BETAPAPUN juga, karena makin lama serangan gadis itu semakin berbahaya, Akauw lalu mengeluarkan jurus-jurus yang dipelajarinya dari dalam gua, yang dia tidak tahu adalah Bu-tek Cin-keng. Dan benar saja, begitu dia mainkan ilmu ini, gadis itu terdesak hebat dan akhirnya meloncat ke belakang karena hampir saja pundaknya terkena tamparan tangan yang kuat dan besar dari Akauw.
“Tahan!” katanya sambil memandang kagum.
“Maaf, nona. Ilmu kepandaianmu hebat, membuat aku kagum...“
“Cian Kauw Cu, ilmu silatmu tangguh, akan tetapi ku kira masih tidak akan dapat menandingi ilmu silat dari guruku“
“Gurumu?”
“Ya, Guruku adalah Hek-liong-ong Poa Yok Su“
“Ahhh…!“ Akauw terkejut dan menjadi curiga dan waspada.
“Akan tetapi kalau kita berdua menghadapinya, kurasa kita akan mampu mengalahkannya. Apalagi kita bersenjata...“
“Eehh! Engkau mengaku muridnya dan sekarang hendak menghadapinya sebagai musuh? Apa artinya ini, nona?”
“Duduklah, dan aku akan memberi keterangan sejelasnya...“ Mereka duduk menghadapi meja dan gadis itu bertepuk tangan memanggil anak buahnya. Dua orang anak buahnya masuk dan ia memerintahkan untuk mengambilkan minuman... “Ambilkan arak yang baik...“ katanya kepada dua orang perempuan yang menjadi anak buahnya itu.
“Jangan, nona. Aku tidak pernah minum arak...“ kata Akauw cepat.
“Ah, kalau begitu ambilkan air the untuk kami...“
Setelah anak buah itu datang mengantarkan the dan di suruh pergi lagi, gadis itu lalu mulai bercerita, “Namaku Cia Bi Kiok dan sejak kecil aku telah menjadi murid Hek-liong-ong. Aku telah tidak mempunyai orang tua lagi, maka guruku itu juga sebagai pengganti orang tuaku. Tadinya aku tinggal di Pulau Naga bersama suhu, akan tetapi dua tahun yang lalu, ketika isteri suhu meninggal dunia, suhu hendak mengambil aku sebagai pengganti isterinya...“
“Hemmm…“ Akauw terkejut akan tetapi tidak berkata apa-apa.
”Aku tidak mau karena dia sudah ku anggap sebagai ayahku sendiri. Dia marah-marah dan aku di usirnya. Aku melarikan diri ke pulau ini dan membentuk kelompok yang terdiri dari wanita semua, ku latih ilmu silat dan aku menjadi bajak laut di sini...“
“Ahhhh…!”
“Tidak perlu terkejut dan heran. Kalau tidak menjadi bajak laut, habis kami sebanyak lima puluh orang wanita mau bekerja apa? Pulau ini gersang, tidak dapat di tanami apapun untuk menjadi nelayan, kami kurang keahlian. Juga, aku perlu dengan kekuatan para anak buahku untuk menahan serangan yang kadang dilakukan oleh suhu ke sini...“
“Hek-liong-ong menyerang ke sini...?”
“Ya, kadang dia masih penasaran dan hendak memaksa aku untuk menjadi isterinya . Akan tetapi kalau dia datang, dia menghadapi kami lima puluh orang dengan anak panah kami dapat mengusirnya sebelum dia sempat mendarat...“
“Lalu sekarang engkau hendak mengajak aku untuk mengeroyoknya, mengeroyok suhumu sendiri...?”
“Benar. Dan lebih dari itu, Cian Kauw Cu, aku juga telah memutuskan untuk mengambil engkau menjadi suamiku!”
“Hahhh…? Akauw merasa heran bukan main. Mana ada wanita menentukan pilihannya atas diri seorang suami?
“Tidak perlu heran, Cian Kauw Cu. Untuk menolak kehendak suhu agar tidak melanjutkan paksaannya, terpaksa aku harus mendapatkan seorang suami yang cocok. Kalau engkau sudah menjadi suamiku, suhu tentu tidak akan memaksaku lagi dan andaikata dia masih hendak memaksaku lagi, kita berdua dapat melawannya dan mengalahkannya. Sudah banyak pemuda yang ingin menikah denganku, akan tetapi aku tidak merasa cocok dan baru sekarang aku bertemu denganmu. Cian Kauw Cu, maukah engkau menjadi suamiku? Kau akan menjadi raja di pulau ini dan kita dapat berbahagia di sini...“
“Kalau aku tidak mau...?”
“Hemmm, hanya laki-laki gila yang menolak untuk menjadi suamiku dan engkau akan menjadi tawanan kami. Mungkin kami kelak akan membunuhmu...“
Suara yang tadinya lembut itu kini berubah menjadi suara yang mendesis mengandung ancaman yang mengerikan. Akauw dapat merasakan bahwa di balik kelembutan ini tersembunyi watak yang kejam. Pantas kalau gadis ini menjadi anak asuhan dan murid seorang datuk sesat!
“Bagaimana, Cian Kauw Cu? Engkau memilih menjadi raja di pulau ini atau menjadi tawanan yang akan mati konyol?”
“Nona Cia Bi Kiok, urusan perjodohan adalah urusan penting, hanya satu kali seumur hidup. Karena itu harap jangan mendesakku untuk terburu-buru. Berilah aku waktu untuk memikirkannya...“
“Baik, akan ku beri waktu sehari semalam untukmu. Besok pagi engkau sudah harus dapat memberi jawaban yang pasti “ setelah berkata demikian, Cia Bi Kiok kembali bertepuk tangan. Sekali ini ia bertepuk tangan tiga kali dan yang muncul adalah wanita yang tadi merawat Akauw bersama tujuh orang anak buah yang lain.
“Jaga dia di sini, jangan sampai dia melarikan diri. Kalau dia pergi, pukul tanda bahaya...“ pesan pemimpin bajak laut wanita itu dan ia lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
Akauw lalu pergi berbaring lagi di pembaringan yang tadi dan dia tidak memperdulikan delapan orang wanita yang berjaga-jaga di situ . Otaknya bekerja keras. Jelas dia tidak mau menjadi suami gadis tadi. Biarpun cantik dan kadang dapat bersikap lembut, namun gadis itu sebenarnya memiliki watak yang keji. Tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut diluar.
“Ada kejadian apakah?” tanyanya kepada wanita yang tadi merawatnya.
“Ah, tidak apa-apa, hanya memberi hukuman kepada para pelaut yang tertawan karena melakukan perlawanan ketika di bajak“ kata wanita setengah tua itu, suaranya biasa saja seolah yang di ceritakan itu soal kecil yang sudah seringkali terjadi di situ.
“Apa yang dilakukan terhadap mereka?” tanyanya lagi.
“Engkau hendak menonton? Mari kami antar...“ kata wanita setengah tua itu dengan tenang.
Akauw mengangguk dan diapun di antar keluar oleh delapan orang wanita itu. Di luar Akauw melihat empat orang laki-laki di belenggu tangannya ke belakang dan mereka di giring oleh belasan orang anggota bajak laut wanita itu menuju ke bukit karang. Karena ingin tahu dia lalu mengikuti dari belakang, dan tetap di kawal oleh delapan orang wanita itu.
Mereka telah tiba di tepi bukit karang, di tebing yang terjal. Setelah tiba di sana, para wanita itu lalu membabat tali yang membelenggu tangan ke empat orang itu dengan golok sehingga tali-tali itu putus dan tangan mereka bebas. Akan tetapi setelah itu mereka lalu mendorong ke bawah tebing.
“Nah, pergilah kalian berempat. Kalian bebas!”
Dan para wanita itu tertawa-tawa. Segera terdengar jerit-jerit memilukan dari bawah tebing. Akauw ingin tahu dan menjenguk ke bawah. Dia melihat pemandangan yang mengerikan sekali. Empat orang itu dikeroyok oleh ikan-ikan hiu sebesar paha orang dan betapapun mereka meronta dan hendak berenang menjauh, tetap saja mereka terkejar dan segera mereka menjadi rebutan.
Air menjadi merah dan teriakan-teriakan itupun lenyap, berikut tubuh mereka yang di tarik ke bawah oleh ikan-ikan liar itu. Kiranya itulah sebabnya maka pulau ini dinamakan Pulau Hiu, karena banyak hiunya itulah. Akauw bergidik. Akan tetapi diapun melihat hal yang menarik. Tebing itu di tumbuhi pohon yang akarnya nampak menonjol di antara tebing karang. Biarpun bagi orang lain tebing ini tidak mungkin di panjat, akan tetapi bagi dia yang sudah biasa dengan panjat memanjat, tebing itu akan dapat dia turuni tanpa mengandung bahaya terlalu besar. Kalau dia dapat melarikan diri dari tebing ini, tentu mereka akan dapat mengejar dan mengira dia mati pula.
Malam itu gelap, namun udara bersih, langit biru dan nampak jutaan bintang yang memberi sinar remang-remang. Akauw memandang kea rah delapan orang wanita yang melakukan penjagaan dengan ketat. Dia baru saja di beri makan dan tubuhnya terasa kuat dan sehat. Inilah saatnya untuk melarikan diri, pikirnya. Dia bangkit berdiri dan delapan orang wanita itu ikut pula berdiri.
“Jangan mencoba untuk melarikan diri...“ kata wanita setengah tua itu.
“Engkau tidak akan dapat lolos dari pulau ini dan kalau siocia mendengar engkau melarikan diri, tentu siocia akan marah sekali dan mungkin engkau akan di jatuhi hukuman seperti yang dilakukan kepada empat orang laki-laki tadi...“
“Apa kesalahan empat orang tadi...“ tanyanya.
“Kami membajak sebuah perahu dan mereka berempat melakukan perlawanan, maka kami tawan dan bawa ke pulau ini. Adapun yang lain, yang tidak melawan, kami biarkan pergi berlayar...“
“Apakah Siocia tidak minta mereka menjadi suaminya...?”
Wanita setengah tua itu bangkit dan marah sekali. “Tutup mulutmu! Kau kira siocia itu orang apa? Siocia hanya mau menikah dengan laki-laki yang gagah perkasa, bukan dengan sembarangan lelaki seperti mereka tadi!”
“Maaf…!” kata Akauw dan tiba-tiba saja dia menyerang wanita setengah tua itu. Sekali tampar saja wanita yang tidak pernah menyangka itu terpelanting. Akauw melanjutkan serangannya dan tujuh orang wanita itupun semua terpelanting roboh dan dia cepat melarikan diri keluar dari ruangan itu.
Para wanita itu bangkit, ada yang mengejar dan ada yang memukul tanda bahaya sehingga sebentar saja di Pulau itu terjadi kesibukan yang hebat. Semua anggotanya yang berjumlah lima puluh orang itu berlarian keluar. Cia Bi Kiok juga sudah keluar membawa pedangnya dan ketika mendengar bahwa tawanan nya lari iapun ikut pula mengejar.
Akauw sudah lebih dulu tiba di tebing dan cepat dia merayap ke bawah. Hanya berpegang pada akar dan batu menonjol, di dalam kegelapan malam itu. Akan tetapi jari-jari tangannya sudah terlatih, bahkan jari-jari tangan itu seperti dapat melihat saja . Dia merayap dengan cepatnya sehingga ketika para pengejarnya tiba di tepi tebing, dia sudah merayap sampai ke bawah dan dekat dengan air, tidak nampak lagi dari atas.
“Dia sudah hilang...“
“Akan tetapi tadi jelas dia berdiri di sini...“
“Akan tetapi tidak terdengar teriakannya...“
“Dia tentu sudah dimakan ikan hiu...“
“Tapi mana teriakannya? Tak mungkin disambar hiu tidak menjerit...“
Cia Bi Kiok berkata, “Sudahlah, jangan ribut. Dia memang bukan orang biasa. Agaknya pantang baginya untuk menjerit-jerit. Dia seorang laki-laki sejati. Sayang dia harus mati seperti itu...“
Akan tetapi Bi Kiok memerintahkan anak buahnya untuk mencari-cari di lain tempat malam itu dan ia sendiri lalu kembali ke tempat tinggalnya dengan hati kecewa. Sebetulnya, ia suka sekali kepada Cian Kauw Cu yang di anggapnya seorang laki-laki sejati, yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Dengan suami seperti itu, ia tidak takut lagi menghadapi gurunya dan ia akan dapat melang melintang sebagai bajak laut di perairan itu, di sepanjang gugusan pulau-pulau itu sampai ke daratan.
Akauw bergantung pada akar pohon sampai menjelang pagi. Setelah itu, dengan merayap dia dapat keluar dari tebing itu melalui jalan samping dan dari jauh melihat banyak perahu yang di tinggalkan. Dengan hati-hati, dalam kegelapan fajar, dia menghampiri sebuah perahu dan menariknya ke air lalu mendayungnya. Para wanita itu tidak ada yang mengira bahwa buronan mereka masih hidup, apalagi dapat mencuri perahu maka tidak ada yang mencari ke situ.
Setelah matahari naik tinggi, Akauw sudah jauh meninggalkan pulau itu dan tak seorangpun di antara wanita itu yang tahu, bahkan tidak ada yang merasa kehilangan perahu karena banyaknya perahu kecil di situ. Kelak, kalau pemiliknya akan menggunakan perahunya, mungkin baru akan ketahuan bahwa perahu itu lenyap.
Dari bentuk pulaunya, Akauw dapat mengetahui bahwa yang kini di hampiri perahunya adalah Pulau Naga. Bentuk pulau itu memanjang dan di bagian kiri seperti bentuk kepala naga atau kepala raksasa sedangkan ekornya memanjang dan makin mengecil. Nampaknya pulai itu kosong karena setelah perahunya mendekat dan menempel di daratan, tidak nampak seorangpun manusia. Akauw merasa heran. Kelirukah dia? Apakah dia terdampar di pulau yang lain lagi? Nampaknya pulau ini tidak berpenghuni.
Akan tetapi baru saja mengikatkan perahunya dan melangkah belum ada seratus langkah, tiba-tiba bermunculan belasan orang dari balik semak belukar dan pohon-pohon. Pulau ini tidak gersang seperti Pulau Hiu, terdapat banyak tanaman yang bukan liar, melainikan di tanam orang. Melihat mereka bermunculan itu, Akauw segera berhenti melangkah dan waspada, siap menghadapi segala kemungkinan.
Akan tetapi, orang-orang itu tidak mengepung dan mengeroyoknya. Seorang yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, melangkah maju dan menegurnya, “Orang muda, siapakah engkau? Ketahuilah bahwa tanpa ijin orang luar tidak boleh memasuki pulau kami ini. Hayo cepat mengaku engkau siapa dan apa keperluanmu ke sini, atau cepat engkau tinggalkan pulau kami ini!”
“Sobat, apakah ini yang namanya Pulau Naga?” Akauw bertanya.
“Benar, ini adalah Pulau Naga, pulau kami!”
“Dan apakah benar bahwa Hek-liong-ong tinggal di pulau ini...?”
Mereka nampak mengerutkan alis mereka. “Beliau adalah Majikan pulau ini, pemimpin kami!”
“Bagus sekali kalau begitu. Aku bernama Cian Kauw Cu dan aku sengaja datang ke pulau ini untuk mencari Hek-liong-ong karena aku mempunyai urusan yang penting sekali dengan dia...“
“Kalau begitu, mari kami hadapkan engkau kepada majikan kami!” kata orang setengah tua itu dan Akauw lalu di giring oleh mereka menuju ke tengah pulau dimana terdapat semacam perkampungan dari beberapa puluh rumah yang kokoh. Agaknya Hek-liong-ong juga mempunyai anak buah seperti halnya Cia Bi Kiok, ketua Pulau Hiu itu. Akan tetapi anak buahnya tidak sebanyak anak buah Pulau Hiu, karena Akauw hanya melihat belasan orang itu saja dan ketika mereka tiba di perkampungan, dia melihat banyak wanita dan kanak-kanak, tentu keluarga dari para anggota gerombolan di Pulau Naga itu.
Hek-liong-ong, kakek raksasa hitam berusia enam puluh tahun itu tertawa bergelak dan juga terheran-heran melihat munculnya Akauw. Tadinya dia hamper lupa siapa pemuda yang menghadapnya itu. Baru dia teringat ketika Akauw mengaku siapa dirinya.
“Aku bernama Cian Kauw Cu dan aku datang untuk minta kembali Hek-liong Po-kiam yang dahulu kau rampas dari tanganku!” ucapan pemuda itu dikeluarkan dengan nada berani sekali, sedikitpun tidak nampak keraguan pada pandang mata itu. Hek-liong-ong adalah seorang datuk sesat yang menghargai kegagahan, maka sikap Akauw ini sungguh menimbulkan kekaguman di dalam hatinya. Dia tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, orang muda. Engkau datang untuk minta kembali pedangmu? Aku telah merampas pedang itu dengan kepandaian, apakah engkau juga hendak memintanya kembali mengandalkan kepandaianmu dan berani melawan aku?”
“Hek-liong-ong, pedang itu adalah pedangku. Karena dasar itulah aku datang memintanya kembali, karena pedang itu sudah menjadi hakku. Sungguh bukan merupakan perbuatan gagah darimu kalau engkau merampas benda yang menjadi hakku. Karena itu, kembalikan pedangku. Kalau engkau menghendaki aku mengambilnya dengan kepandaian, baik, akan ku lakukan itu!”
“Ha-ha-ha, orang muda, kepandaianmu masih terlalu jauh untuk dapat mengalahkan aku. Melawanku berarti mencari kematian. Apakah engkau tidak sayang kepada nyawamu...?”
“Untuk mempertahankan apa yang menjadi hakku, aku tidak takut mati, Hek-liong-ong. Lebih baik mati dengan gagah daripada hidup sebagai pengecut!” Ucapan terakhir ini merupakan pelajaran yang diterimanya dari suhengnya!
“Ha-ha-ha, belum pernah aku bertemu dengan orang senekat engkau. Engkau menggunakan perahu kecil untuk mencari aku di sini, itu sudah luar biasa. Dan engkau menantangku untuk mengadu kepandaian memperebutkan pedang, itu lebih luar biasa lagi. Engkau memiliki nyali naga! Kauw Cu, beranikah engkau menghadapi pengeroyokan lima belas orang pembantuku?”
“Sudah kukatakan, Hek-liong-ong, untuk mendapatkan kembali pedang yang menjadi hakku itu, aku tidak akan mundur melawan siapapun juga, termasuk pengeroyokan anak buahmu!”
“Ha-ha-ha, jangan tekebur, anak muda. Aku hendak menyuruh anak buahku yang lima belas orang mengeroyokmu untuk mengujinya, karena kalau aku yang maju, engkau bukanlah tandinganku. Nah, keluarkan senjatamu menghadapi pengeroyokan lima belas orang anak buahku!”
Akauw memperlihatkan dua tangan dan dua kakinya. “Karena pedangku sudah kau rampas, maka senjataku tinggal kaki dan tangan inilah. Orang-orangmu boleh maju, aku tidak takut!”
Hek-liong-ong menjadi semakin kagum. Dia sendiri seorang pemberani, namun agaknya dia kalah nekat dibandingkan pemuda yang tinggi besar ini. Dia lalu berseru kepada lima belas orang pembantunya atau anak buahnya. “Kalian keroyok pemuda ini, akan tetapi karena dia bertangan kosong, kalian juga harus bertangan kosong. Robohkan dia dengan cara apa saja, asal tidak dengan senjata...“
Lima belas orang itu tentu saja memandang ringan seorang pemuda seperti Akauw. Mereka adalah lima belas orang anak buah Pulau Naga yang sudah menerima latihan ilmu silat dari majikan mereka, rata-rata memiliki ketangguhan. Kini, mereka yang berjumlah lima belas orang di suruh mengeroyok seorang pemuda yang masih hijau? Akan tetapi karena itu merupakan perintah, mereka tidak berani membantah walaupun dalam hati merasa enggan untuk mengeroyok seorang pemuda karena perbuatan ini mereka anggap tidak gagah dan memalukan.
Kini mereka maju mengepung Akauw dalam ruangan yang luas itu. Sikap mereka seperti sekumpulan orang hendak menangkap seekor ayam yang terlepas, dengan kedua tangan di buka dan di kembangkan di depan tubuh mereka, tubuh agak membungkuk. Mereka agaknya hendak meringkus pemuda itu agar tidak berdaya lagi.
Akauw juga sudah siap-siaga. Dia berdiri biasa saja, namun seluruh urat syarafnya siap menegang. Bukan saja matanya yang waspada, juga pendengarannya karena dia di kepung dari depan belakang, kanan dan kiri. Tiba-tiba dua orang menubruk dari belakang untuk meringkusnya, akan tetapi dengan sigapnya, dengan gerakan yang cepat seperti gerakan seekor kera, dia cepat menyelinap ke kiri dan tubrukan itu mengenai tempat kosong. Dari sebelah kiri dia di sambut dengan sebuah tamparan dan sebuah tendangan yang bermaksud merobohkannya. Akan tetapi kembali tubuhnya bergerak dan dua serangan itupun luput.
Kini, para pengeroyok itu menyadari bahwa pemuda ini memiliki gerakan yang cepat sekali. Mereka lalu menubruk bersama-sama dalam waktu yang hamper berbareng sehingga agaknya tidak ada lagi jalan keluar bagi Akauw. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh Akauw meluncur ke atas, dengan cepatnya dan ketika dia membalik, tubuhnya sudah menukik, dua tangannya bergerak dan dua orang pengeroyok terpelanting!
Para pengeroyok mulai penasaran dan marah. Kini mereka semua menyerang dengan pukulan, bukan lagi hanya sekedar ingin meringkus melainkan ingin merobohkan pemuda yang bandel ini. Akan tetapi, kini Akauw melayaninya, menangkis dan balas memukul. Dia menerima beberapa kali pukulan, namun tubuhnya yang kuat dank eras itu agaknya tidak merasakannya, sebaliknya setiap kali pukulan atau tamparannya mengenai tubuh lawan, lawan itu pasti terpelanting keras!
Akauw mengamuk, menggunakan ilmu silat monyet yang membuat tubuhnya berloncatan ke sana kemari dan kalau ada yang mengejarnya, maka pengejar itu dirobohkan dengan tendangan atau tamparan. Dalaw waktu tidak lama, lima belas orang itu sudah jatuh bangun! Tidak ada seorangpun yang tidak kebagian tamparan atau tendangan kaki Akauw. Melihat amukan pemuda itu, Hek-liong-ong mengelus jenggotnya yang pendek. Dia semakin kagum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Cukup!” teriaknya melihat anak buahnya jatuh bangun di hajar oleh Akauw. Para anak buahnya berhenti menyerang dan mereka merasa malu karena dengan lima belas orang mereka tidak mampu mengalahkan pemuda itu. Hek-liong-ong memberi isyarat kepada mereka semua untuk keluar dari ruangan itu dan kini tinggal dia dan Akauw sendiri yang tinggal.
“Kauw Cu, aku melihat engkau memang gagah perkasa dan berbakat baik sekali. Aku ingin mengambilmu sebagai murid, bagaimana pendapatmu...?”
Akauw mengerutkan alisnya, “Hek-liong-ong, aku datang untuk minta kembali pedangku, bukan untuk menjadi muridmu. Kembalikan pedang itu kepadaku dan aku akan meninggalkan pulau ini...“
“Hemmm, tidak semudah itu, orang muda. Engkau memang telah mengalahkan lima belas orang pembantuku. Akan tetapi itu hanya merupakan ujian pertama saja. Kau lihat, ini pedangmu Hek-liong Po-kiam. Apa kira-kira akan dapat merampasnya dari tangangku?” Dia mengangkat pedang itu dengan sarungnya tinggi-tinggi di atas kepalanya. “Ada dua jalan bagimu untuk dapat memperolehnya kembali. Pertama, engkau harus merampasnya dari tanganku, dan kedua, yang lebih mudah engkau harus menjadi muridku selama setahun. Mana yang kau pilih?”
“Aku akan mencoba untuk merampasnya dari tanganmu, Hek-liong-ong!” kata Akauw dengan gagah.
“Bagus, engkau memang tidak pernah mau putus asa. Aku senang sekali melihat keberanian dan semangatmu yang besar. Nah, coba engkau rampas kembali pedang ini dari tanganku, Kauw Cu!” Raksasa hitam itu turun dari kursinya dan berdiri di depan Akauw sambil mengacungkan pedangnya kearah Akauw.
Akauw lalu menyambar dengan tangannya untuk merampas, akan tetapi pedang itu sudah di tarik kembali. Akauw meloncat dengan gerakan yang cepat sekali, kedua tangannya menyambar-nyambar untuk merampas pedang itu. Kemanapun pedang itu di elakkan, selalu di kejar oleh tangannya untuk merampasnya. Akan tetapi sebuah dorongan telapak tangan mengenai pundaknya, membuatnya terjengkang dan jatuh bergulingan. Akauw meloncat bangun dan sekali ini dia tidak hendak merampas begitu saja. Dia maklum bahwa dengan cara demikian dia tidak akan berhasil malah akan terkena pukulan yang amat kuat. Dia lalu mulai bersilat dengan Bu-tek Cin-keng dan menyerang raksasa hitam itu dengan pukulan kilat.
Hek-liong-ong untuk kedua kalinya dibuat terkejut oleh serangan pemuda ini. Serangan itu demikian aneh gerakannya dan mendatangkan angin bersiutan. Dia mengelak dan membalas. Terjadilah serang menyerang antara mereka. Akan tetapi karena Akauw tidak memiliki tenaga sinking dari Bu-tek Cinkeng, maka serangannya itu tidak mengandung tenaga yang tepat sehingga selalu dapat tertangkis dan tak pernah dia berhasil merampas pedang. Bahkan berulang kali dia terkena hantaman tangan si raksasa hitam sehingga dia jatuh terjengkang dan terpelanting. Akan tetapi, setiap kali bangkit kembali dan menyerang dengan ganas.
Melihat ini, kembali Hek-liong-ong merasa kagum dan senang. Bocah ini selain berbakat, juga memiliki semangat yang membaja. Dia memperkuat pukulannya dan membuat Akauw jatuh bangun dan babak belur. Akhirnya Akauw tidak mampu menyerang lagi, tubuhnya sakit-sakit dan lemas kehabisan tenaga. Namun, dia masih bangkit juga dan berdiri dengan lemas terengah-engah dan mandi keringat.
“Nah, kau lihat bahwa tidak mungkin engkau mendapatkan pedangmu kembali dengan kekerasan, Kauw Cu. Jadilah muridku dan engkau akan mendapatkan kembali pedangmu berikut ilmu pedang yang akan kuajarkan kepadamu. Aku suka sekali mempunyai murid seperti engkau...“
Kini Akauw yakin bahwa sampai matipun tidak akan dapat merampas pedang dan jalan satu-satunya hanya suka menjadi murid. Dan pula, setelah bertanding, dia tahu bahwa kakek ini memang lihai luar biasa, maka kalau menjadi muridnya, dia tidak akan rugi. Mendapatkan kembali pedang berikut ilmu baru yang hebat! Dia lalu menjatuhkan dirinya yang sudah lemas itu, berlutut dan memberi hormat. ”Suhu…!”
Hek-liong-ong tertawa bergelak. “Hua-ha-ha-ha, bagus, bagus sekali, muridku!” Dan dia lalu berteriak-teriak memanggil semua anak buahnya. Ketika mereka berserabutan masuk, dia segera mengumumkan, “ Lihat baik-baik, Cian Kauw Cu ini mulai sekarang menjadi muridku. Kalian harus bersikap baik kepadanya, bahkan kalian dapat memperoleh latihan ilmu silat darinya...“
Semua pembantu itu memandang dengan wajah berseri dan mereka kelihatan girang sekali. Mereka sudah melihat betapa lihainya pemuda itu dan kalau pemuda itu mau melatih silat kepada mereka, tentu hal itu akan menguntungkan sekali.
Demikianlah, mulai hari itu Akauw tinggal di Pulau Naga dan dia menerima pelajaran ilmu pedang dari gurunya yang baru. Hek-liong-ong sengaja merangkai ilmu pedang yang disesuaikan dengan pedang pusaka itu dan di beri nama ilmu pedang Hek-liong-kiam-sut. Di ambil dari inti sari ilmu silatnya. Di waktu senggang, Akauw juga melatih ilmu silat kepada para anak buah pulau Naga. Selain berlatih ilmu silat, seringkali Hek-liong-ong mengajak muridnya bercakap-cakap. Dia sudah mendengar akan riwayat Akauw yang aneh dan dia mendengar pula dari Akauw tentang Kerajaan penjajah yang membikin sengsara rakyat jelata.
“Tadinya akupun membantu Koksu sebagai seorang panglima, suhu. Akan tetapi aku melihat bahwa Koksu bukan manusia yang baik, dan kebanyakan pejabat adalah orang-orang yang menekan rakyat demi kepentingan diri pribadi. Kalau tidak ada orang-orang gagah yang bangkit melawan penjajah, kukira rakyat akan semakin sengsara hidupnya...“
“Hemm, maksudmu untuk memberontak terhadap pemerintah?”
“Suhu, pemerintah ini adalah pemerintah penjajah, maka memberontak terhadap penjajah adalah perjuangan untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraaan. Suhu adalah seorang yang berkepandaian tinggi, kalau hanya tinggal di Pulau ini, tidak melakukan sesuatu, alangkah sayangnya. Coba andaikata suhu mau berjuang membela rakyat, nama suhu kelak akan di puja-puja dan di sanjung, biarpun suhu tidak berada di dunia ini lagi, suhu tetap akan di kenang sebagai seorang pahlawan!”
Demikianlah, seringkali guru dan murid ini berbincang-bincang tentang keadaan Kerajaan Toba, tentang kesengsaraan rakyatnya, dan perlahan-lahan tanpa di sengaja, percakapan dengan Akauw itu mulai membakar semangat kepahlawanan dalam hati Hek-liong-ong. Dia merasa bahwa dirinya semakin tua dan bahwa selama ini dia tidak pernah melakukan sesuatu yang penting, sesuatu yang akan mengangkat namanya. Kalau saja dia dapat melakukan sesuatu yang hebat, sesuatu yang akan membuat namanya kelak dikenal dan di puja sebagai seorang pahlawan, alangkah akan senangnya!
Hek-liong-ong, seperti juga kita, selalu lupa bahwa stiap perbuatan itu tidak akan meninggalkan pamrihnya. Perbuatan yang di anggap baik, kalau itu dilakukan dengan pamrih tertentu, maka perbuatan itu adalah palsu karena yang menjadi tujuan adalah pamrihnya dan perbuatan itu hanya sekedar cara untuk mendapatkan pamrih tadi. Pamrih itu adalah keinginan, dan keinginan ini adalah dorongan nafsu dan betapapun baiknya cara yang dipergunakan, kalau itu di tujukan untuk mendapatkan sesuatu, maka cara itupun palsu adanya, tidak wajar.
Misalnya kita menolong seseorang, kalau pamrihnya agar orang itu dapat melakukan sesuatu untuk kepentingan kita, maka pertolongan kita kepada orang itu adalah palsu, tidak wajar dan tidak dapat dinamakan suatu kebaikan. Perbuatan barulah wajar kalau kita tidak menjenguk ke depan atau ke belakang sebagai sebab dan akibat perbuatan itu. Kita berbuat karena sudah semestinya berbuat, karena dorongan perasaan pada saat itu.
Misalnya, kita melihat seseorang kelaparan dan kita merasa iba, lalu kita mengulurkan tangan menolongnya. Habis! Tidak ada kelanjutannya lagi, dan hanya perbuatan beginilah yang wajar. Misalnya Hek-liong-ong melihat kesengsaraan rakyat dan penyebabnya, lalu dia berjuang untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan, tanpa pamrih apapun untuk diri sendiri, maka dia benar seorang pahlawan. Akan tetapi kalau dia ingin berjuang agar di cap sebagai pahlawan, agar di puja-puja kelak, maka perjuangannya itu adalah palsu, hanya merupakan suatu cara untuk mendapatkan suatu cara untuk mendapatkan sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya sendiri.
Seorang pahlawan adalah seorang pejuang yang tidak ternama, seorang pejuang yang tidak mengharapkan imbalan apapun juga. Hasil yang di capai atau di akibatkan oleh perjuangannya untuk rakyat jelata, itulah imbalan yang cukup membahagiakan baginya. Hasil yang dinikmati rakyat, bukan di nikmati dirinya sendiri. Sayang, kebanyakan pejuang menuntut agar perjuangannya di hargai dan di beri imbalan. Ini menodai perjuangan...!
“Tahan!” katanya sambil memandang kagum.
“Maaf, nona. Ilmu kepandaianmu hebat, membuat aku kagum...“
“Cian Kauw Cu, ilmu silatmu tangguh, akan tetapi ku kira masih tidak akan dapat menandingi ilmu silat dari guruku“
“Gurumu?”
“Ya, Guruku adalah Hek-liong-ong Poa Yok Su“
“Ahhh…!“ Akauw terkejut dan menjadi curiga dan waspada.
“Akan tetapi kalau kita berdua menghadapinya, kurasa kita akan mampu mengalahkannya. Apalagi kita bersenjata...“
“Eehh! Engkau mengaku muridnya dan sekarang hendak menghadapinya sebagai musuh? Apa artinya ini, nona?”
“Duduklah, dan aku akan memberi keterangan sejelasnya...“ Mereka duduk menghadapi meja dan gadis itu bertepuk tangan memanggil anak buahnya. Dua orang anak buahnya masuk dan ia memerintahkan untuk mengambilkan minuman... “Ambilkan arak yang baik...“ katanya kepada dua orang perempuan yang menjadi anak buahnya itu.
“Jangan, nona. Aku tidak pernah minum arak...“ kata Akauw cepat.
“Ah, kalau begitu ambilkan air the untuk kami...“
Setelah anak buah itu datang mengantarkan the dan di suruh pergi lagi, gadis itu lalu mulai bercerita, “Namaku Cia Bi Kiok dan sejak kecil aku telah menjadi murid Hek-liong-ong. Aku telah tidak mempunyai orang tua lagi, maka guruku itu juga sebagai pengganti orang tuaku. Tadinya aku tinggal di Pulau Naga bersama suhu, akan tetapi dua tahun yang lalu, ketika isteri suhu meninggal dunia, suhu hendak mengambil aku sebagai pengganti isterinya...“
“Hemmm…“ Akauw terkejut akan tetapi tidak berkata apa-apa.
”Aku tidak mau karena dia sudah ku anggap sebagai ayahku sendiri. Dia marah-marah dan aku di usirnya. Aku melarikan diri ke pulau ini dan membentuk kelompok yang terdiri dari wanita semua, ku latih ilmu silat dan aku menjadi bajak laut di sini...“
“Ahhhh…!”
“Tidak perlu terkejut dan heran. Kalau tidak menjadi bajak laut, habis kami sebanyak lima puluh orang wanita mau bekerja apa? Pulau ini gersang, tidak dapat di tanami apapun untuk menjadi nelayan, kami kurang keahlian. Juga, aku perlu dengan kekuatan para anak buahku untuk menahan serangan yang kadang dilakukan oleh suhu ke sini...“
“Hek-liong-ong menyerang ke sini...?”
“Ya, kadang dia masih penasaran dan hendak memaksa aku untuk menjadi isterinya . Akan tetapi kalau dia datang, dia menghadapi kami lima puluh orang dengan anak panah kami dapat mengusirnya sebelum dia sempat mendarat...“
“Lalu sekarang engkau hendak mengajak aku untuk mengeroyoknya, mengeroyok suhumu sendiri...?”
“Benar. Dan lebih dari itu, Cian Kauw Cu, aku juga telah memutuskan untuk mengambil engkau menjadi suamiku!”
“Hahhh…? Akauw merasa heran bukan main. Mana ada wanita menentukan pilihannya atas diri seorang suami?
“Tidak perlu heran, Cian Kauw Cu. Untuk menolak kehendak suhu agar tidak melanjutkan paksaannya, terpaksa aku harus mendapatkan seorang suami yang cocok. Kalau engkau sudah menjadi suamiku, suhu tentu tidak akan memaksaku lagi dan andaikata dia masih hendak memaksaku lagi, kita berdua dapat melawannya dan mengalahkannya. Sudah banyak pemuda yang ingin menikah denganku, akan tetapi aku tidak merasa cocok dan baru sekarang aku bertemu denganmu. Cian Kauw Cu, maukah engkau menjadi suamiku? Kau akan menjadi raja di pulau ini dan kita dapat berbahagia di sini...“
“Kalau aku tidak mau...?”
“Hemmm, hanya laki-laki gila yang menolak untuk menjadi suamiku dan engkau akan menjadi tawanan kami. Mungkin kami kelak akan membunuhmu...“
Suara yang tadinya lembut itu kini berubah menjadi suara yang mendesis mengandung ancaman yang mengerikan. Akauw dapat merasakan bahwa di balik kelembutan ini tersembunyi watak yang kejam. Pantas kalau gadis ini menjadi anak asuhan dan murid seorang datuk sesat!
“Bagaimana, Cian Kauw Cu? Engkau memilih menjadi raja di pulau ini atau menjadi tawanan yang akan mati konyol?”
“Nona Cia Bi Kiok, urusan perjodohan adalah urusan penting, hanya satu kali seumur hidup. Karena itu harap jangan mendesakku untuk terburu-buru. Berilah aku waktu untuk memikirkannya...“
“Baik, akan ku beri waktu sehari semalam untukmu. Besok pagi engkau sudah harus dapat memberi jawaban yang pasti “ setelah berkata demikian, Cia Bi Kiok kembali bertepuk tangan. Sekali ini ia bertepuk tangan tiga kali dan yang muncul adalah wanita yang tadi merawat Akauw bersama tujuh orang anak buah yang lain.
“Jaga dia di sini, jangan sampai dia melarikan diri. Kalau dia pergi, pukul tanda bahaya...“ pesan pemimpin bajak laut wanita itu dan ia lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
Akauw lalu pergi berbaring lagi di pembaringan yang tadi dan dia tidak memperdulikan delapan orang wanita yang berjaga-jaga di situ . Otaknya bekerja keras. Jelas dia tidak mau menjadi suami gadis tadi. Biarpun cantik dan kadang dapat bersikap lembut, namun gadis itu sebenarnya memiliki watak yang keji. Tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut diluar.
“Ada kejadian apakah?” tanyanya kepada wanita yang tadi merawatnya.
“Ah, tidak apa-apa, hanya memberi hukuman kepada para pelaut yang tertawan karena melakukan perlawanan ketika di bajak“ kata wanita setengah tua itu, suaranya biasa saja seolah yang di ceritakan itu soal kecil yang sudah seringkali terjadi di situ.
“Apa yang dilakukan terhadap mereka?” tanyanya lagi.
“Engkau hendak menonton? Mari kami antar...“ kata wanita setengah tua itu dengan tenang.
Akauw mengangguk dan diapun di antar keluar oleh delapan orang wanita itu. Di luar Akauw melihat empat orang laki-laki di belenggu tangannya ke belakang dan mereka di giring oleh belasan orang anggota bajak laut wanita itu menuju ke bukit karang. Karena ingin tahu dia lalu mengikuti dari belakang, dan tetap di kawal oleh delapan orang wanita itu.
Mereka telah tiba di tepi bukit karang, di tebing yang terjal. Setelah tiba di sana, para wanita itu lalu membabat tali yang membelenggu tangan ke empat orang itu dengan golok sehingga tali-tali itu putus dan tangan mereka bebas. Akan tetapi setelah itu mereka lalu mendorong ke bawah tebing.
“Nah, pergilah kalian berempat. Kalian bebas!”
Dan para wanita itu tertawa-tawa. Segera terdengar jerit-jerit memilukan dari bawah tebing. Akauw ingin tahu dan menjenguk ke bawah. Dia melihat pemandangan yang mengerikan sekali. Empat orang itu dikeroyok oleh ikan-ikan hiu sebesar paha orang dan betapapun mereka meronta dan hendak berenang menjauh, tetap saja mereka terkejar dan segera mereka menjadi rebutan.
Air menjadi merah dan teriakan-teriakan itupun lenyap, berikut tubuh mereka yang di tarik ke bawah oleh ikan-ikan liar itu. Kiranya itulah sebabnya maka pulau ini dinamakan Pulau Hiu, karena banyak hiunya itulah. Akauw bergidik. Akan tetapi diapun melihat hal yang menarik. Tebing itu di tumbuhi pohon yang akarnya nampak menonjol di antara tebing karang. Biarpun bagi orang lain tebing ini tidak mungkin di panjat, akan tetapi bagi dia yang sudah biasa dengan panjat memanjat, tebing itu akan dapat dia turuni tanpa mengandung bahaya terlalu besar. Kalau dia dapat melarikan diri dari tebing ini, tentu mereka akan dapat mengejar dan mengira dia mati pula.
Malam itu gelap, namun udara bersih, langit biru dan nampak jutaan bintang yang memberi sinar remang-remang. Akauw memandang kea rah delapan orang wanita yang melakukan penjagaan dengan ketat. Dia baru saja di beri makan dan tubuhnya terasa kuat dan sehat. Inilah saatnya untuk melarikan diri, pikirnya. Dia bangkit berdiri dan delapan orang wanita itu ikut pula berdiri.
“Jangan mencoba untuk melarikan diri...“ kata wanita setengah tua itu.
“Engkau tidak akan dapat lolos dari pulau ini dan kalau siocia mendengar engkau melarikan diri, tentu siocia akan marah sekali dan mungkin engkau akan di jatuhi hukuman seperti yang dilakukan kepada empat orang laki-laki tadi...“
“Apa kesalahan empat orang tadi...“ tanyanya.
“Kami membajak sebuah perahu dan mereka berempat melakukan perlawanan, maka kami tawan dan bawa ke pulau ini. Adapun yang lain, yang tidak melawan, kami biarkan pergi berlayar...“
“Apakah Siocia tidak minta mereka menjadi suaminya...?”
Wanita setengah tua itu bangkit dan marah sekali. “Tutup mulutmu! Kau kira siocia itu orang apa? Siocia hanya mau menikah dengan laki-laki yang gagah perkasa, bukan dengan sembarangan lelaki seperti mereka tadi!”
“Maaf…!” kata Akauw dan tiba-tiba saja dia menyerang wanita setengah tua itu. Sekali tampar saja wanita yang tidak pernah menyangka itu terpelanting. Akauw melanjutkan serangannya dan tujuh orang wanita itupun semua terpelanting roboh dan dia cepat melarikan diri keluar dari ruangan itu.
Para wanita itu bangkit, ada yang mengejar dan ada yang memukul tanda bahaya sehingga sebentar saja di Pulau itu terjadi kesibukan yang hebat. Semua anggotanya yang berjumlah lima puluh orang itu berlarian keluar. Cia Bi Kiok juga sudah keluar membawa pedangnya dan ketika mendengar bahwa tawanan nya lari iapun ikut pula mengejar.
Akauw sudah lebih dulu tiba di tebing dan cepat dia merayap ke bawah. Hanya berpegang pada akar dan batu menonjol, di dalam kegelapan malam itu. Akan tetapi jari-jari tangannya sudah terlatih, bahkan jari-jari tangan itu seperti dapat melihat saja . Dia merayap dengan cepatnya sehingga ketika para pengejarnya tiba di tepi tebing, dia sudah merayap sampai ke bawah dan dekat dengan air, tidak nampak lagi dari atas.
“Dia sudah hilang...“
“Akan tetapi tadi jelas dia berdiri di sini...“
“Akan tetapi tidak terdengar teriakannya...“
“Dia tentu sudah dimakan ikan hiu...“
“Tapi mana teriakannya? Tak mungkin disambar hiu tidak menjerit...“
Cia Bi Kiok berkata, “Sudahlah, jangan ribut. Dia memang bukan orang biasa. Agaknya pantang baginya untuk menjerit-jerit. Dia seorang laki-laki sejati. Sayang dia harus mati seperti itu...“
Akan tetapi Bi Kiok memerintahkan anak buahnya untuk mencari-cari di lain tempat malam itu dan ia sendiri lalu kembali ke tempat tinggalnya dengan hati kecewa. Sebetulnya, ia suka sekali kepada Cian Kauw Cu yang di anggapnya seorang laki-laki sejati, yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Dengan suami seperti itu, ia tidak takut lagi menghadapi gurunya dan ia akan dapat melang melintang sebagai bajak laut di perairan itu, di sepanjang gugusan pulau-pulau itu sampai ke daratan.
Akauw bergantung pada akar pohon sampai menjelang pagi. Setelah itu, dengan merayap dia dapat keluar dari tebing itu melalui jalan samping dan dari jauh melihat banyak perahu yang di tinggalkan. Dengan hati-hati, dalam kegelapan fajar, dia menghampiri sebuah perahu dan menariknya ke air lalu mendayungnya. Para wanita itu tidak ada yang mengira bahwa buronan mereka masih hidup, apalagi dapat mencuri perahu maka tidak ada yang mencari ke situ.
Setelah matahari naik tinggi, Akauw sudah jauh meninggalkan pulau itu dan tak seorangpun di antara wanita itu yang tahu, bahkan tidak ada yang merasa kehilangan perahu karena banyaknya perahu kecil di situ. Kelak, kalau pemiliknya akan menggunakan perahunya, mungkin baru akan ketahuan bahwa perahu itu lenyap.
********************
Dari bentuk pulaunya, Akauw dapat mengetahui bahwa yang kini di hampiri perahunya adalah Pulau Naga. Bentuk pulau itu memanjang dan di bagian kiri seperti bentuk kepala naga atau kepala raksasa sedangkan ekornya memanjang dan makin mengecil. Nampaknya pulai itu kosong karena setelah perahunya mendekat dan menempel di daratan, tidak nampak seorangpun manusia. Akauw merasa heran. Kelirukah dia? Apakah dia terdampar di pulau yang lain lagi? Nampaknya pulau ini tidak berpenghuni.
Akan tetapi baru saja mengikatkan perahunya dan melangkah belum ada seratus langkah, tiba-tiba bermunculan belasan orang dari balik semak belukar dan pohon-pohon. Pulau ini tidak gersang seperti Pulau Hiu, terdapat banyak tanaman yang bukan liar, melainikan di tanam orang. Melihat mereka bermunculan itu, Akauw segera berhenti melangkah dan waspada, siap menghadapi segala kemungkinan.
Akan tetapi, orang-orang itu tidak mengepung dan mengeroyoknya. Seorang yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, melangkah maju dan menegurnya, “Orang muda, siapakah engkau? Ketahuilah bahwa tanpa ijin orang luar tidak boleh memasuki pulau kami ini. Hayo cepat mengaku engkau siapa dan apa keperluanmu ke sini, atau cepat engkau tinggalkan pulau kami ini!”
“Sobat, apakah ini yang namanya Pulau Naga?” Akauw bertanya.
“Benar, ini adalah Pulau Naga, pulau kami!”
“Dan apakah benar bahwa Hek-liong-ong tinggal di pulau ini...?”
Mereka nampak mengerutkan alis mereka. “Beliau adalah Majikan pulau ini, pemimpin kami!”
“Bagus sekali kalau begitu. Aku bernama Cian Kauw Cu dan aku sengaja datang ke pulau ini untuk mencari Hek-liong-ong karena aku mempunyai urusan yang penting sekali dengan dia...“
“Kalau begitu, mari kami hadapkan engkau kepada majikan kami!” kata orang setengah tua itu dan Akauw lalu di giring oleh mereka menuju ke tengah pulau dimana terdapat semacam perkampungan dari beberapa puluh rumah yang kokoh. Agaknya Hek-liong-ong juga mempunyai anak buah seperti halnya Cia Bi Kiok, ketua Pulau Hiu itu. Akan tetapi anak buahnya tidak sebanyak anak buah Pulau Hiu, karena Akauw hanya melihat belasan orang itu saja dan ketika mereka tiba di perkampungan, dia melihat banyak wanita dan kanak-kanak, tentu keluarga dari para anggota gerombolan di Pulau Naga itu.
Hek-liong-ong, kakek raksasa hitam berusia enam puluh tahun itu tertawa bergelak dan juga terheran-heran melihat munculnya Akauw. Tadinya dia hamper lupa siapa pemuda yang menghadapnya itu. Baru dia teringat ketika Akauw mengaku siapa dirinya.
“Aku bernama Cian Kauw Cu dan aku datang untuk minta kembali Hek-liong Po-kiam yang dahulu kau rampas dari tanganku!” ucapan pemuda itu dikeluarkan dengan nada berani sekali, sedikitpun tidak nampak keraguan pada pandang mata itu. Hek-liong-ong adalah seorang datuk sesat yang menghargai kegagahan, maka sikap Akauw ini sungguh menimbulkan kekaguman di dalam hatinya. Dia tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, orang muda. Engkau datang untuk minta kembali pedangmu? Aku telah merampas pedang itu dengan kepandaian, apakah engkau juga hendak memintanya kembali mengandalkan kepandaianmu dan berani melawan aku?”
“Hek-liong-ong, pedang itu adalah pedangku. Karena dasar itulah aku datang memintanya kembali, karena pedang itu sudah menjadi hakku. Sungguh bukan merupakan perbuatan gagah darimu kalau engkau merampas benda yang menjadi hakku. Karena itu, kembalikan pedangku. Kalau engkau menghendaki aku mengambilnya dengan kepandaian, baik, akan ku lakukan itu!”
“Ha-ha-ha, orang muda, kepandaianmu masih terlalu jauh untuk dapat mengalahkan aku. Melawanku berarti mencari kematian. Apakah engkau tidak sayang kepada nyawamu...?”
“Untuk mempertahankan apa yang menjadi hakku, aku tidak takut mati, Hek-liong-ong. Lebih baik mati dengan gagah daripada hidup sebagai pengecut!” Ucapan terakhir ini merupakan pelajaran yang diterimanya dari suhengnya!
“Ha-ha-ha, belum pernah aku bertemu dengan orang senekat engkau. Engkau menggunakan perahu kecil untuk mencari aku di sini, itu sudah luar biasa. Dan engkau menantangku untuk mengadu kepandaian memperebutkan pedang, itu lebih luar biasa lagi. Engkau memiliki nyali naga! Kauw Cu, beranikah engkau menghadapi pengeroyokan lima belas orang pembantuku?”
“Sudah kukatakan, Hek-liong-ong, untuk mendapatkan kembali pedang yang menjadi hakku itu, aku tidak akan mundur melawan siapapun juga, termasuk pengeroyokan anak buahmu!”
“Ha-ha-ha, jangan tekebur, anak muda. Aku hendak menyuruh anak buahku yang lima belas orang mengeroyokmu untuk mengujinya, karena kalau aku yang maju, engkau bukanlah tandinganku. Nah, keluarkan senjatamu menghadapi pengeroyokan lima belas orang anak buahku!”
Akauw memperlihatkan dua tangan dan dua kakinya. “Karena pedangku sudah kau rampas, maka senjataku tinggal kaki dan tangan inilah. Orang-orangmu boleh maju, aku tidak takut!”
Hek-liong-ong menjadi semakin kagum. Dia sendiri seorang pemberani, namun agaknya dia kalah nekat dibandingkan pemuda yang tinggi besar ini. Dia lalu berseru kepada lima belas orang pembantunya atau anak buahnya. “Kalian keroyok pemuda ini, akan tetapi karena dia bertangan kosong, kalian juga harus bertangan kosong. Robohkan dia dengan cara apa saja, asal tidak dengan senjata...“
Lima belas orang itu tentu saja memandang ringan seorang pemuda seperti Akauw. Mereka adalah lima belas orang anak buah Pulau Naga yang sudah menerima latihan ilmu silat dari majikan mereka, rata-rata memiliki ketangguhan. Kini, mereka yang berjumlah lima belas orang di suruh mengeroyok seorang pemuda yang masih hijau? Akan tetapi karena itu merupakan perintah, mereka tidak berani membantah walaupun dalam hati merasa enggan untuk mengeroyok seorang pemuda karena perbuatan ini mereka anggap tidak gagah dan memalukan.
Kini mereka maju mengepung Akauw dalam ruangan yang luas itu. Sikap mereka seperti sekumpulan orang hendak menangkap seekor ayam yang terlepas, dengan kedua tangan di buka dan di kembangkan di depan tubuh mereka, tubuh agak membungkuk. Mereka agaknya hendak meringkus pemuda itu agar tidak berdaya lagi.
Akauw juga sudah siap-siaga. Dia berdiri biasa saja, namun seluruh urat syarafnya siap menegang. Bukan saja matanya yang waspada, juga pendengarannya karena dia di kepung dari depan belakang, kanan dan kiri. Tiba-tiba dua orang menubruk dari belakang untuk meringkusnya, akan tetapi dengan sigapnya, dengan gerakan yang cepat seperti gerakan seekor kera, dia cepat menyelinap ke kiri dan tubrukan itu mengenai tempat kosong. Dari sebelah kiri dia di sambut dengan sebuah tamparan dan sebuah tendangan yang bermaksud merobohkannya. Akan tetapi kembali tubuhnya bergerak dan dua serangan itupun luput.
Kini, para pengeroyok itu menyadari bahwa pemuda ini memiliki gerakan yang cepat sekali. Mereka lalu menubruk bersama-sama dalam waktu yang hamper berbareng sehingga agaknya tidak ada lagi jalan keluar bagi Akauw. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh Akauw meluncur ke atas, dengan cepatnya dan ketika dia membalik, tubuhnya sudah menukik, dua tangannya bergerak dan dua orang pengeroyok terpelanting!
Para pengeroyok mulai penasaran dan marah. Kini mereka semua menyerang dengan pukulan, bukan lagi hanya sekedar ingin meringkus melainkan ingin merobohkan pemuda yang bandel ini. Akan tetapi, kini Akauw melayaninya, menangkis dan balas memukul. Dia menerima beberapa kali pukulan, namun tubuhnya yang kuat dank eras itu agaknya tidak merasakannya, sebaliknya setiap kali pukulan atau tamparannya mengenai tubuh lawan, lawan itu pasti terpelanting keras!
Akauw mengamuk, menggunakan ilmu silat monyet yang membuat tubuhnya berloncatan ke sana kemari dan kalau ada yang mengejarnya, maka pengejar itu dirobohkan dengan tendangan atau tamparan. Dalaw waktu tidak lama, lima belas orang itu sudah jatuh bangun! Tidak ada seorangpun yang tidak kebagian tamparan atau tendangan kaki Akauw. Melihat amukan pemuda itu, Hek-liong-ong mengelus jenggotnya yang pendek. Dia semakin kagum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Cukup!” teriaknya melihat anak buahnya jatuh bangun di hajar oleh Akauw. Para anak buahnya berhenti menyerang dan mereka merasa malu karena dengan lima belas orang mereka tidak mampu mengalahkan pemuda itu. Hek-liong-ong memberi isyarat kepada mereka semua untuk keluar dari ruangan itu dan kini tinggal dia dan Akauw sendiri yang tinggal.
“Kauw Cu, aku melihat engkau memang gagah perkasa dan berbakat baik sekali. Aku ingin mengambilmu sebagai murid, bagaimana pendapatmu...?”
Akauw mengerutkan alisnya, “Hek-liong-ong, aku datang untuk minta kembali pedangku, bukan untuk menjadi muridmu. Kembalikan pedang itu kepadaku dan aku akan meninggalkan pulau ini...“
“Hemmm, tidak semudah itu, orang muda. Engkau memang telah mengalahkan lima belas orang pembantuku. Akan tetapi itu hanya merupakan ujian pertama saja. Kau lihat, ini pedangmu Hek-liong Po-kiam. Apa kira-kira akan dapat merampasnya dari tangangku?” Dia mengangkat pedang itu dengan sarungnya tinggi-tinggi di atas kepalanya. “Ada dua jalan bagimu untuk dapat memperolehnya kembali. Pertama, engkau harus merampasnya dari tanganku, dan kedua, yang lebih mudah engkau harus menjadi muridku selama setahun. Mana yang kau pilih?”
“Aku akan mencoba untuk merampasnya dari tanganmu, Hek-liong-ong!” kata Akauw dengan gagah.
“Bagus, engkau memang tidak pernah mau putus asa. Aku senang sekali melihat keberanian dan semangatmu yang besar. Nah, coba engkau rampas kembali pedang ini dari tanganku, Kauw Cu!” Raksasa hitam itu turun dari kursinya dan berdiri di depan Akauw sambil mengacungkan pedangnya kearah Akauw.
Akauw lalu menyambar dengan tangannya untuk merampas, akan tetapi pedang itu sudah di tarik kembali. Akauw meloncat dengan gerakan yang cepat sekali, kedua tangannya menyambar-nyambar untuk merampas pedang itu. Kemanapun pedang itu di elakkan, selalu di kejar oleh tangannya untuk merampasnya. Akan tetapi sebuah dorongan telapak tangan mengenai pundaknya, membuatnya terjengkang dan jatuh bergulingan. Akauw meloncat bangun dan sekali ini dia tidak hendak merampas begitu saja. Dia maklum bahwa dengan cara demikian dia tidak akan berhasil malah akan terkena pukulan yang amat kuat. Dia lalu mulai bersilat dengan Bu-tek Cin-keng dan menyerang raksasa hitam itu dengan pukulan kilat.
Hek-liong-ong untuk kedua kalinya dibuat terkejut oleh serangan pemuda ini. Serangan itu demikian aneh gerakannya dan mendatangkan angin bersiutan. Dia mengelak dan membalas. Terjadilah serang menyerang antara mereka. Akan tetapi karena Akauw tidak memiliki tenaga sinking dari Bu-tek Cinkeng, maka serangannya itu tidak mengandung tenaga yang tepat sehingga selalu dapat tertangkis dan tak pernah dia berhasil merampas pedang. Bahkan berulang kali dia terkena hantaman tangan si raksasa hitam sehingga dia jatuh terjengkang dan terpelanting. Akan tetapi, setiap kali bangkit kembali dan menyerang dengan ganas.
Melihat ini, kembali Hek-liong-ong merasa kagum dan senang. Bocah ini selain berbakat, juga memiliki semangat yang membaja. Dia memperkuat pukulannya dan membuat Akauw jatuh bangun dan babak belur. Akhirnya Akauw tidak mampu menyerang lagi, tubuhnya sakit-sakit dan lemas kehabisan tenaga. Namun, dia masih bangkit juga dan berdiri dengan lemas terengah-engah dan mandi keringat.
“Nah, kau lihat bahwa tidak mungkin engkau mendapatkan pedangmu kembali dengan kekerasan, Kauw Cu. Jadilah muridku dan engkau akan mendapatkan kembali pedangmu berikut ilmu pedang yang akan kuajarkan kepadamu. Aku suka sekali mempunyai murid seperti engkau...“
Kini Akauw yakin bahwa sampai matipun tidak akan dapat merampas pedang dan jalan satu-satunya hanya suka menjadi murid. Dan pula, setelah bertanding, dia tahu bahwa kakek ini memang lihai luar biasa, maka kalau menjadi muridnya, dia tidak akan rugi. Mendapatkan kembali pedang berikut ilmu baru yang hebat! Dia lalu menjatuhkan dirinya yang sudah lemas itu, berlutut dan memberi hormat. ”Suhu…!”
Hek-liong-ong tertawa bergelak. “Hua-ha-ha-ha, bagus, bagus sekali, muridku!” Dan dia lalu berteriak-teriak memanggil semua anak buahnya. Ketika mereka berserabutan masuk, dia segera mengumumkan, “ Lihat baik-baik, Cian Kauw Cu ini mulai sekarang menjadi muridku. Kalian harus bersikap baik kepadanya, bahkan kalian dapat memperoleh latihan ilmu silat darinya...“
Semua pembantu itu memandang dengan wajah berseri dan mereka kelihatan girang sekali. Mereka sudah melihat betapa lihainya pemuda itu dan kalau pemuda itu mau melatih silat kepada mereka, tentu hal itu akan menguntungkan sekali.
Demikianlah, mulai hari itu Akauw tinggal di Pulau Naga dan dia menerima pelajaran ilmu pedang dari gurunya yang baru. Hek-liong-ong sengaja merangkai ilmu pedang yang disesuaikan dengan pedang pusaka itu dan di beri nama ilmu pedang Hek-liong-kiam-sut. Di ambil dari inti sari ilmu silatnya. Di waktu senggang, Akauw juga melatih ilmu silat kepada para anak buah pulau Naga. Selain berlatih ilmu silat, seringkali Hek-liong-ong mengajak muridnya bercakap-cakap. Dia sudah mendengar akan riwayat Akauw yang aneh dan dia mendengar pula dari Akauw tentang Kerajaan penjajah yang membikin sengsara rakyat jelata.
“Tadinya akupun membantu Koksu sebagai seorang panglima, suhu. Akan tetapi aku melihat bahwa Koksu bukan manusia yang baik, dan kebanyakan pejabat adalah orang-orang yang menekan rakyat demi kepentingan diri pribadi. Kalau tidak ada orang-orang gagah yang bangkit melawan penjajah, kukira rakyat akan semakin sengsara hidupnya...“
“Hemm, maksudmu untuk memberontak terhadap pemerintah?”
“Suhu, pemerintah ini adalah pemerintah penjajah, maka memberontak terhadap penjajah adalah perjuangan untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraaan. Suhu adalah seorang yang berkepandaian tinggi, kalau hanya tinggal di Pulau ini, tidak melakukan sesuatu, alangkah sayangnya. Coba andaikata suhu mau berjuang membela rakyat, nama suhu kelak akan di puja-puja dan di sanjung, biarpun suhu tidak berada di dunia ini lagi, suhu tetap akan di kenang sebagai seorang pahlawan!”
Demikianlah, seringkali guru dan murid ini berbincang-bincang tentang keadaan Kerajaan Toba, tentang kesengsaraan rakyatnya, dan perlahan-lahan tanpa di sengaja, percakapan dengan Akauw itu mulai membakar semangat kepahlawanan dalam hati Hek-liong-ong. Dia merasa bahwa dirinya semakin tua dan bahwa selama ini dia tidak pernah melakukan sesuatu yang penting, sesuatu yang akan mengangkat namanya. Kalau saja dia dapat melakukan sesuatu yang hebat, sesuatu yang akan membuat namanya kelak dikenal dan di puja sebagai seorang pahlawan, alangkah akan senangnya!
Hek-liong-ong, seperti juga kita, selalu lupa bahwa stiap perbuatan itu tidak akan meninggalkan pamrihnya. Perbuatan yang di anggap baik, kalau itu dilakukan dengan pamrih tertentu, maka perbuatan itu adalah palsu karena yang menjadi tujuan adalah pamrihnya dan perbuatan itu hanya sekedar cara untuk mendapatkan pamrih tadi. Pamrih itu adalah keinginan, dan keinginan ini adalah dorongan nafsu dan betapapun baiknya cara yang dipergunakan, kalau itu di tujukan untuk mendapatkan sesuatu, maka cara itupun palsu adanya, tidak wajar.
Misalnya kita menolong seseorang, kalau pamrihnya agar orang itu dapat melakukan sesuatu untuk kepentingan kita, maka pertolongan kita kepada orang itu adalah palsu, tidak wajar dan tidak dapat dinamakan suatu kebaikan. Perbuatan barulah wajar kalau kita tidak menjenguk ke depan atau ke belakang sebagai sebab dan akibat perbuatan itu. Kita berbuat karena sudah semestinya berbuat, karena dorongan perasaan pada saat itu.
Misalnya, kita melihat seseorang kelaparan dan kita merasa iba, lalu kita mengulurkan tangan menolongnya. Habis! Tidak ada kelanjutannya lagi, dan hanya perbuatan beginilah yang wajar. Misalnya Hek-liong-ong melihat kesengsaraan rakyat dan penyebabnya, lalu dia berjuang untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan, tanpa pamrih apapun untuk diri sendiri, maka dia benar seorang pahlawan. Akan tetapi kalau dia ingin berjuang agar di cap sebagai pahlawan, agar di puja-puja kelak, maka perjuangannya itu adalah palsu, hanya merupakan suatu cara untuk mendapatkan suatu cara untuk mendapatkan sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya sendiri.
Seorang pahlawan adalah seorang pejuang yang tidak ternama, seorang pejuang yang tidak mengharapkan imbalan apapun juga. Hasil yang di capai atau di akibatkan oleh perjuangannya untuk rakyat jelata, itulah imbalan yang cukup membahagiakan baginya. Hasil yang dinikmati rakyat, bukan di nikmati dirinya sendiri. Sayang, kebanyakan pejuang menuntut agar perjuangannya di hargai dan di beri imbalan. Ini menodai perjuangan...!