Tangan Gledek Jilid 46
PEMUDA itu mengerahkan tenaga untuk menjaga diri. Sinkangnya berputar-putar dan berkumpul di bagian dada dan perut untuk melawan hawa pukulan itu, sedangkan ia sendiri lalu miringkan tubuh agar jangan tersentuh kedua tangan yang me mukul. Akan tetapi, karena perhatiannya dicurahkan ke arah pukulan-pukulan yang dapat mengancam nyawanya meninggalkan badan itu, ia tidak mengira sama sekali bahwa Ang jiu Mo li hanya menggertak dan tahu-tahu tubuh nyonya sakti aku melejit ke atas dan... kitab itu sudah terampas kembali oleh Ang jiu Mo-li.
Wajah yang tadinya pucat dari Ang-jiu Mo li menjadi merah kembali. Wanita sakti ini tadinya sudah pucat karena sekali gebrakan saja kitab di tangannya sudah terampas oleh seorang pemuda. Hal ini benar-benar langka dan luar biasa sekali. Akan tetapi dalam gerakan kedua ia dapat merampas kembali kitab itu, berarti ia sudan dapat membela mukanya. Akan robohlah namanya kalau terdengar orang betapa dalam satu jurus ia dikalahkan oleh seorang bocah yang masih ingusan! Setelah sekarang ia dapat merampas kembali kitab itu juga dalam satu gebrakan berarti keadaan mereka masih seri.
"Bi Li, kaubawa dulu kitab ini" katanya dan kitab itu di lemparkan ke arah Bi Li yang menyambutnya dengan sebelah tangan dan memegangnya.
"Nah, sekarang majulah, orang muda. Aku ingin sekali melihat sampai di mana lihainya murid Omei-san," kata Ang jiu Mo-li menantang.
Tiang Bu maklum bahwa menghadapi seorang wanita sombong seperti Ang-jiu Mo-li, kalau ia tidak memperlihatkan kepandaiannya tentu sukar untuk mengambil kembali kitab itu. Juga ia maklum akan kelihaian wanita ini yang tadi sudah memperlihatkan pukulan Ang-jiu-kang yang berbahaya dan kecepatan gerakan yang amat mengagumkan. Maka ia berlaku hati-hati sekali.
Sebaliknya, tahu bahwa bocah ini benar-benar lihai, timbul kegembiraan hati Ang-jiu Mo-li. Seperti sebagian besar tokoh kang-ouw, dia juga termasuk orang yang gila silat. Bertemu dengan lawan tangguh, hilanglah sikapnya tadi dan lupalah wanita ini bahwa dia berniat menguji kepandaian calon jodoh muridnya. Ia menjadi bersungguh-sungguh dan mabok ke menangan. Oleh karena itu, setelah melihat Tiang Bu siap, Ang-jiu Mo-li berseru nyaring dan maju menyerang dengan ganas dan dahsyat!
Tiang Bu mengimbangi kecepatan lawannya dan tidak hanya menghindarkan dari serangan, bahkan membalas dengan sarangan yang tak kalah dahsyatnya. Ang jiu Mo-li kaget sekali melihat betapa tiga kali pukulan yang dilancarkan secara bertubi-tubi itu dielakkan dengan amat mudah oleh Tiang Bu bahkan pemuda itu membalas dengan tamparan yang kuat.
Melihat Tiang Bu menamnpar ke arah pundaknya, diam-diam Ang-jiu Mo-li memuji lagi sikap pemuda ini yang selalu menjaga agar jangan melanggar susila, maka tamparan yang menurut teori silat harus ditujukan ke arah kepala itu dlturunkan menjadi tamparan arah pundak! Ang-jiu Mo-li melihat datangnya tamparan perlahan saja namun membawa hawa pukulan yang kuat sekali, cepat menyambut dengan tangkisan Ang-jiu-kang. Ia hendak capat-cepat mengalahkan Tiang Bu kalau sampai pemuda ini terluka oleh tangan merahnya. Hal itu tidak apa karena ia selalu membekal obat penawarnya.
“Prakk !" Sepasang lengan bertemu dan kesudahannya, Ang-jiu Mo-li terdorong mundur sedangkan tangan Tiang Bu tidak apa, hanya kuda-kudanya kena gempur sedikit.
Ang-jiu Mo-li penasaran sekali, juga kaget bukan main. Mungkinkah pemuda ini memang lebih lihai darinya dalam hal lweekang? Sukar dipercaya! Sekali lagi Ang-jiu Mo-li menyerang dengan dorongan kedua tangannya, kini dilakukan dengan pengerahan lweekang sepenuhnya. Tiang Bu cerdik, tahu akan maksud lawan mengadu kekuatan, maka iapun cepat mengerahkan sinkangnya, dan mendorong pula dengan kedua tangannya. Sebelum empat buah tangan itu bertemu di udara, hawa pukulan masing-mesing sudah saling dorong dan akibatnya sekali lagi Ang-jiu Mo-li terdorong mundur sampai empat langkah! Sedangkan kali ini Tiang Bu tetap tidak bergeming, tanda bahwa memang pemuda ini masih jauh lebih menang.
Ang-jiu Mo-li menjadi pucat. Sudah jelas bahwa ia kalah dalam hal tenaga lweekang. Ia makin penasaran dan masih berkeras kepala. Kalau dalam lweekang aku kalah, belum tentu ginkang pemuda ini dapat menangkan aku, pikirnya. Memang Ang jiu Mo-li selain terkenal karena Ang-jiu-kang, juga terkenal sebagai seorang wanita yang tinggi ilmu gin-kangnya.
“Lihat serangan serunya dan tiba-tiba tubuh Ang-jiu Mo li berkelebat dan menyambar-nyambar. Bi Li yang menonton pertandingan itu sampai menjadi silau matanya. Gurunya lenyap berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti pandangan mata, gerak-geriknya cepat dan ringan sekali. Kali ini Tiang Bu akan kalah, pikir Bi Li, hatinya tidak enak karena ia mengenal gurunya sebagai seorang yang telengas sekali kalau sudab marah.
Melihat ginkang sehebat ini, diam-diam Tiang Bu kagum sekali. Ia pernah bertempur mengtadapi orang-orang lihai, termasuk. Wan Sin Hong. Akan tetapi harus ia akui bahwa dalam hal ginkang, baru sekarang ia bertemu dengan lawan yang benar-benar hebat, mengatasi ginkang dari orang-orang gagah lainnya bahkan Sin Hong sendiri kiranya masih kalah sedikit.
Akan tetapi, Tiang Bu adalah seorang muda yang sudah mewarisi kepandaian sakti dari dua orang kakek Omei-san dan terutama sekali semenjak mempelajari isi kitab Sen thian-to, di dalam tubuh pemuda ini mengan dung sinking atau hawa sakti yang hebat, tak dapat diukur lagi betapa tingginya. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya Bi Li ketika tubuh Tiang Bu tiba-tiba lenyap, bayangan sekalipun tidak kelihatan lagi. Kemana perginya pemuda itu?
Dilihat begitu saja tubuh Tiang Bu seperti sudah lenyap dan tidak berada pula di tempat itu, akan tetapi melihat gurunya masih seperti orang bertempur, menjadi bukti bahwa sebenarnya Tiang Bu masih berada di situ, bertanding melawan Ang-jiu Mo-li! Bi Li sampai bengong terlongong melihat gurunya seakan-akan bertanding melawan setan yang tidak kelihatan.
Kalau Bi Li menjadi bengong terheran-heran adalah Ang-jiu Mo-li yang menjadi kaget setengah mati dan kagum bukan main. Ia telah mengerahkan ginkangnya, hendak mempergunakan kecepatan gerakannya untuk menangkan pe muda itu. Akan tetapi perkiraannya meleset sekali karena ke manapun juga ia bergerak, ia telah didahului oleh Tiang Bu. Kecepatan ditambah dengan Ang-jiu-kang yang ia andalkan itu seperti mati kutunya menghadapi Tiang Bu.
Ia tadinya bergerak dan memutar cepat untuk membikin lawannya pening, kiranya sekarang Tiang Bu bergerak lebih cepat lagi sehingga akibatnya Ang-jiu Mo-li sendiri yang menjadi pusing! Tadinya Ang-jiu Mo-li berniat mendesak pemuda itu mempergunakan kecepatannya agar Tiang Bu menyerah, kiranya sekarang malah dia yang didesak hebat, setiap pukulan Ang jiu kang didahului oleh totokan-totokan lihai pemuda itu ke arah pergelangan tangan atau siku dan pundak sehingga selalu Ang jiu Mo-li harus membatalkan serangannya.
Karena ilmu silatnya sendiri terang takkan dapat menguntungkan, Ang-jiu Mo-li tidak merasa malu-malu lagi, terus saja mainkan Ilmu Silat Kwan-im cam mo yang ia dapat dari kitab Omei-san! Ilmu silat ini hebat sekali, gerakannya lembut dan lambat, sesuai dengan sifat Kwan lm Pouwsat dewi welas asih itu, namun di dalam kelemah-lembutan mengandung unsur kekuatan yang hebat, di dalam kelambatan mengandung unsur kecekatan yang luar biasa. Juga Ang-jiu Mo-li yang memang cantik nampak agung ketika melakukan ilmu silat ini, seperti seorang dewi baru turun dari kahyangan sambil menari-nari.
Bi Li mengeluarkan seruan kagum. Juga Tiang Bu kaget sekali. Ia mengenal dasar-dasar ilmu silat gurunya, akan tetapi sebagai seorang pria ia belum pernah mempelajari ilmu silat yang khusus diciptakan untuk murid-murid wanita ini. Tiang Bu berlaku hati-hati tidak berani sembarangan menyerang. Baru sekarang setelah Ang-jiu Mo-li mainkan ilmu Silat Kwan-im cam-mo, keadaan mereka seimbang. Untuk mengimbangi ilmu silat secabang ini, Tiang Bu mainkan gerakan-gerakan dari kitab sajak Thian-te-si-keng, berpangkal pada gerakan lawan.
Pertempuran berjalan lambat namun angin pukulan menyambar-nyambar di sekeliling dua orang ini, membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin besar, bahkan Bi Li yang berdiri dalam jarak lima tombak dari gelanggang pertempuran, merasai sambaran-sambaran angin yang mengiris kulit. Dari ini saja dapat dbayangkan betapa lihainya dua orang itu.
Seratus jurus telah lewat dan pertempuran masih berlangsung ramai. Sebetulnya adalah karena Tiang Bu terlampau sungkan sungkan terhadap guru kekasihnya ini maka pertempuran tidak segera berakhir. Kalau pemuda ini berlaku kejam dan mencari kemenangan, kiranya pertempuran takkan berlangsung selama itu.
Ang-jiu Mo-li merasa penasaran di samping ke kagumannya dan keheranannya. Selama hidup, belum pernah ia bertemu dengan lawan sehebat ini. Memang pernah ia berhadapan dengan orang-orang lihai, bahkan dahulu Toat-beng Kui-bo pernah membuat ia kewalahan dan harus mengakui bahwa kepandainnya masih kalah setingkat kalau dibandingkan dengan kepandaian Toat-beng Kui-bo. Akan tetapi, tak seorangpun di dunia ini pernah menghadapinya dengan cara yang demikian mudah dan banyak mengalah seperti pemuda ini.
Karena penasaran, Ang jiu Mo-li mengeluarkan jurus yang paling ampuh dari ilmu silat Kwan-im cam-mo yaitu gerakan yang di sebut Kwan-im lauw ci (Kwan lm Mencari Mustika). Jurus ini terdiri dari gerakan serangan beruntun dengan kedua tangan yang kelihatannya seperti maraba atau menangkis ke depan, akan tetapi sesungguhnya merupakan pukulan-pukulan Ang jiu-kang disusul totokan-totokan ke arah jalan darah penting di tubuh lawan. Kehebatan serangan ini adalah apabila dielakkan, serangan susulan menyambar sehingga kedudukan lawan makin lama makin buruk sampai tak mungkin dapat dielakkan lagi.
Untuk menangkis juga amat berbahaya karena kedua tangan Ang-jiu Mo-li sudah menjadi merah darah, tanda bahwa seluruh tenaga Ang-jiu kang telah terkumpul ke dalam seluruh jari tangannya. Bau amis dan hawa panas menyelimuti setiap gerak tangan, semua merupakan ancaman maut yang mengerikan. Ang jiu Mo-li dalam penasarannya telah mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya!
Tiang Bu kaget bukan main. Ia sekarang merasa yakin bahwa menghadapi wanita ganas ini percuma saja ia berlaku halus, percuma saja menyuruhnya mundur hanya dengan demonstrasi kepandaian yang lebih tinggi. Wanita seperti ini harus dikalahkan, biarpun terpaksa ia harus melukainya. Cepat ia menggerakkan kedua tangan pula. Tidak ada jalan lain untuk melawan jurus Kwan-im lauw-cu yang dilakukan dengan Ang-jiu-kang sepenuhnya ini kecuali melawannya keras dengan keras. Berturut-turut ia manerima serangan Ang-jiu Mo-li dengan kedua tangannya dan di lain saat dua pasang tangan telah saling tempel pada telapak tangan, tak dapat dipisahkan lagi!
Ang jiu Mo-li terkejut. Tak disangkanya pemuda ini berani menerima serangan Ang-jiu-kang dengan cara demikian. Akan tetapi diam-diam ia girang karena sekarang ia mendapat kesempatan untuk menang. Ang-jiu-kang ia kerahkan untuk menyerang Tiang Bu melalui telapak tangan. Kedua tangan Ang-jiu Mo-li mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan asap putih. Kalau tangan orang biasa yang terkena tempel tentu akan menjadi hangus dan orangnya akan mati seketika itu juga, akan tetapi Tiang Bu yang maklum bahwa keadaan sekarang bukan main-main lagi melainkan pertandingan adu sinkang yang dapat mengakibatkan maut, mengumpulkan seluruh tenaga dalam yang ia dapatkan dengan berlatih Seng-thian-to, menggerakkan hawa sinkang itu untuk melawan pengaruh Ang-jiu-kang yang mendesak.
Ang-jiu Mo-li merasa betapa telapak tangan pemuda itu dingin seperti salju, makin lama makin dingin. Sebaliknya telapak tangan Ang-jiu Mo-li makin lama makin panas. Ternyata bahwa kalau Ang jiu Mo-li mempergunakan sari hawa Yang-kang untuk merobohkan lawannya, Tiang Bu menghadapi dengan sari tenaga Im-kang. Panas lawan dingin atau keras lawan lembut!
Bi Li berdiri terpukau. Biarpun tingkat kepandaiannya belum mencapai setinggi ini namun gadis ini maklum apa artinya orang yang ia kasihi berdiri tegak dengan dua tangan ke depan saling menempel. Ia melihat kini tidak hanya kedua tangan gurunya yang mengepulkan uap, bahkan dari kepala Ang jiu Mo-li juga mengepulkan uap putih. Anehnya, Tiang Bu nampak tenang-tenang saja, hanya matanya memandang lawan tanpa berkedip. Dari sepasang mata pemuda yang biasanya memang tajam dan aneh ini keluar cahaya yang membuat jantung Bi Li berdebar.
Juga Ang-jiu Mo-li tidak kuat menghadapi sinar mata pemuda ini, seakan akan kepalanya tembus oleh sinar mata itu. Ia tahu bahwa ilmu batin pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga tenaga sakti itu dapat menembus melalui sinar mata. Setelah tidak kuat menahan sinar mata Tiang Bu, kedudukan Ang-jiu Mo li makin lemah. Hawa panasnya makin berkurang dan sepeminum teh lagi, ia merasa dingin. Sinar merah pada kedua tangannya mulai buyar, bahkan membiru. Ang jiu Mo-li masih berusaha mempertahankan, namun ia tidak kuat lagi. Uap yang mengebul dari kepalanya makin tebal mukanya mulai berpeluh.
"Cianpwe, belum cukupkah?" terdengar Tiang Bu bertanya.
Bukan main kagumnya Ang-jiu Mo-li. Kini takluk betul-betul. Karena Tiang Bu masih sanggup bertanding tenaga sambil mengeluarkan kata-kata, itu saja sudah menjadi bukti nyata bahwa pemuda ini masih jauh berada di atasnya. Tanpa malu-malu lagi Mo-li mengerahkan tenaga terakhir dan menarik kedua tangannya sambil melompat mundur. Kalau Tiang Bu menghendaki, tentu saja perbuatan ini dapat berarti matinya Ang-jiu Mo-li. Dalam pertandingan dengan musuh tentu saja Ang-jiu Mo-li tidak mau melompat mundur dan mati konyol, lebih baik mati dalam pertandingan dari pada mati melompat mundur dan terpukul oleh tenaganya sendiri. Akan tetapi Tiang Bu juga membarengi gerakan lawan dan menarik kembali tenaga sinkangnya.
Ang-jiu Mo-li terhuyung-huyung akan tetapi tidak sampai jatuh. Cepat ia duduk bersila mengatur pernapasannya dan menenteramkan jantungnya yang sudah terguncang hebat. Mukanya pucat sekali, namun setelah berlalu beberapa lama, mukanya menjadi merah kembali. Ia lalu membuka mata, berdiri perlahan dan berkata ke pada Bi Li, "Bi Li, anak bodoh. Kalau kau tetap menjauhkan diri menolak cinta kasih pemuda ini berarti kau menyiksa hati sendiri dan menyia-nyiakan hidupmu. Tiang Bu inilah jodoh yang paling tepat dan baik, di atas dunia kau tak mungkin berjumpa dengan orang seperti ini. Bi Li, mulai sekarang kau ikutlah Tiang Bu calon jodohmu ini mencari musuh yang telah membuntungi lenganmu. Kita bertemu di Pek houw-to dan kelak kalau sudah selesai membasmi orang jahat, aku sendiri akan mengatur pernikahanmu dengan pemuda sakti ini!"
Setelah berkata demikian, Ang-jiu Mo-li lalu berkelebat dan lenyap dari tempat itu meninggalkan Bi Li yang masih berdiri bengong menyaksikan pertempuran hebat yang mendebarkan hatinya itu. Ketika ia mengangkat kepala memandang, ia melihat Tiang Bu sedang memandang kepadanya dengan mata penuh perasaan cinta kasih dan keharuan.
"Tiang Bu...!" Tak terasa lagi Bi Li menutupi muka dengan tangannya yang tinggal sebelah dan menangis terisak-isak. Air mata mengucur turun melalui celah-celah jari tangannya, pundaknya berguncang.
Tiang Bu makin terharu dan kakinya melangkah maju sampai ia berdiri di depan gadis buntung itu. "Bi Li... mengapa kau lari meninggalkan aku...?" tanyanya, suaranya tergetar.
Bi Li tak dapat menjawab, hanya isak tangisnya makin menjadi, sampai terdengar ia sesenggukan.
"Bi Li, mengapa kau meninggalkan aku?"
Setelah menahan isaknya dengan mengeraskan hatinya, Bi Li mencoba untuk bicara, akan tetapi sukar sekali sehingga setelah beberapa kali mengulang, baru ia dapat mengeluarkun kata-kata, "Tiang Bu, apa perlu kau bertanya lagi...? Kau sudah tahu isi hat iku...”
"Tidak, Bi Li. Justeru aku sama sekali tidak tahu bagaimana maksud hatimu. Kalau kau membenciku dan pergi, aku hanya bisa menerima dengan segala kesadaran bahwa aku orang yang buruk dan tak berharga. Akan tapi... kau cinta padaku sepertt aku mencintaimu, mengapa kau... pergi meninggalkan aku...? Apakah kau sengaja hendak membikin aku mati merana? Bi Li, bagaimana kau bisa begitu kejam dan tega...?”
Bi Li meramkan mata dan menggigit bibir, jantungnya terasa perih seperti tertus uk duri. Air mata mengucur keluar dari bulu-bulu matanya. "Tiang Bu... justeru karena cintaku padamu maka aku sengaja pergi meninggalkanmu. Aku... aku telah menjadi seorang gadis buntung, bercacad selama hidup, tak berharga lagi... hanya akan membikin kau malu. Itulah mengapa aku mengambil keputusan pergi. biar hatiku merana asal kau tidak menjadi buah tertawaan orang...”
"Bi Li!! Suara Tiang Bu menggeledek. "Orang mentertawakan aku masih tidak mengapa, akan tetapi siapa berani mentertawakan kau, akan kuhancurkan mulutnya! Jangan kau memandang begitu rendah kepadaku. Kau kira aku akan lupa kepadamu setelah kau bercacad? Tidak, sebaliknya cintaku kepadamu makin kekal, makin mendalam. Aku tidak mau berpisah lagi darimu Bi Li. Kita sama-sama sebatang kara, kau hanya punya aku dan aku hanya punya kau seorang. Bi Li. buntungnya lenganmu tidak mengurangi cintaku, karena bukan tanganmu yang kucinta, melainkan kau, pribadimu. Bi Li, jangan kau khawatir, biarpun lenganmu tinggal sebelah saja. dengan mempelajari ilmu dariku, kau takan kalah oleh orang-orang berlengan dua yang manapun juga!”
“Tiang Bu...!" Bi Li menjatuhkan badannya ke dalam pelukan Tiang Bu dan menangis sepuasnya. Hatinya diliputi keharuan dan juga kebahagiaan besar. "Tidak, Tiang Bu. Aku takkan meninggalkan kau, kecuali kalau aku mati..."
"Hush, gadis bodoh, jangan bicara soal mati. Kau akan hidup seribu tahun lagi! Tunggu kalau kita sudah membasmi habis orang-orang jahat yang menjadi musuh kita, bukankan gurumu sudah berjanji hendak menikahkan kita?"
Merah wajah Bi Li dan gadis ini merenggutkan kepalanya dari dada kekasihnya. "Hih, tak tahu malu, Bicara soal kawin! Aku tak sudi mendengar.“ Dengan air mata masih menetes turun, Bi Li terseyum. Tiang Bu juga tersenyum, wajahnya berseri-seri. Bi Li masih seperti dulu, lincah dan menarik hati.
Dari Bi Li yang sudah diberi tahu oleh Ang-jiu Mo-li, Tiang Bu mendengar bahwa Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong telah pindah ke Pulau Pek-houw to di selatan, memboyongi semua selirnya dan membawa harta bendanya, juga bahwa di pulau itu berdiam Lo-thian tung Cun Gi Tosu yang lihai.
Dengan penuh kebahagiaan oleh karena Bi Li sudah berada di sampingnya, Tiang Bu mengajak kekasihnya itu melakukan perjalanan ke selatan dengan cepat. Lengan yang buntung itu sudah sembuh sama sekali berkat rawatan Ang-jiu Mo-li. Buntungnya di bawah pundak ditutup dengan lengan baju yang pendek. Juga gadis ini karena terhibur oleh sikap Tiang Bu yang amat mencinta, seakan-akan lupa bahwa lengan kirinya buntung dan ia melakukan perjalanan dengan gembira.
Sementara itu, semenjak penyerbuan Sin Hong kemudian disusul oleh penyerbuan Pek thouw tiauw ong Lie Kong dan isterinya, Liok Kong Ji berlaku hati-hati sekali. Ia mempergunakan hartanya, menyebar mata-mata di sekitar daerah pantai untuk mengetahui kalau kalau ada musuh datang menyerang lagi agar ia dapat bersiap-siap.
Oleh karena itu, kedatangan Tiang Bu dan Bi Li ke pantai laut telah diketahui oleh Liok Kong Ji. Di dunia hanya ada dua orang yang mendatangkan debar ketakutan dalam hati Kong Ji. Pertama adalah puteranya sendiri, Tiang Bu, yang ia tahu takkan mau memberi ampun kepadanya dan yang kepandaiannya amat luar biasa, lebih lihai dari pada tokoh manapun juga biarpun usianya masih sangat muda. Orang ke dua adalah Wan Sin Hong musuh besarnya semenjak muda dulu, ia takut terhadap kepandaian dan kecerdikan Wan Sin Hong.
Pada hari itu, Liok Kong Ji menerima berita dari mata-matanya, berita yang amat mengejutkan dan menggelisahkan hatinya. Tidak saja Tiang Bu dan Bi Li telah berada di pantai, juga ia mendengar bahwa Wan Sin Hong dan kawan-kawannya sudah menuju ke pulaunya, dan akan datang tak lama legi. Inilah hebat, pikirnya. Kalau dua orang ini datang berbareng di Pulau Pek-houw-to, hal ini merupakaa bahaya hebat!
"Lebih baik mereka dipisahkan. Selagi Sin Hong belum datang dan masih akan makan waktu satu dua hari baru tiba di pantai kita harus memancing Tiang Bu agar dapat cepat datang ke sini untuk kita sambut. Mustahil kalau dengan keroyokan tak dapat merobohkan bo cah itu. Kalau dia sudah roboh, soal Sin Hong tak perlu dikhawatirkan lagi. Pokoknya ssal dua setan itu jangan muncul dalam saat yang sama." Demikian Liok Kong Ji berunding, dengan anak angkatnya Liok Cui Kong.
“Mudah,” jawab Cui Kong. "Biar kita mengirim surat tantangan kepada Tiang Bu agar panas hatinya dan ia segera datang ke sini mendahului Wan Sin Hong."
Demikianlah. ketika Tiang Bu dan Bi Li tiba di pantai dan sedang mencari perahu di tempat yang sunyi sekali itu, tiba-tiba mata Bi Li yang tajam melihat sesuatu di atas batu karang.
“Tiang Bu lihat... Seperti kertas bertulis yang sengaja dipasang orang di sana!”
Tiang Bu, menoleh. Benar saja, di atas batu karang terdapat sehelai kertas kuning muda yang ada tulisannya, ditempel di batu karang. Ketika dua muda-mudi ini mendekati, ternyata tulisan itu memang ditujukan kepada Tiang Bu. Merah muka Tian g Bu ketika membaca tulisan itu yang berbunyi seperti berikut:
“TIANG BU, ANAK PUTHAUW! KAU DATANG MINTA AMPUN ATAU MINTA MATI , AYAHMU MENANTI.
LIOK KONG JI.
"Manusia Iblis!” Tiang Bu memaki gemas "Sombong, kau kira aku takut padamu?”
“Lihat, di sana ada perahu datang!” teriak Bi Li yang sudah menoleh ke arah laut karen a ia meli hat an caman maut di dalam surat Liok Kong Ji. Gadis ini amat khawatir akan keselamatan kekasihnya karena ia cukup maklum betapa lihainya manusia iblis itu bersama kaki tangannya.
Tiang Bu menengok, dan betul saja, dari arah laut datang sebuah perahu yang layarnya terkembang. Anehnya, perahu itu kosong tidak ada penumpangnya.
"Mereka telah mengirim perahu untukmu!” kata Bi Li, suaranya agak gemetar. Tiang Bu tidak menjawab melainkan menyambut perahu yang sudah sampai di pantai itu. Benar-benar orang telah mengirim perahu kosong untuknya, perahu yang layarnya dikembangkan dan kemudinya diatur sedemikian rupa sehingga dengan adanya angin yang mengbembus ke arah pantai, perahu itu bisa berlayar sendiri ke pantai.
"Musuh bersikap sombong sekali," kata Tiang Bu. "Aku harus ke sana sekarang juga agar jangan dianggap takut. Bi Li, kau tunggu saja di sini. Biarkan aku sendiri Pergi memberi hajaran pada manusia-manusia iblis itu untuk membalaskan sakit hatimu."
"Tidak, Tiang Bu. Aku ikut dengan kau!”
"Bi Li," Pemuda itu memegang tangan Bi Li, "jangan salah sangka. Untuk melindungimu dari mereka aku masih sanggup dan dengan aku di sampingmu mereka tak mungkin berani mengganggumu. Akan tetapi, kau tahu sendiri betapa licik dan curangnya mereka itu, dan inilah yang kukhawatirkan. Menghadapi ke curangan mereka lebih berat dari pada menghadapi kepandaian mereka. Lebih leluasa bagiku pergi seorang diri. Kau tinggallah saja di sini, Li-moi, percayalah, aku meninggalkanmu hanya sebentar saja dan aku meninggalkanmu ini adalah karena sayangku kepadamu."
“Akan tetapi... aku ingin sekali membalas sendiri kepada manusia jahanam Liok Kong Ji l!”
Tiang Bu mengangguk. "Jangan kau khawatir, aku akan menyeretnya ke sini sehingga kau dapat membalas sakit hatimu."
“Betulkah, Tiang Bu!" tanya Bi Li penuh harap.
"Mana aku mau membohongimu. Nah, kau baik baik menjaga dirimu, tunggu aku di pantai,” kata Tiang Bu sambil melompat ke perahu.
"Tiang Bu, kau jagalah dirimu baik-baik. Kau tahu semangat dan hatiku ikut bersamamu..." kata Bi Li, hatinya tidak karuan rasanya melihat kekasihnya pergi menempuh bahaya seorang diri.
Tiang Bu tersenyum. “Jangan khawatir, Bi Li. Doa restumu menjadi jimat pelindungku. Kita akan bertemu kembali, Bi Li." Ketika perahu mulai menjauhi pantai dan Bi Li berdiri seperti patung di tepinya, Tiang Bu berseru dari jauh, "Bi Li, aku cinta kepadamu...!"
Bi Li mengangguk-angguk, tersenyum dan matanya menjadi basah. Setelah perahu itu sudah jauh sekali merupakan titik hitam, gadis itu menjatuhkan diri berlutut, mukanya diangkat ke atas, matanya meram, bibirnya bergerak-gerak seperti orang bardoa mohon berkat perlindungan dari Thian untuk pemuda yang dikasihinya.
Tiang Bu sudah mendengar dari Bi Li bahwa Pulau Pek-houw to dapat dikenal di antara pulau pulau itu sebagai pulau yang dari jauh tampak keputih-putihan dan bentuknya seperti seekor macan mende kam. Dan pulau ini meman g tidak sukar dikenal dari jauh. Setelah perahunya didayung cepat menuju ke kumpulan pulau-pulau itu, ia melihat Pulau Pek-houw-to. Hatinya berdebar girang. Sekarang ia tidak mau bekerja kepalang tanggung.
Ia harus dapat membasmi Liok Kong Ji dan semua kaki tangannya dan merampas kembali kitab-kitab Omei-san yang sekarang sudah terkumpul ke dalam tangan Liok Kong Ji dan Cun Gi Tosu. Pemuda ini maklum bahwa ia menghadapi orang-orang pandai. Lawan-lawan berat yang tak boleh dipandang ringan akan tetapi ia tidak takut. Ia percaya penuh akan kekuatan sendiri, dan percaya penuh akan dapat mengalahkan mereka semua.
Tiba-tiba ia mendengar suitan keras beberapa batang anak panah menyambar cepat ke arah perahunya, menancap di atap perahunya melihat anak-anak panah itu tidak di arahkan kapadan ya, melainkan kepada atap perahunya, Tiang Bu seolah-olah tidak melihat kejadian ini dan bersikap tenang-tenang saja. Didayungnya perahu layarnya dengan cepat.
Akan tetapi segera muncul lima buah perahu kecil dengan atap melengkung dari balik-balik batu karang yang menonjol di permukaan laut. Perahu-perahu ini ditumpangi oleh Lam-thian-chit-ong dan belasan anak buahnya, berjumlah dua puluh orang lebih, setiap perahu ditumpangi lima orang. Dengan cepat perahu-perahu ini sudah malang melintang menghadang kedatangan perahu Tiang Bu.
Pemuda itu tetap tenang maklum bahwa Liok Kong Ji sudah mengirim rintangan pertama untuk menggagalkan pendaratannya ke Pek-houw-to. Aku harus hati -hati, pikir Tiang Bu. Di darat aku tak perlu memusingkan dua puluh orang lawan ini, akan tetapi di air, hmm, berat juga.
“He, pemuda yang sudah bosan hidup. Ke datanganmu ini dengan keperluan apakah?” Teriak si baju marah, ketua dari Lam-thian-cit-ong.
Melihat tujuh orang yang pakaiannya tujuh macam ini, diam-diam Tiang Bu sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah merupakan kelumpok kaki tangan Kong Ji yang terdiri dari saudara-saudara seperguruan, dan tentu kepandaiannya tidak lemah.
“Badut merah, kau mau tahu maksud kedatanganku?” jawabnya. "Dengarlah baik-baik. Aku datang untuk membasmi manusia-manusia iblis seperti Liok Kong Ji, Liok Cui dan kaki tangannya seperti kalian. Sudah jelaskah?”
Lam-thian-chit ong memang mendapat tugas dari Liok Kong Ji untuk mencegat perahu pemuda itu. Liok Kong Ji masih belum tahu apakah kedatangan Tiang Bu dengan maksud baik ataukah buruk, maka ia menyuruh Lam-thian-chit-ong mewakilinya dan menyelidiki. Mendengar jawaban Tiang Bu yang tegas itu, Lam-thian chit ong lalu memerintahkan anak buahnya dan di lain saat puluhan batang anak panah menyambar ke arah Tiang Bu.
Akan tetapi pemuda ini sama sekali tidak perduli, hanya menggerakkan dayung mendayung perahunya. Aneh bukan main, perahu itu seperti bernyawa, bergerak-gerak cepat tak sebatangpun anak panah mengenai tubuhnya, hanya menancap di tubuh perahu dan masuk ke laut. Inilah demonstrasi kejelian mata dan kehebatan tenaga menggerakkan perahu yang amat luar biasa.
"Kami menantimu di darat!" teriak si baju merah dan dia bersama enam orang saudaranya lalu menumpang sebuah perahu dan mendayungnya ke daratan Pulau Pek houw-to.
Empat buah perabu anak buahnya dengan delapan belas orang masih mencegat di situ. Malah mereka mendayung perahu mendekati perahu Tiang Bu dan mengurung dari empat jurusan. Harus diketahui bahwa Lam-thian-chit ong seperti juga Tiang Bu, tidak mengerti ilmu dalam air maka siang-siang mereka meninggalkan Tiang Bu untuk melakukan cegatan-cegatan di darat, tidak seperti delapan belas orang itu yang memang kesemuanya bekas bajak laut.
Delapan belas orang ini semua pandai berenang dan pandai bermain di dalam air, merupakan ahli-ahli dan penyelam penyelam. Oleh karena itulah maka tugas pertama untuk menyerang Tiang Bu diserahkan kepada delapan belas orang bajak laut ini. Liok Kong Ji memang sudah siap untuk segalanya dan kedudukannya ini kuat sekali.
Melihat gerakan empat perahu yang mengurungnya, Tiang Bu bersiap sedia. Kini ia tidak duduk di dalam perahunya, melainkan berdiri di kepalanya perahu dengan dayung di tangan, sepasang matanya awas memandang gerak-gerik empat perahu lawan yang mengelilingi. Adapun tujuh orang yang berbeda-beda warna pakaiannya itu kini telah mendarat, berdiri di tepi pantai dan menonton bagaimana para anak buah bajak laut itu hendak mengalahkan pemuda itu.
Terdengar pemimpin bajak laut itu memberi aba-aba dengan suitan dan kembali empat perahu itu mereka menghujankan panah ke arah Tiang Bu. Berbeda dengan tadi, kini anak panah datang menyerang empat jurusan, depan belakang dan kiri kanan. Kalau tadi semua anak panah datang dari depan maka masih dapat Tiang Bu menggunakan kepandaian menggerakkan perahu untuk mengelak dari sambaran anak panah-anak panah. Akan tetapi sekarang ia tidak dapat berbuat seperti tadi. Cepat ia menggerakkan dayungnya dan... alangkah terkejut hati semua bajak laut ketika mereka menyaksikan demontrasi kepandaian yang luar biasa.
Begitu dayung diputar menangkis anakvpanah itu tidak runtuh ke bawah, melainkan meleset dan terus me nyambar. Anak-anak panah dari depan melesat dan menyambar arah perabu sebelah kanan, yang dari kiri menyambar ke arah perahu di belakang. dari kiri menyambar ke depan. Jadi dengan dayungn ya itu, Tiang Bu "mengoperkan" anak panah-anak panah itu ke arah perahu perahu bajak, seakan-akan para bajak itu saling serang sendiri dengan anak panah-anak panah mereka!
Terdengar mereka berseru kaget dan cepat-cepat menangkis. Akan tetapi dalam kegugupan karena seran gan istimewa yang tak pernah disangka-sangka itu, seorang anak buah bajak yang kurang cepat menangkis dan pundaknya tertancap anak panah kawan sendiri. Anehnya, buah bajak itu terus roboh berkelojotan di dalam perahunya dan tewas seketika itu juga, mukanya berubah hitam!
Melihat hal ini dari atas perahunya, Tiang Bu diam-diam mengutuk Liok Kong Ji. Ia sekarang tahu bahwa sebelum menyerangnya, semua anak panah yang dibawa oleh anak buah bajak ini telah dilumuri racun hitam oleh Liok Kong Ji. Alangkah kejinya orang berhati iblis itu!
Melihat betapa dengan dayungnya Tiang Bu dapat menangkis dan malah mengoper semua anak panah, para bajak tidak berani me nyerang dengan anak panah. Serangan pertama tadi saja sudah mengorbankan nyawa seorang kawan sendiri dan mereka kini berputar-putar mengelilingi perahu, menanti saat datangnya aba-aba dari pemimpin mereka yang sedang memutar otak untuk mengatur serangan- serangan barikutnya.
Tiang Bu tetap berdiri di kepala perahu, dengan dayungnya disentuhkan ke air ia menjaga supaya perahunya tetap di tengah-tengah. Ia kelihatan gagah dan tegap, tenang dan waspada, membuat para bajak memandang jerih. Mereka semua tahu bahwa kali ini biarpun mere ka terdiri dari belasan orang mengepung hanya seorang pemuda, namun tugas mereka jauh le bih berat dari pada kalau mereka ditugaskan membajak sebuah kapal yang dijaga olek sepasukan tentara.
Kembali pemimpin bajak bersuit. Suitan-suitan yang berbeda-beda sudah merupakan tanda tersendiri. Mendengar suitan ini, semua anak buah bajak mengeluarkan dua macam senjata. Di tangan kiri memegang sebuah galah ujungnya dipasangi kaitan besi sedangkan di tangan kanan memegang se buah tombak yang runcing. Baik tombak maupun gala kaitan itu panjangnya ada tiga tombak. Melihat ini, Tiang Bu maklum bahwa mereka hendak menyerangnya dengan tombak dan me ncoba untuk mengait dan menggulingkan perahunya. Ia pikir bahwa kalau mereka berani menyerangnya dengan dua macam senjata itu, ia sama sekali perlu takut karena dengan mudah dapat merampas semua senjata mereka dan menggunakan senjata-senjata panjang itu untuk menghajar mereka.
Perahu-perahu itu mulai mendekat sampai pada jarak delapan tombak. Tiba-tiba dari masing-masing perahu, dua orang bajak loncat ke dalam air membawa dua macam senjata itu terus menyelam. Tiang Bu kaget sekali. Celaka, pikirnya. Kalau mereka menyerangnya dari bawah dan menggulingkan perahu, ia bisa tewas! Cepat Tiang Bu mendayung perahunya mendekati perahu sebelah kiri. Benar saja dugaannya. Tiba-tiba perahunyabbergoyang-goyang dan ternyata telah dikait dari bawah oleh delapan penyelam itu. Perahunya dibotot-betot dan akhirnya menjadi miring. Air mulai masuk. Tiang Bu mempergunakan Chian-kin-kang (Tenaga Seribu Kati) untuk membuat perahu jangan sampai terguling, akan tetapi karena air sudah mengalir masuk, ilmunya ini hanya membikin perahu ambles dan air masuk makin banyak.
Para bajak dari empat perahu itu bersorak-sorak melihat pemuda ini dengan susah payah mempertahankan diri dan perahunya. Tak lama kemudian perahu Tiang Bu sudah hampir tenggelam, air sudah mulai membasahi sepatu pemuda itu. Saking gembiranya, para bajak itu kurang waspada dan tidak dapat menduga apa yang dilakukan Tiang Bu. Tahu-tahu berkelebat bayangan yang hampir tidak dapat diikuti pandangan mata dan pemuda itu sudah meninggalkan perahunya yang tenggelam, kini sudah berada di perahu bajak yang berada di sebelah kini. Jarak kurang lebih enam tombak itu dilompati oleh Tiang Bu dengan amat mudah dan demikian cepatnya hingga seperti burung walet terbang saja.
Panik terjadi di dalam perahu yang diserbu Tiang Bu. Untuk menyerang pemuda yang sudah berada di perahu mereka ini, tak mungkin menggunakan dua macam senjata panjang itu. Selagi mereka bingung hendak mencabut golok dan pedang, Tiang Bu tidak memberi waktu lagi. Pemuda ini menggerakkan kaki tangannya dan suara berteriak mengaduh susul- menyusul. Tiga orang anak buah bajak yang berada di perahu itu terlempar ke dalam air untuk terus tenggelam dan tewas!
Kembali delapan orang penyelam menyerang perahu bajak yang kini terampas oleh Tiang Bu. Perahu menjadi miring dan sebentar saja tanggelam, Tiang Bu mempergunakan ginkangnya, melompat ke perahu ke dua dan seperti tadi ia mengamuk merobo hkan tiga orang anak buah bajak yang sama sekali tidak berdaya menghadapi pemuda sakti ini. Akan tetapi penyelam-penyelam itu tidak mau memberi kesempatan kepada Tiang Bu untuk menyelamatkan diri. Mereka menyerbu dari bawah air dan terpaksa Tiang Bu meninggalkan perahunya lagi, melompat ke perahu ke tiga. Sekarang tanpa ia turun tangan, dua orang bajak yang berada di perahu itu masing-masing sudah melompat ke dalam air.
Bajak-bajak itu menggunakan siasat baru. Mereka be rtekad hendak me nenggelamkan semua perahu agar pemuda itu tidak mendapat tempat berpijak lagi. Kembali perahu diserbu dan untuk yang ketiga kalinya Tiang Bu melompat ke perahu bajak yang ke empat! Perahu ini ditumpangi oleh pemimpin bajak bersama dua orang anak buahnya. Mereka sudah siap-siap dengan golok di tangan dan pada saat tubuh Tiang Bu melayang, mereka mamapakinya dengan golok yang dibacokkan kuat-kuat.
Namun bacokan tiga orang ini seperti orang membacok bayangan saja. Dengan ilmu loncat loh-he (gerakan membalik) yang disebut Sinliong hoan-Sin (Naga Sakti Membalikkan Tubuh), tubuhnya membuat salto di udara dan selagi tiga batang golok itu menyambar, ia sudah melewati atas kepala mereka dan mendarat di atas perahu. Tiga orang bajak itu cepat membalikkan tubuh akan tetapi hanya untuk melihat pemuda itu menggerakkan kedua tangannya dan... mereka terlempar ke dalam air.
Tiang Bu maklum bahwa kalau perahu terakhir ini tenggelam, ia tidak mempunyai tempat untuk melompat lagi. Maka cepat ia menggerakkan dayung dan mendayung perahu itu ke arah daratan. Namun kepandaian berenang para bajak laut itu benar-benar lihai. Secepat ikan ikan hiu berenang, mereka telah mengejar dan sebelum mencapai darat, masih ada dua puluh tombak lagi, mereka telah dapat mengait perahu dari bawah dengan senjata-senjata kaitan mereka dan cepat membuat perahu itu miring...!
Wajah yang tadinya pucat dari Ang-jiu Mo li menjadi merah kembali. Wanita sakti ini tadinya sudah pucat karena sekali gebrakan saja kitab di tangannya sudah terampas oleh seorang pemuda. Hal ini benar-benar langka dan luar biasa sekali. Akan tetapi dalam gerakan kedua ia dapat merampas kembali kitab itu, berarti ia sudan dapat membela mukanya. Akan robohlah namanya kalau terdengar orang betapa dalam satu jurus ia dikalahkan oleh seorang bocah yang masih ingusan! Setelah sekarang ia dapat merampas kembali kitab itu juga dalam satu gebrakan berarti keadaan mereka masih seri.
"Bi Li, kaubawa dulu kitab ini" katanya dan kitab itu di lemparkan ke arah Bi Li yang menyambutnya dengan sebelah tangan dan memegangnya.
"Nah, sekarang majulah, orang muda. Aku ingin sekali melihat sampai di mana lihainya murid Omei-san," kata Ang jiu Mo-li menantang.
Tiang Bu maklum bahwa menghadapi seorang wanita sombong seperti Ang-jiu Mo-li, kalau ia tidak memperlihatkan kepandaiannya tentu sukar untuk mengambil kembali kitab itu. Juga ia maklum akan kelihaian wanita ini yang tadi sudah memperlihatkan pukulan Ang-jiu-kang yang berbahaya dan kecepatan gerakan yang amat mengagumkan. Maka ia berlaku hati-hati sekali.
Sebaliknya, tahu bahwa bocah ini benar-benar lihai, timbul kegembiraan hati Ang-jiu Mo-li. Seperti sebagian besar tokoh kang-ouw, dia juga termasuk orang yang gila silat. Bertemu dengan lawan tangguh, hilanglah sikapnya tadi dan lupalah wanita ini bahwa dia berniat menguji kepandaian calon jodoh muridnya. Ia menjadi bersungguh-sungguh dan mabok ke menangan. Oleh karena itu, setelah melihat Tiang Bu siap, Ang-jiu Mo-li berseru nyaring dan maju menyerang dengan ganas dan dahsyat!
Tiang Bu mengimbangi kecepatan lawannya dan tidak hanya menghindarkan dari serangan, bahkan membalas dengan sarangan yang tak kalah dahsyatnya. Ang jiu Mo-li kaget sekali melihat betapa tiga kali pukulan yang dilancarkan secara bertubi-tubi itu dielakkan dengan amat mudah oleh Tiang Bu bahkan pemuda itu membalas dengan tamparan yang kuat.
Melihat Tiang Bu menamnpar ke arah pundaknya, diam-diam Ang-jiu Mo-li memuji lagi sikap pemuda ini yang selalu menjaga agar jangan melanggar susila, maka tamparan yang menurut teori silat harus ditujukan ke arah kepala itu dlturunkan menjadi tamparan arah pundak! Ang-jiu Mo-li melihat datangnya tamparan perlahan saja namun membawa hawa pukulan yang kuat sekali, cepat menyambut dengan tangkisan Ang-jiu-kang. Ia hendak capat-cepat mengalahkan Tiang Bu kalau sampai pemuda ini terluka oleh tangan merahnya. Hal itu tidak apa karena ia selalu membekal obat penawarnya.
“Prakk !" Sepasang lengan bertemu dan kesudahannya, Ang-jiu Mo-li terdorong mundur sedangkan tangan Tiang Bu tidak apa, hanya kuda-kudanya kena gempur sedikit.
Ang-jiu Mo-li penasaran sekali, juga kaget bukan main. Mungkinkah pemuda ini memang lebih lihai darinya dalam hal lweekang? Sukar dipercaya! Sekali lagi Ang-jiu Mo-li menyerang dengan dorongan kedua tangannya, kini dilakukan dengan pengerahan lweekang sepenuhnya. Tiang Bu cerdik, tahu akan maksud lawan mengadu kekuatan, maka iapun cepat mengerahkan sinkangnya, dan mendorong pula dengan kedua tangannya. Sebelum empat buah tangan itu bertemu di udara, hawa pukulan masing-mesing sudah saling dorong dan akibatnya sekali lagi Ang-jiu Mo-li terdorong mundur sampai empat langkah! Sedangkan kali ini Tiang Bu tetap tidak bergeming, tanda bahwa memang pemuda ini masih jauh lebih menang.
Ang-jiu Mo-li menjadi pucat. Sudah jelas bahwa ia kalah dalam hal tenaga lweekang. Ia makin penasaran dan masih berkeras kepala. Kalau dalam lweekang aku kalah, belum tentu ginkang pemuda ini dapat menangkan aku, pikirnya. Memang Ang jiu Mo-li selain terkenal karena Ang-jiu-kang, juga terkenal sebagai seorang wanita yang tinggi ilmu gin-kangnya.
“Lihat serangan serunya dan tiba-tiba tubuh Ang-jiu Mo li berkelebat dan menyambar-nyambar. Bi Li yang menonton pertandingan itu sampai menjadi silau matanya. Gurunya lenyap berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti pandangan mata, gerak-geriknya cepat dan ringan sekali. Kali ini Tiang Bu akan kalah, pikir Bi Li, hatinya tidak enak karena ia mengenal gurunya sebagai seorang yang telengas sekali kalau sudab marah.
Melihat ginkang sehebat ini, diam-diam Tiang Bu kagum sekali. Ia pernah bertempur mengtadapi orang-orang lihai, termasuk. Wan Sin Hong. Akan tetapi harus ia akui bahwa dalam hal ginkang, baru sekarang ia bertemu dengan lawan yang benar-benar hebat, mengatasi ginkang dari orang-orang gagah lainnya bahkan Sin Hong sendiri kiranya masih kalah sedikit.
Akan tetapi, Tiang Bu adalah seorang muda yang sudah mewarisi kepandaian sakti dari dua orang kakek Omei-san dan terutama sekali semenjak mempelajari isi kitab Sen thian-to, di dalam tubuh pemuda ini mengan dung sinking atau hawa sakti yang hebat, tak dapat diukur lagi betapa tingginya. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya Bi Li ketika tubuh Tiang Bu tiba-tiba lenyap, bayangan sekalipun tidak kelihatan lagi. Kemana perginya pemuda itu?
Dilihat begitu saja tubuh Tiang Bu seperti sudah lenyap dan tidak berada pula di tempat itu, akan tetapi melihat gurunya masih seperti orang bertempur, menjadi bukti bahwa sebenarnya Tiang Bu masih berada di situ, bertanding melawan Ang-jiu Mo-li! Bi Li sampai bengong terlongong melihat gurunya seakan-akan bertanding melawan setan yang tidak kelihatan.
Kalau Bi Li menjadi bengong terheran-heran adalah Ang-jiu Mo-li yang menjadi kaget setengah mati dan kagum bukan main. Ia telah mengerahkan ginkangnya, hendak mempergunakan kecepatan gerakannya untuk menangkan pe muda itu. Akan tetapi perkiraannya meleset sekali karena ke manapun juga ia bergerak, ia telah didahului oleh Tiang Bu. Kecepatan ditambah dengan Ang-jiu-kang yang ia andalkan itu seperti mati kutunya menghadapi Tiang Bu.
Ia tadinya bergerak dan memutar cepat untuk membikin lawannya pening, kiranya sekarang Tiang Bu bergerak lebih cepat lagi sehingga akibatnya Ang-jiu Mo-li sendiri yang menjadi pusing! Tadinya Ang-jiu Mo-li berniat mendesak pemuda itu mempergunakan kecepatannya agar Tiang Bu menyerah, kiranya sekarang malah dia yang didesak hebat, setiap pukulan Ang jiu kang didahului oleh totokan-totokan lihai pemuda itu ke arah pergelangan tangan atau siku dan pundak sehingga selalu Ang jiu Mo-li harus membatalkan serangannya.
Karena ilmu silatnya sendiri terang takkan dapat menguntungkan, Ang-jiu Mo-li tidak merasa malu-malu lagi, terus saja mainkan Ilmu Silat Kwan-im cam mo yang ia dapat dari kitab Omei-san! Ilmu silat ini hebat sekali, gerakannya lembut dan lambat, sesuai dengan sifat Kwan lm Pouwsat dewi welas asih itu, namun di dalam kelemah-lembutan mengandung unsur kekuatan yang hebat, di dalam kelambatan mengandung unsur kecekatan yang luar biasa. Juga Ang-jiu Mo-li yang memang cantik nampak agung ketika melakukan ilmu silat ini, seperti seorang dewi baru turun dari kahyangan sambil menari-nari.
Bi Li mengeluarkan seruan kagum. Juga Tiang Bu kaget sekali. Ia mengenal dasar-dasar ilmu silat gurunya, akan tetapi sebagai seorang pria ia belum pernah mempelajari ilmu silat yang khusus diciptakan untuk murid-murid wanita ini. Tiang Bu berlaku hati-hati tidak berani sembarangan menyerang. Baru sekarang setelah Ang-jiu Mo-li mainkan ilmu Silat Kwan-im cam-mo, keadaan mereka seimbang. Untuk mengimbangi ilmu silat secabang ini, Tiang Bu mainkan gerakan-gerakan dari kitab sajak Thian-te-si-keng, berpangkal pada gerakan lawan.
Pertempuran berjalan lambat namun angin pukulan menyambar-nyambar di sekeliling dua orang ini, membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin besar, bahkan Bi Li yang berdiri dalam jarak lima tombak dari gelanggang pertempuran, merasai sambaran-sambaran angin yang mengiris kulit. Dari ini saja dapat dbayangkan betapa lihainya dua orang itu.
Seratus jurus telah lewat dan pertempuran masih berlangsung ramai. Sebetulnya adalah karena Tiang Bu terlampau sungkan sungkan terhadap guru kekasihnya ini maka pertempuran tidak segera berakhir. Kalau pemuda ini berlaku kejam dan mencari kemenangan, kiranya pertempuran takkan berlangsung selama itu.
Ang-jiu Mo-li merasa penasaran di samping ke kagumannya dan keheranannya. Selama hidup, belum pernah ia bertemu dengan lawan sehebat ini. Memang pernah ia berhadapan dengan orang-orang lihai, bahkan dahulu Toat-beng Kui-bo pernah membuat ia kewalahan dan harus mengakui bahwa kepandainnya masih kalah setingkat kalau dibandingkan dengan kepandaian Toat-beng Kui-bo. Akan tetapi, tak seorangpun di dunia ini pernah menghadapinya dengan cara yang demikian mudah dan banyak mengalah seperti pemuda ini.
Karena penasaran, Ang jiu Mo-li mengeluarkan jurus yang paling ampuh dari ilmu silat Kwan-im cam-mo yaitu gerakan yang di sebut Kwan-im lauw ci (Kwan lm Mencari Mustika). Jurus ini terdiri dari gerakan serangan beruntun dengan kedua tangan yang kelihatannya seperti maraba atau menangkis ke depan, akan tetapi sesungguhnya merupakan pukulan-pukulan Ang jiu-kang disusul totokan-totokan ke arah jalan darah penting di tubuh lawan. Kehebatan serangan ini adalah apabila dielakkan, serangan susulan menyambar sehingga kedudukan lawan makin lama makin buruk sampai tak mungkin dapat dielakkan lagi.
Untuk menangkis juga amat berbahaya karena kedua tangan Ang-jiu Mo-li sudah menjadi merah darah, tanda bahwa seluruh tenaga Ang-jiu kang telah terkumpul ke dalam seluruh jari tangannya. Bau amis dan hawa panas menyelimuti setiap gerak tangan, semua merupakan ancaman maut yang mengerikan. Ang jiu Mo-li dalam penasarannya telah mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya!
Tiang Bu kaget bukan main. Ia sekarang merasa yakin bahwa menghadapi wanita ganas ini percuma saja ia berlaku halus, percuma saja menyuruhnya mundur hanya dengan demonstrasi kepandaian yang lebih tinggi. Wanita seperti ini harus dikalahkan, biarpun terpaksa ia harus melukainya. Cepat ia menggerakkan kedua tangan pula. Tidak ada jalan lain untuk melawan jurus Kwan-im lauw-cu yang dilakukan dengan Ang-jiu-kang sepenuhnya ini kecuali melawannya keras dengan keras. Berturut-turut ia manerima serangan Ang-jiu Mo-li dengan kedua tangannya dan di lain saat dua pasang tangan telah saling tempel pada telapak tangan, tak dapat dipisahkan lagi!
Ang jiu Mo-li terkejut. Tak disangkanya pemuda ini berani menerima serangan Ang-jiu-kang dengan cara demikian. Akan tetapi diam-diam ia girang karena sekarang ia mendapat kesempatan untuk menang. Ang-jiu-kang ia kerahkan untuk menyerang Tiang Bu melalui telapak tangan. Kedua tangan Ang-jiu Mo-li mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan asap putih. Kalau tangan orang biasa yang terkena tempel tentu akan menjadi hangus dan orangnya akan mati seketika itu juga, akan tetapi Tiang Bu yang maklum bahwa keadaan sekarang bukan main-main lagi melainkan pertandingan adu sinkang yang dapat mengakibatkan maut, mengumpulkan seluruh tenaga dalam yang ia dapatkan dengan berlatih Seng-thian-to, menggerakkan hawa sinkang itu untuk melawan pengaruh Ang-jiu-kang yang mendesak.
Ang-jiu Mo-li merasa betapa telapak tangan pemuda itu dingin seperti salju, makin lama makin dingin. Sebaliknya telapak tangan Ang-jiu Mo-li makin lama makin panas. Ternyata bahwa kalau Ang jiu Mo-li mempergunakan sari hawa Yang-kang untuk merobohkan lawannya, Tiang Bu menghadapi dengan sari tenaga Im-kang. Panas lawan dingin atau keras lawan lembut!
Bi Li berdiri terpukau. Biarpun tingkat kepandaiannya belum mencapai setinggi ini namun gadis ini maklum apa artinya orang yang ia kasihi berdiri tegak dengan dua tangan ke depan saling menempel. Ia melihat kini tidak hanya kedua tangan gurunya yang mengepulkan uap, bahkan dari kepala Ang jiu Mo-li juga mengepulkan uap putih. Anehnya, Tiang Bu nampak tenang-tenang saja, hanya matanya memandang lawan tanpa berkedip. Dari sepasang mata pemuda yang biasanya memang tajam dan aneh ini keluar cahaya yang membuat jantung Bi Li berdebar.
Juga Ang-jiu Mo-li tidak kuat menghadapi sinar mata pemuda ini, seakan akan kepalanya tembus oleh sinar mata itu. Ia tahu bahwa ilmu batin pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga tenaga sakti itu dapat menembus melalui sinar mata. Setelah tidak kuat menahan sinar mata Tiang Bu, kedudukan Ang-jiu Mo li makin lemah. Hawa panasnya makin berkurang dan sepeminum teh lagi, ia merasa dingin. Sinar merah pada kedua tangannya mulai buyar, bahkan membiru. Ang jiu Mo-li masih berusaha mempertahankan, namun ia tidak kuat lagi. Uap yang mengebul dari kepalanya makin tebal mukanya mulai berpeluh.
"Cianpwe, belum cukupkah?" terdengar Tiang Bu bertanya.
Bukan main kagumnya Ang-jiu Mo-li. Kini takluk betul-betul. Karena Tiang Bu masih sanggup bertanding tenaga sambil mengeluarkan kata-kata, itu saja sudah menjadi bukti nyata bahwa pemuda ini masih jauh berada di atasnya. Tanpa malu-malu lagi Mo-li mengerahkan tenaga terakhir dan menarik kedua tangannya sambil melompat mundur. Kalau Tiang Bu menghendaki, tentu saja perbuatan ini dapat berarti matinya Ang-jiu Mo-li. Dalam pertandingan dengan musuh tentu saja Ang-jiu Mo-li tidak mau melompat mundur dan mati konyol, lebih baik mati dalam pertandingan dari pada mati melompat mundur dan terpukul oleh tenaganya sendiri. Akan tetapi Tiang Bu juga membarengi gerakan lawan dan menarik kembali tenaga sinkangnya.
Ang-jiu Mo-li terhuyung-huyung akan tetapi tidak sampai jatuh. Cepat ia duduk bersila mengatur pernapasannya dan menenteramkan jantungnya yang sudah terguncang hebat. Mukanya pucat sekali, namun setelah berlalu beberapa lama, mukanya menjadi merah kembali. Ia lalu membuka mata, berdiri perlahan dan berkata ke pada Bi Li, "Bi Li, anak bodoh. Kalau kau tetap menjauhkan diri menolak cinta kasih pemuda ini berarti kau menyiksa hati sendiri dan menyia-nyiakan hidupmu. Tiang Bu inilah jodoh yang paling tepat dan baik, di atas dunia kau tak mungkin berjumpa dengan orang seperti ini. Bi Li, mulai sekarang kau ikutlah Tiang Bu calon jodohmu ini mencari musuh yang telah membuntungi lenganmu. Kita bertemu di Pek houw-to dan kelak kalau sudah selesai membasmi orang jahat, aku sendiri akan mengatur pernikahanmu dengan pemuda sakti ini!"
Setelah berkata demikian, Ang-jiu Mo-li lalu berkelebat dan lenyap dari tempat itu meninggalkan Bi Li yang masih berdiri bengong menyaksikan pertempuran hebat yang mendebarkan hatinya itu. Ketika ia mengangkat kepala memandang, ia melihat Tiang Bu sedang memandang kepadanya dengan mata penuh perasaan cinta kasih dan keharuan.
"Tiang Bu...!" Tak terasa lagi Bi Li menutupi muka dengan tangannya yang tinggal sebelah dan menangis terisak-isak. Air mata mengucur turun melalui celah-celah jari tangannya, pundaknya berguncang.
Tiang Bu makin terharu dan kakinya melangkah maju sampai ia berdiri di depan gadis buntung itu. "Bi Li... mengapa kau lari meninggalkan aku...?" tanyanya, suaranya tergetar.
Bi Li tak dapat menjawab, hanya isak tangisnya makin menjadi, sampai terdengar ia sesenggukan.
"Bi Li, mengapa kau meninggalkan aku?"
Setelah menahan isaknya dengan mengeraskan hatinya, Bi Li mencoba untuk bicara, akan tetapi sukar sekali sehingga setelah beberapa kali mengulang, baru ia dapat mengeluarkun kata-kata, "Tiang Bu, apa perlu kau bertanya lagi...? Kau sudah tahu isi hat iku...”
"Tidak, Bi Li. Justeru aku sama sekali tidak tahu bagaimana maksud hatimu. Kalau kau membenciku dan pergi, aku hanya bisa menerima dengan segala kesadaran bahwa aku orang yang buruk dan tak berharga. Akan tapi... kau cinta padaku sepertt aku mencintaimu, mengapa kau... pergi meninggalkan aku...? Apakah kau sengaja hendak membikin aku mati merana? Bi Li, bagaimana kau bisa begitu kejam dan tega...?”
Bi Li meramkan mata dan menggigit bibir, jantungnya terasa perih seperti tertus uk duri. Air mata mengucur keluar dari bulu-bulu matanya. "Tiang Bu... justeru karena cintaku padamu maka aku sengaja pergi meninggalkanmu. Aku... aku telah menjadi seorang gadis buntung, bercacad selama hidup, tak berharga lagi... hanya akan membikin kau malu. Itulah mengapa aku mengambil keputusan pergi. biar hatiku merana asal kau tidak menjadi buah tertawaan orang...”
"Bi Li!! Suara Tiang Bu menggeledek. "Orang mentertawakan aku masih tidak mengapa, akan tetapi siapa berani mentertawakan kau, akan kuhancurkan mulutnya! Jangan kau memandang begitu rendah kepadaku. Kau kira aku akan lupa kepadamu setelah kau bercacad? Tidak, sebaliknya cintaku kepadamu makin kekal, makin mendalam. Aku tidak mau berpisah lagi darimu Bi Li. Kita sama-sama sebatang kara, kau hanya punya aku dan aku hanya punya kau seorang. Bi Li. buntungnya lenganmu tidak mengurangi cintaku, karena bukan tanganmu yang kucinta, melainkan kau, pribadimu. Bi Li, jangan kau khawatir, biarpun lenganmu tinggal sebelah saja. dengan mempelajari ilmu dariku, kau takan kalah oleh orang-orang berlengan dua yang manapun juga!”
“Tiang Bu...!" Bi Li menjatuhkan badannya ke dalam pelukan Tiang Bu dan menangis sepuasnya. Hatinya diliputi keharuan dan juga kebahagiaan besar. "Tidak, Tiang Bu. Aku takkan meninggalkan kau, kecuali kalau aku mati..."
"Hush, gadis bodoh, jangan bicara soal mati. Kau akan hidup seribu tahun lagi! Tunggu kalau kita sudah membasmi habis orang-orang jahat yang menjadi musuh kita, bukankan gurumu sudah berjanji hendak menikahkan kita?"
Merah wajah Bi Li dan gadis ini merenggutkan kepalanya dari dada kekasihnya. "Hih, tak tahu malu, Bicara soal kawin! Aku tak sudi mendengar.“ Dengan air mata masih menetes turun, Bi Li terseyum. Tiang Bu juga tersenyum, wajahnya berseri-seri. Bi Li masih seperti dulu, lincah dan menarik hati.
********************
Dari Bi Li yang sudah diberi tahu oleh Ang-jiu Mo-li, Tiang Bu mendengar bahwa Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong telah pindah ke Pulau Pek-houw to di selatan, memboyongi semua selirnya dan membawa harta bendanya, juga bahwa di pulau itu berdiam Lo-thian tung Cun Gi Tosu yang lihai.
Dengan penuh kebahagiaan oleh karena Bi Li sudah berada di sampingnya, Tiang Bu mengajak kekasihnya itu melakukan perjalanan ke selatan dengan cepat. Lengan yang buntung itu sudah sembuh sama sekali berkat rawatan Ang-jiu Mo-li. Buntungnya di bawah pundak ditutup dengan lengan baju yang pendek. Juga gadis ini karena terhibur oleh sikap Tiang Bu yang amat mencinta, seakan-akan lupa bahwa lengan kirinya buntung dan ia melakukan perjalanan dengan gembira.
Sementara itu, semenjak penyerbuan Sin Hong kemudian disusul oleh penyerbuan Pek thouw tiauw ong Lie Kong dan isterinya, Liok Kong Ji berlaku hati-hati sekali. Ia mempergunakan hartanya, menyebar mata-mata di sekitar daerah pantai untuk mengetahui kalau kalau ada musuh datang menyerang lagi agar ia dapat bersiap-siap.
Oleh karena itu, kedatangan Tiang Bu dan Bi Li ke pantai laut telah diketahui oleh Liok Kong Ji. Di dunia hanya ada dua orang yang mendatangkan debar ketakutan dalam hati Kong Ji. Pertama adalah puteranya sendiri, Tiang Bu, yang ia tahu takkan mau memberi ampun kepadanya dan yang kepandaiannya amat luar biasa, lebih lihai dari pada tokoh manapun juga biarpun usianya masih sangat muda. Orang ke dua adalah Wan Sin Hong musuh besarnya semenjak muda dulu, ia takut terhadap kepandaian dan kecerdikan Wan Sin Hong.
Pada hari itu, Liok Kong Ji menerima berita dari mata-matanya, berita yang amat mengejutkan dan menggelisahkan hatinya. Tidak saja Tiang Bu dan Bi Li telah berada di pantai, juga ia mendengar bahwa Wan Sin Hong dan kawan-kawannya sudah menuju ke pulaunya, dan akan datang tak lama legi. Inilah hebat, pikirnya. Kalau dua orang ini datang berbareng di Pulau Pek-houw-to, hal ini merupakaa bahaya hebat!
"Lebih baik mereka dipisahkan. Selagi Sin Hong belum datang dan masih akan makan waktu satu dua hari baru tiba di pantai kita harus memancing Tiang Bu agar dapat cepat datang ke sini untuk kita sambut. Mustahil kalau dengan keroyokan tak dapat merobohkan bo cah itu. Kalau dia sudah roboh, soal Sin Hong tak perlu dikhawatirkan lagi. Pokoknya ssal dua setan itu jangan muncul dalam saat yang sama." Demikian Liok Kong Ji berunding, dengan anak angkatnya Liok Cui Kong.
“Mudah,” jawab Cui Kong. "Biar kita mengirim surat tantangan kepada Tiang Bu agar panas hatinya dan ia segera datang ke sini mendahului Wan Sin Hong."
Demikianlah. ketika Tiang Bu dan Bi Li tiba di pantai dan sedang mencari perahu di tempat yang sunyi sekali itu, tiba-tiba mata Bi Li yang tajam melihat sesuatu di atas batu karang.
“Tiang Bu lihat... Seperti kertas bertulis yang sengaja dipasang orang di sana!”
Tiang Bu, menoleh. Benar saja, di atas batu karang terdapat sehelai kertas kuning muda yang ada tulisannya, ditempel di batu karang. Ketika dua muda-mudi ini mendekati, ternyata tulisan itu memang ditujukan kepada Tiang Bu. Merah muka Tian g Bu ketika membaca tulisan itu yang berbunyi seperti berikut:
“TIANG BU, ANAK PUTHAUW! KAU DATANG MINTA AMPUN ATAU MINTA MATI , AYAHMU MENANTI.
LIOK KONG JI.
"Manusia Iblis!” Tiang Bu memaki gemas "Sombong, kau kira aku takut padamu?”
“Lihat, di sana ada perahu datang!” teriak Bi Li yang sudah menoleh ke arah laut karen a ia meli hat an caman maut di dalam surat Liok Kong Ji. Gadis ini amat khawatir akan keselamatan kekasihnya karena ia cukup maklum betapa lihainya manusia iblis itu bersama kaki tangannya.
Tiang Bu menengok, dan betul saja, dari arah laut datang sebuah perahu yang layarnya terkembang. Anehnya, perahu itu kosong tidak ada penumpangnya.
"Mereka telah mengirim perahu untukmu!” kata Bi Li, suaranya agak gemetar. Tiang Bu tidak menjawab melainkan menyambut perahu yang sudah sampai di pantai itu. Benar-benar orang telah mengirim perahu kosong untuknya, perahu yang layarnya dikembangkan dan kemudinya diatur sedemikian rupa sehingga dengan adanya angin yang mengbembus ke arah pantai, perahu itu bisa berlayar sendiri ke pantai.
"Musuh bersikap sombong sekali," kata Tiang Bu. "Aku harus ke sana sekarang juga agar jangan dianggap takut. Bi Li, kau tunggu saja di sini. Biarkan aku sendiri Pergi memberi hajaran pada manusia-manusia iblis itu untuk membalaskan sakit hatimu."
"Tidak, Tiang Bu. Aku ikut dengan kau!”
"Bi Li," Pemuda itu memegang tangan Bi Li, "jangan salah sangka. Untuk melindungimu dari mereka aku masih sanggup dan dengan aku di sampingmu mereka tak mungkin berani mengganggumu. Akan tetapi, kau tahu sendiri betapa licik dan curangnya mereka itu, dan inilah yang kukhawatirkan. Menghadapi ke curangan mereka lebih berat dari pada menghadapi kepandaian mereka. Lebih leluasa bagiku pergi seorang diri. Kau tinggallah saja di sini, Li-moi, percayalah, aku meninggalkanmu hanya sebentar saja dan aku meninggalkanmu ini adalah karena sayangku kepadamu."
“Akan tetapi... aku ingin sekali membalas sendiri kepada manusia jahanam Liok Kong Ji l!”
Tiang Bu mengangguk. "Jangan kau khawatir, aku akan menyeretnya ke sini sehingga kau dapat membalas sakit hatimu."
“Betulkah, Tiang Bu!" tanya Bi Li penuh harap.
"Mana aku mau membohongimu. Nah, kau baik baik menjaga dirimu, tunggu aku di pantai,” kata Tiang Bu sambil melompat ke perahu.
"Tiang Bu, kau jagalah dirimu baik-baik. Kau tahu semangat dan hatiku ikut bersamamu..." kata Bi Li, hatinya tidak karuan rasanya melihat kekasihnya pergi menempuh bahaya seorang diri.
Tiang Bu tersenyum. “Jangan khawatir, Bi Li. Doa restumu menjadi jimat pelindungku. Kita akan bertemu kembali, Bi Li." Ketika perahu mulai menjauhi pantai dan Bi Li berdiri seperti patung di tepinya, Tiang Bu berseru dari jauh, "Bi Li, aku cinta kepadamu...!"
Bi Li mengangguk-angguk, tersenyum dan matanya menjadi basah. Setelah perahu itu sudah jauh sekali merupakan titik hitam, gadis itu menjatuhkan diri berlutut, mukanya diangkat ke atas, matanya meram, bibirnya bergerak-gerak seperti orang bardoa mohon berkat perlindungan dari Thian untuk pemuda yang dikasihinya.
Tiang Bu sudah mendengar dari Bi Li bahwa Pulau Pek-houw to dapat dikenal di antara pulau pulau itu sebagai pulau yang dari jauh tampak keputih-putihan dan bentuknya seperti seekor macan mende kam. Dan pulau ini meman g tidak sukar dikenal dari jauh. Setelah perahunya didayung cepat menuju ke kumpulan pulau-pulau itu, ia melihat Pulau Pek-houw-to. Hatinya berdebar girang. Sekarang ia tidak mau bekerja kepalang tanggung.
Ia harus dapat membasmi Liok Kong Ji dan semua kaki tangannya dan merampas kembali kitab-kitab Omei-san yang sekarang sudah terkumpul ke dalam tangan Liok Kong Ji dan Cun Gi Tosu. Pemuda ini maklum bahwa ia menghadapi orang-orang pandai. Lawan-lawan berat yang tak boleh dipandang ringan akan tetapi ia tidak takut. Ia percaya penuh akan kekuatan sendiri, dan percaya penuh akan dapat mengalahkan mereka semua.
Tiba-tiba ia mendengar suitan keras beberapa batang anak panah menyambar cepat ke arah perahunya, menancap di atap perahunya melihat anak-anak panah itu tidak di arahkan kapadan ya, melainkan kepada atap perahunya, Tiang Bu seolah-olah tidak melihat kejadian ini dan bersikap tenang-tenang saja. Didayungnya perahu layarnya dengan cepat.
Akan tetapi segera muncul lima buah perahu kecil dengan atap melengkung dari balik-balik batu karang yang menonjol di permukaan laut. Perahu-perahu ini ditumpangi oleh Lam-thian-chit-ong dan belasan anak buahnya, berjumlah dua puluh orang lebih, setiap perahu ditumpangi lima orang. Dengan cepat perahu-perahu ini sudah malang melintang menghadang kedatangan perahu Tiang Bu.
Pemuda itu tetap tenang maklum bahwa Liok Kong Ji sudah mengirim rintangan pertama untuk menggagalkan pendaratannya ke Pek-houw-to. Aku harus hati -hati, pikir Tiang Bu. Di darat aku tak perlu memusingkan dua puluh orang lawan ini, akan tetapi di air, hmm, berat juga.
“He, pemuda yang sudah bosan hidup. Ke datanganmu ini dengan keperluan apakah?” Teriak si baju marah, ketua dari Lam-thian-cit-ong.
Melihat tujuh orang yang pakaiannya tujuh macam ini, diam-diam Tiang Bu sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah merupakan kelumpok kaki tangan Kong Ji yang terdiri dari saudara-saudara seperguruan, dan tentu kepandaiannya tidak lemah.
“Badut merah, kau mau tahu maksud kedatanganku?” jawabnya. "Dengarlah baik-baik. Aku datang untuk membasmi manusia-manusia iblis seperti Liok Kong Ji, Liok Cui dan kaki tangannya seperti kalian. Sudah jelaskah?”
Lam-thian-chit ong memang mendapat tugas dari Liok Kong Ji untuk mencegat perahu pemuda itu. Liok Kong Ji masih belum tahu apakah kedatangan Tiang Bu dengan maksud baik ataukah buruk, maka ia menyuruh Lam-thian-chit-ong mewakilinya dan menyelidiki. Mendengar jawaban Tiang Bu yang tegas itu, Lam-thian chit ong lalu memerintahkan anak buahnya dan di lain saat puluhan batang anak panah menyambar ke arah Tiang Bu.
Akan tetapi pemuda ini sama sekali tidak perduli, hanya menggerakkan dayung mendayung perahunya. Aneh bukan main, perahu itu seperti bernyawa, bergerak-gerak cepat tak sebatangpun anak panah mengenai tubuhnya, hanya menancap di tubuh perahu dan masuk ke laut. Inilah demonstrasi kejelian mata dan kehebatan tenaga menggerakkan perahu yang amat luar biasa.
"Kami menantimu di darat!" teriak si baju merah dan dia bersama enam orang saudaranya lalu menumpang sebuah perahu dan mendayungnya ke daratan Pulau Pek houw-to.
Empat buah perabu anak buahnya dengan delapan belas orang masih mencegat di situ. Malah mereka mendayung perahu mendekati perahu Tiang Bu dan mengurung dari empat jurusan. Harus diketahui bahwa Lam-thian-chit ong seperti juga Tiang Bu, tidak mengerti ilmu dalam air maka siang-siang mereka meninggalkan Tiang Bu untuk melakukan cegatan-cegatan di darat, tidak seperti delapan belas orang itu yang memang kesemuanya bekas bajak laut.
Delapan belas orang ini semua pandai berenang dan pandai bermain di dalam air, merupakan ahli-ahli dan penyelam penyelam. Oleh karena itulah maka tugas pertama untuk menyerang Tiang Bu diserahkan kepada delapan belas orang bajak laut ini. Liok Kong Ji memang sudah siap untuk segalanya dan kedudukannya ini kuat sekali.
Melihat gerakan empat perahu yang mengurungnya, Tiang Bu bersiap sedia. Kini ia tidak duduk di dalam perahunya, melainkan berdiri di kepalanya perahu dengan dayung di tangan, sepasang matanya awas memandang gerak-gerik empat perahu lawan yang mengelilingi. Adapun tujuh orang yang berbeda-beda warna pakaiannya itu kini telah mendarat, berdiri di tepi pantai dan menonton bagaimana para anak buah bajak laut itu hendak mengalahkan pemuda itu.
Terdengar pemimpin bajak laut itu memberi aba-aba dengan suitan dan kembali empat perahu itu mereka menghujankan panah ke arah Tiang Bu. Berbeda dengan tadi, kini anak panah datang menyerang empat jurusan, depan belakang dan kiri kanan. Kalau tadi semua anak panah datang dari depan maka masih dapat Tiang Bu menggunakan kepandaian menggerakkan perahu untuk mengelak dari sambaran anak panah-anak panah. Akan tetapi sekarang ia tidak dapat berbuat seperti tadi. Cepat ia menggerakkan dayungnya dan... alangkah terkejut hati semua bajak laut ketika mereka menyaksikan demontrasi kepandaian yang luar biasa.
Begitu dayung diputar menangkis anakvpanah itu tidak runtuh ke bawah, melainkan meleset dan terus me nyambar. Anak-anak panah dari depan melesat dan menyambar arah perabu sebelah kanan, yang dari kiri menyambar ke arah perahu di belakang. dari kiri menyambar ke depan. Jadi dengan dayungn ya itu, Tiang Bu "mengoperkan" anak panah-anak panah itu ke arah perahu perahu bajak, seakan-akan para bajak itu saling serang sendiri dengan anak panah-anak panah mereka!
Terdengar mereka berseru kaget dan cepat-cepat menangkis. Akan tetapi dalam kegugupan karena seran gan istimewa yang tak pernah disangka-sangka itu, seorang anak buah bajak yang kurang cepat menangkis dan pundaknya tertancap anak panah kawan sendiri. Anehnya, buah bajak itu terus roboh berkelojotan di dalam perahunya dan tewas seketika itu juga, mukanya berubah hitam!
Melihat hal ini dari atas perahunya, Tiang Bu diam-diam mengutuk Liok Kong Ji. Ia sekarang tahu bahwa sebelum menyerangnya, semua anak panah yang dibawa oleh anak buah bajak ini telah dilumuri racun hitam oleh Liok Kong Ji. Alangkah kejinya orang berhati iblis itu!
Melihat betapa dengan dayungnya Tiang Bu dapat menangkis dan malah mengoper semua anak panah, para bajak tidak berani me nyerang dengan anak panah. Serangan pertama tadi saja sudah mengorbankan nyawa seorang kawan sendiri dan mereka kini berputar-putar mengelilingi perahu, menanti saat datangnya aba-aba dari pemimpin mereka yang sedang memutar otak untuk mengatur serangan- serangan barikutnya.
Tiang Bu tetap berdiri di kepala perahu, dengan dayungnya disentuhkan ke air ia menjaga supaya perahunya tetap di tengah-tengah. Ia kelihatan gagah dan tegap, tenang dan waspada, membuat para bajak memandang jerih. Mereka semua tahu bahwa kali ini biarpun mere ka terdiri dari belasan orang mengepung hanya seorang pemuda, namun tugas mereka jauh le bih berat dari pada kalau mereka ditugaskan membajak sebuah kapal yang dijaga olek sepasukan tentara.
Kembali pemimpin bajak bersuit. Suitan-suitan yang berbeda-beda sudah merupakan tanda tersendiri. Mendengar suitan ini, semua anak buah bajak mengeluarkan dua macam senjata. Di tangan kiri memegang sebuah galah ujungnya dipasangi kaitan besi sedangkan di tangan kanan memegang se buah tombak yang runcing. Baik tombak maupun gala kaitan itu panjangnya ada tiga tombak. Melihat ini, Tiang Bu maklum bahwa mereka hendak menyerangnya dengan tombak dan me ncoba untuk mengait dan menggulingkan perahunya. Ia pikir bahwa kalau mereka berani menyerangnya dengan dua macam senjata itu, ia sama sekali perlu takut karena dengan mudah dapat merampas semua senjata mereka dan menggunakan senjata-senjata panjang itu untuk menghajar mereka.
Perahu-perahu itu mulai mendekat sampai pada jarak delapan tombak. Tiba-tiba dari masing-masing perahu, dua orang bajak loncat ke dalam air membawa dua macam senjata itu terus menyelam. Tiang Bu kaget sekali. Celaka, pikirnya. Kalau mereka menyerangnya dari bawah dan menggulingkan perahu, ia bisa tewas! Cepat Tiang Bu mendayung perahunya mendekati perahu sebelah kiri. Benar saja dugaannya. Tiba-tiba perahunyabbergoyang-goyang dan ternyata telah dikait dari bawah oleh delapan penyelam itu. Perahunya dibotot-betot dan akhirnya menjadi miring. Air mulai masuk. Tiang Bu mempergunakan Chian-kin-kang (Tenaga Seribu Kati) untuk membuat perahu jangan sampai terguling, akan tetapi karena air sudah mengalir masuk, ilmunya ini hanya membikin perahu ambles dan air masuk makin banyak.
Para bajak dari empat perahu itu bersorak-sorak melihat pemuda ini dengan susah payah mempertahankan diri dan perahunya. Tak lama kemudian perahu Tiang Bu sudah hampir tenggelam, air sudah mulai membasahi sepatu pemuda itu. Saking gembiranya, para bajak itu kurang waspada dan tidak dapat menduga apa yang dilakukan Tiang Bu. Tahu-tahu berkelebat bayangan yang hampir tidak dapat diikuti pandangan mata dan pemuda itu sudah meninggalkan perahunya yang tenggelam, kini sudah berada di perahu bajak yang berada di sebelah kini. Jarak kurang lebih enam tombak itu dilompati oleh Tiang Bu dengan amat mudah dan demikian cepatnya hingga seperti burung walet terbang saja.
Panik terjadi di dalam perahu yang diserbu Tiang Bu. Untuk menyerang pemuda yang sudah berada di perahu mereka ini, tak mungkin menggunakan dua macam senjata panjang itu. Selagi mereka bingung hendak mencabut golok dan pedang, Tiang Bu tidak memberi waktu lagi. Pemuda ini menggerakkan kaki tangannya dan suara berteriak mengaduh susul- menyusul. Tiga orang anak buah bajak yang berada di perahu itu terlempar ke dalam air untuk terus tenggelam dan tewas!
Kembali delapan orang penyelam menyerang perahu bajak yang kini terampas oleh Tiang Bu. Perahu menjadi miring dan sebentar saja tanggelam, Tiang Bu mempergunakan ginkangnya, melompat ke perahu ke dua dan seperti tadi ia mengamuk merobo hkan tiga orang anak buah bajak yang sama sekali tidak berdaya menghadapi pemuda sakti ini. Akan tetapi penyelam-penyelam itu tidak mau memberi kesempatan kepada Tiang Bu untuk menyelamatkan diri. Mereka menyerbu dari bawah air dan terpaksa Tiang Bu meninggalkan perahunya lagi, melompat ke perahu ke tiga. Sekarang tanpa ia turun tangan, dua orang bajak yang berada di perahu itu masing-masing sudah melompat ke dalam air.
Bajak-bajak itu menggunakan siasat baru. Mereka be rtekad hendak me nenggelamkan semua perahu agar pemuda itu tidak mendapat tempat berpijak lagi. Kembali perahu diserbu dan untuk yang ketiga kalinya Tiang Bu melompat ke perahu bajak yang ke empat! Perahu ini ditumpangi oleh pemimpin bajak bersama dua orang anak buahnya. Mereka sudah siap-siap dengan golok di tangan dan pada saat tubuh Tiang Bu melayang, mereka mamapakinya dengan golok yang dibacokkan kuat-kuat.
Namun bacokan tiga orang ini seperti orang membacok bayangan saja. Dengan ilmu loncat loh-he (gerakan membalik) yang disebut Sinliong hoan-Sin (Naga Sakti Membalikkan Tubuh), tubuhnya membuat salto di udara dan selagi tiga batang golok itu menyambar, ia sudah melewati atas kepala mereka dan mendarat di atas perahu. Tiga orang bajak itu cepat membalikkan tubuh akan tetapi hanya untuk melihat pemuda itu menggerakkan kedua tangannya dan... mereka terlempar ke dalam air.
Tiang Bu maklum bahwa kalau perahu terakhir ini tenggelam, ia tidak mempunyai tempat untuk melompat lagi. Maka cepat ia menggerakkan dayung dan mendayung perahu itu ke arah daratan. Namun kepandaian berenang para bajak laut itu benar-benar lihai. Secepat ikan ikan hiu berenang, mereka telah mengejar dan sebelum mencapai darat, masih ada dua puluh tombak lagi, mereka telah dapat mengait perahu dari bawah dengan senjata-senjata kaitan mereka dan cepat membuat perahu itu miring...!