KAKEK itu cepat menangkis dengan kedua tangannya sambil berseru“ Jahanam penjilat Mongol yang busuk!” dan tubuhnya sudah melompat ke atas perahu besar.
Melihat kegagahan kakek itu, Yang Cien khawatir kalau kakek itu akan menghadapi pengeroyokkan, maka diapun ikut pula melompat ke atas perahu besar. Benar seperti yang di khawatirkannya, kakek itu telah di kepung dan di keroyok oleh belasan orang yang memegang golok. Kakek pengemis itu menggerakkan tongkat bambunya dan mengamuk.
Yang Cien kagum karena kakek itu ternyata lihai sekali. Biarpun dia hanya bersenjatakan sebatang tongkat bambu sedangkan para pengeroyoknya menggunakan golok tajam, namun dia dapat menghindarkan semua serangan dengan elakkan atau tangkisan, bahkan sebentar saja sudah merobohkan empat orang pengeroyok dengan tendangan atau totokan tongkat bambunya.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Kam-lokai, mata-mata busuk, kalau engkau tidak menyerah, akan mampus di tangan kami!”
Dan seorang laki-laki jangkung kurus meloncat ke depan lalu menggerakkan senjatanya yang menyeramkan, yaitu sepasang kapak yang besar dan berkilauan saking tajamnya.
“Gu-Mo-ko, kiranya engkau sudah menjual dirimu kepada orang Mongol!” Bentak kakek itu dan diapun menerjang kearah orang kurus yang bersenjatakan sepasang kapak itu. Entah bagaimana orang tinggi kurus begitu mendapat julukan Gu Mo-ko (Setan Kerbau), mungkin sekali karena matanya yang besar seperti mata kerbau itu, atau sepasang kapaknya itu dapat di umpamakan sepasang tanduk kerbau. Akan tetapi ternyata Gu Mo-ko ini lihai sekali. Begitu dia menyerang dengan sepasang kapaknya yang berat, kakek itu segera terdesak karena Gu Mo-ko masih di bantu belasan orang anak buahnya.
Melihat itu, sekarang Yang Cien tidak meragu lagi untuk membantu. Tadi dia melihat kakek itu tidak terdesak, maka dia pun tidak membantu dan hanya menonton. Akan tetapi sekarang, kakek itu sungguh terdesak hebat, maka diapun sudah mengambil pedangnya dari buntalan pakaiannya dan meloncat ke depan. Dia segera dihadang lima orang anak buah Gu Mo-ko yang menyerangnya dengan golok. Akan tetapi begitu memutar Pek-liong-Po-Kiam, terdengar suara nyaring berturut-turut dan lima batang golok patah menjadi dua! Tentu saja lima orang itu terkejut bukan main, dan Yang Cien hendak melompat maju.
Pada saat itu terdengar kakek Kam Lo-kai (Pengemis Tua Kam) mengeluh dan dia terhuyung ke belakang, pundaknya terbabat sebatang kapak dan dia terluka parah. Kapak kedua menyusul membabat ke arah lehernya, akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan biru dan “tranggg...“ kapak yang menyambar leher Kam Lo-kai itu pun patah menjadi dua!
Tentu saja Gu Mo-ko terkejut dan meloncat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan Yang Cien untuk menyambar tubuh Kam Lo-kai dan membawanya meloncat ke bawah, ke perahunya sendiri, merebahkan kakek itu di dalam perahu dan dia cepat mendayung perahunya meninggalkan perahu besar.
Beberapa batang anak panah menyambar dari perahu besar. Yang Cien menyampok dengan tangannya dan menangkap sebatang anak panah, kemudian melontarkan ke atas perahu dan terdengarlah seorang pemanah menjerit dan roboh terkena anak panah yang di lemparkan Yang Cien.
Melihat kehebatan anak muda itu, semua orang di atas perahu besar menjadi gentar dan mereka tidak melakukan pengejaran, membiarkan Yang Cien pergi membawa kakek yang sudah terluka parah itu. Setibanya di darat, Yang Cien menalikan perahunya dan terdengar kakek itu merintih. Yang Cien berlutut di perahu.
“Bagaimana, lo-cianpwe, keadaanmu?”
Kakek itu menggeleng kepala dan ketika Yang Cien memeriksa dia terkejut. Pundak itu putus terbabat kapak dan lukanya parah sekali sampai ke dada. Keselamatan orang yang terluka seperti itu sukar di pertahanankannya.
“Orang muda... Siapapun adanya engkau... Bantulah kami yang berusaha mengusir penjajah dari tanah air... Kau sampaikan suratku… ambil surat itu dari saku bajuku...“
Yang Cien mengambil sepucuk surat itu dari saku dalam baju pengemis itu. “Untuk apa surat ini, lo-cianpwe?”
“Kau berikan… Surat… kepada… Gubernur Gak di Nam-kiang…“ kakek itu terkulai dan tewas.
Yang Cien menghela napas panjang dan menutupkan kedua mata yang masih terbuka itu. Kemudian dia memondong jenazah itu dan membawanya ke darat. Dia merebahkan mayat itu di atas tanah di tepi danau, lalu menggali lubang sambil termenung. kakek itu, walaupun melihat namanya memang seorang tokoh pengemis kang-ouw ternyata mempunyai jiwa patriot. Agaknya dia menjadi mata-mata untuk memata-matai pemerintah. Dan agaknya Gubernur Gak di Nam-kiang juga seorang pejuang. Dia sendiri seorang yang tadinya tidak mempunyai sangkut paut dengan perjuangan, kini tiba-tiba saja menjadi seorang yang membantu para pejuang!
Akan tetapi dia belum mengambil keputusan untuk membantu Gubernur Gak karena dia belum mengerti dan belum tahu apa yang diperjuangkan oleh Gubernur Gak. Pada saat ini dia hanya membantu Kam Lo-kai yang di anggapnya seorang sahabat yang kebetulan bertemu di Tai-hu dan yang hanya mengharapkan pertolongannya menyampaikan sepucuk surat kepada Gubernur Gak.
Setelah selesai mengubur jenazah itu dan memberi hormat sekadarnya dengan sederhana tanpa upacara sembahyang, Yang Cien lalu meninggalkan tempat itu, menuju ke selatan.
Ketika Yang Cien berjalan tiba di lereng sebuah bukit, tiba-tiba saja dari balik semak belukar berloncatan banyak orang dan nampak tiga orang tinggi besar bersama dua belas orang anak buahnya telah menghadang perjalanannya! Yang Cien sudah menduga bahwa mereka itu memang menghadangnya, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan hendak melangkah terus. Akan tetapi tiga orang tinggi besar itu menghalangi jalannya dan berseru keras,
“Orang muda, berhenti kau!”
Yang Ciean berhenti dan memandang mereka penuh perhatian. Tiga orang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu seperti tiga orang raksasa, sekepala lebih tinggi darinya dan wajah mereka nampak bengis. Seorang yang tertua memegang sebatang golok, orang kedua memegang sebatang pedang dan orang ketiga memegang sebatang ruyung besi.
Mereka nampak kuat sekali dan orang pertama yang memegang golok maju ke depan. Mereka bertiga itu terkenal dengan julukan Huang-ho Sam-how (Tiga Harimau Sunagi Kuning), terdiri dari tiga orang kakak beradik bernama Ceng Hauw, Ceng Kiat dan Ceng Lung. Ceng Hauw orang tertua berkata dengan suaranya yang parau kasar,
“Orang muda, engkaukah yang telah membantu Kam Lo-kai dan mengubur mayatnya?”
“Benar, aku yang mengubur jenazah Kam Lo-kai“ jawab Yang Cien.
“Hemmm, siapakah namamu, orang muda?”
“Namaku Yang Cien“
“Kami masih menyayangi usia mudamu. Yang Cien, sebaiknya engkau cepat menyerahkan surat yang kau terima dari Kam Lo-kai itu kepada kami!”
“Mendiang Kam Lo-kai tidak pernah menitipkan surat kepadaku untuk di serahkan kepada kalian!” kata Yang Cien dengan suara sungguh-sungguh.
“Memang bukan untuk kami. Surat itu untuk Gubernur Gak, bukan? Nah, serahkan kepada kami, cepat!”
“Kalau kalian tahu bahwa surat itu bukan untuk kalian, mengapa kalian memintanya? Itu tidak sopan dan tidak benar“
Tiga orang Huang-ho Sam-houw itu menjadi marah. “Toako, bunuh saja bocah ini dan rampas suratnya!” kata Ceng Kiat.
“Benar, hajar saja dia!’ kata pula Ceng Lung
“Hem, aku merasa sayang karena sebetulnya dia tidak tersangkut hanya kebetulan saja menerima surat dari Kam Lo-kai. Orang muda, ku harap engkau menyerahkan surat itu. Kalau tidak, tubuhmu akan menjadi seperti ini!” Berkata demikian, Ceng Houw mengayun goloknya membabat sebatang pohon dan batang pohon itu roboh seketika, terpotong oleh golok tajam yang di gerakkan dengan tenaga amat kuatnya itu.
“Atau seperti ini!” kata pula Ceng Kiat dan sebatang pohon lain tumbang oleh sabetan pedangnya.
“Atau ini?” bentak Ceng Lun dan terdengar suara keras, batu gunung sebesar kepala kerbau itu remuk di hantam ruyungnya.
Melihat ini, Yang Cien tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki tenaga besar dan merupakan lawan cukup tangguh. Namun, tentu saja dia tidak takut dan tidak ingin menyerahkan surat yang seolah baginya merupakan wasiat seorang yang telah meninggal dunia.
“Maaf, sam-wi tidak berhak menerima surat itu, terpaksa saya tidak dapat menyerahkan“
“Engkau mencari mampus!” bentak tiga orang tinggi besar itu dan mereka sudah menggerakkan senjata untuk menyerang.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan dua orang dan muncullah seorang to-kouw (Pendeta perempuan) dan seorang gadis cantik berdiri di situ. To-kouw itu memegang sebuah kebutan yang bulunya putih. “Tahan senjata!” seru To-kouw itu dengan suara nyaring. “Kalian ini orang-orang banyak hendak memaksa seorang pemuda? Kalau dia tidak mau menyerahkan sesuatu, tidak semestinya kalau kalian memaksanya...“
Huang-ho Sam-houw mengerutkan alisnya. “To-kouw, harap engkau jangan mencampuri urusan kami!” bentak Ceng Hauw marah. “Pergilah dan jangan usil“
“Kami tidak usil, dan tentu saja kami akan campur tangan kalau melihat kejahatan dilakukan orang. Kalian tidak boleh memaksa pemuda ini melakukan sesuatu yang tidak dia sukai“
Ceng Haouw memberi aba-aba kepada anak buahnya. “Serang...!“
Dua belas orang anak buahnya mengepung sambil menghunus senjata golok atau pedang mereka. Akan tetapi, nampak dua sianr berkilat ketika To-kouw dan gadis itu mencabut pedang mereka dan segera terjadi pertempuran yang berat sebelah. Dalam waktu singkat saja, gadis dan tokouw itu sudah merobohkan enam orang. Melihat ini, Huang-ho Sam-houw menjadi marah. Dengan teriakan ganas mereka menerjang dengan senjata mereka.
Ceng Haouw yang bergolok dan Ceng Kiat yang berpedang menyerang tokouw itu, sedangkan Ceng Lun menggunakan rutungnya untuk menerjang gadis yang memegang pedang dengan ronce merah. Sisa enam orang anak buah gerombolan itu pun ikut pula mengeroyok, akan tetapi dari jarak jauh karena mereka gentar menghadapi pedang tokouw dan nona itu.
Yang Cien yang berdiri di pinggiran memandang dengan kagum. Dia melihat betapa tokouw dan nona itu amat lihai sehingga tidak perlu di bantu. Maka dia pun hanya menonton saja. Tokouw itu amat lihainya, bukan saja pedangnya mampu menahan golok dan pedang lawan, akan tetapi juga kebutan di tangan kirinya merupakan senjata yang ampuh sekali. Bulu-bulu hudtim (kebutan pendeta) itu kadang dapat menjadi tegang dan keras oleh kekuatan sinking yang terkandung di dalamnya. Dapat pula dipakai melibat, dapat pula di pakai menotok.
Baru belasan jurus saja, Ceng Haouw dan Ceng Kiat terdesak hebat. Tiga orang anak buah yang mencoba-coba untuk membantu, sudah lebih dulu roboh. Pertandingan antara Ceng Lund an gadis itu pun tidak seimbang. Ruyung di tangan Ceng Lun itu memang berat dan di gerakkan dengan tenaga gajah sehingga berbunyibersiutan ketika menyambar. Batu saja remuk kena hantaman ruyung ini, apalagi tubuh gadis cantik itu.
Akan tetapi nyatanya, gerakan gadis itu cepat seperti seekor burung wallet sehingga semua sambaran ruyung tidak pernah mengenai sasaran dan sebaliknya. Serangan balik dari pedang di tangan gadis itu beberapa kali hampir saja mengenai leher dan dada Ceng Lun. Juga tiga orang anak buah yang membantunya sudah lebih dulu roboh di sambar sinar pedang gadis itu.
Akhirnya, Huang-ho Sam-houw maklum bahwa kalau di lanjutkan, mereka tidak akan menang. Mereka lalu berteriak memberi aba-aba dan semua anak buahnya melarikan diri secepatnya, ada yang terpincang, ada yang berloncat-loncatan, bahkan ada yang merangkak pergi. Huang-ho Sam-houw sendiri sudah melarikan diri dengan cepat meninggalkan tokouw dan gadis yang berbahaya itu.
Tokouw dan gadis itu tidak mengejar, hanya mengikuti mereka yang melarikan diri sambil tersenyum. Kalau mereka mengejar, tentu semua anak buah itu dapat mereka bantai karena lari mereka tidak cepat.
Yang Cien cepat memberi hormat kepada mereka. “Ji-wi telah menolong saya. Untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih“
“Orang muda, siapakah engkau? Siapa namamu?”
“Nama saya Yang Cien, Sian-kouw“
“Perkenalkan, pin-ni (aku yang bodoh) di sebut Im-yang Tokouw dan aku adalah wakil ketua dari Thian-li-pang, dan ini adalah murid pin-ni bernama Kwe Sun Nio. Yang Cien, kami melihat engkau tadi menguburkan jenazah Kam Lo-kai, engkau mempunyai hubungan apakah dengan Kam Lo-kai?”
“Tidak ada hubungan apapun, Sian-kouw. Kami hanya bertemu ketika kami berdua berperahu di Tai-hu, kemudian dia tewas di keroyok orang jahat dan karena dia tidak mempunyai siapa-siapa aku lalu menguburkan jenazahnya. Tentu sangat sederhana, di tepi telaga“
“Bagus, engkau seorang yang berperikemanusiaan, Yang Cien. Dan sebelum Kam Lo-kai meninggal dunia, dia memesan apa kepadamu?”
Yang Cien mengerutkan alisnya. “Sian-kouw, maafkan aku. Pesanan seorang mati merupakan wasiat, apalagi dia berpesan agar aku tidak memberitahukan siapapun, oleh karena itu terpaksa aku juga tidak dapat memberitahukan kepadamu“
“Begini, Yang Cien, engkau harus dapat membedakan mana orang baik dan mana orang jahat. Kami yakin engkau menerima pesan penting dari mendiang Kam Lo-kai dan kalau kau pertahankan pesan itu untukmu sendiri, bagaimana kalau nanti bermunculan orang jahat seperti tadi? Tidak aman kalau berada padamu. Oleh karena itu, berikan saja kepada pin-ni yang tentu pesan itu akan di sampaikan dengan selamat kepada yang berhak menerimanya.
“Sekali lagi maaf, Sian-kow. Aku tidak dapat memberitahukan apa-apa atau memberikan kepadamu. Apa yang terjadi antara Kam Lo-kai dan aku merupakan rahasia yang tidak akan ku katakana kepada siapa pun juga“
“Yang Cien, engkau sungguh keras kepala. Bagaimana kalau aku memaksamu?”
“Terserah kepadamu, Sian-kouw. Tetap tidak akan kuberikan“
“Engkau berani menentangku?”
“Apa boleh buat, engkau yang memaksaku“
“Bocah sombong, rasakan ini!” Tokouw itu lalu menggerakkan kebutannya. Bulu kebutan menjadi tegang dan meluncur dengan totokan kea rah pundak Yang Cien.
Yang Cien merasa penasaran juga. Ternyata tokouw ini juga menghendaki surat dari Kam Lo-kai itu. Akan tetapi, bagaimana pun, tokouw dan nona ini tadi sudah membantunya, bagaimana kini akan menjadi lawannya. Totokan kebutan itu di elakkannya dengan mudah, akan tetapi agaknya tokouw itu ingin mengujinya atau memang marah. Kebutannya sudah bergerak lagi, berputaran dan mendatangkan gulungan sinar putih melakukan totokan berulang-ulang. Yang Cien terpaksa mengerahkan tenaga dan sekali tangannya menangkis dengan sentilan jari tangannya, kebutan itu membalik dan beberapa helai bulunya rontok!
“Ihhh...!“ Sian-kouw itu terkejut bukan main, hampir tidak percaya bahwa sentilan jari tangan itu dapat membuat kebutannya membalik dan merontokkan bulu kebutannya. Akan tetapi ketika di lihatnya, pemuda itu telah melompat jauh dan gerakannya sedemikian cepatnya sehingga dengan beberapa kali lompatan saja tubuhnya sudah lenyap. Im Yang Sian-kouw menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya, “Hebat! Tak ku sangka pemuda itu demikian hebatnya. Kalau begitu, kita tidak perlu khawatir surat itu akan dapat terampas orang, hanya siapa tahu pemuda itu tidak akan menyampaikannya kepada Gubernur Gak?”
Yang Cien memang mempergunakan ilmunya berlari secepat terbang meninggalkan Im Yang Sian-kouw dan Kwe Sun Nio karena dia tidak ingin berkelahi melawan kdeua orang itu. Ketika tiba di Nam-kiang dengan mudah saja dia dapat menemukan rumah Gubernur Gak, akan tetapi seperti biasanya, tidak mungkin setiap orang dapat menemui orang yang tertinggi kedudukannya di daerah itu. Yang Cien di tahan oleh para penjaga di depan pintu gerbang gedung tempat tinggal Gubernur Gak.
“Tidak mungkin menghadap Gubernur Gak. Lebih dulu daftarkan nama dan keperluannya, baru kami laporkan ke dalam dan kalau Gubernur berkenan menerimamu, baru engkau boleh pergi menghadap“ kata kepala jaga.
Yang Cien menghela napas panjang. Betapa sulitnya bertemu orang besar, pikirnya. Dia lalu mendaftarkan namanya dan untuk keperluannya dia menerangkan bahwa dia mohon menghadap Gubernur Gak untuk menyampaikan pesan dari Kam Lo-kai. Ternyata nama Kam Lo-kai itu amat berpengaruh. Kepala jaga yang melihat nama ini di sebut, segera membawa daftar itu ke dalam untuk melapor kepada Gubernur Gak dan tak lama kemudian dia keluar lagi dan sikapnya berubah ketika dia mempersilahkan Yang Cien masuk dan menunggu di kamar tamu.
Terdengar langkah kaki dari dalam, akan tetapi bukan hanya satu orang. Muncullah seorang laki-laki setengah tua yang dari pakaiannya saja Yang Cien dapat menduga bahwa orang inilah gubernurnya. Akan tetapi yang membuat dia kaget dan bengong adalah dua orang yang ikut datang bersama gubernur itu. Im Yang Sian-kouw dan Kwee Sun Nio! Dengan sendirinya semua urat syaraf di tubuh Yang Cien menegang dan alisnya berkerut, matanya dengan tajam menatap kedua orang wanita itu.
“Engkaukah yang bernama Yang Cien dan membawa pesan dari Kam Lo-kai untuk kami?” Tanya Gubernur itu.
Yang Cien baru menyadari sikapnya dan dia cepat memberi hormat kepada gubernur itu. “Benar, taijin. Saya bernama Yang Cien dan hendak menyampaikan pesan dari mendiang Kam Lo-kai, akan tetapi...“ dia memandang kepada dua orang wanita itu.
“Jangan heran, Yang Cien. Ketahuilah bahwa Im Yang Sian-kouw hanya hendak mengujimu, hendak mengetahui apakah engkau setia kepada mendiang Kam Lokai dan apakah engkau memiliki kemampuan untuk mempertahankan surat pesanan itu. Iam Yang Sian Kouw adalah utusan kami untuk menjemput Kam Lokai akan tetapi dia dan muridnya terlambat“
Barulah Yang Cien mengerti dan dia pun menceritakan pertemuannya dengan Kam Lokai sampai terlukanya Kam Lokai dan tewasnya pengemis tua itu, juga tentang pesan yang diberikan kepadanya. Lalu dia mengeluarkan surat itu dan menyerahkannya kepada Gubernur Gak.
Gubernur membuka surat itu dan membacanya. Dia mengerutkan alisnya dan nampak gelisah, kemudian dia memandang kepada Yang Cien. “Yang Cien, kami berterima kasih sekali atas bantuanmu ini. Engkau telah berjasa dan kami akan memberi hadiah besar kepadamu“
“Ah, bukan hadiah yang saya harapkan, taijin. Saya melakukan ini untuk mendiang Kam Lokai, bukan untuk taijin. OLeh karena itu saya tidak mengharapkan hadiah sama sekali. Nah, sesudah saya menyampaikan surat ini kepada yang berhak menerimanya, perkenankan saya berpamit, taijin“
“Engkau benar tidak ingin menerima hadiah, Yang Cien?”
“Terima kasih, taijin. Saya tidak menghendaki apapun. Selamat tinggal“ Yang Cien lalu mengundurkan diri, keluar dari ruangan tamu itu.
Setelah Yang Cien pergi, Gubernur Gak memuji. “Seorang pemuda yang baik. Akan tetapi kita tidak boleh membiarkan dia mengetahui urusan kita, karena siapa tahu dia berdiri di pihak mana. Dia tentu seorang yang berwatak pendekar, akan tetapi mungkin saja dia tidak setuju dengan pendirian kita“
“Benar, taijin. Kalau belum yakin betul tentang watak dan sikapnya, tentu saja tidak semestinya kita memberitahu kepadanya. Taijin maaf, apakah pesan yang di bawa Kam Lokai itu?”
“Penting sekali. Ternyata kini Koksu telah menghimpun tenaga, bahkan Kaisar Julan Khan telah menerima seorang yang lihai dan mengangkatnya menjadi pembantu Koksu“
“Siapakah dia, taijin?”
“Dia seorang datuk dari timur, julukannya Thian-te Ciu-kwi“
“Ah, dia? Kalau begitu, kedudukan Koksu kini menjadi semakin kuat. Kalau dia mengumpulkan datuk-datuk persilatan untuk memperkuat kedudukannya, maka pengaruhnya akan menjadi semakin besar“
“Koksu dan Perdana Menteri Ji memang merupakan penghalang besar dari gerakan kita, taijin. Sebelum menghancurkan kedua orang itu dan para pembantunya, kiranya akan sukar untuk mengusir penjajah Toba dari tanah air.. “
“Dan lebih celaka lagi, Kaisar telah memanggil pulang Coa-ciangkun dan menarik mundur pasukan. Aku heran, mengapa kaisar tiba-tiba saja melakukan sesuatu hal ini? Apakah dia sudah mendengar sesuatu yang membuat dia sudah mendengar sesuatu yang membuat dia curiga kepada Coa-ciangkun?”
“Pin-ni khawatir bahwa ini adalah ulah Perdana Menteri Ji dan Koksu Lui. Sejak dahulu mereka berdua ini tidak akur dengan Coa-ciangkun. Bahkan Coa-ciangkun sampai di kirim ke selatan adalah karena kaisar makan bujukan mereka berdua agar Coa-ciangkun jauh dari kota raja dimana Coa-ciangkun suka menentang peraturan yang menindas rakyat. Akan tetapi kenapa sekarang tiba-tiba Panglima Coa di panggil pulang?”
“Memang mencurigakan sekali. Sekarang harap tokouw suka pergi ke perbatasan menemui Panglima Coa, juga melaporkan tentang masuknya datuk sesat Thian-te Ciu-kwi menjadi pembantu Koksu. Kalau mungkin, harap bujuk agar Panglima Coa tidak kembali ke kota raja karena aku khawatir sekali bahwa panggilan ini merupakan jebakan bagi Panglima Coa“
“Baik, taijin. Mari Sun Nio, kita berangkat sekarang juga...“
Guru dan murid itu lalu meninggalkan gedung Gubernur Gak untuk melaksanakan tugas mereka mendatangi Panglima Coa di garis depan, perbatasan dengan Kerajaan Sun.
Yang Cien berjalan-jalan seorang diri di kota Nam-kiang. Ketika melihat sebuah rumah makan, dia pun merasa lapar dan memasuki rumah makan itu. Begitu dia memasuki rumah makan, bukan pelayan yang menghampirinya, melainkan seorang berpakaian satrawan yang usianya sekitar tiga puluh tahun.
“Selamat siang, sobat. Apakah engkau ingin makan minum?”
“Benar...“ jawab Yang Cien dengan heran, karena tidak mungkin kalau orang ini pelayannya. Pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang terpelajar.
“Aku melihat engkau datang seorang diri, dan kebetulan sekali akupun seorang diri sedang makan minum di sini. Sejak tadi aku mencari-cari seorang kawan untuk makan minum karena aku merasa kesepian sekali. Kebetulan engkau muncul, maka kalau engkau tidak berkeberatan, aku mengundangmu untuk makan minum bersamaku sambil mengobrol. Maukah engkau, sobat?”
Ajakan itu sungguh ramah dan orang itupun kelihatan sopan terpelajar. Yang Cien menjadi tertarik sekali dan diapun mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih, sobat. Tentu saja aku merasa senang sekali“
Orang itu lalu membawa Yang Cien ke sebuah meja yang penuh makanan dan belum di jamah. “Nah, silahkan makan minum bersamaku, saudara...“
“Yang Cien, namaku Yang Cien“
“Bagus, saudara Yang Cien. Namaku Thio Swi“ orang itu memperkenalkan dirinya. Dia lalu menuangkan arak ke dalam cawan di depan Yang Cien, juga di depannya sendiri.
Pada saat itu, masuklah seorang berpakaian pengemis yang membawa tongkat dan mangkok retak, meminta-minta sedekah dari para tamu. Dan dia mendekati Yang Cien menadahkan tangannya kepada pemuda itu. Gerakan tangan itu menarik perhatian Yang Cien karena seperti gerakan silat dan ketika dia memandang dia melihat dua buah. Dan huruf-huruf itu mengejutkan hatinya karena tertulis:
ARAK BERACUN.
Akan tetapi Yang Cien telah melatih diri sehingga dia mampu menguasai dirinya. Pengemis setengah tua itu sudah pergi lagi tanpa satrawan itu mengetahui bahwa diam-diam pengemis ini memberi peringatan kepada Yang Cien.
“Saudara Yang Cien, mari kita minum untuk pertemuan dan persahabatan“
“Maafkan, saudara Thio Swi. Aku sedang berpantang minum arak. Aku baru saja bersumpah kepada ibuku untuk tidak minum arak setetespun. Aku tidak berani, biar aku minum teh saja“
“Eh, kenapa begitu? Kenapa engkau bersumpah kepada ibumu tidak akan minum arak setetespun?”
Yang Cien tersipu, “Aku pulang dalam keadaan mabok keras. Ibuku marah dan menyuruh aku bersumpah bahwa selama tiga bulan aku tidak akan menyentuh arak dan tidak minum setetespun. Baru berjalan satu bulan, masih dua bulan lagi aku berpantang minum arak“
Sastrawan itu kelihatan mengerutkan alisnya dan sekarang berubahlah sikapnya yang tadinya sopan. “Aih, saudara Yang Cien. Kalau engkau minum secawan ibumu juga tidak akan tahu. Asal engkau tidak minum sampai mabok. Ini hanya untuk merayakan pertemuan kita…“ kata Thio Swi sambil mengangkat cawannya, mengajak Yang Cien minum.
“Maaf, saudara Thio Wi. Aku tidak berani...“
“Yang Cien, kalau engkau tidak mau minum, berarti engkau tidak menghormatiku, tidak menerima maksud baikku, bahkan menghinaku!”
Yang Cien bangkit berdiri. “Kalau begitu, biarlah aku duduk di meja lain dan tidak akan mengganggumu, saudara Thio Wi“
Thio Swi mendadak bangkit berdiri dan menggebrak meja. “Engkau bahkan berani menolak undanganku yang bermaksud baik? Sungguh engkau menghinaku, engkau menantangku!”
Dan Thio Swi melemparkan arak dalam cawannya kea rah muka Yang Cien. Namun Yang Cien telah waspada dan dengan mudah dia miringkan kepalanya mengelak. Akan tetapi Thio Swi semakin marah. Dia melompati meja dan menyerang dengan pukulan tangan kanan. Gerakannya gesit dan ringan, pukulannya juga mengandung tenaga yang kuat. Yang Cien menggerakkan tangan menangkis.
“Dukkk!” Kedua lengan bertemu dan akibatnya Thio Swi menyerengai karena merasa lengannya nyeri seolah tulangnya akan patah. Dia lalu mencabut pedangnya dan menyerang dengan dahsyat...
Melihat kegagahan kakek itu, Yang Cien khawatir kalau kakek itu akan menghadapi pengeroyokkan, maka diapun ikut pula melompat ke atas perahu besar. Benar seperti yang di khawatirkannya, kakek itu telah di kepung dan di keroyok oleh belasan orang yang memegang golok. Kakek pengemis itu menggerakkan tongkat bambunya dan mengamuk.
Yang Cien kagum karena kakek itu ternyata lihai sekali. Biarpun dia hanya bersenjatakan sebatang tongkat bambu sedangkan para pengeroyoknya menggunakan golok tajam, namun dia dapat menghindarkan semua serangan dengan elakkan atau tangkisan, bahkan sebentar saja sudah merobohkan empat orang pengeroyok dengan tendangan atau totokan tongkat bambunya.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Kam-lokai, mata-mata busuk, kalau engkau tidak menyerah, akan mampus di tangan kami!”
Dan seorang laki-laki jangkung kurus meloncat ke depan lalu menggerakkan senjatanya yang menyeramkan, yaitu sepasang kapak yang besar dan berkilauan saking tajamnya.
“Gu-Mo-ko, kiranya engkau sudah menjual dirimu kepada orang Mongol!” Bentak kakek itu dan diapun menerjang kearah orang kurus yang bersenjatakan sepasang kapak itu. Entah bagaimana orang tinggi kurus begitu mendapat julukan Gu Mo-ko (Setan Kerbau), mungkin sekali karena matanya yang besar seperti mata kerbau itu, atau sepasang kapaknya itu dapat di umpamakan sepasang tanduk kerbau. Akan tetapi ternyata Gu Mo-ko ini lihai sekali. Begitu dia menyerang dengan sepasang kapaknya yang berat, kakek itu segera terdesak karena Gu Mo-ko masih di bantu belasan orang anak buahnya.
Melihat itu, sekarang Yang Cien tidak meragu lagi untuk membantu. Tadi dia melihat kakek itu tidak terdesak, maka dia pun tidak membantu dan hanya menonton. Akan tetapi sekarang, kakek itu sungguh terdesak hebat, maka diapun sudah mengambil pedangnya dari buntalan pakaiannya dan meloncat ke depan. Dia segera dihadang lima orang anak buah Gu Mo-ko yang menyerangnya dengan golok. Akan tetapi begitu memutar Pek-liong-Po-Kiam, terdengar suara nyaring berturut-turut dan lima batang golok patah menjadi dua! Tentu saja lima orang itu terkejut bukan main, dan Yang Cien hendak melompat maju.
Pada saat itu terdengar kakek Kam Lo-kai (Pengemis Tua Kam) mengeluh dan dia terhuyung ke belakang, pundaknya terbabat sebatang kapak dan dia terluka parah. Kapak kedua menyusul membabat ke arah lehernya, akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan biru dan “tranggg...“ kapak yang menyambar leher Kam Lo-kai itu pun patah menjadi dua!
Tentu saja Gu Mo-ko terkejut dan meloncat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan Yang Cien untuk menyambar tubuh Kam Lo-kai dan membawanya meloncat ke bawah, ke perahunya sendiri, merebahkan kakek itu di dalam perahu dan dia cepat mendayung perahunya meninggalkan perahu besar.
Beberapa batang anak panah menyambar dari perahu besar. Yang Cien menyampok dengan tangannya dan menangkap sebatang anak panah, kemudian melontarkan ke atas perahu dan terdengarlah seorang pemanah menjerit dan roboh terkena anak panah yang di lemparkan Yang Cien.
Melihat kehebatan anak muda itu, semua orang di atas perahu besar menjadi gentar dan mereka tidak melakukan pengejaran, membiarkan Yang Cien pergi membawa kakek yang sudah terluka parah itu. Setibanya di darat, Yang Cien menalikan perahunya dan terdengar kakek itu merintih. Yang Cien berlutut di perahu.
“Bagaimana, lo-cianpwe, keadaanmu?”
Kakek itu menggeleng kepala dan ketika Yang Cien memeriksa dia terkejut. Pundak itu putus terbabat kapak dan lukanya parah sekali sampai ke dada. Keselamatan orang yang terluka seperti itu sukar di pertahanankannya.
“Orang muda... Siapapun adanya engkau... Bantulah kami yang berusaha mengusir penjajah dari tanah air... Kau sampaikan suratku… ambil surat itu dari saku bajuku...“
Yang Cien mengambil sepucuk surat itu dari saku dalam baju pengemis itu. “Untuk apa surat ini, lo-cianpwe?”
“Kau berikan… Surat… kepada… Gubernur Gak di Nam-kiang…“ kakek itu terkulai dan tewas.
Yang Cien menghela napas panjang dan menutupkan kedua mata yang masih terbuka itu. Kemudian dia memondong jenazah itu dan membawanya ke darat. Dia merebahkan mayat itu di atas tanah di tepi danau, lalu menggali lubang sambil termenung. kakek itu, walaupun melihat namanya memang seorang tokoh pengemis kang-ouw ternyata mempunyai jiwa patriot. Agaknya dia menjadi mata-mata untuk memata-matai pemerintah. Dan agaknya Gubernur Gak di Nam-kiang juga seorang pejuang. Dia sendiri seorang yang tadinya tidak mempunyai sangkut paut dengan perjuangan, kini tiba-tiba saja menjadi seorang yang membantu para pejuang!
Akan tetapi dia belum mengambil keputusan untuk membantu Gubernur Gak karena dia belum mengerti dan belum tahu apa yang diperjuangkan oleh Gubernur Gak. Pada saat ini dia hanya membantu Kam Lo-kai yang di anggapnya seorang sahabat yang kebetulan bertemu di Tai-hu dan yang hanya mengharapkan pertolongannya menyampaikan sepucuk surat kepada Gubernur Gak.
Setelah selesai mengubur jenazah itu dan memberi hormat sekadarnya dengan sederhana tanpa upacara sembahyang, Yang Cien lalu meninggalkan tempat itu, menuju ke selatan.
********************
Ketika Yang Cien berjalan tiba di lereng sebuah bukit, tiba-tiba saja dari balik semak belukar berloncatan banyak orang dan nampak tiga orang tinggi besar bersama dua belas orang anak buahnya telah menghadang perjalanannya! Yang Cien sudah menduga bahwa mereka itu memang menghadangnya, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan hendak melangkah terus. Akan tetapi tiga orang tinggi besar itu menghalangi jalannya dan berseru keras,
“Orang muda, berhenti kau!”
Yang Ciean berhenti dan memandang mereka penuh perhatian. Tiga orang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu seperti tiga orang raksasa, sekepala lebih tinggi darinya dan wajah mereka nampak bengis. Seorang yang tertua memegang sebatang golok, orang kedua memegang sebatang pedang dan orang ketiga memegang sebatang ruyung besi.
Mereka nampak kuat sekali dan orang pertama yang memegang golok maju ke depan. Mereka bertiga itu terkenal dengan julukan Huang-ho Sam-how (Tiga Harimau Sunagi Kuning), terdiri dari tiga orang kakak beradik bernama Ceng Hauw, Ceng Kiat dan Ceng Lung. Ceng Hauw orang tertua berkata dengan suaranya yang parau kasar,
“Orang muda, engkaukah yang telah membantu Kam Lo-kai dan mengubur mayatnya?”
“Benar, aku yang mengubur jenazah Kam Lo-kai“ jawab Yang Cien.
“Hemmm, siapakah namamu, orang muda?”
“Namaku Yang Cien“
“Kami masih menyayangi usia mudamu. Yang Cien, sebaiknya engkau cepat menyerahkan surat yang kau terima dari Kam Lo-kai itu kepada kami!”
“Mendiang Kam Lo-kai tidak pernah menitipkan surat kepadaku untuk di serahkan kepada kalian!” kata Yang Cien dengan suara sungguh-sungguh.
“Memang bukan untuk kami. Surat itu untuk Gubernur Gak, bukan? Nah, serahkan kepada kami, cepat!”
“Kalau kalian tahu bahwa surat itu bukan untuk kalian, mengapa kalian memintanya? Itu tidak sopan dan tidak benar“
Tiga orang Huang-ho Sam-houw itu menjadi marah. “Toako, bunuh saja bocah ini dan rampas suratnya!” kata Ceng Kiat.
“Benar, hajar saja dia!’ kata pula Ceng Lung
“Hem, aku merasa sayang karena sebetulnya dia tidak tersangkut hanya kebetulan saja menerima surat dari Kam Lo-kai. Orang muda, ku harap engkau menyerahkan surat itu. Kalau tidak, tubuhmu akan menjadi seperti ini!” Berkata demikian, Ceng Houw mengayun goloknya membabat sebatang pohon dan batang pohon itu roboh seketika, terpotong oleh golok tajam yang di gerakkan dengan tenaga amat kuatnya itu.
“Atau seperti ini!” kata pula Ceng Kiat dan sebatang pohon lain tumbang oleh sabetan pedangnya.
“Atau ini?” bentak Ceng Lun dan terdengar suara keras, batu gunung sebesar kepala kerbau itu remuk di hantam ruyungnya.
Melihat ini, Yang Cien tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki tenaga besar dan merupakan lawan cukup tangguh. Namun, tentu saja dia tidak takut dan tidak ingin menyerahkan surat yang seolah baginya merupakan wasiat seorang yang telah meninggal dunia.
“Maaf, sam-wi tidak berhak menerima surat itu, terpaksa saya tidak dapat menyerahkan“
“Engkau mencari mampus!” bentak tiga orang tinggi besar itu dan mereka sudah menggerakkan senjata untuk menyerang.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan dua orang dan muncullah seorang to-kouw (Pendeta perempuan) dan seorang gadis cantik berdiri di situ. To-kouw itu memegang sebuah kebutan yang bulunya putih. “Tahan senjata!” seru To-kouw itu dengan suara nyaring. “Kalian ini orang-orang banyak hendak memaksa seorang pemuda? Kalau dia tidak mau menyerahkan sesuatu, tidak semestinya kalau kalian memaksanya...“
Huang-ho Sam-houw mengerutkan alisnya. “To-kouw, harap engkau jangan mencampuri urusan kami!” bentak Ceng Hauw marah. “Pergilah dan jangan usil“
“Kami tidak usil, dan tentu saja kami akan campur tangan kalau melihat kejahatan dilakukan orang. Kalian tidak boleh memaksa pemuda ini melakukan sesuatu yang tidak dia sukai“
Ceng Haouw memberi aba-aba kepada anak buahnya. “Serang...!“
Dua belas orang anak buahnya mengepung sambil menghunus senjata golok atau pedang mereka. Akan tetapi, nampak dua sianr berkilat ketika To-kouw dan gadis itu mencabut pedang mereka dan segera terjadi pertempuran yang berat sebelah. Dalam waktu singkat saja, gadis dan tokouw itu sudah merobohkan enam orang. Melihat ini, Huang-ho Sam-houw menjadi marah. Dengan teriakan ganas mereka menerjang dengan senjata mereka.
Ceng Haouw yang bergolok dan Ceng Kiat yang berpedang menyerang tokouw itu, sedangkan Ceng Lun menggunakan rutungnya untuk menerjang gadis yang memegang pedang dengan ronce merah. Sisa enam orang anak buah gerombolan itu pun ikut pula mengeroyok, akan tetapi dari jarak jauh karena mereka gentar menghadapi pedang tokouw dan nona itu.
Yang Cien yang berdiri di pinggiran memandang dengan kagum. Dia melihat betapa tokouw dan nona itu amat lihai sehingga tidak perlu di bantu. Maka dia pun hanya menonton saja. Tokouw itu amat lihainya, bukan saja pedangnya mampu menahan golok dan pedang lawan, akan tetapi juga kebutan di tangan kirinya merupakan senjata yang ampuh sekali. Bulu-bulu hudtim (kebutan pendeta) itu kadang dapat menjadi tegang dan keras oleh kekuatan sinking yang terkandung di dalamnya. Dapat pula dipakai melibat, dapat pula di pakai menotok.
Baru belasan jurus saja, Ceng Haouw dan Ceng Kiat terdesak hebat. Tiga orang anak buah yang mencoba-coba untuk membantu, sudah lebih dulu roboh. Pertandingan antara Ceng Lund an gadis itu pun tidak seimbang. Ruyung di tangan Ceng Lun itu memang berat dan di gerakkan dengan tenaga gajah sehingga berbunyibersiutan ketika menyambar. Batu saja remuk kena hantaman ruyung ini, apalagi tubuh gadis cantik itu.
Akan tetapi nyatanya, gerakan gadis itu cepat seperti seekor burung wallet sehingga semua sambaran ruyung tidak pernah mengenai sasaran dan sebaliknya. Serangan balik dari pedang di tangan gadis itu beberapa kali hampir saja mengenai leher dan dada Ceng Lun. Juga tiga orang anak buah yang membantunya sudah lebih dulu roboh di sambar sinar pedang gadis itu.
Akhirnya, Huang-ho Sam-houw maklum bahwa kalau di lanjutkan, mereka tidak akan menang. Mereka lalu berteriak memberi aba-aba dan semua anak buahnya melarikan diri secepatnya, ada yang terpincang, ada yang berloncat-loncatan, bahkan ada yang merangkak pergi. Huang-ho Sam-houw sendiri sudah melarikan diri dengan cepat meninggalkan tokouw dan gadis yang berbahaya itu.
Tokouw dan gadis itu tidak mengejar, hanya mengikuti mereka yang melarikan diri sambil tersenyum. Kalau mereka mengejar, tentu semua anak buah itu dapat mereka bantai karena lari mereka tidak cepat.
Yang Cien cepat memberi hormat kepada mereka. “Ji-wi telah menolong saya. Untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih“
“Orang muda, siapakah engkau? Siapa namamu?”
“Nama saya Yang Cien, Sian-kouw“
“Perkenalkan, pin-ni (aku yang bodoh) di sebut Im-yang Tokouw dan aku adalah wakil ketua dari Thian-li-pang, dan ini adalah murid pin-ni bernama Kwe Sun Nio. Yang Cien, kami melihat engkau tadi menguburkan jenazah Kam Lo-kai, engkau mempunyai hubungan apakah dengan Kam Lo-kai?”
“Tidak ada hubungan apapun, Sian-kouw. Kami hanya bertemu ketika kami berdua berperahu di Tai-hu, kemudian dia tewas di keroyok orang jahat dan karena dia tidak mempunyai siapa-siapa aku lalu menguburkan jenazahnya. Tentu sangat sederhana, di tepi telaga“
“Bagus, engkau seorang yang berperikemanusiaan, Yang Cien. Dan sebelum Kam Lo-kai meninggal dunia, dia memesan apa kepadamu?”
Yang Cien mengerutkan alisnya. “Sian-kouw, maafkan aku. Pesanan seorang mati merupakan wasiat, apalagi dia berpesan agar aku tidak memberitahukan siapapun, oleh karena itu terpaksa aku juga tidak dapat memberitahukan kepadamu“
“Begini, Yang Cien, engkau harus dapat membedakan mana orang baik dan mana orang jahat. Kami yakin engkau menerima pesan penting dari mendiang Kam Lo-kai dan kalau kau pertahankan pesan itu untukmu sendiri, bagaimana kalau nanti bermunculan orang jahat seperti tadi? Tidak aman kalau berada padamu. Oleh karena itu, berikan saja kepada pin-ni yang tentu pesan itu akan di sampaikan dengan selamat kepada yang berhak menerimanya.
“Sekali lagi maaf, Sian-kow. Aku tidak dapat memberitahukan apa-apa atau memberikan kepadamu. Apa yang terjadi antara Kam Lo-kai dan aku merupakan rahasia yang tidak akan ku katakana kepada siapa pun juga“
“Yang Cien, engkau sungguh keras kepala. Bagaimana kalau aku memaksamu?”
“Terserah kepadamu, Sian-kouw. Tetap tidak akan kuberikan“
“Engkau berani menentangku?”
“Apa boleh buat, engkau yang memaksaku“
“Bocah sombong, rasakan ini!” Tokouw itu lalu menggerakkan kebutannya. Bulu kebutan menjadi tegang dan meluncur dengan totokan kea rah pundak Yang Cien.
Yang Cien merasa penasaran juga. Ternyata tokouw ini juga menghendaki surat dari Kam Lo-kai itu. Akan tetapi, bagaimana pun, tokouw dan nona ini tadi sudah membantunya, bagaimana kini akan menjadi lawannya. Totokan kebutan itu di elakkannya dengan mudah, akan tetapi agaknya tokouw itu ingin mengujinya atau memang marah. Kebutannya sudah bergerak lagi, berputaran dan mendatangkan gulungan sinar putih melakukan totokan berulang-ulang. Yang Cien terpaksa mengerahkan tenaga dan sekali tangannya menangkis dengan sentilan jari tangannya, kebutan itu membalik dan beberapa helai bulunya rontok!
“Ihhh...!“ Sian-kouw itu terkejut bukan main, hampir tidak percaya bahwa sentilan jari tangan itu dapat membuat kebutannya membalik dan merontokkan bulu kebutannya. Akan tetapi ketika di lihatnya, pemuda itu telah melompat jauh dan gerakannya sedemikian cepatnya sehingga dengan beberapa kali lompatan saja tubuhnya sudah lenyap. Im Yang Sian-kouw menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya, “Hebat! Tak ku sangka pemuda itu demikian hebatnya. Kalau begitu, kita tidak perlu khawatir surat itu akan dapat terampas orang, hanya siapa tahu pemuda itu tidak akan menyampaikannya kepada Gubernur Gak?”
Yang Cien memang mempergunakan ilmunya berlari secepat terbang meninggalkan Im Yang Sian-kouw dan Kwe Sun Nio karena dia tidak ingin berkelahi melawan kdeua orang itu. Ketika tiba di Nam-kiang dengan mudah saja dia dapat menemukan rumah Gubernur Gak, akan tetapi seperti biasanya, tidak mungkin setiap orang dapat menemui orang yang tertinggi kedudukannya di daerah itu. Yang Cien di tahan oleh para penjaga di depan pintu gerbang gedung tempat tinggal Gubernur Gak.
“Tidak mungkin menghadap Gubernur Gak. Lebih dulu daftarkan nama dan keperluannya, baru kami laporkan ke dalam dan kalau Gubernur berkenan menerimamu, baru engkau boleh pergi menghadap“ kata kepala jaga.
Yang Cien menghela napas panjang. Betapa sulitnya bertemu orang besar, pikirnya. Dia lalu mendaftarkan namanya dan untuk keperluannya dia menerangkan bahwa dia mohon menghadap Gubernur Gak untuk menyampaikan pesan dari Kam Lo-kai. Ternyata nama Kam Lo-kai itu amat berpengaruh. Kepala jaga yang melihat nama ini di sebut, segera membawa daftar itu ke dalam untuk melapor kepada Gubernur Gak dan tak lama kemudian dia keluar lagi dan sikapnya berubah ketika dia mempersilahkan Yang Cien masuk dan menunggu di kamar tamu.
Terdengar langkah kaki dari dalam, akan tetapi bukan hanya satu orang. Muncullah seorang laki-laki setengah tua yang dari pakaiannya saja Yang Cien dapat menduga bahwa orang inilah gubernurnya. Akan tetapi yang membuat dia kaget dan bengong adalah dua orang yang ikut datang bersama gubernur itu. Im Yang Sian-kouw dan Kwee Sun Nio! Dengan sendirinya semua urat syaraf di tubuh Yang Cien menegang dan alisnya berkerut, matanya dengan tajam menatap kedua orang wanita itu.
“Engkaukah yang bernama Yang Cien dan membawa pesan dari Kam Lo-kai untuk kami?” Tanya Gubernur itu.
Yang Cien baru menyadari sikapnya dan dia cepat memberi hormat kepada gubernur itu. “Benar, taijin. Saya bernama Yang Cien dan hendak menyampaikan pesan dari mendiang Kam Lo-kai, akan tetapi...“ dia memandang kepada dua orang wanita itu.
“Jangan heran, Yang Cien. Ketahuilah bahwa Im Yang Sian-kouw hanya hendak mengujimu, hendak mengetahui apakah engkau setia kepada mendiang Kam Lokai dan apakah engkau memiliki kemampuan untuk mempertahankan surat pesanan itu. Iam Yang Sian Kouw adalah utusan kami untuk menjemput Kam Lokai akan tetapi dia dan muridnya terlambat“
Barulah Yang Cien mengerti dan dia pun menceritakan pertemuannya dengan Kam Lokai sampai terlukanya Kam Lokai dan tewasnya pengemis tua itu, juga tentang pesan yang diberikan kepadanya. Lalu dia mengeluarkan surat itu dan menyerahkannya kepada Gubernur Gak.
Gubernur membuka surat itu dan membacanya. Dia mengerutkan alisnya dan nampak gelisah, kemudian dia memandang kepada Yang Cien. “Yang Cien, kami berterima kasih sekali atas bantuanmu ini. Engkau telah berjasa dan kami akan memberi hadiah besar kepadamu“
“Ah, bukan hadiah yang saya harapkan, taijin. Saya melakukan ini untuk mendiang Kam Lokai, bukan untuk taijin. OLeh karena itu saya tidak mengharapkan hadiah sama sekali. Nah, sesudah saya menyampaikan surat ini kepada yang berhak menerimanya, perkenankan saya berpamit, taijin“
“Engkau benar tidak ingin menerima hadiah, Yang Cien?”
“Terima kasih, taijin. Saya tidak menghendaki apapun. Selamat tinggal“ Yang Cien lalu mengundurkan diri, keluar dari ruangan tamu itu.
Setelah Yang Cien pergi, Gubernur Gak memuji. “Seorang pemuda yang baik. Akan tetapi kita tidak boleh membiarkan dia mengetahui urusan kita, karena siapa tahu dia berdiri di pihak mana. Dia tentu seorang yang berwatak pendekar, akan tetapi mungkin saja dia tidak setuju dengan pendirian kita“
“Benar, taijin. Kalau belum yakin betul tentang watak dan sikapnya, tentu saja tidak semestinya kita memberitahu kepadanya. Taijin maaf, apakah pesan yang di bawa Kam Lokai itu?”
“Penting sekali. Ternyata kini Koksu telah menghimpun tenaga, bahkan Kaisar Julan Khan telah menerima seorang yang lihai dan mengangkatnya menjadi pembantu Koksu“
“Siapakah dia, taijin?”
“Dia seorang datuk dari timur, julukannya Thian-te Ciu-kwi“
“Ah, dia? Kalau begitu, kedudukan Koksu kini menjadi semakin kuat. Kalau dia mengumpulkan datuk-datuk persilatan untuk memperkuat kedudukannya, maka pengaruhnya akan menjadi semakin besar“
“Koksu dan Perdana Menteri Ji memang merupakan penghalang besar dari gerakan kita, taijin. Sebelum menghancurkan kedua orang itu dan para pembantunya, kiranya akan sukar untuk mengusir penjajah Toba dari tanah air.. “
“Dan lebih celaka lagi, Kaisar telah memanggil pulang Coa-ciangkun dan menarik mundur pasukan. Aku heran, mengapa kaisar tiba-tiba saja melakukan sesuatu hal ini? Apakah dia sudah mendengar sesuatu yang membuat dia sudah mendengar sesuatu yang membuat dia curiga kepada Coa-ciangkun?”
“Pin-ni khawatir bahwa ini adalah ulah Perdana Menteri Ji dan Koksu Lui. Sejak dahulu mereka berdua ini tidak akur dengan Coa-ciangkun. Bahkan Coa-ciangkun sampai di kirim ke selatan adalah karena kaisar makan bujukan mereka berdua agar Coa-ciangkun jauh dari kota raja dimana Coa-ciangkun suka menentang peraturan yang menindas rakyat. Akan tetapi kenapa sekarang tiba-tiba Panglima Coa di panggil pulang?”
“Memang mencurigakan sekali. Sekarang harap tokouw suka pergi ke perbatasan menemui Panglima Coa, juga melaporkan tentang masuknya datuk sesat Thian-te Ciu-kwi menjadi pembantu Koksu. Kalau mungkin, harap bujuk agar Panglima Coa tidak kembali ke kota raja karena aku khawatir sekali bahwa panggilan ini merupakan jebakan bagi Panglima Coa“
“Baik, taijin. Mari Sun Nio, kita berangkat sekarang juga...“
Guru dan murid itu lalu meninggalkan gedung Gubernur Gak untuk melaksanakan tugas mereka mendatangi Panglima Coa di garis depan, perbatasan dengan Kerajaan Sun.
********************
Yang Cien berjalan-jalan seorang diri di kota Nam-kiang. Ketika melihat sebuah rumah makan, dia pun merasa lapar dan memasuki rumah makan itu. Begitu dia memasuki rumah makan, bukan pelayan yang menghampirinya, melainkan seorang berpakaian satrawan yang usianya sekitar tiga puluh tahun.
“Selamat siang, sobat. Apakah engkau ingin makan minum?”
“Benar...“ jawab Yang Cien dengan heran, karena tidak mungkin kalau orang ini pelayannya. Pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang terpelajar.
“Aku melihat engkau datang seorang diri, dan kebetulan sekali akupun seorang diri sedang makan minum di sini. Sejak tadi aku mencari-cari seorang kawan untuk makan minum karena aku merasa kesepian sekali. Kebetulan engkau muncul, maka kalau engkau tidak berkeberatan, aku mengundangmu untuk makan minum bersamaku sambil mengobrol. Maukah engkau, sobat?”
Ajakan itu sungguh ramah dan orang itupun kelihatan sopan terpelajar. Yang Cien menjadi tertarik sekali dan diapun mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih, sobat. Tentu saja aku merasa senang sekali“
Orang itu lalu membawa Yang Cien ke sebuah meja yang penuh makanan dan belum di jamah. “Nah, silahkan makan minum bersamaku, saudara...“
“Yang Cien, namaku Yang Cien“
“Bagus, saudara Yang Cien. Namaku Thio Swi“ orang itu memperkenalkan dirinya. Dia lalu menuangkan arak ke dalam cawan di depan Yang Cien, juga di depannya sendiri.
Pada saat itu, masuklah seorang berpakaian pengemis yang membawa tongkat dan mangkok retak, meminta-minta sedekah dari para tamu. Dan dia mendekati Yang Cien menadahkan tangannya kepada pemuda itu. Gerakan tangan itu menarik perhatian Yang Cien karena seperti gerakan silat dan ketika dia memandang dia melihat dua buah. Dan huruf-huruf itu mengejutkan hatinya karena tertulis:
ARAK BERACUN.
Akan tetapi Yang Cien telah melatih diri sehingga dia mampu menguasai dirinya. Pengemis setengah tua itu sudah pergi lagi tanpa satrawan itu mengetahui bahwa diam-diam pengemis ini memberi peringatan kepada Yang Cien.
“Saudara Yang Cien, mari kita minum untuk pertemuan dan persahabatan“
“Maafkan, saudara Thio Swi. Aku sedang berpantang minum arak. Aku baru saja bersumpah kepada ibuku untuk tidak minum arak setetespun. Aku tidak berani, biar aku minum teh saja“
“Eh, kenapa begitu? Kenapa engkau bersumpah kepada ibumu tidak akan minum arak setetespun?”
Yang Cien tersipu, “Aku pulang dalam keadaan mabok keras. Ibuku marah dan menyuruh aku bersumpah bahwa selama tiga bulan aku tidak akan menyentuh arak dan tidak minum setetespun. Baru berjalan satu bulan, masih dua bulan lagi aku berpantang minum arak“
Sastrawan itu kelihatan mengerutkan alisnya dan sekarang berubahlah sikapnya yang tadinya sopan. “Aih, saudara Yang Cien. Kalau engkau minum secawan ibumu juga tidak akan tahu. Asal engkau tidak minum sampai mabok. Ini hanya untuk merayakan pertemuan kita…“ kata Thio Swi sambil mengangkat cawannya, mengajak Yang Cien minum.
“Maaf, saudara Thio Wi. Aku tidak berani...“
“Yang Cien, kalau engkau tidak mau minum, berarti engkau tidak menghormatiku, tidak menerima maksud baikku, bahkan menghinaku!”
Yang Cien bangkit berdiri. “Kalau begitu, biarlah aku duduk di meja lain dan tidak akan mengganggumu, saudara Thio Wi“
Thio Swi mendadak bangkit berdiri dan menggebrak meja. “Engkau bahkan berani menolak undanganku yang bermaksud baik? Sungguh engkau menghinaku, engkau menantangku!”
Dan Thio Swi melemparkan arak dalam cawannya kea rah muka Yang Cien. Namun Yang Cien telah waspada dan dengan mudah dia miringkan kepalanya mengelak. Akan tetapi Thio Swi semakin marah. Dia melompati meja dan menyerang dengan pukulan tangan kanan. Gerakannya gesit dan ringan, pukulannya juga mengandung tenaga yang kuat. Yang Cien menggerakkan tangan menangkis.
“Dukkk!” Kedua lengan bertemu dan akibatnya Thio Swi menyerengai karena merasa lengannya nyeri seolah tulangnya akan patah. Dia lalu mencabut pedangnya dan menyerang dengan dahsyat...