PADA keesokan harinya, barulah mereka menggali sebuah lubang yang cukup dalam untuk mengubur jenazah kakek Yang Kok It. Setelah selesai, Yang Cien mengangkat sebuah batu besar sebagai nisan kuburan yang berada di bawah pohon tempat tinggal mereka itu. Setelah itu, Yang Cien lalu berkemas. “ Kita pergi sekarang saja, sute“
“Kemana, suheng?”
“Memenuhi pesan kakek. Kita harus kembali ke dunia ramai dan melanjutkan cita-cita mendiang ayahku untuk menyatukan seluruh negeri agar dapat menentang gangguan bangsa mongol yang datang dari barat dan utara“
Kauw Cu tidak menjawab, akan tetapi memandang penuh perhatian ketika Yang Cien mengambil sebuah kantung dari tumpukan pakaian kakeknya dan membuka, lalu mengeluarkan isi kantung itu. Ternyata berisi perak dan emas potongan yang amat diperlukan untuk bekal perjalanan.
“Itu apakah, suheng? Itu yang berkilauan kuning…“
“Ah, inikah, sute? Ini yang dinamakan emas, dan ini perak. Kita membutuhkan sekali emas ini untuk bekal diperjalanan“
“Untuk apakah emas itu, suheng?”
“Untuk segala keperluan. Membeli pakaian , membeli makanan dan menyewa rumah penginapan atau membeli kuda atau perahu“
“Kalau begitu kita perlu membawa yang banyak, suheng“
“aih, darimana membawa banyak? Benda ini sukar sekali di dapatkan, dan amat berharga. Dikota segalanya harus dibeli, bahkan makanan. Engkau tak dapat mencari makanan seperti di sini. Semua pohon buah ada yang memilikinya, kalau membutuhkan harus dibeli“
“Aku tahu sebuah tempat yang penuh dengan emas ini, suheng“
“Ahhh...?" Yang Cien memandang heran. “Benarkah, sute? Dimana itu?”
“Aku tidak mau memberitahukan atau menunjukkan kepadamu dimana tempatnya“
“Kenapa, sute?”
“Aku takut engkau menjadi jahat seperti Aki. Diapun menjadi jahat dan hendak membunuhku setelah kuperlihatkan tempat itu kepadanya“
“Ahhh… Engkau kira aku ini orang macam apakah, sute. Apakah sampai sekarang engkau belum juga percaya kepadaku? Kalau begitu, tidak usah kau tunjukkan tempatnya kepadaku. Aku pun tidak ingin memperoleh banyak emas. Ini saja sudah cukup, dan kalau habis, kita dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilan“
Akauw diam sejenak dan menatap wajah suhengnya. Kemudian dia memegang tangan suhengnya. “Maafkan aku, suheng. Mari, mari kutunjukkan tempatnya. Perjalanan dari sini cukup jauh, akan tetapi kalau engkau mempergunakan ilmu berlari cepat dan aku melakukan perjalanan melalui pohon-pohon, dalam waktu seperempat hari saja tentu akan sampai..."
Timbul kegembiraan di hati Yang Cien yang dilanda duka karena kematian kakeknya itu. Bukan karena dijanjikan memperoleh banyak emas, melainkan akan melihat tempat lain daripada hutan yang selama lima tahun di huni bersama Akauw dan kakeknya. Dan dia ingin tahu sekali tempat apa itu yang dikatakan mengandung banyak emas oleh Akauw.
Disebutnya Lembah Iblis, mengapa ada tempatnya yang mengandung emas? Maka diapun berangkat. Akauw sebagai penunjuk jalan melakukan perjalanan dari pohon ke pohon, gerakannya cepat sekali berayun-ayun dan Yang Cien harus menggunakan gin-kangnya agar dapat berlari cepat menyusul sutenya yang berada di atas.
Setelah tiba di tempat yang penuh guha itu, Yang Cien terbelalak, terheran-heran dan terkagum-kagum. Pada guha pertama, melihat patung-patung batu yang terukir indah itu, dia mengeluarkan pujian.
“Luar biasa sekali, betapa indahnya ukiran arca-arca ini. Sayang sebagian besar belum selesai, dan sudah di tinggalkan pemahatnya. Sute, semua ini menunjukkan bahwa di tempat ini dahulu tinggal satu atau beberapa orang-orang pandai sekali..."
Baru Akauw tahu bahwa arca-arca itu merupakan buatan orang yang pandai dan menganggumkan. Dahulu Aki sama sekali tidak mengangumi arca-arca itu. Kini, melihat suhengnya meneliti patung itu satu demi satu, diapun ikut meneliti dan ikut terkagum. Baru sekarang dia melihat betapa arca itu dibuat bagus sekali, ada yang nampak urat-urat menontol di bawah permukaan kulit.
Ketika agak memasuki guha itu, terdengan Yang Cien berseru kagum. Akauw cepat menghampiri dan die melihat bahwa suhengnya telah menemukan sebuah arca yang tingginya hanya satu meter, akan tetapi arca itu luar biasa indahnya. Menggambarkan seorang wanita yang cantik jelita. Begitu bagus buatannya sehingga kalau dilihat dari tempat agak jauh arca itu seolah hidup dan tersenyum manis!
“Bukan main! Sute, selama hidupku belum pernah aku melihat arca seindah ini!“
keduanya mengamati arca itu dengan kagum . Sampai lama Yang Cien melihat-lihat kumpulan arca dalam guha itu.
“Mari, suheng ke tempat yang ku maksudkan“
“Ah, sampai lupa aku, sute. Arca-arca ini demikian menarik perhatianku. Kenapa baru sekarang kau beritahu, sute? Kalau dulu kakek mengetahui dan dapat melihat arca-arca ini, tentu kong-kong akan senang sekali dan barangkali saja kong-kong dapat menduga siapa pembuat arca-arca ini di sini“
“aku selalu khawatir kalau kong-kong dan engkau akan menjadi sejahat Aki, suheng. Maafkan aku“
“Sudahlah, mari kita pergi ke guha tempat emas itu“
Akauw lalu mengajak Yang Cien pergi ke guha lain, yang berada di tengah-tengah antara guha-guha yang banyak terdapat di situ. Akan tetapi baru saja tiba di pintu guha, dari dalam guha terdengar gerengan dahsyat dan muncullah seekor biruang hitam yang besar sekali.
“Awas, sute!” kata Yang Cien.
“Biar aku melawannya, suheng. Dia ini berbahaya akan tetapi aku tahu bagaimana harus melawannya. Biruang merupakan musuh utamaku sejak aku kecil“
Akauw menghampiri biruang itu, dan Yang Cien yang berada di pinggiran hanya menonton, akan tetapi siap siaga membantu kalau sutenya terancam bahaya. Akauw menghampiri dengan tenang dan diapun mengeluarkan gerengan kera marah. Biruang itu tiba-tiba saja menerkam, akan tetapi Akauw menghindar dengan lebih cepat lagi sehingga terkaman itu luput. Dan sebelum biruang yang besar dan lamban itu dapat membalikkan tubuhnya, Akauw sudah merangkul lehernya dari belakang dan mencekik leher itu dengan kedua tangannya,lengannya menyusup dibawah kaki depan biruang itu.
Dan terjadilah adu tenaga yang menegangkan. Biruang itu meronta, menggoyang tubuhnya, menggereng, akan tetapi tubuh Akauw tak pernah melepaskan, seperti seekor lintah melekat pada kaki seseorang. Biruang itu semakin marah dan juga ketakutan karena dia mulai sesak bernapas, lalu menjatuhkan diri bergulingan.
Yang Cien menjadi cemas melihat betapa tubuh biruang yang besar itu menggilas dan menindih tubuh Akauw, akan tetapi dia merasa lega melihat Akauw tidak apa-apa, dan ternyata memang tubuh sutenya itu kuat bukan main. Akhirnya, biruang itu menjadi semakin lemah dan lidahnya terjulur keluar, keempat kakinya hanya dapat bergerak-gerak lemah.
“Sute, jangan bunuh dia!” kata Yang Cien dan mendengar ucapan suhengnya ini, Akauw lalu melepaskan jepitan kedua tangannya dari leher biruang itu, dan dia lupa diri, menginjak dada biruang itu dan mengeluarkan pekik kemenangan, pekik kera yang menggetarkan jantung. Lalu dia menendang biruang itu yang dapat bangkit lagi lalu biruang itu melarikan diri dengan terhuyung-huyung.
“suheng, kenapa engkau melarang aku membunuhnya?”
“Sute, untuk kepentingan apa engkau membunuhnya?”
“Kepentingan apa? Tidak ada, karena dia menyerangku, maka sepatutnya aku membunuhnya“
“nah, mulai sekarang, kebiasaan seperti itu haruslah kau buang jauh-jauh, sute. Ketahuilah, dalam kehidupan antara manusia, membunuh adalah perbuatan yang jahat sekali dan dilarang. Kalau tidak terpaksa sekali dan jangan engkau sekali-kali melakukan pembunuhan.
Juga terhadap binatang, boleh saja engkau membunuhnya kalau memang kau memerlukannya untuk dimakan. Misalnya membunuh kijang, kelinci, ayam dan lain-lain. Akan tetapi kalau tidak memerlukannya, jangan membunuh apalagi membunuh manusia, kecuali dalam perang karena membunuh dalam perang tidaklah sama dengan membunuh seseorang dalam perkelahian dan urusan pribadi. membunuh itu hanya dilakukan orang yang kejam dan jahat, sute“
Akauw mengangguk-angguk. “Aku mengerti, suheng. Nah, mari kita memasuki guha, dan lihat itu, yang berkilauan itu, bukankah itu sama dengan yang berada di kantungmu tadi?”
Dan Yang-Cien masuk, dan dia terbelalak kagum. Tak salah lagi, yang terdapat banyak di dinding itu adalah bongkahan batu-batu yang ternyata adalah emas murni bercampur batu karang. Tak ternilai harganya. Dia mengambil beberapa potong dan menimbang-nimbang di telapak tangannya . Baru beberapa potong kecil ini saja sudah jauh lebih berharga dari pada milik gurunya yang ditemukan dalam kantung kecil itu.
Dia memandang sutenya , Akauw yang bajunya robek-robek karena perkelahian tadi sudah melepaskan baju atasnya dan kini nampak tubuhnya yang kekar, otot-otot melingkar di lengan dan dadanya, tubuhnya yang tinggi besar itu setengah kepala lebih tinggi dari tubuh Yang Cien yang sudah terhitung tinggi tegap. Yang Cien memandang kagum, lalu menghampiri dan menepuk pundak sutenya.
“Sute, engkau sungguh seorang laki-laki jantan yang gagah perkasa, aku bangga mempunyai seorang adik seperti engkau!”
“Aih, suheng, kenapa mendadak memujiku. Engkau lebih hebat, aku tahu bahwa aku tidak akan berdaya, aku tahu bahwa aku tidak akan berdaya kalau bertanding melawanmu“
Mereka saling pandang dengan kagum. Yang Cien kini menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun yang tinggi tegap, wajahnya berbentuk persegi dengan dagu yang membayangkan kekuatan dan keteguhan hati, namun sinar matanya yang tajam itu lembut tanda bahwa dia berakal budi dan bijaksana. Hidungnya yang mancung dan mulutnya yang berbentu indah itu membuat wajahnya kelihatan tampan menarik sekali. Sedangkan Kauw Cu memiliki wajah yang bulat terlur, akan tetapi matanya yang lebar , sampai hidungnya yang besar dan bibirnya yang tebal memberi kesan kokoh, kuat, jujur, adil dan kaku.
Namun sinar matanya juga mengandung kelembutan, ini sebagai hasil pendidikan selama lima tahun oleh mendiang kakek Yang Kok It. Dia jauh nampak lebih jantan dari pada Yang Cien dan sukar mengatakan mana yang lebih menarik sebagai seorang pemuda di antara keduanya.
“Bagaimana, suheng? Benarkah semua ini emas?”
“Tidak salah, sute. memang ini adalah emas yang tidak ternilai harganya“
“Apakah engkau tidak girang melihatnya , suheng? Dahulu Aki demikian girang sampai dia menari-nari dan berteriak-teriak bahwa dia menjadi kaya raya“
Yang Cien dengan tenang berkata sambil tersenyum. “Adikku, emas merupakan harta benda yang dapat bermanfaat besar sekali kalau terjatuh ke tangan orang bijaksana. Dapat menolong rakyat keluar dari bahaya kelaparan, dapat memperkuat Negara, pendeknya dapat mengangkat rakyat keluat dari penderitaan. Akan tetapi kalau terjatuh ke tangan orang jahat, harta kekayaan dapat mendatangkan bencana kepada orang lain. Tentu aku girang menemukan semua ini, sute. Akan tetapi sat ini aku sama sekali tidakmembutuhkan. Entah kelak kalau cita-citaku berhasil, yaitu menyatukan seluruh negeri menjadi persatuan yang kokoh untuk mengusir bangsa-bangsa liar yang mengganggu keamanan rakyat. Mari, sute, kita periksa guha-guha yang lain, apakah engkau pernah memeriksa guha yang lain?”
“Sudah semua, suheng. Guha-guha yang lain semuanya kosong kecuali sebuah guha terbesar dimana kudapatkan hanya sebuah arca di dalam guha, tidak ada apa-apanya lagi“
“Mari kita periksa guha besar itu“ ajak Yang Cien dan mereka lalu menuju ke guha itu.
Ketika menuju ke guha itu, Yang Cien terkejut. Nampak dari jauh, guha itu seperti wajah seorang raksasa. Guha itu menjadi mulutnya yang terbuka, dengan taring-taring berupa batu-batu yang bergantung runcing, dan di atas guha itu merupakan tebing yang terhias batu-batu besar yang menjadi sebuah hidung dan sepasang matanya. Sungguh merupakan wajah yang mengerikan dan sepatutnya kalau itu wajah iblis. Sekarang dia mengerti mengapa lembah itu dinamakan Lembah Iblis. Selain tempatnya amat berbahaya, banyak terdapat binatang buas dan tempat-tempat aneh, juga guha-guha ini memang menyeramkan sekali, terutama yang besar itu.
“Kenapa, suheng?”
“Kau lihat, sute. Bukankah itu seperti muka iblis yang menakutkan?” kata Yang Cien sambil menunjuk. “Guha itu mulutnya dan penuh taring, batu besar di atasnya itu hidungnya dan yang sepasang mulut itu matanya“
“Ihh, benar! Kenapa dulu kau tidak memperhatikannya? Barangkali itu yang pantas di sebut Guha Iblis dan agaknya di jadikan tempat tinggal para iblis!” kata Akauw yang tidak memperlihatkan rasa takut karena di kalangan kera tidak ada istilah tahyul takut setan dan pengertiannya tentang setan sedikit sekali dari penuturan mendiang kakek Yang Kok It dan Yang Cien.
“Mari kita selidiki, sute“
Keduanya lalu berloncatan menuju ke guha itu. Dan benar saja seperti yang dikatakan Kauw Cu, guha besar itu kosong, hanya di dalam ruangan itu terdapat sebuah arca besar, sebesar manusia, arca seorang kakek tua yang sedang duduk bertopang dagu. Yang Cien memperhatikan arca itu. Jelas bahwa ukirannya serupa dengan arca-arca di guha pertama. Kenapa arca tunggal ini berada di sini? Tentu ada maksudnya, pikirnya. Ada sesuatu yang ganjil. Muka patung itu bukan menghadap ke kiri, akan tetapi seperti kepala yang di putar ke kiri, juga jari tangan kiri yang menopang dagu itu telunjuknya menunjuk ke kiri.
Yang Cien lalu pergi ke bagian dinding kiri guha itu, meraba-raba, akan tetapi tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Apa artinya kepala dan jari yang terputar ke kiri itu?
“Engkau mencari apa, suheng?”
“Mencari barangkali ada rahasia tersembunyi di guha ini, sute. Tempat ini sungguh menarik sekali“
Dia memperhatikan lantai. Lantai dari batu itu terdapat jejak kaki manusia. Bukan main! Manusia macam apa yang dapat membuat jejak kaki pada lantai batu? Dan jejak kaki itu miring ke sana sini, dan ketika Yang Cien mengikuti jejak kaki itu menginjak dan melangkah dengan kakinya, maka terbentuklah langkah-langkah seperti orang bersilat!
Pernah ada orang berlatih silat di sini, dan kakinya meninggalkan bekas di lantai batu! Bukan main. Hanya sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali saja yang dapat membuat kaki meninggalkan jejak seperti itu di atas batu keras, seolah-olah lantai itu terbuat dari tanah liat yang lunak saja.
“Rahasia apa, suheng? Arca ini tidak menunjukkan sesuatu. Barangkali rahasianya terletak dibawahnya, coba ku angkat!” berkata demikian, raksasa muda itu memeluk arca lalu dicobanya untuk di angkat. Akan tetapi arca itu tidak dapat di angkatnya. Padahal menurut besarnya patung, sudah pasti Kauw Cu dapat mengangkatnya . Akan tetapi arca ini seolah-olah ada sesuatu yang menahannya dari bawah sehingga tidak dapat terangkat.
“Ah, arca ini berakar di bawahnya, suheng!” kata Akauw penasaran.
Yang Cien mendekati. “Hentikan usahamu, sute. Kalau arca ini tidak dapat kau angkat, berarti memang dibawahnya terkait sesuatu. Ah, mungkin itulah rahasia yang akan ditunjukkan kepada kita“
Dia lalu memegang arca itu, dan meutarnya ke kiri. Untuk itu dia harus mengerahkan seluruh tenaganya dan tiba-tiba arca itu dapat diputar ke kiri. Saat itu terdengar suara gemuruh seperti ada banyak batu runtuh dan di dinding kiri guha itu tiba-tiba saja runtuh berlubang besar!
Yang Cien dan Akauw melompat keluar guha agar jangan sampai tertimpa batu-batu yang runtuh. Debu mengepul tebal dari reruntuhan itu dan setelah batu berhenti berjatuhan, debu juga mulai menipis, Yang Cien memasuki guha, diikuti Akauw yang agak takut karena merasa ngeri melihat kejadian yang aneh itu. Nalurinya seolah memberitahu kepadanya bahwa dibalik reruntuhan itu terdapat bahaya besar mengancamnya!
“Hati-hati, suheng...!“ bisiknya dan dia berjalan dekat sekali dibelakang suhengnya.
“Kita harus waspada, sute“ bisik Yang Cien.
Keduanya memasuki lubang dari dinding yang runtuh tadi, dan ternyata di balik dinding itu terdapat sebuah tangga batu menuju ke bawah yang gelap sekali!
“Wah, gelap sekali, suheng...“
“Tidak apa, sute. Kita meraba-raba dan tetap "waspada“
Keduanya setengah merangkak mengikuti lorong itu dan seratus langkah kemudian nampaklah sinar didepan. Ternyata lorong itu membawa mereka ke sebuah ruangan yang lebih luas daripada guha di depan dan penerangan itu datang dari atas, dimana terdapat celah-celah batu yang berbentuk segi delapan dari mana sinar matahari dapat menerobos masuk!
Dan di tengah-tengah ruangan itu terdapat meja sembahyang daripada batu, tempat lilin batu dimana masih ada lilinnya yang tidak menyala, tinggal sepotong lilin itu. Di kanan kiri meja sembahyang terdapat dua buah patung, patung seorang pria dan patung seorang wanita yang merupakan arca batu yang sama besarnya dengan arca wanita di guha yang lain itu.
Dua buah arca ini sama bagusnya dengan arca wanita itu, ukirannya demikian indah dan halusnya sehingga garis-garis telinga dari arca itu nampak jelas. Yang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, tampan dan berwibawa, yang wanita cantik sekali, sama cantiknya dengan arca wanita di guha yang lain, akan tetapi alisnya berkerut dan tarikan wajah cantik ini membayangkan kekerasan hati dan kekejaman!
Di seluruh dinding tempat itu terdapat ukir-ukiran yang membentuk gambar-gambar dari orang yang bersilat, demikian jelas gambar-gambar itu dan demikian teratur sehingga tanpa penerangan sekalipun orang dapat mempelajari silat dengan meniru kedudukan jurus-jurus dalam gambar itu.
Seluruhnya ada tiga puluh enam jurus yang terbagi dalam banyak perkembangan sehingga untuk menggambarkan satu jurus saja terdapat lebih dari lima gerakan dalam gambar. Begitu jelasnya sehingga Akauw yang melihatnya segera mulai bergerak-gerak menirukan gambar itu.
“Akauw, jangan lancang“
“Maaf, suheng" Dan diapun mengikuti suhengnya yang sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan meja sembahyang, sekaligus menghadap dua arca itu.
“Teecu berdua Yang Cien dan Ciang Kauw Cu, secara kebetulan saja memasuki tempat ini tanpa ijin lo-cian-pwe, harap lo-cian-pwe sudi memberi maaf yang sebesarnya“ kata Yang Cien dengan sikap dan suara menghormat.
Hampir saja Akauw tertawa. Apakah suhengnya mendadak menjadi gila. “suheng“ bisiknya. “Itu hanya arca batu...“
“Hushhhh, sute, lihatlah di belakang meja sembahyang itu“ bisik kembali Yang Cien.
Akauw mengangkat kepalanya dan menjenguk. Matanya terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat. Di sana, dibelakang meja, di atas kursi, duduk sebuah kerangka manusia lengkap dengan tengkoraknya, telunjuk kanannya menuding kepadanya dan telunjuk kirinya menuding ke atas, matanya yang berlubang itu seperti melotot kepadanya.
“Ampun, ampunkan saya, lo-cian-pwe“ katanya dengan suara gemetar sehingga kini Yang Cien yang ingin tertawa.
Yang Cien melakukan penghormatan itu untuk menghormati arwah orang yang telah mati dan telah menjadi kerangka di balik meja sembahyang itu. Ketika dia melihat lagi, di atas meja sembahyang itu terdapat sebuah kitab dan sebuah sarung pedang yang terisi dua batang pedang. Sema-ciang dan siang-kiam (pedang pasangan). Tentu saja ingin sekali dia mengambil kitab dan pedang untuk memeriksanya, akan tetapi dia tidak berani lancing.
“Sute, engkau membawa alat pembuat api?”
“Ada, suheng...?“
“Buatlah api untuk menyalakan lilin di atas meja sembahyang ini, kita perlu mohon ijin dulu“
Akauw dengan kedua tangan gemetar lalu membuat api dan menyalakan lilin itu yang masih dapat menyala dengan baik. Kemudian Yang Cien, di turut oleh sutenya, lalu memberi hormat sambil berlutut, dan berkata,
“Saya Yang Cien mohon ijin kepada lo-cianpwe untuk membaca kitab dan melihat pedang itu“
Setelah berkali-kali berkata demikian, dia lalu bangkit berdiri dan dengan sikap hormat, dia menjulurkan tangannya mengambil kitab yang tidak berapa besar itu. Akan tetapi, begitu dia mengangkat kitab itu dari atas meja, tiba-tiba dia berseru kesakitan, lalu terhuyung-huyung dan roboh di depan meja sembahyang, pingsan!
“Suheng...! Ah, suheng... Jangan mati, suheng...“ Akauw berteriak-teriak karena baru saja dia kematian kakek Yang Kok It, merasa takut melihat Yang Cien jatuh pingsan. Kemudian, dia bangkit berdiri dan mengepal tinju, mengamangkan tinjunya kepada kerangka itu dan memaki.
“Iblis busuk, bangkitlah dan lawan aku kalau berani! Kami telah bersikap sopan, akan tetapi malah engkau membunuh suhengku! Hayo bangkit dan lawan aku atau akan kuhancurkan meja dan arca-arca ini!”
Untuk sebelum dia menghancurkan segalanya, Yang Cien siuman dan membuka matanya. “Sute!" Dia mencegah sutenya ketika mendengar sutenya menantang-nantang kerangka itu dan akan menghancurkan meja dan arca. “Jangan, sute...“
Mendengar seruan suhengnya, Akauw lalu berlutut dan membantu kakaknya bangkit duduk, hatinya lega karena melihat Yang Cien tidak mati. “Engkau tidak mati, suheng? Aku takut engkau mati...“
Yang Cien menggigit bibir menahan sakit, lalu memeriksa tangan kanannya, yang ternyata tertusuk sebatang jarum dan telapak tangannya itu menghitam. Dengan jari dia mencabut jarum itu dan merasa tangannya seperti di bakar.
“Sute, ambilkan buku itu“ Kitab itu terlepas dari pegangannya dan terlempar. sutenya mengambil kitab kecil itu dan menyerahkannya kepadanya. Dengan tangan kirinya Yang Cien membuka lembar pertama dan di situ ada tulisan tangan yang jelas sekali.
Muridku,
Engkau telah keracunan Ban-tok-ciam (jarum selaksa racun) dan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawamu, engkau harus tekun berlatih dari kitab ini selama lima tahun di sini“
Thian Beng Lojin.
Yang Cien tertegun. Dari kakeknya, dia pernah mendengar nama Thian Beng Lojin (Kakek Anugerah Tuhan) ini, seorang kakek sakti luar biasa yang tidak diketahui dimana tinggalnya atau matinya, beberapa abad yang lalu. Dia di angkat murid! Akan tetapi diapun keracunan Ban-tok-ciam dan harus tekun berlatih selama lima tahun di tempat itu!
Dia di lukai ketika mengambil kitab, yang dipasangi alat yang membuat jarum itu menyebar, dilukai untuk “dipaksa“ menjadi murid! Lima tahun! Bukan waktu yang pendek. Dan bagaimana dengan sutenya?
“Bagaimana, suheng? Apa yang terdapat dalam kitab ini?”
“Sute, aku telah keracunan Ban-tok-ciam, dan tidak dapat disembuhkan oleh obat apapun juga“
“Jangan khawatir, suheng. Aku mengenal daun obat yang dapat dipergunakan mengobati gigitan ular berbisa“
“Sute, jarum ini mengandung selaksa racun. Jalan satu-satunya untuk mengobati, menurut kitab ini selama lima tahun, aku harus berlatih dari kitab ini selama lima tahun di sini“
“Lima tahun! Gila! Lima tahun itu sama dengan ketika kakek mengajar kita...“
“Apa boleh buat, sute. Kalau aku masih ingin hidup, aku harus menaati pesan dalam kitab itu. Dan engkau boleh merantau dulu seorang diri, sute. Bekal ilmu sudah cukup ada padamu, dan bekal uang juga cukup. Carilah pengalaman di luar, akan tetapi ingat, jangan mencari perkara, jangan suka berkelahi dan terutama sekali jangan membunuh orang“
“Tidak, suheng. Kalau aku pergi, siapa yang menemanimu? Aku akan menemanimu? Aku menemanimu di sini, jangan khawatir...“
“Akan tetapi, sute, lima tahun…“
“Kalau lima tahun mengapa? Jangankan lima tahun, biar selamanya aku manu menemanimu di sini. Aku tidak punya siapa-siapa lagi, dan aku takut memasuki dunia manusia tanpa engkau…“
“Sute...!” Yang Cien merangkul sutenya dengan hati penuh keharuan. Anak ini, biarkan di besarkan oleh kera, akan tetapi memiliki watak yang amat baik. “Kalau begitu, sesukamulah. Aku harus mulai membaca kitab itu sekarang“
“Aku akan mencari bahan makanan dan mengambil semua perabot kita untuk memasak air, untuk memasak makanan dan lain-lain. Nanti sore aku sudah kembali lagi, suheng“
“Baiklah, sute...“
Setelah Akauw pergi, Yang Cien juga membuka lembaran kedua dan di situ tertulis bahwa untuk mempelajari ilmu menghimpun tenaga dalam kitab itu dia tidak boleh tergesa-gesa, tidak boleh membuka lembaran berikutnya sebelum mengerti benar dan melatih lembaran pertama. Kalau hal itu di langgar, kalau cara melatihnya tidak menurut aturan yang ditentukan, maka mempelajari ilmu itu dapat membuat dia menjadi gila!
Yang Cien bergidik ngeri. Begitu hebatkah ilmu ini? Di lembar ke tiga di tulis nama dari ilmu itu. Bu Tek Cin Keng! Dan lembar berikutnya barulah pelajaran pertama, yaitu pelajaran cara melatih pernapasan dan bermeditasi. Seketika itu juga Yang Cien mulai berlatih diri menurut petunjuk kitab itu.
Sorenya Akauw datang membawa semua perabot masak, juga pakaian mereka, dan sejak itu, dengan tekunnya Yang Cien berlatih dari Kitab itu dan Akauw melayaninya dengan rajin. Dan benar saja baru sebulan dia berlatih diri, dan baru dapat tiga lembar saja, warna hitam di telapak tangannya sudah mulai menipis...
“Kemana, suheng?”
“Memenuhi pesan kakek. Kita harus kembali ke dunia ramai dan melanjutkan cita-cita mendiang ayahku untuk menyatukan seluruh negeri agar dapat menentang gangguan bangsa mongol yang datang dari barat dan utara“
Kauw Cu tidak menjawab, akan tetapi memandang penuh perhatian ketika Yang Cien mengambil sebuah kantung dari tumpukan pakaian kakeknya dan membuka, lalu mengeluarkan isi kantung itu. Ternyata berisi perak dan emas potongan yang amat diperlukan untuk bekal perjalanan.
“Itu apakah, suheng? Itu yang berkilauan kuning…“
“Ah, inikah, sute? Ini yang dinamakan emas, dan ini perak. Kita membutuhkan sekali emas ini untuk bekal diperjalanan“
“Untuk apakah emas itu, suheng?”
“Untuk segala keperluan. Membeli pakaian , membeli makanan dan menyewa rumah penginapan atau membeli kuda atau perahu“
“Kalau begitu kita perlu membawa yang banyak, suheng“
“aih, darimana membawa banyak? Benda ini sukar sekali di dapatkan, dan amat berharga. Dikota segalanya harus dibeli, bahkan makanan. Engkau tak dapat mencari makanan seperti di sini. Semua pohon buah ada yang memilikinya, kalau membutuhkan harus dibeli“
“Aku tahu sebuah tempat yang penuh dengan emas ini, suheng“
“Ahhh...?" Yang Cien memandang heran. “Benarkah, sute? Dimana itu?”
“Aku tidak mau memberitahukan atau menunjukkan kepadamu dimana tempatnya“
“Kenapa, sute?”
“Aku takut engkau menjadi jahat seperti Aki. Diapun menjadi jahat dan hendak membunuhku setelah kuperlihatkan tempat itu kepadanya“
“Ahhh… Engkau kira aku ini orang macam apakah, sute. Apakah sampai sekarang engkau belum juga percaya kepadaku? Kalau begitu, tidak usah kau tunjukkan tempatnya kepadaku. Aku pun tidak ingin memperoleh banyak emas. Ini saja sudah cukup, dan kalau habis, kita dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilan“
Akauw diam sejenak dan menatap wajah suhengnya. Kemudian dia memegang tangan suhengnya. “Maafkan aku, suheng. Mari, mari kutunjukkan tempatnya. Perjalanan dari sini cukup jauh, akan tetapi kalau engkau mempergunakan ilmu berlari cepat dan aku melakukan perjalanan melalui pohon-pohon, dalam waktu seperempat hari saja tentu akan sampai..."
Timbul kegembiraan di hati Yang Cien yang dilanda duka karena kematian kakeknya itu. Bukan karena dijanjikan memperoleh banyak emas, melainkan akan melihat tempat lain daripada hutan yang selama lima tahun di huni bersama Akauw dan kakeknya. Dan dia ingin tahu sekali tempat apa itu yang dikatakan mengandung banyak emas oleh Akauw.
Disebutnya Lembah Iblis, mengapa ada tempatnya yang mengandung emas? Maka diapun berangkat. Akauw sebagai penunjuk jalan melakukan perjalanan dari pohon ke pohon, gerakannya cepat sekali berayun-ayun dan Yang Cien harus menggunakan gin-kangnya agar dapat berlari cepat menyusul sutenya yang berada di atas.
********************
Setelah tiba di tempat yang penuh guha itu, Yang Cien terbelalak, terheran-heran dan terkagum-kagum. Pada guha pertama, melihat patung-patung batu yang terukir indah itu, dia mengeluarkan pujian.
“Luar biasa sekali, betapa indahnya ukiran arca-arca ini. Sayang sebagian besar belum selesai, dan sudah di tinggalkan pemahatnya. Sute, semua ini menunjukkan bahwa di tempat ini dahulu tinggal satu atau beberapa orang-orang pandai sekali..."
Baru Akauw tahu bahwa arca-arca itu merupakan buatan orang yang pandai dan menganggumkan. Dahulu Aki sama sekali tidak mengangumi arca-arca itu. Kini, melihat suhengnya meneliti patung itu satu demi satu, diapun ikut meneliti dan ikut terkagum. Baru sekarang dia melihat betapa arca itu dibuat bagus sekali, ada yang nampak urat-urat menontol di bawah permukaan kulit.
Ketika agak memasuki guha itu, terdengan Yang Cien berseru kagum. Akauw cepat menghampiri dan die melihat bahwa suhengnya telah menemukan sebuah arca yang tingginya hanya satu meter, akan tetapi arca itu luar biasa indahnya. Menggambarkan seorang wanita yang cantik jelita. Begitu bagus buatannya sehingga kalau dilihat dari tempat agak jauh arca itu seolah hidup dan tersenyum manis!
“Bukan main! Sute, selama hidupku belum pernah aku melihat arca seindah ini!“
keduanya mengamati arca itu dengan kagum . Sampai lama Yang Cien melihat-lihat kumpulan arca dalam guha itu.
“Mari, suheng ke tempat yang ku maksudkan“
“Ah, sampai lupa aku, sute. Arca-arca ini demikian menarik perhatianku. Kenapa baru sekarang kau beritahu, sute? Kalau dulu kakek mengetahui dan dapat melihat arca-arca ini, tentu kong-kong akan senang sekali dan barangkali saja kong-kong dapat menduga siapa pembuat arca-arca ini di sini“
“aku selalu khawatir kalau kong-kong dan engkau akan menjadi sejahat Aki, suheng. Maafkan aku“
“Sudahlah, mari kita pergi ke guha tempat emas itu“
Akauw lalu mengajak Yang Cien pergi ke guha lain, yang berada di tengah-tengah antara guha-guha yang banyak terdapat di situ. Akan tetapi baru saja tiba di pintu guha, dari dalam guha terdengar gerengan dahsyat dan muncullah seekor biruang hitam yang besar sekali.
“Awas, sute!” kata Yang Cien.
“Biar aku melawannya, suheng. Dia ini berbahaya akan tetapi aku tahu bagaimana harus melawannya. Biruang merupakan musuh utamaku sejak aku kecil“
Akauw menghampiri biruang itu, dan Yang Cien yang berada di pinggiran hanya menonton, akan tetapi siap siaga membantu kalau sutenya terancam bahaya. Akauw menghampiri dengan tenang dan diapun mengeluarkan gerengan kera marah. Biruang itu tiba-tiba saja menerkam, akan tetapi Akauw menghindar dengan lebih cepat lagi sehingga terkaman itu luput. Dan sebelum biruang yang besar dan lamban itu dapat membalikkan tubuhnya, Akauw sudah merangkul lehernya dari belakang dan mencekik leher itu dengan kedua tangannya,lengannya menyusup dibawah kaki depan biruang itu.
Dan terjadilah adu tenaga yang menegangkan. Biruang itu meronta, menggoyang tubuhnya, menggereng, akan tetapi tubuh Akauw tak pernah melepaskan, seperti seekor lintah melekat pada kaki seseorang. Biruang itu semakin marah dan juga ketakutan karena dia mulai sesak bernapas, lalu menjatuhkan diri bergulingan.
Yang Cien menjadi cemas melihat betapa tubuh biruang yang besar itu menggilas dan menindih tubuh Akauw, akan tetapi dia merasa lega melihat Akauw tidak apa-apa, dan ternyata memang tubuh sutenya itu kuat bukan main. Akhirnya, biruang itu menjadi semakin lemah dan lidahnya terjulur keluar, keempat kakinya hanya dapat bergerak-gerak lemah.
“Sute, jangan bunuh dia!” kata Yang Cien dan mendengar ucapan suhengnya ini, Akauw lalu melepaskan jepitan kedua tangannya dari leher biruang itu, dan dia lupa diri, menginjak dada biruang itu dan mengeluarkan pekik kemenangan, pekik kera yang menggetarkan jantung. Lalu dia menendang biruang itu yang dapat bangkit lagi lalu biruang itu melarikan diri dengan terhuyung-huyung.
“suheng, kenapa engkau melarang aku membunuhnya?”
“Sute, untuk kepentingan apa engkau membunuhnya?”
“Kepentingan apa? Tidak ada, karena dia menyerangku, maka sepatutnya aku membunuhnya“
“nah, mulai sekarang, kebiasaan seperti itu haruslah kau buang jauh-jauh, sute. Ketahuilah, dalam kehidupan antara manusia, membunuh adalah perbuatan yang jahat sekali dan dilarang. Kalau tidak terpaksa sekali dan jangan engkau sekali-kali melakukan pembunuhan.
Juga terhadap binatang, boleh saja engkau membunuhnya kalau memang kau memerlukannya untuk dimakan. Misalnya membunuh kijang, kelinci, ayam dan lain-lain. Akan tetapi kalau tidak memerlukannya, jangan membunuh apalagi membunuh manusia, kecuali dalam perang karena membunuh dalam perang tidaklah sama dengan membunuh seseorang dalam perkelahian dan urusan pribadi. membunuh itu hanya dilakukan orang yang kejam dan jahat, sute“
Akauw mengangguk-angguk. “Aku mengerti, suheng. Nah, mari kita memasuki guha, dan lihat itu, yang berkilauan itu, bukankah itu sama dengan yang berada di kantungmu tadi?”
Dan Yang-Cien masuk, dan dia terbelalak kagum. Tak salah lagi, yang terdapat banyak di dinding itu adalah bongkahan batu-batu yang ternyata adalah emas murni bercampur batu karang. Tak ternilai harganya. Dia mengambil beberapa potong dan menimbang-nimbang di telapak tangannya . Baru beberapa potong kecil ini saja sudah jauh lebih berharga dari pada milik gurunya yang ditemukan dalam kantung kecil itu.
Dia memandang sutenya , Akauw yang bajunya robek-robek karena perkelahian tadi sudah melepaskan baju atasnya dan kini nampak tubuhnya yang kekar, otot-otot melingkar di lengan dan dadanya, tubuhnya yang tinggi besar itu setengah kepala lebih tinggi dari tubuh Yang Cien yang sudah terhitung tinggi tegap. Yang Cien memandang kagum, lalu menghampiri dan menepuk pundak sutenya.
“Sute, engkau sungguh seorang laki-laki jantan yang gagah perkasa, aku bangga mempunyai seorang adik seperti engkau!”
“Aih, suheng, kenapa mendadak memujiku. Engkau lebih hebat, aku tahu bahwa aku tidak akan berdaya, aku tahu bahwa aku tidak akan berdaya kalau bertanding melawanmu“
Mereka saling pandang dengan kagum. Yang Cien kini menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun yang tinggi tegap, wajahnya berbentuk persegi dengan dagu yang membayangkan kekuatan dan keteguhan hati, namun sinar matanya yang tajam itu lembut tanda bahwa dia berakal budi dan bijaksana. Hidungnya yang mancung dan mulutnya yang berbentu indah itu membuat wajahnya kelihatan tampan menarik sekali. Sedangkan Kauw Cu memiliki wajah yang bulat terlur, akan tetapi matanya yang lebar , sampai hidungnya yang besar dan bibirnya yang tebal memberi kesan kokoh, kuat, jujur, adil dan kaku.
Namun sinar matanya juga mengandung kelembutan, ini sebagai hasil pendidikan selama lima tahun oleh mendiang kakek Yang Kok It. Dia jauh nampak lebih jantan dari pada Yang Cien dan sukar mengatakan mana yang lebih menarik sebagai seorang pemuda di antara keduanya.
“Bagaimana, suheng? Benarkah semua ini emas?”
“Tidak salah, sute. memang ini adalah emas yang tidak ternilai harganya“
“Apakah engkau tidak girang melihatnya , suheng? Dahulu Aki demikian girang sampai dia menari-nari dan berteriak-teriak bahwa dia menjadi kaya raya“
Yang Cien dengan tenang berkata sambil tersenyum. “Adikku, emas merupakan harta benda yang dapat bermanfaat besar sekali kalau terjatuh ke tangan orang bijaksana. Dapat menolong rakyat keluar dari bahaya kelaparan, dapat memperkuat Negara, pendeknya dapat mengangkat rakyat keluat dari penderitaan. Akan tetapi kalau terjatuh ke tangan orang jahat, harta kekayaan dapat mendatangkan bencana kepada orang lain. Tentu aku girang menemukan semua ini, sute. Akan tetapi sat ini aku sama sekali tidakmembutuhkan. Entah kelak kalau cita-citaku berhasil, yaitu menyatukan seluruh negeri menjadi persatuan yang kokoh untuk mengusir bangsa-bangsa liar yang mengganggu keamanan rakyat. Mari, sute, kita periksa guha-guha yang lain, apakah engkau pernah memeriksa guha yang lain?”
“Sudah semua, suheng. Guha-guha yang lain semuanya kosong kecuali sebuah guha terbesar dimana kudapatkan hanya sebuah arca di dalam guha, tidak ada apa-apanya lagi“
“Mari kita periksa guha besar itu“ ajak Yang Cien dan mereka lalu menuju ke guha itu.
Ketika menuju ke guha itu, Yang Cien terkejut. Nampak dari jauh, guha itu seperti wajah seorang raksasa. Guha itu menjadi mulutnya yang terbuka, dengan taring-taring berupa batu-batu yang bergantung runcing, dan di atas guha itu merupakan tebing yang terhias batu-batu besar yang menjadi sebuah hidung dan sepasang matanya. Sungguh merupakan wajah yang mengerikan dan sepatutnya kalau itu wajah iblis. Sekarang dia mengerti mengapa lembah itu dinamakan Lembah Iblis. Selain tempatnya amat berbahaya, banyak terdapat binatang buas dan tempat-tempat aneh, juga guha-guha ini memang menyeramkan sekali, terutama yang besar itu.
“Kenapa, suheng?”
“Kau lihat, sute. Bukankah itu seperti muka iblis yang menakutkan?” kata Yang Cien sambil menunjuk. “Guha itu mulutnya dan penuh taring, batu besar di atasnya itu hidungnya dan yang sepasang mulut itu matanya“
“Ihh, benar! Kenapa dulu kau tidak memperhatikannya? Barangkali itu yang pantas di sebut Guha Iblis dan agaknya di jadikan tempat tinggal para iblis!” kata Akauw yang tidak memperlihatkan rasa takut karena di kalangan kera tidak ada istilah tahyul takut setan dan pengertiannya tentang setan sedikit sekali dari penuturan mendiang kakek Yang Kok It dan Yang Cien.
“Mari kita selidiki, sute“
Keduanya lalu berloncatan menuju ke guha itu. Dan benar saja seperti yang dikatakan Kauw Cu, guha besar itu kosong, hanya di dalam ruangan itu terdapat sebuah arca besar, sebesar manusia, arca seorang kakek tua yang sedang duduk bertopang dagu. Yang Cien memperhatikan arca itu. Jelas bahwa ukirannya serupa dengan arca-arca di guha pertama. Kenapa arca tunggal ini berada di sini? Tentu ada maksudnya, pikirnya. Ada sesuatu yang ganjil. Muka patung itu bukan menghadap ke kiri, akan tetapi seperti kepala yang di putar ke kiri, juga jari tangan kiri yang menopang dagu itu telunjuknya menunjuk ke kiri.
Yang Cien lalu pergi ke bagian dinding kiri guha itu, meraba-raba, akan tetapi tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Apa artinya kepala dan jari yang terputar ke kiri itu?
“Engkau mencari apa, suheng?”
“Mencari barangkali ada rahasia tersembunyi di guha ini, sute. Tempat ini sungguh menarik sekali“
Dia memperhatikan lantai. Lantai dari batu itu terdapat jejak kaki manusia. Bukan main! Manusia macam apa yang dapat membuat jejak kaki pada lantai batu? Dan jejak kaki itu miring ke sana sini, dan ketika Yang Cien mengikuti jejak kaki itu menginjak dan melangkah dengan kakinya, maka terbentuklah langkah-langkah seperti orang bersilat!
Pernah ada orang berlatih silat di sini, dan kakinya meninggalkan bekas di lantai batu! Bukan main. Hanya sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali saja yang dapat membuat kaki meninggalkan jejak seperti itu di atas batu keras, seolah-olah lantai itu terbuat dari tanah liat yang lunak saja.
“Rahasia apa, suheng? Arca ini tidak menunjukkan sesuatu. Barangkali rahasianya terletak dibawahnya, coba ku angkat!” berkata demikian, raksasa muda itu memeluk arca lalu dicobanya untuk di angkat. Akan tetapi arca itu tidak dapat di angkatnya. Padahal menurut besarnya patung, sudah pasti Kauw Cu dapat mengangkatnya . Akan tetapi arca ini seolah-olah ada sesuatu yang menahannya dari bawah sehingga tidak dapat terangkat.
“Ah, arca ini berakar di bawahnya, suheng!” kata Akauw penasaran.
Yang Cien mendekati. “Hentikan usahamu, sute. Kalau arca ini tidak dapat kau angkat, berarti memang dibawahnya terkait sesuatu. Ah, mungkin itulah rahasia yang akan ditunjukkan kepada kita“
Dia lalu memegang arca itu, dan meutarnya ke kiri. Untuk itu dia harus mengerahkan seluruh tenaganya dan tiba-tiba arca itu dapat diputar ke kiri. Saat itu terdengar suara gemuruh seperti ada banyak batu runtuh dan di dinding kiri guha itu tiba-tiba saja runtuh berlubang besar!
Yang Cien dan Akauw melompat keluar guha agar jangan sampai tertimpa batu-batu yang runtuh. Debu mengepul tebal dari reruntuhan itu dan setelah batu berhenti berjatuhan, debu juga mulai menipis, Yang Cien memasuki guha, diikuti Akauw yang agak takut karena merasa ngeri melihat kejadian yang aneh itu. Nalurinya seolah memberitahu kepadanya bahwa dibalik reruntuhan itu terdapat bahaya besar mengancamnya!
“Hati-hati, suheng...!“ bisiknya dan dia berjalan dekat sekali dibelakang suhengnya.
“Kita harus waspada, sute“ bisik Yang Cien.
Keduanya memasuki lubang dari dinding yang runtuh tadi, dan ternyata di balik dinding itu terdapat sebuah tangga batu menuju ke bawah yang gelap sekali!
“Wah, gelap sekali, suheng...“
“Tidak apa, sute. Kita meraba-raba dan tetap "waspada“
Keduanya setengah merangkak mengikuti lorong itu dan seratus langkah kemudian nampaklah sinar didepan. Ternyata lorong itu membawa mereka ke sebuah ruangan yang lebih luas daripada guha di depan dan penerangan itu datang dari atas, dimana terdapat celah-celah batu yang berbentuk segi delapan dari mana sinar matahari dapat menerobos masuk!
Dan di tengah-tengah ruangan itu terdapat meja sembahyang daripada batu, tempat lilin batu dimana masih ada lilinnya yang tidak menyala, tinggal sepotong lilin itu. Di kanan kiri meja sembahyang terdapat dua buah patung, patung seorang pria dan patung seorang wanita yang merupakan arca batu yang sama besarnya dengan arca wanita di guha yang lain itu.
Dua buah arca ini sama bagusnya dengan arca wanita itu, ukirannya demikian indah dan halusnya sehingga garis-garis telinga dari arca itu nampak jelas. Yang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, tampan dan berwibawa, yang wanita cantik sekali, sama cantiknya dengan arca wanita di guha yang lain, akan tetapi alisnya berkerut dan tarikan wajah cantik ini membayangkan kekerasan hati dan kekejaman!
Di seluruh dinding tempat itu terdapat ukir-ukiran yang membentuk gambar-gambar dari orang yang bersilat, demikian jelas gambar-gambar itu dan demikian teratur sehingga tanpa penerangan sekalipun orang dapat mempelajari silat dengan meniru kedudukan jurus-jurus dalam gambar itu.
Seluruhnya ada tiga puluh enam jurus yang terbagi dalam banyak perkembangan sehingga untuk menggambarkan satu jurus saja terdapat lebih dari lima gerakan dalam gambar. Begitu jelasnya sehingga Akauw yang melihatnya segera mulai bergerak-gerak menirukan gambar itu.
“Akauw, jangan lancang“
“Maaf, suheng" Dan diapun mengikuti suhengnya yang sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan meja sembahyang, sekaligus menghadap dua arca itu.
“Teecu berdua Yang Cien dan Ciang Kauw Cu, secara kebetulan saja memasuki tempat ini tanpa ijin lo-cian-pwe, harap lo-cian-pwe sudi memberi maaf yang sebesarnya“ kata Yang Cien dengan sikap dan suara menghormat.
Hampir saja Akauw tertawa. Apakah suhengnya mendadak menjadi gila. “suheng“ bisiknya. “Itu hanya arca batu...“
“Hushhhh, sute, lihatlah di belakang meja sembahyang itu“ bisik kembali Yang Cien.
Akauw mengangkat kepalanya dan menjenguk. Matanya terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat. Di sana, dibelakang meja, di atas kursi, duduk sebuah kerangka manusia lengkap dengan tengkoraknya, telunjuk kanannya menuding kepadanya dan telunjuk kirinya menuding ke atas, matanya yang berlubang itu seperti melotot kepadanya.
“Ampun, ampunkan saya, lo-cian-pwe“ katanya dengan suara gemetar sehingga kini Yang Cien yang ingin tertawa.
Yang Cien melakukan penghormatan itu untuk menghormati arwah orang yang telah mati dan telah menjadi kerangka di balik meja sembahyang itu. Ketika dia melihat lagi, di atas meja sembahyang itu terdapat sebuah kitab dan sebuah sarung pedang yang terisi dua batang pedang. Sema-ciang dan siang-kiam (pedang pasangan). Tentu saja ingin sekali dia mengambil kitab dan pedang untuk memeriksanya, akan tetapi dia tidak berani lancing.
“Sute, engkau membawa alat pembuat api?”
“Ada, suheng...?“
“Buatlah api untuk menyalakan lilin di atas meja sembahyang ini, kita perlu mohon ijin dulu“
Akauw dengan kedua tangan gemetar lalu membuat api dan menyalakan lilin itu yang masih dapat menyala dengan baik. Kemudian Yang Cien, di turut oleh sutenya, lalu memberi hormat sambil berlutut, dan berkata,
“Saya Yang Cien mohon ijin kepada lo-cianpwe untuk membaca kitab dan melihat pedang itu“
Setelah berkali-kali berkata demikian, dia lalu bangkit berdiri dan dengan sikap hormat, dia menjulurkan tangannya mengambil kitab yang tidak berapa besar itu. Akan tetapi, begitu dia mengangkat kitab itu dari atas meja, tiba-tiba dia berseru kesakitan, lalu terhuyung-huyung dan roboh di depan meja sembahyang, pingsan!
“Suheng...! Ah, suheng... Jangan mati, suheng...“ Akauw berteriak-teriak karena baru saja dia kematian kakek Yang Kok It, merasa takut melihat Yang Cien jatuh pingsan. Kemudian, dia bangkit berdiri dan mengepal tinju, mengamangkan tinjunya kepada kerangka itu dan memaki.
“Iblis busuk, bangkitlah dan lawan aku kalau berani! Kami telah bersikap sopan, akan tetapi malah engkau membunuh suhengku! Hayo bangkit dan lawan aku atau akan kuhancurkan meja dan arca-arca ini!”
Untuk sebelum dia menghancurkan segalanya, Yang Cien siuman dan membuka matanya. “Sute!" Dia mencegah sutenya ketika mendengar sutenya menantang-nantang kerangka itu dan akan menghancurkan meja dan arca. “Jangan, sute...“
Mendengar seruan suhengnya, Akauw lalu berlutut dan membantu kakaknya bangkit duduk, hatinya lega karena melihat Yang Cien tidak mati. “Engkau tidak mati, suheng? Aku takut engkau mati...“
Yang Cien menggigit bibir menahan sakit, lalu memeriksa tangan kanannya, yang ternyata tertusuk sebatang jarum dan telapak tangannya itu menghitam. Dengan jari dia mencabut jarum itu dan merasa tangannya seperti di bakar.
“Sute, ambilkan buku itu“ Kitab itu terlepas dari pegangannya dan terlempar. sutenya mengambil kitab kecil itu dan menyerahkannya kepadanya. Dengan tangan kirinya Yang Cien membuka lembar pertama dan di situ ada tulisan tangan yang jelas sekali.
Muridku,
Engkau telah keracunan Ban-tok-ciam (jarum selaksa racun) dan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawamu, engkau harus tekun berlatih dari kitab ini selama lima tahun di sini“
Thian Beng Lojin.
Yang Cien tertegun. Dari kakeknya, dia pernah mendengar nama Thian Beng Lojin (Kakek Anugerah Tuhan) ini, seorang kakek sakti luar biasa yang tidak diketahui dimana tinggalnya atau matinya, beberapa abad yang lalu. Dia di angkat murid! Akan tetapi diapun keracunan Ban-tok-ciam dan harus tekun berlatih selama lima tahun di tempat itu!
Dia di lukai ketika mengambil kitab, yang dipasangi alat yang membuat jarum itu menyebar, dilukai untuk “dipaksa“ menjadi murid! Lima tahun! Bukan waktu yang pendek. Dan bagaimana dengan sutenya?
“Bagaimana, suheng? Apa yang terdapat dalam kitab ini?”
“Sute, aku telah keracunan Ban-tok-ciam, dan tidak dapat disembuhkan oleh obat apapun juga“
“Jangan khawatir, suheng. Aku mengenal daun obat yang dapat dipergunakan mengobati gigitan ular berbisa“
“Sute, jarum ini mengandung selaksa racun. Jalan satu-satunya untuk mengobati, menurut kitab ini selama lima tahun, aku harus berlatih dari kitab ini selama lima tahun di sini“
“Lima tahun! Gila! Lima tahun itu sama dengan ketika kakek mengajar kita...“
“Apa boleh buat, sute. Kalau aku masih ingin hidup, aku harus menaati pesan dalam kitab itu. Dan engkau boleh merantau dulu seorang diri, sute. Bekal ilmu sudah cukup ada padamu, dan bekal uang juga cukup. Carilah pengalaman di luar, akan tetapi ingat, jangan mencari perkara, jangan suka berkelahi dan terutama sekali jangan membunuh orang“
“Tidak, suheng. Kalau aku pergi, siapa yang menemanimu? Aku akan menemanimu? Aku menemanimu di sini, jangan khawatir...“
“Akan tetapi, sute, lima tahun…“
“Kalau lima tahun mengapa? Jangankan lima tahun, biar selamanya aku manu menemanimu di sini. Aku tidak punya siapa-siapa lagi, dan aku takut memasuki dunia manusia tanpa engkau…“
“Sute...!” Yang Cien merangkul sutenya dengan hati penuh keharuan. Anak ini, biarkan di besarkan oleh kera, akan tetapi memiliki watak yang amat baik. “Kalau begitu, sesukamulah. Aku harus mulai membaca kitab itu sekarang“
“Aku akan mencari bahan makanan dan mengambil semua perabot kita untuk memasak air, untuk memasak makanan dan lain-lain. Nanti sore aku sudah kembali lagi, suheng“
“Baiklah, sute...“
Setelah Akauw pergi, Yang Cien juga membuka lembaran kedua dan di situ tertulis bahwa untuk mempelajari ilmu menghimpun tenaga dalam kitab itu dia tidak boleh tergesa-gesa, tidak boleh membuka lembaran berikutnya sebelum mengerti benar dan melatih lembaran pertama. Kalau hal itu di langgar, kalau cara melatihnya tidak menurut aturan yang ditentukan, maka mempelajari ilmu itu dapat membuat dia menjadi gila!
Yang Cien bergidik ngeri. Begitu hebatkah ilmu ini? Di lembar ke tiga di tulis nama dari ilmu itu. Bu Tek Cin Keng! Dan lembar berikutnya barulah pelajaran pertama, yaitu pelajaran cara melatih pernapasan dan bermeditasi. Seketika itu juga Yang Cien mulai berlatih diri menurut petunjuk kitab itu.
Sorenya Akauw datang membawa semua perabot masak, juga pakaian mereka, dan sejak itu, dengan tekunnya Yang Cien berlatih dari Kitab itu dan Akauw melayaninya dengan rajin. Dan benar saja baru sebulan dia berlatih diri, dan baru dapat tiga lembar saja, warna hitam di telapak tangannya sudah mulai menipis...
********************