Sepasang Naga Lembah Iblis Jilid 16

Cersil Online Karya Kho Ping Hoo Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Jilid 16
Sonny Ogawa
Yang Cien diam-diam merasa heran sekali, karena bagaimana mungkin seorang puteri Perdana Menteri yang berkuasa besar sekali, mendadak berkeliaran seorang diri?

“Dan ketahuilah, Yang-taihiap bahwa nona ini adalah murid dari Toat-beng Giam-ong“

“Murid Lui Koksu?” Yang Cien semakin heran. Perdana Menteri Ji dan Lui Koksu merupakan dua orang yang besar kekuasaannya, yang mengabdi kepada kaisar Toba dan dengan adanya dua orang itulah maka semua usaha untuk menjatuhkan Kerajaan Mongol itu gagal. Dan sekarang, puteri Perdana menteri itu berkeliaran sampai ke perbatasan selatan. Tentu untuk menjadi mata-mata pikirnya.

“Nona, engkau adalah puteri Perdana Menteri, kenapa sampai ke tempat sejauh ini?” tanyanya sambil memandang penuh perhatian.

Ji Goat balas memandang sedikitpun tidak kelihatan jerih. “Apakah tidak boleh kalau aku sampai ke tempat ini?” ia balas bertanya dengan sikap menantang.

“Tentu saja tidak ada yang melarang mu, nona. Akan tetapi rasanya janggal dan juga luar biasa kalau puteri Perdana Menteri berkeliaran di tempat ini tanpa pengawal? Apakah yang kau cari nona?”

Sepasang mata itu bernyala marah ketika ia di katakan berkeliaran. “Apakah hanya orang-orang macam kalian saja yang boleh berkeliaran di tempat ini? Aku juga mempunyai dua buah kaki, dan kemana saja aku pergi, peduli apakah dengan engkau?”

Yang Cien tersenyum, tidak menjadi marah. Dia tahu bahwa gadis puteri bangsawan ini agaknya terlalu di manja sehingga apapun yang di kehendakinya harus kesampaian. Namun ia kagum akan keberaniannya, dan mengingat bahwa ia murid Toat-beng Giam-ong, maka sudah pantaslah kalau ia pemberani karena tentu ilmunya cukup hebat.

“Ayahmu dan gurumu dan semua pejabat yang menghambakan diri kepada Kerajaan Toba, melakukan penindasan kepada rakyat jelata. Banyak pejabat melakukan korupsi, dan pasukan Toba juga bersikap amat kejam menindas rakyat. Karena itu, tidak mengherankan kalau di sana sini rakyat melakukan perlawanan yang kalian namakan pemberontakan. Sekarang engkau berada di sini, agaknya hendak memata-matai gerakan rakyat, bukan?”

“Ku akui bahwa aku memang ingin sekali mengetahui sampai dimana kebenaran berita yang ku terima bahwa para pemberontak adalah pejuang-pejuang yang membela rakyat jelata. Yang ku temui adalah perampok-perampok jahat. Apakah engkau termasuk perampok-perampok itu? Aku tidak bertugas sebagai mata-mata oleh siapapun juga, akan tetapi aku hendak melihat keadaan di selatan ini, benarkah penguasa bertindak kejam dan benarkah rakyat mendukung para pemberontak? Aku mendengar di sepanjang jalan bahwa Gubernur Gak amat di sukai rakyat, dan bahwa Panglima Coa juga di anggap sebagai pahlawan oleh rakyat. Akan tetapi aku masih sangsi apakah mereka yang di anggap pahlawan itu kelak akan dapat memberi kemakmuran dan ketentraman kepada rakyat, ataukah rakyat akan menjadi lebih menderita lagi kalau terjadi perang pemberontakan“

Diam-diam Yang Cien kagum kepada gadis itu. Masih muda akan tetapi telah memiliki pandangan yang luas. “Nona, apakah nona berpikir bahwa di bawah pemerintah penjajah Mongol rakyat hidup tenteram dan Makmur?”

“Justeru karena menghendaki kemakmuran rakyat maka kami bekerja kepada pemerintah, sehingga kami dapat menggunakan kekuasaan untuk mengeluarkan peraturan yang meringankan rakyat jelata“

“Hemmm, nona. Mungkin ada seorang dua orang pejabat yang berpendirian seperti itu. Akan tetapi apa artinya seorang dua orang saja? Buktinya, hampir semua pejabat menjadi lintah darat, memeras dan menindas rakyat dan Kiasar Toba sama sekali tidak berbuat apa-apa. Pemerintahan itu kuat dan baik tergantung sepenuhnya kepada kaisarnya. Kalau kaisarnya baik dan jujur, mencintai rakyat jelata, tentu dia akan bertindak keras terhadap para pejabat yang tidak jujur dan menindas rakyat. Akan tetapi bagaimana mungkin mengharapkan kaisar bangsa asing untuk bertindak bijaksana terhadap rakyat jajahannya? Itulah sebabnya maka banyak rakyat hendak memberontak, untuk menjatuhkan Kerajaan Toba dan menggantikan kaisarnya dengan kaisar bangsa sendiri yang lebih dapat diharapkan bertindak bijaksana dan adil“

Ji Goat mendengarkan dengan kagum. Sebagai seorang wanita bangsa pribumi, ia dapat mengerti dan merasakan apa yang dimaksudkan Yang Cien. Ayahnya pun mencinta rakyat dan dengan cara sendiri bermaksud menolong rakyat, yaitu dengan menggunakan kedudukannya menentang peraturan yang memberatkan rakyat. Akan tetapi, ayahnya juga tidak berdaya kalau bawahanya tidak melaksanakan peraturan, kalau bawahannya menjadi pejabat yang korup dan menindas rakyat. Yang berwenang menindak pejabat yang korup hanya kaisar, akan tetapi kalau kaisarnya acuh dan hanya mengejar kesenangan sendiri.

Maka tetap saja keadaan rakyat tertindas dan sengsara, bagaikan tumbuh-tumbuhan, kaisar merupakan batangnya. Kalau batangnya sakit, maka cabang ranting dan daunnya juga sakit dan tidak akan mendatangkan bunga dan buah. Mengobati cabang dan ranting saja tidak ada gunanya. Kalau menurut pemuda ini, cara satu-satunya hanyalah menebang pohon itu dan menanam pohon yang baru, dengan batang pohon yang sehat sehingga semua bagian pohon itu akan menjadi sehat dan menghasilkan bunga dan buah yang baik.

“Akan tetapi, bukankah kalau terjadi pemberontakan berarti perang yang akan menewaskan banyak prajurit pejuang dan juga kalau terjadi perang, rakyatlah yang akan menderita karenanya?”

“Tidak mungkin ada perbaikan tanpa pengorbanan, Kalau hendak menebang pohon yang berpenyakitan, tentu kita akan kehilangan pohon, berarti mengorbankan pohon beserta seluruh cabang ranting dan daunnya. Kalau hendak membangun rumah baru, haruslah meruntuhkan yang lama terlebih dahulu. Kalau hendak menanam sesuatu, haruslah ladang itu di cangkul dan di bajak lebih dulu. Semua pembaruan haruslah mengorbankan yang lama, kalau tidak begitu, mana ada pembaharuan?”

Ji Goat tidak dapat membantah lagi, lalu memandang tajam kepada Yang Cien. “Orang muda, aku melihat engkau tidak berpakaian sebagai anggota Kaipang, bagaimana engkau menjadi pemimpin mereka?”

Yang Cien tersenyum geli mendengar disebut orang muda, seolah-olah gadis itu sudah berusia tua sekali. “Untuk memilih seorang pemimpin, tidak perlu melihat pakaiannya, bukan? Pula, aku tidak menjadi ketua kaipang, melainkan di calonkan untuk menjadi pemimpin seluruh pangcu dan di ajukan sebagai calon bengcu...“

“Hebat sekali. dan sekarang, apa yang akan kau lakukan terhadap diriku? Akan menghukum aku karena aku puteri Perdana Menteri yang membantu pemerintahan Toba, penjajah asing?"

“Tidak nona. Ayahmu juga seorang pejuang, walaupun dengan cara salah. Pula, andaikata ayahmu bersalah terhadap rakyat jelata, engkau tidak tersangkut sama sekali. Bahkan kami menilai nona seorang yang gagah perkasa dan berjiwa patriot. Nona boleh pergi kemana nona suka, kami tidak akan mengganggu lagi...“

Ji Goat tertegun. Dan ia menjadi semakin kagum. “Sudah seringkali aku mendengar dari ayah maupun dari suhu bahwa para pemberontak adalah penjahat-penjahat yang kejam, akan tetapi apa yang kulihat sekarang berbeda sama sekali. Apakah para pejuang yang di anggap pemberontak ini semua seperti engkau?”

“Kalau memang dia seorang pejuang sejati, tentu akan bertindak dengan bijaksana dan sama sekali tidak kejam. Akan tetapi, tentu saja ada penjahat yang mengaku pejuang hanya untuk di pakai sebagai kedok kejahatannya. Engkau mempunyai seorang guru yang terkenal sebagai seorang datuk sesat yang amat jahat, nona. Akan tetapi sungguh mengagumkan, sedikitpun watak yang sesat itu tidak menurun padamu!”

“Ah, aku senang sekali bertemu dan bersahabat denganmu. Engkau di sebut Yang-taihiap, dan agaknya engkau memang seorang pendekar besar. Bolehkah aku menguji kepandaianmu agar semakin terbuka mataku begaimana keadaan seorang pejuang sejati?”

Yang Cien tersenyum. Dia dapat menduga bahwa nona ini tentu lihai, karena murid Toat-beng Giam-ong bagaimana tidak akan lihai? Dia sendiri sebetulnya kalau menurut kata hatinya mendendam kepada Toat-beng Giam-ong. karena ayah bundanya tewas oleh datuk itu. Bahkan ketika masih kecil, dia dan kakeknya di kejar-kejar oleh Toat-beng Giam-ong. Akan tetapi demi perjuangan, dia melupakan semua dendam pribadi. Apalagi gadis ini, biarpun murid musuh besarnya itu, sama sekali tidak ada tanda-tanda sebagai seorang yang jahat.

“Aku tahu bahwa nona adalah seorang ahli silat yang pandai dan agaknya sudah menjadi penyakit semua ahli silat, kalau bertemu orang selalu ingin menguji kepandaian. Baiklah nona, mari kita keluar ke halaman depan dan kita berlatih bersama, bukan menguji kepandaian.

Ji Goat mendahului pemuda itu keluar dan setibanya di halaman luar, ia lalu mencabut sepasang pedang pendeknya dan siap memasang kuda-kuda. Sebetulnya Yang Cien merasa enggan menghadapi gadis itu dengan senjata di tangan, akan tetapi kalau dia menggunakan tangan kosong, tentu gadis itu akan menganggap dia memandang rendah, maka terpaksa diapun mencabut pedangnya. Sinar putih menyilaukan mata ketika Pek-liong Po-kiam dia cabut.

Melihat sinar pedang berkilat itu Ji Goat terkejut sekali dan teringat ia kepada Hek-liong Po-kiam milik Akauw, hanya bedanya kalau pedang milik Akauw itu bersinar hitam, pedang di tangan pimpinan kaipang ini bersinar putih. Melihat gadis itu seperti menanti, Yang Cien lalu berkata,

“Nona, aku telah bersiap, silahkan mulai!”

“Lihat pedang!” teriak Ji Goat dan ia pun mulai menyerang dengan menggerakkan pedangnya dari kanan kiri dengan gerakan menggunting.

Inilah jurus Kim-peng-tiauw-ci (Garuda Emas Sabetkan Sayap) yang dilakukan dengan cepat dan kuat sekali. Sepasang pedangnya mengeluarkan suara berdesing dan nampak kilat dari kanan kiri menyambar dahsyat. Yang Cien melangkah mundur dengan cepat sambil menarik tubuh atas ke belakang sehingga sambaran sepasang pedang itu luput. Ji Goat mengayun pedangnya dan menyerang lagi, tubuhnya membalik dan pedang kanannya sudah menyambar. Inilah gerakan jurus Kong-ciak-tiauw-li (Burung Merak Sabetkan Ekor), juga dilakukan dengan sepenuh tenaga, karena ia menduga bahwa lawannya lihai sekali.

“Traannggg…!“ Yang Cien menangkis, akan tetapi tidak menggunakan mata pedangnya dan mengendalikan tenaganya sehingga dia tidak merusak pedang ji Goat, hanya membuat pedang yang menyerangnya itu terpental saja.

Ji Goat merasa betapa tangannya tergetar hebat, dan ini membuatnya penasaran. Ia lalu mengerahkan sin-kangnya dan mulailah ia menyerang kalang kabut, bertubi-tubi dengan pedang-pedangnya. Sepasang pedang itu membentuk gulungan dua sinar yang berdesingan menyambar-nyambar. Diam-diam Yang Cien kagum dan dia dapat menduga bahwa tentu ilmu kepandaian guru silat ini amat hebat. Dia tetap saja mengelak dan kalaupun menangkis dia menjaga agar jangan merusak pedang gadis itu. Terjadilah pertandingan yang seru dan menarik sehingga kini tempat itu sudah penuh dengan para anggota Hek I Kaipang yang menonton pertandingan adu ilmu silat itu.

Ji Goat bukan seorang gadis bodoh. Sudah tiga puluh jurus lewat dan belum pernah satu kalipun Yang Cien membalas serangannya, namun semua serangannya terhadap pemuda itu sama sekali gagal. Kalau tidak di elakkan, tentu di tangkis, bahkan beberapa kali pedangnya terpental dan dalam keadaan demikian, kalau pemuda itu balas menyerang tentu ia akan kalah. Ia tahu bahwa pemuda itu memang lihai sekali. Gurunya sendiri saja belum tentu akan dapat bertahan kalau hanya mengelak dan menangkis terhadap serangan-serangannya selama tiga puluh jurus lebih!

Yang Cien sedang mencari akal bagaimana dia akan mampu mengalahkan gadis ini tanpa merusak pedang-pedangnya dan tanpa kemenangan yang menyolok. Di situ sudah berkumpul banyak saksi sehingga kalau dia menang secara menyolok tentu akan membuat gadis itu merasa malu. Tiba-tiba dia teringat akan tenaga dari Bu-tek Cin-keng yang dapat menyedot tenaga lawan. Ketika sepasang pedang lawan itu menyerang lagi dengan berbarengan, dia lalu menangkis dengan pedangnya, mengerahkan tenaganya menempel dan menyedot sehingga sepasang pedang itu tidak dapat di tarik lepas lagi. Dalam keadaan demikian, tangan kirinya menangkap sepasang pedang dan sekali tarik dia berhasil merampas sepasang pedang itu yang tak dapat di pertahankan lagi oleh pemiliknya.

Yang Cien lalu memberi hormat dan mengembalikan pedang sambil berkata “ilmu pedang nona sungguh lihai, aku merasa kagum sekali!”

Dengan muka merah Ji Goat menerima sepasang pedangnya. Ia tahu bahwa lawan telah banyak mengalah, bahkan tadi mengalahkannya dengan cara halus. Hal ini membuatnya kagum dan takluk. “Yang-taihiap terlalu mengalah, membuat aku merasa tidak enak. Aku sama sekali bukanlah lawan seimbang dari Yang-Taihiap...“

“Nona, mari kita bicara di dalam“ ajak Yang Cien. Semua penonton bubaran dan merekapun memuji ilmu pedang nona muda itu. Dapat menandingi pemimpin mereka sampai tiga puluh jurus sudah di katakan hebat!

“Yang-taihiap, apalagi yang akan kita bicarakan? Aku sudah mengaku kalah olehmu...“ kata Ji Goat sambil memandang tajam penuh selidik.

“Pertama-tama, aku bernama Yang Cien. Jangan nona ikut-ikutan memanggil taihiap kepadaku. Engkau adalah puteri bangsawan tinggi, jangan terlalu merendahkan diri, nona. Dan aku dapat mengerti bahwa nona bukanlah seperti para puteri bangsawan yang angkuh dan memandang rendah rakyat miskin. Aku ingin bersahabat denganmu, karena itu jangan memanggil aku taihiap...“

“Hem, lalu harus memanggil apa? Bagaimana kalau aku menyebutmu twako (kakak) saja?”

“Itu yang ku inginkan, nona...“

“Wah, kalau aku menyebutmu twako, engkaupun sepatutnya tidak menyebut nona kepadaku, melainkan adik. Namaku Ji Goat, dan engkau boleh memanggil adik Goat saja“

“Baiklah, Goat-moi...“

“Nah, sekarang katakan, apa yang hendak kau bicarakan selain soal panggilan ini, cien-ko?”

"Lega hatiku dengan sebutan ini, karena hubungan kita sebagai sahabat menjadi lebih akrab. Goat-moi, sesungguhnya, apa yang membawamu ke sini? Benarkah dugaan mereka bahwa engkau memang di suruh gurumu atau ayahmu untuk memata-matai kami?”

“Tidak sama sekali. Aku lari meninggalkan rumah...“

“Ehhhh! Maaf, aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi sungguh aneh kalau seorang anak perempuan lari meninggalkan rumah orang tuanya!”

“Aku marah kepada ayahku. Aku menasehatkan kepadanya bahwa kaisar brengsek dan tidak memperhatikan pemerintahan, tidak memperdulikan para pejabat yang korup. Aku nasehatkan ayah untuk mundur saja melepaskan jabatannya. Ayah malah marah sekali kepadaku. Aku memang mulai tidak suka dengan pemerintah penjajah, akan tetapi ayah berpendapat lain, katanya dengan menjadi Perdana Menteri diapun dapat berbuat banyak untuk kebaikan rakyat. Aku mulai merasa senasib dengan para pejuang yang bermaksud membebaskan rakyat dari cengkraman penjajah Mongol“

“Goat-moi, cita-citamu mulia sekali. Akan tetapi untuk itu engkau harus berkorban berat sekali. Sebetulnya perlahan-lahan engkau membujuk ayahmu, bukan melarikan diri karena hal itu amat tidak baik. Betapa pun juga, seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya dan kalau engkau melihat orang tua bertindak salah, sudah menjadi kewajibanmu untuk membujuk dan mengingatkannya perlahan-lahan, bukan lalu minggat dari rumah“

“Cian-ko, enak saja engkau berkata demikian. Akan tetapi aku yang mengalaminya sendiri! Kau tahu, bukan karena hanya itu aku lari dari rumah, akan tetapi karena hal lain lagi yang membuat aku marah dan tak betah tinggal di rumah lagi“

“Eh, urusan apalagikah itu?”

“Di luar persetujuanku, ayah telah mengikatkan perjodohanku dengan pria yang tidak ku sukai, bahkan ku benci. Dia adalah Lai Seng, suhengku sendiri...“

Yang Cien terkejut. “Kau maksudkan Lai Seng yang kata Cu-pangcu telah menyerangmu dan dia membantumu mengusirnya? Yang pernah menyeludup ke dalam Hek I Kaipang? Dan dia itu murid Koksu?”

“Benar, toako. Dialah orangnya...“

“Tapi, bukankah dia itu suhengmu sendiri?”

“Benar, akan tetapi kami tidak pernah bergaul. Suhu mengajarkan silat kepadaku di rumah ayah, kami jarang sekali berjumpa. Dan aku sungguh tidak suka kepadanya, akan tetapi ayah malah menjodohkan aku dengan dia. Hati siapa tidak akan kesal?”

“Aihhh, kalau ada urusan itu, aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Terserah kepadamu, Goat-moi. Akan tetapi engkau hendak pergi kemanakah?”

“Kemana saja hati dan kaki ini membawaku. Aku ingin meluaskan pengalaman dan memperdalam ilmu pengetahuanku, sambil melupakan keadaan di rumah yang menjengkelkan“

“Kalau saja aku dapat membantumu, Goat-moi. Katakanlah, apakah ada sesuatu yang dapat aku membantumu?”

“Terima kasih, toako. Engkau sudah banyak membantu sekali. Pertama, anak buahmu telah membantuku dari ancaman Lai Seng. Kedua, engkau telah membuka mataku untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang perjuangan para patriot...“

“Kalau engkau hendak bergabung dengan kami, aku akan merasa senang sekali, Goat-moi...“

“Terima kasih, belum saatnya, toako. Bagaimanapun juga, hati ini masih tidak tega untuk menghadapi ayahku sendiri sebagai lawan. Nah, selamat tinggal, toako, aku akan melanjutkan perjalananku...“

“Selamat jalan, Goat-moi...“

Yang Cien mengantar Ji Goat sampai keluar dari perkampungan itu dan ketika bayangan gadis itu sudah mengecil dan kabur, dia masih berdiri memandangnya. “Gadis yang hebat!” pikirnya kagum. Akan tetapi dia segera mengusir bayangan gadis itu dari pikirannya. Banyak tugas menanti dan belum saatnya bagi dia untuk memikirkan dan mengenang seorang wanita.

********************

Serial Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo

Lai Seng berlari dengan hati mengkal sekali. Dia sudah berhasil menemukan tunangannya, akan tetapi kembali ada saja penghalang yang membuat gadis itu lolos lagi dari tangannya. Bagaimana dia dapat pulang ke kota raja kalau tidak bersama Ji Goat? Dia semakin sakit hati terhadap Hek I Kaipang yang selalu menghalanginya, tentu dia sudah dapat menawan Ji Goat dan di bawa pulang ke kota raja, dimana menurut janji Perdana Menteri akan segera menikahkan dia dengan gadis itu kalau dia mampu membawanya pulang. Sekarang, dia harus mulai dari pertama lagi, mencari jejak gadis itu.

Lai Seng adalah murid pertama dari Toat-beng Giam-ong Lui Tat yang sekarang menjadi Koksu Kerajaan Toba. Sejak kecil dia sudah menjadi murid Toat-beng Giam-ong ketika tokoh ini masih menjadi seorang datuk persilatan golongan sesat. Sebetulnya Lai Seng adalah putera seorang anak buah datuk itu yang tewas ketika melakukan perampokan, tewas di tangan para pendekar dari Gobi pai. Dia baru berusia enam tahun ketika ayahnya tewas dan ibunya mengikuti laki-laki lain dan meninggalkannya. Melihat bakat baik kepada anak yang dapat di bilang sudah yatim piatu ini, Toat-beng Giam-ong lalu mengambilnya sebagai murid.

Ketika Toat-beng Giam-ong menjadi Koksu, Lai Seng sudah berusia delapan belas tahun dan diapun mendapat tugas dari gurunya untuk membantu pekerjaannya, kadang menjadi penyelidik. Karena itu ketika Ji Goat belajar silat kepada Koksu itu lima tahun yang lalu, dia jarang bertemu dengan Ji Goat yang belajar di rumahnya sendiri. Kini, Lai Seng telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang gagah dan berkepandaian tinggi. Dia seorang mata keranjang dan suka pelesir. Hal ini di ketahui oleh Koksu sendiri, akan tetapi karena Koksu sendiri bekas datuk sesat, maka dia tidak pernah menegurnya.

Ketika untuk pertama kalinya bertemu dengan Ji Goat, sudah terkandung keinginan di hati Lai Seng agar dia dapat di jodohkan dengan Puteri Perdana Menteri ini, bukan hanya karena Ji Goat cantik jelita, akan tetapi terutama sekali karena kalau hal itu dapat terjadi, dia akan mendapatkan banyak kesempatan untuk naik pangkat dan setidaknya, sebagai menantu Perdana Menteri, dia tentu akan terpandang dan di hormati para bangsawan lain. Maka, alangkah girangnya ketika Perdana Menteri dan gurunya menghendaki perjodohan itu berlangsung.

Akan tetapi, Ji Goat melarikan diri dan dia gagal untuk menawannya di bawa pulang. Dia berpikir dan mencari akal. Andaikata dia mampu menawan Ji Goat, kalau dia membawanya pulang sebagai seorang tawanan, hal itu akan amat merugikannya. Ji Goat tentu akan membencinya dan alangkah tidak enaknya di benci isteri sendiri kelak. Akan tetapi andaikata Ji Goat pulang bersamanya secara suka rela, tentu akan senang sekali hidupnya. Beristrikan wanita cantik, dan menjadi menantu Perdana Menteri! Hanya saja, bagaimana akalnya agar Ji Goat menjadi suka kepadanya dan mau di bawanya pulang dengan suka rela?

Senja telah menjelang tiba dan Lai Seng mempercepat langkahnya. Dia harus dapat menemukan dusun sebelum malam tiba sehingga dia bisa mendapatkan tempat bermalam. Akan tetapi ketika dia naik ke atas pohon untuk mencari arah sebuah dusun, ternyata di sekitar tempat itu tidak nampak ada dusun. Tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan di lereng sebuah bukit di depan. Dia tidak tahu bangunan apa itu, hanya nampak gentengnya dan sebagian temboknya saja. Cepat dia turun dan menuju ke bukit itu. Ternyata jaraknya cukup jauh dan sebelum tiba di kaki bukit itu, malam telah tiba dan cuaca menjadi remang-remang gelap.

Dia menggunakan ilmu berlari cepat dan berhasil tiba di depan sebuah bangunan besar yang sudah tua sekali, dan tidak terawat. Keadaan amat sunyi seolah bangunan itu kosong tidak ada penghuninya. Dia membuka pintu depan dan tiba di ruangan depan yang amat luas dan kosong. Di sudut ada api unggun, entah di buat oleh siapa karena di situ tidak nampak ada orangnya.

“Ada siapa di dalam?” tanyanya dengan suara nyaring. Suaranya bergema dari ruangan dalam yang luas dan panjang tersambung melalui lorong di pinggir. Tidak ada jawaban. Dia melihat lantai cukup bersih dan ada jerami kering di lantai ruangan depan itu, seolah di jadikan tilam.

“Heiii, kalau ada orang di dalam, harap keluar!” kembali dia berseru ke dalam karena dia yakin bahwa api unggun itu tentu ada yang membuatnya.

Tiba-tiba ada suatu benda mengkilap meluncur dari balik pintu sebelah dalam. Di bawah sinar api unggun itu dia dapat melihat bahwa benda yang terbang menyambar ke arahnya itu sebuah golok yang berkilauan saking tajamnya. Golok itu menyambar kearah lehernya dengan kecepatan seperti sebatang anak panah.

“Singggg…!!“ Golok itu mengeluarkan suara berdesing ketika Lai Seng mengelak dan golok terbang di dekat telinganya. Dan dia terbelalak kagum ketika golok itu terbang kembali kearah pintu dan lenyap. Sebatang golok terbang yang agaknya di sambitkan sedemikian rupa sehingga golok itu dapat terbang kembali kalau tidak mengenai sasaran. Penyambitnya tentu seorang yang berilmu tinggi.

Akan tetapi tidak ada orang keluar. Padahal dia sudah siap dengan seruling peraknya. Untuk menyerbu ke dalam berbahaya sekali karena ruangan di balik pintu itu gelap. Selagi dia menanti dengan hati tegang, dia terkejut sekali mendengar suara tawa di atas!”

“ Hua-ha-ha-ha-he-he-he!”

Dia sampai terloncat ke belakang saking kagetnya, apa lagi ketika dia mengangkat muka ke atas. Hatinya penuh ketegangan dan seram. Di atas sana di tiang yang melintang, dia melihat seorang menggantung dengan kaki di atas kepala di bawah, tertawa-tawa kepadanya. Wajahnya ketika tersinari api unggun yang bergerak-gerak nampak menyeramkan sekali. Kepalanya tergantung ke bawah dan rambutnya riap-riapan.

“Siapa kau!” bentak Lai Seng, memberanikan diri. “Manusia atau setan?”

“Ha-ha-hah-heh-he, aku memang setan, Raja Setan ha-ha-ha..." kembali orang itu tertawa.

Kini Lai Seng tidak begitu ngeri lagi setelah melihat bahwa yang bergantung di atas itu adalah seorang manusia, tubuhnya tinggi besar dan kepalanya besar pula, dengan rambut riap-riapan. Dengan gerakan seperti seekor kera saja. Tubuh yang menggantung membalik itu kini terayun dan kini dia sudah duduk di atas tiang melintang itu, kakinya terayun-ayun ke bawah.

“Turunlah dan mari kita bicara!” kata pula Lai Seng.

“Turun? Bicara? Ha-ha-ha. Mudah asal engkau dapat menandingi anak buahku. Ngo Kwi (Lima Iblis), tangkap bocah lancang yang memasuki tempat kita ini!”

Dari balik pintu sebelah dalam berloncatan lima orang yang wajahnya seram-seram dan mereka berlima itu masing-masing memegang sebatang golok besar yang berkilauan. Mereka segera membentuk suatu barisan segi lima. Dan entah dari mana munculnya, tahu-tahu nampak seorang gadis menambahkan kayu bakar pada api unggun dan selanjutnya di dia duduk dekat api unggun, agaknya untuk menjaga api unggun agar api unggun itu tidak padam. Gadis yang cukup cantik dengan mata yang bersinar–sinar dan mulut tersenyum-senyum. Tentu ia memiliki gerakan yang cepat sekali karena tahu-tahu ia sudah berada dekat pada api unggun itu. Sementara kakek yang tinggi besar masih nongkrong di atas balok melintang sambil tertawa-tawa.

Lai Seng maklum bahwa dia harus membela diri, maka diapun sudah siap siaga dengan suling peraknya. Sebetulnya, oleh gurunya, Toat-beng Giam-ong, Lai Seng juga di latih ilmu dengan senjata lain. Bahkan gurunya seorang yang ahli memainkan senjata golok atau pedang akan tetapi dia lebih suka menggunakan sulingnya sebagai senjata dan sulingnya ini merupakan senjata yang ampuh.

Ujung suling itu meruncing dan dapat dipergunakan untuk meniupkan jarum beracun. Juga, biarpun di luarnya di selaputi perak, akan tetapi di sebelah dalamnya, suling itu terbuat dari baja yang baik sehingga tidak takut untuk menangkis senjata tajam yang manapun.

Kini, menghadapi pengepungan lima orang itu, Lai Seng berpendapat bahwa menyerang lebih dulu yang terbaik agar dirinya jangan terkepung. Maka, tanpa banyak cakap lagi dia lalu memutar sulingnya dan menerjang orang yang berada di sebelah kirinya. Orang itu menangkis dengan golok, akan tetapi goloknya terpental ketika bertemu suling sehingga dia terkejut sekali dan melompat ke belakang. Teman-temannya segera menyerang dari belakang.

Lai Seng membalikkan tubuhnya menghadapi mereka dan pemuda itu mengamuk. Lai Seng adalah murid pertama Toat-beng Giam-ong, maka tentu saja dia lihai sekali. Pengeroyokan lima orang itu tidak membuatnya menjadi gentar bahkan setelah menendang roboh seorang pengeroyok dan memukul pengeroyok lain dengan sulingnya yang mengenai pundak, membuat golok yang di pegangnya terlepas!

“Mundur…!” teriak kakek yang nongkrong di atas balok melintang dan lima orang itu lalu berloncatan menghilang di balik pintu sebelah dalam.

“Kui Hwa, maju!” kata kakek di atas dan kini gadis yang duduk dekat api unggun, tiba-tiba saja meloncat dan pedang sudah berada di tangannya.

Berbeda dengan Ngo-kwi tadi, gadis yang bernama Kui Hwa itu berdiri berhadapan dengan Lai Seng, memandang Lai Seng dari kepala sampai ke kaki seperti orang sedang menaksir seekor kuda yang hendak di belinya, mulutnya tersenyum menantang dan mataknya lirak-lirik dengan sikap genit. Memang gadis ini cukup cantik sehingga sikapnya itu menarik perhatian Lai Seng yang mata keranjang.

“Sobat, siapakah namamu?” Tanya gadis itu.

“Namaku Lai Seng...“

“Kenapa engkau lancang memasuki tempat tinggal kami?”

“Aku tidak mengira bahwa rumah besar ini ada yang menempati. Ku kira rumah kosong dan aku seorang pejalan kaki yang sedang kemalaman, bermaksud untuk bermalam di bangunan ini. Tidak tahu bahwa bangunan ini tempat tinggal kalian, harap membolehkan aku melewatkan malam di sini...“

“Boleh asal memenuhi syaratnya...“

“Apa syaratnya?”

“Engkau harus dapat mengalahkan aku!” kata gadis itu dan ia melintangkan pedangnya di depan dada.

“Ah, engkau juga ingin main-main dengan aku, nona. Baik, mari kulayani!” kata Lai Seng gembira. Kemenangan tadi membesarkan hatinya dan membuat keangkuhannya bangkit dan dia memandang ringan kepada gadis itu.

“Awas, sambut seranganku!” bentak gadis yang bernama Kui Hwa itu dan ketika menyerang, terkejutlah Lai Seng. Serangan gadis itu hebat sekali, cepat dan mengandung tenaga dahsyat sehingga pedang itu berdesing mengeluarkan angin. Diapun cepat menangkis dengan sulingnya.

“Traanggg…!!“ Bunga api berpijar dan Lai Seng merasa betapa kuatnya tangan yang memegang pedang itu sehingga suling peraknya tergetar hebat bertemu dengan pedang. Namun dia pun melihat betapa gadis itu terkejut melihat kekuatan sulingnya. Dalam hal tenaga, dalam adu tenaga pertama ini ternyata mereka seimbang. Tahulah Lai Seng bahwa dia sama sekali salah perhitungan. Gadis ini tidak bisa di samakan dengan kelima Ngo-kwi tadi. maka, diapun berhati-hati dan memutar sulingnya sehingga terbentuk gulungan sinar perak.

Gadis itu tidak mau kalah, pedangnya berkelebatan dan nampak sinar bergulung-gulung mengimbangi gulungan sinar suling. Mereka sudah saling menyerang dengan seru dan ternyata ilmu pedang gadis itu hebat bukan main. Lai Seng harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya untuk mempu menandinginya. Kakek yang duduk di atas tertawa-tawa senang dan memuji-muji ilmu suling yang dimainkan Lai Seng.

Ketika Lai Seng yang hendak mendesak lawannya memainkan Lo-hai Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Lautan) dengan sulingnya, kakek itu berhenti tawanya dan tubuhnya melayang turun, tiba-tiba saja tangannya sudah menangkis suling Lai Seng dan hampir saja dapat merampasnya kalau saja Lai Seng tidak cepat-cepat menariknya kembali dan meloncat ke belakang.

Kakek itu ternyata tinggi besar sekali, sekepala lebih tinggi darinya dan Lai Seng memandang dengan agak jerih. Dari gerakan tangkisan kakek itu tadi saja yang hampir dapat merampas sulingnya, dia tahu bahwa kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tingkatnya jauh lebih tinggi darinya...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.