SEMUA orang yang berada di dalam rumah makan itu, terutama yang pria, memandang kepada dua orang wanita yang baru memasuki rumah makan dengan pandang mata kagum. Lucu melihat gaya setiap orang pria yang berada di situ. Ada yang memandang langsung dan menyeringai, ada yang mengerling lalu membereskan letak pakaian dan rambut, ada yang melirik dengan sikap acuh namun sesungguhnya perhatiannya tercurah kepada dua orang wanita itu.
Bahkan tiga orang pelayan rumah makan seperti berebut dulu menyambut mereka, dengan sikap hormat dan manis, dan mempersilakan, mereka ke meja yang masih kosong, yang kebetulan berada di sudut sebelah dalam sehingga banyak tamu yang dapat melihat mereka.
Peristiwa seperti ini, datangnya tamu wanita-wanita cantik, amat menguntungkan rumah makan dan hal ini diketahui benar oleh para pelayan, maka dua orang wanita itu dipersilakan duduk di tempat yang mudah dilihat oleh para tamu di meja lain. Dengan adanya "tontonan" gratis ini. para tamu akan lebih betah tinggal di situ dan pesanan makanan dan minuman akan bertambah banyak.
Dua orang wanita yang mamasuki rumah makan An-lok (Selamat Bahagia) di kota Ki-ciu itu memang amat menarik hati, terutama kaum pria, karena keduanya amat cantik jelita. Orang pertama adalah seorang wanita yang telah matang karena ia nampaknya berusia tiga puluh tahun lebih. Padahal sesungguhnya wanita ini sudah berusia empat puluh delapan tahun! Dalam usia mendekati setengah abad itu, ia masih kelihatan muda dan cantik menarik.
Wajahnya yang berkulit putih halus kemerahan itu manis sekali, nampak masih segar dan tidak kelihatan tanda ketuaan sama sekali. Juga bentuk tubuhnya masih padat dan ramping. Rambutnya digelung indah seperti sanggol rambut seorang puteri bangsawan saja, dan pakaiannya juga indah dan mahal. Hal ini tidaklah mengherankan karena wanita ini adalah Bwe Si Ni yang berjuluk Kwan-im sian-li (Dewi Kwan Im)! Ia adalah bekas dayang istana kerajaan Liu-sung yang telah jatuhi, dan setelah kini keluar dari istana, ia meniru gaya dan dandanan seorang pateri istana, bukan seorang dayang lagi!
Wanita yang ke dua lebih menarik lagi walaupun pakaian dan dandanannya tidak semewah wanita pertama. Ia seorang gadis yang juga berkulit putih mulus, namun pakaian dan dandanannya sederhana sehingga ia nampak cantik manis dan agung, juga gagah karena di punggungnya terdapat gendongan sebuah bantalan kain kuning dan di bawah buntalan itu terdapat pula sepasang pedang yang sarung dan gagangnya terukir indah. Gadis berusia dua puluh satu tahun ini adalah Hui Hong.
Seperti kita ketahui, Hui Hong mendengar pengakuan ibu kandungnya bahwa ia bukanlah puteri Ouwyang Sek, melainkan puteri bekas Pangeran Tiauw Sun Ong, ketika ia bertanya kepada ibunya di mana ayah kandungnya itu berada, ibunya tidak mampu menjawab, dan Kwan-im Sian-li Bwe Si Ni yang menjawabnya, bahwa ia tahu di mana adanya Tiauw Sun Ong. Maka Hui Hong lalu mau diajak pergi untuk ditunjukkan di mana ayahnya tinggal. Dan mereka melakukan perjalanan jauh sampai pada pagi hari itu mereka tiba di kota Ki-ciu dan memasuki rumah makan An-lok, menjadi pusat perhatian para tamu yang pada pagi hari itu banyak yang sarapan di rumah makan itu.
Kedua orang wanita itu sama sekali tidak perduli akan sikap dan gaya para pria yang berada di rumah makan itu. Hui Hong sendiri sudah sering melakukan perjalanan dan ia tahu benar bahwa semua pria di manapun juga sama saja, selalu bergaya dan beraksi kalau melihat wanita cantik dan ia tahu bahwa sahabat barunya ini yang mengaku bernama Bwe Si Ni dan mengetahui di mana adanya ayah kandungnya, adalah seorang wanita yang amat cantik.
Juga selain cantik, wanita ini tentu lihai, hal itu pernah ia buktikan ketika ia mengejar wanita ini yang dapat berlari cepat bukan main. Biarpun belum pernah ia menguji ilmu silatnya dan mereka berdua dalam perjalanan tidak banyak cakap dan tidak pernah bicara tentang ilmu silat, namun Hui Hong dapat menduga bahwa wanita ini tentu lihai. Setelah mengambil tempat duduk dan pelayan dengan sikap hormat bertanya makanan dan minuman apa yang mereka pesan, Bwe Si Ni bertanya kepadanya.
"Engkau ingin makan apa? Dan minum apa?"
Hui Hong tersenyum. Wanita cantik ini jarang sekali bicara. Kalau tidak perlu tidak pernah bicara dan nampaknya acuh saja terhadap dirinya. Akan tetapi pagi ini kelihatan lebih ramah dari pada biasanya, "Apa saja sesukamu, enci. Aku tidak ingin sesuatu yang istimewa, juga tidak menolak macam makanan." jawabnya, ramah pula.
Biarpun di lubuk hatinya, Hui Hong belum percaya sepenuhnya kepada wanita ini, dan tidak begitu suka karena wanita ini dianggapnya pesolek dan dingin, namun karena ia membutuhkan bantuannya untuk dapat bertemu dengan ayah kandungnya maka iapun berusaha untuk bersikap baik dan ramah. Bwe Si Ni tersenyum.
"Aku ingin makan bebek panggang dan goreng burung dara. Minumnya ringan saja sari buah, tidak enak minum yang keras sepagi ini."
"Terserah, pilihanmu terdengar enak. Enci." Bwe Si Ni lalu memesan masakan itu kepada kepala pelayan yang sudah datang melayani sendiri. Ketika kepala pelayan sudah mencatat pesanannya, dan matanya jelas menatap tajam dan penuh kagum kepada dua orang tamunya itu. Bwe Si Ni mengerutkan alisnya dan suaranya mendesis ketus.
"Apa yang kaulihat! Matamu kurang ajar, hayo cepat sediakan pesanan kami!”
Kepala pelayan itu terkejut, membungkuk-bungkuk dan segera pergi. Sudah beberapa kali dalam perjalanan mereka, Hui Hong melihat sikap galak dan ketus dari temannya itu terhadap pria. ia sendiri juga membenci pria yang kurang ajar dan tidak sopan, akan tetapi tidak sehebat Bwe Si Ni. Baru melihat saja sudah dapat membuat ia marah-marah. Sikapnya seolah wanita cantik ini amat membenci kaum pria. Diam-diam ia merasa heran. Seorang wanita sehebat ini, mustahil kalau belum berumah tangga dan ia menduga-duga siapa gerangan suami wanita ini dan di mana tempat tinggalnya, dari mana asalnya. Akan tetapi ia belum sempat mendapatkan saat yang tepat untuk menanyakan hal itu tanpa menyinggungnya.
Tak lama kemudian, pesanan mereka datang dan keduanya lalu makan minum tanpa memperdulikan puluhan pasang mata yang seolah mengikuti setiap gerak gerik mereka. Hui Hong yang diam-diam memperhatikan temannya, melihat betapa cara makan Bwe Si Ni juga anggun, seperti dibuat-buat dan diatur. Pernah ia mendengar dari ayahnya, atau ayah tirinya, bahwa kehidupan para bangsawan tinggi lain dari cara hidup orang biasa. Bahkan dalam hal bicara atau makan saja mereka mempunyai cara sendiri, seperti diatur. Apakah wanita di depannya ini juga seorang wanita bangsawan?
Ketika kedua orang wanita ini hampir selesai makan, tiba-tiba mereka melihat para pelayan nampak ketakutan, dan kepala pelayan bersama pimpinan rumah makan itu yang tadinya hanya duduk di dekat kasir, dengan membungkuk-bungkuk dan senyum dibuat-buat menyongsong ke luar, seperti menyambut datangnya tamu agung. Bahkan para tamu yang tadinya nampak gembira mengamati dua orang wanita cantik itu, kini nampak khawatir, bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang tergesa-gesa membayar harga makanan dan meninggalkan meja mereka.
“Sediakan meja besar untuk kami! Yang di tengah itu, dan keluarkan hidangan yang kami sukai, seperti biasa! Usir yang duduk di meja besar tengah itu dan bersihkan mejanya sampai mengkilap!” terdengar suara dengan logat selatan, dan suara itu mengandung keangkuhan yang memuakkan hati Bwe Si Ni dan Hui Hong.
Akan tetapi karena yang diusir dari meja bukan mereka, keduanya diam saja dan tidak ambil perduli. Sekeluarga yang tadinya makan minum di meja itu, tanpa berani membantah lalu pindah ke meja lain dan makanan mereka diusungi para palayan. Ada yang membersihkan meja itu.
"Hayo cepat hidangkan masakan buat kami. Kami sudah lapar dan keluarkan dulu arak yang paling baik!” kembali terdengar suara orang, sekali ini bukan suara yang tadi, kemudian terdengar bangku diseret dan terdengar pula orang yang membesihkan hidung dan tenggorokan dengan suara yang menjijikkan sekali.
"Jahanam!” Bwe Si Ni mendesis dan melepaskan sepasang sumpitnya di atas meja. Juga Hui Hong merasa muak dan tidak melanjutkan makan. Untung mereka sudah kenyang. Kini dengan sinar mata marah, ketuanya menoleh untuk melihat orang-orang macam apa yang demikian sombong dan tidak mengenal sopan santun.
Kiranya meraka adalah tiga orang yang sikapnya kasar, berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, potongan pakaian mereka ringkas seperti yang biasa dipakai orang-orang dari dunia persilatan, dan di punggung mereka terselip golok telanjang yang berkilauan. Dari dandanan, senjata, dan sikap mereka jelas dan mudah diketahui bahwa mereka tentu orang-orang kang-ouw golongan sesat yang suka mempergunakan kekuatan bermain kasar dan keras memaksakan kehendak kepada orang lain.
Hal inipun tidak akan diperduli oleh Hui Hong maupun Bwe Si Ni kalau saja tiga orang itu tidak mencari penyakit sendiri. Ketika dua orang wanita itu menoleh ke arah mereka, kebetulan sekali yang termuda, berusia tiga puluh tahun dan mukanya kekuning-kuningan seperti penderita penyakit dan tubuhnya tinggi kurus, memandang kepada mereka dan baru melihat bahwa dua orang wanita yang menoleh itu amatlah cantiknya.
"Heiiii! Wah, sekali ini kita memang beruntung sekali, kawan-kawan!” Serunya gembira. "Siapa kira di sini ada dua orang bidadari yang amat cantik jelita sudah menunggu dan siap menemani kita makan minum dan bersenang-senang!"
Mendengar ucapan adik segerombolan mereka itu, dua orang yang lain juga memandang. Mereka tidak semata keranjang adik mereka, akan tetapi sekali ini mereka menelan ludah karena jarang mereka melihat dua orang wanita secantik yang ditunjukkan adik mereka itu.
"Heh-heh-heh. matamu awas sekali, sute (adik seperguruan)!" kata yang bertubuh pendek gendut berperut besar sambil terkekeh. "Mereka memang cantik manis dan sekali ini aku tidak ingin pura-pura alim."
Orang ke tiga yang paling tua, berusia empat puluhan tahun, juga terpesona. Akan tetapi dia lebih berhati-hati dibandingkan dua orang sutenya karena dia melihat sepasang pedang yang tergantung di pinggang Hui Hong. Bwe Si Ni sendiri menyembunyikan pedangnya di balik jubahnya yang lebar dan panjang.
"Sute, mereka agaknya segolongan. Sebaiknya kalau kita mengundang mereka baik-baik untuk berkenalan." katanya dan tiga orang itu seperti dikomando, telah bangkit berdiri dan menghampiri meja di mana dua orang wanita itu sudah tidak makan lagi dan sedang membersihkan bibir dengan saputangan.
Mereka memutari meja itu dan berdiri berjejer, menghadapi dua orang wanita itu dengan muka cengar-cengir. Si kumis lebat, yaitu orang tertua yang bertubuh sedang dan nampak kokoh kuat. mengangkat kedua tangan dan memberi hormat kepada Si Ni dan Hui Hong, diikuti dua orang sutenya yang masih menyeringai senang karena setelah kini mereka berhadapan dengan dua orang wanita itu, semakin jelas nampak betapa cantik menariknya dua orang wanita di depan mereka itu.
"Nona berdua tentulah wanita wanita kang-ouw yang segolongan dengan kami, oleh karena itu, kami ingin berkenalan dengan ji-wi (anda berdua). Kami adalah tiga orang di antara Ki-ciu Ngo-houw (Lima Harimau Ki-ciu) ,yang mengusai daerah ini. Kami mengundang ji-wi untuk berkenalan sambil makan minum di meja kami. Silakan!" Dengan sikap dibuat-buat si kumis lebat itu mempersilakan dua orang wanita itu untuk pindah ke meja mereka dengan keyakinan bahwa dua orang wanita itu akan pasti suka menerima undangannya karena kama berur Ki-elu Nf,o-houw ditakuti senni orang didsersb itu...“
Bwe Si Ni mengerutkan alisnya dan matanya mencorong ketika ia menyapu tiga orang itu dengan pandang matanya. "Tidak perduli kalian ini Lima Harimau atau Lima Anjing dari Ki-ciu, aku tidak perduli dan aku tidak sudi berkenalan dengan kalian!"
Hui Hong tersenyum. "Hi-hik. kami sudah makan kenyang. Andaikata belum makanpun, kami tidak sudi makan bersama kalian yang jorok dan menjijikkan!”
Kedua orang wanita itu bangkit, lalu menghampiri meja kasir dan membayar harga makanan dan minuman tanpa memperdulikan tiga orang itu lagi, kemudian keluar dari rumah makan. Semua tamu yang kebetulan melihat semua ini, terbelalak dan terheran-heran bagaimana ada dua orang, wanita lagi, berani bersikap saperti itu terhadap tiga orang ini. Tiga orang jagoan itupun sudah marah sekali dan mereka mengepal tinju.
"Mohon sam-wi tidak o en bikin ribut di sini... " pemilik rumah makan menjura dan meratap kepada mereka.
"Sediakan saja pesanan kami! Setelah kami menghajar dan menyeret dua orang perempuan itu, baru kami akan makan!” kata si kumis tebal dengan marah dan bersama dua orang suteenya, dia lalu melangkah lebar keluar dari rumah makan melakukan pengejaran.
Tiga orang ini memang merupakan tiga orang di antara Ki-ciu Ngo-houw yang terkenal memiliki kekuasaan dan pengaruh besar di daerah Ki-ciu. Merekapun berhubungan baik dengan para pejabat setempat sehingga ada kerja sama diantara mereka. Mereka tidak dimusuhi para pejabat, akan tetapi merekapun berjanji tidak akan membuat kacau dan kerusuhan di kota Ki-ciu. Inilah sebabnya mengapa mereka tadi masih menahan sabar walaupun marah sekali dengan sikap dua orang gadis di rumah makan An-lok.
Ketika mereka membayangi dua orang gadis itupun mereka masih tidak mau membikin ribut di dalam kota. Setelah Hui Hong dan Si Ni tiba di luar kota Ki-ciu untuk melanjutkan perjalanan, barulah tiga orang itu dengan cepat mengejar, kemudian mendahului mereka dan menghadang di jalan yang sunyi itu. Tentu saja dua orang wanita perkasa itu sejak tadi tahu bahwa tiga orang yang menjemukan itu membayangi mereka sejak dari rumah makan dan kini menghadang mereka di jalan sunyi luar kota.
"Enci biar aku yang menghadapi mereka," kata Hui Hong mendahului karena ia dapat menduga bahwa kalau wanita cantik itu yang turun tangan mungkin saja ia akan membunuh ketiganya.
Biarpun sejak kecil ia dididik oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, seorang datuk besar yang tadinya ia anggap sebagai ayahnya, bukan saja dididik dengan ilmu-ilmu yang hebat, akan tetapi juga melihat kekerasan dipergunakan datuk itu, namun ia selalu diberi nasehat oleh ibunya agar ia tidak berwatak kejam dan tidak sembarangan membunuh orang. Karena itu, dalam hati Hui Hong terbentuk watak yang tidak kejam seperti ayahnya walaupun ia keras dan galak, dan tidak mau membunuh orang sembarangan saja. sekarangpun ia menganggap bahwa tiga orang laki-laki yang kurang sopan itu hanya patut dihajar, tidak seharusnya dibunuh seperti orang-orang jahat.
Bwe Si Ni mengangguk, lalu ia duduk di atas batu di tepi jalan, ingin menonton dan melihat sampai di mana kehebatan puteri kandung Tiauw Sun Ong atau juga murid dari Bu-eng-kiam ini.
Melihat betapa yang menghadapi mereka adalah gadis yang lebih muda, sedangkan wanita yang ke dua enak-enak duduk menonton, tiga orang itu menjadi semakin marah dan merasa dipandang ringan. Si kumis tebal sudah melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Hui Hong sambil berkata,
"Gadis liar, tadi kami bertiga tidak ingin membikin ribut di rumah makan dan di kota, maka kami menahan sabar. Sekarang, kami akan menghajar kalian dan menyeret kalian kembali ke rumah makan An-lok untuk menemani kami! Kami harus menebus penghinaan yang kalian lakukan tadi yang telah membikin malu kepada kami di depan orang banyak."
Hui Hong tersenyum dan tiga orang itu menelan ludah. Gadis yang mereka hadapi ini manis luar biasa! "Enci itu tadi mengatakan kalian tiga ekor anjing, dan memang benar karena kalian pandai menggonggong. Biasanya, anjing-anjing yang banyak menggonggong tidak menggigil. Pergilah, sekali ini biar kuampuni. Pergi sebelum kalian menerima penghinaan lebih parah lagi!”
Tentu saja tiga orang itu menjadi marah bukan main. "Tangkap gadis liar ini! Bekuk dulu, baru kita bekuk yang seorang lagi!” teriak si kumis tebal. Tiga orang itu menerjang ke depan dan mereka memang memiliki gerakan yang tangkas, cepat dan kuat.
Namun, yang mereka hadapi adalah gadis puteri atau murid datuk besar majikan Lembah Bukit Siluman! Tingkat kepandaian Hui Hong jauh lebih tinggi dibandingkan mereka, maka melihat mereka bertiga sudah menerjang untuk menangkapnya, dengan ringan dan mudah saja Hui Hong menyelinap di antara tangan-tangan mereka dan lolos dari terkaman. Tiga orang itu terkejut melihat gadis itu menjadi bayangan berkelebat dan lenyap. Mereka membalik dan ternyata gadis itu telah berdiri di belakang mereka dan menggunakan tangan menggapai dan menantang.
Dari gerakan gadis itu, mereka dapat menduga balwa gadis itu bukan orang lemah, maka kalau tadi mereka hanya berebut untuk dapat menangkap Hui Hong, kini mereka menerjang dengan pukulan pukulan!
Kembali Hui Hong menggunakan kelincahannya untuk mengelak ke sana-sini. kemudian ketika lengan si tinggi kurus muka kuning menyentuh pundaknya dari belakang, ia menangkap pergelangan tangan itu, mengerahkan tenaga dan membungkuk, menarik tangan itu dan tubuh si tinggi kurus berputar dengan kaki ke atas melewati tubuh Hui Hong dan terbanting keras di atas tanah.
"Ngekkk...!" Si muka kuning mengaduh-aduh. lalu merangkak dan mencoba bangkit sambil memegangi punggungnya yang rasanya seperti patah-patah tulangnya dan pinggulnya yang tipis tak berdaging itu nyeri bukan main. Dia melangkah menjauh dengan terpincang, pincang, untuk sementara tidak maupu menyerang lagi.
Dua orang kawannya tentu saja marah sekali melihat si muka kuning toboh. Mereka, menyerang semakin nekat dan kini mereka bukan hanya ingin menghajar, bahkan kalau perlu membunuh karena serangan-serangan mereka kini merupakan serangan maut yang dapat mematikan lawan. Melihat ini, Hui Hong juga tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ketika si perut gendut menerjang dari samping. Ia mundur dua langkah dan ketika tubuh gemuk itu terdorong ke depan, secepat kilat kaki kiri Hui Hong mencuat dan ujung sepatunya memasuki perut yang bergajih itu dengan kerasnya.
"Ngekk...!” Tubuh gendut itu terjengkang dan terbanting keras sampai bergulingan. Si gendut berteriak-teriak kesakitan dan seperti juga sutenya tadi, dia merangkak dan dengan susah payah mencoba bangkit sambil menekan perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas.
Orang pertama yang selain marah juga terkejut melihat akibat perkelahian ini. mencabut goloknya yang terselip di punggung, lalu menyerang Hui Hong dengan bacokan-bacokan goloknya. Terdengar suara berdesing-desing ketika golok yang lebar dan tajam itu membelah udara kosong karena tidak pernah dapat menyentuh sasarannya.
Hui Hong menjadi marah. Mungkin saja tiga orang ini bukan orang-orang yang suka berbuat jahat, akan tetapi sudah jelas bahwa mereka, terutama si kumis tebal ini mempunyai hati yang kejam. Buktinya mereka mengeroyok seorang lawan wanita, bahkan melakukan serangan untuk mematikan, pada hal sebab perkelahian hanya sepele saja. Dan si kumis tebal ini malah tidak segan segan menggunakan golok menyerang lawan yang tidak bersenjata.
Ketika untuk ke sekian kalinya golok itu menyambar, Hui Hong membiarkan golok itu lewat dengan sedikit mengelak, dan pada saat gotok menyambar lewat, tangan kirinya bergerak menotok pergelangan tangan yang memegang golok sehingga senjata tajam itu terlepas dan ia sudah merampasnya! Pada detik yang lain, Hui Hong sudah menggerakkan lagi tangan kirinya, sekarang ke arah muka si kumis tebal. Jari-jari tangannya mencengkeram, menarik dengan sentakan kuat.
Dan si kumis tebal mengeluarkan pekik kesakitan, terpelanting roboh dan dia melangkah bangun sambil menutupi muka dengan tangan. Kulit di bawah hidungnya yang sebelah kanan berdarah karena kumisnya telah dicabut oleh tangan Hui Hong. Kini kumis yang tebal itu tinggal sebelah saja, dan kulit di bagian kumis yang dijebol itu terluka berdarah.
Hui Hong menggunakan kedua tangannya menekuk golok rampasan itu sambil mengerahkan tenaga. Terdengar suara nyaring dan golok itupun patah menjadi dua potong. Ia melemparkannya ke atas tanah sambil tersenyum mengejek.
“Hemm, kalian tiga ekor anjing masih juga tidak cepat merangkak pergi?"
Tentu saja tiga orang itu terkejut dan ketakutan, akan tetapi juga penasaran dan marah. Peristiwa yang amat memalukan dan menghina ini belum pernah mereka alami selama hidup. "Kau... kau... kalau memang gagah, tunggu saja... kami mengundang twa-suheng dan ji-suheng..." kata si kumis dengan suara aneh karena mulutnya sakit digerakkan tanpa menimbulkan rasa perih di bibir atasnya. Kamudian mereka bertiga melarikan diri ke arah kota.
Hui Hong hanya tersenyum ketika Bwe Si Ni menegurnya, "Hui Hong, kenapa engkau bermain-main dengan jahanam-jahanam seperti mereka?"
“Enci, orang-orang sombong itu memang patut dihajar. Biar dua orang kakak mereka yang lain datang, akan kuhajar sekalian di sini."
Bwe Si Ni bangkit berdiri. "Huh, aku tidak mempunyai waktu untuk main-main dengan mereka. Mari kita melanjutkan perjalanan."
"Tapi, kita bisa dianggap takut!”
"Masa bodoh, biar mereka mencari kita kalau memang sudah bosan hidup. Mari kita pergi."
Karena ia memang sedang mengikuti wanita itu untuk diajak menemui ayah kandungnya, Hui Hong tidak dapat membantah lagi dan ia pun mengikuti Bwe Si Ni pergi dari situ melanjutkan perjalanan. Belum jauh mereka pergi, mereka mendengar derap kaki kuda dari belakang. Setelah beberapa ekor kuda itu datang dekat, Hui Hong dan Si Ni minggir dan menanti untuk membiarkan mereka lewat. Akan tetapi, segera mereka melihat bahwa yang datang adalah lima ekor kuda dengan lima orang penunggangnya.
Tiga di antara mereka bukan lain adalah tiga arang yang tadi dihajar oleh Hui Hong. Yang dua orang lagi adalah dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang seorang tinggi besar bermuka hitam dan yang ke dua, tegap dan berwajah tampan yang lelalu tersenyum memikat. Wajah seorang penaluk wanita! Tanpa bertanyapun, dua orang wanita itu dapat menduga bahwa dua orang itu tentulah sang twa-suheng dan ji-suheng dan sekarang lengkaplah sudah Ki ciu Ngo-houw, lima harimau yang mengaku berkuasa di daerah Ki-ciu itu.
Hui Hong segera melangkah maju dan bertolak pinggang, menghadapi lima orang yang kini sudah berlompatan turun dari punggung kuda. Setelah membiarkan kuda mereka makan rumput di tepi jalan, lima orang itu menghadapi Hui Hong yang tersenyum mengejek. "Mau apa kalian datang mengejar kami? Apakah masih belum puas dan ingin dihajar lebih keras lagi?"
Si kumis tebal itu kini kehilangan semua kumisnya. Agaknya dia sudah memotong kumis sebelahnya sehingga wajahnya yang tidak berkumis itu kini nampak lucu. Akan tetapi yang menjawab pertanyaan Hui Hong bukan dia melainkan laki-laki tampan yang juga tersenyum dan melirik-lirik ke arah dua orang wanita itu.
"Nona, engkaukah tadi yang telah menghajar tiga orang suteku? Bagus, ternyata engkau selain gagah perkasa, juga cantik jelita. Engkau akan menjadi pasanganku yang cocok sekali!"
"Ji-sute (adik kedua), gadis-gadis ini sudah menghina tiga orang adik kita. Hajar saja. kalau perlu bunuh untuk mengangkat kembali nama Ki-ciu Ngo houw!" kata yang tinggi besar bermuka hitam dengan sikap bengis sekali.
"Suheng, sayang kalau dibunuh begitu saja. Mereka terlalu cantik, biar kuajak bersenang-senang barang sepekan sebelum dibunuh!" kata pula si muka tampan.
Tiba-tiba Sin Ni memegang tangan Hui Hong dan menariknya ke belakang sambil berkata, suaranya lirih mendesis seperti desis seekor ular cobra yang marah. "Mundurlah, Hui Hong. Sekarang giliranku!”
Hui Hong mundur karena ia sendiripun ingin menyaksikan sepak terjang sahabat baru yang aneh itu. Suara mendesis itu cukup membuat ia bergidik dan kini Hui Hong yang duduk di atas sebuah akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. Kini, Bwe Si Ni yang berdiri menghadapi lima orang itu. Ia sudah tersenyum-senyum seperti Hui Hong. Wajahnya yang cantik jelita itu nampak anggun dan dingin angkuh, seperti sikap seorang putri menghadapi para abdi yang siap menaati semua perintahnya. Agaknya wanita ini ingin menyesuaikan sikapnya dengan julukannya. Julukannya adalah Dewi Kwan Im, seorang dewi yang dipuja orang karena terkenal sebagai Dewi Welas Asih.
"Wah, yang ini biar untukku saja, Ji-suheng!" kata orang ke empat yang gendut dan yang tadi perutnya menjadi mulas oleh tendangan kaki Hui Hong. "Sejak semula bertemu di rumah makan, aku sudah jatuh cinta padanya!”
"Singgg... crattt...!”
Si perut gendut menjerit dan terjungkal, berkelojotan karena tepat di antara kedua alis matanya tertusuk sebatang jarum hijau yang telah dilepaskan Kwan-Im sianli Bwe Si Ni tanpa ada yang tahu saking cepatnya gerakan tangannya. Tentu saja empat orang itu menjadi terkejut setengah mati. Terutama orang ketiga dan kelima yang selalu bertiga dengan si gendut, merasa terkejut dan juga sedih bukan main. Dan kini di situ terdapat kakak pertama dan ke dua mereka, membuat hati mereka bertambah berani. Dengan teriakan-teriakan marah, keduanya sudah mencabut golok masing-masing dan menerjang ke arah Bwe Si Ni.
Wanita ini tidak bergerak sedikitpun untuk mengelak atau menangkis, melainkan nampak tangan kanannya saja yang bergerak ke arah perutnya, disusul mencuatnya sinar yang menyilaukan mata ke arah dua orang penyerangnya dan merekapun menjerit dan terjengkang roboh dengan golok masih di tangan. Kiranya sebelum golok mereka mengenai sasaran, telah ada sepasang pedang yang digerakkan secepat kilat menyambar dan menusuk dada kedua orang itu tanpa mereka mampu mengelak atau menangkis lagi. Mereka roboh dan berkelojotan di dekat tubuh si gendut yang kini sudah tidak bergerak lagi.
Si tinggi besar dan sutenya yang tampan itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat. Di samping kemarahan yang hebat, merekapun terkejut dan gentar karena sebagai ahli-ahli silat pandai merekapun dapat mengenal orang yang memiliki kesaktian, yang kiranya tidak mungkin dapat mereka lawan. Cara wanita cantik itu membunuh tiga orang sute mereka sudah membaktikan betapa lihainya wanita itu, membuat mereka mengingat dan menduga-duga siapa gerangan wanita itu. Mereka mulai mengamati Si Ni dan akhirnya mereka dapat mengenal hiasan rambut berupa teratai di sanggul rambut yang tinggi itu, mengenal pula jubah panjang lebar teperti jubah pendeta.
"Nona... nona... Kwan Im Sianli...?” tanya si muka hitam dan mendengar sebutan ini, sutenya menjadi pucat dan kakinya gemetar.
Bwe Si Ni baru sekarang tersenyum, akan tetapi senyum yang dingin dan amat merendahkan, terdengat dengus lirih dari hidungnya, "Huh, kalau sudah tahu, kenapa tidak cepat kalian membunuh diri?"
Dua orang itu dengan tubuh gemetar cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk-bungkuk memberi hormat kepada Bwe Si Ni. Mendengar bahwa wanita cantik ini adalah Kwan-im sianli, datuk besar golongan sesat yeng amat ditakuti, mereka seperti mati kutu.
"Ampunkan kami, Sianli (Dewi), tiga orang sute kami memang layak mati karena berani kurang ajar terhadap Sian-li. Ampunkan kami berdua yang tidak mengenal sian-li dan bersikap kurang hormat." kata si tinggi besar.
"Sian-li, kami kakak beradik seperguruan selalu menghormati dan memuja nama besar Sian-li. Karena belum pernah berjumpa, hari ini kami telah berlaku kurang hormat. Mohon Sian-li sudi memberi ampun kepada kami berdua." kata pula yang tampan dan kini dia sudah kehilangan gayanya sebagai pemikat hati wanita, bersikap sedemikian rendah diri dan penuh rasa takut.
"Tidak perlu benyak cakap. Cepat kalian bunuh diri, atau menanti aku yang membunuh kalian?" suara Si Ni terdengar dingin dan datar, membuat Hui Hong sendiri yang sudah biasa melihat kekejaman orang-orang dunia sesat, merasa ngeri. Wanita cantik jelita yang julukannya Dewi Kwan Im ini sungguh merupakan Iblis betina yang amat kejam.
Dua orang itu saling pandang dengan muka pucat, kemudian secara tiba-tiba mereka sudah mencabut golok dan menyerang dengan gerakan dahsyat, dengan serangan yang mematikan. Si tinggi besar menyerangkan goloknya ke arah leher Si Ni sedangkan adik seperguruannya membabatkan golok ke arah pinggang.
Akan tetapi. keduanya terkejut karena tiba-tiba saja wanita di depan mereka itu lenyap dan hanya nampak bayangannya berkelebat ke atas kepala mereka. Keduanya cepat membalikkan tubuh karena maklum, bahwa wanita itu tadi meloncati kepala mereka dan berada di belakang. Akan tetapi mereka kalah cepat. Baru saja memutar tubuh, dua kali sinar berkilauan menyambar dan keduanya roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi karena leher mereka hampir putus terbabat sebatang pedang yang tadi dicabut, digerakkan, lalu disimpan kembali secara cepat seperti kilat menyambar olah Kwan-im Sian-li Bwe Si Ni! Tewaslah Ki-ciu Ngo-Houw yang biasanya merajalela di daerah itu, mati konyol di tangan seorang datuk wanita tanpa dapat melawan sedikitpun.
Tak lama kemudian, nampak dua orang wanita itu sudah menunggang dua ekor kuda, melanjutkan perjalanan. Mereka merampas dua di antara lima ekor kuda tadi, memilih yang terbaik dan kini mereka dapat melakukan perjalanan cepat tanpa terlalu melelahkan diri. Ketika matahari sudah naik tinggi, udara panas dan kuda mereka sudah mulai berpeluh dan terengah kelelahan, mereka berdua menghentikan kuda mereka di luar sebuah hutan besar dan membiarkan dua ekor kuda itu mengaso dan makan rumput. Dua ekor kuda itu nampak senang sekali ketika dituntun ke sebuah anak sungai yang airnya jernih, minum dan makan rumput hijau segar yang tumbuh di tepi sungai. Dun orang wanita itupun beristirahat, duduk di atas akar menonjol di bawah pohon besar yang teduh.
"Enci, kenapa engkau tadi membunuh kelima Ki-ciu Ngo-houw? Kesalahan mereka tidak terlalu besar, hanya bersikap agak kurang ajar terhadap kita. Kenapa engkau begitu membenci mereka?"
"Huh, mereka memang layak dibunuh. Semua laki-laki, terutama yang tidak menghargai wanita, harus dibunuh!" jawab Si Ni dan dari suaranya dapat diketahui bahwa ia memang bersungguh-sungguh dan nampak kebenciannya terhadap pria.
"Enci, engkau agaknya amat membenci pria!”
“Memang benar. pria adalah mahluk yang paling jahat, paling kejam, suka menyiksa hati wanita!”
"Ehh? Akan tetapi, maafkan aku, enci. Apakah engkau tidak ingat kepada ayahmu, suamimu... mereka juga pria, belum lagi para pamanmu dan mungkin saudaramu laki-laki..."
"Aku tidak mempunyai semua itu! Aku selamanya tidak pernah bersuami, dan semua ini kulakukan karena kekejaman pria!”
Tentu saja Hui Hong terkejut sekali dan hatinya amat tertarik. Agaknya wanita cantik ini pernah mengalami hal-hal yang amat mengecewakan atau mendukakan hatinya, akibat ulah seorang pria, maka sampai sekarang ia tidak mau menikah dan apalagi berdekatan dengan pria, bahkan ia membenci pria.
"Akan tetapi engkau masih muda, enci, masih banyak harapan untuk kelak bertemu dengan seorang pria yang cocok untuk menjadi suamimu..."
"Diam, jangan ulangi lagi itu atau terpaksa aku akan menyerangmu!”
Hui Hong menghela napas panjang. "Enci, aku pernah mendengar namamu disebut oleh ayah... maksudku, oleh Bueng-kiam Ouwyang Sek bahwa yang berjuluk Kwan-im Sian-li adalah seorang datuk persilatan yang amat lihai, dan menurut ceritanya, Kwan-Im Sian li adalah seorang wanita tua. Akan tetapi, sekarang aku bertemu engkau yang berjuluk Kwan-im Sian li, dan memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi engkau masih muda..."
"Hemm, siapa bilang aku masih muda? Ayah tirimu itu yang matanya sudah lamur barangkali. Usiaku sudah mendekati setengah abad, bagaimana bisa dibilang muda?"
Hui Hong terbelalak, "Setengah abad? Ah, aku tidak percaya, enci! Engkau nampak berusia tiga puluhan tahun lebih sedikit!”
Bagaimanapun keras hatinya, Bwe Si Ni hanya seorang perempuan yang selalu amat memperhatikan riasan dan dandanannya, maka tentu saja ia merasa senang mendengar pujian bahwa ia awet muda, apalagi pujian itu keluar dari mulut seorang wanita sehingga bukan merupakan rayuan pria yang memuakkan hatinya.
"Usiaku sudah empat puluh delapan, Hui Hong."
"Ahhhh, sungguh tak disangka!" Hui Hong berseru, terkejut dan juga kagum sekali.
"Karena itu, mulai sekarang jangan sebut enci (kakak) kepadaku, melainkan bibi." Bwe Si Ni tersenyum.
Baru sekarang Hui Hong melihat senyum yang bukan senyum dingin mengandung ejekan dari wanita itu. Manis sekali. Ia merasa yakin bahwa ketika mudanya, wanita ini amatlah cantiknya. "Baiklah, Bibi Bwe Si Ni. Maafkan keberanianku bertanya karena aku merasa amat tertarik dan ingin tahu sekali, bibi. Bibi adalah seorang wanita yang selain pandai, juga teramat cantik. Kalau wanita biasa yang bodoh dan tidak cantik saja mendapatkan jodoh, kenapa bibi tidak pernah menikah? Maafkan pertanyaanku."
"Hemm, kalau orang lain yang mengajukan pertanyaan itu, tentu sudah kubunuh seketika. Akan tetapi engkau justeru merupakan satu-satunya orang yang harus mengetahui riwayatku. Nah, aku menjadi pembenci pria dan tidak sudi lagi didekati pria manapun juga karena ulah seorang laki-laki, ketika aku masih muda, dua puluh tahun lebih yang lalu." Wanita itu merenung dan beberapa kali menarik napas panjang seolah undangan semua kenangan lama itu mendatangkan pula kedukaan yang mendalam di hatinya.
"Hemm, tentu engkau mesih muda dan cantik jelita, bibi."
"Sudah sepatutnya aku cantik, karena ketika itu aku adalah seorang dayang di istana kaisar."
Hei Hong memandang kagum. Kukira bukan dayang melainkan puteri, pikirnya. Kalau dayang, kenapa sekarang dandanan pakaian dan rambutnya seperti seorang puteri saja? Akan tetapi tentu saja ia diam dan tidak berkata apa-apa, hanya menanti wanita itu melanjutkan ceritanya yang tentu akan menarik sekali.
"Ketika itu, aku bertemu seorang pria dan kami saling mencinta. Akan tetapi, laki-laki itu seorang yang mata keranjang. Bukan aku saja yang menjadi kekasihnya, melainkan banyak! Dan akhirnya dia meninggalkan aku begitu saja!"
Hui Hong mengerutkan alisnya. "Bibi, laki-laki seperti itu tentu sudah bibi cari dan bibi bunuh!”
Si Ni menggeleng kepalanya dan wajahnya nampak muram, sedih, "Ada dua hal yang membuat hal itu tidak mungkin kulakukan, Hui Hong. Pertama, aku... aku masih mencintanya dan aku mengharapkan dapat menghabiskan sisa hidupku di samping orang yang selamanya kucinta. Dan ke dua, kalaupun aku hendak membalas dendam, aku tidak akan menang. Dia lihai sekali dan aku bukan tandingannya."
"Ahhh...!” Hui Hong terkejut, dan kagum pula. Ia merasa kasihan kepada wanita ini.
"Hui Hong, ketika aku mendengar engkau menanyakan ayah kandungmu, aku yang mengetahui di mana dia, segera menawarkan diri untuk menjadi penunjuk jalan agar engkau dapat bertemu dengan ayahmu. Akan tetapi, aku mempunyai syarat, yaitu kalau aku sudah berhaail mempertemukan engkau dengan ayahmu, aku ingin minta bantuanmu."
"Bantuan apakah itu, bibi? Kalau memang aku mampu, dan kuanggap tidak bertentangan dengan isi hatiku, pasti aku akan membantumu."
"Begini, Hui Hong. Setelah engkau bertemu dengan ayahmu, aku minta agar engkau membujuk pria yang kucinta itu agar dia mau menerima diriku, agar dia memperkenankan aku hidup di sampingnya, melayaninya, merawatnya. Kemudian, kalau dia berkeras menolak dan tidak kasihan kepadaku, aku minta engkau membantuku untuk mengalahkan dan membunuhnya!"
Hui Hong berpikir sebentar. Permintaan itu cukup pantas dan kalau pria yang tidak setia itu benar-benar menolak dan mengandalkan kepandaiannya untuk merusak kehidupan Bwe Si Ni, memang sudah selayaknya kalau dibasmi. "Baik, bibi, aku berjanji untuk membantumu melakukan dua hal itu."
Wajah wanita itu berseri. "Engkau ... engkau tidak akan melanggar janjimu, Hui Hong?"
Sepasang alis Hui Hong berkerut. “Bibi Bwe Si Ni, biarpun sejak kecil aku dididik oleh Ouwyang Sek, namun Ibuku selalu menanamkan watak bertanggung jawab, adil dan dapat dipercaya. Kalau aku sudah berjanji, pasti akan kupenuhi, dan kalau perlu mempertaruhkan nyawaku. Aku Juga mempunyai kebanggaan dan harga diri, bibi. Apalagi karena permintaan bibi itu pantas, kalau laki-laki yang sudah membuat bibi merana selama puluhan tahun itu tidak menaruh iba dan mau menerima bibi, dia memang pantas untuk dihukum!”
Bwe Si Ni menjadi girang dan ia merangkul dan menciumi kedua pipi Hui Hong, membuat gadis ini termangu dan terheran. Sungguh sikap ini berbeda sekali dengan sikap Bwe Si Ni selama ini, biasanya dingin dan kaku, seperti mayat hidup. Dan kini tiba-tiba menjadi hangat, penuh gairah hidup.
"Terima kasih, Hui Hong, terima kasih..." bisiknya. Memang wanita ini merasa gembira bukan main. Ia sudah berhasil membuat puteri kekasihnya berjanji untuk membujuk ayah gadis itu sendiri untuk menerimanya, dan kalau perlu membantunya mengeroyok!
"Tidak perlu berterima kasih, bibi. Akulah yang harus berterima kasih sebelumnya bahwa bibi mau mempertemukan aku dengan ayahku. Dan akupun belum tentu berhasil membujuk pria pujaan hati bibi itu. Kita lihat saja nanti."
"Ya, kita lihat saja nanti, Hui Hong."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Hwa-san, sebuah pegunungan yang memiliki banyak bukit dan puncak yang tinggi. Sikap kedua orang wanita itu memang tidaklah aneh.
Setiap orang manusia di dunia ini, seperti juga mereka berdua, selalu bertindak atau berbuat menurut pikiran masing-masing. Dan hati akal pikiran membentuk gambaran si aku yang selalu mementingkan diri pribadi, mementingkan kesenangan diri sendiri. Memang beginilah ulah nafsu dan dalam hati akal pikiran kita semua sudah bergelimang nafsu yang memang disertakan kepada kita sebagai peserta yang membantu jiwa dalam kehidupan dalam badan ini. Akan tetapi, karena sejak kecil kita membiarkan nafsu makin lama semakin berkuasa dan merajalela, sehingga akhirnya mencengkeram dan menguasai hati akal pikiran sepenuhnya.
Maka kehidupan ini sepenuhnya dikemudikan nafsu. Nafsu membentuk aku yang ingin menang, ingin senang sendiri. Karena itu, muncullah segala macam kemunafikan, yaitu yang pada luarnya nampak baik, namun sebenarnya palsu karena di sebelah dalamnya ternyata nafsu yang berpamrih berkuasa dan segala yang tampaknya besar itu hanya merupakan suatu cara untuk mendapatkan imbalan yang menyenangkan.
Keinginan si aku untuk enak sendiri inilah yang menimbulkan segala macam konflik. Kalau sudah terjadi benturan antara si aku dan si-aku yang lain, maka bermusuhanlah kedua orang itu. Benturan kepentingan, atau lebih tepat lagi benturan keinginan untuk senang selain mendatangkan pertentangan, kebencian dan permusuhan. Bahkan cintapun menjadi sarang konflik karena pengaruh nafsu atau si aku yang ingin menang sendiri.
Perjanjian antara Si Ni dan Hui Hong juga terdorong oleh kepentingan masing masing. Mereka seolah saling memanfaatkan pihak lain demi keuntungan atau kesenangan diri sendiri. Si Ni hendak mempertemukan Hui Hong dengan ayahnya karena di balik itu ia berpamrih agar Hui Hong menolongnya membujuk ayah gadis itu agar menerimanya, atau kalau ditolak, membantunya mengeroyoknya.
Di lain fihak, Hui Hong mau berjanji karena ia ingin agar Si Ni menolongnya, menemukan dan mempertemukan ia dengan ayah kandungnya. Betapa dalam kehidupan ini, kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, kitapun selalu hanya saling mempergunakan dan saling memanfaatkan orang lain demi keuntungan atau kesenangan kita!
Terhadap keluarga, terhadap teman, masyarakat, negara dan bangsa. Pernahkah terdapat suatu saat suci di mana kita tidak lagi merenungkan apa yang dapat mereka lakukan demi keuntungan kita, dan mulai merenungkan apa yang dapat kita lakukan demi kebaikan mereka? Pernahkah? Demi kebaikan mereka, sepenuhnya, bukan hanya selubung yang menyembunyikan pamrih kita yang tersembunyi agar kita disenangkan oleh perbuatan atau hasil perbuatan itu?
Hujan turun dengan lebatnya, dan air yang segar sejuk itu disambut dengan penuh syukur dan terima kasih oleh pohon-pohon dengan daun-daunnya di pegunungan itu. Tanah yang bercampur batu kapar juga menyambut dengan bahagia. Seluruh permukaan bumi yang disiram air hujan setelah selama beberapa hari kekeringan, berpesta pora dengan bahagianya sehingga membubunglah segala hawa kotor ke angkasa, dan bumi kembali segar dan bersih. Tanah menguap, bau tanah tersebar di mana-mana. Daun-daun menari-nari tertimpa tetesan hujan, nampak berkilauan hijau segar.
Semua mahluk hidup yang berada di permukaan bumi, bahkan berada di bawah permukaan, menyambut air dengan gembira dan sibuk. Namun, dua orang wanita itu bergegas memasuki sebuah guha besar untuk berlindung dari siraman air hujan.
Mereka adalah Bi Moli Kwan Hwe Li dan muridnya, Cia Ling Ay. Setelah memasuki guha, Ling Ay cepat membersihkan tanah guha, membeberkan kain pembungkus pakaian di lantai dan mempersilakan gurunya duduk. Mereka duduk di atas lantai guha bertilamkan kain kuning itu. Bi Moli Kwan Hwe Li duduk bersila dan tiba-tiba ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan pundaknya bergerak-gerak. Ia menangis!
Muridnya, Ling Ay, memandang saja dengan terbelalak. Selama tiga tahun ia menjadi murid wanita cantik itu, baru sekali ini ia melihat gurunya bersedih, apalagi menangis, walaupun tidak mengeluarkan suara, Ia tidak menegur atau bertanya. Ling Ay amat menyayang gurunya, dan selain gurunya telah menyelamatkan ia dari perkosaan penjahat. Juga gurunya telah mengambilnya sebagai murid, mendidiknya dan ia merasa berhutang budi kepada wanita itu. Ia menyayang, menghormat dan amat patuh, walaupun kadang ia harus mengerutkan alisnya kalau gurunya bertindak keras sekali terhadap orang yang dianggap musuhnya.
Sudah sering kali ia melihat gurunya menghukum penjahat, atau menghajar laki-laki iseng yang menggoda mereka. Gurunya dapat membunuh orang tanpa berkedip. Walaupun wajah gurunya yang cantik itu selalu tersenyum, namun kalau ia sudah marah, tidak lama kemudian, Kwan Hwe Li menurunkan kedua tangannya, dan jelas nampak betapa kedua pipinya basah. Ia benar-benar telah menangis tadi. Ia menoleh kepada Ling Ay yang kebetulan menatapnya, akan tetapi muridnya itu cepat-cepat menunduk, seolah tidak tahu bahwa gurunya habis menangis.
Ling Ay, tahukah engkau mengapa aku tadi menangis? Ling Ay mengangkat muka, memandang gurunya dan menggeleng kepala. Gurunya tersenyum, manis sekali. Kadang Ling Ay merasa heran. Ia sendiri juga seorang wanita cantik, akan tetapi ia masih muda walaupun sudah menjadijJanda tanpa anak, usianya baru dua puluh empat tahun. Akan tetapi subonya pernah mengaku bahwa subonya sudah berusia lima puluh tahun. Setengah abad. Akan tetapi, subonya masih nampak demikian cantiknya seperti seorang gadis berusia dua puluh lima tahun saja. Mereka seperti enci adik dan tak seorangpun menyangkal bahwa mereka itu seperti enci adik.
Dari senyum, merekahlah tawa kecil. "Hi-hi-hik, aku menangis karena bahagia. Heh-heh, Tiauw Sun Ong, saat ini engkau pasti merana, berduka, menyesal, bingung dan gelisah. Nah, sekali-sekali engkau perlu merasakan hukumanmu, hi-hik."
"Subo... mengapa subo mentertawakan bekas pangeran yang sudah menderita karena buta itu. Hati teecu (murid) sudah merasa kasihan sekali melihat dia, seorang pria setengah tua yang buta, hidup terasing seorang diri di pegunungan sunyi, masih dimusuhi pula oleh Kwan Im Sian li yang ingin membunuhnya. Aih, subo, kenapa subo. tidak kasihan malah kini mentertawakan dia?"
"Ling Ay engkau sudah mendengar semua ceritaku tentang Pangeran Tiauw Sun Ong, tentang hubungannya dengan aku, tentang Kwan-im sianli dayang tak tahu malu itu, dan tentang Pouw Cu Lan selir kaisar yang menyeleweng itu. Akan tetapi, engkau tidak tahu apa yang sebenarnya terkandung dalam hatiku.”
"Maaf, subo, teecu dapat menduga apa yang terkandung dalam hati sanubari subo. Ingatlah, subo, teecu pernah menceritakan tentang riwayat teecu yang tidak jauh bedanya dengan riwayat subo. Teecu juga pernah merasakan bagaimana hancurnya hati yang menderita karena kasih tak sampai,"
"Hemmm, apakah sampai sekarang engkau juga masih mencinta pemuda yang bernama... eh, siapa lagi namanya?"
"Kwa Bun Houw... teecu tak pernah mencinta pria lain kecuali dia, subo. Teecu pernah mencoba untuk belajar mencinta pria yang dipaksakan menjadi suami teecu, akan tetapi sama sekali tidak pernah berhasil. Hanya Bun Houw seorang yang pernah teecu cinta, tetap dan akan teecu cinta selamanya."
Senyum di mulut Kwan Hwe Li melebar. "Heh.heh, bagaimana mungkin cinta dapat dipelajari atau dilatih? Cinta adalah suatu keadaan hati. Yang ada hanya engkau mencinta seseorang itu ataukah tidak. Akan tetapi, Ling Ay, setelah engkau mencinta mati-matian kepada pemuda yang bernama Bun Houw itu, apakah engkau tidak mempunyai niat untuk mendapatkannya, agar engkau dapat selamanya hidup di sampingnya?"
"Subo, tidak ada keinginan lain yang lebih besar dalam hati teecu kecuali hidup di sampingnya untuk selamanya. Akan tetapi teecu membatasi diri, subo. Teecu tahu bahwa teecu tidak pantas untuk menjadi jodohnya. Orang tua teecu pernah menolaknya dan menyakiti hatinya, teecu sendiri pernah menjadi isteri orang. Teecu hanya seorang janda yang pernah menyakiti hatinya, dan dia seorang pendekar yang budiman. Bagaimana mungkin teecu akan dapat berjodoh dengan dia?"
Suara Ling Ay mengandung rintihan batinnya. Ayah ibunya tewas dibunuh penjahat, ia sendiri sudah menjadi janda, dan Bun Houw entah berada di mana. Tidak ada sedikitpun harapan baginya untuk dapat bertemu dengan Bun Houw, apalagi hidup bersama reperti yang dikatakan subonya...
Bahkan tiga orang pelayan rumah makan seperti berebut dulu menyambut mereka, dengan sikap hormat dan manis, dan mempersilakan, mereka ke meja yang masih kosong, yang kebetulan berada di sudut sebelah dalam sehingga banyak tamu yang dapat melihat mereka.
Peristiwa seperti ini, datangnya tamu wanita-wanita cantik, amat menguntungkan rumah makan dan hal ini diketahui benar oleh para pelayan, maka dua orang wanita itu dipersilakan duduk di tempat yang mudah dilihat oleh para tamu di meja lain. Dengan adanya "tontonan" gratis ini. para tamu akan lebih betah tinggal di situ dan pesanan makanan dan minuman akan bertambah banyak.
Dua orang wanita yang mamasuki rumah makan An-lok (Selamat Bahagia) di kota Ki-ciu itu memang amat menarik hati, terutama kaum pria, karena keduanya amat cantik jelita. Orang pertama adalah seorang wanita yang telah matang karena ia nampaknya berusia tiga puluh tahun lebih. Padahal sesungguhnya wanita ini sudah berusia empat puluh delapan tahun! Dalam usia mendekati setengah abad itu, ia masih kelihatan muda dan cantik menarik.
Wajahnya yang berkulit putih halus kemerahan itu manis sekali, nampak masih segar dan tidak kelihatan tanda ketuaan sama sekali. Juga bentuk tubuhnya masih padat dan ramping. Rambutnya digelung indah seperti sanggol rambut seorang puteri bangsawan saja, dan pakaiannya juga indah dan mahal. Hal ini tidaklah mengherankan karena wanita ini adalah Bwe Si Ni yang berjuluk Kwan-im sian-li (Dewi Kwan Im)! Ia adalah bekas dayang istana kerajaan Liu-sung yang telah jatuhi, dan setelah kini keluar dari istana, ia meniru gaya dan dandanan seorang pateri istana, bukan seorang dayang lagi!
Wanita yang ke dua lebih menarik lagi walaupun pakaian dan dandanannya tidak semewah wanita pertama. Ia seorang gadis yang juga berkulit putih mulus, namun pakaian dan dandanannya sederhana sehingga ia nampak cantik manis dan agung, juga gagah karena di punggungnya terdapat gendongan sebuah bantalan kain kuning dan di bawah buntalan itu terdapat pula sepasang pedang yang sarung dan gagangnya terukir indah. Gadis berusia dua puluh satu tahun ini adalah Hui Hong.
Seperti kita ketahui, Hui Hong mendengar pengakuan ibu kandungnya bahwa ia bukanlah puteri Ouwyang Sek, melainkan puteri bekas Pangeran Tiauw Sun Ong, ketika ia bertanya kepada ibunya di mana ayah kandungnya itu berada, ibunya tidak mampu menjawab, dan Kwan-im Sian-li Bwe Si Ni yang menjawabnya, bahwa ia tahu di mana adanya Tiauw Sun Ong. Maka Hui Hong lalu mau diajak pergi untuk ditunjukkan di mana ayahnya tinggal. Dan mereka melakukan perjalanan jauh sampai pada pagi hari itu mereka tiba di kota Ki-ciu dan memasuki rumah makan An-lok, menjadi pusat perhatian para tamu yang pada pagi hari itu banyak yang sarapan di rumah makan itu.
Kedua orang wanita itu sama sekali tidak perduli akan sikap dan gaya para pria yang berada di rumah makan itu. Hui Hong sendiri sudah sering melakukan perjalanan dan ia tahu benar bahwa semua pria di manapun juga sama saja, selalu bergaya dan beraksi kalau melihat wanita cantik dan ia tahu bahwa sahabat barunya ini yang mengaku bernama Bwe Si Ni dan mengetahui di mana adanya ayah kandungnya, adalah seorang wanita yang amat cantik.
Juga selain cantik, wanita ini tentu lihai, hal itu pernah ia buktikan ketika ia mengejar wanita ini yang dapat berlari cepat bukan main. Biarpun belum pernah ia menguji ilmu silatnya dan mereka berdua dalam perjalanan tidak banyak cakap dan tidak pernah bicara tentang ilmu silat, namun Hui Hong dapat menduga bahwa wanita ini tentu lihai. Setelah mengambil tempat duduk dan pelayan dengan sikap hormat bertanya makanan dan minuman apa yang mereka pesan, Bwe Si Ni bertanya kepadanya.
"Engkau ingin makan apa? Dan minum apa?"
Hui Hong tersenyum. Wanita cantik ini jarang sekali bicara. Kalau tidak perlu tidak pernah bicara dan nampaknya acuh saja terhadap dirinya. Akan tetapi pagi ini kelihatan lebih ramah dari pada biasanya, "Apa saja sesukamu, enci. Aku tidak ingin sesuatu yang istimewa, juga tidak menolak macam makanan." jawabnya, ramah pula.
Biarpun di lubuk hatinya, Hui Hong belum percaya sepenuhnya kepada wanita ini, dan tidak begitu suka karena wanita ini dianggapnya pesolek dan dingin, namun karena ia membutuhkan bantuannya untuk dapat bertemu dengan ayah kandungnya maka iapun berusaha untuk bersikap baik dan ramah. Bwe Si Ni tersenyum.
"Aku ingin makan bebek panggang dan goreng burung dara. Minumnya ringan saja sari buah, tidak enak minum yang keras sepagi ini."
"Terserah, pilihanmu terdengar enak. Enci." Bwe Si Ni lalu memesan masakan itu kepada kepala pelayan yang sudah datang melayani sendiri. Ketika kepala pelayan sudah mencatat pesanannya, dan matanya jelas menatap tajam dan penuh kagum kepada dua orang tamunya itu. Bwe Si Ni mengerutkan alisnya dan suaranya mendesis ketus.
"Apa yang kaulihat! Matamu kurang ajar, hayo cepat sediakan pesanan kami!”
Kepala pelayan itu terkejut, membungkuk-bungkuk dan segera pergi. Sudah beberapa kali dalam perjalanan mereka, Hui Hong melihat sikap galak dan ketus dari temannya itu terhadap pria. ia sendiri juga membenci pria yang kurang ajar dan tidak sopan, akan tetapi tidak sehebat Bwe Si Ni. Baru melihat saja sudah dapat membuat ia marah-marah. Sikapnya seolah wanita cantik ini amat membenci kaum pria. Diam-diam ia merasa heran. Seorang wanita sehebat ini, mustahil kalau belum berumah tangga dan ia menduga-duga siapa gerangan suami wanita ini dan di mana tempat tinggalnya, dari mana asalnya. Akan tetapi ia belum sempat mendapatkan saat yang tepat untuk menanyakan hal itu tanpa menyinggungnya.
Tak lama kemudian, pesanan mereka datang dan keduanya lalu makan minum tanpa memperdulikan puluhan pasang mata yang seolah mengikuti setiap gerak gerik mereka. Hui Hong yang diam-diam memperhatikan temannya, melihat betapa cara makan Bwe Si Ni juga anggun, seperti dibuat-buat dan diatur. Pernah ia mendengar dari ayahnya, atau ayah tirinya, bahwa kehidupan para bangsawan tinggi lain dari cara hidup orang biasa. Bahkan dalam hal bicara atau makan saja mereka mempunyai cara sendiri, seperti diatur. Apakah wanita di depannya ini juga seorang wanita bangsawan?
Ketika kedua orang wanita ini hampir selesai makan, tiba-tiba mereka melihat para pelayan nampak ketakutan, dan kepala pelayan bersama pimpinan rumah makan itu yang tadinya hanya duduk di dekat kasir, dengan membungkuk-bungkuk dan senyum dibuat-buat menyongsong ke luar, seperti menyambut datangnya tamu agung. Bahkan para tamu yang tadinya nampak gembira mengamati dua orang wanita cantik itu, kini nampak khawatir, bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang tergesa-gesa membayar harga makanan dan meninggalkan meja mereka.
“Sediakan meja besar untuk kami! Yang di tengah itu, dan keluarkan hidangan yang kami sukai, seperti biasa! Usir yang duduk di meja besar tengah itu dan bersihkan mejanya sampai mengkilap!” terdengar suara dengan logat selatan, dan suara itu mengandung keangkuhan yang memuakkan hati Bwe Si Ni dan Hui Hong.
Akan tetapi karena yang diusir dari meja bukan mereka, keduanya diam saja dan tidak ambil perduli. Sekeluarga yang tadinya makan minum di meja itu, tanpa berani membantah lalu pindah ke meja lain dan makanan mereka diusungi para palayan. Ada yang membersihkan meja itu.
"Hayo cepat hidangkan masakan buat kami. Kami sudah lapar dan keluarkan dulu arak yang paling baik!” kembali terdengar suara orang, sekali ini bukan suara yang tadi, kemudian terdengar bangku diseret dan terdengar pula orang yang membesihkan hidung dan tenggorokan dengan suara yang menjijikkan sekali.
"Jahanam!” Bwe Si Ni mendesis dan melepaskan sepasang sumpitnya di atas meja. Juga Hui Hong merasa muak dan tidak melanjutkan makan. Untung mereka sudah kenyang. Kini dengan sinar mata marah, ketuanya menoleh untuk melihat orang-orang macam apa yang demikian sombong dan tidak mengenal sopan santun.
Kiranya meraka adalah tiga orang yang sikapnya kasar, berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, potongan pakaian mereka ringkas seperti yang biasa dipakai orang-orang dari dunia persilatan, dan di punggung mereka terselip golok telanjang yang berkilauan. Dari dandanan, senjata, dan sikap mereka jelas dan mudah diketahui bahwa mereka tentu orang-orang kang-ouw golongan sesat yang suka mempergunakan kekuatan bermain kasar dan keras memaksakan kehendak kepada orang lain.
Hal inipun tidak akan diperduli oleh Hui Hong maupun Bwe Si Ni kalau saja tiga orang itu tidak mencari penyakit sendiri. Ketika dua orang wanita itu menoleh ke arah mereka, kebetulan sekali yang termuda, berusia tiga puluh tahun dan mukanya kekuning-kuningan seperti penderita penyakit dan tubuhnya tinggi kurus, memandang kepada mereka dan baru melihat bahwa dua orang wanita yang menoleh itu amatlah cantiknya.
"Heiiii! Wah, sekali ini kita memang beruntung sekali, kawan-kawan!” Serunya gembira. "Siapa kira di sini ada dua orang bidadari yang amat cantik jelita sudah menunggu dan siap menemani kita makan minum dan bersenang-senang!"
Mendengar ucapan adik segerombolan mereka itu, dua orang yang lain juga memandang. Mereka tidak semata keranjang adik mereka, akan tetapi sekali ini mereka menelan ludah karena jarang mereka melihat dua orang wanita secantik yang ditunjukkan adik mereka itu.
"Heh-heh-heh. matamu awas sekali, sute (adik seperguruan)!" kata yang bertubuh pendek gendut berperut besar sambil terkekeh. "Mereka memang cantik manis dan sekali ini aku tidak ingin pura-pura alim."
Orang ke tiga yang paling tua, berusia empat puluhan tahun, juga terpesona. Akan tetapi dia lebih berhati-hati dibandingkan dua orang sutenya karena dia melihat sepasang pedang yang tergantung di pinggang Hui Hong. Bwe Si Ni sendiri menyembunyikan pedangnya di balik jubahnya yang lebar dan panjang.
"Sute, mereka agaknya segolongan. Sebaiknya kalau kita mengundang mereka baik-baik untuk berkenalan." katanya dan tiga orang itu seperti dikomando, telah bangkit berdiri dan menghampiri meja di mana dua orang wanita itu sudah tidak makan lagi dan sedang membersihkan bibir dengan saputangan.
Mereka memutari meja itu dan berdiri berjejer, menghadapi dua orang wanita itu dengan muka cengar-cengir. Si kumis lebat, yaitu orang tertua yang bertubuh sedang dan nampak kokoh kuat. mengangkat kedua tangan dan memberi hormat kepada Si Ni dan Hui Hong, diikuti dua orang sutenya yang masih menyeringai senang karena setelah kini mereka berhadapan dengan dua orang wanita itu, semakin jelas nampak betapa cantik menariknya dua orang wanita di depan mereka itu.
"Nona berdua tentulah wanita wanita kang-ouw yang segolongan dengan kami, oleh karena itu, kami ingin berkenalan dengan ji-wi (anda berdua). Kami adalah tiga orang di antara Ki-ciu Ngo-houw (Lima Harimau Ki-ciu) ,yang mengusai daerah ini. Kami mengundang ji-wi untuk berkenalan sambil makan minum di meja kami. Silakan!" Dengan sikap dibuat-buat si kumis lebat itu mempersilakan dua orang wanita itu untuk pindah ke meja mereka dengan keyakinan bahwa dua orang wanita itu akan pasti suka menerima undangannya karena kama berur Ki-elu Nf,o-houw ditakuti senni orang didsersb itu...“
Bwe Si Ni mengerutkan alisnya dan matanya mencorong ketika ia menyapu tiga orang itu dengan pandang matanya. "Tidak perduli kalian ini Lima Harimau atau Lima Anjing dari Ki-ciu, aku tidak perduli dan aku tidak sudi berkenalan dengan kalian!"
Hui Hong tersenyum. "Hi-hik. kami sudah makan kenyang. Andaikata belum makanpun, kami tidak sudi makan bersama kalian yang jorok dan menjijikkan!”
Kedua orang wanita itu bangkit, lalu menghampiri meja kasir dan membayar harga makanan dan minuman tanpa memperdulikan tiga orang itu lagi, kemudian keluar dari rumah makan. Semua tamu yang kebetulan melihat semua ini, terbelalak dan terheran-heran bagaimana ada dua orang, wanita lagi, berani bersikap saperti itu terhadap tiga orang ini. Tiga orang jagoan itupun sudah marah sekali dan mereka mengepal tinju.
"Mohon sam-wi tidak o en bikin ribut di sini... " pemilik rumah makan menjura dan meratap kepada mereka.
"Sediakan saja pesanan kami! Setelah kami menghajar dan menyeret dua orang perempuan itu, baru kami akan makan!” kata si kumis tebal dengan marah dan bersama dua orang suteenya, dia lalu melangkah lebar keluar dari rumah makan melakukan pengejaran.
Tiga orang ini memang merupakan tiga orang di antara Ki-ciu Ngo-houw yang terkenal memiliki kekuasaan dan pengaruh besar di daerah Ki-ciu. Merekapun berhubungan baik dengan para pejabat setempat sehingga ada kerja sama diantara mereka. Mereka tidak dimusuhi para pejabat, akan tetapi merekapun berjanji tidak akan membuat kacau dan kerusuhan di kota Ki-ciu. Inilah sebabnya mengapa mereka tadi masih menahan sabar walaupun marah sekali dengan sikap dua orang gadis di rumah makan An-lok.
Ketika mereka membayangi dua orang gadis itupun mereka masih tidak mau membikin ribut di dalam kota. Setelah Hui Hong dan Si Ni tiba di luar kota Ki-ciu untuk melanjutkan perjalanan, barulah tiga orang itu dengan cepat mengejar, kemudian mendahului mereka dan menghadang di jalan yang sunyi itu. Tentu saja dua orang wanita perkasa itu sejak tadi tahu bahwa tiga orang yang menjemukan itu membayangi mereka sejak dari rumah makan dan kini menghadang mereka di jalan sunyi luar kota.
"Enci biar aku yang menghadapi mereka," kata Hui Hong mendahului karena ia dapat menduga bahwa kalau wanita cantik itu yang turun tangan mungkin saja ia akan membunuh ketiganya.
Biarpun sejak kecil ia dididik oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, seorang datuk besar yang tadinya ia anggap sebagai ayahnya, bukan saja dididik dengan ilmu-ilmu yang hebat, akan tetapi juga melihat kekerasan dipergunakan datuk itu, namun ia selalu diberi nasehat oleh ibunya agar ia tidak berwatak kejam dan tidak sembarangan membunuh orang. Karena itu, dalam hati Hui Hong terbentuk watak yang tidak kejam seperti ayahnya walaupun ia keras dan galak, dan tidak mau membunuh orang sembarangan saja. sekarangpun ia menganggap bahwa tiga orang laki-laki yang kurang sopan itu hanya patut dihajar, tidak seharusnya dibunuh seperti orang-orang jahat.
Bwe Si Ni mengangguk, lalu ia duduk di atas batu di tepi jalan, ingin menonton dan melihat sampai di mana kehebatan puteri kandung Tiauw Sun Ong atau juga murid dari Bu-eng-kiam ini.
Melihat betapa yang menghadapi mereka adalah gadis yang lebih muda, sedangkan wanita yang ke dua enak-enak duduk menonton, tiga orang itu menjadi semakin marah dan merasa dipandang ringan. Si kumis tebal sudah melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Hui Hong sambil berkata,
"Gadis liar, tadi kami bertiga tidak ingin membikin ribut di rumah makan dan di kota, maka kami menahan sabar. Sekarang, kami akan menghajar kalian dan menyeret kalian kembali ke rumah makan An-lok untuk menemani kami! Kami harus menebus penghinaan yang kalian lakukan tadi yang telah membikin malu kepada kami di depan orang banyak."
Hui Hong tersenyum dan tiga orang itu menelan ludah. Gadis yang mereka hadapi ini manis luar biasa! "Enci itu tadi mengatakan kalian tiga ekor anjing, dan memang benar karena kalian pandai menggonggong. Biasanya, anjing-anjing yang banyak menggonggong tidak menggigil. Pergilah, sekali ini biar kuampuni. Pergi sebelum kalian menerima penghinaan lebih parah lagi!”
Tentu saja tiga orang itu menjadi marah bukan main. "Tangkap gadis liar ini! Bekuk dulu, baru kita bekuk yang seorang lagi!” teriak si kumis tebal. Tiga orang itu menerjang ke depan dan mereka memang memiliki gerakan yang tangkas, cepat dan kuat.
Namun, yang mereka hadapi adalah gadis puteri atau murid datuk besar majikan Lembah Bukit Siluman! Tingkat kepandaian Hui Hong jauh lebih tinggi dibandingkan mereka, maka melihat mereka bertiga sudah menerjang untuk menangkapnya, dengan ringan dan mudah saja Hui Hong menyelinap di antara tangan-tangan mereka dan lolos dari terkaman. Tiga orang itu terkejut melihat gadis itu menjadi bayangan berkelebat dan lenyap. Mereka membalik dan ternyata gadis itu telah berdiri di belakang mereka dan menggunakan tangan menggapai dan menantang.
Dari gerakan gadis itu, mereka dapat menduga balwa gadis itu bukan orang lemah, maka kalau tadi mereka hanya berebut untuk dapat menangkap Hui Hong, kini mereka menerjang dengan pukulan pukulan!
Kembali Hui Hong menggunakan kelincahannya untuk mengelak ke sana-sini. kemudian ketika lengan si tinggi kurus muka kuning menyentuh pundaknya dari belakang, ia menangkap pergelangan tangan itu, mengerahkan tenaga dan membungkuk, menarik tangan itu dan tubuh si tinggi kurus berputar dengan kaki ke atas melewati tubuh Hui Hong dan terbanting keras di atas tanah.
"Ngekkk...!" Si muka kuning mengaduh-aduh. lalu merangkak dan mencoba bangkit sambil memegangi punggungnya yang rasanya seperti patah-patah tulangnya dan pinggulnya yang tipis tak berdaging itu nyeri bukan main. Dia melangkah menjauh dengan terpincang, pincang, untuk sementara tidak maupu menyerang lagi.
Dua orang kawannya tentu saja marah sekali melihat si muka kuning toboh. Mereka, menyerang semakin nekat dan kini mereka bukan hanya ingin menghajar, bahkan kalau perlu membunuh karena serangan-serangan mereka kini merupakan serangan maut yang dapat mematikan lawan. Melihat ini, Hui Hong juga tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ketika si perut gendut menerjang dari samping. Ia mundur dua langkah dan ketika tubuh gemuk itu terdorong ke depan, secepat kilat kaki kiri Hui Hong mencuat dan ujung sepatunya memasuki perut yang bergajih itu dengan kerasnya.
"Ngekk...!” Tubuh gendut itu terjengkang dan terbanting keras sampai bergulingan. Si gendut berteriak-teriak kesakitan dan seperti juga sutenya tadi, dia merangkak dan dengan susah payah mencoba bangkit sambil menekan perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas.
Orang pertama yang selain marah juga terkejut melihat akibat perkelahian ini. mencabut goloknya yang terselip di punggung, lalu menyerang Hui Hong dengan bacokan-bacokan goloknya. Terdengar suara berdesing-desing ketika golok yang lebar dan tajam itu membelah udara kosong karena tidak pernah dapat menyentuh sasarannya.
Hui Hong menjadi marah. Mungkin saja tiga orang ini bukan orang-orang yang suka berbuat jahat, akan tetapi sudah jelas bahwa mereka, terutama si kumis tebal ini mempunyai hati yang kejam. Buktinya mereka mengeroyok seorang lawan wanita, bahkan melakukan serangan untuk mematikan, pada hal sebab perkelahian hanya sepele saja. Dan si kumis tebal ini malah tidak segan segan menggunakan golok menyerang lawan yang tidak bersenjata.
Ketika untuk ke sekian kalinya golok itu menyambar, Hui Hong membiarkan golok itu lewat dengan sedikit mengelak, dan pada saat gotok menyambar lewat, tangan kirinya bergerak menotok pergelangan tangan yang memegang golok sehingga senjata tajam itu terlepas dan ia sudah merampasnya! Pada detik yang lain, Hui Hong sudah menggerakkan lagi tangan kirinya, sekarang ke arah muka si kumis tebal. Jari-jari tangannya mencengkeram, menarik dengan sentakan kuat.
Dan si kumis tebal mengeluarkan pekik kesakitan, terpelanting roboh dan dia melangkah bangun sambil menutupi muka dengan tangan. Kulit di bawah hidungnya yang sebelah kanan berdarah karena kumisnya telah dicabut oleh tangan Hui Hong. Kini kumis yang tebal itu tinggal sebelah saja, dan kulit di bagian kumis yang dijebol itu terluka berdarah.
Hui Hong menggunakan kedua tangannya menekuk golok rampasan itu sambil mengerahkan tenaga. Terdengar suara nyaring dan golok itupun patah menjadi dua potong. Ia melemparkannya ke atas tanah sambil tersenyum mengejek.
“Hemm, kalian tiga ekor anjing masih juga tidak cepat merangkak pergi?"
Tentu saja tiga orang itu terkejut dan ketakutan, akan tetapi juga penasaran dan marah. Peristiwa yang amat memalukan dan menghina ini belum pernah mereka alami selama hidup. "Kau... kau... kalau memang gagah, tunggu saja... kami mengundang twa-suheng dan ji-suheng..." kata si kumis dengan suara aneh karena mulutnya sakit digerakkan tanpa menimbulkan rasa perih di bibir atasnya. Kamudian mereka bertiga melarikan diri ke arah kota.
Hui Hong hanya tersenyum ketika Bwe Si Ni menegurnya, "Hui Hong, kenapa engkau bermain-main dengan jahanam-jahanam seperti mereka?"
“Enci, orang-orang sombong itu memang patut dihajar. Biar dua orang kakak mereka yang lain datang, akan kuhajar sekalian di sini."
Bwe Si Ni bangkit berdiri. "Huh, aku tidak mempunyai waktu untuk main-main dengan mereka. Mari kita melanjutkan perjalanan."
"Tapi, kita bisa dianggap takut!”
"Masa bodoh, biar mereka mencari kita kalau memang sudah bosan hidup. Mari kita pergi."
Karena ia memang sedang mengikuti wanita itu untuk diajak menemui ayah kandungnya, Hui Hong tidak dapat membantah lagi dan ia pun mengikuti Bwe Si Ni pergi dari situ melanjutkan perjalanan. Belum jauh mereka pergi, mereka mendengar derap kaki kuda dari belakang. Setelah beberapa ekor kuda itu datang dekat, Hui Hong dan Si Ni minggir dan menanti untuk membiarkan mereka lewat. Akan tetapi, segera mereka melihat bahwa yang datang adalah lima ekor kuda dengan lima orang penunggangnya.
Tiga di antara mereka bukan lain adalah tiga arang yang tadi dihajar oleh Hui Hong. Yang dua orang lagi adalah dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang seorang tinggi besar bermuka hitam dan yang ke dua, tegap dan berwajah tampan yang lelalu tersenyum memikat. Wajah seorang penaluk wanita! Tanpa bertanyapun, dua orang wanita itu dapat menduga bahwa dua orang itu tentulah sang twa-suheng dan ji-suheng dan sekarang lengkaplah sudah Ki ciu Ngo-houw, lima harimau yang mengaku berkuasa di daerah Ki-ciu itu.
Hui Hong segera melangkah maju dan bertolak pinggang, menghadapi lima orang yang kini sudah berlompatan turun dari punggung kuda. Setelah membiarkan kuda mereka makan rumput di tepi jalan, lima orang itu menghadapi Hui Hong yang tersenyum mengejek. "Mau apa kalian datang mengejar kami? Apakah masih belum puas dan ingin dihajar lebih keras lagi?"
Si kumis tebal itu kini kehilangan semua kumisnya. Agaknya dia sudah memotong kumis sebelahnya sehingga wajahnya yang tidak berkumis itu kini nampak lucu. Akan tetapi yang menjawab pertanyaan Hui Hong bukan dia melainkan laki-laki tampan yang juga tersenyum dan melirik-lirik ke arah dua orang wanita itu.
"Nona, engkaukah tadi yang telah menghajar tiga orang suteku? Bagus, ternyata engkau selain gagah perkasa, juga cantik jelita. Engkau akan menjadi pasanganku yang cocok sekali!"
"Ji-sute (adik kedua), gadis-gadis ini sudah menghina tiga orang adik kita. Hajar saja. kalau perlu bunuh untuk mengangkat kembali nama Ki-ciu Ngo houw!" kata yang tinggi besar bermuka hitam dengan sikap bengis sekali.
"Suheng, sayang kalau dibunuh begitu saja. Mereka terlalu cantik, biar kuajak bersenang-senang barang sepekan sebelum dibunuh!" kata pula si muka tampan.
Tiba-tiba Sin Ni memegang tangan Hui Hong dan menariknya ke belakang sambil berkata, suaranya lirih mendesis seperti desis seekor ular cobra yang marah. "Mundurlah, Hui Hong. Sekarang giliranku!”
Hui Hong mundur karena ia sendiripun ingin menyaksikan sepak terjang sahabat baru yang aneh itu. Suara mendesis itu cukup membuat ia bergidik dan kini Hui Hong yang duduk di atas sebuah akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. Kini, Bwe Si Ni yang berdiri menghadapi lima orang itu. Ia sudah tersenyum-senyum seperti Hui Hong. Wajahnya yang cantik jelita itu nampak anggun dan dingin angkuh, seperti sikap seorang putri menghadapi para abdi yang siap menaati semua perintahnya. Agaknya wanita ini ingin menyesuaikan sikapnya dengan julukannya. Julukannya adalah Dewi Kwan Im, seorang dewi yang dipuja orang karena terkenal sebagai Dewi Welas Asih.
"Wah, yang ini biar untukku saja, Ji-suheng!" kata orang ke empat yang gendut dan yang tadi perutnya menjadi mulas oleh tendangan kaki Hui Hong. "Sejak semula bertemu di rumah makan, aku sudah jatuh cinta padanya!”
"Singgg... crattt...!”
Si perut gendut menjerit dan terjungkal, berkelojotan karena tepat di antara kedua alis matanya tertusuk sebatang jarum hijau yang telah dilepaskan Kwan-Im sianli Bwe Si Ni tanpa ada yang tahu saking cepatnya gerakan tangannya. Tentu saja empat orang itu menjadi terkejut setengah mati. Terutama orang ketiga dan kelima yang selalu bertiga dengan si gendut, merasa terkejut dan juga sedih bukan main. Dan kini di situ terdapat kakak pertama dan ke dua mereka, membuat hati mereka bertambah berani. Dengan teriakan-teriakan marah, keduanya sudah mencabut golok masing-masing dan menerjang ke arah Bwe Si Ni.
Wanita ini tidak bergerak sedikitpun untuk mengelak atau menangkis, melainkan nampak tangan kanannya saja yang bergerak ke arah perutnya, disusul mencuatnya sinar yang menyilaukan mata ke arah dua orang penyerangnya dan merekapun menjerit dan terjengkang roboh dengan golok masih di tangan. Kiranya sebelum golok mereka mengenai sasaran, telah ada sepasang pedang yang digerakkan secepat kilat menyambar dan menusuk dada kedua orang itu tanpa mereka mampu mengelak atau menangkis lagi. Mereka roboh dan berkelojotan di dekat tubuh si gendut yang kini sudah tidak bergerak lagi.
Si tinggi besar dan sutenya yang tampan itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat. Di samping kemarahan yang hebat, merekapun terkejut dan gentar karena sebagai ahli-ahli silat pandai merekapun dapat mengenal orang yang memiliki kesaktian, yang kiranya tidak mungkin dapat mereka lawan. Cara wanita cantik itu membunuh tiga orang sute mereka sudah membaktikan betapa lihainya wanita itu, membuat mereka mengingat dan menduga-duga siapa gerangan wanita itu. Mereka mulai mengamati Si Ni dan akhirnya mereka dapat mengenal hiasan rambut berupa teratai di sanggul rambut yang tinggi itu, mengenal pula jubah panjang lebar teperti jubah pendeta.
"Nona... nona... Kwan Im Sianli...?” tanya si muka hitam dan mendengar sebutan ini, sutenya menjadi pucat dan kakinya gemetar.
Bwe Si Ni baru sekarang tersenyum, akan tetapi senyum yang dingin dan amat merendahkan, terdengat dengus lirih dari hidungnya, "Huh, kalau sudah tahu, kenapa tidak cepat kalian membunuh diri?"
Dua orang itu dengan tubuh gemetar cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk-bungkuk memberi hormat kepada Bwe Si Ni. Mendengar bahwa wanita cantik ini adalah Kwan-im sianli, datuk besar golongan sesat yeng amat ditakuti, mereka seperti mati kutu.
"Ampunkan kami, Sianli (Dewi), tiga orang sute kami memang layak mati karena berani kurang ajar terhadap Sian-li. Ampunkan kami berdua yang tidak mengenal sian-li dan bersikap kurang hormat." kata si tinggi besar.
"Sian-li, kami kakak beradik seperguruan selalu menghormati dan memuja nama besar Sian-li. Karena belum pernah berjumpa, hari ini kami telah berlaku kurang hormat. Mohon Sian-li sudi memberi ampun kepada kami berdua." kata pula yang tampan dan kini dia sudah kehilangan gayanya sebagai pemikat hati wanita, bersikap sedemikian rendah diri dan penuh rasa takut.
"Tidak perlu benyak cakap. Cepat kalian bunuh diri, atau menanti aku yang membunuh kalian?" suara Si Ni terdengar dingin dan datar, membuat Hui Hong sendiri yang sudah biasa melihat kekejaman orang-orang dunia sesat, merasa ngeri. Wanita cantik jelita yang julukannya Dewi Kwan Im ini sungguh merupakan Iblis betina yang amat kejam.
Dua orang itu saling pandang dengan muka pucat, kemudian secara tiba-tiba mereka sudah mencabut golok dan menyerang dengan gerakan dahsyat, dengan serangan yang mematikan. Si tinggi besar menyerangkan goloknya ke arah leher Si Ni sedangkan adik seperguruannya membabatkan golok ke arah pinggang.
Akan tetapi. keduanya terkejut karena tiba-tiba saja wanita di depan mereka itu lenyap dan hanya nampak bayangannya berkelebat ke atas kepala mereka. Keduanya cepat membalikkan tubuh karena maklum, bahwa wanita itu tadi meloncati kepala mereka dan berada di belakang. Akan tetapi mereka kalah cepat. Baru saja memutar tubuh, dua kali sinar berkilauan menyambar dan keduanya roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi karena leher mereka hampir putus terbabat sebatang pedang yang tadi dicabut, digerakkan, lalu disimpan kembali secara cepat seperti kilat menyambar olah Kwan-im Sian-li Bwe Si Ni! Tewaslah Ki-ciu Ngo-Houw yang biasanya merajalela di daerah itu, mati konyol di tangan seorang datuk wanita tanpa dapat melawan sedikitpun.
Tak lama kemudian, nampak dua orang wanita itu sudah menunggang dua ekor kuda, melanjutkan perjalanan. Mereka merampas dua di antara lima ekor kuda tadi, memilih yang terbaik dan kini mereka dapat melakukan perjalanan cepat tanpa terlalu melelahkan diri. Ketika matahari sudah naik tinggi, udara panas dan kuda mereka sudah mulai berpeluh dan terengah kelelahan, mereka berdua menghentikan kuda mereka di luar sebuah hutan besar dan membiarkan dua ekor kuda itu mengaso dan makan rumput. Dua ekor kuda itu nampak senang sekali ketika dituntun ke sebuah anak sungai yang airnya jernih, minum dan makan rumput hijau segar yang tumbuh di tepi sungai. Dun orang wanita itupun beristirahat, duduk di atas akar menonjol di bawah pohon besar yang teduh.
"Enci, kenapa engkau tadi membunuh kelima Ki-ciu Ngo-houw? Kesalahan mereka tidak terlalu besar, hanya bersikap agak kurang ajar terhadap kita. Kenapa engkau begitu membenci mereka?"
"Huh, mereka memang layak dibunuh. Semua laki-laki, terutama yang tidak menghargai wanita, harus dibunuh!" jawab Si Ni dan dari suaranya dapat diketahui bahwa ia memang bersungguh-sungguh dan nampak kebenciannya terhadap pria.
"Enci, engkau agaknya amat membenci pria!”
“Memang benar. pria adalah mahluk yang paling jahat, paling kejam, suka menyiksa hati wanita!”
"Ehh? Akan tetapi, maafkan aku, enci. Apakah engkau tidak ingat kepada ayahmu, suamimu... mereka juga pria, belum lagi para pamanmu dan mungkin saudaramu laki-laki..."
"Aku tidak mempunyai semua itu! Aku selamanya tidak pernah bersuami, dan semua ini kulakukan karena kekejaman pria!”
Tentu saja Hui Hong terkejut sekali dan hatinya amat tertarik. Agaknya wanita cantik ini pernah mengalami hal-hal yang amat mengecewakan atau mendukakan hatinya, akibat ulah seorang pria, maka sampai sekarang ia tidak mau menikah dan apalagi berdekatan dengan pria, bahkan ia membenci pria.
"Akan tetapi engkau masih muda, enci, masih banyak harapan untuk kelak bertemu dengan seorang pria yang cocok untuk menjadi suamimu..."
"Diam, jangan ulangi lagi itu atau terpaksa aku akan menyerangmu!”
Hui Hong menghela napas panjang. "Enci, aku pernah mendengar namamu disebut oleh ayah... maksudku, oleh Bueng-kiam Ouwyang Sek bahwa yang berjuluk Kwan-im Sian-li adalah seorang datuk persilatan yang amat lihai, dan menurut ceritanya, Kwan-Im Sian li adalah seorang wanita tua. Akan tetapi, sekarang aku bertemu engkau yang berjuluk Kwan-im Sian li, dan memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi engkau masih muda..."
"Hemm, siapa bilang aku masih muda? Ayah tirimu itu yang matanya sudah lamur barangkali. Usiaku sudah mendekati setengah abad, bagaimana bisa dibilang muda?"
Hui Hong terbelalak, "Setengah abad? Ah, aku tidak percaya, enci! Engkau nampak berusia tiga puluhan tahun lebih sedikit!”
Bagaimanapun keras hatinya, Bwe Si Ni hanya seorang perempuan yang selalu amat memperhatikan riasan dan dandanannya, maka tentu saja ia merasa senang mendengar pujian bahwa ia awet muda, apalagi pujian itu keluar dari mulut seorang wanita sehingga bukan merupakan rayuan pria yang memuakkan hatinya.
"Usiaku sudah empat puluh delapan, Hui Hong."
"Ahhhh, sungguh tak disangka!" Hui Hong berseru, terkejut dan juga kagum sekali.
"Karena itu, mulai sekarang jangan sebut enci (kakak) kepadaku, melainkan bibi." Bwe Si Ni tersenyum.
Baru sekarang Hui Hong melihat senyum yang bukan senyum dingin mengandung ejekan dari wanita itu. Manis sekali. Ia merasa yakin bahwa ketika mudanya, wanita ini amatlah cantiknya. "Baiklah, Bibi Bwe Si Ni. Maafkan keberanianku bertanya karena aku merasa amat tertarik dan ingin tahu sekali, bibi. Bibi adalah seorang wanita yang selain pandai, juga teramat cantik. Kalau wanita biasa yang bodoh dan tidak cantik saja mendapatkan jodoh, kenapa bibi tidak pernah menikah? Maafkan pertanyaanku."
"Hemm, kalau orang lain yang mengajukan pertanyaan itu, tentu sudah kubunuh seketika. Akan tetapi engkau justeru merupakan satu-satunya orang yang harus mengetahui riwayatku. Nah, aku menjadi pembenci pria dan tidak sudi lagi didekati pria manapun juga karena ulah seorang laki-laki, ketika aku masih muda, dua puluh tahun lebih yang lalu." Wanita itu merenung dan beberapa kali menarik napas panjang seolah undangan semua kenangan lama itu mendatangkan pula kedukaan yang mendalam di hatinya.
"Hemm, tentu engkau mesih muda dan cantik jelita, bibi."
"Sudah sepatutnya aku cantik, karena ketika itu aku adalah seorang dayang di istana kaisar."
Hei Hong memandang kagum. Kukira bukan dayang melainkan puteri, pikirnya. Kalau dayang, kenapa sekarang dandanan pakaian dan rambutnya seperti seorang puteri saja? Akan tetapi tentu saja ia diam dan tidak berkata apa-apa, hanya menanti wanita itu melanjutkan ceritanya yang tentu akan menarik sekali.
"Ketika itu, aku bertemu seorang pria dan kami saling mencinta. Akan tetapi, laki-laki itu seorang yang mata keranjang. Bukan aku saja yang menjadi kekasihnya, melainkan banyak! Dan akhirnya dia meninggalkan aku begitu saja!"
Hui Hong mengerutkan alisnya. "Bibi, laki-laki seperti itu tentu sudah bibi cari dan bibi bunuh!”
Si Ni menggeleng kepalanya dan wajahnya nampak muram, sedih, "Ada dua hal yang membuat hal itu tidak mungkin kulakukan, Hui Hong. Pertama, aku... aku masih mencintanya dan aku mengharapkan dapat menghabiskan sisa hidupku di samping orang yang selamanya kucinta. Dan ke dua, kalaupun aku hendak membalas dendam, aku tidak akan menang. Dia lihai sekali dan aku bukan tandingannya."
"Ahhh...!” Hui Hong terkejut, dan kagum pula. Ia merasa kasihan kepada wanita ini.
"Hui Hong, ketika aku mendengar engkau menanyakan ayah kandungmu, aku yang mengetahui di mana dia, segera menawarkan diri untuk menjadi penunjuk jalan agar engkau dapat bertemu dengan ayahmu. Akan tetapi, aku mempunyai syarat, yaitu kalau aku sudah berhaail mempertemukan engkau dengan ayahmu, aku ingin minta bantuanmu."
"Bantuan apakah itu, bibi? Kalau memang aku mampu, dan kuanggap tidak bertentangan dengan isi hatiku, pasti aku akan membantumu."
"Begini, Hui Hong. Setelah engkau bertemu dengan ayahmu, aku minta agar engkau membujuk pria yang kucinta itu agar dia mau menerima diriku, agar dia memperkenankan aku hidup di sampingnya, melayaninya, merawatnya. Kemudian, kalau dia berkeras menolak dan tidak kasihan kepadaku, aku minta engkau membantuku untuk mengalahkan dan membunuhnya!"
Hui Hong berpikir sebentar. Permintaan itu cukup pantas dan kalau pria yang tidak setia itu benar-benar menolak dan mengandalkan kepandaiannya untuk merusak kehidupan Bwe Si Ni, memang sudah selayaknya kalau dibasmi. "Baik, bibi, aku berjanji untuk membantumu melakukan dua hal itu."
Wajah wanita itu berseri. "Engkau ... engkau tidak akan melanggar janjimu, Hui Hong?"
Sepasang alis Hui Hong berkerut. “Bibi Bwe Si Ni, biarpun sejak kecil aku dididik oleh Ouwyang Sek, namun Ibuku selalu menanamkan watak bertanggung jawab, adil dan dapat dipercaya. Kalau aku sudah berjanji, pasti akan kupenuhi, dan kalau perlu mempertaruhkan nyawaku. Aku Juga mempunyai kebanggaan dan harga diri, bibi. Apalagi karena permintaan bibi itu pantas, kalau laki-laki yang sudah membuat bibi merana selama puluhan tahun itu tidak menaruh iba dan mau menerima bibi, dia memang pantas untuk dihukum!”
Bwe Si Ni menjadi girang dan ia merangkul dan menciumi kedua pipi Hui Hong, membuat gadis ini termangu dan terheran. Sungguh sikap ini berbeda sekali dengan sikap Bwe Si Ni selama ini, biasanya dingin dan kaku, seperti mayat hidup. Dan kini tiba-tiba menjadi hangat, penuh gairah hidup.
"Terima kasih, Hui Hong, terima kasih..." bisiknya. Memang wanita ini merasa gembira bukan main. Ia sudah berhasil membuat puteri kekasihnya berjanji untuk membujuk ayah gadis itu sendiri untuk menerimanya, dan kalau perlu membantunya mengeroyok!
"Tidak perlu berterima kasih, bibi. Akulah yang harus berterima kasih sebelumnya bahwa bibi mau mempertemukan aku dengan ayahku. Dan akupun belum tentu berhasil membujuk pria pujaan hati bibi itu. Kita lihat saja nanti."
"Ya, kita lihat saja nanti, Hui Hong."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Hwa-san, sebuah pegunungan yang memiliki banyak bukit dan puncak yang tinggi. Sikap kedua orang wanita itu memang tidaklah aneh.
Setiap orang manusia di dunia ini, seperti juga mereka berdua, selalu bertindak atau berbuat menurut pikiran masing-masing. Dan hati akal pikiran membentuk gambaran si aku yang selalu mementingkan diri pribadi, mementingkan kesenangan diri sendiri. Memang beginilah ulah nafsu dan dalam hati akal pikiran kita semua sudah bergelimang nafsu yang memang disertakan kepada kita sebagai peserta yang membantu jiwa dalam kehidupan dalam badan ini. Akan tetapi, karena sejak kecil kita membiarkan nafsu makin lama semakin berkuasa dan merajalela, sehingga akhirnya mencengkeram dan menguasai hati akal pikiran sepenuhnya.
Maka kehidupan ini sepenuhnya dikemudikan nafsu. Nafsu membentuk aku yang ingin menang, ingin senang sendiri. Karena itu, muncullah segala macam kemunafikan, yaitu yang pada luarnya nampak baik, namun sebenarnya palsu karena di sebelah dalamnya ternyata nafsu yang berpamrih berkuasa dan segala yang tampaknya besar itu hanya merupakan suatu cara untuk mendapatkan imbalan yang menyenangkan.
Keinginan si aku untuk enak sendiri inilah yang menimbulkan segala macam konflik. Kalau sudah terjadi benturan antara si aku dan si-aku yang lain, maka bermusuhanlah kedua orang itu. Benturan kepentingan, atau lebih tepat lagi benturan keinginan untuk senang selain mendatangkan pertentangan, kebencian dan permusuhan. Bahkan cintapun menjadi sarang konflik karena pengaruh nafsu atau si aku yang ingin menang sendiri.
Perjanjian antara Si Ni dan Hui Hong juga terdorong oleh kepentingan masing masing. Mereka seolah saling memanfaatkan pihak lain demi keuntungan atau kesenangan diri sendiri. Si Ni hendak mempertemukan Hui Hong dengan ayahnya karena di balik itu ia berpamrih agar Hui Hong menolongnya membujuk ayah gadis itu agar menerimanya, atau kalau ditolak, membantunya mengeroyoknya.
Di lain fihak, Hui Hong mau berjanji karena ia ingin agar Si Ni menolongnya, menemukan dan mempertemukan ia dengan ayah kandungnya. Betapa dalam kehidupan ini, kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, kitapun selalu hanya saling mempergunakan dan saling memanfaatkan orang lain demi keuntungan atau kesenangan kita!
Terhadap keluarga, terhadap teman, masyarakat, negara dan bangsa. Pernahkah terdapat suatu saat suci di mana kita tidak lagi merenungkan apa yang dapat mereka lakukan demi keuntungan kita, dan mulai merenungkan apa yang dapat kita lakukan demi kebaikan mereka? Pernahkah? Demi kebaikan mereka, sepenuhnya, bukan hanya selubung yang menyembunyikan pamrih kita yang tersembunyi agar kita disenangkan oleh perbuatan atau hasil perbuatan itu?
********************
Hujan turun dengan lebatnya, dan air yang segar sejuk itu disambut dengan penuh syukur dan terima kasih oleh pohon-pohon dengan daun-daunnya di pegunungan itu. Tanah yang bercampur batu kapar juga menyambut dengan bahagia. Seluruh permukaan bumi yang disiram air hujan setelah selama beberapa hari kekeringan, berpesta pora dengan bahagianya sehingga membubunglah segala hawa kotor ke angkasa, dan bumi kembali segar dan bersih. Tanah menguap, bau tanah tersebar di mana-mana. Daun-daun menari-nari tertimpa tetesan hujan, nampak berkilauan hijau segar.
Semua mahluk hidup yang berada di permukaan bumi, bahkan berada di bawah permukaan, menyambut air dengan gembira dan sibuk. Namun, dua orang wanita itu bergegas memasuki sebuah guha besar untuk berlindung dari siraman air hujan.
Mereka adalah Bi Moli Kwan Hwe Li dan muridnya, Cia Ling Ay. Setelah memasuki guha, Ling Ay cepat membersihkan tanah guha, membeberkan kain pembungkus pakaian di lantai dan mempersilakan gurunya duduk. Mereka duduk di atas lantai guha bertilamkan kain kuning itu. Bi Moli Kwan Hwe Li duduk bersila dan tiba-tiba ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan pundaknya bergerak-gerak. Ia menangis!
Muridnya, Ling Ay, memandang saja dengan terbelalak. Selama tiga tahun ia menjadi murid wanita cantik itu, baru sekali ini ia melihat gurunya bersedih, apalagi menangis, walaupun tidak mengeluarkan suara, Ia tidak menegur atau bertanya. Ling Ay amat menyayang gurunya, dan selain gurunya telah menyelamatkan ia dari perkosaan penjahat. Juga gurunya telah mengambilnya sebagai murid, mendidiknya dan ia merasa berhutang budi kepada wanita itu. Ia menyayang, menghormat dan amat patuh, walaupun kadang ia harus mengerutkan alisnya kalau gurunya bertindak keras sekali terhadap orang yang dianggap musuhnya.
Sudah sering kali ia melihat gurunya menghukum penjahat, atau menghajar laki-laki iseng yang menggoda mereka. Gurunya dapat membunuh orang tanpa berkedip. Walaupun wajah gurunya yang cantik itu selalu tersenyum, namun kalau ia sudah marah, tidak lama kemudian, Kwan Hwe Li menurunkan kedua tangannya, dan jelas nampak betapa kedua pipinya basah. Ia benar-benar telah menangis tadi. Ia menoleh kepada Ling Ay yang kebetulan menatapnya, akan tetapi muridnya itu cepat-cepat menunduk, seolah tidak tahu bahwa gurunya habis menangis.
Ling Ay, tahukah engkau mengapa aku tadi menangis? Ling Ay mengangkat muka, memandang gurunya dan menggeleng kepala. Gurunya tersenyum, manis sekali. Kadang Ling Ay merasa heran. Ia sendiri juga seorang wanita cantik, akan tetapi ia masih muda walaupun sudah menjadijJanda tanpa anak, usianya baru dua puluh empat tahun. Akan tetapi subonya pernah mengaku bahwa subonya sudah berusia lima puluh tahun. Setengah abad. Akan tetapi, subonya masih nampak demikian cantiknya seperti seorang gadis berusia dua puluh lima tahun saja. Mereka seperti enci adik dan tak seorangpun menyangkal bahwa mereka itu seperti enci adik.
Dari senyum, merekahlah tawa kecil. "Hi-hi-hik, aku menangis karena bahagia. Heh-heh, Tiauw Sun Ong, saat ini engkau pasti merana, berduka, menyesal, bingung dan gelisah. Nah, sekali-sekali engkau perlu merasakan hukumanmu, hi-hik."
"Subo... mengapa subo mentertawakan bekas pangeran yang sudah menderita karena buta itu. Hati teecu (murid) sudah merasa kasihan sekali melihat dia, seorang pria setengah tua yang buta, hidup terasing seorang diri di pegunungan sunyi, masih dimusuhi pula oleh Kwan Im Sian li yang ingin membunuhnya. Aih, subo, kenapa subo. tidak kasihan malah kini mentertawakan dia?"
"Ling Ay engkau sudah mendengar semua ceritaku tentang Pangeran Tiauw Sun Ong, tentang hubungannya dengan aku, tentang Kwan-im sianli dayang tak tahu malu itu, dan tentang Pouw Cu Lan selir kaisar yang menyeleweng itu. Akan tetapi, engkau tidak tahu apa yang sebenarnya terkandung dalam hatiku.”
"Maaf, subo, teecu dapat menduga apa yang terkandung dalam hati sanubari subo. Ingatlah, subo, teecu pernah menceritakan tentang riwayat teecu yang tidak jauh bedanya dengan riwayat subo. Teecu juga pernah merasakan bagaimana hancurnya hati yang menderita karena kasih tak sampai,"
"Hemmm, apakah sampai sekarang engkau juga masih mencinta pemuda yang bernama... eh, siapa lagi namanya?"
"Kwa Bun Houw... teecu tak pernah mencinta pria lain kecuali dia, subo. Teecu pernah mencoba untuk belajar mencinta pria yang dipaksakan menjadi suami teecu, akan tetapi sama sekali tidak pernah berhasil. Hanya Bun Houw seorang yang pernah teecu cinta, tetap dan akan teecu cinta selamanya."
Senyum di mulut Kwan Hwe Li melebar. "Heh.heh, bagaimana mungkin cinta dapat dipelajari atau dilatih? Cinta adalah suatu keadaan hati. Yang ada hanya engkau mencinta seseorang itu ataukah tidak. Akan tetapi, Ling Ay, setelah engkau mencinta mati-matian kepada pemuda yang bernama Bun Houw itu, apakah engkau tidak mempunyai niat untuk mendapatkannya, agar engkau dapat selamanya hidup di sampingnya?"
"Subo, tidak ada keinginan lain yang lebih besar dalam hati teecu kecuali hidup di sampingnya untuk selamanya. Akan tetapi teecu membatasi diri, subo. Teecu tahu bahwa teecu tidak pantas untuk menjadi jodohnya. Orang tua teecu pernah menolaknya dan menyakiti hatinya, teecu sendiri pernah menjadi isteri orang. Teecu hanya seorang janda yang pernah menyakiti hatinya, dan dia seorang pendekar yang budiman. Bagaimana mungkin teecu akan dapat berjodoh dengan dia?"
Suara Ling Ay mengandung rintihan batinnya. Ayah ibunya tewas dibunuh penjahat, ia sendiri sudah menjadi janda, dan Bun Houw entah berada di mana. Tidak ada sedikitpun harapan baginya untuk dapat bertemu dengan Bun Houw, apalagi hidup bersama reperti yang dikatakan subonya...