Pangeran Tiauw Sun Ong!” kata pula Kwan Im Sianli yang maklum bahwa sebagai sama-sama datuk besar, tingkat kepandaian mereka berimbang dan kalau wanita itu membantu Tiauw Sun Ong, ia sungguh tidak berdaya. Baru menghadapi Tiauw Son Ong seorang saja tadi ia sudah sukar untuk dapat mengalahkannya.
"Hemm!. Bwe Si Ni! Dahulu ketika kita masih muda, aku telah menjadi seorang puteri bangsawan dan engkau hanya seorang dayang. Engkau menyembah-nyembah kepadaku. Sekarang, setelah engkau memiliki sedikit kepandaian dan berjuluk Kwan Im Sianli, apa kau kira engkau ini benar-benar seorang dewi dan menganggap semua wanita lain sebagai setan perempuan? Engkaulah yang iblis betina, perempuan tak tahu malu! Engkau tentu masih ingat bahwa akulah dahulu pacar dan tunangan kakanda Tiauw San Ong! Kalau tidak terjadi peristiwa dengan selir kaisar itu, tentu aku yang menjadi isterinya! Engkau dayang tak tahu malu, mendesak-desaknya, bahkan sampai sekarang, setelah kanda Tiauw Sun Ong menjadi buta dan mengasingkan diri, engkau masih berani mengganggunya!"
Wajah Bwe Si Ni menjadi pucat, lalu merah kembali. Biarpun ucapan itu dirasakan amat menghinanya, namun ia tidak mungkin dapat membantah. Memang, puluhan tahun yang lalu ketika ia masih menjadi seorang dayang istana, Kwan Hwe Li adalah pacar dan tunangan Pangeran Tiauw Sun Ong. Bahkan pangeran itu menolak cintanya karena telah mempunyai pacar wanita itu, puteri seorang bangsawan tinggi she Kwan. Hubungan antara Kwan Hwe Li dan Tiauw Sun Ong juga putus setelah Tiauw Sun Ong membutakan matanya dan meninggalkan istana dan kota raja.
"Kwan Hwe Li, tidak perlu engkau menyombongkan diri. Mungkin saja dahulu engkau puteri bangsawan, akan tetapi sekarang tidak lagi! Bahkan Kerajaan Liu-sung telah hancur. Engkau hanya bekas puteri bangsawan. Dan tentang Pangeran Tiauw Sun Ong, biarpun engkau mengaku pacar dan tunangan, akan tetapi siapa tidak tahu bahwa engkaulah yang dahulu mencelakainya dan melaporkan hubungannya dengan selir Pouw Cu Lan kepada kaisar sehingga mereka tertangkap basah?"
"Bwe Si Ni, tak tahu malu engkau! Memang aku melaporkan karena hal itu kuanggap tidak benar. Dan aku berhak karena aku merasa cinta kami dilanggar. Akan tetapi engkau, hanya seorang dayang, engkaupun berani ikut pula melapor kepada kaisar!"
"Hemm, jadi kita ini sama, saja? Lalu mau apa engkau datang ke sini kalau tidak ingin merayu Pangeran Tiauw Sun Ong?" Kwan Im Sianli mengejek.
"Aku bukan perempuan hina macam kamu! Aku sudah merasa sebagai seorang wanita tua yang tidak haus lagi akan kemesraan pria. Aku datang karena mengingat akan persahabatan antara aku dan kanda Tiauw Sun Ong, dan hanya akan menjenguknya tanpa ingin mengganggunya. Akan tetapi aku melihat engkau mati-matian menyerangnya untuk membunuhnya. Kanda Tiauw Sun Ong bisa saja mengalah kepadamu, akan tetapi aku tidak! Kalau engkau melanjutkan niat busukmu, aku akan membantunya membunuhmu atau mengusirmu!”
Tiauw Sun Ong yang sejak tadi diam saja, menghela napas panjang dan berkata, "Sudah, dinda Kwan Hwe Li. Bagaimanapun juga, Bwe Si Ni tidak berniat jahat, hanya menuruti gelora perasaannya. Ingin mengajak aku hidup bersama atau mati bersama."
Kwan Im Sianli mambanting kakinya dengan gemas, lalu menudingkan pedangnya ke arah muka Tiauw Sun Ong. "Pangeran, ilmu kepandaianku masih terlampau rendah untuk dapat mengalahkanmu. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku tidak akan mampu menyiksa batinmu tanpa menyentuh tubuhmu!” Setelah berkata demikian, Kwan Im Sianli Bwe Si Ni melompat dan meninggalkan tempat itu dengan cepat sekali.
"Seorang wanita yang keras hati..." kata Tiauw Sun Ong, nada suaranya menyesal karena kembali dia telah membikin hati seorang wanita menderita. "Entah apa yang dimaksudkan dengan kalimatnya yang terakhir itu.”
"Pangeran, ancamannya tadi bukan kosong belaka. Ia tidak dapat mengalahkanmu, akan tetapi ia dapat mengganggu atau bahkan membunuh Pouw Cu Lan dan anaknya... anakmu, pangeran!”
Belum pernah bekas pangeran itu terkejut seperti ketika dia mendengar kata terakhir itu. "Hwe Li! Apa maksudmu? Anakku...??"
Pria buta itu sudah bangkit berdiri, mukanya menjadi agak pucat dan jelas bahwa dia nampak gelisah dan terkejut sekali.
"Kanda Tiauw Sun Ong, mari kita duduk, dan dengarkan keteranganku." kata Bi Moli Kwan Hwe Li.
Wanita ini masih cantik sekali, sehingga sesuai dengan julukannya, yaitu Bi Moli (Iblis Betina Cantik). Setelah mereka duduk di atas batu dan Ling Ay juga duduk di belakang subonya (ibu gurunya). Bi Moli! melanjutkan.
"Sebetulnya, ketika mengetahui bahwa pangeran berada di sini, aku hanya datang menjenguk saja tanpa maksud lain. Akan tetapi, kiranya iblis betina berkedok dewi itu juga berada di sini bahkan sedang berusaha untuk membunuhmu..."
"Sudahlah, Hwa Li. Katakan saja apa maksudmu dengan anakku tadi." Pangeran itu memotong dengan tidak sabar. Dia tidak dapat terlalu menyalahkan sikap Bwe Si Ni, akan tetapi dia juga tidak mau berbantah dengan Hwe Li tentang wanita yang lain itu.
"Pangeran, ketika pangeran meninggalkan Istana. Pauw Cu Lan menerima hukuman berat dari Kaisar, Ia dihukum buang. Akan tetapi ketika hukuman dilaksanakan, di dalam perjalanan ia dirampas oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek dan dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi, ketika itu ia sudah mengandung, pangeran, mengandung anakmu. Nah, sekarang agaknya Kwan Im sianli Bwe Si Ni hendak mencari ibu dan anak itu dan akan membunuh mereka."
Bi Moli Kwan Hwe Li memandang dengan sinar mata berkilat, lalu bangkit dan berkata kepada muridnya. "Ling Ay mari kita pergi!” Dan iapun tanpa banyak cakap lagi sudah meninggalkan tempat itu dengan cepat, diiringi muridnya.
Tiauw Sun Ong masih duduk bersila seperti arca, mukanya pucat sekali. Dia tahu bahwa guru dan murid itu meninggalkannya, akan tetapi dia tidak berusaha mencegah mereka. Keterangan Kwan Hwe Li tadi sudah cukup baginya. Lebih dari pada cukup untuk menikam jantungnya. Dia maklum bahwa tidak banyak bedanya antara Kwan Hwe Li dan Bwe Si Ni. Kedua wanita mencintanya dan kecewa karena cinta mereka dia tolak. Keduanya mendendam kepadanya karena patah hati dan cemburu.
Dan tidak ada musuh yang lebih berbahaya dari pada seorang wanita yang dilanda cemburu. Wanita yang cemburu dapat melakukan kekejaman yang melebihi pembunuhan. Akan tetapi, diapun tahu bahwa orang separti Kwan Hwe Li dan Bwe Si Ni tidak akan berbohong. Mereka-berdua telah menjadi datuk besar dalam dunia persilatan. Dia mempunyai seorang anak! Dia tidak perlu tahu pria atau wanita anak itu. Yang penting, dia mempunyai seorang keturunan dan sekarang anak itu terancam bahaya maut di tangan Bwe Si Ni!
"Tidak, anak itu tidak berdosa. Anak itu tidak boleh dibunuh, aku akan melindunginya!"
Dengan tekad ini, Tiauw Sun Ong lalu bangkit berdiri dan mengambil bekal pakaian dari dalam gubuk tempat tinggalnya di puncak itu dan tak lama kemudian diapun turun gunung, suatu hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya pagi itu. Pagi tadi, menikmati keindahan musim bunga di puncak Hwa-san, dia mengambil kepulusan untuk tinggal di situ sampai mati, tidak akan turun gunung. Siapa kira, baru beberapa jam saja kini dia sudah terpaksa turun gunung untuk melaksanakan tugas yang amat berat!
Bukan saja dia harus melindungi nyawa seorang anak dari ancaman maut di tangan Kwan Im Sianli Bwe Si Ni, akan tetapi dia juga akan mengalami kesulitan kalau berhadapan dengan suami Cu Lan yang agaknya menjadi ayah tiri anaknya, yaitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, seorang di antara para datuk berar. Dan dia tahu ke mana harus mencari anak itu. Tentu di tempat tinggal Ouwyang Sek, di Lembah Bukit Siluman!
Dengan sebuah tongkat, bekas pangeran yang buta itu menuruni bukit yang amat berbahaya itu dengan cepatnya, jauh lebih cepat dari pada seorang yang tidak buta! Orang takkan percaya bahwa dia buta kalau melihat betapa dia menuruni bukit itu. Ternyata kepekaan yang hebat pada dirinya dapat menggantikan tugas mata yang telah buta itu. Kepekaan ini ditambah penguasaan ilmu yang tinggi...
"Sobat, tolong tunjukkan di mana aku dapat membeli makanan di tempat ini! Aku merasa lapar dan ingin makan." kata wanita itu, suaranya lembut dan merdu.
Dua orang pemuda itu sudah menyeringai girang ketika wanita cantik itu mendekati mereka tadi. Kini, mendengar ucapan itu, mereka saling pandang dan wajah mereka berseri, gembira dan bangga. Siapa orangnya tidak akan bangga dilihat orang bahwa wanita kota yang cantik itu menghampiri mereka dan mengajak mereka bercakap-cakap? Dan benar saja, para penduduk berhenti melangkah dan memandang ke arah mereka, dengan heran. Dua orang pemuda yang merasa bangga itu setelah saling pandang, lalu dengan ramah seorang di antara mereka, yang hidungnya pesek, memperlihatkan senyumnya yang dianggsap paling manis.
"Aih, nona hendak mencari kedai makanan? Di dusun ini tidak ada yang menjualnya, nona."
Wanita itu tersenyum. Senyumnya mengandung sejuta madu dan dua orang pemuda itu semakin terpesona. "Tidak perlu kedai penjual makanan. Kalau ada penduduk yang mau membagi sedikit makanan dan air teh kepadaku, akan kubayar mahal."
Pemuda ke dua yang mempunyai tahi lalat di dagu, segera berkata, "Kalau begitu, marilah ikut dengan kami ke rumah kami, nona. Kami dapat menyuguhkan makanan dan minum sekadarnya untuk nona."
Wanita itu nampak girang bahwa dua orang pemuda itu menyebutnya "nona" dan iapun mengangguk. Dapat dibayangkan betapa bangga dan girangnya hati dua orang pemuda itu. Dengan dada membusung mereka berjalan mendampingi wanita itu di kanan kirinya dan membawanya pergi ke rumah mereka yang tak jauh dari situ.
Rumah mereka sederhana namun bersih dan dua orang pemuda kakak beradik itu segera memanggil Ibu mereka yang menjanda. Ibu mereka sudah berusia lima puluh tahun, tampak tua sekali dan ia tergopoh memasuki rumah dari belakang ketika mendengar suara, anak-anaknya.
"Eh, kenapa kalian tidak ke ladang dan hei, siapakah ia?"
"Ibu, nona ini datang untuk minta sedikit makan dan minum, ia lapar dan ingin membeli makanan dan minuman, akan tetapi tidak ada." kata yang pesek.
"Ibu, keluarkan semua yang ada untuk nona ini." kata yang bertahi lalat.
"Maafkan kalau aku mengganggu," kata wanita itu, "aku hanya ingin sarapan karena lapar, dan nanti kubayar harganya, berapapun kalian minta."
"Aih, tidak usah, nona..." kata Ibu itu yang tentu saja bersikap hormat melihat seorang wanita kota. Ia lalu sibuk di dapur dan tak lama kemudian ia sudah menghidangkan nasi putih dengan lauknya sayuran dan ikan asin. Juga semangkok teh hangat.
Melihat hidangan yang sederhana itu, sang tamu nampak girang. Perut yang lapar hanya menuntut makanan, tidak memilih lagi dan tanpa sungkan iapun segera makan dan minum sampai kenyang. Ketika ibu itu menyingkirkan mangkok piring, wanita itu menghapus bibirnya dengan saputangan dan memandang kepada dua orang pemuda yang masih duduk menghadapinya dan tadi dengan ramahnya menemaninya makan. Ia melihat betapa pandang mata dua orang pemuda itu berbeda dari tadi.
Kalau tadi ketika bertemu di jalan dan mengajaknya ke rumah mereka, dua orang pemuda itu ramah dan sopan, kini pandang mata mereka membuat alisnya berkerut. Ia sudah hafal akan pandang mata pria seperti ini, pandang mata penuh gairah yang membuatnya marah dan tidak senang. Akan tetapi mengingat bahwa baru saja ia terhindar dari rasa lapar karena keramahan dan suguhan mereka, ia menahan diri, hal yang jarang sekali ia lakukan, dan dengan acuh ia bertanya kepada mereka.
"Wah, aku sudah makan dan minum cukup kenyang, sobat. Sekarang katakan berapa yang harus kubayar kepada kalian untuk harga makanan dan minuman ini."
Doa orang pemuda itu saling lirik dan menyeringai, kemudian yang berhidung pesek mengangkat muka, memberanikan diri dan dengan cengar cengir dia menjawab, "Aih, nona yang manis, makanan dan minuman itu tidak kami jual. Kami tidak minta uang, hanya minta...“
Makin dalam kerut di antara alis mata yang hitam kecil dan panjang melengkung itu. "Minta apa?”
Dua orang pemuda itu kembali saling pandang dan tertawa kecil, kemudian yang bertahi lalat melanjutkan ucapan saudaranya yang terputus tadi, "kami hanya minta engkau bersikap manis kepada kami."
Dan seperti dikomando saja, dua orang pemuda itu bangkit berdiri dan menghampiri wanita itu dari kanan kiri, kemudian keduanya merangkul dan mendekatkan muka hendak menciuminya!
Wanita itu masih duduk dan melihat niat dua orang pemuda itu, tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak menampar ke kanan kiri dengan punggung tangannya.
"Plak! Plakk!"
Kelihatan perlahan saja kedua tangan itu menampar, akan tetapi akibatnya sungguh hebat. Dua orang pemuda itu terpelanting dan roboh pingsan dengan sebelah muka hancur seperti kena ditampar dengan senjata baja yang amat kuat. Kulit sebelah muka mereka itu seperti terkupas, telinga remuk dan mata membengkak. Mereka hanya sempat memekik pendek terus roboh pingsan.
Mendengar pekik ini, ibu kedua orang pemuda itu berlari masuk dari belakang dan ia menjerit-jerit ketika melihat kedua orang anaknya roboh dengan muka mandi darah. Wanita cantik itu bangkit berdiri, memandang dengan senyum dingin dan berkata,
"Mengingat ibunya, aku mengampuni mereka dan tidak akan membunuh meraka." Setelah berkata demikian, dengan langkah gontai ia keluar dari rumah itu.
Ibu kedua orang anak itu mengejarnya kasar dan masih menjerit-jerit. "Tolooonggg... perempuan ini membunuh kedua orang anakku...!”
Wanita cantik itu tidak berhenti atau menengok. Ia tahu bahwa Ibu itu mengira kalau anaknya yang pingsan itu tewas. Akan tetapi pada saat itu, teriakan si Ibu yang berulang-ulang membuat para tetangga berlarian ke tempat itu dan terpaksa si wanita cantik menghentikan langkahnya karena terhalang, bahkan terkepung.
"Tangkap perempuan ini! Ia membunuh dua orang anakku setelah kami menyuguhkan makan dan minum kepadanya. Ia jahat, ia siluman betina!” ibu itu berteriak-teriak sambil menudingkan telunjuknya ke arah si perempuan cantik yang masih tersenyum-senyum saja.
Melihat belasan orang laki-laki maju dengan sikap marah, wanita itu menyapu mereka dengan pandang matanya yang jeli dan tajam. "Aku menghajar mereka. Dan, kalian mau apa! Minta sekalian dihajar?”
Tentu saja ucapan ini membuat semua orang menjadi marah. Perempuan ini memang cantik, akan tetapi jahat bukan main, "Tangkap perempuan ini!” teriak seorang laki-laki setengah tua.
"Seret ia dan hadapkan kepala dusun!”
“Pembunuh ini harus dihukum!" Dua belas orang mengepung dan menggerakkan tangan hendak menangkap wanita itu.
Ia tersenyum dan mendengus, "Kalian memang menjemukan!" dan sebelum ada tangan yang dapat menyentuhnya, wanita itu bergerak, tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri dan terdengarlah guara orang-orang itu mengaduh kesakitan dan dua belas orang itupun roboh satu demi satu.
Semua orang terbelalak melihat dua belas orang itu merintih-rintih dengan tulang patah atau muka matang biru. Padahal, wanita itu hanya nampak berkelebatan dan menggerakkan kedua tangannya secara lembut saja. Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan muncul dua orang pria yang pakaiannya gagah seperti yang biasa dipakai oleh para pendekar. Dengan pakaian ringkas, pedang tergantung di punggung, dua orang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh lima tahun ini sudah melompat ke depan wanita cantik itu.
"Dari mana datangnya perempuan jahat, iblis betina yang kejam?” bentak seorang di antara mereka yang rambutnya sudah banyak dihias uban.
Wanita itu mengangkat muka, memandang kepada dua orang itu dengan senyum dingin mengejek. Sejenak ia mempelajari keadaan mereka. Memang ada keanehan pada dua orang yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun itu. Keduanya membawa pedang di punggung, dan kalau yang seorang rambut kepalanya sudah banyak putihnya, yang ke dua biar rambutnya masih hitam, akan tetapi jenggot dan kumisnya semua sudah putih!
"Hemm, kiranya Pek-mau Siang-kaw (Sepasang Anjing Rambut Putih) yang muncul! Kalian mau apa?" tanya wanita itu dengan suara lembut.
Dua orang gagah itu saling pandang, membelalakkan mata dan muka mereka berubah merah sekali. Mereka adalah sepasang pendekar yang terkenal di wilayah Hwa-san, terkenal dengan julukan Pek-mau Siang-houw (Sepasang Harimau Rambut Putih) karena mereka memiliki kelainan pada rambut dan jenggot kumis mereka. Akan tetapi wanita cantik ini sengaja mengubah julukan mereka Siang-houw (Sepasang Harimau) menjadi Siang-Kaw (Sepasang Anjing)! Sungguh penghinaan yang berupa ejekan merendahkan.
"Siluman betina, siapakah engkau yang berani bermain gila dan bersikap kurang ajar terhadap Pek-mau Siang-houw?" bentak yang kumisnya putih.
Kini sepasang mata itu mencorong marah dan senyumnya berubah menjadi dingin mengejek. "Anjing-anjing seperti kalian tidak pantas mengenal namaku. Pergilah sebelum engkau tidak hanya menjadi sepasang anjing, melainkan menjadi sepasang bangkai anjing!"
Sungguh hebat penghinaan ini, amat memandang rendah dan makian itu dilakukan di depan banyak orang pula! Pek-mau Siang Houw adalah dua orang bersaudara yang selalu menentang kejahatan sehingga mereka telah membuat nama besar. Kebetulan sekali pada pagi hari itu mereka lewat di situ dan mendengar ribut-ribut. Melihat bahwa yang mengacau di dusun itu hanya seorang wanita cantik setengah tua, mereka masih bersikap sabar dan lembut. Siapa kira wanita itu malah menghinanya.
"Singgg...!” Keduanya mencabut pedang dari punggung dan nampak sinar berkilat saking tajamnya pedang mereka, berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.
Wanita itu sama sekali tidak kelihatan gentar, bahkan mengeluarkan saputangan merahnya dan menghapus keringat dari leher dan mukanya, nampak kesal melihat lagak kedua orang pendekar itu.
"Siluman betina! Keluarkan senjatamu dan hadapi pedang kami!” bentak dua orang pendekar itu.
Mereka melihat betapa wanita itu telah merobohkan dua belas orang dengan mudah, maka merekapun dapat menduga bahwa tentu wanita ini lihai, maka mereka tidak ragu dan sungkan untuk maju bersama, akan tetapi tetap saja mereka tidak suka menyerang lawan seorang wanita yang bertangan kosong dengan pedang mereka.
“Huh, pedang mainan kanak-kanak itu kau pergunakan untuk menakut-nakuti aku? Majulah, agaknya kalian memang sudah bosan hidup!" bentak wanita itu, mengebut-ngebutkan saputangannya di depan leher untuk mengusir panasnya matahari pagi yang makin meninggi.
"Siluman, engkau patut dibasmi dari muka bumi!" bentak kedua orang pendekar itu dan merekapun menyerang dengan pedang mereka dari kanan kiri.
"Wuuuttt, sing-sing...!”
Nampak sinar pedang bergulung-gulung ketika sepasang pedang itu menyambar. Namun, yang diserangnya lenyap dan berkelebat di antara sambaran sinar pedang! Dua orang pendekar itu membalik dan mereka menghujankan serangan kilat ke arah wanita itu. Namun, sungguh hebat gerakan wanita itu. Lembut seperti orang menari saja, namun langkahnya ringan dan seperi bayangan yang tak pernah dapat disentuh sinar pedang!
Sampai belasan jurus, dua orang pendekar itu menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga mereka dan memainkan jurus-jurus pilihan yang paling ampuh, namun wanita itu tetap saja tidak dapat disentuh pedang mereka. Kemudian, wanita itu menggerakkan saputangan suteranya yang panjangnya hanya tiga jengkal, saputangan sutera yang lembut dan ringan. Akan tetapi, begitu sapu tangan itu menyambar sebatang pedang, ujungnya melibat dan sekali wanita itu menggerakkan tangannya, pedang yang di libat saputangan itu patah! Melihat pedang saudaranya patah, si rambut putih menusukkan pedangnya ke arah lambung wanita itu dari arah kiri.
"Cappp...!”
Pedang itu menancap sampai setengahnya dan semua orang ternganga, mengira bahwa wanita itu tentu akan tewas. Akan tetapi, tiba-tiba si rambut putih memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat karena dia melihat bahwa pedang itu bukan menembus lambung melainkan dijepit di bawah ketiak wanita itu. Sebelum dia mampu menghindarkan diri, kaki wanita itu menendang bawah pusarnya.
"Kekkk..!"
Tubuh si rambut putih terjengkang, pedangnya terlepas dan diapun roboh terbanting dan tewas seketika karena tubuhnya di bawah pusar, bagian kelamin, telah hancur oleh ujung sepatu wanita itu. Si kumis putih terkejut, akan tetapi pada saat itu, wanita tadi melemparkan pedang yang dijepit dengan lengannya ke arah si kumis putih. Pedang itu meluncur seperti anak panah, tak dapat dielakkan atau ditangkis lagi oleh si kumis putih dan pedang itu memasuki dadanya sampai tembus ke punggung. Si kumis putih roboh dan tewas di dekat mayat saudaranya.
Wanita itu tertawa, suara kerawa yang merdu dan halus, lalu ia pergi dari situ sambil mengebut-ngebutkan saputangan suteranya untuk mengusir keringat, dan tangan kirinya menyapu-nyapu baju yang terkena debu. Semua penghuni dusun memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Tak seorang pun berani menghalangi wanita itu atau mengejarnya. Andaikata ada yang mengejar pun tidak akan berhasil menyusul wanita itu yang kini berkelebatan dengan ilmu lari cepat, mendaki bukit di depan dengan kecepatan seperti larinya seekor kijang.
Siapakah wanita yang demikian lihainya dan juga amat kejamnya itu. Kalau saja dua orang pendekar itu, Pek-mau Siang-houw, mengetahui dengan siapa mereka berhadapan, belum tentu mereka berani bersikap seperti itu di depan wanita cantik itu. Ia sungguh bukan wanita biasa, bahkan bukan wanita kang-ouw biasa. Ia adalah seorang datuk besar yang namanya ditakuti semua orang, bahkan para pendekar juga harus berpikir masak-masak untuk menentang datuk yang luar biasa lihai dan kejamnya ini.
Kekejamannya itu hanya ditujukan kepada para pria! Ia seorang pembenci laki-laki! Tidak ada lagi orang yang mengenal nama aselinya, hanya mengenalnya dengan julukan Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im). Sungguh julukan yang sama sekali berlawanan dengan wataknya, karena julukan ini memang ia sendiri yang memilihnya. Ia menyamakan dirinya dengan Kwan Im Pouw-sat. Dewi Belas Kasih yang dipuja orang karena ia merasa bahwa selama ini belum pernah ia berhubungan dengan pria, ia masih perawan walau usianya sudah hampir lima puluh tahun.
Dan memang penampilannya seperti seorang dewi, cantik jelita, sederhana, lemah lembut dan sedikitpun tidak menunjukkan bahwa ia seorang ahli silat. Apa lagi seorang yang dapat membunuh banyak orang tanpa berkedip. Pagi hari itu saja, ia telah melukai parah dua orang pemuda yang memberinya hidangan, kemudian melukai dua belas orang dusun, bahkan membunuh dua orang pendekar yang menentangnya. Tidak ada yang tahu bahwa watak kejamnya terhadap pria ini muncul ketika ia menderita patah hati karena cintanya gagal. Pria yang dicintanya tidak membalas cintanya dan sejak itu ia membenci pria yang dianggapnya palsu dan hanya mendatangkan duka saja bagi wanita!
Cepat sekali wanita itu mendaki bukit Hwat-san, biarpun pendakian itu amat sukar, namun ternyata wanita cantik itu dapat mencapai puncak dalam waktu tingkat. Tebing-tebing yang licin dan keras ia panjat dengan mudah, jurang yang amat curam dan lebar dapat ia lompati. Ketika tiba di puncak yang landai dan penuh bunga, Kwan Im sianli tertegun dan sejenak ia berdiri terpesona, memandang ke sekeliling dan berputar pada ujung kakinya.
"Aihhhh, betapa indahnya...!” Ia menghirup napas panjang, memasukkan udara sejuk segar itu sebanyaknya ke dalam paru-parunya, ia merasa nyaman sekali. Kalau orang melihatnya pada saat itu, tentu akan mengakui bahwa julukan wanita itu memang tepat. Berdiri di puncak bukit, di antara bunga-bunga yang sedang mekar, pantaslah ia menjadi seorang dewi!
"Pantas kalau tempat seindah ini menjadi tempat tinggal Si Buta yang menjengkelkan hati itu...“ katanya lirih dan di dalam suaranya terkandung penyesalan, kekecewaan dan penasaran.
"Bwe Si Ni... engkaukah yang datang itu...?"
Tiba-tiba terdengar suara lembut, dan Kwan Im Sianli cepat meloncat ke arah datangnya suara. Dan di sana, di atas batu datar yang lebar, duduklah pria itu! Pria yang dicari-carinya selama ini.
"Pangeran...!” serunya sambil menghampiri dan sekali ini dalam suaranya terdengar kelembutan yang luar biasa, suara yang mengandung kasih sayang dan kerinduan. Pancaran matanya juga lembut dan sayu, dan mulutnya tersenyum pahit, menggetar penuh harap.
Pria itu, Tiauw Sun Ong, tertawa dan ketika dia tertawa, wajahnya nampak lebih muda. "Ha-ha-ha, Si Ni, apakah engkau tidak pernah tua? Engkau masih seperti dulu saja. Engkau tahu, aku bukan lagi seorang pangeran, melainkan seorang jembel. Bahkan sekarang Kerajaan Liu-sung juga sudah jatuh, keluargaku sudah terbasmi. Aku orang buangan, jangan sebut pangeran lagi."
Dia lalu menggerakkan tangan mempersilakan. "Duduklah, Si Ni. Sudah bertahun-tahun kita tidak saling jumpa. Bagaimana kabarnya dengan dirimu?"
Kwan Im Sianli duduk pula di atas batu yang lebar itu, berhadapan dengan Tiauw Sun Ong. Sejenak mereka berdiam diri dan wanita itu memandang dengan sinar mata penuh kasih dan keharuan. Sementara itu, Tiauw Sun Ong hanya menunduk, diam-diam dia terkejut ketika tadi mengenal suara wanita ini, seorang di antara wanita yang tak pernah dapat dia lupakan. Teringat olehnya betapa dahulu, ketika dia masih menjadi pangeran, di antara para gadis yang mengejar dan merindukannya terdapat seorang dayang istana yang cantik bernama Bwe Si Ni. Tanpa main-main Bwe Si Ni menyatakan cintanya, rela mengorbankan nyawa sekalipun untuknya asal cintanya diterima.
Karena merasa kasihan kepada gadis cantik manja yang begitu pasrah, Tiauw Sun Ong merasa tidak tega untuk menolak begitu saja. Dia bersikap ramah dan manja walaupun belum menyatakan bahwa dia membalas cinta kasih gadis dayang istana itu. Apalagi ketika itu dia sudah mempunyai seorang pacar, yaitu seorang gadis bangsawan puteri keluarga Kwan. Memang Tiauw Sun Ong mempunyai kelemahan terhadap wanita. Dia tidak tega menolak untuk bersikap manis terhadap wanita yang jatuh cinta kepadanya!
Akan tetapi, dalam taman, dia bertemu selir kaisar, Pouw Cu Lan dan dia begitu tergila-gila sehingga terjadilah hubungan antara-mereka. Melihat ini, Bwe Si Ni menjadi cemburu dan marah, bahkan sakit hati. Ialah seorang di antara mereka yang melapor kepada kaisar sehingga hubungan antara selir dan adik kaisar itu tertangkap basah. Ketika Tiauw Sun Ong membutakan matanya dan meninggalkan istana, Bwe Si Ni, gadis dayang itupun minggat dari Istana!
Belasan tahun kemudian setelah Tiauw sun Ong menjadi perantau buta dan mendapatkan ilmu, manjadi orang sakti, pada suatu hari muncul Bwe Si Ni di depannya! Akan tetapi bukan Bwe Si Ni gadis dayang yang dahulu, yang lemah lembut dan hangat, yang mati-matian mencintanya, melainkan Bwe Si Ni yang sudah berubah menjadi seorang iblis betina, seorang yang memiliki Ilmu kepandaian yang tinggi dan dahsyat. Dan Bwe Si Ni yang ketika itu sudah berusia tiga puluh lima tahun, menuntut agar dia suka hidup bersamanya menjadi suami isteri.
Biarpun dia telah menjadi seorang buta yang hidup terlunta-lunta ternyata cinta kasih Bwe Si Ni tidak pernah berkurang! Namun, bekas pangeran itu menolak dan hal ini membuat Bwe Si Ni menjadi kecewa dan berduka sekali. Ia menangis dan memohon, mengatakan bahwa ia tidak pernah mau berdekatan dengan pria lain karena ia sudah bersumpah untuk hidup menjadi isteri Tiauw Sun Ong. Ketika bekas pangeran itu tetap menolak, ia menjadi penasaran dan marah. Dengan tegas ia mengatakan, bahwa kalau Tiauw Sun Ong menolak, ia akan membunuhnya kemudian membunuh diri sendiri. Ingin mati bersama!
Tiauw Sun Ong tetap menolak dan Bwe Si Ni menyerang. Terjadi perkelahian yang hebat. Akan tetapi, ternyata tingkat kepandaian Bwe Si Ni masih belum mampu menandingi Tiauw Sun Ong walaupun bekas pangeran yang buta ini mengalah dan selalu mengelak dan menangkis saja. Akhirnya, dengan hati kecewa, duka, penasaran dan makin mendendam, Bwe Si Ni pergi dan ia memperdalam Ilmunya sehingga akhirnya ia terkenal sebagai seorang wanita sakti yang berjuluk Kwan Im Sianli. Akan tetapi, kegagalan cintanya dengan bekas pacarnya itu membuat hatinya menjadi pahit getir dan pembenci pria. Kalau ada pria bersalah sedikit saja kepadanya, apalagi bersikap kurang ajar. ia dengan kejam akan membunuhnya atau setidaknya membikin cacat!
Dan kini, dalam usia hampir lima paluh tahun, setelah bertahun-tahun mencari, akhirnya ia dapat berhadapan dengan Tiauw Sun Ong lagi! Tentu saja ada ketegangan di hati Tiauw Sun Ong yang maklum akan isi hati bekas dayang ini, akan tetapi ia tetap tenang dan menahan diri sehingga suaranya tidak membayangkan perasaan hatinya.
Sementara itu, begitu berjumpa dengan bekas pangeran itu, hati bekas dayang itu seperti terbakar kembali api cintanya. Biarpun pria yang menjadi idaman hatinya itu kini sudah hampir enampuluh tahun usianya, namun dalam pandangannya, tidak ada pria lain di dunia ini yang lebih disayangnya dari pada si buta ini. Bagaikan awan disapu angin, dendamnya untuk membunuh pria yang dikasihinya itu lenyap, terganti perasaan rindu yang menyesakkan dadanya. Selama ini ia membenci pria. tidak sudi didekati pria manapun juga karena seluruh hatinya telah terisi oleh pangeran ini.
Selama belasan tahun ini, sejak kegagalannya membujuk kekasihnya untuk hidup bersama atau mati bersama, Bwe Si Ni telah memperdalam ilmu-ilmunya sehingga ia menjadi datuk besar dunia kang-ouw yang ditakuti orang. Akan tatapi, begitu bertemu, semua dendamnya, mengabur dan kembali timbul kerinduannya kepada pria ini.
"Pangeran, aku datang untuk mengajakmu hidup bersama. Ketahuilah, pangeran, aku tetap setia kepadamu dan sampai kini aku tetap menjaga diriku sebagai calon milikmu, tidak membiarkan diriku disentuh pria manapun juga. Pangeran, aku tetap mengharapkan untuk menghabiskan sisa hidup kita yang tidak berapa lama lagi ini sebagai suami isteri..."
"Si Ni..."
"Pangeran, kasihanilah aku, bayangkan betapa selama puluhan tahun aku menunggu saat ini, penuh penderitaan, penuh harapan dan kerinduan. Tegakah engkau mengecewakan harapanku yang terakhir ini? Pangeran, aku rela meninggalkan segalanya, dan hidup di sini, di sisimu, sampai hayat meninggalkan badan...“ Wanita itu meratap dengan suara yang bercampur tangis.
Sampai lama Tiauw Sun Ong tidak mampu menjawab. Diam-diam dia mengeluh. Tak disangkanya sama sekali bahwa kedamaian yang dinikmatinya itu kini dapat terganggu dan terguncang sedemikian hebatnya! Kemudian, setelah menarik napas panjang beberapa kali, diapun berkata dengan suara yang tenang namun tegas.
“Bwe Si Ni, dengarlah baik-baik. Aku sekarang tidak mempunyai apa-apa lagi, maka yang bersisa hanya tinggal kejujuran. Kalau aku tidak jujur, berarti aku kehilangan segala-galanya. Dan kejujuran kadang kala menyakitkan perasaan, Si Ni. Maka, dengarlah baik-baik, pertimbangkan baik-baik dan jangan terburu nafsu, karena aku akan membuat pengakuan secara sejujurnya."
Wanita itu menghapus sisa air matanya dan iapun duduk bersila dengan tegak di depan pria itu, di atas batu datar. "Bicaralah, pangeran."
"Si Ni, menghadapi urusan kita ini, aku hanya mempunyai dua pilihan. Yaitu, menjadi seorang yang jujur akan tetapi dianggap kejam, atau menjadi seorang yang palsu akan tetapi dianggap baik. Dan setelah kupertimbangkan, aku memilih menjadi orang pertama. Yaitu jujur biarpun engkau akan menganggap aku kejam dan jahat. Kalau aku menuruti perasaan hatiku yang penuh iba kepadamu, tentu aku akan menerima permintaanmu, hidup sebagai suami isteri denganmu di sini sampai kita mati tua. Akan tetapi, itu berarti aku palsu biarpun kau anggap baik, karena terus-terang saja, Si Ni, sejak mataku buta, hatiku tidak buta lagi dan aku tidak mau mengikat diri dalam perjodohan dengan siapapun juga. Aku akan berterus terang bahwa tidak ada lagi cinta berahi di dalam hatiku terhadap seorang wanita. Kau tentu tidak ingin kubohongi, bukan! Nah, tinggalkan aku dalam damai. Si Ni, dan aku tahu bahwa kalau engkau mau, engkau akan dapat menemukan seorang suami yang jauh lebih baik dari pada aku yang tua dan buta ini."
"Pangeran Tiauw Sun Ong!” Tiba-tiba wanita itu membentak marah, "Sudah tiga puluh tahun aku menanti dangan sabar, dengan setia, dan engkau tetap menolakku? Aku bisa membikin orang yang paling kau cinta menderita, aku bahkan dapat membunuhnya!”
"Sudahlah, Si Ni, kita berpisah dengan baik-baik saja. Engkau tidak perlu membujuk dan mengancam, aku sudah bicara dan tidak akan mengubah sikapku."
"Keparat! Kalau aka tidak dapat hidup bersamamu, aku bersumpah untuk mati bersamamu!”
“Sin Ni...!” Akan tetapi teriakan Tiauw Sun Ong ini tidak ada gunanya karena wanita itu sudah meloncat sambil menghunus pedang yang tersembunyi dibalik jubahbya, ia sudah menyerang bagaikan kilat menyambar cepatnya! Pedang itu menusuk Tiauw Sun Ong!
"Trranggg ...!” Tongkat itu seperti otomatis bergerak dan berhasil menangkis pedang.
Kwan Im Sianli Bwe Si Ni merasa betapa tangannya tergetar, maka iapun meloncat turun dari atas batu. "Bagus! Engkau masih lihai, pangeran. Mari kita membuat perhitungan terakhir. Engkau dulu atau aku dulu yang mati!”
"Si Ni, janganlah..." akan tetapi bujukan ini dijawab dengan serangan begitu Tiauw Sun Ong turun dari atas batu. Si buta yang memiliki pendengaran amat tajam dan peka itu melompat dan menghindarkan diri dari serangan pedang. Wanita itu mengejar dan menyerang terus, dan pangeran itu kagum. Serangan-serangan Bwe Si Ni bukan main dahyatnya.
Sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan lima belas tahun yang lalu! Serangan itu didukung tenaga sin-kang yang kuat sekali, dan selain gerakannya kuat, juga cepat dan amat berbebaya. Untuk melindungi dirinya, dari ancaman bahaya maut, bekas pangeran itu didukung tenaga sinkang yang kuat sekali dan selain gerakannya kuat, juga cepat dan amat berbahaya. Untuk melindungi dirinya dari ancaman maut bekas pangeran itu sudah memutar tongkatnya dengan pengerahan sin-kang sehingga potongan kayu itu membentuk sebuah sinar bergulung-gulung seperti payung yang menjadi perisai dirinya.
Sebetulnya, Tiauw Sun Ong juga tidak takut mati atau begitu ingin untuk hidup terus dalam keadaan yang tak dapat dikata bahagia secara lahiriah. Akan tetapi, dia tidak mau bunuh diri, juga dia tidak ingin kalau wanita itu sampai menjadi pembunuhnya hanya karena ingin hidup atau mati bersama! Dia tidak ingin menjadi sebab kedosaan Bwe Si Ni setelah dia tidak mampu membahagiakan wanita itu.
Sementara itu. Kwan Im Sianli juga terkejut bukan main di samping kekagumannya. Ia telah maju pesat dalam ilmu silat, bahkan ditakuti dunia kang-ouw, dianggap sebagai seorang datuk persilatan yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, kini kembali ia tahu bahwa untuk membunuh pria yang dikasihinya ini jelas bukan perkara mudah. Bahkan untuk mengalahkannya saja belum tentu ia mampu! Ilmu tongkat yang dimainkan orang buta itu selain aneh, juga sukar ditembus pedangnya, bahkan setiap kali pedangnya bertemu tongkat, tangannya terasa panas dan nyeri!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa seorang wanita. Suara tawa yang amat aneh, makin lama semakin nyaring dan amat mengejutkan hati Kwan Im Sianli dan juga Tiauw Sun Ong karena tanpa dapat mereka tahan lagi. Kwan Im Sianli ikut pula tertawa bergelak dan biarpun dia sudah menahannya, tetap saja bekas pangeran itupun tertawa di luar kehendaknya. Tentu saja keduanya terkejut dan otomatis meloncat ke belakang.
Kwan Im Sianli menoleh ke arah wanita yang tertawa itu, sedangkan bekas pangeran itu memperhatikan dengan pendengarannya yang tajam. Setelah, kini tidak perlu lagi mengerahkan sin-kang untuk menandingi Tiauw Sun Ong, Kwan Im Sianli berhasil memusatkan sin-kangnya dan menghentikan tawanya yang tak dapat dikendalikannya tadi itu. Dan ia melihat seorang wanita yang satu dua tahun lebih tua darinya, akan tetapi yang juga kelihatan masih muda sekali, bersama seorang wanita muda berusia, dnapuluh tahun lebih. Dan iapun segera mengenal wanita itu dan mukanya berubah merah karena marah!
“Setan perempuan, kiranya engkau yang menggangguku?" bentak Kwan Im Sianli dengan marah. "Engkau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!”
Wanita yang baru datang itu tidak kalah cantiknya dibandingkan Bwe Si Ni dan ia tertawa lagi, lalu berkata kepada wanita muda yang ikut datang bersamanya. "Hi-hi-hi hik... Ling Ay, kau lihat baik-baik. Inilah wanita yang pernah kuceritakan kepadamu. Kwan Im Sianli Bwe Si Ni. Engkau berhati-hatilah kalau bertemu dengan orang ini!"
Wanita muda itu memang Ling Ay adanya, Cia Ling Ay, janda muda dari Nan-ping yang ditolong oleh Bi Moli Kwan Hwe Li dan kemudian menjadi murid wanita cantik yang menjadi datuk besar persilatan itu. Sudah tiga tahun lamanya Cia Ling Ay ikut gurunya, setiap hari digembleng Ilmu silat dan sihir sehingga kini ia bukanlah Ling Ay tiga tahun yang lalu. Dan selain gurunya memiliki cara mengajar yang istimewa, juga Ling Ay ternyata memiliki bakat terpendam yang besar sekali sehingga mudah baginya menguasai Ilmu-Ilmu yang aneh dan dahsyat. Kini ia mengikuti gurunya mandaki puncak Hwa-san dan mereka melihat betapa Kwan Im Sianli bertanding atau lebih tepat lagi mendesak dan menyerang seorang laki-laki buta yang lihai sekali.
"Bi Moli, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Jangan angkau mencampuri urusan pribadi kami dan pergilah, biarkan aku menyelesaikan urusanku dengan Pangeran Tiauw Sun Ong!” kata pula Kwan Im Sianli yang maklum bahwa sebagai sama-sama datuk besar, tingkat kepandaian mereka berimbang dan kalau wanita itu membantu Tiauw Sun Ong, ia sungguh tidak berdaya. Baru menghadapi Tiauw Son Ong seorang saja tadi ia sudah sukar untuk dapat mengalahkannya.
"Hemm!. Bwe Si Ni! Dahulu ketika kita masih muda, aku telah menjadi seorang puteri bangsawan dan engkau hanya seorang dayang. Engkau menyembah-nyembah kepadaku. Sekarang, setelah engkau memiliki sedikit kepandaian dan berjuluk Kwan Im Sianli, apa kau kira engkau ini benar-benar seorang dewi dan menganggap semua wanita lain sebagai setan perempuan? Engkaulah yang iblis betina, perempuan tak tahu malu! Engkau tentu masih ingat bahwa akulah dahulu pacar dan tunangan kakanda Tiauw San Ong! Kalau tidak terjadi peristiwa dengan selir kaisar itu, tentu aku yang menjadi isterinya! Engkau dayang tak tahu malu, mendesak-desaknya, bahkan sampai sekarang, setelah kanda Tiauw Sun Ong menjadi buta dan mengasingkan diri, engkau masih berani mengganggunya!"
Wajah Bwe Si Ni menjadi pucat, lalu merah kembali. Biarpun ucapan itu dirasakan amat menghinanya, namun ia tidak mungkin dapat membantah. Memang, puluhan tahun yang lalu ketika ia masih menjadi seorang dayang istana, Kwan Hwe Li adalah pacar dan tunangan Pangeran Tiauw Sun Ong. Bahkan pangeran itu menolak cintanya karena telah mempunyai pacar wanita itu, puteri seorang bangsawan tinggi she Kwan. Hubungan antara Kwan Hwe Li dan Tiauw Sun Ong juga putus setelah Tiauw Sun Ong membutakan matanya dan meninggalkan istana dan kota raja.
"Kwan Hwe Li, tidak perlu engkau menyombongkan diri. Mungkin saja dahulu engkau puteri bangsawan, akan tetapi sekarang tidak lagi! Bahkan Kerajaan Liu-sung telah hancur. Engkau hanya bekas puteri bangsawan. Dan tentang Pangeran Tiauw Sun Ong, biarpun engkau mengaku pacar dan tunangan, akan tetapi siapa tidak tahu bahwa engkaulah yang dahulu mencelakainya dan melaporkan hubungannya dengan selir Pouw Cu Lan kepada kaisar sehingga mereka tertangkap basah?"
"Bwe Si Ni, tak tahu malu engkau! Memang aku melaporkan karena hal itu kuanggap tidak benar. Dan aku berhak karena aku merasa cinta kami dilanggar. Akan tetapi engkau, hanya seorang dayang, engkaupun berani ikut pula melapor kepada kaisar!"
"Hemm, jadi kita ini sama, saja? Lalu mau apa engkau datang ke sini kalau tidak ingin merayu Pangeran Tiauw Sun Ong?" Kwan Im Sianli mengejek.
"Aku bukan perempuan hina macam kamu! Aku sudah merasa sebagai seorang wanita tua yang tidak haus lagi akan kemesraan pria. Aku datang karena mengingat akan persahabatan antara aku dan kanda Tiauw Sun Ong, dan hanya akan menjenguknya tanpa ingin mengganggunya. Akan tetapi aku melihat engkau mati-matian menyerangnya untuk membunuhnya. Kanda Tiauw Sun Ong bisa saja mengalah kepadamu, akan tetapi aku tidak! Kalau engkau melanjutkan niat busukmu, aku akan membantunya membunuhmu atau mengusirmu!”
Tiauw Sun Ong yang sejak tadi diam saja, menghela napas panjang dan berkata, "Sudah, dinda Kwan Hwe Li. Bagaimanapun juga, Bwe Si Ni tidak berniat jahat, hanya menuruti gelora perasaannya. Ingin mengajak aku hidup bersama atau mati bersama."
Kwan Im Sianli mambanting kakinya dengan gemas, lalu menudingkan pedangnya ke arah muka Tiauw Sun Ong. "Pangeran, ilmu kepandaianku masih terlampau rendah untuk dapat mengalahkanmu. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku tidak akan mampu menyiksa batinmu tanpa menyentuh tubuhmu!” Setelah berkata demikian, Kwan Im Sianli Bwe Si Ni melompat dan meninggalkan tempat itu dengan cepat sekali.
"Seorang wanita yang keras hati..." kata Tiauw Sun Ong, nada suaranya menyesal karena kembali dia telah membikin hati seorang wanita menderita. "Entah apa yang dimaksudkan dengan kalimatnya yang terakhir itu.”
"Pangeran, ancamannya tadi bukan kosong belaka. Ia tidak dapat mengalahkanmu, akan tetapi ia dapat mengganggu atau bahkan membunuh Pouw Cu Lan dan anaknya... anakmu, pangeran!”
Belum pernah bekas pangeran itu terkejut seperti ketika dia mendengar kata terakhir itu. "Hwe Li! Apa maksudmu? Anakku...??"
Pria buta itu sudah bangkit berdiri, mukanya menjadi agak pucat dan jelas bahwa dia nampak gelisah dan terkejut sekali.
"Kanda Tiauw Sun Ong, mari kita duduk, dan dengarkan keteranganku." kata Bi Moli Kwan Hwe Li.
Wanita ini masih cantik sekali, sehingga sesuai dengan julukannya, yaitu Bi Moli (Iblis Betina Cantik). Setelah mereka duduk di atas batu dan Ling Ay juga duduk di belakang subonya (ibu gurunya). Bi Moli! melanjutkan.
"Sebetulnya, ketika mengetahui bahwa pangeran berada di sini, aku hanya datang menjenguk saja tanpa maksud lain. Akan tetapi, kiranya iblis betina berkedok dewi itu juga berada di sini bahkan sedang berusaha untuk membunuhmu..."
"Sudahlah, Hwa Li. Katakan saja apa maksudmu dengan anakku tadi." Pangeran itu memotong dengan tidak sabar. Dia tidak dapat terlalu menyalahkan sikap Bwe Si Ni, akan tetapi dia juga tidak mau berbantah dengan Hwe Li tentang wanita yang lain itu.
"Pangeran, ketika pangeran meninggalkan Istana. Pauw Cu Lan menerima hukuman berat dari Kaisar, Ia dihukum buang. Akan tetapi ketika hukuman dilaksanakan, di dalam perjalanan ia dirampas oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek dan dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi, ketika itu ia sudah mengandung, pangeran, mengandung anakmu. Nah, sekarang agaknya Kwan Im sianli Bwe Si Ni hendak mencari ibu dan anak itu dan akan membunuh mereka."
Bi Moli Kwan Hwe Li memandang dengan sinar mata berkilat, lalu bangkit dan berkata kepada muridnya. "Ling Ay mari kita pergi!” Dan iapun tanpa banyak cakap lagi sudah meninggalkan tempat itu dengan cepat, diiringi muridnya.
Tiauw Sun Ong masih duduk bersila seperti arca, mukanya pucat sekali. Dia tahu bahwa guru dan murid itu meninggalkannya, akan tetapi dia tidak berusaha mencegah mereka. Keterangan Kwan Hwe Li tadi sudah cukup baginya. Lebih dari pada cukup untuk menikam jantungnya. Dia maklum bahwa tidak banyak bedanya antara Kwan Hwe Li dan Bwe Si Ni. Kedua wanita mencintanya dan kecewa karena cinta mereka dia tolak. Keduanya mendendam kepadanya karena patah hati dan cemburu.
Dan tidak ada musuh yang lebih berbahaya dari pada seorang wanita yang dilanda cemburu. Wanita yang cemburu dapat melakukan kekejaman yang melebihi pembunuhan. Akan tetapi, diapun tahu bahwa orang separti Kwan Hwe Li dan Bwe Si Ni tidak akan berbohong. Mereka-berdua telah menjadi datuk besar dalam dunia persilatan. Dia mempunyai seorang anak! Dia tidak perlu tahu pria atau wanita anak itu. Yang penting, dia mempunyai seorang keturunan dan sekarang anak itu terancam bahaya maut di tangan Bwe Si Ni!
"Tidak, anak itu tidak berdosa. Anak itu tidak boleh dibunuh, aku akan melindunginya!"
Dengan tekad ini, Tiauw Sun Ong lalu bangkit berdiri dan mengambil bekal pakaian dari dalam gubuk tempat tinggalnya di puncak itu dan tak lama kemudian diapun turun gunung, suatu hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya pagi itu. Pagi tadi, menikmati keindahan musim bunga di puncak Hwa-san, dia mengambil kepulusan untuk tinggal di situ sampai mati, tidak akan turun gunung. Siapa kira, baru beberapa jam saja kini dia sudah terpaksa turun gunung untuk melaksanakan tugas yang amat berat!
Bukan saja dia harus melindungi nyawa seorang anak dari ancaman maut di tangan Kwan Im Sianli Bwe Si Ni, akan tetapi dia juga akan mengalami kesulitan kalau berhadapan dengan suami Cu Lan yang agaknya menjadi ayah tiri anaknya, yaitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, seorang di antara para datuk berar. Dan dia tahu ke mana harus mencari anak itu. Tentu di tempat tinggal Ouwyang Sek, di Lembah Bukit Siluman!
Dengan sebuah tongkat, bekas pangeran yang buta itu menuruni bukit yang amat berbahaya itu dengan cepatnya, jauh lebih cepat dari pada seorang yang tidak buta! Orang takkan percaya bahwa dia buta kalau melihat betapa dia menuruni bukit itu. Ternyata kepekaan yang hebat pada dirinya dapat menggantikan tugas mata yang telah buta itu. Kepekaan ini ditambah penguasaan ilmu yang tinggi...
********************