KIRANYA dia menyembunyikan pedang di balik jubah sastrawan yang longgar itu. Kembali Yang Cien mengelak dan dia di serang secara bertubi-tubi oleh sebuah bangku dan melontarkan bangku itu ke depan. Thio Swi membacok bangku itu sehingga terpotong menjadi dua, akan tetapi pada saat itu kaki Yang Cien telah mencuat dan mengenai pahanya.
“Desssss! Tubuh Thio Swi terlempar kebelakang dan menimpa meja.
Thio Swi terbelalak, agaknya sama sekali tidak dapat mengerti bagaimana dia yang berpedang dapat di robohkan demikian mudahnya oleh lawan. Sementara itu, perkelahian telah menarik perhatian banyak orang dan para pelayan dan pemilik rumah makan berteriak-teriak membujuk agar mereka jangan berkelahi di tempat itu. Thio Swi yang maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang amat berbahaya, setelah dapat bangkit berdiri lalu mengambil langkah panjang meninggalkan rumah makan itu.
Yang Cien dengan tenang memanggil pemilik rumah makan dan berkata, “Harap paman hitung semua kerugian yang di akibatkan keributan ini. Aku akan mengganti semua kerugian ini. Aku akan mengganti semua kerugian itu!”
Dan dia pun mengambil secawan arak yang di suguhkan kepadanya, lalu mencelupkan telunjuknya lalu menjilat telunjuk itu. Dia dapat merasakan sesuatu yang keras pada lidahnya dan tahulah dia bahwa pengemis tadi tidak berbohong. Arak itu beracun! Dia menuangkan arak ke atas lantai dan setelah kerugiannya dihitung, Yang Cien mengeluarkan sepotong emas dan membayar kerugian yang di derita rumah makan itu. Kemudian dia keluar dari rumah makan tanpa memesan makanan apa-apa karena dia tidak ingin menjadi perhatian orang.
Ketika tiba di sebuah tikungan, dia melihat pengemis yang tadi memberi peringatan kepadanya berdiri di tepi jalan sambil menadahkan tangannya yang memegang mangkok retak. Di dalam mangkok itu telah terdapat beberapa uang receh. Yang Cien menghampirinya dan dia berkata,
“Sobat, banyak terima kasih atas peringatanmu tadi“.
Pengemis itu berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, dia memandang ke kanan kiri setelah mendapat kenyataan tidak ada orang lain yang memperhatikan mereka, dia lalu berbisik, “Taihap kami semua ingin berkenalan dan menghaturkan terima kasih kepada taihap atas apa yang taihiap lakukan terhadap mendiang Kam Lokai. Karena itu, apabila taihiap tidak merasa rendah mari ikuti aku ke tempat kami, taihiap“
Yang Cien terkejut. Dia heran sekali melihat apa yang telah di alami selama ini di daerah selatan ini. Agaknya di tempat ini tersebar banyak mata-mata yang tahu belaka akan gerak-geriknya. Huang-ho Sam-houw, kemudian mereka yang menghadangnya di hutan, dan tokouw bersama muridnya itu, selanjutnya pemuda sastrawan bernama Thio Swi dan yang terakhir pengemis ini. Mereka itu semua telah mengetahui apa yang telah dia lakukan tanpa dia tahu sama sekali mengenai mereka. Agaknya dia akan mendapat keterangan yang jelas dari pengemis ini. Mengingat bahwa semua peristiwa itu berawal dari pertemuannya dengan seorang kakek pengemis, maka sebaiknya di akhiri dengan pertemuannya dengan pertemuannya dengan para pengemis, agas emua persoalannya menjadi jelas
“Baiklah“ katanya dan diapun mengikuti pengemis itu yang keluar dari kota Nam-kiang.
Pengemis itu tanpa menoleh terus berjalan di ikuti dari jarak jauh oleh Yang Cien agar tidak menarik perhatian orang lain. Ketika tiba di kaki sebuah bukit, pengemis itu berbelok ke kiri dan mendaki sebuah bukit itu. Bukit yang penuh dengan hutan bamboo dan akhirnya mereka tiba di sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi di lereng bukit itu. Dan di situ nampak banyak sekali pengemis, semua tinggal di gubuk-gubuk yang di dirikan di sekitar lereng bukit itu.
Yang Cien di terima di ruangan kuil yang luas dan sudah kosong. Mereka semua duduk di atas lantai bertilamkan jerami kering. Seorang pengemis berusia lima puluh tahun, berjenggot panjang dan memegang sebatang tongkat hitam, diperkenalkan sebagai ketua mereka. Pengemis itu nampak berwibawa sekali walaupun pakaiannya dari kain hitam yang penuh tambalan.
“Selamat datang di tempat kami, Yang Taihiap...“
Kembali orang ini sudah mengenal namanya, pikir Yang Cien, tidak heran lagi. “Engkau siapakah, paman?” tanyanya karena tadi diperkenalkan tanpa menyebut nama.
“Aku bernama Song Pa, ketua dari perkumpulan pengemis di sini. Perkumpulan kami memakai nama Hek I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Pakaian Hitam) dan aku adalah ketua cabang Nam-kiang. Pusat kami berada di Nan-king. Dan Kam Lo-kai yang tewas itu adalah seorang tokoh dari pusat“
“Ahhhh...!“ Kini mengertilah Yang Cien mengapa dia menjadi pusat perhatian. Kiranya kakek pengemis yang di tolongnya itu merupakan tokoh besar di antara mereka.
“Duduklah, taihiap“ kata Song Pa, dan Yang Cien ikut bersama mereka duduk di lantai, bersila. “Kami semua menghaturkan terima kasih atas semua kebaikan yang taihiap lakukan kepada Kam Lokai!” Dan tiba-tiba ketua cabang itu berlutut di turut oleh semua anak buahnya.
Tentu saja Yang Cien menjadi gugup sekali. “Ah, jangan begitu, pangcu. Yang ku lakukan itu adalah secara kebetulan saja karena aku merasa kagum kepada Kam Lokai yang pandai bersajak. Harap jangan bersikap begini, atau aku akan meninggalkan tempat ini!”
Semua orang bangkit dari berlutut dan duduk kembali. “Semenjak taihiap menguburkan jenazah Kam Lokai, anak buah kami selalu membayangi taihiap sehingga sempat menolong taihiap ketika taihiap terancam oleh Thio Swi itu“
“Akan tetapi, aku menjadi bingung dengan semua rentetan peristiwa yang ku alami, pangcu. Maukah engkau memberi penjelasan kepadaku? Siapakah Kam Lokai dan apa pekerjaannya yang berhubungan dengan surat yang di sampaikan kepada Gubernur Gak itu. Dan siapa pula orang-orang yang membunuhnya, dan orang-orang yang menghadangku untuk merampas surat? Kemudian, siapa pula Thio Swi dan apa hubungan kalian dengan Gubernur Gak? Apa artinya surat itu dan apakah yang sesungguhnya sedang terjadi?”
Ketua pengemis itu mengelus jenggot panjangnya dan berkata. “Agaknya taihiap adalah seorang pendekar yang baru saja memasuki dunia kang-ouw dan yang secara kebetulan dan tidak di sengaja terlibat dalam urusan ini. Ketahuilah bahwa Kam Lokai seperti kami katakan tadi adalah seorang tokoh Hek I Kaipang, dan perkumpulan kami adalah perkumpulan yang mendukung usaha para pendekar patriot yang hendak membebaskan tanah air dari penjajahan bangsa Toba. Karena itu, Kam Lokai tidak menolak ketika di mintai bantuan oleh Coa-ciangkun, seorang yang menjadi Panglima bangsa Toba, untuk menyelidiki keadaan di kota raja, terutama keadaan Koksu dan Perdana Menteri. Ketahuilah, taihiap, bahwa sebetulnya kaisar Julan Khan adalah seorang kaisar yang tidak becus dan berenang dalam kemewahan. Bahwa sebetulnya yang berkuasa penuh adalah Perdana Menteri Ji Sun Cai dan Koksu Lui Tat. Terutama Koksu Lui Tat adalah seorang yang besar kekuasaannya dan dia pun seorang yang amat pandai dan lihai, dengan julukan Toat-beng Giam-ong”
Diam-diam Yang Cien terkejut bukan main mendengar nama julukan ini karena yang membunuh orang tuanya adalah Toat-beng Giam-Ong dan yang mengejar-ngejar dia dan kakeknya dahulu juga adalah orang ini, atau tentu saja anak buahnya.
“Hemmm, nama Toat-beng Giam-ong itu pernah kudengar, pangcu. Lalu bagaimana?”
“Nah, Kam Lokai mendapat tugas itu lalu melakukan penyelidikan. Tentu saja dengan bantuan anak buah Hek I Kaipang yang banyak pula berada di kota raja karena perkumpulan kita memiliki cabang hampir di seluruh negeri. Dia mendengar bahwa Koksu telah memperoleh bantuan seorang yang juga amat lihai bernama Thian-te Ciu-kwi bersama seorang muridnya. Dengan demikian, maka tentu saja kekuatan Koksu itu semakin besar dan inilah yang di sampaikan dalam surat itu oleh Kam Lokai. Kebetulan dia bertemu taihiap ketika di serang oleh anak buah Koksu dan dapat menitipkan surat itu kepadamu“
“Hem jadi pembunuh Kam Lokai adalah anak buah Toat-beng Giam-ong?”
“Benar, taihiap. Juga mereka yang menghadang taihiap untuk minta surat itu adalah anak buahnya. Dia memiliki mata-mata dan anak buah di mana-mana dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Juga Thio Swi itu adalah seorang di antara kaki tangannya, seorang anak buah kami melihat taihiap di undang makan minum, dia segera memberi peringatan kepada taihiap tentang arak beracun“
Yang Cien mengangguk-angguk maklum. “Dan siapa pula Im Yang Tokouw dan muridnya itu?”
“Mereka? Mereka adalah tokoh-tokoh Thian-li-pang, sebuah perkumpulan yang berjiwa patriot yang sedang mempersiapkan kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan Toba“
Yang Cien tertarik sekali. Memang mendiang kakeknya juga berulang kali berpesan agar dia berusaha untuk mempersatukan semua kekuatan untuk mengusir Bangsa Toba dari tanah air. “Kapan akan di adakan gerakan perjuangan itu?” tanyanya.
Song Pancu menghela napas dan mengepal tinju. “Tidak mudah, sama sekali tidak mudah, taihiap. Memang bangsa kita banyak yang masih bodoh. Mudah tergiur oleh harta dan kemuliaan, banyak pula yang berambisi ingin mencari kesenangan sendiri. Banyak sekali panglima dan pasukan yang bahkan membantu bangsa Toba, seperti halnya Perdana Menteri Ji dan Kok su Lui itu. Hanya sedikit saja yang seperti Coa-ciangkun. Maka kekuatan masih jauh tak berimbang. Selain banyak bangsa kita rela di perbudak oleh bangsa Toba dengan mendapatkan kedudukan dan harta benda, juga masih terdapat banyak sekali orang keras kepala yang tidak mau bersatu, bahkan merajalela berdiri sendiri. Bukan saja gubernur-gubernur dan raja-raja muda berdiri sendiri, tidak mau bersatu untuk mengusir bangsa asing, bahkan juga perkumpulan-perkumpulan dijadikan rebutan karena ingin memperoleh kekuasaan. Ahhh, kalau di pikirkan sungguh menyedihkan sekali...“
Yang Cien teringat akan sajak yang di nyanyikan Kam Lokai. Semua burung dara pergi ketakutan tidak berani melawan burung gagak, dan menanti munculnya sang garuda untuk mengusir burung gagak! “Kenapa mereka saling berebutan kekuasaan?”
“Inipun merupakan siasat yang dilakukan Koksu yang licik itu. Dia sengaja melempar fitnah ke sana sini, mengadu domba antar golongan dan antar perorangan di antara tokoh kangouw. Bahkan diapun menggunakan kaki tangannya untuk menyusup ke dalam tubuh Hek I Kaipang kami. Baru saja ketahuan seorang diantara tokoh yang di calonkan untuk menggantikan aku menjadi ketua cabang di sini karena aku hendak di tarik ke pusat, ternyata adalah seorang mata-mata pemerintah, anak buah Koksu. Dia sempat melarikan diri, oleh karena itu hari ini kami hendak mengadakan pemilihan ketua baru untuk cabang Nam-kiang. Kebetulan sekali taihiap dapat hadir dan menjadi saksi“
Pertemuan untuk mengadakan pemilihan pangcu cabang itu di lakukan di halaman belakang yang lebih luas, dimana di dirikan sebuah panggung darurat. Semua anggota cabang Nam-kiang yang jumlahnya seratus lebih orang itu sudah terkumpul di situ. Di panggung kehormatan duduk Song Pangcu dan para pembantunya, yaitu calon-calon yang akan di angkat menjadi penggantinya. Juga Yang Cien mendapat kehormatan di atas panggung. Pemilihan itu di lakukan atas dasar suara para anggota, jadi bukan ketua yang menentukan. Ketua hanya menunjuk calon-calonnya, di ukur dari ilmu kepandaian silat dan juga ilmu pengetahuan dan kecerdikannya. Yang di pilih menjadi calon di antara para pembantu Song Pancu itu ada tiga orang, yaitu Kiang Si Gun, Phang Kim dan Ciok Kui.
Setelah Song pangcu melihat semua orang berkumpul, dia lalu bangkit berdiri dan mengangkat tangan ke atas minta agar semua anggota tidak ribut. “Saudara-saudara sekalian, hari ini kita tentukan pemilihan pangcu yang baru. Seperti kalian sudah mengetahui, oleh ketua pusat aku akan di tarik ke sana untuk tugas-tugas yang lebih penting. Oleh karena itu haruslah diadakan pemilihan pangcu baru untuk menggantikan aku. Dan menurut wawasanku, di pandang dari sudut ilmu kepandaian, pengalaman dan kebijaksanaan, aku menunjuk tiga orang calon yang sudah kalian ketahui baik sifat baik buruknya. Mereka itu adalah Kiang Si Gun, Phang Kim dan Ciok Kui. Sekarang terserah kepada kalian untuk menentukan pilihan, siapa di antara tiga calon itu yang di angkat menjadi pangcu baru. Sekarang kami minta agar kalian memberikan suaranya. kami mulai dengan Kiang Si Gun lebih dulu. Siapa yang memilih dia menjadi ketua?”
Banyak tangan di acungkan dan Song-Pangcu sendiri menghitung suara itu. Dari banyak tangan yang di acungkan itu, setelah di hitung jumlahnya ada empat puluh dua.
“Sekarang, siapa yang memilih Phang Kim menjadi ketua?” Kembali banyak tangan mengacung dan ketika di hitung jumlahnya ada empat puluh.
“Dan siapa memilih Ciok Kui menjadi ketua?” Kembali tangan yang mengacung di hitung dan jumlahnya ada tiga puluh tujuh.
“Kiang Si Gun mendapatkan empat puluh dua suara, Phang Kim mendapatkan empat puluh dan Ciok Kui mendapatkan tiga puluh tujuh. Berarti bahwa pemilihan terbanyak jatuh kepada Kiang Si Gun. Kalian sendiri yang menentukan, maka hari ini Kiang Si Gun…“
“Maaf, pangcu!” terdengar teriakan dan yang berdiri di antara semua orang yang duduk di atas tanah itu adalah seorang pengemis muda yang usianya sekitar Dua puluh tiga tahun. “Saya ingin mengajukan protes!”
Song-pangcu memandang penuh perhatian. “Siapa engkau? Anggota baru?”
“Saya bernama Lai Seng, pangcu. Memang saya anggota baru, baru sekitar enam bulan menjadi anggota Hek I Kai-pang. Akan tetapi, saya sudah mempelajari peraturan di Hek I Kai-pang bahwa seorang ketua baru haruslah memiliki kelihaian yang melebihi semua anggota kalau tidak, bagaimana kalau ada anggota yang bertindak salah? Apakah pangcu itu akan mampu menghukumnya? Juga, menurut peraturan, semua orang dapat saja di angkat menjadi ketua asalkan dia anggota Hek I Kaipang. Sekarang pangcu mengangkat tiga calon tanpa memberi kesempatan kepada para anggota, apakah ini adil? Bagaimana kalau ada anggota yang ternyata lebih lihai dan pandai dari pada calon itu?”
Semua orang terkejut dan heran mendengar ini, akan tetapi juga banyak mengangguk gembira karena ucapan itu memang tepat sekali. Orang merasa heran karena Lai Seng itu biasanya pendiam, dan baru beberapa bulan menjadi anggota dan jarang sekali bicara dengan rekan-rekannya. Kini, tahu-tahu pemuda itu berani memprotes kepada ketua! Benar-benar merupakan kejutan yang menegangkan.
“Ucapanmu memang benar, Lai Seng. Akan tetapi ketahuilah bahwa ketika kami mengangkat mereka bertiga menjadi calon, kami telah mengetahui dengan baik kepandaian mereka masing-masing, dan kami rasa kepandaian mereka lebih tinggi tingkatnya dari semua anggota kaipang“
“Bagaimana hal itu dapat di pastikan tanpa di uji lebih dahulu, pangcu?”
“Di uji bagaimana maksudmu?” Tanya Song-pangcu penasaran bahwa ada seorang muda begini cerewet.
“Di uji oleh para anggota, yaitu apabila ada anggota yang merasa mampu, maka dia boleh menguji calon ketuanya. Kalau calon ketua itu kalah oleh seorang anggota, maka anggota itulah yang lebih pantas di calonkan menjadi Ketua, bukan?”
“Hemmm, memang sepantasnya begitu. Akan tetapi siapa di antara anggota yang hendak menguji Kiang Si Gun? Silahkan kalau ada yang berani“
“Saya akan mengujinya, pangcu. Biar hati ini tidak menjadi penasaran, dapat mengetahui sampai dimana kelihaian ketuanya yang baru“
“Baik, aku perkenankan engkau maju untuk menguji kepandaian Kian Si Gun!”
“Kiang Si Gun, engkau di tantang oleh Lai Seng, seorang anggota baru, berilah dia bukti bahwa engkau mampu menjadi ketua!”
Kiang Si Gun juga sudah menjadi merah mukanya. Kalau yang mengajukan protes itu seorang anggota Hek I Kaipang yang lama dan sudah berpengalaman, dia masih akan dapat mengerti. Akan tetapi, bocah ini, anggota baru, berani mengujinya? Dia harus memberi hajaran kepada pemuda itu!
“Lai Seng l, aku di calonkan oleh Song-pangcu dan di pilih oleh para anggota, dan engkau masih tidak percaya kepadaku? Kalau engkau hendak mengujiku, majulah dan coba keluarkan kepandaianmu!”
Kini Kiang Si Gun sudah berdiri di tengah panggung, tongkat hitamnya di tangan. Orang ini berusia empat puluhan tahun, tubuhnya kurus namun tubuhnya nampak kuat dengan otot-otot yang menonjol. Dia merupakan sute dari Song Pang-cu, maka semua orang tidak meragukan lagi kepandaiannya. Semua orang menduga bahwa Kiang Si Gun, seperti juga Song Pang-cu, tentu mahir sekali dengan ilmu Hek tung hoat (Ilmu Tongkat Hitam) yang amat lihai.
Lai Seng dengan sikap tenang lalu naik ke atas panggung, dan dia memberi hormat kepada Kiang Si Gun. “Kiang-twako harap tidak tersinggung. Saya melakukan ini justru untuk membuktikan bahwa twako memang pantas menjadi ketua. Coba bayangkan kalau melawan aku saja twako tidak mampu menang, apakah mungkin twako di jadikan ketua cabang yang memimpin seratus orang anggota lebih?”
“Lai Seng tidak perlu banyak cakap lagi. Kami semua sudah mendengar omonganmu dan mengerti akan maksudmu. Nah, keluarkan tongkatmu dan mari kita mengadu kepandaian!”
“Kiang-twako, engkau sudah memegang tongkat, akan tetapi biarlah aku bertangan kosong saja, hendak ku lihat sampai dimana tingkatmu dalam ilmu Hek-tung-hoat!” kata pemuda itu dan diapun sudah berdiri di depan Kiang Si Gun dengan sikap yang sigap, namun tenang sekali.
Kiang Si Gun menjadi merah mukanya. Dia di tantang oleh seorang anggota biasa yang hendak melawan tongkatnya dengan tangan kosong saja! “Bagus, semua orang mendengar dan menjadi saksi akan kesombonganmu. Nah sambutlah tongkatku ini!“ Kiang Si Gun sudah menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah kepala pemuda itu.
Namun dengan lincahnya pemuda yang bernama Lai Seng itu telah dapat mengelak dengan mudahnya. Melihat serangannya luput, Kiang Si Gun menyusulkan serampangan tongkatnya kea rah kedua kaki lawan, akan tetapi kembali Lai Seng dapat menghindar dengan lompatan tinggi ke atas. Tubuhnya naik dan menukik sambil kedua tangannya menyerang kepala Kiang Si Gun yang menjadi terkejut bukan main melihat gerakan yang seperti seekor burung saja cepatnya itu. Terpaksa dia melempar tongkatnya untuk melindungi kepala sehingga serangan Lai Seng juga gagal.
Karena merasa penasaran Kiang Si Gun lalu mainkan Hek-tung-hoat dengan gencar, melakukan gerakan Hek-tung-ta-kouw (Tongkat Hitam Pemukul Anjing), gerakannya cepat dan tongkat itu mengeluarkan suara berdesir ketika menyambar-nyambar secara bertubi-tubi. Akan tetapi dia menjadi semakin terkejut ketika pemuda itu menangkis tongkat dengan kedua lengannya. Terdengar suara dak-duk yang keras seolah kedua lengan pemuda itu berubah menjadi baja dan Kiang Si Gun merasa betapa kedua tangannya tergetar ketika tongkatnya bertemu lengan pemuda itu. Dia terkejut lalu memutar kembali tongkatnya, melanjutkan serangannya dengan jurus Hek-liong-hoan-bwe (Naga Hitam mengubah ekor), tongkatnya menyambar dengan pukulan kea rah pinggang lawan.
Kembali Lai Seng melompat tinggi dan kembali dia menukik untuk menyerang kepala sehingga Kiang Si Gun terdesak dan harus berlompatan mundur. Lai Seng menyerang terus dengan pukulan dan tendangannya yang dahsyat. Biar pun Kiang Si Gun berusaha untuk menangkis namun tetap saja dia terkena tendangan sehingga tubuhnya terpental dari atas panggung! Baru belasan jurus saja calon ketua ini telah di kalahkan oleh seorang anggota muda.
“Ah, Cuma sebegitu saja kemampuan seorang calon ketua?” Lai Seng mengejek.
Yang Cien merasa tidak senang. Pemuda ini sombong sekali. Memang dia melihat tadi bahwa ilmu silat pemuda itu lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Kiang Si Gun, suatu hal yang amat mengherankan. Kiang Si Gun adalah sute dari ketua Song Pa, dan pemuda itu hanyalah anggota atau anak buah yang kepandaiannya tentu hanya setingkat dengan murid sang ketua.
“Lai Seng!” Kini Song Pangcu melompat ke atas panggung. “Darimana engkau mempelajari ilmu silat yang kau pakai mengalahkan Kiang Si Gun tadi?”
“Song-pangcu, sebelum menjadi anggota Hek I Kaipang, saya sudah mempelajari banyak ilmu silat. Apakah hal ini tidak boleh!”
Song-pangcu marah sekali. “Boleh, boleh, dan aku sendiri ingin menguji kepandaianmu!”
“Aih, pangcu, lebih baik jangan. Kalau sampai pangcu kalah, tentu pangcu akan kehilangan muka dan...“
Pada saat itu, Yang Cien yang maklum bahwa pemuda itu lihai dan memang tidak semestinya seorang ketua melawan anak buahnya sendiri, telah maju dan berdiri dekat Song-pangcu. “Pangcu, apa yang di katakan Lai Seng ini benar. Dia hanya seorang anggota biasa, bagaimana akan melawan ketuanya? Kalau pangcu menghajarnya, tentu pangcu hanya akan menjadi buah tertawaan karena melawan seorang anggota muda. Aku bukan anggota, akan tetapi sahabat Hek I Kaipang, biarlah aku yang menghadapinya. Eh, orang she Lai, kalau aku mewakili Song-pangcu maju untuk menandingimu, apakah engkau berani?”
Yang Cien bersikap cerdik. Dia sengaja bertanya apakah Lai Seng berani karena dengan pertanyaan seperti itu, tentu Lai Seng tidak dapat mengajukan alasan apapun dan akan merasa malu kalau menolak, di sangka tidak berani.
“Baik, akan tetapi karena engkau mewakili Song-pangcu, kalau engkau kalah berarti aku telah mengalahkan Song-pangcu dan dengan begitu, akulah yang berhak menggantikan dia menjadi pangcu di cabang Nam-kiang ini kalau dia pergi ke pusat“
Song-pangcu sudah maklum atau setidaknya dapat menduga bahwa tamunya itu lihai sekali, maka tanpa banyak pikir lagi dia menjawab, “Baik, Lai Seng kalau engkau mampu mengalahkan Yang-Taihiap, biarlah engkau yang menjadi ketua cabang menggantikan aku. Engkau memang pantas untuk kedudukan itu“
Wajah Lai Seng berseri dan dia lalu menantang Yang Cien. “Orang asing, engkau bukan anggota Hek I Kaipang, sebelum kita bertanding, aku ingin lebih dulu mengenal namamu. Dalam pertandingan, mungkin saja orang roboh dan tewas, maka jangan sampai ada yang tewas tanpa nama“
Bukan main sombongnya, pikir Yang Cien. Akan tetapi pemuda ini pandai mengatur kata-kata sehingga ucapannya yang memandang rendah itu tidak terdengar kasar. “Dengarlah Lai Seng, namaku Yang Cien. Nah engkau majulah!”
“Engkau yang menantangku, engkau yang maju lebih dulu, Yang Cien!” kata Lai Seng. Sikap ini saja menunjukkan bahwa pemuda ini memang lihai, tahu bahwa dalam suatu pertandingan antara orang setingkat kepandaiannya, siapa maju lebih dulu berarti rugi karena setiap penyerangan berarti pula membuka diri untuk dapat di serang lawan.
Yang Cien tersenyum dan dengan sembarangan saja dia maju dan berseru. “Lihat pukulan!” tangan kirinya meluncur dan menampar kearah pipi kanan lawan.
Melihat pukulan yang sederhana ini, Lai Seng mengeluarkan suara dengus mengejek. Dia menarik mukanya ke belakang dan tiba-tiba saja dari bawah, kakinya sudah mencuat dan mengirim tendangan kilat kearah pusar Yang Cien. Semua orang terkejut karena serangan pertama ini benar-benar amat berbahaya sekali. Namun hati mereka lega melihat betapa Yang Cien juga dapat menghindarkan diri dengan amat mudah. kakinya melangkah ke kiri dan dengan sedikit miringkan tubuh, tendangan itu hanya mengenai angina belaka.
“Wuuuttt…!” kaki itu melayang cepat dan di ikuti pula oleh kaki kedua yang juga melayang dan mengejar ke mana tubuh Yang Cien bergerak. Kiranya pemuda itu melakukan tendangan berantai dan tubuhnya seperti terbang saja ketika kedua kakinya melakukan tendangan bertubi.
“Plak! Plak!“ Tangan Yang Cien menangkis dan tubuh Lai Seng agak terhuyung karena kedua kakinya terdorong dengan amat kuat. Dia terkejut dan kini senyum mengejek itu hilang dari mukanya karena dia tidak lagi berani memandang rendah lawannya.
“Bagus, engkau berisi juga!” bentaknya dan kini dia sudah menyerang kalang kabut dengan kedua tangan dan kedua kakinya. Memukul dan menendang seperti singa mengamuk.
Namun, dengan tenang Yang Cien melayani dengan elakan dan tangkisan, bahkan sempat pula membalas dan dapat di tangkis pula oleh lawannya.
“Haaiiiitttttt…!” Tiba-tiba pemuda itu mengubah gerakannya dan kini tubuhnya bergerak ke sana sini dalam bentuk pat-kwa (segi delapan) dan pukulannya mengeluarkan angin yang dahsyat. Itulah ilmu Pat-hong-hong-I (Pukulan delapan angin hujan) yang amat dahsyat.
Namun dengan ilmunya Bu-tek Cin-keng Yang Cien dengan mudah dan tenang dapat menghalau semua serangan itu. Bahkan dengan dorongan kedua telapak tangannya dia sempat membuat Lai Seng bertolak ke belakang dan terhuyung dua kali. Lai Seng menjadi semakin penasaran. Selama ini memang dia yang mengambil peran sebagai penyerang namun selalu gagal. Tiba-tiba dia melompat dan menubruk sambil menggereng seperti seekor harimau. Itulah jurus Go-houw-poksit (Macan kelaparan sambar makanan) yang dahsyat sekali. Tubuhnya melayang di udara, kaki tangannya seperti kaki harimau yang mencengkram. Kedua tangannya membentuk cakar dan kedua kakinya siap untuk menendang.
“Bagus…!“ kata Yang Cien dan ia pun dengan jurus Kong-ciak khay-peng (Merak membuka sayap) dia menghadapi serangan itu, lalu menyambut kedua tangan itu dengan tangkisan ke kanan kiri sedangkan tubuhnya bergeser ke kanan dan dari arah itu dia membalas dengan dorongan jurus Te-tiu-kim-ciang (Mendorong roboh lonceng emas).
Kembali tubuh Lai Seng tidak kuat menerima hawa dorongan itu dan diapun terhuyung ke samping. Dia menjadi marah, begitu tubuhnya sudah dapat memulihkan keseimbangannya, dia menyerang dengan gerakan Siauw-cu-twi (Tendangan berantai). Kedua kakinya seperti kitiran, kanan kiri terus menendang tanpa dapat di hentikan.
Yang Cien menjadi gemas juga. Sudah beberapa kali dia membuat lawan ini terdorong dan terhuyung, akan tetapi Lai Seng tetap tidak mau mengaku kalah dan bahkan menyerang lebih dahsyat. Dia lalu mengerahkan tenaga Bu-tek Cin-keng, menangkis kedua kaki itu sambil mendorong.
“Brukkk...!” Tubuh Lai Seng terpelanting dan terdorong roboh terjengkang.
Sorak-sorak dan tepuk tangan riuh rendah menyambut kemenangan Yang Cien ini. Akan tetapi agaknya Lai Seng adalah seorang pemuda yang tinggi hati dan selama ini tidak pernah menemui tanding. Juga dia kecewa karena dia sudah memperhitungkan bahwa kalau Song-pangcu yang maju, dia pasti menang. Kini, tanpa di sangka-sangka, muncul seorang pemuda asing yang mengalahkannya. Dia meloncat lagi dan ketika tangannya bergerak ke bawah bajunya, dia telah mencabut sebatang suling perak yang berkilauan putih.
“Yang Cien, dalam hal ilmu tangan kosong, aku kalah setingkat. Akan tetapi aku menantangmu untuk menggunakan senjata. Engkau boleh memilih senjata apa saja!” tantangnya dengan sikap congkak, agaknya suling perak itu merupakan senjata yang amat di andalkan dan ampuh.
Yang Cien juga maklum bahwa sebetulnya pemuda ini memiliki ilmu yang tinggi. Kalau dia tidak mempelajari Bu-tek Cin-keng, tentu diapun akan kalah. Kini, pemuda itu mengeluarkan senjata suling, tentu senjata itupun ampuh sekali. Maka, tanpa ragu dia mengeluarkan pedangnya dari buntalan pakaian yang di tinggalkan di atas meja. Begitu dia mencabut pedangnya, semua orang berseru kagum. Sinar putih berkelebat dan pedang putih berkilauan, bahkan lebih menyilaukan dibandingkan suling perak di tangan Lai Seng.
“Nah, Lai Seng, aku sudah siap!” kata Yang Cien sambil melintangkan pedangnya di depan dada dan mengangkat tangan kirinya ke atas menunjuk langit.
“Lihat senjata!” bentak Lai Seng dan dia mulai memainkan sulingnya yang panjangnya sama dengan pedang itu. Terdengar suara melengking nyaring ketika suling itu bergerak dan berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung. Akan tetapi sinar putih kedua juga bergulung-gulung dan kini beberapa kali terdengar suara berdentingan dan nampaklah bara api berpijar-pijar menyilaukan mata. Kedua orang pemuda itu sudah saling serang dengan hebat.
Sebetulnya, kalau Yang Cien menghendaki, dengan tangan kosong pun dia akan mampu mengalahkan lawannya yang memegang suling. Akan tetapi dia tidak mau kelihatan congkak seperti lawannya, maka dia melayaninya dengan Pek-liong Po-kiam di tangan. Setelah lewat belasan jurus, Yang Cien mengerahkan tenaga Bu-tek Cin-keng dan menggerakkan pedangnya. Pedang menyambar dahsyat bertemu dengan suling dan terdengar suara keras.
“Traaanngggg… Traakkk…!”
Lai Seng memekik, melompat mundur dan terhuyung, tangannya berdarah karena terluka dan sulingnya patah menjadi dua potong. Ternyata dia hanya mampu bertahan sampai belasan jurus saja. Dengan mata mencorong dia memandang Yang Cien kemudian dia melompat dari atas panggung, melompat jauh dan melarikan diri dari tempat itu.
“Haiii, tunggu…!!” Teriak Song Pangcu yang hendak mengejar, akan tetapi Yang Cien berkata,
“Tak usah di kejar, pangcu. Kurasa dia itu bukan anggota Hek I Kaipang yang sesungguhnya“
“Ahh… Benar katamu itu taihiap! Ilmunya begitu hebat, dan sekarang aku baru menyadari bahwa dia tentulah seorang mata-mata dari Kok-su yang menyeludup. Lima bulan yang lalu dia di bawa seorang anggota yang mengatakan bahwa pengemis muda itu menyatakan hendak bergabung dan masuk menjadi anggota Hek I Kaipang. Karena sikapnya amat baik dan sopan, kami pun merasa tidak berkeberatan untuk menerimanya sebagai anggota dan selama ini diapun nampak baik dan tidak mencurigakan. Siapa tahu, agaknya dia mengincar kedudukan ketua cabang dan hanya menanti kesempatan saja. Aku yakin bahwa dia tentulah seorang anak buah Koksu yang memang banyak tersebar di mana-mana“
“Hemm, kalau di cabang Kok-su mengirim orang untuk menguasai kedudukan ketua, apalagi di pusat. Bagaimana kau pikir, Song-pangcu?”
Song-pangcu menjadi berubah air mukanya. “Aah, aku belum berpikir sejauh itu, taihiap. Akan tetapi Cu Lokai, yaitu pangcu dari Hek I Kaipang pusat di kota raja, memanggil aku untuk membantunya, aku merasa heran juga. Entah apa maksud Cu Lokai memanggil aku. Sekarang, mendengar pendapatmu tadi, aku merasa khawatir juga“
“Song-pangcu, kapan engkau akan berangkat ke kota raja?”
“Sekarang juga dan sudah ku putuskan bahwa Kiang Si Gun menjadi ketua cabang, di bantu oleh Phang Kim dan Ciok Kui, agar kedudukannya lebih kuat“
“Kalau begitu, aku akan menyertaimu, pangcu. Aku juga ingin melihat-lihat keadaan di kota raja“
“Bagus sekali kalau begitu, taihiap. Kekhawatiranku jadi lenyap seketika dan aku yakin bahwa engkau yang akan dapat membantu apa bila terjadi kesulitan menimpa Hek I Kaipang“
Demikianlah, setelah mengatur perkumpulan itu dan meninggalkan pesan-pesan, Song-pangcu lalu berangkat bersama Yang Cien meninggalkan Nam-kiang menuju ke kota raja...
“Desssss! Tubuh Thio Swi terlempar kebelakang dan menimpa meja.
Thio Swi terbelalak, agaknya sama sekali tidak dapat mengerti bagaimana dia yang berpedang dapat di robohkan demikian mudahnya oleh lawan. Sementara itu, perkelahian telah menarik perhatian banyak orang dan para pelayan dan pemilik rumah makan berteriak-teriak membujuk agar mereka jangan berkelahi di tempat itu. Thio Swi yang maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang amat berbahaya, setelah dapat bangkit berdiri lalu mengambil langkah panjang meninggalkan rumah makan itu.
Yang Cien dengan tenang memanggil pemilik rumah makan dan berkata, “Harap paman hitung semua kerugian yang di akibatkan keributan ini. Aku akan mengganti semua kerugian ini. Aku akan mengganti semua kerugian itu!”
Dan dia pun mengambil secawan arak yang di suguhkan kepadanya, lalu mencelupkan telunjuknya lalu menjilat telunjuk itu. Dia dapat merasakan sesuatu yang keras pada lidahnya dan tahulah dia bahwa pengemis tadi tidak berbohong. Arak itu beracun! Dia menuangkan arak ke atas lantai dan setelah kerugiannya dihitung, Yang Cien mengeluarkan sepotong emas dan membayar kerugian yang di derita rumah makan itu. Kemudian dia keluar dari rumah makan tanpa memesan makanan apa-apa karena dia tidak ingin menjadi perhatian orang.
Ketika tiba di sebuah tikungan, dia melihat pengemis yang tadi memberi peringatan kepadanya berdiri di tepi jalan sambil menadahkan tangannya yang memegang mangkok retak. Di dalam mangkok itu telah terdapat beberapa uang receh. Yang Cien menghampirinya dan dia berkata,
“Sobat, banyak terima kasih atas peringatanmu tadi“.
Pengemis itu berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, dia memandang ke kanan kiri setelah mendapat kenyataan tidak ada orang lain yang memperhatikan mereka, dia lalu berbisik, “Taihap kami semua ingin berkenalan dan menghaturkan terima kasih kepada taihap atas apa yang taihiap lakukan terhadap mendiang Kam Lokai. Karena itu, apabila taihiap tidak merasa rendah mari ikuti aku ke tempat kami, taihiap“
Yang Cien terkejut. Dia heran sekali melihat apa yang telah di alami selama ini di daerah selatan ini. Agaknya di tempat ini tersebar banyak mata-mata yang tahu belaka akan gerak-geriknya. Huang-ho Sam-houw, kemudian mereka yang menghadangnya di hutan, dan tokouw bersama muridnya itu, selanjutnya pemuda sastrawan bernama Thio Swi dan yang terakhir pengemis ini. Mereka itu semua telah mengetahui apa yang telah dia lakukan tanpa dia tahu sama sekali mengenai mereka. Agaknya dia akan mendapat keterangan yang jelas dari pengemis ini. Mengingat bahwa semua peristiwa itu berawal dari pertemuannya dengan seorang kakek pengemis, maka sebaiknya di akhiri dengan pertemuannya dengan pertemuannya dengan para pengemis, agas emua persoalannya menjadi jelas
“Baiklah“ katanya dan diapun mengikuti pengemis itu yang keluar dari kota Nam-kiang.
Pengemis itu tanpa menoleh terus berjalan di ikuti dari jarak jauh oleh Yang Cien agar tidak menarik perhatian orang lain. Ketika tiba di kaki sebuah bukit, pengemis itu berbelok ke kiri dan mendaki sebuah bukit itu. Bukit yang penuh dengan hutan bamboo dan akhirnya mereka tiba di sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi di lereng bukit itu. Dan di situ nampak banyak sekali pengemis, semua tinggal di gubuk-gubuk yang di dirikan di sekitar lereng bukit itu.
Yang Cien di terima di ruangan kuil yang luas dan sudah kosong. Mereka semua duduk di atas lantai bertilamkan jerami kering. Seorang pengemis berusia lima puluh tahun, berjenggot panjang dan memegang sebatang tongkat hitam, diperkenalkan sebagai ketua mereka. Pengemis itu nampak berwibawa sekali walaupun pakaiannya dari kain hitam yang penuh tambalan.
“Selamat datang di tempat kami, Yang Taihiap...“
Kembali orang ini sudah mengenal namanya, pikir Yang Cien, tidak heran lagi. “Engkau siapakah, paman?” tanyanya karena tadi diperkenalkan tanpa menyebut nama.
“Aku bernama Song Pa, ketua dari perkumpulan pengemis di sini. Perkumpulan kami memakai nama Hek I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Pakaian Hitam) dan aku adalah ketua cabang Nam-kiang. Pusat kami berada di Nan-king. Dan Kam Lo-kai yang tewas itu adalah seorang tokoh dari pusat“
“Ahhhh...!“ Kini mengertilah Yang Cien mengapa dia menjadi pusat perhatian. Kiranya kakek pengemis yang di tolongnya itu merupakan tokoh besar di antara mereka.
“Duduklah, taihiap“ kata Song Pa, dan Yang Cien ikut bersama mereka duduk di lantai, bersila. “Kami semua menghaturkan terima kasih atas semua kebaikan yang taihiap lakukan kepada Kam Lokai!” Dan tiba-tiba ketua cabang itu berlutut di turut oleh semua anak buahnya.
Tentu saja Yang Cien menjadi gugup sekali. “Ah, jangan begitu, pangcu. Yang ku lakukan itu adalah secara kebetulan saja karena aku merasa kagum kepada Kam Lokai yang pandai bersajak. Harap jangan bersikap begini, atau aku akan meninggalkan tempat ini!”
Semua orang bangkit dari berlutut dan duduk kembali. “Semenjak taihiap menguburkan jenazah Kam Lokai, anak buah kami selalu membayangi taihiap sehingga sempat menolong taihiap ketika taihiap terancam oleh Thio Swi itu“
“Akan tetapi, aku menjadi bingung dengan semua rentetan peristiwa yang ku alami, pangcu. Maukah engkau memberi penjelasan kepadaku? Siapakah Kam Lokai dan apa pekerjaannya yang berhubungan dengan surat yang di sampaikan kepada Gubernur Gak itu. Dan siapa pula orang-orang yang membunuhnya, dan orang-orang yang menghadangku untuk merampas surat? Kemudian, siapa pula Thio Swi dan apa hubungan kalian dengan Gubernur Gak? Apa artinya surat itu dan apakah yang sesungguhnya sedang terjadi?”
Ketua pengemis itu mengelus jenggot panjangnya dan berkata. “Agaknya taihiap adalah seorang pendekar yang baru saja memasuki dunia kang-ouw dan yang secara kebetulan dan tidak di sengaja terlibat dalam urusan ini. Ketahuilah bahwa Kam Lokai seperti kami katakan tadi adalah seorang tokoh Hek I Kaipang, dan perkumpulan kami adalah perkumpulan yang mendukung usaha para pendekar patriot yang hendak membebaskan tanah air dari penjajahan bangsa Toba. Karena itu, Kam Lokai tidak menolak ketika di mintai bantuan oleh Coa-ciangkun, seorang yang menjadi Panglima bangsa Toba, untuk menyelidiki keadaan di kota raja, terutama keadaan Koksu dan Perdana Menteri. Ketahuilah, taihiap, bahwa sebetulnya kaisar Julan Khan adalah seorang kaisar yang tidak becus dan berenang dalam kemewahan. Bahwa sebetulnya yang berkuasa penuh adalah Perdana Menteri Ji Sun Cai dan Koksu Lui Tat. Terutama Koksu Lui Tat adalah seorang yang besar kekuasaannya dan dia pun seorang yang amat pandai dan lihai, dengan julukan Toat-beng Giam-ong”
Diam-diam Yang Cien terkejut bukan main mendengar nama julukan ini karena yang membunuh orang tuanya adalah Toat-beng Giam-Ong dan yang mengejar-ngejar dia dan kakeknya dahulu juga adalah orang ini, atau tentu saja anak buahnya.
“Hemmm, nama Toat-beng Giam-ong itu pernah kudengar, pangcu. Lalu bagaimana?”
“Nah, Kam Lokai mendapat tugas itu lalu melakukan penyelidikan. Tentu saja dengan bantuan anak buah Hek I Kaipang yang banyak pula berada di kota raja karena perkumpulan kita memiliki cabang hampir di seluruh negeri. Dia mendengar bahwa Koksu telah memperoleh bantuan seorang yang juga amat lihai bernama Thian-te Ciu-kwi bersama seorang muridnya. Dengan demikian, maka tentu saja kekuatan Koksu itu semakin besar dan inilah yang di sampaikan dalam surat itu oleh Kam Lokai. Kebetulan dia bertemu taihiap ketika di serang oleh anak buah Koksu dan dapat menitipkan surat itu kepadamu“
“Hem jadi pembunuh Kam Lokai adalah anak buah Toat-beng Giam-ong?”
“Benar, taihiap. Juga mereka yang menghadang taihiap untuk minta surat itu adalah anak buahnya. Dia memiliki mata-mata dan anak buah di mana-mana dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Juga Thio Swi itu adalah seorang di antara kaki tangannya, seorang anak buah kami melihat taihiap di undang makan minum, dia segera memberi peringatan kepada taihiap tentang arak beracun“
Yang Cien mengangguk-angguk maklum. “Dan siapa pula Im Yang Tokouw dan muridnya itu?”
“Mereka? Mereka adalah tokoh-tokoh Thian-li-pang, sebuah perkumpulan yang berjiwa patriot yang sedang mempersiapkan kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan Toba“
Yang Cien tertarik sekali. Memang mendiang kakeknya juga berulang kali berpesan agar dia berusaha untuk mempersatukan semua kekuatan untuk mengusir Bangsa Toba dari tanah air. “Kapan akan di adakan gerakan perjuangan itu?” tanyanya.
Song Pancu menghela napas dan mengepal tinju. “Tidak mudah, sama sekali tidak mudah, taihiap. Memang bangsa kita banyak yang masih bodoh. Mudah tergiur oleh harta dan kemuliaan, banyak pula yang berambisi ingin mencari kesenangan sendiri. Banyak sekali panglima dan pasukan yang bahkan membantu bangsa Toba, seperti halnya Perdana Menteri Ji dan Kok su Lui itu. Hanya sedikit saja yang seperti Coa-ciangkun. Maka kekuatan masih jauh tak berimbang. Selain banyak bangsa kita rela di perbudak oleh bangsa Toba dengan mendapatkan kedudukan dan harta benda, juga masih terdapat banyak sekali orang keras kepala yang tidak mau bersatu, bahkan merajalela berdiri sendiri. Bukan saja gubernur-gubernur dan raja-raja muda berdiri sendiri, tidak mau bersatu untuk mengusir bangsa asing, bahkan juga perkumpulan-perkumpulan dijadikan rebutan karena ingin memperoleh kekuasaan. Ahhh, kalau di pikirkan sungguh menyedihkan sekali...“
Yang Cien teringat akan sajak yang di nyanyikan Kam Lokai. Semua burung dara pergi ketakutan tidak berani melawan burung gagak, dan menanti munculnya sang garuda untuk mengusir burung gagak! “Kenapa mereka saling berebutan kekuasaan?”
“Inipun merupakan siasat yang dilakukan Koksu yang licik itu. Dia sengaja melempar fitnah ke sana sini, mengadu domba antar golongan dan antar perorangan di antara tokoh kangouw. Bahkan diapun menggunakan kaki tangannya untuk menyusup ke dalam tubuh Hek I Kaipang kami. Baru saja ketahuan seorang diantara tokoh yang di calonkan untuk menggantikan aku menjadi ketua cabang di sini karena aku hendak di tarik ke pusat, ternyata adalah seorang mata-mata pemerintah, anak buah Koksu. Dia sempat melarikan diri, oleh karena itu hari ini kami hendak mengadakan pemilihan ketua baru untuk cabang Nam-kiang. Kebetulan sekali taihiap dapat hadir dan menjadi saksi“
Pertemuan untuk mengadakan pemilihan pangcu cabang itu di lakukan di halaman belakang yang lebih luas, dimana di dirikan sebuah panggung darurat. Semua anggota cabang Nam-kiang yang jumlahnya seratus lebih orang itu sudah terkumpul di situ. Di panggung kehormatan duduk Song Pangcu dan para pembantunya, yaitu calon-calon yang akan di angkat menjadi penggantinya. Juga Yang Cien mendapat kehormatan di atas panggung. Pemilihan itu di lakukan atas dasar suara para anggota, jadi bukan ketua yang menentukan. Ketua hanya menunjuk calon-calonnya, di ukur dari ilmu kepandaian silat dan juga ilmu pengetahuan dan kecerdikannya. Yang di pilih menjadi calon di antara para pembantu Song Pancu itu ada tiga orang, yaitu Kiang Si Gun, Phang Kim dan Ciok Kui.
Setelah Song pangcu melihat semua orang berkumpul, dia lalu bangkit berdiri dan mengangkat tangan ke atas minta agar semua anggota tidak ribut. “Saudara-saudara sekalian, hari ini kita tentukan pemilihan pangcu yang baru. Seperti kalian sudah mengetahui, oleh ketua pusat aku akan di tarik ke sana untuk tugas-tugas yang lebih penting. Oleh karena itu haruslah diadakan pemilihan pangcu baru untuk menggantikan aku. Dan menurut wawasanku, di pandang dari sudut ilmu kepandaian, pengalaman dan kebijaksanaan, aku menunjuk tiga orang calon yang sudah kalian ketahui baik sifat baik buruknya. Mereka itu adalah Kiang Si Gun, Phang Kim dan Ciok Kui. Sekarang terserah kepada kalian untuk menentukan pilihan, siapa di antara tiga calon itu yang di angkat menjadi pangcu baru. Sekarang kami minta agar kalian memberikan suaranya. kami mulai dengan Kiang Si Gun lebih dulu. Siapa yang memilih dia menjadi ketua?”
Banyak tangan di acungkan dan Song-Pangcu sendiri menghitung suara itu. Dari banyak tangan yang di acungkan itu, setelah di hitung jumlahnya ada empat puluh dua.
“Sekarang, siapa yang memilih Phang Kim menjadi ketua?” Kembali banyak tangan mengacung dan ketika di hitung jumlahnya ada empat puluh.
“Dan siapa memilih Ciok Kui menjadi ketua?” Kembali tangan yang mengacung di hitung dan jumlahnya ada tiga puluh tujuh.
“Kiang Si Gun mendapatkan empat puluh dua suara, Phang Kim mendapatkan empat puluh dan Ciok Kui mendapatkan tiga puluh tujuh. Berarti bahwa pemilihan terbanyak jatuh kepada Kiang Si Gun. Kalian sendiri yang menentukan, maka hari ini Kiang Si Gun…“
“Maaf, pangcu!” terdengar teriakan dan yang berdiri di antara semua orang yang duduk di atas tanah itu adalah seorang pengemis muda yang usianya sekitar Dua puluh tiga tahun. “Saya ingin mengajukan protes!”
Song-pangcu memandang penuh perhatian. “Siapa engkau? Anggota baru?”
“Saya bernama Lai Seng, pangcu. Memang saya anggota baru, baru sekitar enam bulan menjadi anggota Hek I Kai-pang. Akan tetapi, saya sudah mempelajari peraturan di Hek I Kai-pang bahwa seorang ketua baru haruslah memiliki kelihaian yang melebihi semua anggota kalau tidak, bagaimana kalau ada anggota yang bertindak salah? Apakah pangcu itu akan mampu menghukumnya? Juga, menurut peraturan, semua orang dapat saja di angkat menjadi ketua asalkan dia anggota Hek I Kaipang. Sekarang pangcu mengangkat tiga calon tanpa memberi kesempatan kepada para anggota, apakah ini adil? Bagaimana kalau ada anggota yang ternyata lebih lihai dan pandai dari pada calon itu?”
Semua orang terkejut dan heran mendengar ini, akan tetapi juga banyak mengangguk gembira karena ucapan itu memang tepat sekali. Orang merasa heran karena Lai Seng itu biasanya pendiam, dan baru beberapa bulan menjadi anggota dan jarang sekali bicara dengan rekan-rekannya. Kini, tahu-tahu pemuda itu berani memprotes kepada ketua! Benar-benar merupakan kejutan yang menegangkan.
“Ucapanmu memang benar, Lai Seng. Akan tetapi ketahuilah bahwa ketika kami mengangkat mereka bertiga menjadi calon, kami telah mengetahui dengan baik kepandaian mereka masing-masing, dan kami rasa kepandaian mereka lebih tinggi tingkatnya dari semua anggota kaipang“
“Bagaimana hal itu dapat di pastikan tanpa di uji lebih dahulu, pangcu?”
“Di uji bagaimana maksudmu?” Tanya Song-pangcu penasaran bahwa ada seorang muda begini cerewet.
“Di uji oleh para anggota, yaitu apabila ada anggota yang merasa mampu, maka dia boleh menguji calon ketuanya. Kalau calon ketua itu kalah oleh seorang anggota, maka anggota itulah yang lebih pantas di calonkan menjadi Ketua, bukan?”
“Hemmm, memang sepantasnya begitu. Akan tetapi siapa di antara anggota yang hendak menguji Kiang Si Gun? Silahkan kalau ada yang berani“
“Saya akan mengujinya, pangcu. Biar hati ini tidak menjadi penasaran, dapat mengetahui sampai dimana kelihaian ketuanya yang baru“
“Baik, aku perkenankan engkau maju untuk menguji kepandaian Kian Si Gun!”
“Kiang Si Gun, engkau di tantang oleh Lai Seng, seorang anggota baru, berilah dia bukti bahwa engkau mampu menjadi ketua!”
Kiang Si Gun juga sudah menjadi merah mukanya. Kalau yang mengajukan protes itu seorang anggota Hek I Kaipang yang lama dan sudah berpengalaman, dia masih akan dapat mengerti. Akan tetapi, bocah ini, anggota baru, berani mengujinya? Dia harus memberi hajaran kepada pemuda itu!
“Lai Seng l, aku di calonkan oleh Song-pangcu dan di pilih oleh para anggota, dan engkau masih tidak percaya kepadaku? Kalau engkau hendak mengujiku, majulah dan coba keluarkan kepandaianmu!”
Kini Kiang Si Gun sudah berdiri di tengah panggung, tongkat hitamnya di tangan. Orang ini berusia empat puluhan tahun, tubuhnya kurus namun tubuhnya nampak kuat dengan otot-otot yang menonjol. Dia merupakan sute dari Song Pang-cu, maka semua orang tidak meragukan lagi kepandaiannya. Semua orang menduga bahwa Kiang Si Gun, seperti juga Song Pang-cu, tentu mahir sekali dengan ilmu Hek tung hoat (Ilmu Tongkat Hitam) yang amat lihai.
Lai Seng dengan sikap tenang lalu naik ke atas panggung, dan dia memberi hormat kepada Kiang Si Gun. “Kiang-twako harap tidak tersinggung. Saya melakukan ini justru untuk membuktikan bahwa twako memang pantas menjadi ketua. Coba bayangkan kalau melawan aku saja twako tidak mampu menang, apakah mungkin twako di jadikan ketua cabang yang memimpin seratus orang anggota lebih?”
“Lai Seng tidak perlu banyak cakap lagi. Kami semua sudah mendengar omonganmu dan mengerti akan maksudmu. Nah, keluarkan tongkatmu dan mari kita mengadu kepandaian!”
“Kiang-twako, engkau sudah memegang tongkat, akan tetapi biarlah aku bertangan kosong saja, hendak ku lihat sampai dimana tingkatmu dalam ilmu Hek-tung-hoat!” kata pemuda itu dan diapun sudah berdiri di depan Kiang Si Gun dengan sikap yang sigap, namun tenang sekali.
Kiang Si Gun menjadi merah mukanya. Dia di tantang oleh seorang anggota biasa yang hendak melawan tongkatnya dengan tangan kosong saja! “Bagus, semua orang mendengar dan menjadi saksi akan kesombonganmu. Nah sambutlah tongkatku ini!“ Kiang Si Gun sudah menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah kepala pemuda itu.
Namun dengan lincahnya pemuda yang bernama Lai Seng itu telah dapat mengelak dengan mudahnya. Melihat serangannya luput, Kiang Si Gun menyusulkan serampangan tongkatnya kea rah kedua kaki lawan, akan tetapi kembali Lai Seng dapat menghindar dengan lompatan tinggi ke atas. Tubuhnya naik dan menukik sambil kedua tangannya menyerang kepala Kiang Si Gun yang menjadi terkejut bukan main melihat gerakan yang seperti seekor burung saja cepatnya itu. Terpaksa dia melempar tongkatnya untuk melindungi kepala sehingga serangan Lai Seng juga gagal.
Karena merasa penasaran Kiang Si Gun lalu mainkan Hek-tung-hoat dengan gencar, melakukan gerakan Hek-tung-ta-kouw (Tongkat Hitam Pemukul Anjing), gerakannya cepat dan tongkat itu mengeluarkan suara berdesir ketika menyambar-nyambar secara bertubi-tubi. Akan tetapi dia menjadi semakin terkejut ketika pemuda itu menangkis tongkat dengan kedua lengannya. Terdengar suara dak-duk yang keras seolah kedua lengan pemuda itu berubah menjadi baja dan Kiang Si Gun merasa betapa kedua tangannya tergetar ketika tongkatnya bertemu lengan pemuda itu. Dia terkejut lalu memutar kembali tongkatnya, melanjutkan serangannya dengan jurus Hek-liong-hoan-bwe (Naga Hitam mengubah ekor), tongkatnya menyambar dengan pukulan kea rah pinggang lawan.
Kembali Lai Seng melompat tinggi dan kembali dia menukik untuk menyerang kepala sehingga Kiang Si Gun terdesak dan harus berlompatan mundur. Lai Seng menyerang terus dengan pukulan dan tendangannya yang dahsyat. Biar pun Kiang Si Gun berusaha untuk menangkis namun tetap saja dia terkena tendangan sehingga tubuhnya terpental dari atas panggung! Baru belasan jurus saja calon ketua ini telah di kalahkan oleh seorang anggota muda.
“Ah, Cuma sebegitu saja kemampuan seorang calon ketua?” Lai Seng mengejek.
Yang Cien merasa tidak senang. Pemuda ini sombong sekali. Memang dia melihat tadi bahwa ilmu silat pemuda itu lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Kiang Si Gun, suatu hal yang amat mengherankan. Kiang Si Gun adalah sute dari ketua Song Pa, dan pemuda itu hanyalah anggota atau anak buah yang kepandaiannya tentu hanya setingkat dengan murid sang ketua.
“Lai Seng!” Kini Song Pangcu melompat ke atas panggung. “Darimana engkau mempelajari ilmu silat yang kau pakai mengalahkan Kiang Si Gun tadi?”
“Song-pangcu, sebelum menjadi anggota Hek I Kaipang, saya sudah mempelajari banyak ilmu silat. Apakah hal ini tidak boleh!”
Song-pangcu marah sekali. “Boleh, boleh, dan aku sendiri ingin menguji kepandaianmu!”
“Aih, pangcu, lebih baik jangan. Kalau sampai pangcu kalah, tentu pangcu akan kehilangan muka dan...“
Pada saat itu, Yang Cien yang maklum bahwa pemuda itu lihai dan memang tidak semestinya seorang ketua melawan anak buahnya sendiri, telah maju dan berdiri dekat Song-pangcu. “Pangcu, apa yang di katakan Lai Seng ini benar. Dia hanya seorang anggota biasa, bagaimana akan melawan ketuanya? Kalau pangcu menghajarnya, tentu pangcu hanya akan menjadi buah tertawaan karena melawan seorang anggota muda. Aku bukan anggota, akan tetapi sahabat Hek I Kaipang, biarlah aku yang menghadapinya. Eh, orang she Lai, kalau aku mewakili Song-pangcu maju untuk menandingimu, apakah engkau berani?”
Yang Cien bersikap cerdik. Dia sengaja bertanya apakah Lai Seng berani karena dengan pertanyaan seperti itu, tentu Lai Seng tidak dapat mengajukan alasan apapun dan akan merasa malu kalau menolak, di sangka tidak berani.
“Baik, akan tetapi karena engkau mewakili Song-pangcu, kalau engkau kalah berarti aku telah mengalahkan Song-pangcu dan dengan begitu, akulah yang berhak menggantikan dia menjadi pangcu di cabang Nam-kiang ini kalau dia pergi ke pusat“
Song-pangcu sudah maklum atau setidaknya dapat menduga bahwa tamunya itu lihai sekali, maka tanpa banyak pikir lagi dia menjawab, “Baik, Lai Seng kalau engkau mampu mengalahkan Yang-Taihiap, biarlah engkau yang menjadi ketua cabang menggantikan aku. Engkau memang pantas untuk kedudukan itu“
Wajah Lai Seng berseri dan dia lalu menantang Yang Cien. “Orang asing, engkau bukan anggota Hek I Kaipang, sebelum kita bertanding, aku ingin lebih dulu mengenal namamu. Dalam pertandingan, mungkin saja orang roboh dan tewas, maka jangan sampai ada yang tewas tanpa nama“
Bukan main sombongnya, pikir Yang Cien. Akan tetapi pemuda ini pandai mengatur kata-kata sehingga ucapannya yang memandang rendah itu tidak terdengar kasar. “Dengarlah Lai Seng, namaku Yang Cien. Nah engkau majulah!”
“Engkau yang menantangku, engkau yang maju lebih dulu, Yang Cien!” kata Lai Seng. Sikap ini saja menunjukkan bahwa pemuda ini memang lihai, tahu bahwa dalam suatu pertandingan antara orang setingkat kepandaiannya, siapa maju lebih dulu berarti rugi karena setiap penyerangan berarti pula membuka diri untuk dapat di serang lawan.
Yang Cien tersenyum dan dengan sembarangan saja dia maju dan berseru. “Lihat pukulan!” tangan kirinya meluncur dan menampar kearah pipi kanan lawan.
Melihat pukulan yang sederhana ini, Lai Seng mengeluarkan suara dengus mengejek. Dia menarik mukanya ke belakang dan tiba-tiba saja dari bawah, kakinya sudah mencuat dan mengirim tendangan kilat kearah pusar Yang Cien. Semua orang terkejut karena serangan pertama ini benar-benar amat berbahaya sekali. Namun hati mereka lega melihat betapa Yang Cien juga dapat menghindarkan diri dengan amat mudah. kakinya melangkah ke kiri dan dengan sedikit miringkan tubuh, tendangan itu hanya mengenai angina belaka.
“Wuuuttt…!” kaki itu melayang cepat dan di ikuti pula oleh kaki kedua yang juga melayang dan mengejar ke mana tubuh Yang Cien bergerak. Kiranya pemuda itu melakukan tendangan berantai dan tubuhnya seperti terbang saja ketika kedua kakinya melakukan tendangan bertubi.
“Plak! Plak!“ Tangan Yang Cien menangkis dan tubuh Lai Seng agak terhuyung karena kedua kakinya terdorong dengan amat kuat. Dia terkejut dan kini senyum mengejek itu hilang dari mukanya karena dia tidak lagi berani memandang rendah lawannya.
“Bagus, engkau berisi juga!” bentaknya dan kini dia sudah menyerang kalang kabut dengan kedua tangan dan kedua kakinya. Memukul dan menendang seperti singa mengamuk.
Namun, dengan tenang Yang Cien melayani dengan elakan dan tangkisan, bahkan sempat pula membalas dan dapat di tangkis pula oleh lawannya.
“Haaiiiitttttt…!” Tiba-tiba pemuda itu mengubah gerakannya dan kini tubuhnya bergerak ke sana sini dalam bentuk pat-kwa (segi delapan) dan pukulannya mengeluarkan angin yang dahsyat. Itulah ilmu Pat-hong-hong-I (Pukulan delapan angin hujan) yang amat dahsyat.
Namun dengan ilmunya Bu-tek Cin-keng Yang Cien dengan mudah dan tenang dapat menghalau semua serangan itu. Bahkan dengan dorongan kedua telapak tangannya dia sempat membuat Lai Seng bertolak ke belakang dan terhuyung dua kali. Lai Seng menjadi semakin penasaran. Selama ini memang dia yang mengambil peran sebagai penyerang namun selalu gagal. Tiba-tiba dia melompat dan menubruk sambil menggereng seperti seekor harimau. Itulah jurus Go-houw-poksit (Macan kelaparan sambar makanan) yang dahsyat sekali. Tubuhnya melayang di udara, kaki tangannya seperti kaki harimau yang mencengkram. Kedua tangannya membentuk cakar dan kedua kakinya siap untuk menendang.
“Bagus…!“ kata Yang Cien dan ia pun dengan jurus Kong-ciak khay-peng (Merak membuka sayap) dia menghadapi serangan itu, lalu menyambut kedua tangan itu dengan tangkisan ke kanan kiri sedangkan tubuhnya bergeser ke kanan dan dari arah itu dia membalas dengan dorongan jurus Te-tiu-kim-ciang (Mendorong roboh lonceng emas).
Kembali tubuh Lai Seng tidak kuat menerima hawa dorongan itu dan diapun terhuyung ke samping. Dia menjadi marah, begitu tubuhnya sudah dapat memulihkan keseimbangannya, dia menyerang dengan gerakan Siauw-cu-twi (Tendangan berantai). Kedua kakinya seperti kitiran, kanan kiri terus menendang tanpa dapat di hentikan.
Yang Cien menjadi gemas juga. Sudah beberapa kali dia membuat lawan ini terdorong dan terhuyung, akan tetapi Lai Seng tetap tidak mau mengaku kalah dan bahkan menyerang lebih dahsyat. Dia lalu mengerahkan tenaga Bu-tek Cin-keng, menangkis kedua kaki itu sambil mendorong.
“Brukkk...!” Tubuh Lai Seng terpelanting dan terdorong roboh terjengkang.
Sorak-sorak dan tepuk tangan riuh rendah menyambut kemenangan Yang Cien ini. Akan tetapi agaknya Lai Seng adalah seorang pemuda yang tinggi hati dan selama ini tidak pernah menemui tanding. Juga dia kecewa karena dia sudah memperhitungkan bahwa kalau Song-pangcu yang maju, dia pasti menang. Kini, tanpa di sangka-sangka, muncul seorang pemuda asing yang mengalahkannya. Dia meloncat lagi dan ketika tangannya bergerak ke bawah bajunya, dia telah mencabut sebatang suling perak yang berkilauan putih.
“Yang Cien, dalam hal ilmu tangan kosong, aku kalah setingkat. Akan tetapi aku menantangmu untuk menggunakan senjata. Engkau boleh memilih senjata apa saja!” tantangnya dengan sikap congkak, agaknya suling perak itu merupakan senjata yang amat di andalkan dan ampuh.
Yang Cien juga maklum bahwa sebetulnya pemuda ini memiliki ilmu yang tinggi. Kalau dia tidak mempelajari Bu-tek Cin-keng, tentu diapun akan kalah. Kini, pemuda itu mengeluarkan senjata suling, tentu senjata itupun ampuh sekali. Maka, tanpa ragu dia mengeluarkan pedangnya dari buntalan pakaian yang di tinggalkan di atas meja. Begitu dia mencabut pedangnya, semua orang berseru kagum. Sinar putih berkelebat dan pedang putih berkilauan, bahkan lebih menyilaukan dibandingkan suling perak di tangan Lai Seng.
“Nah, Lai Seng, aku sudah siap!” kata Yang Cien sambil melintangkan pedangnya di depan dada dan mengangkat tangan kirinya ke atas menunjuk langit.
“Lihat senjata!” bentak Lai Seng dan dia mulai memainkan sulingnya yang panjangnya sama dengan pedang itu. Terdengar suara melengking nyaring ketika suling itu bergerak dan berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung. Akan tetapi sinar putih kedua juga bergulung-gulung dan kini beberapa kali terdengar suara berdentingan dan nampaklah bara api berpijar-pijar menyilaukan mata. Kedua orang pemuda itu sudah saling serang dengan hebat.
Sebetulnya, kalau Yang Cien menghendaki, dengan tangan kosong pun dia akan mampu mengalahkan lawannya yang memegang suling. Akan tetapi dia tidak mau kelihatan congkak seperti lawannya, maka dia melayaninya dengan Pek-liong Po-kiam di tangan. Setelah lewat belasan jurus, Yang Cien mengerahkan tenaga Bu-tek Cin-keng dan menggerakkan pedangnya. Pedang menyambar dahsyat bertemu dengan suling dan terdengar suara keras.
“Traaanngggg… Traakkk…!”
Lai Seng memekik, melompat mundur dan terhuyung, tangannya berdarah karena terluka dan sulingnya patah menjadi dua potong. Ternyata dia hanya mampu bertahan sampai belasan jurus saja. Dengan mata mencorong dia memandang Yang Cien kemudian dia melompat dari atas panggung, melompat jauh dan melarikan diri dari tempat itu.
“Haiii, tunggu…!!” Teriak Song Pangcu yang hendak mengejar, akan tetapi Yang Cien berkata,
“Tak usah di kejar, pangcu. Kurasa dia itu bukan anggota Hek I Kaipang yang sesungguhnya“
“Ahh… Benar katamu itu taihiap! Ilmunya begitu hebat, dan sekarang aku baru menyadari bahwa dia tentulah seorang mata-mata dari Kok-su yang menyeludup. Lima bulan yang lalu dia di bawa seorang anggota yang mengatakan bahwa pengemis muda itu menyatakan hendak bergabung dan masuk menjadi anggota Hek I Kaipang. Karena sikapnya amat baik dan sopan, kami pun merasa tidak berkeberatan untuk menerimanya sebagai anggota dan selama ini diapun nampak baik dan tidak mencurigakan. Siapa tahu, agaknya dia mengincar kedudukan ketua cabang dan hanya menanti kesempatan saja. Aku yakin bahwa dia tentulah seorang anak buah Koksu yang memang banyak tersebar di mana-mana“
“Hemm, kalau di cabang Kok-su mengirim orang untuk menguasai kedudukan ketua, apalagi di pusat. Bagaimana kau pikir, Song-pangcu?”
Song-pangcu menjadi berubah air mukanya. “Aah, aku belum berpikir sejauh itu, taihiap. Akan tetapi Cu Lokai, yaitu pangcu dari Hek I Kaipang pusat di kota raja, memanggil aku untuk membantunya, aku merasa heran juga. Entah apa maksud Cu Lokai memanggil aku. Sekarang, mendengar pendapatmu tadi, aku merasa khawatir juga“
“Song-pangcu, kapan engkau akan berangkat ke kota raja?”
“Sekarang juga dan sudah ku putuskan bahwa Kiang Si Gun menjadi ketua cabang, di bantu oleh Phang Kim dan Ciok Kui, agar kedudukannya lebih kuat“
“Kalau begitu, aku akan menyertaimu, pangcu. Aku juga ingin melihat-lihat keadaan di kota raja“
“Bagus sekali kalau begitu, taihiap. Kekhawatiranku jadi lenyap seketika dan aku yakin bahwa engkau yang akan dapat membantu apa bila terjadi kesulitan menimpa Hek I Kaipang“
Demikianlah, setelah mengatur perkumpulan itu dan meninggalkan pesan-pesan, Song-pangcu lalu berangkat bersama Yang Cien meninggalkan Nam-kiang menuju ke kota raja...
********************