Tangan Gledek Jilid 48
CUN GI TOSU mengira bahwa sekali pukul ia akan dapat membikin mampus lawan muda ini. Ilmu tongkatnya memang hebat, pukulannya mengandung tenaga lweekang hampir seribu kati dan sukar sekali dielakkan lawan, apa lagi ditangkis. Akan tetapi, alangkah heran dan juga gembira hatinya ketika ia melihat bocah itu mengangkat tangan kanan dan hendak menangkis pukulan tongkat itu dengan telapak tangan!
“Ha-ha, remuk tulang-tulangmu!” bentak Cun Gi Tosu sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Tak dapat tidak, pikirnya, tangan pemuda goblok ini pasti remuk. Jangankan baru telapak tangan orang lagi masih muda, senjata baja yang bukan pusaka ampuh tentu akan patah-patah atau hancur!
Sama sekali Cun Gi Tosu tak pernah mimpi bahwa ia tidak menghadapi seorang manusia dengan kepandaian silat biasa, melainkan menghadapi seorang ahli waris langsung dari Omei-san, murid Tiong Sin Hwesio pewaris Tat Mo Couwsu dan Tiong Sin Hwesio pewaris Hoat Hian Couwsu! Bukan hanya mewarisi kepandaian kedua orang tokoh Omei-san yang tidak ada tandingannya itu, malah sudah pula mewarisi sinkang dari kedua orang sakti itu. Apa lagi setelah mempelajari kitab Seng-thian-to, tenaga dalam dari pemuda ini sudah jangan dikata lagi kehebatannya, mendekati tenaga sakti yang dimiliki oleh para couwsu (guru besar) dari sekalian partai persilatan besar.
"Plak!" Ujung Tongkat Pengacau Langit bertemu di udara dengan telapak tangan Tiang Bu dan... Cun Gi Tosu meloncat-loncat ke belakang dengan sebelah kakinya. Hampir saja ia terjengkang roboh kalau ia tidak cepat-cepat melambung tinggi dan berpoksai (berjungkir-balik) sampai tiga kali, baru ia mampu berdiri tegak dan dapat pula menggunakan tongkatnya untuk menyandarkan diri. Matanya terbuka lebar lebar dan mulutnya melongo. Serasa mimpi kejadian tadi, hampir tak dapat ia percaya. Apakah tiba-tiba tenaganya sudah musnah? Tak mungkin! Ia mengayun tongkatnya ke arah batang pohon besar di sebelah kirinya.
“Brakk...!” Batang pohon itu patah dan pohonnya tumbang mengeluarkan suara berisik. Baru ia mau percaya bahwa pemuda di depannya ini memang sakti bukan main dan mulai ia percaya bahwa muridnya, Cui Kong dan Liok Kong Ji tidak berlebih-lebihan ketika memuji kepandaian Tiang Bu.
Akan tetapi dia adalah Lo-thian-tung Cun Gi Tosu yang terkenal berilmu tinggi. Masa ia harus takut menghadapi lawan begini muda? Mungkin bocah ini sudah mewarisi tenaga besar, akan tetapi dalam hal ilmu silat. tentu belum masak, belum lama terlatih dan belum banyak pengalaman. Oleh karena pikiran ini, hati Cun Gi Tosu tetap besar dan tabah. Ia memutar tongkatnya dan menyerang lagi sambil membentak,
"Bocah, tenagamu besar. Akan tetapi jangan kira Lo-thian tung takut!"
Memang benar semua dugaan Cun Gi Tosu tadi. Melihat usianya yang baru dua puluhan, tentu saja di banding dengan Cun Gi Tosu, Tiang Bu sama sekali tak dapat direndengkan dalam hal kematangan latihan den pengalaman bertempur. Sebelum Tiang Bu terlahir di dunia. Cun Gi Tosu sudah menjadi seorang tokoh besar. Akan tetapi, harus diketahui bahwa Tiang Bu telah mewarisi ilmu silat yang diciptakan sendiri oleh Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Couwsu.
Mengingat bahwa ilmu ilmu silat yang ada sebagian besar bersumber pada dua orang guru besar ini, dapat dibayangkan bahwa ilmu silat yang dipelajari oleh Tiang Bu memang lebih sempurna dan lebih tinggi tingkatnya dari pada ilmu silat yang dimiliki oleh Cun Gi Tosu. Memang dia kalah matang dan kalah pengalaman, andaikata pengalaman dan kematangan ilmu silatnya sebanding dengan tosu itu kiranya dalam sepuluh jurus saja tosu buntung itu akan roboh.
Terjadilah pertempuran yang benar benar hebat. Kali ini Tiang Bu menghadapi lawan yang benar-benar tangguh sesudah ia dahulu menghadapi Wan Sin Hong. Seperti juga dahulu ketika menghadapi Wan Sin Hong, Tiang Bu terdesak oleh ilmu tongkat yang dimainkan oleh Cun Gi Tosu secara dahsyat sekali. Kemahiran dan kematangan Cun Gi Tosu dalam bermain silat tongkat benar-benar sudah mencapai batas tinggi sekali dan dalam jurus jurus pertama Tiang Bu benar terdesak terus. Akan tetapi lambat laun pemuda ini dapat memahami inti sari ilmu tongkat lawannya itu dan mengimbanginya.
Sudah dua kali ia membiarkan pundak dan pahanya dipukul, hanya dilawan dengan hawa sinkang di tubuhnya sehingga pukulan-pukulan itu hanya terasa sakit sedikit saja. Kemudian setelah tiga puluh jurus lamanya ia memahami inti sari gerakan lawan, baru Tiang Bu membalas serangan lawan dengan desakan-desakan ilmu pukulannya yang lihai. Baru Cun Gi Tosu terkejut bukan kepalang. Tadinya, melithat pemuda itu terdesak, bahkan dua kali kena pukulannya ia sudah mulai girang den mangira bahwa ia tentu akan dapat merobohkan lawan ini. Tidak tahunya, yang tiga puluh jurus lamanya itu memang sengaja dipergunakan oleh Tiang Bu untuk memahami gerakan lawan dan mengalah, mempertahankan diri terus menerus dengan llmu Kelit Sam-hoan-sam-bu.
Kini setiap pukulan tongkat Cun Gi Tosu, ditangkis atau dikelit dengan balasan serangan pukulan keras. Kasihan sekali kakek buntung itu yang harus berloncatan ke sana ke mari menghindarkan pukulan Tiang Bu yang didahului oleh sambaran angin pukulan yang kadang-kadang panas kadang-kadang dingin itu. Cun Gi Tosu makin ketakutan karena maklum bahwa lweekang pemuda ini sudah sedemikian tingginya sehingga dalam satu serangan dapat mempergunakan Im-kang dan Yang-kang secara bergantian atau dicampur campur. Tingkat setinggi ini biar dia sendiripun masih belum dapat mencapainya!
Berkali-kali tongkat bertemu dengan telapak tangan Tiang Bu. Makin lama, setiap kali tongkat dan tangan bertemu, Cun Gi Tosu terhuyung makin jauh ke belakang dan pada jurus ke lima puluh. ketika tongkat Cun Gi Tosu menghantam kepala, Tiang Bu menangkis lagi, Cun Gi Tosu berteriak kaget karena kali ini ia seperti tak bertenaga lagi dan tahu-tahu ia merasa dadanya sakit sekali. Kembali ia menghantam, ditangkis lagi dan ia menjerit, dadanya seperti dipukul orang.
“Totiang, kejahatanmu sudah memuncak. Kau menghantam diri sendiri sampai mati,” kata Tiang Bu yang mendesak terus. Memang sesungguhnya, hawa pukulan dari Tiang Bu adalah hawa bersih yang keluar dari sinkang di dalam tubuhnya. Pukulan-pukulan Cun Gi Tosu yang dilakukan dengan pengerahan tenaga lwee lkang itu makin lama makin lemah, selalu dipukul mundur dan akhirnya tenaganya itu melukai tubuh sendiri di bagian dalam.
Makin hebat ia memukul, kalau ditangkis maka tenaganya itu makin hebat menghantam tubuh sendiri tanpa ia sadari. Kembali tongkatnya melayang, kini malah menyodok ulu hati Tiang Bu. Pemuda ini mengerahkan tenaga dan menerima totokan itu dengan telapak tangnnya secara tiba-tiba dan digentakkan.
“Dukk!!” Cun Gi Tosu terpental ke belakang, muntah-muntah darah dan roboh terlentang tak bernapas lagi. Jantungnya terkena goncangan hebat oleh tenaga sendiri yang membalik dan tewas karena jantungnya rusak.
“Tiang Bu... tolonglah aku...” tiba-tiba Tiang Bu merasa seakan-akan tubuhnya kaku mendengar suara ini.
Ia menengok dan... apa yang dilihatnya? Bi Li berada dalam pondongan Cui Kong dalam keadaan lemas tertotok. Secepat kilat Tiang Bu melompat bayangannya seperti lenyap merupakan sambaran hebat ke arah Cui Kong. Akan tetapi Liok Kong Ji sudah menghadang di depannya dan berkata keras,
"Tiang Bu, kekerasan hanya berarti tewasnya kekasihmu ini...”
Kata-kata ini me mmbuat Tiang Bu surut kembali dengan wajah pucat. "Jangan... jangan ganggu dia... jangan kalian berani mengganggu calon isteriku! Lepaskan!"
Liok Kong Ji tersenyum dan memandang ke arah Bi Li dengan muka berseri “Aha, calon isterimuya? Bagus, dia calon mantuku kalau begitu. Bagaimana aku mau mengganggu calon mantu sendiri? Tidak, tidak, anakku gagah perkasa. Aku bukan orang kejam, Kau pun tentu bukan seorang anak yang kejam mau membunuh ayah sendiri bukan?"
Kita tinggalkan dulu Liok Kong Ji yang cerdik dan penuh tipu muslihat itu mencoba menggunakan lidahnya yang runcing untuk mempengaruhi Tiang Bu. Bagaimanakah Bi Li dapat terjatuh ke dalam tangan Cui Kong dan Kong Ji? Mari kita mundur sedikit.
Seperti telah kita ketahui, Bi Li ditinggalkan di pantai daratan oleh Tiang Bu yang tidak menghendaki kekasihnya itu terancam bahaya di pulau musuh musuhnya. Kemudian datang Ang-jiu Mo li yang mengajak muridnya itu menyusul ke Pulau Pek-houw-to untuk membalas dendam kepada Liok Kong Ji yang sudah membuntungi lengan Bi Li.
Tanpa mendapat kesukaran Ang-jiu Mo-li dan Bi Li mendarat di pulau itu dan cepat berlari-lari dari pantai timur yang benar seperti dugaan Ang jiu Mo-li tidak terjaga kuat karena penghuninya menyangka bahwa musuh tentu akan datang dari barat. Di sana-sini Ang-jiu Mo-li dan Bi Li melihat penjaga-penjaga menggeletak tertotok atau terluka. Tahulah mereka bahwa Tiang Bu sudah mulai turun tangan.
Bi Li mendesak gurunya supaya mempercepat perjalanan karena gadis ini mulai mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya, biarpun ia percaya penuh akan kesakitan Tiang Bu. Ang jiu Mo-li maklum akan isi hati muridnya dan iapun mengerti bahwa menghadapi lawan-lawan seperti Liok Kong Ji dan kaki tangannya memang bukan hal yang boleh dipandang ringan. Mereka berlari lebih cepat lagi.
Tiba-tiba mereka malihat dua orang laki-laki tengah be rlari cepat dari depan dan setelah dekat ternyata bahwa dua orang itu bukan lain adalah Liok Kong Ji sendiri bersama Liok Cui Kong! Tentu saja Ang-tiu Mo-li menjadi girang sekali dapat bertemu muka dengan musuh-musuh besar yang ia cari-cari. Kegirangannya bercampur aduk dengan kemarahan besar ketika ia melihat Cui Kong membawa lengan kering yang dilingkari ular sebagai senjata!
Sekali pandang saja maklumlah ia bahwa pemuda keji itu telah mempergunakan lengan Bi Li sebagai sebuah senjata yang mengerikan. Juga Bi Li tahu akan hal ini maka kemarahannya memuncak. Dengan pedang di tangan gadis ini langsung menyerang Cui Kong, sedangkan Ang-jiu Mo li membentak.
"Liok Kong Ji manusia iblis, sekarang tiba saatmu untuk kembali ke neraka jahanam!“ Wanita sakti ini lalu maju menyerang dengan tangannya yang menjadi merah seperti api.
Melihat munculnya wanita tokoh besar utara ini, biarpun dia tidak gentar, namun membuat Kong Ji diam-diam mengeluh. Tiang Bu sudah merupakan lawan tangguh, dan di sana masih ada ancaman Wan Sin Hong dengan kawan-kawannya yang sedang mendatangi. Sekarang tahu-tahu ditambah lagi dengan seorang Ang-jiu Mo-li yang ia cukup kenal kelihatannya. Aneh, dasar ia sedang sial, pikirnya.
Tanpa ban yak cakap lagi Liok Kong Ji mempergunakan pedangnya menghadapi Ang-jiu Mo-li. Pedangnya diputar cepat sekali dan Ang jiu Mo-li terkejut melihat sinar pedang berkilauan dan gerakannya selain cepat dan aneh, juga mendatangkan hawa dingin menandakan bahwa tenaga lweekang dari mus uh besarnya ini telah mendapatkan kemajuan luar biasa. Ia berlaku hati-hati dan cepat mengelak mundur, kemudian sekali berseru nyaring Ang-jiu Mo-li lalu meloloskan selendang suteranya untuk menghadapi pedang lawan yang tak boleh dipandang ringan itu.
Memang Liok Kong Ji sekarang jauh bedanya dibandingkan dengan Liok Kong Ji beberapa tahun yang lalu. Dia sudah memahami isi kitab Omei-s an, tidak saja ia mewarisi ilmu pedang luar biasa dari Omei san yaitu Ilmu Pedang Soat-lian-kiam-coansi (Ilmu Pedang Teratai Salju), akan tetapi juga ia telah mempelajari kitab Pat-sian-jut bun yang ia rampas dari Lie Ceng Ceng.
Kemudian ia juga mempelajari kitab ke tiga dari Omei-san, yaitu Soan-bong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin Payuh). Ini semua masih belum hebat , yang paling hebat dan yang membuat ia mendapat kemajuan pesat sekali adalah ketika ia mempelajari kitab Omei-san yang paling sulit dipelajari namun merupakan ilmu paling tinggi, yaitu kitab Delapan Jalan Utama yang ia dapat dari Toat-beng Kui-bo.
Setelah bertempur dua-tiga puluh jurus saja Ang-jiu Mo-li sudah merasa bahwa Liok Kong sekarang benar-benar hebat kepandaiannya dan ia hanya dapat mangimbanginya dengan amat sukar dan harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Merasa penasaran karena dahulu ketika Liok Kong Ji masih tinggal di utara, pernah Ang-jin Mo-li mengacau pasukan Mongol dan pernah pula ia bertanding dengan Liok Kong Ji yang ia desak dan permainkan, sekarang desakan Liok Kong Ji membuat Ang-jiu Mo-li makin marah. Dulu kalau tidak ada bantuan dari panglima-panglima Mongol, tentu Liok Kong Ji sudah roboh olehnya. Masa sekarang satu lawan satu ia kalah?
Tiba-tiba Ang-jiu Mo-li mengeluarkan pekik nyaring. tangan merahnya melayang ke depan dengan hawa pukulan sepenuhnya manyambar ke arah dada Liok Kong Ji, sedangkan selendang suteranya bagaikan ular merah menyambar kepala Kong Ji. Inilah sejurus dari ilmu Silat Kwan-Im-cam-mo (Dewi Kwan lm Menaklukkan Iblis) yang ia pelajari dari kitab Omei-san yang terjatuh ke dalam tangannya. Hebatnya serangan ini sudah jangan ditanya lagi. Ang-jiu Mo-li yang sudah marah itu benar-benar menurunkan tangan maut dan agaknya Liok Kong Ji takkan dapat menghindarkan diri lagi.
Akan tetapi, kalau kepandaian Ang-jiu Mo-li hanya bertambah oleh ilmu dari sebuah saja kitab Omei-san, adalah Kong Ji menambah kepandaiannya dari empat buah kitab Omei-san, dan kitab-kitab yang ia pelajari tingkatnya lebih tinggi pula. Kalau kepandaian Ang jin Mo-li hanya meningkat dua bagian, kiranya kepandaian Liok Kong Ji sudah meningkat delapan bagian!
Menghadapi serangan maut itu, Liok Kong Ji juga mengeluarkan seruan keras, pedangnya berkelebat-kelebat seperti naga mengamuk, tangan kirinya didorongkan ke depan. Pedang bertemu selendang, selendang melibat. Pakulan Ang-sin-ciang bertemu pukulan Tin -san kang membeleduk di udara membuat Ang-jiu Mo-li, tergetar seluruh anggauta tubuhnya. Selendang masih melibat, lemas lawan lemas karena kalau Kong Ji mempergunakan tenaga kasar pedargnya bisa patah. Tiba-tiba Ang-jiu Mo-li membetot selendangnya yang menjadi kaku dan keras. Akan tetapi pedang itu juga menjadi keras dan..."krak!" selendang itu putus.
Liok Kong Ji tertawa bergelak. Wajah Ang jiu Mo-li menjadi semerah tangannya. Wanita sakti itu menyerang lagi mati-matian untuk menebus kekalahannya dalam adu tenaga lwee-kang tadi. Biarpun selendangnya sudah putus sebagian, namun senjata istimewa ini masih berbahaya sekali. Sementara itu, Bi Li yang manyerang Cui Kong dengan mati-matian, harus meagakui keunggulan pemuda ini. Sambil tertawa-tawa Cui Kong melayaninya, kadang-kadang menyindir dan mengejek.
"Hai-hai... nona manis, jangan keras. keras membacok lenganmu sendiri!” katanya sambil mengangkat lengan kering itu untuk menangkis pedang Bi Li yang menyambar-nyambar.
"Aduh, kau makin cantik jetita saja, seperti patung Kwan Im yang buntung...! Biarpun sudah buntung aku masih mau...!”
Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahan hati Bi Li ia dilawan dengan sebuah lengannya sendiri yang sudah kering dan mengerikan, ditambah lagi oleh ejekan-ejekan yang kadang-kadang bersifat kotor dari lawannya. Dengan nekat sekali Bi Li menghujankan serangan, kalau perlu ia mati mengorbankan nyawanya asal dapat membunuh orang ini. Sepasang mata yang bening itu berkilat, bibir yang merah digigit dan pedangnya mengeluarkan suara mengaung, menimbulkan segulung sinar berkeredepan.
Biarpun tingkat kepandaian Cui Kong lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya. namun kiranya takkan mudah bagi pemuda itu untuk merobohkannya. Apa lagi karena melihat wajah Bi Li yang memang cantik sekali itu, hati Cui Kong tidak tega untuk membunuhnya dan timbul pikirannya hendak menawan Bi Li hi dup-hidup. Tidak saja pemuda ini sudah tergila-gila akan kecantikan Bi Li yang sudah buntung lengannya juga sebagai seorang cerdik seperti ayah angkatnya, ia maklum bahwa Bi Li dapat ia pergunakan sebagai perisai terhadap Tiang Bu yang mencinta gadis ini.
Menghadapi kenekatan Bi Li, Cui Kong menjadi kewalahan juga. Akhirnya ia terpaksa mengeluarkan huncwenya dan dengan senjata ini ia menyerang Bi Li yang menjadi kocar-kacir pertahanannya. Selagi gadis ini terdesak, tiba-tiba Cui Kong meniup huncwenya dan asap kekuningan menyambar ke arah muka gadis itu Bi Li mencoba untuk mengelak, akan tetapi ternyata asap itu bukan asap beracun, hanya dipergunakan untuk menggertak saja. Selagi gadis itu men curahkan perhatian kepada serangan asap, Cui Kong menggerakkan huncwenya dan... Bi Li roboh tertotok, tak berdaya lagi.
Cui Kong tertawa senang. “Cui Kong, bantulah...!" terdengar Kong Ji berseru melihat anak angkatnya sudah berhasil merobohkan lawannya.
Cui Kong melompat dan di lain saat Ang-jiu Mo-li sudah dikeroyok dua oleh ayah dan anak yang lihai ini. Tentu saja Ang-jiu Mo-li menjadi makin kewalahan. Tadi saja menghadapi Kong Ji ia sudah berada dalam keadaan terdesak. Apa lagi sekarang Cui Kong maju dan ke pandaian pemuda ini memang sudah hebat. Namun Ang-jiu Mo-li tidak menjadi gentar. Dengan mati-matian ia membela diri dan membalas serangan kadua orang lawannya dengan sengit.
Setelah menghadapi keroyokan sampai tiga puluh jurus, Ang-jiu Mo-li menjadi lelah sekali. Kedua lawannya bertenaga kuat dan seti ap kali menangkis ia harus mengerahkan seluruh lweekangnya. Lengan kering di tangan Cui Kong menyambar hebat, ular kecil yang -melingkar di lengan itu siap menggigit. Jari-jari tangan kering yang mengerikan itu seperti cakar seakan mengarah muka Ang-jiu Mo-li.
Serangan ini hebat datangnya karena merupakan susulan dari pada serangan-serangan Liok Kong Ji yang dapat digagalkan oleh Ang-jiu Mo-li. Menghadapi serangan dengan lengan kering muridnya ini timbul kemarahan hati Ang-jiu Mo-li. Dari mulutnya terdengar pekik keras sekali, tangannya yang sudah merah membara itu menghantam ke depan ke arah lengan dan ularnya.
"Brakk!” Tulang-tulang kering itu hancur berantakan berikut tubuh ular kecil yang menjadi remuk berikut tulang-tulangnya! Cui Kong sendiri terdorong mundur, akan tetapi di lain saat terdengar Ang-jiu Mo-li mengeluh tubuhnya tergelimpang dan roboh tak bernyawa lagi.
Ang-jiu Mo li ketika menghantam lengan kering tadi mengerahkan perhatian dan mengerahkan seluruh tenaganya, maka ia tidak dapat mengelak lagi ketika pedang di tangan Liok Kong Ji bergerak ke depan dan menembus dadanya! Tamatlah riwayat hidup Ang-jiu Mo-li, wanita sakti tokoh utara yang dulu ditakuti Liok Kong Ji akan tetapi sekarang tewas oleh pedang Liok Kong Ji pula!
“Lekas kita menyusul Cun Gi totiang. Kau bawa bocah itu, siapa tahu berguna nanti,” kata Kong Ji kepada Cui Kong.
Memang bapak dan anak angkat ini setali tiga uang, sama cerdiknya sama liciknya. Tanpa banyak komentar lagi Cui Kong memondong tubuh Bi Li yang sudah tertotok jalan darahnya sehingga tak dapat bergerak lagi seperti lumpuh, tubuhnya lemas sekali.
Demikianlah, ketika Kong Ji dan Cui Kong yang memondong Bi Li tiba di dekat pondok Cun Gi Tosu, mereka melihat tosu buntung itu sudah tewas oleh Tiang Bu. Dan melihat kekasihnya itu, Bi Li yang sudah tak berdaya mengeluarkan seruan minta tolong. Seperti sudah diceritakan di bagian depan, melihat Bi Li tak berdaya dalam pondongan Cui Kong, Tiang Bu melompat dan menerkam hendak merampas tubuh kekasihnya itu. Akan tetapi Kong Ji sudah menghadang di depannya dan mengancam.
"Kalau kau menggunakan kekerasan, berarti calon isterimu itu akan mati, Tiang Bu, sudah berkata-kali kau mendurhaka terhadap ayah sendiri. Kalau dulu kau tidak mendurhaka terhadap ayah sendiri, tentu calon isterimu ini tidak sampai cacad. Sekarang, lebih baik kau kembali ke jalan benar, lebih baik kau berpihak kepadaku, kepada ayahmu sendiri. Setelah kita dapat mengusir musuh-musuh, tentu aku akan mengawinkan kau dengan gadis ini."
Kata-kata Kong Ji dikeluarkan dengan suara halus, penuh bujuk rayu, Tiang Bu diam saja, tak bergerak, keningnya berkerut-kerut. Diamnya pemuda ini dianggap oleh Kong Ji sebagai keraguan dan ada harapan anaknya yang sejati itu suka tunduk kepadanya, maka dengan muka berseri ia menyambung.
“Tiang Bu, puteraku hanya kau seorang. Di dunia ini hanya ada dua orang yang betul-betul kusayang sepenuh jiwaku, pertama adalan mendiang ibumu dan ke dua kau sendiri! Insysflah, anak, tidak bijaksana kau seorang anak melawan ayah sendiri. Kau bisa dikutuk oleh Thian...!"
“Tiang Bu, jangan dengarkan dia. Serang dan bunuh saja!” Tiba-tiba Bi Li berseru marah. Gadis ini khawatir juga melihat Tiang Bu diam saja, ia mengira bahwa pemuda pujaannya itu akan terpengaruh oleh kata-kata Liok Kong Ji.
"Hush, diam kau. Nyawamu di tangan kami!" Cui Kong membentak Bi Li. Pemuda ini terkejut mendengar ucapan gadis tadi karena ia sudah takut-takut kalau Tiang Bu yang ia takuti itu mengamuk.
"Tiang Bu, jangan perdulikan aku. Aku dibunuh tidak apa, asal kau memakai jantung dua orang ini untuk menyembahyangi rohku, aku akan mati meram," kembali Bi Li berseru.
Sebetulnya, Tiang Bu berdiam saja bukan sekali-kali karena terpengaruh oleh kata-kata yang keluar dari mulut Liok Kong Ji. Ia tadi berdiam diri karena sedang bingung dan mencari jalan bagaimana ia dapat me nolong kekasihnya. Teriakan-teriakan Bi Li manyadarkannya. Dua orang ini terlalu jahat, harus dibasmi. Kalau ia melepaskan mereka, apa lagi membantu mereka hanya karena hendak menyelamatkan kekasihnya, itu bukan perbuatan seorang gagah.
Apa lagi Bi Li sendiri rela berkorban nyawa asal dua orang itu terbinasa. Kalau ia sampai tunduk terhadap manusia jahat seperti iblis itu, alangkah akan rendahnya, hiduppun Bi Li takkan sudi memandangnya lagi! Tiang Bu meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah Cui Kong, berusaha sekali lagi merampas Bi Li.
"Anak durhaka!” Kong Ji yang berpemandangan dan memiliki gerakan cepat sekali sudah menghadang lagi sambi l melakukan pukulan Hek-tok ciang ke arah dada Tiang Bu.
Pemuda ini tidak perdulikan itu, tangan kirinya menyampok dan tubuh Kong Ji terhuyung huyung oleh tenaga tangkisan luar biasa kuatnya itu. Cui Kong ketakutan dan.... melarikan diri sambil memondong tubuh Bi Li dan berkaok-kaok.
“Tiang Bu, kalau kau mengejarku, kubikin mampus gadis ini!"
Tiang Bu ragu-ragu karena betapapun juga amat cinta kepada Bi Li dan merasa tidak tega kalau sampai kekasih hatinya itu tewas. "Tiang Bu, jangan perduli. Aku rela mati asalkan bisa membasmi ayah dan anak iblis ini!" Bi Li berseru, mencoba untuk meronta akan tetapi tenaganya habis sama sekali.
Tiang Bu molompat lagi mengejar. Akan tetapi Kong Ji menyerangnya dengan pedang terhunus, melakukan tusukan yang amat berbahaya sehingga Tiang Bu terpaksa mengelak. "Anak durhaka, benar-benar kau tidak mau berbaik dengan ayah sendiri?” teriak Liok Kong Ji.
"Persetan dengan kau, manusia busuk!" Tiang Bu balas menyerang. Pemuda in i mendapat pikiran baik. Kalau ia berhasil merobohkan Liok Kong Ji lebih dulu, tentu Cui Kong tidak berdaya lagi. Ia melakukan serangan balasan dengan hebat dan di lain saat dua orang ini, ayah dan anak, bertanding mati-matian. Kembali Tiang Bu menghadapi lawan berat . Tingkat kepandaian Liok Kong Ji pada waktu itu malah lebih tinggi dari tingkat Cun Gi Tosu dan pedangnya amat lihai, pukulan Tin-san-kang dan Hek- tok-ciang ia lakukan berganti-ganti, menyambar-nyambar merupakan tangan-tangan maut yang menjangkau nyawa lawan.
Melihat ayah angkatnya bertempur melawan Tiang Bu sehingga musuh ini tidak mengejarnya lagi, Cui Kong menjadi lega dan melarikan diri terus! Kong Ji gemas sekali melihat ini. “Cui Kong, anak tak tahu budi! Apa kau tidak mau membantuku?" teriak Kong Ji marah.
Tiang Bu tertawa mengejek. "Manusia macam kau memang pantas mempunyai anak seperti dia, berwatak rendah dan tak kenal budi.” Pemuda ini menyerang terus dengan sengitnya, akan tetapi Liok Kong Ji mengelak dan membalas dengan sama dahsyatnya.
Kalau saja Tiang Bu belum memahami ilmu thian-to dan belum menguasai semua dasar Ilmu silat yang diturunkan oleh kedua orang gurunya di Omei-san, tentu ia takkan kuat menghadapi Liok Kong Ji yang kepandaiannya sudah amat tinggi itu. Baiknya Tiang Bu mengenal inti sari semua limu silat yang dimainkan oleh Liok Kong Ji dengan pedangnya, baik Ilmu Pedang Soan-hong-kiam- hoat yang berdasarkan tenaga Im-kang maupun Ilmu Pedang Soan-tian kiam hoat yang berdasarkan tenaga Yang-kang.
Bahkan inti sari Ilmu Delapan Jalan Utama itupun merupakan "pakaian" saja dan Ilmu Thian-te Si-kong, maka pengaruhnya terhadap Tiang Bu tidak begitu hebat. Satu demi satu ilmu silat yang dimainkan oleh Liok Kong Ji dapat dipecahkan dengan baik oleh Tiang Bu. Sebaliknya, dengan tangan kosong pemuda itn juga tidak begitu mudah mengalahkan Liok Kong Ji, sungguhpun tiap serangan pemuda ini me mbuat pertahanan Kong Ji kocar-kacir.
Debu beterbangan, daun-daun pohon bergoyang- goyang. Bahkan pada jurus ke tiga puluh, Kong Ji menusukkan pedangnya dengan gerak tipu Soan-hong-koan jit (Angin Puyuh Menutup Matahari) sebuah gerakan yang lihai dari Ilmu Pedang Soan-hong-kiam-hoat. Pedangnya membuat gerakan melingkar-lingkar, mula-mula lingkaran-lingkaran kecil, makin lama makin besar sehingga tertutuplah tubuh Kong Ji dan sebentar ke mudian lenyap seakan-akan tubuhnya sudah bergabung menjadi satu dengan pedang. Gulungan sinar pedang yang melingkar-lingkar ini menyambar dengan pesat dan kuatnya ke arah leher Tiang Bu. Dan dari dalam gulungan sinar pedang itu, Liok Kong Ji masih mengirim pukulan pukulan Tin-san-kang yan g dilakukan bertubi-tubi dengan tangan kanannya!
Serangan macam ini benar-benar hebat bukan main. Tiang Bu tidak diberi kesempatan untuk mengelak sama sekali karena lingkaran pedang itu sudah menutup semua jalan keluar. Namun Tiang Bu yang sudah mengenal dasar penyerangan ini tidak menjadi gentar. Tubuhnya dikecilkan dan ia setengah berjongkot untuk menghindarkan tusukan pedang, kedua tangannya ia dorongkan dari bawah ke atas dengan gerak tipu Se ng thian -pai-in (Naik ke Langit Mendorong Awan). Dari kedua tangannya yang mendorong itu keluar tenaga dahsyat yang hawanya saja sudah membentur pukulan-pukulan Tin-san-kang yang dilakukan oleh Liok Kong Ji.
“Brakk...!” Sekarang pohon besar yang tumbang di belakang Tiang Bu roboh seperti terdorong tenaga dahsyat. Inilah ke hebatan tenaga Tin-san-kang yang dilakukan oleh Liok-Kong Ji. Tenaga pukulan ini karena tidak mengenai Tiang Bu bah kan terpental oleh dorongan Seng-thian-pai-in tadi, terus menyambar ke belakang Tiang Bu dan merobohkan sebatang pohon yang besarnya melebihi tubuh Tiang Bu! Dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaian Liok Kong Ji. Kalau seorang tokoh persilatan biasa saja tak mungkin dapat menghadapi pukulan ini tanpa menderita malapetaka hebat.
Tiang Bu sendiri mau tidak mau menjadi kagum. Kepandaian Liok Kong Ji benar-benar hebat dan ia harus berlaku waspada. Lawan ini malah lebih berat dari pada Cun Gi Tosu, malahan ia meragukan apakah Wan Sin Hong dapat menandingi orang ini. Pemuda ini melihat lawannya melakukan pukulan dahsyat, tidak tinggal diam saja. Setelah menyelamatkan diri dari serangan lawan tadi, cepat ia membalas dengan pukulan jarak jauh yang tidak kalah hebatnya. Empat kali berturut-turut kedua tangannya melakukan gerakan memukul ke depan.
Kong Ji merasa datangnya hawa pukulan dahsyat ini, sambil berseru kaget ia meloncat sampai dua tombak ke kiri sambil mengerahkan tenaga mengibaskan tangan. Namun tetap saja hawa pukulan Tiang Bu membuat ia terhuyung-huyung seperti pohon besar diterjang angin, setelah terhuyung jauh baru ia terbebas dari pukulan dahsyat itu. Hawa pukulan terus meluncur ke depan dan terdengar suara keras ketika sebuah batu karang yang kokoh kuat roboh terguling seperti didorong oleh seekor gajah mengamuk!
"Lihai sekali..." Kong Ji memuji. Hatinya sudah mulai gentar karena dari pukulan ini tadi saja ia sudah maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan kalah juga melawan anaknya sendiri yang memusuhinya ini. Hatinya merasa sedih dan bingung. Kalau ia sampai tewas di tangan musuh-musuhnya, hal itu bukan merupakan suatu yang patut disedihkan. Mati hidup buat seorang seperti Kong Ji ini bukan apa-apa, akan tetapi yang membuat ia bingung dan sedih adalah kalau ia harus mati di tangan puteranya sendiri!
"Cui Kong manusia tak kenal budi...!" Ia memaki dan bersungut-sungut sambil cepat mengelak ketika Tiang Bu menyerang lagi. Kong Ji terpaksa melayani dan hatinya penasaran dan marah sekali mengapa Cui Kong tidak membantunya. Kalau Cui Kong membant u, kiranya ia takkan begini terdesak.
“Cui Kong, di mana kau...?" Kong Ji berteriak sambil melompat ke kanan menghindari pukulan maut Tiang Bu, kemudian ia... melarikan diri.
“Manusia lblis , kau hendak lari ke mana?” Tiang Bu mengejar cepat. Dalam hal ginkang, ia tidak usah menyerah kalah terhadap Liok Kong Ji, maka dalam beberapa puluh langkah saja ia sudah dapat menyusul.
Tiba-tiba Liok Kong Ji membalik, tangan ki rinya tarayun, disusul oleh serangan pedang di tangan kanan, dilanjutkan dengan pukulan Hek tok-ciang dari tangan kanan. Ayunan tangan kiri tadi menimbulkan sinar kahitaman yang menyambar ke arah jalan darah penting di tubuh Tiang Bu. itulah Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam), senjata rahasia jarum yang sudah direndam racun hitam yang amat jahat.
Serangan ini datangnya tiba-tiba dan tidak terduga-duga karena selagi berlari. mendadak membalik dan menyerang. Orang lain tentu akan sukar menyelamatkan diri dari serangan-serangan berantai dari Kong Ji yang betul-betul lihai dan berbahaya sekali ini. Akan tetapi Tiang Bu memang sudah siap siaga, sudah dapat menduga lebih dulu bahwa lawannya yang terkenal licik dan jahat itu pasti akan melakukan serangan gelap.
Dengan tenang dan tepat pemuda ini mangepretkan jari-jari tangan yang dilonjorkan dari samping ke arah jarum-jarum racun hitam itu dan semua jarum runtuh di atas tanah. Selanjutnya tangan kirinya diulur untuk men cengkeram pedang lawan dan tangan kanannya didorongkan ke depan untuk menyambut pukulan Hek-tok-ciang!
Liok Kong Ji kaget bukan main, juga heran dan kagum sekali. Meruntuhkan jarum-jarum Hek-tok-ciam dengan kepretan jari-jari tangan terbuka merupakan perbuatan yang amat berbahaya, karena sedikit saja kulit tergores jarum dan terluka, berart i ancaman maut. Namun pemuda itu dapat meruntuhkan semua jarum tanpa terluka sediki tpun. Kemudian cengkeraman dengan gerak tipu Leng-mauw-po-ci (Kucing Manerkam Tikus) inipun amat luar biasa dan berbahaya. Tanpa memiliki lweekang yang tinggi tak mungkin orang berani mencengkeram pedang lawan yang merupakan pedang pusaka, bukan pedang biasa. Cengkeraman itu adalah semacam Ilmu Silat Sin-na-hwat yang aneh dan jari-jari tangan Tiang Bu yang dibentuk seperti cakar harimau itu menjadi kaku dan kuat melebihi baja.
Tentu saja Kong Ji tidak membiarkan pedangnya dicengkeram dan dirampas. Cepat ia menarik kembali pedangnya dan seluruh perhatiannya ia tujukan ke arah pukulan tangan kirinya yang merupakan serangan Hek-tok-ciang kuat sekali. Ia hendak sekali lagi mengadu tenaga dengan harapan kali ini ia akan menang karena Tiang Bu baru saja memecah perhatiannya untuk menghirdarkan serangan jarum dan pedang.
Dan tenaga raksaaa bertemu di udara ketika dua telapak tangan itu hampir saling bertumbukan. Akibatnya, Tiang Bu mundur dua langkah akan tetapi Kong Ji terpental ke belakang dan hanya dengan berjungkir balik dia dapat menghindarkan diri terjengkang! Sekali lagi ia harus mengakui keunggulan pemuda itu yang telah memiliki sinkang luar biasa. Makin kecil hati Kong Ji. Begitu kakinya menginjak tanah, ia lari lagi secepatnya me nuju ke gua-gua di pantai laut untuk bersembunyi. Tiang Bu tentu saja tidak mau melepaskannya dan mengejar terus.
Tiba-tiba muncul Liok Cui Kong dari balik batu-batu karang. Pemuda ini sudah membawa senjatanya yang istimewa, huncwe maut. Datang-datang pemuda itu dimaki ayah angkatnya, “Setan, kau ke mana saja. Hayo bantu aku merobohkan si durhaka ini!"
Cui Kong tersenyum. "Ayah, nona manis yang sudah lama kurindukan terjatuh ke dalam tanganku, bagaimana aku bisa menyia-nyiakan waktu dan kesempatan baik?"
Cui Kong sengaja mengeluarkan ucapan-ucapan yang menusuk perasaan Tiang Bu. Ini ia lakukan untuk menjalankan siasatnya. Ia tahu bahwa Tiang Bu cinta kepada gadis itu, biarpun Tiang Bu memperlihatkan sikap kurang perhatian karena gadis itu mendesak agar supaya Tiang Bu membunuh Kong Ji dan Cui Kong. Akan tetapi kalau mendengar kata-kata tadi, masa Tiang Bu tidak menjadi panas hati dan ingin melihat keadaan kekasihnya?
Memang tepat dugaan Cui Kong. Mende ngar ucapan ini, Tiang Bu naik darah. Secepat kilat ia menerjang Cui Kong yang memapakinya dengan pukulan huncwe. Akan tetapi sekali menggerakkan tangan, Cui Kong berikut huncwenya terlepas sampai tiga tombak lebih!
"Kau apakan dia...? Di mana dia...?” tanya Tiang Bu dengan muka berubah dan nafas terengah-engah saking marah dan gelisahnya.
Cui Kong yang tidak terluka sudah bergabung dengan ayah angkatnya. Ia berdiri di dekat Liok Kong Ji, mempersiapkan huncwe dan menjawab. "Kau perduli apa? Dia sudah menghadapi kematian mengerikan dan takkan kuberitahukan keadaannya kalau kau tidak manyerahkan diri dan taluk kepada ayah."
Tiang Bu makin marah. “Jahanam, kalau kau mengganggu dia, jangan kau bersambat kepada neraka!" Tubuhnya berkelebat dan ia menerjang lagi ke arah Cui Kong, dengan maksud menangkap pemuda keji itu dan memaksanya mengaku di mana Bi Li disembunyikan dan bagaimana keadaannya.
Akan tetapi sekarang terjangannya dihadapi dua orang. Kong Ji menusukkan pedang dan Cui Kong menotok dengan huncwenya dibarengi semburan uap hitam dari mulutnya, uap yang telah merobohkan tokoh-tokoh Kim-bun-to. Terpaksa Tiang Bu membuang diri ke kanan untuk mengelak dari serangan-serangan yang tak boleh dipandang ringan ini, lalu melanjutkan serangannya dari samping.
Pertempuran he bat terjadi, kali ini lebih ramai dan seru karena dengan adanya Liok Cui Kong di sumpingnya, kedudukan Kong Ji tentu lebih kuat lagi. Bukan saja kini ia menghadapi dua orang lawan tangguh, juga hati Tiang Bu sudah terguncang dan gelisah karena ucapan Cui Kong tadi. Mungkin juga ucapan tadi hanya siasat belaka, akan tetapi manusia macam Cui Kong itu, mana bisa dipercaya? Semua perbuatan keji mungkin dilakukannya dan hati Tiang Bu gelisah bukan main.
Kong Ji dan Cui Kong memang orang-orang cerdik dan licik, mereka ini sudah tahu akan kegelisahan hati Tiang Bu. Maka dengan sengaja Liok Kong Ji dalam pertempuran itu bertanya kepada anak angkatnya. "Cui Kong, kau benar benar mata keranjang! Masa adik iparmu sendiri kausukai? Benar benarkah kau cinta kepada seorang gadis buntung lengannya?”
Cui Kong tertawa puas. "Ha-ha-ha, ayah tidak tahu! Biarpun buntung lengannya, nona Bi Li adalah dara tercantik yang pernah kujumpai."
Tentu saja Tiang Bu menjadi makin gelisah. Nafsunya bertempur berkurang banyak dan hatinya ingin sekali melihat keadaan kekasihnya. "Jahanam, di mana dia...?" bentaknya berkali-kali sambil mendesak Liok Cui Kong dengan pukulan-pukulan berat. Hanya karena Liok Kong Ji membantunya menangkis dari samping maka Cui Kong tidak roboh oleh desakan ini. Akhirnya Cui Kong maklum bahwa kalau tidak segera mengubah siasat, tentu ia akan celaka.
“Dia di dalam gua ke tiga, mau tahu keadaanya? Lihatlah sendiri!” Ia lalu melompat ke belakang dan tertawa bergelak-gelak.
Tiang Bu ragu-ragu. Tentu ini siasatnya untuk memancing aku memasuki gua sedangkan dia dan Kong Ji akan melarikan diri, pikirnya. Akan tetapi tiba-tiba telinganya yan g berpendengaran tajam sekali itu mendengar suara rintihan dari dalam gua itu, rintihan dari orang ketakutan yang disembunyikan.
Mendengar ini, Tiang Bu melompat ke arah gua ke tiga yang berjajar di dekat pantai, dari mana tadi Cui Kong muncul. Ia tidak perdulikan lagi keadaan ayah dan anak itu yang tentu saja mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri...!
“Ha-ha, remuk tulang-tulangmu!” bentak Cun Gi Tosu sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Tak dapat tidak, pikirnya, tangan pemuda goblok ini pasti remuk. Jangankan baru telapak tangan orang lagi masih muda, senjata baja yang bukan pusaka ampuh tentu akan patah-patah atau hancur!
Sama sekali Cun Gi Tosu tak pernah mimpi bahwa ia tidak menghadapi seorang manusia dengan kepandaian silat biasa, melainkan menghadapi seorang ahli waris langsung dari Omei-san, murid Tiong Sin Hwesio pewaris Tat Mo Couwsu dan Tiong Sin Hwesio pewaris Hoat Hian Couwsu! Bukan hanya mewarisi kepandaian kedua orang tokoh Omei-san yang tidak ada tandingannya itu, malah sudah pula mewarisi sinkang dari kedua orang sakti itu. Apa lagi setelah mempelajari kitab Seng-thian-to, tenaga dalam dari pemuda ini sudah jangan dikata lagi kehebatannya, mendekati tenaga sakti yang dimiliki oleh para couwsu (guru besar) dari sekalian partai persilatan besar.
"Plak!" Ujung Tongkat Pengacau Langit bertemu di udara dengan telapak tangan Tiang Bu dan... Cun Gi Tosu meloncat-loncat ke belakang dengan sebelah kakinya. Hampir saja ia terjengkang roboh kalau ia tidak cepat-cepat melambung tinggi dan berpoksai (berjungkir-balik) sampai tiga kali, baru ia mampu berdiri tegak dan dapat pula menggunakan tongkatnya untuk menyandarkan diri. Matanya terbuka lebar lebar dan mulutnya melongo. Serasa mimpi kejadian tadi, hampir tak dapat ia percaya. Apakah tiba-tiba tenaganya sudah musnah? Tak mungkin! Ia mengayun tongkatnya ke arah batang pohon besar di sebelah kirinya.
“Brakk...!” Batang pohon itu patah dan pohonnya tumbang mengeluarkan suara berisik. Baru ia mau percaya bahwa pemuda di depannya ini memang sakti bukan main dan mulai ia percaya bahwa muridnya, Cui Kong dan Liok Kong Ji tidak berlebih-lebihan ketika memuji kepandaian Tiang Bu.
Akan tetapi dia adalah Lo-thian-tung Cun Gi Tosu yang terkenal berilmu tinggi. Masa ia harus takut menghadapi lawan begini muda? Mungkin bocah ini sudah mewarisi tenaga besar, akan tetapi dalam hal ilmu silat. tentu belum masak, belum lama terlatih dan belum banyak pengalaman. Oleh karena pikiran ini, hati Cun Gi Tosu tetap besar dan tabah. Ia memutar tongkatnya dan menyerang lagi sambil membentak,
"Bocah, tenagamu besar. Akan tetapi jangan kira Lo-thian tung takut!"
Memang benar semua dugaan Cun Gi Tosu tadi. Melihat usianya yang baru dua puluhan, tentu saja di banding dengan Cun Gi Tosu, Tiang Bu sama sekali tak dapat direndengkan dalam hal kematangan latihan den pengalaman bertempur. Sebelum Tiang Bu terlahir di dunia. Cun Gi Tosu sudah menjadi seorang tokoh besar. Akan tetapi, harus diketahui bahwa Tiang Bu telah mewarisi ilmu silat yang diciptakan sendiri oleh Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Couwsu.
Mengingat bahwa ilmu ilmu silat yang ada sebagian besar bersumber pada dua orang guru besar ini, dapat dibayangkan bahwa ilmu silat yang dipelajari oleh Tiang Bu memang lebih sempurna dan lebih tinggi tingkatnya dari pada ilmu silat yang dimiliki oleh Cun Gi Tosu. Memang dia kalah matang dan kalah pengalaman, andaikata pengalaman dan kematangan ilmu silatnya sebanding dengan tosu itu kiranya dalam sepuluh jurus saja tosu buntung itu akan roboh.
Terjadilah pertempuran yang benar benar hebat. Kali ini Tiang Bu menghadapi lawan yang benar-benar tangguh sesudah ia dahulu menghadapi Wan Sin Hong. Seperti juga dahulu ketika menghadapi Wan Sin Hong, Tiang Bu terdesak oleh ilmu tongkat yang dimainkan oleh Cun Gi Tosu secara dahsyat sekali. Kemahiran dan kematangan Cun Gi Tosu dalam bermain silat tongkat benar-benar sudah mencapai batas tinggi sekali dan dalam jurus jurus pertama Tiang Bu benar terdesak terus. Akan tetapi lambat laun pemuda ini dapat memahami inti sari ilmu tongkat lawannya itu dan mengimbanginya.
Sudah dua kali ia membiarkan pundak dan pahanya dipukul, hanya dilawan dengan hawa sinkang di tubuhnya sehingga pukulan-pukulan itu hanya terasa sakit sedikit saja. Kemudian setelah tiga puluh jurus lamanya ia memahami inti sari gerakan lawan, baru Tiang Bu membalas serangan lawan dengan desakan-desakan ilmu pukulannya yang lihai. Baru Cun Gi Tosu terkejut bukan kepalang. Tadinya, melithat pemuda itu terdesak, bahkan dua kali kena pukulannya ia sudah mulai girang den mangira bahwa ia tentu akan dapat merobohkan lawan ini. Tidak tahunya, yang tiga puluh jurus lamanya itu memang sengaja dipergunakan oleh Tiang Bu untuk memahami gerakan lawan dan mengalah, mempertahankan diri terus menerus dengan llmu Kelit Sam-hoan-sam-bu.
Kini setiap pukulan tongkat Cun Gi Tosu, ditangkis atau dikelit dengan balasan serangan pukulan keras. Kasihan sekali kakek buntung itu yang harus berloncatan ke sana ke mari menghindarkan pukulan Tiang Bu yang didahului oleh sambaran angin pukulan yang kadang-kadang panas kadang-kadang dingin itu. Cun Gi Tosu makin ketakutan karena maklum bahwa lweekang pemuda ini sudah sedemikian tingginya sehingga dalam satu serangan dapat mempergunakan Im-kang dan Yang-kang secara bergantian atau dicampur campur. Tingkat setinggi ini biar dia sendiripun masih belum dapat mencapainya!
Berkali-kali tongkat bertemu dengan telapak tangan Tiang Bu. Makin lama, setiap kali tongkat dan tangan bertemu, Cun Gi Tosu terhuyung makin jauh ke belakang dan pada jurus ke lima puluh. ketika tongkat Cun Gi Tosu menghantam kepala, Tiang Bu menangkis lagi, Cun Gi Tosu berteriak kaget karena kali ini ia seperti tak bertenaga lagi dan tahu-tahu ia merasa dadanya sakit sekali. Kembali ia menghantam, ditangkis lagi dan ia menjerit, dadanya seperti dipukul orang.
“Totiang, kejahatanmu sudah memuncak. Kau menghantam diri sendiri sampai mati,” kata Tiang Bu yang mendesak terus. Memang sesungguhnya, hawa pukulan dari Tiang Bu adalah hawa bersih yang keluar dari sinkang di dalam tubuhnya. Pukulan-pukulan Cun Gi Tosu yang dilakukan dengan pengerahan tenaga lwee lkang itu makin lama makin lemah, selalu dipukul mundur dan akhirnya tenaganya itu melukai tubuh sendiri di bagian dalam.
Makin hebat ia memukul, kalau ditangkis maka tenaganya itu makin hebat menghantam tubuh sendiri tanpa ia sadari. Kembali tongkatnya melayang, kini malah menyodok ulu hati Tiang Bu. Pemuda ini mengerahkan tenaga dan menerima totokan itu dengan telapak tangnnya secara tiba-tiba dan digentakkan.
“Dukk!!” Cun Gi Tosu terpental ke belakang, muntah-muntah darah dan roboh terlentang tak bernapas lagi. Jantungnya terkena goncangan hebat oleh tenaga sendiri yang membalik dan tewas karena jantungnya rusak.
“Tiang Bu... tolonglah aku...” tiba-tiba Tiang Bu merasa seakan-akan tubuhnya kaku mendengar suara ini.
Ia menengok dan... apa yang dilihatnya? Bi Li berada dalam pondongan Cui Kong dalam keadaan lemas tertotok. Secepat kilat Tiang Bu melompat bayangannya seperti lenyap merupakan sambaran hebat ke arah Cui Kong. Akan tetapi Liok Kong Ji sudah menghadang di depannya dan berkata keras,
"Tiang Bu, kekerasan hanya berarti tewasnya kekasihmu ini...”
Kata-kata ini me mmbuat Tiang Bu surut kembali dengan wajah pucat. "Jangan... jangan ganggu dia... jangan kalian berani mengganggu calon isteriku! Lepaskan!"
Liok Kong Ji tersenyum dan memandang ke arah Bi Li dengan muka berseri “Aha, calon isterimuya? Bagus, dia calon mantuku kalau begitu. Bagaimana aku mau mengganggu calon mantu sendiri? Tidak, tidak, anakku gagah perkasa. Aku bukan orang kejam, Kau pun tentu bukan seorang anak yang kejam mau membunuh ayah sendiri bukan?"
********************
Kita tinggalkan dulu Liok Kong Ji yang cerdik dan penuh tipu muslihat itu mencoba menggunakan lidahnya yang runcing untuk mempengaruhi Tiang Bu. Bagaimanakah Bi Li dapat terjatuh ke dalam tangan Cui Kong dan Kong Ji? Mari kita mundur sedikit.
Seperti telah kita ketahui, Bi Li ditinggalkan di pantai daratan oleh Tiang Bu yang tidak menghendaki kekasihnya itu terancam bahaya di pulau musuh musuhnya. Kemudian datang Ang-jiu Mo li yang mengajak muridnya itu menyusul ke Pulau Pek-houw-to untuk membalas dendam kepada Liok Kong Ji yang sudah membuntungi lengan Bi Li.
Tanpa mendapat kesukaran Ang-jiu Mo-li dan Bi Li mendarat di pulau itu dan cepat berlari-lari dari pantai timur yang benar seperti dugaan Ang jiu Mo-li tidak terjaga kuat karena penghuninya menyangka bahwa musuh tentu akan datang dari barat. Di sana-sini Ang-jiu Mo-li dan Bi Li melihat penjaga-penjaga menggeletak tertotok atau terluka. Tahulah mereka bahwa Tiang Bu sudah mulai turun tangan.
Bi Li mendesak gurunya supaya mempercepat perjalanan karena gadis ini mulai mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya, biarpun ia percaya penuh akan kesakitan Tiang Bu. Ang jiu Mo-li maklum akan isi hati muridnya dan iapun mengerti bahwa menghadapi lawan-lawan seperti Liok Kong Ji dan kaki tangannya memang bukan hal yang boleh dipandang ringan. Mereka berlari lebih cepat lagi.
Tiba-tiba mereka malihat dua orang laki-laki tengah be rlari cepat dari depan dan setelah dekat ternyata bahwa dua orang itu bukan lain adalah Liok Kong Ji sendiri bersama Liok Cui Kong! Tentu saja Ang-tiu Mo-li menjadi girang sekali dapat bertemu muka dengan musuh-musuh besar yang ia cari-cari. Kegirangannya bercampur aduk dengan kemarahan besar ketika ia melihat Cui Kong membawa lengan kering yang dilingkari ular sebagai senjata!
Sekali pandang saja maklumlah ia bahwa pemuda keji itu telah mempergunakan lengan Bi Li sebagai sebuah senjata yang mengerikan. Juga Bi Li tahu akan hal ini maka kemarahannya memuncak. Dengan pedang di tangan gadis ini langsung menyerang Cui Kong, sedangkan Ang-jiu Mo li membentak.
"Liok Kong Ji manusia iblis, sekarang tiba saatmu untuk kembali ke neraka jahanam!“ Wanita sakti ini lalu maju menyerang dengan tangannya yang menjadi merah seperti api.
Melihat munculnya wanita tokoh besar utara ini, biarpun dia tidak gentar, namun membuat Kong Ji diam-diam mengeluh. Tiang Bu sudah merupakan lawan tangguh, dan di sana masih ada ancaman Wan Sin Hong dengan kawan-kawannya yang sedang mendatangi. Sekarang tahu-tahu ditambah lagi dengan seorang Ang-jiu Mo-li yang ia cukup kenal kelihatannya. Aneh, dasar ia sedang sial, pikirnya.
Tanpa ban yak cakap lagi Liok Kong Ji mempergunakan pedangnya menghadapi Ang-jiu Mo-li. Pedangnya diputar cepat sekali dan Ang jiu Mo-li terkejut melihat sinar pedang berkilauan dan gerakannya selain cepat dan aneh, juga mendatangkan hawa dingin menandakan bahwa tenaga lweekang dari mus uh besarnya ini telah mendapatkan kemajuan luar biasa. Ia berlaku hati-hati dan cepat mengelak mundur, kemudian sekali berseru nyaring Ang-jiu Mo-li lalu meloloskan selendang suteranya untuk menghadapi pedang lawan yang tak boleh dipandang ringan itu.
Memang Liok Kong Ji sekarang jauh bedanya dibandingkan dengan Liok Kong Ji beberapa tahun yang lalu. Dia sudah memahami isi kitab Omei-s an, tidak saja ia mewarisi ilmu pedang luar biasa dari Omei san yaitu Ilmu Pedang Soat-lian-kiam-coansi (Ilmu Pedang Teratai Salju), akan tetapi juga ia telah mempelajari kitab Pat-sian-jut bun yang ia rampas dari Lie Ceng Ceng.
Kemudian ia juga mempelajari kitab ke tiga dari Omei-san, yaitu Soan-bong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin Payuh). Ini semua masih belum hebat , yang paling hebat dan yang membuat ia mendapat kemajuan pesat sekali adalah ketika ia mempelajari kitab Omei-san yang paling sulit dipelajari namun merupakan ilmu paling tinggi, yaitu kitab Delapan Jalan Utama yang ia dapat dari Toat-beng Kui-bo.
Setelah bertempur dua-tiga puluh jurus saja Ang-jiu Mo-li sudah merasa bahwa Liok Kong sekarang benar-benar hebat kepandaiannya dan ia hanya dapat mangimbanginya dengan amat sukar dan harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Merasa penasaran karena dahulu ketika Liok Kong Ji masih tinggal di utara, pernah Ang-jin Mo-li mengacau pasukan Mongol dan pernah pula ia bertanding dengan Liok Kong Ji yang ia desak dan permainkan, sekarang desakan Liok Kong Ji membuat Ang-jiu Mo-li makin marah. Dulu kalau tidak ada bantuan dari panglima-panglima Mongol, tentu Liok Kong Ji sudah roboh olehnya. Masa sekarang satu lawan satu ia kalah?
Tiba-tiba Ang-jiu Mo-li mengeluarkan pekik nyaring. tangan merahnya melayang ke depan dengan hawa pukulan sepenuhnya manyambar ke arah dada Liok Kong Ji, sedangkan selendang suteranya bagaikan ular merah menyambar kepala Kong Ji. Inilah sejurus dari ilmu Silat Kwan-Im-cam-mo (Dewi Kwan lm Menaklukkan Iblis) yang ia pelajari dari kitab Omei-san yang terjatuh ke dalam tangannya. Hebatnya serangan ini sudah jangan ditanya lagi. Ang-jiu Mo-li yang sudah marah itu benar-benar menurunkan tangan maut dan agaknya Liok Kong Ji takkan dapat menghindarkan diri lagi.
Akan tetapi, kalau kepandaian Ang-jiu Mo-li hanya bertambah oleh ilmu dari sebuah saja kitab Omei-san, adalah Kong Ji menambah kepandaiannya dari empat buah kitab Omei-san, dan kitab-kitab yang ia pelajari tingkatnya lebih tinggi pula. Kalau kepandaian Ang jin Mo-li hanya meningkat dua bagian, kiranya kepandaian Liok Kong Ji sudah meningkat delapan bagian!
Menghadapi serangan maut itu, Liok Kong Ji juga mengeluarkan seruan keras, pedangnya berkelebat-kelebat seperti naga mengamuk, tangan kirinya didorongkan ke depan. Pedang bertemu selendang, selendang melibat. Pakulan Ang-sin-ciang bertemu pukulan Tin -san kang membeleduk di udara membuat Ang-jiu Mo-li, tergetar seluruh anggauta tubuhnya. Selendang masih melibat, lemas lawan lemas karena kalau Kong Ji mempergunakan tenaga kasar pedargnya bisa patah. Tiba-tiba Ang-jiu Mo-li membetot selendangnya yang menjadi kaku dan keras. Akan tetapi pedang itu juga menjadi keras dan..."krak!" selendang itu putus.
Liok Kong Ji tertawa bergelak. Wajah Ang jiu Mo-li menjadi semerah tangannya. Wanita sakti itu menyerang lagi mati-matian untuk menebus kekalahannya dalam adu tenaga lwee-kang tadi. Biarpun selendangnya sudah putus sebagian, namun senjata istimewa ini masih berbahaya sekali. Sementara itu, Bi Li yang manyerang Cui Kong dengan mati-matian, harus meagakui keunggulan pemuda ini. Sambil tertawa-tawa Cui Kong melayaninya, kadang-kadang menyindir dan mengejek.
"Hai-hai... nona manis, jangan keras. keras membacok lenganmu sendiri!” katanya sambil mengangkat lengan kering itu untuk menangkis pedang Bi Li yang menyambar-nyambar.
"Aduh, kau makin cantik jetita saja, seperti patung Kwan Im yang buntung...! Biarpun sudah buntung aku masih mau...!”
Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahan hati Bi Li ia dilawan dengan sebuah lengannya sendiri yang sudah kering dan mengerikan, ditambah lagi oleh ejekan-ejekan yang kadang-kadang bersifat kotor dari lawannya. Dengan nekat sekali Bi Li menghujankan serangan, kalau perlu ia mati mengorbankan nyawanya asal dapat membunuh orang ini. Sepasang mata yang bening itu berkilat, bibir yang merah digigit dan pedangnya mengeluarkan suara mengaung, menimbulkan segulung sinar berkeredepan.
Biarpun tingkat kepandaian Cui Kong lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya. namun kiranya takkan mudah bagi pemuda itu untuk merobohkannya. Apa lagi karena melihat wajah Bi Li yang memang cantik sekali itu, hati Cui Kong tidak tega untuk membunuhnya dan timbul pikirannya hendak menawan Bi Li hi dup-hidup. Tidak saja pemuda ini sudah tergila-gila akan kecantikan Bi Li yang sudah buntung lengannya juga sebagai seorang cerdik seperti ayah angkatnya, ia maklum bahwa Bi Li dapat ia pergunakan sebagai perisai terhadap Tiang Bu yang mencinta gadis ini.
Menghadapi kenekatan Bi Li, Cui Kong menjadi kewalahan juga. Akhirnya ia terpaksa mengeluarkan huncwenya dan dengan senjata ini ia menyerang Bi Li yang menjadi kocar-kacir pertahanannya. Selagi gadis ini terdesak, tiba-tiba Cui Kong meniup huncwenya dan asap kekuningan menyambar ke arah muka gadis itu Bi Li mencoba untuk mengelak, akan tetapi ternyata asap itu bukan asap beracun, hanya dipergunakan untuk menggertak saja. Selagi gadis itu men curahkan perhatian kepada serangan asap, Cui Kong menggerakkan huncwenya dan... Bi Li roboh tertotok, tak berdaya lagi.
Cui Kong tertawa senang. “Cui Kong, bantulah...!" terdengar Kong Ji berseru melihat anak angkatnya sudah berhasil merobohkan lawannya.
Cui Kong melompat dan di lain saat Ang-jiu Mo-li sudah dikeroyok dua oleh ayah dan anak yang lihai ini. Tentu saja Ang-jiu Mo-li menjadi makin kewalahan. Tadi saja menghadapi Kong Ji ia sudah berada dalam keadaan terdesak. Apa lagi sekarang Cui Kong maju dan ke pandaian pemuda ini memang sudah hebat. Namun Ang-jiu Mo-li tidak menjadi gentar. Dengan mati-matian ia membela diri dan membalas serangan kadua orang lawannya dengan sengit.
Setelah menghadapi keroyokan sampai tiga puluh jurus, Ang-jiu Mo-li menjadi lelah sekali. Kedua lawannya bertenaga kuat dan seti ap kali menangkis ia harus mengerahkan seluruh lweekangnya. Lengan kering di tangan Cui Kong menyambar hebat, ular kecil yang -melingkar di lengan itu siap menggigit. Jari-jari tangan kering yang mengerikan itu seperti cakar seakan mengarah muka Ang-jiu Mo-li.
Serangan ini hebat datangnya karena merupakan susulan dari pada serangan-serangan Liok Kong Ji yang dapat digagalkan oleh Ang-jiu Mo-li. Menghadapi serangan dengan lengan kering muridnya ini timbul kemarahan hati Ang-jiu Mo-li. Dari mulutnya terdengar pekik keras sekali, tangannya yang sudah merah membara itu menghantam ke depan ke arah lengan dan ularnya.
"Brakk!” Tulang-tulang kering itu hancur berantakan berikut tubuh ular kecil yang menjadi remuk berikut tulang-tulangnya! Cui Kong sendiri terdorong mundur, akan tetapi di lain saat terdengar Ang-jiu Mo-li mengeluh tubuhnya tergelimpang dan roboh tak bernyawa lagi.
Ang-jiu Mo li ketika menghantam lengan kering tadi mengerahkan perhatian dan mengerahkan seluruh tenaganya, maka ia tidak dapat mengelak lagi ketika pedang di tangan Liok Kong Ji bergerak ke depan dan menembus dadanya! Tamatlah riwayat hidup Ang-jiu Mo-li, wanita sakti tokoh utara yang dulu ditakuti Liok Kong Ji akan tetapi sekarang tewas oleh pedang Liok Kong Ji pula!
“Lekas kita menyusul Cun Gi totiang. Kau bawa bocah itu, siapa tahu berguna nanti,” kata Kong Ji kepada Cui Kong.
Memang bapak dan anak angkat ini setali tiga uang, sama cerdiknya sama liciknya. Tanpa banyak komentar lagi Cui Kong memondong tubuh Bi Li yang sudah tertotok jalan darahnya sehingga tak dapat bergerak lagi seperti lumpuh, tubuhnya lemas sekali.
Demikianlah, ketika Kong Ji dan Cui Kong yang memondong Bi Li tiba di dekat pondok Cun Gi Tosu, mereka melihat tosu buntung itu sudah tewas oleh Tiang Bu. Dan melihat kekasihnya itu, Bi Li yang sudah tak berdaya mengeluarkan seruan minta tolong. Seperti sudah diceritakan di bagian depan, melihat Bi Li tak berdaya dalam pondongan Cui Kong, Tiang Bu melompat dan menerkam hendak merampas tubuh kekasihnya itu. Akan tetapi Kong Ji sudah menghadang di depannya dan mengancam.
"Kalau kau menggunakan kekerasan, berarti calon isterimu itu akan mati, Tiang Bu, sudah berkata-kali kau mendurhaka terhadap ayah sendiri. Kalau dulu kau tidak mendurhaka terhadap ayah sendiri, tentu calon isterimu ini tidak sampai cacad. Sekarang, lebih baik kau kembali ke jalan benar, lebih baik kau berpihak kepadaku, kepada ayahmu sendiri. Setelah kita dapat mengusir musuh-musuh, tentu aku akan mengawinkan kau dengan gadis ini."
Kata-kata Kong Ji dikeluarkan dengan suara halus, penuh bujuk rayu, Tiang Bu diam saja, tak bergerak, keningnya berkerut-kerut. Diamnya pemuda ini dianggap oleh Kong Ji sebagai keraguan dan ada harapan anaknya yang sejati itu suka tunduk kepadanya, maka dengan muka berseri ia menyambung.
“Tiang Bu, puteraku hanya kau seorang. Di dunia ini hanya ada dua orang yang betul-betul kusayang sepenuh jiwaku, pertama adalan mendiang ibumu dan ke dua kau sendiri! Insysflah, anak, tidak bijaksana kau seorang anak melawan ayah sendiri. Kau bisa dikutuk oleh Thian...!"
“Tiang Bu, jangan dengarkan dia. Serang dan bunuh saja!” Tiba-tiba Bi Li berseru marah. Gadis ini khawatir juga melihat Tiang Bu diam saja, ia mengira bahwa pemuda pujaannya itu akan terpengaruh oleh kata-kata Liok Kong Ji.
"Hush, diam kau. Nyawamu di tangan kami!" Cui Kong membentak Bi Li. Pemuda ini terkejut mendengar ucapan gadis tadi karena ia sudah takut-takut kalau Tiang Bu yang ia takuti itu mengamuk.
"Tiang Bu, jangan perdulikan aku. Aku dibunuh tidak apa, asal kau memakai jantung dua orang ini untuk menyembahyangi rohku, aku akan mati meram," kembali Bi Li berseru.
Sebetulnya, Tiang Bu berdiam saja bukan sekali-kali karena terpengaruh oleh kata-kata yang keluar dari mulut Liok Kong Ji. Ia tadi berdiam diri karena sedang bingung dan mencari jalan bagaimana ia dapat me nolong kekasihnya. Teriakan-teriakan Bi Li manyadarkannya. Dua orang ini terlalu jahat, harus dibasmi. Kalau ia melepaskan mereka, apa lagi membantu mereka hanya karena hendak menyelamatkan kekasihnya, itu bukan perbuatan seorang gagah.
Apa lagi Bi Li sendiri rela berkorban nyawa asal dua orang itu terbinasa. Kalau ia sampai tunduk terhadap manusia jahat seperti iblis itu, alangkah akan rendahnya, hiduppun Bi Li takkan sudi memandangnya lagi! Tiang Bu meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah Cui Kong, berusaha sekali lagi merampas Bi Li.
"Anak durhaka!” Kong Ji yang berpemandangan dan memiliki gerakan cepat sekali sudah menghadang lagi sambi l melakukan pukulan Hek-tok ciang ke arah dada Tiang Bu.
Pemuda ini tidak perdulikan itu, tangan kirinya menyampok dan tubuh Kong Ji terhuyung huyung oleh tenaga tangkisan luar biasa kuatnya itu. Cui Kong ketakutan dan.... melarikan diri sambil memondong tubuh Bi Li dan berkaok-kaok.
“Tiang Bu, kalau kau mengejarku, kubikin mampus gadis ini!"
Tiang Bu ragu-ragu karena betapapun juga amat cinta kepada Bi Li dan merasa tidak tega kalau sampai kekasih hatinya itu tewas. "Tiang Bu, jangan perduli. Aku rela mati asalkan bisa membasmi ayah dan anak iblis ini!" Bi Li berseru, mencoba untuk meronta akan tetapi tenaganya habis sama sekali.
Tiang Bu molompat lagi mengejar. Akan tetapi Kong Ji menyerangnya dengan pedang terhunus, melakukan tusukan yang amat berbahaya sehingga Tiang Bu terpaksa mengelak. "Anak durhaka, benar-benar kau tidak mau berbaik dengan ayah sendiri?” teriak Liok Kong Ji.
"Persetan dengan kau, manusia busuk!" Tiang Bu balas menyerang. Pemuda in i mendapat pikiran baik. Kalau ia berhasil merobohkan Liok Kong Ji lebih dulu, tentu Cui Kong tidak berdaya lagi. Ia melakukan serangan balasan dengan hebat dan di lain saat dua orang ini, ayah dan anak, bertanding mati-matian. Kembali Tiang Bu menghadapi lawan berat . Tingkat kepandaian Liok Kong Ji pada waktu itu malah lebih tinggi dari tingkat Cun Gi Tosu dan pedangnya amat lihai, pukulan Tin-san-kang dan Hek- tok-ciang ia lakukan berganti-ganti, menyambar-nyambar merupakan tangan-tangan maut yang menjangkau nyawa lawan.
Melihat ayah angkatnya bertempur melawan Tiang Bu sehingga musuh ini tidak mengejarnya lagi, Cui Kong menjadi lega dan melarikan diri terus! Kong Ji gemas sekali melihat ini. “Cui Kong, anak tak tahu budi! Apa kau tidak mau membantuku?" teriak Kong Ji marah.
Tiang Bu tertawa mengejek. "Manusia macam kau memang pantas mempunyai anak seperti dia, berwatak rendah dan tak kenal budi.” Pemuda ini menyerang terus dengan sengitnya, akan tetapi Liok Kong Ji mengelak dan membalas dengan sama dahsyatnya.
Kalau saja Tiang Bu belum memahami ilmu thian-to dan belum menguasai semua dasar Ilmu silat yang diturunkan oleh kedua orang gurunya di Omei-san, tentu ia takkan kuat menghadapi Liok Kong Ji yang kepandaiannya sudah amat tinggi itu. Baiknya Tiang Bu mengenal inti sari semua limu silat yang dimainkan oleh Liok Kong Ji dengan pedangnya, baik Ilmu Pedang Soan-hong-kiam- hoat yang berdasarkan tenaga Im-kang maupun Ilmu Pedang Soan-tian kiam hoat yang berdasarkan tenaga Yang-kang.
Bahkan inti sari Ilmu Delapan Jalan Utama itupun merupakan "pakaian" saja dan Ilmu Thian-te Si-kong, maka pengaruhnya terhadap Tiang Bu tidak begitu hebat. Satu demi satu ilmu silat yang dimainkan oleh Liok Kong Ji dapat dipecahkan dengan baik oleh Tiang Bu. Sebaliknya, dengan tangan kosong pemuda itn juga tidak begitu mudah mengalahkan Liok Kong Ji, sungguhpun tiap serangan pemuda ini me mbuat pertahanan Kong Ji kocar-kacir.
Debu beterbangan, daun-daun pohon bergoyang- goyang. Bahkan pada jurus ke tiga puluh, Kong Ji menusukkan pedangnya dengan gerak tipu Soan-hong-koan jit (Angin Puyuh Menutup Matahari) sebuah gerakan yang lihai dari Ilmu Pedang Soan-hong-kiam-hoat. Pedangnya membuat gerakan melingkar-lingkar, mula-mula lingkaran-lingkaran kecil, makin lama makin besar sehingga tertutuplah tubuh Kong Ji dan sebentar ke mudian lenyap seakan-akan tubuhnya sudah bergabung menjadi satu dengan pedang. Gulungan sinar pedang yang melingkar-lingkar ini menyambar dengan pesat dan kuatnya ke arah leher Tiang Bu. Dan dari dalam gulungan sinar pedang itu, Liok Kong Ji masih mengirim pukulan pukulan Tin-san-kang yan g dilakukan bertubi-tubi dengan tangan kanannya!
Serangan macam ini benar-benar hebat bukan main. Tiang Bu tidak diberi kesempatan untuk mengelak sama sekali karena lingkaran pedang itu sudah menutup semua jalan keluar. Namun Tiang Bu yang sudah mengenal dasar penyerangan ini tidak menjadi gentar. Tubuhnya dikecilkan dan ia setengah berjongkot untuk menghindarkan tusukan pedang, kedua tangannya ia dorongkan dari bawah ke atas dengan gerak tipu Se ng thian -pai-in (Naik ke Langit Mendorong Awan). Dari kedua tangannya yang mendorong itu keluar tenaga dahsyat yang hawanya saja sudah membentur pukulan-pukulan Tin-san-kang yang dilakukan oleh Liok Kong Ji.
“Brakk...!” Sekarang pohon besar yang tumbang di belakang Tiang Bu roboh seperti terdorong tenaga dahsyat. Inilah ke hebatan tenaga Tin-san-kang yang dilakukan oleh Liok-Kong Ji. Tenaga pukulan ini karena tidak mengenai Tiang Bu bah kan terpental oleh dorongan Seng-thian-pai-in tadi, terus menyambar ke belakang Tiang Bu dan merobohkan sebatang pohon yang besarnya melebihi tubuh Tiang Bu! Dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaian Liok Kong Ji. Kalau seorang tokoh persilatan biasa saja tak mungkin dapat menghadapi pukulan ini tanpa menderita malapetaka hebat.
Tiang Bu sendiri mau tidak mau menjadi kagum. Kepandaian Liok Kong Ji benar-benar hebat dan ia harus berlaku waspada. Lawan ini malah lebih berat dari pada Cun Gi Tosu, malahan ia meragukan apakah Wan Sin Hong dapat menandingi orang ini. Pemuda ini melihat lawannya melakukan pukulan dahsyat, tidak tinggal diam saja. Setelah menyelamatkan diri dari serangan lawan tadi, cepat ia membalas dengan pukulan jarak jauh yang tidak kalah hebatnya. Empat kali berturut-turut kedua tangannya melakukan gerakan memukul ke depan.
Kong Ji merasa datangnya hawa pukulan dahsyat ini, sambil berseru kaget ia meloncat sampai dua tombak ke kiri sambil mengerahkan tenaga mengibaskan tangan. Namun tetap saja hawa pukulan Tiang Bu membuat ia terhuyung-huyung seperti pohon besar diterjang angin, setelah terhuyung jauh baru ia terbebas dari pukulan dahsyat itu. Hawa pukulan terus meluncur ke depan dan terdengar suara keras ketika sebuah batu karang yang kokoh kuat roboh terguling seperti didorong oleh seekor gajah mengamuk!
"Lihai sekali..." Kong Ji memuji. Hatinya sudah mulai gentar karena dari pukulan ini tadi saja ia sudah maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan kalah juga melawan anaknya sendiri yang memusuhinya ini. Hatinya merasa sedih dan bingung. Kalau ia sampai tewas di tangan musuh-musuhnya, hal itu bukan merupakan suatu yang patut disedihkan. Mati hidup buat seorang seperti Kong Ji ini bukan apa-apa, akan tetapi yang membuat ia bingung dan sedih adalah kalau ia harus mati di tangan puteranya sendiri!
"Cui Kong manusia tak kenal budi...!" Ia memaki dan bersungut-sungut sambil cepat mengelak ketika Tiang Bu menyerang lagi. Kong Ji terpaksa melayani dan hatinya penasaran dan marah sekali mengapa Cui Kong tidak membantunya. Kalau Cui Kong membant u, kiranya ia takkan begini terdesak.
“Cui Kong, di mana kau...?" Kong Ji berteriak sambil melompat ke kanan menghindari pukulan maut Tiang Bu, kemudian ia... melarikan diri.
“Manusia lblis , kau hendak lari ke mana?” Tiang Bu mengejar cepat. Dalam hal ginkang, ia tidak usah menyerah kalah terhadap Liok Kong Ji, maka dalam beberapa puluh langkah saja ia sudah dapat menyusul.
Tiba-tiba Liok Kong Ji membalik, tangan ki rinya tarayun, disusul oleh serangan pedang di tangan kanan, dilanjutkan dengan pukulan Hek tok-ciang dari tangan kanan. Ayunan tangan kiri tadi menimbulkan sinar kahitaman yang menyambar ke arah jalan darah penting di tubuh Tiang Bu. itulah Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam), senjata rahasia jarum yang sudah direndam racun hitam yang amat jahat.
Serangan ini datangnya tiba-tiba dan tidak terduga-duga karena selagi berlari. mendadak membalik dan menyerang. Orang lain tentu akan sukar menyelamatkan diri dari serangan-serangan berantai dari Kong Ji yang betul-betul lihai dan berbahaya sekali ini. Akan tetapi Tiang Bu memang sudah siap siaga, sudah dapat menduga lebih dulu bahwa lawannya yang terkenal licik dan jahat itu pasti akan melakukan serangan gelap.
Dengan tenang dan tepat pemuda ini mangepretkan jari-jari tangan yang dilonjorkan dari samping ke arah jarum-jarum racun hitam itu dan semua jarum runtuh di atas tanah. Selanjutnya tangan kirinya diulur untuk men cengkeram pedang lawan dan tangan kanannya didorongkan ke depan untuk menyambut pukulan Hek-tok-ciang!
Liok Kong Ji kaget bukan main, juga heran dan kagum sekali. Meruntuhkan jarum-jarum Hek-tok-ciam dengan kepretan jari-jari tangan terbuka merupakan perbuatan yang amat berbahaya, karena sedikit saja kulit tergores jarum dan terluka, berart i ancaman maut. Namun pemuda itu dapat meruntuhkan semua jarum tanpa terluka sediki tpun. Kemudian cengkeraman dengan gerak tipu Leng-mauw-po-ci (Kucing Manerkam Tikus) inipun amat luar biasa dan berbahaya. Tanpa memiliki lweekang yang tinggi tak mungkin orang berani mencengkeram pedang lawan yang merupakan pedang pusaka, bukan pedang biasa. Cengkeraman itu adalah semacam Ilmu Silat Sin-na-hwat yang aneh dan jari-jari tangan Tiang Bu yang dibentuk seperti cakar harimau itu menjadi kaku dan kuat melebihi baja.
Tentu saja Kong Ji tidak membiarkan pedangnya dicengkeram dan dirampas. Cepat ia menarik kembali pedangnya dan seluruh perhatiannya ia tujukan ke arah pukulan tangan kirinya yang merupakan serangan Hek-tok-ciang kuat sekali. Ia hendak sekali lagi mengadu tenaga dengan harapan kali ini ia akan menang karena Tiang Bu baru saja memecah perhatiannya untuk menghirdarkan serangan jarum dan pedang.
Dan tenaga raksaaa bertemu di udara ketika dua telapak tangan itu hampir saling bertumbukan. Akibatnya, Tiang Bu mundur dua langkah akan tetapi Kong Ji terpental ke belakang dan hanya dengan berjungkir balik dia dapat menghindarkan diri terjengkang! Sekali lagi ia harus mengakui keunggulan pemuda itu yang telah memiliki sinkang luar biasa. Makin kecil hati Kong Ji. Begitu kakinya menginjak tanah, ia lari lagi secepatnya me nuju ke gua-gua di pantai laut untuk bersembunyi. Tiang Bu tentu saja tidak mau melepaskannya dan mengejar terus.
Tiba-tiba muncul Liok Cui Kong dari balik batu-batu karang. Pemuda ini sudah membawa senjatanya yang istimewa, huncwe maut. Datang-datang pemuda itu dimaki ayah angkatnya, “Setan, kau ke mana saja. Hayo bantu aku merobohkan si durhaka ini!"
Cui Kong tersenyum. "Ayah, nona manis yang sudah lama kurindukan terjatuh ke dalam tanganku, bagaimana aku bisa menyia-nyiakan waktu dan kesempatan baik?"
Cui Kong sengaja mengeluarkan ucapan-ucapan yang menusuk perasaan Tiang Bu. Ini ia lakukan untuk menjalankan siasatnya. Ia tahu bahwa Tiang Bu cinta kepada gadis itu, biarpun Tiang Bu memperlihatkan sikap kurang perhatian karena gadis itu mendesak agar supaya Tiang Bu membunuh Kong Ji dan Cui Kong. Akan tetapi kalau mendengar kata-kata tadi, masa Tiang Bu tidak menjadi panas hati dan ingin melihat keadaan kekasihnya?
Memang tepat dugaan Cui Kong. Mende ngar ucapan ini, Tiang Bu naik darah. Secepat kilat ia menerjang Cui Kong yang memapakinya dengan pukulan huncwe. Akan tetapi sekali menggerakkan tangan, Cui Kong berikut huncwenya terlepas sampai tiga tombak lebih!
"Kau apakan dia...? Di mana dia...?” tanya Tiang Bu dengan muka berubah dan nafas terengah-engah saking marah dan gelisahnya.
Cui Kong yang tidak terluka sudah bergabung dengan ayah angkatnya. Ia berdiri di dekat Liok Kong Ji, mempersiapkan huncwe dan menjawab. "Kau perduli apa? Dia sudah menghadapi kematian mengerikan dan takkan kuberitahukan keadaannya kalau kau tidak manyerahkan diri dan taluk kepada ayah."
Tiang Bu makin marah. “Jahanam, kalau kau mengganggu dia, jangan kau bersambat kepada neraka!" Tubuhnya berkelebat dan ia menerjang lagi ke arah Cui Kong, dengan maksud menangkap pemuda keji itu dan memaksanya mengaku di mana Bi Li disembunyikan dan bagaimana keadaannya.
Akan tetapi sekarang terjangannya dihadapi dua orang. Kong Ji menusukkan pedang dan Cui Kong menotok dengan huncwenya dibarengi semburan uap hitam dari mulutnya, uap yang telah merobohkan tokoh-tokoh Kim-bun-to. Terpaksa Tiang Bu membuang diri ke kanan untuk mengelak dari serangan-serangan yang tak boleh dipandang ringan ini, lalu melanjutkan serangannya dari samping.
Pertempuran he bat terjadi, kali ini lebih ramai dan seru karena dengan adanya Liok Cui Kong di sumpingnya, kedudukan Kong Ji tentu lebih kuat lagi. Bukan saja kini ia menghadapi dua orang lawan tangguh, juga hati Tiang Bu sudah terguncang dan gelisah karena ucapan Cui Kong tadi. Mungkin juga ucapan tadi hanya siasat belaka, akan tetapi manusia macam Cui Kong itu, mana bisa dipercaya? Semua perbuatan keji mungkin dilakukannya dan hati Tiang Bu gelisah bukan main.
Kong Ji dan Cui Kong memang orang-orang cerdik dan licik, mereka ini sudah tahu akan kegelisahan hati Tiang Bu. Maka dengan sengaja Liok Kong Ji dalam pertempuran itu bertanya kepada anak angkatnya. "Cui Kong, kau benar benar mata keranjang! Masa adik iparmu sendiri kausukai? Benar benarkah kau cinta kepada seorang gadis buntung lengannya?”
Cui Kong tertawa puas. "Ha-ha-ha, ayah tidak tahu! Biarpun buntung lengannya, nona Bi Li adalah dara tercantik yang pernah kujumpai."
Tentu saja Tiang Bu menjadi makin gelisah. Nafsunya bertempur berkurang banyak dan hatinya ingin sekali melihat keadaan kekasihnya. "Jahanam, di mana dia...?" bentaknya berkali-kali sambil mendesak Liok Cui Kong dengan pukulan-pukulan berat. Hanya karena Liok Kong Ji membantunya menangkis dari samping maka Cui Kong tidak roboh oleh desakan ini. Akhirnya Cui Kong maklum bahwa kalau tidak segera mengubah siasat, tentu ia akan celaka.
“Dia di dalam gua ke tiga, mau tahu keadaanya? Lihatlah sendiri!” Ia lalu melompat ke belakang dan tertawa bergelak-gelak.
Tiang Bu ragu-ragu. Tentu ini siasatnya untuk memancing aku memasuki gua sedangkan dia dan Kong Ji akan melarikan diri, pikirnya. Akan tetapi tiba-tiba telinganya yan g berpendengaran tajam sekali itu mendengar suara rintihan dari dalam gua itu, rintihan dari orang ketakutan yang disembunyikan.
Mendengar ini, Tiang Bu melompat ke arah gua ke tiga yang berjajar di dekat pantai, dari mana tadi Cui Kong muncul. Ia tidak perdulikan lagi keadaan ayah dan anak itu yang tentu saja mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri...!