SEBUAH persekutuan telah diatur, persekutuan yang merupakan ancaman bahaya bagi kerajaan Chi, karena persekutuan itu amat kuat. Di satu pihak bekas kaisar Cang Bu yang dibantu adik iparnya, Suma Hok dan datuk sesat Suma Koan, telah menghimpun pasukan yang berjumlah lima ribu orang. Di lain pihak ada kerajaan Wei di utara yang mau bekerja sama dan telah menyerahkan kerja sama itu kepada Bu-tek Sam-kui yang membentuk pasukan Thian-te Kui-pang yang terdiri diri orang-orang berkepandaian tinggi.
Kalau rencana mereka berhasil dan mereka dapat membujuk Bi Moli dan Ouwyang Toan bekerja sama, maka keselamatan Kaisar Siauw Bian Ong sekeluarganya memang terancam bahaya maut, karena dua orang tokoh kang-ouw ini sekarang telih menduduki jabatan pengawal dalam istana!
Dua orang laki-laki itu bercakap-cakap dalam ruangan rumah ketua Thian-beng-pang. Tuan rumah, ketua Thian beng-pang bernama Ciu Tek itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan pakaiannya sederhana dan ringkas seperti pakaian seorang pesilat, Wajahnya terhias brewok yang membuat dia nampak gagah. Adapun tamunya, seorang pria berusia sebaya dengan tuan rumah, bertubuh kurus dan pakaiannya penuh tambalan.
Akan tetapi dia bukanlah seorang pengemis tua biasa, karena dia adalah ketua Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) yang terkenal di wilayah Nan-king sebelah selatan sungai Yang-ce. Namanya Kam Cu dan sebutannya adalah Hek-tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Hitam). Kumis dan jenggotnya sudah beruban dan biarpun tubuhnya kurus dan tubuh itu nampak lemah, namun dari sinar matanya yang mencorong orang dapat menduga bahwa dia bukanlah orang biasa.
"Menyebalkan sekali mereka itu! Suma Koan dan anaknya memaksa kita untuk menaluk kepada mereka! Huh, siapa tidak tahu bahwa sejak dahulu Kui-siauw Giam-ong terkenal sebagai seorang datuk sesat? Sekarang, setelah kerajaan Liu-sung jatuh dan Kaisar Cang Bu melarikan diri, dia berpura-pura muncul sebagai seorang ksatria yang hendak mendukung Kaisar Cang Bu."
"Kami juga menolak mentah-mentah bujukan mereka, bahkan kami juga mereka ancam. Akan tetapi kami tidak takut," kata ketua Thian-beng-pang. "Kita semua melihat betapa bijaksananya Kaisar Siauw Bian Ong. Bahkan beliau tidak menumpas orang-orang bekas pejabat Liu-sung dan menerima siapa saja yang akan membantu pemerintah kerajaan Chi untuk menenteramkan dan memakmurkan kehidupan rakyat. Bagaimana mungkin pemerintahan yang demikian bijaksana hendak kita tentang? Dan mengembalikan Kaisar Cang Bu yang masih muda dan hanya mengejar kesenangan itu ke atas tahta? Tidak, kami tidak mau dan sudah pasti Suma Koan mempunyai rencana busuk bagi keuntungan dirinya sendiri dengan memperalat bekas kaisar muda itu."
"Inilah akibatnya kalau kaisar Siauw Bian Ong bersikap terlalu baik hati. Di samping segi baiknya mendapat bantuan orang-orang pandai, juga ada segi buruknya, yaitu kelemahan karena kebaikan beliau itu membuka pintu bagi orang-orang sesat untuk ikut menyelinap masuk. Apakah pang-cu tidak mendengar berita bahwa orang-orang yang tadinya terkenal di kang-ouw sebagai golongan sesat. kini ikut pula bekerja di dalam istana?"
Ciu Tek pang-cu dari Thian-beng-pang terkejut dan memandang kepada pencemis tua. "Lokai, siapa yang engkau maksudkan?"
"Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek."
"Ahh!" Ciu Tek membelalakkan matanya. "Kalau Bi Moli Kwan Hwe Li, bagaimanapun juga ia dahulu adalah seorang puteri bangsawan, bahkan kini ayahnya masih tinggal di kota raja. dan adiknya, Kwan Hwe Un menjadi hakim di Bi-ciu, tidak mengherankan kalau ia datang ke kota raja dan bekerja di istana kaisar. Akan terapi Ouwyang Toan putera Bu-eng-kiam, majikan Lembah Bukit Siluman? Hemmm, ini berbahaya sekali!"
"Harap pang-cu tenangkan diri. Kurasa biar seorang seperti Bu-eng-kiam sekalipun tidak akan begitu gila untuk membuat kekacauan di istana. Kaisar memiliki banyak pengawal dan jagoan istana yang cukup tangguh. Sekarang, bagaimana kita harus menghadapi ancaman dari Kui-siauw Giam-ong? Tiga hari lagi dia akan datang untuk minta keputusan kita. Kalau kita menolak, tentu dia akan menyerang."
"Takut apa, Lo-kai? Kalau dia memaksa kita melawan untuk mempertahankan nama dan kehormatan." kata ketua Thian-beng-pang itu.
"Akan tetapi kalau dia menantangmu perkelahian satu lawan satu? Kui-siauw Giam-ong lihai sekali, dan siapa tahu dia juga membawa orang-orang yang lihai. Kabarnya sudah banyak tokoh kang-ouw yang takluk padanya dan mau bekerja sama."
"Tidak usah khawatir, kita menjadi satu dan melawan! Sebaiknya pada hari yang ditentukan, engkau dan anak buahmu berkumpul di sini dan kita bersatu padu menghadapinya, Lo-kai."
"Baik, pangcu. Kita bersatu menghadapi datuk sesat itu!" kata Hek-tung Lo-kai.
Pada hari yang ditentukan, pagi-pagi sekali Hek-tung Lo kai Kam Cu bersama sekitar dua ratus orang anggauta Hek-tung Kai-pang telah berkumpul di rumah perkumpulan Thian-beng p.In! yang juga sudah mengumpulkan anak buahnya sebanyak dua ratus orang lebih. Thian beng-pangcu Ciu Tek menyambut sahabatnya itu dan dia juga sudah siap dengan anak buahnya untuk menghadapi serangan Suma Koan.
Suasana di pusat perkumpulan Thian-ben-;-pang itu nampak hening dan tegang biarpun di situ berkumpul ratusan orang anak buah kedua perkumpulan. Baik Hek-tung Lo-kai Kam Cu maupun Thian-beng-pangcu Ciu Tek tidak mau minta bantuan pasukan keamanan, pemerintah karena urusan ini merupakan urusan mempertahankan kehormatan sehingga mereka akan merendahkan diri kalau sampai minta bantuan pasukan pemerintah. Setelah matahari naik tinggi, semua anak buah kedua perkumpulan telah berbaris di depan pusat perkumpulan Thian-beng-pang yang berdiri di tereng sebuah bukit.
Dari lereng itu. kini nampak serombongan orang tidak begitu besar jumlahnya, hanya sekitar tiga puluh orang, berjalan mendaki bukit. Yang berjalan di depan adalah Suma Koan lalu nampak Suma Hok puteranya, dan seorang yang bertubuh gendut bulat. Yang ke tiga itu adalah Pak-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui yang ikut memperkuat rombongan Suma Koan karena mereka sudah mendengar bahwa perkumpulan Thian-beng-pang dan Hek-tung Kai-pang agaknya hendak membangkang terhadap perintah mereka.
Hek-tung Lo-kai Kam Cu dengan tongkat hitamya di tangan, berdiri di depan anak buahnya, didampingan Thian-beng-pangcu Ciu Tek yang juga berdiri di depan anak buahnya, dengan golok besar siap di pinggang.
Suma Koan tersenyum mengejek setelah dia berhadapan dengan kedua orang ketua itu. "Selamat pagi, Hek-tung Kai-pangcu dan Thian-beng-pangcu. Kami melihat bahwa kalian berdua telah siap menyambut kami. Langsung saja kami ingin mengetahui jawaban kalian terhadap keinginan kami yang telah kami sampaikan tiga hari yang lalu."
"Kami tetap menolak kerja sama dengan pihakmu!" kata Tian-beng-pangcu dengan suara tegas.
"Kami juga menolak kerja sama itu. Kami ingin bebas menentukan langkah sendiri!" kata pula Hek-tung Lo-kai.
"Ha-ha-ha, sudah kami sangka demikian. Kam Cu dan Ciu Tek, kalian sudah berani menolak uluran tangan kami untuk menjadi sahabat, berarti kalian menganggap kami musuh. Kalau begitu, permusuhan ini kita selesaikan secara laki-laki sejati. Kami menantang kalian untuk bertanding satu lawan satu. Beranikah kalian menyambut tantangan kami, ataukah kalian begitu pengecut untuk mengerahkan anak buah kalian melawan kami?"
Terdengar suara bergelak dan Pek-thian-kui yang gendut bulat sudah maju mendampingi Suma Koan. "Ha-ha-ha, aku sudah mendengar nama besar Hek-tung Lo-kai dan ingin sekali mengenal tongkat hitamnya!"
Beberapa orang murid Thian-beng-pang dan Hek-tung-kaipang maju untuk membela ketua mereka, akan tetapi kedua orang ketua itu memberi isyarat agar mereka mundur.
"Musuh datang dan menantang secara laki-laki. Biar dengan taruhan nyawapun, kami adalah laki-laki sejati untuk menyambut tantangan itu dalam pertandingan satu lawan satu," kata mereka.
"Ha-ha-ha, bagus! Majulah kalian berdua dan bersiaplah untuk mati!” Kata Suma Koan sambil mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya.
“Tahan...!!!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ, di sebelah kanan kedua orang ketua itu, telah berdiri seorang pemuda, yang usianya sekitar dua puluh lima tahun. Melihat pemuda itu, Suma Koan dan Suma Hok terkejut, bahkan wajah Suma Hok berubah agak pucat.
"Kau...! Kwa Bun Houw, apakah engkau tidak tahu malu mencampuri urusan kami? Kami hanya berurusan dengan Thian-beng-pang dan Kek-tung Kai-pang, dan engkau tidak ada sangkut pautnya dengan mereka atau kami! Heii, Kam-pangcu dan Ciu-pangcu, apakah kalian sudah begitu pengecut untuk mengundang jagoan dari luar perkumpulan kalian untuk melindungi kalian?"
Disudutkan seperti itu, tentu saja kedua orang ketua itu merasa kehormatan mereka tersinggung. "Kui-siauw Giam-ong, jangan sembarangan menuduh!" bentak Thian-bengcu Ciu Tek, "Kami sama sekali tidak mengenal pemuda ini dan tidak mengundangnya untuk membantu kami!"
Sementara itu, Hek-tung Lo-kai sudah menghadapi Bun Houw dan dia memberi hormat. "Orang muda yang gagah, harap engkau tidak mencampuri urusan kami. Kami ditantang oleh mereka, kami harus menghadapi secara jantan!"
Bun Houw melangkah maju. "Ji-wi pang-cu, harap dengarkan sebentar, dan semua saudara anggauta Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang, harap ikut dengarkan apa yang kukatakan. Ketahuilah bahwa kedua pang-cu ini telah terjebak oleh kecurangan dan kelicikan Kui-siauw Giam-ong dan sekutunya! Karena persekutuan itu tidak berhasil membujuk kedua orang pang-cu untuk bekerja sama, maka kini mereka datang dan menantang, dengan perhitungan bahwa mereka pasti menang. Kalau kedua pang-cu melawan dengan alasan menjaga kehormatan karena ditantang, maka berarti mereka terkena jebakan. Mereka tentu akan tewas seperti banyak dialami oleh para pimpinan perkumpulan yang bernasib sama. Karena itu, tidak semestinya kalau tantangan itu dilayani, bahkan sebaiknya kalau seluruh anggauta kedua perkumpulan bergerak mengusir pengacau brengsek ini dari tempat ini, dan aku akan membantu kalian menghadapi Kui-siauw Giam-ong dan sekutunya!"
Mendengar seruan ini, para anak buah Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang yang memang sejak tadi sudah marah kepada para penyerbu, bersorak penuh semangat.
Pek-thian-kui, orang pertama di Bu-tek Sam-kui yang belum mengenal Bun Houw, memandang rendah pemuda itu. "Bocah pengacau ini biar kusingkirkan lebih dulu!" bentaknya dan tubuhnya yang bulat itu seperti sebuah bola besar menggelinding ke arah Bun Houw dan ternyata dia telah mengirim pukulan jarak jauh dengan kedua tangan didorongkan ke arah pemuda itu dan angin dahsyat menyambar ke arah Bun Houw.
Pemuda ini sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kakek gendut itu lihai sekali, maka diapun sudah mengerahkan tenaga Im-yang Bu-tek Cin-keng, mendorong pula dengan kedua tangan terbuka untuk menyambut serangan yang sepenuhnya mengandalkan hawa sin-kang (tenaga sakti) itu.
"Wuuuuttt... desas...!!”
Dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu dan akibatnya, tubuh yang gendut bundar itu terlempar ke belakang dan bergulingan! Akan tetapi, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui ini memang kebal dan kuat. Dia tidak terluka, hanya terkejut dan sudah meloncat berdiri. Mukanya menjadi merah sekali saking marahnya. Dia, orang pertama dari Tiga Setan Tanpa Tanding, sekali mengadu tenaga, dalam segebrakan saja sudah terguling-guling oleh seorang pemuda tak ternama!
"Singg...!!" Diapun sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar hitam. "Bocah keparat, pedangku akan minum darahmu!"
Akan tetapi Bun Houw tersenyum. "Bukankah engkau ini Pek-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui. Aku mendengar bahwa kok-su (guru negara) dari kerajaan Wei yang berjuluk Thian-te Seng-jin amat lihai dan bahwa di antara para muridnya terdapat Bu-tek Sam-kui. Sebaiknya kalau engkau kembali saja ke utara, tidak membuat kekacauan di daerah selatan sini!"
"Bocah sombong, majulah. Mari kita bertanding sampai seribu jurus!" Si gendut yang merasa malu karena kekalahannya tadi, menantang untuk mengangkat kembali namanya yang tentu akan jatuh karena di depan banyak orang dia dikalahkan dalam segebrakan!
"Baik, aku menyambut tantanganmu. Pek-thian-kui!" Dan begitu tangan kanan Bun Houw bergerak, nampak kilat menyambar dan semua orang menjadi silau oleh sinar pedang Lui-kong-kiam!
Pek-thian-kui terbelalak, akan tetapi dia sudah menerjang dengan pedangnya yang bersinar hitam. Bun Houw mengerahkan tenaga lagi dan menggerakkan Lui-kong-kiam, menangkis dan sengaja mengadu tenaga lewat pedang.
"Trakkk...!" terdengar suara nyaring dan si gendut kembali meloncat ke belakang dengan muka pucat memandang pedang hitamnya yang sudah buntung, patah ketika bertemu dengan pedang di tangan Bun Houw. Kini dia tidak ragu lagi.
"Lui-kong-kiam (Pedang Kilat)...!!" serunya gentar. Dahulu, pedang itu pernah menjadi rebutan para tokoh persilatan, akan tetapi akhirnya terjatuh ke tangan Tiauw Sun Ong pendekar buta yang amat lihai.
Bun Houw tersenyum dan menyimpan kembali pedangnya. "Apakah engkau masih ingin melanjutkan perkelahian, Pek-thian-kui? Atau engkau yang akan maju, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan? Dan bagaimana dengan engkau, Suma Hok?” Bun Houw sengaja menantang untuk membikin panas hati ayah dan anak itu.
Sementara itu, kedua orang pangcu hanya menonton dengan hati penuh kagum dan diam-diam bersukur bahwa ada bintang penolong datang. Kalau tidak, mungkin mereka berdua akan tewas di tangan masuh.
Suma Hok memandang dengan muka merah, akan tetapi tidak berani menyambut tantangan itu, sedangkan Suma Koan yang melihat betapa mudahnya orang pertama Bu-tek Sam-kui dikalahkan Bun Houw, juga menjadi ragu. Dia sendiri gentar terhadap Tiauw Sun Ong, akan tetapi tadinya masih memandang remeh murid Tiauw Sun Ong ini. Setelah tadi dia melihat betapa Bun Houw dengan mudah mengalahkan Pek-thian-kui, dia maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi Si Pedang Kilat.
"Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang telah mengundang murid hekas pangeran Tiauw Sun Ong, mulai sekarang, kalian adalah musuh-musuh kami. Lain kali kami akan datang membikin perhitungan!"
Setelah berkala demikian, Suma Koan memberi isarat dan bersama Suma Hok dan Pek-thian-kui yang merasa tidak akan mampu menang, dia meninggalkan tempat itu, diikuti semua anak buah mereka yang juga sudah merasa gentar melihat demikian banyaknya anak buah kedua perkumpulan itu yang agaknya sudah dipanaskan hatinya oleh ucapan Bun Houw tadi.
Sebetulnya, tiga puluh orang anak buah penyerbu itu adalah orang-orang Thian-te Kui-pang, dan mereka terdiri dari orang-orang yang lihai dan mereka tidak akan gentar melawan anak buah Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang. Akan tetapi menyaksikan kelihaian Si Pedang Kilat, mereka menjadi gentar juga. Pemimpin mereka saja, yang juga merupakan guru mereka, dalam segebrakan dikalahkan pemuda itu, apa lagi mereka!
"Kejar mereka! Banuh!" Terdengar teriakan-teriakan anak buah kedua perkumpulan, akan tetapi Bun Houw mengangkat tangan. "Jangan! Biarkan mereka pergi!"
Juga ketua dari dua perkumpulan itu mencegah anak buah mereka untuk melakukan pengejaran. Kara Cu dan Ciu Tek maklum bahwa tanpa bantuan Kwa Bun Houw, mereka berdua bersama anak buah mereka tidak akan mampu mengalahkan rombongan penyerbu itu. Keduanya lalu menghadapi Bun Houw dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Terima kasih atas bantuan tai-hiap." kata Hek-tung Lo-kai.
"Kalau tidak tai-hiap yang muncul, pasti kami berdua telah tewas dan entah bagaimana jadinya dengan perkumpulan kami." kata pula Thian-beng-pang Ciu Tek.
"Sudahlah, ji-wi pang-cu (ketua berdua) telah kena dijebak oleh Suma Koan. Dia memang licik sekali. Kalau ji-wi tidak menghadapi tantangan mereka, akan tetapi mengerahkan semua anak buah ji-wi, kiranya tidak akan mudah bagi mereka untuk menggertak. Juga, kalau ji-wi menghubungi pasukan keamanan, tentu akan mendapatkan bantuan karena pasukan keamanan pemerintah kini amat memperhatikan keamanan daerahnya."
"Tai-hiap, mari kita bicara di dalam. Kami merasa kagum kepada tai-hiap yang masih begini muda telah memiliki kepandaian tinggi. Pantas sekali julukan Si Pedang Kilat bagi tai-hiap." kata pula tuan rumah, ketua Thian-beng-pang.
"Benar, silakan tai-hiap. Kami juga ingin sekali mendengar tentang keadaan sekarang ini dan apa pula yang mendorong tindakan mereka tadi," kata Hek-tung Lo-kai.
Bun Houw merasa tidak enak untuk menolak dan diapun mengikuti mereka berdua memasuki pusat perkumpulan Thian-beng-pang itu. Diam-diam dia tersenyum dalam hatinya. Kedua orang ketua ini tadi mendengar seruan Pek-thian-kui nama pedangnya yaitu Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) dan menganggap bahwa itu adalah nama julukannya. Akan tetapi dia diam saja dan tidak menyangkal. Apa salahnya kalau dia dikenal sebagai Si Pedang Kilat? Setelah mereka memasuki rumah Thian-beng-pangcu Ciu Tek, mereka lalu bercakap-cakap sambil menikmati hidangan yang dikeluarkan tuan rumah untuk menyambut pemuda itu.
"Dapatkah Kwa-taihiap menerangkan mengapa seorang datuk seperti Suma Koan, tiba-tiba saja menaklukkan banyak perkumpulan, bahkan memaksa mereka takluk kalau tidak mau dibujuk? Apa yang tersembunyi di balik tindakannya itu?" tanya Ciu Tek.
"Tadinya aku menganggap bahwa dia hanya ingin mengangkat diri menjadi beng-cu di dunia persilatan, akan tetapi setelah tadi aku melihat dia muncul bersama Pek-thian-kui, aku merasa curiga sekali. Ketahuilah, ji-wi pangcu. sekarang Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, membantu bekas kaisar Cang Bu yang bersiap-siap untuk merampas kembali tahta kerajaan."
"Ahhh...!!" kedua orang pang-cu itu berseru kaget.
Bun Houw menghela napas panjang. "Sebetulnya, orang-orang seperti kita ini yang hanya berkewajiban mempertahankan kebenaran dan keadilan, membela rakyat kecil yang tertindas, tidak perlu mencampurkan diri ke dalam perebutan kekuasaan itu. Adalah hak bekas kaisar Cang Bu untuk mencoba merampas kembali tahta kerajaan. Akan tetapi kalau dia melakukan hal itu, berarti terjadi lagi perang dan kembali rakyat yang akan menderita sebagai akibat perang. Apalagi mengingat betapa dahulu, ketika kaisar Cang Bu masih berkuasa, dia terlalu lemah sehingga hampir semua pejabat menyelewengkan kekuasaan masing-masing dengan tindakan korupsi dan kesewenang-wenangan, dan sekarang kita melihat sendiri betapa baiknya kaisar yang baru memegang pemerintahan, tegas, adil dan juga memperhatikan nasib rakyat jelata. Aku sendiri tidak ingin terlibat dalam perebutan kekuasaan itu, akan tetapi sekarang aku melihat gejala yang amat tidak haik. Munculnya Suma Koan bersama Pek-Thian-kui sungguh mencurigakan. Pek-thian-kui adalah orang pertama dari Bu-tek Sam-kui, yang merupakan tokoh-tokoh dan jagoan dari istana kerajaan Wei di utara, sedangkan Suma Koan jelas membantu bekas kaisar Cang Bu. Besar kemungkinannya, bekas kaisar Cang Bu agaknya kini bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, dan mereka bermaksud menguasai dunia kang-ouw untuk persiapan perang mereka terhadap kerajaan Chi yang baru.”
“Ah, kalau begitu berbahaya sekali, taihiap!" kata Ciu Tek ketua Thian-beng-pai. "Lalu, apa yang harus kami lakukan untuk mencegah terjadinya hal itu?"
"Tidak ada jalan lain, kita harus menentang mereka menguasai dunia persilatan. Sebaiknya kalau ji-wi mengusahakan agar dapat berhubungan dengan para ketua perkumpulan persilatan lain yang tidak mau mereka peralat dan kita bersama mendirikan kubu yang kuat. Kalau perlu, kita mengadakan pemilihan beng-cu tandingan."
"Bagus sekali itu!” kata Hek-tung Kai-pang. "Aku akan menghubungi seluruh kai-pang di negeri ini agar mendukung Si Pedang Kilat untuk menjadi bengcu!”
"Benar, kamipun mendukung Kwa-taihiap menjadi bengcu!" kata pula Ciu Tek.
Bun Houw mengangkat tangan ke atas. "Harap ji-wi tidak salah duga. Aku sama sekali tidak ingin menjadi beng-cu. Aku hanya ingin menentang dan menjaga agar kedudukan beng-cu tidak dipegang orang yang dapat diperalat persekutuan antara bekas kaisar Cang Bu dan kerajaan Wei. Kalau kerajaan Wei dari utara hendak menyerang selatan, bagaimanapun juga kita harus menentangnya!"
"Kami akan mengerjakan usul taihiap. Akan tetapi, bagaimana caranya kalau kami hendak menghubungi taihiap? Kalau muncul suatu persoalan dan kami ingin minta petunjuk tai-hiap, bagaimana kami dapat menghubungimu?"
"Aku yang akan datang ke sini, pang-cu. Aku akan berada di sekitar Nan-king dan kalau, ada keperluan mendadak, mungkin aku bertemu dengan anak buah Hek-tung Kai-pang dan melalui mereka pang-cu dapat menghubungiku."
Selagi mereka bercakap-cakap, seorang anggauta Thian-beng-pang mengetuk pintu ruangan itu. Ketika dia disuruh masuk, dia memberi hormat, "Maafkan gangguan saya, pang-cu. Akan tetapi di luar datang seorang tamu yang katanya mempunyai keperluan penting untuk Hek-tung Kai-pangcu."
"Hemm, siapakah dia dan dari mana?" tanya ketua perkumpulan pengemis itu.
"Mengatakan datang dari kota raja, diutus oleh Thai-kam (Sida-sida) Koan." jawab anggauta Thian-beng-pang itu.
Mendengar ini, ketua Hek-tung Kai-pang nampak bergairah. "Ah. kalau begitu, minta dia masuk sekarang juga!" Setelah orang itu pergi, dia memberitahu kepada Ciu Tek dan Bun Houw, "Thai-kam Koan adalah sahabatku yang bekerja di istana kaisar. Dari dialah aku dapat mengetahui semua keadaan dalam istana, dan kini dia mengutus seseorang datang kepadaku, tentu ada berita penting dari istana."
Mendengar itu, sahabatnya, ketua Thian-beng-pang, mengangguk-angguk, Bun Houw juga kagum. Kiranya Kam Cu, biarpun hanya pemimpin para pengemis, mempunyai hubungan yang luas sampai dapat mengetahui keadaan dalam istana kaisar Siauw Bian Ong. Tak lama kemudian, masuklah seorang laki-laki tua yang pakaiannya seperti seorang buruh kecil, sederhana dan bahkan butut. Dia memberi hormat kepada tiga orang itu.
"Harap memaafkan kalau saya mengganggu sam-wi. Saya perlu bertemu dengan Hek-tung Lo-kai..."
"A-sin, ada kepentingan apakah sampai engkau menyusulku ke sini?" tanya Hek-tung Lo-kai yang sudah mengenal orang itu.
"Maaf, pang-cu. Tadi aku pergi ke markas Hek-tung-kaipang, di sana kosong dan aku, mendengar bahwa pangcu berada di sini, maka aku langsung menyusul ke sini karena Koan-thaikam memesan agar suratnya dapat secepat mungkin kuserahkan kepada pang-cu.”
Dia mengeluarkan segulung surat dari dalam saku bajunya dan menyerahkannya kepada ketua Hek-tung Kai-pang itu. Ketua itu menerimanya dan membuka gulungan, lalu membacanya. Alisnya berkerut dan matanya terbelalak lalu tanpa banyak cakap dia menyerahkan surat itu kepada Ciu Tek. Ketua Thian-beng-pang inipun membacanya dan wajahnya berubah pucat.
"Tai-hiap, silakan baca surat ini. Penting sekali!" katanya dan Kam Cu mengangguk menyetujui.
Bun Houw yang tadinya tidak memperhatikan karena mengira bahwa surat itu merupakan urusan pribadi, menyambut dan membaca surat itu. Dalam surat itu, secara ringkas dikabarkan bahwa Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan telah mengundang Bu-eng-kiam Ouwyang Sek ke istana dan bahkan diterima oleh Kaisar Siauw Bian Ong. Akan tetapi bukan itu yang terpenting, melainkan bahwa mereka bertiga itu membentuk persekutuan dengan orang-orang dari kerajaan Wei. mengadakan persekongkolan untuk membunuh Kaisar Siauw Bian Ong sekeluarga berikut para pembantu yang setia kepada kaisar baru ini! Dan bahwa Koan-thaikam mengharapkan bantuan sahabatnya, Hek-tung Lo-kai untuk membantu dan menyelamatkan kaisar dari ancaman bahaya itu.
"Hemm, kiranya keluarga Ouwyang telah dapat pula menyelundup ke istana?" kata Bun Houw, mengerutkan alisnya karena kalau ayah dan anak itu di sana, berarti memang ancaman bahaya bagi keselamatan kaisar.
"Bukan mereka saja, akan tetapi juga Kwan Hwe Li bekerja di sana sebagai pengawal permaisuri," kata Hek-tung Lo-kai. "Memang di istana terdapat banyak jagoan istana yang tangguh, akan tetapi kalau mereka itu terlalu dekat dengan kaisar, tentu akan sulit untuk menjamin keselamatan kaisar. Jalan satu-satunya adalah mengharapkan bantuanmu Kwa-taihiap!"
"Hemm, aku siap menghadapi kejahatan mereka. Akan tetapi bagaimana aku dapat melindungi kaisar?" tanya pemuda ini ragu.
"Kalau tai-hiap muncul seperti biasa dan persekutuan itu mengetahui, tentu mereka akan menjadi waspada dan keadaan menjadi semakin berbahaya. Sebaiknya thai-hiap menyamar dan biar oleh Koan-thaikam dihadapkan sribaginda agar thai-hiap dapat diterima menjadi pengawal pribadi. Tentang penyamaran, harap jangan khawatir karena kami mempunyai ahli-ahli penyamaran yang akan dapat menyulap tai-hiap menjadi orang lain." kata-Hek-tung Lo-kai.
Demikianlah, pada hari itu juga Hek-tung Lo-kai memberi kabar kepada Koan-thaikam melalui A-sin agar thaikam itu dapat membuat persiapan menyambut Bun Houw di istana. Setelah semua siap, Bun Houw dipertemukan dengan Koan thaikam dan diajak masuk istana. Kini tak seorangpun akan dapat mengenal Bun Houw karena wajahnya telah berubah sama sekali. Muka yang biasanya halus tampan itu berubah menjadi muka yang ternoda bopeng (bekas cacar), juga bentuk hidung dan matanya berubah. Orang yang terdekat sekalipun dengan Bun Houw, akan sukar dapat mengenalnya.
Sebelumnya. Koan-thaikam telah memberi tahu kepada Kaisar bahwa dia mempunyai seorang keponakan yang memiliki ilmu silat tinggi dan dapat diandalkan untuk menjadi pengawal pribadi kaisar, atau menambah lagi pasukan pengawal pribadi. Kaisar amat percaya kepada Koan-thaikam yang memang amat setia kepadanya itu, maka pada hari itu, kaisar berjanji akan menerima keponakan Koan-thaikam yang bernama Koan Jin itu.
Ketika pada pagi hari itu Koan-thaikam menghadapkan seorang pemuda yang wajahnya bopeng dan tidak mengesankan, kaisar menerimanya dengan alis berkerut dan nampak kecewa. Keponakan Thai-kam kepercayaannya itu sungguh tidak mengesankan, selain mukanya tidak menarik juga penampilannya tidak dapat membayangkan seorang yang kuat. Bahkan pasukan pengawal yang berjaga di ruangan itu, yang dipimpin Ouwyang Toan sebagai perwira pasukan pengawal, melirik dengan senyum mengejek.
Mereka sudah mendengar dari para thai-kam bahwa Koan-thaikam akan memasukkan keponakannya sebagai calon anggauta pengawal pribadi kaisar! Pada hal selama Ouwyang Toan berada di situ, dialah yang sudah memasukkan enam orang pengawal baru yang telah diuji kepandaiannya dan kini menjadi anak buah pasukan pengawal istana. Biarpun hatinya merasa panas karena ada thaikam berani mengajukan keponakannya sendiri sebagai calon pengawal, akan tetapi Ouwyang Toan tidak berani memperlihatkan ketidaksenangan hatinya.
Dia tahu bahwa Koan-thaikam adalah seorang thaikam kepercayaan kaisar, sedangkan dia sendiri adalah seorang perwira pengawal yang masih baru. Akan tetapi dia sudah bersepakat dengan anak buahnya untuk menggagalkan keponakan thaikam itu menjadi pengawal, dan dalam ujian ilmu silat, mereka dapat membuat keponakan thaikam itu dan Koan-thaikam sendiri mendapat malu. Apalagi ketika melihat calon pengawal itu masuk dengan sikap takut-takut dari dusun, mereka saling pandang dan tersenyum mengejek.
Setelah mengamati sejenak pemuda yang nampak tidak mengesankan itu, Sribaginda Kaisar Siauw Bian Ong, yang juga merupakan seorang ahli silat yang cukup tangguh, karena ketika dia masih bernama Souw Hui Kong, dia adalah seorang petualang yang telah mempelajari banyak ilmu sehingga akhirnya dia berhasil menumbangkan kerajaan Liu-sung yang telah menjadi lemah dan mendirikan kerajaan Chi, berkata kepada thaikam kepercayaannya dengan nada menegur,
"Koan thaikam, tidak kelirukah permohonanmu untuk memasukkan keponakanmu ini sebagai seorang pengawal istana? Engkau tentu tahu bahwa seorang pengawal istana harus memiliki ilmu kepandaian tinggi, apalagi sebagai pengawal pribadi kami yang melindungi keselamatan kami, haruslah seorang yang benar-benar tangguh dan sakti."
"Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak keliru, karena keponakan hamba ini, Koan Ji, sejak kecil telah berguru kepada ratusan orang guru silat yang pandai dan kini dia telah memiliki ilmu kepandaian silat yang ampuh."
Kembali para anggauta pasukan pengawal tersenyum simpul dan kebetulan Kaisar memandang kepada mereka sehingga tanpa disengaja kaisar melihat mereka bersenyum simpul mengejek. Hal ini membuat kaisar merasa tidak senang kepada mereka.
"Koan-thaikam, apakah keponakanmu ini siap untuk diuji kepandaiannya?"
"Tentu saja, Yang Mulia. Dia sudah siap untuk menghadapi ujian."
Kembali kaisar memandang kepada Bun Houw. Wajah yang tidak meyakinkan dan tidak menarik. Akan tetapi, hal ini malah menguntungkan. Sebaiknya memang pasukan pengawal istana terdiri dari laki-laki yang wajahnya buruk dan tidak menarik bagi wanita untuk mencegah terjadinya hal-hal yang akan menodai nama dan kehormatan istana kalau sampai ada wanita istana jatuh cinta kepada seorang anggauta pasukan pengawal. Untuk mencegah perjinaan seperti itulah maka semua petugas istana yang pria diharuskan menjadi sida-sida, karena seorang thai-kam sudah bukan pria normal lagi, tidak dapat lagi berjina dengan wanita.
"Koan Ji, beranikah engkau kami suruh melawan seorang di antara para perajurit pengawal itu?" Dia menuding ke arah para pengawal yang berdiri tegak dalam barisan di, bagian luar ruangan itu.
Koan Ji yang berlutut itu memberi hormat. "Siapa saja yang mengancam keamanan paduka dan seisi istana, pasti akan hamba lawan mati-matian, Yang Mulia!” kata Kwa-Bun Houw dengan sikap seperti seorang dusun.
Kaisar Siauw Bian Ong tertawa. "Ha-ha. maksud kami bukan melawan sebagai musuh. Mereka adalah anggauta pasukan pengawal dan mereka semua sudah lulus ujian ketangkasan. Engkau akan kami uji dengan bertanding ilmu silat melawan seorang di antara mereka. Yang mana kau pilih?"
Bun Houw menoleh ke arah selusin perajurit pengawal yang dikepalai Ouwyang Toan, lalu dia memberi hormat lagi, "Yang mana pun akan hamba hadapi, Yang Mulia."
"Bagus! Ouwyang-ciangkun pilihkan seorang di antara anak buahmu untuk menguji apakah keponakan Koan-thaikam ini pantas menjadi pengawal pribadi kami."
"Maaf, Yang Mulia. Untuk menjadi anggauta pasukan pengawal istana, memang cukup dapat menandingi seorang di antara anak buah hamba. Akan tetapi untuk menjadi pengawal pribadi paduka, dia haruslah seorang yang benar-benar tangguh dan sedikitnya memiliki tingkat kepandaian dua kali lipat dari tingkat seorang perajurit pengawal istana. Karena itu, sebaiknya kalau calon ini dapat menghadapi dan menandingi pengeroyokan dua atau tiga orang perajurit pengawal." kata Ouwyang Toan.
Kaisar itu mengangguk-angguk dan kembali berkata kepada Bun Houw yang maklum bahwa Ouwyang Toan jelas tidak menghendaki ada pengawal pribadi kaisar yang baru. "Bagaimana, Koan Ji. Beranikah engkau melawan dua atau tiga orang perajuril pengawal istana? Kalau engkau merasa tidak sanggup, katakan saja. Kami tidak ingin bersikap sewenang-wenang, hanya ingin menguji kemampuanmu."
"Kalau paduka memerintahkan, biar menghadapi berapa saja lawan, hamba siap untuk menandinginya, Yang Mulia." kata Bun Houw dengan sikap bersahaja.
Kaisar Siauw Bian Ong kembali tertawa gembira. "Ha-ha ha, baru semangatmu saja sudah menyenangkan hati kami, Koan Ji. Nah, Ouwyang-ciangkun, engkau sudah mendengar sendiri. Calon pengawal pribadi ini berani menghadapi pengeroyokan tiga orang anak buahmu.”
"Baik, Yang Mulia. Hamba akan memilih tiga orang di antara mereka."
Ouwyang Toan memilih tiga orang anak buahnya yang paling jagoan. Tiga orang ini bukan sembarangan orang. Mereka adalah jagoan-jagoan dari Thian-te Kui pang dan tingkat kepandaian masing-masing hanya sedikit di bawah tingkat Ouwyang Toan! Biar Ouwyang Toan sendiri, agaknya tidak akan mungkin menang menghadapi pengeroyokan tiga orang anak buahnya ini dan kini dia mengajukan mereka untuk mengeroyok seorang calon, perajurit pengawal!
Tiga orang pengawal itu setelah memberi hormat kepada Kaisar, lalu siap dan mengepung Bun Houw yang juga sudah memberi hormat dan bangkit berdiri, membiarkan dirinya dikepung oleh tiga orang lawan yang membentuk segi tiga. Seorang di depannya, seorang di kanan dan seorang di kiri. Diam-diam dia mengamati mereka dan gerak-gerik mereka. Seorang yang menghadapinya adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar seperti raksasa yang mukanya penuh brewok tebal dan nampak menyeramkan.
Yang berada di kirinya seorang laki-laki tinggi kurus muka hitam arang, sedangkan yang berada di sebelah kanannya seorang laki-laki bertubuh sedang dan didahinya terdapat codet bekas bacokan senjata tajam. Sikap mereka ketika memegang kuda-kuda saja memperlihatkan bahwa mereka adalah orang-orang yang kuat dan usia mereka rata-rata tiga puluh tahun.
Bun Houw memutar tubuhnya membelakangi mereka, memberi hormat lagi kepada kaisar dan diapun berkata, "Hamba telah siap, Yang Mulia. Mereka itu boleh mulai menyerang sekarang."
"Heii, Koan Ji, kenapa engkau membelakangi tiga orang lawanmu?" tiba-tiba Koan-thaikam berseru karena merasa cemas melihat betapa pemuda itu membelakangi tiga orang pengeroyoknya.
"Ha-ha, kenapa engkau melakukan itu, Koan Ji? Bagaimana engkau dapat melawan tiga orang itu kalau engkau berdiri membelakangi mereka?" Kaisar juga bertanya heran dan geli.
"Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak berani sedemikian kurang sopan untuk berdiri membelakangi paduka."
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Sribaginda Kaisar tertawa bergelak. Pemuda ini memang lucu dan aneh. Pikirnya "Kalau begitu, kalian saling berhadapan di sebelah kiri dan kanan, jadi tidak adanya membelakangiku." katanya.
Kini tiga orang itu sudah siap, ketiganya menghadapi Bun Houw yang berdiri seenaknya, namun waspada dan siap siaga. "Aku sudah siap, kalian boleh mulai!” katanya tenang.
Tiga orang anggauta Thian-te Kui pang itu sebetulnya menanti agar Bun How menyerang lebih dulu. Mereka merasa diri mereka tangguh, dan bagaimanapun mereka agak malu karena harus mengeroyok seorang calon pengawal yang kelihatannya lemah. Akan tetapi karena pemuda itu tidak mau menyerangnya dan mempersilakan mereka yang maju lebih dulu, merekapun mulai menyerang. Serangan mereka merupakan pukulan yang kuat dan berat, juga cepat. Bun Houw menggerakkan tubuh, dia menangkisi semua pukulan itu.
Begitu kedua lengan bertemu, seorang penyerang mengeluh karena merasa seolah-olah lengannya bertemu dengan besi panas yang amat keras! Demikian pula orang ke dua dan ke tiga. Si raksasa brewok yang merasa paling kuat dan besar tenaganya, mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga dari atas ke arah kepala Bun Houw. Pemuda ini mengangkat lengan kiri menangkis.
"Dukk...!"
"Uuhhh...!" Si raksasa brewok berteriak kesakitan, dan terhuyung ke belakang. Bun Houw hanya mengandalkan tanaga sinkangnya, karena dia tidak ingin memperlihatkan kepandaiannya sehingga akan mencurigakan hati Ouwyang Toan. Dia tidak mau memperkenalkan diri dan dengan tenaga sin-kang dia menangkis, juga mengelak sehingga dia sama sekali tidak mengeluarkan ilmu silat yang akan dikenal Ouwyang Toan.
Karena merasa malu, tiga orang itu menahan rasa nyeri dan mereka menyerang semakin kuat dan gencar. Bahkan si raksasa brewok mengandalkan kakinya yang besar, kokoh dan panjang, mengayun kaki kirinya menendang. Tendangan itu kuat bukan main dan sekiranya mengenai tubuh Bun Houw, agaknya tubuh yang tidak berapa besar itu akan terlempar sampai beberapa meter jauhnya. Akan tetapi, Bun Houw tidak mengelak, bahkan menggerakkan pula kaki kanannya menyambut atau menangkis tendangan itu.
"Dukkk...!"
Kini si brewok raksasa itu menggigit bibir. Kiut-miut rasa kakinya, seperti patah-patah tulangnya, rasa nyeri sampai menyengat seluruh tubuh sampai ke ubun-ubun dan karena dia menahan rasa nyeri sambil menggigit bibir, kakinya yang tidak tahan dan diapun mengangkat kaki kiri ke belakang, memeganginya dap berloncat-loncatan dengan kaki kanan...!
Kalau rencana mereka berhasil dan mereka dapat membujuk Bi Moli dan Ouwyang Toan bekerja sama, maka keselamatan Kaisar Siauw Bian Ong sekeluarganya memang terancam bahaya maut, karena dua orang tokoh kang-ouw ini sekarang telih menduduki jabatan pengawal dalam istana!
Dua orang laki-laki itu bercakap-cakap dalam ruangan rumah ketua Thian-beng-pang. Tuan rumah, ketua Thian beng-pang bernama Ciu Tek itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan pakaiannya sederhana dan ringkas seperti pakaian seorang pesilat, Wajahnya terhias brewok yang membuat dia nampak gagah. Adapun tamunya, seorang pria berusia sebaya dengan tuan rumah, bertubuh kurus dan pakaiannya penuh tambalan.
Akan tetapi dia bukanlah seorang pengemis tua biasa, karena dia adalah ketua Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) yang terkenal di wilayah Nan-king sebelah selatan sungai Yang-ce. Namanya Kam Cu dan sebutannya adalah Hek-tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Hitam). Kumis dan jenggotnya sudah beruban dan biarpun tubuhnya kurus dan tubuh itu nampak lemah, namun dari sinar matanya yang mencorong orang dapat menduga bahwa dia bukanlah orang biasa.
"Menyebalkan sekali mereka itu! Suma Koan dan anaknya memaksa kita untuk menaluk kepada mereka! Huh, siapa tidak tahu bahwa sejak dahulu Kui-siauw Giam-ong terkenal sebagai seorang datuk sesat? Sekarang, setelah kerajaan Liu-sung jatuh dan Kaisar Cang Bu melarikan diri, dia berpura-pura muncul sebagai seorang ksatria yang hendak mendukung Kaisar Cang Bu."
"Kami juga menolak mentah-mentah bujukan mereka, bahkan kami juga mereka ancam. Akan tetapi kami tidak takut," kata ketua Thian-beng-pang. "Kita semua melihat betapa bijaksananya Kaisar Siauw Bian Ong. Bahkan beliau tidak menumpas orang-orang bekas pejabat Liu-sung dan menerima siapa saja yang akan membantu pemerintah kerajaan Chi untuk menenteramkan dan memakmurkan kehidupan rakyat. Bagaimana mungkin pemerintahan yang demikian bijaksana hendak kita tentang? Dan mengembalikan Kaisar Cang Bu yang masih muda dan hanya mengejar kesenangan itu ke atas tahta? Tidak, kami tidak mau dan sudah pasti Suma Koan mempunyai rencana busuk bagi keuntungan dirinya sendiri dengan memperalat bekas kaisar muda itu."
"Inilah akibatnya kalau kaisar Siauw Bian Ong bersikap terlalu baik hati. Di samping segi baiknya mendapat bantuan orang-orang pandai, juga ada segi buruknya, yaitu kelemahan karena kebaikan beliau itu membuka pintu bagi orang-orang sesat untuk ikut menyelinap masuk. Apakah pang-cu tidak mendengar berita bahwa orang-orang yang tadinya terkenal di kang-ouw sebagai golongan sesat. kini ikut pula bekerja di dalam istana?"
Ciu Tek pang-cu dari Thian-beng-pang terkejut dan memandang kepada pencemis tua. "Lokai, siapa yang engkau maksudkan?"
"Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek."
"Ahh!" Ciu Tek membelalakkan matanya. "Kalau Bi Moli Kwan Hwe Li, bagaimanapun juga ia dahulu adalah seorang puteri bangsawan, bahkan kini ayahnya masih tinggal di kota raja. dan adiknya, Kwan Hwe Un menjadi hakim di Bi-ciu, tidak mengherankan kalau ia datang ke kota raja dan bekerja di istana kaisar. Akan terapi Ouwyang Toan putera Bu-eng-kiam, majikan Lembah Bukit Siluman? Hemmm, ini berbahaya sekali!"
"Harap pang-cu tenangkan diri. Kurasa biar seorang seperti Bu-eng-kiam sekalipun tidak akan begitu gila untuk membuat kekacauan di istana. Kaisar memiliki banyak pengawal dan jagoan istana yang cukup tangguh. Sekarang, bagaimana kita harus menghadapi ancaman dari Kui-siauw Giam-ong? Tiga hari lagi dia akan datang untuk minta keputusan kita. Kalau kita menolak, tentu dia akan menyerang."
"Takut apa, Lo-kai? Kalau dia memaksa kita melawan untuk mempertahankan nama dan kehormatan." kata ketua Thian-beng-pang itu.
"Akan tetapi kalau dia menantangmu perkelahian satu lawan satu? Kui-siauw Giam-ong lihai sekali, dan siapa tahu dia juga membawa orang-orang yang lihai. Kabarnya sudah banyak tokoh kang-ouw yang takluk padanya dan mau bekerja sama."
"Tidak usah khawatir, kita menjadi satu dan melawan! Sebaiknya pada hari yang ditentukan, engkau dan anak buahmu berkumpul di sini dan kita bersatu padu menghadapinya, Lo-kai."
"Baik, pangcu. Kita bersatu menghadapi datuk sesat itu!" kata Hek-tung Lo-kai.
Pada hari yang ditentukan, pagi-pagi sekali Hek-tung Lo kai Kam Cu bersama sekitar dua ratus orang anggauta Hek-tung Kai-pang telah berkumpul di rumah perkumpulan Thian-beng p.In! yang juga sudah mengumpulkan anak buahnya sebanyak dua ratus orang lebih. Thian beng-pangcu Ciu Tek menyambut sahabatnya itu dan dia juga sudah siap dengan anak buahnya untuk menghadapi serangan Suma Koan.
Suasana di pusat perkumpulan Thian-ben-;-pang itu nampak hening dan tegang biarpun di situ berkumpul ratusan orang anak buah kedua perkumpulan. Baik Hek-tung Lo-kai Kam Cu maupun Thian-beng-pangcu Ciu Tek tidak mau minta bantuan pasukan keamanan, pemerintah karena urusan ini merupakan urusan mempertahankan kehormatan sehingga mereka akan merendahkan diri kalau sampai minta bantuan pasukan pemerintah. Setelah matahari naik tinggi, semua anak buah kedua perkumpulan telah berbaris di depan pusat perkumpulan Thian-beng-pang yang berdiri di tereng sebuah bukit.
Dari lereng itu. kini nampak serombongan orang tidak begitu besar jumlahnya, hanya sekitar tiga puluh orang, berjalan mendaki bukit. Yang berjalan di depan adalah Suma Koan lalu nampak Suma Hok puteranya, dan seorang yang bertubuh gendut bulat. Yang ke tiga itu adalah Pak-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui yang ikut memperkuat rombongan Suma Koan karena mereka sudah mendengar bahwa perkumpulan Thian-beng-pang dan Hek-tung Kai-pang agaknya hendak membangkang terhadap perintah mereka.
Hek-tung Lo-kai Kam Cu dengan tongkat hitamya di tangan, berdiri di depan anak buahnya, didampingan Thian-beng-pangcu Ciu Tek yang juga berdiri di depan anak buahnya, dengan golok besar siap di pinggang.
Suma Koan tersenyum mengejek setelah dia berhadapan dengan kedua orang ketua itu. "Selamat pagi, Hek-tung Kai-pangcu dan Thian-beng-pangcu. Kami melihat bahwa kalian berdua telah siap menyambut kami. Langsung saja kami ingin mengetahui jawaban kalian terhadap keinginan kami yang telah kami sampaikan tiga hari yang lalu."
"Kami tetap menolak kerja sama dengan pihakmu!" kata Tian-beng-pangcu dengan suara tegas.
"Kami juga menolak kerja sama itu. Kami ingin bebas menentukan langkah sendiri!" kata pula Hek-tung Lo-kai.
"Ha-ha-ha, sudah kami sangka demikian. Kam Cu dan Ciu Tek, kalian sudah berani menolak uluran tangan kami untuk menjadi sahabat, berarti kalian menganggap kami musuh. Kalau begitu, permusuhan ini kita selesaikan secara laki-laki sejati. Kami menantang kalian untuk bertanding satu lawan satu. Beranikah kalian menyambut tantangan kami, ataukah kalian begitu pengecut untuk mengerahkan anak buah kalian melawan kami?"
Terdengar suara bergelak dan Pek-thian-kui yang gendut bulat sudah maju mendampingi Suma Koan. "Ha-ha-ha, aku sudah mendengar nama besar Hek-tung Lo-kai dan ingin sekali mengenal tongkat hitamnya!"
Beberapa orang murid Thian-beng-pang dan Hek-tung-kaipang maju untuk membela ketua mereka, akan tetapi kedua orang ketua itu memberi isyarat agar mereka mundur.
"Musuh datang dan menantang secara laki-laki. Biar dengan taruhan nyawapun, kami adalah laki-laki sejati untuk menyambut tantangan itu dalam pertandingan satu lawan satu," kata mereka.
"Ha-ha-ha, bagus! Majulah kalian berdua dan bersiaplah untuk mati!” Kata Suma Koan sambil mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya.
“Tahan...!!!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ, di sebelah kanan kedua orang ketua itu, telah berdiri seorang pemuda, yang usianya sekitar dua puluh lima tahun. Melihat pemuda itu, Suma Koan dan Suma Hok terkejut, bahkan wajah Suma Hok berubah agak pucat.
"Kau...! Kwa Bun Houw, apakah engkau tidak tahu malu mencampuri urusan kami? Kami hanya berurusan dengan Thian-beng-pang dan Kek-tung Kai-pang, dan engkau tidak ada sangkut pautnya dengan mereka atau kami! Heii, Kam-pangcu dan Ciu-pangcu, apakah kalian sudah begitu pengecut untuk mengundang jagoan dari luar perkumpulan kalian untuk melindungi kalian?"
Disudutkan seperti itu, tentu saja kedua orang ketua itu merasa kehormatan mereka tersinggung. "Kui-siauw Giam-ong, jangan sembarangan menuduh!" bentak Thian-bengcu Ciu Tek, "Kami sama sekali tidak mengenal pemuda ini dan tidak mengundangnya untuk membantu kami!"
Sementara itu, Hek-tung Lo-kai sudah menghadapi Bun Houw dan dia memberi hormat. "Orang muda yang gagah, harap engkau tidak mencampuri urusan kami. Kami ditantang oleh mereka, kami harus menghadapi secara jantan!"
Bun Houw melangkah maju. "Ji-wi pang-cu, harap dengarkan sebentar, dan semua saudara anggauta Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang, harap ikut dengarkan apa yang kukatakan. Ketahuilah bahwa kedua pang-cu ini telah terjebak oleh kecurangan dan kelicikan Kui-siauw Giam-ong dan sekutunya! Karena persekutuan itu tidak berhasil membujuk kedua orang pang-cu untuk bekerja sama, maka kini mereka datang dan menantang, dengan perhitungan bahwa mereka pasti menang. Kalau kedua pang-cu melawan dengan alasan menjaga kehormatan karena ditantang, maka berarti mereka terkena jebakan. Mereka tentu akan tewas seperti banyak dialami oleh para pimpinan perkumpulan yang bernasib sama. Karena itu, tidak semestinya kalau tantangan itu dilayani, bahkan sebaiknya kalau seluruh anggauta kedua perkumpulan bergerak mengusir pengacau brengsek ini dari tempat ini, dan aku akan membantu kalian menghadapi Kui-siauw Giam-ong dan sekutunya!"
Mendengar seruan ini, para anak buah Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang yang memang sejak tadi sudah marah kepada para penyerbu, bersorak penuh semangat.
Pek-thian-kui, orang pertama di Bu-tek Sam-kui yang belum mengenal Bun Houw, memandang rendah pemuda itu. "Bocah pengacau ini biar kusingkirkan lebih dulu!" bentaknya dan tubuhnya yang bulat itu seperti sebuah bola besar menggelinding ke arah Bun Houw dan ternyata dia telah mengirim pukulan jarak jauh dengan kedua tangan didorongkan ke arah pemuda itu dan angin dahsyat menyambar ke arah Bun Houw.
Pemuda ini sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kakek gendut itu lihai sekali, maka diapun sudah mengerahkan tenaga Im-yang Bu-tek Cin-keng, mendorong pula dengan kedua tangan terbuka untuk menyambut serangan yang sepenuhnya mengandalkan hawa sin-kang (tenaga sakti) itu.
"Wuuuuttt... desas...!!”
Dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu dan akibatnya, tubuh yang gendut bundar itu terlempar ke belakang dan bergulingan! Akan tetapi, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui ini memang kebal dan kuat. Dia tidak terluka, hanya terkejut dan sudah meloncat berdiri. Mukanya menjadi merah sekali saking marahnya. Dia, orang pertama dari Tiga Setan Tanpa Tanding, sekali mengadu tenaga, dalam segebrakan saja sudah terguling-guling oleh seorang pemuda tak ternama!
"Singg...!!" Diapun sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar hitam. "Bocah keparat, pedangku akan minum darahmu!"
Akan tetapi Bun Houw tersenyum. "Bukankah engkau ini Pek-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui. Aku mendengar bahwa kok-su (guru negara) dari kerajaan Wei yang berjuluk Thian-te Seng-jin amat lihai dan bahwa di antara para muridnya terdapat Bu-tek Sam-kui. Sebaiknya kalau engkau kembali saja ke utara, tidak membuat kekacauan di daerah selatan sini!"
"Bocah sombong, majulah. Mari kita bertanding sampai seribu jurus!" Si gendut yang merasa malu karena kekalahannya tadi, menantang untuk mengangkat kembali namanya yang tentu akan jatuh karena di depan banyak orang dia dikalahkan dalam segebrakan!
"Baik, aku menyambut tantanganmu. Pek-thian-kui!" Dan begitu tangan kanan Bun Houw bergerak, nampak kilat menyambar dan semua orang menjadi silau oleh sinar pedang Lui-kong-kiam!
Pek-thian-kui terbelalak, akan tetapi dia sudah menerjang dengan pedangnya yang bersinar hitam. Bun Houw mengerahkan tenaga lagi dan menggerakkan Lui-kong-kiam, menangkis dan sengaja mengadu tenaga lewat pedang.
"Trakkk...!" terdengar suara nyaring dan si gendut kembali meloncat ke belakang dengan muka pucat memandang pedang hitamnya yang sudah buntung, patah ketika bertemu dengan pedang di tangan Bun Houw. Kini dia tidak ragu lagi.
"Lui-kong-kiam (Pedang Kilat)...!!" serunya gentar. Dahulu, pedang itu pernah menjadi rebutan para tokoh persilatan, akan tetapi akhirnya terjatuh ke tangan Tiauw Sun Ong pendekar buta yang amat lihai.
Bun Houw tersenyum dan menyimpan kembali pedangnya. "Apakah engkau masih ingin melanjutkan perkelahian, Pek-thian-kui? Atau engkau yang akan maju, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan? Dan bagaimana dengan engkau, Suma Hok?” Bun Houw sengaja menantang untuk membikin panas hati ayah dan anak itu.
Sementara itu, kedua orang pangcu hanya menonton dengan hati penuh kagum dan diam-diam bersukur bahwa ada bintang penolong datang. Kalau tidak, mungkin mereka berdua akan tewas di tangan masuh.
Suma Hok memandang dengan muka merah, akan tetapi tidak berani menyambut tantangan itu, sedangkan Suma Koan yang melihat betapa mudahnya orang pertama Bu-tek Sam-kui dikalahkan Bun Houw, juga menjadi ragu. Dia sendiri gentar terhadap Tiauw Sun Ong, akan tetapi tadinya masih memandang remeh murid Tiauw Sun Ong ini. Setelah tadi dia melihat betapa Bun Houw dengan mudah mengalahkan Pek-thian-kui, dia maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi Si Pedang Kilat.
"Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang telah mengundang murid hekas pangeran Tiauw Sun Ong, mulai sekarang, kalian adalah musuh-musuh kami. Lain kali kami akan datang membikin perhitungan!"
Setelah berkala demikian, Suma Koan memberi isarat dan bersama Suma Hok dan Pek-thian-kui yang merasa tidak akan mampu menang, dia meninggalkan tempat itu, diikuti semua anak buah mereka yang juga sudah merasa gentar melihat demikian banyaknya anak buah kedua perkumpulan itu yang agaknya sudah dipanaskan hatinya oleh ucapan Bun Houw tadi.
Sebetulnya, tiga puluh orang anak buah penyerbu itu adalah orang-orang Thian-te Kui-pang, dan mereka terdiri dari orang-orang yang lihai dan mereka tidak akan gentar melawan anak buah Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang. Akan tetapi menyaksikan kelihaian Si Pedang Kilat, mereka menjadi gentar juga. Pemimpin mereka saja, yang juga merupakan guru mereka, dalam segebrakan dikalahkan pemuda itu, apa lagi mereka!
"Kejar mereka! Banuh!" Terdengar teriakan-teriakan anak buah kedua perkumpulan, akan tetapi Bun Houw mengangkat tangan. "Jangan! Biarkan mereka pergi!"
Juga ketua dari dua perkumpulan itu mencegah anak buah mereka untuk melakukan pengejaran. Kara Cu dan Ciu Tek maklum bahwa tanpa bantuan Kwa Bun Houw, mereka berdua bersama anak buah mereka tidak akan mampu mengalahkan rombongan penyerbu itu. Keduanya lalu menghadapi Bun Houw dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Terima kasih atas bantuan tai-hiap." kata Hek-tung Lo-kai.
"Kalau tidak tai-hiap yang muncul, pasti kami berdua telah tewas dan entah bagaimana jadinya dengan perkumpulan kami." kata pula Thian-beng-pang Ciu Tek.
"Sudahlah, ji-wi pang-cu (ketua berdua) telah kena dijebak oleh Suma Koan. Dia memang licik sekali. Kalau ji-wi tidak menghadapi tantangan mereka, akan tetapi mengerahkan semua anak buah ji-wi, kiranya tidak akan mudah bagi mereka untuk menggertak. Juga, kalau ji-wi menghubungi pasukan keamanan, tentu akan mendapatkan bantuan karena pasukan keamanan pemerintah kini amat memperhatikan keamanan daerahnya."
"Tai-hiap, mari kita bicara di dalam. Kami merasa kagum kepada tai-hiap yang masih begini muda telah memiliki kepandaian tinggi. Pantas sekali julukan Si Pedang Kilat bagi tai-hiap." kata pula tuan rumah, ketua Thian-beng-pang.
"Benar, silakan tai-hiap. Kami juga ingin sekali mendengar tentang keadaan sekarang ini dan apa pula yang mendorong tindakan mereka tadi," kata Hek-tung Lo-kai.
Bun Houw merasa tidak enak untuk menolak dan diapun mengikuti mereka berdua memasuki pusat perkumpulan Thian-beng-pang itu. Diam-diam dia tersenyum dalam hatinya. Kedua orang ketua ini tadi mendengar seruan Pek-thian-kui nama pedangnya yaitu Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) dan menganggap bahwa itu adalah nama julukannya. Akan tetapi dia diam saja dan tidak menyangkal. Apa salahnya kalau dia dikenal sebagai Si Pedang Kilat? Setelah mereka memasuki rumah Thian-beng-pangcu Ciu Tek, mereka lalu bercakap-cakap sambil menikmati hidangan yang dikeluarkan tuan rumah untuk menyambut pemuda itu.
"Dapatkah Kwa-taihiap menerangkan mengapa seorang datuk seperti Suma Koan, tiba-tiba saja menaklukkan banyak perkumpulan, bahkan memaksa mereka takluk kalau tidak mau dibujuk? Apa yang tersembunyi di balik tindakannya itu?" tanya Ciu Tek.
"Tadinya aku menganggap bahwa dia hanya ingin mengangkat diri menjadi beng-cu di dunia persilatan, akan tetapi setelah tadi aku melihat dia muncul bersama Pek-thian-kui, aku merasa curiga sekali. Ketahuilah, ji-wi pangcu. sekarang Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, membantu bekas kaisar Cang Bu yang bersiap-siap untuk merampas kembali tahta kerajaan."
"Ahhh...!!" kedua orang pang-cu itu berseru kaget.
Bun Houw menghela napas panjang. "Sebetulnya, orang-orang seperti kita ini yang hanya berkewajiban mempertahankan kebenaran dan keadilan, membela rakyat kecil yang tertindas, tidak perlu mencampurkan diri ke dalam perebutan kekuasaan itu. Adalah hak bekas kaisar Cang Bu untuk mencoba merampas kembali tahta kerajaan. Akan tetapi kalau dia melakukan hal itu, berarti terjadi lagi perang dan kembali rakyat yang akan menderita sebagai akibat perang. Apalagi mengingat betapa dahulu, ketika kaisar Cang Bu masih berkuasa, dia terlalu lemah sehingga hampir semua pejabat menyelewengkan kekuasaan masing-masing dengan tindakan korupsi dan kesewenang-wenangan, dan sekarang kita melihat sendiri betapa baiknya kaisar yang baru memegang pemerintahan, tegas, adil dan juga memperhatikan nasib rakyat jelata. Aku sendiri tidak ingin terlibat dalam perebutan kekuasaan itu, akan tetapi sekarang aku melihat gejala yang amat tidak haik. Munculnya Suma Koan bersama Pek-Thian-kui sungguh mencurigakan. Pek-thian-kui adalah orang pertama dari Bu-tek Sam-kui, yang merupakan tokoh-tokoh dan jagoan dari istana kerajaan Wei di utara, sedangkan Suma Koan jelas membantu bekas kaisar Cang Bu. Besar kemungkinannya, bekas kaisar Cang Bu agaknya kini bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, dan mereka bermaksud menguasai dunia kang-ouw untuk persiapan perang mereka terhadap kerajaan Chi yang baru.”
“Ah, kalau begitu berbahaya sekali, taihiap!" kata Ciu Tek ketua Thian-beng-pai. "Lalu, apa yang harus kami lakukan untuk mencegah terjadinya hal itu?"
"Tidak ada jalan lain, kita harus menentang mereka menguasai dunia persilatan. Sebaiknya kalau ji-wi mengusahakan agar dapat berhubungan dengan para ketua perkumpulan persilatan lain yang tidak mau mereka peralat dan kita bersama mendirikan kubu yang kuat. Kalau perlu, kita mengadakan pemilihan beng-cu tandingan."
"Bagus sekali itu!” kata Hek-tung Kai-pang. "Aku akan menghubungi seluruh kai-pang di negeri ini agar mendukung Si Pedang Kilat untuk menjadi bengcu!”
"Benar, kamipun mendukung Kwa-taihiap menjadi bengcu!" kata pula Ciu Tek.
Bun Houw mengangkat tangan ke atas. "Harap ji-wi tidak salah duga. Aku sama sekali tidak ingin menjadi beng-cu. Aku hanya ingin menentang dan menjaga agar kedudukan beng-cu tidak dipegang orang yang dapat diperalat persekutuan antara bekas kaisar Cang Bu dan kerajaan Wei. Kalau kerajaan Wei dari utara hendak menyerang selatan, bagaimanapun juga kita harus menentangnya!"
"Kami akan mengerjakan usul taihiap. Akan tetapi, bagaimana caranya kalau kami hendak menghubungi taihiap? Kalau muncul suatu persoalan dan kami ingin minta petunjuk tai-hiap, bagaimana kami dapat menghubungimu?"
"Aku yang akan datang ke sini, pang-cu. Aku akan berada di sekitar Nan-king dan kalau, ada keperluan mendadak, mungkin aku bertemu dengan anak buah Hek-tung Kai-pang dan melalui mereka pang-cu dapat menghubungiku."
Selagi mereka bercakap-cakap, seorang anggauta Thian-beng-pang mengetuk pintu ruangan itu. Ketika dia disuruh masuk, dia memberi hormat, "Maafkan gangguan saya, pang-cu. Akan tetapi di luar datang seorang tamu yang katanya mempunyai keperluan penting untuk Hek-tung Kai-pangcu."
"Hemm, siapakah dia dan dari mana?" tanya ketua perkumpulan pengemis itu.
"Mengatakan datang dari kota raja, diutus oleh Thai-kam (Sida-sida) Koan." jawab anggauta Thian-beng-pang itu.
Mendengar ini, ketua Hek-tung Kai-pang nampak bergairah. "Ah. kalau begitu, minta dia masuk sekarang juga!" Setelah orang itu pergi, dia memberitahu kepada Ciu Tek dan Bun Houw, "Thai-kam Koan adalah sahabatku yang bekerja di istana kaisar. Dari dialah aku dapat mengetahui semua keadaan dalam istana, dan kini dia mengutus seseorang datang kepadaku, tentu ada berita penting dari istana."
Mendengar itu, sahabatnya, ketua Thian-beng-pang, mengangguk-angguk, Bun Houw juga kagum. Kiranya Kam Cu, biarpun hanya pemimpin para pengemis, mempunyai hubungan yang luas sampai dapat mengetahui keadaan dalam istana kaisar Siauw Bian Ong. Tak lama kemudian, masuklah seorang laki-laki tua yang pakaiannya seperti seorang buruh kecil, sederhana dan bahkan butut. Dia memberi hormat kepada tiga orang itu.
"Harap memaafkan kalau saya mengganggu sam-wi. Saya perlu bertemu dengan Hek-tung Lo-kai..."
"A-sin, ada kepentingan apakah sampai engkau menyusulku ke sini?" tanya Hek-tung Lo-kai yang sudah mengenal orang itu.
"Maaf, pang-cu. Tadi aku pergi ke markas Hek-tung-kaipang, di sana kosong dan aku, mendengar bahwa pangcu berada di sini, maka aku langsung menyusul ke sini karena Koan-thaikam memesan agar suratnya dapat secepat mungkin kuserahkan kepada pang-cu.”
Dia mengeluarkan segulung surat dari dalam saku bajunya dan menyerahkannya kepada ketua Hek-tung Kai-pang itu. Ketua itu menerimanya dan membuka gulungan, lalu membacanya. Alisnya berkerut dan matanya terbelalak lalu tanpa banyak cakap dia menyerahkan surat itu kepada Ciu Tek. Ketua Thian-beng-pang inipun membacanya dan wajahnya berubah pucat.
"Tai-hiap, silakan baca surat ini. Penting sekali!" katanya dan Kam Cu mengangguk menyetujui.
Bun Houw yang tadinya tidak memperhatikan karena mengira bahwa surat itu merupakan urusan pribadi, menyambut dan membaca surat itu. Dalam surat itu, secara ringkas dikabarkan bahwa Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan telah mengundang Bu-eng-kiam Ouwyang Sek ke istana dan bahkan diterima oleh Kaisar Siauw Bian Ong. Akan tetapi bukan itu yang terpenting, melainkan bahwa mereka bertiga itu membentuk persekutuan dengan orang-orang dari kerajaan Wei. mengadakan persekongkolan untuk membunuh Kaisar Siauw Bian Ong sekeluarga berikut para pembantu yang setia kepada kaisar baru ini! Dan bahwa Koan-thaikam mengharapkan bantuan sahabatnya, Hek-tung Lo-kai untuk membantu dan menyelamatkan kaisar dari ancaman bahaya itu.
"Hemm, kiranya keluarga Ouwyang telah dapat pula menyelundup ke istana?" kata Bun Houw, mengerutkan alisnya karena kalau ayah dan anak itu di sana, berarti memang ancaman bahaya bagi keselamatan kaisar.
"Bukan mereka saja, akan tetapi juga Kwan Hwe Li bekerja di sana sebagai pengawal permaisuri," kata Hek-tung Lo-kai. "Memang di istana terdapat banyak jagoan istana yang tangguh, akan tetapi kalau mereka itu terlalu dekat dengan kaisar, tentu akan sulit untuk menjamin keselamatan kaisar. Jalan satu-satunya adalah mengharapkan bantuanmu Kwa-taihiap!"
"Hemm, aku siap menghadapi kejahatan mereka. Akan tetapi bagaimana aku dapat melindungi kaisar?" tanya pemuda ini ragu.
"Kalau tai-hiap muncul seperti biasa dan persekutuan itu mengetahui, tentu mereka akan menjadi waspada dan keadaan menjadi semakin berbahaya. Sebaiknya thai-hiap menyamar dan biar oleh Koan-thaikam dihadapkan sribaginda agar thai-hiap dapat diterima menjadi pengawal pribadi. Tentang penyamaran, harap jangan khawatir karena kami mempunyai ahli-ahli penyamaran yang akan dapat menyulap tai-hiap menjadi orang lain." kata-Hek-tung Lo-kai.
Demikianlah, pada hari itu juga Hek-tung Lo-kai memberi kabar kepada Koan-thaikam melalui A-sin agar thaikam itu dapat membuat persiapan menyambut Bun Houw di istana. Setelah semua siap, Bun Houw dipertemukan dengan Koan thaikam dan diajak masuk istana. Kini tak seorangpun akan dapat mengenal Bun Houw karena wajahnya telah berubah sama sekali. Muka yang biasanya halus tampan itu berubah menjadi muka yang ternoda bopeng (bekas cacar), juga bentuk hidung dan matanya berubah. Orang yang terdekat sekalipun dengan Bun Houw, akan sukar dapat mengenalnya.
Sebelumnya. Koan-thaikam telah memberi tahu kepada Kaisar bahwa dia mempunyai seorang keponakan yang memiliki ilmu silat tinggi dan dapat diandalkan untuk menjadi pengawal pribadi kaisar, atau menambah lagi pasukan pengawal pribadi. Kaisar amat percaya kepada Koan-thaikam yang memang amat setia kepadanya itu, maka pada hari itu, kaisar berjanji akan menerima keponakan Koan-thaikam yang bernama Koan Jin itu.
Ketika pada pagi hari itu Koan-thaikam menghadapkan seorang pemuda yang wajahnya bopeng dan tidak mengesankan, kaisar menerimanya dengan alis berkerut dan nampak kecewa. Keponakan Thai-kam kepercayaannya itu sungguh tidak mengesankan, selain mukanya tidak menarik juga penampilannya tidak dapat membayangkan seorang yang kuat. Bahkan pasukan pengawal yang berjaga di ruangan itu, yang dipimpin Ouwyang Toan sebagai perwira pasukan pengawal, melirik dengan senyum mengejek.
Mereka sudah mendengar dari para thai-kam bahwa Koan-thaikam akan memasukkan keponakannya sebagai calon anggauta pengawal pribadi kaisar! Pada hal selama Ouwyang Toan berada di situ, dialah yang sudah memasukkan enam orang pengawal baru yang telah diuji kepandaiannya dan kini menjadi anak buah pasukan pengawal istana. Biarpun hatinya merasa panas karena ada thaikam berani mengajukan keponakannya sendiri sebagai calon pengawal, akan tetapi Ouwyang Toan tidak berani memperlihatkan ketidaksenangan hatinya.
Dia tahu bahwa Koan-thaikam adalah seorang thaikam kepercayaan kaisar, sedangkan dia sendiri adalah seorang perwira pengawal yang masih baru. Akan tetapi dia sudah bersepakat dengan anak buahnya untuk menggagalkan keponakan thaikam itu menjadi pengawal, dan dalam ujian ilmu silat, mereka dapat membuat keponakan thaikam itu dan Koan-thaikam sendiri mendapat malu. Apalagi ketika melihat calon pengawal itu masuk dengan sikap takut-takut dari dusun, mereka saling pandang dan tersenyum mengejek.
Setelah mengamati sejenak pemuda yang nampak tidak mengesankan itu, Sribaginda Kaisar Siauw Bian Ong, yang juga merupakan seorang ahli silat yang cukup tangguh, karena ketika dia masih bernama Souw Hui Kong, dia adalah seorang petualang yang telah mempelajari banyak ilmu sehingga akhirnya dia berhasil menumbangkan kerajaan Liu-sung yang telah menjadi lemah dan mendirikan kerajaan Chi, berkata kepada thaikam kepercayaannya dengan nada menegur,
"Koan thaikam, tidak kelirukah permohonanmu untuk memasukkan keponakanmu ini sebagai seorang pengawal istana? Engkau tentu tahu bahwa seorang pengawal istana harus memiliki ilmu kepandaian tinggi, apalagi sebagai pengawal pribadi kami yang melindungi keselamatan kami, haruslah seorang yang benar-benar tangguh dan sakti."
"Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak keliru, karena keponakan hamba ini, Koan Ji, sejak kecil telah berguru kepada ratusan orang guru silat yang pandai dan kini dia telah memiliki ilmu kepandaian silat yang ampuh."
Kembali para anggauta pasukan pengawal tersenyum simpul dan kebetulan Kaisar memandang kepada mereka sehingga tanpa disengaja kaisar melihat mereka bersenyum simpul mengejek. Hal ini membuat kaisar merasa tidak senang kepada mereka.
"Koan-thaikam, apakah keponakanmu ini siap untuk diuji kepandaiannya?"
"Tentu saja, Yang Mulia. Dia sudah siap untuk menghadapi ujian."
Kembali kaisar memandang kepada Bun Houw. Wajah yang tidak meyakinkan dan tidak menarik. Akan tetapi, hal ini malah menguntungkan. Sebaiknya memang pasukan pengawal istana terdiri dari laki-laki yang wajahnya buruk dan tidak menarik bagi wanita untuk mencegah terjadinya hal-hal yang akan menodai nama dan kehormatan istana kalau sampai ada wanita istana jatuh cinta kepada seorang anggauta pasukan pengawal. Untuk mencegah perjinaan seperti itulah maka semua petugas istana yang pria diharuskan menjadi sida-sida, karena seorang thai-kam sudah bukan pria normal lagi, tidak dapat lagi berjina dengan wanita.
"Koan Ji, beranikah engkau kami suruh melawan seorang di antara para perajurit pengawal itu?" Dia menuding ke arah para pengawal yang berdiri tegak dalam barisan di, bagian luar ruangan itu.
Koan Ji yang berlutut itu memberi hormat. "Siapa saja yang mengancam keamanan paduka dan seisi istana, pasti akan hamba lawan mati-matian, Yang Mulia!” kata Kwa-Bun Houw dengan sikap seperti seorang dusun.
Kaisar Siauw Bian Ong tertawa. "Ha-ha. maksud kami bukan melawan sebagai musuh. Mereka adalah anggauta pasukan pengawal dan mereka semua sudah lulus ujian ketangkasan. Engkau akan kami uji dengan bertanding ilmu silat melawan seorang di antara mereka. Yang mana kau pilih?"
Bun Houw menoleh ke arah selusin perajurit pengawal yang dikepalai Ouwyang Toan, lalu dia memberi hormat lagi, "Yang mana pun akan hamba hadapi, Yang Mulia."
"Bagus! Ouwyang-ciangkun pilihkan seorang di antara anak buahmu untuk menguji apakah keponakan Koan-thaikam ini pantas menjadi pengawal pribadi kami."
"Maaf, Yang Mulia. Untuk menjadi anggauta pasukan pengawal istana, memang cukup dapat menandingi seorang di antara anak buah hamba. Akan tetapi untuk menjadi pengawal pribadi paduka, dia haruslah seorang yang benar-benar tangguh dan sedikitnya memiliki tingkat kepandaian dua kali lipat dari tingkat seorang perajurit pengawal istana. Karena itu, sebaiknya kalau calon ini dapat menghadapi dan menandingi pengeroyokan dua atau tiga orang perajurit pengawal." kata Ouwyang Toan.
Kaisar itu mengangguk-angguk dan kembali berkata kepada Bun Houw yang maklum bahwa Ouwyang Toan jelas tidak menghendaki ada pengawal pribadi kaisar yang baru. "Bagaimana, Koan Ji. Beranikah engkau melawan dua atau tiga orang perajuril pengawal istana? Kalau engkau merasa tidak sanggup, katakan saja. Kami tidak ingin bersikap sewenang-wenang, hanya ingin menguji kemampuanmu."
"Kalau paduka memerintahkan, biar menghadapi berapa saja lawan, hamba siap untuk menandinginya, Yang Mulia." kata Bun Houw dengan sikap bersahaja.
Kaisar Siauw Bian Ong kembali tertawa gembira. "Ha-ha ha, baru semangatmu saja sudah menyenangkan hati kami, Koan Ji. Nah, Ouwyang-ciangkun, engkau sudah mendengar sendiri. Calon pengawal pribadi ini berani menghadapi pengeroyokan tiga orang anak buahmu.”
"Baik, Yang Mulia. Hamba akan memilih tiga orang di antara mereka."
Ouwyang Toan memilih tiga orang anak buahnya yang paling jagoan. Tiga orang ini bukan sembarangan orang. Mereka adalah jagoan-jagoan dari Thian-te Kui pang dan tingkat kepandaian masing-masing hanya sedikit di bawah tingkat Ouwyang Toan! Biar Ouwyang Toan sendiri, agaknya tidak akan mungkin menang menghadapi pengeroyokan tiga orang anak buahnya ini dan kini dia mengajukan mereka untuk mengeroyok seorang calon, perajurit pengawal!
Tiga orang pengawal itu setelah memberi hormat kepada Kaisar, lalu siap dan mengepung Bun Houw yang juga sudah memberi hormat dan bangkit berdiri, membiarkan dirinya dikepung oleh tiga orang lawan yang membentuk segi tiga. Seorang di depannya, seorang di kanan dan seorang di kiri. Diam-diam dia mengamati mereka dan gerak-gerik mereka. Seorang yang menghadapinya adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar seperti raksasa yang mukanya penuh brewok tebal dan nampak menyeramkan.
Yang berada di kirinya seorang laki-laki tinggi kurus muka hitam arang, sedangkan yang berada di sebelah kanannya seorang laki-laki bertubuh sedang dan didahinya terdapat codet bekas bacokan senjata tajam. Sikap mereka ketika memegang kuda-kuda saja memperlihatkan bahwa mereka adalah orang-orang yang kuat dan usia mereka rata-rata tiga puluh tahun.
Bun Houw memutar tubuhnya membelakangi mereka, memberi hormat lagi kepada kaisar dan diapun berkata, "Hamba telah siap, Yang Mulia. Mereka itu boleh mulai menyerang sekarang."
"Heii, Koan Ji, kenapa engkau membelakangi tiga orang lawanmu?" tiba-tiba Koan-thaikam berseru karena merasa cemas melihat betapa pemuda itu membelakangi tiga orang pengeroyoknya.
"Ha-ha, kenapa engkau melakukan itu, Koan Ji? Bagaimana engkau dapat melawan tiga orang itu kalau engkau berdiri membelakangi mereka?" Kaisar juga bertanya heran dan geli.
"Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak berani sedemikian kurang sopan untuk berdiri membelakangi paduka."
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Sribaginda Kaisar tertawa bergelak. Pemuda ini memang lucu dan aneh. Pikirnya "Kalau begitu, kalian saling berhadapan di sebelah kiri dan kanan, jadi tidak adanya membelakangiku." katanya.
Kini tiga orang itu sudah siap, ketiganya menghadapi Bun Houw yang berdiri seenaknya, namun waspada dan siap siaga. "Aku sudah siap, kalian boleh mulai!” katanya tenang.
Tiga orang anggauta Thian-te Kui pang itu sebetulnya menanti agar Bun How menyerang lebih dulu. Mereka merasa diri mereka tangguh, dan bagaimanapun mereka agak malu karena harus mengeroyok seorang calon pengawal yang kelihatannya lemah. Akan tetapi karena pemuda itu tidak mau menyerangnya dan mempersilakan mereka yang maju lebih dulu, merekapun mulai menyerang. Serangan mereka merupakan pukulan yang kuat dan berat, juga cepat. Bun Houw menggerakkan tubuh, dia menangkisi semua pukulan itu.
Begitu kedua lengan bertemu, seorang penyerang mengeluh karena merasa seolah-olah lengannya bertemu dengan besi panas yang amat keras! Demikian pula orang ke dua dan ke tiga. Si raksasa brewok yang merasa paling kuat dan besar tenaganya, mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga dari atas ke arah kepala Bun Houw. Pemuda ini mengangkat lengan kiri menangkis.
"Dukk...!"
"Uuhhh...!" Si raksasa brewok berteriak kesakitan, dan terhuyung ke belakang. Bun Houw hanya mengandalkan tanaga sinkangnya, karena dia tidak ingin memperlihatkan kepandaiannya sehingga akan mencurigakan hati Ouwyang Toan. Dia tidak mau memperkenalkan diri dan dengan tenaga sin-kang dia menangkis, juga mengelak sehingga dia sama sekali tidak mengeluarkan ilmu silat yang akan dikenal Ouwyang Toan.
Karena merasa malu, tiga orang itu menahan rasa nyeri dan mereka menyerang semakin kuat dan gencar. Bahkan si raksasa brewok mengandalkan kakinya yang besar, kokoh dan panjang, mengayun kaki kirinya menendang. Tendangan itu kuat bukan main dan sekiranya mengenai tubuh Bun Houw, agaknya tubuh yang tidak berapa besar itu akan terlempar sampai beberapa meter jauhnya. Akan tetapi, Bun Houw tidak mengelak, bahkan menggerakkan pula kaki kanannya menyambut atau menangkis tendangan itu.
"Dukkk...!"
Kini si brewok raksasa itu menggigit bibir. Kiut-miut rasa kakinya, seperti patah-patah tulangnya, rasa nyeri sampai menyengat seluruh tubuh sampai ke ubun-ubun dan karena dia menahan rasa nyeri sambil menggigit bibir, kakinya yang tidak tahan dan diapun mengangkat kaki kiri ke belakang, memeganginya dap berloncat-loncatan dengan kaki kanan...!