MENDENGAR ini, kakak beradik itu saling pandang, kemudian Siauw Tek mengerutkan alis dan berseru, "Ahh, jadi peristiwa itu sudah pula tersiar di luar istana? Memang aib yang amat memalukan. Terjadi ketika aku masih kecil, berusia tiga tahun kurang lebih. Aku mendengar peristiwa aib itu dari cerita para orang tua di istana."
"Jadi benarkah peristiwa itu, Kongcu? Tadinya saya kira hanya berita bohong belaka, karena di dunia kang-ouw, Tiauw Sun Ong muncul sebagai seorang tokoh yang lihai. Akan tetapi dia buta, bagaimana mungkin seorang selir kaisar... maaf, dapat tertarik kepada seorang pangeran buta?" Sebetulnya Suma Hok sudah tahu akan persoalannya, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu untuk memancing dan melihat bagaimana sikap bekas kaisar ini terhadap Tiauw Sun Ong.
"Tadinya Paman Pangeran Tiauw Sun Ong tidak buta. Dia seorang pangeran yang tampan dan selir... eh, selir mendiang ayahku itu tergila-gila kepadanya. Setelah perbuatan mereka ketahuan, Paman Tiauw Sun Ong membutakan mata sendiri dan meninggalkan istana. Adapun selir ayah itu dihukum buang, Ah, tidak perlu kita bicara tentang aib yang menjengkelkan itu!"
"Akan tetapi, kenapa yang melakukan aib menodai nama yang mulia dari Kaisar, tidak dihukum mati?" Suma Hok memancing.
Siauw Tek mengepal tinju. "Sepatutnya memang dia dihukum mati! Akan tetapi dia adalah adik mendiang ayah, dan dia sudah membutakan kedua matanya, ayah mengampuninya.”
"Ah, mendiang ayah memang terlalu lunak," kata Kiok Lan. "Dosa itu teramat besar, menodai nama dan kehormatan seluruh keluarga. Karena kelemahan ayah, maka sampai sekarang dia masih hidup dan tentu saja peristiwa itu menjadi dongeng dan diketahui banyak orang. Coba andaikata ketika itu dia dan perempuan itu dihukum mati, mungkin berita itu tidak sampai tersebar."
"Engkau benar, adikku. Memang mendiang ayah terlalu lemah. Bahkan kabarnya, selir yang menyeleweng itupun tidak sampai mati. di dalam perjalanan, para pengawalnya dibunuh orang dan ia lenyap entah ke mana."
Kini yakinlah Suma Hok bahwa kakak beradik bangsawan ini tidak suka kepada Tiauw Sun Ong dan hal ini menyenangkan hatinya. Setidaknya dia memiliki senjata ampuh untuk menarik kedua orang ini berpihak kepadanya kalau dia bentrok dengan Bun Houw. Pada saat itulah, Bun Houw memasuki ruangan makan dan tentu saja percakapan itu terhenti.
Setelah selesai makan minum, sekali ini Siauw Tek mengajak mereka bercakap-cakap di ruangan dalam, tidak lagi di ruangan tamu. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dia mulai percaya kepada kedua orang tamunya. Setelah duduk diruangan dalam yang lebih mewah keadaannya ini, Siauw Tek bertanya kepada kedua orang tamunya.
"Bagaimana, apakah kalian berdua sudah menyaksikan keadaan kami dan apa pendapat kalian?"
Suma Hok cepat menjawab. "Wah, hebat sekali, Kongcu. Pasukan-pasukan dengan empat benteng itu amat kuat, dan kalau mendapat pimpinan seorang ahli, tentu dapat menjadi kekuatan yang dahsyat!"
Siauw Tek senang dengan pendapat ini dan dia tersenyum bangga, akan tetapi melihat Bun Houw diam saja, dia bertanya. Bagaimana pendapatmu, Kwa-toako? Cukup kuatkah pasukan yang sudah kami himpun?”
Bun Houw menjawab dengan tenang, "Saya kira, tergantung dari penggunaannya, Kongcu."
"Apa maksudmu, toako?"
"Seperti sepotong pisau dapur, terlalu besar untuk mencukur jenggot dan terlalu kecil untuk bertempur di medan perang.”
Siauw Tek mengangguk dan tersenyum. “Jawabanmu memang tepat akan tetapi terlalu berhati-hati, Kwa-toako. Baiklah, sekarang kalian berdua dengarkan dulu tentang keadaan diriku semenjak kerajaan Liu-sung dikhianati para pemberontak yang kini membangun kerajaan Chi itu."
Bekas kaisar itu lalu bercerita. Pemberontakan yang dilakukan oleh Siauw Hui Kong dan kawan-kawannya, yaitu juga anggauta keluarga kaisar dari pihak wanita, menimbulkan perang saudara selama tiga tahun, dimulai dari tahun 476 dan berakhir tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 479 dengan jatuhnya kerajaan Liu-sung. Siauw Hui Kong mengangkat diri menjadi Kaisar Siauw Bian Ong kaisar yang mendirikan dinasti atau kerajaan Chi.
Dalam penyerbuan itu, Siauw Hui Kong dan sekutunya masih memberi kelonggaran kepada keluarga kaisar untuk melarikan diri. Akan tetapi mereka yang melakukan perlawanan, semua tertumpas dan binasa. Kaisar Cang Bu sendiri yang ketika itu berusia tujuh belas tahun, melarikan diri dengan dikawal oleh Panglima Pouw Cin. Dalam pelarian ini terbawa pula beberapa orang selir dan juga Kiok Lan yang baru berusia dua belas tahun ikut pula lari mengungsi bersama kakak tirinya. Kiok Lan dan Kaisar Cang Bu seayah berlainan ibu, karena Kiok Lan beribu dari seorang selir.
Sesungguhnya, kalau pihak lawan, yaitu pihak keluarga Siauw yang memberontak, menghendaki pelarian bekas kaisar itu tentu akan gagal dan akan mudah saja menangkapnya rombongan pengungsi ini. Akan tetapi karena memang masih ada hubungan keluarga, agaknya pihak yang menang memang sengaja bersikap longgar, membiarkan pihak yang kalah untuk mengungsi.
"Demikianlah, ji-wi tahu bahwa setelah, kehilangan mahkota, terpaksa aku menyamar sebagai orang biasa, menggunakan nama kecilku, yaitu Liu Tek dan kusingkat menjadi Siauw Tek, agar selain tidak dikenal orang, juga aku sengaja menggunakan nama keluarga kaisar yang sekarang. Tentu saja, selama lima tahun ini, sejak keluar dari istana, aku tidak pernah melupakan kekalahan ini. Aku, dibantu oleh Paman Pouw, mulai menghimpun kekuatan karena kami bercita-cita untuk merampas kembali singgasana dan mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang telah dikhianati oleh keluarga Siauw yang kini mendirikan dinasti Chi. Kami mengundang sebanyaknya orang-orang pandai seluruh negeri untuk membantu kami. Karena itu, setelah bertemu dengan ji-wi, kami juga menawarkan kepada ji-wi agar suka membantu kami. Percayalah, kalau sampai cita-cita kami terlaksana, dan kami dapat mendirikan lagi kerajaan Liu-sung, kalian berdua akan menerima anugerah kedudukan yang tinggi dalam kerajaan kami. Kami tidak minta jawaban sekarang. Sebaiknya, ji-wi (kalian) mempertimbangkan permintaan kami itu semalam ini sambil beristirahat dalam kamar ji-wi masing-masing. Besok pagi kami mengharapkan jawaban dan keputusan yang pasti."
Tadinya Bun Houw ingin menyatakan keputusannya pada malam itu juga, yaitu menolak tawaran bekas kaisar itu untuk membantu gerakannya hendak memberontak. Akan tetapi karena Siauw Tek memberi waktu semalam untuk mengambil keputusan, diapun merasa tidak enak kalau menolak seketika tanpa dipertimbangkan dulu. Di dalam kamarnya, Bun Houw duduk bersila di atas pembaringan, termenung. Dia dapat menduga bahwa orang yang berjiwa petualang seperti Suma Hok, yang hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri saja, tentu tertarik oleh penawaran bekas kaisar itu.
Apalagi dia melihat sinar mata pemuda pesolek itu ketika memandang Kiok Lan, ia tidak ragu lagi bahwa Suma Hok pastikan menerima penawaran itu. Akan tetapi dia tidak akan menerimanya, dia akan menolak dengan halus. Dia masih mempunyai tugas, yaitu mencari Hui Hong. Dan pengalamannya dengan bekas kaisar ini sudah merupakan suatu berita yang amat menarik bagi gurunya, selain itu, diapun akan melaksanakan pesan gurunya menyelidiki keadaan pemerintahan Kerajaan Chi yang baru itu.
Daun pintu terketuk. Bun Houw merasa heran. Malam telah larut, mungkin sudah hampir tengah malam. Siapa yang mengetuk pintu kamarnya? Ketukan itu lirih dan pendengarannya yang tajam menangkap gerakan kaki ringan di luar pintu. Seorang wanita di depan pintu kamarnya! Siapa? Mau apa? Dia memang mengunci daun pintu dari dalam. Dia berada di bawah satu atap dengan seorang seperti Suma Hok, maka dia harus berhati-hati. Tidak dapat diduga apa yang akan dilakukan oleh pemuda yang kejam dan licik bagaikan iblis itu.
"Siapa di luar?" Bun Houw bertanya sambil menghampiri pintu.
"Saya, Kwa-kongcu. Harap suka membuka pintu, saya mempunyai kepentingan untuk dibicarakan denganmu." terdengar suara wanita yang merdu.
Bukan suara Kiok Lan, pikir Bun Houw yang menjadi semakin heran. Dia membuka kunci daun pintu dan masuklah seorang wanita muda yang cantik manis. Begitu ia masuk, tercium bau yang harum dari pakaiannya. Bun Houw mengenal wanita ini sebagai seorang di antara lima wanita cantik yang melayani ketika dia dan tuan rumah makan, lalu muncul Kiok Lan menyuruh lima orang wanita yang disebutnya enci itu agar tidak melayani mereka lagi. Wanita ini usianya tidak akan lebih dari dua puluh tahun, cantik manis dan di balik kerling mata dan senyumnya tersembunyi kegenitan dan gairah.
"Eh, kenapa nona masuk ke sini? Ada urusan penting apa yang akan dibicarakan?” tanya Bun Houw, alisnya berkerut karena tidak senang melihat seorang wanita muda memasuki kamarnya. Kalau kelihatan tuan rumah, tentu akan menyangka yang bukan-bukan. Akan tetapi, kesopanan melarangnya untuk mengusir begitu saja.
Gadis itu menundukkan mukanya, akan tetapi matanya mengerling ke samping atas, ke arah wajah Bun Houw dan senyumnya dikulum. Memang gaya ini membuat ia nampak manis dan menarik sekali, sikap jinak-jinak merpati! "Kwa-kongcu, saya bernama Yo Leng Liwa, biasa disebut Leng Leng, berusia sembilan belas tahun..."
“Ya, ya... akan tetapi mau apa engkau masuk ke sini? Ada kepentingan apa...?” Bun Houw memotong tak sabar.
Kembali kerling itu menyambar dan senyum itu melebar. Segumpal rambut jatuh berderai di leher yang panjang dan berkulit putih mulus itu. "Kongcu, malam begini dingin dan sunyi dan kongcu berada seorang diri saja di dalam kamar, saya pikir saya... saya dapat menemani kongcu, menghibur kongcu dan melakukan apa saja untuk melayani kongcu." katanya dengan suara setengah berbisik, dan kata-katanya berlagu seperti orang bersenandung.
Wajah Bun Houw berubah kemerahan. Tentu saja dia mengerti apa yang dimaksudkan wanita ini. Wanita muda cantik genit ini merayunya. Akan tetapi dia menahan kemarahannya dan tidak menghardiknya karena tiba-tiba timbul kecurigaan dalam hatinya. Dia baru pertama kali bertemu wanita ini, di antara empat orang rekannya, itupun ketika mereka melayaninya makan. Tidak mungkin kalau dalam pertemuan singkat itu, wanita ini lalu jatuh hati kepadanya! Dan kiranya, tidak akan mungkin wanita ini berani begitu merayunya. Bukankah dia seorang tamu dihormati? Dan gadis ini juga bukan pelayan?
Ada pelayan lain dan agaknya orang itu mempunyai kedudukan yang cukup terhormat di rumah itu. Bukankah Kiok Lan adik bekas kaisar itu sendiri juga menyebut mereka berlima itu dengan sebutan enci? Dia menduga bahwa gadis ini, seperti empat yang lain tentulah semacam dayang atau lebih tepat lagi, selir-selir dari bekas kaisar itu. Dan kini, kalau ia berani memasuki kamarnya, menawarkan diri untuk melayani dan menghiburnya, jelas bahwa hal ini tentu merupakan tugas baginya. Tentu ada yang memerintahnya?
Tiba-tiba sinar matanya mencorong ketika dia berkata, "Nona, coba angkat mukamu dan kau pandang aku!!"
Gadis itu mengangkat mukanya yang cantik dan memberanikan diri memandang. Dua pasang mata bertemu dan gadis itu terkejut melihat mata yang mencorong penuh kekuatan itu. Ia ingin menundukkan kembali mukanya, akan tetapi tidak mampu, serasa ada kekuatan dari sepasang mata yang mencorong itu yang mengikat dan menahan pandang matanya sehingga tak dapat ditundukkan.
"Nona, engkau tentulah seorang selir dari Siauw Kongcu, bekas kaisar itu, bukan?" tanya Bun Houw.
"Benar, kongcu," jawab Leng Leng dengan lirih dan kini sikap rayuannya lenyap, berubah menjadi khawatir.
"Hemm, kalau engkau sudah menjadi selirnya, kenapa malam-malam begini berusaha menggodaku? Apakah engkau ini jenis isteri yang tidak setia dan suka melakukan penyelewengan dengan laki-laki lain?"
Wajah yang cantik itu tiba-tiba berubah merah dan mata itu mengeluarkan sinar merah. "Kwa-kongcu, jangan menuduh sembarangan! Aku adalah seorang isteri yang setia dan taat kepada suami. Andaikata suamiku menyuruh aku menyerahkan nyawa sekalipun akan kutaati, apalagi hanya menyerahkan badan. Aku hanya melaksanakan tugas, mentaati perintah."
Diam-diam Bun Houw merasa iba kepada gadis ini. Tahulah dia bahwa ini merupakan satu di antara cara dan akal bekas kaisar itu untuk membujuk dan menarik seseorang menjadi pembantunya. Agaknya bekas kaisar itu tahu bahwa dia tidak akan tergiur kedudukan atau harta, maka dipergunakanlah seorang di antara selirnya untuk membujuk rayu. Dan dia percaya bahwa tentu banyak pria perkasa yang jatuh oleh kecantikan selir-selir itu.
"Kalau begitu, kembalilah engkau kepada suamimu dan katakan kepadanya bahwa engkau adalah seorang isteri yang baik dan mencinta suami, bahwa dia tidak sepatutnya menyuruh engkau membujuk rayu seorang tamu. Katakan bahwa aku berterima kasih, akan tetapi aku tidak suka menghancurkan martabat dan perasaan hati seorang wanita yang terpaksa demi cinta dan kesetiaannya kepada suami, mau melakukan apa saja yang diperintahkan suami, bahkan menyerahkan diri dan kehormatannya kepada laki-laki lain. Pergilah, nona."
Selir yang cantik itu menatapnya dengan sepasang matanya yang indah, kemudian kedua mata yang tadinya bengong memandang heran, perlahan-lahan menjadi basah air mata. "Baik, dan maafkan saya, kongcu." katanya dengan suara gemetar mengandung isak, lalu wanita itupun keluar dari kamar dengan langkah-langkah gontai.
Seorang wanita yang memiliki daya tarik kuat sekali pada wajah dan bentuk tubuhnya, Bun Houw menggumam sambil menutupkan daun pintu dan menguncinya kembali. Dia duduk bersila kembali ke atas pembaringan dan tersenyum. Yang jelas, kalau tidak ada dua hal yang menolongnya, yang mendatangkan kekuatan di batinnya, bukan hal aneh kalau tadi diapun bertekuk lutut dan terlena dalam pelukan wanita cantik tadi.
Dua hal itu pertama-tama adalah pengalaman gurunya yang pernah berjina dengan seorang selir kakaknya dan yang kemudian mendatangkan akibat yang amat hebat dan pahit dalam kehidupan gurunya. Selain itu juga pengalamannya sendiri dengan Cia Ling Ay yang mendatangkan akibat pahit pula. Adapun hal kedua adalah cintanya terhadap Hui Hong membuat dia tidak ingin dimiliki dan memiliki wanita lain.
Perasaan tidak enak dalam hati Bun Houw bahwa dia berada di bawah satu atap dengan Suma Hok, ternyata bukan perasaan kosong belaka. Dia tidak dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh pemuda licik itu. Di luar tahunya, setelah mereka tadi saling berpisah dari ruangan dalam, Suma Hok juga menerima kunjungan seorang selir bekas kaisar itu yang datang hendak membujuknya.
Dan pemuda yang amat cerdik ini, walaupun melihat selir itu seperti seekor kucing melihat dendeng yang membuatnya mengilar, namun demi pengejaran yang lebih tinggi, dia bersikap sopan dan menolak wanita yang disuguhkan kepadanya itu! Dan dia bahkan mengikuti wanita itu kembali ke kamar Siauw Tek kemudian dia membisikkan hal yang penting bagi bekas kaisar itu.
"Saya menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan Kongcu," katanya sambil mengantarkan kembali selir itu. "Akan tetapi harap Kongcu maafkan, saya tidak suka berganti dengan wanita yang bukan milik saya. Selain itu, saya ingin menyampaikan hal yang saya kira amat penting bagi kongcu, mengenai diri Kwa Bun Houw."
Diam-diam Siauw Tek memuji pemuda ini. Seorang pemuda yang tidak lemah terhadap godaan wanita. "Suma toako, ada urusan apakah? Apa yang hendak kau sampaikan mengenai diri Kwa-toako?"
"Hendaknya kongcu bersikap waspada karena Kwa Bun Houw itu adalah seorang yang berbahaya sekali."
"Kau maksudkan dia lihai? Hal itu kami sudah tahu, toako. Kami sudah menguji kepandaiannya dan dia mampu mengalahkan Paman Pouw dengan mudah."
"Bukan itu saja, Kongcu. Akan tetapi ada satu hal yang Kongcu belum ketahui sehingga tidak melihat bahaya yang mengancam diri kongcu sekarang. Ketahuilah bahwa Kwa Bun Houw adalah murid bekas Pangeran Tiauw Sun Ong!"
"Ahhh...?!?" bekas kaisar itu berseru kaget dan mukanya berubah agak pucat. "Kalau begitu... apa maunya dia mau menerima undanganku?"
"Hemm, tidak sukar diduga, Kongcu. Sepanjang pengetahuanku, bekas pangeran Tiauw Sun Ong sama sekali tidak berbuat sesuatu ketika kerajaan Kongcu dijatuhkan oleh keluarga Siauw. Itu saja menjadi bukti bahwa diam-diam Tiauw Sun Ong tentu mendendam kepada mendiang ayah Kongcu! Dan sekarang muridnya berada di sini aku tidak akan heran kalau dia mewakili gurunya, melakukan tugas mata-mata demi kepentingan kerajaan Chi."
“Ahh! Kalau begitu, kita hatus cepat turun tangan! Kita harus membunuhnya sekarang juga!” kata bekas kaisar itu.
Dan Suma Hok tersenyum. Bekas kaisar ini demikian lemah dan bodoh, pikirnya. Pantas saja kerajaannya jatuh. Kalau orang ini berhasil menjadi kaisar kembali dan dia dapat menjadi perdana menterinya, tentu dia akan mudah dapat menguasainya!
"Harap paduka tenang dulu. Kita harus berhati-hati dan jangan mengagetkan ular dalam semak. Kita pura-pura tidak tahu lebih dulu agar dia tidak curiga dan tidak melarikan diri. Ilmu silatnya lihai bukan main. Kita harus mengatur siasat untuk dapat menangkap atau membunuhnya." Suma Hok berbisik-bisik dan malam itu juga Pouw Cin di panggil untuk mengatur siasat.
Siauw Tek merahasiakan siasat itu dari adiknya karena dia maklum betapa aneh watak adiknya itu, kadang berani menentangnya. Ketika selirnya yang tadinya diutus untuk membujuk-rayu Bun Houw kembali kepadanya dan melapor bahwa Bun Houw menolak halus, makin besar kecurigaan Siauw Tek yang sudah dapat dibakar oleh Suma Hok.
Kini Suma Hok menambahkan, "Nah, jelas bahwa dia berniat buruk. Aku, pernah mendengar bahwa Bun Houw seorang laki-laki mata keranjang, seperti juga gurunya. Kalau sekarang dia menolak pelayanan seorang wanita cantik, hal ini patut dicurigai. Pasti dia tidak ingin terbujuk agar dapat melakukan tugasnya memata-matai keadaan kongcu dengan baik."
Siauw Tek mengangguk-angguk, menyetujui pendapat pembantu barunya itu. Dia teringat akan bekas pamannya, yaitu Pangeran Tiauw Sun Ong. Bekas pangeran itu dahulu terkenal sebagai seorang pria yang menaklukkan hati banyak wanita, bahkan tidak segan berjina dengan selir ayahnya. Kini bekas pangeran itu menjadi guru Kwa Bun Houw. Kalau gurunya seperti itu, muridnya dapat dibayangkan wataknya.
Akan tetapi, Pouw Cin masih ragu-ragu. Bekas panglima ini adalah seorang yang sudah berpengalaman. Setelah bertemu dengan Bun Houw dan menguji kepandaiannya, dia sudah dapat menilai pemuda itu sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa dan halus budi pekertinya. Sama sekali tidak kejam. Hal ini terbukti ketika dia dikalahkan pemuda itu. tanpa sedikitpun menderita luka. Di samping ini, diapun seorang yang amat setia kepada bekas kaisar itu, maka tentu saja dia tidak pernah membantah perintah Siauw Tek, selalu mentaatinya dengan membuta. Dan diapun pernah mendengar nama ayah dan anak Suma yang menjadi majikan Bukit Bayangan Iblis sebagai datuk sesat yang amat kejam dan curang. Maka, diam-diam diapun mencurigai Suma Hok, bahkan hatinya merasa tidak enak melihat keakraban hubungan antara Suma Hok dan nona majikannya, Kiok Lan. Diam-diam dia bersikap waspada.
"Paman Pouw, kenapa engkau diam saja? Bagaimana pendapatmu tentang Kwa Bun Houw itu? Amat mencurigakan, bukan? Aku sungguh khawatir dia benar-benar mewakili gurunya, memata-matai kita demi kepentingan kerajaan Chi."
"Jalan satu-satunya adalah besok pagi-pagi, di luar sangkaannya, kita mengepung dan membunuhnya. Kita sudah mengatur barisan pendam, dan dia tidak akan mampu melarikan diri lagi. Bukanlah siasat kita ini baik sekali, Paman Pouw?" kata Suma Hok dengan nada suara gembira.
Kematian Bun Houw merupakan hal yang amat menguntungkan dia. Pertama, dia dapat membalas kekalahannya tempo hari, kedua dia akan kehilangan saingan dan lawan yang amat lihai dalam memperebutkan Hui Hong dan akhirnya, dia tidak akan menghadapi rintangan dalam kerja samanya yang menguntungkan dengan para pemberontak yang dipimpin oleh bekas kaisar Cang Bu.
Pouw Cin tidak menjawab pertanyaan Suma Hok, melainkan memandang majikannya dan berkata dengan hati-hati, "Saya harap Kongcu teliti dalam hal ini. Biarpun andaikata benar dia murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong, belum tentu dia memata-matai kita. Hal itu harus dibuktikan dulu. Ilmu kepandaiannya hebat, Kongcu, kalau kita dapat menariknya sebagai pembantu, tentu keadaan Kongcu menjadi semakin kuat. Sebaiknya kita melihat sikapnya besok pagi. Tanpa bukti lalu menyerangnya begitu saja amatlah tidak bijaksana. Bagaimana kalau kemudian terbukti dia bukan mata-mata dan kita sudah terlanjur mencelakainya? Tentu orang-orang di dunia persilatan akan menentang kita!"
Siauw Tek mengangguk-angguk. "Hemm, kami rasa pendapatmu ini memang tepat. Bagaimana pikiranmu, Suma-toako? Memang kita harus berhati-hati agar jangan salah sangka, kita harus dapat membuktikan dulu kalau benar dia memata-matai kami."
"Saya harap Kongcu teliti dalam hal ini. Biarpun andaikata benar dia murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong belum tentu dia memata-matai kita."
Suma Hok juga bukan orang bodoh. Sebaliknya malah, dia cerdik dan licin bagaikan belut. Dia tidak mau berkeras mempertahankan pendapatnya dan menentang pendapat Pouw Cin yang dia tahu merupakan orang yang paling dipercaya oleh bekas kaisar itu!
"Hebat! Pendapat Pouw-lo-enghiong memang hebat, tanda bahwa Paman Pouw seorang yang bijaksana. Sesungguhnya, sayapun tidak hanya menuduh sembarangan. Walaupun belum terbukti Kwa Bun Houw menjadi mata-mata kerajaan Chi, akan tetapi prasangka buruk saya ini bukan tidak berdasar. Dasarnya kuat sekali, karena selain menjadi murid tersayang bekas pangeran yang kini menjadi datuk lihai yang matanya buta itu, juga dia ingin menjadi mantu bekas Pangeran Tiauw Sun Ong."
"Ahhhh..." Siauw Tek berseru kaget.
Pouw Cin mengerutkan alisnya. "Bagaimana mungkin itu? Setahuku, Pangeran Tiauw Sun Ong tidak mempunyai isteri dan tidak mempunyai anak!”
Suma Hok membungkuk sambil tersenyum. ”Paman Pouw, saya juga bukan seorang yang suka berbohong. Akan tetapi, keterangan sepihak saja dari saya tentu tidak meyakinkan. Baiklah, besok di waktu makan pagi saya akan bertanya kepada Kwa Bun Houw, dan biarlah dia sendiri yang akan mengakui kebenaran apa yang saya kemukakan tadi."
Dengan sikap hormat dan ramah, Suma Hok memandang kepada Siauw Tek, lalu bertanya dengan halus. "Kalau Bun Houw sudah mengaku dengan mulut sendiri bahwa dia ingin menjadi mantu gurunya, apakah Kongcu akan yakin dan percaya kepada saya?"
Bekas kaisar itu mengangguk-angguk. "Kalau benar dia murid dan bahkan calon mantu Tiauw Sun Ong, keadaannya sungguh amat mencurigakan!"
"Kalau dia sudah mengaku dengan mulut sendiri dan Kongcu sudah yakin bahwa dia tentu memata-matai Kongcu, kita harus sudah siap." kata Suma Hok penuh kegembiraan karena merasa berhasil. "Dia amat berbahaya dan lihai sekali, karena itu, jangan sampai kita kedahuluan olehnya. Siapa tahu, dia bertugas untuk membunuh Kongcu! Karena itu, besok ketika kita makan pagi dan saya memancingnya agar mengaku, di luar ruangan makan sebaiknya dilakukan penjagaan yang kokoh kuat dan begitu dia mengaku bahwa memang calon mantu Tiauw Sun Ong, kita mengepung dan mengeroyoknya!"
Kembali Siauw Tek mengangguk dan memandang kepada Pouw Cin. Sejak dia dipaksa melarikan diri karena singgasana dirampas oleh Souw Hui Kong lima tahun yang lalu, semangat dan harapannya tergantung kepada bekas jenderal yang dahulu menjadi panglimanya yang setia itu. Maka, kinipun segala keputusannya selalu ditanyakan dulu kepada pembantu setia ini.
"Bagaimana pendapatmu, Paman Pouw?"
Pouw Cin adalah seorang yang berpengalaman dan selalu bertindak dengan hati-hati, tidak mudah dia mencurigai orang, juga tidak mudah percaya begitu saja. "Kongcu, sebaiknya kalau kita berhati-hati dalam hal ini. Andaikata benar demikian, sedapat mungkin kita harus membujuk agar Kwa Bun Houw suka membantu kita. Kalau dia mau bekerja sama, kita dapat memanfaatkan tenaganya karena pemuda itu memang seorang ahli silat yang amat tangguh. Kalau dia menolak, barulah terpaksa kita melenyapkannya, apalagi kalau dia benar-benar seorang mata-mata dari Chi. Akan tetapi, Kongcu, yang membuat saya merasa ragu dan penasaran adalah keterangan dari Suma Kongcu tadi. Setahu kita. Pangeran Tiauw Sun Ong tidak beristeri dan tidak mempunyai anak ketika meninggalkan istana, bagaimana sekarang dia dapat mempunyai puteri yang akan dijodohkan dengan Kwa Bun Houw?" Dia berhenti sebentar mengingat-ingat, "Dan selama ini, saya hanya mendengar bahwa bekas pangeran itu menjadi seorang tokoh persilatan yang tidak pernah, mempunyai isteri."
Siauw Tek menoleh kepada Suma Hok. "Bagaimana jawabanmu dengan pertanyaan itu, toako? Berilah keterangan agar hati Kami tidak menjadi bimbang, dan meragukan keterangan itu."
Suma Hok tersenyum. "Pertanyaan Pouw-lo-enghiong memang tepat sekali, dan sudah sepatutnya kalau kongcu dan lo-enghiong mengetahuinya. Ketahuilah. Kongcu bahwa selir yang menjadi kekasih Pangeran Tiauw Sun Ong itu, ketika melaksanakan hukuman buang, dalam perjalanan ia dibebaskan oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, majikan Lembah Bukit Siluman, kemudian menjadi isterinya. Ketika menjadi isteri datuk itu, selir itu telah mengandung yang kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Nah, anak perempuan itu adalah anak kandung Pangeran Tiauw Sun Ong! Anak perempuan itulah yang akan menjadi isteri Kwa Bun Houw, Kongcu."
Kalau bekas kaisar itu mengangguk-angguk, sebaliknya bekas panglima Pouw Cin mengerutkan alisnya, "Kalau demikian, maka gadis itu bukan lagi puteri Pangeran Tiauw Sun Ong! Ia adalah puteri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek!"
"Memang tadinyapun begitu, Pouw-lo-enghiong. Bahkan gadis itu sendiri tidak tahu bahwa ayah kandungnya adalah Tiauw Sun Ong. Akan tetapi akhir-akhir ini rahasia itu terbuka dan Tiauw Sun Ong mendatangi keluarga Ouwyang, dan menuntut agar puteri kandungnya itu dijodohkan dengan muridnya, yaitu Kwa Bun Houw itulah!”
“Nah, bagaimana, Paman, Pouw?" tanya Siauw Tek. "Kurasa memang pemuda itu berbahaya sekali, apalagi mengingat bahwa dia amat lihai. Siapa tahu dia memang, ditugaskan oleh gurunya untuk menyelidiki, atau mungkin untuk memata-matai kita."
"Bukan mustahil tugasnya lebih jahat lagi, yaitu membunuh Kongcu." kata Suma Hok.
Mendengar ini, Siauw Tek terkejut dan wajahnya berubah agak pucat.
"Kita tidak boleh terburu-buru menuduh orang, akan tetapi juga sebaiknya siap menjaga segala kemungkinan. Biarlah kita melihat perkembangannya besok pagi di waktu makan pagi. Kalau dia sudah mengaku sendiri bahwa dia akan berjodoh dengan puteri gurunya, kemudian kita bujuk agar dia suka bekerja sama membantu kita. Kalau dia menolak, baru kita turun tangan menangkapnya. Saya akan mempersiapkan pasukan untuk mengepung tempat di mana kita menjamunya makan pagi, Kongcu."
"Akan tetapi dia lihai bukan main, kalau hanya dikeroyok pasukan saja, mungkin dia akan dapat lolos." kata Suma Hok. "Aku masih meragukan apakah Pouw-lo-enghiong akan mampu menangkapnya." Suma Hok sengaja berkata demikian untuk membakar perasaan bekas panglima itu dan dia berhasil.
Wajah Pouw Cin berubah kemerahan dan dia mengepal tinju. "Boleh jadi dia lihai dan aku tidak dapat menandinginya, akan tetapi kalau aku mempergunakan pasukan, jangan harap dia akan mampu meloloskan diri, kecuali kalau dia membunuh diri terjun dari atas tebing!"
Mereka bertiga lalu mengatur siasat dan tentu saja diam-diam Suma Hok gembira bukan main. Orang yang dibencinya, yang juga menjadi saingannya dalam memperebutkan Hui Hong, besok pagi-pagi akan terbunuh atau tertawan! Diapun kembali ke kamarnya dan tidur dengan pulas karena kelegaan hatinya.
Kiok Lan cepat menyelinap di balik sudut tembok, mengintai ke depan, ke arah kamar seorang di antara dua orang tamunya, yaitu Kwa Bun Houw. Ia merasa heran sekali melihat Yo Leng Hwa, seorang di antara selir-selir kakaknya yang cantik, dengan langkah ringan seperti seekor kucing, menghampiri pintu kamar Kwa Bun Houw. Kiok Lan merasa heran bukan main. Mau apa malam-malam begini selir kakaknya itu menghampiri lalu mengetuk daun pintu kamar tamu mereka?
Padahal, Kwa Bun Houw adalah seorang tamu, seorang pemuda pula. Sungguh tidak pantas kalau selir kakaknya itu mengetuk pintu pemuda itu malam-malam. Andaikata kakaknya mempunyai keperluan kepada tamunya, masih ada pelayan lain yang dapat diutusnya untuk memberitahu pemuda itu, bukan selirnya. Kiok Lan mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang dan ia mengintai terus.
Wajah gadis bekas puteri istana ini menjadi kemerahan dan matanya bersinar penuh kemarahan ketika ia melihat betapa daun pintu dibuka dan selir kakaknya itu memasuki kamar! Akan tetapi, daun pintu itu tetap terbuka sehingga Kiok Lan masih dapat mengintai dan mendengarkan percakapan antara Bun Houw dan Leng Leng. Mendengar betapa Leng Leng disuruh kakaknya untuk membujuk rayu Bun Houw, bukau main marahnya hati gadis itu. Kakaknya sungguh keji dan, tidak tahu malu!
Dan melihat Bun Houw menolak dengan sikap yang tegas, iapun merasa kagum sekali. Seorang pendekar muda yang hebat, pikirnya, ia melihat betapa Leng Leng meninggalkan kamar Bun Houw, dengan air mata berlinang sehingga ia diam-diam merasa kasihan kepada selir kakaknya itu yang dipaksa oleh kakaknya untuk menyeleweng dengan tamu, dan kemarahannya tertuju kepada kakaknya. Daun pintu kamar Bun Houw, ditutup kembali dan kini Kiok Lan membayangi Leng Leng yang meningalkan kamar Bun Houw...!”
Kiok Lan, melihat selir itu memasuki ruangan dalam. Ia mengintai dari balik pintu dan melihat Leng Leng melapor kepada Siauw Tek bahwa tugasnya telah dilaksanakan, akan tetapi gagal karena Bun Houw menolaknya. Siauw Tek dengan sikap kecewa menyuruh Leng Leng keluar dari ruangan itu di mana dia sedang bercakap-cakap dengan Pouw Cin dan Suma Hok. Dan iapun mengintai dan mendengarkan.
Gadis ini terkejut mendengar rencana kakaknya untuk mempersiapkan pasukan dan besok pagi-pagi akan menangkap Bun Houw kalau pemuda itu tidak mau diajak bekerja sama, karena Bun Houw dicurigai sebagai mata-mata setelah Suma Hok menceritakan siapa adanya pemuda itu. Murid Pangeran Tiauw Sun Ong, bahkan calon mantunya! Cepat-cepat Kiok lan kembali ke kamarnya sendiri setelah mendengar semua rencana itu.
Liu Kiok Lan duduk melamun. Ia tahu bahwa kakaknya menghimpun pasukan untuk dapat merebut kembali tahta kerajaannya yang dirampas oleh Siauw Hui Kong yang kini menjadi Kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan baru Chi. Sebagai seorang bekas puteri istana, tentu saja ia menyetujui rencana kakaknya ini dan dengan sepenuh hati ingin membantunya. Hal ini dianggap sebagai kewajibannya pula. Akan tetapi, kalaupun mereka harus merebut kembali kerajaan dan membangun kembali dinasti Liu-sung yang sudah jatuh, harus dilakukan dengan cara yang gagah dan wajar. Ia selalu cocok dengan sikap yang diambil oleh bekas Panglima Pouw yang selalu bertindak dengan gagah perkasa. Ia pulang tidak suka dengan cara yang curang dan licik.
Kini, melihat betapa kakaknya hendak menyuguhkan selirnya sendiri kepada Kwa Bun Houw untuk menjatuhkan hati pendekar itu dari menariknya sebagai pembantu, tentu saja ia merasa amat tidak senang. Apalagi mendengar rencana kakaknya yang agaknya terbujuk oleh Suma Hok untuk menangkap atau membunuh, Kwa Bun Houw dengan pengeroyokan kalau pendekar itu tidak mau membantu, sungguh amat mengganggu hatinya dan menekan perasaannya.
Akhirnya ia meneambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw. Bukan karena ia merasa berat kepada pemuda yang baru saja dikenalnya itu, melainkan ia hendak mencegah kakaknya bertindak curang. Cepat ia bertukar pakaian yang ringkas dan membawa pedang. Ia harus dapat memabuki kamar Bun Houw sebagai pencuri agar tidak sampai terlihat kakaknya, Kalau ia masuk sebagai pencuri, andaikata ia ketahuan kakaknya, ia dapat mengambil alasan bahwa ia berniat untuk menyerang tamu itu, karena ia sudah tahu bahwa tamu itu adalah murid Pangeran Tiauw Sun Ong dan ia mencurigainya.
Dengan ilmu kepandaiannya, tidak sukar bagi Kiok Lan untuk meloncat ke atas genteng dan berada di atas kamar Bun Houw. Setelah membiarkan peronda lewat, ia melayang turun dan mencokel jendela kamar dengan pedangnya. Ia tahu bagaimana bentuk jendela itu. maka tanpa banyak kesukaran ia dapat mencokel jendela sehingga terbuka dan cepat ia meloncat ke dalam kamar, lalu menutupkan lagi daun jendela dari dalam, ia merasa lapang dada karena agaknya tidak ada orang mengetahui perbuatannya, dan agaknya tamu itupun sudah tidur.
Ia menghampiri pembaringan yang kelambunya tertutup. Cuaca dalam kamar itu remang-remang karena lilin di atas meja sudah dipadamkan, akan tetapi ada sinar masuk dari luar melalui lubang-lubang angin di atas jendela, yaitu sinar lampu gantung di luar kamar! Tiba-tiba kelambu tersingkap dan sesosok tubuh meloncat keluar. Karena Kiok Lan tidak nenyerang, maka Bun Houw juga hanya meloncat dan berdiri di tengah kamar, memandang kepada gadis yang membawa pedang di tangan kanan itu.
"Kwa-twako...!" bisik Kiok Lan yang mencontoh kakaknya, menyebut twako (kakak) kepada pemuda itu.
Baru sekarang Bun Houw tahu bahwa bayangan hitam membawa pedang yang mencokel daun jendela dan memasuki kamarnya itu adalah Liu Kiok Lan, bekas puteri istana, adik bekas kaisar! Kalau tadinya dia terkejut karena sudah tahu ada orang mencokel jendela kamarnya, kini kekagetan itu bertambah dengan keheranan setelah mengetahui bahwa yang masuk seperti pencuri ke dalam kamarnya adalah bekas puteri itu.
"Nona itu... apa... apa artinya ini...?" Dia bertanya gagap, namun menahan suaranya sehingga berbisik karena dia sama sekali tidak ingin ada orang lain melihat gadis, bangsawan ini memasuki kamarnya seperti itu. Sekilas lantas dia mengira bahwa jangan-jangan bekas kaisar itu, setelah tadi usaha selirnya gagal, kini begitu tega mengutus adiknya sendiri untuk merayunya!
Akan tetapi segera dia mengusir prasangka ini karena biarpun dia baru saja mengenal Kiok Lan ketika sama-sama makan di meja makan, dan ketika gadis itu bersama Pouw Cin mengantar dia dan Suma Hok berkeliling melihat benteng yang disusun, namun dia sudah dapat menduga bahwa gadis bangsawan ini memiliki kegagahan dan keangkuhan, memiliki harga diri yang tinggi. Tidak mungkin gadis seperti itu sudi melaksanakan tugas yang sehina itu.
"Maafkan kalau aku mengejutkanmu, twako. Akan tetapi jawab dulu pertanyaanku. Benarkah engkau murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong, dan benar pulakah bahwa engkau akan menjadi mantu Tiauw Sun Ong? Jawab sejujurnya, ini mengenai mati-hidupmu!"
Tentu saja Bun Houw terbelalak. Mengenai mati hidupnya? Biarpun dia tidak ingin bercerita tentang gurunya dan apalagi tentang Hui Hong, namun melihat betapa gawatnya keadaan dari sikap aneh bekas puteri istana ini, diapun mengaku terus terang seperti yang dikehendaki gadis itu.
"Benar, nona. Aku murid suhu Tiauw Sun Ong dan dicalonkan menjadi mantunya. Lalu, kenapa?"
"Jawab lagi sejujurnya, demi iktikad baikku terhadap dirimu! Apakah engkau datang ke sini sebagai mata-mata. diutus oleh suhumu atau oleh kerajaan Chi?"
Sekarang mengertilah Bun Houw. Dia dicurigai! Akan tetapi kalau gadis ini mencurigainya, kenapa malam-malam datang mengajukan pertanyaan itu? Kalau benar dia mata-mata, sungguh tindakan gadis ini bodoh sekali. "Tidak sama sekali, nona! Secara kebetulan saja aku bertemu dengan kakakmu, lalu aku diundang ke sini. Sebetulnya, aku tidak ingin berdiam di sini, akan tetapi kakakmu yang mendesakku sehingga aku merasa sungkan, melihat sikapnya yang ramah. Kenapa nona menyangka yang bukan-bukan?"
"Nah, ada satu pertanyaan yang harus kau jawab sejujurnya. Kakakku menghendaki agar engkau suka membantunya dalam perjuangannya merebut kembali tahta kerajaan. Bersediakah engkau membantunya?"
Tanpa ragu lagi Bun Houw menggeleng kepala dan menjawab, "Tidak, nona. Aku tidak mau melibatkan diriku dalam perang saudara memperebutkan kekuasaan."
"Nah, inilah sebabnya aku malam-malam memasuki kamarmu seperti seorang pencuri. Besok pagi-pagi, kakakku dalam perjamuan makan pagi akan meminta keputusanmu. Kalau engkau suka membantunya, tentu tidak akan terjadi apa-apa. Akan tetapi sebaliknya, kalau engkau menolak, engkau akan ditangkap, mungkin dibunuh karena mereka sudah tahu bahwa engkau murid Tiauw Sun Ong."
Bun Houw terkejut, akan tetapi tidak merasa heran. Tentu Suma Hok yang membuka rahasia dirinya dan diapun tahu mengapa. Suma Hok membencinya, dan agaknya hendak mempergunakan kesempatan ini untuk mencelakakannya. "Hemm, lalu apa maksudnya nona datang memberitahukan semua ini kepadaku?"
"Aku tidak suka dengan cara yang diambil kakakku kepadamu. Enci Leng disuruh merayumu. Sungguh tak tahu malu! Dan kalau engkau tidak mau membantunya, besok engkau akan dikepung pasukan dan dikeroyok, inipun tindakan curang dan licik yang tidak kusukai. Karena itu, aku datang memberitahu kepadamu agar malam ini juga engkau cepat melarikan diri dari tempat ini. Cepat!"
Pada saat itu, terdengar suara kaki orang di luar kamar dan melalui sinar lampu, nampak bayangan beberapa orang seperti mendekati jendela. "Cepat, akan kuserang kau!" bisik Kiok Lan dan gadis ini segera menendang daun jendela terbuka dan berseru, "Mata-mata laknat, engkau akan mati di tanganku!"
Bun Houw sudah menyambar buntalan pakaiannya dan ketika diserang oleh Kiok Lan, tubuhnya sudah mencelat ke belakang. Kemudian, dia membalik dan mengerahkan tenaga dari ilmu Im-yang Bu-tek cin-kang, mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah daun pintu.
"Braaaakkk...!!" Daun pintu jebol dan dia lalu meloncat ke luar, dan sebelum para peronda yang terkejut dan tercengang itu dapat bergerak, Bun Houw sudah meloncat naik ke atas genteng.
"Mata-mata jahat, akan lari ke mana kau!" bentak Kiok Lan yang sudah meloncat keluar pula melalui pintu yang jebol, dengan pedang di tangan dan iapun melayang naik ke atas genteng melakukan pengejaran.
Namun, Bun Houw sudah menghilang dalam kegelapan malam. Kiok Lan merasa lega dan ia berpura-pura masih mencari-cari sambil berteriak-teriak, menyuruh para penjaga melakukan pencarian di sekitar tempat itu. Tiba-tiba nampak Pouw Cin, Suma Hok dan tiga orang perwira dari pasukan yang dihimpun Siauw Kongcu, berloncatan ke atas genteng.
"Nona, apa yang terjadi?" tanya Suma Hok dan Pouw Cin yang terkejut mendengar ribut-ribut itu. Mereka keluar dari kamar dan mendengar ada mata-mata dari para penjaga yang berada dalam keadaan panik.
Kiok Lan mengerutkan alisnya. "Sialan! Aku gagal menangkapnya! Dia telah berhasil melarikan diri. Cepat kita kejar dan cari dia, tangkap! Bunuh!"
Tanpa memberi kesempatan kepada lima orang itu untuk bicara, Kiok Lan sudah meloncat jauh ke depan, lalu melakukan pengajaran ke sana sini. Tentu saja lima orang itupun bingung. Mereka kini tahu bahwa yang melarikan diri adalah Kwa Bun Houw, akan tetapi ke mana mereka harus mengejar? Pengejaran dan pencarian itu gagal dan kini mereka semua sudah berada di ruangan depan menghadap Siauw Tek yang sudah terbangun dan siap untuk mendengar laporan mereka.
"Paman Pouw, apa yang telah terjadi, kenapa ribut-ribut ini dan aku mendengar keterangan yang tidak jelas dari para pengawal. Kwa Bun Houw melarikan diri? Bagaimana pula ini."
Pouw Cin memberi hormat dan nampak gelisah. "Maaf, Kongcu. Saya sendiri juga tidak mengetahui dengan tepat apa yang telah terjadi. Ketika terdengar suara ribut-ribut, saya terbangun dan lari keluar dari kamar bertemu dengan Suma-taihiap dan tiga orang perwira. Melihat Siocia berada di atas genteng, kami berlompatan naik dan membantu Siocia melakukan pengejaran dan pencarian terhadap Kwa Bun Houw, akan tetapi sia-sia. Dia telah lenyap."
"Siauw-moi, apa yang telah terjadi?”
“Begini, koko. Tadi ketika aku kebetulan lewat didepan kamar di mana koko bersama Paman Pouw dan Suma-toako ini bicara, aku mendengar bahwa Kwa Bun Houw adalah murid dan calon mantu Pangeran Tiauw Sun Ong dan bahwa dia memata-matai kita. Aku menjadi marah dan setelah kuanggap dia tidur pulas, aku memasuki kamarnya untuk membunuhnya. Aku berhasil masuk, aku melihat dia sudah siap dengan buntalannya untuk melarikan diri. Aku menyerangnya, kami berkelahi dalam kamar akan tetapi dia terlalu lihai, koko. Dia menjebol pintu dan melarikan diri. Aku berusaha mengejarnya namun tidak berhasil."
"Ahh, Siauw-moi, kenapa engkau begitu lancang? Kami sudah mengatur rencana untuk menangkapnya besok pagi-pagi. Kenapa engkau telah mendahului kami sehingga dia berhasil melarikan diri?" tegur bekas kaisar itu.
Adiknya memandang dengan alis berkerut dan bibir cemberut. "Aku tidak tahu akan rencana itu, koko. Salahmu sendiri kenapa aku tidak diajak berunding? Begitu mendegar dia murid dan calon mantu Tiauw Sun Ong dan bahwa dia memata-matai kita, aku sudah tidak sabar lagi dan aku ingin membunuhnya..."
"Hemm, engkau lancang, siauw-moi. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bagaimana mungkin engkau mampu menandingi seorang diri saja? Kalau kau memberitahukan kami, tentu kita tidak akan gagal untuk menangkapnya," kembali bekas kaisar itu mengomeli adiknya.
"Saya kira, belum tentu Kwa Bun Houw itu memata-matai kita, Kongcu. Siapa tahu, dia malah dapat kita bujuk untuk membantu perjuangan kita," kata Pouw Cin.
"Itulah yang mengesalkan hatiku, paman! Kalau dia tidak melarikan diri karena diserang Kiok Lan, besok kita dapat membujuknya dan kalau dia mau membantu, berarti kita mendapatkan tenaga yang boleh diandalkan. Sekarang dia telah pergi, kita kehilangan seorang pembantu tangguh."
"Harap Kongcu tidak terlalu kecewa. Andaikata Bun Houw mau menjadi pembantu Kongcu, tetap saja hal itu amat berbahaya. Sebagai murid dan calon mantu Tiauw Sun Ong, bagaimana dia dapat dipercaya? Sekali waktu tentu akan menjadi pengkhianat. Sudahlah, ada baiknya dia pergi dan tidak membahayakan kita lagi. Tentang tenaga bantuan, harap Kongcu tidak khawatir, Aku akan membujuk agar ayahku bersama semua anak buah kami suka membantu Kongcu. dan tenaga bantuan ayahku dan anak, buat kami tentu jauh lebih kuat dan boleh diandalkan dari pada tenaga Bun Houw."
Mendengar ucapan ini, wajah bekas kaisar itu berseri gembira dan dia memandang kepada Suma Hok dengan mata bersinar-sinar. "Ah, benarkah itu, Suma toako? Alangkah baiknya kalau ayahmu suka membantu kami. Aku sudah mengenal baik Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan sudah tahu akan kehebatannya. Kami akan merasa gembira dan beruntung sekali kalau dia suka membantu kami!"
Suma Hok tersenyum. "Aku akan berusaha sedapatku Kongcu. Akan tetapi harus kuakui bahwa memang tidak mudah membujuk ayah. Ayah memiliki watak yang keras dan kalau bukan keluarga sendiri, atau orang yang memiliki hubungan erat atau hubungan keluarga dengan dia, agak sukar dia mau membantu."
"Hemm, kami mengenal siapa ayahmu. Kalau datuk besar itu mau membantu perjuangan kami, kelak kalau kami berhasil tentu tidak akan melupakan jasanya dan kami akan memberi kedudukan yang tinggi."
"Sebagai panglima besar, Kongcu?" cepat Suma Hok mendesak.
Siauw Tek tersenyum, akan tetapi senyumnya agak dingin dan dia menoleh kepada Pouw Cin. "Kedudukan yang tinggi, akan tetapi tentu saja bukan panglima besar karena kami sudah memiliki seorang panglima besar, yaitu Paman Pouw Cin."
"Hemm, saudara muda Suma Hok, belum juga jasa dibuat, bagaimana hendak bicara tentang pahala? Harap jangan khawatir! Kongcu tidak akan melupakan jasa para pembantunya, dan aku sendiri yang akan mencatat semua jasa agar kelak dapat dipertimbangkan, pahala apa yang patut diterima?” kata Pouw Cin dengan nada suara menegur.
Tadi mendengar ucapan bekas kaisar yang sudah menentukan bahwa panglima besarnya adalah Pouw Cin, hati Suma Hok sudah merasa iri dan tidak senang kepada bekas jenderal itu. Kini ditambah lagi dengan ucapan Pouw Cin sendiri, dia merasa direndahkan, akan tetapi dia berpura-pura tidak merasa tersinggung dan tersenyum saja. Pada saat itupun dia sudah mengambil keputusan untuk mencari jalan lain agar derajatnya naik dalam pandangan bekas kaisar itu. Jalan itu adalah melalui Liu Kiok Lan! Kalau saja dia dapat merayu gadis bekas puteri yang cantik jelita itu, dan dapat menarik gadis itu menjadi isterinya, sudah pasti bekas kaisar yang menjadi kakak ipar itu akan lebih mementingkan dia dari pada Pouw Cin!
"Jadi benarkah peristiwa itu, Kongcu? Tadinya saya kira hanya berita bohong belaka, karena di dunia kang-ouw, Tiauw Sun Ong muncul sebagai seorang tokoh yang lihai. Akan tetapi dia buta, bagaimana mungkin seorang selir kaisar... maaf, dapat tertarik kepada seorang pangeran buta?" Sebetulnya Suma Hok sudah tahu akan persoalannya, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu untuk memancing dan melihat bagaimana sikap bekas kaisar ini terhadap Tiauw Sun Ong.
"Tadinya Paman Pangeran Tiauw Sun Ong tidak buta. Dia seorang pangeran yang tampan dan selir... eh, selir mendiang ayahku itu tergila-gila kepadanya. Setelah perbuatan mereka ketahuan, Paman Tiauw Sun Ong membutakan mata sendiri dan meninggalkan istana. Adapun selir ayah itu dihukum buang, Ah, tidak perlu kita bicara tentang aib yang menjengkelkan itu!"
"Akan tetapi, kenapa yang melakukan aib menodai nama yang mulia dari Kaisar, tidak dihukum mati?" Suma Hok memancing.
Siauw Tek mengepal tinju. "Sepatutnya memang dia dihukum mati! Akan tetapi dia adalah adik mendiang ayah, dan dia sudah membutakan kedua matanya, ayah mengampuninya.”
"Ah, mendiang ayah memang terlalu lunak," kata Kiok Lan. "Dosa itu teramat besar, menodai nama dan kehormatan seluruh keluarga. Karena kelemahan ayah, maka sampai sekarang dia masih hidup dan tentu saja peristiwa itu menjadi dongeng dan diketahui banyak orang. Coba andaikata ketika itu dia dan perempuan itu dihukum mati, mungkin berita itu tidak sampai tersebar."
"Engkau benar, adikku. Memang mendiang ayah terlalu lemah. Bahkan kabarnya, selir yang menyeleweng itupun tidak sampai mati. di dalam perjalanan, para pengawalnya dibunuh orang dan ia lenyap entah ke mana."
Kini yakinlah Suma Hok bahwa kakak beradik bangsawan ini tidak suka kepada Tiauw Sun Ong dan hal ini menyenangkan hatinya. Setidaknya dia memiliki senjata ampuh untuk menarik kedua orang ini berpihak kepadanya kalau dia bentrok dengan Bun Houw. Pada saat itulah, Bun Houw memasuki ruangan makan dan tentu saja percakapan itu terhenti.
Setelah selesai makan minum, sekali ini Siauw Tek mengajak mereka bercakap-cakap di ruangan dalam, tidak lagi di ruangan tamu. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dia mulai percaya kepada kedua orang tamunya. Setelah duduk diruangan dalam yang lebih mewah keadaannya ini, Siauw Tek bertanya kepada kedua orang tamunya.
"Bagaimana, apakah kalian berdua sudah menyaksikan keadaan kami dan apa pendapat kalian?"
Suma Hok cepat menjawab. "Wah, hebat sekali, Kongcu. Pasukan-pasukan dengan empat benteng itu amat kuat, dan kalau mendapat pimpinan seorang ahli, tentu dapat menjadi kekuatan yang dahsyat!"
Siauw Tek senang dengan pendapat ini dan dia tersenyum bangga, akan tetapi melihat Bun Houw diam saja, dia bertanya. Bagaimana pendapatmu, Kwa-toako? Cukup kuatkah pasukan yang sudah kami himpun?”
Bun Houw menjawab dengan tenang, "Saya kira, tergantung dari penggunaannya, Kongcu."
"Apa maksudmu, toako?"
"Seperti sepotong pisau dapur, terlalu besar untuk mencukur jenggot dan terlalu kecil untuk bertempur di medan perang.”
Siauw Tek mengangguk dan tersenyum. “Jawabanmu memang tepat akan tetapi terlalu berhati-hati, Kwa-toako. Baiklah, sekarang kalian berdua dengarkan dulu tentang keadaan diriku semenjak kerajaan Liu-sung dikhianati para pemberontak yang kini membangun kerajaan Chi itu."
Bekas kaisar itu lalu bercerita. Pemberontakan yang dilakukan oleh Siauw Hui Kong dan kawan-kawannya, yaitu juga anggauta keluarga kaisar dari pihak wanita, menimbulkan perang saudara selama tiga tahun, dimulai dari tahun 476 dan berakhir tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 479 dengan jatuhnya kerajaan Liu-sung. Siauw Hui Kong mengangkat diri menjadi Kaisar Siauw Bian Ong kaisar yang mendirikan dinasti atau kerajaan Chi.
Dalam penyerbuan itu, Siauw Hui Kong dan sekutunya masih memberi kelonggaran kepada keluarga kaisar untuk melarikan diri. Akan tetapi mereka yang melakukan perlawanan, semua tertumpas dan binasa. Kaisar Cang Bu sendiri yang ketika itu berusia tujuh belas tahun, melarikan diri dengan dikawal oleh Panglima Pouw Cin. Dalam pelarian ini terbawa pula beberapa orang selir dan juga Kiok Lan yang baru berusia dua belas tahun ikut pula lari mengungsi bersama kakak tirinya. Kiok Lan dan Kaisar Cang Bu seayah berlainan ibu, karena Kiok Lan beribu dari seorang selir.
Sesungguhnya, kalau pihak lawan, yaitu pihak keluarga Siauw yang memberontak, menghendaki pelarian bekas kaisar itu tentu akan gagal dan akan mudah saja menangkapnya rombongan pengungsi ini. Akan tetapi karena memang masih ada hubungan keluarga, agaknya pihak yang menang memang sengaja bersikap longgar, membiarkan pihak yang kalah untuk mengungsi.
"Demikianlah, ji-wi tahu bahwa setelah, kehilangan mahkota, terpaksa aku menyamar sebagai orang biasa, menggunakan nama kecilku, yaitu Liu Tek dan kusingkat menjadi Siauw Tek, agar selain tidak dikenal orang, juga aku sengaja menggunakan nama keluarga kaisar yang sekarang. Tentu saja, selama lima tahun ini, sejak keluar dari istana, aku tidak pernah melupakan kekalahan ini. Aku, dibantu oleh Paman Pouw, mulai menghimpun kekuatan karena kami bercita-cita untuk merampas kembali singgasana dan mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang telah dikhianati oleh keluarga Siauw yang kini mendirikan dinasti Chi. Kami mengundang sebanyaknya orang-orang pandai seluruh negeri untuk membantu kami. Karena itu, setelah bertemu dengan ji-wi, kami juga menawarkan kepada ji-wi agar suka membantu kami. Percayalah, kalau sampai cita-cita kami terlaksana, dan kami dapat mendirikan lagi kerajaan Liu-sung, kalian berdua akan menerima anugerah kedudukan yang tinggi dalam kerajaan kami. Kami tidak minta jawaban sekarang. Sebaiknya, ji-wi (kalian) mempertimbangkan permintaan kami itu semalam ini sambil beristirahat dalam kamar ji-wi masing-masing. Besok pagi kami mengharapkan jawaban dan keputusan yang pasti."
Tadinya Bun Houw ingin menyatakan keputusannya pada malam itu juga, yaitu menolak tawaran bekas kaisar itu untuk membantu gerakannya hendak memberontak. Akan tetapi karena Siauw Tek memberi waktu semalam untuk mengambil keputusan, diapun merasa tidak enak kalau menolak seketika tanpa dipertimbangkan dulu. Di dalam kamarnya, Bun Houw duduk bersila di atas pembaringan, termenung. Dia dapat menduga bahwa orang yang berjiwa petualang seperti Suma Hok, yang hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri saja, tentu tertarik oleh penawaran bekas kaisar itu.
Apalagi dia melihat sinar mata pemuda pesolek itu ketika memandang Kiok Lan, ia tidak ragu lagi bahwa Suma Hok pastikan menerima penawaran itu. Akan tetapi dia tidak akan menerimanya, dia akan menolak dengan halus. Dia masih mempunyai tugas, yaitu mencari Hui Hong. Dan pengalamannya dengan bekas kaisar ini sudah merupakan suatu berita yang amat menarik bagi gurunya, selain itu, diapun akan melaksanakan pesan gurunya menyelidiki keadaan pemerintahan Kerajaan Chi yang baru itu.
Daun pintu terketuk. Bun Houw merasa heran. Malam telah larut, mungkin sudah hampir tengah malam. Siapa yang mengetuk pintu kamarnya? Ketukan itu lirih dan pendengarannya yang tajam menangkap gerakan kaki ringan di luar pintu. Seorang wanita di depan pintu kamarnya! Siapa? Mau apa? Dia memang mengunci daun pintu dari dalam. Dia berada di bawah satu atap dengan seorang seperti Suma Hok, maka dia harus berhati-hati. Tidak dapat diduga apa yang akan dilakukan oleh pemuda yang kejam dan licik bagaikan iblis itu.
"Siapa di luar?" Bun Houw bertanya sambil menghampiri pintu.
"Saya, Kwa-kongcu. Harap suka membuka pintu, saya mempunyai kepentingan untuk dibicarakan denganmu." terdengar suara wanita yang merdu.
Bukan suara Kiok Lan, pikir Bun Houw yang menjadi semakin heran. Dia membuka kunci daun pintu dan masuklah seorang wanita muda yang cantik manis. Begitu ia masuk, tercium bau yang harum dari pakaiannya. Bun Houw mengenal wanita ini sebagai seorang di antara lima wanita cantik yang melayani ketika dia dan tuan rumah makan, lalu muncul Kiok Lan menyuruh lima orang wanita yang disebutnya enci itu agar tidak melayani mereka lagi. Wanita ini usianya tidak akan lebih dari dua puluh tahun, cantik manis dan di balik kerling mata dan senyumnya tersembunyi kegenitan dan gairah.
"Eh, kenapa nona masuk ke sini? Ada urusan penting apa yang akan dibicarakan?” tanya Bun Houw, alisnya berkerut karena tidak senang melihat seorang wanita muda memasuki kamarnya. Kalau kelihatan tuan rumah, tentu akan menyangka yang bukan-bukan. Akan tetapi, kesopanan melarangnya untuk mengusir begitu saja.
Gadis itu menundukkan mukanya, akan tetapi matanya mengerling ke samping atas, ke arah wajah Bun Houw dan senyumnya dikulum. Memang gaya ini membuat ia nampak manis dan menarik sekali, sikap jinak-jinak merpati! "Kwa-kongcu, saya bernama Yo Leng Liwa, biasa disebut Leng Leng, berusia sembilan belas tahun..."
“Ya, ya... akan tetapi mau apa engkau masuk ke sini? Ada kepentingan apa...?” Bun Houw memotong tak sabar.
Kembali kerling itu menyambar dan senyum itu melebar. Segumpal rambut jatuh berderai di leher yang panjang dan berkulit putih mulus itu. "Kongcu, malam begini dingin dan sunyi dan kongcu berada seorang diri saja di dalam kamar, saya pikir saya... saya dapat menemani kongcu, menghibur kongcu dan melakukan apa saja untuk melayani kongcu." katanya dengan suara setengah berbisik, dan kata-katanya berlagu seperti orang bersenandung.
Wajah Bun Houw berubah kemerahan. Tentu saja dia mengerti apa yang dimaksudkan wanita ini. Wanita muda cantik genit ini merayunya. Akan tetapi dia menahan kemarahannya dan tidak menghardiknya karena tiba-tiba timbul kecurigaan dalam hatinya. Dia baru pertama kali bertemu wanita ini, di antara empat orang rekannya, itupun ketika mereka melayaninya makan. Tidak mungkin kalau dalam pertemuan singkat itu, wanita ini lalu jatuh hati kepadanya! Dan kiranya, tidak akan mungkin wanita ini berani begitu merayunya. Bukankah dia seorang tamu dihormati? Dan gadis ini juga bukan pelayan?
Ada pelayan lain dan agaknya orang itu mempunyai kedudukan yang cukup terhormat di rumah itu. Bukankah Kiok Lan adik bekas kaisar itu sendiri juga menyebut mereka berlima itu dengan sebutan enci? Dia menduga bahwa gadis ini, seperti empat yang lain tentulah semacam dayang atau lebih tepat lagi, selir-selir dari bekas kaisar itu. Dan kini, kalau ia berani memasuki kamarnya, menawarkan diri untuk melayani dan menghiburnya, jelas bahwa hal ini tentu merupakan tugas baginya. Tentu ada yang memerintahnya?
Tiba-tiba sinar matanya mencorong ketika dia berkata, "Nona, coba angkat mukamu dan kau pandang aku!!"
Gadis itu mengangkat mukanya yang cantik dan memberanikan diri memandang. Dua pasang mata bertemu dan gadis itu terkejut melihat mata yang mencorong penuh kekuatan itu. Ia ingin menundukkan kembali mukanya, akan tetapi tidak mampu, serasa ada kekuatan dari sepasang mata yang mencorong itu yang mengikat dan menahan pandang matanya sehingga tak dapat ditundukkan.
"Nona, engkau tentulah seorang selir dari Siauw Kongcu, bekas kaisar itu, bukan?" tanya Bun Houw.
"Benar, kongcu," jawab Leng Leng dengan lirih dan kini sikap rayuannya lenyap, berubah menjadi khawatir.
"Hemm, kalau engkau sudah menjadi selirnya, kenapa malam-malam begini berusaha menggodaku? Apakah engkau ini jenis isteri yang tidak setia dan suka melakukan penyelewengan dengan laki-laki lain?"
Wajah yang cantik itu tiba-tiba berubah merah dan mata itu mengeluarkan sinar merah. "Kwa-kongcu, jangan menuduh sembarangan! Aku adalah seorang isteri yang setia dan taat kepada suami. Andaikata suamiku menyuruh aku menyerahkan nyawa sekalipun akan kutaati, apalagi hanya menyerahkan badan. Aku hanya melaksanakan tugas, mentaati perintah."
Diam-diam Bun Houw merasa iba kepada gadis ini. Tahulah dia bahwa ini merupakan satu di antara cara dan akal bekas kaisar itu untuk membujuk dan menarik seseorang menjadi pembantunya. Agaknya bekas kaisar itu tahu bahwa dia tidak akan tergiur kedudukan atau harta, maka dipergunakanlah seorang di antara selirnya untuk membujuk rayu. Dan dia percaya bahwa tentu banyak pria perkasa yang jatuh oleh kecantikan selir-selir itu.
"Kalau begitu, kembalilah engkau kepada suamimu dan katakan kepadanya bahwa engkau adalah seorang isteri yang baik dan mencinta suami, bahwa dia tidak sepatutnya menyuruh engkau membujuk rayu seorang tamu. Katakan bahwa aku berterima kasih, akan tetapi aku tidak suka menghancurkan martabat dan perasaan hati seorang wanita yang terpaksa demi cinta dan kesetiaannya kepada suami, mau melakukan apa saja yang diperintahkan suami, bahkan menyerahkan diri dan kehormatannya kepada laki-laki lain. Pergilah, nona."
Selir yang cantik itu menatapnya dengan sepasang matanya yang indah, kemudian kedua mata yang tadinya bengong memandang heran, perlahan-lahan menjadi basah air mata. "Baik, dan maafkan saya, kongcu." katanya dengan suara gemetar mengandung isak, lalu wanita itupun keluar dari kamar dengan langkah-langkah gontai.
Seorang wanita yang memiliki daya tarik kuat sekali pada wajah dan bentuk tubuhnya, Bun Houw menggumam sambil menutupkan daun pintu dan menguncinya kembali. Dia duduk bersila kembali ke atas pembaringan dan tersenyum. Yang jelas, kalau tidak ada dua hal yang menolongnya, yang mendatangkan kekuatan di batinnya, bukan hal aneh kalau tadi diapun bertekuk lutut dan terlena dalam pelukan wanita cantik tadi.
Dua hal itu pertama-tama adalah pengalaman gurunya yang pernah berjina dengan seorang selir kakaknya dan yang kemudian mendatangkan akibat yang amat hebat dan pahit dalam kehidupan gurunya. Selain itu juga pengalamannya sendiri dengan Cia Ling Ay yang mendatangkan akibat pahit pula. Adapun hal kedua adalah cintanya terhadap Hui Hong membuat dia tidak ingin dimiliki dan memiliki wanita lain.
********************
Perasaan tidak enak dalam hati Bun Houw bahwa dia berada di bawah satu atap dengan Suma Hok, ternyata bukan perasaan kosong belaka. Dia tidak dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh pemuda licik itu. Di luar tahunya, setelah mereka tadi saling berpisah dari ruangan dalam, Suma Hok juga menerima kunjungan seorang selir bekas kaisar itu yang datang hendak membujuknya.
Dan pemuda yang amat cerdik ini, walaupun melihat selir itu seperti seekor kucing melihat dendeng yang membuatnya mengilar, namun demi pengejaran yang lebih tinggi, dia bersikap sopan dan menolak wanita yang disuguhkan kepadanya itu! Dan dia bahkan mengikuti wanita itu kembali ke kamar Siauw Tek kemudian dia membisikkan hal yang penting bagi bekas kaisar itu.
"Saya menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan Kongcu," katanya sambil mengantarkan kembali selir itu. "Akan tetapi harap Kongcu maafkan, saya tidak suka berganti dengan wanita yang bukan milik saya. Selain itu, saya ingin menyampaikan hal yang saya kira amat penting bagi kongcu, mengenai diri Kwa Bun Houw."
Diam-diam Siauw Tek memuji pemuda ini. Seorang pemuda yang tidak lemah terhadap godaan wanita. "Suma toako, ada urusan apakah? Apa yang hendak kau sampaikan mengenai diri Kwa-toako?"
"Hendaknya kongcu bersikap waspada karena Kwa Bun Houw itu adalah seorang yang berbahaya sekali."
"Kau maksudkan dia lihai? Hal itu kami sudah tahu, toako. Kami sudah menguji kepandaiannya dan dia mampu mengalahkan Paman Pouw dengan mudah."
"Bukan itu saja, Kongcu. Akan tetapi ada satu hal yang Kongcu belum ketahui sehingga tidak melihat bahaya yang mengancam diri kongcu sekarang. Ketahuilah bahwa Kwa Bun Houw adalah murid bekas Pangeran Tiauw Sun Ong!"
"Ahhh...?!?" bekas kaisar itu berseru kaget dan mukanya berubah agak pucat. "Kalau begitu... apa maunya dia mau menerima undanganku?"
"Hemm, tidak sukar diduga, Kongcu. Sepanjang pengetahuanku, bekas pangeran Tiauw Sun Ong sama sekali tidak berbuat sesuatu ketika kerajaan Kongcu dijatuhkan oleh keluarga Siauw. Itu saja menjadi bukti bahwa diam-diam Tiauw Sun Ong tentu mendendam kepada mendiang ayah Kongcu! Dan sekarang muridnya berada di sini aku tidak akan heran kalau dia mewakili gurunya, melakukan tugas mata-mata demi kepentingan kerajaan Chi."
“Ahh! Kalau begitu, kita hatus cepat turun tangan! Kita harus membunuhnya sekarang juga!” kata bekas kaisar itu.
Dan Suma Hok tersenyum. Bekas kaisar ini demikian lemah dan bodoh, pikirnya. Pantas saja kerajaannya jatuh. Kalau orang ini berhasil menjadi kaisar kembali dan dia dapat menjadi perdana menterinya, tentu dia akan mudah dapat menguasainya!
"Harap paduka tenang dulu. Kita harus berhati-hati dan jangan mengagetkan ular dalam semak. Kita pura-pura tidak tahu lebih dulu agar dia tidak curiga dan tidak melarikan diri. Ilmu silatnya lihai bukan main. Kita harus mengatur siasat untuk dapat menangkap atau membunuhnya." Suma Hok berbisik-bisik dan malam itu juga Pouw Cin di panggil untuk mengatur siasat.
Siauw Tek merahasiakan siasat itu dari adiknya karena dia maklum betapa aneh watak adiknya itu, kadang berani menentangnya. Ketika selirnya yang tadinya diutus untuk membujuk-rayu Bun Houw kembali kepadanya dan melapor bahwa Bun Houw menolak halus, makin besar kecurigaan Siauw Tek yang sudah dapat dibakar oleh Suma Hok.
Kini Suma Hok menambahkan, "Nah, jelas bahwa dia berniat buruk. Aku, pernah mendengar bahwa Bun Houw seorang laki-laki mata keranjang, seperti juga gurunya. Kalau sekarang dia menolak pelayanan seorang wanita cantik, hal ini patut dicurigai. Pasti dia tidak ingin terbujuk agar dapat melakukan tugasnya memata-matai keadaan kongcu dengan baik."
Siauw Tek mengangguk-angguk, menyetujui pendapat pembantu barunya itu. Dia teringat akan bekas pamannya, yaitu Pangeran Tiauw Sun Ong. Bekas pangeran itu dahulu terkenal sebagai seorang pria yang menaklukkan hati banyak wanita, bahkan tidak segan berjina dengan selir ayahnya. Kini bekas pangeran itu menjadi guru Kwa Bun Houw. Kalau gurunya seperti itu, muridnya dapat dibayangkan wataknya.
Akan tetapi, Pouw Cin masih ragu-ragu. Bekas panglima ini adalah seorang yang sudah berpengalaman. Setelah bertemu dengan Bun Houw dan menguji kepandaiannya, dia sudah dapat menilai pemuda itu sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa dan halus budi pekertinya. Sama sekali tidak kejam. Hal ini terbukti ketika dia dikalahkan pemuda itu. tanpa sedikitpun menderita luka. Di samping ini, diapun seorang yang amat setia kepada bekas kaisar itu, maka tentu saja dia tidak pernah membantah perintah Siauw Tek, selalu mentaatinya dengan membuta. Dan diapun pernah mendengar nama ayah dan anak Suma yang menjadi majikan Bukit Bayangan Iblis sebagai datuk sesat yang amat kejam dan curang. Maka, diam-diam diapun mencurigai Suma Hok, bahkan hatinya merasa tidak enak melihat keakraban hubungan antara Suma Hok dan nona majikannya, Kiok Lan. Diam-diam dia bersikap waspada.
"Paman Pouw, kenapa engkau diam saja? Bagaimana pendapatmu tentang Kwa Bun Houw itu? Amat mencurigakan, bukan? Aku sungguh khawatir dia benar-benar mewakili gurunya, memata-matai kita demi kepentingan kerajaan Chi."
"Jalan satu-satunya adalah besok pagi-pagi, di luar sangkaannya, kita mengepung dan membunuhnya. Kita sudah mengatur barisan pendam, dan dia tidak akan mampu melarikan diri lagi. Bukanlah siasat kita ini baik sekali, Paman Pouw?" kata Suma Hok dengan nada suara gembira.
Kematian Bun Houw merupakan hal yang amat menguntungkan dia. Pertama, dia dapat membalas kekalahannya tempo hari, kedua dia akan kehilangan saingan dan lawan yang amat lihai dalam memperebutkan Hui Hong dan akhirnya, dia tidak akan menghadapi rintangan dalam kerja samanya yang menguntungkan dengan para pemberontak yang dipimpin oleh bekas kaisar Cang Bu.
Pouw Cin tidak menjawab pertanyaan Suma Hok, melainkan memandang majikannya dan berkata dengan hati-hati, "Saya harap Kongcu teliti dalam hal ini. Biarpun andaikata benar dia murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong, belum tentu dia memata-matai kita. Hal itu harus dibuktikan dulu. Ilmu kepandaiannya hebat, Kongcu, kalau kita dapat menariknya sebagai pembantu, tentu keadaan Kongcu menjadi semakin kuat. Sebaiknya kita melihat sikapnya besok pagi. Tanpa bukti lalu menyerangnya begitu saja amatlah tidak bijaksana. Bagaimana kalau kemudian terbukti dia bukan mata-mata dan kita sudah terlanjur mencelakainya? Tentu orang-orang di dunia persilatan akan menentang kita!"
Siauw Tek mengangguk-angguk. "Hemm, kami rasa pendapatmu ini memang tepat. Bagaimana pikiranmu, Suma-toako? Memang kita harus berhati-hati agar jangan salah sangka, kita harus dapat membuktikan dulu kalau benar dia memata-matai kami."
"Saya harap Kongcu teliti dalam hal ini. Biarpun andaikata benar dia murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong belum tentu dia memata-matai kita."
Suma Hok juga bukan orang bodoh. Sebaliknya malah, dia cerdik dan licin bagaikan belut. Dia tidak mau berkeras mempertahankan pendapatnya dan menentang pendapat Pouw Cin yang dia tahu merupakan orang yang paling dipercaya oleh bekas kaisar itu!
"Hebat! Pendapat Pouw-lo-enghiong memang hebat, tanda bahwa Paman Pouw seorang yang bijaksana. Sesungguhnya, sayapun tidak hanya menuduh sembarangan. Walaupun belum terbukti Kwa Bun Houw menjadi mata-mata kerajaan Chi, akan tetapi prasangka buruk saya ini bukan tidak berdasar. Dasarnya kuat sekali, karena selain menjadi murid tersayang bekas pangeran yang kini menjadi datuk lihai yang matanya buta itu, juga dia ingin menjadi mantu bekas Pangeran Tiauw Sun Ong."
"Ahhhh..." Siauw Tek berseru kaget.
Pouw Cin mengerutkan alisnya. "Bagaimana mungkin itu? Setahuku, Pangeran Tiauw Sun Ong tidak mempunyai isteri dan tidak mempunyai anak!”
Suma Hok membungkuk sambil tersenyum. ”Paman Pouw, saya juga bukan seorang yang suka berbohong. Akan tetapi, keterangan sepihak saja dari saya tentu tidak meyakinkan. Baiklah, besok di waktu makan pagi saya akan bertanya kepada Kwa Bun Houw, dan biarlah dia sendiri yang akan mengakui kebenaran apa yang saya kemukakan tadi."
Dengan sikap hormat dan ramah, Suma Hok memandang kepada Siauw Tek, lalu bertanya dengan halus. "Kalau Bun Houw sudah mengaku dengan mulut sendiri bahwa dia ingin menjadi mantu gurunya, apakah Kongcu akan yakin dan percaya kepada saya?"
Bekas kaisar itu mengangguk-angguk. "Kalau benar dia murid dan bahkan calon mantu Tiauw Sun Ong, keadaannya sungguh amat mencurigakan!"
"Kalau dia sudah mengaku dengan mulut sendiri dan Kongcu sudah yakin bahwa dia tentu memata-matai Kongcu, kita harus sudah siap." kata Suma Hok penuh kegembiraan karena merasa berhasil. "Dia amat berbahaya dan lihai sekali, karena itu, jangan sampai kita kedahuluan olehnya. Siapa tahu, dia bertugas untuk membunuh Kongcu! Karena itu, besok ketika kita makan pagi dan saya memancingnya agar mengaku, di luar ruangan makan sebaiknya dilakukan penjagaan yang kokoh kuat dan begitu dia mengaku bahwa memang calon mantu Tiauw Sun Ong, kita mengepung dan mengeroyoknya!"
Kembali Siauw Tek mengangguk dan memandang kepada Pouw Cin. Sejak dia dipaksa melarikan diri karena singgasana dirampas oleh Souw Hui Kong lima tahun yang lalu, semangat dan harapannya tergantung kepada bekas jenderal yang dahulu menjadi panglimanya yang setia itu. Maka, kinipun segala keputusannya selalu ditanyakan dulu kepada pembantu setia ini.
"Bagaimana pendapatmu, Paman Pouw?"
Pouw Cin adalah seorang yang berpengalaman dan selalu bertindak dengan hati-hati, tidak mudah dia mencurigai orang, juga tidak mudah percaya begitu saja. "Kongcu, sebaiknya kalau kita berhati-hati dalam hal ini. Andaikata benar demikian, sedapat mungkin kita harus membujuk agar Kwa Bun Houw suka membantu kita. Kalau dia mau bekerja sama, kita dapat memanfaatkan tenaganya karena pemuda itu memang seorang ahli silat yang amat tangguh. Kalau dia menolak, barulah terpaksa kita melenyapkannya, apalagi kalau dia benar-benar seorang mata-mata dari Chi. Akan tetapi, Kongcu, yang membuat saya merasa ragu dan penasaran adalah keterangan dari Suma Kongcu tadi. Setahu kita. Pangeran Tiauw Sun Ong tidak beristeri dan tidak mempunyai anak ketika meninggalkan istana, bagaimana sekarang dia dapat mempunyai puteri yang akan dijodohkan dengan Kwa Bun Houw?" Dia berhenti sebentar mengingat-ingat, "Dan selama ini, saya hanya mendengar bahwa bekas pangeran itu menjadi seorang tokoh persilatan yang tidak pernah, mempunyai isteri."
Siauw Tek menoleh kepada Suma Hok. "Bagaimana jawabanmu dengan pertanyaan itu, toako? Berilah keterangan agar hati Kami tidak menjadi bimbang, dan meragukan keterangan itu."
Suma Hok tersenyum. "Pertanyaan Pouw-lo-enghiong memang tepat sekali, dan sudah sepatutnya kalau kongcu dan lo-enghiong mengetahuinya. Ketahuilah. Kongcu bahwa selir yang menjadi kekasih Pangeran Tiauw Sun Ong itu, ketika melaksanakan hukuman buang, dalam perjalanan ia dibebaskan oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, majikan Lembah Bukit Siluman, kemudian menjadi isterinya. Ketika menjadi isteri datuk itu, selir itu telah mengandung yang kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Nah, anak perempuan itu adalah anak kandung Pangeran Tiauw Sun Ong! Anak perempuan itulah yang akan menjadi isteri Kwa Bun Houw, Kongcu."
Kalau bekas kaisar itu mengangguk-angguk, sebaliknya bekas panglima Pouw Cin mengerutkan alisnya, "Kalau demikian, maka gadis itu bukan lagi puteri Pangeran Tiauw Sun Ong! Ia adalah puteri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek!"
"Memang tadinyapun begitu, Pouw-lo-enghiong. Bahkan gadis itu sendiri tidak tahu bahwa ayah kandungnya adalah Tiauw Sun Ong. Akan tetapi akhir-akhir ini rahasia itu terbuka dan Tiauw Sun Ong mendatangi keluarga Ouwyang, dan menuntut agar puteri kandungnya itu dijodohkan dengan muridnya, yaitu Kwa Bun Houw itulah!”
“Nah, bagaimana, Paman, Pouw?" tanya Siauw Tek. "Kurasa memang pemuda itu berbahaya sekali, apalagi mengingat bahwa dia amat lihai. Siapa tahu dia memang, ditugaskan oleh gurunya untuk menyelidiki, atau mungkin untuk memata-matai kita."
"Bukan mustahil tugasnya lebih jahat lagi, yaitu membunuh Kongcu." kata Suma Hok.
Mendengar ini, Siauw Tek terkejut dan wajahnya berubah agak pucat.
"Kita tidak boleh terburu-buru menuduh orang, akan tetapi juga sebaiknya siap menjaga segala kemungkinan. Biarlah kita melihat perkembangannya besok pagi di waktu makan pagi. Kalau dia sudah mengaku sendiri bahwa dia akan berjodoh dengan puteri gurunya, kemudian kita bujuk agar dia suka bekerja sama membantu kita. Kalau dia menolak, baru kita turun tangan menangkapnya. Saya akan mempersiapkan pasukan untuk mengepung tempat di mana kita menjamunya makan pagi, Kongcu."
"Akan tetapi dia lihai bukan main, kalau hanya dikeroyok pasukan saja, mungkin dia akan dapat lolos." kata Suma Hok. "Aku masih meragukan apakah Pouw-lo-enghiong akan mampu menangkapnya." Suma Hok sengaja berkata demikian untuk membakar perasaan bekas panglima itu dan dia berhasil.
Wajah Pouw Cin berubah kemerahan dan dia mengepal tinju. "Boleh jadi dia lihai dan aku tidak dapat menandinginya, akan tetapi kalau aku mempergunakan pasukan, jangan harap dia akan mampu meloloskan diri, kecuali kalau dia membunuh diri terjun dari atas tebing!"
Mereka bertiga lalu mengatur siasat dan tentu saja diam-diam Suma Hok gembira bukan main. Orang yang dibencinya, yang juga menjadi saingannya dalam memperebutkan Hui Hong, besok pagi-pagi akan terbunuh atau tertawan! Diapun kembali ke kamarnya dan tidur dengan pulas karena kelegaan hatinya.
********************
Kiok Lan cepat menyelinap di balik sudut tembok, mengintai ke depan, ke arah kamar seorang di antara dua orang tamunya, yaitu Kwa Bun Houw. Ia merasa heran sekali melihat Yo Leng Hwa, seorang di antara selir-selir kakaknya yang cantik, dengan langkah ringan seperti seekor kucing, menghampiri pintu kamar Kwa Bun Houw. Kiok Lan merasa heran bukan main. Mau apa malam-malam begini selir kakaknya itu menghampiri lalu mengetuk daun pintu kamar tamu mereka?
Padahal, Kwa Bun Houw adalah seorang tamu, seorang pemuda pula. Sungguh tidak pantas kalau selir kakaknya itu mengetuk pintu pemuda itu malam-malam. Andaikata kakaknya mempunyai keperluan kepada tamunya, masih ada pelayan lain yang dapat diutusnya untuk memberitahu pemuda itu, bukan selirnya. Kiok Lan mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang dan ia mengintai terus.
Wajah gadis bekas puteri istana ini menjadi kemerahan dan matanya bersinar penuh kemarahan ketika ia melihat betapa daun pintu dibuka dan selir kakaknya itu memasuki kamar! Akan tetapi, daun pintu itu tetap terbuka sehingga Kiok Lan masih dapat mengintai dan mendengarkan percakapan antara Bun Houw dan Leng Leng. Mendengar betapa Leng Leng disuruh kakaknya untuk membujuk rayu Bun Houw, bukau main marahnya hati gadis itu. Kakaknya sungguh keji dan, tidak tahu malu!
Dan melihat Bun Houw menolak dengan sikap yang tegas, iapun merasa kagum sekali. Seorang pendekar muda yang hebat, pikirnya, ia melihat betapa Leng Leng meninggalkan kamar Bun Houw, dengan air mata berlinang sehingga ia diam-diam merasa kasihan kepada selir kakaknya itu yang dipaksa oleh kakaknya untuk menyeleweng dengan tamu, dan kemarahannya tertuju kepada kakaknya. Daun pintu kamar Bun Houw, ditutup kembali dan kini Kiok Lan membayangi Leng Leng yang meningalkan kamar Bun Houw...!”
Kiok Lan, melihat selir itu memasuki ruangan dalam. Ia mengintai dari balik pintu dan melihat Leng Leng melapor kepada Siauw Tek bahwa tugasnya telah dilaksanakan, akan tetapi gagal karena Bun Houw menolaknya. Siauw Tek dengan sikap kecewa menyuruh Leng Leng keluar dari ruangan itu di mana dia sedang bercakap-cakap dengan Pouw Cin dan Suma Hok. Dan iapun mengintai dan mendengarkan.
Gadis ini terkejut mendengar rencana kakaknya untuk mempersiapkan pasukan dan besok pagi-pagi akan menangkap Bun Houw kalau pemuda itu tidak mau diajak bekerja sama, karena Bun Houw dicurigai sebagai mata-mata setelah Suma Hok menceritakan siapa adanya pemuda itu. Murid Pangeran Tiauw Sun Ong, bahkan calon mantunya! Cepat-cepat Kiok lan kembali ke kamarnya sendiri setelah mendengar semua rencana itu.
Liu Kiok Lan duduk melamun. Ia tahu bahwa kakaknya menghimpun pasukan untuk dapat merebut kembali tahta kerajaannya yang dirampas oleh Siauw Hui Kong yang kini menjadi Kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan baru Chi. Sebagai seorang bekas puteri istana, tentu saja ia menyetujui rencana kakaknya ini dan dengan sepenuh hati ingin membantunya. Hal ini dianggap sebagai kewajibannya pula. Akan tetapi, kalaupun mereka harus merebut kembali kerajaan dan membangun kembali dinasti Liu-sung yang sudah jatuh, harus dilakukan dengan cara yang gagah dan wajar. Ia selalu cocok dengan sikap yang diambil oleh bekas Panglima Pouw yang selalu bertindak dengan gagah perkasa. Ia pulang tidak suka dengan cara yang curang dan licik.
Kini, melihat betapa kakaknya hendak menyuguhkan selirnya sendiri kepada Kwa Bun Houw untuk menjatuhkan hati pendekar itu dari menariknya sebagai pembantu, tentu saja ia merasa amat tidak senang. Apalagi mendengar rencana kakaknya yang agaknya terbujuk oleh Suma Hok untuk menangkap atau membunuh, Kwa Bun Houw dengan pengeroyokan kalau pendekar itu tidak mau membantu, sungguh amat mengganggu hatinya dan menekan perasaannya.
Akhirnya ia meneambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw. Bukan karena ia merasa berat kepada pemuda yang baru saja dikenalnya itu, melainkan ia hendak mencegah kakaknya bertindak curang. Cepat ia bertukar pakaian yang ringkas dan membawa pedang. Ia harus dapat memabuki kamar Bun Houw sebagai pencuri agar tidak sampai terlihat kakaknya, Kalau ia masuk sebagai pencuri, andaikata ia ketahuan kakaknya, ia dapat mengambil alasan bahwa ia berniat untuk menyerang tamu itu, karena ia sudah tahu bahwa tamu itu adalah murid Pangeran Tiauw Sun Ong dan ia mencurigainya.
Dengan ilmu kepandaiannya, tidak sukar bagi Kiok Lan untuk meloncat ke atas genteng dan berada di atas kamar Bun Houw. Setelah membiarkan peronda lewat, ia melayang turun dan mencokel jendela kamar dengan pedangnya. Ia tahu bagaimana bentuk jendela itu. maka tanpa banyak kesukaran ia dapat mencokel jendela sehingga terbuka dan cepat ia meloncat ke dalam kamar, lalu menutupkan lagi daun jendela dari dalam, ia merasa lapang dada karena agaknya tidak ada orang mengetahui perbuatannya, dan agaknya tamu itupun sudah tidur.
Ia menghampiri pembaringan yang kelambunya tertutup. Cuaca dalam kamar itu remang-remang karena lilin di atas meja sudah dipadamkan, akan tetapi ada sinar masuk dari luar melalui lubang-lubang angin di atas jendela, yaitu sinar lampu gantung di luar kamar! Tiba-tiba kelambu tersingkap dan sesosok tubuh meloncat keluar. Karena Kiok Lan tidak nenyerang, maka Bun Houw juga hanya meloncat dan berdiri di tengah kamar, memandang kepada gadis yang membawa pedang di tangan kanan itu.
"Kwa-twako...!" bisik Kiok Lan yang mencontoh kakaknya, menyebut twako (kakak) kepada pemuda itu.
Baru sekarang Bun Houw tahu bahwa bayangan hitam membawa pedang yang mencokel daun jendela dan memasuki kamarnya itu adalah Liu Kiok Lan, bekas puteri istana, adik bekas kaisar! Kalau tadinya dia terkejut karena sudah tahu ada orang mencokel jendela kamarnya, kini kekagetan itu bertambah dengan keheranan setelah mengetahui bahwa yang masuk seperti pencuri ke dalam kamarnya adalah bekas puteri itu.
"Nona itu... apa... apa artinya ini...?" Dia bertanya gagap, namun menahan suaranya sehingga berbisik karena dia sama sekali tidak ingin ada orang lain melihat gadis, bangsawan ini memasuki kamarnya seperti itu. Sekilas lantas dia mengira bahwa jangan-jangan bekas kaisar itu, setelah tadi usaha selirnya gagal, kini begitu tega mengutus adiknya sendiri untuk merayunya!
Akan tetapi segera dia mengusir prasangka ini karena biarpun dia baru saja mengenal Kiok Lan ketika sama-sama makan di meja makan, dan ketika gadis itu bersama Pouw Cin mengantar dia dan Suma Hok berkeliling melihat benteng yang disusun, namun dia sudah dapat menduga bahwa gadis bangsawan ini memiliki kegagahan dan keangkuhan, memiliki harga diri yang tinggi. Tidak mungkin gadis seperti itu sudi melaksanakan tugas yang sehina itu.
"Maafkan kalau aku mengejutkanmu, twako. Akan tetapi jawab dulu pertanyaanku. Benarkah engkau murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong, dan benar pulakah bahwa engkau akan menjadi mantu Tiauw Sun Ong? Jawab sejujurnya, ini mengenai mati-hidupmu!"
Tentu saja Bun Houw terbelalak. Mengenai mati hidupnya? Biarpun dia tidak ingin bercerita tentang gurunya dan apalagi tentang Hui Hong, namun melihat betapa gawatnya keadaan dari sikap aneh bekas puteri istana ini, diapun mengaku terus terang seperti yang dikehendaki gadis itu.
"Benar, nona. Aku murid suhu Tiauw Sun Ong dan dicalonkan menjadi mantunya. Lalu, kenapa?"
"Jawab lagi sejujurnya, demi iktikad baikku terhadap dirimu! Apakah engkau datang ke sini sebagai mata-mata. diutus oleh suhumu atau oleh kerajaan Chi?"
Sekarang mengertilah Bun Houw. Dia dicurigai! Akan tetapi kalau gadis ini mencurigainya, kenapa malam-malam datang mengajukan pertanyaan itu? Kalau benar dia mata-mata, sungguh tindakan gadis ini bodoh sekali. "Tidak sama sekali, nona! Secara kebetulan saja aku bertemu dengan kakakmu, lalu aku diundang ke sini. Sebetulnya, aku tidak ingin berdiam di sini, akan tetapi kakakmu yang mendesakku sehingga aku merasa sungkan, melihat sikapnya yang ramah. Kenapa nona menyangka yang bukan-bukan?"
"Nah, ada satu pertanyaan yang harus kau jawab sejujurnya. Kakakku menghendaki agar engkau suka membantunya dalam perjuangannya merebut kembali tahta kerajaan. Bersediakah engkau membantunya?"
Tanpa ragu lagi Bun Houw menggeleng kepala dan menjawab, "Tidak, nona. Aku tidak mau melibatkan diriku dalam perang saudara memperebutkan kekuasaan."
"Nah, inilah sebabnya aku malam-malam memasuki kamarmu seperti seorang pencuri. Besok pagi-pagi, kakakku dalam perjamuan makan pagi akan meminta keputusanmu. Kalau engkau suka membantunya, tentu tidak akan terjadi apa-apa. Akan tetapi sebaliknya, kalau engkau menolak, engkau akan ditangkap, mungkin dibunuh karena mereka sudah tahu bahwa engkau murid Tiauw Sun Ong."
Bun Houw terkejut, akan tetapi tidak merasa heran. Tentu Suma Hok yang membuka rahasia dirinya dan diapun tahu mengapa. Suma Hok membencinya, dan agaknya hendak mempergunakan kesempatan ini untuk mencelakakannya. "Hemm, lalu apa maksudnya nona datang memberitahukan semua ini kepadaku?"
"Aku tidak suka dengan cara yang diambil kakakku kepadamu. Enci Leng disuruh merayumu. Sungguh tak tahu malu! Dan kalau engkau tidak mau membantunya, besok engkau akan dikepung pasukan dan dikeroyok, inipun tindakan curang dan licik yang tidak kusukai. Karena itu, aku datang memberitahu kepadamu agar malam ini juga engkau cepat melarikan diri dari tempat ini. Cepat!"
Pada saat itu, terdengar suara kaki orang di luar kamar dan melalui sinar lampu, nampak bayangan beberapa orang seperti mendekati jendela. "Cepat, akan kuserang kau!" bisik Kiok Lan dan gadis ini segera menendang daun jendela terbuka dan berseru, "Mata-mata laknat, engkau akan mati di tanganku!"
Bun Houw sudah menyambar buntalan pakaiannya dan ketika diserang oleh Kiok Lan, tubuhnya sudah mencelat ke belakang. Kemudian, dia membalik dan mengerahkan tenaga dari ilmu Im-yang Bu-tek cin-kang, mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah daun pintu.
"Braaaakkk...!!" Daun pintu jebol dan dia lalu meloncat ke luar, dan sebelum para peronda yang terkejut dan tercengang itu dapat bergerak, Bun Houw sudah meloncat naik ke atas genteng.
"Mata-mata jahat, akan lari ke mana kau!" bentak Kiok Lan yang sudah meloncat keluar pula melalui pintu yang jebol, dengan pedang di tangan dan iapun melayang naik ke atas genteng melakukan pengejaran.
Namun, Bun Houw sudah menghilang dalam kegelapan malam. Kiok Lan merasa lega dan ia berpura-pura masih mencari-cari sambil berteriak-teriak, menyuruh para penjaga melakukan pencarian di sekitar tempat itu. Tiba-tiba nampak Pouw Cin, Suma Hok dan tiga orang perwira dari pasukan yang dihimpun Siauw Kongcu, berloncatan ke atas genteng.
"Nona, apa yang terjadi?" tanya Suma Hok dan Pouw Cin yang terkejut mendengar ribut-ribut itu. Mereka keluar dari kamar dan mendengar ada mata-mata dari para penjaga yang berada dalam keadaan panik.
Kiok Lan mengerutkan alisnya. "Sialan! Aku gagal menangkapnya! Dia telah berhasil melarikan diri. Cepat kita kejar dan cari dia, tangkap! Bunuh!"
Tanpa memberi kesempatan kepada lima orang itu untuk bicara, Kiok Lan sudah meloncat jauh ke depan, lalu melakukan pengajaran ke sana sini. Tentu saja lima orang itupun bingung. Mereka kini tahu bahwa yang melarikan diri adalah Kwa Bun Houw, akan tetapi ke mana mereka harus mengejar? Pengejaran dan pencarian itu gagal dan kini mereka semua sudah berada di ruangan depan menghadap Siauw Tek yang sudah terbangun dan siap untuk mendengar laporan mereka.
"Paman Pouw, apa yang telah terjadi, kenapa ribut-ribut ini dan aku mendengar keterangan yang tidak jelas dari para pengawal. Kwa Bun Houw melarikan diri? Bagaimana pula ini."
Pouw Cin memberi hormat dan nampak gelisah. "Maaf, Kongcu. Saya sendiri juga tidak mengetahui dengan tepat apa yang telah terjadi. Ketika terdengar suara ribut-ribut, saya terbangun dan lari keluar dari kamar bertemu dengan Suma-taihiap dan tiga orang perwira. Melihat Siocia berada di atas genteng, kami berlompatan naik dan membantu Siocia melakukan pengejaran dan pencarian terhadap Kwa Bun Houw, akan tetapi sia-sia. Dia telah lenyap."
"Siauw-moi, apa yang telah terjadi?”
“Begini, koko. Tadi ketika aku kebetulan lewat didepan kamar di mana koko bersama Paman Pouw dan Suma-toako ini bicara, aku mendengar bahwa Kwa Bun Houw adalah murid dan calon mantu Pangeran Tiauw Sun Ong dan bahwa dia memata-matai kita. Aku menjadi marah dan setelah kuanggap dia tidur pulas, aku memasuki kamarnya untuk membunuhnya. Aku berhasil masuk, aku melihat dia sudah siap dengan buntalannya untuk melarikan diri. Aku menyerangnya, kami berkelahi dalam kamar akan tetapi dia terlalu lihai, koko. Dia menjebol pintu dan melarikan diri. Aku berusaha mengejarnya namun tidak berhasil."
"Ahh, Siauw-moi, kenapa engkau begitu lancang? Kami sudah mengatur rencana untuk menangkapnya besok pagi-pagi. Kenapa engkau telah mendahului kami sehingga dia berhasil melarikan diri?" tegur bekas kaisar itu.
Adiknya memandang dengan alis berkerut dan bibir cemberut. "Aku tidak tahu akan rencana itu, koko. Salahmu sendiri kenapa aku tidak diajak berunding? Begitu mendegar dia murid dan calon mantu Tiauw Sun Ong dan bahwa dia memata-matai kita, aku sudah tidak sabar lagi dan aku ingin membunuhnya..."
"Hemm, engkau lancang, siauw-moi. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bagaimana mungkin engkau mampu menandingi seorang diri saja? Kalau kau memberitahukan kami, tentu kita tidak akan gagal untuk menangkapnya," kembali bekas kaisar itu mengomeli adiknya.
"Saya kira, belum tentu Kwa Bun Houw itu memata-matai kita, Kongcu. Siapa tahu, dia malah dapat kita bujuk untuk membantu perjuangan kita," kata Pouw Cin.
"Itulah yang mengesalkan hatiku, paman! Kalau dia tidak melarikan diri karena diserang Kiok Lan, besok kita dapat membujuknya dan kalau dia mau membantu, berarti kita mendapatkan tenaga yang boleh diandalkan. Sekarang dia telah pergi, kita kehilangan seorang pembantu tangguh."
"Harap Kongcu tidak terlalu kecewa. Andaikata Bun Houw mau menjadi pembantu Kongcu, tetap saja hal itu amat berbahaya. Sebagai murid dan calon mantu Tiauw Sun Ong, bagaimana dia dapat dipercaya? Sekali waktu tentu akan menjadi pengkhianat. Sudahlah, ada baiknya dia pergi dan tidak membahayakan kita lagi. Tentang tenaga bantuan, harap Kongcu tidak khawatir, Aku akan membujuk agar ayahku bersama semua anak buah kami suka membantu Kongcu. dan tenaga bantuan ayahku dan anak, buat kami tentu jauh lebih kuat dan boleh diandalkan dari pada tenaga Bun Houw."
Mendengar ucapan ini, wajah bekas kaisar itu berseri gembira dan dia memandang kepada Suma Hok dengan mata bersinar-sinar. "Ah, benarkah itu, Suma toako? Alangkah baiknya kalau ayahmu suka membantu kami. Aku sudah mengenal baik Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan sudah tahu akan kehebatannya. Kami akan merasa gembira dan beruntung sekali kalau dia suka membantu kami!"
Suma Hok tersenyum. "Aku akan berusaha sedapatku Kongcu. Akan tetapi harus kuakui bahwa memang tidak mudah membujuk ayah. Ayah memiliki watak yang keras dan kalau bukan keluarga sendiri, atau orang yang memiliki hubungan erat atau hubungan keluarga dengan dia, agak sukar dia mau membantu."
"Hemm, kami mengenal siapa ayahmu. Kalau datuk besar itu mau membantu perjuangan kami, kelak kalau kami berhasil tentu tidak akan melupakan jasanya dan kami akan memberi kedudukan yang tinggi."
"Sebagai panglima besar, Kongcu?" cepat Suma Hok mendesak.
Siauw Tek tersenyum, akan tetapi senyumnya agak dingin dan dia menoleh kepada Pouw Cin. "Kedudukan yang tinggi, akan tetapi tentu saja bukan panglima besar karena kami sudah memiliki seorang panglima besar, yaitu Paman Pouw Cin."
"Hemm, saudara muda Suma Hok, belum juga jasa dibuat, bagaimana hendak bicara tentang pahala? Harap jangan khawatir! Kongcu tidak akan melupakan jasa para pembantunya, dan aku sendiri yang akan mencatat semua jasa agar kelak dapat dipertimbangkan, pahala apa yang patut diterima?” kata Pouw Cin dengan nada suara menegur.
Tadi mendengar ucapan bekas kaisar yang sudah menentukan bahwa panglima besarnya adalah Pouw Cin, hati Suma Hok sudah merasa iri dan tidak senang kepada bekas jenderal itu. Kini ditambah lagi dengan ucapan Pouw Cin sendiri, dia merasa direndahkan, akan tetapi dia berpura-pura tidak merasa tersinggung dan tersenyum saja. Pada saat itupun dia sudah mengambil keputusan untuk mencari jalan lain agar derajatnya naik dalam pandangan bekas kaisar itu. Jalan itu adalah melalui Liu Kiok Lan! Kalau saja dia dapat merayu gadis bekas puteri yang cantik jelita itu, dan dapat menarik gadis itu menjadi isterinya, sudah pasti bekas kaisar yang menjadi kakak ipar itu akan lebih mementingkan dia dari pada Pouw Cin!
********************