Tangan Gledek Jilid 42
DEMONTRASI tenaga lweekang yang benar-benar tak boleh dipandang ringan. Melihat betapa tiga orang itu mendemonstrasikan kepandaian, timbul sifat gembira dalam hati Wan Sin Hong. Iapun berdiri di kepala perahunya, dayungnya digerak-gerakkan perlahan menahan majunya perahu dan ia bersajak.
"Serigala suara pergi menghilang
Datang banjir dan belalang.
Memang merisaukan hati kawan!
Sudah barang tentu bangsa sendiri membantu,
Akan tetapi membajak, apakah itu perlu?
Apa lagi yang dihadapi adalah seorang dungu,
Yang tidak mempunyai sepeser di dalam saku!”
Terdengar kakek itu tertawa, lalu ia berdiri sehingga kelihatan tubuhnya yang jangkung. Sajak Sin Hong tadi biasa saja, akan tetapi cara Sin Hong menahan majunya parahu dengan menggerak gerakkan dayung perlahan di atas air sungguh bukan perbuatan biasa.
"Tamu yang lewat bilang tidak punya sepeser, mana bisa melakukan perjalanan? Pedang bagus disimpan di dalam baju, siapa tahu kalau tidak digunakan menambah sengsara rakyat? Jaman ini banyak sekali anjing busuk, Aah, Harus diselidiki betul-betul.”
Wan Sin Hong tercengang mendengar kata-kata kakek pemimpin bajak sungai itu. Alanglah tajam pandang mata kakek itu yang dari jarak jauh dapat melihat pedang Pak-kek sin-kiam yang ia sembunyikan di balik baju. Juga kata-kata kakek itu menunjukkan bahwa kakek ini bukanlah bajak sungai biasa saja. Hatinya timbul ingin mencoba kepandaian kakek itu dan belajar kenal. Dengan tenang Sin Hong lalu menggerakkan perahu ke pinggir sambil berkata,
“Aku bukan termasuk golongan buaya bicara di atas air sungguh tidak leluasa, Kalau sahabat tua ingin bicara, mari ke darat!”
Dengan sekali melompat Sin Hong telah tiba di darat dan berdiri menanti sambil tersenyum tenang. Memang Sin Hong seorang pendekar yang hati-hati sekali. Biarpun ia tidak gentar menghadapi bajak sungai itu, akan tetapi kalau sampai terjadi perkelahian di atas perahu, ia bisa menderita rugi. Sekali saja perahunya digulingkan, ia akan berada di fihak lemah. Oleh karena itu ia mendahului menantang sambil mendarat.
Kakek itu melihat cara Sin Hong melompat, berseru gembira. "Aha. kiranya memiliki sedikit kepandaian. Aku akan manyelidiki di atas darat. Kalau kawan boleh terus kalau lawan baru meninggalkan barang!”
Sambil berkata demikian, iapun melompat dari perahunya ke atas darat dengan gerakan yang ringan sekali. Berturut-turut pemuda dan pemudi yang duduk seperahu dengan kakek itupun melompat dengan gerakan yang menunjukkan ilmu ginkang yang sudah tinggi.
"Bagus!" kata Sin Hong sambil tersenyum. "Sudah kuduga bahwa kalian tentu bukan bajak-bajak sungai biasa. Sekarang dengan cara bagaimana kalian hendak memeriksa dan menyelidik apakah aku seorang baik atau busuk menurut ukuranmu?"
Kakek itu mengurut urut jenggotnya yang panjang dan matanya memandang penuh selidik, “Hemm. sikapmu mengingatkan aku akan seorang yang sudah sering kali kudengar namanya disebut-sebut orang. Akan tetapi tak mungkin kau orang itu. Mau tahu bagaimana cara kami menyelidik? Bersiaplah dengan pedang yang kau sembunyikan itu. Kalau kau bisa mempertahankan pedang itu dari rampasan kami, kami mengaku kalah dan kau boleh melanjutkan perjalanan diiringi hormatku."
Sin Hong tersenyum. "Hemm, begitukah cara seorang bajak bertindak? Benar-benar sombong! Siapa di antara kalian yang hendak maju?”
"Thia-thia (ayah), biarlah aku memberi hajaran kepada orang yang banyak lagak ini," kata gadis cantik yang tadi bernyanyi sambil mecabut pedangnya. Sikapnya galak dan pipinya kemerahan menambah ke cantikannya.
Kakek itu hendak mencegah akan tetapi gadis yang lincah dan galak itu telah menikam dada Sin Hong dengan pedangnya. Wan Sin Hong adalah seorang pendekar besar dan sudah berusia setengah tua. kesabarannya tebal bukan main. Mana ia mau melayani seorang gadis remaja yang bertingkah? Dengan tenang ia mengulur tangan dan di lain saat ia telah mencengkeram pedang itu, di betot dan pedang telah terampas olehnya!
"Ang Lian, mundur kau!" seru si pemuda sambil menyerang dengan pedangnya tanpa minta perkenan kakek itu.
Sin Hong menggerakkan pedang rampasan yang dipegang pada bagian tajamnya, dengan sekali ia memapaki ujung pedang pemuda menggoyangkan gagang pedang yang dia pegang dan... benang ronce hiasan gagang pedang rampasan itu melibat pedang pemuda itu tak dapat ditarik pula. Sekali Sin Hong membetot, pedang pemuda itu terlepas dari pegangan dan sudah berpindah ke tangan pendekar besar ini!
"Pek Lian, kau telah sombrono!” mencela kakek itu sambil tertawa.
Sin Hong memandang kepada Ang Lian dan “pemuda” yang ternyata seorang gadis berpakaian pria bernama Pek Lian itu. Tersenyum dan menyerahkan pedang-pedang rampasannya kembali. Ang Lian dan Pek Lian bermerah muka, malu untuk menerima kembali pedang yang sudah terampas.
"Pek Lian, Ang Lian, terima kembali pedang kalian dan haturkan terima kasih!" kata kakek itu yang bukan lain adalah Huang-ho Sian-jin, “datuk" bajak sungai di sepanjang sungai Huang-ho.
Dua orang gadis itu melangkah maju menerima pedang masing-masing dan bibir mereka berbisik menyatakan terima kasih. Mereka merasa heran dan kagum bukan main. Dahulu mereka dibikin kagum dan tidak berdeya terhadap seorang pemuda bernama Tiang Bu, sekarang kembali mereka be rtemu "guru” yang lihai bukan main. Masa dalam segebrakan saja pedang mereka sudah terampas secara aneh!
Sementara itu, Huang-ho Sian-jin menghadapi Wan Sin Hong dengan mata bersinar-sinar. Ia merasa gembira sekali dapat bertemu dengan orang selihai ini. Ia sudah dapat menduga siapa orang ini. Akan tetapi dia bukan ayah Ang Lian yang keras kepala kalau dia sendiri tidak kepala batu!
“Orang gagah, aku tidak memparkenalkan nama dan tidak akan menanyakan namamu sebelum kita mengukur kepandaian-Kepandaianmu hebat sekali, ingin aku mencobanya. Cabut pedangmu itu dan mari kita main-main sebentar”
Setelah berkata demikian, ia menyambar dayung perahunya. Dayung itu terbuat dari pada baja panjang dan berat berwarna hitam. Wan Sin Hong adalah seorang pendekar sakti. Tidak saja ilmu silatnya tinggi sekali, juga ia memiliki kecerdikan melebihi orang banyak. Orang kebanyakan menilai kepandaian murid dari kepandaian gurunya, akan tetapi Sin Hong dapat menilai kepandaian guru terlihat dari kepandaian muridnya. Ia tahu bahwa dua orang gadis itu adalah puteri kakek ini, tentu mendapat warisan ilmu silat sebanyaknya. Dan ia sudah dapat menilai bakat dua orang gadis tadi. Dari perhitungan ini ia sudah dapat menduga sampai di mana tingkat ilmu kepandaian kakek itu dan ia tahu bahwa ia akan dapat mengalahkannya.
"Pedangku sudah kusembunyikan di balik baju, biarlah ia tinggal bersembunyi di sana karena aku tidak bisa mempergunakan kalau bukan berhadapan dengan musuh jahat. Sahabat tua hendak main-main, biarlah aku minta bantuan anakmu meminjam pedang.”
Baru ucapannya habis. Pek Lian yang berdiri dekat, kurang lebih tujuh langkah dari Sin Hong, tiba-tiba merasa ada angin menyambar dan di lain saat pedangnya sudah terambil lagi, terpegang oleh orang sakti itu.
"Maaf anak yang baik. Aku pinjam sebentar pedangmu," kata Sin Hong, suaranya halus dan ramah sehingga Pek Lian tidak bisa marah. Sin Hong tahu bahwa kalau ia mencabut pedangnya, selain mungkin sekali, kakek itu akan mengenal Pak-kek-sin kiam. juga kemenangannya takkan ada artinya. Pedang pusakanya amat tajam dan kalau sekali tangkis dayung lawannya putus, berarti ia akan menang mengandalkan ketajaman pedang pusaka maka ia sengaja meminjam pedang biasa kepunyaan Pek Lian.
Perbuatan dan sikap Sin Hong ini memang boleh dipandang sebagai suatu kesombongan atau sikap memandang rendah lawan, biarpun Huang-ho Sian-jin seorang kakek yang banyak pengalaman dan memiliki kesabaran besar, ia menjadi mendongkol juga. Tanpa sungkan-sungan sebagai imbalan atau imbangan sikap Sin Hong itu, ia menggerakkan dayungnya, diputar di atas kepala lalu berseru.
"Awas, lihat senjata!"
Bagaikan seekor ikan besar menyambar mangsanya, dayung itu bergerak miring dan sekaligus melancarkan serangan yang mempunyai pecahan lima macam banyaknya. Lima macam pukulan susul-menyusul dan bertubi-tubi dilakukan dengan kedua ujung dayung, dalam cara dan gerak yang berbeda sifatnya, bergantian mengandung tenaga keras dan lemas! Inilah serangan hebat sekali yang amat sukar dihindari. Dayung itu panjang dan berat, digerakkan oleh seorang yang memiliki lweekang tinggi, datangnya cepat, tidak terduga dan kuat sekali.
Akan tetapi, datuk bajak itu menghadapi Wan Sin Hong, seorang pendekar sakti yang tinggi ilmu silatnya bahkan yang pernah di pilih menjadi beng-cu dari para orang gagah. Biarpun harus ia mengakui bahwa serangan kakek itu benar luar biasa dahsyatnya dan berbahaya, namun ia bersikap tenang sekali. Dari sambaran angin pukulan ia dapat membeda-bedakan tenaga yang dipergunakan kakek itu.
Harus diketahui bahwa selama "bertapa” di Luliang-san. Wan Sin Hong telah dengan amat tekun melatih diri dan mempelajari serta memperkuat tenaga lweekang sehingga ia boleh dibilang seorang ahli Yang-kang dan Im-kang. Maka dari itu, sekali lihat saja ia tahu bagaimana harus melayani lawannya. Pedang pinjaman di tangannya digerakkan parlahan namun mengandung dua macam tenaga yang tepat menghadapi tenaga dayung lawan.
Lima kali dayung itu dapat disambut pedang, di waktu mempergunakan tenaga Yang-kang, terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar di waktu bertemu tenaga Im-kang, tidak ada suaranya seperti dua barang lunak akan tetapi setiap kali membuat Huang-ho Sin-jin menderita pukulan hebat. Pertemuan tenaga Yang-kang membuat ia merasa panas seluruh tubuhnya dan tergetar mundur, sedangkan pertemuan tenaga Im-kang membuat kakek itu menggigil kedinginan dan ke dua kakinya lemas. Ini menandakan bahwa dalam hal tenaga, Sin Hong yang lebih muda itu masih jauh mengatasinya.
Sin Hong yang selalu menghormati orang lebih tua, membiarkan kakek itu menyerangnya sampai tiga puluh jurus, ia hanya mempergunakan kelincahannya mengelak dan kadang-kadang menangkis tanpa balas menyerang. Setelah tiga putuh jurus lewat, ia meras a bahwa sudah cukup ia mengalah, lalu katanya, “Sahabat, maafkan pedangku!"
Tiba tiba pedang itu berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata dan Huang-ho Sian-jin sampai berseru kaget. Baru sekarang ia menyaksikan ilmu pedang yang luar biasa sekali. Ilmu Pedang Pak-kek Kiam-sut yang tiada taranya di dunia ini. Lebih dari tujuh belas pucuk sinar pedang seperti api bernyala menjilat-jilatnya, sukar ditentukan dari mana arah penyerangannya, kelihatan kacau balau. Namun teratur sekali demikian baik teraturnya hingga tiap serangan menuju ke arah jalan darah yang penting!
Sebentar saja Huang-ho Sian jin sudah tak berdaya lagi. Ia menjadi pening, dayungnya hanya diputar-putar tidak karuan dalam usahanya melin dungi tubuhnya, lalu ia berteriak-teriak. "Hebat... cukup... cukup. Kalau ini bukan Wan taihiap, bengcu yang tersohor, aku si bodoh tidak tahu lagi kau siapa!"
Wan Sin Hong menahan pedangnya, mengembalikannya kepada Pek Lian sambil mengucapkan terima kasih kemudian berkata pada Huang-ho Sian-jin. "Nama besar Huang-ho Sian-jin bukan kosong belaka, aku Wan Sin Hong merasa girang dapat berkenalan." Ia lalu mengangkat tangan memberi hormat.
Huang-ho Sian-jin tertawa bergelak, "Ha-ha-ha! Kalau tidak bertempur mana bisa saling mengenal? Sekarang aku tahu mengapa Wan taihiap tidak mengeluarkan pedangnya Pak-kek-sin-kiam yang tersohor. Karena hendak menyembunyikan keadaan diri sendiri. Ha-ha-ha...!”
Kakek itu lalu menoleh kepada dua orang anaknya, Ang Lian dan Pek Lian gadis berpakaian pria sambil berkata, "Hayo kalian memberi hormat kepada Wan Sin Hong taihiap yang dulu terkenal dengan sebuta Wan-bengcu.”
Dua orang anak dara itu memang cerdik. Sudah lama mereka mendengar nama besar Wan Sin Hong disebut ayah mereka, kini setelah berhadapan mereka segera menjatuhkan diri berlutut dan Pek Lian berkata, "Kami kakak beradik mohon petunjuk dari taihiap.”
Sin Hong tersanyum dan juga tercengang karena baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa "pemuda" yang ia pinjam pedangnya itu ternyata seorang gadis pula. “Kalian sudah memiIiki kiam-hoat bagus, belajar apalagi?”
Terdengar Huang-ho Sian-jin berkata sambil menarik napas panjang dan berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Kiam hoat apakah yang bagus? Kalau bukan Wan–taihiap yang menaruh kasihan dan bermurah hati memberi petunjuk, habis siapa lagi? Harap saja Wan taihiap tidak terlalu pelit." Ia mengangkat kedua tangan menjura dungan hormat.
Menghadapi permintaan yang sungguh-sugguh dari ayah dan anak ini, Wan Sin Hong merasa tidak enak kalau tidak menuruti. Tangan kanannya bergerak, sinar terang menyilaukan mata ketika Pak-kek-sin-kiam berada di tangan.
“Kim-hoat dimiliki karena jodoh. Entah nona-nona berjodoh atau tidak, silakan melihat baik-baik!"
Setelah berkata demikian, Sin Hong menggerakkan pedangnya dan dengan perlahan ia mainkan Soan-hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin Puyuh) yang dulu ia pelajari dari Luliang Ciangkun. Tentu saja ia tak mau menurunkan Ilmu Pedang Pak kek kiam-sut karena selain ilmu pedang ini tidak boleh diturunkan pada sembarang orang, juga untuk mempelajari ilmu pedang ini membutuhkan dasar-dasar yang amat kuat dan amat sukar dipelajari!
Sampai tiga kali Sin Hong mengulang permainannya di depan dua orang gadis Huang-ho Sian jin yang tahu aturan kang-ouw. memerintahkan anak buah bajak untuk berdiri membelakangi tempat latihan itu, bahkan dia sendiri juga tidak mau melihat.
Setelah mainkan pedangnya tiga kali ditonton penuh perhatian oleh Pek Lian dan Ang Lian, Sin Hong berhenti bermain, berkata, "Cukup sekian dan selanjutnya tergantung dari jodoh dan bakat."
Dua orang gadis itu berlutut menghaturkan terima kasih lalu pergi dari situ mencari tempat sunyi untuk mengingat dan mempelajari ilmu pedang yang terdiri dari tujuh belas jurus itu. Sedangkan Huang-ho Sian-jin dengan wajah girang berseri mempersilakan Sin Hong untuk singgah di tempat kediamannya, yaitu di sebuah perabu besar untuk menerima penghormatan dan jamuan.
Akan tetapi Sin Hong menolak dan menyatakan bahwa ia masih mempunyai banyak urusan. Kemudian ia teringat akan kedudukan Huang-ho Sian-jin sebagai bajak sungai yang malang melintang sepanjang Sungai Huang-ho dan tentunya juga ia pernah keluar berlayar di lautan dan mengenal keadaan pulau-pulau di sebelah selatan.
“Siauw-te ada sebuah urusan dan mengharapkan bantuan lo enghiong," katanya.
Wajah Huang-ho Sian jin berseri. "Tentu saja lo-hu suka sekali membantumu. Wan-taihiap. Entah urusan apakah gerangan dan bantuan apa yang dapat kuberikan?"
"Hanya sebuah keterangan dari lo-enghiong. Aku sedang mencari sebuah pulau di laut selatan, pulau yang bernama Pek-houw to (Pulau Hariman Putih), entah lo enghiong mengenal atau tidak?”
Wajah yang berseri dari kakek itu segera berubah, keningnya berkerut dan untuk sejenak ia memandang kepada Sin Hong dengan mata tajam. "Kiranya taihiap juga mengalami gangguan mereka? Iblis-iblis itu belum lama tinggal di Pek-houw-to, akan tetapi sudah membikin kacau banyak orang. Terutama sekali penduduk di sekitar pantai selatan. Aku sendiri sedang bersiap-siap untuk nekat menyerbu ke sana, biarpun aku tahu bahwa mereka terdiri dari orang-orang berhati iblis yang amat keji dan berkepandaian tinggi sekali.
"Aku tidak tahu siapa yang kau maksudkan dengan mereka itu, lo enghiong. Akan tetapi terus terang saja, aku mercari seorang tosu kaki buntung bernama Lo-thian-tung Cun Gi Tosu...”
“Celaka...!” Huang-ho Sian-jin berseru kaget mendengar nama ini. “Jadi diakah gerangan orangnya? Sudah kudengar bahwa pemimpin iblis itu adalah seorang kakek buntung kaki kanannya akan tetapi siapa kira adalah Lo-thian-tung Cun Gi Tosu. Pantas saja banyak anak buahku tewas!”
Huang-ho Sian jin lalu bercerita bahwa memang di pulau itu tinggal banyak orang di dipimpin oleh seorang kakek buntung. Kakek itu sendiri jarang sekali kelihatan keluar dari Pulau Pek-houw-to, akan tetapi banyak anak buahnya melakukan gangguan gangguan kepada rakyat dan nelayan di sekitar daerah itu terutama di pantai daratan Tiongkok.
“Beberapa kali anak buahku mencoba untuk menegur mereka,” Huang-ho Sianjin melanjutkan penuturannya. "Kami biarpun tergolong kaum bajak, namun kami melakukan parampasan bukan semata menggendutkan perut sendiri. Di samping untuk makan anak buah kami yang hanyak jumlahnya, semua sisa hasil pembajakan selalu kupergunakan untuk menolong rakyat yang sedang menderita kekurangan. Maka sepak terjang pebghun i Pek houw-to itu memarahkan hati anak buah dan mereka menegur. Celakanya, mereka tidak suka ditegur sehingga terjadi pertempuran dan selalu pihak anak buahku yang menderita kekalahan. Selama ini aku bersabar saja sampai akhirnya kumendengar mereka itu banyak melakukan penculikan anak-anak gadis di pantai. Ini melewati batas dan aku sudah merencana persiapan untuk menyerbu ke sana dan merobohkan pemimpinnya. Tidak tahunya, pemimpinnya adalah Lo thian-tung Cun Gi Tosu! Aku bisa apakah terhadap dia?”
"Lo-enghiong jangan khawatir. Biarkan aku menghadapi kakek buntung yang telah menculik dan aku hanya minta bantuan lo enghiong untuk mengantarku ke sana sebagai petunjuk jalan," kata Sin Hong.
"Mana bisa begitu? Aku akan mengawani taihiap dan mari kuantar taihiap mendarat di sana. Akupun tidak takut menghadapi Lo-thian-tung Cun Gi Tosu, sungguhpun dia terkenal sakti!”
Cepat Huang-ho Sian-jin memberi perintah kepada anak buahnya untuk menyediakan sebuwh perahu terbaik dan menyuruh pergi. Kemudian ia bersama Sin Hong mulai melakukan pelayaran, keluar dari Sungai Huang ho memasuki perairan laut dan terus berlayar ke selatan. Tidak mengecewakan Huang-ho Sian jin dianggap datuk para bajak, kepandaiannya mengemudi perahu dan berlajar memang hebat sekali. Perahu berlayar cepat dan dalam tiga hari mereka sudah tiba di tempat tujuan.
Pek-houw-to terletak tak jauh dari pantai di antara sekumpulan pulau-pulau lain. Pulau ini tidak kelihatan istimewa, hanya kalau dilih at dari jauh memang agak keputihan bentuknya seperti binatang harimau mendekam. Oleh karena bentuk dan warna inilah maka disebut Pek houw to atau Pulau Harimau Putih. Hari telah menjadi senja ketika perahu dua orang pendekar itu tiba di kepulauan itu. Keadaan di situ benar-benar sunyi, tidak kelihatan sebuahpun perahu nelayan. Padahal daerah ini terkenal banyak ikannya.
"Kau lihat sendiri, taihiap. Tak seorangpun nelayan berani mencari ikan di sini, pada dahulu di sini amat ramai. lni tandanya betapa ganas orang-orang jahat itu mengganggu ketenteraman para nelayan"
Sin Hong hanya mengangguk dan minta kepada kakek itu untuk melanjutkan palayaran ke pulau itu. Perahu terus didayung mendekati pulau dan setelah dekat nampak bahwa di antara pulau-pulau itu, hanya Pek-houw-to yang kelihatan ada rumah-rumahnya. Wuwungan rumah nampak menjulang tinggi di antara batu-batu karang dan pohon-pohon.
Perahu di daratkan dan mereka melompat ke darat dengan hati-hati. Setelah perahu ditambatkan pada batang pohon, Sin Hong berkata, “Harap lo-enghiong suka menanti di saja. Aku akan naik dan menyelidiki ke tengah pulau.”
Maklum bahwa kepandaiannya memang tidak dapat mengimbangi Sin Hong. Huang-ho Sin-jin mengangguk dan menerima pesan ini tanpa membantah. Akan tetapi setelah ia melihat bayangan Sin Hong berkelebat lenyap menuju ke jurusan kiri, iapun lalu menyusup di antara tetumbuhan menuju ke kanan, untuk melakukan penyelidikan sendiri. Tentu saja seorang gagah perkasa seperti kakek ini yang disegani di antara para bajak, merasa tidak enak sekali kalau hanya dijadikan tukang turggu atau tukang perahu. Biarpun ke pandaiannya tidak setinggi Wan Sin Hong, namun ia tidak takut menghadapi kakek buntung dan kawan-kawannya!
Belum lama Huang ho Sian-jin berjalan mengendap di antara pohon-pohon, berindap-indap ia mengintai dengan hati-hati, ia mendengar makian orang dan angin pukulan, tanda bahwa ada dua orang pandai bertempur. Ce pat ia manyelinap di balik pohon dan menghampiri tempat itu, mengintai. Dilihatnya dua orang pemuda tengah bertempur seru.
Mereka ini adalah seorang pemuda yang berenjata sepasang ranting kayu dan pemuda ke dua senjatanya mengerikan yaitu sebuah tulang Iengan kering di tangan kiri dan seekor ular kecil putih di tangan kanan! Pemuda bersenjata ranting itu terus terdesak mundur oleh Iawannya yang ternyata lebih lihai. Namun ia melawan dengan nekat sekali, ia tidak memperdulikan ejekan dan sikap lawan yang tertawa-tawa.
“Ha ha-ba, Wan Sun bocah tolol. Apakah kau masih tidak mau menyerah? Isterimu sudah tertawan dan kau sendiri sudah tak berdaya. Dengan pedangmu saja kau tidak mampu melawanku. Apa lagi dengan ranting? Ha ha jangan kau bersikap goblok. Ayah masih berlaku murah dan melarang kau dibunuh. Kalau tidak begitu, apa kaukira sekarang kau tidak akan menjadi setan tak berkepala dan isterimu sudah menjadi milikku?”
"Keparat jahanam Liok Cui Kong! Kau sudah membunuh ayah dan ibu mertuaku, secara keji menyebar maut di Kim-bun to, kau kira aku sudi mendengar omonganmu? Mari kita mengadu nyawa, aku tidak takut!”
Setelah berkata demikian, Wan Sun menyerang makin hebat. Dia adalah murid Ang jiu Mo li, tentu saja kepandaiannya tidak rendah. Biarpun pedangnya sudah terampas oleh Cui Kong dan sekarang ia hanya mempergunakab dua ranting kayu, namun ini masih merupaken senjata yang berbahaya bagi lawan.
Bagaimana Wan Sun bisa berada di pulau itu dan bertempur melawan Cui Kong? Seperti pernah diceritakan, setelah melangsungkan pernikahannya dengan Coa Lee Goat, Wan Sun mengajak isterinya untuk pergi ke utara dan mencari adiknya, Wan Bi Li. Setelah menikah, tentu saja cinta kasih Wan Sun terhadap Bi Li berubah menjadi cinta kasih kakak terhadap adiknya. karena memang dia tidak beradik dan Bi Li selain tidak bersaudara, juga telah menjadi anak yatim piatu seperti juga dia sendiri. Kalau teringat akan keadaan Bi Li, sedihlah hati Wan Sun. Ia ingin bertemu dengan adik angkatnya itu, ingin menarik Bi Li tinggal bersama dia dan kelak mencarikan pasangan yang setimpal untuk adiknya itu. Lee Goat maklum akan perasaan sayang adik dari suaminya ini, maka ia setuju untuk pergi mencari Bi Li. sekalian berbulan madu sebagai pengantin baru.
Akan tetapi, setelah berbulan-bulan merantau di utara dan mencati-cari, usaha Wan Sun sia-sia belaka. Tak seorangpun manusia tahu ke mana perginya Bi Li. Gadis itu lenyap tan pa meninggalkan jejak. Wan Sun menjadi berduka sekali. Lee Goat yang melihat kedukaan suaminya, lalu mengh iburnya dan mengajaknya pulang saja ke Kim-bun to.
“Biar nanti ayah membantumu. Jika ia memberi surat kepada para ketua partai besar minta bantuan mereka, mustahil adik Bi li tidak dapat ditemukan? Ayah mempunyai hubungan dengan semua orang kang-ouw di empat penjuru dan kalau semua orang kang-ouw membantu mengamat-amati tentu segera akan ada berita di mana adanya adik Bi Li," kata Lee Goat dengan suara menghibur.
Wan Sun menganggap kata-kata isterinya ini tepat juga, maka dia pun menurut. Akan tetapi, siapa kira, sesampainya si Kim-bun-no, bukannya menerima hiburan bahkan mendengar berita yang hebat menghan curkan hati mereka. Yang menyambut kedatangan mereka hanya Hwa Thian Hwesio. Melihat sepasang suami isteri ini datang, Hwa Thian Hwesio menyambutnya dengan air mata bercucuran. Tentu saja Lee Goat dan Wan Sun terkejut sekali.
"Lo.suhu... mengapa lo-suhu menangis. Mana ayah dan ibu, mana bibi Li Hwa dimana semua orang? Mengapa begini sunyi...?” Lee Goat menoleh ke sana ke mari dan merasa berdebar hatinya, tidak melihat siapa-siapa di situ. Juga Wan Sun mendapat firasat tak enak, wajahnya sudah menjadi pucat ketika ia melihat hwesio itu menangis terisak-isak seperti anak kecil.
“Hwa Thian lo-suhu, harap suka bercerita trus terang. Apakah yang telah terjadi?”
Hwesio itu akhirnya dapat menenangkan diri. Ia menyusuti air mata dengan ujung lengan bajunya yang lebar, lalu memandang kepada Lee Goat sambil berkata kepada Wan Sun. “Kongcu, jagalah isterimu baik-baik sementara mendengar ceritaku."
Wan Sun segera menggandeng lengan isterinya, hatinya berdebar karena ia maklum bahwa tentu telah terjadi malapetaka hebat di Kim-bun to. Adapun Lee Goat seketika menjadi pucat sekali dan suaranya serak ketika ia bertanya, “Lo-suhu, ceritakanlah, ada apa…?”
“Beberapa bulan yang lalu, pinceng kebetulan sekali datang berkunjung ke sini bersama sahabatku Ouw Beng Sin, tiba-tiba datang Liok Cui Kong putera Liok Kong Ji. Pemuda jahat itu mengamuk dan dia lihai bukan main. Biarpun dia dikeroyok, tetap tetap saja menyebar maut. Selain Ouw Beng Sin dan seorang pelayan tewas, pinceng dan Hui-eng Niocu Siok Li Hwa terluka hebat, juga Coe-sicu dan isterinya tewas...“
Lee Goat menjerit. Wan Sun cepat memeluknya dan nyonya muda ini pingsan dalam pelukan suaminya. Air mata bercucuran dari sepasang mata Wan Sun, giginya berkerot-kerot, akan tetapi tak sedikitpun suara keluar dari mulutnya. Dengan menekan goncangan dalam dada sendiri, ia memondong isteri nya dan membawanya ke dalam kamar, di mana Lee Goat dibaringkan dan dirawat.
Menjelang tengah malam baru Lee Goat siuman dari pingsannya, menjerit-jerit nyaring. "Liok Cui Kong bajingan besar! Aku harus bunuh kau! Aku akan mencabut jantungmu dipakai sembahyang!" berkali-kali ia menjerit menangis sedih.
Baiknya Wan Sun pandai sekali menghiburnya, dan menjanjikan un tuk segera mencari musuh besar itu dan membalas dendam. Akhirnya Lee Goat terhibur juga. Segera setelah melakukan sembahyang di depan makam ayah bundanya sambil menangis menggerung-gerung, Lee Goat mengajak s uaminya pergi lagi mencari jejak Cui Kong!
Akhirnya mereka mendenger bahwa orang yang dicari itu berada di selatan, di Pulau Pek-houw-to. Tanpa mengenaI lelah dan bahaya, kedua suami isteri ini menyusul ke sana menyeberang dan dengan nekat lalu menyerbu. Penyerbuan dua orang muda ini mendatangkan rasa geli dalam hati Cui Kong, kagum dalam hati Cun Gi Tosu, dan girang dalam hati Liok Kong Ji. Cui Kong merasa geli karena melihat dua orang muda yang kepadaiannya belum berapa tinggi berani main-main di depan mulut gua harimau.
Cun Gi Tosu kagum menyaksikan keberanian suami isteri muda ini dan Liok Kong Ji merasa girang oleh karena munculnya dua orang muda ini memberi kesempatan baginya untuk menghadapi musuh-musuh besarnya yang ia takuti yaitu Sin Hong dan Tiang Bu. Kalau saja ia dapat menawan dua orang ini, tentu ia dapat menebus keselamatannya dengan jiwa mereka! Demikianlah, tanpa banyak cakap lagi Kong Ji memberi perintah kepada Cui Kong untuk me nangkap dua orang muda itu hidup-hidup.
Lee Goat sendiri biarpun kepandaiannya tinggi dan kiam-hoatnya lihai karena ia murid Wan Sin Hong, namun tentu saja berhadapan dengan Liok Kong Ji ia marupakan makanan lunak. Belum sampai tiga puluh jurus, nyonya muda ini sudah terkena totokan yang lihai, jatuh lemas dan menjadi tawanan.
Wan Sun didesak mundur terus oleb Cui Kong. Biarpun kepandaian Wan Sun tadinya sudah hampir setingkat dengan Cui Kong, akan tetapi akhir-akhir ini Cui Kong mendapat kemajuan hebat dan kini Wan Sun masih kalah sedikitnya dua tingkat! Dengan senjatanya yang aneh, Cui Kong mendesak Wan Sun yang masih melakukan perlawanan mati-matian.
Ketika Wan Sun menggerakkan pedangnya dengan hebat untuk mamatahkan lengan kering yang mengerikan itu, Cui Kong berkata sambil tertawa, “Awas, hati-hati sedikit. Kalau tidak, pedangmu akan mematahkan lengan tangan adikmu sendiri. Lihat baik-baik, ini lengan tangan Wan Bi Li, apa kau tidak mengenal lagi?"
Dapat dibayangkan betapa kagetnya Wan Sun mendengar ini dan tanpa terasa gerakannya menjadi lambat dan tahu-tahu ia kehilangan pedangnya yang kena dirampas oleh Cui Kong. Namun Wan Sun bukan orang penakut. Ia melawan terus dengan sepasang ranting pohon yang ia pungut dari bawah pohon, lalu melawan mati-matian.
Pada saat itulah Huang-ho Sian-jin muncul dan mengintai. Mendengar ucapan Cui Kong yang ditujukan kepada Wan Sun tadi, tahulah kakek ini siapa yang harus ia tolong. Tadinya ia ragu-ragu karena ia tidak mengenal dua orang muda yan g sedang bertempur itu. Akan tetapi, ucapan Cui Kong cukup meyakinkan bahwa dia harus membantu pemuda bersenjata sepasang ranting itu.
“Orang muda, jangan takut, lo-hu datang membantumu!” seru kakek itu dan dayungnya sudah datang menyambar kepala Cui Kong dengan kemplangan yang mematikan.
Cui Kong terkejut sekali dan cepat melompat ke belakang menghindarkan diri dari sambaran dayung yang bukan main kuatnya itu. “Eh... eh, kau ini orang tua gila dari mana datang-datang menyerang orang? Kau siapa dan ada permusuhan apa dengan aku?” teriak Cui Kong, mendongkol dan kaget.
Huang-ho Sian-jin penasaran sekali. Kepandaiannya tinggi, serangannya tadi adalah serangan maut yang sukar dihindarkan, namun pemuda yang membawa lengan kering dan ular itu sekali melompat telah dapat menyelamatkan diri.
"Pemuda jahat, tentu kau yang selama ini menyebar kejahatan! Aku Huang-ho Sian-jin datang untuk membalas kematian beberapa orang anak buahku."
Setelah berkata demikian, kembali kakek ini menyerang dengan dayungnya. Melihat datangnya bala bantuan, Wan Sun timbul kembali semangatnya dan ikut mendesak. Sibuklah sekarang Cui Kong menghadapi gelombang serangan dua orang lawannya yang tak boleh dipandang ringan ini. Ia sama sekali tak boleh berlaku gegabah.
Terutama se kali menghadapi dayung Huang-ho Sian-jin, Cui Kong tak dapat menangkis, hanya mengelak jauh ke sana ke mari menghindarkan diri dari jangkauan dayung yang panjang dan berat itu. Kalau ia berusaha bertempur merapat datok bajak itu Wan Sun manyambutnya, kalau menjauh, kakek itu menggempurnya.
Cui Kong tahu bahaya. Ia cepat bersuit keras melepas suara isyarat bahaya kepada kawan-kawannya. Untung baginya, pada saat it u Kong Ji berada di tempat yang tidak berapa jauh. Beberapa menit kemudian muncullah Liok Kong Ji di gelanggang pertempuran.
"Anak bodoh, kalau masih belum mampu membekuk Wan Sun?” Kong Ji mengomel.
“Kakek bajak Huang-ho ini datang mengacau, ayah," Cui Kong membela diri.
Kong Ji melompat ke tengah dengan tangan kosong. Tiga kali tangannya bergerak dan dilain saat Wan Sun sudah roboh tertotok dan ditawan oleh Liok Kong Ji yang sekarang memiliki kepandaian amat lihai itu.
"Jadi kau ini orang tua yang disebut Huan-ho Sian jin?” tanya Kong Ji penuh perhatian.
Huang-ho Sian-jin sudah mendengar dari Sin Hong tentang Liok Kong Ji dan Cui Kong. Tentang Liok Kong Ji, memang sudah lama ia mendengar nama busuknya. Ia menunda dayungnya, memandang tajam lalu membentak. "Hemm kau tentu Liok Kong Ji si Manusia Iblis! Pantas saja daerah ini menjadi kacau dan tidak aman tidak tahunya di samping manusia manusia jahat ada kau iblis, yang bersembunyi!"
Liok Kong Ji tersenyum. Kakek ini ilmu dayungnya boleh juga, pikirnya. Tidak ada salahnya untuk menguji Cui Kong.
"Cui Kong, gempur dia!"
Cui Kong memang sudah merasa gemas sekali. Kalau tidak datang kakek itu tentu ia tak mendapat tegoran ayahnya dan sekarang setelah Wan Sun tertawan, ia dapat melayani kakek itu dengan leluasa. Ia mengeluarkan suara keras dan tubuhnya melayang, ular dan tangan itu bergantian bergerak menyerang. Dua macam senjata ini ada keistimewaan masing-masing. Ular itu amat berbahaya karena sekali saja manggigit akan merobobkan lawan dengan bisanya yang lihat. Tangan kering yang tadinya menjadi lengan Bi Li itupun tidak kalah hebatnya. Selain dipergunakan untuk mengemplang dan menotok, juga terutama sekali lengan kering ini mendatangkan hawa yang menyeramkan pada lawan yang kurang kuat batinnya.
Namun Huang-ho Sian-jin seorang tokoh kang-onw yang sudah banyak makan asam garam dunia dan sudah banyak sekali menghadapi banyak pertempuran besar, tidak menjadi gentar. Dayungnya menyambar-nyambar bagai naga hitam mengamuk, sedtkitpun tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya untuk mendekatinya. Sebaliknya, Cui Kong mempergunakan kelincahannya untuk bertempur dari jarak dekat, karena hanya dengan pertempuran jarak dekat saja ia akan peroleh kemenangan dan kakek yang kepandaiannya sudah mengimbangi tingkatnya sen diri itu.
Pertempuran berjalan seru, seorang menjaga supaya pertempuran terjadi dengan jauh, yang seorang lagi berusaha merobah kedudukan menjadi pertempuran jarak dekat. Kalau kadang-kadang Cui Kong berhasil, Huang-ho Sian-jin merobah permainan dayungnya, dipegang di tengah-tengab sehingga rupakan toya atau sepasang senjata pendek, akan tetapi ia segera mendesak lagi supaya dapat menggunakan dayungnya sebagai senjata panjang yang dipakai menyerang dari jauh. Mereka mempe rebutkan kedudukan dan pertempuran berjalan seru, ramai dan lama. Puluhan jurus berlalu tak terasa.
Kong Ji mendongkol sekali. Semenjak melihat kelihaian Tiang Bu puteranya yang sejak itu ia menjadi tidak sabar melihat Cui Kong dianggapnya amat bodoh. Tentu saja kalau menghendaki putera angkatnya ini sebagai Tiang Bu, ia mengimpi jauh. Untuk melampiaskan kekece waannya melihat Tiang Bu yang saat itu menolak untuk menjadi puteranya, ia menumpahkan kemendongkolan hatinya kepada Cui Kong. Sering kali pemuda ini dimaki-maki goblok dan bodoh, akan tetapi terus ia menurunkan kepandaiannya kepada Cui Kong. Sekarang melihat Cui Kong tak dapat merobohkan Huang-ho Sian-jin, kembali Kong Ji memaki-maki sambil memberi petunjuk.
“Tolol, jangan bilarkan ujung dayungnya menggertakmu. Pergunakan Soat lian dan barengi Hok-te-twi!"
Cui Kong cepat bergerak menurut petunjuk ayahnya. Gerakan Soat-lian adalah dari Soat-te kiam hoat (Ilmu Pedang Teratai Salju) yang didapat dari kitab Omei-san, gerakannya lembut namun merupakan inti ilmu ginkang sehingga tubuh menjadi ringan dan cepat, adapun Hok to-twi berarti tendangan mendekam.
Dengan dua ilmu ini Cui Kong menghindarkan diri dari kurungan ujung dayung dan mengirim tendangan-tendangan tak tersangka ke arah dayung dan tangan lawan. Memang hebat rantai serangan ini. Huang-ho Sian-jin sampai mundur-mundur terdesak untuk menyelamatkan dayungnya, sementara itu dua macam senjata di tangan Cui Kong menggantikan kedudukan pedang dalam gerakan Soat-sian tadi, hebatnya bukan main.
Bagaimanapnn juga, tidak mudah merobohkan seorang tokoh besar seperti Huang-ho Sian-jin, kalau yang merobohkan itu hanya seorang dengan tingkat yang dimiliki Cui Kong. Pertempuran hebat itn berjalan terus sampai seratus jurus dan masih belum dapat dibilang Cui Kong menang di atas angin walaupun selalu diberi petunjuk oleh Kong Ji. Tiba tiba dari jurusan tengah pulau terdengar suitan lain seperti Cui Kong tadi.
"Gurumu menghadapi musuh lain!"
Kong Ji kaget karena tidak menyangka bahwa masih ada musuh lain yang malah sudah masuk ke dalam pulau. Ia segera menurunkan tubuh Wan Sun yang tadi dikempitnya dan dengan beberapa kali lompatan ia sudah memasuki gelanggang pertempuran. Kedua tangannya bergerak memukul dengan tenaga Tin-san-kang secara hebat...
"Serigala suara pergi menghilang
Datang banjir dan belalang.
Memang merisaukan hati kawan!
Sudah barang tentu bangsa sendiri membantu,
Akan tetapi membajak, apakah itu perlu?
Apa lagi yang dihadapi adalah seorang dungu,
Yang tidak mempunyai sepeser di dalam saku!”
Terdengar kakek itu tertawa, lalu ia berdiri sehingga kelihatan tubuhnya yang jangkung. Sajak Sin Hong tadi biasa saja, akan tetapi cara Sin Hong menahan majunya parahu dengan menggerak gerakkan dayung perlahan di atas air sungguh bukan perbuatan biasa.
"Tamu yang lewat bilang tidak punya sepeser, mana bisa melakukan perjalanan? Pedang bagus disimpan di dalam baju, siapa tahu kalau tidak digunakan menambah sengsara rakyat? Jaman ini banyak sekali anjing busuk, Aah, Harus diselidiki betul-betul.”
Wan Sin Hong tercengang mendengar kata-kata kakek pemimpin bajak sungai itu. Alanglah tajam pandang mata kakek itu yang dari jarak jauh dapat melihat pedang Pak-kek sin-kiam yang ia sembunyikan di balik baju. Juga kata-kata kakek itu menunjukkan bahwa kakek ini bukanlah bajak sungai biasa saja. Hatinya timbul ingin mencoba kepandaian kakek itu dan belajar kenal. Dengan tenang Sin Hong lalu menggerakkan perahu ke pinggir sambil berkata,
“Aku bukan termasuk golongan buaya bicara di atas air sungguh tidak leluasa, Kalau sahabat tua ingin bicara, mari ke darat!”
Dengan sekali melompat Sin Hong telah tiba di darat dan berdiri menanti sambil tersenyum tenang. Memang Sin Hong seorang pendekar yang hati-hati sekali. Biarpun ia tidak gentar menghadapi bajak sungai itu, akan tetapi kalau sampai terjadi perkelahian di atas perahu, ia bisa menderita rugi. Sekali saja perahunya digulingkan, ia akan berada di fihak lemah. Oleh karena itu ia mendahului menantang sambil mendarat.
Kakek itu melihat cara Sin Hong melompat, berseru gembira. "Aha. kiranya memiliki sedikit kepandaian. Aku akan manyelidiki di atas darat. Kalau kawan boleh terus kalau lawan baru meninggalkan barang!”
Sambil berkata demikian, iapun melompat dari perahunya ke atas darat dengan gerakan yang ringan sekali. Berturut-turut pemuda dan pemudi yang duduk seperahu dengan kakek itupun melompat dengan gerakan yang menunjukkan ilmu ginkang yang sudah tinggi.
"Bagus!" kata Sin Hong sambil tersenyum. "Sudah kuduga bahwa kalian tentu bukan bajak-bajak sungai biasa. Sekarang dengan cara bagaimana kalian hendak memeriksa dan menyelidik apakah aku seorang baik atau busuk menurut ukuranmu?"
Kakek itu mengurut urut jenggotnya yang panjang dan matanya memandang penuh selidik, “Hemm. sikapmu mengingatkan aku akan seorang yang sudah sering kali kudengar namanya disebut-sebut orang. Akan tetapi tak mungkin kau orang itu. Mau tahu bagaimana cara kami menyelidik? Bersiaplah dengan pedang yang kau sembunyikan itu. Kalau kau bisa mempertahankan pedang itu dari rampasan kami, kami mengaku kalah dan kau boleh melanjutkan perjalanan diiringi hormatku."
Sin Hong tersenyum. "Hemm, begitukah cara seorang bajak bertindak? Benar-benar sombong! Siapa di antara kalian yang hendak maju?”
"Thia-thia (ayah), biarlah aku memberi hajaran kepada orang yang banyak lagak ini," kata gadis cantik yang tadi bernyanyi sambil mecabut pedangnya. Sikapnya galak dan pipinya kemerahan menambah ke cantikannya.
Kakek itu hendak mencegah akan tetapi gadis yang lincah dan galak itu telah menikam dada Sin Hong dengan pedangnya. Wan Sin Hong adalah seorang pendekar besar dan sudah berusia setengah tua. kesabarannya tebal bukan main. Mana ia mau melayani seorang gadis remaja yang bertingkah? Dengan tenang ia mengulur tangan dan di lain saat ia telah mencengkeram pedang itu, di betot dan pedang telah terampas olehnya!
"Ang Lian, mundur kau!" seru si pemuda sambil menyerang dengan pedangnya tanpa minta perkenan kakek itu.
Sin Hong menggerakkan pedang rampasan yang dipegang pada bagian tajamnya, dengan sekali ia memapaki ujung pedang pemuda menggoyangkan gagang pedang yang dia pegang dan... benang ronce hiasan gagang pedang rampasan itu melibat pedang pemuda itu tak dapat ditarik pula. Sekali Sin Hong membetot, pedang pemuda itu terlepas dari pegangan dan sudah berpindah ke tangan pendekar besar ini!
"Pek Lian, kau telah sombrono!” mencela kakek itu sambil tertawa.
Sin Hong memandang kepada Ang Lian dan “pemuda” yang ternyata seorang gadis berpakaian pria bernama Pek Lian itu. Tersenyum dan menyerahkan pedang-pedang rampasannya kembali. Ang Lian dan Pek Lian bermerah muka, malu untuk menerima kembali pedang yang sudah terampas.
"Pek Lian, Ang Lian, terima kembali pedang kalian dan haturkan terima kasih!" kata kakek itu yang bukan lain adalah Huang-ho Sian-jin, “datuk" bajak sungai di sepanjang sungai Huang-ho.
Dua orang gadis itu melangkah maju menerima pedang masing-masing dan bibir mereka berbisik menyatakan terima kasih. Mereka merasa heran dan kagum bukan main. Dahulu mereka dibikin kagum dan tidak berdeya terhadap seorang pemuda bernama Tiang Bu, sekarang kembali mereka be rtemu "guru” yang lihai bukan main. Masa dalam segebrakan saja pedang mereka sudah terampas secara aneh!
Sementara itu, Huang-ho Sian-jin menghadapi Wan Sin Hong dengan mata bersinar-sinar. Ia merasa gembira sekali dapat bertemu dengan orang selihai ini. Ia sudah dapat menduga siapa orang ini. Akan tetapi dia bukan ayah Ang Lian yang keras kepala kalau dia sendiri tidak kepala batu!
“Orang gagah, aku tidak memparkenalkan nama dan tidak akan menanyakan namamu sebelum kita mengukur kepandaian-Kepandaianmu hebat sekali, ingin aku mencobanya. Cabut pedangmu itu dan mari kita main-main sebentar”
Setelah berkata demikian, ia menyambar dayung perahunya. Dayung itu terbuat dari pada baja panjang dan berat berwarna hitam. Wan Sin Hong adalah seorang pendekar sakti. Tidak saja ilmu silatnya tinggi sekali, juga ia memiliki kecerdikan melebihi orang banyak. Orang kebanyakan menilai kepandaian murid dari kepandaian gurunya, akan tetapi Sin Hong dapat menilai kepandaian guru terlihat dari kepandaian muridnya. Ia tahu bahwa dua orang gadis itu adalah puteri kakek ini, tentu mendapat warisan ilmu silat sebanyaknya. Dan ia sudah dapat menilai bakat dua orang gadis tadi. Dari perhitungan ini ia sudah dapat menduga sampai di mana tingkat ilmu kepandaian kakek itu dan ia tahu bahwa ia akan dapat mengalahkannya.
"Pedangku sudah kusembunyikan di balik baju, biarlah ia tinggal bersembunyi di sana karena aku tidak bisa mempergunakan kalau bukan berhadapan dengan musuh jahat. Sahabat tua hendak main-main, biarlah aku minta bantuan anakmu meminjam pedang.”
Baru ucapannya habis. Pek Lian yang berdiri dekat, kurang lebih tujuh langkah dari Sin Hong, tiba-tiba merasa ada angin menyambar dan di lain saat pedangnya sudah terambil lagi, terpegang oleh orang sakti itu.
"Maaf anak yang baik. Aku pinjam sebentar pedangmu," kata Sin Hong, suaranya halus dan ramah sehingga Pek Lian tidak bisa marah. Sin Hong tahu bahwa kalau ia mencabut pedangnya, selain mungkin sekali, kakek itu akan mengenal Pak-kek-sin kiam. juga kemenangannya takkan ada artinya. Pedang pusakanya amat tajam dan kalau sekali tangkis dayung lawannya putus, berarti ia akan menang mengandalkan ketajaman pedang pusaka maka ia sengaja meminjam pedang biasa kepunyaan Pek Lian.
Perbuatan dan sikap Sin Hong ini memang boleh dipandang sebagai suatu kesombongan atau sikap memandang rendah lawan, biarpun Huang-ho Sian-jin seorang kakek yang banyak pengalaman dan memiliki kesabaran besar, ia menjadi mendongkol juga. Tanpa sungkan-sungan sebagai imbalan atau imbangan sikap Sin Hong itu, ia menggerakkan dayungnya, diputar di atas kepala lalu berseru.
"Awas, lihat senjata!"
Bagaikan seekor ikan besar menyambar mangsanya, dayung itu bergerak miring dan sekaligus melancarkan serangan yang mempunyai pecahan lima macam banyaknya. Lima macam pukulan susul-menyusul dan bertubi-tubi dilakukan dengan kedua ujung dayung, dalam cara dan gerak yang berbeda sifatnya, bergantian mengandung tenaga keras dan lemas! Inilah serangan hebat sekali yang amat sukar dihindari. Dayung itu panjang dan berat, digerakkan oleh seorang yang memiliki lweekang tinggi, datangnya cepat, tidak terduga dan kuat sekali.
Akan tetapi, datuk bajak itu menghadapi Wan Sin Hong, seorang pendekar sakti yang tinggi ilmu silatnya bahkan yang pernah di pilih menjadi beng-cu dari para orang gagah. Biarpun harus ia mengakui bahwa serangan kakek itu benar luar biasa dahsyatnya dan berbahaya, namun ia bersikap tenang sekali. Dari sambaran angin pukulan ia dapat membeda-bedakan tenaga yang dipergunakan kakek itu.
Harus diketahui bahwa selama "bertapa” di Luliang-san. Wan Sin Hong telah dengan amat tekun melatih diri dan mempelajari serta memperkuat tenaga lweekang sehingga ia boleh dibilang seorang ahli Yang-kang dan Im-kang. Maka dari itu, sekali lihat saja ia tahu bagaimana harus melayani lawannya. Pedang pinjaman di tangannya digerakkan parlahan namun mengandung dua macam tenaga yang tepat menghadapi tenaga dayung lawan.
Lima kali dayung itu dapat disambut pedang, di waktu mempergunakan tenaga Yang-kang, terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar di waktu bertemu tenaga Im-kang, tidak ada suaranya seperti dua barang lunak akan tetapi setiap kali membuat Huang-ho Sin-jin menderita pukulan hebat. Pertemuan tenaga Yang-kang membuat ia merasa panas seluruh tubuhnya dan tergetar mundur, sedangkan pertemuan tenaga Im-kang membuat kakek itu menggigil kedinginan dan ke dua kakinya lemas. Ini menandakan bahwa dalam hal tenaga, Sin Hong yang lebih muda itu masih jauh mengatasinya.
Sin Hong yang selalu menghormati orang lebih tua, membiarkan kakek itu menyerangnya sampai tiga puluh jurus, ia hanya mempergunakan kelincahannya mengelak dan kadang-kadang menangkis tanpa balas menyerang. Setelah tiga putuh jurus lewat, ia meras a bahwa sudah cukup ia mengalah, lalu katanya, “Sahabat, maafkan pedangku!"
Tiba tiba pedang itu berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata dan Huang-ho Sian-jin sampai berseru kaget. Baru sekarang ia menyaksikan ilmu pedang yang luar biasa sekali. Ilmu Pedang Pak-kek Kiam-sut yang tiada taranya di dunia ini. Lebih dari tujuh belas pucuk sinar pedang seperti api bernyala menjilat-jilatnya, sukar ditentukan dari mana arah penyerangannya, kelihatan kacau balau. Namun teratur sekali demikian baik teraturnya hingga tiap serangan menuju ke arah jalan darah yang penting!
Sebentar saja Huang-ho Sian jin sudah tak berdaya lagi. Ia menjadi pening, dayungnya hanya diputar-putar tidak karuan dalam usahanya melin dungi tubuhnya, lalu ia berteriak-teriak. "Hebat... cukup... cukup. Kalau ini bukan Wan taihiap, bengcu yang tersohor, aku si bodoh tidak tahu lagi kau siapa!"
Wan Sin Hong menahan pedangnya, mengembalikannya kepada Pek Lian sambil mengucapkan terima kasih kemudian berkata pada Huang-ho Sian-jin. "Nama besar Huang-ho Sian-jin bukan kosong belaka, aku Wan Sin Hong merasa girang dapat berkenalan." Ia lalu mengangkat tangan memberi hormat.
Huang-ho Sian-jin tertawa bergelak, "Ha-ha-ha! Kalau tidak bertempur mana bisa saling mengenal? Sekarang aku tahu mengapa Wan taihiap tidak mengeluarkan pedangnya Pak-kek-sin-kiam yang tersohor. Karena hendak menyembunyikan keadaan diri sendiri. Ha-ha-ha...!”
Kakek itu lalu menoleh kepada dua orang anaknya, Ang Lian dan Pek Lian gadis berpakaian pria sambil berkata, "Hayo kalian memberi hormat kepada Wan Sin Hong taihiap yang dulu terkenal dengan sebuta Wan-bengcu.”
Dua orang anak dara itu memang cerdik. Sudah lama mereka mendengar nama besar Wan Sin Hong disebut ayah mereka, kini setelah berhadapan mereka segera menjatuhkan diri berlutut dan Pek Lian berkata, "Kami kakak beradik mohon petunjuk dari taihiap.”
Sin Hong tersanyum dan juga tercengang karena baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa "pemuda" yang ia pinjam pedangnya itu ternyata seorang gadis pula. “Kalian sudah memiIiki kiam-hoat bagus, belajar apalagi?”
Terdengar Huang-ho Sian-jin berkata sambil menarik napas panjang dan berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Kiam hoat apakah yang bagus? Kalau bukan Wan–taihiap yang menaruh kasihan dan bermurah hati memberi petunjuk, habis siapa lagi? Harap saja Wan taihiap tidak terlalu pelit." Ia mengangkat kedua tangan menjura dungan hormat.
Menghadapi permintaan yang sungguh-sugguh dari ayah dan anak ini, Wan Sin Hong merasa tidak enak kalau tidak menuruti. Tangan kanannya bergerak, sinar terang menyilaukan mata ketika Pak-kek-sin-kiam berada di tangan.
“Kim-hoat dimiliki karena jodoh. Entah nona-nona berjodoh atau tidak, silakan melihat baik-baik!"
Setelah berkata demikian, Sin Hong menggerakkan pedangnya dan dengan perlahan ia mainkan Soan-hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin Puyuh) yang dulu ia pelajari dari Luliang Ciangkun. Tentu saja ia tak mau menurunkan Ilmu Pedang Pak kek kiam-sut karena selain ilmu pedang ini tidak boleh diturunkan pada sembarang orang, juga untuk mempelajari ilmu pedang ini membutuhkan dasar-dasar yang amat kuat dan amat sukar dipelajari!
Sampai tiga kali Sin Hong mengulang permainannya di depan dua orang gadis Huang-ho Sian jin yang tahu aturan kang-ouw. memerintahkan anak buah bajak untuk berdiri membelakangi tempat latihan itu, bahkan dia sendiri juga tidak mau melihat.
Setelah mainkan pedangnya tiga kali ditonton penuh perhatian oleh Pek Lian dan Ang Lian, Sin Hong berhenti bermain, berkata, "Cukup sekian dan selanjutnya tergantung dari jodoh dan bakat."
Dua orang gadis itu berlutut menghaturkan terima kasih lalu pergi dari situ mencari tempat sunyi untuk mengingat dan mempelajari ilmu pedang yang terdiri dari tujuh belas jurus itu. Sedangkan Huang-ho Sian-jin dengan wajah girang berseri mempersilakan Sin Hong untuk singgah di tempat kediamannya, yaitu di sebuah perabu besar untuk menerima penghormatan dan jamuan.
Akan tetapi Sin Hong menolak dan menyatakan bahwa ia masih mempunyai banyak urusan. Kemudian ia teringat akan kedudukan Huang-ho Sian-jin sebagai bajak sungai yang malang melintang sepanjang Sungai Huang-ho dan tentunya juga ia pernah keluar berlayar di lautan dan mengenal keadaan pulau-pulau di sebelah selatan.
“Siauw-te ada sebuah urusan dan mengharapkan bantuan lo enghiong," katanya.
Wajah Huang-ho Sian jin berseri. "Tentu saja lo-hu suka sekali membantumu. Wan-taihiap. Entah urusan apakah gerangan dan bantuan apa yang dapat kuberikan?"
"Hanya sebuah keterangan dari lo-enghiong. Aku sedang mencari sebuah pulau di laut selatan, pulau yang bernama Pek-houw to (Pulau Hariman Putih), entah lo enghiong mengenal atau tidak?”
Wajah yang berseri dari kakek itu segera berubah, keningnya berkerut dan untuk sejenak ia memandang kepada Sin Hong dengan mata tajam. "Kiranya taihiap juga mengalami gangguan mereka? Iblis-iblis itu belum lama tinggal di Pek-houw-to, akan tetapi sudah membikin kacau banyak orang. Terutama sekali penduduk di sekitar pantai selatan. Aku sendiri sedang bersiap-siap untuk nekat menyerbu ke sana, biarpun aku tahu bahwa mereka terdiri dari orang-orang berhati iblis yang amat keji dan berkepandaian tinggi sekali.
"Aku tidak tahu siapa yang kau maksudkan dengan mereka itu, lo enghiong. Akan tetapi terus terang saja, aku mercari seorang tosu kaki buntung bernama Lo-thian-tung Cun Gi Tosu...”
“Celaka...!” Huang-ho Sian-jin berseru kaget mendengar nama ini. “Jadi diakah gerangan orangnya? Sudah kudengar bahwa pemimpin iblis itu adalah seorang kakek buntung kaki kanannya akan tetapi siapa kira adalah Lo-thian-tung Cun Gi Tosu. Pantas saja banyak anak buahku tewas!”
Huang-ho Sian jin lalu bercerita bahwa memang di pulau itu tinggal banyak orang di dipimpin oleh seorang kakek buntung. Kakek itu sendiri jarang sekali kelihatan keluar dari Pulau Pek-houw-to, akan tetapi banyak anak buahnya melakukan gangguan gangguan kepada rakyat dan nelayan di sekitar daerah itu terutama di pantai daratan Tiongkok.
“Beberapa kali anak buahku mencoba untuk menegur mereka,” Huang-ho Sianjin melanjutkan penuturannya. "Kami biarpun tergolong kaum bajak, namun kami melakukan parampasan bukan semata menggendutkan perut sendiri. Di samping untuk makan anak buah kami yang hanyak jumlahnya, semua sisa hasil pembajakan selalu kupergunakan untuk menolong rakyat yang sedang menderita kekurangan. Maka sepak terjang pebghun i Pek houw-to itu memarahkan hati anak buah dan mereka menegur. Celakanya, mereka tidak suka ditegur sehingga terjadi pertempuran dan selalu pihak anak buahku yang menderita kekalahan. Selama ini aku bersabar saja sampai akhirnya kumendengar mereka itu banyak melakukan penculikan anak-anak gadis di pantai. Ini melewati batas dan aku sudah merencana persiapan untuk menyerbu ke sana dan merobohkan pemimpinnya. Tidak tahunya, pemimpinnya adalah Lo thian-tung Cun Gi Tosu! Aku bisa apakah terhadap dia?”
"Lo-enghiong jangan khawatir. Biarkan aku menghadapi kakek buntung yang telah menculik dan aku hanya minta bantuan lo enghiong untuk mengantarku ke sana sebagai petunjuk jalan," kata Sin Hong.
"Mana bisa begitu? Aku akan mengawani taihiap dan mari kuantar taihiap mendarat di sana. Akupun tidak takut menghadapi Lo-thian-tung Cun Gi Tosu, sungguhpun dia terkenal sakti!”
Cepat Huang-ho Sian-jin memberi perintah kepada anak buahnya untuk menyediakan sebuwh perahu terbaik dan menyuruh pergi. Kemudian ia bersama Sin Hong mulai melakukan pelayaran, keluar dari Sungai Huang ho memasuki perairan laut dan terus berlayar ke selatan. Tidak mengecewakan Huang-ho Sian jin dianggap datuk para bajak, kepandaiannya mengemudi perahu dan berlajar memang hebat sekali. Perahu berlayar cepat dan dalam tiga hari mereka sudah tiba di tempat tujuan.
Pek-houw-to terletak tak jauh dari pantai di antara sekumpulan pulau-pulau lain. Pulau ini tidak kelihatan istimewa, hanya kalau dilih at dari jauh memang agak keputihan bentuknya seperti binatang harimau mendekam. Oleh karena bentuk dan warna inilah maka disebut Pek houw to atau Pulau Harimau Putih. Hari telah menjadi senja ketika perahu dua orang pendekar itu tiba di kepulauan itu. Keadaan di situ benar-benar sunyi, tidak kelihatan sebuahpun perahu nelayan. Padahal daerah ini terkenal banyak ikannya.
"Kau lihat sendiri, taihiap. Tak seorangpun nelayan berani mencari ikan di sini, pada dahulu di sini amat ramai. lni tandanya betapa ganas orang-orang jahat itu mengganggu ketenteraman para nelayan"
Sin Hong hanya mengangguk dan minta kepada kakek itu untuk melanjutkan palayaran ke pulau itu. Perahu terus didayung mendekati pulau dan setelah dekat nampak bahwa di antara pulau-pulau itu, hanya Pek-houw-to yang kelihatan ada rumah-rumahnya. Wuwungan rumah nampak menjulang tinggi di antara batu-batu karang dan pohon-pohon.
Perahu di daratkan dan mereka melompat ke darat dengan hati-hati. Setelah perahu ditambatkan pada batang pohon, Sin Hong berkata, “Harap lo-enghiong suka menanti di saja. Aku akan naik dan menyelidiki ke tengah pulau.”
Maklum bahwa kepandaiannya memang tidak dapat mengimbangi Sin Hong. Huang-ho Sin-jin mengangguk dan menerima pesan ini tanpa membantah. Akan tetapi setelah ia melihat bayangan Sin Hong berkelebat lenyap menuju ke jurusan kiri, iapun lalu menyusup di antara tetumbuhan menuju ke kanan, untuk melakukan penyelidikan sendiri. Tentu saja seorang gagah perkasa seperti kakek ini yang disegani di antara para bajak, merasa tidak enak sekali kalau hanya dijadikan tukang turggu atau tukang perahu. Biarpun ke pandaiannya tidak setinggi Wan Sin Hong, namun ia tidak takut menghadapi kakek buntung dan kawan-kawannya!
Belum lama Huang ho Sian-jin berjalan mengendap di antara pohon-pohon, berindap-indap ia mengintai dengan hati-hati, ia mendengar makian orang dan angin pukulan, tanda bahwa ada dua orang pandai bertempur. Ce pat ia manyelinap di balik pohon dan menghampiri tempat itu, mengintai. Dilihatnya dua orang pemuda tengah bertempur seru.
Mereka ini adalah seorang pemuda yang berenjata sepasang ranting kayu dan pemuda ke dua senjatanya mengerikan yaitu sebuah tulang Iengan kering di tangan kiri dan seekor ular kecil putih di tangan kanan! Pemuda bersenjata ranting itu terus terdesak mundur oleh Iawannya yang ternyata lebih lihai. Namun ia melawan dengan nekat sekali, ia tidak memperdulikan ejekan dan sikap lawan yang tertawa-tawa.
“Ha ha-ba, Wan Sun bocah tolol. Apakah kau masih tidak mau menyerah? Isterimu sudah tertawan dan kau sendiri sudah tak berdaya. Dengan pedangmu saja kau tidak mampu melawanku. Apa lagi dengan ranting? Ha ha jangan kau bersikap goblok. Ayah masih berlaku murah dan melarang kau dibunuh. Kalau tidak begitu, apa kaukira sekarang kau tidak akan menjadi setan tak berkepala dan isterimu sudah menjadi milikku?”
"Keparat jahanam Liok Cui Kong! Kau sudah membunuh ayah dan ibu mertuaku, secara keji menyebar maut di Kim-bun to, kau kira aku sudi mendengar omonganmu? Mari kita mengadu nyawa, aku tidak takut!”
Setelah berkata demikian, Wan Sun menyerang makin hebat. Dia adalah murid Ang jiu Mo li, tentu saja kepandaiannya tidak rendah. Biarpun pedangnya sudah terampas oleh Cui Kong dan sekarang ia hanya mempergunakab dua ranting kayu, namun ini masih merupaken senjata yang berbahaya bagi lawan.
Bagaimana Wan Sun bisa berada di pulau itu dan bertempur melawan Cui Kong? Seperti pernah diceritakan, setelah melangsungkan pernikahannya dengan Coa Lee Goat, Wan Sun mengajak isterinya untuk pergi ke utara dan mencari adiknya, Wan Bi Li. Setelah menikah, tentu saja cinta kasih Wan Sun terhadap Bi Li berubah menjadi cinta kasih kakak terhadap adiknya. karena memang dia tidak beradik dan Bi Li selain tidak bersaudara, juga telah menjadi anak yatim piatu seperti juga dia sendiri. Kalau teringat akan keadaan Bi Li, sedihlah hati Wan Sun. Ia ingin bertemu dengan adik angkatnya itu, ingin menarik Bi Li tinggal bersama dia dan kelak mencarikan pasangan yang setimpal untuk adiknya itu. Lee Goat maklum akan perasaan sayang adik dari suaminya ini, maka ia setuju untuk pergi mencari Bi Li. sekalian berbulan madu sebagai pengantin baru.
Akan tetapi, setelah berbulan-bulan merantau di utara dan mencati-cari, usaha Wan Sun sia-sia belaka. Tak seorangpun manusia tahu ke mana perginya Bi Li. Gadis itu lenyap tan pa meninggalkan jejak. Wan Sun menjadi berduka sekali. Lee Goat yang melihat kedukaan suaminya, lalu mengh iburnya dan mengajaknya pulang saja ke Kim-bun to.
“Biar nanti ayah membantumu. Jika ia memberi surat kepada para ketua partai besar minta bantuan mereka, mustahil adik Bi li tidak dapat ditemukan? Ayah mempunyai hubungan dengan semua orang kang-ouw di empat penjuru dan kalau semua orang kang-ouw membantu mengamat-amati tentu segera akan ada berita di mana adanya adik Bi Li," kata Lee Goat dengan suara menghibur.
Wan Sun menganggap kata-kata isterinya ini tepat juga, maka dia pun menurut. Akan tetapi, siapa kira, sesampainya si Kim-bun-no, bukannya menerima hiburan bahkan mendengar berita yang hebat menghan curkan hati mereka. Yang menyambut kedatangan mereka hanya Hwa Thian Hwesio. Melihat sepasang suami isteri ini datang, Hwa Thian Hwesio menyambutnya dengan air mata bercucuran. Tentu saja Lee Goat dan Wan Sun terkejut sekali.
"Lo.suhu... mengapa lo-suhu menangis. Mana ayah dan ibu, mana bibi Li Hwa dimana semua orang? Mengapa begini sunyi...?” Lee Goat menoleh ke sana ke mari dan merasa berdebar hatinya, tidak melihat siapa-siapa di situ. Juga Wan Sun mendapat firasat tak enak, wajahnya sudah menjadi pucat ketika ia melihat hwesio itu menangis terisak-isak seperti anak kecil.
“Hwa Thian lo-suhu, harap suka bercerita trus terang. Apakah yang telah terjadi?”
Hwesio itu akhirnya dapat menenangkan diri. Ia menyusuti air mata dengan ujung lengan bajunya yang lebar, lalu memandang kepada Lee Goat sambil berkata kepada Wan Sun. “Kongcu, jagalah isterimu baik-baik sementara mendengar ceritaku."
Wan Sun segera menggandeng lengan isterinya, hatinya berdebar karena ia maklum bahwa tentu telah terjadi malapetaka hebat di Kim-bun to. Adapun Lee Goat seketika menjadi pucat sekali dan suaranya serak ketika ia bertanya, “Lo-suhu, ceritakanlah, ada apa…?”
“Beberapa bulan yang lalu, pinceng kebetulan sekali datang berkunjung ke sini bersama sahabatku Ouw Beng Sin, tiba-tiba datang Liok Cui Kong putera Liok Kong Ji. Pemuda jahat itu mengamuk dan dia lihai bukan main. Biarpun dia dikeroyok, tetap tetap saja menyebar maut. Selain Ouw Beng Sin dan seorang pelayan tewas, pinceng dan Hui-eng Niocu Siok Li Hwa terluka hebat, juga Coe-sicu dan isterinya tewas...“
Lee Goat menjerit. Wan Sun cepat memeluknya dan nyonya muda ini pingsan dalam pelukan suaminya. Air mata bercucuran dari sepasang mata Wan Sun, giginya berkerot-kerot, akan tetapi tak sedikitpun suara keluar dari mulutnya. Dengan menekan goncangan dalam dada sendiri, ia memondong isteri nya dan membawanya ke dalam kamar, di mana Lee Goat dibaringkan dan dirawat.
Menjelang tengah malam baru Lee Goat siuman dari pingsannya, menjerit-jerit nyaring. "Liok Cui Kong bajingan besar! Aku harus bunuh kau! Aku akan mencabut jantungmu dipakai sembahyang!" berkali-kali ia menjerit menangis sedih.
Baiknya Wan Sun pandai sekali menghiburnya, dan menjanjikan un tuk segera mencari musuh besar itu dan membalas dendam. Akhirnya Lee Goat terhibur juga. Segera setelah melakukan sembahyang di depan makam ayah bundanya sambil menangis menggerung-gerung, Lee Goat mengajak s uaminya pergi lagi mencari jejak Cui Kong!
Akhirnya mereka mendenger bahwa orang yang dicari itu berada di selatan, di Pulau Pek-houw-to. Tanpa mengenaI lelah dan bahaya, kedua suami isteri ini menyusul ke sana menyeberang dan dengan nekat lalu menyerbu. Penyerbuan dua orang muda ini mendatangkan rasa geli dalam hati Cui Kong, kagum dalam hati Cun Gi Tosu, dan girang dalam hati Liok Kong Ji. Cui Kong merasa geli karena melihat dua orang muda yang kepadaiannya belum berapa tinggi berani main-main di depan mulut gua harimau.
Cun Gi Tosu kagum menyaksikan keberanian suami isteri muda ini dan Liok Kong Ji merasa girang oleh karena munculnya dua orang muda ini memberi kesempatan baginya untuk menghadapi musuh-musuh besarnya yang ia takuti yaitu Sin Hong dan Tiang Bu. Kalau saja ia dapat menawan dua orang ini, tentu ia dapat menebus keselamatannya dengan jiwa mereka! Demikianlah, tanpa banyak cakap lagi Kong Ji memberi perintah kepada Cui Kong untuk me nangkap dua orang muda itu hidup-hidup.
Lee Goat sendiri biarpun kepandaiannya tinggi dan kiam-hoatnya lihai karena ia murid Wan Sin Hong, namun tentu saja berhadapan dengan Liok Kong Ji ia marupakan makanan lunak. Belum sampai tiga puluh jurus, nyonya muda ini sudah terkena totokan yang lihai, jatuh lemas dan menjadi tawanan.
Wan Sun didesak mundur terus oleb Cui Kong. Biarpun kepandaian Wan Sun tadinya sudah hampir setingkat dengan Cui Kong, akan tetapi akhir-akhir ini Cui Kong mendapat kemajuan hebat dan kini Wan Sun masih kalah sedikitnya dua tingkat! Dengan senjatanya yang aneh, Cui Kong mendesak Wan Sun yang masih melakukan perlawanan mati-matian.
Ketika Wan Sun menggerakkan pedangnya dengan hebat untuk mamatahkan lengan kering yang mengerikan itu, Cui Kong berkata sambil tertawa, “Awas, hati-hati sedikit. Kalau tidak, pedangmu akan mematahkan lengan tangan adikmu sendiri. Lihat baik-baik, ini lengan tangan Wan Bi Li, apa kau tidak mengenal lagi?"
Dapat dibayangkan betapa kagetnya Wan Sun mendengar ini dan tanpa terasa gerakannya menjadi lambat dan tahu-tahu ia kehilangan pedangnya yang kena dirampas oleh Cui Kong. Namun Wan Sun bukan orang penakut. Ia melawan terus dengan sepasang ranting pohon yang ia pungut dari bawah pohon, lalu melawan mati-matian.
Pada saat itulah Huang-ho Sian-jin muncul dan mengintai. Mendengar ucapan Cui Kong yang ditujukan kepada Wan Sun tadi, tahulah kakek ini siapa yang harus ia tolong. Tadinya ia ragu-ragu karena ia tidak mengenal dua orang muda yan g sedang bertempur itu. Akan tetapi, ucapan Cui Kong cukup meyakinkan bahwa dia harus membantu pemuda bersenjata sepasang ranting itu.
“Orang muda, jangan takut, lo-hu datang membantumu!” seru kakek itu dan dayungnya sudah datang menyambar kepala Cui Kong dengan kemplangan yang mematikan.
Cui Kong terkejut sekali dan cepat melompat ke belakang menghindarkan diri dari sambaran dayung yang bukan main kuatnya itu. “Eh... eh, kau ini orang tua gila dari mana datang-datang menyerang orang? Kau siapa dan ada permusuhan apa dengan aku?” teriak Cui Kong, mendongkol dan kaget.
Huang-ho Sian-jin penasaran sekali. Kepandaiannya tinggi, serangannya tadi adalah serangan maut yang sukar dihindarkan, namun pemuda yang membawa lengan kering dan ular itu sekali melompat telah dapat menyelamatkan diri.
"Pemuda jahat, tentu kau yang selama ini menyebar kejahatan! Aku Huang-ho Sian-jin datang untuk membalas kematian beberapa orang anak buahku."
Setelah berkata demikian, kembali kakek ini menyerang dengan dayungnya. Melihat datangnya bala bantuan, Wan Sun timbul kembali semangatnya dan ikut mendesak. Sibuklah sekarang Cui Kong menghadapi gelombang serangan dua orang lawannya yang tak boleh dipandang ringan ini. Ia sama sekali tak boleh berlaku gegabah.
Terutama se kali menghadapi dayung Huang-ho Sian-jin, Cui Kong tak dapat menangkis, hanya mengelak jauh ke sana ke mari menghindarkan diri dari jangkauan dayung yang panjang dan berat itu. Kalau ia berusaha bertempur merapat datok bajak itu Wan Sun manyambutnya, kalau menjauh, kakek itu menggempurnya.
Cui Kong tahu bahaya. Ia cepat bersuit keras melepas suara isyarat bahaya kepada kawan-kawannya. Untung baginya, pada saat it u Kong Ji berada di tempat yang tidak berapa jauh. Beberapa menit kemudian muncullah Liok Kong Ji di gelanggang pertempuran.
"Anak bodoh, kalau masih belum mampu membekuk Wan Sun?” Kong Ji mengomel.
“Kakek bajak Huang-ho ini datang mengacau, ayah," Cui Kong membela diri.
Kong Ji melompat ke tengah dengan tangan kosong. Tiga kali tangannya bergerak dan dilain saat Wan Sun sudah roboh tertotok dan ditawan oleh Liok Kong Ji yang sekarang memiliki kepandaian amat lihai itu.
"Jadi kau ini orang tua yang disebut Huan-ho Sian jin?” tanya Kong Ji penuh perhatian.
Huang-ho Sian-jin sudah mendengar dari Sin Hong tentang Liok Kong Ji dan Cui Kong. Tentang Liok Kong Ji, memang sudah lama ia mendengar nama busuknya. Ia menunda dayungnya, memandang tajam lalu membentak. "Hemm kau tentu Liok Kong Ji si Manusia Iblis! Pantas saja daerah ini menjadi kacau dan tidak aman tidak tahunya di samping manusia manusia jahat ada kau iblis, yang bersembunyi!"
Liok Kong Ji tersenyum. Kakek ini ilmu dayungnya boleh juga, pikirnya. Tidak ada salahnya untuk menguji Cui Kong.
"Cui Kong, gempur dia!"
Cui Kong memang sudah merasa gemas sekali. Kalau tidak datang kakek itu tentu ia tak mendapat tegoran ayahnya dan sekarang setelah Wan Sun tertawan, ia dapat melayani kakek itu dengan leluasa. Ia mengeluarkan suara keras dan tubuhnya melayang, ular dan tangan itu bergantian bergerak menyerang. Dua macam senjata ini ada keistimewaan masing-masing. Ular itu amat berbahaya karena sekali saja manggigit akan merobobkan lawan dengan bisanya yang lihat. Tangan kering yang tadinya menjadi lengan Bi Li itupun tidak kalah hebatnya. Selain dipergunakan untuk mengemplang dan menotok, juga terutama sekali lengan kering ini mendatangkan hawa yang menyeramkan pada lawan yang kurang kuat batinnya.
Namun Huang-ho Sian-jin seorang tokoh kang-onw yang sudah banyak makan asam garam dunia dan sudah banyak sekali menghadapi banyak pertempuran besar, tidak menjadi gentar. Dayungnya menyambar-nyambar bagai naga hitam mengamuk, sedtkitpun tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya untuk mendekatinya. Sebaliknya, Cui Kong mempergunakan kelincahannya untuk bertempur dari jarak dekat, karena hanya dengan pertempuran jarak dekat saja ia akan peroleh kemenangan dan kakek yang kepandaiannya sudah mengimbangi tingkatnya sen diri itu.
Pertempuran berjalan seru, seorang menjaga supaya pertempuran terjadi dengan jauh, yang seorang lagi berusaha merobah kedudukan menjadi pertempuran jarak dekat. Kalau kadang-kadang Cui Kong berhasil, Huang-ho Sian-jin merobah permainan dayungnya, dipegang di tengah-tengab sehingga rupakan toya atau sepasang senjata pendek, akan tetapi ia segera mendesak lagi supaya dapat menggunakan dayungnya sebagai senjata panjang yang dipakai menyerang dari jauh. Mereka mempe rebutkan kedudukan dan pertempuran berjalan seru, ramai dan lama. Puluhan jurus berlalu tak terasa.
Kong Ji mendongkol sekali. Semenjak melihat kelihaian Tiang Bu puteranya yang sejak itu ia menjadi tidak sabar melihat Cui Kong dianggapnya amat bodoh. Tentu saja kalau menghendaki putera angkatnya ini sebagai Tiang Bu, ia mengimpi jauh. Untuk melampiaskan kekece waannya melihat Tiang Bu yang saat itu menolak untuk menjadi puteranya, ia menumpahkan kemendongkolan hatinya kepada Cui Kong. Sering kali pemuda ini dimaki-maki goblok dan bodoh, akan tetapi terus ia menurunkan kepandaiannya kepada Cui Kong. Sekarang melihat Cui Kong tak dapat merobohkan Huang-ho Sian-jin, kembali Kong Ji memaki-maki sambil memberi petunjuk.
“Tolol, jangan bilarkan ujung dayungnya menggertakmu. Pergunakan Soat lian dan barengi Hok-te-twi!"
Cui Kong cepat bergerak menurut petunjuk ayahnya. Gerakan Soat-lian adalah dari Soat-te kiam hoat (Ilmu Pedang Teratai Salju) yang didapat dari kitab Omei-san, gerakannya lembut namun merupakan inti ilmu ginkang sehingga tubuh menjadi ringan dan cepat, adapun Hok to-twi berarti tendangan mendekam.
Dengan dua ilmu ini Cui Kong menghindarkan diri dari kurungan ujung dayung dan mengirim tendangan-tendangan tak tersangka ke arah dayung dan tangan lawan. Memang hebat rantai serangan ini. Huang-ho Sian-jin sampai mundur-mundur terdesak untuk menyelamatkan dayungnya, sementara itu dua macam senjata di tangan Cui Kong menggantikan kedudukan pedang dalam gerakan Soat-sian tadi, hebatnya bukan main.
Bagaimanapnn juga, tidak mudah merobohkan seorang tokoh besar seperti Huang-ho Sian-jin, kalau yang merobohkan itu hanya seorang dengan tingkat yang dimiliki Cui Kong. Pertempuran hebat itn berjalan terus sampai seratus jurus dan masih belum dapat dibilang Cui Kong menang di atas angin walaupun selalu diberi petunjuk oleh Kong Ji. Tiba tiba dari jurusan tengah pulau terdengar suitan lain seperti Cui Kong tadi.
"Gurumu menghadapi musuh lain!"
Kong Ji kaget karena tidak menyangka bahwa masih ada musuh lain yang malah sudah masuk ke dalam pulau. Ia segera menurunkan tubuh Wan Sun yang tadi dikempitnya dan dengan beberapa kali lompatan ia sudah memasuki gelanggang pertempuran. Kedua tangannya bergerak memukul dengan tenaga Tin-san-kang secara hebat...