SETELAH mengalami perang saudara yang terkenal dengan sebutan jaman Sam-Kok (Tiga Negeri) antara tahun 221–265, akhirnya Tiongkok dapat dikuasai oleh Kerajaan Wei dan dapat dipersatukan kembali. Namun kedamaian itu tidak lama dinikmati rakyat karena segera di susul oleh kekacauan terjadi terus menerus, perang perebutan kekuasaan di tambah lagi oleh penyerbuan bangsa Suku Nomad dari utara dan barat, maka kehidupan rakyat jelata menjadi amat sengsara.
Bahkan sampai pada abad ke lima, bangsa Tiongkok masih belum dapat menikmati kehidupan yang tentram. Hukum rimba berlaku dimana-mana, siapa kuat dia menang dan siapa menang dia kuasa dan yang berkuasa selalu benar. Kesengsaraan memuncak dan kekacauan menghebat ketika bangsa-bangsa Nomad, yaitu suku Hsiung-nu, Turki, Tibet dan Bangsa Toba mempersatukan diri dan menyerbu ke selatan. Akhirnya seluruh Tiongkok utara dapat dikuasai oleh suku bangsa Toba yang mendirikan Kerajaan Toba (Mongol). Tiongkok kembali terpecah belah dan kekacauan berlangsung terus.
Kisah ini dimulai dalam jaman yang kacau itu, sekitar tahun 545 Masehi. Pada suatu hari, seorang wanita menggendong anaknya yang baru berusia setahun, berlari-lari mendaki bukit dan dengan nekat memasuki daerah Lembah Iblis. Padahal, lembah ini merupakan daerah yang amat di takuti. Bahkan para pemburu yang paling gagah sekalipun tidak berani memasuki lembah ini. walaupun berkawan banyak. Mereka semua percaya bahwa lembah ini di huni oleh iblis-iblis yang jahat.
Akan tetapi wanita itu nekat, lari memasuki lembah sambil menggendong anaknya dan sambil menangis. Ia seorang wanita berusia dua puluh tahun lebih, cantik manis walaupun pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang desa. Anak yang di gendongnya adalah seorang anak laki-laki yang tidak menangis karena ia di dekap di dada ibunya dan mulutnya di sumbat putting buah dada yang penuh air susu. Beberapa kali wanita itu menengok dan ketika melihat bahwa laki-laki itu masih terus mengejarnya, ia berlari semakin cepat memasuki hutan pertama di lembah itu.
Laki-laki yang mengejarnya itu berusia empat puluh tahun, tinggi besar bermuka hitam, di punggungnya terselip sebatang golok yang masih merah karena berlepotan darah. Dia baru saja membunuh suami wanita itu dan kini mengejar si wanita. Pada masa itu kejadian seperti ini seringkali berlangsung Perampokan, perkosaan, pembunuhan terjadi dimana-mana tanpa ada pihak penguasa yang dapat menanggulanginya.
Suami wanita itu bernama Cian Kim, seorang petani yang tinggi besar dan termasuk jagoan di dusunnya. Akan tetapi hari itu dusun di datangi segerombolan orang kasar dipimpin orang tinggi besar bermuka hitam itu. Mereka merampok dusun dan ketika melihat isteri Cian Kim, kepala perampok itu terpesona dan segera mengejarnya. Suaminya segera turun tangan menghalanginya, akan tetapi kepala perampok itu lalu menyerangnya dengan golok. Terjadi perkelahian tidak seimbang. Karena kepala perampok itu pandai bermain silat dan tak lama kemudian Cian Kim roboh mandi darah dan tewas. Isterinya, Lan Si, lari sambil menggendong puteranya, di kejar oleh kepala perampok itu.
Dan kini mereka memasuki Lembah Iblis. Agaknya nafsu berahi telah naik ke otak kepala perampok itu yang tergila-gila melihat Lan Si yang montok dan manis itu. Maka diapun lupa bahwa dia telah memasuki daerah yang amat di takuti itu.
“Berhenti, manis, ha-ha-ha. Engkau hendak lari kemana lagi? Menyerahlah dan aku tidak akan mengganggu anakmu. ha-ha!” kepala perampok itu tertawa melihat betapa wanita itu sudah mulai kendur larinya.
Mereka tiba di bagian yang banyak pohon-pohon besarnya. Dan wanita yang sudah kelelahan itu akhirnya tersandung akar pohon dan terjerembab jatuh, dan terdengarlah puteranya menangis menjerit-jerit.
“Ha-ha-ha, engkau tak dapat lari lagi…!“ Si muka hitam tertawa bergelak dan menubruk kearah wanita yang masih rebah miring itu.
Akan tetapi tiba-tiba semua pohon sekeliling tempat itu bergoyang-goyang dan terdengar suara cecowetan riuh rendah, lalu banyak sekali kera yang besar berlompatan dari atas pohon, ada yang langsung menubruk kearah laki-laki bermuka hitam itu. Banyak sekali kera itu, puluhan banyaknya dan tinggi mereka kalau berdiri ada yang mencapai satu meter!
Laki-laki muka hitam itu terkejut sekali karena selagi dia membungkuk, sebelum tangannya dapat menyentuh tubuh wanita itu, punggungnya di timpa beberapa ekor kera yang langsung menggigit tengkuknya. Dia berteriak dan menggunakan kedua tangan untuk memukul, kemudian dia mencabut goloknya dan mengamuk. Akan tetapi kera-kera itu gesit sekali dan pandai mengelak. Akhirnya, biarpun goloknya mampu merobohkan empat ekor kera, ada kera besar yang menggigit lengan kanannya, ada pula yang memeluk dari belakang menggigit tengkuk, ada yang memegangi kaki dan menggigit kedua kakinya.
Tidak kurang dari sepuluh ekor kera mengeroyok dan menggigitnya dan akhirnya si muka hitam itu hanya mampu berteriak melolong-lolong. Akan tetapi teriakannya makin melemah dan ketika ada kera menggigit kerongkongannya, diapun berkelojotan dan tak lama kemudian mati dalam keadaan tubuh penuh luka terkoyak.
Sementara itu, setiap ekor kera yang menjamah wanita itu, menarik kembali tangannya. Kiranya wanita itu telah mati. Ketika tadi jatuh terjerembab, kepalanya terbentur batu demikian kerasnya sehingga kepala itu retak dan wanita itu tewas tak lama kemudian.
Seekor kera betina, yang buah dadanya menggembung karena baru dua hari yang lalu ia melahirkan anak yang mati katika lahir, ketika melihat bayi yang menangis menjerit-jerit membuat kera yang lain ketakutan, segera menyambar bayi itu dan secara naluriah ia mendekap bayi itu, membiarkan mulut bayi bertemu putting susunya yang besar. Seketika bayi itu berhenti tangisnya dan dia sudah menyusu dengan enaknya lalu tertidur dalam pondongan kera betina, jauh tinggi di atas pohon besar.
Setiap kali ada monyet lain mendekat, betina yang besar itu menyerengai, memperlihatkan gigi dengan sikap mengancam dan sejak saat itu ia menjadi ibu dari bayi itu. Ia telah memperoleh pengganti anaknya yang mati ketika lahir karena beberapa hari sebelumnya ia terjatuh katika dahan yang diinjaknya patah.
Mayat si muka hitam dan mayat ibu muda itu tak lama kemudian juga menjadi mangsa-mangsa hewan-hewan hutan yang liar sehingga beberapa hari kemudian yang tinggal hanyalah tulang belulangnya saja.
Kematian datang begitu tiba-tiba, kepada siapa saja yang sudah tiba saatnya. Akan tetapi bocah itu, secara aneh sekali dan tidak wajar telah terhindar dari kematian. Siapakah yang mengatur semua ini? Yang mesti mati, matilah. Yang mesti hidup, dengan cara aneh dapat hidup. Sungguh besar sekali kekuasaan yang mengatur segala sesuatu di jagat raya ini. Biarpun dalam pandangan manusia peristiwa yang terjadi di Lembah Iblis itu nampak aneh.
Namun sesungguhnya hanya merupakan peristiwa kecil tak berarti apa bila di bandingkan dengan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi setiap saat di alam semesta ini. Kekuasaan yang mengatur semua itu, dari peristiwa terkecil sampai peristiwa terbesar, adalah tunggal. Kekuasaan Tuhan menyusup dan mengatur dimana saja, tak terkecuali di manapun juga mendahului yang terdahulu dan mengakhiri yang terakhir.
Sejak anak bayi berusia setahun itu di sambar dari dekapan ibu kandungnya yang tewas oleh sepasang lengan panjang seekor kera betina, maka mulailah riwayat hidup seorang anak manusia yang luar biasa. Keadaan dan cara kehidupan monyet yang serba keras dan sukar, menggemblengnya menjadi seorang mahluk setengah manusia setengah kera. Jalannya, caranya meloncat, caranya menyerengai, berkelahi, makan apa saja yang biasa dimakan orang-orang hutan itu, persis kera besar.
Akan tetapi ada suatu kelebihan padanya yang tidak ada pada kera itu, yaitu akal budi. Dalam hal pertumbuhan jasmani, induk kera itu seringkali merasa tak sabar karena anaknya itu tak kunjung besar dan tidak kunjung kuat. Masih saja lemah dan memerlukan penjagaannya selalu. Kalau tidak, tentu anaknya itu sudah terjatuh dari atas pohon atau kena gigit kera-kera temannya karena gigi anaknya tidak tumbuh kuat runcing seperti kera-kera lain.
Namun, setelah anak itu berusia lima enam tahun m, ternyata dia dapat mengalahkan semua teman bermainnya. Dia pandai sekali bagi ukuran kera, naluri dan kepekaannya sama dengan kera, akan tetapi akal budinya seperti manusia. Dia dapat mempergunakan batu, kayu dan benda apa saja yang keras untuk senjata, sedangkan kera-kera lain tidak mampu. Dia juga bukan hanya pandai berayun-ayun dan berlompatan seperti kera, walaupun kalah gesit, akan tetapi dapat pula berlari secepat kijang, hal yang tidak dapat dilakukan kera lain.
Pada suatu hari, selagi anak itu bersama kera-kera lainnya bermain dan bergelut di atas pohon, dibawah sana terdapat sebuah telaga kecil, tiba-tiba anak itu terpeleset dan terjatuh ke dalam air yang dalam. Semua kera kebingungan, juga induk kera menjerit-jerit. Jatuh ke dalam air itu berarti mati, kematian yang menyedihkan. Akan tetapi, biarpun amat ketakutan, anak itu menggerakkan kaki tangannya, meronta dari pelukan air dan tubuhnya tidak jadi tenggelam, melainkan mengapung ke permukaan airnya.
Hanya akal budinya sebagai manusia yang memberitahu kepadanya bahwa dengan menggerakkan kaki tangannya, dia tidak tenggelam dan demikianlah, dia malah bermain-main di air itu dan merasa tubuhnya segar dan nyaman sekali. Semenjak peristiwa itu anak itu sering kali terjun ke air dan berenang kian kemari, membuat para kera itu tertegun kagum dan juga kuatir.
Namun, setiap mahluk, setiap tumbuh-tumbuhan, semua bertumbuh sesuai dengan kodratnya. Walaupun lingkungan mempengaruhi dan membentuk wataknya, seperti anak itu yang wataknya menjadi mirip watak kera, namun dia tetap saja seorang manusia. Oleh teman-temannya kera-kera muda, anak itu di “panggil“ dengan nama kercak.
Kercak si kera putih tanpa bulu ini tetap saja seorang manusia yang lain sama sekali daripada kera itu. Dia menyadari hal ini, kadang dia merasa malu melihat keadaan tubuhnya yang tidak berbulu itu. Pernah dia melumuri dirinya dengan Lumpur agar agak sama dengan kawan-kawannya. Akan tetapi setelah Lumpur itu mengering, dia merasa tidak enak sekali dan pergi berenang untuk membersihkan dirinya lagi.
Selain itu, Kercak juga memiliki rasa keadilan yang tidak dimiliki teman-temannya. Kalau ada kera nakal merebut makanan dari kera lain, dia tentu membela kera yang makanannya di rebut itu dan dalam setiap pergulatan, dia selalu keluar sebagai pemenang. Kalau kera-kera itu hanya bisa mencakar dan menggigit, maka kercak dapat memukul dan menendang, juga menggigit.
Pada suatu pagi, dia melihat seekor kera besar mengejar-ngejar para kera muda dan merampas buah-buahan mereka. Kercak melihat ini menjadi marah dan dia menggereng seperti kera marah. Kera besar itu membalik dan menyerangnya. Kercak agaknya maklum bahwa kalau berkelahi di pohon, dia akan kalah karena gerakannya tidaklah segesit kera, maka dia lalu mengayun dirinya turun, dikejar oleh kera besar. Setelah keduanya berpijak di tanah, barulah Kercak melakukan perlawanan.
Kera besar itu kuat bukan main. Beberapa kali Kercak melawan terus, memukul dan menendangi dan akhirnya kera besar itu berhasil di usirnya dan kera itu berteriak-teriak sambil lari terpincang-pincang. Sejak itu, Kercak di anggap jagoan dan pemimpin para kera muda. Biarpun dia menang, akan tetapi Kercak harus rebah sampai dua hari karena menderita sakit-sakit oleh gigitan dan bantingan kera besar itu.
Dalam usia sepuluh tahun Kercak telah menjadi pemimpin para kera yang ditakuti. Tidak seperti para pemimpin kera lainnnya, biarpun dia di anggap jagoan, Kercak tidak pernah merampas makanan kera lain, juga tidakpernah mengganggu kera-kera kecil atau kera-kera betina. Hal ini bahkan membuat kera itu tunduk kepadanya.
Pada suatu pagi, rombongan kera yang di kepalai Kercak tiba di tempat dimana dulu Lan Si dan si muka hitam tewas. Kini tinggal tulang belulang saja yang masih ada. Dengan heran Kercak menghampiri kerangka itu dan tertarik melihat benda yang berkilauan. Benda itu adalah sebuah kalung emas yang tergantung di leher kerangka yang lebih kecil. Diambilnya kalung emas itu dan seperti nalurinya memberitahu, kalung itu dia pakai di lehernya, dikalungkan dikepalanya dan tergantung dileher.
Dia senang sekali. Kemudian, dia melihat benda lain yang berkilauan, yaitu sebatang golong milik si muka hitam. Kalau kera lain tidak berani menyentuhnya, Kercak mengambilnya dan bermain-main dengan golok itu sampai golok itu menggores lengan kirinya. Dia menjerit dan melepaskan golok itu, lalu melarikan diri dengan lengan kiri berdarah.
Cepat di hisapnya luka pada lengannya, seperti yang biasa dilakukan pada kera kalau menderita luka dan segera dia mencari getah pohon Liu liar di dalam hutan untuk mengobati lukanya. Dalam beberapa hari saja luka itu sembuh. Mula-mula, dia takut melihat golok itu. Akan tetapi akal budinya sebagai sebagai manusia membuat dia memberanikan diri mendekat, dan menyentuh sambil ancang-ancang untuk lari apabila benda itu “menggigitnya“ lagi. Akan tetapi benda itu diam tidak bergerak. Lalu di ambil, di pegang pada gagangnya. Diayunnya benda itu kea rah sebatang pohon dan batang pohon itu terbacok, terbelah dan tumbang! Dia terkejut akan tetapi juga girang sekali.
Pada saat itu, terdengar kera-kera menjerit-jerit. Kercak terkejut dan cepat berlari kearah suara. Dan dia melihat seekor kera dibelit seekor ular sebesar pahanya. Kera itu tidak berdaya, mencicit-cicit dan kera-kera lain hanya dapat menjerit-jerit ketakutan. Melihat seorang kawannya dalam bahaya, Kercak segera melompat dekat dan dia teringat akan golok yang masih terpegang di tangannya dan batang pohon yang terpotong oleh goloknya. Maka, cepat diangkatnya golok itu.
Ular yang melihat Kercak berani mendekati, lalu mengangkat kepalanya dan hendak menyerang. Akan tetapi Kercak menggerakkan goloknya dengan kekuatan penuh dan leher itupun putus! Libatannya terhadap kera tadipun melonggar sehingga kera itu dapat melompat dan melarikan diri sambil menjerit-jerit. Kercak sendiri melompat menjauhi, akan tetapi dia memandang dengan hati gembira melihat hasil babatan goloknya. Ular itu mati seketika dengan leher putus. Semenjak peristiwa itu, Kercak makin di takuti semua kera, apalagi kemana-mana dia membawa goloknya yang tajam. Dan kini seolah menjadi raja tak bermahkota. Raja Kera!
Seperti diceritakan dibagian depan, pada waktu itu keadaan Negara amat kacau balau. Banyak raja muda berdiri sendiri dan terjadilah perebutan kekuasaan yang tak kunjung henti. Di tambah lagi dengan penyerbuan Bangsa Toba dan sekutunya dari barat dan utara sehingga pemerintah yang berkuasa di daerah-daerah tidak sempat melakukan penjagaan keamanan terhadap kehidupan rakyatnya. Karena itu, maka rakyat berusaha sendiri untuk melindungi diri dan hamper setiap orang belajar silat untuk menjada dan melindungi keluarga masing-masing.
Partai-partai dan kelompok-kelompok persilatan berdiri untuk melindungi anggota masing-masing. Perusahaan–perusahaan pengawalan barang dan orang juga didirikan kaum persilatan di kota besar. Hukum rimba berlaku dimana-mana dan orang mengandalkan kekuatan sendiri untuk hidup. Pemerintah daerah tidak dapat diandalkan karena pemerintah sibuk dengan urusan sendiri, perebutan kekuasaan dengan daerah-daerah lain.
Pada suatu pagi, serombongan terdiri dari selusin orang memasuki Lembah iblis dengan membawa bermacam barang, buntalan kain-kain dan peti-peti barang. Mereka adalah sekelompok perampok yang baru saja berhasil menghadang serombongan pedagang yang dikawal membawa barang-barang dagangan dan merampas barang dagangan itu, lalu mengerahkan kawan-kawan mereka melakukan pengejaran sehingga para perampok itu nekat memasuki Lembah Iblis untuk menyelamatkan diri dari pengejaran banyak orang.
Akan tetapi pihak pengejar, para piauwsu (pengawal barang) itu, yang bertanggung jawab atas kehilangan barang-barang, melakukan pengejaran terus memasuki lembah yang di takuti itu. Jumlah mereka ada tiga puluh orang maka mereka menjadi berani. Ketika rombongan perampok itu tiba di tengah hutan lebat, para pengejar dapat menyusul mereka dan karena tidak mungkin melarikan diri lagi, kepala perampok itu memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk melakukan perlawanan mati-matian.
Terjadilah pertempuran yang tidak seimbang antara dua belas orang perampok melawan tiga puluh orang piauwsu yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan itu. Para perampok itu mencoba untuk melakukan perlawanan mati-matian, bukan untuk mempertahankan barang rampokan lagi, melainkan untuk mempertahankan nyawa.
Namun, terjadilah pembantaian ketika tiga puluh orang piauwsu itu mengepung dan mengeroyok dan seorang demi seorang para perampok itu terbantai, roboh bergelimpangan dan berlumuran darah. Para piauwsu yang marah itu membunuh semua perampok dan setelah mengambil semua barang rampokan itu, mereka lalu meninggalkan tempat itu dengan girang, penuh kemenangan.
Banyak pasang mata menonton pertempuran itu. Mereka adalah para kera yang ketakutan dan menonton dari pohon-pohon yang tinggi. Di antara mereka adalah Kercak. Anak sepuluh tahun ini menonton dengan penuh perhatian, dengan jantung berdebar tegang dan aneh, tangan memegang golok dan matanya tidak pernah berkedip. Dia melihat mahluk yang seperti dia, kera-kera yang tidak berbulu, bertempur, menggunakan bermacam senjata, banyak pula yang memakai senjata seperti miliknya, saling bunuh memperebutkan barang-barang aneh. Dan semua kera berkulit halus itu menutupi tubuh mereka dengan semacam pembungkus!
Setelah pertempuran selesai, semua orang yang menang bertempur pergi meninggalkan sepuluh orang yang sudah menggeletak mandi darah, Kercak turun dari atas pohon, diikuti beberapa ekor kera besar yang masih takut-takut. Yang menarik perhatian Kercak adalah senjata-senjata itu. Dia berganti-ganti memungut pedang, tombak, ruyung, akan tetapi semua di buangnya kembali dan dia merasa bahwa semua barang itu tidak ada yang lebih baik daripada golok yang dipegangnya. Lalu dia meraba-raba pakaian mereka.
Ketika dia meraba seorang yang bertubuh tinggi kurus, orang itu bergerak sehingga dia terkejut, melompat jauh ke belakang dan siap dengan golok di tangan. Orang itu ternyata belum mati, dan di sangka mati oleh para lawannya. Kini dia bangkit duduk dan melihat Kercak, bocah berumur sepuluh tahun yang telanjang bulat dan memegang golok, rambutnya panjang terurai di punggung, orang itu terbelalak dan menggosok kedua mata dengan tangan untuk mengusir mimpi buruk itu. Akan tetapi, bocah itu masih berada di situ memandang kepadanya dengan aneh berdirinya agak membungkuk seperti kera.
“Sobat kecil, kau tolonglah aku...”
Orang itu menjulurkan kedua tangannya, lalu terkulai pingsan. Dia adalah kepala perampok yang bernama Boan Ki. Ketika Boan Ki sadar dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya sudah berada di bawah pohon besar tak jauh dari tempat terbunuhnya semua anak buahnya. Dia membuka mata dan bangkit duduk, melihat bahwa luka di pundaknya sudah di obati dengan semacam getah yang membuat luka itu terasa dingin. Baru saja dia membuka mata dan bangkit, ada orang mengguyur kepalanya dengan air.
Dia terkejut dan melihat bahwa yang melakukannya adalah bocah yang di lihatnya tadi. Ternyata anak itu membawa air dalam daun yang amat lebar dan air itu di guyurkan kepadanya. Kepala dan mukanya basah kutup , akan tetapi dia berterima kasih karena siraman air itu membuat dia merasa sejuk dan nyaman.
“Anak yang baik, engkau siapakah?” Boan Ki bertanya sambil duduk bersandar batang pohon.
Mendengar suara ini. Kercak nampak bingung dan dia mengeluarkan suara kera yang cecowetan, sambil tangannya bergerak-gerak ke kanan kiri. Kini Boan Ki yang menjadi bingung. Di ulanginya pertanyaannya namun bocah itu hanya dapat mengeluarkan suara seperti kera dan berloncat-loncatan. Dia menghela napas panjang. Selama hidupnya mendengarpun belum dia akan seorang anak manusia yang bersikap seperti kera, telanjang bulat namun telah menyelamatan nyawanya.
Dia lalu menuding ke arah dadanya sendiri dan berkata berulang-ulang, “Boan Ki, Boan Ki, Boan Ki…“ Maksudnya hendak memperkenalkan namanya kepada anak itu.
Kercak mendengarkan penuh perhatian. Karena suara itu berulang-ulang, dia lalu berusaha menirukan, “Aki… Aki…!”
Boan Ki tertawa bergelak mendengar namanya di sebut Aki, karena begitulah orang tuanya dulu menyebutnya. Dan melihat Boan Ki tertawa, Kercak juga ikut-ikutan tertawa, walaupun suara tawanya kak-kak-kek-kek seperti suara monyet.
Setelah agak lancer mengucapkan kata Aki, Boan Ki lalu menuding kearah dada Kercak dan berkata, “Kauw-Cu, Kauw Cu…!“ berulang-ulang.
Kembali Kercak menirukan, akan tetapi yang terdengar adalah “Akauw, Akauw, Akauw“
“Kauw Cu“ menunjukkan bahwa anak itu adalah seekor kera, dan kembali Boan Ki tertawa. Agaknya inilah pelajaran pertama bagi Kercak atau Akauw, yaitu bahwa tawa berarti baik dan benar.
Demikianlah, setelah kesehatannya pulih kembali, Boan Ki yang tidak berani keluar dari Lembah itu mulai hidup dengan Akauw yang mencarikan buah-buahan untuknya. Boan Ki mulai mengajarkan beberapa patah kata, dan mengajak Akauw untuk melemparkan semua mayat ke dalam jurang setelah melucuti pakaian mereka. Juga dia mengajarkan cara berpakaian kepada Akauw!
Karena semua pakaian itu semua kebesaran, maka Akauw memakai pakaian menjadi kedodoran, akan tetapi setelah mengenakan pakaian, dia nampak lebih sebagai manusia daripada sebagai kera. Agaknya, naluri dalam diri Kercak atau Akauw memberitahu kepadanya melalui perasaannya bahwa dia telah bertemu dengan bangsanya, maka dia pun menurut saja segala yang di ajarkan Boan Ki kepadanya.
Boan Ki mengajarkan membuat api, menangkap binatang hutan dan memanggang dagingnya dan segala macam cara hidup manusia biasa, walau pun cara itu amat sederhana karena keadaan mereka hidup di lembah yang penuh hutan liar itu. Boan Ki adalah seorang kepala perampok berusia empat puluh lima tahun yang biasa hidup keras dan tidak mengenal perikemanusiaan. Entah sudah berapa banyak orang di bunuhnya, perempuan di perkosanya.
Akan tetapi sekarang dia bersikap baik, seperti seorang guru yang tekun, sabar bagi Akauw. Hal ini bukan saja karena dia merasa telah diselamatkan nyawanya oleh anak itu, melainkan juga dia membutuhkan seorang kawan di tempat yang menyeramkan itu. Dengan bantuan Akauw, diapun kini membuat sebuah rumah dari daun-daun dan kayu ranting jauh di atas pohon sehingga diwaktu malam dia dapat tidur nyenyak tidak khawatir diganggu binantang buas.
Sang waktu berlalu amat cepatnya dan tahu-tahu tiga tahun telah lewat sejak Boan Ki hidup bersama Akauw di dalam hutan di Lembah Iblis. Selama itu, Boan Ki tidak berani beranjak terlalu jauh dari rumahnya diatas pohon karena beberapa kali dia nyaris celaka di serang binatang buas kalau saja tidak ada Akauw yang membelanya dan menyelamatkannya.
Suatu hari, ketika dia sedang berjalan seorang diri, seekor biruang besar menghadangnya dan menyerangnya. Boan Ki juga seorang yang kuat dan biasa menghadapi kekerasan, bahkan pernah belajar ilmu silat. Dengan pedang di tangan dia melakukan perlawanan mati-matian. Namun biruang itu menggereng-gereng dan menyerangnya dengan ganas sekali. Bacokan pedangnya dapat di tangkis dan pedangnya di renggut lepas oleh kaki depan biruang yang bercakar itu. Kemudian sebuah tamparan dari kaki depan biruang itu membuatnya terpelanting . Dalam keadaan gawat dia menjadi panik dan berteriak-teriak.
“Akauw… toloooongg!”
Pada saat itu, Akauw muncul. Pemuda remaja berusia empat belas tahun ini memang sudah tertarik oleh gerengan-gerengan biruang yang menjadi musuh utama para kera, maka dia sudah berlompatan dari dahan ke dahan, berayun-ayun menuju ke tempat itu. Dia melihat Boan Ki sudah menggeletak dan biruang itu siap untuk menerkamnya.
“Aki, diamlah, pura-pura mati!” kata Akauw yang kini sudah pandai bicara, lalu dia mengeluarkan teriakan melengking panjang, teriakan tantangan sebangsa kera seperti teman-temannya.
Biruang itu melihat lawannya rebah tak berkutik, menjadi sangsi, apalagi mendengar tantangan kera, dia membalik dengan marah. Pada saat itu, Akauw sudah melompat dari atas dan membacokkan goloknya dengan sekuat tenaga kearah kepala biruang itu. Biruang raksasa itu menangkis dengan sapokan lengannya, akan tetapi karena bacokan itu kuat sekali, lengannya menjadi tergores dan kulitnya robek. Biruang itu menggereng marah dan kesakitan, lalu menerkam kedepan.
Namun dengan tangkas dan gesit sekali Akauw sudah mengelak dengan lompatan ke kiri, kemudian goloknya membacok lagi, sekali ini melukai kaki belakang biruang itu. Setelah berulang kali menerima bacokan yang membuat kulitnya yang tebal tergores luka, biruang itu menjadi ketakutan dan melarikan diri.
Boan Ki bangkit berdiri dan memandang kagum. Anak berusia empat belas tahun yang tubuhnya sudah hampir sama tingginya dengan dia itu, kembali telah menyelamatkan nyawanya. Padahal anak itu sama sekali tidak pandai bersilat. Hanya gerakannya itu demikian ringan dan gesit seperti monyet, namun monyet yang banyak akalnya.
“Aki, lain kali jangan pergi sendiri jauh-jauh, bisa berbahaya“ kata Akauw yang biarpun masih agak kaku, namun setelah selama tiga tahun setiap hari belajar bercakap-cakap dengan Boan Ki, dia sudah cukup pandai mengutarakan perasaan hati dan pikirannya.
“Akauw, aku bosan berdiam di atas pohon atau di bawahnya setiap hari. Sudah tiga tahun aku berada di sini dan tidak pernah pergi lebih dari satu li jauhnya dari rumah kita. Aku bosan, Akauw “
“Kalau begitu, mari kuajak kau jalan-jalan, Aki. Aku mempunyai sebuah tempat yang amat indah, guha-guha yang penuh dengan benda bercahaya“
Wajah Boan Ki menjadi berseri. “Benarkah, Akauw? Mari kita pergi bermain-main ke sana!”
“Perjalanan itu cukup jauh menyusup lembah, kita harus berangkat pagi-pagi benar agar dapat sampai di sana dan dapat kembali lagi“
Demikianlah, pada keesokan harinya, sebelum terang tanah, baru saja sinar matahari menerangi angkasa, mereka sudah berangkat menuju kearah matahari, ke timur. Boan Ki merasa gembira sekali. Karena dia memang sudah bosan setengah mati setiap hari harus tinggal saja di situ. Bahkan berburu binatang untuk dimakanpun dilakukan oleh Akauw, dan dia tidak diperbolehkan meninggalkan tempat itu jauh-jauh. Kini dia melangkah lebar di samping Akauw, seorang tua berusia empat puluh delapan tahun dan seorang pemuda remaja berusia empat belas tahun.
Beberapa ekor kera hendak ikut, akan tetapi Akauw mengusir mereka. Dahulu, sebelum bertemu dengan Boan Ki, dalam perantauannya menjelajahi lembah, dia menemukan tempat itu dan di rahasiakannya. Dia tidak ingin tempat itu dijadikan tempat tinggal para kera dan menjadi kotor. Setelah matahari naik tinggi, tibalah mereka di lereng yang penuh batu-batu.
“Itu di sana tempatnya!” Akauw menuding.
Boan Ki memandang gembira. Perjalanan tadi saja sudah cukup mendebarkan hati. Mereka bertemu dengan binatang-binatang buas. Kalau saja tidak bersama Akauw, entah bagaimana jadinya. Tak mungkin dia dapat melewati binatang-binatang buas seperti biruang, harimau dan ular-ular besar itu. Akauw membawanya naik ke pohon dan melompat dari dahan ke dahan, bergantungan pada akar gantung dan melewati binatang-binatang itu dengan selamat. Kini mereka tiba di bagian yang penuh batu-batuan, dan dari jauh dia melihat bahwa yang di tunjuk Akauw itu adalah sederetan guha-guha besar.
“Mari kita ke sana!” kata Akauw dan mereka berlari-lari menuju ke tempat itu. Ada guha yang penuh dengan arca-arca, sebagian dari arca itu belum sempurna benar, belum selesai dibuatnya. Dan Akauw menarik tangannya di ajak ke sebuah guha yang kecil di sudut. “Disini tempat batu-batu berkilauan itu!” katanya gembira melihat kawannya gembira.
Dan begitu memasuki guha itu Boan Ki terbelalak dan cepat lari memasuki guha, meraba dinding guha yang berkilauan. “Emas…! Emass…! Kita kaya raya…! Ahh, banyak emas di sini, Akauw!”
“Emas? Kaya Raya? Apa itu?” Akauw bingung karena belum pernah dia mendengar sebutan emas dan kaya raya.
Boan Ki menjadi diam. Bodoh dia kalau sampai memberitahu Akauw. Mungkin saja pada suatu hari Akauw akan bertemu orang lain dan kalau dia bicara kepada orang itu tentang guha ini, dan tentang emas… ah, dia harus cerdik.
“Tidak apa-apa, Akauw. Ini adalah batu biasa, hanya berkilauan. Dan kita gembira. Aku gembira karena di sini indah sekali. Aku ingin tinggal di sini, Akauw...“
“Tidak, Aki... Kita harus pulang ke tempat kita. Di sini kita akan kelaparan, tidak ada buah-buahan, juga jarang ada binatang buruan. mari kita pulang sebelum malam tiba, Aki“
“Tidak, aku tinggal di sini…!”
Kemudian dia melihat betapa Akauw mengerutkan alisnya. Ah , dia tidak boleh membuat Akauw curiga, maka Boan Ki lalu tertawa. “Ah, baiklah Akauw, mari kita pulang“
Akauw nampak gembira kembali setelah Boan Ki mau di ajak pulang.
Malam itu, di atas pohon, Boan Ki gelisah tak dapat tidur. Dia tahu bahwa Akauw tadinya putera manusia biasa, bahkan dari kalung yang di pakainya, yang ada huruf Cian, agaknya orang tuanya bermarga Cian. Kalau sampai ada orang lain yang tahu bahwa tak jauh dari situ, hanya perjalanan setengah hari, terdapat guha penuh dengan emas, tentu akan ada saingan baginya. Tidak boleh, dia harus mendapatkan semua emas itu, lalu berusaha keluar dari lembah ini dan menjadi seorang yang kaya raya. Akan tetapi Akauw menjadi penghalang baginya. Selain mungkin Akauw akan menghalangi dia mengambil emas, juga Akauw perlu di singkirkan, karena dapat memberitahu orang lain.
Benda memiliki daya pengaruh yang amat kuat bagi manusia. Karena dari benda-benda ini manusia memperoleh berbagai kesenangan, maka kalau tadinya manusia mempergunakan benda bagi keperluan hidupnya, kemudian keadaannya malah berbalik. Benda menguasai batin manusia saling bunuh karena benda, bahkan di antara saudara sendiri timbul pertengkaran dan permusuhan karena saling memperebutkan benda. Namanya saja benda mati, akan tetapi daya pengaruhnya sungguh besar, melebihi pengaruh daya lain.
Demikian pula dengan Boan Ki. Tadinya dia menganggap Akauw sebagai teman hidupnya di tempat terpencil itu, selain sebagai penolongnya dalam segala hal. Akan tetapi begitu dia melihat emas, semua itu terlupa . Daya pengaruh emas yang berkilauan itu mempengaruhi dan mencengkramnya, dan untuk mendapatkan emas itu, dia bersedia melakukan apa saja, yang sejahat-jahatnya sekalipun.
Mendapatkan emas itu berarti kesenangan, kemuliaan, karena kaya raya dan untuk mendapatkan itu, jangankan hanya Akauw yang bukan apa-apanya, bahkan andaikata Akauw itu saudaranya sendiri sekalipun, mungkin akan di dikorbankannya juga. Kalau kita tergesa mengatakan bahwa Boan Ki seorang yang kejam, tidak berperikemanusiaan, maka sebaiknya kita menengok kepada diri sendiri, apakah kita tidak pernah bertengkar karena uang dengan sahabat baik kita, saudara kita, keluarga kita, bahkan isteri atau anak kita sendiri? Kalau sudah begitu, baru kita tahu betapa hebat dan kuat daya pengaruh benda itu mencengkram batin kita.
Bahkan sampai pada abad ke lima, bangsa Tiongkok masih belum dapat menikmati kehidupan yang tentram. Hukum rimba berlaku dimana-mana, siapa kuat dia menang dan siapa menang dia kuasa dan yang berkuasa selalu benar. Kesengsaraan memuncak dan kekacauan menghebat ketika bangsa-bangsa Nomad, yaitu suku Hsiung-nu, Turki, Tibet dan Bangsa Toba mempersatukan diri dan menyerbu ke selatan. Akhirnya seluruh Tiongkok utara dapat dikuasai oleh suku bangsa Toba yang mendirikan Kerajaan Toba (Mongol). Tiongkok kembali terpecah belah dan kekacauan berlangsung terus.
Kisah ini dimulai dalam jaman yang kacau itu, sekitar tahun 545 Masehi. Pada suatu hari, seorang wanita menggendong anaknya yang baru berusia setahun, berlari-lari mendaki bukit dan dengan nekat memasuki daerah Lembah Iblis. Padahal, lembah ini merupakan daerah yang amat di takuti. Bahkan para pemburu yang paling gagah sekalipun tidak berani memasuki lembah ini. walaupun berkawan banyak. Mereka semua percaya bahwa lembah ini di huni oleh iblis-iblis yang jahat.
Akan tetapi wanita itu nekat, lari memasuki lembah sambil menggendong anaknya dan sambil menangis. Ia seorang wanita berusia dua puluh tahun lebih, cantik manis walaupun pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang desa. Anak yang di gendongnya adalah seorang anak laki-laki yang tidak menangis karena ia di dekap di dada ibunya dan mulutnya di sumbat putting buah dada yang penuh air susu. Beberapa kali wanita itu menengok dan ketika melihat bahwa laki-laki itu masih terus mengejarnya, ia berlari semakin cepat memasuki hutan pertama di lembah itu.
Laki-laki yang mengejarnya itu berusia empat puluh tahun, tinggi besar bermuka hitam, di punggungnya terselip sebatang golok yang masih merah karena berlepotan darah. Dia baru saja membunuh suami wanita itu dan kini mengejar si wanita. Pada masa itu kejadian seperti ini seringkali berlangsung Perampokan, perkosaan, pembunuhan terjadi dimana-mana tanpa ada pihak penguasa yang dapat menanggulanginya.
Suami wanita itu bernama Cian Kim, seorang petani yang tinggi besar dan termasuk jagoan di dusunnya. Akan tetapi hari itu dusun di datangi segerombolan orang kasar dipimpin orang tinggi besar bermuka hitam itu. Mereka merampok dusun dan ketika melihat isteri Cian Kim, kepala perampok itu terpesona dan segera mengejarnya. Suaminya segera turun tangan menghalanginya, akan tetapi kepala perampok itu lalu menyerangnya dengan golok. Terjadi perkelahian tidak seimbang. Karena kepala perampok itu pandai bermain silat dan tak lama kemudian Cian Kim roboh mandi darah dan tewas. Isterinya, Lan Si, lari sambil menggendong puteranya, di kejar oleh kepala perampok itu.
Dan kini mereka memasuki Lembah Iblis. Agaknya nafsu berahi telah naik ke otak kepala perampok itu yang tergila-gila melihat Lan Si yang montok dan manis itu. Maka diapun lupa bahwa dia telah memasuki daerah yang amat di takuti itu.
“Berhenti, manis, ha-ha-ha. Engkau hendak lari kemana lagi? Menyerahlah dan aku tidak akan mengganggu anakmu. ha-ha!” kepala perampok itu tertawa melihat betapa wanita itu sudah mulai kendur larinya.
Mereka tiba di bagian yang banyak pohon-pohon besarnya. Dan wanita yang sudah kelelahan itu akhirnya tersandung akar pohon dan terjerembab jatuh, dan terdengarlah puteranya menangis menjerit-jerit.
“Ha-ha-ha, engkau tak dapat lari lagi…!“ Si muka hitam tertawa bergelak dan menubruk kearah wanita yang masih rebah miring itu.
Akan tetapi tiba-tiba semua pohon sekeliling tempat itu bergoyang-goyang dan terdengar suara cecowetan riuh rendah, lalu banyak sekali kera yang besar berlompatan dari atas pohon, ada yang langsung menubruk kearah laki-laki bermuka hitam itu. Banyak sekali kera itu, puluhan banyaknya dan tinggi mereka kalau berdiri ada yang mencapai satu meter!
Laki-laki muka hitam itu terkejut sekali karena selagi dia membungkuk, sebelum tangannya dapat menyentuh tubuh wanita itu, punggungnya di timpa beberapa ekor kera yang langsung menggigit tengkuknya. Dia berteriak dan menggunakan kedua tangan untuk memukul, kemudian dia mencabut goloknya dan mengamuk. Akan tetapi kera-kera itu gesit sekali dan pandai mengelak. Akhirnya, biarpun goloknya mampu merobohkan empat ekor kera, ada kera besar yang menggigit lengan kanannya, ada pula yang memeluk dari belakang menggigit tengkuk, ada yang memegangi kaki dan menggigit kedua kakinya.
Tidak kurang dari sepuluh ekor kera mengeroyok dan menggigitnya dan akhirnya si muka hitam itu hanya mampu berteriak melolong-lolong. Akan tetapi teriakannya makin melemah dan ketika ada kera menggigit kerongkongannya, diapun berkelojotan dan tak lama kemudian mati dalam keadaan tubuh penuh luka terkoyak.
Sementara itu, setiap ekor kera yang menjamah wanita itu, menarik kembali tangannya. Kiranya wanita itu telah mati. Ketika tadi jatuh terjerembab, kepalanya terbentur batu demikian kerasnya sehingga kepala itu retak dan wanita itu tewas tak lama kemudian.
Seekor kera betina, yang buah dadanya menggembung karena baru dua hari yang lalu ia melahirkan anak yang mati katika lahir, ketika melihat bayi yang menangis menjerit-jerit membuat kera yang lain ketakutan, segera menyambar bayi itu dan secara naluriah ia mendekap bayi itu, membiarkan mulut bayi bertemu putting susunya yang besar. Seketika bayi itu berhenti tangisnya dan dia sudah menyusu dengan enaknya lalu tertidur dalam pondongan kera betina, jauh tinggi di atas pohon besar.
Setiap kali ada monyet lain mendekat, betina yang besar itu menyerengai, memperlihatkan gigi dengan sikap mengancam dan sejak saat itu ia menjadi ibu dari bayi itu. Ia telah memperoleh pengganti anaknya yang mati ketika lahir karena beberapa hari sebelumnya ia terjatuh katika dahan yang diinjaknya patah.
Mayat si muka hitam dan mayat ibu muda itu tak lama kemudian juga menjadi mangsa-mangsa hewan-hewan hutan yang liar sehingga beberapa hari kemudian yang tinggal hanyalah tulang belulangnya saja.
Kematian datang begitu tiba-tiba, kepada siapa saja yang sudah tiba saatnya. Akan tetapi bocah itu, secara aneh sekali dan tidak wajar telah terhindar dari kematian. Siapakah yang mengatur semua ini? Yang mesti mati, matilah. Yang mesti hidup, dengan cara aneh dapat hidup. Sungguh besar sekali kekuasaan yang mengatur segala sesuatu di jagat raya ini. Biarpun dalam pandangan manusia peristiwa yang terjadi di Lembah Iblis itu nampak aneh.
Namun sesungguhnya hanya merupakan peristiwa kecil tak berarti apa bila di bandingkan dengan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi setiap saat di alam semesta ini. Kekuasaan yang mengatur semua itu, dari peristiwa terkecil sampai peristiwa terbesar, adalah tunggal. Kekuasaan Tuhan menyusup dan mengatur dimana saja, tak terkecuali di manapun juga mendahului yang terdahulu dan mengakhiri yang terakhir.
Sejak anak bayi berusia setahun itu di sambar dari dekapan ibu kandungnya yang tewas oleh sepasang lengan panjang seekor kera betina, maka mulailah riwayat hidup seorang anak manusia yang luar biasa. Keadaan dan cara kehidupan monyet yang serba keras dan sukar, menggemblengnya menjadi seorang mahluk setengah manusia setengah kera. Jalannya, caranya meloncat, caranya menyerengai, berkelahi, makan apa saja yang biasa dimakan orang-orang hutan itu, persis kera besar.
Akan tetapi ada suatu kelebihan padanya yang tidak ada pada kera itu, yaitu akal budi. Dalam hal pertumbuhan jasmani, induk kera itu seringkali merasa tak sabar karena anaknya itu tak kunjung besar dan tidak kunjung kuat. Masih saja lemah dan memerlukan penjagaannya selalu. Kalau tidak, tentu anaknya itu sudah terjatuh dari atas pohon atau kena gigit kera-kera temannya karena gigi anaknya tidak tumbuh kuat runcing seperti kera-kera lain.
Namun, setelah anak itu berusia lima enam tahun m, ternyata dia dapat mengalahkan semua teman bermainnya. Dia pandai sekali bagi ukuran kera, naluri dan kepekaannya sama dengan kera, akan tetapi akal budinya seperti manusia. Dia dapat mempergunakan batu, kayu dan benda apa saja yang keras untuk senjata, sedangkan kera-kera lain tidak mampu. Dia juga bukan hanya pandai berayun-ayun dan berlompatan seperti kera, walaupun kalah gesit, akan tetapi dapat pula berlari secepat kijang, hal yang tidak dapat dilakukan kera lain.
Pada suatu hari, selagi anak itu bersama kera-kera lainnya bermain dan bergelut di atas pohon, dibawah sana terdapat sebuah telaga kecil, tiba-tiba anak itu terpeleset dan terjatuh ke dalam air yang dalam. Semua kera kebingungan, juga induk kera menjerit-jerit. Jatuh ke dalam air itu berarti mati, kematian yang menyedihkan. Akan tetapi, biarpun amat ketakutan, anak itu menggerakkan kaki tangannya, meronta dari pelukan air dan tubuhnya tidak jadi tenggelam, melainkan mengapung ke permukaan airnya.
Hanya akal budinya sebagai manusia yang memberitahu kepadanya bahwa dengan menggerakkan kaki tangannya, dia tidak tenggelam dan demikianlah, dia malah bermain-main di air itu dan merasa tubuhnya segar dan nyaman sekali. Semenjak peristiwa itu anak itu sering kali terjun ke air dan berenang kian kemari, membuat para kera itu tertegun kagum dan juga kuatir.
Namun, setiap mahluk, setiap tumbuh-tumbuhan, semua bertumbuh sesuai dengan kodratnya. Walaupun lingkungan mempengaruhi dan membentuk wataknya, seperti anak itu yang wataknya menjadi mirip watak kera, namun dia tetap saja seorang manusia. Oleh teman-temannya kera-kera muda, anak itu di “panggil“ dengan nama kercak.
Kercak si kera putih tanpa bulu ini tetap saja seorang manusia yang lain sama sekali daripada kera itu. Dia menyadari hal ini, kadang dia merasa malu melihat keadaan tubuhnya yang tidak berbulu itu. Pernah dia melumuri dirinya dengan Lumpur agar agak sama dengan kawan-kawannya. Akan tetapi setelah Lumpur itu mengering, dia merasa tidak enak sekali dan pergi berenang untuk membersihkan dirinya lagi.
Selain itu, Kercak juga memiliki rasa keadilan yang tidak dimiliki teman-temannya. Kalau ada kera nakal merebut makanan dari kera lain, dia tentu membela kera yang makanannya di rebut itu dan dalam setiap pergulatan, dia selalu keluar sebagai pemenang. Kalau kera-kera itu hanya bisa mencakar dan menggigit, maka kercak dapat memukul dan menendang, juga menggigit.
Pada suatu pagi, dia melihat seekor kera besar mengejar-ngejar para kera muda dan merampas buah-buahan mereka. Kercak melihat ini menjadi marah dan dia menggereng seperti kera marah. Kera besar itu membalik dan menyerangnya. Kercak agaknya maklum bahwa kalau berkelahi di pohon, dia akan kalah karena gerakannya tidaklah segesit kera, maka dia lalu mengayun dirinya turun, dikejar oleh kera besar. Setelah keduanya berpijak di tanah, barulah Kercak melakukan perlawanan.
Kera besar itu kuat bukan main. Beberapa kali Kercak melawan terus, memukul dan menendangi dan akhirnya kera besar itu berhasil di usirnya dan kera itu berteriak-teriak sambil lari terpincang-pincang. Sejak itu, Kercak di anggap jagoan dan pemimpin para kera muda. Biarpun dia menang, akan tetapi Kercak harus rebah sampai dua hari karena menderita sakit-sakit oleh gigitan dan bantingan kera besar itu.
Dalam usia sepuluh tahun Kercak telah menjadi pemimpin para kera yang ditakuti. Tidak seperti para pemimpin kera lainnnya, biarpun dia di anggap jagoan, Kercak tidak pernah merampas makanan kera lain, juga tidakpernah mengganggu kera-kera kecil atau kera-kera betina. Hal ini bahkan membuat kera itu tunduk kepadanya.
Pada suatu pagi, rombongan kera yang di kepalai Kercak tiba di tempat dimana dulu Lan Si dan si muka hitam tewas. Kini tinggal tulang belulang saja yang masih ada. Dengan heran Kercak menghampiri kerangka itu dan tertarik melihat benda yang berkilauan. Benda itu adalah sebuah kalung emas yang tergantung di leher kerangka yang lebih kecil. Diambilnya kalung emas itu dan seperti nalurinya memberitahu, kalung itu dia pakai di lehernya, dikalungkan dikepalanya dan tergantung dileher.
Dia senang sekali. Kemudian, dia melihat benda lain yang berkilauan, yaitu sebatang golong milik si muka hitam. Kalau kera lain tidak berani menyentuhnya, Kercak mengambilnya dan bermain-main dengan golok itu sampai golok itu menggores lengan kirinya. Dia menjerit dan melepaskan golok itu, lalu melarikan diri dengan lengan kiri berdarah.
Cepat di hisapnya luka pada lengannya, seperti yang biasa dilakukan pada kera kalau menderita luka dan segera dia mencari getah pohon Liu liar di dalam hutan untuk mengobati lukanya. Dalam beberapa hari saja luka itu sembuh. Mula-mula, dia takut melihat golok itu. Akan tetapi akal budinya sebagai sebagai manusia membuat dia memberanikan diri mendekat, dan menyentuh sambil ancang-ancang untuk lari apabila benda itu “menggigitnya“ lagi. Akan tetapi benda itu diam tidak bergerak. Lalu di ambil, di pegang pada gagangnya. Diayunnya benda itu kea rah sebatang pohon dan batang pohon itu terbacok, terbelah dan tumbang! Dia terkejut akan tetapi juga girang sekali.
Pada saat itu, terdengar kera-kera menjerit-jerit. Kercak terkejut dan cepat berlari kearah suara. Dan dia melihat seekor kera dibelit seekor ular sebesar pahanya. Kera itu tidak berdaya, mencicit-cicit dan kera-kera lain hanya dapat menjerit-jerit ketakutan. Melihat seorang kawannya dalam bahaya, Kercak segera melompat dekat dan dia teringat akan golok yang masih terpegang di tangannya dan batang pohon yang terpotong oleh goloknya. Maka, cepat diangkatnya golok itu.
Ular yang melihat Kercak berani mendekati, lalu mengangkat kepalanya dan hendak menyerang. Akan tetapi Kercak menggerakkan goloknya dengan kekuatan penuh dan leher itupun putus! Libatannya terhadap kera tadipun melonggar sehingga kera itu dapat melompat dan melarikan diri sambil menjerit-jerit. Kercak sendiri melompat menjauhi, akan tetapi dia memandang dengan hati gembira melihat hasil babatan goloknya. Ular itu mati seketika dengan leher putus. Semenjak peristiwa itu, Kercak makin di takuti semua kera, apalagi kemana-mana dia membawa goloknya yang tajam. Dan kini seolah menjadi raja tak bermahkota. Raja Kera!
********************
Seperti diceritakan dibagian depan, pada waktu itu keadaan Negara amat kacau balau. Banyak raja muda berdiri sendiri dan terjadilah perebutan kekuasaan yang tak kunjung henti. Di tambah lagi dengan penyerbuan Bangsa Toba dan sekutunya dari barat dan utara sehingga pemerintah yang berkuasa di daerah-daerah tidak sempat melakukan penjagaan keamanan terhadap kehidupan rakyatnya. Karena itu, maka rakyat berusaha sendiri untuk melindungi diri dan hamper setiap orang belajar silat untuk menjada dan melindungi keluarga masing-masing.
Partai-partai dan kelompok-kelompok persilatan berdiri untuk melindungi anggota masing-masing. Perusahaan–perusahaan pengawalan barang dan orang juga didirikan kaum persilatan di kota besar. Hukum rimba berlaku dimana-mana dan orang mengandalkan kekuatan sendiri untuk hidup. Pemerintah daerah tidak dapat diandalkan karena pemerintah sibuk dengan urusan sendiri, perebutan kekuasaan dengan daerah-daerah lain.
Pada suatu pagi, serombongan terdiri dari selusin orang memasuki Lembah iblis dengan membawa bermacam barang, buntalan kain-kain dan peti-peti barang. Mereka adalah sekelompok perampok yang baru saja berhasil menghadang serombongan pedagang yang dikawal membawa barang-barang dagangan dan merampas barang dagangan itu, lalu mengerahkan kawan-kawan mereka melakukan pengejaran sehingga para perampok itu nekat memasuki Lembah Iblis untuk menyelamatkan diri dari pengejaran banyak orang.
Akan tetapi pihak pengejar, para piauwsu (pengawal barang) itu, yang bertanggung jawab atas kehilangan barang-barang, melakukan pengejaran terus memasuki lembah yang di takuti itu. Jumlah mereka ada tiga puluh orang maka mereka menjadi berani. Ketika rombongan perampok itu tiba di tengah hutan lebat, para pengejar dapat menyusul mereka dan karena tidak mungkin melarikan diri lagi, kepala perampok itu memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk melakukan perlawanan mati-matian.
Terjadilah pertempuran yang tidak seimbang antara dua belas orang perampok melawan tiga puluh orang piauwsu yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan itu. Para perampok itu mencoba untuk melakukan perlawanan mati-matian, bukan untuk mempertahankan barang rampokan lagi, melainkan untuk mempertahankan nyawa.
Namun, terjadilah pembantaian ketika tiga puluh orang piauwsu itu mengepung dan mengeroyok dan seorang demi seorang para perampok itu terbantai, roboh bergelimpangan dan berlumuran darah. Para piauwsu yang marah itu membunuh semua perampok dan setelah mengambil semua barang rampokan itu, mereka lalu meninggalkan tempat itu dengan girang, penuh kemenangan.
Banyak pasang mata menonton pertempuran itu. Mereka adalah para kera yang ketakutan dan menonton dari pohon-pohon yang tinggi. Di antara mereka adalah Kercak. Anak sepuluh tahun ini menonton dengan penuh perhatian, dengan jantung berdebar tegang dan aneh, tangan memegang golok dan matanya tidak pernah berkedip. Dia melihat mahluk yang seperti dia, kera-kera yang tidak berbulu, bertempur, menggunakan bermacam senjata, banyak pula yang memakai senjata seperti miliknya, saling bunuh memperebutkan barang-barang aneh. Dan semua kera berkulit halus itu menutupi tubuh mereka dengan semacam pembungkus!
Setelah pertempuran selesai, semua orang yang menang bertempur pergi meninggalkan sepuluh orang yang sudah menggeletak mandi darah, Kercak turun dari atas pohon, diikuti beberapa ekor kera besar yang masih takut-takut. Yang menarik perhatian Kercak adalah senjata-senjata itu. Dia berganti-ganti memungut pedang, tombak, ruyung, akan tetapi semua di buangnya kembali dan dia merasa bahwa semua barang itu tidak ada yang lebih baik daripada golok yang dipegangnya. Lalu dia meraba-raba pakaian mereka.
Ketika dia meraba seorang yang bertubuh tinggi kurus, orang itu bergerak sehingga dia terkejut, melompat jauh ke belakang dan siap dengan golok di tangan. Orang itu ternyata belum mati, dan di sangka mati oleh para lawannya. Kini dia bangkit duduk dan melihat Kercak, bocah berumur sepuluh tahun yang telanjang bulat dan memegang golok, rambutnya panjang terurai di punggung, orang itu terbelalak dan menggosok kedua mata dengan tangan untuk mengusir mimpi buruk itu. Akan tetapi, bocah itu masih berada di situ memandang kepadanya dengan aneh berdirinya agak membungkuk seperti kera.
“Sobat kecil, kau tolonglah aku...”
Orang itu menjulurkan kedua tangannya, lalu terkulai pingsan. Dia adalah kepala perampok yang bernama Boan Ki. Ketika Boan Ki sadar dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya sudah berada di bawah pohon besar tak jauh dari tempat terbunuhnya semua anak buahnya. Dia membuka mata dan bangkit duduk, melihat bahwa luka di pundaknya sudah di obati dengan semacam getah yang membuat luka itu terasa dingin. Baru saja dia membuka mata dan bangkit, ada orang mengguyur kepalanya dengan air.
Dia terkejut dan melihat bahwa yang melakukannya adalah bocah yang di lihatnya tadi. Ternyata anak itu membawa air dalam daun yang amat lebar dan air itu di guyurkan kepadanya. Kepala dan mukanya basah kutup , akan tetapi dia berterima kasih karena siraman air itu membuat dia merasa sejuk dan nyaman.
“Anak yang baik, engkau siapakah?” Boan Ki bertanya sambil duduk bersandar batang pohon.
Mendengar suara ini. Kercak nampak bingung dan dia mengeluarkan suara kera yang cecowetan, sambil tangannya bergerak-gerak ke kanan kiri. Kini Boan Ki yang menjadi bingung. Di ulanginya pertanyaannya namun bocah itu hanya dapat mengeluarkan suara seperti kera dan berloncat-loncatan. Dia menghela napas panjang. Selama hidupnya mendengarpun belum dia akan seorang anak manusia yang bersikap seperti kera, telanjang bulat namun telah menyelamatan nyawanya.
Dia lalu menuding ke arah dadanya sendiri dan berkata berulang-ulang, “Boan Ki, Boan Ki, Boan Ki…“ Maksudnya hendak memperkenalkan namanya kepada anak itu.
Kercak mendengarkan penuh perhatian. Karena suara itu berulang-ulang, dia lalu berusaha menirukan, “Aki… Aki…!”
Boan Ki tertawa bergelak mendengar namanya di sebut Aki, karena begitulah orang tuanya dulu menyebutnya. Dan melihat Boan Ki tertawa, Kercak juga ikut-ikutan tertawa, walaupun suara tawanya kak-kak-kek-kek seperti suara monyet.
Setelah agak lancer mengucapkan kata Aki, Boan Ki lalu menuding kearah dada Kercak dan berkata, “Kauw-Cu, Kauw Cu…!“ berulang-ulang.
Kembali Kercak menirukan, akan tetapi yang terdengar adalah “Akauw, Akauw, Akauw“
“Kauw Cu“ menunjukkan bahwa anak itu adalah seekor kera, dan kembali Boan Ki tertawa. Agaknya inilah pelajaran pertama bagi Kercak atau Akauw, yaitu bahwa tawa berarti baik dan benar.
Demikianlah, setelah kesehatannya pulih kembali, Boan Ki yang tidak berani keluar dari Lembah itu mulai hidup dengan Akauw yang mencarikan buah-buahan untuknya. Boan Ki mulai mengajarkan beberapa patah kata, dan mengajak Akauw untuk melemparkan semua mayat ke dalam jurang setelah melucuti pakaian mereka. Juga dia mengajarkan cara berpakaian kepada Akauw!
Karena semua pakaian itu semua kebesaran, maka Akauw memakai pakaian menjadi kedodoran, akan tetapi setelah mengenakan pakaian, dia nampak lebih sebagai manusia daripada sebagai kera. Agaknya, naluri dalam diri Kercak atau Akauw memberitahu kepadanya melalui perasaannya bahwa dia telah bertemu dengan bangsanya, maka dia pun menurut saja segala yang di ajarkan Boan Ki kepadanya.
Boan Ki mengajarkan membuat api, menangkap binatang hutan dan memanggang dagingnya dan segala macam cara hidup manusia biasa, walau pun cara itu amat sederhana karena keadaan mereka hidup di lembah yang penuh hutan liar itu. Boan Ki adalah seorang kepala perampok berusia empat puluh lima tahun yang biasa hidup keras dan tidak mengenal perikemanusiaan. Entah sudah berapa banyak orang di bunuhnya, perempuan di perkosanya.
Akan tetapi sekarang dia bersikap baik, seperti seorang guru yang tekun, sabar bagi Akauw. Hal ini bukan saja karena dia merasa telah diselamatkan nyawanya oleh anak itu, melainkan juga dia membutuhkan seorang kawan di tempat yang menyeramkan itu. Dengan bantuan Akauw, diapun kini membuat sebuah rumah dari daun-daun dan kayu ranting jauh di atas pohon sehingga diwaktu malam dia dapat tidur nyenyak tidak khawatir diganggu binantang buas.
********************
Sang waktu berlalu amat cepatnya dan tahu-tahu tiga tahun telah lewat sejak Boan Ki hidup bersama Akauw di dalam hutan di Lembah Iblis. Selama itu, Boan Ki tidak berani beranjak terlalu jauh dari rumahnya diatas pohon karena beberapa kali dia nyaris celaka di serang binatang buas kalau saja tidak ada Akauw yang membelanya dan menyelamatkannya.
Suatu hari, ketika dia sedang berjalan seorang diri, seekor biruang besar menghadangnya dan menyerangnya. Boan Ki juga seorang yang kuat dan biasa menghadapi kekerasan, bahkan pernah belajar ilmu silat. Dengan pedang di tangan dia melakukan perlawanan mati-matian. Namun biruang itu menggereng-gereng dan menyerangnya dengan ganas sekali. Bacokan pedangnya dapat di tangkis dan pedangnya di renggut lepas oleh kaki depan biruang yang bercakar itu. Kemudian sebuah tamparan dari kaki depan biruang itu membuatnya terpelanting . Dalam keadaan gawat dia menjadi panik dan berteriak-teriak.
“Akauw… toloooongg!”
Pada saat itu, Akauw muncul. Pemuda remaja berusia empat belas tahun ini memang sudah tertarik oleh gerengan-gerengan biruang yang menjadi musuh utama para kera, maka dia sudah berlompatan dari dahan ke dahan, berayun-ayun menuju ke tempat itu. Dia melihat Boan Ki sudah menggeletak dan biruang itu siap untuk menerkamnya.
“Aki, diamlah, pura-pura mati!” kata Akauw yang kini sudah pandai bicara, lalu dia mengeluarkan teriakan melengking panjang, teriakan tantangan sebangsa kera seperti teman-temannya.
Biruang itu melihat lawannya rebah tak berkutik, menjadi sangsi, apalagi mendengar tantangan kera, dia membalik dengan marah. Pada saat itu, Akauw sudah melompat dari atas dan membacokkan goloknya dengan sekuat tenaga kearah kepala biruang itu. Biruang raksasa itu menangkis dengan sapokan lengannya, akan tetapi karena bacokan itu kuat sekali, lengannya menjadi tergores dan kulitnya robek. Biruang itu menggereng marah dan kesakitan, lalu menerkam kedepan.
Namun dengan tangkas dan gesit sekali Akauw sudah mengelak dengan lompatan ke kiri, kemudian goloknya membacok lagi, sekali ini melukai kaki belakang biruang itu. Setelah berulang kali menerima bacokan yang membuat kulitnya yang tebal tergores luka, biruang itu menjadi ketakutan dan melarikan diri.
Boan Ki bangkit berdiri dan memandang kagum. Anak berusia empat belas tahun yang tubuhnya sudah hampir sama tingginya dengan dia itu, kembali telah menyelamatkan nyawanya. Padahal anak itu sama sekali tidak pandai bersilat. Hanya gerakannya itu demikian ringan dan gesit seperti monyet, namun monyet yang banyak akalnya.
“Aki, lain kali jangan pergi sendiri jauh-jauh, bisa berbahaya“ kata Akauw yang biarpun masih agak kaku, namun setelah selama tiga tahun setiap hari belajar bercakap-cakap dengan Boan Ki, dia sudah cukup pandai mengutarakan perasaan hati dan pikirannya.
“Akauw, aku bosan berdiam di atas pohon atau di bawahnya setiap hari. Sudah tiga tahun aku berada di sini dan tidak pernah pergi lebih dari satu li jauhnya dari rumah kita. Aku bosan, Akauw “
“Kalau begitu, mari kuajak kau jalan-jalan, Aki. Aku mempunyai sebuah tempat yang amat indah, guha-guha yang penuh dengan benda bercahaya“
Wajah Boan Ki menjadi berseri. “Benarkah, Akauw? Mari kita pergi bermain-main ke sana!”
“Perjalanan itu cukup jauh menyusup lembah, kita harus berangkat pagi-pagi benar agar dapat sampai di sana dan dapat kembali lagi“
Demikianlah, pada keesokan harinya, sebelum terang tanah, baru saja sinar matahari menerangi angkasa, mereka sudah berangkat menuju kearah matahari, ke timur. Boan Ki merasa gembira sekali. Karena dia memang sudah bosan setengah mati setiap hari harus tinggal saja di situ. Bahkan berburu binatang untuk dimakanpun dilakukan oleh Akauw, dan dia tidak diperbolehkan meninggalkan tempat itu jauh-jauh. Kini dia melangkah lebar di samping Akauw, seorang tua berusia empat puluh delapan tahun dan seorang pemuda remaja berusia empat belas tahun.
Beberapa ekor kera hendak ikut, akan tetapi Akauw mengusir mereka. Dahulu, sebelum bertemu dengan Boan Ki, dalam perantauannya menjelajahi lembah, dia menemukan tempat itu dan di rahasiakannya. Dia tidak ingin tempat itu dijadikan tempat tinggal para kera dan menjadi kotor. Setelah matahari naik tinggi, tibalah mereka di lereng yang penuh batu-batu.
“Itu di sana tempatnya!” Akauw menuding.
Boan Ki memandang gembira. Perjalanan tadi saja sudah cukup mendebarkan hati. Mereka bertemu dengan binatang-binatang buas. Kalau saja tidak bersama Akauw, entah bagaimana jadinya. Tak mungkin dia dapat melewati binatang-binatang buas seperti biruang, harimau dan ular-ular besar itu. Akauw membawanya naik ke pohon dan melompat dari dahan ke dahan, bergantungan pada akar gantung dan melewati binatang-binatang itu dengan selamat. Kini mereka tiba di bagian yang penuh batu-batuan, dan dari jauh dia melihat bahwa yang di tunjuk Akauw itu adalah sederetan guha-guha besar.
“Mari kita ke sana!” kata Akauw dan mereka berlari-lari menuju ke tempat itu. Ada guha yang penuh dengan arca-arca, sebagian dari arca itu belum sempurna benar, belum selesai dibuatnya. Dan Akauw menarik tangannya di ajak ke sebuah guha yang kecil di sudut. “Disini tempat batu-batu berkilauan itu!” katanya gembira melihat kawannya gembira.
Dan begitu memasuki guha itu Boan Ki terbelalak dan cepat lari memasuki guha, meraba dinding guha yang berkilauan. “Emas…! Emass…! Kita kaya raya…! Ahh, banyak emas di sini, Akauw!”
“Emas? Kaya Raya? Apa itu?” Akauw bingung karena belum pernah dia mendengar sebutan emas dan kaya raya.
Boan Ki menjadi diam. Bodoh dia kalau sampai memberitahu Akauw. Mungkin saja pada suatu hari Akauw akan bertemu orang lain dan kalau dia bicara kepada orang itu tentang guha ini, dan tentang emas… ah, dia harus cerdik.
“Tidak apa-apa, Akauw. Ini adalah batu biasa, hanya berkilauan. Dan kita gembira. Aku gembira karena di sini indah sekali. Aku ingin tinggal di sini, Akauw...“
“Tidak, Aki... Kita harus pulang ke tempat kita. Di sini kita akan kelaparan, tidak ada buah-buahan, juga jarang ada binatang buruan. mari kita pulang sebelum malam tiba, Aki“
“Tidak, aku tinggal di sini…!”
Kemudian dia melihat betapa Akauw mengerutkan alisnya. Ah , dia tidak boleh membuat Akauw curiga, maka Boan Ki lalu tertawa. “Ah, baiklah Akauw, mari kita pulang“
Akauw nampak gembira kembali setelah Boan Ki mau di ajak pulang.
Malam itu, di atas pohon, Boan Ki gelisah tak dapat tidur. Dia tahu bahwa Akauw tadinya putera manusia biasa, bahkan dari kalung yang di pakainya, yang ada huruf Cian, agaknya orang tuanya bermarga Cian. Kalau sampai ada orang lain yang tahu bahwa tak jauh dari situ, hanya perjalanan setengah hari, terdapat guha penuh dengan emas, tentu akan ada saingan baginya. Tidak boleh, dia harus mendapatkan semua emas itu, lalu berusaha keluar dari lembah ini dan menjadi seorang yang kaya raya. Akan tetapi Akauw menjadi penghalang baginya. Selain mungkin Akauw akan menghalangi dia mengambil emas, juga Akauw perlu di singkirkan, karena dapat memberitahu orang lain.
Benda memiliki daya pengaruh yang amat kuat bagi manusia. Karena dari benda-benda ini manusia memperoleh berbagai kesenangan, maka kalau tadinya manusia mempergunakan benda bagi keperluan hidupnya, kemudian keadaannya malah berbalik. Benda menguasai batin manusia saling bunuh karena benda, bahkan di antara saudara sendiri timbul pertengkaran dan permusuhan karena saling memperebutkan benda. Namanya saja benda mati, akan tetapi daya pengaruhnya sungguh besar, melebihi pengaruh daya lain.
Demikian pula dengan Boan Ki. Tadinya dia menganggap Akauw sebagai teman hidupnya di tempat terpencil itu, selain sebagai penolongnya dalam segala hal. Akan tetapi begitu dia melihat emas, semua itu terlupa . Daya pengaruh emas yang berkilauan itu mempengaruhi dan mencengkramnya, dan untuk mendapatkan emas itu, dia bersedia melakukan apa saja, yang sejahat-jahatnya sekalipun.
Mendapatkan emas itu berarti kesenangan, kemuliaan, karena kaya raya dan untuk mendapatkan itu, jangankan hanya Akauw yang bukan apa-apanya, bahkan andaikata Akauw itu saudaranya sendiri sekalipun, mungkin akan di dikorbankannya juga. Kalau kita tergesa mengatakan bahwa Boan Ki seorang yang kejam, tidak berperikemanusiaan, maka sebaiknya kita menengok kepada diri sendiri, apakah kita tidak pernah bertengkar karena uang dengan sahabat baik kita, saudara kita, keluarga kita, bahkan isteri atau anak kita sendiri? Kalau sudah begitu, baru kita tahu betapa hebat dan kuat daya pengaruh benda itu mencengkram batin kita.