“Kauw Cu, aku sudah mengambil keputusan!” kata Hek-liong-ong pada suatu hari kepada muridnya. Sudah setahun Akauw belajar ilmu pedang kepada suhunya dan Hek-liong-ong makin merasa suka kepada muridnya ini yang sungguh menggambarkan kegagahan seorang pendekar.
“Apa yang suhu maksudkan...?”
“Aku hendak menghadiri pemilihan bengcu dan mencoba untuk merebut kedudukan sebagai bengcu baru! Aku mendengar bahwa pemilihan bengcu di Thai-san akan diadakan dua bulan mendatang. Kita akan menghadiri, kau harus membantuku. Aku harus menjadi bengcu baru!”
“Suhu, mengapa suhu ingin menjadi bengcu? Bukankah bengcu itu merupakan pemimpin seluruh golongan kangouw?”
“Ha-ha-ha, anak bodoh. Lupakah engkau akan percakapan kita tentang perjuangan? Aku ingin menjadi bengcu karena kalau sudah menjadi bengcu aku akan dapat menghimpun seluruh kekuatan dunia kangouw dan akan kubawa mereka itu berjuang meruntuhkan Kerajaan penjajah Mongol dari tanah air!”
Akauw mengangguk-angguk. Diam-diam dia merasa gembira bahwa gurunya, seorang datuk sesat. Kini mempunyai pendapat seperti itu. Alangkah bedanya dengan gurunya yang lain, yaitu Thian-te Ciu-kwi yang demi kemuliaan dan kesenangan rela menjadi antek Mongol, bahkan membantu pemerintah penjajah untuk menindas rakyat jelata. Sejak meninggalkan kota raja, dia mulai melihat betapa jahatnya Koksu Lui Tat, Thian-te Ciu-kwi, bahkan juga Perdana menteri Ji yang hendak mengusahakan hal yang langka, yaitu memberi kesejahteraan kepada rakyat di bawah pemerintah penjajah! Dan kini, gurunya yang baru ini bercita-cita menjadi bengcu agar dapat memimpin dunia kang-ouw memberontak terhadap pemerintah Toba.
“Aku akan membantu suhu dengan sekuat tenagaku!” katanya dengan penuh semangat dan tentu saja gurunya merasa gembira sekali.
Beberapa hari kemudian, guru dan murid ini meninggalkan Pulau Naga untuk pergi ke Thai-san dimana akan diadakan pemilihan bengcu yang tentu akan di hadiri oleh seluruh tokoh dan jagoan di dunia kangouw.
Lai Seng merasa penasaran sekali karena anak buah Kwi-to-pang tidak berhasil menemukan jejak Ji Goat. Bahkan mereka telah salah memberi keterangan dan dia telah memperkosa Kwee Sun Nio, murid Thian-li-pang yang di sangka Ji Goat. Untung dia bersikap cerdik sekali dan dapat menjatuhkan fitnah kepada Yang Cien sehingga kini Sun Nio akan mencari dan membalas dendam atau minta pertanggungan jawab kepada Yang Cien! Dia yang makan nangkanya Yang Cien yang akan terkena getahnya!
Kini Lai Seng mengerahkan anggota Kwi-to-pang untuk mencari para anggota Hek I Kaipang dan kalau bertemu mereka, langsung di bunuhnya! Banyak sudah anak buah Hek I Kaipang terbunuh oleh para anggota Kwi-to-pang itu. Akhirnya Yang Cien mendengar laporan Cu Lokai, ketua Hek I Kaipang tentang perbuatan Kwi-to-pang yang membunuhi anggota Hek I Kaipang tanpa alasan.
“Entah mengapa secara tiba-tiba saja orang-orang Kwi-to-pang mengadakan aksi pembunuhan terhadap orang-orang kita...“ kata Cu-Lokai. “Selama ini tidak terdapat permusuhan di antara kami dengan mereka...“
“Dan anak buah kita tidak membalas?” Tanya Yang Cien.
“Orang-orang Kwi-to-pang amat lihai dan rata-rata memiliki kelebihan dibandingkan orang-orang kita. Dan Kwi-to-pang di pimpin oleh seorang Raja Iblis…“
“Raja Iblis?”
“Julukan adalah Sin-to Kwi-ong (Raja Iblis Golok Sakti), seorang datuk yang sakti dan kejam. Apalagi puterinya yang bernama Bong Kwi Hwa dan di juluki Siauw Kwi, jahatnya bukan kepalang. Apalagi setelah wanita itu menikah dengan Lai Seng…“
“Lai Seng lagi! Apakah pemuda murid Toat-beng Giam-ong itu kini menjadi mantu Sin-to Kwi-pang?”
“Tidak salah, dan kukira dialah yang menjadi gara-gara mengapa sekarang kwi-to-pang memusuhi Hek I Kaipang. Agaknya Lai Seng hendak membalas dendam kepada kita dan dia menggunakan anak buah mertuanya untuk membunuhi anak buah kita...“
Yang Cien mengerutkan alisnya. Dia teringat akan cerita Ji Goat. Bukankah gadis itu oleh ayahnya yang Perdana Menteri juga ditunangkan dengan Lai Seng? Dan sekarang tahu-tahu Lai Seng telah menikah dengan puteri Sin-to Kwi-ong!
“Kalau begitu sudah jelas. Ini gara-gara Lai Seng yang hendak membalas dendam. Kita harus hadapi dengan kekerasan pula. Tidak semestinya kalau Kwi-to-pang membunuhi anak buah kita tanpa alasan. Mari kita mendatangi Kwi-to-pang dan biarkan aku yang bicara dengan Sin-to Kwi-ong...“
“Akan tetapi, dia itu berbahaya dan lihai sekali, Yang-taihiap. Juga anak buah mereka ada dua ratus orang lebih, semuanya jahat dan berbahaya...“
“Paman, dalam saat seperti ini kita harus berani menghadapi lawan yang bagaimanapun. Kita pun memiliki anak buah yang banyak. Berapa orang yang kiranya dapat kau kumpulkan?”
“Karena sekarang telah berpencar, yang berada di sini kurang lebih ada dua ratus lima puluh orang...“
“Sudah lebih dari cukup. Kita kabari Kiang-pangcu dari nan-king, Phang Kim dan Ciok Kui, minta bantuan mereka agar membawa anak buah sedikitnya seratus orang. Setelah itu kita baru menyerbu Kwi-to-pang. Aku yang akan menghadapi Sin-to Kwi-ong!” kata Yang-Cien.
Cepat Cu-Lokai mengirim kabar ke Nan-king dan dalam waktu belasan hari saja sudah muncul Kiang Si Gun, Phang Kim dan Ciok Kwi bersama seratus orang anak buah Hek I Kaipang dari Nanking. Bahkan diantara mereka itu terdapat seorang yang berjenggot panjang dan melihat orang ini, Cu-Lokai gembira sekali. Kiranya dia adalah Song Pa yang pernah menjadi ketua di Nan-king sebelum Kiang Si Gun menggantikannya karena Song Pa di undang ke kota raja oleh Cu-Lokai dan kemudian ternyata undangan itu palsu dan merupakan jebakan.
Song Pa kini kembali ke Nanking dan membantu para pimpinan baru. Mendengar bahwa Cu-Lokai minta bala bantuan, Song Pa tidak mau ketinggalan dan ikut pula. Dengan membawa anak buah tiga ratus orang lebih, Yang Cien dan Cu-Lokai memimpin mereka menuju ke bukit di tepi Sungai Huai itu, yang menjadi pusat perkumpulan Golok Setan. Berbondong-bondong tiga ratus lebih anak buah Hek I Kaipang dengan pakaian mereka yang hitam-hitam menuju ke bukit itu dan mendaki lereng bukit dimana terdapat sebuah bangunan tua yang besar sekali. Tentu saja kedatangan mereka sudah diketahui oleh anak buah Kwi-to-pang yang cepat melapor ke dalam.
Sin-to Kwi-pang adalah seorang datuk yang sombong dan tinggi hati, merasa diri paling pandai. Mendengar bahwa Hek I Kaipang datang menyerbu dengan tenang dia menyuruh semua anak buahnya bersiap-siap. Lai Seng dan isterinya, Bong Kwi Hwa juga sudah bersiap-siap. Rombongan Hek I Kaipang sudah tiba di depan bangunan dan Cu-Lokai lalu berteriak dengan nyaring,
“Sin-to Kwi-ong harap keluar kami ingin bicara...!”
Dari dalam bangunan itu keluar semua anak buah Kwi-to-pang yang berjumlah dua ratus orang lebih itu, mengiringkan tiga orang pimpinan mereka, yaitu Sin-to Kwi-tong, Lai Seng dan Siauw-kwi atau Bong Kwi Hwa. Dengan angkuhnya mereka bertiga menyambut rombongan Hek I Kaipang.
“Kalian ini golongan jembel ada keperluan apa berani datang berkunjung ke tempat kami...?” bentak Sin-to Kwi-ong dengan suaranya yang lantang.
“Sin-to Kwi-ong, sejak dahulu antara Kwi-to-pang dan kami Hek I Kaipang tidak pernah terjadi bentrokan. Akan tetapi selama beberapa pekan ini orang-orangmu mengeroyok dan membunuhi beberapa orang anggota kami. Kami minta pertanggung-jawabmu atas kejadian itu, Kwi-ong!”
“Ha-ha-ha-ha, tanggung jawab apa, Lokai? Kalian adalah jembel-jembel busuk yang menjadi pemberontak, sudah kewajiban kami untuk membasmi kalian. Baru membunuh beberapa orang pengemis busuk pemberontak saja, apa salahnya?”
“Sin-to Kwi-ong, ucapanmu yang kotor itu hanya menunjukkan orang macam apa engkau adanya! Dengarlah baik-baik, menjadi pengemis miskin bukanlah suatu kejahatan, akan tetapi menjadi penjahat macam kalian merupakan dosa yang besar sekali. Kami rakyat miskin berjuang untuk mengusir penjajah, menunjukkan bahwa kami adalah anak bangsa yang baik. Akan tetapi kalian bahkan membela penjajah dan menjadi antek Mongol, apakah engkau tidak malu kepada nenek moyangmu?” kata Yang Cien dengan suara marah.
Mendengar ucapan yang pedas ini, Sin-to Kwi-ong menjadi merah mukanya. Matanya melotot marah dan dia memandang kepada Yang Cien seolah hendak menelannya bulat-bulat. “Bocah kurang ajar, siapakah engkau?”
“Namaku Yang Cien dan akulah yang memimpin para saudara ini. Sebetulnya kami datang untuk minta pertanggungan-jawabmu dan untuk menyadarkanmu bahwa menjadi antek Mongol adalah memalukan dan hina sekali. Akan tetapi kalau engkau membandel, bahkan menghina kami, terpaksa kami akan menghancurkan Kwi-to-pang dari muka bumi!”
“Tutup mulutmu, keparat! Engkau sudah bosan hidup berani menghinaku...“ Datuk tinggi besar yang bermuka bengis dan rambutnya riap-riapan ini segera menerjang maju dengan pukulan tangannya yang besar kearah kepala Yang Cien . Dia mengira bahwa sekali pukul saja kepala pemuda itu akan hancur berantakan. Tenaga gajahnya membuat pukulan itu mendatangkan angin yang bersiutan menyambar.
Yang Cien maklum akan kelihaian orang. Maka dengan ringan dia melangkah mundur sehingga sambaran pukulan itu luput. Melihat betapa pemuda itu dengan amat mudahnya menghindarkan pukulannya, raja Iblis itu menjadi penasaran dan diapun mengirimkan serangkaian pukulan yang susul menyusul dan bertubi-tubi kepada pemuda itu. Namun Yang Cien telah siap sedia dan pemuda inipun memainkan Bu-tek Cin-keng karena dia tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang datuk sakti yang berkepandaian tinggi dan memiliki tenaga gajah.
“Duk-dukkk…!!”
Ketika kedua lengan bertemu, tubuh Sin-to Kwi-ong terpental ke belakang, membuat kakek ini mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas terluka. Dia kaget bukan main karena hampir tidak dapat percaya bahwa pemuda seperti orang yang lemah itu mampu membuatnya terpental kebelakang seperti di hanyutkan gelombang yang amat kuat. Tahulah dia bahwa pemuda ini sama sekali tidak boleh di pandang ringan, maka dia lalu mencabut goloknya yang besar dan berat.
Melihat ini, Yang Cien juga mencabut Pek-liong Po-kiamnya dan nampak sinar putih berkelebat ketika pedang yang mencorong itu di cabut. Biarpun dapat menduga bahwa lawannya memiliki pedang pusaka ampuh, Sin-to Kwi-ong tidak perduli dan dia sudah memainkan goloknya dengan gerakan dahsyat sekali, menyerang dengan jurus Elang Emas Menyambar Kelinci. Golok itu berdesing nyaring ketika menyambar dan nampak gulungan sinar menyambar ke arah leher Yang Cien. Pemuda ini dengan tenang saja mengelak lalu membalas dengan tusukan pedangnya kearah perut lawan.
“Traannggg…!” Golok itu menangkis pedang dan bunga api berhamburan menyilaukan mata. Sin-ti Kwi-ong lalu memutar-mutar goloknya dan tidak percuma dia berjuluk Sin-to (Golok Sakti) karena memang ilmu goloknya amat hebat. Namun sekali ini dia berhadapan dengan Yang Cien yang memiliki pedang pusaka dan memiliki ilmu pedang Pek-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Putih) yang di gubahnya sendiri berdasarkan ilmu Bu-tek Cin-keng.
Sementara itu, Cu-Lokai juga sudah memberi aba-aba kepada anak buahnya dan para anggota Hek I Kaipang menyerbu sehingga terjadi pertempuran seru antara mereka dengan para anggota Kwi-to-pang.
Lai Seng dan isterinya, Bong Kwi Hwa, juga sudah menerjang maju untuk membantu Sin-to Kwi-ong, akan tetapi Cu Lokai menghadang dan menyambut di bantu oleh para pangcu yang lain seperti Song Pa, Kiang Si Gun, Phang Kim dan Ciok Kui. Terjadilah pertempuran seru antara sepasang suami istri yang lihai itu melawan lima orang ketua kaipang itu. Pedang dan suling suami isteri itu lihai sekali, akan tetapi lima orang pengeroyoknya juga memiliki ilmu tongkat yang lihai sehingga pertempuran itu seimbang.
Para anak buah Sin-to Kwi-ong menggunakan golok, dan semua pengemis menggunakan tongkat sehingga pertempuran yang seru itu terjadi dengan hebat, bentrokan antara ratusan batang golok melawan ratusan batang tongkat. Suaranya gaduh dan mulailah ada yang roboh dan suara jerit kesakitan dan pekik kemenangan bercampur dengan berdentingan suara senjata yang saling beradu. Biarpun para anggota Kwi-to-pang rata-rata memiliki ilmu silat yang lebih lihai akan tetapi karena jumlah mereka kalah banyak, maka pertempuran itu makin lama makin merepotkan pihak Kwi-to-pang dan pihak mereka menderita kerugian yang lebih banyak.
Yang paling seru adalah pertandingan antara Sin-to Kwi-ong melawan Yang Cien. Setelah lewat lima puluh jurus saling menyerang, mulai lah Sin-to Kwi-ong terdesak oleh pukulan-pukulan tangan kiri Yang Cien yang memainkan jurus-jurus dari Bu-tek Cin-keng. Dia tidak mengenal ilmu silat aneh itu dan tangan kiri pemuda yang di gunakan untuk selingan pedangnya, sungguh amat dahsyat. Sudah dua kali pundak dan dadanya terkena dorongan tangan kiri itu dan dia terhuyung-huyung merasa dadanya sesak. Sin-to Kwi-ong meloncat ke belakang untuk melihat keadaan teman-temannya. Sungguh tidak menguntungkan. Puteri dan mantunya yang di keroyok lima orang ketua kaipang itu nampak kelelahan, dan anak buahnya juga kelihatan terdesak oleh lawan yang jumlahnya amat banyak.
Sekali pandang saja tahulah Sin-ti Kwi-ong bahwa kalau dilanjutkan pertempuran itu, pihaknya tentu akan kalah, bahkan keselamatan diri sendiri, puterinya dan mantunya terancam. Pemuda yang bernama Yang Cien itu sungguh merupakan lawan yang amat tangguh. Maka, diapun segera memberi aba-aba kepada puteri dan mantunya, juga para anak buahnya untuk mundur.
Mendengar aba-aba ini, Lai Seng dan Bong Kwi Hwa memutar pedang dan sulingnya dengan cepat sehingga para pengeroyoknya berlompatan ke belakang dan kesempatan itu mereka pergunakan untuk meloncat dan menyelinap ke dalam rombongan anak buahnya yang sedang bertempur. Demikian pula dilakukan oleh Sin-to Kwi-ong, meninggalkan Yang Cien dan menyelinap di antara anak buahnya.
Anak buah Kwi-to-pang juga sudah kewalahan, maka perintah mundur ini mereka lakukan dengan cepat dan tak lama kemudian mereka yang masih hidup itu melarikan diri cerai berai. Yang Cien melarang anak buahnya untuk mengejar. Sebaliknya mereka lalu merawat yang terluka. Pihak musuh yang terluka dan tertawan di ampuni dan di lepaskan. Sedangkan yang mati di kubur bersama para anggota kaipang yang tewas.
Peraturan ini di pegang teguh oleh Yang Cien yang tidak ingin mengotori tempat itu dengan mayat yang dibiarkan membusuk sehingga akan amat merugikan penduduk di sekitar tempat itu. Bekas tempat tinggal Kwi-to-pang di bakar dan para anak buah kaipang itu pulang membawa kemenangan. Semangat mereka semakin tinggi dan mereka semua menganggap Yang Cien sebagai pemimpin besar mereka.
Kemenangan Hek I Kaipang atas Kwi-to-pang ini segera tersiar luas di dunia para kaipang sehingga ketika di adakan pemilihan bengcu yang dicalonkan para kaipang, maka semua ketua kaipang tanpa ragu lagi memilih Yang Cien. Dari mereka semua yang hadir, hanya ada dua orang kai-pangcu saja yang masih penasaran. Mereka adalah ketua dari Sin-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti) dan Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang).
Akan tetapi, setelah dua orang ketua ini maju bersama untuk menguji kepandaian calon bengcu itu, dengan mudah saja Yang Cien mampu mengalahkan mereka dan merekapun menjadi tunduk dan takluk. Dengan suara bulat, seluruh kai-pang yang terdiri dari puluhan perkumpulan yang tersebar di empat penjuru, menyatakan pilihan mereka kepada Yang Cien sebagai calon beng-cu.
Pemuda ini maklum bahwa tanpa adanya persatuan yang kuat dari semua kekuatan rakyat, tidak mungkin kiranya menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah. Dan biarlah para perkumpulan pengemis ini menjadi pelopor, dan kemudian dia akan menarik kekuatan golongan lain. Kalau dia berhasil menjadi bengcu, agaknya hal itu akan mudah dilakukan dan kalau semua kekuatan sudah bersatu, dia akan mulai dengan perjuangannya menumbangkan kekuasaan penjajah seperti yang dipesankan mendiang kakeknya.
Dia tidak menganjurkan Hek I Kaipang membasmi Kwi-to-pang, bahkan membiarkan mereka yang masih hidup melarikan diri dan membebaskan tawanan yang terluka. Hal ini juga termasuk siasatnya. Kalau dia sudah benar-benar hendak mengadakan gerakan perjuangan mengusir penjajah, dia harus mampu mengumpulkan tenaga semua pihak, tidak perduli dari golongan hitam atau putih.
Dan untuk pembiayaan perjuangannya, dia sudah memiliki harta karun, yaitu gumpalan-gumpalan emas yang berada di dalam guha, di Lembah Iblis. Hanya dia dan Akauw yang mengetahui tempat yang kini telah di tutupnya dengan batu besar itu. Akan tetapi dimana Akauw? Sudah bertahun-tahun dia tidak tahu kemana perginya sutenya itu dan hatinya mulai merasa khawatir. Mulailah dia menyuruh para anak buah Hek I Kaipang untuk mencari seorang pemuda bernama Cian Kauw Cu atau Akauw.
Demikianlah, Yang Cien yang berambisi besar itu mulai menyusun tenaga melalui perkumpulan-perkumpulan pengemis yang pada waktu itu merupakan tenaga besar yang patut diperhitungkan karena dimana-mana terdapat perkumpulan itu dan para pengemis ini merupakan penyelidik-penyelidik yang pandai dan tidak di curigai orang. Hal ini memudahkan mereka untuk menyelidiki keadaan musuh dan keadaan di kota-kota yang ingin di selidiki.
Akan tetapi yang terutama adalah menghimpun tenaga seluruh golongan kang-ouw. Dan nanti, tiga bulan lagi. Pada pertemuan di Puncak Thai-san, akan diadakan pemilihan bengcu itu. Dia akan mencoba untuk meraih kedudukan itu, atau setidaknya, kalau dia gagal, dia harus dapat mendekati bengcu baru untuk mengajaknya berjuang menggulingkan Pemerintah Toba.
Sambil menanti datangnya saat pemilihan beng-cu, Yang Cien tetap melatih para anggota kaipang dengan ilmu silat agar kelak mereka menjadi prajurit yang tangguh. Juga dia diperkenalkan dengan pimpinan Hek I Kaipang yang lain. Pada suatu hari datang berkunjung ketua Hek I Kaipang di Lok-yang bersama wakil ketua, yaitu Thio Cid an Thio Kui. Kedua orang ini datang berkunjung ketika mendengar bahwa Yang Cien menyebar anak buah mencari keterangan tentang Cian Kauw Cu atau Akauw pemuda yang tinggi besar dan gagah.
“Yang taihiap...“ kata Thio Ci yang sudah pernah bertemu dengan Yang Cien ketika pemuda ini di pilih sebagai calon bengcu oleh semua ketua kaipang. “Kalau tidak salah, kami dapat menemukan pemuda yang taihiap cari-cari itu...“
“Kamu maksudkan Cian Kauw Cu, pangcu? Dimana dia dan bagaimana engkau dapat bertemu dengan dia?”
Wajah Thio Ci agak muram mendengar pertanyaan itu. “Bukankah taihiap mengatakan bahwa yang bernama Akauw itu memiliki sebuah pedang pusaka yang bersinar hitam?”
“Hek-liong Po-kiam! Betul! Betul itu, pangcu!” kata Yang Cien gembira. “Dimana dia sekarang?”
Wajah Thio Ci masih murung ketika menjawab, “Tentu saja di kota raja, dimana lagi, taihiap? Seorang panglima muda tentu tinggalnya di kota raja. Bahkan kami mendengar bahwa dia adalah panglima pembantu Koksu Lui! Dia pula yang di utus oleh kaisar untuk menangkap Gubernur Yen-Kan dari Lok-yang yang berjiwa patriot. Sekarang Gubernur Yen Kan dijadikan orang tahanan di kota raja...“
“Ah, tidak mungkin!” seru Yang Cien dengan penasaran.
“Apa yang tidak mungkin taihiap?” Tanya Thio Kui karena mengira bahwa Yang Cien tidak mempercayai laporan kakaknya.
“Tidak mungkin Akauw menjadi antek Koksu!”
“Akan tetapi yang jelas, nama komandan itu adalah Cian Kauw Cu dan dia memiliki pedang bersinar hitam, juga ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Kami berdua sudah membuktikannya sendiri...“
“Ceritakan yang jelas...“
“Ketika kami melihat panglima itu menyamar sebagai seorang biasa, bersama seorang pemuda remaja, kami langsung mengenalnya sebagai komandan yang menangkap Jendral Yen. Tentu kedatangannya dengan menyamar itu untuk menyelidiki keadaan di Lok-yang. Bersama kurang lebih tiga puluh orang anggota Hek I Kaipang di Lok-yang, kami berdua menyergapnya. Akan tetapi dia lihai bukan main, Pedang sinar hitam itu sukar di tembus bahkan kami kehilangan banyak anak buah. Akhirnya dia dapat meloloskan diri membawa temannya yang terluka. Kami berkata sebenarnya, taihiap, entah dia itu sahabat yang taihiap cari atau bukan, akan tetapi yang bernama Cian Kauw Cu berpedang sinar hitam adalah seorang panglima antek Raja Toba!”
Setelah mendengar laporan itu, wajah Yang Cien selalu murung karena dia gelisah dan penasaran sekali mendengar bahwa sutenya telah menjadi komandan Kerajaan Toba. Sungguh aneh sekali. Dia mengenal betul watak sutenya yang gagah perkasa, tidak mungkin kiranya mau di peralat oleh Kaisar Toba, tidak mungkin gila harta atau gila kedudukan. Kalau benar orang yang di ceritakan ketua Hek I Kaipang di Lok-yang itu benar Akauw, tentu ada sebab-sebab tertentu yang membuatnya menjadi komandan!”
Malam itu terang bulan dan Yang Cien keluar dari perkampungan Hek I Kaipang, berjalan-jalan seorang diri di lereng pantai Sungai Huai. Dia melamun karena pikirannya penuh dengan Akauw. Dia harus menyelidiki sendiri keadaan sutenya itu di kota raja dan kalau benar Akauw telah menjadi komandan, dia harus menyadarkan sutenya itu dari kekeliruannya. Sutenya tidak boleh menjadi antek Mongol!
Tiba-tiba ada suara tidak wajar dibelakangnya dan kesadaran Yang Cien kembali membuatnya waspada. Dia membalikkan tubuhnya dan berhadapan dengan seorang wanita muda yang cantik. Di bawah sinar bulan yang remang-remamng, dia tidak mengenal siapa gadis itu.
“Yang-taihiap…“ terdengar suara gadis itu memanggil lirih.
“Eh, siapakah nona?”
“Hemm, benarkah taihiap telah lupa kepadaku?” Tanya gadis itu dengan suara mengandung penasaran. “Kita sudah pernah saling bertemu di rumah Gubernur Gak di Nam-kiang dan malam itu…“ Ia tidak melanjutkan kata-katanya.
“Ah, sekarang aku ingat. Nona tentulah Nona Kwee Sun Nio, murid dari Iam Yang To-kouw dari Thian-li-pang itu, bukan? Selamat malam, nona. Apa yang membawa nona datang ke sini?” “Taihiap, aku sengaja datang mencarimu dan beruntung sekali aku mendapatkan engkau seorang diri di tempat ini...“
“Maafkan kalau aku menyambut dalam cara begini, nona. Marilah kita pergi ke tempat tinggal kami dan di sana kita dapat berbincang-bincang…”
“Tidak perlu. Aku justeru ingin bicara di tempat sunyi denganmu, empat mata saja...“
“Terserah kepadamu, nona. Apakah nona di suruh oleh guru nona menemuiku?”
“Yang Cien, jangan berpura-pura terus!” Tiba-tiba suara Sun Nio berubah penasaran dan ketus. “Aku datang menemuimu untuk minta pertanggung jawabmu!”
Yang Cien tentu saja terkejut sekali mendengar ini. Minta pertanggung-jawab? Seingatnya, tidak pernah ada terjadi sesuatu dengan nona ini atau gurunya, kecuali ketika guru nona ini dahulu meminta surat peninggalan Kam Lo-kai dan di tolaknya sehingga terjadi pertempuran antara dia dan Im Yang To-kouw. Dan itupun ternyata hanya merupakan ujian saja dari tokouw itu untuk melihat apakah dia memang setia akan mempertahankan surat wasiat dari Kam Lokai, seperti di ketahuinya ketika ia sudah menghadap Gubernur Gak. Ternyata Thian-li-pang juga merupakan perkumpulan yang condong membantu pergerakan pejuang melawan penjajah. Ada urusan apa lagi antara dia dengan gadis Thian-li-pang ini?”
“Nona, apa artinya semua ini? pertanggung-jawab apakah yang nona minta dariku?”
“Yang Cien, ketika pertama kali aku mengenalmu bersama subo, kukira engkau seorang pendekar budiman yang bijaksana dan bertanggung jawab. Tak ku sangka sekarang ini ternyata engkau seorang pengecut yang tidak segan untuk pura-pura tidak tahu apa yang telah kau perbuat terhadap diriku!” Gadis ini sudah demikian kecewa dan marahnya sehingga suaranya tercampur isak yang di tahan-tahannya.
“Sungguh mati, nona. Aku tidak mengerti apa yang nona maksudkan! Aku bukanlah seorang pengecut dan aku Yang Cien pasti akan mempertanggung-jawabkan semua perbuatanku sampai yang sekecil-kecilnya. Nah, jelaskan, perbuatan apakah yang telah ku lakukan terhadap dirimu, nona Kwee Sun Nio?”
Sun Nio menjadi merah sekali mukanya. “Apakah benar engkau sudah lupa atau pura-pura lupa apa yang kau lakukan di kuil tua itu pada waktu malam hari beberapa pekan yang lalu...?”
“Di kuil tua? Malam hari beberapa pekan yang lalu? Aku tidak pernah berkunjung ke kuil tua, nona...“
“Bohong! Ada orang yang melihatmu meninggalkan kuil dengan tergesa-gesa...“
“Sungguh heran, aku benar tidak pernah ke kuil. Orang itu pasti telah salah lihat. Dan apa katanya yang kulakukan di dalam kuil itu?”
“Dia tidak berkata apa-apa, akan tetapi akulah yang menjadi korban kebiadabanmu. Yang Cien, sebagai laki-laki gagah tidak pelu kau ingkari lagi. Engkau telah memperkosa aku selagi aku pingsan!”
Seperti di sambar ular Yang Cien melangkah dua tindak, akan tetapi lalu maju lagi mendekati Kwee Sun Nio dengan mata terbelalak. “Apa…? Apa yang kau katakan ini? Sungguh fitnah keji sekali!”
“Fitnah? Aku yang menderita! Aku yang kehilangan kehormatan, kehilangan yang lebih daripada nyawa. Aku yang terkena aib. Apakah aku akan melakukan fitnah kalau tidak terjadi benar atas diriku?”
“Nanti dulu, nona. Coba ceritakan yang lebih jelas. Engkau berada didalam kuil tua, lalu datang memperkosamu...“
“Kau lebih dulu melepaskan asap pembius sehingga aku menjadi pingsan, dan kau lalu…“
“Hemmm, kau jatuh pingsan di dalam kuil tua lalu aku datang memperkosamu? Bagaimana kau tahu bahwa aku yang memperkosamu kelau engkau pingsan?”
“Aku memang tidak melihat dengan mataku sendiri. Setelah sadar, aku melompat keluar kuil dan bertemu seseorang yang mengatakan bahwa dia melihat engkau pergi dari kuil dengan tergesa-gesa...“
“Fitnah keji! Kalau dia mengatakan bahwa ada laki-laki berlari dari kuil, bagaimana engkau bisa tahu bahwa laki-laki itu aku orangnya...?”
“Yang Cien, tidak perlu engkau mengelak lagi. Orang itu telah mengenalmu, maka tahu siapa engkau dan dia yang menceritakan kepadaku...“
“Nona Kwe, siapakah orang itu? Siapakah orang yang mengatakan bahwa dia melihat aku lari meninggalkan kuil...?”
“Apa yang suhu maksudkan...?”
“Aku hendak menghadiri pemilihan bengcu dan mencoba untuk merebut kedudukan sebagai bengcu baru! Aku mendengar bahwa pemilihan bengcu di Thai-san akan diadakan dua bulan mendatang. Kita akan menghadiri, kau harus membantuku. Aku harus menjadi bengcu baru!”
“Suhu, mengapa suhu ingin menjadi bengcu? Bukankah bengcu itu merupakan pemimpin seluruh golongan kangouw?”
“Ha-ha-ha, anak bodoh. Lupakah engkau akan percakapan kita tentang perjuangan? Aku ingin menjadi bengcu karena kalau sudah menjadi bengcu aku akan dapat menghimpun seluruh kekuatan dunia kangouw dan akan kubawa mereka itu berjuang meruntuhkan Kerajaan penjajah Mongol dari tanah air!”
Akauw mengangguk-angguk. Diam-diam dia merasa gembira bahwa gurunya, seorang datuk sesat. Kini mempunyai pendapat seperti itu. Alangkah bedanya dengan gurunya yang lain, yaitu Thian-te Ciu-kwi yang demi kemuliaan dan kesenangan rela menjadi antek Mongol, bahkan membantu pemerintah penjajah untuk menindas rakyat jelata. Sejak meninggalkan kota raja, dia mulai melihat betapa jahatnya Koksu Lui Tat, Thian-te Ciu-kwi, bahkan juga Perdana menteri Ji yang hendak mengusahakan hal yang langka, yaitu memberi kesejahteraan kepada rakyat di bawah pemerintah penjajah! Dan kini, gurunya yang baru ini bercita-cita menjadi bengcu agar dapat memimpin dunia kang-ouw memberontak terhadap pemerintah Toba.
“Aku akan membantu suhu dengan sekuat tenagaku!” katanya dengan penuh semangat dan tentu saja gurunya merasa gembira sekali.
Beberapa hari kemudian, guru dan murid ini meninggalkan Pulau Naga untuk pergi ke Thai-san dimana akan diadakan pemilihan bengcu yang tentu akan di hadiri oleh seluruh tokoh dan jagoan di dunia kangouw.
********************
Lai Seng merasa penasaran sekali karena anak buah Kwi-to-pang tidak berhasil menemukan jejak Ji Goat. Bahkan mereka telah salah memberi keterangan dan dia telah memperkosa Kwee Sun Nio, murid Thian-li-pang yang di sangka Ji Goat. Untung dia bersikap cerdik sekali dan dapat menjatuhkan fitnah kepada Yang Cien sehingga kini Sun Nio akan mencari dan membalas dendam atau minta pertanggungan jawab kepada Yang Cien! Dia yang makan nangkanya Yang Cien yang akan terkena getahnya!
Kini Lai Seng mengerahkan anggota Kwi-to-pang untuk mencari para anggota Hek I Kaipang dan kalau bertemu mereka, langsung di bunuhnya! Banyak sudah anak buah Hek I Kaipang terbunuh oleh para anggota Kwi-to-pang itu. Akhirnya Yang Cien mendengar laporan Cu Lokai, ketua Hek I Kaipang tentang perbuatan Kwi-to-pang yang membunuhi anggota Hek I Kaipang tanpa alasan.
“Entah mengapa secara tiba-tiba saja orang-orang Kwi-to-pang mengadakan aksi pembunuhan terhadap orang-orang kita...“ kata Cu-Lokai. “Selama ini tidak terdapat permusuhan di antara kami dengan mereka...“
“Dan anak buah kita tidak membalas?” Tanya Yang Cien.
“Orang-orang Kwi-to-pang amat lihai dan rata-rata memiliki kelebihan dibandingkan orang-orang kita. Dan Kwi-to-pang di pimpin oleh seorang Raja Iblis…“
“Raja Iblis?”
“Julukan adalah Sin-to Kwi-ong (Raja Iblis Golok Sakti), seorang datuk yang sakti dan kejam. Apalagi puterinya yang bernama Bong Kwi Hwa dan di juluki Siauw Kwi, jahatnya bukan kepalang. Apalagi setelah wanita itu menikah dengan Lai Seng…“
“Lai Seng lagi! Apakah pemuda murid Toat-beng Giam-ong itu kini menjadi mantu Sin-to Kwi-pang?”
“Tidak salah, dan kukira dialah yang menjadi gara-gara mengapa sekarang kwi-to-pang memusuhi Hek I Kaipang. Agaknya Lai Seng hendak membalas dendam kepada kita dan dia menggunakan anak buah mertuanya untuk membunuhi anak buah kita...“
Yang Cien mengerutkan alisnya. Dia teringat akan cerita Ji Goat. Bukankah gadis itu oleh ayahnya yang Perdana Menteri juga ditunangkan dengan Lai Seng? Dan sekarang tahu-tahu Lai Seng telah menikah dengan puteri Sin-to Kwi-ong!
“Kalau begitu sudah jelas. Ini gara-gara Lai Seng yang hendak membalas dendam. Kita harus hadapi dengan kekerasan pula. Tidak semestinya kalau Kwi-to-pang membunuhi anak buah kita tanpa alasan. Mari kita mendatangi Kwi-to-pang dan biarkan aku yang bicara dengan Sin-to Kwi-ong...“
“Akan tetapi, dia itu berbahaya dan lihai sekali, Yang-taihiap. Juga anak buah mereka ada dua ratus orang lebih, semuanya jahat dan berbahaya...“
“Paman, dalam saat seperti ini kita harus berani menghadapi lawan yang bagaimanapun. Kita pun memiliki anak buah yang banyak. Berapa orang yang kiranya dapat kau kumpulkan?”
“Karena sekarang telah berpencar, yang berada di sini kurang lebih ada dua ratus lima puluh orang...“
“Sudah lebih dari cukup. Kita kabari Kiang-pangcu dari nan-king, Phang Kim dan Ciok Kui, minta bantuan mereka agar membawa anak buah sedikitnya seratus orang. Setelah itu kita baru menyerbu Kwi-to-pang. Aku yang akan menghadapi Sin-to Kwi-ong!” kata Yang-Cien.
Cepat Cu-Lokai mengirim kabar ke Nan-king dan dalam waktu belasan hari saja sudah muncul Kiang Si Gun, Phang Kim dan Ciok Kwi bersama seratus orang anak buah Hek I Kaipang dari Nanking. Bahkan diantara mereka itu terdapat seorang yang berjenggot panjang dan melihat orang ini, Cu-Lokai gembira sekali. Kiranya dia adalah Song Pa yang pernah menjadi ketua di Nan-king sebelum Kiang Si Gun menggantikannya karena Song Pa di undang ke kota raja oleh Cu-Lokai dan kemudian ternyata undangan itu palsu dan merupakan jebakan.
Song Pa kini kembali ke Nanking dan membantu para pimpinan baru. Mendengar bahwa Cu-Lokai minta bala bantuan, Song Pa tidak mau ketinggalan dan ikut pula. Dengan membawa anak buah tiga ratus orang lebih, Yang Cien dan Cu-Lokai memimpin mereka menuju ke bukit di tepi Sungai Huai itu, yang menjadi pusat perkumpulan Golok Setan. Berbondong-bondong tiga ratus lebih anak buah Hek I Kaipang dengan pakaian mereka yang hitam-hitam menuju ke bukit itu dan mendaki lereng bukit dimana terdapat sebuah bangunan tua yang besar sekali. Tentu saja kedatangan mereka sudah diketahui oleh anak buah Kwi-to-pang yang cepat melapor ke dalam.
Sin-to Kwi-pang adalah seorang datuk yang sombong dan tinggi hati, merasa diri paling pandai. Mendengar bahwa Hek I Kaipang datang menyerbu dengan tenang dia menyuruh semua anak buahnya bersiap-siap. Lai Seng dan isterinya, Bong Kwi Hwa juga sudah bersiap-siap. Rombongan Hek I Kaipang sudah tiba di depan bangunan dan Cu-Lokai lalu berteriak dengan nyaring,
“Sin-to Kwi-ong harap keluar kami ingin bicara...!”
Dari dalam bangunan itu keluar semua anak buah Kwi-to-pang yang berjumlah dua ratus orang lebih itu, mengiringkan tiga orang pimpinan mereka, yaitu Sin-to Kwi-tong, Lai Seng dan Siauw-kwi atau Bong Kwi Hwa. Dengan angkuhnya mereka bertiga menyambut rombongan Hek I Kaipang.
“Kalian ini golongan jembel ada keperluan apa berani datang berkunjung ke tempat kami...?” bentak Sin-to Kwi-ong dengan suaranya yang lantang.
“Sin-to Kwi-ong, sejak dahulu antara Kwi-to-pang dan kami Hek I Kaipang tidak pernah terjadi bentrokan. Akan tetapi selama beberapa pekan ini orang-orangmu mengeroyok dan membunuhi beberapa orang anggota kami. Kami minta pertanggung-jawabmu atas kejadian itu, Kwi-ong!”
“Ha-ha-ha-ha, tanggung jawab apa, Lokai? Kalian adalah jembel-jembel busuk yang menjadi pemberontak, sudah kewajiban kami untuk membasmi kalian. Baru membunuh beberapa orang pengemis busuk pemberontak saja, apa salahnya?”
“Sin-to Kwi-ong, ucapanmu yang kotor itu hanya menunjukkan orang macam apa engkau adanya! Dengarlah baik-baik, menjadi pengemis miskin bukanlah suatu kejahatan, akan tetapi menjadi penjahat macam kalian merupakan dosa yang besar sekali. Kami rakyat miskin berjuang untuk mengusir penjajah, menunjukkan bahwa kami adalah anak bangsa yang baik. Akan tetapi kalian bahkan membela penjajah dan menjadi antek Mongol, apakah engkau tidak malu kepada nenek moyangmu?” kata Yang Cien dengan suara marah.
Mendengar ucapan yang pedas ini, Sin-to Kwi-ong menjadi merah mukanya. Matanya melotot marah dan dia memandang kepada Yang Cien seolah hendak menelannya bulat-bulat. “Bocah kurang ajar, siapakah engkau?”
“Namaku Yang Cien dan akulah yang memimpin para saudara ini. Sebetulnya kami datang untuk minta pertanggungan-jawabmu dan untuk menyadarkanmu bahwa menjadi antek Mongol adalah memalukan dan hina sekali. Akan tetapi kalau engkau membandel, bahkan menghina kami, terpaksa kami akan menghancurkan Kwi-to-pang dari muka bumi!”
“Tutup mulutmu, keparat! Engkau sudah bosan hidup berani menghinaku...“ Datuk tinggi besar yang bermuka bengis dan rambutnya riap-riapan ini segera menerjang maju dengan pukulan tangannya yang besar kearah kepala Yang Cien . Dia mengira bahwa sekali pukul saja kepala pemuda itu akan hancur berantakan. Tenaga gajahnya membuat pukulan itu mendatangkan angin yang bersiutan menyambar.
Yang Cien maklum akan kelihaian orang. Maka dengan ringan dia melangkah mundur sehingga sambaran pukulan itu luput. Melihat betapa pemuda itu dengan amat mudahnya menghindarkan pukulannya, raja Iblis itu menjadi penasaran dan diapun mengirimkan serangkaian pukulan yang susul menyusul dan bertubi-tubi kepada pemuda itu. Namun Yang Cien telah siap sedia dan pemuda inipun memainkan Bu-tek Cin-keng karena dia tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang datuk sakti yang berkepandaian tinggi dan memiliki tenaga gajah.
“Duk-dukkk…!!”
Ketika kedua lengan bertemu, tubuh Sin-to Kwi-ong terpental ke belakang, membuat kakek ini mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas terluka. Dia kaget bukan main karena hampir tidak dapat percaya bahwa pemuda seperti orang yang lemah itu mampu membuatnya terpental kebelakang seperti di hanyutkan gelombang yang amat kuat. Tahulah dia bahwa pemuda ini sama sekali tidak boleh di pandang ringan, maka dia lalu mencabut goloknya yang besar dan berat.
Melihat ini, Yang Cien juga mencabut Pek-liong Po-kiamnya dan nampak sinar putih berkelebat ketika pedang yang mencorong itu di cabut. Biarpun dapat menduga bahwa lawannya memiliki pedang pusaka ampuh, Sin-to Kwi-ong tidak perduli dan dia sudah memainkan goloknya dengan gerakan dahsyat sekali, menyerang dengan jurus Elang Emas Menyambar Kelinci. Golok itu berdesing nyaring ketika menyambar dan nampak gulungan sinar menyambar ke arah leher Yang Cien. Pemuda ini dengan tenang saja mengelak lalu membalas dengan tusukan pedangnya kearah perut lawan.
“Traannggg…!” Golok itu menangkis pedang dan bunga api berhamburan menyilaukan mata. Sin-ti Kwi-ong lalu memutar-mutar goloknya dan tidak percuma dia berjuluk Sin-to (Golok Sakti) karena memang ilmu goloknya amat hebat. Namun sekali ini dia berhadapan dengan Yang Cien yang memiliki pedang pusaka dan memiliki ilmu pedang Pek-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Putih) yang di gubahnya sendiri berdasarkan ilmu Bu-tek Cin-keng.
Sementara itu, Cu-Lokai juga sudah memberi aba-aba kepada anak buahnya dan para anggota Hek I Kaipang menyerbu sehingga terjadi pertempuran seru antara mereka dengan para anggota Kwi-to-pang.
Lai Seng dan isterinya, Bong Kwi Hwa, juga sudah menerjang maju untuk membantu Sin-to Kwi-ong, akan tetapi Cu Lokai menghadang dan menyambut di bantu oleh para pangcu yang lain seperti Song Pa, Kiang Si Gun, Phang Kim dan Ciok Kui. Terjadilah pertempuran seru antara sepasang suami istri yang lihai itu melawan lima orang ketua kaipang itu. Pedang dan suling suami isteri itu lihai sekali, akan tetapi lima orang pengeroyoknya juga memiliki ilmu tongkat yang lihai sehingga pertempuran itu seimbang.
Para anak buah Sin-to Kwi-ong menggunakan golok, dan semua pengemis menggunakan tongkat sehingga pertempuran yang seru itu terjadi dengan hebat, bentrokan antara ratusan batang golok melawan ratusan batang tongkat. Suaranya gaduh dan mulailah ada yang roboh dan suara jerit kesakitan dan pekik kemenangan bercampur dengan berdentingan suara senjata yang saling beradu. Biarpun para anggota Kwi-to-pang rata-rata memiliki ilmu silat yang lebih lihai akan tetapi karena jumlah mereka kalah banyak, maka pertempuran itu makin lama makin merepotkan pihak Kwi-to-pang dan pihak mereka menderita kerugian yang lebih banyak.
Yang paling seru adalah pertandingan antara Sin-to Kwi-ong melawan Yang Cien. Setelah lewat lima puluh jurus saling menyerang, mulai lah Sin-to Kwi-ong terdesak oleh pukulan-pukulan tangan kiri Yang Cien yang memainkan jurus-jurus dari Bu-tek Cin-keng. Dia tidak mengenal ilmu silat aneh itu dan tangan kiri pemuda yang di gunakan untuk selingan pedangnya, sungguh amat dahsyat. Sudah dua kali pundak dan dadanya terkena dorongan tangan kiri itu dan dia terhuyung-huyung merasa dadanya sesak. Sin-to Kwi-ong meloncat ke belakang untuk melihat keadaan teman-temannya. Sungguh tidak menguntungkan. Puteri dan mantunya yang di keroyok lima orang ketua kaipang itu nampak kelelahan, dan anak buahnya juga kelihatan terdesak oleh lawan yang jumlahnya amat banyak.
Sekali pandang saja tahulah Sin-ti Kwi-ong bahwa kalau dilanjutkan pertempuran itu, pihaknya tentu akan kalah, bahkan keselamatan diri sendiri, puterinya dan mantunya terancam. Pemuda yang bernama Yang Cien itu sungguh merupakan lawan yang amat tangguh. Maka, diapun segera memberi aba-aba kepada puteri dan mantunya, juga para anak buahnya untuk mundur.
Mendengar aba-aba ini, Lai Seng dan Bong Kwi Hwa memutar pedang dan sulingnya dengan cepat sehingga para pengeroyoknya berlompatan ke belakang dan kesempatan itu mereka pergunakan untuk meloncat dan menyelinap ke dalam rombongan anak buahnya yang sedang bertempur. Demikian pula dilakukan oleh Sin-to Kwi-ong, meninggalkan Yang Cien dan menyelinap di antara anak buahnya.
Anak buah Kwi-to-pang juga sudah kewalahan, maka perintah mundur ini mereka lakukan dengan cepat dan tak lama kemudian mereka yang masih hidup itu melarikan diri cerai berai. Yang Cien melarang anak buahnya untuk mengejar. Sebaliknya mereka lalu merawat yang terluka. Pihak musuh yang terluka dan tertawan di ampuni dan di lepaskan. Sedangkan yang mati di kubur bersama para anggota kaipang yang tewas.
Peraturan ini di pegang teguh oleh Yang Cien yang tidak ingin mengotori tempat itu dengan mayat yang dibiarkan membusuk sehingga akan amat merugikan penduduk di sekitar tempat itu. Bekas tempat tinggal Kwi-to-pang di bakar dan para anak buah kaipang itu pulang membawa kemenangan. Semangat mereka semakin tinggi dan mereka semua menganggap Yang Cien sebagai pemimpin besar mereka.
Kemenangan Hek I Kaipang atas Kwi-to-pang ini segera tersiar luas di dunia para kaipang sehingga ketika di adakan pemilihan bengcu yang dicalonkan para kaipang, maka semua ketua kaipang tanpa ragu lagi memilih Yang Cien. Dari mereka semua yang hadir, hanya ada dua orang kai-pangcu saja yang masih penasaran. Mereka adalah ketua dari Sin-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti) dan Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang).
Akan tetapi, setelah dua orang ketua ini maju bersama untuk menguji kepandaian calon bengcu itu, dengan mudah saja Yang Cien mampu mengalahkan mereka dan merekapun menjadi tunduk dan takluk. Dengan suara bulat, seluruh kai-pang yang terdiri dari puluhan perkumpulan yang tersebar di empat penjuru, menyatakan pilihan mereka kepada Yang Cien sebagai calon beng-cu.
Pemuda ini maklum bahwa tanpa adanya persatuan yang kuat dari semua kekuatan rakyat, tidak mungkin kiranya menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah. Dan biarlah para perkumpulan pengemis ini menjadi pelopor, dan kemudian dia akan menarik kekuatan golongan lain. Kalau dia berhasil menjadi bengcu, agaknya hal itu akan mudah dilakukan dan kalau semua kekuatan sudah bersatu, dia akan mulai dengan perjuangannya menumbangkan kekuasaan penjajah seperti yang dipesankan mendiang kakeknya.
Dia tidak menganjurkan Hek I Kaipang membasmi Kwi-to-pang, bahkan membiarkan mereka yang masih hidup melarikan diri dan membebaskan tawanan yang terluka. Hal ini juga termasuk siasatnya. Kalau dia sudah benar-benar hendak mengadakan gerakan perjuangan mengusir penjajah, dia harus mampu mengumpulkan tenaga semua pihak, tidak perduli dari golongan hitam atau putih.
Dan untuk pembiayaan perjuangannya, dia sudah memiliki harta karun, yaitu gumpalan-gumpalan emas yang berada di dalam guha, di Lembah Iblis. Hanya dia dan Akauw yang mengetahui tempat yang kini telah di tutupnya dengan batu besar itu. Akan tetapi dimana Akauw? Sudah bertahun-tahun dia tidak tahu kemana perginya sutenya itu dan hatinya mulai merasa khawatir. Mulailah dia menyuruh para anak buah Hek I Kaipang untuk mencari seorang pemuda bernama Cian Kauw Cu atau Akauw.
Demikianlah, Yang Cien yang berambisi besar itu mulai menyusun tenaga melalui perkumpulan-perkumpulan pengemis yang pada waktu itu merupakan tenaga besar yang patut diperhitungkan karena dimana-mana terdapat perkumpulan itu dan para pengemis ini merupakan penyelidik-penyelidik yang pandai dan tidak di curigai orang. Hal ini memudahkan mereka untuk menyelidiki keadaan musuh dan keadaan di kota-kota yang ingin di selidiki.
Akan tetapi yang terutama adalah menghimpun tenaga seluruh golongan kang-ouw. Dan nanti, tiga bulan lagi. Pada pertemuan di Puncak Thai-san, akan diadakan pemilihan bengcu itu. Dia akan mencoba untuk meraih kedudukan itu, atau setidaknya, kalau dia gagal, dia harus dapat mendekati bengcu baru untuk mengajaknya berjuang menggulingkan Pemerintah Toba.
********************
Sambil menanti datangnya saat pemilihan beng-cu, Yang Cien tetap melatih para anggota kaipang dengan ilmu silat agar kelak mereka menjadi prajurit yang tangguh. Juga dia diperkenalkan dengan pimpinan Hek I Kaipang yang lain. Pada suatu hari datang berkunjung ketua Hek I Kaipang di Lok-yang bersama wakil ketua, yaitu Thio Cid an Thio Kui. Kedua orang ini datang berkunjung ketika mendengar bahwa Yang Cien menyebar anak buah mencari keterangan tentang Cian Kauw Cu atau Akauw pemuda yang tinggi besar dan gagah.
“Yang taihiap...“ kata Thio Ci yang sudah pernah bertemu dengan Yang Cien ketika pemuda ini di pilih sebagai calon bengcu oleh semua ketua kaipang. “Kalau tidak salah, kami dapat menemukan pemuda yang taihiap cari-cari itu...“
“Kamu maksudkan Cian Kauw Cu, pangcu? Dimana dia dan bagaimana engkau dapat bertemu dengan dia?”
Wajah Thio Ci agak muram mendengar pertanyaan itu. “Bukankah taihiap mengatakan bahwa yang bernama Akauw itu memiliki sebuah pedang pusaka yang bersinar hitam?”
“Hek-liong Po-kiam! Betul! Betul itu, pangcu!” kata Yang Cien gembira. “Dimana dia sekarang?”
Wajah Thio Ci masih murung ketika menjawab, “Tentu saja di kota raja, dimana lagi, taihiap? Seorang panglima muda tentu tinggalnya di kota raja. Bahkan kami mendengar bahwa dia adalah panglima pembantu Koksu Lui! Dia pula yang di utus oleh kaisar untuk menangkap Gubernur Yen-Kan dari Lok-yang yang berjiwa patriot. Sekarang Gubernur Yen Kan dijadikan orang tahanan di kota raja...“
“Ah, tidak mungkin!” seru Yang Cien dengan penasaran.
“Apa yang tidak mungkin taihiap?” Tanya Thio Kui karena mengira bahwa Yang Cien tidak mempercayai laporan kakaknya.
“Tidak mungkin Akauw menjadi antek Koksu!”
“Akan tetapi yang jelas, nama komandan itu adalah Cian Kauw Cu dan dia memiliki pedang bersinar hitam, juga ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Kami berdua sudah membuktikannya sendiri...“
“Ceritakan yang jelas...“
“Ketika kami melihat panglima itu menyamar sebagai seorang biasa, bersama seorang pemuda remaja, kami langsung mengenalnya sebagai komandan yang menangkap Jendral Yen. Tentu kedatangannya dengan menyamar itu untuk menyelidiki keadaan di Lok-yang. Bersama kurang lebih tiga puluh orang anggota Hek I Kaipang di Lok-yang, kami berdua menyergapnya. Akan tetapi dia lihai bukan main, Pedang sinar hitam itu sukar di tembus bahkan kami kehilangan banyak anak buah. Akhirnya dia dapat meloloskan diri membawa temannya yang terluka. Kami berkata sebenarnya, taihiap, entah dia itu sahabat yang taihiap cari atau bukan, akan tetapi yang bernama Cian Kauw Cu berpedang sinar hitam adalah seorang panglima antek Raja Toba!”
Setelah mendengar laporan itu, wajah Yang Cien selalu murung karena dia gelisah dan penasaran sekali mendengar bahwa sutenya telah menjadi komandan Kerajaan Toba. Sungguh aneh sekali. Dia mengenal betul watak sutenya yang gagah perkasa, tidak mungkin kiranya mau di peralat oleh Kaisar Toba, tidak mungkin gila harta atau gila kedudukan. Kalau benar orang yang di ceritakan ketua Hek I Kaipang di Lok-yang itu benar Akauw, tentu ada sebab-sebab tertentu yang membuatnya menjadi komandan!”
Malam itu terang bulan dan Yang Cien keluar dari perkampungan Hek I Kaipang, berjalan-jalan seorang diri di lereng pantai Sungai Huai. Dia melamun karena pikirannya penuh dengan Akauw. Dia harus menyelidiki sendiri keadaan sutenya itu di kota raja dan kalau benar Akauw telah menjadi komandan, dia harus menyadarkan sutenya itu dari kekeliruannya. Sutenya tidak boleh menjadi antek Mongol!
Tiba-tiba ada suara tidak wajar dibelakangnya dan kesadaran Yang Cien kembali membuatnya waspada. Dia membalikkan tubuhnya dan berhadapan dengan seorang wanita muda yang cantik. Di bawah sinar bulan yang remang-remamng, dia tidak mengenal siapa gadis itu.
“Yang-taihiap…“ terdengar suara gadis itu memanggil lirih.
“Eh, siapakah nona?”
“Hemm, benarkah taihiap telah lupa kepadaku?” Tanya gadis itu dengan suara mengandung penasaran. “Kita sudah pernah saling bertemu di rumah Gubernur Gak di Nam-kiang dan malam itu…“ Ia tidak melanjutkan kata-katanya.
“Ah, sekarang aku ingat. Nona tentulah Nona Kwee Sun Nio, murid dari Iam Yang To-kouw dari Thian-li-pang itu, bukan? Selamat malam, nona. Apa yang membawa nona datang ke sini?” “Taihiap, aku sengaja datang mencarimu dan beruntung sekali aku mendapatkan engkau seorang diri di tempat ini...“
“Maafkan kalau aku menyambut dalam cara begini, nona. Marilah kita pergi ke tempat tinggal kami dan di sana kita dapat berbincang-bincang…”
“Tidak perlu. Aku justeru ingin bicara di tempat sunyi denganmu, empat mata saja...“
“Terserah kepadamu, nona. Apakah nona di suruh oleh guru nona menemuiku?”
“Yang Cien, jangan berpura-pura terus!” Tiba-tiba suara Sun Nio berubah penasaran dan ketus. “Aku datang menemuimu untuk minta pertanggung jawabmu!”
Yang Cien tentu saja terkejut sekali mendengar ini. Minta pertanggung-jawab? Seingatnya, tidak pernah ada terjadi sesuatu dengan nona ini atau gurunya, kecuali ketika guru nona ini dahulu meminta surat peninggalan Kam Lo-kai dan di tolaknya sehingga terjadi pertempuran antara dia dan Im Yang To-kouw. Dan itupun ternyata hanya merupakan ujian saja dari tokouw itu untuk melihat apakah dia memang setia akan mempertahankan surat wasiat dari Kam Lokai, seperti di ketahuinya ketika ia sudah menghadap Gubernur Gak. Ternyata Thian-li-pang juga merupakan perkumpulan yang condong membantu pergerakan pejuang melawan penjajah. Ada urusan apa lagi antara dia dengan gadis Thian-li-pang ini?”
“Nona, apa artinya semua ini? pertanggung-jawab apakah yang nona minta dariku?”
“Yang Cien, ketika pertama kali aku mengenalmu bersama subo, kukira engkau seorang pendekar budiman yang bijaksana dan bertanggung jawab. Tak ku sangka sekarang ini ternyata engkau seorang pengecut yang tidak segan untuk pura-pura tidak tahu apa yang telah kau perbuat terhadap diriku!” Gadis ini sudah demikian kecewa dan marahnya sehingga suaranya tercampur isak yang di tahan-tahannya.
“Sungguh mati, nona. Aku tidak mengerti apa yang nona maksudkan! Aku bukanlah seorang pengecut dan aku Yang Cien pasti akan mempertanggung-jawabkan semua perbuatanku sampai yang sekecil-kecilnya. Nah, jelaskan, perbuatan apakah yang telah ku lakukan terhadap dirimu, nona Kwee Sun Nio?”
Sun Nio menjadi merah sekali mukanya. “Apakah benar engkau sudah lupa atau pura-pura lupa apa yang kau lakukan di kuil tua itu pada waktu malam hari beberapa pekan yang lalu...?”
“Di kuil tua? Malam hari beberapa pekan yang lalu? Aku tidak pernah berkunjung ke kuil tua, nona...“
“Bohong! Ada orang yang melihatmu meninggalkan kuil dengan tergesa-gesa...“
“Sungguh heran, aku benar tidak pernah ke kuil. Orang itu pasti telah salah lihat. Dan apa katanya yang kulakukan di dalam kuil itu?”
“Dia tidak berkata apa-apa, akan tetapi akulah yang menjadi korban kebiadabanmu. Yang Cien, sebagai laki-laki gagah tidak pelu kau ingkari lagi. Engkau telah memperkosa aku selagi aku pingsan!”
Seperti di sambar ular Yang Cien melangkah dua tindak, akan tetapi lalu maju lagi mendekati Kwee Sun Nio dengan mata terbelalak. “Apa…? Apa yang kau katakan ini? Sungguh fitnah keji sekali!”
“Fitnah? Aku yang menderita! Aku yang kehilangan kehormatan, kehilangan yang lebih daripada nyawa. Aku yang terkena aib. Apakah aku akan melakukan fitnah kalau tidak terjadi benar atas diriku?”
“Nanti dulu, nona. Coba ceritakan yang lebih jelas. Engkau berada didalam kuil tua, lalu datang memperkosamu...“
“Kau lebih dulu melepaskan asap pembius sehingga aku menjadi pingsan, dan kau lalu…“
“Hemmm, kau jatuh pingsan di dalam kuil tua lalu aku datang memperkosamu? Bagaimana kau tahu bahwa aku yang memperkosamu kelau engkau pingsan?”
“Aku memang tidak melihat dengan mataku sendiri. Setelah sadar, aku melompat keluar kuil dan bertemu seseorang yang mengatakan bahwa dia melihat engkau pergi dari kuil dengan tergesa-gesa...“
“Fitnah keji! Kalau dia mengatakan bahwa ada laki-laki berlari dari kuil, bagaimana engkau bisa tahu bahwa laki-laki itu aku orangnya...?”
“Yang Cien, tidak perlu engkau mengelak lagi. Orang itu telah mengenalmu, maka tahu siapa engkau dan dia yang menceritakan kepadaku...“
“Nona Kwe, siapakah orang itu? Siapakah orang yang mengatakan bahwa dia melihat aku lari meninggalkan kuil...?”