Tangan Gledek Jilid 33
“TIANG BU, agaknya kau masih belum mau mengaku bahwa aku ini ayahmu yang sejati. Padahal kau memang betul anakku bukan kah kau sudah mendengar sendiri dari Wan Sin Hong yang tidak menyangkal bahwa kau adalah putera ku? Anak yang baik, kau tidak percaya padaku memang pantas karena kita tidak pernah bertemu, akan tetapi apakah keterangan Wan Sin Hong masih belum kau percayai? Tiang Bu, kau hanya mempunyai seorang akulah orangnya. Dan puteraku di dunia ini hanya seorang, kaulah orangnya!"
“Hmm, setahuku anakmu banyak. Ada Cui Kong, ada... ada yang lain-lain."
Tiang Bu tidak dapat menyebut nama Cui Lin dan Cui Kim. Jangankan menyebut nama dua orang gadis itu, teringat kepada mereka saja sudah mendatangkan rasa malu yang luar biasa besarnya. Kalau bisa ia ingin melupakan dua orang gadis itu selama hidupnya, ingin malenyapkan mereka dari ingatannya.
"Aah, mereka itu hanya anak-anak angkat atau murid-murid. Cui Kong menjadi anak angkatku baru beberapa tahun ini. Dia anak yatim piatu yang berbakat baik maka kuangkat menjadi puteraku. Ini terjadi sebelum aku tahu bahwa kau masih hidup. Akan tetapi sekarang ada kau, yang lain-lain tidak masuk hitungan. Tentang Cui Lin dan Cui Kim... mereka itu biarpun kuangkat menjadi anak-anakku, sebetulnya mereka itu akan menjadi bini-bini mudaku. Akan tetapi sekarang aku tahu bahwa kau cinta kepada mereka. Tidak apa, aku mengalah. Dua orang gadis cantik itu biar kuberikan kepadamu. Mari kau ikut dengan aku, Tiang Bu. dan dua orang gadis itu, Cui Lin dan Cui Kim, biar melayanimu untuk selamanya atau selama kau masih suka kepada mereka...“
“Tutup mulut dan pergilah!" Tiang Bu membentak marah. mukanya berubah marah sekali. Ucapan yang keluar dari mulut orang ini benar-benar membuat ia merasa muak perutnya. “Aku tidak percaya bahwa aku anakmu. Aku tidak sudi punya ayah seperti engkau!"
Kong Ji tersenyum getir. "Kau sudah terlalu lama hidup diantara orang-orang yang memusuhiku, sehingga tertanam kebencian terhadapku didalam dadamu. Baik juga kau merasai hukuman di sini agar dapat merubah pendirianmu yang keliru itu. Mana ada anak membenci bapaknya? Kalau aku mempunyai anak lain, tentu sekali pukul aku dapat bikin mampus kau. Akan tetapi anakku hanya kau seorang sedapat mungkin hendak kuperbaiki watakmu. Biar kau bertapa di sini sampai kau mengakui aku sebagai ayahmu, ikut dengan aku sebagai anak berbakti, hidup mulia dan bahagia di Ur-liok-lim seperti seorang pangeran. Sebelum kau mau mengaku, jangan harap kau bisa keluar dari sini.”
Setelah berkata demikian, Kong Ji melompat lagi dan ke luar dari jurang itu. Ketika Tiang Bu yang mengikuti gerakan-gerakannya melihat Kong Ji sudah keluar dari jurang, ia melihat belasan orang berpakaian serdadu menjaga di pinggir jurang siap untuk menghalangi ia keluar! Memang mudah saja kalau orang mau mencegah ia keluar. Dengan melemparkan batu ke bawah, biarpun kepandaiannya tinggi takkan mungkin ia dapat keluar dari jurang yang terjal itu.
Akan tetapi Tiang Bu tidak kehilangan akal. Ia mulai menyelidiki keadaan lereng jurang yang seperti anak gunung tingginya itu. Akhirnya penyelidikannya berhasil. Di antara batu-batu karang yang terjal. ia melihat sebuah gua yang lebarnya hanya paling banyak satu meter segi empat. Ia merayap dan dengan susah payah akhirnya ia dapat masuk dan duduk di dalam gua melepaskan kelelahannya. Kini mendapatkan tempat terlindung dari hujan dan angin atau panas matahari.
Diraba-rabanya saku bajunya. Bagus, kitab-kitabnya dari Omei-san ternyata masih ada berikut obat-obatnya. Agaknya dua orang gadis tidak berani mengambil kitab-kitabnya selama mereka masih menjadi “kekasi hnya”. Hanya peti kecil berisi katak itu saja yang terampas. Juga kiranya dalam keadaan tergesa-gesa, Cui Kong tidak memeriksa isi sakunya. kalau kitab-kitab Omei-san itu sampai terjatuh ke dalam tangan Cui Kong, celaka!
Setelah lelahnya berkurang, Tiang Bu merayap makin dalam. Ternyata gua kecil itu adalah sebuah terowongan. Ia merayap terus di dalam gelap membawa setangkai kayu untuk dipakai melindungi diri, kalau-kalau di depan ada sesuatu yang menyerangnya. Terowongan itu panjang dan berliku-liku, sukar diukur berapa panjangnya, hanya Tiang Bu merayap sudah cukup lama ketika ia tiba di sebuah jalan buntu. Terowongan itu berhenti di tepi sebuah sumur!
Sumur ini hanya dapat ia ketahui atau duga-duga dengan meraba-raba saja karena keadaan gelap. Melihat jari tangan di depan mata sendiri saja tidak kelihatan. Tiang Bu makin tertarik dia ingin tahu. Dengan pengerahan tenaga yang masih ada padanya. ia mencabut batu kecil dari dinding karang dan melempar ke bawah. Tidak ada air di bawah, juga tidak terlalu dalam.
Hanya lima kali ia menghitung, batu kecil itu sudah mengenai dasar sumur berdebuk seperti jatuh di atas tanah yang lunak. Tiang Bu berlaku nekad, mengerahkan sinkangnya dan merosot turun. Ia meluncur ke bawah dan tepat seperti sangkaannya. Sumur itu tidak dalam dan dasarnya bukan batu karang melainkan tanah lempung. Ketika ia meraba-raba di sebelah kiri kembali ada lubang, bentuknya bundar, bergaris tengah satu meter. Dan yang membuat hati Tiang Bu berdebar tegang, adalah sinar terang yang samar samar ia lihat di ujung sana ketika ia melongok ke dalam terowongan baru ini.
Akan tetapi hanya kelihatan samar samar saja. Cepat ia merayap lagi melalui lubang ini. Ia tertipu sinar samar-samar yang dilihatnya itu cahaya yang datang dari jauh, karena kembali ia tiba di tikungan. Terowongan ini tidak saja berliku-liku akan tetapi juga naik turun dan dua kali panjang terowon gan pertama. Tanpa mengenal lelah Tiang Bu merayap terus. Keadaan terowongan makin lama makin terang dan akhirnya, dengan napas terengah-engah, tibalah ia di sebuah ruangan dalam tanah yang lebar dan lega seperti sebuah kamar. Di atas terdapat lubang-lubang di antara batu-batu karang dari mana sinar matahari masuk. Dan di bawah terdapat lubang merupakan sungai-sungai kecil di mana air hujan yang masuk dari alas terus mengalir ke bawah, tidak sampai membanjiri ruangan.
Melihat bentuk dinding ruangan, tak salah lagi bahwa tempat ini adalah buatan alam dan sama sekali belum pernah dijamah tangan manusia atau diinjak kaki manusia. Ketika Tiang Bu merayap naik melalui dinding sebelah kiri yang agak mendoyong, melalui se buah lubang yang cukup besar ia keluar atas ruangan itu dan ternyata tiba di sebuah lereng gunung yang penuh dengan tetumbuhan segar. Bukan main girangnya dan diam-diam ia menertawai Liok Kong Ji yang menyuruh orang menjaga di pinggir jurang.
Di dalam ruangan itu Tiang Bu menggembleng dirinya lagi. Untuk mengembalikan sinkang yang sudah meninggalkan tubuhnya selama ia bermain gila dengan dua orang gadis cabul itu, ia harus melatih diri keras-keras dan tanpa mengenal lelah. Siang malam bersamadhi mengatur napas, dan melatih ilmu dari kitab-kitabnya, Seng-thian-to, Thian-te Shi-keng, dan Kiang-liong-kun-hwat. Ia melatih diri sungguh-sungguh dan dengan tekun sekali, bahkan menghafal semua isinya di luar kepala. Ia ingin memindahkan semua kitab ke dalam kepala kemudian hendak membakar kitab-kitab itu agar jangan sampai terjatuh ketangan orang-orang jahat.
Oleh karena belajar seorang diri dengan tekun kadang-kadang mendatangkan keisengan, dan pula membalik-balik lembaran buku untuk mempelajari tiap jurus merupakan hal yang melelahkan juga, tanpa disengaja Tiang Bu menggunakan jari telunjuknya untuk melukiskan tiap gerakan di atas dinding ruangan batu itu. Setelah melatih diri dengan amat tekun dan prihatin, pemuda ini mendapat kembali kekuatannya, bahkan setelah ilmu Seng-thian-to dan Thian-te Si-keng ia pelajari sampai tamat tenaga lweekangnya meningkat cepat dan sinkang di tubuhnya bertumbuh cepat.
Ia memerlukan waktu setahun lebih untuk menghafal tiga kitab itu, lalu dibakarnya sampai menjadi abu semua. Akan tetapi sebagai penggantinya di dinding gua itu terdapat lukisan-lukisan tiap jurus dari ilmu silat tinggi dan luar biasa. Thian-te Si-keng dan Seng-thian-to sama sekali tidak mengajarkan ilmu silat. Akan tetapi di dalam tiap sajak itu bersembunyi gerakan yang harus dimengerti sendiri.
Tiang Bu yang selain memiliki dasar ilmu silat tinggi dari Omei-san, juga memiliki bakat dan kecerdikan luar biasa, dapat menangkap maksud-maksud tersembunyi dalam sajak ini dan dapat menciptakan gerakan silat jurus-jurus ilmu silat yang tiada bandingannya di dunia ini. Girangnya bukan main karena baru sekarang terbuka matanya dan ia betul-betul dapat mengisap sari pelajaran dari dua macam kitab itu.
Inilah sebabnya mengapa ia terlambat datang di kota raja dan ketika ia akhirnya meninggalkan gua itu pergi ke kota raja, ia melihat kota raja sudah diserbu oleh balatentara Mongol. Dengan amat kaget pemuda ini ikut menyerbu masuk, morobohkan setiap orang serdadu Mongol yang hendak menghalanginya. Cepat ia menyelidiki dan akhirnya ia berhasil menemukan istana Pangeran Wanyen Ci Lun. Akan tetapi kedatangannya terlambat, pangeran itu bersania isterinya sudah tewas. Namun masih belum terlambat bagi Tiang Bu untuk bertemu dengan ibunya, Gak Soan Li, dan mendengar keterangan yang menusuk hatinya dari Pangeran Wanyen Ci Lun bahwa memang betul dia adalah anak dari Liok Kong Ji.
Demikianlah perjalanan Tiang Bu semenjak dia terjerumus ke dalam jurang sampai ia muncul di kota raja yang sedang geger itu. Kemudian, di antara asap dan api yang membakar kota raja dan di antara pertempuran-pertempuran yang masih juga belum padam, berkelebat bayangan seorang pemuda yang memondong tubuh seorang wanita yang sudah mati. Gerakan pemuda ini luar biasa cepatnya dan sebentar saja ia sudah keluar dari kota raja yang menjadi neraka itu, terus lari ke selatan sambil memondong mayat itu. Pemuda ini adalah Tiang Bu yang memondong jenazah ibunya, Gak Soan Li.
Sementara itu, di lain bagian dari lingkungan istana, Wan Sun dan Wan Bi Li mengamuk dikoroyok oleh banyak panglima Mongol, Wan Sun menggerakkan pedangnya dengan ganas, akan tetapi, lebih ganas lagi adalah Wan Bi Li yang tangan kanan mainkan pedang tangan kiri mainkan seekor ular. Sudah banyak pengeroyok yang roboh binasa oleh dua orang muda murid Ang-jiu Mo-li ini.
Sementara itu, tidak jauh dari mereka Kwan Kok Sun dan beberapa orang panglima lain mengamuk secara nekad dan mati-matian. Lawan juga amat kuat karena di antara mereka terdapat Pak-kek Sam-kui yang berkepandaian tinggi. Kwan Kok Sun sudah terdesak hebat dan terluka pundaknya, sedangkan Bi Li dan Wan Sun yang kepandaiannya lebih tinggi juga tak dapat membantunya karena dua orang muda ini sendiri terkurung oleh musuh yang banyak jumlahnya. Beberapa jurus kemudian, setelah dengan nekad merohohkan dua orang pengeroyok dengan pululan Hek-tok-ciang yang lihai. Kwan Kok Sun juga roboh terkena pukulan tangan Giam-lo-ong Ci Kui sehingga ia terbanting pingsan dengan kepala luka-luka berat.
“Semua minggir, biarkan kami bertiga menangkap dua orang muda liar ini,” seru Sin-sai-kong Ang Louw yang merasa penasaran melihat orang-orangnya tidak mampu merobohkan Bi Li dan Wan Sun.
Tentu saja perintah ini diterima dengan girang oleh para panglima Mongol. Mereka segera mengundurkan diri dan diam-diam pergi dari situ untuk meIakukan pekerjaan yang lebih menguntungkan dan menggembirakan, yaitu merampok istana. Tak lama kemudian tinggal Pak-kek Sam-kui yang bertempur melawan Bi Li dan Wan Sun.
Pak-kek Sam-kui adalah tokoh-tokoh dari utara yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi menghadapi dua orang muda ini, mereka tidak dapat mengalahkan dengan mudah. Bi Li dan Wan Sun adalah murtd-murid Ang-jiu Mo-li dan Wan Sun sudah mewarisi ilmu dari Omei-san pula, yaitu Kwan-im cam-mo biarpun belum sempurna betul, demikian pula Bi Li. Bahkan akhir-akhir ini Bi Li mewarisi ilmu-ilmu yang lihai dari K wan Kok Sun.
Maka dapat dibayangkan betapa hebat dan serunya pertempuran itu yang hanya disaksikan oleh mayat-mayat bergelimpangan di se kitar tempat itu. Malam telah mulai surut dan fajar sudah menjelang datang. Perlawanan pihak Kin sudah mulai habis, sebagian besar terbunuh, ada yang tertawan, dan hanya sebagian kecil saja berhasil melarikan diri menerobos pintu belakang.
Akhirnya Bi Li dan Wan Sun terdesak juga oleh Pak-kek Sam-kui yang lihai. Kalau hanya seorang lawan seorang, kiranya dua orang muda ini takkan kalah. Akan tetapi sekarang mereka berdua menghadapi tiga orang lawan yang sudah ada kerja sama yang amat kompak, maka perlahan akan tetapi tentu mereka berdua terdesak mundur dan terkurung rapat.
"Pak-kek Sam kui jangan menghina orang-orang muda!" terdengar seruan keras dan sinar pedang yang gemilang menyambar, membuat tiga orang itu kaget sekali.
Ketika Ci Kui melihat bahwa yang datang itu adalah Wan Sin Hong yang memegang Pak-kek-sin-kiam, ia menjadi gentar. Apalagi ketika mene ngok ke sana ke mari tidak melihat seorangpun kawan kecuali mereka bertiga. Sin Hong tidak membuang banyak waktu dan menggerakkan pedang menyerang Pak-kek Sam-kui.
Sementara itu ketika melihat bahwa yang datang adalah Wan Sin Hong yang gagah perkasa, Wan Sun menjadi lega dan segera mengajak Bi Li melihat keadaan Kwan Kok Sun yang sudah menggeletak mandi darah. Wan Sun berlutut dan melihat Kwan Kok Sun sudah empas empis napasnya dan matanya memandang ke arah Bi Li penuh peraaaan, cepat bertanya,
“Suhu, harap suhu suka membuka rahasia Li-moi...!”
Sebagai seorang tua, Kwan Kok Sun tentu saja menjadi maklum dan gerak-gerik Wan Sun selama ini. Pemuda ini mencinta puterinya, tak salah lagi. Dan sekarang tentu Wan Sun ingin Bi Li mendengar bahwa mereka bukan saudara kandung.
"Bi Li, datanglah dekat. Ayahmu takkan lama lagi...”
Bi Li mempunyai perasaan sayang yang yang ia mengerti terhadap ayah angkatnya ini. Mungkin karena sikap Kwan Kok Sun amat sayang kepadanya maka gadis ini membalasnya. “Gihu, (ayah angkat), mari kutolong kau keluar dari tempat ini dan berobat, kau akan sembuh...” katanya terharu.
"Bi Li, anakku sayang...” Kwan Kok-Sun memegang tangan anaknya, "dengar baik-baik. Aku tertuka berat, hanya untuk meninggalkan pesan ini aku menguatkan diri. Kau... kau adalah anakku yang sesungguhnya... Ibumu telah meninggal dunia... ketika kau masih kecil sekali, aku... aku menitipkan kau pada Pangeran Wanyen Ci Lun. Mereka itu adalah orang tua pungut, akulah sebenarnya ayahmu...”
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bi Li, kaget dan kecewa. Ia tadinya mengira senang puteri bangsawan, tidak tahunya dia adalah anak Kwan Kok Sun yang ia tahu dahulunya adalah orang jahat. Dengan muka pucat ia memandang ayahnya yang makin pucat dan lemah dan dengan mengeluarkan jerit tertahan Kwan Kok Sun menghembuskan nafas terakhir dengan tangan Bi Li masih dalam genggamannya. Bi Li merenggutkan tangannya, berdiri dengan kaki gametar, lalu... ia lari cepat pergi dari situ!
“Li-moi... kau mau ke mana...?”
Wan Sun mengejar, akan tetapi enam orang panglima Mongol yang kebetulan lewat di situ segera menyerangnya dengan hebat sehingga terpaksa ia melawan. Sementara itu, Bi Li sudah lenyap dari pandangan mata. Enam orang panglima Mongol ini memiliki kepandaian yang lumayan juga sehingga dengan susah payah setelah bertempur lama baru Wan Sun dapat merobohkan seorang lawan. Akan tetapi hampir saja pahanya kesetempet golok, baiknya pada saat itu muncul Wan Sin Hong lagi. Ternyata bahwa Pak-kek Sam-kui tidak kuat melawan Sin Hong dan larilah mereka sambil membawa luka pada pangkal lengan Giam-lo-ong Ci Kui. Sin Hong juga tidak mengejar karena ia meli hat Wan Sun dikeroyok dan cepat ia membantunya. Tiga orang pengeroyok roboh pula oleh Sin Hong. Yang lain cepat lari.
"Wan Sun. Mari kita pergi. Di mann Bi Li?”
"Dia sudah lari, entah ke mana..." jawab Wan Sun sedih.
Dari luar terdengar kaki banyak orang mendatangi. "Wan Sun. cepat pergi!"
Sin Hong menyambar lengan orang dan di lain saat ia telah membawa pemuda itu melompat ke atas genteng. Wan Sun kagum sekali melihat kehebatan kepandaian pamannya ini, maka tanpa banyak cakap lagi iapun mengikuti Sin Hong melarikan diri. Di atas genteng tidak terdapat banyak rintangan karena para serdadu Mongol sedang senang-senang merampoki istana di bawah. Juga di pintu gerbang sebelah barat tidak terdapat banyak rintangan sehingga Sin Ho ng dan Wan Sun dapat melarikan diri dengan mudah.
Karena tidak tahu ke mana perginya Bi Li dan Sin Hong berjanji kelak akan bantu mencari, akhirnya dengan hati berat dan sedih karena berita tentang kematian ayah burdanya, pemuda ini ikut dengan Sin Hong ke Kim-bun to. Memang Sin Hong tadinya datang ke istana Pangeran Wanyen Ci Lun, akan tetapi ia terlambat. Yang dilihatnya hanyalah jenazah pangeran itu saja, sedangkan Gak Soan Li tidak melihat kemana perginya.
Namun, kalau Wanyen Ci Lun tewas, kecil sekali kemungkinannya Soan Li akan selamat. Ia tadinya hendak membawa pergi jenazah Wanyen Ci Lun, akan tetapi kemudian ia teringat akan kata-kata pangeran itu bahwa mati hidup ia akan tinggal di kota raja. Akhhirnya ia meletakkan jenazah itu di atas bangku dan menutupinya dengan sehelai kain hijau yang dirobeknya dari dekat pintu besar. Kemudian ia pergi.
Kepada Wan Sun ia menceritakan bahwa Pangeran Wnnyen Ci Lun sudah gugur sebagai orang gagah dan ibunya entah pergi ke mana, akan tetapi sedikit harapan selamat melihat keadaan di istana yang sudah rusak itu.
Dapat dibayangkan betapa sedihnya hati Wan Sun. Ayahnya meninggal dunia tanpa ada yang dapat merawat jenazahnya. Ibunya lenyap tidak ketahuab bagaimana nasibnya, Bi Li juga entah ke mana. Di sepan jang perjalanan ke Kim-bun to. Wan Sun hanya menundukkan ke pala saja mendengarkan kata hiburan Wan Sin Hong. Kadang-kadang ia menarik napas panjang dan kadang-kadang jarang sekali ia mengusap air mata yang jatuh berderai di atas pipinya.
Di mana-mana pergerakan Jengis Khan ke selatan menemui perlawanan rakyat yang gigih. Orang-orang gagah di seluruh penjuru bangkit memimpin rakyat melakukan perang gerilya. Karena orang-orang seperti Liok Kong Ji dan lain-lain meninggalkannya dan merasa bosan menghadapi rong-rongan rakyat, perhatian Jengis Khan beralih ke barat. Ia menarik semua pasukannya, mengumpulkan kekuatan dan bagaikan gelombang banjir yang dahsyat dan tak terbendung bala tentara Mongol mulai menyerbu ke barat. Mula-mula Sin-kiang diserbu, lalu terus menaklukkan Iran, Afghanistan, bahkan dari Iran Utara mereka menyerbu Rusia Selatan melalui Pegunungan Kaukasia. Puluhan laksa orang dibunuh, kota-kota dibakar, dihancurkan oleh bala tentara yang maha hebat ini.
Sementara itu, kerajaan Kin yang tiba-tiba ditinggal pergi musuhnya ini mulai lagi membangun kota yang sudah rusak. Akan tetapi semangat mereka sudah patah-patah dan Karajaan Kin sudah tidak semakmur dahulu. Apalagi karena orang-orang besar seperti Pangeran Wanyen Ci Lun sudah tidak ada lagi.
Betapapun juga, setelah tidak ada gangguan dari bala tentara Mongol keadaan di dalam negeri menjadi aman kembali. Orang berdagang seperti biasa dan sebentar saja keramaian menjadi pulih kembali. Orang sudah hampir melupakan perang kalau saja di sana sini tidak nampak sisa-sisa tumpukan puing, tanda bah wa belum lama ini perang mengganas.
Pada suatu pagi yang cerah di kota Si-yang yang terletak di perbatasan Propinsi Shensi dan Honan, di sebelah selatan Sungai Kuning yang membelok dari utara ke timur. Kota Si-yang adalah kota ramai, karena adanya Sungai Kuning membuat lalu lintas perdagangan hidup. Apa lagi di situ adalah kota di perbatasan antara dua propinsi, mika orang-orang dari ke dua wilayah pada datang untuk berdagang. membuat kota itu makin lama menjadi makin besar penuh dengan hotel-hotel dan restoran-retoran untuk melayani para tamu pedagan g dari luar kota.
Semenjak orang-orang Mongol menyerbu dari utara dan orang-orang gagah dari hutan dan gunung bermunculan, orang-orang tidak merasa heran dan aneh lagi melihat orang-orang kang-ouw yang ganjil, baik roman muka, pakaian maupun sikap mereka. Akan tetapi apa yang dilihat orang pada pagi hari itu di dalam sebuab restoran terbesar di kota Si-yang, benar-benar membuat para tamu restoran lari cerai. berai dan para pelayan restoran berdiri melongo dengan muka pucat dan kaki gametar ketakutan.
Mula-mula orang ini tidak mendatangkan rasa takut sama sekali bahkan banyak mata diarahkan kepadanya dengan kagum dan penuh gairah. Dia seorang gadis muda yang cantik sekali, cantik manis wajahnya, dengan bentuk tubuh yang indah tercetak oleh pakaiannya yang ketat. Lekuk lengkung tubuh yang menunjukkan kedewasaan, bagaikan setangkai bunga cilan yang baru mulai mekar. N amun tak seorangpun berani memperlihatkan sikap atau mengeluarkan kata-kata sembrono oleh karena sikap si cantik ini amat gagcah, apalagi gagang pedang yang tersembul di balik bajunya membis ikkan bahwa gadis jel ita ini pun adalah seorang gadis kang-ouw yang gagah perkasa dan berbahaya. Mula-mula gadis ini hanya duduk dan minta pesanan arak dan bakmi serta beberapa macam kueh basah.
Akan tetapi, ketika arak dihidangkan dan ia mulai minum, sedangkan semua mata di kerlingkan ke arahnya, tiba-tiba muncul ular-ular berbisa yang galak dan mengerikan, keluar merayap dari dalam baju gadis itu. Makin lama makin banyak ular ke luar, ada yang merayap dan mengalungi leher si cantik, ada yang membelit-belit kaki, ada yan g membelit tangan dan ular-ular itu menjilat-jilat arak dari cawan yang dipegang olehnya! Ular-ular itu biarpun nampat jinak, akan tetapi maras mendesis -desis dan kelihatan galak sekali ketika melihat orang lain.
Melihat ini, para tamu merasa ngeri dan larilah mereka keluar dan restoran itu, berbisik pada orang-orang yang berada di luar restoran. "Ada siluman ular...!”
Para pelayan tidak berani mendekat, karena ular-ular itu nampaknya siap menyerang siapa saja yang mendekati gadis itu dan semua orang dapat melihat bahwa ular-ular itu adalah binatang-binatang berbisa yang paling berbahaya. Pada saat itu, dari luar restoran terdengar suara laki-laki yang tenang dan lembut,
"Aah, kalian mengingau. Mana ada siluman muncul di pagi hari?” Tak lama kemudian dari luar masuklah seorang pemuda dengan langkah tenang. Begitu ia memandang dan melihat gadis itu, ia mengeluarkan seruan girang,
"Aah, kiranya kau, nona Wanyen...!”
Pemuda itu bukan lain adalah Tiang Bu. Tadi ketika ia sedang berjalan, ia mendengar bisikan-bisikan mereka yang lari keluar dari restoran. Tentu saja ia merasa tertarik sekali mendengar ada "siluman ular” di dalam restoran, maka cepat ia memasuki restoran itu dan melihat bahwa yang disebut “siluman ular” itu bukan lain adalah Wan Bi Li. Maka dengan girang ia menegur dan dalam kesederhanaannya tanpa banyak sungkan lagi Tiang Bu lalu menyeret sebuah bangku duduk menghadapi nona itu. Melihat pemuda ini duduk menghadapi nona aneh itu dan sama sekali tidak kelih atan takut akan empat ekor ular yang kini semua mengulurkan kepala kepadanya dengan garang, para tamu yang tadinya masih ragu-ragu sekarang pergi semua, Bahkan para pelayan juga menjauhkan diri, berdiri berkelompok sambil berbisik-bisik.
Dengan tenang Bi Li memandang kepada Tiang Bu, cawan arak masih di tan gan kirinya, dan ia berkata dingin. "Aku bukan nona Wanyen!”
"Aah, harap jangan main -main nona Wan-yen. Aku mengenalmu, bahkan dulu di Omni-san kita sudah pernah bertemu. Aku Tiang Bu dan... dan sesungguhnya diantara kita masih ada tali persaudaraan. Kita ini masih saudara tiri nona satu ibu lain ayah."
"Sudah kukatakan, aku bukan keluarga Wsnyen. Ayahku Kwan Kok Sun yang berjuIuk Tee-tok (Racun Bumi), kongkongku yang berjuluk See-thian Tok-ong (Raja Racun dari barat). Apa kau tidak lekas lari minggir ketakutan seperti orang-orang itu?" Bi Li bersikap angker, hendak mematut diri dengan sebutan-sebutan menyeramkan dari ayah dan kongkongnya itu.
Biarpun Tiang Bu merasa heran mendengar ini namun ia tidak takut. Ia bahkan tersenyum. "Betulkah itu?" tanyanya ragu-ragu.
"Siapa membohong padamu? Wanyen Ci Lun dan isterinya bukan orang tuaku, hanya semenjak kccil ayah menitipkan aku kepada mereka... eh, kau ini orang apakah yang mengajakku bercakap-cakap? Setan, pergi kau!”
Tiang Bu tersenyum, nampak girang dan geli melihat sikap nona ini. Nona yang cantik jelita, tak pernah ia bertemu dengan yang secantik ini, akan tetapi yang berusaha sekerasnya supaya kelihatan menyeramkan. "Kalau kita bukan saudara, lebih baik lagi, nona Kwan. Kau memang dari keluarga yang cukup menakutkan. Akan tetapi jangan kira bahwa akupun dari keluarga biasa saja. Siapa yang tidak mengenal ayahku, Liok Kong Ji yang dijuluki manusia manusia iblis karena jahat, keji dan kejamnya? Akulah puteranya! Nah, bukankah kita sama-sama keturunan orang-orang jahat belaka?”
Akan tetapi, mendengar kelakar ini, Bi Li tidak tertawa. bahkan membanting cawan araknya di atas mejat sampai ambles ke dalam lalu me lompat berdiri dan pe dangnya sudah berada di tangan. Empat ekor ular itu otomatis sudah melingkar di kedua tangannya, siap untuk membantunya. Nona ini benar-benar kelihatan menyeramkan sekarang, dengan senjata pedang dan ular-ularnya itu. Bau semerbak harum yang keluar dari tubuhnya makin keras menyengat hidung. Akan tetapi Tiang Bu tetap duduk memeluk lutut, menggoyang-goyangkan kaki dan tersenyum, seakan-akan melihat pemandangan yang lucu sekali.
“Bagus, anak dari bangsat keji Liok Kong Ji? Dengar aku hendak membunuh keparat Liok Kong Ji dan kau ini anaknya, boleh sekarang juga membela ayahmu!"
Senyum Tiang Bu melebar. "Baik sekali kalau begitu, kita setujuan. Akupun hendak membunuhnya kalau bertemu dengan Liok Kong Ji."
Bi Li kelihatan kaget dan terheran-heran. "Kau...? Kalau kau anaknya... kau hendak membunuh ayahmu sendiri...?” ia nampak tidak percaya dan pedannya masih siap di tangan.
“Biar dia ayahku namun aku tak sudi mengakunya. Dia telah berdosa besar kepada ibuku Gak Soan Li yang menjadi Nyonya Wanyen Ci Lun. Aku sudah bersumpab di depan jenazah ibuku untuk membunuhnya."
Padang itu menurun, lalu kembali ke tempat di punggung gadis itu. Bi Li duduk lagi, kini pandang matanya kepada Tiang Bu agak ramah. Garis garis duka membayang di jidatnya.
"Ibu... eh, Nyonya Wanyen sudah... sudah tewas...?” tanyanya, jelas sekali ia menahan isak tangisnya.
Tiang Bu menelan ludah menekan keharuan hati. "Betul, juga Pangeran Wanyen Ci Lun, mereka tewas sebagai orang-orang gagah. Aku hanya sempat merawat dan mengubur jenazah ibuku, terpaksa meninggalkan jenazah Pangetan Wanyen di istananya. Nona Wanyen... oh, nona Kwan...“
"Namaku Bi Li!”
"Baiklah, Bi Li, mana kakakmu, Wan Sun? Dia itulah saudara tiriku yang satu-satunya, aku ingin sekali bertemu dengan saudaraku itu."
"Entahlah, aku pergi meninggaIkannya. Dia bukan kakakku lagi, kami adalah orang lain yang secara kebetulan saja sejak kecil mengaku saudara kandung. Aku kini seorang yatim piatu sebatang kara di dunia ini, hanya dengan ular-ularku yang setia.”
“Sama dengan aku. Biarpun ayahku, masih hidup, aku sudah menganggapnya tidak ada. Akupun yattm piatu seperti kau. Bi Li, kau sekarang hendak ke manakah?”
"Mencari Liok Kong Ji untuk kubunuh, karena dia sudah terlalu banyak membikin susah orang-orang yang kusayang.”
“Kau tahu kemana harus mencarinya?”
"Kemana saja. Biar ke neraka sekalipun akan kususul.”
"Tidak usah bergitu jauh. Aku tahu tempat sembunyinya, dan akupun hendak ke sana. Mau kau ikut? Dia bukan orang sembarangan, kaki tangannya banyak, kedudukannya amat kuat. Kau bergerak seorang diri amat berbahaya, kalau kita menyerbu bersama, baru ada harapan. Bagaimana?"
“Di mana tempatnya?”
“Di tempat berbahaya yang dinamai Un-tiok-lim, tempat yang penuh rahasia dan kabarnya tak seorangpun, bagaimana gagahnya mampu masuk ke sana. Di sana Liok Kong Ji tinggal bersama kaki tangannya. Bagaimana kau suka?”
”Boleh sekali! Kau orang baik, Tiang Bu."
Pemuda itu tertawa girang. Gadis ini benar-benar berwatak polos dan jujur, dan ini, menggirangkan hatinya, sesungguhnya baru sekarang ia bertemu dengan gadis yang menarik hati dan menyenangkan hatinya, di samping Ceng Ceng dan Pek Lian.
"Kalau begitu, sesudah kita menjadi sahabat, mengapa kau tidak menawarkan minum?” Bi Li tersenyum dan hati Tiang Bu berdebar keras. Hebat sekali. Bukan main manisnya gadis ini kalau tersenyum, pikirnya. Kalah Ceng Ceng.
"Agaknya watak nenek moyangku yang buruk sudah menurun padaku. Duduklah di sini menghadapi meja dan mari minum arak bersamaku, Tiang Bu."
"Terima kasih, Bi Li. Heei, pelayan, tambah araknya seguci lagi. Dan bakmi semangkok besar, bakpauw sepiring. Cepat...!!"
"Ba... baik, siauwya...!” Seorang pelayan cepat mengerjakan pesanan ini, akan tetapi setelah siap dan hendak mengantarkan, ia berdiri ketakutan di tempat agak jauh, memegangi mangkok dan piring itu, tidak berani mendekat.
“Kenapa kau?” tanya Tiang Bu.
"Maaf, siauwya... maaf, siocia... itu...itu ular-ular…"
Bi Li tersenyum dan mengeluarkan suara mendesis perlahan dengan bibirnya yang merah. Cepat sekali empat ekor ular itu manyelinap dan lenyap ke dalam saku bajunya setelah mendengar desis perintah ini.
"Nah, mereka sudah sembunyi, takut apa lagi?" kata Tiang Bu dan pelayan itu dengan masih takut-takut sekarang berani mendekat untuk menaruh bakmi, arak dan bakpauw di atas meja. Ia hendak berlaku hormat den membuka tutup guci menuangkan arak untuk Tiang Bu ke dalam cawan. Akan tetapi ketika hendak menuangkan arak untuk Bi Li dan melihat cawan melesak ke dalam meja, menjadi pucat.
“Tuangkan arak untuk siocia,” kata Tiang Bu sambil menekan meja dan seperti tercabut oleh tangan yang tidak kelihatan tahu-tahu cawan yang tadinya melesak ke dalam meja itu mumbul kembali.
Melihat ini, pelayan itu makin kaget dan kagum, di dalam hatinya menduga bahwa hari ini restorannya betul-betul kedatangan siluman-siluman yang pan dai ilmu sihir! Setelah menuangkan arak untuk Bi Li, ia cepat mengundurkan diri dengan sikap hormat. Akan tetapi begitu ia masuk ke dalam ia cepat lari ke luar dari pintu belakang.
Di kota Si-yang terdapat tikoan the Thio. Dia adalah tikoan baru, yang diangkat semenjak perang selesai. Tikoan she Thio ini sebetulnya adalah bekas guru silat yang sombong. Setelah perang selesai, entah bagaimana Thio-kauwsu ini menjadi kaya raya. Padahal menurut pengakuannya sendiri, ketika terjadi penyerbuan orang-orang Mongol ia bcrjuang di kota raja dan berjasa besar dalam "memukul mundur" bala tentara Mongol! Dia kembali ke Si-yang dengan harta benda banyak dan membual akan jasa-jasanya. Dengan alasan jasa-jasa terhadap negara inilah terutama sekali dengan pengaruh sogokan-sogokan yang secara royal ia sebarkan kepada pembesar. pembesar tinggi, akhirnya ia berhasil merebut kedudukan pembesar tikoan di kota Si-yang. Memang sudah lajim di dunia ini, sesudah perjuangan selesai, cecunguk-cecunguk rendah bermunculan dan berebut penonjolan jasa-jasa.
Contohnya Thio-kauwsu ini. Ketika perang berkobar dan orang-orang gagah berjuang untuk membela negara, dia menyelundup ke kota raja, bukan untuk berjuang melawan musuh melainkan untuk “berjuang" mengumpulkan harta yang ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang bangsawan, bekerja sebagai maling atau rampok. Kemudian, di Si-yang, ia menonjolkan jasa-jasanya sebagai pejuang dan menggunakan harta curiannya untuk menyuap dan menyogok sana-sini sehingga akhirnya ia dapat menduduki tempat sebagai pembesar. Dapat dibayangkan betapa bobroknya keadaan masyarakat dengan "pe mbesar-pembesar" macam ini sebagai orang-orang berkuasa yang "memimpin” rakyat!
Cara Thio-kauwsu, atau sekarang disebut Thio-tikoan, mempertahankan dan membela kedudukannya adalah cara lama yaitu mengumpulkan tukang-tukang pukul yang merupakan pasukan istimewa, pada lahirnya disebut pasukan pengawal keselamatan tikoan, pada hal sebetulnya adalah pasukan yang harus mempertahankan isi gudang kekayaannya dan mempertahankan pangkatnya. Selain ini, Thio-tikoan juga berusaha mengambil hati rakyat. Dengan jalan melidungi rakyat dari gangguan orang jahat. Tentu saja sebutan rakyat dalam mata tikoan ini berbeda dengan rakyat dalam pandan gan mata kita.
Bukan rakyat kalau orang itu tidak dapat memberi "apa-apa" kepadanya! Yang dimaksudkan rakyat olehnya, rakyat yang perlu dilindungi dan dibela, adalah orang yang dapat memberi "apa-apa" untuk menambah penuh isi gedungnya. Petani-petani miskin? Ooo, mereka itu bukan rakyat, melainkan tenaga-tenaga yang harus tunduk kepada “rakyat”, pemilik tanah seperti kerbau-kerbau bermuka manusia. Si jembel? Apalagi. Mereka itu bukan rakyat melainkan penjahat penjahat yang perlu diawasi.
Restoran-restoran pada waktu menghasilkan untung besar, maka menjadi "langganan" baik Thio-tikoan dan terlindung. Maka ketika pelayan itu dengan terengah melaporkan bahwa restorannya didatangi dua "siluman" aneh yang mencurigakan. Thio-tikoan lalu memberi perintah kepada serombongan tukang pukulnya untuk "membereskan" perkara ini.
Demikianlah, ketika Tiang Bu dan Bi Li sedang enak-enak makan bakmi dan bakpauw sambil minum arak, tiba-tiba serombongan orang terdiri dari tujuh orang yang kelihatan kuat-kuat dan galak memasuki restoran itu. Tadinya Tiang Bu dan Bi Li tidak ambil perduli, akan tetapi ketika melihat betapa mata ke tujuh orang itu diarahkan kepada mereka, Bi Li berkata nyaring.
"Kau lihat restoran ini jorok sekali, lalat hijau yang kotor dibiarkan masuk. Mari kita habiskan arak dan lekas pergi!” Sambil berkata demikian, Bi Li mengangkat hidungnya yang kecil mancung dengan sikap menghina.
Tujuh orang tukang pukul itu saling pandang, lalu pemimpinnya seorang laki-laki berusia tiga puluh tahunan dengan kedua lengan baju disingsingkan ke atas sehinga nampak otot-otot melingkar di sepasang lengannya berkata kepada pelayan yang kepalanya menongol dari balik daun pintu di belakang restoran,
“Memang cantik jelita, akan tetapi mana ularnya? Jangan-jangan kau yang khilaf, bidadari disangka siluman. Ha ha ha!"
Pelayan itu diam saja karena ia takut. Akan tetapi pemimpin rombongan yang mempunyai tahi lalat di ujung hidungnya ini, dengan langkah lebar menghampiri Bi Li dan Tiang Bu, lalu berkata sambil menunjuk hidungnya sendiri.
“Nona manis, kau memaki lalat hijau padaku, memang aku lalat yang ingin sekali hinggap di pipimu yang licin. Ha ha ha. Kalian tidak tahu, aku adalah Ban-Ek Si Kepalan Besi, komandan polisi kota ini. Apa kalian masih berani kurang hormat?" Ban-Ek Si Kepalan Besi itu mengamangkan tinjunya untuk memperkuat julukannya Kepalan Besi...
“Hmm, setahuku anakmu banyak. Ada Cui Kong, ada... ada yang lain-lain."
Tiang Bu tidak dapat menyebut nama Cui Lin dan Cui Kim. Jangankan menyebut nama dua orang gadis itu, teringat kepada mereka saja sudah mendatangkan rasa malu yang luar biasa besarnya. Kalau bisa ia ingin melupakan dua orang gadis itu selama hidupnya, ingin malenyapkan mereka dari ingatannya.
"Aah, mereka itu hanya anak-anak angkat atau murid-murid. Cui Kong menjadi anak angkatku baru beberapa tahun ini. Dia anak yatim piatu yang berbakat baik maka kuangkat menjadi puteraku. Ini terjadi sebelum aku tahu bahwa kau masih hidup. Akan tetapi sekarang ada kau, yang lain-lain tidak masuk hitungan. Tentang Cui Lin dan Cui Kim... mereka itu biarpun kuangkat menjadi anak-anakku, sebetulnya mereka itu akan menjadi bini-bini mudaku. Akan tetapi sekarang aku tahu bahwa kau cinta kepada mereka. Tidak apa, aku mengalah. Dua orang gadis cantik itu biar kuberikan kepadamu. Mari kau ikut dengan aku, Tiang Bu. dan dua orang gadis itu, Cui Lin dan Cui Kim, biar melayanimu untuk selamanya atau selama kau masih suka kepada mereka...“
“Tutup mulut dan pergilah!" Tiang Bu membentak marah. mukanya berubah marah sekali. Ucapan yang keluar dari mulut orang ini benar-benar membuat ia merasa muak perutnya. “Aku tidak percaya bahwa aku anakmu. Aku tidak sudi punya ayah seperti engkau!"
Kong Ji tersenyum getir. "Kau sudah terlalu lama hidup diantara orang-orang yang memusuhiku, sehingga tertanam kebencian terhadapku didalam dadamu. Baik juga kau merasai hukuman di sini agar dapat merubah pendirianmu yang keliru itu. Mana ada anak membenci bapaknya? Kalau aku mempunyai anak lain, tentu sekali pukul aku dapat bikin mampus kau. Akan tetapi anakku hanya kau seorang sedapat mungkin hendak kuperbaiki watakmu. Biar kau bertapa di sini sampai kau mengakui aku sebagai ayahmu, ikut dengan aku sebagai anak berbakti, hidup mulia dan bahagia di Ur-liok-lim seperti seorang pangeran. Sebelum kau mau mengaku, jangan harap kau bisa keluar dari sini.”
Setelah berkata demikian, Kong Ji melompat lagi dan ke luar dari jurang itu. Ketika Tiang Bu yang mengikuti gerakan-gerakannya melihat Kong Ji sudah keluar dari jurang, ia melihat belasan orang berpakaian serdadu menjaga di pinggir jurang siap untuk menghalangi ia keluar! Memang mudah saja kalau orang mau mencegah ia keluar. Dengan melemparkan batu ke bawah, biarpun kepandaiannya tinggi takkan mungkin ia dapat keluar dari jurang yang terjal itu.
Akan tetapi Tiang Bu tidak kehilangan akal. Ia mulai menyelidiki keadaan lereng jurang yang seperti anak gunung tingginya itu. Akhirnya penyelidikannya berhasil. Di antara batu-batu karang yang terjal. ia melihat sebuah gua yang lebarnya hanya paling banyak satu meter segi empat. Ia merayap dan dengan susah payah akhirnya ia dapat masuk dan duduk di dalam gua melepaskan kelelahannya. Kini mendapatkan tempat terlindung dari hujan dan angin atau panas matahari.
Diraba-rabanya saku bajunya. Bagus, kitab-kitabnya dari Omei-san ternyata masih ada berikut obat-obatnya. Agaknya dua orang gadis tidak berani mengambil kitab-kitabnya selama mereka masih menjadi “kekasi hnya”. Hanya peti kecil berisi katak itu saja yang terampas. Juga kiranya dalam keadaan tergesa-gesa, Cui Kong tidak memeriksa isi sakunya. kalau kitab-kitab Omei-san itu sampai terjatuh ke dalam tangan Cui Kong, celaka!
Setelah lelahnya berkurang, Tiang Bu merayap makin dalam. Ternyata gua kecil itu adalah sebuah terowongan. Ia merayap terus di dalam gelap membawa setangkai kayu untuk dipakai melindungi diri, kalau-kalau di depan ada sesuatu yang menyerangnya. Terowongan itu panjang dan berliku-liku, sukar diukur berapa panjangnya, hanya Tiang Bu merayap sudah cukup lama ketika ia tiba di sebuah jalan buntu. Terowongan itu berhenti di tepi sebuah sumur!
Sumur ini hanya dapat ia ketahui atau duga-duga dengan meraba-raba saja karena keadaan gelap. Melihat jari tangan di depan mata sendiri saja tidak kelihatan. Tiang Bu makin tertarik dia ingin tahu. Dengan pengerahan tenaga yang masih ada padanya. ia mencabut batu kecil dari dinding karang dan melempar ke bawah. Tidak ada air di bawah, juga tidak terlalu dalam.
Hanya lima kali ia menghitung, batu kecil itu sudah mengenai dasar sumur berdebuk seperti jatuh di atas tanah yang lunak. Tiang Bu berlaku nekad, mengerahkan sinkangnya dan merosot turun. Ia meluncur ke bawah dan tepat seperti sangkaannya. Sumur itu tidak dalam dan dasarnya bukan batu karang melainkan tanah lempung. Ketika ia meraba-raba di sebelah kiri kembali ada lubang, bentuknya bundar, bergaris tengah satu meter. Dan yang membuat hati Tiang Bu berdebar tegang, adalah sinar terang yang samar samar ia lihat di ujung sana ketika ia melongok ke dalam terowongan baru ini.
Akan tetapi hanya kelihatan samar samar saja. Cepat ia merayap lagi melalui lubang ini. Ia tertipu sinar samar-samar yang dilihatnya itu cahaya yang datang dari jauh, karena kembali ia tiba di tikungan. Terowongan ini tidak saja berliku-liku akan tetapi juga naik turun dan dua kali panjang terowon gan pertama. Tanpa mengenal lelah Tiang Bu merayap terus. Keadaan terowongan makin lama makin terang dan akhirnya, dengan napas terengah-engah, tibalah ia di sebuah ruangan dalam tanah yang lebar dan lega seperti sebuah kamar. Di atas terdapat lubang-lubang di antara batu-batu karang dari mana sinar matahari masuk. Dan di bawah terdapat lubang merupakan sungai-sungai kecil di mana air hujan yang masuk dari alas terus mengalir ke bawah, tidak sampai membanjiri ruangan.
Melihat bentuk dinding ruangan, tak salah lagi bahwa tempat ini adalah buatan alam dan sama sekali belum pernah dijamah tangan manusia atau diinjak kaki manusia. Ketika Tiang Bu merayap naik melalui dinding sebelah kiri yang agak mendoyong, melalui se buah lubang yang cukup besar ia keluar atas ruangan itu dan ternyata tiba di sebuah lereng gunung yang penuh dengan tetumbuhan segar. Bukan main girangnya dan diam-diam ia menertawai Liok Kong Ji yang menyuruh orang menjaga di pinggir jurang.
Di dalam ruangan itu Tiang Bu menggembleng dirinya lagi. Untuk mengembalikan sinkang yang sudah meninggalkan tubuhnya selama ia bermain gila dengan dua orang gadis cabul itu, ia harus melatih diri keras-keras dan tanpa mengenal lelah. Siang malam bersamadhi mengatur napas, dan melatih ilmu dari kitab-kitabnya, Seng-thian-to, Thian-te Shi-keng, dan Kiang-liong-kun-hwat. Ia melatih diri sungguh-sungguh dan dengan tekun sekali, bahkan menghafal semua isinya di luar kepala. Ia ingin memindahkan semua kitab ke dalam kepala kemudian hendak membakar kitab-kitab itu agar jangan sampai terjatuh ketangan orang-orang jahat.
Oleh karena belajar seorang diri dengan tekun kadang-kadang mendatangkan keisengan, dan pula membalik-balik lembaran buku untuk mempelajari tiap jurus merupakan hal yang melelahkan juga, tanpa disengaja Tiang Bu menggunakan jari telunjuknya untuk melukiskan tiap gerakan di atas dinding ruangan batu itu. Setelah melatih diri dengan amat tekun dan prihatin, pemuda ini mendapat kembali kekuatannya, bahkan setelah ilmu Seng-thian-to dan Thian-te Si-keng ia pelajari sampai tamat tenaga lweekangnya meningkat cepat dan sinkang di tubuhnya bertumbuh cepat.
Ia memerlukan waktu setahun lebih untuk menghafal tiga kitab itu, lalu dibakarnya sampai menjadi abu semua. Akan tetapi sebagai penggantinya di dinding gua itu terdapat lukisan-lukisan tiap jurus dari ilmu silat tinggi dan luar biasa. Thian-te Si-keng dan Seng-thian-to sama sekali tidak mengajarkan ilmu silat. Akan tetapi di dalam tiap sajak itu bersembunyi gerakan yang harus dimengerti sendiri.
Tiang Bu yang selain memiliki dasar ilmu silat tinggi dari Omei-san, juga memiliki bakat dan kecerdikan luar biasa, dapat menangkap maksud-maksud tersembunyi dalam sajak ini dan dapat menciptakan gerakan silat jurus-jurus ilmu silat yang tiada bandingannya di dunia ini. Girangnya bukan main karena baru sekarang terbuka matanya dan ia betul-betul dapat mengisap sari pelajaran dari dua macam kitab itu.
Inilah sebabnya mengapa ia terlambat datang di kota raja dan ketika ia akhirnya meninggalkan gua itu pergi ke kota raja, ia melihat kota raja sudah diserbu oleh balatentara Mongol. Dengan amat kaget pemuda ini ikut menyerbu masuk, morobohkan setiap orang serdadu Mongol yang hendak menghalanginya. Cepat ia menyelidiki dan akhirnya ia berhasil menemukan istana Pangeran Wanyen Ci Lun. Akan tetapi kedatangannya terlambat, pangeran itu bersania isterinya sudah tewas. Namun masih belum terlambat bagi Tiang Bu untuk bertemu dengan ibunya, Gak Soan Li, dan mendengar keterangan yang menusuk hatinya dari Pangeran Wanyen Ci Lun bahwa memang betul dia adalah anak dari Liok Kong Ji.
Demikianlah perjalanan Tiang Bu semenjak dia terjerumus ke dalam jurang sampai ia muncul di kota raja yang sedang geger itu. Kemudian, di antara asap dan api yang membakar kota raja dan di antara pertempuran-pertempuran yang masih juga belum padam, berkelebat bayangan seorang pemuda yang memondong tubuh seorang wanita yang sudah mati. Gerakan pemuda ini luar biasa cepatnya dan sebentar saja ia sudah keluar dari kota raja yang menjadi neraka itu, terus lari ke selatan sambil memondong mayat itu. Pemuda ini adalah Tiang Bu yang memondong jenazah ibunya, Gak Soan Li.
Sementara itu, di lain bagian dari lingkungan istana, Wan Sun dan Wan Bi Li mengamuk dikoroyok oleh banyak panglima Mongol, Wan Sun menggerakkan pedangnya dengan ganas, akan tetapi, lebih ganas lagi adalah Wan Bi Li yang tangan kanan mainkan pedang tangan kiri mainkan seekor ular. Sudah banyak pengeroyok yang roboh binasa oleh dua orang muda murid Ang-jiu Mo-li ini.
Sementara itu, tidak jauh dari mereka Kwan Kok Sun dan beberapa orang panglima lain mengamuk secara nekad dan mati-matian. Lawan juga amat kuat karena di antara mereka terdapat Pak-kek Sam-kui yang berkepandaian tinggi. Kwan Kok Sun sudah terdesak hebat dan terluka pundaknya, sedangkan Bi Li dan Wan Sun yang kepandaiannya lebih tinggi juga tak dapat membantunya karena dua orang muda ini sendiri terkurung oleh musuh yang banyak jumlahnya. Beberapa jurus kemudian, setelah dengan nekad merohohkan dua orang pengeroyok dengan pululan Hek-tok-ciang yang lihai. Kwan Kok Sun juga roboh terkena pukulan tangan Giam-lo-ong Ci Kui sehingga ia terbanting pingsan dengan kepala luka-luka berat.
“Semua minggir, biarkan kami bertiga menangkap dua orang muda liar ini,” seru Sin-sai-kong Ang Louw yang merasa penasaran melihat orang-orangnya tidak mampu merobohkan Bi Li dan Wan Sun.
Tentu saja perintah ini diterima dengan girang oleh para panglima Mongol. Mereka segera mengundurkan diri dan diam-diam pergi dari situ untuk meIakukan pekerjaan yang lebih menguntungkan dan menggembirakan, yaitu merampok istana. Tak lama kemudian tinggal Pak-kek Sam-kui yang bertempur melawan Bi Li dan Wan Sun.
Pak-kek Sam-kui adalah tokoh-tokoh dari utara yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi menghadapi dua orang muda ini, mereka tidak dapat mengalahkan dengan mudah. Bi Li dan Wan Sun adalah murtd-murid Ang-jiu Mo-li dan Wan Sun sudah mewarisi ilmu dari Omei-san pula, yaitu Kwan-im cam-mo biarpun belum sempurna betul, demikian pula Bi Li. Bahkan akhir-akhir ini Bi Li mewarisi ilmu-ilmu yang lihai dari K wan Kok Sun.
Maka dapat dibayangkan betapa hebat dan serunya pertempuran itu yang hanya disaksikan oleh mayat-mayat bergelimpangan di se kitar tempat itu. Malam telah mulai surut dan fajar sudah menjelang datang. Perlawanan pihak Kin sudah mulai habis, sebagian besar terbunuh, ada yang tertawan, dan hanya sebagian kecil saja berhasil melarikan diri menerobos pintu belakang.
Akhirnya Bi Li dan Wan Sun terdesak juga oleh Pak-kek Sam-kui yang lihai. Kalau hanya seorang lawan seorang, kiranya dua orang muda ini takkan kalah. Akan tetapi sekarang mereka berdua menghadapi tiga orang lawan yang sudah ada kerja sama yang amat kompak, maka perlahan akan tetapi tentu mereka berdua terdesak mundur dan terkurung rapat.
"Pak-kek Sam kui jangan menghina orang-orang muda!" terdengar seruan keras dan sinar pedang yang gemilang menyambar, membuat tiga orang itu kaget sekali.
Ketika Ci Kui melihat bahwa yang datang itu adalah Wan Sin Hong yang memegang Pak-kek-sin-kiam, ia menjadi gentar. Apalagi ketika mene ngok ke sana ke mari tidak melihat seorangpun kawan kecuali mereka bertiga. Sin Hong tidak membuang banyak waktu dan menggerakkan pedang menyerang Pak-kek Sam-kui.
Sementara itu ketika melihat bahwa yang datang adalah Wan Sin Hong yang gagah perkasa, Wan Sun menjadi lega dan segera mengajak Bi Li melihat keadaan Kwan Kok Sun yang sudah menggeletak mandi darah. Wan Sun berlutut dan melihat Kwan Kok Sun sudah empas empis napasnya dan matanya memandang ke arah Bi Li penuh peraaaan, cepat bertanya,
“Suhu, harap suhu suka membuka rahasia Li-moi...!”
Sebagai seorang tua, Kwan Kok Sun tentu saja menjadi maklum dan gerak-gerik Wan Sun selama ini. Pemuda ini mencinta puterinya, tak salah lagi. Dan sekarang tentu Wan Sun ingin Bi Li mendengar bahwa mereka bukan saudara kandung.
"Bi Li, datanglah dekat. Ayahmu takkan lama lagi...”
Bi Li mempunyai perasaan sayang yang yang ia mengerti terhadap ayah angkatnya ini. Mungkin karena sikap Kwan Kok Sun amat sayang kepadanya maka gadis ini membalasnya. “Gihu, (ayah angkat), mari kutolong kau keluar dari tempat ini dan berobat, kau akan sembuh...” katanya terharu.
"Bi Li, anakku sayang...” Kwan Kok-Sun memegang tangan anaknya, "dengar baik-baik. Aku tertuka berat, hanya untuk meninggalkan pesan ini aku menguatkan diri. Kau... kau adalah anakku yang sesungguhnya... Ibumu telah meninggal dunia... ketika kau masih kecil sekali, aku... aku menitipkan kau pada Pangeran Wanyen Ci Lun. Mereka itu adalah orang tua pungut, akulah sebenarnya ayahmu...”
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bi Li, kaget dan kecewa. Ia tadinya mengira senang puteri bangsawan, tidak tahunya dia adalah anak Kwan Kok Sun yang ia tahu dahulunya adalah orang jahat. Dengan muka pucat ia memandang ayahnya yang makin pucat dan lemah dan dengan mengeluarkan jerit tertahan Kwan Kok Sun menghembuskan nafas terakhir dengan tangan Bi Li masih dalam genggamannya. Bi Li merenggutkan tangannya, berdiri dengan kaki gametar, lalu... ia lari cepat pergi dari situ!
“Li-moi... kau mau ke mana...?”
Wan Sun mengejar, akan tetapi enam orang panglima Mongol yang kebetulan lewat di situ segera menyerangnya dengan hebat sehingga terpaksa ia melawan. Sementara itu, Bi Li sudah lenyap dari pandangan mata. Enam orang panglima Mongol ini memiliki kepandaian yang lumayan juga sehingga dengan susah payah setelah bertempur lama baru Wan Sun dapat merobohkan seorang lawan. Akan tetapi hampir saja pahanya kesetempet golok, baiknya pada saat itu muncul Wan Sin Hong lagi. Ternyata bahwa Pak-kek Sam-kui tidak kuat melawan Sin Hong dan larilah mereka sambil membawa luka pada pangkal lengan Giam-lo-ong Ci Kui. Sin Hong juga tidak mengejar karena ia meli hat Wan Sun dikeroyok dan cepat ia membantunya. Tiga orang pengeroyok roboh pula oleh Sin Hong. Yang lain cepat lari.
"Wan Sun. Mari kita pergi. Di mann Bi Li?”
"Dia sudah lari, entah ke mana..." jawab Wan Sun sedih.
Dari luar terdengar kaki banyak orang mendatangi. "Wan Sun. cepat pergi!"
Sin Hong menyambar lengan orang dan di lain saat ia telah membawa pemuda itu melompat ke atas genteng. Wan Sun kagum sekali melihat kehebatan kepandaian pamannya ini, maka tanpa banyak cakap lagi iapun mengikuti Sin Hong melarikan diri. Di atas genteng tidak terdapat banyak rintangan karena para serdadu Mongol sedang senang-senang merampoki istana di bawah. Juga di pintu gerbang sebelah barat tidak terdapat banyak rintangan sehingga Sin Ho ng dan Wan Sun dapat melarikan diri dengan mudah.
Karena tidak tahu ke mana perginya Bi Li dan Sin Hong berjanji kelak akan bantu mencari, akhirnya dengan hati berat dan sedih karena berita tentang kematian ayah burdanya, pemuda ini ikut dengan Sin Hong ke Kim-bun to. Memang Sin Hong tadinya datang ke istana Pangeran Wanyen Ci Lun, akan tetapi ia terlambat. Yang dilihatnya hanyalah jenazah pangeran itu saja, sedangkan Gak Soan Li tidak melihat kemana perginya.
Namun, kalau Wanyen Ci Lun tewas, kecil sekali kemungkinannya Soan Li akan selamat. Ia tadinya hendak membawa pergi jenazah Wanyen Ci Lun, akan tetapi kemudian ia teringat akan kata-kata pangeran itu bahwa mati hidup ia akan tinggal di kota raja. Akhhirnya ia meletakkan jenazah itu di atas bangku dan menutupinya dengan sehelai kain hijau yang dirobeknya dari dekat pintu besar. Kemudian ia pergi.
Kepada Wan Sun ia menceritakan bahwa Pangeran Wnnyen Ci Lun sudah gugur sebagai orang gagah dan ibunya entah pergi ke mana, akan tetapi sedikit harapan selamat melihat keadaan di istana yang sudah rusak itu.
Dapat dibayangkan betapa sedihnya hati Wan Sun. Ayahnya meninggal dunia tanpa ada yang dapat merawat jenazahnya. Ibunya lenyap tidak ketahuab bagaimana nasibnya, Bi Li juga entah ke mana. Di sepan jang perjalanan ke Kim-bun to. Wan Sun hanya menundukkan ke pala saja mendengarkan kata hiburan Wan Sin Hong. Kadang-kadang ia menarik napas panjang dan kadang-kadang jarang sekali ia mengusap air mata yang jatuh berderai di atas pipinya.
********************
Di mana-mana pergerakan Jengis Khan ke selatan menemui perlawanan rakyat yang gigih. Orang-orang gagah di seluruh penjuru bangkit memimpin rakyat melakukan perang gerilya. Karena orang-orang seperti Liok Kong Ji dan lain-lain meninggalkannya dan merasa bosan menghadapi rong-rongan rakyat, perhatian Jengis Khan beralih ke barat. Ia menarik semua pasukannya, mengumpulkan kekuatan dan bagaikan gelombang banjir yang dahsyat dan tak terbendung bala tentara Mongol mulai menyerbu ke barat. Mula-mula Sin-kiang diserbu, lalu terus menaklukkan Iran, Afghanistan, bahkan dari Iran Utara mereka menyerbu Rusia Selatan melalui Pegunungan Kaukasia. Puluhan laksa orang dibunuh, kota-kota dibakar, dihancurkan oleh bala tentara yang maha hebat ini.
Sementara itu, kerajaan Kin yang tiba-tiba ditinggal pergi musuhnya ini mulai lagi membangun kota yang sudah rusak. Akan tetapi semangat mereka sudah patah-patah dan Karajaan Kin sudah tidak semakmur dahulu. Apalagi karena orang-orang besar seperti Pangeran Wanyen Ci Lun sudah tidak ada lagi.
Betapapun juga, setelah tidak ada gangguan dari bala tentara Mongol keadaan di dalam negeri menjadi aman kembali. Orang berdagang seperti biasa dan sebentar saja keramaian menjadi pulih kembali. Orang sudah hampir melupakan perang kalau saja di sana sini tidak nampak sisa-sisa tumpukan puing, tanda bah wa belum lama ini perang mengganas.
Pada suatu pagi yang cerah di kota Si-yang yang terletak di perbatasan Propinsi Shensi dan Honan, di sebelah selatan Sungai Kuning yang membelok dari utara ke timur. Kota Si-yang adalah kota ramai, karena adanya Sungai Kuning membuat lalu lintas perdagangan hidup. Apa lagi di situ adalah kota di perbatasan antara dua propinsi, mika orang-orang dari ke dua wilayah pada datang untuk berdagang. membuat kota itu makin lama menjadi makin besar penuh dengan hotel-hotel dan restoran-retoran untuk melayani para tamu pedagan g dari luar kota.
Semenjak orang-orang Mongol menyerbu dari utara dan orang-orang gagah dari hutan dan gunung bermunculan, orang-orang tidak merasa heran dan aneh lagi melihat orang-orang kang-ouw yang ganjil, baik roman muka, pakaian maupun sikap mereka. Akan tetapi apa yang dilihat orang pada pagi hari itu di dalam sebuab restoran terbesar di kota Si-yang, benar-benar membuat para tamu restoran lari cerai. berai dan para pelayan restoran berdiri melongo dengan muka pucat dan kaki gametar ketakutan.
Mula-mula orang ini tidak mendatangkan rasa takut sama sekali bahkan banyak mata diarahkan kepadanya dengan kagum dan penuh gairah. Dia seorang gadis muda yang cantik sekali, cantik manis wajahnya, dengan bentuk tubuh yang indah tercetak oleh pakaiannya yang ketat. Lekuk lengkung tubuh yang menunjukkan kedewasaan, bagaikan setangkai bunga cilan yang baru mulai mekar. N amun tak seorangpun berani memperlihatkan sikap atau mengeluarkan kata-kata sembrono oleh karena sikap si cantik ini amat gagcah, apalagi gagang pedang yang tersembul di balik bajunya membis ikkan bahwa gadis jel ita ini pun adalah seorang gadis kang-ouw yang gagah perkasa dan berbahaya. Mula-mula gadis ini hanya duduk dan minta pesanan arak dan bakmi serta beberapa macam kueh basah.
Akan tetapi, ketika arak dihidangkan dan ia mulai minum, sedangkan semua mata di kerlingkan ke arahnya, tiba-tiba muncul ular-ular berbisa yang galak dan mengerikan, keluar merayap dari dalam baju gadis itu. Makin lama makin banyak ular ke luar, ada yang merayap dan mengalungi leher si cantik, ada yang membelit-belit kaki, ada yan g membelit tangan dan ular-ular itu menjilat-jilat arak dari cawan yang dipegang olehnya! Ular-ular itu biarpun nampat jinak, akan tetapi maras mendesis -desis dan kelihatan galak sekali ketika melihat orang lain.
Melihat ini, para tamu merasa ngeri dan larilah mereka keluar dan restoran itu, berbisik pada orang-orang yang berada di luar restoran. "Ada siluman ular...!”
Para pelayan tidak berani mendekat, karena ular-ular itu nampaknya siap menyerang siapa saja yang mendekati gadis itu dan semua orang dapat melihat bahwa ular-ular itu adalah binatang-binatang berbisa yang paling berbahaya. Pada saat itu, dari luar restoran terdengar suara laki-laki yang tenang dan lembut,
"Aah, kalian mengingau. Mana ada siluman muncul di pagi hari?” Tak lama kemudian dari luar masuklah seorang pemuda dengan langkah tenang. Begitu ia memandang dan melihat gadis itu, ia mengeluarkan seruan girang,
"Aah, kiranya kau, nona Wanyen...!”
Pemuda itu bukan lain adalah Tiang Bu. Tadi ketika ia sedang berjalan, ia mendengar bisikan-bisikan mereka yang lari keluar dari restoran. Tentu saja ia merasa tertarik sekali mendengar ada "siluman ular” di dalam restoran, maka cepat ia memasuki restoran itu dan melihat bahwa yang disebut “siluman ular” itu bukan lain adalah Wan Bi Li. Maka dengan girang ia menegur dan dalam kesederhanaannya tanpa banyak sungkan lagi Tiang Bu lalu menyeret sebuah bangku duduk menghadapi nona itu. Melihat pemuda ini duduk menghadapi nona aneh itu dan sama sekali tidak kelih atan takut akan empat ekor ular yang kini semua mengulurkan kepala kepadanya dengan garang, para tamu yang tadinya masih ragu-ragu sekarang pergi semua, Bahkan para pelayan juga menjauhkan diri, berdiri berkelompok sambil berbisik-bisik.
Dengan tenang Bi Li memandang kepada Tiang Bu, cawan arak masih di tan gan kirinya, dan ia berkata dingin. "Aku bukan nona Wanyen!”
"Aah, harap jangan main -main nona Wan-yen. Aku mengenalmu, bahkan dulu di Omni-san kita sudah pernah bertemu. Aku Tiang Bu dan... dan sesungguhnya diantara kita masih ada tali persaudaraan. Kita ini masih saudara tiri nona satu ibu lain ayah."
"Sudah kukatakan, aku bukan keluarga Wsnyen. Ayahku Kwan Kok Sun yang berjuIuk Tee-tok (Racun Bumi), kongkongku yang berjuluk See-thian Tok-ong (Raja Racun dari barat). Apa kau tidak lekas lari minggir ketakutan seperti orang-orang itu?" Bi Li bersikap angker, hendak mematut diri dengan sebutan-sebutan menyeramkan dari ayah dan kongkongnya itu.
Biarpun Tiang Bu merasa heran mendengar ini namun ia tidak takut. Ia bahkan tersenyum. "Betulkah itu?" tanyanya ragu-ragu.
"Siapa membohong padamu? Wanyen Ci Lun dan isterinya bukan orang tuaku, hanya semenjak kccil ayah menitipkan aku kepada mereka... eh, kau ini orang apakah yang mengajakku bercakap-cakap? Setan, pergi kau!”
Tiang Bu tersenyum, nampak girang dan geli melihat sikap nona ini. Nona yang cantik jelita, tak pernah ia bertemu dengan yang secantik ini, akan tetapi yang berusaha sekerasnya supaya kelihatan menyeramkan. "Kalau kita bukan saudara, lebih baik lagi, nona Kwan. Kau memang dari keluarga yang cukup menakutkan. Akan tetapi jangan kira bahwa akupun dari keluarga biasa saja. Siapa yang tidak mengenal ayahku, Liok Kong Ji yang dijuluki manusia manusia iblis karena jahat, keji dan kejamnya? Akulah puteranya! Nah, bukankah kita sama-sama keturunan orang-orang jahat belaka?”
Akan tetapi, mendengar kelakar ini, Bi Li tidak tertawa. bahkan membanting cawan araknya di atas mejat sampai ambles ke dalam lalu me lompat berdiri dan pe dangnya sudah berada di tangan. Empat ekor ular itu otomatis sudah melingkar di kedua tangannya, siap untuk membantunya. Nona ini benar-benar kelihatan menyeramkan sekarang, dengan senjata pedang dan ular-ularnya itu. Bau semerbak harum yang keluar dari tubuhnya makin keras menyengat hidung. Akan tetapi Tiang Bu tetap duduk memeluk lutut, menggoyang-goyangkan kaki dan tersenyum, seakan-akan melihat pemandangan yang lucu sekali.
“Bagus, anak dari bangsat keji Liok Kong Ji? Dengar aku hendak membunuh keparat Liok Kong Ji dan kau ini anaknya, boleh sekarang juga membela ayahmu!"
Senyum Tiang Bu melebar. "Baik sekali kalau begitu, kita setujuan. Akupun hendak membunuhnya kalau bertemu dengan Liok Kong Ji."
Bi Li kelihatan kaget dan terheran-heran. "Kau...? Kalau kau anaknya... kau hendak membunuh ayahmu sendiri...?” ia nampak tidak percaya dan pedannya masih siap di tangan.
“Biar dia ayahku namun aku tak sudi mengakunya. Dia telah berdosa besar kepada ibuku Gak Soan Li yang menjadi Nyonya Wanyen Ci Lun. Aku sudah bersumpab di depan jenazah ibuku untuk membunuhnya."
Padang itu menurun, lalu kembali ke tempat di punggung gadis itu. Bi Li duduk lagi, kini pandang matanya kepada Tiang Bu agak ramah. Garis garis duka membayang di jidatnya.
"Ibu... eh, Nyonya Wanyen sudah... sudah tewas...?” tanyanya, jelas sekali ia menahan isak tangisnya.
Tiang Bu menelan ludah menekan keharuan hati. "Betul, juga Pangeran Wanyen Ci Lun, mereka tewas sebagai orang-orang gagah. Aku hanya sempat merawat dan mengubur jenazah ibuku, terpaksa meninggalkan jenazah Pangetan Wanyen di istananya. Nona Wanyen... oh, nona Kwan...“
"Namaku Bi Li!”
"Baiklah, Bi Li, mana kakakmu, Wan Sun? Dia itulah saudara tiriku yang satu-satunya, aku ingin sekali bertemu dengan saudaraku itu."
"Entahlah, aku pergi meninggaIkannya. Dia bukan kakakku lagi, kami adalah orang lain yang secara kebetulan saja sejak kecil mengaku saudara kandung. Aku kini seorang yatim piatu sebatang kara di dunia ini, hanya dengan ular-ularku yang setia.”
“Sama dengan aku. Biarpun ayahku, masih hidup, aku sudah menganggapnya tidak ada. Akupun yattm piatu seperti kau. Bi Li, kau sekarang hendak ke manakah?”
"Mencari Liok Kong Ji untuk kubunuh, karena dia sudah terlalu banyak membikin susah orang-orang yang kusayang.”
“Kau tahu kemana harus mencarinya?”
"Kemana saja. Biar ke neraka sekalipun akan kususul.”
"Tidak usah bergitu jauh. Aku tahu tempat sembunyinya, dan akupun hendak ke sana. Mau kau ikut? Dia bukan orang sembarangan, kaki tangannya banyak, kedudukannya amat kuat. Kau bergerak seorang diri amat berbahaya, kalau kita menyerbu bersama, baru ada harapan. Bagaimana?"
“Di mana tempatnya?”
“Di tempat berbahaya yang dinamai Un-tiok-lim, tempat yang penuh rahasia dan kabarnya tak seorangpun, bagaimana gagahnya mampu masuk ke sana. Di sana Liok Kong Ji tinggal bersama kaki tangannya. Bagaimana kau suka?”
”Boleh sekali! Kau orang baik, Tiang Bu."
Pemuda itu tertawa girang. Gadis ini benar-benar berwatak polos dan jujur, dan ini, menggirangkan hatinya, sesungguhnya baru sekarang ia bertemu dengan gadis yang menarik hati dan menyenangkan hatinya, di samping Ceng Ceng dan Pek Lian.
"Kalau begitu, sesudah kita menjadi sahabat, mengapa kau tidak menawarkan minum?” Bi Li tersenyum dan hati Tiang Bu berdebar keras. Hebat sekali. Bukan main manisnya gadis ini kalau tersenyum, pikirnya. Kalah Ceng Ceng.
"Agaknya watak nenek moyangku yang buruk sudah menurun padaku. Duduklah di sini menghadapi meja dan mari minum arak bersamaku, Tiang Bu."
"Terima kasih, Bi Li. Heei, pelayan, tambah araknya seguci lagi. Dan bakmi semangkok besar, bakpauw sepiring. Cepat...!!"
"Ba... baik, siauwya...!” Seorang pelayan cepat mengerjakan pesanan ini, akan tetapi setelah siap dan hendak mengantarkan, ia berdiri ketakutan di tempat agak jauh, memegangi mangkok dan piring itu, tidak berani mendekat.
“Kenapa kau?” tanya Tiang Bu.
"Maaf, siauwya... maaf, siocia... itu...itu ular-ular…"
Bi Li tersenyum dan mengeluarkan suara mendesis perlahan dengan bibirnya yang merah. Cepat sekali empat ekor ular itu manyelinap dan lenyap ke dalam saku bajunya setelah mendengar desis perintah ini.
"Nah, mereka sudah sembunyi, takut apa lagi?" kata Tiang Bu dan pelayan itu dengan masih takut-takut sekarang berani mendekat untuk menaruh bakmi, arak dan bakpauw di atas meja. Ia hendak berlaku hormat den membuka tutup guci menuangkan arak untuk Tiang Bu ke dalam cawan. Akan tetapi ketika hendak menuangkan arak untuk Bi Li dan melihat cawan melesak ke dalam meja, menjadi pucat.
“Tuangkan arak untuk siocia,” kata Tiang Bu sambil menekan meja dan seperti tercabut oleh tangan yang tidak kelihatan tahu-tahu cawan yang tadinya melesak ke dalam meja itu mumbul kembali.
Melihat ini, pelayan itu makin kaget dan kagum, di dalam hatinya menduga bahwa hari ini restorannya betul-betul kedatangan siluman-siluman yang pan dai ilmu sihir! Setelah menuangkan arak untuk Bi Li, ia cepat mengundurkan diri dengan sikap hormat. Akan tetapi begitu ia masuk ke dalam ia cepat lari ke luar dari pintu belakang.
Di kota Si-yang terdapat tikoan the Thio. Dia adalah tikoan baru, yang diangkat semenjak perang selesai. Tikoan she Thio ini sebetulnya adalah bekas guru silat yang sombong. Setelah perang selesai, entah bagaimana Thio-kauwsu ini menjadi kaya raya. Padahal menurut pengakuannya sendiri, ketika terjadi penyerbuan orang-orang Mongol ia bcrjuang di kota raja dan berjasa besar dalam "memukul mundur" bala tentara Mongol! Dia kembali ke Si-yang dengan harta benda banyak dan membual akan jasa-jasanya. Dengan alasan jasa-jasa terhadap negara inilah terutama sekali dengan pengaruh sogokan-sogokan yang secara royal ia sebarkan kepada pembesar. pembesar tinggi, akhirnya ia berhasil merebut kedudukan pembesar tikoan di kota Si-yang. Memang sudah lajim di dunia ini, sesudah perjuangan selesai, cecunguk-cecunguk rendah bermunculan dan berebut penonjolan jasa-jasa.
Contohnya Thio-kauwsu ini. Ketika perang berkobar dan orang-orang gagah berjuang untuk membela negara, dia menyelundup ke kota raja, bukan untuk berjuang melawan musuh melainkan untuk “berjuang" mengumpulkan harta yang ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang bangsawan, bekerja sebagai maling atau rampok. Kemudian, di Si-yang, ia menonjolkan jasa-jasanya sebagai pejuang dan menggunakan harta curiannya untuk menyuap dan menyogok sana-sini sehingga akhirnya ia dapat menduduki tempat sebagai pembesar. Dapat dibayangkan betapa bobroknya keadaan masyarakat dengan "pe mbesar-pembesar" macam ini sebagai orang-orang berkuasa yang "memimpin” rakyat!
Cara Thio-kauwsu, atau sekarang disebut Thio-tikoan, mempertahankan dan membela kedudukannya adalah cara lama yaitu mengumpulkan tukang-tukang pukul yang merupakan pasukan istimewa, pada lahirnya disebut pasukan pengawal keselamatan tikoan, pada hal sebetulnya adalah pasukan yang harus mempertahankan isi gudang kekayaannya dan mempertahankan pangkatnya. Selain ini, Thio-tikoan juga berusaha mengambil hati rakyat. Dengan jalan melidungi rakyat dari gangguan orang jahat. Tentu saja sebutan rakyat dalam mata tikoan ini berbeda dengan rakyat dalam pandan gan mata kita.
Bukan rakyat kalau orang itu tidak dapat memberi "apa-apa" kepadanya! Yang dimaksudkan rakyat olehnya, rakyat yang perlu dilindungi dan dibela, adalah orang yang dapat memberi "apa-apa" untuk menambah penuh isi gedungnya. Petani-petani miskin? Ooo, mereka itu bukan rakyat, melainkan tenaga-tenaga yang harus tunduk kepada “rakyat”, pemilik tanah seperti kerbau-kerbau bermuka manusia. Si jembel? Apalagi. Mereka itu bukan rakyat melainkan penjahat penjahat yang perlu diawasi.
Restoran-restoran pada waktu menghasilkan untung besar, maka menjadi "langganan" baik Thio-tikoan dan terlindung. Maka ketika pelayan itu dengan terengah melaporkan bahwa restorannya didatangi dua "siluman" aneh yang mencurigakan. Thio-tikoan lalu memberi perintah kepada serombongan tukang pukulnya untuk "membereskan" perkara ini.
Demikianlah, ketika Tiang Bu dan Bi Li sedang enak-enak makan bakmi dan bakpauw sambil minum arak, tiba-tiba serombongan orang terdiri dari tujuh orang yang kelihatan kuat-kuat dan galak memasuki restoran itu. Tadinya Tiang Bu dan Bi Li tidak ambil perduli, akan tetapi ketika melihat betapa mata ke tujuh orang itu diarahkan kepada mereka, Bi Li berkata nyaring.
"Kau lihat restoran ini jorok sekali, lalat hijau yang kotor dibiarkan masuk. Mari kita habiskan arak dan lekas pergi!” Sambil berkata demikian, Bi Li mengangkat hidungnya yang kecil mancung dengan sikap menghina.
Tujuh orang tukang pukul itu saling pandang, lalu pemimpinnya seorang laki-laki berusia tiga puluh tahunan dengan kedua lengan baju disingsingkan ke atas sehinga nampak otot-otot melingkar di sepasang lengannya berkata kepada pelayan yang kepalanya menongol dari balik daun pintu di belakang restoran,
“Memang cantik jelita, akan tetapi mana ularnya? Jangan-jangan kau yang khilaf, bidadari disangka siluman. Ha ha ha!"
Pelayan itu diam saja karena ia takut. Akan tetapi pemimpin rombongan yang mempunyai tahi lalat di ujung hidungnya ini, dengan langkah lebar menghampiri Bi Li dan Tiang Bu, lalu berkata sambil menunjuk hidungnya sendiri.
“Nona manis, kau memaki lalat hijau padaku, memang aku lalat yang ingin sekali hinggap di pipimu yang licin. Ha ha ha. Kalian tidak tahu, aku adalah Ban-Ek Si Kepalan Besi, komandan polisi kota ini. Apa kalian masih berani kurang hormat?" Ban-Ek Si Kepalan Besi itu mengamangkan tinjunya untuk memperkuat julukannya Kepalan Besi...