Tangan Gledek Jilid 54
SIN HONG berlaku tenang. Ia mengelak dari tusukan pertama dan tusukan ke dua ia tangkis dengan pedangnya dimiringkan sehingga bagian yang tajam tidak merusak pedang lawan. Biarpun demikian Kong Ji merasa padangnya tergetar dan diam-diam ia mengaku bahwa ilmu pedang lawannya ini benar-benar kuat. Ia lalu berseru keras dan mulai mainkan Ilmu Pedang Soat-lian Kiam-hoat dari Omei-san.
“Huh, tak tahu malu. Ilmu curian dipakai bertempur!” Tiang Bu mencela gamas. Tentu saja ia mengenal gerakan-gerakan dari ilmu silat Omei-san dan dapat menduga bahwa tentulah ilmu yang dipelajari dari kitab curian.
Adapun Sin Hong ketika menghadapi pedang ini, merasa ada hawa dingin sekali menyusup tulang. Hawa ini timbul dari sambaran pedang Kong Ji. Maklumlah ia bahwa inti dari ilmu pedang ini berdasarkan tenaga Im-kang yang dalam, sehingga hawa pukulan pedang mengandung hawa dingin yang cukup dahsyat untuk merobohkan lawan yang lweekangnya kurang kuat.
Menghadapi Soan-lian Kiam-hoat ini, terpaksa Sin Hong juga mengerahkan Im-kangnya untuk menahan hawa dingin. Dari Pak-kek sin-kiam juga menyambar hawa yang dinginnya tidak kalah oleh hawa pedang Liok Kong Ji. Bukan main hebatnya Im-kang dari dua orang jago tua ini sampai-sampai mereka yang menyaksikan pertempuran itu merasa dingin sekali. Lee Tai dan Ang Lian yang ilmu kepandaiannya paling rendah di antara mereka semua, sampai menggigil kedinginan.
Setelah lewat tiga puluh jurus, Kong Ji merobah permainan pedangnya dan sekarang pedangnya bergerak bagaikan angin taufan lenyap menjadi gulungan sinar pedang yang mendatangkan hawa panas sedangkan tangan kirinya mulai melakukan pukulan Tin san-kang dan Hek-tok-ciang secara gencar dan bertubi-tubi. Inilah Ilmu Pedang Soan-hong Kiam- hoat, juga ilmu pedang yang ia curi dari Omei-san, yang ia pelajari dari kitab yang dibawa oleh Lo Chian-tung Cun Gi Tosu.
Kembali Wan Sin Hong terpaksa harus mengubah saluran lweekangnya, dan ia sekarang mengerahkan tenaga Yang kang untuk melawan musuhnya. Ia dipaksa main adu tenaga dalam oleh Liok Kong Ji yang cerdik dan diam-diam Sin Hong mengeluh. Dalam ilmu pedang ia tidak mungkin kalah oleh lawannya, akan tetapi kalau lawannya main adu ilmu lweekang, ia payah oleh lukanya di dalam dada tadi Ia sudah mulai merasa mual dan ingin muntah lagi, karena luka di dalam dadanya yang terdesak oleh pergantian tenaga itu kini menjadi makin parah.
Celakanya, ia tadi sudah berjanji takkan mematahkan pedang Liok Kong Ji, maka ini berarti ia sudah kalah selangkah. Percuma saja ia memegang pedang pusaka, malah lebih baik memegang pedang biasa saja, tidak usah menjaga agar pedangnya tidak menabas putus pedang lawan.
Kong Ji makin bersemangat, menyerang mati-matian. Terpaksa Sin Hong mengeluarkan ilmunya, pukulan Tin-san-kang yang menyambar datang ia tangkis dengan tenaga lweekang sedangkan pedangnya membacok pundak Li Kong Ji dengan gerakan miring, Kong Ji terkejut sekali dan menangkis.
"Traang...!” Pedang di tangan Liok Kong Ji putus menjadi dua! Dia melompat mundur dan kesempatan yang amat baik ini tak dapat dipergunakan oleh Sin Hong yang sudah berjanji takkan mau mengambil kemenangan dengan ketajaman pedangnya.
"Aku sudah tak berpedang lagi. Mari lanjutkan dengan tangan kosong!” Kong Ji menantang, tahu bahwa dengan tangan kosong akan ia akan lebih mudah memancing adu tenaga untuk memperoleh ke menangan terakhir.
Dengan sikap tenang Sin Hong manyarungkan pedangnya, agaknya siap untuk melayani Kong Ji selanjutnya. Siok Li Hwa melompat ke dekatnya dan berkata perlahan penuh khawatiran.
"Kau sudah terluka, lebih baik mengaso dulu, biar yang lain melayani jahanam ini.” Yang dimaksudkan dengan "yang lain” tentu saja Tiang Bu, karena Li Hwa juga maklum bahwa selain Tiang Bu atau suaminya, tidak ada yang akan sanggup melawan Liok Kong Ji.
Kong Ji tertawa keras, "Ha-ha-ha! Wan Sin Hong, nyonyamu khawatir kau akan mampus dalam pertandingan. Lekas kau turut dia pulang dan sembunyi di kamar bersama dia!”
Inilah hinaan hebat sekali. Tidak ada hinaan yang lebih menyakitkan hati bagi seorang gagah dari pada dikatakan takut mati dalam pertandingan. Memang sengaja Kong Ji menghina demikian supaya Sin Hong merasa malu untuk mengundurkan diri. Dan ia berhasil.
Sin Hong menyuruh iasterinya mundur, lalu maju menghadapinya. "Kong Ji, jangan sombong. Aku bukan orang yang takut mati, apa lagi takut padamu. Majulah!”
Sambil berseru keras Kong Ji menubruk, mengirimkan pukulan dahsyat. Sin Hong mengelak dan membalas dengan pukulan yang tak kalah hebatnya. Dua orang musuh lama ini kembali bertempur hebat dengan tangan kosong. Daun-daun pohon rontok dan batu-batu kecil berhamburan terkena sambaran hawa pukulan mereka.
Tiang Bu menonton penuh perhatian. Dari wajah Sin Hong ia maklum bahwa pendekar itu benar-benar sudah berkurang tenaganya, akan tetapi tadi ia melihat Sin Hong menelan tiga butir pil, maka ia mengerti bahwa luka di dalam dada pendekar itu biarpun melemahkan tubuh, tidak berbahaya lagi. Ia percaya penuh akan kepandaian Sin Hong mengobati luka sendiri.
Kong Ji juga tahu bahwa biarpun ia akhirnya dapat menewaskan Sin Hong, namun ia harus lebih dulu menghabiskan tenaga sendiri dan kalau terjadi pertempuran terlalu lama, ia akan menjadi terlalu lemah untuk menghadapi yang lain. Oleh karena itu ia segera mengambil jalan nekat dan cepat. Soalnya bagi dia hanya dua, hidup atau mati.
Pada saat Sin Hong menggunakan kepalan kanan memukul dadanya, Kong Ji sengaja barlaku lamban, mengerahkan lweekang untuk menahan hawa pukulan dahsyat itu, kemudian bagaikan ular menyambar, lengan kirinya bergerak menangkap pergelangan lengan Sin Hong dan membarengi saat itu memukulkan kepalan kanannya ke arah kepala lawan.
Sin Hong terkejut sekali, tidak mengira bahwa lawannya akan mengambil jalan nekat. Kalau ia menggunakan pukulan kirinya, tentu Kong Ji akan tewas, akan tetapi dia sendiri terancam oleh pukulan kanan lawannya yang menyambar bagaikan geledek. Cepat ia mengambil jalan yang sama karena untuk menyingkir tidak ada waktu lagi, untuk menangkis masih berbahaya. Dengan gerakan tepat tangan kirinya mencengkeram dan di lain saat pergelangan lengan Kong Ji yang kanan juga dapat ia tangkap!
Dua orang jago tua yang lihai ini berdiri memasang kuda-kuda teguh, berhadapan muka dan saling memegang pergelangan tan gan kanan lawan, saling mengerahkan tenaga yang disalurkan melalui lengan tangan masing-masing! Keadaan menjadi tegang sekali. Dua orang itu diam tak bergerak seperti patung, akan tetapi urat-urat tangan mereka menggeliat-geliat, dan tenaga dalam mereka sedang saling dorong. Tak seorangpun di antara mereka berani sembarangan melepaskan pegangan pada lengan lawan karena siapa yang melepaskan pegangan lebih dulu berarti mendapatkan pukulan lebih dulu pula.
Seperempat jam mereka berkutetan dan saling dorong dengan tenaga dalam untuk merobohkan lawan. Baik pergelangan tangan Sin Hong yang menjadi menghitam, maupun pergelangan tangan Kong Ji yang menjadi biru, terasa sakit sekali, namun tak seorangpun di antara mereka yang mau mengalah. Kalau saja Sin Hong belum terluka di dalam dadanya, tak mungkin Kong Ji dapat menang, karena kalau Sin Hong selalu menyimpan dan memurnikan hawa dalam tubuhnya, adalah Kong Ji yang menghamburkan tidak karuan dengan jalan hidup menurutkan hawa nafsu belaka. Akan tetapi Sin Hong sudah terluka berat dan dalam usaha terakhir ini kembali ia muntahkan darah dari mulutnya. Kong Ji mengerahkan seluruh tenaga, maklum bahwa kemenangan sudah mendekat.
Siok Li Hwa yang melihat suaminya kembali muntahkan darah, melompat dekat dan memukul Kong Ji dari belakang. Akan tetapi, pukulan yang mengenai punggung Kong Ji ini seperti mengenai daging lunak dan akibatnya kuda-kuda Sin Hong menjadi tergempur dan hampir saja ia melepaskan pegangannya. Ternyata bahwa pukulan Li Hwa itu dapat diterima dan disalurkan oleh Kong Ji, dipakai untuk menambah tenaganya mendorong Sin Hong!
Melihat ini, Tiang Bu melompat dan menarik tangan Li Hwa mundur. Kemudian ia sendiri maju di tengah-tengah dan sekali kedua tangannya memukul, satu ke arah pundak Sin Hong dan yang kedua ke arah pundak Liok Kong Ji. Dua orang jago tua ini tersentak kebelakang dan pegungan mereka terlepas!
Sin Hong cepat menjatuhkan diri, duduk bersila untuk mengatur pernapasannya, memulihkan kembali hawa di dalam tubuhnya yang sudah tidak karuan, membuat luka di dadanya makin parah. Ia perlu beristirahat dan mengatur pernapasannya untuk mengobati lukanya. Adapun Liok Kong Ji yang tidak terluka, menjadi marah sekali melihat Tiang Bu turun tangan,
“Kau curang...” bentaknya sambil menyerang.
Akan tetapi Tiang Bu yang sudah menjadi gemas sekali, tidak mau banyak cakap lagi. Serangan pukulan dahsyat itu ia tangkis dengan pengerahan tenaga secukupnya dan akibatnya tubuh Kong Ji terpental ke samping. Sebelum Kong Ji sempat menyerang lagi, Tiang Bu sudah meloncat dekat dan sekali tangannya menyambar ke arah pundak, terdengar suara "kraak!” dan tulang pundak Kong Ji patah-patah!
Kong Ji mengeluarkan jeritan menyayat hati. “Aduuhh... kau... kau... anakku sendiri...!”
Jeritan ini entah bagaimana membuat Tiang Bu terpukau dan diam saja tak bergerak untuk sesaat. Saat Ini dipergunakan oleh Kong Ji untuk menyebar jarum-jarum Hek-tok-ciam dengan tangan kanan karena lengan kirinya sudah lumpuh akibat remuknya tulang pundak kirinya. Kemudian, selagi semua orang sibuk meluputkan diri dari penyerangan Hek-tok ciam, ia melarikan diri!
"Kejar...!” Li Hwa berseru.
Tanpa menunggu komando lagi Tiang Bu sudah dapat menguasai dirinya dan cepat lari mengejar. Di tengah jalan Kong Ji yang tak sanggup melepaskan diri dari kejaran Tiang Bu yang jauh lebih gesit itu, membalikkan tubuh dan kembali jarum-jarum hitam ia lepaskan ke arah Tiang Bu. Dengan mudah Tiang Bu menyampok semua jarum dan membentak,
"Iblis jahat. kau hendak lari ke mana?”
"Tiang Bu, kau anakku... betul-betulkah kau hendak membunuhku…?” Kong Ji merayu sambll mendekat.
"Tutup mulut mu...“
Mempergunakan kesempatan selagi Tiang Bu menjawab. Kong Ji sudah memukul lagi dengan tangan kanannya, memukul dengan Hek tok-ciang sekuat-kuatnya! Ini membuktikan sekali lagi betapa curang dan liciknya hati Liok Kong Ji.
Tiang Bu terpaksa menangkis karena untuk mengelak tidak ada waktu lagi. Saking marahnya ia mengerahkan tenaga dalam tangkisannya dan... untuk kedua kalinya tubuh Kong Ji terlempar. Kali ini ia terlalu keras terlempar, sampai tubuhnya bergulingan dan kepalanya terbentur batu batu karang. Baiknya ia sudah bertubuh kebal sehingga hanya mukanya saja babak belur dan berdarah, kalau tidak tentu kepalanya akan pecah. Akan tetapi ia dapat bangun lagi dengan cepat dan melarikan diri.
“Iblis, jangan lari!” Tiang Bu mengejar lagi.
Akan tetapi Kong Ji yang sudah tak dapat melihat jalan ke luar, mulai merasa takut kepada puteranya sendiri. Rasa takut membuat ia dapat lari cepat bukan main. Terpaksa Tiang Bu mengerahkan ginkangnya untuk mengejar lebih cepat lagi sampai Kong Ji tiba di tepi pantai yang amat curam, penuh batu-batu karang.
Tiang Bu takut kalau Kong Ji dapat melarikan diri ke laut, maka ia cepat memungut batu karang kecil dan menyambit. Mendengar suara angin sambaran batu, Kong Ji mengelak, akan tetapi ia tidak mengira bahwa batu ke dua yang amat kecil sehingga tak menerbitkan suara datang menghantam belakang lututnya, membuat ia terjungkal roboh, tak kuasa mengelak lagi. Sebelum ia dapat bangkit berdiri, Tiang Bu sudah berada di dekatnya dan pemuda itu menginjak punggung Kong Ji dengan kakinya.
“Kau hendak pergi ke mana sekarang?“
“Tiang Bu..." Kong Ji terengah-engah, “Tiang Bu... kau anak kandungku... kau lepaskanlah ayahmu ini dan aku bersumpah... mulai sekarang takkan berlaku jahat lagi... aku bersumpah akan menjadi pertapa mensucikan diri...“
"Iblis, siapa percaya mulutmu? Bersiaplah untuk mampus!"
"Tiang Bu... ingatlah, kalau tidak ada aku, kaupun tidak berada di dunia ini... aku betul-betul sudah bertobat..."
Bujuk rayu dan permintaan ampun ini sama sekali tidak mempengaruhi hati Tiang Bu yang sudah terlampau sakit oleh perbuatan-perbuatan "ayahnya” yang seperti iblis ini. ia membentak keras. "Kau masih bisa bilang tentang tobat? Mengapa kau tidak ingat ketika kau mencemarkan ibuku? Ketika kau membunuh-bunuhi orang-orang tidak bordosa, ketika kau membuntungi lengan Bi Li? Kau harus membikin perhitungan dengan mereka itu di alam baka! Liok Kong Ji, bersiaplah kau untuk meninggalkan dunia ini!" Tiang Bu mengerahkan tenaga dan injakannya makin kuat.
"Aahh... aaaup... ampun... Tiang Bu..."
Tiang Bu tidak memperdulikan jeritan ini, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keren berpengaruh dari sebelah belakangnya.
“Tiang Bu, lepaskan dia!”
Tiang Bu menengok dengan kaget dan alangkah herannya melihat Wan Sin Hong dengan muka pasti berdiri di belakangnya. Sikapnya berpengaruh dan tegang. Di belakangnya datang anggauta-anggauta rombongan lainnya. Saking herannya mengapa Sin Hong melarang dia membunuh penjahat itu. Tiang Bu menurunkan kakinya dari punggung Kong Ji membuat penjahat itu dapat bernapas lagi. Terengah-engah dan mengerang-erang seperti babi disembelih.
"Wan pek-pek, mengapa kau melarangku membunuh lblis ini?"
"Karena kau anaknya! Kau boleh melawan kejahatannya, akan tetapi kau tidak boleh membunuh dia begitu saja! Tak boleh kau mewarisi kekejian hatinya. Ingat, kau putera Gak Soan Li, seorang pendekar wanita berpribudi tinggi. Kalau kau membunuh dia dalam keadaan begitu, aku... aku akan membencimu selama hidupku!” Kata-kata Wan Sin Hong ini terdengar penuh perasaan dan berpengaruh sekali, membuat Tiang Bu mundur dan terkejut.
"Biarkan aku sendiri yang menamatkan hidupnya, karena sesungguhnya hal itu adalah kewajibanku semenjak aku masih muda dulu."
Akan tetapi pada waktu Wan Sin Hong berbicara dengan Tiang Bu dan semua orang memperhatikan dua orang tokoh ini, Liok Kong Ji sudah dapat melompat bangun lagi. Melihat ia tak dapat mengharapkan keampunan lagi Kong Ji melarikan diri ke pinggir batu karang yang curam.
“Kong Ji, kau hendak lari ke mana?” Sin Hong mengejar sambil mencabut pedangnya. “Pak-kek-sin-kiam yang akan menamatkan hidupmu!"
Akan tetapi Kong Ji tidak rela mati di tangan Sin Hong. Dengan nekat ia lalu malompat ke depan dan… terdengar air muncrat ke atas disusul oleh jerit mengerikan dari Liok Kong Ji, Wan Sin Hong dan kawan-kawannya lari ke pinggir batu karang, menjenguk ke bawah dan... pemandangan di bawah amat mengerikan hati.
Jauh di bawah, kurang lebih dua ratus meter, kelihatan Liok Kong Ji berkutetan dan bergumul mati-matian melawan puluhan ekor ikan hiu yang mengeroyoknya. Baju dan kulitnya sudah habis dikoyak-koyak ikan-ikan buas itu dan salahnya dia melakukan perlawanan sehingga nyawanya agak lama melayang. Saking bingung, takut dan sakitnya, tiba-tiba Liok Kong Ji tertawa bergelak-gelak. Suara ketawanya mengandung tenaga khikang yang luar biasa, bergema di seluruh permukaan air laut seperti suara ketawa seorang iblis. Akan tetapi suara ini adalah suaranya yang terakhir karena ia lalu lenyap diseret oleh ikan-ikan itu ke dasar laut untuk dijadikan rebutan sampai habis seluruh tubuh berikut tulang-tulangnya!
Sin Hong menarik napas panjang dan ketika ia menengok, ia meiihat Tiang Bu menutupi mukanya, berdiri bagaikan patung dengan muka pucat sekali. Ia tahu bahwa pemuda ini pada saat terakhir masih insyaf bahwa manusia yang dikejar-kejar dan kemudian mendapatkan kematian secara begitu mengenaskan, betapapun jahatnya, adalah ayahnya sendiri. Hal ini menyenangkan hati Sin Hong karena pemuda ini masih mempunyai watak membakti kepada orang tua. Di samping rasa senang ini juga amat terharu sampai ia berdiri dan memeluk pundak Tiang Bu.
“Tiang Bu, pandanglah aku sebagai ayahmu. Terus terang saja, dahulu pernah aku suka kepada ibumu, rasa suka yang jauh berlainan dengan rasa suka dalam hati Kong Ji yang kotor.”
Mendengar ini, Tiang Bu memeluk Wan Sin Hong dan menangis. Sekali ini Tiang Bu menangis sedih, mencurahkan seluruh kesedihan hatinya karena ditinggal mati Bi Li dan karena mempunyai ayah yang demikian jahat.
"Tiang Bu, kepandaianmu tinggi dan kau masih muda. Masih luas dunia ini terbentang di bawah kakimu dan kau masih akan dapat melanjutkan riwayat hidupmu yang gemilang. Masih banyak kebabagiaan dapat kau capai. Mari kau ikut kami ke Kim-bun-to...”
"Tidak, pek-pek. Terima kasih banyak atas kebaikan hati pek-pek dan yang lain lain. Akan tetapi aku hendak kembali ke Omei-san...”
“Sesukamulah. Akupun dengan bibi dan adikmu akan kembali ke Luliang-san, dan kuharap saja kelak kau suka memberi bimbingan kepada Leng-ji...”
“Tentu, pek-pek. Kalau sudah tiba masanya, biarlah siauwtit menurunkan apa yang telah siauwtit pelajari kepada adik Leng Leng."
Dengan terharu mereka lalu berpisah Tiang Bu lebih dulu meninggalkan pulau itu untuk kembali ke Omei-san, di mana ia akan bertapa menjadi orang alim, sesuai dengan janjinya kepada Bi Li.
Adapun Wan Sin Hong lebih dulu menghadiri pernikahan antara Ang Lian dan Ciu Lee Tai yang dilakukan dengan amat meriah. Melihat Pek Lian yang sudah memotong pendek rambutnya, diam-diam Wan Sin Hong dan isterinya memuji kekerasan hati gadis ini. Mereka adalah orang-orang berpengalaman, maka mereka dapat menduga apa yang telah terjadi antara Pek Lian dan Tiang Bu, karena Ang Lian adalah seorang gadis yang tidak dapat menyimpan rahasia dan sudah menceritakan tentang cicinya itu.
“Cinta selalu membawa korban,” kata Sin Hong menarik napas panjang. "Biarpun ia diam saja, aku tahu bahwa Tiang Bu patah hati karena kehilangan Bi Li sehingga ia ingin kembali ke Omei-san untuk bertapa. Juga Pek Lian yang mencinta Tiang Bu, tentu telah patah hati karena penolakan pemuda itu sehingga bersumpah takkan menikah selama hidupnya dan hidup sebagai seorang laki laki. Mereka itu patut dikasihani, anak anak yang baik sekali mengalami nasib seburuk itu..."
Li Hwa tersenyum. "Pek Lian memang patut dikasihani. Akan tetapi nasib orang siapa yang tahu? Kau juga dulunya sama sekali tidak pernah mengimpi akan berjodoh dengan aku, bukan? Nah, siapa tahu kalau-kalau Pek Lian kelak menemui jodohnya. Adapun tentang Tiang Bu... belum tentu dia menjadi pendeta...”
"Hee? Apa maksudmu kau bilang begitu? Mengapa kau begitu yakin nampaknya?” tanya Sin Hong sambil memandang wajah isterinya yang cantik.
"Kau mendekatlah agar aku dapat berbisik. Orang lain tak boleh tahu...”
Tersenyum karena sifat berahasia isterinya ini, Sin Hong mendekat. Li Hwa menempelkan bibirnya di dekat telinga Sin Hong berbisik-bisik.
Wajah Sin Hong berobah. Nampak gembira bukan main sampai ia memeluk isterinya, dipondongnya dan dibawa putar putar di dalam kamar. "Bagus...! Bagus... Ah, aku girang sekali...!”
"Hush... turunkan aku... ribut-ribut kalau membikin kaget sepasang pengantin bagaimana?" tegur Li Hwa.
Apa yang dibisikkan oleh Li Hwa kepada suaminya? Marilah kita mengikuti perjalanan Tiang Bu yang tanpa menunda-nunda lagi berangkat menuju ke Omei-san, tempat pertapaan mendiang guru-gurunya. Ia sudah putus harapan, sudah hampa hatinya karena ditinggal pergi Bi Li untuk selamanya. Apa artinya hidup lagi baginya? Dia bukan seorang pengecut untuk menghabiskan hidupnya begitu saja akan tetapi iapun tidak ada nafsu lagi untuk hidup di dunia ramai. Ia akan bertapa, memperdalam ilmunya, menanti ajal men cabut nyawanya dan membawanya bersatu kembali dengan Bi Li kekasihnya.
Sesampainya di puncak Omei-san, ia membersihkan gua tempat suhunya bertapa lalu mengatur sembahyangan secara sederhana. Pertama-tama ia menyembahyangi arwah kedua orang gurunya, lalu arwah ibunya. Tak lupa ia menyembahyangi arwah ayahnya, Liok Kong Ji, dan mendoakan supaya ayahnya itu mendapat pengampunan di alam baka. Akhirnya ia bersembahyang untuk arwah Bi Li dan ia tak dapat menahan kesedihannya lagi, menangis di depan meja sembahyang seperti anak kecil.
“Bi Li, kalau kau ada kekuasaan, lekaslah ajak nyawaku bersamamu. Aku tidak kuat lagi hidup seorang diri di dunia yang penuh dengan kepalsuan ini," tangisnya sambil mengeluh panjang pendek. Saking lelah dan duka, Tiang Bu jatuh pulas di depan meja, mendekam di atas tanah yang hangat dalam gua itu.
Dan Tiang Bu bermimpi. Ia melihat Bi Li dengan pakaian serba putih sederhana namun bahkan membayangkan keindahan wajah dan bentuk tubuhnya, berjalan menghampirinya, dengan senyum manis dan mata berkaca-kaca Bi Li dengan lengan sebelah masih buntung dengan wajah yang agak kurus dan pucat, namun sepasang mata yang jernih dan indah masih menyinarkan cinta kasih yang amat mendalam.
"Tiang Bu, jangan berduka, aku sudah datang di sampingmu,” demikian Bi Li berkata dengan suara merdu.
Di dalam mimpinya. Tiang Bu merangkul gadis kekasihnya itu erat-erat. “Bi Li, jangan kau tinggalkan aku lagi"
"Tidak. Tiang Bu. Aku takkan meninggalkanmu lagi,” jawab Bi Li mesra.
Akan tetapi di dalam mimpinya, Tiang Bu melihat tubuh Bi Li terlepas dari pelukannya dan terbawa angin taufan lalu terjatuh kedalam air laut yang bergelombang. Datang ikan-ikan hiu mengeroyok Bi Li, persis seperti ketika tubuh Kong Ji digerogoti ikan-ikan hiu buas itu. Ia mendengar Bi Li menjerit-jerit seperti Liok Kong Ji pula, akan tetapi anehnya jerit Bi Li ini bukan minta tolong seperti Liok Kong Ji melolong kemudian tertawa mengerikan, melainkan Bi Li memanggil-manggil namanya.
“Tiang Bu...! Tiang Bu...! Sadarlah...”
Dan Tiang Bu sadar dari mimpinya. Ataukah ia masih bermimpi? merasa tubuhnya dipeluk, kepalanya di atas pangkuan dan pundaknya digoyang-goyang. Terdengar suara Bi Li seperti dalam impian tadi.
"Tiang Bu... sadarlah... ahh, Tiang Bu, sudah lama aku menanti di sini, jangan kau tinggalkan aku... Tiang Bu…”
Tiang Bu membuka matanya dan di bawah sinar lampu yang entah dari mana datangnya ia tak tahu, ia melihat... Bi Li duduk di atas tanah, memangku kepalanya dan gadis itu meneteskan air mata di atas mukanya. Tiang Bu menggigit bibirnya sendiri. Ia tidak berani bergerak atau mengeluarkan kata-kata karena khawatir kalau-kalau mimpi indah ini akan lenyap dan ia akan sadar mendapatkan dirinya seorang diri dalam gua. Ia ingin menikmati mimpi bertemu dengan Bi Li ini selama mungkin.
Melihat Tiang Bu sudah membuka mata akan tetapi diam saja, Bi Li berkata, “Tiang Bu, kenapa kau diam saja? Ini aku, Bi Li. Tidak senangkah kau melihat aku di sini?”
Tiang Bu kaget sekali ketika merasa betapa air mata yang menitik turun dari mata Bi Li itu membasahi pipinya, benar-benar, karena ketika ia meraba, pipinya sudah basah. Serentak ia bangkit duduk dan memegang lengan Bi Li. "Bi Li... tidak mimpikah aku...?"
Bi Li menatap wajah kekasihnya dengan air mata berlinang, lalu menggeleng kepala. "Tidak, Tiang Bu. Kita dalam keadaan sadar. Aku berada di sampingmu, di puncak Omei-san."
"Bi Li..." dada Tiang Bu berombak keras, wajahnya pucat seperti kertas saking tegangnya perasaan hatinya. "Bukankah... bukankah kau mati dimakan ikan di laut Pek houw-to...?"
Bi Li mengambil tangan Tiang Bu dan diciumnya tangan itu. "Tidak, Tiang Bu. Aku tidak mati, aku masih hidup dan langsung ke sini untuk menantimu datang...”
"Bi Li... ya Tuhan... kau betul-betul masih hidup...?" Tiang Bu tiba-tiba menjadi lemas dan... jatuh pingsan di atas pangkuan Bi Li.
Kegirangan yang tiba-tiba, yang amat keras berlawanan dengan keputusasaan dan kedukaannya, merupakan pukulan hebat bagi Tiang Bu, membuatnya roboh pingsan untuk kedua kalinya. Tadipun ketika ia tertidur, ia sebetulnya roboh pingsan sampai Bi Li datang dan menyadarkannya.
Tentu saja Bi Li menjadi bingung, hanya dapat memanggil-manggil nama Tiang Bu, memijit-mijit kepalanya dan menyiram mukanya dengan air mata. Akhirnya Tiang Bu siuman kembali. Begitu ia siuman, ia hanya dapat mameluk Bi Li dan mendekap kepala gadis itu di dadanya sambil meramkan mata dan memuji syukur kepada Thian Maha Pengasih. Sampai lama keduanya berdiam seperti patung dalam keadaan bagitu, hanya terdengar Bi Li terisak perlahan dengan hati bahagia.
Setelah detak jantungnya normal kembali dan tenaganya putih pula, baru Tiang Bu melepaskan dekapannya, memandangi wajah kekasihnya, membelai rambutnya penuh kasih sayang, lalu bertanya,
"Aduh, Bi Li, kau benar-benar bisa membikin aku mati kegirangan. Bagaimana kau bisa berada di sini? Aku melihat kau jatuh ke dalam laut dan lenyap. Apakah ada jalan dari dasar laut menembus ke sini?"
“Panjang ceritanya, Tiang Bu. Dan yang tahu akan hal ini kiranya Pek Lian dan bibi Siok Li Hwa. Kemudian, sambil menyandarkan kepalanya di dada Tian g Bu. Bi Li menceritakan pengalamannya seperti yang diceritakan dalam bisik-bisik oleh Siok Li Hwa kepada suaminya, Wan Sin Hong.
Ternyata bahwa ketika Bi Li terseret oleh Liok Cui Kong jatuh ke dalam laut, kebetulan sekali lewat perahu yang ditumpangi oleh Pek Lian dan Siok Li Hwa. Dua orang wanita ini sedang melepaskan kekesalan hati menunggu di pantai sambil sekalian meronda, kalau-kalau Liok Kong Ji akan melarikan diri dari pulau itu.
Melihat Bi Li terseret jatuh oleh Liok Cui Kong. Dua orang Wanita itu segera menolongnya dan membiarkan Liok Cui Kong habis dimakan ikan hiu. Bahkan mereka cepat-cepat mendayung perahu itu ke daerah lain agar jangan melihat kengerian itu.
Melihat bahwa yang menolongnya Pek Lian, Bi Li lalu teringat akan sikap Pek Lian kepada Tiang Bu. Ia berpikir bahwa Pek Lian memang jauh lebih cocok untuk menjadi jodoh Tiang Bu. Gadis ini tidak hanya cantik jelita dan juga gagah perkasa, malah kedua tengannva masih lengkap, tidak buntung seperti dia. Di depan Siok Li Hwa, secara terus terang ia berkata,
"Aku mohon kepada adik Pek Lian dan bibi Li Hwa, agar supaya hal diriku ini dirahasiakan dari siapapun juga. Aku ingin dianggap sudah lenyap dan mati."
"Eh. mengapa begitu, enci Bi Li?" tanya Pek Lian terheran.
Bi Li memandang ke arah lengannya yang buntung. "Sebetulnya aku malu masih harus hidup di dunia ini. Aku hidup hanya karena ingin membalas dendam. Sekarang Cui Kong si keparat sudah mampus, dan Kong Ji tinggal menanti saatnya saja. Aku minta bibi dan adik suka berjanji, rahasiakan bahwa aku masih hidup. Sanggupkah menolong aku orang malang ini?”
Pek Lian benar-benar tidak mengerti. Akan tetapi Li Hwa yang sudah banyak pengalamannya, dapat menduga bahwa Bi Li tentu mengalami hal yang amat menyedihkan dan ingin dianggap mati oleh seorang tertentu. Mungkin Tiang Bu orang itu. Mengapa? Ia belum tahu ketika itu. Maka ia lalu memberi isyarat kepada Pek Lian dan menyanggupi permintaan Bi Li.
"Selanjutnya kau hendak ke manakah? Atau hal ini juga dirahasiakan dari kami?"
Bi Li menjadi merah mukanya. "Memang aku orang sengsara, ji-wi sudah menolong nyawaku masih saja aku memberi beban kepada ji-wi. Biarlah ji-wi ketahui bahwa aku hendak pergi ke Omei-san dan bertapa di sana sampai aku mati." Setelah berkata demikian, Bi Li lalu menggunakan sebuah perahu pergi dari situ.
Ia benar-benar langsung menuju ke Omei-san dan menanti Tiang Bu di sana. Ia hanya mempunyai dua pilihan. Tiang Bu datang dan betul-betul pemuda itu tidak mau menerima Pek Lain dan memilih menjadi pertapa itu berarti pemuda itu betul-betul mencintanya sepenuh hati. Kalau Tiang Bu tidak datang dan hidup bahagia dengan wanita lain, ia rela menjadi pertapa di bukit itu. Dan ternyata Tiang Bu datang, bahkan menyembahyangi arwahnya! Dapat dibayangkan betapa bahagia hatinya. Demikianlah penuturan Bi Li kepada Tiang Bu, juga penuturan Li Hwa kepada Sin Hong tentu saja dengan cara lain dan pandangan lain.
"Bi Li," kata Tiang Bu. "Mengapa kau lakukan semua itu? Mengapa kau ingin pergi meninggalkan aku dan membiarkan aku merana dan berduka, mengira kau sudah tewas?”
Sambil menyembunyikan mukan ya di dada kekasihnya, Bi Li berkata, “Aku memberi kesempatan kepadamu memilih Pek Lian, biar aku menjadi pertapa yang selalu mendoakan untuk kebabagiaanmu di sini..."
Tiang Bu mencium kepala kekasihnya. "Bi Li, jadi kau... kau waktu itu cemburu...?"
Tanpa mengangkat muka, Bi Li berkata lirih, "Cemburu sih ada sedikit, akan tetapi terutama untuk menguji sampai di mana besarnya cinta kasihmu, apakah sebesar cinta kasihku kepadamu…"
Tiang Bu hanya dapat mendekap kepala kekasihnya dalam kebahagiaan yang hanya dia sendirilah yang tahu. Sementara itu, bulan muncul dari balik awan, berseri menyaksikan pertemuan kembali antara dua orang kekasih yang penuh kasih mesra itu. Angin gunungpun bersilir, menerjang memasuki gua untuk membelai dua orang muda remaja yang sedang dibuai asmara itu.
Sampai di sini tamatlah cerita Pek lui-eng ini dan berakhirlah pula kejahatan-kejahatan dan kekejian dari Liok Kong Ji dan kaki tangannya. Thian Maha Adil, betapa pun pandai orang seperti Liok Kong Ji itu bermuslihat, akhirnya orang jahat akan menemui hukumnya. Baik di dunia maupun di akhirat.
Inilah kodrat Tuhan, inilah keadilan Thian, pasti dan tak dapat dibantah pula, seperti pastinya siang dan malam. Oleh karena itu, setiap orang manusia harus selalu mengemudi nafsunya, harus selalu menguasai dirinya, menjauhkan kejahatan sedapat mungkin, dan memupuk kebajikan sebanyak mungkin, kalau dia hendak mendapat kebahagiaan dunia akhirat!
“Huh, tak tahu malu. Ilmu curian dipakai bertempur!” Tiang Bu mencela gamas. Tentu saja ia mengenal gerakan-gerakan dari ilmu silat Omei-san dan dapat menduga bahwa tentulah ilmu yang dipelajari dari kitab curian.
Adapun Sin Hong ketika menghadapi pedang ini, merasa ada hawa dingin sekali menyusup tulang. Hawa ini timbul dari sambaran pedang Kong Ji. Maklumlah ia bahwa inti dari ilmu pedang ini berdasarkan tenaga Im-kang yang dalam, sehingga hawa pukulan pedang mengandung hawa dingin yang cukup dahsyat untuk merobohkan lawan yang lweekangnya kurang kuat.
Menghadapi Soan-lian Kiam-hoat ini, terpaksa Sin Hong juga mengerahkan Im-kangnya untuk menahan hawa dingin. Dari Pak-kek sin-kiam juga menyambar hawa yang dinginnya tidak kalah oleh hawa pedang Liok Kong Ji. Bukan main hebatnya Im-kang dari dua orang jago tua ini sampai-sampai mereka yang menyaksikan pertempuran itu merasa dingin sekali. Lee Tai dan Ang Lian yang ilmu kepandaiannya paling rendah di antara mereka semua, sampai menggigil kedinginan.
Setelah lewat tiga puluh jurus, Kong Ji merobah permainan pedangnya dan sekarang pedangnya bergerak bagaikan angin taufan lenyap menjadi gulungan sinar pedang yang mendatangkan hawa panas sedangkan tangan kirinya mulai melakukan pukulan Tin san-kang dan Hek-tok-ciang secara gencar dan bertubi-tubi. Inilah Ilmu Pedang Soan-hong Kiam- hoat, juga ilmu pedang yang ia curi dari Omei-san, yang ia pelajari dari kitab yang dibawa oleh Lo Chian-tung Cun Gi Tosu.
Kembali Wan Sin Hong terpaksa harus mengubah saluran lweekangnya, dan ia sekarang mengerahkan tenaga Yang kang untuk melawan musuhnya. Ia dipaksa main adu tenaga dalam oleh Liok Kong Ji yang cerdik dan diam-diam Sin Hong mengeluh. Dalam ilmu pedang ia tidak mungkin kalah oleh lawannya, akan tetapi kalau lawannya main adu ilmu lweekang, ia payah oleh lukanya di dalam dada tadi Ia sudah mulai merasa mual dan ingin muntah lagi, karena luka di dalam dadanya yang terdesak oleh pergantian tenaga itu kini menjadi makin parah.
Celakanya, ia tadi sudah berjanji takkan mematahkan pedang Liok Kong Ji, maka ini berarti ia sudah kalah selangkah. Percuma saja ia memegang pedang pusaka, malah lebih baik memegang pedang biasa saja, tidak usah menjaga agar pedangnya tidak menabas putus pedang lawan.
Kong Ji makin bersemangat, menyerang mati-matian. Terpaksa Sin Hong mengeluarkan ilmunya, pukulan Tin-san-kang yang menyambar datang ia tangkis dengan tenaga lweekang sedangkan pedangnya membacok pundak Li Kong Ji dengan gerakan miring, Kong Ji terkejut sekali dan menangkis.
"Traang...!” Pedang di tangan Liok Kong Ji putus menjadi dua! Dia melompat mundur dan kesempatan yang amat baik ini tak dapat dipergunakan oleh Sin Hong yang sudah berjanji takkan mau mengambil kemenangan dengan ketajaman pedangnya.
"Aku sudah tak berpedang lagi. Mari lanjutkan dengan tangan kosong!” Kong Ji menantang, tahu bahwa dengan tangan kosong akan ia akan lebih mudah memancing adu tenaga untuk memperoleh ke menangan terakhir.
Dengan sikap tenang Sin Hong manyarungkan pedangnya, agaknya siap untuk melayani Kong Ji selanjutnya. Siok Li Hwa melompat ke dekatnya dan berkata perlahan penuh khawatiran.
"Kau sudah terluka, lebih baik mengaso dulu, biar yang lain melayani jahanam ini.” Yang dimaksudkan dengan "yang lain” tentu saja Tiang Bu, karena Li Hwa juga maklum bahwa selain Tiang Bu atau suaminya, tidak ada yang akan sanggup melawan Liok Kong Ji.
Kong Ji tertawa keras, "Ha-ha-ha! Wan Sin Hong, nyonyamu khawatir kau akan mampus dalam pertandingan. Lekas kau turut dia pulang dan sembunyi di kamar bersama dia!”
Inilah hinaan hebat sekali. Tidak ada hinaan yang lebih menyakitkan hati bagi seorang gagah dari pada dikatakan takut mati dalam pertandingan. Memang sengaja Kong Ji menghina demikian supaya Sin Hong merasa malu untuk mengundurkan diri. Dan ia berhasil.
Sin Hong menyuruh iasterinya mundur, lalu maju menghadapinya. "Kong Ji, jangan sombong. Aku bukan orang yang takut mati, apa lagi takut padamu. Majulah!”
Sambil berseru keras Kong Ji menubruk, mengirimkan pukulan dahsyat. Sin Hong mengelak dan membalas dengan pukulan yang tak kalah hebatnya. Dua orang musuh lama ini kembali bertempur hebat dengan tangan kosong. Daun-daun pohon rontok dan batu-batu kecil berhamburan terkena sambaran hawa pukulan mereka.
Tiang Bu menonton penuh perhatian. Dari wajah Sin Hong ia maklum bahwa pendekar itu benar-benar sudah berkurang tenaganya, akan tetapi tadi ia melihat Sin Hong menelan tiga butir pil, maka ia mengerti bahwa luka di dalam dada pendekar itu biarpun melemahkan tubuh, tidak berbahaya lagi. Ia percaya penuh akan kepandaian Sin Hong mengobati luka sendiri.
Kong Ji juga tahu bahwa biarpun ia akhirnya dapat menewaskan Sin Hong, namun ia harus lebih dulu menghabiskan tenaga sendiri dan kalau terjadi pertempuran terlalu lama, ia akan menjadi terlalu lemah untuk menghadapi yang lain. Oleh karena itu ia segera mengambil jalan nekat dan cepat. Soalnya bagi dia hanya dua, hidup atau mati.
Pada saat Sin Hong menggunakan kepalan kanan memukul dadanya, Kong Ji sengaja barlaku lamban, mengerahkan lweekang untuk menahan hawa pukulan dahsyat itu, kemudian bagaikan ular menyambar, lengan kirinya bergerak menangkap pergelangan lengan Sin Hong dan membarengi saat itu memukulkan kepalan kanannya ke arah kepala lawan.
Sin Hong terkejut sekali, tidak mengira bahwa lawannya akan mengambil jalan nekat. Kalau ia menggunakan pukulan kirinya, tentu Kong Ji akan tewas, akan tetapi dia sendiri terancam oleh pukulan kanan lawannya yang menyambar bagaikan geledek. Cepat ia mengambil jalan yang sama karena untuk menyingkir tidak ada waktu lagi, untuk menangkis masih berbahaya. Dengan gerakan tepat tangan kirinya mencengkeram dan di lain saat pergelangan lengan Kong Ji yang kanan juga dapat ia tangkap!
Dua orang jago tua yang lihai ini berdiri memasang kuda-kuda teguh, berhadapan muka dan saling memegang pergelangan tan gan kanan lawan, saling mengerahkan tenaga yang disalurkan melalui lengan tangan masing-masing! Keadaan menjadi tegang sekali. Dua orang itu diam tak bergerak seperti patung, akan tetapi urat-urat tangan mereka menggeliat-geliat, dan tenaga dalam mereka sedang saling dorong. Tak seorangpun di antara mereka berani sembarangan melepaskan pegangan pada lengan lawan karena siapa yang melepaskan pegangan lebih dulu berarti mendapatkan pukulan lebih dulu pula.
Seperempat jam mereka berkutetan dan saling dorong dengan tenaga dalam untuk merobohkan lawan. Baik pergelangan tangan Sin Hong yang menjadi menghitam, maupun pergelangan tangan Kong Ji yang menjadi biru, terasa sakit sekali, namun tak seorangpun di antara mereka yang mau mengalah. Kalau saja Sin Hong belum terluka di dalam dadanya, tak mungkin Kong Ji dapat menang, karena kalau Sin Hong selalu menyimpan dan memurnikan hawa dalam tubuhnya, adalah Kong Ji yang menghamburkan tidak karuan dengan jalan hidup menurutkan hawa nafsu belaka. Akan tetapi Sin Hong sudah terluka berat dan dalam usaha terakhir ini kembali ia muntahkan darah dari mulutnya. Kong Ji mengerahkan seluruh tenaga, maklum bahwa kemenangan sudah mendekat.
Siok Li Hwa yang melihat suaminya kembali muntahkan darah, melompat dekat dan memukul Kong Ji dari belakang. Akan tetapi, pukulan yang mengenai punggung Kong Ji ini seperti mengenai daging lunak dan akibatnya kuda-kuda Sin Hong menjadi tergempur dan hampir saja ia melepaskan pegangannya. Ternyata bahwa pukulan Li Hwa itu dapat diterima dan disalurkan oleh Kong Ji, dipakai untuk menambah tenaganya mendorong Sin Hong!
Melihat ini, Tiang Bu melompat dan menarik tangan Li Hwa mundur. Kemudian ia sendiri maju di tengah-tengah dan sekali kedua tangannya memukul, satu ke arah pundak Sin Hong dan yang kedua ke arah pundak Liok Kong Ji. Dua orang jago tua ini tersentak kebelakang dan pegungan mereka terlepas!
Sin Hong cepat menjatuhkan diri, duduk bersila untuk mengatur pernapasannya, memulihkan kembali hawa di dalam tubuhnya yang sudah tidak karuan, membuat luka di dadanya makin parah. Ia perlu beristirahat dan mengatur pernapasannya untuk mengobati lukanya. Adapun Liok Kong Ji yang tidak terluka, menjadi marah sekali melihat Tiang Bu turun tangan,
“Kau curang...” bentaknya sambil menyerang.
Akan tetapi Tiang Bu yang sudah menjadi gemas sekali, tidak mau banyak cakap lagi. Serangan pukulan dahsyat itu ia tangkis dengan pengerahan tenaga secukupnya dan akibatnya tubuh Kong Ji terpental ke samping. Sebelum Kong Ji sempat menyerang lagi, Tiang Bu sudah meloncat dekat dan sekali tangannya menyambar ke arah pundak, terdengar suara "kraak!” dan tulang pundak Kong Ji patah-patah!
Kong Ji mengeluarkan jeritan menyayat hati. “Aduuhh... kau... kau... anakku sendiri...!”
Jeritan ini entah bagaimana membuat Tiang Bu terpukau dan diam saja tak bergerak untuk sesaat. Saat Ini dipergunakan oleh Kong Ji untuk menyebar jarum-jarum Hek-tok-ciam dengan tangan kanan karena lengan kirinya sudah lumpuh akibat remuknya tulang pundak kirinya. Kemudian, selagi semua orang sibuk meluputkan diri dari penyerangan Hek-tok ciam, ia melarikan diri!
"Kejar...!” Li Hwa berseru.
Tanpa menunggu komando lagi Tiang Bu sudah dapat menguasai dirinya dan cepat lari mengejar. Di tengah jalan Kong Ji yang tak sanggup melepaskan diri dari kejaran Tiang Bu yang jauh lebih gesit itu, membalikkan tubuh dan kembali jarum-jarum hitam ia lepaskan ke arah Tiang Bu. Dengan mudah Tiang Bu menyampok semua jarum dan membentak,
"Iblis jahat. kau hendak lari ke mana?”
"Tiang Bu, kau anakku... betul-betulkah kau hendak membunuhku…?” Kong Ji merayu sambll mendekat.
"Tutup mulut mu...“
Mempergunakan kesempatan selagi Tiang Bu menjawab. Kong Ji sudah memukul lagi dengan tangan kanannya, memukul dengan Hek tok-ciang sekuat-kuatnya! Ini membuktikan sekali lagi betapa curang dan liciknya hati Liok Kong Ji.
Tiang Bu terpaksa menangkis karena untuk mengelak tidak ada waktu lagi. Saking marahnya ia mengerahkan tenaga dalam tangkisannya dan... untuk kedua kalinya tubuh Kong Ji terlempar. Kali ini ia terlalu keras terlempar, sampai tubuhnya bergulingan dan kepalanya terbentur batu batu karang. Baiknya ia sudah bertubuh kebal sehingga hanya mukanya saja babak belur dan berdarah, kalau tidak tentu kepalanya akan pecah. Akan tetapi ia dapat bangun lagi dengan cepat dan melarikan diri.
“Iblis, jangan lari!” Tiang Bu mengejar lagi.
Akan tetapi Kong Ji yang sudah tak dapat melihat jalan ke luar, mulai merasa takut kepada puteranya sendiri. Rasa takut membuat ia dapat lari cepat bukan main. Terpaksa Tiang Bu mengerahkan ginkangnya untuk mengejar lebih cepat lagi sampai Kong Ji tiba di tepi pantai yang amat curam, penuh batu-batu karang.
Tiang Bu takut kalau Kong Ji dapat melarikan diri ke laut, maka ia cepat memungut batu karang kecil dan menyambit. Mendengar suara angin sambaran batu, Kong Ji mengelak, akan tetapi ia tidak mengira bahwa batu ke dua yang amat kecil sehingga tak menerbitkan suara datang menghantam belakang lututnya, membuat ia terjungkal roboh, tak kuasa mengelak lagi. Sebelum ia dapat bangkit berdiri, Tiang Bu sudah berada di dekatnya dan pemuda itu menginjak punggung Kong Ji dengan kakinya.
“Kau hendak pergi ke mana sekarang?“
“Tiang Bu..." Kong Ji terengah-engah, “Tiang Bu... kau anak kandungku... kau lepaskanlah ayahmu ini dan aku bersumpah... mulai sekarang takkan berlaku jahat lagi... aku bersumpah akan menjadi pertapa mensucikan diri...“
"Iblis, siapa percaya mulutmu? Bersiaplah untuk mampus!"
"Tiang Bu... ingatlah, kalau tidak ada aku, kaupun tidak berada di dunia ini... aku betul-betul sudah bertobat..."
Bujuk rayu dan permintaan ampun ini sama sekali tidak mempengaruhi hati Tiang Bu yang sudah terlampau sakit oleh perbuatan-perbuatan "ayahnya” yang seperti iblis ini. ia membentak keras. "Kau masih bisa bilang tentang tobat? Mengapa kau tidak ingat ketika kau mencemarkan ibuku? Ketika kau membunuh-bunuhi orang-orang tidak bordosa, ketika kau membuntungi lengan Bi Li? Kau harus membikin perhitungan dengan mereka itu di alam baka! Liok Kong Ji, bersiaplah kau untuk meninggalkan dunia ini!" Tiang Bu mengerahkan tenaga dan injakannya makin kuat.
"Aahh... aaaup... ampun... Tiang Bu..."
Tiang Bu tidak memperdulikan jeritan ini, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keren berpengaruh dari sebelah belakangnya.
“Tiang Bu, lepaskan dia!”
Tiang Bu menengok dengan kaget dan alangkah herannya melihat Wan Sin Hong dengan muka pasti berdiri di belakangnya. Sikapnya berpengaruh dan tegang. Di belakangnya datang anggauta-anggauta rombongan lainnya. Saking herannya mengapa Sin Hong melarang dia membunuh penjahat itu. Tiang Bu menurunkan kakinya dari punggung Kong Ji membuat penjahat itu dapat bernapas lagi. Terengah-engah dan mengerang-erang seperti babi disembelih.
"Wan pek-pek, mengapa kau melarangku membunuh lblis ini?"
"Karena kau anaknya! Kau boleh melawan kejahatannya, akan tetapi kau tidak boleh membunuh dia begitu saja! Tak boleh kau mewarisi kekejian hatinya. Ingat, kau putera Gak Soan Li, seorang pendekar wanita berpribudi tinggi. Kalau kau membunuh dia dalam keadaan begitu, aku... aku akan membencimu selama hidupku!” Kata-kata Wan Sin Hong ini terdengar penuh perasaan dan berpengaruh sekali, membuat Tiang Bu mundur dan terkejut.
"Biarkan aku sendiri yang menamatkan hidupnya, karena sesungguhnya hal itu adalah kewajibanku semenjak aku masih muda dulu."
Akan tetapi pada waktu Wan Sin Hong berbicara dengan Tiang Bu dan semua orang memperhatikan dua orang tokoh ini, Liok Kong Ji sudah dapat melompat bangun lagi. Melihat ia tak dapat mengharapkan keampunan lagi Kong Ji melarikan diri ke pinggir batu karang yang curam.
“Kong Ji, kau hendak lari ke mana?” Sin Hong mengejar sambil mencabut pedangnya. “Pak-kek-sin-kiam yang akan menamatkan hidupmu!"
Akan tetapi Kong Ji tidak rela mati di tangan Sin Hong. Dengan nekat ia lalu malompat ke depan dan… terdengar air muncrat ke atas disusul oleh jerit mengerikan dari Liok Kong Ji, Wan Sin Hong dan kawan-kawannya lari ke pinggir batu karang, menjenguk ke bawah dan... pemandangan di bawah amat mengerikan hati.
Jauh di bawah, kurang lebih dua ratus meter, kelihatan Liok Kong Ji berkutetan dan bergumul mati-matian melawan puluhan ekor ikan hiu yang mengeroyoknya. Baju dan kulitnya sudah habis dikoyak-koyak ikan-ikan buas itu dan salahnya dia melakukan perlawanan sehingga nyawanya agak lama melayang. Saking bingung, takut dan sakitnya, tiba-tiba Liok Kong Ji tertawa bergelak-gelak. Suara ketawanya mengandung tenaga khikang yang luar biasa, bergema di seluruh permukaan air laut seperti suara ketawa seorang iblis. Akan tetapi suara ini adalah suaranya yang terakhir karena ia lalu lenyap diseret oleh ikan-ikan itu ke dasar laut untuk dijadikan rebutan sampai habis seluruh tubuh berikut tulang-tulangnya!
Sin Hong menarik napas panjang dan ketika ia menengok, ia meiihat Tiang Bu menutupi mukanya, berdiri bagaikan patung dengan muka pucat sekali. Ia tahu bahwa pemuda ini pada saat terakhir masih insyaf bahwa manusia yang dikejar-kejar dan kemudian mendapatkan kematian secara begitu mengenaskan, betapapun jahatnya, adalah ayahnya sendiri. Hal ini menyenangkan hati Sin Hong karena pemuda ini masih mempunyai watak membakti kepada orang tua. Di samping rasa senang ini juga amat terharu sampai ia berdiri dan memeluk pundak Tiang Bu.
“Tiang Bu, pandanglah aku sebagai ayahmu. Terus terang saja, dahulu pernah aku suka kepada ibumu, rasa suka yang jauh berlainan dengan rasa suka dalam hati Kong Ji yang kotor.”
Mendengar ini, Tiang Bu memeluk Wan Sin Hong dan menangis. Sekali ini Tiang Bu menangis sedih, mencurahkan seluruh kesedihan hatinya karena ditinggal mati Bi Li dan karena mempunyai ayah yang demikian jahat.
"Tiang Bu, kepandaianmu tinggi dan kau masih muda. Masih luas dunia ini terbentang di bawah kakimu dan kau masih akan dapat melanjutkan riwayat hidupmu yang gemilang. Masih banyak kebabagiaan dapat kau capai. Mari kau ikut kami ke Kim-bun-to...”
"Tidak, pek-pek. Terima kasih banyak atas kebaikan hati pek-pek dan yang lain lain. Akan tetapi aku hendak kembali ke Omei-san...”
“Sesukamulah. Akupun dengan bibi dan adikmu akan kembali ke Luliang-san, dan kuharap saja kelak kau suka memberi bimbingan kepada Leng-ji...”
“Tentu, pek-pek. Kalau sudah tiba masanya, biarlah siauwtit menurunkan apa yang telah siauwtit pelajari kepada adik Leng Leng."
Dengan terharu mereka lalu berpisah Tiang Bu lebih dulu meninggalkan pulau itu untuk kembali ke Omei-san, di mana ia akan bertapa menjadi orang alim, sesuai dengan janjinya kepada Bi Li.
Adapun Wan Sin Hong lebih dulu menghadiri pernikahan antara Ang Lian dan Ciu Lee Tai yang dilakukan dengan amat meriah. Melihat Pek Lian yang sudah memotong pendek rambutnya, diam-diam Wan Sin Hong dan isterinya memuji kekerasan hati gadis ini. Mereka adalah orang-orang berpengalaman, maka mereka dapat menduga apa yang telah terjadi antara Pek Lian dan Tiang Bu, karena Ang Lian adalah seorang gadis yang tidak dapat menyimpan rahasia dan sudah menceritakan tentang cicinya itu.
“Cinta selalu membawa korban,” kata Sin Hong menarik napas panjang. "Biarpun ia diam saja, aku tahu bahwa Tiang Bu patah hati karena kehilangan Bi Li sehingga ia ingin kembali ke Omei-san untuk bertapa. Juga Pek Lian yang mencinta Tiang Bu, tentu telah patah hati karena penolakan pemuda itu sehingga bersumpah takkan menikah selama hidupnya dan hidup sebagai seorang laki laki. Mereka itu patut dikasihani, anak anak yang baik sekali mengalami nasib seburuk itu..."
Li Hwa tersenyum. "Pek Lian memang patut dikasihani. Akan tetapi nasib orang siapa yang tahu? Kau juga dulunya sama sekali tidak pernah mengimpi akan berjodoh dengan aku, bukan? Nah, siapa tahu kalau-kalau Pek Lian kelak menemui jodohnya. Adapun tentang Tiang Bu... belum tentu dia menjadi pendeta...”
"Hee? Apa maksudmu kau bilang begitu? Mengapa kau begitu yakin nampaknya?” tanya Sin Hong sambil memandang wajah isterinya yang cantik.
"Kau mendekatlah agar aku dapat berbisik. Orang lain tak boleh tahu...”
Tersenyum karena sifat berahasia isterinya ini, Sin Hong mendekat. Li Hwa menempelkan bibirnya di dekat telinga Sin Hong berbisik-bisik.
Wajah Sin Hong berobah. Nampak gembira bukan main sampai ia memeluk isterinya, dipondongnya dan dibawa putar putar di dalam kamar. "Bagus...! Bagus... Ah, aku girang sekali...!”
"Hush... turunkan aku... ribut-ribut kalau membikin kaget sepasang pengantin bagaimana?" tegur Li Hwa.
********************
Apa yang dibisikkan oleh Li Hwa kepada suaminya? Marilah kita mengikuti perjalanan Tiang Bu yang tanpa menunda-nunda lagi berangkat menuju ke Omei-san, tempat pertapaan mendiang guru-gurunya. Ia sudah putus harapan, sudah hampa hatinya karena ditinggal pergi Bi Li untuk selamanya. Apa artinya hidup lagi baginya? Dia bukan seorang pengecut untuk menghabiskan hidupnya begitu saja akan tetapi iapun tidak ada nafsu lagi untuk hidup di dunia ramai. Ia akan bertapa, memperdalam ilmunya, menanti ajal men cabut nyawanya dan membawanya bersatu kembali dengan Bi Li kekasihnya.
Sesampainya di puncak Omei-san, ia membersihkan gua tempat suhunya bertapa lalu mengatur sembahyangan secara sederhana. Pertama-tama ia menyembahyangi arwah kedua orang gurunya, lalu arwah ibunya. Tak lupa ia menyembahyangi arwah ayahnya, Liok Kong Ji, dan mendoakan supaya ayahnya itu mendapat pengampunan di alam baka. Akhirnya ia bersembahyang untuk arwah Bi Li dan ia tak dapat menahan kesedihannya lagi, menangis di depan meja sembahyang seperti anak kecil.
“Bi Li, kalau kau ada kekuasaan, lekaslah ajak nyawaku bersamamu. Aku tidak kuat lagi hidup seorang diri di dunia yang penuh dengan kepalsuan ini," tangisnya sambil mengeluh panjang pendek. Saking lelah dan duka, Tiang Bu jatuh pulas di depan meja, mendekam di atas tanah yang hangat dalam gua itu.
Dan Tiang Bu bermimpi. Ia melihat Bi Li dengan pakaian serba putih sederhana namun bahkan membayangkan keindahan wajah dan bentuk tubuhnya, berjalan menghampirinya, dengan senyum manis dan mata berkaca-kaca Bi Li dengan lengan sebelah masih buntung dengan wajah yang agak kurus dan pucat, namun sepasang mata yang jernih dan indah masih menyinarkan cinta kasih yang amat mendalam.
"Tiang Bu, jangan berduka, aku sudah datang di sampingmu,” demikian Bi Li berkata dengan suara merdu.
Di dalam mimpinya. Tiang Bu merangkul gadis kekasihnya itu erat-erat. “Bi Li, jangan kau tinggalkan aku lagi"
"Tidak. Tiang Bu. Aku takkan meninggalkanmu lagi,” jawab Bi Li mesra.
Akan tetapi di dalam mimpinya, Tiang Bu melihat tubuh Bi Li terlepas dari pelukannya dan terbawa angin taufan lalu terjatuh kedalam air laut yang bergelombang. Datang ikan-ikan hiu mengeroyok Bi Li, persis seperti ketika tubuh Kong Ji digerogoti ikan-ikan hiu buas itu. Ia mendengar Bi Li menjerit-jerit seperti Liok Kong Ji pula, akan tetapi anehnya jerit Bi Li ini bukan minta tolong seperti Liok Kong Ji melolong kemudian tertawa mengerikan, melainkan Bi Li memanggil-manggil namanya.
“Tiang Bu...! Tiang Bu...! Sadarlah...”
Dan Tiang Bu sadar dari mimpinya. Ataukah ia masih bermimpi? merasa tubuhnya dipeluk, kepalanya di atas pangkuan dan pundaknya digoyang-goyang. Terdengar suara Bi Li seperti dalam impian tadi.
"Tiang Bu... sadarlah... ahh, Tiang Bu, sudah lama aku menanti di sini, jangan kau tinggalkan aku... Tiang Bu…”
Tiang Bu membuka matanya dan di bawah sinar lampu yang entah dari mana datangnya ia tak tahu, ia melihat... Bi Li duduk di atas tanah, memangku kepalanya dan gadis itu meneteskan air mata di atas mukanya. Tiang Bu menggigit bibirnya sendiri. Ia tidak berani bergerak atau mengeluarkan kata-kata karena khawatir kalau-kalau mimpi indah ini akan lenyap dan ia akan sadar mendapatkan dirinya seorang diri dalam gua. Ia ingin menikmati mimpi bertemu dengan Bi Li ini selama mungkin.
Melihat Tiang Bu sudah membuka mata akan tetapi diam saja, Bi Li berkata, “Tiang Bu, kenapa kau diam saja? Ini aku, Bi Li. Tidak senangkah kau melihat aku di sini?”
Tiang Bu kaget sekali ketika merasa betapa air mata yang menitik turun dari mata Bi Li itu membasahi pipinya, benar-benar, karena ketika ia meraba, pipinya sudah basah. Serentak ia bangkit duduk dan memegang lengan Bi Li. "Bi Li... tidak mimpikah aku...?"
Bi Li menatap wajah kekasihnya dengan air mata berlinang, lalu menggeleng kepala. "Tidak, Tiang Bu. Kita dalam keadaan sadar. Aku berada di sampingmu, di puncak Omei-san."
"Bi Li..." dada Tiang Bu berombak keras, wajahnya pucat seperti kertas saking tegangnya perasaan hatinya. "Bukankah... bukankah kau mati dimakan ikan di laut Pek houw-to...?"
Bi Li mengambil tangan Tiang Bu dan diciumnya tangan itu. "Tidak, Tiang Bu. Aku tidak mati, aku masih hidup dan langsung ke sini untuk menantimu datang...”
"Bi Li... ya Tuhan... kau betul-betul masih hidup...?" Tiang Bu tiba-tiba menjadi lemas dan... jatuh pingsan di atas pangkuan Bi Li.
Kegirangan yang tiba-tiba, yang amat keras berlawanan dengan keputusasaan dan kedukaannya, merupakan pukulan hebat bagi Tiang Bu, membuatnya roboh pingsan untuk kedua kalinya. Tadipun ketika ia tertidur, ia sebetulnya roboh pingsan sampai Bi Li datang dan menyadarkannya.
Tentu saja Bi Li menjadi bingung, hanya dapat memanggil-manggil nama Tiang Bu, memijit-mijit kepalanya dan menyiram mukanya dengan air mata. Akhirnya Tiang Bu siuman kembali. Begitu ia siuman, ia hanya dapat mameluk Bi Li dan mendekap kepala gadis itu di dadanya sambil meramkan mata dan memuji syukur kepada Thian Maha Pengasih. Sampai lama keduanya berdiam seperti patung dalam keadaan bagitu, hanya terdengar Bi Li terisak perlahan dengan hati bahagia.
Setelah detak jantungnya normal kembali dan tenaganya putih pula, baru Tiang Bu melepaskan dekapannya, memandangi wajah kekasihnya, membelai rambutnya penuh kasih sayang, lalu bertanya,
"Aduh, Bi Li, kau benar-benar bisa membikin aku mati kegirangan. Bagaimana kau bisa berada di sini? Aku melihat kau jatuh ke dalam laut dan lenyap. Apakah ada jalan dari dasar laut menembus ke sini?"
“Panjang ceritanya, Tiang Bu. Dan yang tahu akan hal ini kiranya Pek Lian dan bibi Siok Li Hwa. Kemudian, sambil menyandarkan kepalanya di dada Tian g Bu. Bi Li menceritakan pengalamannya seperti yang diceritakan dalam bisik-bisik oleh Siok Li Hwa kepada suaminya, Wan Sin Hong.
Ternyata bahwa ketika Bi Li terseret oleh Liok Cui Kong jatuh ke dalam laut, kebetulan sekali lewat perahu yang ditumpangi oleh Pek Lian dan Siok Li Hwa. Dua orang wanita ini sedang melepaskan kekesalan hati menunggu di pantai sambil sekalian meronda, kalau-kalau Liok Kong Ji akan melarikan diri dari pulau itu.
Melihat Bi Li terseret jatuh oleh Liok Cui Kong. Dua orang Wanita itu segera menolongnya dan membiarkan Liok Cui Kong habis dimakan ikan hiu. Bahkan mereka cepat-cepat mendayung perahu itu ke daerah lain agar jangan melihat kengerian itu.
Melihat bahwa yang menolongnya Pek Lian, Bi Li lalu teringat akan sikap Pek Lian kepada Tiang Bu. Ia berpikir bahwa Pek Lian memang jauh lebih cocok untuk menjadi jodoh Tiang Bu. Gadis ini tidak hanya cantik jelita dan juga gagah perkasa, malah kedua tengannva masih lengkap, tidak buntung seperti dia. Di depan Siok Li Hwa, secara terus terang ia berkata,
"Aku mohon kepada adik Pek Lian dan bibi Li Hwa, agar supaya hal diriku ini dirahasiakan dari siapapun juga. Aku ingin dianggap sudah lenyap dan mati."
"Eh. mengapa begitu, enci Bi Li?" tanya Pek Lian terheran.
Bi Li memandang ke arah lengannya yang buntung. "Sebetulnya aku malu masih harus hidup di dunia ini. Aku hidup hanya karena ingin membalas dendam. Sekarang Cui Kong si keparat sudah mampus, dan Kong Ji tinggal menanti saatnya saja. Aku minta bibi dan adik suka berjanji, rahasiakan bahwa aku masih hidup. Sanggupkah menolong aku orang malang ini?”
Pek Lian benar-benar tidak mengerti. Akan tetapi Li Hwa yang sudah banyak pengalamannya, dapat menduga bahwa Bi Li tentu mengalami hal yang amat menyedihkan dan ingin dianggap mati oleh seorang tertentu. Mungkin Tiang Bu orang itu. Mengapa? Ia belum tahu ketika itu. Maka ia lalu memberi isyarat kepada Pek Lian dan menyanggupi permintaan Bi Li.
"Selanjutnya kau hendak ke manakah? Atau hal ini juga dirahasiakan dari kami?"
Bi Li menjadi merah mukanya. "Memang aku orang sengsara, ji-wi sudah menolong nyawaku masih saja aku memberi beban kepada ji-wi. Biarlah ji-wi ketahui bahwa aku hendak pergi ke Omei-san dan bertapa di sana sampai aku mati." Setelah berkata demikian, Bi Li lalu menggunakan sebuah perahu pergi dari situ.
Ia benar-benar langsung menuju ke Omei-san dan menanti Tiang Bu di sana. Ia hanya mempunyai dua pilihan. Tiang Bu datang dan betul-betul pemuda itu tidak mau menerima Pek Lain dan memilih menjadi pertapa itu berarti pemuda itu betul-betul mencintanya sepenuh hati. Kalau Tiang Bu tidak datang dan hidup bahagia dengan wanita lain, ia rela menjadi pertapa di bukit itu. Dan ternyata Tiang Bu datang, bahkan menyembahyangi arwahnya! Dapat dibayangkan betapa bahagia hatinya. Demikianlah penuturan Bi Li kepada Tiang Bu, juga penuturan Li Hwa kepada Sin Hong tentu saja dengan cara lain dan pandangan lain.
"Bi Li," kata Tiang Bu. "Mengapa kau lakukan semua itu? Mengapa kau ingin pergi meninggalkan aku dan membiarkan aku merana dan berduka, mengira kau sudah tewas?”
Sambil menyembunyikan mukan ya di dada kekasihnya, Bi Li berkata, “Aku memberi kesempatan kepadamu memilih Pek Lian, biar aku menjadi pertapa yang selalu mendoakan untuk kebabagiaanmu di sini..."
Tiang Bu mencium kepala kekasihnya. "Bi Li, jadi kau... kau waktu itu cemburu...?"
Tanpa mengangkat muka, Bi Li berkata lirih, "Cemburu sih ada sedikit, akan tetapi terutama untuk menguji sampai di mana besarnya cinta kasihmu, apakah sebesar cinta kasihku kepadamu…"
Tiang Bu hanya dapat mendekap kepala kekasihnya dalam kebahagiaan yang hanya dia sendirilah yang tahu. Sementara itu, bulan muncul dari balik awan, berseri menyaksikan pertemuan kembali antara dua orang kekasih yang penuh kasih mesra itu. Angin gunungpun bersilir, menerjang memasuki gua untuk membelai dua orang muda remaja yang sedang dibuai asmara itu.
Sampai di sini tamatlah cerita Pek lui-eng ini dan berakhirlah pula kejahatan-kejahatan dan kekejian dari Liok Kong Ji dan kaki tangannya. Thian Maha Adil, betapa pun pandai orang seperti Liok Kong Ji itu bermuslihat, akhirnya orang jahat akan menemui hukumnya. Baik di dunia maupun di akhirat.
Inilah kodrat Tuhan, inilah keadilan Thian, pasti dan tak dapat dibantah pula, seperti pastinya siang dan malam. Oleh karena itu, setiap orang manusia harus selalu mengemudi nafsunya, harus selalu menguasai dirinya, menjauhkan kejahatan sedapat mungkin, dan memupuk kebajikan sebanyak mungkin, kalau dia hendak mendapat kebahagiaan dunia akhirat!
T A M A T
Selanjutnya, Serial Pedang Kilat episode KISAH SI PEDANG KILAT