KETIKA Akauw berjalan sampai di tepi hutan yang sunyi, dia melihat seekor kijang. Timbul nalurinya untuk berburu, apalagi perutnya memang sudah lapar dan di tempat sunyi seperti itu tentu saja tidak mungkin dapat membeli makanan. Dia lalu melompat jauh dan melakukan pengejaran. Kijang itupun mendengar suara orang mengejar, diapun melompat jauh ke depan memasuki hutan, Akauw lalu meloncat ke atas pohon dan melakukan pengejaran melalui pohon-pohon. Dengan cara ini, kijang tidak dapat mencium baunya dan tidak tahu bahwa pemburunya sudah berada di atasnya.
Semua ini tidak lepas dari pengamatan orang yang membayangi Akauw. Orang itu seperti kakek yang usianya tentu lebih dari enam puluh tahun, bertubuh pendek kecil akan tetapi mempunyai gerakan yang ringan sekali sehingga Akauw tidak tahu bahwa sejak dari kuil tadi orang itu membayanginya. Bahkan ketika dia melakukan pengejaran terhadap kijang, orang itu tetap membayanginya, walaupun tidak seperti dia meluncur dari pohon ke pohon. Orang itu berlari seperti terbang saja, menyelinap dari pohon ke pohon lain dan terus membayangi kemana saja Akauw pergi.
Setelah tiba di atas kijang itu, Akauw mengeluarkan pekik seperti ketika dia masih hidup di antara kera-kera itu dan tubuhnya meluncur dari atas pohon, tepat menimpa punggung kijang itu. Kijang itu kaget, meronta, namun lehernya telah di pegang oleh sepasang tangan yang amat kuat dan kepalanya di puntir, maka robohlah kijang itu, tidak bergerak lagi, mati seketika. Akauw mengeluarkan suara penuh kemenangan yang terdengar seperti lengking panjang, kemudian dia membuat api unggun dan tak lama kemudian dia sudah memanggang daging kijang muda yang sedap dan lunak.
Sepasang mata yang mengintainya kini berkedip-kedip dan mulut kakek kecil itu berliur ketika bau sedap daging kijang panggang itu menyerang hidungnya. Dia lalu keluar dari tempat sembunyi sambil terkekeh. Akauw terkejut bukan main. Dia melompat berdiri saking kagetnya. Bagaimana dia tidak dapat mendengar ada orang yang berada begitu dekat dengannya?
“He-he-he, anak muda, bolehkan aku mendapatkan sedikit daging kijang yang kau panggang itu?”
“Ah, tentu saja, paman, tentu saja. Mari, silahkan duduk, paman dan mari silahkan makan bersamaku“ Akauw sudah hilang kagetnya dan dengan ramah dia menyilakan orang itu duduk menghadapi api unggun.
“Terima kasih...“ orang itu memandang Akauw yang membolak-balik daging kijang yang sedang di panggangnya. “Engkau siapakah, anak muda?”
“Namaku Cian Kauw Cu, paman. Dan paman siapakah dan bagaimana dapat berada di hutan yang amat lebat ini?”
“Aku? ha-ha-ha, aku memang seringkali berkeliaran di hutan ini dan kebetulan melihat engkau memanggang daging kijang. Wah, sudah masak rupanya“
Akauw lalu mematahkan sebagian paha kijang dan menyerahkannya kepada tamunya yang memakan dengan lahapnya. Mereka makan daging panggang rusa itu tanpa berkata-kata. Setelah kenyang, kakek itu mengeluarkan seguci arak, lalu minum dari guci itu dengan suara menggelogok. Lalu dia menyerahkan guci itu kepada Akauw.
“Nah, sebagai pengganti pemberianmu daging rusa, minumlah arak ini, orang muda“
“Terima kasih, paman. Akan tetapi, aku tidak pernah minum arak. Aku hanya minum air teh atau air putih saja“
Mendengar jawaban ini, kakek itu bangkit berdiri dan tertawa terkekeh-kekeh. “He-he-he, orang begini gagah perkasa, minumnya hanya air teh atau air putih saja, seperti seorang gadis pingitan. He-he-heh-he, engkau menolak arak pemberian Thian-te Ciu-kwi (Setan Arak Langit Bumi), itu berarti penghinaan. Orang muda, hayo kau harus mampu melawanku sebanyak sepuluh jurus. Kalau tidak mampu, engkau mampus karena berani menghina aku!”
Akauw juga bangkit berdiri dan sepasang alis yang tebal itu berkerut. “Paman, siapa yang menghina? Aku menolak karena memang tidak suka minum arak“
“He-he-he, suka tidak suka harus minum kalau sudah ku beri. Engkau akan mampus kalau tidak dapat bertahan lebih dari sepuluh jurus“ Setelah berkata demikian, kakek itu sudah menyerangnya dengan guci araknya yang terbuat dari pada baja.
Akauw terkejut karena serangan itu hebat sekali. Dari angina suara serangan itu saja dia tahu bahwa kakek itu menggunakan tenaga yang luar biasa besarnya. Cepat dia melompat ke belakang untuk menghindarkan diri. “Kakek, engkau jahat sekali! Engkau hendak membunuh orang yang tidak berdosa? Engkau jahat dan patut di hajar!” kata-kata terakhir ini di dapatnya dari suhengnya yang mengharuskan dia menghajar orang yang jahat. Setelah berkata demikian, diapun membalas dengan pukulan tangannya dan otomatis ia menggerakkan pukulan dari ilmu Bu-tek Cin-keng.
“Siiuuttt...!“ Angin besar melanda kakek itu dan membuat si kakek berjungkir balik dan mengeluarkan seruan kaget.
“Ehhh, ilmu apa ini? Engkau hebat juga, orang muda!“ katanya dan kembali dia menyerang. Hebat memang serangan kakek kecil itu. Bukan saja tenaganya amat besar, akan tetapi juga kecepatan gerakannya mengangumkan.
Kembali Akauw mengelak dengan lompatan ke belakang dan untuk kedua kalinya dia menyerang dengan menggunakan jurus dari Bu-tek Cin-keng. Terdengar lagi suara berciutan yang amat dahsyat dan biarpun kakek itu sempat menghindar namun dia semakin kagum.
“Berhenti dulu, orang muda!” kata kakek itu.
Dengan girang Akauw berhenti. “Paman, engkau tidak boleh jahat begitu karena kulihat engkau seorang yang pandai, kenapa menggunakan kepandaian untuk membunuh orang?”
“He-ho-ho-ho, baiklah aku tidak membunuh orang. Sekarang kita ganti taruhannya. Bukan nyawa lagi, akan tetapi dengan perjanjian bahwa kalau engkau mampu bertahan seranganku selama dua puluh lima jurus, aku akan membebaskanmu, akan tetapi kalau engkau kalah sebelum dua puluh lima jurus, engkau harus menjadi muridku selama beberapa tahun. Bagaimana?”
Akauw juga bukan orang bodoh, akan tetapi jalan pikirannya memang sederhana sekali. Kalau dalam dua puluh lima jurus kakek ini mampu mengalahkannya, berarti dia lihai sekali dan apa salahnya menjadi murid seorang lihai selama beberapa tahun? Dia tidak akan rugi malah untung! “Baiklah, paman. Mari kita mulai!”
“Lihat pukulan jurus pertama!” bentak kakek itu dan kini dia menyerang dengan loncatan bagaikan burung wallet.
Mula-mula tubuhnya melayang ke atas, kemudian dia menukik dan menyerang dengan kedua tangannya kea rah kepala Akauw. Akauw bersikap tenang, dia tetap menggunakan Bu-tek Cin-keng untuk menyambut serangan, kedua tangannya membuat gerakan menggunting ke atas untuk menyambut serangan yang dahsyat itu.
“Desss...!” Dua pasang tangan bertemu di udara. kakek itu berjungkir balik beberapa kali dan tubuh Akauw terhuyung, merasa nyeri pada kedua pundaknya karena tadi dirasakan seolah dia telah menahan benda yang beratnya ribuan kati!
“He-he-he, ilmu yang hebat! Sungguh hebat…!” kakek itu memuji dan diapun mulai menyerang lagi.
Akauw juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk melakukan perlawanan, juga kalau sempat dia balas menyerang dengan tak kalah hebatnya. Berkali-kali kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran, akan tetapi bagaimanapun juga, kakek ini adalah seorang datuk dari daerah timur, maka tentu dibandingkan dengan Akauw, dia menang banyak dalam hal pengalaman bertanding. Setelah beberapa kali mengadu tenaga, tahulah dia bahwa biarpun ilmu silat yang dimainkan pemuda itu amat aneh dan hebat bukan main, namun pemuda itu masih belum dapat mengimbangi kehebatan ilmu itu dengan tenaga. Tenaga sinkang pemuda itu tidak berapa hebat, dia lebih mengandalkan tenaga otot.
Pada jurus ke duapuluh dua, tiba-tiba kakek itu menyerang dengan bergulingan di atas tanah. Hal ini membingungkan Akauw dan begitu kakek itu mengerahkan tenaga menarik, tanpa dapat di cegah lagi, Akauw roboh terpelanting!
“He-he-he, baru dua puluh dua jurus engkau sudah roboh. Engkau harus mengaku kalah, orang muda“
Akauw adalah seorang yang jujur. Biarpun tidak menderita nyeri, akan tetapi dia sudah roboh dan dalam adu kepandaian itu berarti kalah. Maka dia lalu merangkap kedua tangan memberi hormat. “Aku mengaku kalah, paman“
“Husshhh, kenapa menyebut paman? Engkau kalah dan engkau mulai saat ini harus menjadi muridku, tahu? Nah, engkau harus menyebut suhu kepadaku dan menaati semua perintahku“
“Baik, suhu“ kata Akau taat karena dia harus memegang janjinya.
Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh dan merasa girang sekali. Bukan girang karena mendapatkan murid saja, melainkan terutama sekali dia mendapatkan sebuah ilmu silat aneh melalui muridnya ini. Bagus, bagus! Siapa namamu, muridku?”
“Suhu, namaku Cian Kauw Cu dan biasa di sebut Akauw saja“
“Ha-ha-ha, aku sudah melihatmu tadi. Cocok nama itu dengan sepak terjangmu, he-he. Akauw mulai sekarang, engkau harus ikut denganku untuk memperdalam ilmu silatmu. Sebelum kunyatakan tamat belajar, engkau tidak boleh meninggalkan aku, mengerti?”
“Baik, suhu...“
“Buntalanmu itu, apa isinya?”
“Pakaian dan pedang, suhu“
“Hem, coba kulihat engkau bermain pedang“ katanya lagi.
Akaw menurut dan dia mengeluarkan sebatang pedang dari buntalan pakaiannya. Sarung pedang itu sederhana sekali dan si kakek sudah menganggap rendah pedang itu. Akan tetapi ketika Akauw mencabutnya, kakek itu terbelalak karena ada sinar hitam yang membuatnya bergidik!
“Tahan dulu, pedangmukah itu? Apa nama pedang itu, Akauw?” Sungguh pemuda ini mempunyai banyak kejutan, pikirnya.
“Namanya Hek-liong-kiam, suhu“
“Coba, aku ingin melihatnya“ Ketika menerima pedang itu dari tangan Akauw, Thian-te Ciu-kwi merasakan jantungnya berdebar tegang. Dia pernah mendengar dongeng tentang sepasang pedang putih dan hitam yang di sebut Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam. Akan tetapi selama ratusan tahun pedang-pedang itu tidak pernah keluar dari dunia kang-ouw dan sekarang tahu-tahu berada di tangan pemuda yang seperti monyet ini!
“Akauw, darimana engkau memperoleh pedang ini?” tanyanya, sambil memandang penuh selidik.
Akauw teringat akan pesan suhengnya. “Sampai bagaimanapun, jangan sekali-sekali membuka rahasia tempat ini kepada orang lain, sute. Baru emas itu saja dapat menimbulkan malapetaka kalau terjatuh ke tangan orang jahat“
“Akan tetapi, aku harus bilang apa, suheng? Aku tidak dapat berbohong“ bantahnya.
“Katakan saja engkau mendapatkan disebuah guha dan kau sudah lupa lagi tempatnya. Sekali waktu berbohong boleh asal bukan untuk menipu orang, sute“
Demikianlah, teringat akan pesan suhengnya, Akauw lalu berkata, “Aku mendapatkannya dari guruku, suhu“
“Juga ilmu silatmu yang aneh itu?”
“Benar, suhu...“
“ lDan siapa gurumu itu?”
“Guruku sudah mati, namanya adalah Yang Kok It“
Kakek kecil itu membelalakan matanya yang kecil. “Yang Kok It l, bekas Panglima itu? Tahukah engkau bahwa dia adalah seorang bekas panglima yang buron dan menjadi kejaran orang. Dan tahukah engkau bahwa dia mempunyai seorang cucu pula? Apakah engkau cucunya itu?”
“Ah, bukan suhu. Aku tidak tahu tentang cucunya. Suhu sudah meninggal dunia, dan aku sudah tidak mempunyai ayah ibu atau saudara lagi“
Kakek kecil itu berpikir. Agaknya tidak mungkin kalau bocah ini cucu Yang Kok It. Bocah ini lagaknya seperti orang hutan saja, walaupun ilmu silatnya hebat dan pedangnya lebih hebat pula. “Nah, kau mainkan pedang itu!” katanya.
Akauw segera bermain pedang. Akan tetapi berbeda dengan Yang Cien yang dapat mengubah ilmu pedang dari ilmu Bu-tek Cin-keng, Akauw hanya dapat memainkan ilmu pedang yang pernah dia pelajari dari Yang Kok It, yaitu ilmu pedang Gobi-pai. Yang Kok It adalah seorang murid Gobi-pai.
Melihat ini, kakek itu kecewa. Dibandingkan ilmu silat tangan kosongnya, ilmu pedang pemuda ini tidak ada artinya, dan permainan pedang dengan ilmu pedang Gobi-pai itu membenarkan keterangannya bahwa dia murid Yang Kok It.
“Cukup, simpan pedangmu baik-baik. Pedang itu amat berharga dan jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain, Akauw“ katanya. “Mari kita berangkat, tempat tinggalku di puncak bukit sana itu“
Datuk sesat seperti Thian-te Ciu-kwi tentu saja tidak bersungguh-sungguh ingin mengambil murid seperti Akauw. Dia ingin mengambil murid Akauw karena ingin mempelajari ilmu silat tangan kosong yang dimainkan Akauw tadi. Harus dia akui, bahwa kalau Akauw lebih matang ilmunya, agaknya akan sukar baginya untuk dapat mengalahkan ilmu pemuda itu. Apalagi setelah melihat Hek-liong-kiam. Tentu saja kini tidak hanya ilmu silat pemuda itu yang ingin dia peroleh, akan tetapi juga pedang hitam itu!
Akan tetapi dia harus bersabar karena ilmu silat itu harus dia pelajari satu jurus demi satu jurus. Dan untuk membuat pemuda itu tidak curiga kepadanya, dia harus benar-benar mengajarkan sin-kang dan ilmu lain kepadanya. Kalau pemuda itu kelak menyenangkan hatinya, bukan hanya ilmu pedang dan pedang itu yang dapat menjadi miliknya, akan tetapi pemuda pemuda itupun dapat dijadikan pembantu yang amat berguna.
Demikianlah, mulai hari itu Akauw menjadi murid Thian-te Ciu-kwi, dia tidak tahu bahwa gurunya adalah seorang datuk sesat yang amat jahat dan kejam.
Baru setahun Akauw tinggal bersama Thian-te Ciu-kwi di puncak bukit itu, dia sudah merasa tidak betah sama sekali. Watak kakek itu mulai kelihatan. Setiap harinya hanya minum arak sampai mabok dan kalau sudah begitu dia memaksa Akauw untuk berulang-ulang melakukan jurus ilmu silat dari Bu-tek Cin-keng, mengulang dan mengulanginya lagi . Kakek itu merasa mendapatkan ilmu yang aneh dan sukar bukan main. Rasanya ada sesuatu yang salah dalam ilmu silat itu, akan tetapi harus diakuinya bahwa ilmu itu amat dahsyat. Maka agak sukarlah baginya untuk dapat mengerti inti sari ilmu itu.
Dia juga mengajarkan Samadhi kepada Akauw dan justeru Akauw paling tidak suka pelajaran ini yang di anggapnya tidak berguna dan membuang-buang waktu saja. Pada suatu hari datanglah seorang tamu di puncak itu. Tamu ini seorang kakek berusia enampuluh tahun, tinggi besar, raksasa hitam karena kulitnya amat hitam. Dia membawa sebatang golok yang punggungnya seperti bentuk gergaji, pakaiannya mewah dan agaknya dia seorang pejabat tinggi, karena kedatangannya di iringkan selusin pasukan pengawal. Begitu melihat orang ini, Thian-te Ciu-kwi bersorak gembira.
“Haiii, sahabatku yang baik, Toat-beng Giam-ong Lui Tat angin apa yang meniupmu kesini?“
“Thian-te Ciu-kwi, angin baik yang membawaku ke sini, dan ku lihat engkau masih menjadi setan arak seperti dulu“
“He-he-he, dan engkau menjadi seorang pejabat tinggi yang dimuliakan orang agaknya. Amboiii!”
“Dan kedatangku ini untuk memberi bagian kemuliaan yang sama kepadamu, Ciu-kwi. Aku menawarkan kedudukan yang baik bagimu kalau engkau mau ikut bersamaku ke kota raja menghadap Sri baginda Kaisar“
“Hemm, mari kita duduk dan bicara di dalam , Giam-ong“
Kedua sahabat itu bergandeng tangan, seorang raksasa tinggi besar dan seorang yang pendek kecil, lalu memasuki pondok Ciu-kwi. Raksasa itu berteriak menyuruh anak buahnya beristirahat agak jauh dari situ agar jangan mengganggu percakapan mereka. Ketika berada di dalam dan melihat Akauw, Giam-ong mengerutkan alisnya. “Siapa dia, Ciu-kwi?”
“Ha-ha, dia muridku yang baik, Giam-ong. Eeh, Akauw, cepat memberi hormat kepada sahabatku ini. Engkau harus menyebutnya taijin karena dia pejabat tinggi dari kota raja“
“Heh, kalau dia muridmu tidak perlu memakai banyak peraturan, Ciu-kwi. Orang muda, sebut saja aku locianpwe“
“Selamat datang, locianpwe“ kata Akauw sambil memberi hormat.
“Hei, Akauw. Cepat engkau menyuguhkan arak kepada dua belah orang pasukan pengawal sahabatku ini dan jangan engkau masuk ke sini kalau tidak kupanggil“
“Baik, suhu“ Akauw yang segera melaksanakan perintah itu karena suhunya memang menyimpan banyak sekali arak, berguci-guci banyaknya.
“Sejak kapan engkau menjadi antek orang Mongol, Giam-ong?” Tanya Ciu-kwi dengan nada suara mengejek.
“Hush, jangan berkata demikian. Kaisar-kaisar bangsa kita tidak becus memerintah. Buktinya, selama berabad mereka itu hanya saling serang, tiada henti-hentinya. Sekarang, Orang Toba memerintah, dan kalau itu menguntungkan kita, apa salahnya? Hidup satu kali haruslah dapat memetik manfaat dari keadaan, bukan? Nah, Kaisar Julan Khan ini dapat menggunakan tenaga kita, dan dia amat royal memberi pahala. Kalau engkau bersedia, asalkan datang bersamaku, engkau segera akan mendapatkan pangkat dan memiliki kemuliaan yang belum pernah kau impikan sebelumnya. daripada engkau di sini hidup bersama muridmu yang nampak ketololan itu“
“Aih, aih, jangan memandang rendah kepada muridku, Giam-ong. Dia merupakan sumber kebesaran yang tidak kalah oleh kedudukanmu yang mulia sekarang ini“
”Hem, apa maksudmu?”
“Engkau tentu tidak menyangka sama sekali bahwa dia adalah murid Yang Kok It sebelum menjadi muridku“
Toat-beng Giam-ong Lui Tat nampak terkejut mendengar ini. “ Ah, kalau begitu aku harus menangkapnya untuk di tanya, dimana adanya Yang Kok It dan cucunya, putera pemberontak Yang Koan itu!”
“Tenang, tenang dan bersabarlah, sobat. Kakek Yang Kok It telah meninggal dunia dan dia sama sekali tidak tahu dimana adanya cucunya. Dia adalah seorang yang lugu , akan tetapi tentang Yang Kok It itu tidak penting. Ada yang lebih penting lagi dan engkau pasti akan tertarik sekali mendengarnya“
“Hem, apa lagi yang penting itu?”
“Dia mempunyai suatu ilmu yang amat hebat, dan aku sedang mempelajarinya. Orang ini dapat amat berguna kelak untuk membantu kita dalam segala hal“
“Hemm, kalau dia masih mau menjadi muridmu, ilmu hebat apakah yang dia kuasai?“ Tanya Toat-beng Giam-ong, tentu saja tidak percaya karena kalau pemuda itu memiliki ilmu hebat tentu tidak mau menjadi murid orang lain.
“Giam-ong, untuk membuktikan omonganku tadi, mari coba kita main-main sebentar dan kau boleh menyerangku dalam tiga jurus!”
Giam-ong adalag seorang ahli silat dan dia mengerti benar bahwa rekannya itu tidak memiliki kepandaian silat yang terlalu istimewa akan tetapi paling hebat hanya dapat mengimbanginya saja. Tingkat kepandaian mereka tidak berselisih jauh, maka mendengar dia di tantang bertanding selama tiga jurus, hatinya tertarik sekali.
“Baik, hendak ku buktikan omonganmu“ katanya dan mereka berdua segera memasang kuda-kuda. “Ciu-kwi, lihat seranganku!” katanya kemudian dan dia menyerang dengan dahsyat, dengan kedua tangannya yang panjang besar.
Akan tetapi Thian-te Ciu-kwi tidak mengelak, melainkan meluruskan kedua tangan menyambut dan dari kedua tangannya itu menyambar angina yang aneh, membuat Giam-ong terkejut dan mengelak, lalu melanjutkan dengan serangan jurus kedua. Kembali Ciu-kwi membuat gerakan aneh dan daya pukulan Giam-ong meleset dengan sendirinya. Jurus ketiga dipergunakan oleh giam-ong untuk menyerang dengan seluruh tenaganya, menggunakan pukulan jarak jauh dengan kedua tangan terbuka. Ciu-kwi menyambut dengan kedua tangan terbuka pula dan akibatnya. Giam-ong terdorong mundur sampai terhuyung!
“Wah, ilmumu meningkat hebat, Ciu-kwi!” seru Giam-ong terkejut dan kagum, juga penasaran.
“Inilah berkat aku mempelajari ilmu aneh dari muridku, Giam-ong. Ini baru beberapa jurus saja dan amat sukar di pelajari. Nah, apakah murid seperti ini hendak dimusnakan begitu saja? Masih ada lagi hal penting lain kecuali ilmu ini. Dia memiliki Hek-liong-kiam“
“Hek-liong-kiam...?“ Kau maksudkan pek-hek-liong-kiam sepasang pedang kembar dalam dongeng itu?”
“Tidak salah. Dia memiliki Hek-liong-kiam yang katanya dia terima dari mendiang Yang Kok It. Nah, karena itulah dia ku ambil murid dan orang macam ini dapat kita pergunakan. Sebagai muridku tentu dia akan menaati semua perintahku...“
“Ha-ha-ha, engkau cerdik sekali, Ciu-kwi. Bagus, kalau begitu engkau dan muridmu itu ku minta untuk bekerja di istana. Kaisar tentu akan senang sekali memberi kedudukan tinggi kepadamu“
“Eh, Giam-ong, ada apa ini? Tiada hujan tiada angin engkau bersikap begitu baik padaku? Aku menjadi curiga“
“Ha-ha-ha, kawan, siapa yang berbuat baik kepadamu. Aku berbuat baik bukan untukmu, melainkan untuk diriku sendiri. Sekarang banyak gejala timbulnya pemberontakan di sana sini dan dengan sendirinya sebagai seorang penasehat militer kaisar, aku mempunyai banyak tugas, mempunyai banyak musuh. Aku membutuhkan kawan yang dapat di andalkan, dapat di percaya dan aku memutuskan bahwa engkaulah orangnya yang tepat. Ciu-kwi, kita sudah semakin tua. Kalau tidak sekarang menggunakan kesempatan untuk hidup berkecukupan dan terhormat, mau kapan lagi?”
Thian-te Ciu-kwi mengangguk-angguk. “Engkau benar juga, kawan. Baiklah, aku akan membicarakan dengan muridku, dan sebaiknya kalau engkau pulang lebih dulu. Dalam bulan ini juga kami tentu akan pergi ke Tiang-an dan mengadap Kaisar di sana. Ku harap saja semua akan berjalan lancer“
“Cari saja aku lebih dulu, mudah mencari rumah Lui-koksu (Guru Negara Lui) di sana aku akan membawamu menghadap Sri Baginda Kaisar“
“Baik, Giam-ong, eh Kok-su!” kata Ciu-kwi gembira.
Setelah para tamunya pergi, Ciu-kwi memanggil Akauw. “Muridku yang baik, peruntunganmu memang bagus sekali. Kau tahu siapa yang datang berkunjung tadi?”
Akauw menggeleng kepalanya. “ lNampaknya seorang pembesar“
“Memang benar. Akan tetapi pembesar yang bagaimana? Dia penasehat Kaisar! Dia pejabat yang kedudukannya tinggi sekali. Dan kau tahu apa keperluannya datang ke sini tadi?”
“Tidak tahu, suhu. Agak dia berkunjung karena suhu adalah sahabatnya“
“Memang benar, akan tetapi dia datang menawarkan kedudukan kepada kita“
“Kita, suhu?”
“Ya, engkau dan aku. Kita akan berangkat ke kota raja, Akauw dan di sana kita akan menjabat kedudukan tinggi, menjadi orang-orang terhormat dan mulia, hidup serba kecukupan...”
Akan tetapi di dalam hatinya, Akauw tidak begitu suka mendengar ini. Dia akan memasuki kehidupan baru dan dia teringat akan pengalamannya di Kota Raja. Teringat kepada jaksa yang sombong itu. Kalau para pejabat seperti itu wataknya, tentu kehidupan di kota raja akan menjadi tidak amat menyenangkan. Akan tetapi dia teringat kepada Bi Soan, pemuda remaja yang lucu dan menyenangkan itu! Dan mendadak saja wajahnya berubah berseri gembira!
“Suhu, aku senang sekali pergi ke kota raja. Di Sini sudah kurang lebih setahun, membosankan karena sepi sekali“
“Bagus, kalau begitu kita berkemas, besok pagi-pagi kita melakukan perjalanan ke kota raja, Akauw...“
“Ayah, aku telah di hina orang, ayah!” kata gadis itu dengan sikap manja sekali.
Perdana Menteri Ji Sun Cai mengerutkan alisnya. Gadis itu adalah puteri tunggalnya yang amat di sayangnya. “Siapa berani menghinamu?” tanyanya marah.
“Seorang jaksa di rumah minum, dia telah menghinaku!”
“Di kedai minum? Ahhh, engkau tentu telah pergi dalam penyamaranmu lagi, Goat-ji (Anak Goat)!” kata ayahnya mencela dan kemarahannya mereda. Kalau ada orang menghina anaknya dalam penyamaran, hal itu tidak aneh karena tentu orang itu tidak tahu bahwa Ji Goat adalah puterinya. Puterinya ini suka sekali keluyuran menyamar sebagai seorang pria, nakalnya bukan main.
“Akan tetapi, Jaksa Gu itu memang kurang ajar sekali. Biarpun dia tidak mengenalku, dia tidak boleh menghina orang seenaknya saja. Aku dan seorang teman sudah memberi hajaran kepada dia dan anak buahnya, akan tetapi aku khawatir dia akan mencariku dan kalau bertemu tentu anak buahnya akan menyerangku“
“Hemmm, lalu apa yang harus kulakukan? Jaksa Gu cukup berpengaruh di kalangan rakyat, dia seorang Jaksa yang keras“
“Keras terhadap rakyat miskin, akan tetapi lunak terhadap orang kaya, bukan begitu, ayah? Jangan mengira aku tidak tahu, ayah? Kelakuan sebagian besar para pejabat di Kota Raja sudah berada di tanganku. Tidak sia-sia aku suka berkeluyuran menyamar sebagai pria karena banyak hal yang ku ketahui“
“Sudahlah, jangan macam-macam. Lalu apa yang kau ingin lakukan?“
“Undang Jaksa Gu ke sini ayah?”
“He...? Kalau sudah datang lalu bagaimana? Menegurnya?”
“Tidak usah. Aku yang akan menghadapinya kelak“
Saking cintanya kepada anaknya, dan kadang suka memanjakan, Perdana menteri Ji Sun Cai tidak menolak dan segera mengirim utusan menyampaikan surat mengundang datang Jaksa Gu...
Semua ini tidak lepas dari pengamatan orang yang membayangi Akauw. Orang itu seperti kakek yang usianya tentu lebih dari enam puluh tahun, bertubuh pendek kecil akan tetapi mempunyai gerakan yang ringan sekali sehingga Akauw tidak tahu bahwa sejak dari kuil tadi orang itu membayanginya. Bahkan ketika dia melakukan pengejaran terhadap kijang, orang itu tetap membayanginya, walaupun tidak seperti dia meluncur dari pohon ke pohon. Orang itu berlari seperti terbang saja, menyelinap dari pohon ke pohon lain dan terus membayangi kemana saja Akauw pergi.
Setelah tiba di atas kijang itu, Akauw mengeluarkan pekik seperti ketika dia masih hidup di antara kera-kera itu dan tubuhnya meluncur dari atas pohon, tepat menimpa punggung kijang itu. Kijang itu kaget, meronta, namun lehernya telah di pegang oleh sepasang tangan yang amat kuat dan kepalanya di puntir, maka robohlah kijang itu, tidak bergerak lagi, mati seketika. Akauw mengeluarkan suara penuh kemenangan yang terdengar seperti lengking panjang, kemudian dia membuat api unggun dan tak lama kemudian dia sudah memanggang daging kijang muda yang sedap dan lunak.
Sepasang mata yang mengintainya kini berkedip-kedip dan mulut kakek kecil itu berliur ketika bau sedap daging kijang panggang itu menyerang hidungnya. Dia lalu keluar dari tempat sembunyi sambil terkekeh. Akauw terkejut bukan main. Dia melompat berdiri saking kagetnya. Bagaimana dia tidak dapat mendengar ada orang yang berada begitu dekat dengannya?
“He-he-he, anak muda, bolehkan aku mendapatkan sedikit daging kijang yang kau panggang itu?”
“Ah, tentu saja, paman, tentu saja. Mari, silahkan duduk, paman dan mari silahkan makan bersamaku“ Akauw sudah hilang kagetnya dan dengan ramah dia menyilakan orang itu duduk menghadapi api unggun.
“Terima kasih...“ orang itu memandang Akauw yang membolak-balik daging kijang yang sedang di panggangnya. “Engkau siapakah, anak muda?”
“Namaku Cian Kauw Cu, paman. Dan paman siapakah dan bagaimana dapat berada di hutan yang amat lebat ini?”
“Aku? ha-ha-ha, aku memang seringkali berkeliaran di hutan ini dan kebetulan melihat engkau memanggang daging kijang. Wah, sudah masak rupanya“
Akauw lalu mematahkan sebagian paha kijang dan menyerahkannya kepada tamunya yang memakan dengan lahapnya. Mereka makan daging panggang rusa itu tanpa berkata-kata. Setelah kenyang, kakek itu mengeluarkan seguci arak, lalu minum dari guci itu dengan suara menggelogok. Lalu dia menyerahkan guci itu kepada Akauw.
“Nah, sebagai pengganti pemberianmu daging rusa, minumlah arak ini, orang muda“
“Terima kasih, paman. Akan tetapi, aku tidak pernah minum arak. Aku hanya minum air teh atau air putih saja“
Mendengar jawaban ini, kakek itu bangkit berdiri dan tertawa terkekeh-kekeh. “He-he-he, orang begini gagah perkasa, minumnya hanya air teh atau air putih saja, seperti seorang gadis pingitan. He-he-heh-he, engkau menolak arak pemberian Thian-te Ciu-kwi (Setan Arak Langit Bumi), itu berarti penghinaan. Orang muda, hayo kau harus mampu melawanku sebanyak sepuluh jurus. Kalau tidak mampu, engkau mampus karena berani menghina aku!”
Akauw juga bangkit berdiri dan sepasang alis yang tebal itu berkerut. “Paman, siapa yang menghina? Aku menolak karena memang tidak suka minum arak“
“He-he-he, suka tidak suka harus minum kalau sudah ku beri. Engkau akan mampus kalau tidak dapat bertahan lebih dari sepuluh jurus“ Setelah berkata demikian, kakek itu sudah menyerangnya dengan guci araknya yang terbuat dari pada baja.
Akauw terkejut karena serangan itu hebat sekali. Dari angina suara serangan itu saja dia tahu bahwa kakek itu menggunakan tenaga yang luar biasa besarnya. Cepat dia melompat ke belakang untuk menghindarkan diri. “Kakek, engkau jahat sekali! Engkau hendak membunuh orang yang tidak berdosa? Engkau jahat dan patut di hajar!” kata-kata terakhir ini di dapatnya dari suhengnya yang mengharuskan dia menghajar orang yang jahat. Setelah berkata demikian, diapun membalas dengan pukulan tangannya dan otomatis ia menggerakkan pukulan dari ilmu Bu-tek Cin-keng.
“Siiuuttt...!“ Angin besar melanda kakek itu dan membuat si kakek berjungkir balik dan mengeluarkan seruan kaget.
“Ehhh, ilmu apa ini? Engkau hebat juga, orang muda!“ katanya dan kembali dia menyerang. Hebat memang serangan kakek kecil itu. Bukan saja tenaganya amat besar, akan tetapi juga kecepatan gerakannya mengangumkan.
Kembali Akauw mengelak dengan lompatan ke belakang dan untuk kedua kalinya dia menyerang dengan menggunakan jurus dari Bu-tek Cin-keng. Terdengar lagi suara berciutan yang amat dahsyat dan biarpun kakek itu sempat menghindar namun dia semakin kagum.
“Berhenti dulu, orang muda!” kata kakek itu.
Dengan girang Akauw berhenti. “Paman, engkau tidak boleh jahat begitu karena kulihat engkau seorang yang pandai, kenapa menggunakan kepandaian untuk membunuh orang?”
“He-ho-ho-ho, baiklah aku tidak membunuh orang. Sekarang kita ganti taruhannya. Bukan nyawa lagi, akan tetapi dengan perjanjian bahwa kalau engkau mampu bertahan seranganku selama dua puluh lima jurus, aku akan membebaskanmu, akan tetapi kalau engkau kalah sebelum dua puluh lima jurus, engkau harus menjadi muridku selama beberapa tahun. Bagaimana?”
Akauw juga bukan orang bodoh, akan tetapi jalan pikirannya memang sederhana sekali. Kalau dalam dua puluh lima jurus kakek ini mampu mengalahkannya, berarti dia lihai sekali dan apa salahnya menjadi murid seorang lihai selama beberapa tahun? Dia tidak akan rugi malah untung! “Baiklah, paman. Mari kita mulai!”
“Lihat pukulan jurus pertama!” bentak kakek itu dan kini dia menyerang dengan loncatan bagaikan burung wallet.
Mula-mula tubuhnya melayang ke atas, kemudian dia menukik dan menyerang dengan kedua tangannya kea rah kepala Akauw. Akauw bersikap tenang, dia tetap menggunakan Bu-tek Cin-keng untuk menyambut serangan, kedua tangannya membuat gerakan menggunting ke atas untuk menyambut serangan yang dahsyat itu.
“Desss...!” Dua pasang tangan bertemu di udara. kakek itu berjungkir balik beberapa kali dan tubuh Akauw terhuyung, merasa nyeri pada kedua pundaknya karena tadi dirasakan seolah dia telah menahan benda yang beratnya ribuan kati!
“He-he-he, ilmu yang hebat! Sungguh hebat…!” kakek itu memuji dan diapun mulai menyerang lagi.
Akauw juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk melakukan perlawanan, juga kalau sempat dia balas menyerang dengan tak kalah hebatnya. Berkali-kali kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran, akan tetapi bagaimanapun juga, kakek ini adalah seorang datuk dari daerah timur, maka tentu dibandingkan dengan Akauw, dia menang banyak dalam hal pengalaman bertanding. Setelah beberapa kali mengadu tenaga, tahulah dia bahwa biarpun ilmu silat yang dimainkan pemuda itu amat aneh dan hebat bukan main, namun pemuda itu masih belum dapat mengimbangi kehebatan ilmu itu dengan tenaga. Tenaga sinkang pemuda itu tidak berapa hebat, dia lebih mengandalkan tenaga otot.
Pada jurus ke duapuluh dua, tiba-tiba kakek itu menyerang dengan bergulingan di atas tanah. Hal ini membingungkan Akauw dan begitu kakek itu mengerahkan tenaga menarik, tanpa dapat di cegah lagi, Akauw roboh terpelanting!
“He-he-he, baru dua puluh dua jurus engkau sudah roboh. Engkau harus mengaku kalah, orang muda“
Akauw adalah seorang yang jujur. Biarpun tidak menderita nyeri, akan tetapi dia sudah roboh dan dalam adu kepandaian itu berarti kalah. Maka dia lalu merangkap kedua tangan memberi hormat. “Aku mengaku kalah, paman“
“Husshhh, kenapa menyebut paman? Engkau kalah dan engkau mulai saat ini harus menjadi muridku, tahu? Nah, engkau harus menyebut suhu kepadaku dan menaati semua perintahku“
“Baik, suhu“ kata Akau taat karena dia harus memegang janjinya.
Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh dan merasa girang sekali. Bukan girang karena mendapatkan murid saja, melainkan terutama sekali dia mendapatkan sebuah ilmu silat aneh melalui muridnya ini. Bagus, bagus! Siapa namamu, muridku?”
“Suhu, namaku Cian Kauw Cu dan biasa di sebut Akauw saja“
“Ha-ha-ha, aku sudah melihatmu tadi. Cocok nama itu dengan sepak terjangmu, he-he. Akauw mulai sekarang, engkau harus ikut denganku untuk memperdalam ilmu silatmu. Sebelum kunyatakan tamat belajar, engkau tidak boleh meninggalkan aku, mengerti?”
“Baik, suhu...“
“Buntalanmu itu, apa isinya?”
“Pakaian dan pedang, suhu“
“Hem, coba kulihat engkau bermain pedang“ katanya lagi.
Akaw menurut dan dia mengeluarkan sebatang pedang dari buntalan pakaiannya. Sarung pedang itu sederhana sekali dan si kakek sudah menganggap rendah pedang itu. Akan tetapi ketika Akauw mencabutnya, kakek itu terbelalak karena ada sinar hitam yang membuatnya bergidik!
“Tahan dulu, pedangmukah itu? Apa nama pedang itu, Akauw?” Sungguh pemuda ini mempunyai banyak kejutan, pikirnya.
“Namanya Hek-liong-kiam, suhu“
“Coba, aku ingin melihatnya“ Ketika menerima pedang itu dari tangan Akauw, Thian-te Ciu-kwi merasakan jantungnya berdebar tegang. Dia pernah mendengar dongeng tentang sepasang pedang putih dan hitam yang di sebut Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam. Akan tetapi selama ratusan tahun pedang-pedang itu tidak pernah keluar dari dunia kang-ouw dan sekarang tahu-tahu berada di tangan pemuda yang seperti monyet ini!
“Akauw, darimana engkau memperoleh pedang ini?” tanyanya, sambil memandang penuh selidik.
Akauw teringat akan pesan suhengnya. “Sampai bagaimanapun, jangan sekali-sekali membuka rahasia tempat ini kepada orang lain, sute. Baru emas itu saja dapat menimbulkan malapetaka kalau terjatuh ke tangan orang jahat“
“Akan tetapi, aku harus bilang apa, suheng? Aku tidak dapat berbohong“ bantahnya.
“Katakan saja engkau mendapatkan disebuah guha dan kau sudah lupa lagi tempatnya. Sekali waktu berbohong boleh asal bukan untuk menipu orang, sute“
Demikianlah, teringat akan pesan suhengnya, Akauw lalu berkata, “Aku mendapatkannya dari guruku, suhu“
“Juga ilmu silatmu yang aneh itu?”
“Benar, suhu...“
“ lDan siapa gurumu itu?”
“Guruku sudah mati, namanya adalah Yang Kok It“
Kakek kecil itu membelalakan matanya yang kecil. “Yang Kok It l, bekas Panglima itu? Tahukah engkau bahwa dia adalah seorang bekas panglima yang buron dan menjadi kejaran orang. Dan tahukah engkau bahwa dia mempunyai seorang cucu pula? Apakah engkau cucunya itu?”
“Ah, bukan suhu. Aku tidak tahu tentang cucunya. Suhu sudah meninggal dunia, dan aku sudah tidak mempunyai ayah ibu atau saudara lagi“
Kakek kecil itu berpikir. Agaknya tidak mungkin kalau bocah ini cucu Yang Kok It. Bocah ini lagaknya seperti orang hutan saja, walaupun ilmu silatnya hebat dan pedangnya lebih hebat pula. “Nah, kau mainkan pedang itu!” katanya.
Akauw segera bermain pedang. Akan tetapi berbeda dengan Yang Cien yang dapat mengubah ilmu pedang dari ilmu Bu-tek Cin-keng, Akauw hanya dapat memainkan ilmu pedang yang pernah dia pelajari dari Yang Kok It, yaitu ilmu pedang Gobi-pai. Yang Kok It adalah seorang murid Gobi-pai.
Melihat ini, kakek itu kecewa. Dibandingkan ilmu silat tangan kosongnya, ilmu pedang pemuda ini tidak ada artinya, dan permainan pedang dengan ilmu pedang Gobi-pai itu membenarkan keterangannya bahwa dia murid Yang Kok It.
“Cukup, simpan pedangmu baik-baik. Pedang itu amat berharga dan jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain, Akauw“ katanya. “Mari kita berangkat, tempat tinggalku di puncak bukit sana itu“
Datuk sesat seperti Thian-te Ciu-kwi tentu saja tidak bersungguh-sungguh ingin mengambil murid seperti Akauw. Dia ingin mengambil murid Akauw karena ingin mempelajari ilmu silat tangan kosong yang dimainkan Akauw tadi. Harus dia akui, bahwa kalau Akauw lebih matang ilmunya, agaknya akan sukar baginya untuk dapat mengalahkan ilmu pemuda itu. Apalagi setelah melihat Hek-liong-kiam. Tentu saja kini tidak hanya ilmu silat pemuda itu yang ingin dia peroleh, akan tetapi juga pedang hitam itu!
Akan tetapi dia harus bersabar karena ilmu silat itu harus dia pelajari satu jurus demi satu jurus. Dan untuk membuat pemuda itu tidak curiga kepadanya, dia harus benar-benar mengajarkan sin-kang dan ilmu lain kepadanya. Kalau pemuda itu kelak menyenangkan hatinya, bukan hanya ilmu pedang dan pedang itu yang dapat menjadi miliknya, akan tetapi pemuda pemuda itupun dapat dijadikan pembantu yang amat berguna.
Demikianlah, mulai hari itu Akauw menjadi murid Thian-te Ciu-kwi, dia tidak tahu bahwa gurunya adalah seorang datuk sesat yang amat jahat dan kejam.
********************
Baru setahun Akauw tinggal bersama Thian-te Ciu-kwi di puncak bukit itu, dia sudah merasa tidak betah sama sekali. Watak kakek itu mulai kelihatan. Setiap harinya hanya minum arak sampai mabok dan kalau sudah begitu dia memaksa Akauw untuk berulang-ulang melakukan jurus ilmu silat dari Bu-tek Cin-keng, mengulang dan mengulanginya lagi . Kakek itu merasa mendapatkan ilmu yang aneh dan sukar bukan main. Rasanya ada sesuatu yang salah dalam ilmu silat itu, akan tetapi harus diakuinya bahwa ilmu itu amat dahsyat. Maka agak sukarlah baginya untuk dapat mengerti inti sari ilmu itu.
Dia juga mengajarkan Samadhi kepada Akauw dan justeru Akauw paling tidak suka pelajaran ini yang di anggapnya tidak berguna dan membuang-buang waktu saja. Pada suatu hari datanglah seorang tamu di puncak itu. Tamu ini seorang kakek berusia enampuluh tahun, tinggi besar, raksasa hitam karena kulitnya amat hitam. Dia membawa sebatang golok yang punggungnya seperti bentuk gergaji, pakaiannya mewah dan agaknya dia seorang pejabat tinggi, karena kedatangannya di iringkan selusin pasukan pengawal. Begitu melihat orang ini, Thian-te Ciu-kwi bersorak gembira.
“Haiii, sahabatku yang baik, Toat-beng Giam-ong Lui Tat angin apa yang meniupmu kesini?“
“Thian-te Ciu-kwi, angin baik yang membawaku ke sini, dan ku lihat engkau masih menjadi setan arak seperti dulu“
“He-he-he, dan engkau menjadi seorang pejabat tinggi yang dimuliakan orang agaknya. Amboiii!”
“Dan kedatangku ini untuk memberi bagian kemuliaan yang sama kepadamu, Ciu-kwi. Aku menawarkan kedudukan yang baik bagimu kalau engkau mau ikut bersamaku ke kota raja menghadap Sri baginda Kaisar“
“Hemm, mari kita duduk dan bicara di dalam , Giam-ong“
Kedua sahabat itu bergandeng tangan, seorang raksasa tinggi besar dan seorang yang pendek kecil, lalu memasuki pondok Ciu-kwi. Raksasa itu berteriak menyuruh anak buahnya beristirahat agak jauh dari situ agar jangan mengganggu percakapan mereka. Ketika berada di dalam dan melihat Akauw, Giam-ong mengerutkan alisnya. “Siapa dia, Ciu-kwi?”
“Ha-ha, dia muridku yang baik, Giam-ong. Eeh, Akauw, cepat memberi hormat kepada sahabatku ini. Engkau harus menyebutnya taijin karena dia pejabat tinggi dari kota raja“
“Heh, kalau dia muridmu tidak perlu memakai banyak peraturan, Ciu-kwi. Orang muda, sebut saja aku locianpwe“
“Selamat datang, locianpwe“ kata Akauw sambil memberi hormat.
“Hei, Akauw. Cepat engkau menyuguhkan arak kepada dua belah orang pasukan pengawal sahabatku ini dan jangan engkau masuk ke sini kalau tidak kupanggil“
“Baik, suhu“ Akauw yang segera melaksanakan perintah itu karena suhunya memang menyimpan banyak sekali arak, berguci-guci banyaknya.
“Sejak kapan engkau menjadi antek orang Mongol, Giam-ong?” Tanya Ciu-kwi dengan nada suara mengejek.
“Hush, jangan berkata demikian. Kaisar-kaisar bangsa kita tidak becus memerintah. Buktinya, selama berabad mereka itu hanya saling serang, tiada henti-hentinya. Sekarang, Orang Toba memerintah, dan kalau itu menguntungkan kita, apa salahnya? Hidup satu kali haruslah dapat memetik manfaat dari keadaan, bukan? Nah, Kaisar Julan Khan ini dapat menggunakan tenaga kita, dan dia amat royal memberi pahala. Kalau engkau bersedia, asalkan datang bersamaku, engkau segera akan mendapatkan pangkat dan memiliki kemuliaan yang belum pernah kau impikan sebelumnya. daripada engkau di sini hidup bersama muridmu yang nampak ketololan itu“
“Aih, aih, jangan memandang rendah kepada muridku, Giam-ong. Dia merupakan sumber kebesaran yang tidak kalah oleh kedudukanmu yang mulia sekarang ini“
”Hem, apa maksudmu?”
“Engkau tentu tidak menyangka sama sekali bahwa dia adalah murid Yang Kok It sebelum menjadi muridku“
Toat-beng Giam-ong Lui Tat nampak terkejut mendengar ini. “ Ah, kalau begitu aku harus menangkapnya untuk di tanya, dimana adanya Yang Kok It dan cucunya, putera pemberontak Yang Koan itu!”
“Tenang, tenang dan bersabarlah, sobat. Kakek Yang Kok It telah meninggal dunia dan dia sama sekali tidak tahu dimana adanya cucunya. Dia adalah seorang yang lugu , akan tetapi tentang Yang Kok It itu tidak penting. Ada yang lebih penting lagi dan engkau pasti akan tertarik sekali mendengarnya“
“Hem, apa lagi yang penting itu?”
“Dia mempunyai suatu ilmu yang amat hebat, dan aku sedang mempelajarinya. Orang ini dapat amat berguna kelak untuk membantu kita dalam segala hal“
“Hemm, kalau dia masih mau menjadi muridmu, ilmu hebat apakah yang dia kuasai?“ Tanya Toat-beng Giam-ong, tentu saja tidak percaya karena kalau pemuda itu memiliki ilmu hebat tentu tidak mau menjadi murid orang lain.
“Giam-ong, untuk membuktikan omonganku tadi, mari coba kita main-main sebentar dan kau boleh menyerangku dalam tiga jurus!”
Giam-ong adalag seorang ahli silat dan dia mengerti benar bahwa rekannya itu tidak memiliki kepandaian silat yang terlalu istimewa akan tetapi paling hebat hanya dapat mengimbanginya saja. Tingkat kepandaian mereka tidak berselisih jauh, maka mendengar dia di tantang bertanding selama tiga jurus, hatinya tertarik sekali.
“Baik, hendak ku buktikan omonganmu“ katanya dan mereka berdua segera memasang kuda-kuda. “Ciu-kwi, lihat seranganku!” katanya kemudian dan dia menyerang dengan dahsyat, dengan kedua tangannya yang panjang besar.
Akan tetapi Thian-te Ciu-kwi tidak mengelak, melainkan meluruskan kedua tangan menyambut dan dari kedua tangannya itu menyambar angina yang aneh, membuat Giam-ong terkejut dan mengelak, lalu melanjutkan dengan serangan jurus kedua. Kembali Ciu-kwi membuat gerakan aneh dan daya pukulan Giam-ong meleset dengan sendirinya. Jurus ketiga dipergunakan oleh giam-ong untuk menyerang dengan seluruh tenaganya, menggunakan pukulan jarak jauh dengan kedua tangan terbuka. Ciu-kwi menyambut dengan kedua tangan terbuka pula dan akibatnya. Giam-ong terdorong mundur sampai terhuyung!
“Wah, ilmumu meningkat hebat, Ciu-kwi!” seru Giam-ong terkejut dan kagum, juga penasaran.
“Inilah berkat aku mempelajari ilmu aneh dari muridku, Giam-ong. Ini baru beberapa jurus saja dan amat sukar di pelajari. Nah, apakah murid seperti ini hendak dimusnakan begitu saja? Masih ada lagi hal penting lain kecuali ilmu ini. Dia memiliki Hek-liong-kiam“
“Hek-liong-kiam...?“ Kau maksudkan pek-hek-liong-kiam sepasang pedang kembar dalam dongeng itu?”
“Tidak salah. Dia memiliki Hek-liong-kiam yang katanya dia terima dari mendiang Yang Kok It. Nah, karena itulah dia ku ambil murid dan orang macam ini dapat kita pergunakan. Sebagai muridku tentu dia akan menaati semua perintahku...“
“Ha-ha-ha, engkau cerdik sekali, Ciu-kwi. Bagus, kalau begitu engkau dan muridmu itu ku minta untuk bekerja di istana. Kaisar tentu akan senang sekali memberi kedudukan tinggi kepadamu“
“Eh, Giam-ong, ada apa ini? Tiada hujan tiada angin engkau bersikap begitu baik padaku? Aku menjadi curiga“
“Ha-ha-ha, kawan, siapa yang berbuat baik kepadamu. Aku berbuat baik bukan untukmu, melainkan untuk diriku sendiri. Sekarang banyak gejala timbulnya pemberontakan di sana sini dan dengan sendirinya sebagai seorang penasehat militer kaisar, aku mempunyai banyak tugas, mempunyai banyak musuh. Aku membutuhkan kawan yang dapat di andalkan, dapat di percaya dan aku memutuskan bahwa engkaulah orangnya yang tepat. Ciu-kwi, kita sudah semakin tua. Kalau tidak sekarang menggunakan kesempatan untuk hidup berkecukupan dan terhormat, mau kapan lagi?”
Thian-te Ciu-kwi mengangguk-angguk. “Engkau benar juga, kawan. Baiklah, aku akan membicarakan dengan muridku, dan sebaiknya kalau engkau pulang lebih dulu. Dalam bulan ini juga kami tentu akan pergi ke Tiang-an dan mengadap Kaisar di sana. Ku harap saja semua akan berjalan lancer“
“Cari saja aku lebih dulu, mudah mencari rumah Lui-koksu (Guru Negara Lui) di sana aku akan membawamu menghadap Sri Baginda Kaisar“
“Baik, Giam-ong, eh Kok-su!” kata Ciu-kwi gembira.
Setelah para tamunya pergi, Ciu-kwi memanggil Akauw. “Muridku yang baik, peruntunganmu memang bagus sekali. Kau tahu siapa yang datang berkunjung tadi?”
Akauw menggeleng kepalanya. “ lNampaknya seorang pembesar“
“Memang benar. Akan tetapi pembesar yang bagaimana? Dia penasehat Kaisar! Dia pejabat yang kedudukannya tinggi sekali. Dan kau tahu apa keperluannya datang ke sini tadi?”
“Tidak tahu, suhu. Agak dia berkunjung karena suhu adalah sahabatnya“
“Memang benar, akan tetapi dia datang menawarkan kedudukan kepada kita“
“Kita, suhu?”
“Ya, engkau dan aku. Kita akan berangkat ke kota raja, Akauw dan di sana kita akan menjabat kedudukan tinggi, menjadi orang-orang terhormat dan mulia, hidup serba kecukupan...”
Akan tetapi di dalam hatinya, Akauw tidak begitu suka mendengar ini. Dia akan memasuki kehidupan baru dan dia teringat akan pengalamannya di Kota Raja. Teringat kepada jaksa yang sombong itu. Kalau para pejabat seperti itu wataknya, tentu kehidupan di kota raja akan menjadi tidak amat menyenangkan. Akan tetapi dia teringat kepada Bi Soan, pemuda remaja yang lucu dan menyenangkan itu! Dan mendadak saja wajahnya berubah berseri gembira!
“Suhu, aku senang sekali pergi ke kota raja. Di Sini sudah kurang lebih setahun, membosankan karena sepi sekali“
“Bagus, kalau begitu kita berkemas, besok pagi-pagi kita melakukan perjalanan ke kota raja, Akauw...“
********************
“Ayah, aku telah di hina orang, ayah!” kata gadis itu dengan sikap manja sekali.
Perdana Menteri Ji Sun Cai mengerutkan alisnya. Gadis itu adalah puteri tunggalnya yang amat di sayangnya. “Siapa berani menghinamu?” tanyanya marah.
“Seorang jaksa di rumah minum, dia telah menghinaku!”
“Di kedai minum? Ahhh, engkau tentu telah pergi dalam penyamaranmu lagi, Goat-ji (Anak Goat)!” kata ayahnya mencela dan kemarahannya mereda. Kalau ada orang menghina anaknya dalam penyamaran, hal itu tidak aneh karena tentu orang itu tidak tahu bahwa Ji Goat adalah puterinya. Puterinya ini suka sekali keluyuran menyamar sebagai seorang pria, nakalnya bukan main.
“Akan tetapi, Jaksa Gu itu memang kurang ajar sekali. Biarpun dia tidak mengenalku, dia tidak boleh menghina orang seenaknya saja. Aku dan seorang teman sudah memberi hajaran kepada dia dan anak buahnya, akan tetapi aku khawatir dia akan mencariku dan kalau bertemu tentu anak buahnya akan menyerangku“
“Hemmm, lalu apa yang harus kulakukan? Jaksa Gu cukup berpengaruh di kalangan rakyat, dia seorang Jaksa yang keras“
“Keras terhadap rakyat miskin, akan tetapi lunak terhadap orang kaya, bukan begitu, ayah? Jangan mengira aku tidak tahu, ayah? Kelakuan sebagian besar para pejabat di Kota Raja sudah berada di tanganku. Tidak sia-sia aku suka berkeluyuran menyamar sebagai pria karena banyak hal yang ku ketahui“
“Sudahlah, jangan macam-macam. Lalu apa yang kau ingin lakukan?“
“Undang Jaksa Gu ke sini ayah?”
“He...? Kalau sudah datang lalu bagaimana? Menegurnya?”
“Tidak usah. Aku yang akan menghadapinya kelak“
Saking cintanya kepada anaknya, dan kadang suka memanjakan, Perdana menteri Ji Sun Cai tidak menolak dan segera mengirim utusan menyampaikan surat mengundang datang Jaksa Gu...