“Orang muda, darimana engkau mempelajari Lo-hai Kiam-sut? Hayo katakan, dari siapa?” suaranya membentak-bentak seperti orang marah. kakek ini memang menyeramkan. Tidak saja tubuhnya tinggi besar, juga wajahnya menyeramkan dengan rambut riap-riapan, matanya besar dan mulutnya menyerengai dengan gigi yang besar-besar.
Lai Seng yang cerdik maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti, maka cepat dia memberi hormat dan menjawab, “Saya mempelajarinya dari suhu, lo-cian-pwe...“
“Siapa suhumu? Apakah Toat-beng Giam-ong itu suhumu?”
“Benar, lo-cian-pwe. Suhu sekarang telah menjadi Koksu Lui Tat“ kata Lai Seng bangga.
“Hoa-ha-ha-ha-ha, kau kira aku belum tahu? Si Raja Maut itu telah memiliki kedudukan tinggi dan engkau muridnya tentu memiliki kedudukan tinggi pula? Kenapa berkeliaran di sini?”
“Saya hanya menjadi seorang panglima muda, lo-cian-pwe dan sekarang saya bertugas untuk mencari puteri Perdana Menteri Ji yang melarikan diri, sekalian menyelidiki keadaan para pejabat yang hendak memberontak terhadap Kerajaan“
“Ho-ho-ha-ha-ha, Kui Hwa yang begini pantas menjadi suamimu. Dengar, Lai Seng, antara aku Sin-to Kwi-ong (Raja Iblis Golok Sakti) dan gurumu Toat-beng Giam-ong terdapat hubungan baik sebelum gurumu menjadi Koksu. Aku setuju untuk menjodohkan puteriku ini denganmu, bagaimana pendapatmu? Kui Hwa, bagaimana dengan engkau? Setujukah?”
Kui Hwa melirik dan tersenyum genit. “Aku setuju, ayah...“
“Nah, Lai Seng, engkau dengar sendiri, anakku Bong Kwi Hwa ini sudah banyak yang minta, akan tetapi ia tidak mau dan sekarang melihat engkau, ia agaknya sudah setuju untuk berjodoh dengan mu. Bagaimana jawabanmu?”
Lai Seng adalah seorang mata keranjang. Melihat Kui Hwa cukup cantik menarik dan genit, dia sudah merasa suka. Sebetulnya dia belum ingin menikah dan agak keberatan kalau harus menikah, akan tetapi dia tahu bahwa menolak akan menimbulkan bahaya. Orang seperti kakek ini agaknya tidak boleh di tolak keinginannya. Dia harus cerdik, menarik keuntungan sebanyaknya dari setiap peristiwa yang terjadi.
“Lo-cianpwe, suhu tentu akan marah kalau saya menerima sebelum memberitahu suhu. Akan tetapi tentu suhu akan senang kalau saja Lo-cianpwe suka berjanji bahwa lo-cianpwe dan semua anak buah lo-cianpwe bersedia membantu suhu, membantu Kerajaan Mongol di Tang-an. Kalau lo-cianpwe bersedia membantu, tentu suhu tidak berkeberatan untuk menikahkan saya dengan puteri lo-cianpwe...“
“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Engkau seorang panglima yang baik sekali. Orang macam engkau ini tentu akan cepat naik pangkat dan menduduki jabatan tinggi. Engkau selalu mengingat kepentingan kerajaan. Ha-ha-ha, aku setuju sekali. Memang aku ingin membonceng kemakmuran Koksu Toat-beng Giam-ong, ha-ha-ha!”
Demikianlah, Lai Seng tiba-tiba saja memperoleh isteri! Mereka di nikahkan pada beberapa hari kemudian dan setelah semua anak buah berkumpul, ternyata jumlah mereka hamper dua ratus orang. Ini adalah anak buah dari perkumpulan Kwi-to-pang (Perkumpulan Golok Setan) yang tersebar di daerah perbatasan di sepanjang Sungai Huai itu. Diam-diam Lai Seng merasa girang bahwa ayah mertuanya memiliki anak buah yang banyak juga, apalagi semua anak buahnya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian.
Setelah menikah, Lai Seng lalu minta bantuan anak buah ayah mertuanya untuk mencari-cari Ji Goat. Dia menggambarkan seorang gadis cantik yang membawa sepasang pedang pendek yang berpakaian sederhana.
Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati Lai Seng ketika beberapa hari kemudian anak buah ayah mertuanya telah dapat menemukan gadis yang di carinya. Dia lalu mengajak isterinya berunding.
“Sumoiku itu lihai bukan main ilmu pedangnya. Aku seorang diri saja akan sukar untuk menawannya. Bagaimana kalau engkau membantuku?”
“Hemm, engkau hendak membujuk adik seperguruanmu itu mau pulang dan bukankah engkau pernah mengatakan bahwa ia akan di jodohkan denganmu?”
“Kau cemburu...?”
“Sama sekali tidak. Engkau boleh menikah seratus kali, akan tetapi aku harus menjadi yang nomor satu. Kalau satu kali saja engkau mengesampingkan aku dan mengalahkan aku memilih lain wanita, maka wanita itu dan engkau akan kubunuh! Ayah tentu akan membantuku!”
Diam-diam Lai Seng bergidik. Dia percaya sepenuhnya ancaman itu karena isterinya adalah seorang yang sadis dan galak sekali. Juga dia mendapatkan kenyataan bahwa ketika menikah dengan dia, isterinya bukan perawan lagi. Akan tetapi dia tidak mau ribut-ribut karena agaknya bagi golongan sesat ini perawan atau bukan, bukan masalah lagi. Bahkan kini isterinya itu mengatakan bahwa dia boleh kawin lagi sampai seratus kali! Agaknya isterinya tidak akan cemburu melihat dia mencinta gadis lain dan ini tentu ada imbalannya, yaitu diapun tidak boleh cemburu kalau melihat Bong Kwi mencinta pria lain!
“Benar, ayahnya, Perdana Menteri Ji, sudah berjanji akan menikahkan aku dengan sumoi kalau aku mampu membawanya pulang. Akan tetapi bagaimana ia mau? Malah ia agaknya membenciku! Jangankan menikah dengan aku, pulang bersamaku pun ia tidak mau“
Isterinya tersenyum. “Jangan pergunakan kekerasan. Kalau aku membantumu dan kemudian gadis itu tahu bahwa yang membantumu adalah isterimu, tentu ia semakin membencimu“
“Lalu bagaimana aku harus menangkapnya?”
“Menurut keterangan anak buahku, dimana gadis itu sekarang?”
“Ia kelihatan di dalam sebuah kuil tua yang kosong“
“Bagus. Tepat sekali untuk menggunakan siasat ini“ Ia mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya dan menyerahkan bungkusan itu kepada suaminya. “kau dekati ia dan bakar kertas pembungkus obat bius ini di dekat jendela atau pintu kuil. Pendeknya, sekali saja ia menghisap asap dari bakaran obat ini, tentu ia akan pingsan..."
“Akan tetapi kalau ia siuman kembali, ia tetap tidak mau dan aku harus mengunakan kekerasan. Ia akan semakin benci kepadaku...“
“Bodoh! Setelah ia pingsan, engkau tundukkan ia. Sekali ia telah menjadi milikmu, setelah sadar ia pasti bahkan memaksamu untuk mengawininya...“
Lai Seng terbelalak, hampir tidak percaya. “Kau menganjurkan aku untuk… Memperkosanya…? Mana ada isteri menyuruh suaminya memperkosa seorang gadis kalau bukan puteri si Raja Iblis!”
Kwi Hwa terkekeh dan mengangguk. “Itu satu-satunya jalan. Kalau ia siuman dan mengetahui bahwa ia akan menebus aib itu dengan memaksa engkau menikahinya...“
“Ah, bagus sekali. Engkau seorang isteri yang baik, Kwi Hwa. Aku cinta padamu!“ Lai Seng merangkul dan menciumi isterinya itu dengan girang bukan main.
“Hemm, aku sudah membantumu, ada upahnya...“
“Apa upahnya? Mintalah, pasti akan ku penuhi permintaanmu...“
“Tidak banyak. Aku hanya ingin menonton kalau engkau melakukannya...“
Diam-diam Lai Seng menggeleng kepalanya. Dia sendiri murid Koksu yang dulunya juga seorang datuk sesat, akan tetapi kesesatan yang di dengarnya dari isterinya ini sungguh melampaui batas, membuatnya diam-diam merasa tidak senang kepada isterinya ini. Isterinya ternyata seorang perempuan yang tidak tahu malu sama sekali, di samping kekejaman dan kegalakannya. Isterinya adalah seorang perempuan cabul yang tentu tidak pantang untuk berjina dengan siapapun juga. Tidak pantas menjadi isterinya. Dia, seorang panglima dan calon mantu Perdana Menteri!
“Apa? Engkau menggeleng kepala? Tidak boleh?” Kwi Hwa berkata dengan nada mengancam.
“Siapa yang tidak boleh? Tentu saja boleh, aku menggeleng kepala hanya karena heran mendengar permintaanmu yang aneh-aneh...“
Demikian, malam itu juga Lai Seng pergi ke kuil tua dimana anak buah isterinya melihat Ji Goat. Malam telah larut dan cuaca hanya di terangi jutaan bintang di langit. Setelah melakukan pengintaian, benar saja Lai Seng melihat gadis itu tidur di ruangan kecil di sudut ruangan itu masih menyala. Cepat dia membakar bungkusan obat bius itu dan nampak banyak asap keluar.
Dia sendiri sudah menutupi hidungnya dengan sapu tangan yang dipergunakan sebagai kedok dan cepat meninggalkan tempat itu, mengintai dari jauh betapa bungkusan yang terbakar dan yang dia lemparkan ke dalam ruangan itu mengeluarkan banyak asap. Terdengar suara gadis itu terbatuk-batuk dan nampak bayangannya bangkit berdiri, terhuyung ke dekat pintu lalu roboh! Asap beracun itu telah hasil baik!
Setelah asap membuyar, Lai Seng segera menghampiri dan melihat gadis itu menggeletak dalam keadaan seperti orang tidur pulas. Dia tidak dapat melihat wajah gadis itu dengan jelas, akan tetapi tidak salah lagi, dari bentuk tubuhnya saja dia yakin bahwa gadis itu adalah Ji Goat.
“Hayo cepat… bawa masuk ke dalam ruangan itu…“ bisik isterinya yang ikut mengintai.
Jantungnya berdebar penuh ketegangan ketika Lai Seng memondong tubuh gadis itu ke dalam ruangan yang remang-remang itu dan selanjutnya terjadilah dua macam perbuatan terkutuk. Yang pertama di lakukan oleh Lai Seng yang memperkosa gadis yang sedang pingsan itu dan yang kedua dilakukan oleh Bong Kwi Hwa yang mengintai dan menonton adengan itu dengan muka kemerahan dan mata bersinar-sinar penuh nafsu.
Semua orang memperebutkan kekuasaan dan dalam perebutan ini manusia menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Karena ingin sekali menjadi mantu Perdana Menteri dan mendapatkan kekuasaan, Lai Seng tidak segan-segan melakukan perbuatan yang keji terhadap seorang gadis. Bahkan manusia tidak segan untuk membunuh sesamanya demi mendapatkan kekuasaan itu. Mengapa kekuasaan diperebutkan sampai sedemikan oleh manusia?
Kekuasaan menjamin kehidupan yang penuh dengan kesenangan dan kemenangan. Siapa berkuasa dia akan menang dan akan dibenarkan dalam segala hal, dan siapa berkuasa diapun dapat hidup berenang di dalam kemuliaan, kekayaan dan juga kehormatan. Semua itu sebenarnya hanya mempunyai satu tujuan, yaitu kesenangan!
Makanan nafsu, karena nafsu haus akan kesenangan. Maka, nafsu menguasai manusia untuk mengejar kesenangan sebanyak mungkin. Makin banyak yang di reguk, nafsu menjadi semakin haus. Dan untuk mendapatkan kesenangan yang di reguknya, nafsu membuat manusia lupa akan kemanusiaannya, lupa diri dan lupa bahwa sebetulnya hidup yang diberikan kepadanya bukanlah untuk menjadi budak nafsu.
Manusia tidak lagi menggunakan perikemanusiaan sebagai penuntun jalan hidup, melainkan menggunakan perikebinatangan atau hukum rimba. Bagi binatang, siapa kuat dia menang dan siapa menang dia berkuasa dan siapa berkuasa dia berhak melakukan apa saja dan tidak bisa di salahkan. Yang menyalahkan akan di hantam dengan kekuasaannya. Sebetulnya, perikebinatangan atau hukum rimba ini hanya berlaku bagi binantang yang tidak memiliki akal budi seperti manusia. Akan tetapi ternyata perekebinatangan telah dipergunakan oleh manusia di seluruh dunia sebagai jalan hidupnya.
Kalau kita mau membuka mata melihat kehidupan di kanan kiri kita, maka akan nampaklah bahwa hukum rimba berlaku di mana-mana. Baik di dalam rumah sendiri maupun di luar rumah. Yang lebih tinggi kedudukannya, lebih besar kekuasaannya. Siapakah yang mampu menyalahkan seorang kaisar? Kaisar tidak pernah bersalah dan kaisar tempat kebenaran, tempat penentu hukum. Seorang pembesar akan di himpit dan di kalahkan oleh atasannya dan demikian seterusnya.
Persis keadaan seperti di dalam rumah sendiri. Ayah paling berkuasa, menghardik ibu. Ibu menjewer anaknya yang sulung dan si sulung menampar adiknya yang melampiaskan kejengkelannya kepada adiknya lagi sampai kepada si bungsu. Dan si bungsu mempergunakan kekuasaannya memaki pembantu rumah tangga yang karena tidak mempunyai sasaran kemarahan lalu memukul anjing peliharaan keluarga. Demikianlah, yang atas menghimpit ke bawah sesuai dengan hukum rimba.
Perbuatan Lai Seng yang terkutuk itu bahkan di restui oleh isterinya. Suatu kesesatan yang tiada taranya. Namun, karena mereka berdua adalah murid dari datuk-datuk sesat, maka peristiwa terkutuk itu sudah biasa saja bagi mereka. Baru pada keesokan harinya Lai Seng melepaskan korbannya. Dan ketika gadis itu sadar dan mengetahui apa yang telah terjadi atas dirinya, dunia bagaikan kiamat baginya. Ia menangis dan menggenakan pakaian secepatnya, kemudian menyambar pedangnya yang berada di sudut ruangan dan ia mencari-cari pelakunya. Pada saat itu, Lai Seng yang baru saja harus melayani isterinya memasuki ruangan.
“Jahanam keparat!” Gadis itu menyerangnya dengan pedang, serangannya di lakukan dengan penuh kebencian dan sakit hati. Akan tetapi, Lai Seng menangkis dengan sulingnya membuat pedang itu terpental. Akan tetapi diapun kaget setengah mati ketika melihat gadis yang semalam telah menjadi korban keganasannya. Gadis itu memang cantik dan ramping seperti Ji Goat, akan tetapi sama sekali bukan Ji Goat!
“Kau… kau siapakah, nona?“ tanyanya, penuh keheranan dan kekecewaan karena ternyata yang diperkosanya semalam sama sekali bukan Ji Goat melainkan gadis lain. Walaupun dia tidak merasa menyesal karena gadis ini cantik juga, namun semua usahanya untuk menguasai Ji Goat menjadi sia-sia. Gadis itu adalah Kwee Sun Nio, murid Im Yang Tokouw ketua Thian-li-pang.
“Dan engkau siapa? Engkau jahanam busuk, apa yang telah kau lakukan terhadap diriku?” Sun Nio menangis. Tadi ketika pemuda itu menangkis dengan suling peraknya, dara ini merasakan betapa besar tenaga pemuda itu dan baru sekarang ia melihat bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah.
Akan tetapi, begitu melihat bahwa gadis itu bukan Ji Goat, Lai Seng yang cerdik sudah mendapat akal untuk membersihkan diri. “Ah, apa yang kau maksudkan, nona? Aku baru saja lewat di sini dan tadi aku melihat pemimpin para pengemis itu meninggalkan tempat ini dengan tergesa-gesa. Aku lalu masuk dan tahu-tahu engkau menyerangku! Aku tidak mengenalmu dan baru sekarang melihatmu, maka apa yang telah kulakukan terhadap dirimu, nona?”
Sun Nio terbelalak dan menjadi bimbang. Sudah jelas, ia telah di perkosa orang, akan tetapi ia tidak tahu siapa pelakunya, karena ketika di perkosa ia berada dalam keadaan tidak sadar atau setengah pingsan. Ia hanya teringat bahwa ada laki-laki menggaulinya, akan tetapi tidak tahu siapa?
“Pemimpin para pengemis? Benarkah engkau melihat dia meninggalkan tempat ini?”
“Benar, baru saja aku melihatnya dia melompat dari sini. Aku hendak menegurnya akan tetapi dia melompat jauh dan pergi. Orang itu memang lihai sekali, dan jahat. Yang nona katakan melakukan sesuatu, tentulah orang itu, bukan aku!”
Kini jelaslah bagi Sun Nio. Ia telah salah sangka. Bukan pemuda tampan bersuling ini yang memperkosanya, melainkan pemimpin para pengemis! “Siapa namanya dan dimana aku dapat menemukan orang itu?” tanyanya sambil menahan kemarahannya dan dengan sepasang mata yang berlinang air mata.
“Nanti dulu, nona. Aku lebih dulu ingin mengetahui siapakah nona? Aku sendiri bernama Lai Seng, seorang panglima kerajaan yang sedang mengadakan perjalanan ke daerah ini. Siapa nona, dan mengapa pula berada di sini seorang diri?”
Sun Nio menjadi tidak sabar, akan tetapi karena ia membutuhkan keterangan tentang pemerkosanya dari orang ini, terpaksa ia menjawab, “namaku Kwee Sun Nio dan aku adalah seorang murid Thian-li-pang. Lai-ciangkun, harap kau katakan, siapa pemimpin pengemis itu dan dimana aku dapat menemukannya...“
“Ah, dia seorang yang bernama Yang Cien, pemimpin para pengemis Hek I Kaipang“
“Dimana dia...?”
“Aku tidak tahu, nona. Hek I Kaipang adalah perkumpulan pengemis liar yang berkeliaran di daerah ini. Nona, engkau membutuhkan bantuan untuk menghadapi Yang Cien dan Hek I Kaipang. Bukankah Thian-li-pang merupakan perkumpulan besar? Laporkan saja kepada ketua Thian-li-pang kalau Yang Cien melakukan sesuatu yang tidak baik, dan dengan kekuatan Thian-li-pang maka barulah engkau akan dapat menghadapi Hek I Kaipang. Akan tetapi, apakah yang telah di lakukan Yang Cien terhadap dirimu, nona?”
Wajah Sun Nio berubah merah sekali. “Tidak ada hubungannya denganmu, ciangkun. Terima kasih atas keteranganmu dan selamat tinggal, aku akan mencari Yang Cien!” Berkata demikian Sun Nio lalu melompat pergi dari tempat itu, menghilang dalam keremangan fajar. Lai Seng tersenyum dan muncullah isterinya dari balik kuil itu.
“Apa yang terjadi? Nona itu bukan Ji Goat yang kau maksudkan?”
Lai Seng menghela napas panjang. “Ahhh, anak buahmu telah salah sangka . Gadis itu sama sekali bukan Ji Goat, melainkan murid Thian-li-pang!”
“Ahhh…! Kenapa engkau tidak mengetahuinya semalam?”
“Bagaimana aku bisa tahu? Keadaannya gelap, mana dapat membedakan antara ia dengan Ji Goat yang juga belum pernah aku mendekatinya?”
“Celaka, kita mendapatkan musuh baru, dan Thian-li-pang tidak boleh di buat main-main!” seru Kwi Hwa.
“Jangan khawatir. Aku telah mengalihkan permusuhan mereka itu kepada musuh kita, kepada Hek I Kaipang. Aku membuat ia menduga bahwa yang memperkosanya adalah Yang Cien, sahabat para pimpinan Hek I Kaipang...“
“Dan ia percaya?”
“Tentu saja. Dalam keadaan setengah sadar itu, mana ia mengenal siapa yang telah melakukannya? Ia marah dan kini sudah pergi mencari orang yang bernama Yang Cien. Kita bahkan untung, dapat mengadu domba antara Thian-li-pang dan Hek I Kaipang...“
“Bagus sekali. Engkau memang pandai, suamiku! Padahal, Thian-li-pang juga perkumpulan yang terkenal keras dan bersikap tidak bersahabat terhadap pemerintah, sama dengan Hek I Kaipang...“
“Benar, dan kalau kita dapat mengadu domba di antara mereka, itu merupakan keuntungan besar bagi pemerintah...“
Suami isteri ini lalu meninggalkan tempat itu dengan hati senang dan terutama sekali Lai Seng tidak jadi kecewa. Pertama, dia telah bersenang-senang semalam, kedua, dia telah berhasil mengadu domba antara Hek I Kaipang dan Thian Li Pang.
Akauw terombang-ambing di dalam perahunya. Dia merasa tidak berdaya dengan dayungnya karena ombak semakin membesar. Sebetulnya, tukang-tukang perahu yang menjual sebuah perahu kecil kepadanya sudah mengatakan bahwa Pulau Naga tidak mudah di datangi dengan perahu kecil yang hanya di dayung karena seringkali di situ terjadi badai dan ombaknya besar. Akan tetapi dengan semangat bernyala-nyala ingin mendapatkan kembali Hek-liong Po-kiam, Akauw yang pemberani itu tidak mundur.
Setelah tidak ada tukang perahu yang berani mengantarnya, bukan hanya takut badai akan tetapi juga takut karena di perairan itu terkenal adanya bajak laut yang ganas, Akauw lalu mendayung sendiri perahunya dengan penuh semangat Tenaganya besar dan perahunya meluncur cepat ke tengah samudera, kearah Pulau Naga yang hanya nampak seperti titik hitam kecil dari pantai, di antara titik-titik hitam kecil lain. Ternyata daerah itu merupakan gugusan pulau-pulau kecil dan satu di antaranya adalah Pulau Naga yang menjadi tempat tinggal Hek-liong-ong Poa Yok Su.
Kini, di serang badai dengan ombak-ombak besar, Akauw mulai merasa pening. Biarpun dia memiliki tubuh yang kuat, akan tetapi dia tidak biasa dengan kehidupan di laut, maka begitu di serang badai, dia menjadi mabok laut dan merasa mual lalu muntah-muntah. Kini dia tidak lagi dapat menguasai perahunya. Padahal Pulau Naga sudah mulai kelihatan sebagai benda hitam yang besar, bukan lagi titik hitam. Perahunya terbawa ombak dan dia tidak lagi dapat mengarahkan perahunya ke Pulau Naga.
Dayungnya sama sekali tidak ada artinya lagi dalam menghadapi gelombang dan terpaksa dia membiarkan perahunya di bawa ombak. Dia merasa betapa dirinya kecil sekali, kecil tidak ada artinya di tengan gelombang lautan yang dahsyat itu. Segala macam kepandaian, kekuatan dan pengetahuannya seolah lenyap di telan gelombang dan dia menjadi seorang mahluk yang tidak berdaya dan hanya dapat menyerahkan nasibnya ke Tangan Yang Maha Kuasa, yang menciptakan gelombang lautan itu.
Dalam keadaan setengah pingsan karena mabok laut, akhirnya perahu yang di tumpanginya dilemparkan ombak dan terdampar ke sebuah pulau! Akauw berusaha keluar sebelum perahunya di sambar dan di seret ombak lagi. Dia berjalan terhuyung-huyung di atas pasir danakhirnya dengan lemas dia jatuh dan rebah miring dalam keadaan pingsan di atas pasir yang panas.
Dia tidak sadar ketika banyak tangan yang berkulit putih halus namun berotot kuat mengangkatnya dan menggotongnya pergi dari pantai menuju ke pedalaman pulau. Ketika Akauw siumanan, dia mendapat dirinya berada dalam sebuah ruangan yang penuh wanita. Wanita-wanita itu berusia antara dua puluh sampai empatpuluh tahun, rata-rata bertubuh kuat dan berpakaian seperti wanita kangouw dan diantara mereka terdapat juga yang berwajah manis. Dan yang duduk di dipan, dan agaknya sedang merawatnya adalah seorang wanita berusia kurang lebih limapuluh tahun, memegang sebuah mangkok berisi air yang berbau sedap obat.
“Minumlah ini, orang muda, engkau akan sehat kembali...“ kata wanita itu dengan lembut.
Karena dapat menduga bahwa wanita tua itu menolongnya, Akauw tidak membantah. Dia bangkit duduk dan baru dia mengetahui bahwa tubuhnya telah memakai pakaian kering, bukan pakaiannya sendiri. Dia bergidik. Siapa yang telah menggantikan pakaiannya? Perempuan-perempuan itu? Dan heran dia mengapa di antara hamper dua puluh orang wanita itu dia tidak melihat seorangpun pria. Dia minum cairan obat itu lalu bertanya.
“Bibi, aku berada dimana dan siapakah kalian?”
“Orang muda yang gagah, engkau berada di Pulau Hiu dan kami semua adalah anak buah dari siocia...”
“Siaocia adalah yang memimpin kami di Pulau Hiu ini, Engkau akan melihatnya sendiri nanti.
“Keluar dari ruangan ini, semuanya!” terdengar bentakan halus dan para wanita itu sambil terkekeh genit meninggalkan ruangan itu, hanya tinggal wanita setengah tua yang merawat Akauw saja yang tinggal dan wanita inipun cepat-cepat bangkit berdiri ketika semua wanita sudah keluar dan ada seorang wanita muda memasuki ruangan itu. Begitu ia masuk, tercium bau yang harum sekali dan Akauw segera membalikkan tubuh untuk memandangnya. Dan dia ternganga heran.
Wanita itu sungguh tidak pantas berada di tengah-tengah para wanita yang kasar tadi. Wanita ini masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya, dan wajahnya cantik jelita, pakaiannya indah dan tidak nampak berotot seperti para wanita tadi, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan di situlah terletak kewibawaannya dan menunjukkan bahwa ia bukan seorang biasa dan patut menjadi pemimpin.
“Bagaimana keadaanya, bibi?” Tanya wanita itu, suaranya lembut namun di balik kelembutan itu terdapat ketegasan sikap yang membaja.
“Keadaannya sudah baik, Siocia...“
“Kalau begitu, engkau keluarlah, bibi dan tinggalkan kami...“
“Baik, siocia...“ wanita setengah tua itu lalu pergi dari ruangan itu dan suasana menjadi sunyi. Agaknya para wanita tadi tidak ada yang berani mendekati ruangan itu setelah di suruh pergi, dan ini menunjukkan pula betapa besar wibawa gadis ini.
Mereka saling pandang dan Akauw melihat sinar kagum terpancar dari sepasang mata yang indah tajam itu. “Siapa namamu?” Tanya wanita itu, nada suaranya adalah nada orang yang biasa memerintah dan menuntut keterangan.
“Namaku Cian Kauw Cu...“ jawab Akauw dengan tegas pula. Dia sudah sembuh dan tidak pusing lagi, hanya perutnya terasa amat lapar. Dia melihat bahwa buntalan pakaiannya, yang juga ada sekantung emasnya, berada di situ pula, di atas meja.
“Darimana engkau datang?”
“Dari pantai seberang sana...“
“Hendak kemana?”
Akauw merasa seperti seorang pesakitan menghadapi hakim, akan tetapi pertanyaan itu dijawabnya juga, “Aku hendak pergi ke Pulau Naga“
Wanita itu mengerutkan alisnya. “Mau apa ke Pulau Naga?”
“Mau mencari Hek-liong-ong...“
Kerut di alis itu makin mendalam. “Apa? Engkau mencari Hek-liong-ong? Mau apa mencarinya?”
“Mau minta kembali pedangku yang di rampasnya dariku...“
Kini sepasang mata itu memandangnya dengan mencorong penuh selidik. “Hek-liong-ong merampas pedangmu dan kini engkau hendak menemuinya untuk minta kembali pedangmu itu?”
“Benar...!“
“Kalau dia tidak mau mengembalikan?”
“Akan kupaksa dia mengembalikan pedangku...“
“Kau berani melawannya?”
“Kenapa mesti takut? Aku tidak bersalah...“
Kini gadis itu terbelalak dan matanya yang mencorong itu memandangi Akauw dari kepala sampai kaki. “Hendak kulihat sampai dimana kepandaianmu maka engkau berani hendak melawan Hek-liong-ong!”
Berkata demikian, tiba-tiba gadis cantik itu sudah menyerang Akauw dengan sebuah tamparan kilat yang kuat sekali sehingga mengeluarkan angina pukulan besiutan. Akauw tidak terkejut dan dia sudah mengelak sambil melangkah mundur. Ketika gadis itu mengejar dan menyerangnya lagi, diapun menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Duukkk!”
keduanya terdorong ke belakang oleh beradunya kedua lengan itu. Gadis itu mengeluarkan seruan heran dan kini dengan cepat sekali ia mengirim serangan bertubi-tubi.
Akauw dapat menangkap pergelangan tangan kanan gadisi itu. “Tahan! Aku tidak ingin berkelahi dengan orang yang telah menyelamatkan aku dari air laut...“
“Siapa berkelahi? Aku ingin mengujimu!” kata gadis itu.
Dan tangan kirinya menyambar kearah dada Akauw yang terpaksa melepaskan pegangannya dan kembali mereka sudah saling serang karena kini Akauw juga membalas serangan gadis itu. Dia dapat merasakan bahwa gadis itu lihai sekali, maka diapun harus mengeluarkan kepandaiannya. Kalau gadis itu hendak mengujinya, dia harus tidak sampai kalah. Kegesitan gadis itu mengingatkan dia akan Ji Goat, gadis yang di cintainya. Diapun tidak tega untuk melukai, maka dalam pertandingan itu, dia lebih banyak mengalah.
Lai Seng yang cerdik maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti, maka cepat dia memberi hormat dan menjawab, “Saya mempelajarinya dari suhu, lo-cian-pwe...“
“Siapa suhumu? Apakah Toat-beng Giam-ong itu suhumu?”
“Benar, lo-cian-pwe. Suhu sekarang telah menjadi Koksu Lui Tat“ kata Lai Seng bangga.
“Hoa-ha-ha-ha-ha, kau kira aku belum tahu? Si Raja Maut itu telah memiliki kedudukan tinggi dan engkau muridnya tentu memiliki kedudukan tinggi pula? Kenapa berkeliaran di sini?”
“Saya hanya menjadi seorang panglima muda, lo-cian-pwe dan sekarang saya bertugas untuk mencari puteri Perdana Menteri Ji yang melarikan diri, sekalian menyelidiki keadaan para pejabat yang hendak memberontak terhadap Kerajaan“
“Ho-ho-ha-ha-ha, Kui Hwa yang begini pantas menjadi suamimu. Dengar, Lai Seng, antara aku Sin-to Kwi-ong (Raja Iblis Golok Sakti) dan gurumu Toat-beng Giam-ong terdapat hubungan baik sebelum gurumu menjadi Koksu. Aku setuju untuk menjodohkan puteriku ini denganmu, bagaimana pendapatmu? Kui Hwa, bagaimana dengan engkau? Setujukah?”
Kui Hwa melirik dan tersenyum genit. “Aku setuju, ayah...“
“Nah, Lai Seng, engkau dengar sendiri, anakku Bong Kwi Hwa ini sudah banyak yang minta, akan tetapi ia tidak mau dan sekarang melihat engkau, ia agaknya sudah setuju untuk berjodoh dengan mu. Bagaimana jawabanmu?”
Lai Seng adalah seorang mata keranjang. Melihat Kui Hwa cukup cantik menarik dan genit, dia sudah merasa suka. Sebetulnya dia belum ingin menikah dan agak keberatan kalau harus menikah, akan tetapi dia tahu bahwa menolak akan menimbulkan bahaya. Orang seperti kakek ini agaknya tidak boleh di tolak keinginannya. Dia harus cerdik, menarik keuntungan sebanyaknya dari setiap peristiwa yang terjadi.
“Lo-cianpwe, suhu tentu akan marah kalau saya menerima sebelum memberitahu suhu. Akan tetapi tentu suhu akan senang kalau saja Lo-cianpwe suka berjanji bahwa lo-cianpwe dan semua anak buah lo-cianpwe bersedia membantu suhu, membantu Kerajaan Mongol di Tang-an. Kalau lo-cianpwe bersedia membantu, tentu suhu tidak berkeberatan untuk menikahkan saya dengan puteri lo-cianpwe...“
“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Engkau seorang panglima yang baik sekali. Orang macam engkau ini tentu akan cepat naik pangkat dan menduduki jabatan tinggi. Engkau selalu mengingat kepentingan kerajaan. Ha-ha-ha, aku setuju sekali. Memang aku ingin membonceng kemakmuran Koksu Toat-beng Giam-ong, ha-ha-ha!”
Demikianlah, Lai Seng tiba-tiba saja memperoleh isteri! Mereka di nikahkan pada beberapa hari kemudian dan setelah semua anak buah berkumpul, ternyata jumlah mereka hamper dua ratus orang. Ini adalah anak buah dari perkumpulan Kwi-to-pang (Perkumpulan Golok Setan) yang tersebar di daerah perbatasan di sepanjang Sungai Huai itu. Diam-diam Lai Seng merasa girang bahwa ayah mertuanya memiliki anak buah yang banyak juga, apalagi semua anak buahnya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian.
Setelah menikah, Lai Seng lalu minta bantuan anak buah ayah mertuanya untuk mencari-cari Ji Goat. Dia menggambarkan seorang gadis cantik yang membawa sepasang pedang pendek yang berpakaian sederhana.
********************
Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati Lai Seng ketika beberapa hari kemudian anak buah ayah mertuanya telah dapat menemukan gadis yang di carinya. Dia lalu mengajak isterinya berunding.
“Sumoiku itu lihai bukan main ilmu pedangnya. Aku seorang diri saja akan sukar untuk menawannya. Bagaimana kalau engkau membantuku?”
“Hemm, engkau hendak membujuk adik seperguruanmu itu mau pulang dan bukankah engkau pernah mengatakan bahwa ia akan di jodohkan denganmu?”
“Kau cemburu...?”
“Sama sekali tidak. Engkau boleh menikah seratus kali, akan tetapi aku harus menjadi yang nomor satu. Kalau satu kali saja engkau mengesampingkan aku dan mengalahkan aku memilih lain wanita, maka wanita itu dan engkau akan kubunuh! Ayah tentu akan membantuku!”
Diam-diam Lai Seng bergidik. Dia percaya sepenuhnya ancaman itu karena isterinya adalah seorang yang sadis dan galak sekali. Juga dia mendapatkan kenyataan bahwa ketika menikah dengan dia, isterinya bukan perawan lagi. Akan tetapi dia tidak mau ribut-ribut karena agaknya bagi golongan sesat ini perawan atau bukan, bukan masalah lagi. Bahkan kini isterinya itu mengatakan bahwa dia boleh kawin lagi sampai seratus kali! Agaknya isterinya tidak akan cemburu melihat dia mencinta gadis lain dan ini tentu ada imbalannya, yaitu diapun tidak boleh cemburu kalau melihat Bong Kwi mencinta pria lain!
“Benar, ayahnya, Perdana Menteri Ji, sudah berjanji akan menikahkan aku dengan sumoi kalau aku mampu membawanya pulang. Akan tetapi bagaimana ia mau? Malah ia agaknya membenciku! Jangankan menikah dengan aku, pulang bersamaku pun ia tidak mau“
Isterinya tersenyum. “Jangan pergunakan kekerasan. Kalau aku membantumu dan kemudian gadis itu tahu bahwa yang membantumu adalah isterimu, tentu ia semakin membencimu“
“Lalu bagaimana aku harus menangkapnya?”
“Menurut keterangan anak buahku, dimana gadis itu sekarang?”
“Ia kelihatan di dalam sebuah kuil tua yang kosong“
“Bagus. Tepat sekali untuk menggunakan siasat ini“ Ia mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya dan menyerahkan bungkusan itu kepada suaminya. “kau dekati ia dan bakar kertas pembungkus obat bius ini di dekat jendela atau pintu kuil. Pendeknya, sekali saja ia menghisap asap dari bakaran obat ini, tentu ia akan pingsan..."
“Akan tetapi kalau ia siuman kembali, ia tetap tidak mau dan aku harus mengunakan kekerasan. Ia akan semakin benci kepadaku...“
“Bodoh! Setelah ia pingsan, engkau tundukkan ia. Sekali ia telah menjadi milikmu, setelah sadar ia pasti bahkan memaksamu untuk mengawininya...“
Lai Seng terbelalak, hampir tidak percaya. “Kau menganjurkan aku untuk… Memperkosanya…? Mana ada isteri menyuruh suaminya memperkosa seorang gadis kalau bukan puteri si Raja Iblis!”
Kwi Hwa terkekeh dan mengangguk. “Itu satu-satunya jalan. Kalau ia siuman dan mengetahui bahwa ia akan menebus aib itu dengan memaksa engkau menikahinya...“
“Ah, bagus sekali. Engkau seorang isteri yang baik, Kwi Hwa. Aku cinta padamu!“ Lai Seng merangkul dan menciumi isterinya itu dengan girang bukan main.
“Hemm, aku sudah membantumu, ada upahnya...“
“Apa upahnya? Mintalah, pasti akan ku penuhi permintaanmu...“
“Tidak banyak. Aku hanya ingin menonton kalau engkau melakukannya...“
Diam-diam Lai Seng menggeleng kepalanya. Dia sendiri murid Koksu yang dulunya juga seorang datuk sesat, akan tetapi kesesatan yang di dengarnya dari isterinya ini sungguh melampaui batas, membuatnya diam-diam merasa tidak senang kepada isterinya ini. Isterinya ternyata seorang perempuan yang tidak tahu malu sama sekali, di samping kekejaman dan kegalakannya. Isterinya adalah seorang perempuan cabul yang tentu tidak pantang untuk berjina dengan siapapun juga. Tidak pantas menjadi isterinya. Dia, seorang panglima dan calon mantu Perdana Menteri!
“Apa? Engkau menggeleng kepala? Tidak boleh?” Kwi Hwa berkata dengan nada mengancam.
“Siapa yang tidak boleh? Tentu saja boleh, aku menggeleng kepala hanya karena heran mendengar permintaanmu yang aneh-aneh...“
Demikian, malam itu juga Lai Seng pergi ke kuil tua dimana anak buah isterinya melihat Ji Goat. Malam telah larut dan cuaca hanya di terangi jutaan bintang di langit. Setelah melakukan pengintaian, benar saja Lai Seng melihat gadis itu tidur di ruangan kecil di sudut ruangan itu masih menyala. Cepat dia membakar bungkusan obat bius itu dan nampak banyak asap keluar.
Dia sendiri sudah menutupi hidungnya dengan sapu tangan yang dipergunakan sebagai kedok dan cepat meninggalkan tempat itu, mengintai dari jauh betapa bungkusan yang terbakar dan yang dia lemparkan ke dalam ruangan itu mengeluarkan banyak asap. Terdengar suara gadis itu terbatuk-batuk dan nampak bayangannya bangkit berdiri, terhuyung ke dekat pintu lalu roboh! Asap beracun itu telah hasil baik!
Setelah asap membuyar, Lai Seng segera menghampiri dan melihat gadis itu menggeletak dalam keadaan seperti orang tidur pulas. Dia tidak dapat melihat wajah gadis itu dengan jelas, akan tetapi tidak salah lagi, dari bentuk tubuhnya saja dia yakin bahwa gadis itu adalah Ji Goat.
“Hayo cepat… bawa masuk ke dalam ruangan itu…“ bisik isterinya yang ikut mengintai.
Jantungnya berdebar penuh ketegangan ketika Lai Seng memondong tubuh gadis itu ke dalam ruangan yang remang-remang itu dan selanjutnya terjadilah dua macam perbuatan terkutuk. Yang pertama di lakukan oleh Lai Seng yang memperkosa gadis yang sedang pingsan itu dan yang kedua dilakukan oleh Bong Kwi Hwa yang mengintai dan menonton adengan itu dengan muka kemerahan dan mata bersinar-sinar penuh nafsu.
Semua orang memperebutkan kekuasaan dan dalam perebutan ini manusia menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Karena ingin sekali menjadi mantu Perdana Menteri dan mendapatkan kekuasaan, Lai Seng tidak segan-segan melakukan perbuatan yang keji terhadap seorang gadis. Bahkan manusia tidak segan untuk membunuh sesamanya demi mendapatkan kekuasaan itu. Mengapa kekuasaan diperebutkan sampai sedemikan oleh manusia?
Kekuasaan menjamin kehidupan yang penuh dengan kesenangan dan kemenangan. Siapa berkuasa dia akan menang dan akan dibenarkan dalam segala hal, dan siapa berkuasa diapun dapat hidup berenang di dalam kemuliaan, kekayaan dan juga kehormatan. Semua itu sebenarnya hanya mempunyai satu tujuan, yaitu kesenangan!
Makanan nafsu, karena nafsu haus akan kesenangan. Maka, nafsu menguasai manusia untuk mengejar kesenangan sebanyak mungkin. Makin banyak yang di reguk, nafsu menjadi semakin haus. Dan untuk mendapatkan kesenangan yang di reguknya, nafsu membuat manusia lupa akan kemanusiaannya, lupa diri dan lupa bahwa sebetulnya hidup yang diberikan kepadanya bukanlah untuk menjadi budak nafsu.
Manusia tidak lagi menggunakan perikemanusiaan sebagai penuntun jalan hidup, melainkan menggunakan perikebinatangan atau hukum rimba. Bagi binatang, siapa kuat dia menang dan siapa menang dia berkuasa dan siapa berkuasa dia berhak melakukan apa saja dan tidak bisa di salahkan. Yang menyalahkan akan di hantam dengan kekuasaannya. Sebetulnya, perikebinatangan atau hukum rimba ini hanya berlaku bagi binantang yang tidak memiliki akal budi seperti manusia. Akan tetapi ternyata perekebinatangan telah dipergunakan oleh manusia di seluruh dunia sebagai jalan hidupnya.
Kalau kita mau membuka mata melihat kehidupan di kanan kiri kita, maka akan nampaklah bahwa hukum rimba berlaku di mana-mana. Baik di dalam rumah sendiri maupun di luar rumah. Yang lebih tinggi kedudukannya, lebih besar kekuasaannya. Siapakah yang mampu menyalahkan seorang kaisar? Kaisar tidak pernah bersalah dan kaisar tempat kebenaran, tempat penentu hukum. Seorang pembesar akan di himpit dan di kalahkan oleh atasannya dan demikian seterusnya.
Persis keadaan seperti di dalam rumah sendiri. Ayah paling berkuasa, menghardik ibu. Ibu menjewer anaknya yang sulung dan si sulung menampar adiknya yang melampiaskan kejengkelannya kepada adiknya lagi sampai kepada si bungsu. Dan si bungsu mempergunakan kekuasaannya memaki pembantu rumah tangga yang karena tidak mempunyai sasaran kemarahan lalu memukul anjing peliharaan keluarga. Demikianlah, yang atas menghimpit ke bawah sesuai dengan hukum rimba.
Perbuatan Lai Seng yang terkutuk itu bahkan di restui oleh isterinya. Suatu kesesatan yang tiada taranya. Namun, karena mereka berdua adalah murid dari datuk-datuk sesat, maka peristiwa terkutuk itu sudah biasa saja bagi mereka. Baru pada keesokan harinya Lai Seng melepaskan korbannya. Dan ketika gadis itu sadar dan mengetahui apa yang telah terjadi atas dirinya, dunia bagaikan kiamat baginya. Ia menangis dan menggenakan pakaian secepatnya, kemudian menyambar pedangnya yang berada di sudut ruangan dan ia mencari-cari pelakunya. Pada saat itu, Lai Seng yang baru saja harus melayani isterinya memasuki ruangan.
“Jahanam keparat!” Gadis itu menyerangnya dengan pedang, serangannya di lakukan dengan penuh kebencian dan sakit hati. Akan tetapi, Lai Seng menangkis dengan sulingnya membuat pedang itu terpental. Akan tetapi diapun kaget setengah mati ketika melihat gadis yang semalam telah menjadi korban keganasannya. Gadis itu memang cantik dan ramping seperti Ji Goat, akan tetapi sama sekali bukan Ji Goat!
“Kau… kau siapakah, nona?“ tanyanya, penuh keheranan dan kekecewaan karena ternyata yang diperkosanya semalam sama sekali bukan Ji Goat melainkan gadis lain. Walaupun dia tidak merasa menyesal karena gadis ini cantik juga, namun semua usahanya untuk menguasai Ji Goat menjadi sia-sia. Gadis itu adalah Kwee Sun Nio, murid Im Yang Tokouw ketua Thian-li-pang.
“Dan engkau siapa? Engkau jahanam busuk, apa yang telah kau lakukan terhadap diriku?” Sun Nio menangis. Tadi ketika pemuda itu menangkis dengan suling peraknya, dara ini merasakan betapa besar tenaga pemuda itu dan baru sekarang ia melihat bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah.
Akan tetapi, begitu melihat bahwa gadis itu bukan Ji Goat, Lai Seng yang cerdik sudah mendapat akal untuk membersihkan diri. “Ah, apa yang kau maksudkan, nona? Aku baru saja lewat di sini dan tadi aku melihat pemimpin para pengemis itu meninggalkan tempat ini dengan tergesa-gesa. Aku lalu masuk dan tahu-tahu engkau menyerangku! Aku tidak mengenalmu dan baru sekarang melihatmu, maka apa yang telah kulakukan terhadap dirimu, nona?”
Sun Nio terbelalak dan menjadi bimbang. Sudah jelas, ia telah di perkosa orang, akan tetapi ia tidak tahu siapa pelakunya, karena ketika di perkosa ia berada dalam keadaan tidak sadar atau setengah pingsan. Ia hanya teringat bahwa ada laki-laki menggaulinya, akan tetapi tidak tahu siapa?
“Pemimpin para pengemis? Benarkah engkau melihat dia meninggalkan tempat ini?”
“Benar, baru saja aku melihatnya dia melompat dari sini. Aku hendak menegurnya akan tetapi dia melompat jauh dan pergi. Orang itu memang lihai sekali, dan jahat. Yang nona katakan melakukan sesuatu, tentulah orang itu, bukan aku!”
Kini jelaslah bagi Sun Nio. Ia telah salah sangka. Bukan pemuda tampan bersuling ini yang memperkosanya, melainkan pemimpin para pengemis! “Siapa namanya dan dimana aku dapat menemukan orang itu?” tanyanya sambil menahan kemarahannya dan dengan sepasang mata yang berlinang air mata.
“Nanti dulu, nona. Aku lebih dulu ingin mengetahui siapakah nona? Aku sendiri bernama Lai Seng, seorang panglima kerajaan yang sedang mengadakan perjalanan ke daerah ini. Siapa nona, dan mengapa pula berada di sini seorang diri?”
Sun Nio menjadi tidak sabar, akan tetapi karena ia membutuhkan keterangan tentang pemerkosanya dari orang ini, terpaksa ia menjawab, “namaku Kwee Sun Nio dan aku adalah seorang murid Thian-li-pang. Lai-ciangkun, harap kau katakan, siapa pemimpin pengemis itu dan dimana aku dapat menemukannya...“
“Ah, dia seorang yang bernama Yang Cien, pemimpin para pengemis Hek I Kaipang“
“Dimana dia...?”
“Aku tidak tahu, nona. Hek I Kaipang adalah perkumpulan pengemis liar yang berkeliaran di daerah ini. Nona, engkau membutuhkan bantuan untuk menghadapi Yang Cien dan Hek I Kaipang. Bukankah Thian-li-pang merupakan perkumpulan besar? Laporkan saja kepada ketua Thian-li-pang kalau Yang Cien melakukan sesuatu yang tidak baik, dan dengan kekuatan Thian-li-pang maka barulah engkau akan dapat menghadapi Hek I Kaipang. Akan tetapi, apakah yang telah di lakukan Yang Cien terhadap dirimu, nona?”
Wajah Sun Nio berubah merah sekali. “Tidak ada hubungannya denganmu, ciangkun. Terima kasih atas keteranganmu dan selamat tinggal, aku akan mencari Yang Cien!” Berkata demikian Sun Nio lalu melompat pergi dari tempat itu, menghilang dalam keremangan fajar. Lai Seng tersenyum dan muncullah isterinya dari balik kuil itu.
“Apa yang terjadi? Nona itu bukan Ji Goat yang kau maksudkan?”
Lai Seng menghela napas panjang. “Ahhh, anak buahmu telah salah sangka . Gadis itu sama sekali bukan Ji Goat, melainkan murid Thian-li-pang!”
“Ahhh…! Kenapa engkau tidak mengetahuinya semalam?”
“Bagaimana aku bisa tahu? Keadaannya gelap, mana dapat membedakan antara ia dengan Ji Goat yang juga belum pernah aku mendekatinya?”
“Celaka, kita mendapatkan musuh baru, dan Thian-li-pang tidak boleh di buat main-main!” seru Kwi Hwa.
“Jangan khawatir. Aku telah mengalihkan permusuhan mereka itu kepada musuh kita, kepada Hek I Kaipang. Aku membuat ia menduga bahwa yang memperkosanya adalah Yang Cien, sahabat para pimpinan Hek I Kaipang...“
“Dan ia percaya?”
“Tentu saja. Dalam keadaan setengah sadar itu, mana ia mengenal siapa yang telah melakukannya? Ia marah dan kini sudah pergi mencari orang yang bernama Yang Cien. Kita bahkan untung, dapat mengadu domba antara Thian-li-pang dan Hek I Kaipang...“
“Bagus sekali. Engkau memang pandai, suamiku! Padahal, Thian-li-pang juga perkumpulan yang terkenal keras dan bersikap tidak bersahabat terhadap pemerintah, sama dengan Hek I Kaipang...“
“Benar, dan kalau kita dapat mengadu domba di antara mereka, itu merupakan keuntungan besar bagi pemerintah...“
Suami isteri ini lalu meninggalkan tempat itu dengan hati senang dan terutama sekali Lai Seng tidak jadi kecewa. Pertama, dia telah bersenang-senang semalam, kedua, dia telah berhasil mengadu domba antara Hek I Kaipang dan Thian Li Pang.
********************
Akauw terombang-ambing di dalam perahunya. Dia merasa tidak berdaya dengan dayungnya karena ombak semakin membesar. Sebetulnya, tukang-tukang perahu yang menjual sebuah perahu kecil kepadanya sudah mengatakan bahwa Pulau Naga tidak mudah di datangi dengan perahu kecil yang hanya di dayung karena seringkali di situ terjadi badai dan ombaknya besar. Akan tetapi dengan semangat bernyala-nyala ingin mendapatkan kembali Hek-liong Po-kiam, Akauw yang pemberani itu tidak mundur.
Setelah tidak ada tukang perahu yang berani mengantarnya, bukan hanya takut badai akan tetapi juga takut karena di perairan itu terkenal adanya bajak laut yang ganas, Akauw lalu mendayung sendiri perahunya dengan penuh semangat Tenaganya besar dan perahunya meluncur cepat ke tengah samudera, kearah Pulau Naga yang hanya nampak seperti titik hitam kecil dari pantai, di antara titik-titik hitam kecil lain. Ternyata daerah itu merupakan gugusan pulau-pulau kecil dan satu di antaranya adalah Pulau Naga yang menjadi tempat tinggal Hek-liong-ong Poa Yok Su.
Kini, di serang badai dengan ombak-ombak besar, Akauw mulai merasa pening. Biarpun dia memiliki tubuh yang kuat, akan tetapi dia tidak biasa dengan kehidupan di laut, maka begitu di serang badai, dia menjadi mabok laut dan merasa mual lalu muntah-muntah. Kini dia tidak lagi dapat menguasai perahunya. Padahal Pulau Naga sudah mulai kelihatan sebagai benda hitam yang besar, bukan lagi titik hitam. Perahunya terbawa ombak dan dia tidak lagi dapat mengarahkan perahunya ke Pulau Naga.
Dayungnya sama sekali tidak ada artinya lagi dalam menghadapi gelombang dan terpaksa dia membiarkan perahunya di bawa ombak. Dia merasa betapa dirinya kecil sekali, kecil tidak ada artinya di tengan gelombang lautan yang dahsyat itu. Segala macam kepandaian, kekuatan dan pengetahuannya seolah lenyap di telan gelombang dan dia menjadi seorang mahluk yang tidak berdaya dan hanya dapat menyerahkan nasibnya ke Tangan Yang Maha Kuasa, yang menciptakan gelombang lautan itu.
Dalam keadaan setengah pingsan karena mabok laut, akhirnya perahu yang di tumpanginya dilemparkan ombak dan terdampar ke sebuah pulau! Akauw berusaha keluar sebelum perahunya di sambar dan di seret ombak lagi. Dia berjalan terhuyung-huyung di atas pasir danakhirnya dengan lemas dia jatuh dan rebah miring dalam keadaan pingsan di atas pasir yang panas.
Dia tidak sadar ketika banyak tangan yang berkulit putih halus namun berotot kuat mengangkatnya dan menggotongnya pergi dari pantai menuju ke pedalaman pulau. Ketika Akauw siumanan, dia mendapat dirinya berada dalam sebuah ruangan yang penuh wanita. Wanita-wanita itu berusia antara dua puluh sampai empatpuluh tahun, rata-rata bertubuh kuat dan berpakaian seperti wanita kangouw dan diantara mereka terdapat juga yang berwajah manis. Dan yang duduk di dipan, dan agaknya sedang merawatnya adalah seorang wanita berusia kurang lebih limapuluh tahun, memegang sebuah mangkok berisi air yang berbau sedap obat.
“Minumlah ini, orang muda, engkau akan sehat kembali...“ kata wanita itu dengan lembut.
Karena dapat menduga bahwa wanita tua itu menolongnya, Akauw tidak membantah. Dia bangkit duduk dan baru dia mengetahui bahwa tubuhnya telah memakai pakaian kering, bukan pakaiannya sendiri. Dia bergidik. Siapa yang telah menggantikan pakaiannya? Perempuan-perempuan itu? Dan heran dia mengapa di antara hamper dua puluh orang wanita itu dia tidak melihat seorangpun pria. Dia minum cairan obat itu lalu bertanya.
“Bibi, aku berada dimana dan siapakah kalian?”
“Orang muda yang gagah, engkau berada di Pulau Hiu dan kami semua adalah anak buah dari siocia...”
“Siaocia adalah yang memimpin kami di Pulau Hiu ini, Engkau akan melihatnya sendiri nanti.
“Keluar dari ruangan ini, semuanya!” terdengar bentakan halus dan para wanita itu sambil terkekeh genit meninggalkan ruangan itu, hanya tinggal wanita setengah tua yang merawat Akauw saja yang tinggal dan wanita inipun cepat-cepat bangkit berdiri ketika semua wanita sudah keluar dan ada seorang wanita muda memasuki ruangan itu. Begitu ia masuk, tercium bau yang harum sekali dan Akauw segera membalikkan tubuh untuk memandangnya. Dan dia ternganga heran.
Wanita itu sungguh tidak pantas berada di tengah-tengah para wanita yang kasar tadi. Wanita ini masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya, dan wajahnya cantik jelita, pakaiannya indah dan tidak nampak berotot seperti para wanita tadi, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan di situlah terletak kewibawaannya dan menunjukkan bahwa ia bukan seorang biasa dan patut menjadi pemimpin.
“Bagaimana keadaanya, bibi?” Tanya wanita itu, suaranya lembut namun di balik kelembutan itu terdapat ketegasan sikap yang membaja.
“Keadaannya sudah baik, Siocia...“
“Kalau begitu, engkau keluarlah, bibi dan tinggalkan kami...“
“Baik, siocia...“ wanita setengah tua itu lalu pergi dari ruangan itu dan suasana menjadi sunyi. Agaknya para wanita tadi tidak ada yang berani mendekati ruangan itu setelah di suruh pergi, dan ini menunjukkan pula betapa besar wibawa gadis ini.
Mereka saling pandang dan Akauw melihat sinar kagum terpancar dari sepasang mata yang indah tajam itu. “Siapa namamu?” Tanya wanita itu, nada suaranya adalah nada orang yang biasa memerintah dan menuntut keterangan.
“Namaku Cian Kauw Cu...“ jawab Akauw dengan tegas pula. Dia sudah sembuh dan tidak pusing lagi, hanya perutnya terasa amat lapar. Dia melihat bahwa buntalan pakaiannya, yang juga ada sekantung emasnya, berada di situ pula, di atas meja.
“Darimana engkau datang?”
“Dari pantai seberang sana...“
“Hendak kemana?”
Akauw merasa seperti seorang pesakitan menghadapi hakim, akan tetapi pertanyaan itu dijawabnya juga, “Aku hendak pergi ke Pulau Naga“
Wanita itu mengerutkan alisnya. “Mau apa ke Pulau Naga?”
“Mau mencari Hek-liong-ong...“
Kerut di alis itu makin mendalam. “Apa? Engkau mencari Hek-liong-ong? Mau apa mencarinya?”
“Mau minta kembali pedangku yang di rampasnya dariku...“
Kini sepasang mata itu memandangnya dengan mencorong penuh selidik. “Hek-liong-ong merampas pedangmu dan kini engkau hendak menemuinya untuk minta kembali pedangmu itu?”
“Benar...!“
“Kalau dia tidak mau mengembalikan?”
“Akan kupaksa dia mengembalikan pedangku...“
“Kau berani melawannya?”
“Kenapa mesti takut? Aku tidak bersalah...“
Kini gadis itu terbelalak dan matanya yang mencorong itu memandangi Akauw dari kepala sampai kaki. “Hendak kulihat sampai dimana kepandaianmu maka engkau berani hendak melawan Hek-liong-ong!”
Berkata demikian, tiba-tiba gadis cantik itu sudah menyerang Akauw dengan sebuah tamparan kilat yang kuat sekali sehingga mengeluarkan angina pukulan besiutan. Akauw tidak terkejut dan dia sudah mengelak sambil melangkah mundur. Ketika gadis itu mengejar dan menyerangnya lagi, diapun menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Duukkk!”
keduanya terdorong ke belakang oleh beradunya kedua lengan itu. Gadis itu mengeluarkan seruan heran dan kini dengan cepat sekali ia mengirim serangan bertubi-tubi.
Akauw dapat menangkap pergelangan tangan kanan gadisi itu. “Tahan! Aku tidak ingin berkelahi dengan orang yang telah menyelamatkan aku dari air laut...“
“Siapa berkelahi? Aku ingin mengujimu!” kata gadis itu.
Dan tangan kirinya menyambar kearah dada Akauw yang terpaksa melepaskan pegangannya dan kembali mereka sudah saling serang karena kini Akauw juga membalas serangan gadis itu. Dia dapat merasakan bahwa gadis itu lihai sekali, maka diapun harus mengeluarkan kepandaiannya. Kalau gadis itu hendak mengujinya, dia harus tidak sampai kalah. Kegesitan gadis itu mengingatkan dia akan Ji Goat, gadis yang di cintainya. Diapun tidak tega untuk melukai, maka dalam pertandingan itu, dia lebih banyak mengalah.