Lui Koksu duduk di ruangan dalam bersama Thian-te Ciu-kwi dan Cian Kauw Cu. “Aku baru saja kembali dari istana dan karena tugas kita sekali ini berat, maka aku memanggil kalian untuk ku ajak berunding“
“Tugas apakah itu, Giam-ong?” Tanya Thian-te Ciu-kwi yang biasa menyebut Koksu itu Giam-ong begitu saja kalau sedang berada berdua saja. Kalau di depan umum, tentu saja dia menyebut Koksu untuk menjaga martabat dan kehormatan sang Koksu.
“Kami mendengar bahwa Gubernur Yen di timur sedang mengumpulkan kekuatan secara diam-diam dan hal ini amat mencurigakan. Kalau sampai Gubernur Yen memberontak, maka amatlah berbahaya. Karena itu sebelum hal ini terjadi, kita harus lebih dahulu menyelidiki sampai dimana kebenaran berita itu. Kalau sudah yakin benar barulah kita akan menggempurnya sebelum dia sempat bertindak lebih jauh. Dan untuk tugas ini sebaiknya ku serahkan kepada Kauw Cu. Kalau engkau yang pergi, Ciu-kwi, engkau di timur sudah di kenal sebagai datuk dan gerak-gerikmu tidaklah leluasa lagi. Aku sudah berunding dengan Perdana Menteri Ji dan beliau juga sudah menyetujui kalau aku mengutus Kauw Cu yang melakukan penyelidikan“
“Hemm, muridku ini dalam hal ilmu silat memang sudah boleh sekali di andalkan, akan tetapi dalam urusan menyelidik dia kurang pengalaman“
“Justeru sekarang dia memperoleh pengalaman. Kauw Cu beranikah engkau melaksanakan tugas ini? Engkau menyelidiki keadaan Gubernur Yen, apa betul dia mempersiapkan pasukan besar dan apa betul dia memiliki rencana untuk memberontak terhadap kerajaan“
“Tentu saja saya berani, taijin. Suhu, saya akan melaksanakan tugas dengan baik dan saya akan berhati-hati“ kata Akauw gembira karena dia merasa bosan kalau harus menganggur saja di kota raja. Dengan tugas itu, dia akan memperoleh pengalaman yang menarik. Apa sih sukarnya melakukan penyelidikan? Bertanya-tanya, mendengar dan melihat!
“Baiklah, kalau memang engkau merasa sanggup. Akan tetapi berhati-hatilah, Akauw. Karena di Timur banyak terdapat orang pandai. Kalau kalau sewaktu engkau mengalami kesukaran, asalkan engkau menyebut namaku sebagai guru, kiranya tidak sembarang orang akan berani mengganggumu“
“Baik, suhu...“ Demikianlah, setelah berkemas, membawa pakaian, Pedang Naga Hitam, sejumlah uang untuk bekal di perjalanan dan berpakaian biasa bukan sebagai panglima melainkan sebagai petani biasa, berangkatlah Akauw meninggalkan kota raja.
Pemuda ini tidak menarik perhatian orang. Seorang pemuda tinggi besar yang bertubuh kokoh kekar, kulit mukanya kecoklatan gelap, menggendong buntalan pakaian warna kuning! Alisnya tebal dan hitam melindungi sepasang mata yang lebar dan sinarnya tajam mencorong, hidungnya mancung dan besar, dengan mulut dan bibirnya menunjukkan kekerasan hatinya. Dagunya berlekuk dan tulang pipinya menonjol. Wajahnya jantan, daya tariknya terletak kepada kejantanan dan kekerasannya. Pakaiannya seperti seorang petani biasa. Dan pedangnya dia sembunyikan di dalam buntalan pakaian itu. Langkahnya tegap, seperti langkah harimau dan sikapnya membuat orang jahat berpikir dua kali sebelum berani mengganggunya.
Belum dua li meninggalkan pintu gerbang timur kota raja, melalui jalan yang sunyi, terdengar orang memanggilnya, “Akauw... Berhenti dulu, Akauw…!”
Akaw berhenti dan menengok, wajahnya berseri karena dia mengenal suara itu. Suara yang sudah lama dia rindukan, suara seorang sahabat baiknya yang hanya sempat dikenalnya dalam waktu singkat saja. “Bi Soan!” teriaknya dengan girang ketika dia melihat pemuda remaja itu berlari-lari mendatangi.
Pemuda remaja itu nampak sehat, akan tetapi pakaiannya lebih bersih daripada biasanya, walaupun masih penuh tambalan. Wajahnya berseri ketika dia memandang kepada Akauw. “Hei, Akauw, engkau hendak kemanakah?”
“Aku? Aku hendak pergi ke Lok-yang dan engkau kemana saja selama ini, Bi Soan? Kenapa ketika aku melihatmu dulu, ku panggil-panggil engkau malah melarikan diri?”
“Benarkah engkau memanggilku? Aku tidak mendengarnya. Mau apa engkau ke Lok-yang, Akauw?”
“Merantau, mau apa lagi? Aku memang perantau dan senang berpesiar“
“Akauw, aku ikut denganmu!”
Wajah Akauw berseri tanda bahwa dia merasa gembira sekali. “Betulkah? Baik, aku senang sekali kalau engkau mau pergi bersamaku, Bi Soan. Ada temanku dalam perjalanan“
“Akauw, aku kau anggap sebagai teman?”
“Ya, tentu saja. Temanku yang paling baik, sahabatku yang selama ini ku kenang dan ku rindukan“
“Eh? Kenapa?”
“Kenapa apa?”
“Kenapa seorang pemuda merindukan pemuda lain?”
“Apa tidak boleh? Aku senang sekali bergaul denganmu, maka aku rindu kepadamu. Dan sekarang, engkau ingin melakukan perantauan bersamaku, tentu saja aku senang sekali“
“Akauw, engkau percaya kepadaku?”
“Tentu saja, engkau sahabat baik, ingat ketika kita di kejar-kejar orangnya jaksa gendut itu?”
Bi Soan tertawa dan Akauw menganggumi sederetan gigi yang seperti mutiara itu. Pemuda remaja yang pakaiannya tambal-tambalan dan mukanya kusut dengan rambut awut-awutan itu ternyata memiliki wajah yang tampan sekali.
“kalau engkau percaya, kuharap engkau menceritakan riwayat dirimu. Engkau darimana, asal mana, siapa orang tuamu dan bagaimana bisa sampai ke Tiang-an? Ayo ceritakan semua, kalau tidak berarti engkau tidak percaya padaku dan aku akan marah“
“Eh, jangan marah Bi Soan. Tentu saja aku mau bercerita. Akan tetapi aku takut engkau tidak percaya dan marah kepadaku. Aku khawatir engkau tidak percaya kepadaku“
“Ah, mengapa begitu? Orang seperti engkau ini pasti jujur dan tidak suka berbohong“
“Bagaimana kalau kita berteduh di bahwa pohon sana itu? Dengan duduk berteduh, akan lebih enak aku bercerita, tidak sambil berjalan begini“
“Baiklah, mari kita duduk di sana. Matahari telah naik tinggi dan panasnya bukan main“
Mereka duduk di bawah pohon dan Akauw mengeluarkan sebuah guci dari dalam buntalannya. “Engkau haus? Minumlah!” Dia menawarkan.
“Ah, aku tidak begitu suka minum arak, apalagi dalam keadaan cuaca panas begini“
“Bukan arak, biarpun gucinya guci arak, isinya air teh!” kata Akauw sambil tertawa dan Bi Soan juga tertawa lalu minum dari mulut guci. Setelah Bi Soan minum, Akauw juga minum, barulah dia bercerita.
“Pertama-tama, namaku Cian Kauw Cu, biasa di sebut Akauw saja, dan orang tuaku… Aku tidak pernah mengenalnya“
“Ah, masa? Engkau bohong...!”
“Nah, nah. Apa kataku tadi, aku khawatir engkau menganggap aku berbohong, baru satu kalimat ku keluarkan engkau sudah menuduhku bohong!” kata Akauw sedih.
Melihat wajah yang gagah itu tiba-tiba berubah sedih, Bi Soan lalu memegang tangan Akauw. “Maafkan, bukan makduku menuduh, tapi bagaimana mungkin orang tidak pernah mengenal ayah ibunya sendiri?
“Sungguh mati, aku tidak pernah mengetahui siapa ayah ibuku, tidak pernah melihat mereka dan tidak tahu mereka itu siapa“
“Lalu, kenapa engkau mempunyai nama dan mempunyai nama keluarga Cian?”
“Oh, itu? Nama keluargaku di ambil dari kalung yang ku pakai ini. Aku menemukan kalung ini, ku pakai dan selanjutnya oleh Aki aku di sebut Cian Kauw Cu“
“Aki, siapa pula itu?”
“Namanya Boan Ki, akan tetapi aku biasanya memanggilnya Aki. Dialah manusia pertama yang ku jumpai dan yang mengajarku bicara“
“Eh? Apa pula ini? Manusia pertama... mengajarmu bicara… apa sih artinya?”
“Dengarkan sajalah Bi Soan, dan engkau akan mengerti. Kalau selalu kau potong-potong begini, takkan ada habisnya ceritaku nanti. nah sebenarnya begini, sejak kecil sekali, sejak aku dapat ingat, aku adalah anak seekor kera besar…“
“Waahhh, mana mungkin!” Bi Soan berteriak, sedemikian kerasnya sampai Akauw sendiri kaget mendengarnya.
“Nah, nah, mulai lagi!”
“ya, sudahlah, berceritalah. Seperti dongeng saja riwayatmu, Akauw! Akauw! Namamu ini… Akauw…“
“Memang, namaku juga Kauw-cu (monyet), sesuai dengan keadaanku waktu itu. Ku lanjutkan ceritaku. Aku tidak tahu apakah aku ini anak monyet, yang jelas, sejak kecil aku hidup di antara kera-kera besar. Aku tentu saja mempunyai kebiasaan seperti kera, dalam hal makan, berloncatan ke pohon-pohon, bahkan bicara dan kera-kera itu memberi nama aku… Kercak“
“Apa?”
“Kercak!” ketika mengeluarkan kata atau nama itu, suara Akauw memang suara monyet sehingga sukar di tangkap oleh Bi Soan.
“Ya sudahlah, lalu bagaimana?”
“Sejak kecil sekali sampai berusia kurang lebih sepuluh tahun aku hidup seperti monyet. Aku menemukan kalung ini pada tulang kerangka manusia dan ku pakai kalung ini, juga aku menemukan sebatang golok. Setelah aku berusia sepuluh tahun, aku melihat dua rombongan manusia masuk ke Lembah Iblis dan mereka bertempur saling serang. Banyak orang tewas dan setelah mereka yang menang pergi, ada seorang di antara mayat-mayat itu yang tidak mati. Dia adalah Aki dan sejak itu, Aki yang mengajarku bicara seperti manusia, bahkan memberi nama Cian Kauw Cu kepadaku“
“Ahhh, luar biasa sekali! Kisahmu ini seperti dongeng dan kalau bukan aku, tentu orang tidak akan percaya kepadamu"
“Jadi, kau percaya padaku, Bi Soan?”
“Percaya sekali!”
Tiba-tiba sepasang lengan yang panjang dan besar itu memeluk tubuh Bi Soan yang kecil sehingga tubuh itu tenggelam ke dalam rangkulan dan di tekan-tekan seperti akan remuk rasanya. Akan tetapi sekali meronta, Bi Soan dapat terlepas dari rangkulan itu dan mukanya berubah merah sekali matanya mencorong ketika dia bangkit berdiri.
“Akauw, aku larang engkau memeluk aku seperti itu lagi! Kalau sekalai lagi kau lakukan itu, aku akan pergi meninggalkanmu!”
Akauw terbelalak. “Ah, tidak… Tidak akan ku lakukan lagi. Akan tetapi kenapa, Bi Soan? Aku memelukmu karena kegirangan bahwa engkau percaya kepadaku“
“Girang ya girang, akan tetapi jangan memeluk seperti itu. Di rangkul dan di tekan seperti itu, bisa remuk semua tulangku, tahu? Sudah, lanjutkan ceritamu yang menarik tadi“
“Sampai tiga tahun lamanya Aki tinggal bersamaku di hutan, akan tetapi aku semakin tahu setelah dia mengajari aku bicara dan tentang segala kehidupan manusia, bahwa dia seorang yang jahat. Malah suatu hari, dia bermaksud untuk membunuhku!”
“Ihhh, engkau yang menolong sehingga dia tetap hidup, lalu dia hendak membunuhmu?“ Bi Soan berseru kaget. “Betapa jahatnya? Akan tetapi kenapa dia hendak membunuhmu Akauw?“
Hampir saja Akauw bercerita tentang emas, akan tetapi dia teringat akan pesan suhengnya agar tidak bercerita kepada siapapun juga tentang guha-guha itu, maka dia lalu menjawab, “Mungkin dia bosan dengan aku dan hendak hidup sendiri. Akan tetapi untung sekali pada saat yang gawat itu muncullah suhu dan suheng“
“Kau punya suhu dan suheng? Siapa mereka?”
“Tadinya tidak punya. Seorang kakek tua dan seorang pemuda muncul menolongku dari ancaman Aki yang kemudian tewas terjatuh ke dalam jurang. Aku lalu berguru kepada kakek itu dan si pemuda menjadi suhengku. Guruku itu bernama Yang Kok It dan suhengku itu cucunya, bernama Yang Cien“
“Yang Kok It? Hemmm, rasanya nama itu tidak asing bagiku, seperti pernah aku mendengarnya. Lalu bagaimana, Akauw? Ceritamu semakin menarik saja“
Karena menerima pujian dari sahabatnya yang amat di sayangnya itu, Akauw menjadi semakin bersemangat untuk bercerita. “Aku dan suheng belajar ilmu silat dari Suhu Yang Kok It sampai suhu meninggal dunia karena usia tua. Kemudian, aku masih tinggal lagi berdua saja dengan suheng di Lembah Iblis, kemudan aku pergi merantau sampai di sini“
“Dan di sini engkau bekerja membantu Koksu, ya?”
Akauw terkejut. Dia sedang bertugas dalam penyelidikan, maka dia harus merahasiakan pekerjaannya. Tak di sangka bahwa sahabatnya ini telah mengetahuinya. “Eh, bagaimana engkau dapat tahu?”
Bi Soan tersenyum mengejek. “Tentu saja aku tahu segalanya, aku mempunyai banyak sahabat di antara kaum pengemis. Akauw, belum lama ini kita bicara tentang para pembesar dan pejabat yang korup dan menindas rakyat dan sekarang engkau menjadi seorang pembesar!” suaranya terdengar mencela.
”Aku tidak menjadi pembesar! Aku... aku hanya terpaksa ikut dengan suhu dan di perbantukan kepada Koksu Lui. Aku bersumpah tidak akan melakukan kejahatan, tidak akan membantu kalau Koksu menindas rakyat“
“Hem, engkau agaknya belum tahu orang macam apa Koksu Lui itu. Dan sekarang ini, engkau melaksanakan tugas apakah?”
“Bi Soan, sahabatku, jangan bertanya tentang tugasku, ini tugas rahasia. Tak boleh seorangpun boleh mengenal bahwa aku bekerja untuk Koksu Lui, apalagi nanti di Lok-yang“
“Hemm, aku sudah tahu tanpa kau beritahu . Dan kita akan melakukan perjalanan bersama ke Lok-yang, bukan? Bagaimana aku dapat membantumu kalau aku tidak mengetahui apa tugasmu? Aku harus tahu karena kalau tugas itu untuk menindas rakyat aku tidak sudi bekerjasama denganmu!”
“Tidak, tidak, Bi Soan-te (adik Bi Soan). Aku hanya mendapat tugas untuk melakukan penyelidikan terhadap Gubernur Yen di Lok-yang karena menurut para penyelidik, Gubernur Liu itu bermaksud untuk menyusun kekuatan dan memberontak terhadap pemerintah“
“Benarkah itu, Akauw?” Kini sikap Bi Soan nampak sungguh-sungguh.
“Begitulah yang di katakan oleh Koksu. Oleh karena itu Koksu dan suhu mengutus aku pergi ke Lok-yang dan melakukan penyelidikan seksama akan kebenaran berita itu. Kalau memang benar gubernur itu hendak memberontak, sebelum dia bergerak, akan lebih dulu di serbu dan di gagalkan pemberontakannya“
Bi Soan mengangguk-angguk. “Wah, kalau begitu tugasmu itu penting sekali, Akauw. Apakah engkau pernah ke Lok-yang? Sudahkah engkau mengenal keadaan dan daerah itu?”
Akauw memandang bodoh dan menggeleng kepalanya. Bi Soan menarik napas panjang. “Aih, kenapa Lui Koksu begitu bodoh menyuruh seseorang yang sama sekali belum mengenal medannya? Sudahlah, biar aku menyertai dan membantumu Akauw. Aku sudah hafal betul keadaan di Lok-yang“
Bukan main girangnya hati Akauw. “Terima kasih, Bi Soan. Aku tahu sejak semula bahwa engkau adalah seorang sahabat sejati yang amat baik kepadaku. Nah, sekarang engkau yang mendapat giliran menceritakan riwayat hidupmu kepadaku, agar akupun dapat mengenal dirimu dengan baik“
“Aku? Ah, tidak ada apa-apanya yang menarik mengenai diriku. Aku hidup sebatangkara, seorang gelandangan yang tidak tentu tempat tinggalnya, hidup bebas lepas seperti seekor burung gereja.“ Bi Soan bangkit berdiri, mengembangkan kedua tangannya seperti seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya. “Mari kita lanjutkan perjalanan, Akauw“
“Eh, nanti dulu, Bi Soan. Engkau belum menceritakan siapa orang tuamu dan dimana mereka tinggal!” kata Akauw yang ikut pula berdiri.
“Aku Bi Soan tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai siapapun di dunia ini kecuali mempunyai seorang sahabat yang bernama Akauw! Nah, itulah Bi Soan yang kau kenal, Akauw dan jangan tanya apa-apa lagi karena engkau hanya membuat hatiku menjadi sedih saja“
Akauw merasa terharu. “Aih, kasihan sekali engkau, Bi Soan. Karena engkau tidak mempunyai orang tua lagi“
“Dan engkau? Engkaupun tidak mempunyai orang tua. Sudahlah, jangan merasa iba kepada orang lain kalau keadaan mu sendiri sama. Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan agar jangan terlalu lama membuang waktu di sini“
Akauw terpaksa melepaskan kedua tangan Bi Soan yang dipegangnya tadi karena dia merasa iba kepada kawan ini, karena Bi Soan kini merenggutkan kedua tangannya dan pemuda remaja itu sudah berjalan meninggalkannya.
“Heeiii, tunggu Bi Soan“ kata Akauw yang terpaksa mengerahkan tenaganya karena ternyata Bi Soan dapat berlari cepat sekali. Dia terkejut juga dan menduga bahwa kawannya itu agaknya mengerti pula ilmu silat dan belum menceritakan tentang ilmunya itu, dan siapa pula gurunya.
Akauw merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan Bi Soan dan melakukan tugasnya di bantu oleh pemuda remaja itu. Karena andaikata tidak di bantu Bi Soan, tentu dia akan mengalami banyak kesukaran. Bi Soan mengenal baik kota Lok-yang dan ternyata pemuda remaja yang mengaku gelandangan ini cerdik bukan main. Bahkan setelah mereka berada di Lok-yang, Bi Soan lah yang seolah menjadi pemimpin. Karena kepandaian Bi Soan yang cerdik, maka Akauw dapat melakukan penyelidikan dengan baik.
Dan benar saja, dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa banyaknya pemuda-pemuda dusun yang berbondong-bondong datang untuk mendaftarkan dirii sebagai prajurit. Gubernur Yen benar-benar hendak memperkuat pasukannya di Lok-yang, tentu saja dengan bekerjasama dengan para panglima di Lok-yang. Akan tetapi, ini saja belum menjadi bukti bahwa gubernur itu hendak memberontak. Padahal inti tugas Akauw adalah untuk menyelidiki apakah benar gubernur itu akan memberontak dan dia harus dapat memperoleh buktinya.
“Jangan khawatir, kita harus tekun dan sabar menanti dan mengintai, siapa tahu akan tiba saatnya kita dapat peroleh bukti itu.“ kata Bi Soan ketika Akauw menyatakan kekesalannya karena dia tidak melihat suatu cara untuk mendapatkan bukti itu. Tadinya dia bermaksud memasuki rumah gubernur itu sebagai pencuri dan memeriksa ke kamarnya untuk mencari bukti, akan tetapi keinginannya ini di larang oleh Bi Soan.
“Kau gila? Memasuki rumah gubernur sedangkan rumah itu di jaga ketat! Selain amatlah sukar untuk dapat memasuki kamarnya, juga besar sekali kemungkinan engkau akan di tangkap dan kalau hal itu terjadi, bahkan baru dipergoki saja, maka gagallah semua usahamu“
“Habis, bagaimana kita dapat memperoleh bukti itu, Soan-te?”
“Kauw-ko (Kakak Kauw), kiranya ada satu jalan saja yang memungkinkan engkau berhasil. Kita mendaftarkan diri sebagai prajurit!”
“Ahhh…??? Bukankah itu malah berbahaya sekali?”
“Apa bahayanya? Kau lihat, banyak pemuda mendaftarkan diri, dari segala golongan bahkan terbanyak dari dusun, Kita mengaku dari dusun dan mendaftarkan diri, kalau di uji kau jangan menonjolkan kekuatan atau kepandaianmu, biasa-biasa saja. Nah, kalau kita sudah menjadi calon prajurit, tentu akan mudah bagi kita untuk melihat dan memperoleh bukti“
“Wah, kalau begitu bagus sekali, Soan-te (Adik Soan). Mari kita mendaftarkan diri sekarang juga“
“Akan tetapi janji, kita tidak boleh berpisah dan kalau memperoleh kamar di barak, kita harus sekamar“
“Tentu, tentu“
“Dan seperti biasa, engkau tidur di bawah dan aku di atas“
“Engkau ini memang aneh. Di rumah penginapan pun engkau selalu mengusir aku dari pembaringan. Engkau ini pemuda remaja yang amat aneh“
“Tidak aneh. Engkau tahu sendiri bahwa aku tidak bisa tidur kalau ada teman di dekatku. Kalau engkau tidak mau turun dari pembaringan, biar aku yang tidur di bawah dan pembaringannya boleh kau pakai sendiri“
“Wah, jangan nagmbek, Soan-te. Engkau ini kadang membuat aku tidak mengerti. Tidur tidak mau di dekati, bahkan kalau mandi engkau minta terpisah“
“Engkau yang tidak tahu malu. Kita bukan kanak-kanak lagi, bagaimana mungkin mandi bersama? Ih, memalukan!” Bi Soan kelihatan marah.
“Sudahlah, maafkan aku, Soan-te. Aku tidak akan memaksamu mandi dan tidur bersama. Nah, mari kita mendaftarkan“
Keduanya lalu ikut dengan rombongan pemuda yang berbondong itu menuju ke benteng untuk mendaftarkan diri. Mereka ikut berdiri dalam antrian panjang dan setelah mereka di daftar sebagai Cian Kauw Cu dan Bi Soan, mereka memperoleh sebungkus pakaian tentara dan mendapatkan petunjuk dimana letak kamar di barak. Ternyata tidak di adakan ujian sama sekali dan ini berarti bahwa siapa saja dapat di terima sebagai prajurit dan agaknya Gubernur Yen benar-benar membutuhkan pasukan yang sebesar-besarnya.
Baru setelah mereka tinggal di barak, mereka memperoleh latihan dari seorang perwira. Latihan berbaris, latihan gerakan silat dalam pertempuran. Akauw memandang kagum ketika temannya mengenakan pakaian tentara. Memang kecil tubuhnya, akan tetapi dia nampak tampan sekali! Dan dalam latihan pertempuran, juga Bi Soan kelihatan lincah dan tidak kalah oleh yang lain...
“Tugas apakah itu, Giam-ong?” Tanya Thian-te Ciu-kwi yang biasa menyebut Koksu itu Giam-ong begitu saja kalau sedang berada berdua saja. Kalau di depan umum, tentu saja dia menyebut Koksu untuk menjaga martabat dan kehormatan sang Koksu.
“Kami mendengar bahwa Gubernur Yen di timur sedang mengumpulkan kekuatan secara diam-diam dan hal ini amat mencurigakan. Kalau sampai Gubernur Yen memberontak, maka amatlah berbahaya. Karena itu sebelum hal ini terjadi, kita harus lebih dahulu menyelidiki sampai dimana kebenaran berita itu. Kalau sudah yakin benar barulah kita akan menggempurnya sebelum dia sempat bertindak lebih jauh. Dan untuk tugas ini sebaiknya ku serahkan kepada Kauw Cu. Kalau engkau yang pergi, Ciu-kwi, engkau di timur sudah di kenal sebagai datuk dan gerak-gerikmu tidaklah leluasa lagi. Aku sudah berunding dengan Perdana Menteri Ji dan beliau juga sudah menyetujui kalau aku mengutus Kauw Cu yang melakukan penyelidikan“
“Hemm, muridku ini dalam hal ilmu silat memang sudah boleh sekali di andalkan, akan tetapi dalam urusan menyelidik dia kurang pengalaman“
“Justeru sekarang dia memperoleh pengalaman. Kauw Cu beranikah engkau melaksanakan tugas ini? Engkau menyelidiki keadaan Gubernur Yen, apa betul dia mempersiapkan pasukan besar dan apa betul dia memiliki rencana untuk memberontak terhadap kerajaan“
“Tentu saja saya berani, taijin. Suhu, saya akan melaksanakan tugas dengan baik dan saya akan berhati-hati“ kata Akauw gembira karena dia merasa bosan kalau harus menganggur saja di kota raja. Dengan tugas itu, dia akan memperoleh pengalaman yang menarik. Apa sih sukarnya melakukan penyelidikan? Bertanya-tanya, mendengar dan melihat!
“Baiklah, kalau memang engkau merasa sanggup. Akan tetapi berhati-hatilah, Akauw. Karena di Timur banyak terdapat orang pandai. Kalau kalau sewaktu engkau mengalami kesukaran, asalkan engkau menyebut namaku sebagai guru, kiranya tidak sembarang orang akan berani mengganggumu“
“Baik, suhu...“ Demikianlah, setelah berkemas, membawa pakaian, Pedang Naga Hitam, sejumlah uang untuk bekal di perjalanan dan berpakaian biasa bukan sebagai panglima melainkan sebagai petani biasa, berangkatlah Akauw meninggalkan kota raja.
Pemuda ini tidak menarik perhatian orang. Seorang pemuda tinggi besar yang bertubuh kokoh kekar, kulit mukanya kecoklatan gelap, menggendong buntalan pakaian warna kuning! Alisnya tebal dan hitam melindungi sepasang mata yang lebar dan sinarnya tajam mencorong, hidungnya mancung dan besar, dengan mulut dan bibirnya menunjukkan kekerasan hatinya. Dagunya berlekuk dan tulang pipinya menonjol. Wajahnya jantan, daya tariknya terletak kepada kejantanan dan kekerasannya. Pakaiannya seperti seorang petani biasa. Dan pedangnya dia sembunyikan di dalam buntalan pakaian itu. Langkahnya tegap, seperti langkah harimau dan sikapnya membuat orang jahat berpikir dua kali sebelum berani mengganggunya.
Belum dua li meninggalkan pintu gerbang timur kota raja, melalui jalan yang sunyi, terdengar orang memanggilnya, “Akauw... Berhenti dulu, Akauw…!”
Akaw berhenti dan menengok, wajahnya berseri karena dia mengenal suara itu. Suara yang sudah lama dia rindukan, suara seorang sahabat baiknya yang hanya sempat dikenalnya dalam waktu singkat saja. “Bi Soan!” teriaknya dengan girang ketika dia melihat pemuda remaja itu berlari-lari mendatangi.
Pemuda remaja itu nampak sehat, akan tetapi pakaiannya lebih bersih daripada biasanya, walaupun masih penuh tambalan. Wajahnya berseri ketika dia memandang kepada Akauw. “Hei, Akauw, engkau hendak kemanakah?”
“Aku? Aku hendak pergi ke Lok-yang dan engkau kemana saja selama ini, Bi Soan? Kenapa ketika aku melihatmu dulu, ku panggil-panggil engkau malah melarikan diri?”
“Benarkah engkau memanggilku? Aku tidak mendengarnya. Mau apa engkau ke Lok-yang, Akauw?”
“Merantau, mau apa lagi? Aku memang perantau dan senang berpesiar“
“Akauw, aku ikut denganmu!”
Wajah Akauw berseri tanda bahwa dia merasa gembira sekali. “Betulkah? Baik, aku senang sekali kalau engkau mau pergi bersamaku, Bi Soan. Ada temanku dalam perjalanan“
“Akauw, aku kau anggap sebagai teman?”
“Ya, tentu saja. Temanku yang paling baik, sahabatku yang selama ini ku kenang dan ku rindukan“
“Eh? Kenapa?”
“Kenapa apa?”
“Kenapa seorang pemuda merindukan pemuda lain?”
“Apa tidak boleh? Aku senang sekali bergaul denganmu, maka aku rindu kepadamu. Dan sekarang, engkau ingin melakukan perantauan bersamaku, tentu saja aku senang sekali“
“Akauw, engkau percaya kepadaku?”
“Tentu saja, engkau sahabat baik, ingat ketika kita di kejar-kejar orangnya jaksa gendut itu?”
Bi Soan tertawa dan Akauw menganggumi sederetan gigi yang seperti mutiara itu. Pemuda remaja yang pakaiannya tambal-tambalan dan mukanya kusut dengan rambut awut-awutan itu ternyata memiliki wajah yang tampan sekali.
“kalau engkau percaya, kuharap engkau menceritakan riwayat dirimu. Engkau darimana, asal mana, siapa orang tuamu dan bagaimana bisa sampai ke Tiang-an? Ayo ceritakan semua, kalau tidak berarti engkau tidak percaya padaku dan aku akan marah“
“Eh, jangan marah Bi Soan. Tentu saja aku mau bercerita. Akan tetapi aku takut engkau tidak percaya dan marah kepadaku. Aku khawatir engkau tidak percaya kepadaku“
“Ah, mengapa begitu? Orang seperti engkau ini pasti jujur dan tidak suka berbohong“
“Bagaimana kalau kita berteduh di bahwa pohon sana itu? Dengan duduk berteduh, akan lebih enak aku bercerita, tidak sambil berjalan begini“
“Baiklah, mari kita duduk di sana. Matahari telah naik tinggi dan panasnya bukan main“
Mereka duduk di bawah pohon dan Akauw mengeluarkan sebuah guci dari dalam buntalannya. “Engkau haus? Minumlah!” Dia menawarkan.
“Ah, aku tidak begitu suka minum arak, apalagi dalam keadaan cuaca panas begini“
“Bukan arak, biarpun gucinya guci arak, isinya air teh!” kata Akauw sambil tertawa dan Bi Soan juga tertawa lalu minum dari mulut guci. Setelah Bi Soan minum, Akauw juga minum, barulah dia bercerita.
“Pertama-tama, namaku Cian Kauw Cu, biasa di sebut Akauw saja, dan orang tuaku… Aku tidak pernah mengenalnya“
“Ah, masa? Engkau bohong...!”
“Nah, nah. Apa kataku tadi, aku khawatir engkau menganggap aku berbohong, baru satu kalimat ku keluarkan engkau sudah menuduhku bohong!” kata Akauw sedih.
Melihat wajah yang gagah itu tiba-tiba berubah sedih, Bi Soan lalu memegang tangan Akauw. “Maafkan, bukan makduku menuduh, tapi bagaimana mungkin orang tidak pernah mengenal ayah ibunya sendiri?
“Sungguh mati, aku tidak pernah mengetahui siapa ayah ibuku, tidak pernah melihat mereka dan tidak tahu mereka itu siapa“
“Lalu, kenapa engkau mempunyai nama dan mempunyai nama keluarga Cian?”
“Oh, itu? Nama keluargaku di ambil dari kalung yang ku pakai ini. Aku menemukan kalung ini, ku pakai dan selanjutnya oleh Aki aku di sebut Cian Kauw Cu“
“Aki, siapa pula itu?”
“Namanya Boan Ki, akan tetapi aku biasanya memanggilnya Aki. Dialah manusia pertama yang ku jumpai dan yang mengajarku bicara“
“Eh? Apa pula ini? Manusia pertama... mengajarmu bicara… apa sih artinya?”
“Dengarkan sajalah Bi Soan, dan engkau akan mengerti. Kalau selalu kau potong-potong begini, takkan ada habisnya ceritaku nanti. nah sebenarnya begini, sejak kecil sekali, sejak aku dapat ingat, aku adalah anak seekor kera besar…“
“Waahhh, mana mungkin!” Bi Soan berteriak, sedemikian kerasnya sampai Akauw sendiri kaget mendengarnya.
“Nah, nah, mulai lagi!”
“ya, sudahlah, berceritalah. Seperti dongeng saja riwayatmu, Akauw! Akauw! Namamu ini… Akauw…“
“Memang, namaku juga Kauw-cu (monyet), sesuai dengan keadaanku waktu itu. Ku lanjutkan ceritaku. Aku tidak tahu apakah aku ini anak monyet, yang jelas, sejak kecil aku hidup di antara kera-kera besar. Aku tentu saja mempunyai kebiasaan seperti kera, dalam hal makan, berloncatan ke pohon-pohon, bahkan bicara dan kera-kera itu memberi nama aku… Kercak“
“Apa?”
“Kercak!” ketika mengeluarkan kata atau nama itu, suara Akauw memang suara monyet sehingga sukar di tangkap oleh Bi Soan.
“Ya sudahlah, lalu bagaimana?”
“Sejak kecil sekali sampai berusia kurang lebih sepuluh tahun aku hidup seperti monyet. Aku menemukan kalung ini pada tulang kerangka manusia dan ku pakai kalung ini, juga aku menemukan sebatang golok. Setelah aku berusia sepuluh tahun, aku melihat dua rombongan manusia masuk ke Lembah Iblis dan mereka bertempur saling serang. Banyak orang tewas dan setelah mereka yang menang pergi, ada seorang di antara mayat-mayat itu yang tidak mati. Dia adalah Aki dan sejak itu, Aki yang mengajarku bicara seperti manusia, bahkan memberi nama Cian Kauw Cu kepadaku“
“Ahhh, luar biasa sekali! Kisahmu ini seperti dongeng dan kalau bukan aku, tentu orang tidak akan percaya kepadamu"
“Jadi, kau percaya padaku, Bi Soan?”
“Percaya sekali!”
Tiba-tiba sepasang lengan yang panjang dan besar itu memeluk tubuh Bi Soan yang kecil sehingga tubuh itu tenggelam ke dalam rangkulan dan di tekan-tekan seperti akan remuk rasanya. Akan tetapi sekali meronta, Bi Soan dapat terlepas dari rangkulan itu dan mukanya berubah merah sekali matanya mencorong ketika dia bangkit berdiri.
“Akauw, aku larang engkau memeluk aku seperti itu lagi! Kalau sekalai lagi kau lakukan itu, aku akan pergi meninggalkanmu!”
Akauw terbelalak. “Ah, tidak… Tidak akan ku lakukan lagi. Akan tetapi kenapa, Bi Soan? Aku memelukmu karena kegirangan bahwa engkau percaya kepadaku“
“Girang ya girang, akan tetapi jangan memeluk seperti itu. Di rangkul dan di tekan seperti itu, bisa remuk semua tulangku, tahu? Sudah, lanjutkan ceritamu yang menarik tadi“
“Sampai tiga tahun lamanya Aki tinggal bersamaku di hutan, akan tetapi aku semakin tahu setelah dia mengajari aku bicara dan tentang segala kehidupan manusia, bahwa dia seorang yang jahat. Malah suatu hari, dia bermaksud untuk membunuhku!”
“Ihhh, engkau yang menolong sehingga dia tetap hidup, lalu dia hendak membunuhmu?“ Bi Soan berseru kaget. “Betapa jahatnya? Akan tetapi kenapa dia hendak membunuhmu Akauw?“
Hampir saja Akauw bercerita tentang emas, akan tetapi dia teringat akan pesan suhengnya agar tidak bercerita kepada siapapun juga tentang guha-guha itu, maka dia lalu menjawab, “Mungkin dia bosan dengan aku dan hendak hidup sendiri. Akan tetapi untung sekali pada saat yang gawat itu muncullah suhu dan suheng“
“Kau punya suhu dan suheng? Siapa mereka?”
“Tadinya tidak punya. Seorang kakek tua dan seorang pemuda muncul menolongku dari ancaman Aki yang kemudian tewas terjatuh ke dalam jurang. Aku lalu berguru kepada kakek itu dan si pemuda menjadi suhengku. Guruku itu bernama Yang Kok It dan suhengku itu cucunya, bernama Yang Cien“
“Yang Kok It? Hemmm, rasanya nama itu tidak asing bagiku, seperti pernah aku mendengarnya. Lalu bagaimana, Akauw? Ceritamu semakin menarik saja“
Karena menerima pujian dari sahabatnya yang amat di sayangnya itu, Akauw menjadi semakin bersemangat untuk bercerita. “Aku dan suheng belajar ilmu silat dari Suhu Yang Kok It sampai suhu meninggal dunia karena usia tua. Kemudian, aku masih tinggal lagi berdua saja dengan suheng di Lembah Iblis, kemudan aku pergi merantau sampai di sini“
“Dan di sini engkau bekerja membantu Koksu, ya?”
Akauw terkejut. Dia sedang bertugas dalam penyelidikan, maka dia harus merahasiakan pekerjaannya. Tak di sangka bahwa sahabatnya ini telah mengetahuinya. “Eh, bagaimana engkau dapat tahu?”
Bi Soan tersenyum mengejek. “Tentu saja aku tahu segalanya, aku mempunyai banyak sahabat di antara kaum pengemis. Akauw, belum lama ini kita bicara tentang para pembesar dan pejabat yang korup dan menindas rakyat dan sekarang engkau menjadi seorang pembesar!” suaranya terdengar mencela.
”Aku tidak menjadi pembesar! Aku... aku hanya terpaksa ikut dengan suhu dan di perbantukan kepada Koksu Lui. Aku bersumpah tidak akan melakukan kejahatan, tidak akan membantu kalau Koksu menindas rakyat“
“Hem, engkau agaknya belum tahu orang macam apa Koksu Lui itu. Dan sekarang ini, engkau melaksanakan tugas apakah?”
“Bi Soan, sahabatku, jangan bertanya tentang tugasku, ini tugas rahasia. Tak boleh seorangpun boleh mengenal bahwa aku bekerja untuk Koksu Lui, apalagi nanti di Lok-yang“
“Hemm, aku sudah tahu tanpa kau beritahu . Dan kita akan melakukan perjalanan bersama ke Lok-yang, bukan? Bagaimana aku dapat membantumu kalau aku tidak mengetahui apa tugasmu? Aku harus tahu karena kalau tugas itu untuk menindas rakyat aku tidak sudi bekerjasama denganmu!”
“Tidak, tidak, Bi Soan-te (adik Bi Soan). Aku hanya mendapat tugas untuk melakukan penyelidikan terhadap Gubernur Yen di Lok-yang karena menurut para penyelidik, Gubernur Liu itu bermaksud untuk menyusun kekuatan dan memberontak terhadap pemerintah“
“Benarkah itu, Akauw?” Kini sikap Bi Soan nampak sungguh-sungguh.
“Begitulah yang di katakan oleh Koksu. Oleh karena itu Koksu dan suhu mengutus aku pergi ke Lok-yang dan melakukan penyelidikan seksama akan kebenaran berita itu. Kalau memang benar gubernur itu hendak memberontak, sebelum dia bergerak, akan lebih dulu di serbu dan di gagalkan pemberontakannya“
Bi Soan mengangguk-angguk. “Wah, kalau begitu tugasmu itu penting sekali, Akauw. Apakah engkau pernah ke Lok-yang? Sudahkah engkau mengenal keadaan dan daerah itu?”
Akauw memandang bodoh dan menggeleng kepalanya. Bi Soan menarik napas panjang. “Aih, kenapa Lui Koksu begitu bodoh menyuruh seseorang yang sama sekali belum mengenal medannya? Sudahlah, biar aku menyertai dan membantumu Akauw. Aku sudah hafal betul keadaan di Lok-yang“
Bukan main girangnya hati Akauw. “Terima kasih, Bi Soan. Aku tahu sejak semula bahwa engkau adalah seorang sahabat sejati yang amat baik kepadaku. Nah, sekarang engkau yang mendapat giliran menceritakan riwayat hidupmu kepadaku, agar akupun dapat mengenal dirimu dengan baik“
“Aku? Ah, tidak ada apa-apanya yang menarik mengenai diriku. Aku hidup sebatangkara, seorang gelandangan yang tidak tentu tempat tinggalnya, hidup bebas lepas seperti seekor burung gereja.“ Bi Soan bangkit berdiri, mengembangkan kedua tangannya seperti seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya. “Mari kita lanjutkan perjalanan, Akauw“
“Eh, nanti dulu, Bi Soan. Engkau belum menceritakan siapa orang tuamu dan dimana mereka tinggal!” kata Akauw yang ikut pula berdiri.
“Aku Bi Soan tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai siapapun di dunia ini kecuali mempunyai seorang sahabat yang bernama Akauw! Nah, itulah Bi Soan yang kau kenal, Akauw dan jangan tanya apa-apa lagi karena engkau hanya membuat hatiku menjadi sedih saja“
Akauw merasa terharu. “Aih, kasihan sekali engkau, Bi Soan. Karena engkau tidak mempunyai orang tua lagi“
“Dan engkau? Engkaupun tidak mempunyai orang tua. Sudahlah, jangan merasa iba kepada orang lain kalau keadaan mu sendiri sama. Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan agar jangan terlalu lama membuang waktu di sini“
Akauw terpaksa melepaskan kedua tangan Bi Soan yang dipegangnya tadi karena dia merasa iba kepada kawan ini, karena Bi Soan kini merenggutkan kedua tangannya dan pemuda remaja itu sudah berjalan meninggalkannya.
“Heeiii, tunggu Bi Soan“ kata Akauw yang terpaksa mengerahkan tenaganya karena ternyata Bi Soan dapat berlari cepat sekali. Dia terkejut juga dan menduga bahwa kawannya itu agaknya mengerti pula ilmu silat dan belum menceritakan tentang ilmunya itu, dan siapa pula gurunya.
********************
Akauw merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan Bi Soan dan melakukan tugasnya di bantu oleh pemuda remaja itu. Karena andaikata tidak di bantu Bi Soan, tentu dia akan mengalami banyak kesukaran. Bi Soan mengenal baik kota Lok-yang dan ternyata pemuda remaja yang mengaku gelandangan ini cerdik bukan main. Bahkan setelah mereka berada di Lok-yang, Bi Soan lah yang seolah menjadi pemimpin. Karena kepandaian Bi Soan yang cerdik, maka Akauw dapat melakukan penyelidikan dengan baik.
Dan benar saja, dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa banyaknya pemuda-pemuda dusun yang berbondong-bondong datang untuk mendaftarkan dirii sebagai prajurit. Gubernur Yen benar-benar hendak memperkuat pasukannya di Lok-yang, tentu saja dengan bekerjasama dengan para panglima di Lok-yang. Akan tetapi, ini saja belum menjadi bukti bahwa gubernur itu hendak memberontak. Padahal inti tugas Akauw adalah untuk menyelidiki apakah benar gubernur itu akan memberontak dan dia harus dapat memperoleh buktinya.
“Jangan khawatir, kita harus tekun dan sabar menanti dan mengintai, siapa tahu akan tiba saatnya kita dapat peroleh bukti itu.“ kata Bi Soan ketika Akauw menyatakan kekesalannya karena dia tidak melihat suatu cara untuk mendapatkan bukti itu. Tadinya dia bermaksud memasuki rumah gubernur itu sebagai pencuri dan memeriksa ke kamarnya untuk mencari bukti, akan tetapi keinginannya ini di larang oleh Bi Soan.
“Kau gila? Memasuki rumah gubernur sedangkan rumah itu di jaga ketat! Selain amatlah sukar untuk dapat memasuki kamarnya, juga besar sekali kemungkinan engkau akan di tangkap dan kalau hal itu terjadi, bahkan baru dipergoki saja, maka gagallah semua usahamu“
“Habis, bagaimana kita dapat memperoleh bukti itu, Soan-te?”
“Kauw-ko (Kakak Kauw), kiranya ada satu jalan saja yang memungkinkan engkau berhasil. Kita mendaftarkan diri sebagai prajurit!”
“Ahhh…??? Bukankah itu malah berbahaya sekali?”
“Apa bahayanya? Kau lihat, banyak pemuda mendaftarkan diri, dari segala golongan bahkan terbanyak dari dusun, Kita mengaku dari dusun dan mendaftarkan diri, kalau di uji kau jangan menonjolkan kekuatan atau kepandaianmu, biasa-biasa saja. Nah, kalau kita sudah menjadi calon prajurit, tentu akan mudah bagi kita untuk melihat dan memperoleh bukti“
“Wah, kalau begitu bagus sekali, Soan-te (Adik Soan). Mari kita mendaftarkan diri sekarang juga“
“Akan tetapi janji, kita tidak boleh berpisah dan kalau memperoleh kamar di barak, kita harus sekamar“
“Tentu, tentu“
“Dan seperti biasa, engkau tidur di bawah dan aku di atas“
“Engkau ini memang aneh. Di rumah penginapan pun engkau selalu mengusir aku dari pembaringan. Engkau ini pemuda remaja yang amat aneh“
“Tidak aneh. Engkau tahu sendiri bahwa aku tidak bisa tidur kalau ada teman di dekatku. Kalau engkau tidak mau turun dari pembaringan, biar aku yang tidur di bawah dan pembaringannya boleh kau pakai sendiri“
“Wah, jangan nagmbek, Soan-te. Engkau ini kadang membuat aku tidak mengerti. Tidur tidak mau di dekati, bahkan kalau mandi engkau minta terpisah“
“Engkau yang tidak tahu malu. Kita bukan kanak-kanak lagi, bagaimana mungkin mandi bersama? Ih, memalukan!” Bi Soan kelihatan marah.
“Sudahlah, maafkan aku, Soan-te. Aku tidak akan memaksamu mandi dan tidur bersama. Nah, mari kita mendaftarkan“
Keduanya lalu ikut dengan rombongan pemuda yang berbondong itu menuju ke benteng untuk mendaftarkan diri. Mereka ikut berdiri dalam antrian panjang dan setelah mereka di daftar sebagai Cian Kauw Cu dan Bi Soan, mereka memperoleh sebungkus pakaian tentara dan mendapatkan petunjuk dimana letak kamar di barak. Ternyata tidak di adakan ujian sama sekali dan ini berarti bahwa siapa saja dapat di terima sebagai prajurit dan agaknya Gubernur Yen benar-benar membutuhkan pasukan yang sebesar-besarnya.
Baru setelah mereka tinggal di barak, mereka memperoleh latihan dari seorang perwira. Latihan berbaris, latihan gerakan silat dalam pertempuran. Akauw memandang kagum ketika temannya mengenakan pakaian tentara. Memang kecil tubuhnya, akan tetapi dia nampak tampan sekali! Dan dalam latihan pertempuran, juga Bi Soan kelihatan lincah dan tidak kalah oleh yang lain...