PRIA itu usianya sudah kurang lebih enam puluh tahun, namun tubuhnya masih gagah dan ramping kokoh, tidak seperti orang seusia dia yang biasanya kalau tidak kurus kering, tentu gendut dan gembrot dengan kulit bergantungan penuh lemak, muka penuh keriput dan garis-garis ketuaan tanda derita hidup. Wajahnya masih nampak tampan dan anggun walaupun kedua matanya buta, terpejam dan tidak berbiji lagi.
Dia melangkah perlahan dengan tongkat butut di tangan pada saat ada belasan orang berdatangan dari depan. Pada hal tadi, ketika tidak ada orang lain, pria ini berjalan dengan cepat seperti orang berlari saja, akan tetapi begitu muncul rombongan terdiri dari belasan orang itu, tiba-tiba saja langkahnya menjadi perlahan dan biasa. Hal ini saja membuktikan bahwa biarpun kedua matanya buta, orang ini dapat mengetahui akan munculnya belasan orang itu.
Belasan orang itu rata-rata nampak gagah dan kuat. berusia dari tiga puluh sampai lima puluh tahun, dipimpin seorang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun yang sikapnya gagah sekali. Begitu melihat pria buta itu, belasan orang ini saling berbisik dan mereka sengaja lari menghadang pria itu. Pria buta itu maklum bahwa belasan orang itu menghadang di depannya. Dia menahan langkahnya, berdiri bersandar tongkat bututnya dan menundukkan muka. Nampak acuh, namun sesungguhnya, sepasang telinganya menangkap semua gerakan belasan orang itu, sampai gerakan yang sekecil-kecilnya.
Setelah berhadapan, pemimpin rombongan itu, yang tinggi besar dan gagah, segera maju dan berlutut dengan sebelah kakinya, memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada. Empat belas orang pengikutnya. Ikut pula berlutut ketika si tinggi besar berlutut dan semua orang memberi hormat. Akan tetapi, pria buta itu bersikap seolah tidak tahu akan, apa yang terjadi di depannya.
"Pangeran, hamba bekas Jenderal Yap Lok, maafkan hamba dan empat belas orang pengikut hamba yang tardiri dari bekas para perwira menengah Kerajaan Liu-sung kalau hamba sekalian menghadang dan mengganggu ketenteraman paduka."
Pria buta itu memang bekas Pangeran Tiauw Sun Ong. Dia tersenyum, senyum lembut dan suaranya juga lembut ketika dia berkata, "Seperti juga kalian ini bebas jenderal dan bekas perwira, akupun hanya bekas pangeran saja. Saudara Yap, kita sekarang menjadi orang-orang biasa, harap jangan memakai segala macam peradatan dan kesungkanan. Marilah kita bicara seperti kenalan dan sahabat saja. Bangkitlah kalian dan kalau aku boleh bertanya, kalian hendak ke mana?"
"Maaf, pangeran. Kami tidak dapat menghapus sebutan pangeran karena bagi kami, paduka satu-satunya pangeran yang masih ada, dan padukalah harapan kami satu-satunya. Kami sengaja mendaki Bukit Hwa-san untuk mencari dan menghadap paduka."
Pria buta itu mengerutkan alisnya. Sudah puluhan tahun dia meninggalkan Kerajaan Liu-sung, sampai beberapa tahun yang lalu kerajaan itu hancur dan runtuh, kini digantikan oleh Kerajaan Chi. Dia sudah tidak menganggap dirinya sebagai pangeran, Apalagi berhubungan dengan bekas pembesar militer kerajaan keluarganya yang sudah jatuh itu.
"Saudara Yap, ada urusan apakah engkau dan teman-temanmu mencari aku? Sudah puluhan tahun aku mengasingkan diri dan tidak ingin lagi berurusan dengan keributan dunia."
Biarpun mulutnya berkata demikian, namun diam-diam Tiauw Sun Ong merasa hatinya pedih. Baru saja dia terpaksa meninggalkan puncak Hwa-san setelah mendengar bahwa dia mempunyai keturunan, mempunyai seorang anak kandung yang terlahir dari Pouw Cu Lan, hasil hubungan gelapnya dengan selir kaisar duapuluhan tahun yang lalu. Dan kini, keselamatan Pouw Cu Lan dan puterinya itu diancam oleh Kwan Im Sianli Bwe Si Ni yang hendak membalas dendam kepadanya karena dia tidak mau diajak hidup bersama! Dia terpaksa terjun ke dunia ramai untuk melindungi anak kandungnya, akan tetapi di depan bekas Jenderal Yap Lok, dia mengatakan bahwa dia tidak ingin lagi berurusan dengan keributan dunia!
"Pangeran, bagaimana mungkin kita mendiamkan saja para pemberontak dari keluarga siauw yang hina itu merampas tahta kerajaan, menghancurkan Kerajaan Liu-Sung kita yang jaya dan mendirikan kerajaan baru? Selama kita masih hidup, kita harus berusaha untuk merebut kembali kekuasaan itu dan menegakkan kembali Kerajaan Liu-sung? Selama ini, kami tidak berdaya karena tidak ada lagi seorangpun pangeran dari Kerajaan Liu-sung. Kami telah berusaha mencari paduka, namun sia-sia belaka. Baru sekarang kami dapat menemukan jejak paduka, dan kami sengaja menghadap untuk mohon agar paduka suka memimpin kami, menyusun barisan untuk merebut kenbali kekuasaan dari raja pemberontak Chi itu.”
Tiauw Sun Ong tertawa, tertawa karena geli mendengar usul yang penuh semangat itu. "Ha-ha-ha, sungguh lucu mendengar kata-katamu itu, seperti bermain sandiwara di panggung saja, maaf saudara Yap Lok, cita-citamu itu seperti membangun benteng di awang-awang saja. Aku hanya seorang buta, apalagi sudah tidak menginginkan segala kemuliaan duniawi, bagaimana kini kalian menganjurkan aku untuk menjadi pemimpin pemberontak terhadap Kerajaan Chi? Tidak, selain aku tidak mampu, juga aku tidak mau terlibat dalam perang dan keributan."
"Harap paduka tidak berpura-pura lagi. Kami telah melakukan penyelidikan dengan seksama dan kami tahu bahwa paduka sekarang, biarpun tidak dapat melihat lagi, namun telah menjadi seorang sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pangeran, demi kejayaan Kerajaan Liu-sung, demi nama dan kehormatan keluarga paduka sendiri, marilah kita bangkit dan rampas kembali kerajaan..."
"Cukup! Aku tidak mau dengar lagi dan harap kalian memilih orang lain saja. Jangan ganggu aku lagi." kata bekas pangeran itu, nada dan suaranya tegas.
Wajah bekas jendral itu berubah merah dan dengan matanya dia memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Lima belas orang itu kelihatan marah dan garang, bahkan sudah meraba gagang senjata masing-masing.
"Hemmm, sungguh tidak kami sangka bahwa Pangeran Tiauw Sun Ong hanya seorang penakut dan pengecut."
"Yap Lok, tahan mulutmu!" bentak pria buta itu.
"Pangeran, kalau paduka tidak takut dan bukan pengecut, maka paduka lebih rendah lagi, karena paduka akan menjadi seorang pengkhianat yang menaruh dendam terhadap kerajaan keluarga sendiri karena peristiwa dengan selir yang sangat memalukan itu. Paduka dendam dan karena itu tidak perduli kerajaan sendiri dirampas orang lain."
"Yap Lok. aku tidak mau bekerja sama denganmu. Tidak perlu engkau menghinaku dan memanaskan hatiku. Pergilah kalian dan jangan ganggu aku lagi."
"Kalau paduka tidak mau, terpaksa kami paksa. Lebih baik kami melihat paduka tewas di tangan kami dari pada melihat paduka berkeliaran sebagai seorang pengkhianat," kata Yap Lok sambil mencabut pedangnya.
Perbuatannya ini diikuti empat belas orang pengikutnya dan nampaklah senjata berkilauan di tangan mereka dan otomatis merekapun membuat gerakan mengepung pangeran itu. Lima belas orang itu adalah bekas para perwira kerajaan, masing-masing memiliki Ilmu silat yang tangguh dan merupakan Jagoan-Jagoan Istana Kerajaan Liu-sung yang sudah jatuh.
Biarpun dia masih berdiri dengan kepala menunduk, namun bekas pangeran yang buta matanya itu dapat mengikuti gerak-gerik lima belas orang itu dengan pendengarannya yang amat peka dan tajam. Dia tahu bahwa lima belas orang itu telah mengepungnya dengan senjata tajam di tangan, siap membunuh atau menawannya. Dia tersenyum getir. Tak di sangkanya bahwa setelah menyembunyikan diri dan hidup tenteram di tempat-tempat sunyi, hari ini dia terpaksa turun gunung dan begitu turun, dia sudah bertemu dengan belasan orang yang hendak menawan atau membunuhnya!
Seolah makin terasa olehnya betapa dunia ini menjadi panas dan kotor oleh nafsu yang lelah menguasai diri manusia. Di mana terdapat manusianya, di mana terdapat kekerasan, nafsu bergelora dan manusia menjadi hamba setan yang merajalela dalam hati dan akal pikiran.
Nafsu iblis mengendalikan manusia. menyeret manusia dalam segala macam perbuatan yang keras, kejam, kotor dan menyimpang dari sifat manusia pada saat dia dilahirkan. Panas bumi semakin panas, dunia semakin kacau. Di tempat-tempat yang tidak ada manusianya, segala sesuatu nampak penuh damai dan tenteram, margasatwa, bahkan pohon-pohon, hidup bebas dan begitu wajar. Namun, begitu dia tiba di tempat di mana ada manusianya, kebebasan sirna, persaingan, perebutan kekuasaan, pengejaran kesenangan, pemaksaan kehendak terhadap orang lain, penindasan, permusuhan, tiada hentinya menjadi permainan manusia.
"Kalian mau apa? Sadarlah, Yap Lok, engkau dan kawan-kawanmu telah menyimpang dari kebenaran. Jangan biarkan nafsu setan menyeret kalian ke jalan sesat!” Bekas pangeran itu masih mencoba untuk menyadarkan mereka.
"Engkau yang menyimpang dari kebenaran, engkau yang tersesat, Tiauw Sun Ong!” bentak Yap Lok. "Menyerahlah atau terpaksa kami akan membunuhmu!"
"Hemm, seekor semutpun akan menggigit kalau diinjak. Aku manusia. tentu akan membela diri kalau hendak dibunuh!” kata pangeran itu dengan sikap tenang.
Yap Lok memberi Isyarat dengan pandang matanya dan seorang di antara pengikutnya, yang berdiri di belakang pangeran itu, mengeluarkan bentakan nyaring dan menusukkan pedangnya ke arah punggung Tiauw Sun Ong.
"Haiiiilitttt...!"
Pedang meluncur bagaikan kilat menyambar dan agaknya tidak mungkin bekas pangeran itu akan mampu menyelamatkan diri dari serangan tiba-tiba yang dilakukan dari belakangnya dan amat cepat dan kuat itu. Namun, baru saja orang itu bergerak, Tiauw Sun Ong sudah dapat mengetahui dan menangkap gerakannya dengan pendengaran. Dia hanya menggerakkan tubuhnya sedikit saja, memutar tubuh atas ke belakang didahului sinar hitam menyambar dan tahu-tahu tongkat bututnya yang hitam sudah bergerak ke belakang dan memakai pergelangan tangan yang menusukkan pedang. Gerakan memutar tubuh itu membuat pedang yang menusuk lewat di samping tubuhnya dan pukulan tongkatnya dengan tepat mengenai pergelangan tangan lawan yang memegang pedang.
"Dukkk! Aughhh...!”
Orang itu melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang sambil menggosok pergelangan tangan kanan yang menjadi matang biru dan terasa nyeri bukan main. Masih untung bahwa Tiauw Sun Ong tidak menggunakan seluruh tenaganya. Kalau demikian halnya, tentu tulang lengan itu telah menjadi patah!
Melihat ini, empat belas orang yang lain dipimpin Yap Lok segera menggerakkan senjata menyerang. Hujan senjata menyambar dari segala jurusan ke arah tubuh Tiauw Sun Ong. Bekas pangeran ini dengan amat lincahnya berloncatan ke sana-sini. didahului gulungan sinar hitam tongkatnya dan diapun tenggelam dalam pengeroyokan yang amat ketat. Biarpun lima belas orang itu merupakan bekas jagoan-jagoan Istana, namun kalau dibandingkan, tak seorangpun di antara mereka yang mampu menandingi tingkat kepandaian Tiauw Sun Ong.
Akan tetapi karena mereka berjumlah banyak, rata-rata lihai dan memiliki pengalaman bertempur, di lain pihak Tiauw Sun Ong tidak tega untuk membunuh atau melukai berat, hanya membela diri, maka sebentar saja bekas pangeran itu terdesak hebat! Tiauw Sun Ong menganggap mereka itu tidak jahat, walaupun dia tahu benar akan watak manusia yang selalu berbuat dengan bimbingan nafsu.
Mereka ini banya akan memperalat dia, karena kalau dia mau memimpin "perjuangan" mereka itu, karena dia seorang bekas pangeran, tentu banyak bekas pasukan Liu-sung yang suka bergabung. Di balik semua ini, tentu mereka ini mempunyai suatu cita-cita yang pada hakekatnya mementingkan diri sendiri. Disebut dengan kata yang muluk bagaimanapun juga, pada dasarnya, mereka itu nekat karena mengejar sesuatu hasil yang mereka bayangkan akan dapat membuat mereka hidup mulia dan senang.
Dan dia tahu bahwa ini memang kelemahan manusia. Nafsu yang menguasai diri membuat manusia selalu mengejar sesuatu yang dianggap akan menyenangkan dirinya, dan dalam pengejaran ini, manusia lupa diri, lupa akan kebenaran. Cara apapun yang dipergunakan, dianggap benar demi mencapai cita-cita yang dikejarnya. Tujuan menghalalkan segala cara selalu akan terjadi, lambat maupun cepat, disadari maupun tidak.
Tiauw Sun Ong tidak menyalahkan mereka. Mereka ini hanya manusia-manusia lemah, seperti yang lain. Karena itu, dia tidak tega untuk membunuh atau melukai mereka, dan hal ini membuat dia sendiri menjadi repot dan terdesak hebat, bahkan terancam bahaya maut!
Pada saat itu, tiba-tiba bagaikan ada badai mengamuk, sesosok bayangan tubuh orang terjun ke dalam pertempuran. Dia menggerakkan kedua tangannya dan hanya dengan mendorong saja, para pengeroyok itu terpelanting, terjengkang dan terlempar bagaikan sekumpulan daun kering tertiup angin.
"Suhu...!” Bayangan itu berteriak girang.
"Ehh...? Kaukah itu, Bun Houw?”
"Suhu, biar tcecu (murid) yang mengusir anjing-anjing serigala yang jahat ini!" teriak pula Kwa Bun Houw yang baru datang.
"Jangan lukai mereka, jangan bunuh. Mereka bukan perampok, bukan penjahat. Mereka bekas para perwira Liu-sung." kata Tiauw Sun Ong.
Bun Houw terkejut dan juga merasa heran. Gurunya bekas pangeran kerajaan Liu-sung, berarti para perwira Liu-sung adalah bawahannya. Kenapa menyerang bekas pangeran atasan mereka sendiri? Dan melihat gerakan mereka, penyerangan itu bukan main-main, melainkan dimaksudkan untuk membunuh. Lebih aneh lagi gurunya melarang dia untuk melukai mereka, apalagi membunuh. Akan tetapi, Bun Houw amat menghormati dan mentaati gurunya, maka diapun berseru,
"Baik, suhu. Harap suhu mundur dan biar teecu sendiri menghadapi mereka."
Bun Houw mengamuk. Ketika bekas panglima Yap lok mendengar percakapan itu, dia tahu bahwa pemuda itu adalah murid bekas pangeran itu. Dan memang pernah mendengar bahwa pangeran yang menjadi buta dan meninggalkan istana sebelum kerajaan Liu-sung jatuh itu kabarnya telah menjadi seorang yang lihai. Tadinya dia dan kawan-kawannya memandang rendah karena betapapun lihainya, bekas pangeran itu telah menjadi seorang buta.
Siapa kira, pangeran itu benar-benar lihai, buktinya tadi pengeroyokan mereka tidak mampu merobohkan sang pangeran. Kini muncul muridnya, tentu tidak selihai gurunya. Maka dengan marah karena putus harapan ditolak permintaannya oleh bekas pangeran itu, Yap Lok berseru menyuruh anak buahnya untuk menyerang dan diapun memelopori mereka dengan menusukkan pedangnya. diikuti oleh empat belas orang anak buahnya.
Akan tetapi Bun Houw menghadapi mereka dengan amat mudahnya. Pemuda ini hanya berdiri tegak dan nampak dia menggerak-gerakkan kedua lengannya seperti orang menangkis dan mendorong. Akan tetapi akibatnya sungguh luar biasa. Lima belas orang itu tidak mampu mendekat dan mereka terpental atau terpelanting seperti dilanda badai yang dahsyat dan setiap kali mereka menyerang, dalam jarak dua meter mereka seperti bertemu dengan dinding yang tidak nampak, yang membuat mereka terpental kembali.
Akhirnya, setelah jatuh bangun tanpa tersentuh langsung oleh kedua tangan Bun Houw. Yap Lok maklum bahwa kepandaian pemuda ini bahkan jauh lebih dahsyat dan mengerikan dibandingkan ilmu Pangeran Tiauw Sun Ong! Maka, diapun memberi isyarat kepada anak buahnya dan mereka melarikan diri dari tempat itu.
Bun Houw membalik, menghadapi gurunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. "Suhu, apakah selama ini suhu baik-baik saja?”
Akan tetapi kakek buta itu berdiri tegak, alisnya berkerut dan dia tidak segera menjawab, mukanya terangkat ke atas seperti tidak perduli kepada pemuda yang berlutut di depan kakinya.
"Suhu...“ Bun Houw merasa akan sikap yang dingin itu.
"Bun Houw, katakan, ilmu iblis apa yang kau pergunakan tadi?"
Kini mengertilah Bun Houw. Gurunya yang buta ini lebih waspada dibandingkan orang yang melek. Sehingga gurunya tadi dapat mengikuti semua gerakannya ketika dia melawan empat belas orang itu. "Suhu, teecu mentaati perintah Suhu, tidak melukai mereka, bahkan tidak menyentuh mereka, hanya mendorong dari jauh saja.”
"Itulah yang kumaksudkan. Tenaga doronganmu itu. Ilmu apa yang kau pergunakan dan dari mana engkau mempelajari ilmu itu? Hayo katakan! Apakah selama ini engkau berguru kepada orang lain tanpa minta ijin dariku?"
"Suhu, bagaimana teecu berani berguru kepada orang lain? Pula, di dunia ini mana ada guru lain yang lebih baik dari pada suhu? Tidak, teecu tidak berguru kepada orang, akan tetapi teecu telah mengalami banyak hal yang aneh yang suhu tidak akan pernah mimpikan. Di antaranya, teecu telah menelan habis mustika Akar Bunga Gurun Pasir."
Kini sepasang mata yang buta itu terbelalak. kedua tangan itu kini meraba-raba kepala pemuda yang berlutut di depannya. "Apa...? Kau... kau makan seluruh Akar Bunga Gurun Pasir dan kau masih hidup...? Muridku, apa yang telah terjadi? Ceritakan semua kepadaku!”
Gembira sekali rasa hati Bun Houw melihat sikap gurunya yang sudah berubah ramah itu. Dia memegang tangan gurunya, bangkit dan menuntun gurunya untuk dnduk di atas batu besar di bawah pohon yang teduh. Setelah keduanya duduk, Bun Houw berkata,
"Panjang sekali ceritanya, suhu. Selama ini teecu telah mengalami banyak hal yang hebat dan aneh.”
Pemuda itu lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa dia menerima pukulan yang dahsyat dari Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang bahkan telah merampas pedangnya, Lui-kong-kiam dan membiarkan dia pergi dengan menderita luka parah. Betapa kemudian dia bertemu dengan Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan karena tidak tahu di mana adanya Akar Bunga Gurun Pasir, datuk majikan Bukit Kui-eng-san itu memukul punggungnya, membuat dia semakin payah karena menerima dua kali pukulan beracun dari dua orang datuk sakti.
"Dalam keadaan hampir mati, teecu yang hampir telanjang karena semua pakaian dan bekal emas pemberian suhu dirampas Suma Koan, teecu menerima pertolongan suami isteri pemburu ketika teecu jatuh pingsan di depan pondok mereka. Dan entah bagaimana teecu sendiri tidak tahu, isteri pemburu itu di luar pengetahuannya, telah memberi teecu obat minum. Teecu sendiri tadinya tidak tahu obat apa yang diminumkan kepada teecu itu. Teecu merasa seperti terbakar dari dalam, akan tetapi selanjutnya ternyata teecu telah mendapatkan tenaga sinkang yang dahsyat luar biasa. Dan tanpa disengaja, tanpa diketahui pula oleh suami isteri itu, teecu telah menelan habis seluruh Akar Bunga Gurun Pasir!"
"Hemm, menarik sekali! Bagaimana pemburu itu dapat menemukan Akar Bunga Gurun Pasir?”
"Teecu tidak tahu bagaimana mustika yang dibuat perebutan oleh semua orang sakti di dunia itu terjatuh ke tangan seorang pemburu yang lemah saja. Dan tanpa disengaja, mustika itu telah memasuki perut teecu!"
"Teruskan ceritamu yang amat menarik itu, Bun Houw."
"Setelah teecu minum mustika aneh itu, terjadi keanehan dalam tubuh teecu. Agaknya hawa beracun dari kedua orang datuk itu bercampur dengan mustika Akar Bunga Gurun Pasir, mendatangkan semacam hawa yang dahsyat dan sukar dikendalikan." Bun Houw lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan perampok-perampok yang kemudian memberi tahu kepadanya tentang adanya guha siluman yang telah menjatuhkan banyak korban.
"Banyak terdapat kerangka manusia dan senjata-senjata di depan guha itu, dan pada saat teecu datang ke sana, teecu sempat melihat seorang korban terakhir. Dia seperti orang gila, menyerang teecu ketika teecu melihat dia bersilat aneh dan terhuyung. Teecu menangkis dan diapun roboh tewas. Kemudian teecu mendengar suara orang-orang di luar guha ketika teecu sudah berada di dalam bahwa yang baru saja tewas itu adalah Toat-beng Kiam-ong."
"Hemm, Toat-beng Kiam-ong? Dia seorang tokoh sesat yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Kalau dia sampai tewas, tentu ada yang amat hebat di dalam guha itu dan engkau memasukinya, Bun Houw? Manusia macam apakah yang berada di dalam guha dan telah membunuh banyak tokoh persilatan tu?"
"Tidak ada seorangpun manusia di sana, suhu. Yang ada hanyalah pelajaran Ilmu silat dan ilmu itulah yang telah membunuh banyak orang itu!”
"Ehh? Apa maksudmu? Ceritakan yang jelas!” Kakek buta itu semakin tertarik mendengar cerita muridnya.
Bun Houw lain menceritakan dengan jelas tentang isi guha, tentang pelajaran ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tentang peringatan akan bahayanya mempelajari ilmu yang mujijat itu. Kemudian Bun Houw menceritakan bahwa karena tertarik, dan karena ingin menguasai kekuatan dahsyat yang menggelora dan meliar di dalam tubuhnya, dia lalu mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng sampai berhasil baik dan dia mampu menguasai dan mengendalikan hawa sakti yang meliar di dalam tubuhnya.
"Ahh, kiranya begitu? Engkau telah mewarisi Im-yang Bu-tek Cin-keng? Akan tetapi, aku sendiri hanya pernah mendengar Ilmu itu yang dikabarkan telah musnah dari dunia ini. siapa tahu engkau malah yang telah mewarisi, Bun Houw. Pantas saja engkau tadi menggunakan tenaga yang demikian dahsyat, kiranya engkau telah menguasai Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tadinya kukira hanya dongeng belaka. Muridku yang baik. bersiaplah engkau!”
“Tapi, tuhu... "
Akan tetapi pada saat itu, Pangeran Tiauw Sun Ong telah menyerangnya dengan ganas sekali, menggunakan tongkatnya dengan jurus maut dan bahkan menggunakan seluruh tenaganya sehingga nampak kilat berkelebat dan bunyi berciutan ketika tongkat itu sudah melakukan totokan yang bertubi-tubi terhadap jalan darah di bagian depan tubuh Bun Houw.
Bun Houw maklum bahwa gurunya tidak main-main dan ingin mengujinya, maka dia pun tahu bahwa kalau dia mempergunakan Ilmu yang dia dapat dari gurunya, dia tidak akan mampu bertahan. Gurunya menyerang dengan sepenuh tenaga dan kecepatan. Juga menggunakan jurus-jurus yang paling lihai. Maka, diapun tidak ragu lagi, segera mengerahkan tenaga sakti dan bergerak menurut ilmu barunya, yaitu Im-yang Bu-tek Cin-keng. Bagaikan air samudera digerakkan badai, datanglah tenaga yang bergelombang dahsyat menyambut serangan Tiauw Sun Ong.
Terjadi benturan-benturan tanaga jarak jauh yang membuat semua serangan kakek buta itu membalik. Tiauw Sun Ong terkejut akan tetapi juga girang sekali. Kini dia membuktikan sendiri bahwa Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah ilmu yang amat hebat dan yang membuat dia girang dan bangga adalah bahwa muridnya yang menjadi pewaris Ilmu itu! Dia menyerang lagi semakin hebat. Akan tetapi, makin keras dia menyerang, semakin keras pula dia terpental dan akhirnya. ketika sarangan terakhir yang amat dahsyatnya dia lakukan, ditangkis oleh Bun Houw. tubuh kakek itu terlempar dan terbanting keras.
"Suhu...!” Bun Houw berteriak dan sekali meloncat dia sudah berada di dekat suhunya dan membantu kakek itu bangkit berdiri. "Suhu. maafkan teecu..."
Tiauw Sun Ong tertawa girang dan menyusut keringat dari dahi dan lehernya. "Ha-ha-ha, bukan main! Sungguh aku merasa girang dan bangga sekali, Bun Hoaw. Engkau kini lebih hebat dariku, jauh lebih kuat dan aku bukanlah tandinganmu lagi! Ha-ha-ha!"
Wajah pemuda itu berubah kemerahan. "Aih, suhu! Tadi suhu hanya menguji tenaga teecu saja dan mungkin karena teecu telah menelan Akar Bunga Gurun Pasir, dan karena suhu sudah tua, maka teecu unggul dalam hal tenaga. Kalau suhu menggunakan tongkat pedang dan menyerang teecu tanpa mengandalkan tenaga, mungkin teecu tidak akan mampu melawan."
"Hemm, memang baik sekali sikapmu merendahkan diri itu, tanda bahwa biar engkau telah mewarisi ilmu yang dahsyat, engkau tidak menjadi sombong. Akan tetapi, sesungguhnya, Bun Houw. Ilmu pedang kilat kita tidak akan mampu menandingi Im-yang Bu-tek Cin-keng. Apalagi kalau engkau sudah melatihnya sampai matang. Aku yakin semua datuk di empat penjuru tidak akan mudah mengalahkanmu kalau engkan menggunakan ilmu itu dan mengerahkan tenagamu yang timbul dari Akar Bunga Gurun Pasir. Hemm, bagaimanapun juga, engkau harus berterima kasih kepada dua datuk itu, Ouwyang Sek dan Suma Koan."
"Suhu, mereka berdua sudah memukul dan menyiksa teecu dengan pukulan beracun yang tentu akan mematikan teecu kalau saja tidak secara kebetulan teecu diberi minum Akar Bunga Gurun Pasir!” Bun Houw merasa penasaran.
"Justeru pukulan itulah yang membantu mustika itu bekerja dalam tubuhmu. Kalau hanya meminum air masakan mustika itu saja, kuyakin tidak akan sehebat itu khasiatnya. Ingat, mustika itu adalah milik Ouwyang Sek. Kalan mustika itu mendatangkan kekuatan sehebat itu. tentu sudah sejak dahulu dia minum sendiri! Mustika itu tadinya hanya dikenal sebagai obat penyembuh saja. Baru setelah bertemu dengan dua macam hawa beracun dalam tubuhmu, terjadi akibat yang luar biasa, yaitu menimbulkan tenaga mujijat yang kini menjadi milikmu. Nah, bukankah mereka telah berjasa besar, walaupun mereka melakukan tanpa sengaja, bahkan beriktikad buruk, yaitu untuk membunuhmu secara perlahan-lahan?”
Bun Houw mengangguk-angguk. "Sekarang barulah teecu mengerti akan kata-kata dan nasehat suhu dahulu bahwa cara yang dipergunakan Tuhan untuk memberkahi manusia kadang berselubung rahasia besar. Kini teecu mengerti apa artinya berkah terselubung. Dalam suatu peristiwa yang nampaknya buruk merugikan, mungkin tersembunyi berkah yang amat besar seperti yang teecu alami sendiri.”
Kakek buta itu mengangguk sagguk. "Benar sekali, muridku. Aku sendiri, kalau tidak terjadi peristiwa dengan selir kaisar sehingga akan membutakan mataku, yang membuat aku hampir tewas, tentu tidak akau dapat menguasai ilmu seperti sekarang ini dan tidak akan berjumpa denganmu. Oleh karena itu, seorang bijaksana pantang mengeluh apabila mengalami hal-hal yang tampaknya merugikan dan mengecewakan, karena dalam setiap peristiwa itu selalu terdapat hikmatnya yang terselubung,"
"Suhu benar, akan tetapi teecu hanya seorang manusia biasa, bagaimana mungkin teecu. dapat terbebas dari permainan rasa puas kecewa dan suka duka? Seperti kehilangan Lui-kong-kiam, hal itu tetap saja membuat teecu merasa kecewa dan menyesal sekali. Sekarang teecu harus mengunjungi Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. untuk minta kembali pedang itu."
"Bun Houw, engkau tadi belum bercerita jelas tentang terampasnya Lui-kong-kiam dari tanganmu oleh Ouwyang Sek. Nah, sekarang aku ingin mendengar ceritamu yang sejelasnya tentang itu."
Bun Houw mengulang ceritanya tentang pertemuannya dengan Ouwyang Hui Hong, kemudian pertemuannya dengan Ouwyang Sek dan betapa nyaris dia dibunuh Ouwyang Sek kalau tidak ada Hui Hong yang menyelamatkannya dan mencegah ayahnya dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri!
Kakek buta itu mendengarkan dengan asyik dan wajahnya berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah sehingga Bun Houw khawatir kalau-kalau suhunya terluka ketika bertanding dengan dia tadi.
"Kau kenapakah, suhu? Apakah suhu sakit?" tanyanya, menghentikan ceritanya yang sudah berakhir.
"Tidak, tidak, aku tidak apa-apa. Bun Houw, ceritakan kepadaku, bagaimana keadaan gadis bernama Ouwyang Hui Hong itu? Bagaimana bentuk wajahnya, bentuk tubuhnya dan terutama bagaimana watak dan perangainya ketika engkau bersamanya?"
Tentu saja Bun Houw merasa heran sekali kenapa gurunya bertanya tentang gadis yang tidak dikenalnya itu. "Ia... ia seorang gadis yang gagah perkasa, suhu, dan menurut pendapat teecu, wataknya baik sekali, berbudi dan sederhana walaupun ia dapat bersikap keras dan galak."
"Wajahnya... wajahnya bagaimana?"
Bun Houw menahan keheranannya, "Wajahnya! Ia cantik dan agung, suhu, dan bentuk tubuhnya, ramping indah..." Bun Houw teringat ketika sekilas dia melihat tubuh Hui Hong yang telanjang di dalam guha.
"Usianya berapa?"
"Sekitar dua puluh satu tahun..."
"Ceritakan bagaimana bentuk matanya, hidungnya, mulutnya dan bentuk wajahnya, satu demi satu, yang jelas..." Kakek itu nampak tegang dan bergairah sekali.
Sehingga Bun Houw merasa semakin heran. Akan tetapi, merasa kasihan karena teringat bahwa gurunya tidak mampu melihat, dia lalu menggambarkan keadaan Hui Hong sejelasnya dan dia semakin bingung mendengar mulut gurunya berbisik-bisik.
"Mirip ia... ah, mirip ia..."
Kamudian tiba-tiba Tiauw Sun Ong menangkap kedua tangan muridnya dan kedua mata yang hanya putih itu seperti hendak menatap wajah Bun Houw ketika mulutnya bertanya dengan suara gemetar, "Bun Houw, bilang terus terang kepadaku. Apakah engkau mencinta Hui Hong?"
Bun Houw terkejut mendengar pertanyaan ini. Akan tetapi, dia amat sayang dan taat kepada gurunya, dan tidak pernah berkata yang tidak benar. Dia menganggap gurunya sebagai pengganti orang tuanya, maka mendengar pertanyaan itu, dia menjenguk isi hatinya sendiri. Dia memang tak pernah dapat melupakan Hui Hong, hanya dia sendiri tidak yakin apakah dia mencinta Hui Hong, Dia pernah mencinta seorang wanita, yaitu Ling Ay.
Mungkin cintanya terhadap Ling Ay hanyalah cinta remaja, hanya karena ada ikatan perjodohan di antara mereka. Setelah perjodohan itu putus, dia tidak lagi memikirkan Ling Ay, Ketika dia bertemu lagi dengan Ling Ay yang telah menjadi isteri Cun Hok Seng dan melihat penderitaan wanita itu, yang ada dalam hatinya hanyalah iba. Dan sekarang, perasaannya terhadap Hui Hong membuat dia bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan suhunya.
"Bagaimana, Bun Houw? Katakan terus terang, apakah eugkau mencinta Hui Hong?"
"Suhu, Justeru teecu masih bingung untuk menjawab yang sebenarnya kepada suhu. Teecu juga bingung mengapa suhu menanyakan hal itu. Akan tetapi, suhu, terus terang saja, teecu merasa kagum, suka dan iba kepadanya. Ia telah mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan teecu. Bagaimana mungkin teecu dapat melupakannya? Akan tetapi, teecu tidak berani memastikan bahwa teecu mencintanya karena terus terang saja, teecu sendiri tidak mengerti, bagaimana dan apa cinta itu?"
Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, cinta antar pria dan wanita penuh pengaruh nafsu berahi, cinta seperti itu mementingkan kesenangan hati sendiri, karenanya hanya mendatangkan lebih banyak tangis dari pada tawanya. Akan tetapi, cinta seperti itu mungkin diperlukan oleh manusia. Begini saja, apakah engkau ingin selain berdekatan dengan Hui Hong, ingin melihat ia berada di sampingmu selalu ingin hidup bersamanya, membagi susah dan senang berdua? Nah, jawablah sejujurnya."
Wajah Bun Houw berubah kemerahan. "Aih, suhu, siapa yang tidak mau? Ia pandai dan cantik jelita, berbudi dan... ah, apa gunanya semua itu? Seorang gadis seperti Hu Hong, mana mungkin mau menjadi... eh, maksud teecu, mana mungkin mau dekat dengan orang seperti teecu? Dari pada mengharapkan lamunan kosong, lebih baik teecu melihat kenyataan. Ayahnya dan kakaknya amat membenci teecu, bahkan menganggap teecu sebagai musuh,"
Akan tetapi, Tiauw Sun Ong tertawa, "Ha-ha-ha, Bun Houw, engkau seorang laki-laki yang bodoh. Kau tahu, Hui Hong itu amat mencintamu!”
"Eh-eh? Bagaimana mungkin suhu dapat mengetahuinya? Bakankah suhu belum pernah jumpa dengannya? Bagaimana suhu dapat mengatakan demikian?"
"Bodoh! Seorang gadis yang sudah membela seorang laki-laki dengan taruhan nyawa, itu berarti bahwa ia mencintamu. Bun Houw, mencintamu dengan tulus, bahkan lebih dari pada nyawanya sendiri."
"Akan tetapi, hal itu ia lakukan hanya untuk membalas budi, suhu. Teecu pernah menghindarkan ia dari pada malapetaka diperkosa oleh Suma Hok!”
"Tidak ada balas budi dengan mengorbankan nyawa sendiri. Aku yakin. Bun Houw, gadis itu mencintamu. Dan akupun yakin bahwa engkau juga mencintanya! Tidak perlu kau membantah lagi, aku dapat menjenguk isi hatimu dari suara dan kata-katamu. Nah, sekarang, bagaimana kalau kita pergi menemui keluarga Ouwyang dan aku melamarkan Hui Hong untuk menjadi jodohmu?"
Berbagai macam perasaan mencengkeram hati Bun Houw. Dia merasa girang, akan tetapi juga terharu dan diapun menjatuhan diri di depan kaki gurunya, "Suhu..."
Tiauw Sun Ong meraba kepala muridnya. "Eh! Kau kenapa? Tidak girangkah hatimu kalau kulamarkan Hui Hong untuk menjadi Jodohmu!”
"Suhu. tentu saja teecu gembira sekali dan terima kasih atas budi kecintaan suhu terhadap teecu. Akan tetapi, suhu. keluarga Ouwyang amat membenci teecu, Teecu khawatir kalau lamaran suhu hanya akan mendatangkan kemarahan kepada mereka dan akan menyusahkan suhu saja. Mengingat akan sikap Bu-eng-kiam Ouwyang Sek kepada teecu, teecu hampir yakin bahwa dia tentu akan menolak lamaran itu."
Bun Houw merasa betapa jari-jari tangan gurunya yang kini berada di pundaknya itu mengeras dan menegang. "Dia berani menolaknya, akan kubunuh dia! Perhitungan antara aku dan dia masih belum lunas dan dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!”
"Suhu, kenapa suhu marah kepadanya? Apakah karena dia telah menganiaya teecu dan merampas Lui-kong-kiam! Harap subu jangan membunuhnya, teecu kasihan kepada Hui Hong dan...“
“Justeru karena Hui Hong aku hendak membunuhnya! Karena Hui Hong dan Ibunya!"
"Suhu...!”
"Bun Houw, dengar baik-baik. Kalau engkau mencinta Hui Hong, dan Hui Hong mencintamu, tidak ada seorang manusia atau iblis pun di dunia ini yang akan menghalangi kalian berjodoh. Cintamu terhadap Hui Hong kuterima dan engkau kuterima menjadi calon suami Hui Hong. Ingin aku melihat siapa yang akan berani mencampuri!”
"Akan tetapi, yang berhak menentukan tentu saja ayahnya, suhu."
"Tepat sekali! Ayahnya yang harus menentukan tentang pernikahan anaknya, dan ayah Hui Hong adalah aku!”
Bun Houw hampir terjengkang saking kagetnya. Dia memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak dan bingung, khawatir lagi kalau-kalau suhunya terluka oleh pertandingan tadi dan mengalami gangguan pada pikirannya karena terguncang hebat.
"Sudahlah, suhu, harap jangan pikirkan lagi urusan itu. Mari, suhu, silakan suhu beristirahat. Sebetulnya, kenapa suhu meninggalkan pondok dan mengapa suhu berada di sini? Suhu hendak pergi ke manakah?"
Tiauw Sun Ong tertawa, maklum apa yang dikhawatirkan muridnya. "Ha-ha-ha, engkau mengira aku gila? Bun Houw, justeru aku pergi nutuk mengunjungi Ouwyang Sek, dan kebetulan bertemu denganmu di sini. Tidak ada berita yang lebih menggembirakan dari pada kenyataan bahwa engkau saling mencinta dengan Hui Hong, saling mencinta dengan anakku.”
“Anak suhu? Siapakah anak suhu...?”
“Hui Hong itu adalah puterik, Bun Houw.”
“Akan tetapi bagaimana mungkin...?"
"Bun Houw, ingatkah engkau akan ceritaku dahulu tentang sebab butanya kedua mataku?"
Bun Houw mengangguk, lupa bahwa gurunya tidak dapat melihatnya. Ketika ingat akan hal itu, dia cepat berkata, "Teecu ingat, suhu. Bukankah karena suhu membutakan diri sendiri karena urusan... eh, selir kaisar itu?"
"Benar. Nah, selir itu bernama Pouw Co Lan dan setelah aku pergi meninggalkan Istana, kemudian aku mendengar bahwa selir itu dihukum buang oleh kaisar, akan tetapi di dalam perjalanan ia dibebaskan oleh seorang tokoh kang-ouw yang kemudian terkenal dengan julukannya Bu-eng-kiam..."
"Ouwyang Sek...?”
"Benar. Pouw Cu Lan dibebaskan Ouwyang Sek dari tangan para perajurit pengawal, dan dia membunuh semua perajurit dan membawa pergi wanita itu yang kemudian dia jadikan isterinya."
"Ibunya Hui Hong...?" Bun Houw bertanya terkejut dan heran.
"Benar lekali. Pouw Cu Lan menjadi isteri Ouwyang Sek dan kemudian ia melahirkan Hui Hong, anakku!”
"Bagaimana ini, suhu? ia menjadi isteri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek lalu melahirkan seorang anak, akan tetapi suhu mengatakan bahwa anak itu, Ouwyang Hui Hong, adalah puteri suhu?"
"Karena kemudian kuketahui bahwa setelah enam bulan menikah dengan Ouwyang Sek, Pouw Cu Lan melahirkan seorang anak perempuan. Hal ini berarti bahwa ketika menjadi Isteri datuk itu, ia telah mengandung kurang lebih tiga bulan. Jelas bahwa Hui Hong adalah keturunanku, anakku, bukan keturunan Ouwyang Sek. Maka, akulah yang berhak menentukan jodohnya, jodoh anakku. Nah, mari kita berkunjung ke Lembah Bukit Siluman!”
Bun Houw masih bingung. Kiranya Hui Hong adalah puteri gurunya, walaupun sejak anak itu berada dalam perut ibunya, sudah ditinggalkan ayah kandung. Bagaimana mungkin Hui Hong akan dapat mengakui Tiauw Sun ong sebagai ayahnya kalan sejak lahir ia berada di rumah Ouwyang Sek yang tentu dianggap ayahnya sendiri?
Akan tetapi, kini dia berbesar hati. Kiranya gadis yang dikasihinya itu malah puteri gurunya sendiri! Kalau begitu, bukan hal penting mengenai pendapat Ouwyang Sek tentang hubungan batin antara dia dan gadis itu. Dengan hati dan langkah ringan, Bun Houw lalu berangkat bersama gurunya, menuju ke Lembah Bukit Siluman, tempat tinggal datuk yang ditakuti orang itu...
Dia melangkah perlahan dengan tongkat butut di tangan pada saat ada belasan orang berdatangan dari depan. Pada hal tadi, ketika tidak ada orang lain, pria ini berjalan dengan cepat seperti orang berlari saja, akan tetapi begitu muncul rombongan terdiri dari belasan orang itu, tiba-tiba saja langkahnya menjadi perlahan dan biasa. Hal ini saja membuktikan bahwa biarpun kedua matanya buta, orang ini dapat mengetahui akan munculnya belasan orang itu.
Belasan orang itu rata-rata nampak gagah dan kuat. berusia dari tiga puluh sampai lima puluh tahun, dipimpin seorang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun yang sikapnya gagah sekali. Begitu melihat pria buta itu, belasan orang ini saling berbisik dan mereka sengaja lari menghadang pria itu. Pria buta itu maklum bahwa belasan orang itu menghadang di depannya. Dia menahan langkahnya, berdiri bersandar tongkat bututnya dan menundukkan muka. Nampak acuh, namun sesungguhnya, sepasang telinganya menangkap semua gerakan belasan orang itu, sampai gerakan yang sekecil-kecilnya.
Setelah berhadapan, pemimpin rombongan itu, yang tinggi besar dan gagah, segera maju dan berlutut dengan sebelah kakinya, memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada. Empat belas orang pengikutnya. Ikut pula berlutut ketika si tinggi besar berlutut dan semua orang memberi hormat. Akan tetapi, pria buta itu bersikap seolah tidak tahu akan, apa yang terjadi di depannya.
"Pangeran, hamba bekas Jenderal Yap Lok, maafkan hamba dan empat belas orang pengikut hamba yang tardiri dari bekas para perwira menengah Kerajaan Liu-sung kalau hamba sekalian menghadang dan mengganggu ketenteraman paduka."
Pria buta itu memang bekas Pangeran Tiauw Sun Ong. Dia tersenyum, senyum lembut dan suaranya juga lembut ketika dia berkata, "Seperti juga kalian ini bebas jenderal dan bekas perwira, akupun hanya bekas pangeran saja. Saudara Yap, kita sekarang menjadi orang-orang biasa, harap jangan memakai segala macam peradatan dan kesungkanan. Marilah kita bicara seperti kenalan dan sahabat saja. Bangkitlah kalian dan kalau aku boleh bertanya, kalian hendak ke mana?"
"Maaf, pangeran. Kami tidak dapat menghapus sebutan pangeran karena bagi kami, paduka satu-satunya pangeran yang masih ada, dan padukalah harapan kami satu-satunya. Kami sengaja mendaki Bukit Hwa-san untuk mencari dan menghadap paduka."
Pria buta itu mengerutkan alisnya. Sudah puluhan tahun dia meninggalkan Kerajaan Liu-sung, sampai beberapa tahun yang lalu kerajaan itu hancur dan runtuh, kini digantikan oleh Kerajaan Chi. Dia sudah tidak menganggap dirinya sebagai pangeran, Apalagi berhubungan dengan bekas pembesar militer kerajaan keluarganya yang sudah jatuh itu.
"Saudara Yap, ada urusan apakah engkau dan teman-temanmu mencari aku? Sudah puluhan tahun aku mengasingkan diri dan tidak ingin lagi berurusan dengan keributan dunia."
Biarpun mulutnya berkata demikian, namun diam-diam Tiauw Sun Ong merasa hatinya pedih. Baru saja dia terpaksa meninggalkan puncak Hwa-san setelah mendengar bahwa dia mempunyai keturunan, mempunyai seorang anak kandung yang terlahir dari Pouw Cu Lan, hasil hubungan gelapnya dengan selir kaisar duapuluhan tahun yang lalu. Dan kini, keselamatan Pouw Cu Lan dan puterinya itu diancam oleh Kwan Im Sianli Bwe Si Ni yang hendak membalas dendam kepadanya karena dia tidak mau diajak hidup bersama! Dia terpaksa terjun ke dunia ramai untuk melindungi anak kandungnya, akan tetapi di depan bekas Jenderal Yap Lok, dia mengatakan bahwa dia tidak ingin lagi berurusan dengan keributan dunia!
"Pangeran, bagaimana mungkin kita mendiamkan saja para pemberontak dari keluarga siauw yang hina itu merampas tahta kerajaan, menghancurkan Kerajaan Liu-Sung kita yang jaya dan mendirikan kerajaan baru? Selama kita masih hidup, kita harus berusaha untuk merebut kembali kekuasaan itu dan menegakkan kembali Kerajaan Liu-sung? Selama ini, kami tidak berdaya karena tidak ada lagi seorangpun pangeran dari Kerajaan Liu-sung. Kami telah berusaha mencari paduka, namun sia-sia belaka. Baru sekarang kami dapat menemukan jejak paduka, dan kami sengaja menghadap untuk mohon agar paduka suka memimpin kami, menyusun barisan untuk merebut kenbali kekuasaan dari raja pemberontak Chi itu.”
Tiauw Sun Ong tertawa, tertawa karena geli mendengar usul yang penuh semangat itu. "Ha-ha-ha, sungguh lucu mendengar kata-katamu itu, seperti bermain sandiwara di panggung saja, maaf saudara Yap Lok, cita-citamu itu seperti membangun benteng di awang-awang saja. Aku hanya seorang buta, apalagi sudah tidak menginginkan segala kemuliaan duniawi, bagaimana kini kalian menganjurkan aku untuk menjadi pemimpin pemberontak terhadap Kerajaan Chi? Tidak, selain aku tidak mampu, juga aku tidak mau terlibat dalam perang dan keributan."
"Harap paduka tidak berpura-pura lagi. Kami telah melakukan penyelidikan dengan seksama dan kami tahu bahwa paduka sekarang, biarpun tidak dapat melihat lagi, namun telah menjadi seorang sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pangeran, demi kejayaan Kerajaan Liu-sung, demi nama dan kehormatan keluarga paduka sendiri, marilah kita bangkit dan rampas kembali kerajaan..."
"Cukup! Aku tidak mau dengar lagi dan harap kalian memilih orang lain saja. Jangan ganggu aku lagi." kata bekas pangeran itu, nada dan suaranya tegas.
Wajah bekas jendral itu berubah merah dan dengan matanya dia memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Lima belas orang itu kelihatan marah dan garang, bahkan sudah meraba gagang senjata masing-masing.
"Hemmm, sungguh tidak kami sangka bahwa Pangeran Tiauw Sun Ong hanya seorang penakut dan pengecut."
"Yap Lok, tahan mulutmu!" bentak pria buta itu.
"Pangeran, kalau paduka tidak takut dan bukan pengecut, maka paduka lebih rendah lagi, karena paduka akan menjadi seorang pengkhianat yang menaruh dendam terhadap kerajaan keluarga sendiri karena peristiwa dengan selir yang sangat memalukan itu. Paduka dendam dan karena itu tidak perduli kerajaan sendiri dirampas orang lain."
"Yap Lok. aku tidak mau bekerja sama denganmu. Tidak perlu engkau menghinaku dan memanaskan hatiku. Pergilah kalian dan jangan ganggu aku lagi."
"Kalau paduka tidak mau, terpaksa kami paksa. Lebih baik kami melihat paduka tewas di tangan kami dari pada melihat paduka berkeliaran sebagai seorang pengkhianat," kata Yap Lok sambil mencabut pedangnya.
Perbuatannya ini diikuti empat belas orang pengikutnya dan nampaklah senjata berkilauan di tangan mereka dan otomatis merekapun membuat gerakan mengepung pangeran itu. Lima belas orang itu adalah bekas para perwira kerajaan, masing-masing memiliki Ilmu silat yang tangguh dan merupakan Jagoan-Jagoan Istana Kerajaan Liu-sung yang sudah jatuh.
Biarpun dia masih berdiri dengan kepala menunduk, namun bekas pangeran yang buta matanya itu dapat mengikuti gerak-gerik lima belas orang itu dengan pendengarannya yang amat peka dan tajam. Dia tahu bahwa lima belas orang itu telah mengepungnya dengan senjata tajam di tangan, siap membunuh atau menawannya. Dia tersenyum getir. Tak di sangkanya bahwa setelah menyembunyikan diri dan hidup tenteram di tempat-tempat sunyi, hari ini dia terpaksa turun gunung dan begitu turun, dia sudah bertemu dengan belasan orang yang hendak menawan atau membunuhnya!
Seolah makin terasa olehnya betapa dunia ini menjadi panas dan kotor oleh nafsu yang lelah menguasai diri manusia. Di mana terdapat manusianya, di mana terdapat kekerasan, nafsu bergelora dan manusia menjadi hamba setan yang merajalela dalam hati dan akal pikiran.
Nafsu iblis mengendalikan manusia. menyeret manusia dalam segala macam perbuatan yang keras, kejam, kotor dan menyimpang dari sifat manusia pada saat dia dilahirkan. Panas bumi semakin panas, dunia semakin kacau. Di tempat-tempat yang tidak ada manusianya, segala sesuatu nampak penuh damai dan tenteram, margasatwa, bahkan pohon-pohon, hidup bebas dan begitu wajar. Namun, begitu dia tiba di tempat di mana ada manusianya, kebebasan sirna, persaingan, perebutan kekuasaan, pengejaran kesenangan, pemaksaan kehendak terhadap orang lain, penindasan, permusuhan, tiada hentinya menjadi permainan manusia.
"Kalian mau apa? Sadarlah, Yap Lok, engkau dan kawan-kawanmu telah menyimpang dari kebenaran. Jangan biarkan nafsu setan menyeret kalian ke jalan sesat!” Bekas pangeran itu masih mencoba untuk menyadarkan mereka.
"Engkau yang menyimpang dari kebenaran, engkau yang tersesat, Tiauw Sun Ong!” bentak Yap Lok. "Menyerahlah atau terpaksa kami akan membunuhmu!"
"Hemm, seekor semutpun akan menggigit kalau diinjak. Aku manusia. tentu akan membela diri kalau hendak dibunuh!” kata pangeran itu dengan sikap tenang.
Yap Lok memberi Isyarat dengan pandang matanya dan seorang di antara pengikutnya, yang berdiri di belakang pangeran itu, mengeluarkan bentakan nyaring dan menusukkan pedangnya ke arah punggung Tiauw Sun Ong.
"Haiiiilitttt...!"
Pedang meluncur bagaikan kilat menyambar dan agaknya tidak mungkin bekas pangeran itu akan mampu menyelamatkan diri dari serangan tiba-tiba yang dilakukan dari belakangnya dan amat cepat dan kuat itu. Namun, baru saja orang itu bergerak, Tiauw Sun Ong sudah dapat mengetahui dan menangkap gerakannya dengan pendengaran. Dia hanya menggerakkan tubuhnya sedikit saja, memutar tubuh atas ke belakang didahului sinar hitam menyambar dan tahu-tahu tongkat bututnya yang hitam sudah bergerak ke belakang dan memakai pergelangan tangan yang menusukkan pedang. Gerakan memutar tubuh itu membuat pedang yang menusuk lewat di samping tubuhnya dan pukulan tongkatnya dengan tepat mengenai pergelangan tangan lawan yang memegang pedang.
"Dukkk! Aughhh...!”
Orang itu melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang sambil menggosok pergelangan tangan kanan yang menjadi matang biru dan terasa nyeri bukan main. Masih untung bahwa Tiauw Sun Ong tidak menggunakan seluruh tenaganya. Kalau demikian halnya, tentu tulang lengan itu telah menjadi patah!
Melihat ini, empat belas orang yang lain dipimpin Yap Lok segera menggerakkan senjata menyerang. Hujan senjata menyambar dari segala jurusan ke arah tubuh Tiauw Sun Ong. Bekas pangeran ini dengan amat lincahnya berloncatan ke sana-sini. didahului gulungan sinar hitam tongkatnya dan diapun tenggelam dalam pengeroyokan yang amat ketat. Biarpun lima belas orang itu merupakan bekas jagoan-jagoan Istana, namun kalau dibandingkan, tak seorangpun di antara mereka yang mampu menandingi tingkat kepandaian Tiauw Sun Ong.
Akan tetapi karena mereka berjumlah banyak, rata-rata lihai dan memiliki pengalaman bertempur, di lain pihak Tiauw Sun Ong tidak tega untuk membunuh atau melukai berat, hanya membela diri, maka sebentar saja bekas pangeran itu terdesak hebat! Tiauw Sun Ong menganggap mereka itu tidak jahat, walaupun dia tahu benar akan watak manusia yang selalu berbuat dengan bimbingan nafsu.
Mereka ini banya akan memperalat dia, karena kalau dia mau memimpin "perjuangan" mereka itu, karena dia seorang bekas pangeran, tentu banyak bekas pasukan Liu-sung yang suka bergabung. Di balik semua ini, tentu mereka ini mempunyai suatu cita-cita yang pada hakekatnya mementingkan diri sendiri. Disebut dengan kata yang muluk bagaimanapun juga, pada dasarnya, mereka itu nekat karena mengejar sesuatu hasil yang mereka bayangkan akan dapat membuat mereka hidup mulia dan senang.
Dan dia tahu bahwa ini memang kelemahan manusia. Nafsu yang menguasai diri membuat manusia selalu mengejar sesuatu yang dianggap akan menyenangkan dirinya, dan dalam pengejaran ini, manusia lupa diri, lupa akan kebenaran. Cara apapun yang dipergunakan, dianggap benar demi mencapai cita-cita yang dikejarnya. Tujuan menghalalkan segala cara selalu akan terjadi, lambat maupun cepat, disadari maupun tidak.
Tiauw Sun Ong tidak menyalahkan mereka. Mereka ini hanya manusia-manusia lemah, seperti yang lain. Karena itu, dia tidak tega untuk membunuh atau melukai mereka, dan hal ini membuat dia sendiri menjadi repot dan terdesak hebat, bahkan terancam bahaya maut!
Pada saat itu, tiba-tiba bagaikan ada badai mengamuk, sesosok bayangan tubuh orang terjun ke dalam pertempuran. Dia menggerakkan kedua tangannya dan hanya dengan mendorong saja, para pengeroyok itu terpelanting, terjengkang dan terlempar bagaikan sekumpulan daun kering tertiup angin.
"Suhu...!” Bayangan itu berteriak girang.
"Ehh...? Kaukah itu, Bun Houw?”
"Suhu, biar tcecu (murid) yang mengusir anjing-anjing serigala yang jahat ini!" teriak pula Kwa Bun Houw yang baru datang.
"Jangan lukai mereka, jangan bunuh. Mereka bukan perampok, bukan penjahat. Mereka bekas para perwira Liu-sung." kata Tiauw Sun Ong.
Bun Houw terkejut dan juga merasa heran. Gurunya bekas pangeran kerajaan Liu-sung, berarti para perwira Liu-sung adalah bawahannya. Kenapa menyerang bekas pangeran atasan mereka sendiri? Dan melihat gerakan mereka, penyerangan itu bukan main-main, melainkan dimaksudkan untuk membunuh. Lebih aneh lagi gurunya melarang dia untuk melukai mereka, apalagi membunuh. Akan tetapi, Bun Houw amat menghormati dan mentaati gurunya, maka diapun berseru,
"Baik, suhu. Harap suhu mundur dan biar teecu sendiri menghadapi mereka."
Bun Houw mengamuk. Ketika bekas panglima Yap lok mendengar percakapan itu, dia tahu bahwa pemuda itu adalah murid bekas pangeran itu. Dan memang pernah mendengar bahwa pangeran yang menjadi buta dan meninggalkan istana sebelum kerajaan Liu-sung jatuh itu kabarnya telah menjadi seorang yang lihai. Tadinya dia dan kawan-kawannya memandang rendah karena betapapun lihainya, bekas pangeran itu telah menjadi seorang buta.
Siapa kira, pangeran itu benar-benar lihai, buktinya tadi pengeroyokan mereka tidak mampu merobohkan sang pangeran. Kini muncul muridnya, tentu tidak selihai gurunya. Maka dengan marah karena putus harapan ditolak permintaannya oleh bekas pangeran itu, Yap Lok berseru menyuruh anak buahnya untuk menyerang dan diapun memelopori mereka dengan menusukkan pedangnya. diikuti oleh empat belas orang anak buahnya.
Akan tetapi Bun Houw menghadapi mereka dengan amat mudahnya. Pemuda ini hanya berdiri tegak dan nampak dia menggerak-gerakkan kedua lengannya seperti orang menangkis dan mendorong. Akan tetapi akibatnya sungguh luar biasa. Lima belas orang itu tidak mampu mendekat dan mereka terpental atau terpelanting seperti dilanda badai yang dahsyat dan setiap kali mereka menyerang, dalam jarak dua meter mereka seperti bertemu dengan dinding yang tidak nampak, yang membuat mereka terpental kembali.
Akhirnya, setelah jatuh bangun tanpa tersentuh langsung oleh kedua tangan Bun Houw. Yap Lok maklum bahwa kepandaian pemuda ini bahkan jauh lebih dahsyat dan mengerikan dibandingkan ilmu Pangeran Tiauw Sun Ong! Maka, diapun memberi isyarat kepada anak buahnya dan mereka melarikan diri dari tempat itu.
Bun Houw membalik, menghadapi gurunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. "Suhu, apakah selama ini suhu baik-baik saja?”
Akan tetapi kakek buta itu berdiri tegak, alisnya berkerut dan dia tidak segera menjawab, mukanya terangkat ke atas seperti tidak perduli kepada pemuda yang berlutut di depan kakinya.
"Suhu...“ Bun Houw merasa akan sikap yang dingin itu.
"Bun Houw, katakan, ilmu iblis apa yang kau pergunakan tadi?"
Kini mengertilah Bun Houw. Gurunya yang buta ini lebih waspada dibandingkan orang yang melek. Sehingga gurunya tadi dapat mengikuti semua gerakannya ketika dia melawan empat belas orang itu. "Suhu, teecu mentaati perintah Suhu, tidak melukai mereka, bahkan tidak menyentuh mereka, hanya mendorong dari jauh saja.”
"Itulah yang kumaksudkan. Tenaga doronganmu itu. Ilmu apa yang kau pergunakan dan dari mana engkau mempelajari ilmu itu? Hayo katakan! Apakah selama ini engkau berguru kepada orang lain tanpa minta ijin dariku?"
"Suhu, bagaimana teecu berani berguru kepada orang lain? Pula, di dunia ini mana ada guru lain yang lebih baik dari pada suhu? Tidak, teecu tidak berguru kepada orang, akan tetapi teecu telah mengalami banyak hal yang aneh yang suhu tidak akan pernah mimpikan. Di antaranya, teecu telah menelan habis mustika Akar Bunga Gurun Pasir."
Kini sepasang mata yang buta itu terbelalak. kedua tangan itu kini meraba-raba kepala pemuda yang berlutut di depannya. "Apa...? Kau... kau makan seluruh Akar Bunga Gurun Pasir dan kau masih hidup...? Muridku, apa yang telah terjadi? Ceritakan semua kepadaku!”
Gembira sekali rasa hati Bun Houw melihat sikap gurunya yang sudah berubah ramah itu. Dia memegang tangan gurunya, bangkit dan menuntun gurunya untuk dnduk di atas batu besar di bawah pohon yang teduh. Setelah keduanya duduk, Bun Houw berkata,
"Panjang sekali ceritanya, suhu. Selama ini teecu telah mengalami banyak hal yang hebat dan aneh.”
Pemuda itu lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa dia menerima pukulan yang dahsyat dari Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang bahkan telah merampas pedangnya, Lui-kong-kiam dan membiarkan dia pergi dengan menderita luka parah. Betapa kemudian dia bertemu dengan Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan karena tidak tahu di mana adanya Akar Bunga Gurun Pasir, datuk majikan Bukit Kui-eng-san itu memukul punggungnya, membuat dia semakin payah karena menerima dua kali pukulan beracun dari dua orang datuk sakti.
"Dalam keadaan hampir mati, teecu yang hampir telanjang karena semua pakaian dan bekal emas pemberian suhu dirampas Suma Koan, teecu menerima pertolongan suami isteri pemburu ketika teecu jatuh pingsan di depan pondok mereka. Dan entah bagaimana teecu sendiri tidak tahu, isteri pemburu itu di luar pengetahuannya, telah memberi teecu obat minum. Teecu sendiri tadinya tidak tahu obat apa yang diminumkan kepada teecu itu. Teecu merasa seperti terbakar dari dalam, akan tetapi selanjutnya ternyata teecu telah mendapatkan tenaga sinkang yang dahsyat luar biasa. Dan tanpa disengaja, tanpa diketahui pula oleh suami isteri itu, teecu telah menelan habis seluruh Akar Bunga Gurun Pasir!"
"Hemm, menarik sekali! Bagaimana pemburu itu dapat menemukan Akar Bunga Gurun Pasir?”
"Teecu tidak tahu bagaimana mustika yang dibuat perebutan oleh semua orang sakti di dunia itu terjatuh ke tangan seorang pemburu yang lemah saja. Dan tanpa disengaja, mustika itu telah memasuki perut teecu!"
"Teruskan ceritamu yang amat menarik itu, Bun Houw."
"Setelah teecu minum mustika aneh itu, terjadi keanehan dalam tubuh teecu. Agaknya hawa beracun dari kedua orang datuk itu bercampur dengan mustika Akar Bunga Gurun Pasir, mendatangkan semacam hawa yang dahsyat dan sukar dikendalikan." Bun Houw lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan perampok-perampok yang kemudian memberi tahu kepadanya tentang adanya guha siluman yang telah menjatuhkan banyak korban.
"Banyak terdapat kerangka manusia dan senjata-senjata di depan guha itu, dan pada saat teecu datang ke sana, teecu sempat melihat seorang korban terakhir. Dia seperti orang gila, menyerang teecu ketika teecu melihat dia bersilat aneh dan terhuyung. Teecu menangkis dan diapun roboh tewas. Kemudian teecu mendengar suara orang-orang di luar guha ketika teecu sudah berada di dalam bahwa yang baru saja tewas itu adalah Toat-beng Kiam-ong."
"Hemm, Toat-beng Kiam-ong? Dia seorang tokoh sesat yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Kalau dia sampai tewas, tentu ada yang amat hebat di dalam guha itu dan engkau memasukinya, Bun Houw? Manusia macam apakah yang berada di dalam guha dan telah membunuh banyak tokoh persilatan tu?"
"Tidak ada seorangpun manusia di sana, suhu. Yang ada hanyalah pelajaran Ilmu silat dan ilmu itulah yang telah membunuh banyak orang itu!”
"Ehh? Apa maksudmu? Ceritakan yang jelas!” Kakek buta itu semakin tertarik mendengar cerita muridnya.
Bun Houw lain menceritakan dengan jelas tentang isi guha, tentang pelajaran ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tentang peringatan akan bahayanya mempelajari ilmu yang mujijat itu. Kemudian Bun Houw menceritakan bahwa karena tertarik, dan karena ingin menguasai kekuatan dahsyat yang menggelora dan meliar di dalam tubuhnya, dia lalu mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng sampai berhasil baik dan dia mampu menguasai dan mengendalikan hawa sakti yang meliar di dalam tubuhnya.
"Ahh, kiranya begitu? Engkau telah mewarisi Im-yang Bu-tek Cin-keng? Akan tetapi, aku sendiri hanya pernah mendengar Ilmu itu yang dikabarkan telah musnah dari dunia ini. siapa tahu engkau malah yang telah mewarisi, Bun Houw. Pantas saja engkau tadi menggunakan tenaga yang demikian dahsyat, kiranya engkau telah menguasai Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tadinya kukira hanya dongeng belaka. Muridku yang baik. bersiaplah engkau!”
“Tapi, tuhu... "
Akan tetapi pada saat itu, Pangeran Tiauw Sun Ong telah menyerangnya dengan ganas sekali, menggunakan tongkatnya dengan jurus maut dan bahkan menggunakan seluruh tenaganya sehingga nampak kilat berkelebat dan bunyi berciutan ketika tongkat itu sudah melakukan totokan yang bertubi-tubi terhadap jalan darah di bagian depan tubuh Bun Houw.
Bun Houw maklum bahwa gurunya tidak main-main dan ingin mengujinya, maka dia pun tahu bahwa kalau dia mempergunakan Ilmu yang dia dapat dari gurunya, dia tidak akan mampu bertahan. Gurunya menyerang dengan sepenuh tenaga dan kecepatan. Juga menggunakan jurus-jurus yang paling lihai. Maka, diapun tidak ragu lagi, segera mengerahkan tenaga sakti dan bergerak menurut ilmu barunya, yaitu Im-yang Bu-tek Cin-keng. Bagaikan air samudera digerakkan badai, datanglah tenaga yang bergelombang dahsyat menyambut serangan Tiauw Sun Ong.
Terjadi benturan-benturan tanaga jarak jauh yang membuat semua serangan kakek buta itu membalik. Tiauw Sun Ong terkejut akan tetapi juga girang sekali. Kini dia membuktikan sendiri bahwa Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah ilmu yang amat hebat dan yang membuat dia girang dan bangga adalah bahwa muridnya yang menjadi pewaris Ilmu itu! Dia menyerang lagi semakin hebat. Akan tetapi, makin keras dia menyerang, semakin keras pula dia terpental dan akhirnya. ketika sarangan terakhir yang amat dahsyatnya dia lakukan, ditangkis oleh Bun Houw. tubuh kakek itu terlempar dan terbanting keras.
"Suhu...!” Bun Houw berteriak dan sekali meloncat dia sudah berada di dekat suhunya dan membantu kakek itu bangkit berdiri. "Suhu. maafkan teecu..."
Tiauw Sun Ong tertawa girang dan menyusut keringat dari dahi dan lehernya. "Ha-ha-ha, bukan main! Sungguh aku merasa girang dan bangga sekali, Bun Hoaw. Engkau kini lebih hebat dariku, jauh lebih kuat dan aku bukanlah tandinganmu lagi! Ha-ha-ha!"
Wajah pemuda itu berubah kemerahan. "Aih, suhu! Tadi suhu hanya menguji tenaga teecu saja dan mungkin karena teecu telah menelan Akar Bunga Gurun Pasir, dan karena suhu sudah tua, maka teecu unggul dalam hal tenaga. Kalau suhu menggunakan tongkat pedang dan menyerang teecu tanpa mengandalkan tenaga, mungkin teecu tidak akan mampu melawan."
"Hemm, memang baik sekali sikapmu merendahkan diri itu, tanda bahwa biar engkau telah mewarisi ilmu yang dahsyat, engkau tidak menjadi sombong. Akan tetapi, sesungguhnya, Bun Houw. Ilmu pedang kilat kita tidak akan mampu menandingi Im-yang Bu-tek Cin-keng. Apalagi kalau engkau sudah melatihnya sampai matang. Aku yakin semua datuk di empat penjuru tidak akan mudah mengalahkanmu kalau engkan menggunakan ilmu itu dan mengerahkan tenagamu yang timbul dari Akar Bunga Gurun Pasir. Hemm, bagaimanapun juga, engkau harus berterima kasih kepada dua datuk itu, Ouwyang Sek dan Suma Koan."
"Suhu, mereka berdua sudah memukul dan menyiksa teecu dengan pukulan beracun yang tentu akan mematikan teecu kalau saja tidak secara kebetulan teecu diberi minum Akar Bunga Gurun Pasir!” Bun Houw merasa penasaran.
"Justeru pukulan itulah yang membantu mustika itu bekerja dalam tubuhmu. Kalau hanya meminum air masakan mustika itu saja, kuyakin tidak akan sehebat itu khasiatnya. Ingat, mustika itu adalah milik Ouwyang Sek. Kalan mustika itu mendatangkan kekuatan sehebat itu. tentu sudah sejak dahulu dia minum sendiri! Mustika itu tadinya hanya dikenal sebagai obat penyembuh saja. Baru setelah bertemu dengan dua macam hawa beracun dalam tubuhmu, terjadi akibat yang luar biasa, yaitu menimbulkan tenaga mujijat yang kini menjadi milikmu. Nah, bukankah mereka telah berjasa besar, walaupun mereka melakukan tanpa sengaja, bahkan beriktikad buruk, yaitu untuk membunuhmu secara perlahan-lahan?”
Bun Houw mengangguk-angguk. "Sekarang barulah teecu mengerti akan kata-kata dan nasehat suhu dahulu bahwa cara yang dipergunakan Tuhan untuk memberkahi manusia kadang berselubung rahasia besar. Kini teecu mengerti apa artinya berkah terselubung. Dalam suatu peristiwa yang nampaknya buruk merugikan, mungkin tersembunyi berkah yang amat besar seperti yang teecu alami sendiri.”
Kakek buta itu mengangguk sagguk. "Benar sekali, muridku. Aku sendiri, kalau tidak terjadi peristiwa dengan selir kaisar sehingga akan membutakan mataku, yang membuat aku hampir tewas, tentu tidak akau dapat menguasai ilmu seperti sekarang ini dan tidak akan berjumpa denganmu. Oleh karena itu, seorang bijaksana pantang mengeluh apabila mengalami hal-hal yang tampaknya merugikan dan mengecewakan, karena dalam setiap peristiwa itu selalu terdapat hikmatnya yang terselubung,"
"Suhu benar, akan tetapi teecu hanya seorang manusia biasa, bagaimana mungkin teecu. dapat terbebas dari permainan rasa puas kecewa dan suka duka? Seperti kehilangan Lui-kong-kiam, hal itu tetap saja membuat teecu merasa kecewa dan menyesal sekali. Sekarang teecu harus mengunjungi Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. untuk minta kembali pedang itu."
"Bun Houw, engkau tadi belum bercerita jelas tentang terampasnya Lui-kong-kiam dari tanganmu oleh Ouwyang Sek. Nah, sekarang aku ingin mendengar ceritamu yang sejelasnya tentang itu."
Bun Houw mengulang ceritanya tentang pertemuannya dengan Ouwyang Hui Hong, kemudian pertemuannya dengan Ouwyang Sek dan betapa nyaris dia dibunuh Ouwyang Sek kalau tidak ada Hui Hong yang menyelamatkannya dan mencegah ayahnya dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri!
Kakek buta itu mendengarkan dengan asyik dan wajahnya berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah sehingga Bun Houw khawatir kalau-kalau suhunya terluka ketika bertanding dengan dia tadi.
"Kau kenapakah, suhu? Apakah suhu sakit?" tanyanya, menghentikan ceritanya yang sudah berakhir.
"Tidak, tidak, aku tidak apa-apa. Bun Houw, ceritakan kepadaku, bagaimana keadaan gadis bernama Ouwyang Hui Hong itu? Bagaimana bentuk wajahnya, bentuk tubuhnya dan terutama bagaimana watak dan perangainya ketika engkau bersamanya?"
Tentu saja Bun Houw merasa heran sekali kenapa gurunya bertanya tentang gadis yang tidak dikenalnya itu. "Ia... ia seorang gadis yang gagah perkasa, suhu, dan menurut pendapat teecu, wataknya baik sekali, berbudi dan sederhana walaupun ia dapat bersikap keras dan galak."
"Wajahnya... wajahnya bagaimana?"
Bun Houw menahan keheranannya, "Wajahnya! Ia cantik dan agung, suhu, dan bentuk tubuhnya, ramping indah..." Bun Houw teringat ketika sekilas dia melihat tubuh Hui Hong yang telanjang di dalam guha.
"Usianya berapa?"
"Sekitar dua puluh satu tahun..."
"Ceritakan bagaimana bentuk matanya, hidungnya, mulutnya dan bentuk wajahnya, satu demi satu, yang jelas..." Kakek itu nampak tegang dan bergairah sekali.
Sehingga Bun Houw merasa semakin heran. Akan tetapi, merasa kasihan karena teringat bahwa gurunya tidak mampu melihat, dia lalu menggambarkan keadaan Hui Hong sejelasnya dan dia semakin bingung mendengar mulut gurunya berbisik-bisik.
"Mirip ia... ah, mirip ia..."
Kamudian tiba-tiba Tiauw Sun Ong menangkap kedua tangan muridnya dan kedua mata yang hanya putih itu seperti hendak menatap wajah Bun Houw ketika mulutnya bertanya dengan suara gemetar, "Bun Houw, bilang terus terang kepadaku. Apakah engkau mencinta Hui Hong?"
Bun Houw terkejut mendengar pertanyaan ini. Akan tetapi, dia amat sayang dan taat kepada gurunya, dan tidak pernah berkata yang tidak benar. Dia menganggap gurunya sebagai pengganti orang tuanya, maka mendengar pertanyaan itu, dia menjenguk isi hatinya sendiri. Dia memang tak pernah dapat melupakan Hui Hong, hanya dia sendiri tidak yakin apakah dia mencinta Hui Hong, Dia pernah mencinta seorang wanita, yaitu Ling Ay.
Mungkin cintanya terhadap Ling Ay hanyalah cinta remaja, hanya karena ada ikatan perjodohan di antara mereka. Setelah perjodohan itu putus, dia tidak lagi memikirkan Ling Ay, Ketika dia bertemu lagi dengan Ling Ay yang telah menjadi isteri Cun Hok Seng dan melihat penderitaan wanita itu, yang ada dalam hatinya hanyalah iba. Dan sekarang, perasaannya terhadap Hui Hong membuat dia bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan suhunya.
"Bagaimana, Bun Houw? Katakan terus terang, apakah eugkau mencinta Hui Hong?"
"Suhu, Justeru teecu masih bingung untuk menjawab yang sebenarnya kepada suhu. Teecu juga bingung mengapa suhu menanyakan hal itu. Akan tetapi, suhu, terus terang saja, teecu merasa kagum, suka dan iba kepadanya. Ia telah mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan teecu. Bagaimana mungkin teecu dapat melupakannya? Akan tetapi, teecu tidak berani memastikan bahwa teecu mencintanya karena terus terang saja, teecu sendiri tidak mengerti, bagaimana dan apa cinta itu?"
Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, cinta antar pria dan wanita penuh pengaruh nafsu berahi, cinta seperti itu mementingkan kesenangan hati sendiri, karenanya hanya mendatangkan lebih banyak tangis dari pada tawanya. Akan tetapi, cinta seperti itu mungkin diperlukan oleh manusia. Begini saja, apakah engkau ingin selain berdekatan dengan Hui Hong, ingin melihat ia berada di sampingmu selalu ingin hidup bersamanya, membagi susah dan senang berdua? Nah, jawablah sejujurnya."
Wajah Bun Houw berubah kemerahan. "Aih, suhu, siapa yang tidak mau? Ia pandai dan cantik jelita, berbudi dan... ah, apa gunanya semua itu? Seorang gadis seperti Hu Hong, mana mungkin mau menjadi... eh, maksud teecu, mana mungkin mau dekat dengan orang seperti teecu? Dari pada mengharapkan lamunan kosong, lebih baik teecu melihat kenyataan. Ayahnya dan kakaknya amat membenci teecu, bahkan menganggap teecu sebagai musuh,"
Akan tetapi, Tiauw Sun Ong tertawa, "Ha-ha-ha, Bun Houw, engkau seorang laki-laki yang bodoh. Kau tahu, Hui Hong itu amat mencintamu!”
"Eh-eh? Bagaimana mungkin suhu dapat mengetahuinya? Bakankah suhu belum pernah jumpa dengannya? Bagaimana suhu dapat mengatakan demikian?"
"Bodoh! Seorang gadis yang sudah membela seorang laki-laki dengan taruhan nyawa, itu berarti bahwa ia mencintamu. Bun Houw, mencintamu dengan tulus, bahkan lebih dari pada nyawanya sendiri."
"Akan tetapi, hal itu ia lakukan hanya untuk membalas budi, suhu. Teecu pernah menghindarkan ia dari pada malapetaka diperkosa oleh Suma Hok!”
"Tidak ada balas budi dengan mengorbankan nyawa sendiri. Aku yakin. Bun Houw, gadis itu mencintamu. Dan akupun yakin bahwa engkau juga mencintanya! Tidak perlu kau membantah lagi, aku dapat menjenguk isi hatimu dari suara dan kata-katamu. Nah, sekarang, bagaimana kalau kita pergi menemui keluarga Ouwyang dan aku melamarkan Hui Hong untuk menjadi jodohmu?"
Berbagai macam perasaan mencengkeram hati Bun Houw. Dia merasa girang, akan tetapi juga terharu dan diapun menjatuhan diri di depan kaki gurunya, "Suhu..."
Tiauw Sun Ong meraba kepala muridnya. "Eh! Kau kenapa? Tidak girangkah hatimu kalau kulamarkan Hui Hong untuk menjadi Jodohmu!”
"Suhu. tentu saja teecu gembira sekali dan terima kasih atas budi kecintaan suhu terhadap teecu. Akan tetapi, suhu. keluarga Ouwyang amat membenci teecu, Teecu khawatir kalau lamaran suhu hanya akan mendatangkan kemarahan kepada mereka dan akan menyusahkan suhu saja. Mengingat akan sikap Bu-eng-kiam Ouwyang Sek kepada teecu, teecu hampir yakin bahwa dia tentu akan menolak lamaran itu."
Bun Houw merasa betapa jari-jari tangan gurunya yang kini berada di pundaknya itu mengeras dan menegang. "Dia berani menolaknya, akan kubunuh dia! Perhitungan antara aku dan dia masih belum lunas dan dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!”
"Suhu, kenapa suhu marah kepadanya? Apakah karena dia telah menganiaya teecu dan merampas Lui-kong-kiam! Harap subu jangan membunuhnya, teecu kasihan kepada Hui Hong dan...“
“Justeru karena Hui Hong aku hendak membunuhnya! Karena Hui Hong dan Ibunya!"
"Suhu...!”
"Bun Houw, dengar baik-baik. Kalau engkau mencinta Hui Hong, dan Hui Hong mencintamu, tidak ada seorang manusia atau iblis pun di dunia ini yang akan menghalangi kalian berjodoh. Cintamu terhadap Hui Hong kuterima dan engkau kuterima menjadi calon suami Hui Hong. Ingin aku melihat siapa yang akan berani mencampuri!”
"Akan tetapi, yang berhak menentukan tentu saja ayahnya, suhu."
"Tepat sekali! Ayahnya yang harus menentukan tentang pernikahan anaknya, dan ayah Hui Hong adalah aku!”
Bun Houw hampir terjengkang saking kagetnya. Dia memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak dan bingung, khawatir lagi kalau-kalau suhunya terluka oleh pertandingan tadi dan mengalami gangguan pada pikirannya karena terguncang hebat.
"Sudahlah, suhu, harap jangan pikirkan lagi urusan itu. Mari, suhu, silakan suhu beristirahat. Sebetulnya, kenapa suhu meninggalkan pondok dan mengapa suhu berada di sini? Suhu hendak pergi ke manakah?"
Tiauw Sun Ong tertawa, maklum apa yang dikhawatirkan muridnya. "Ha-ha-ha, engkau mengira aku gila? Bun Houw, justeru aku pergi nutuk mengunjungi Ouwyang Sek, dan kebetulan bertemu denganmu di sini. Tidak ada berita yang lebih menggembirakan dari pada kenyataan bahwa engkau saling mencinta dengan Hui Hong, saling mencinta dengan anakku.”
“Anak suhu? Siapakah anak suhu...?”
“Hui Hong itu adalah puterik, Bun Houw.”
“Akan tetapi bagaimana mungkin...?"
"Bun Houw, ingatkah engkau akan ceritaku dahulu tentang sebab butanya kedua mataku?"
Bun Houw mengangguk, lupa bahwa gurunya tidak dapat melihatnya. Ketika ingat akan hal itu, dia cepat berkata, "Teecu ingat, suhu. Bukankah karena suhu membutakan diri sendiri karena urusan... eh, selir kaisar itu?"
"Benar. Nah, selir itu bernama Pouw Co Lan dan setelah aku pergi meninggalkan Istana, kemudian aku mendengar bahwa selir itu dihukum buang oleh kaisar, akan tetapi di dalam perjalanan ia dibebaskan oleh seorang tokoh kang-ouw yang kemudian terkenal dengan julukannya Bu-eng-kiam..."
"Ouwyang Sek...?”
"Benar. Pouw Cu Lan dibebaskan Ouwyang Sek dari tangan para perajurit pengawal, dan dia membunuh semua perajurit dan membawa pergi wanita itu yang kemudian dia jadikan isterinya."
"Ibunya Hui Hong...?" Bun Houw bertanya terkejut dan heran.
"Benar lekali. Pouw Cu Lan menjadi isteri Ouwyang Sek dan kemudian ia melahirkan Hui Hong, anakku!”
"Bagaimana ini, suhu? ia menjadi isteri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek lalu melahirkan seorang anak, akan tetapi suhu mengatakan bahwa anak itu, Ouwyang Hui Hong, adalah puteri suhu?"
"Karena kemudian kuketahui bahwa setelah enam bulan menikah dengan Ouwyang Sek, Pouw Cu Lan melahirkan seorang anak perempuan. Hal ini berarti bahwa ketika menjadi Isteri datuk itu, ia telah mengandung kurang lebih tiga bulan. Jelas bahwa Hui Hong adalah keturunanku, anakku, bukan keturunan Ouwyang Sek. Maka, akulah yang berhak menentukan jodohnya, jodoh anakku. Nah, mari kita berkunjung ke Lembah Bukit Siluman!”
Bun Houw masih bingung. Kiranya Hui Hong adalah puteri gurunya, walaupun sejak anak itu berada dalam perut ibunya, sudah ditinggalkan ayah kandung. Bagaimana mungkin Hui Hong akan dapat mengakui Tiauw Sun ong sebagai ayahnya kalan sejak lahir ia berada di rumah Ouwyang Sek yang tentu dianggap ayahnya sendiri?
Akan tetapi, kini dia berbesar hati. Kiranya gadis yang dikasihinya itu malah puteri gurunya sendiri! Kalau begitu, bukan hal penting mengenai pendapat Ouwyang Sek tentang hubungan batin antara dia dan gadis itu. Dengan hati dan langkah ringan, Bun Houw lalu berangkat bersama gurunya, menuju ke Lembah Bukit Siluman, tempat tinggal datuk yang ditakuti orang itu...
********************