“Jangan bergerak, suamiku. Tahankan saja. Hanya sakit sedikit!” Kui Ji menghibur sambil mengusap-ngusap dagu Han Sin seperti seorang ibu membujuk anaknya.
Begitu jarum di tusukkan, Han Sin merasa sesuatu yang amat dingin memasuki tubuhnya melalui pangkal lengan itu. Dia menggigil dan rasa dingin itu menyusup tulang. Kui Ji masih terus membelainya. Jarum di cabut kembali dan wanita itu terkekeh.
“Hik-hik-hik-hik, ia akan kehilangan tenaganya dan ia akan menjadi penurut, tidak akan dapat memberontak lagi...“
“Engkau sudah yakin benar, Liu Si?” suaminya bertanya.
Wanita itu tiba-tiba melotot. “Kau tidak percaya akan kemampuan racunku?“ apakah engkau ingin merasakannya sendiri?“ Ia mengancam dengan jarumnya.
“Ah, tidak, jangan... Aku hanya khawatir pemuda ini memberontak dan sukar bagi kita untuk menundukkannya kembali!“
“Hemmm, sekarang juga dapat dibuktikan!“ Liu Si menepuk punggung Han Sin dua kali.
Dan pemuda ini merasa betapa darahnya mengalir normal dan dia dapat bergerak kembali. Akan tetapi ketika dia hendak mengerahkan tenaganya, dia terkejut. Otot-otot ditubuhnya tidak dapat terisi tenaga sin-kang dan dia hanya dapat bergerak dengan tenaga biasa saja! Otot-otot itu seperti dalam keadaan lesu dan tidak dapat menerima hawa sin-kang yang disalurkannya.
“Hik-h ik-h ik, percuma saja. Engkau mencoba untuk menyalurkan sin-kangmu, Han Sin...“
“Ha-ha-ha-ha, engkau sudah berjodoh dengan puteri kami orang muda...”
“Ayah, namanya Cian Han Sin, kelak anak kami akan bermarga Cian,“ kata Kui Ji tanpa malu-malu lagi.
“Ha-ha-ha-ha, tentu saja! Sudah menjadi peraturan nenek moyang kita yang tidak boleh di langgar bahwa seseorang anak menggunakan marga ayahnya. Han Sin, Karena engkau sudah menjadi mantu ku, maka menurut peraturan sejak jaman dahulu, engkau harus memberi hormat kepada aku dan istriku dengan berlutut. Hayo lakukan, engkau tidak akan menyesal menjadi mantu Kui Mo, ha-ha-ha-ha...!“
Han Sin merasa tertarik sekali. Dua kali sudah orang gila ini menekankan soal peraturan nenek moyang yang harus ditaati! Agaknya ini merupakan titik kelemahannya, pikirnya maka hal itu akan di cobanya. “Benar sekali ,paman akan tetapi menurut peraturan nenek moyang kita sejak jaman dahulu yang tidak boleh dilanggar, pemberian hormat itu hanya dilakukan di waktu sepasang pengantin dipertemukan, jadi bukan sekarang. Kalau sekarang dilakukan, ini berarti melanggar peraturan nenek moyang...“
Kui Mo tertegun, melongo, lalu tertawa. “Ha-ha-ha-ha, engkau benar! Aku sampai lupa, ha-ha-ha! Baik, dilakukan nanti setelah kedua pengantin dipertemukan...”
Han Sin merasa girang, ternyata akalnya berhasil baik, maka dia lalu berkata lagi. “Menurut adat istiadat, sungguh tidak pantas kalau seorang mantu dibiarkan setengah telanjang seperti ini. Hal itu akan mencemarkan nama baik mertuanya. Maka saya harap agar buntalan pakaianku yang disimpan calon istriku diberikan kepadaku agar saya dapat memakai pakaian yang pantas...“
Kui Mo memandang kepada puterinya. “Kui Ji, apakah pakaian suami mu kau simpan?”
“Buntalan itu adalah emas kawinnya, ayah...“
“Emas kawinku hanya sekantung emas itu, dan pakaian itu adalah pakaian untukku sendiri, adik Kui Ji yang baik!“ Kata Han Sin dengan suara merayu.
Senang hati Kui Ji di sebut adik yang baik, maka ia lalu tertawa dan berloncatan pergi. Tak lama kemudian ia sudah kembali membawa buntalan itu dan membukanya didepan semua orang. Ketika mengambil kantung emas, Kui Ji bersorak. "Horeeee... ini emas kawinku. Banyak yach, ibu?”
"Hemmmm, dahulu emas kawin yang diberikan ayahmu kepadaku tidak sebanyak itu...“
Sementara itu Han Sin mengambil pakaiannya dan mengenakan pakaiannya sendiri. Agar tidak bertelanjang lagi, dia memakai pakaiannya di luar celana berkembang itu.
“Bagus, kau gagah memakai pakaian itu. Pantas menjadi mantuku!“ Kata Kui Mo. “Dan sekarang, mari kita semua pulang. Pesta pernikahan harus dirayakan dengan meriah...“
Biarpun hatinya mendongkol dan juga khawatir, Han Sin terpaksa ikut rombongan keluarga gila itu mendaki sebuah bukit yang penuh hutan. Melihat keadaan dirinya, untuk sementara ini terpaksa dia harus menurut segala kemauan mereka, akan tetapi dia masih memiliki 'senjat' yang ampuh, yaitu kepatuhan Kui Mo akan adat istiadat nenek moyang. Dan senjata itu akan dapat dipakainya untuk mengendalikan mereka, setidaknya untuk sementara waktu. Dia tidak tahu berapa lamanya racun dingin itu akan mempengaruhi tubuhnya.
Rumah itu besar akan tet api sederhana sekali, Terbuat daripada bambu dan kayu. Ketika Han Sin diajak oleh keluarga gila itu memasuki rumah, dia sudah menyusun rencana siasatnya. Didalam rumah terdapat pula meja kursi yang kasar, agaknya buat an mereka sendiri. Akan tetapi pada dinding bambu itu tergantung lukisan-lukisan indah dan sajak-sajak pasangan yang di tulis oleh penyair-penyair terkenal.
Han Sin merasa heran sekali. Dilihat dari sajak dan lukisan itu, pantasnya keluarga itu adalah keluarga bangsawan yang berdiam disebuah gedung. Sajak dan lukisan seperti itu memang sepatutnya tergantung di dinding rumah gedung.
“Nah, Inilah rumah kami, juga kini menjadi rumahmu, mantuku!“ kata Kui Mo sambil tertawa-tawa senang. “Kita akan segera melangsungkan pernikahanmu dengan Kui Ji...“
Han Sin bangkit berdiri dari duduknya dan memberi hormat, sikapnya seperti seorang sastrawan yang patuh terhadap adat istiadat. “Calon mertuaku, harap diketahui bahwa baru beberapa bulan saya ditinggal mati ayah kandung saya, menurut adat istiadat nenek moyang kita, seorang anak yang kematian ayahnya, tidak boleh melangsungkan pernikahan sebelem berkabung sedikitnya satu tahun. Apakah paman calon mertua berani melanggar pantangan adat istiadat itu?“
Mendengar ini, Kui Mo terbelalak. “Ah, tentu saja tidak boleh! Berapa lama lagi perkabungan selesai?” tanyanya sambil memandang pakaian Han Sin yang serba putih.
Han Sin memang sengaja memilih pakaian putih ketika berpakaian tadi, karena siasat ini sudah mulai disusunnya. “Kurang tiga bulan lagi. Dan pula menurut adat istiadat nenek moyang kita, sebuah pesta pernikahan merupakan ukuran dari derajat dan martabat orang tua pengantin. Kalau pernikahan di langsungkan ditempat sunyi ini, tanpa ada tamunya, tanpa ada keramaian yang mewah, apakah hal itu tidak akan merendahkan martabat paman calon mertua? Saya kira sambil menunggu tiga bulan lewat, paman dapat mencari tempat yang lebih sesuai untuk mengangkat derajat paman calon mertua...“
Kembali Kui Mo terbelalak dan bengong. Akhirnya dia mengangguk-angguk bodoh. “Kita akan cari tempat itu, kita akan cari...“ katanya, agak bingung.
“Kenapa bingung, suamiku? Tak jauh dari sini, lereng hwa-san, bukankah terdapat tempat yang indah dan cukup mewah? Partai Bunga Hwa-ki-san memiliki gedung yang besar dan megah. Kita datangi Hwa-li-san, kita duduki gedungnya untuk perayaan pernikahan dan kita suruh mereka mengundang tokoh-tokoh dunia persilatan untuk hadir merayakan pesta pernikahan. Tentu akan meriah dan mengangkat martabat kita...!”
“Bagus, bagus, ha-ha-ha-ha!“ Kui Mo melompat, merangkul istrinya dan menciuminya. “Mantuku, bukankah ibu mertuamu ini pintar sekali?” katanya.
Han Sin tersenyum melihat prilaku yang tidak mengenal rasa malu itu “Memang pendapat yang baik sekali,..“ katanya.
“Kalau begitu, kita bersiap-siap, besok kita pergi ke Hwa-san dan menguasai Hwa-li-san,ha-ha-ha!“ Kui Mo tertawa-tawa seperti anak kecil yang merasa gembira sekali.
Malam itu, Kui Ji hendak menggandeng Han Sin kekamarnya, akan tetapi pemuda itu berkata. “Calon isteriku yang baik, jangan kita melanggar pantangan nenek moyang kita...“
“Suamiku, kita akan menjadi suami istri, apa salahnya kalau engkau tidur di kamarku bersamaku?”
“Aihhh, adik Kui Ji yang baik, apakah engkau tidak tahu? Tanyakan saja pada ayahmu ini. Nenek moyang kita mengatakan bahwa sebelum dipertemukan sebagai pengantin, calon pengantin tidak boleh saling berdekatan, apalagi tidur sekamar. Aku tidak berani melanggar pantangan itu, takut kalau kena kutuk...!“
Mendengar ucapan itu, Kui Mo mengangguk-angguk. “Dia benar, Kui Ji. Biar dia tidur sekamar denganku dan engkau tidur sekamar dengan ibumu!“
“Akan tetapi, ayah...“
“Tidak ada tapi! Kita adalah orang-orang terpelajar dan mantuku adalah orang yang mengenal adat, kita harus menaati adat istiadat kalau tidak mau terkutuk...“
“Aku takut kalau-kalau dia melarikan diri, ayah...“ kata Kui Ji.
“Ha-ha-ha, dia tidur bersamaku sekamar, bagaimana dia bisa melarikan diri?“ Kui Mo tertawa bergelak.
“Hik-hik-hik, dia sudah terkena racunku, mana mungkin dapat meloloskan diri?” kata pula Liu Si, ibu Kui Ji.
Demikianlah, malam itu Han Sin tidak tidur sedipan dengan Kui Mo, setelah mereka makan malam. Dan ternyata biarpun gila, Kui Ji dan ibunya pandai memasak. Makanan yang dihidangkan cukup lezat sehingga Han Sin merasa heran sendiri. Dalam banyak hal keluarga ini seperti bukan orang-orang gila, bahkan ada kalanya mereka bersikap wajar dan waras. Akan tetapi segera sikap itu tertutup oleh kelakuan yang gila-gilaan.
Begitu tubuhnya menyentuh tempat tidur, Kui Mo segera mendengkur. Han Sin sebaliknya tidak dapat tidur. Bukan hanya karena disebelahnya ada orang mendengkur, melainkan karena dia memang sedang berusaha untuk melarikan diri. Sebetulnya kalau saja tenaga sin-kangnya dapat disalurkan, mudah saja baginya untuk menotok Kui Mo yang rebah miring membelakanginya itu. Akan tetapi tenaga sin-kangnya dari tan-tian (bawah pusar) itu tidak dapat menggerakkan otot-ototnya. Menotok dengan tenaga biasa saja amat berbahaya. Kui Mo biarpun gila memilik iilmu kepandaian tinggi, mana bisa dilumpuhkan dengan totokan tenaga biasa.
Dengan hati-hati dia bangkit duduk. Untung dia tidur di tepi dipan sehingga dia dapat turun dari dipan tanpa melangkahi tubuh Kui Mo. Dia bergerak perlahan sekali sambil memperhatikan dengkur orang gila yang lihai itu. Dengkurnya masih tetap, bahkan terdengar semakin keras. Kini dia berindap-indap ke pintu dan keluar dari pintu. Agar tidak melewati kamar kedua orang wanita yang berada di bagian depan, dia pergi ke belakang, membuka pintu belakang yang menembus ke kebun. Jantungnya berdebar tegang dan juga girang. Tidak ada perubahan dalam kamar itu dan dengkur Kui Mo itu bahkan terdengar dari belakang rumah. Juga t idak ada suara keluar dari kamar Kui Ji yang tidur bersama ibunya. Dia dapat bebas!
Malam itu terang bulan, menguntungkan bagi Han Sin. Dia dapat melarikan diri dibawah sinar bulan. Akan tetapi baru belasan langkah dia memasuki kebun, tiba-tiba nampak tiga bayangan berkelebat dan keluarga itu, lengkap ayah isteri dan anak, telah berada disitu mengepungnya! Mereka tertawa-tawa dan Kui Mo menegur.
“Ha-ha-ha, mantuku, engkau hendak pergi kemana?”
Han Sin merasa hatinya mendongkol bukan main, namun diam-diam dia juga kaget. Keluarga gila ini memang benar-benar lihai sekali. Dia bersungut-sungut. “Kalian ini sungguh merupakan orang-orang yang tidak tahu aturan dan kepantasan. Orang ingin kencing, kenapa diikuti?” berkata demikian, dia lalu menghampiri sebatang pohon, membuka celananya dan kencing di situ!
“Ha-ha-ha, kami memang salah! Aku juga ingin kencing!“ kata Kui Mo dan diapun kencing di bawah pohon yang sama.
Ibu dan anak itu terkekeh-kekeh dan pergi dari situ, kembali kedalam rumah. Terpaksa Han Sin juga kembali kedalam rumah bersama Kui Mo dan karena dia maklum bahwa melarikan diri tidak mungkin sama sekali, diapun dapat menerima keadaan dan tidur pulas. Besok pagi kalau mereka menyerang Hwa-li-pang seperti yang mereka rencanakan, dia dapat mencari kesempatan untuk melarikan diri.
Hwa-li-pang adalah sebuah perkumpulan persilatan yang dipimpin oleh seorang pendeta To wanita. Murid-muridnya atau para anggota Hwa-li-pang semua wanita. Jumlah para murid Hwa-li-pang ada kurang lebih lima puluh orang, dari gadis-gadis berusia delapan belas sampai dua puluh lima tahun. Hwa-li-pang baru berdiri dua puluh tiga tahun yang lalu, yaitu sejak Kerajaan Sui berdiri. Perkumpulan ini merupakan pecahan dari perkumpulan Thian-li-pang yang terkenal didunia persilatan. Pada dua puluh tiga tahun yang lalu, ketua Thian li pang yang bernama Im-Yang To-Kouw sudah berusia lanjut, sudah kurang lebih sembilan puluh tahun.
Karena merasa sudah terlalu tua untuk memimpin Thian-li-pang, merasa tubuhnya sudah lemah dan ia ingin tekun bersemedhi, menjauhi urusan duniawi, ia lalu mengambil keputusan untuk menyerahkan pimpinan Thian-li-pang kepada muridnya. Akan tetapi ternyata ia mengalami kesulitan dalam menentukkan siapa yang akan dipilihnya menjadi ketua baru menggantikannya.
Murid utama yang paling di sayangnya adalah Kwee Sun Nio akan tetapi murid ini telah meninggal dunia lima belas tahun yang lalu. Dan diantara murid-muridnya yang lain terdapat dua orang gadis yang dianggapnya paling pandai dan pantas menjadi ketua Thian-li-pang. Ia menjadi ragu dan bimbang siapa diantara kedua murid ini yang akan diberi warisan kedudukan ketua.
Dalam peraturan Thian-li-pang, seorang ketua tidak boleh menikah selama ia menjadi ketua. Akan tetapi seorang murid boleh saja menikah karena murid ini masih wanita biasa, belum menjadi to-kouw. Murid pertama yang dianggapnya cocok menjadi ketua Thian Li Pang bernama Yap Ci Hwa, berusia dua puluh tujuh tahun dan murid kedua bernama Ciang Hwi, berusia dua puluh dua tahun.
Kalau di nilai dari ilmu kepandaian silat, murid kedua itu lebih pandai dan berbakat. Akan tetapi ia tahu bahwa Ciang Hwi seorang gadis cantik yang mempunyai hubungan akrab dengan seorang pemuda murid Kun Lun Pai bernama Ang Cun Sek. Murid pertama itu, Yap Ci Hwa, memiliki wajah yang tak dapat disebut cantik. Melihat kenyataan ini, agaknya Ci Hwa yang dapat menjadi ketua Thian li pang dan tidak menikah selamanya. Pada suatu pagi, Im-yang Tokouw memanggil kedua orang muridnya ini ke dalam ruangan tertutup dan mengajak mereka berdua untuk bercakap-cakap.
“Aku memanggil kalian berdua untuk memberi tahu bahwa aku sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri sebagai ketua. Dan sebagai penggantinya, kupandang hanya kalian berdua yang pantas menjadi ketua baru. Kalau diukur dari ilmu kepandaian, Ciang Hwi memang lebih unggul dan lebih pantas menjadi ketua...“
“Subo, kalau begitu berikan saja kedudukan ketua kepada Ciang-sumoi...“ Kata Ci Hwa dengan suara rela.
Sikapnya ini saja sudah mendatangkan rasa suka di hati Im-yang Tokouw. Im-yang To-kouw mengangguk-angguk dan melambaikan sebuah kebutan putih di depannya. “Akan tetapi ada pantangan yang amat keras untuk menjadi ketua, yaitu seorang ketua tidak diperbolehkan menikah selama hidupnya. Aku ragu apakah Ciang hwi dapat mempertahankan pantangan ini...“
Ciang Hw i mengerutkan alisnya. Ia adalah seorang gadis yang berwatak jujur dan keras hati. “Subo, maafkan pertanyaan teecu, akan tetapi, semua murid Thian-li-pang diperbolehkan menikah, mengapa ketuanya tidak? Bukankah itu tidak adil namanya?”
Im-yang To-kouw tersenyum. “ini sudah menjadi peraturan Thian-li-pang yang digariskan oleh pendirinya dan kita harus menaatinya. Menurut pendapatku, pantangan ini diadakan agar para ketua Thian-li-pang tidak terikat oleh keluarga dan dapat mencurahkan perhatian, khusus untuk kepentingan Thian-li-pang dan perkembangan agama To...“
“Akan tetapi, peraturan itu diadakan oleh seorang ketua, apakah tidak dapat peraturan itu diubah oleh ketua yang lain? Jaman telah berubah, subo seorang wanita tidak akan menjadi seorang manusia yang lengkap dan sempurna hidupnya kalau ia tidak diperbolehkan menikah dan mempunyai keluarga...“
“Ciang Hwi! Tidak boleh kau mengucapkan kata-kata seperti itu. Peraturan adalah untuk ditaati, bukan untuk diperbantahkan. Karena itulah, biar kepandaianmu lebih tinggi daripada Yap Ci Hwa, akan tetapi terpaksa aku tidak dapat memilihmu menjadi ketua baru menggantikan aku. Aku akan mengangkat Ci Hwa untuk menjadi ketua baru!“ ucapan Im-yang To-kouw ini bernada marah.
“Subo, harap subo memaafkan sumoi yang masih muda. Teecu rela mengalah kalau subo memberikan kedudukan ketua kepada Ciang-sumoi...“ kata pula Ci Hwa dengan suara merendah.
“Hemmm, keputusanku tidak dapat di ubah lagi, Ciang Hwi, engkau sepatutnya mencontoh sucimu ini yang pandai membawa diri dan taat kepada peraturan...!“
Ciang Hwi yang di tegur gurunya hanya menundukkan kepalanya, akan tetapi didalam hatinya ia membantah. Pandai membawa diri? Ia mengenal benar siapa sucinya itu. Seorang yang keras hati dan licik. Pernah dulu sucinya ini berkata kepadanya bahwa kalau sucinya menjadi ketua, sucinya akan mengharuskan agar semua murid tidak menikah. Hal ini dikatakannya sucinya karena iri hati kepadanya yang menjalin hubungan akrab dengan Gan Seng, murid Kun-lun-pai itu.
Pada keesokan harinya, Im-yang To-kouw mengumpulkan semua muridnya dan memngumumkan pengangkatan Yap Ci Hwa sebagai ketua baru. Upacara sembahyang untuk mengesahkan pengangkatan ketua itu diadakan dan setelah itu, Im-yang To-Kouw yang sudah tua lalu mengundurkan diri ke dalam sebuah guha di puncak gunung untuk bertapa, tidak lagi berurusan dengan dunia luar.
Selama Im-yang To-kouw masih hidup, Yap Ci Hwa bersikap biasa dan melanjutkan yang telah diambil oleh subonya. Akan tetapi, setahun kemudian Im-yang To-Kouw meninggal dunia karena usia tua. Setelah penguburan jenazah To-Kouw itu selesai, Yap Ci Hwa segera mengumumkan perintahnya yang pertama yaitu ia mengubah peraturan Thain-li-pang dan semua murid Thian-li-pang tidak diperbolehkan menikah. Siapa yang tidak mau menaati peraturan ini dikeluarkan dari perkumpulan!
Ciang Hwi mendahului murid-murid lain, dan ia menyatakan keluar dari Thian-li-pang. Tindakannya ini mendorong keberanian para murid lain yang segera mengikuti langkahnya, ramai-ramai keluar dari Thian-li-pang. Tidak kurang dari tiga puluh orang murid menyatakan keluar sehingga yang tinggal hanya kurang lebih tujuh puluh orang murid lagi. Yap Ci Hwa marah sekali akan tetapi ia tidak melarang mereka pergi. Ia lalu mengumumkan nama julukannya sebagai nama yang baru, yaitu Kang Sim To-Kouw (Pendeta Wanita Berhati baja).
Sementara itu, Ciang Hwi yang sudah keluar dari Thian-li-pang, segera melangsungkan pernikahannya dengan Ang Cun Sek, pemuda murid Kun-lun-pai yang tinggal di dusun tidak jauh dari Thian-li-pang dan dengan siapa sudah lama ia menjalin hubungan. Dalam pesta pernikahan ini ia mengundang semua saudara seperguruan yang telah keluar dari Thian-li-pang sehingga pesta pernikahan itu merupakan pertemuan yang menggembirakan. Dan dalam pertemuan itu, disepakati oleh semua murid yang keluar dari Thian-li-pang agar Ciang Hwi suka memimpin mereka dalam sebuah wadah baru, yaitu perkumpulan baru.
Ciang Hwi yang masih merasa penasaran kepada gurunya dan sucinya, menyetujui dan demikianlah, mereka mendirikan Hwa-li-pang yang berpusat di pegunungan Hwa-san, dengan Ciang-hwi menjadi ketuanya. Setahun setelah para murid Thian-li-pang itu keluar dari perkumpulan itu, mereka kini mendirikan Hwa-li-pang. Baru setelah empat tahun menikah, Ciang Hwi mengandung. Berbeda dengan keadaan Thian-li-pang, ketua yang mengandung itu menerima ucapan selamat dari para murid dan pembantunya yang merasa gembira sekali.
Ang Cun Sek, suami Ciang Hwi, tidak mau menganggur saja. Dia pun enggan membantu istrinya memimpin kurang lebih lima puluh orang anggota Hwa-li-pang karena semua anggota Hwa-li-pang adalah wanita. Ang Cun Sek bekerja sebagai seorang piauw-su (pengawal barang kiriman) dan karena kegagahannya, dia memperoleh banyak langganan yang mempercayakan barang mereka dikawal oleh Ang Cun Sek. Untuk perusahaan pengawalan barang ini, Ang Cun Sek mempunyai sepuluh orang pembantu.
Pada suatu hari, ketika Ciang Hwi yang hamil tua itu sedang duduk bercakap-cakap dengan para pembantunya tentang pekerjaan mereka, yaitu menjual sayur, buah dan rempah-rempah hasil ladang mereka, datanglah dua orang pembantu Ang Cun Sek berlari-lari dalam keadaan luka-luka. Ciang Hwi bangkit dari duduknya, memandang kepada mereka dengan khawatir dan bertanya. “Apa yang terjadi?”
“Celaka, pangcu, celaka besar...!”
“Ada apakah? Hayo lapor yang baik...!“ Bentak Ciang Hwi.
“Barang kiriman yang kami kawal diserbu gerombolan perampok bertopeng yang lihai sekali. Delapan orang rekan kami tewas semua dan kami beruntung dapat meloloskan diri dengan pura-pura mati...”
“Dan pimpinanmu? Bagaimana dengan Ang-piau-su?”
“Ang-piauw-su... dia... dia... juga menjadi korban, roboh dan tewas...“
Dengan muka pucat Ciang Hwi melompat bangkit dari kursinya, matanya terbelalak, wajahnya pucat dan bibirnya gemetar, tubuhnya menjadi lemas dan iapun terjatuh kembali diatas kursinya. Para pembantunya segera menghampirinya.
“Pangcu, kita harus cepat pergi ke sana, mencari dan membasmi gerombolan perampok itu untuk membalaskan kematian suami pang-cu!”
Ucapan ini seperti membakar semangat Ciang Hwi. Ia bangkit lagi mengepal kedua tangannya dan berkata, "Benar, mari bersiap-siap mengikuti aku membalas dendam. Hei, kalian berdua, cepat obati luka-lukamu dan tunjukkan kepada kami dimana tempat terjadinya perampokan itu...“
Tak lama kemudian Ciang Hwi sudah berlari turun dari bukit Hwa-san, bersama dua orang piauw-su yang menjadi penunjuk jalan dan diikuti oleh lima puluh orang anak buahnya. Ketika mereka tiba di tengah hutan, mereka mendapatkan para korban masih malang melintang disitu. Termasuk jenazah suami Ciang-hwi. Yang aneh lagi, kereta berisi barang kiriman masih ada disitu, tidak diganggu perampok, tidak ada yang hilang!
Ciang Hwi berlutut memeriksa suaminya, akan tetapi Ang Cun Sek sudah tewas dan ada luka tusukan pedang yang menembus dadanya. Ciang Hwi menangis tanpa suara. Dengan kedua mata basah mengeluarkan air mata yang menetes-netes turun keatas pipinya. Ia bangkit lagi dan memimpin anak buahnya untuk mencari para perampok itu. Akan tetapi para penyerbu itu sudah tidak nampak bayangannya dan tidak meninggalkan jejak.
Setelah mengejar ke sana ke sini tanpa hasil dan tidak menemukan jejak gerombolan itu, dengan penuh duka dan penasaran mereka kembali ke tempat tadi dan kini Ciang Hwi tidak dapat lagi menahan tangisnya. Ditangisinya jenazah suaminya itu, penuh penyesalan karena ia tidak mampu menemukan gerombolan yang telah membunuh suaminya.
Akhirnya setelah di bujuk-bujuk oleh para pembantunya, Ciang Hwi berhenti menangis dan mengatur pengangkutan para jenazah itu ke Hwa-san. Dua orang piau-su dibantu belasan orang murid Hwa-li-pang melanjutkan pengiriman barang itu.
Demikianlah, dalam usia dua puluh enam tahun, dalam keaadan mengandung, Ciang Hwi telah menjadi janda. Yang membuat ia penasaran adalah karena ia tidak tahu siapa yang telah membunuh suaminya...
Begitu jarum di tusukkan, Han Sin merasa sesuatu yang amat dingin memasuki tubuhnya melalui pangkal lengan itu. Dia menggigil dan rasa dingin itu menyusup tulang. Kui Ji masih terus membelainya. Jarum di cabut kembali dan wanita itu terkekeh.
“Hik-hik-hik-hik, ia akan kehilangan tenaganya dan ia akan menjadi penurut, tidak akan dapat memberontak lagi...“
“Engkau sudah yakin benar, Liu Si?” suaminya bertanya.
Wanita itu tiba-tiba melotot. “Kau tidak percaya akan kemampuan racunku?“ apakah engkau ingin merasakannya sendiri?“ Ia mengancam dengan jarumnya.
“Ah, tidak, jangan... Aku hanya khawatir pemuda ini memberontak dan sukar bagi kita untuk menundukkannya kembali!“
“Hemmm, sekarang juga dapat dibuktikan!“ Liu Si menepuk punggung Han Sin dua kali.
Dan pemuda ini merasa betapa darahnya mengalir normal dan dia dapat bergerak kembali. Akan tetapi ketika dia hendak mengerahkan tenaganya, dia terkejut. Otot-otot ditubuhnya tidak dapat terisi tenaga sin-kang dan dia hanya dapat bergerak dengan tenaga biasa saja! Otot-otot itu seperti dalam keadaan lesu dan tidak dapat menerima hawa sin-kang yang disalurkannya.
“Hik-h ik-h ik, percuma saja. Engkau mencoba untuk menyalurkan sin-kangmu, Han Sin...“
“Ha-ha-ha-ha, engkau sudah berjodoh dengan puteri kami orang muda...”
“Ayah, namanya Cian Han Sin, kelak anak kami akan bermarga Cian,“ kata Kui Ji tanpa malu-malu lagi.
“Ha-ha-ha-ha, tentu saja! Sudah menjadi peraturan nenek moyang kita yang tidak boleh di langgar bahwa seseorang anak menggunakan marga ayahnya. Han Sin, Karena engkau sudah menjadi mantu ku, maka menurut peraturan sejak jaman dahulu, engkau harus memberi hormat kepada aku dan istriku dengan berlutut. Hayo lakukan, engkau tidak akan menyesal menjadi mantu Kui Mo, ha-ha-ha-ha...!“
Han Sin merasa tertarik sekali. Dua kali sudah orang gila ini menekankan soal peraturan nenek moyang yang harus ditaati! Agaknya ini merupakan titik kelemahannya, pikirnya maka hal itu akan di cobanya. “Benar sekali ,paman akan tetapi menurut peraturan nenek moyang kita sejak jaman dahulu yang tidak boleh dilanggar, pemberian hormat itu hanya dilakukan di waktu sepasang pengantin dipertemukan, jadi bukan sekarang. Kalau sekarang dilakukan, ini berarti melanggar peraturan nenek moyang...“
Kui Mo tertegun, melongo, lalu tertawa. “Ha-ha-ha-ha, engkau benar! Aku sampai lupa, ha-ha-ha! Baik, dilakukan nanti setelah kedua pengantin dipertemukan...”
Han Sin merasa girang, ternyata akalnya berhasil baik, maka dia lalu berkata lagi. “Menurut adat istiadat, sungguh tidak pantas kalau seorang mantu dibiarkan setengah telanjang seperti ini. Hal itu akan mencemarkan nama baik mertuanya. Maka saya harap agar buntalan pakaianku yang disimpan calon istriku diberikan kepadaku agar saya dapat memakai pakaian yang pantas...“
Kui Mo memandang kepada puterinya. “Kui Ji, apakah pakaian suami mu kau simpan?”
“Buntalan itu adalah emas kawinnya, ayah...“
“Emas kawinku hanya sekantung emas itu, dan pakaian itu adalah pakaian untukku sendiri, adik Kui Ji yang baik!“ Kata Han Sin dengan suara merayu.
Senang hati Kui Ji di sebut adik yang baik, maka ia lalu tertawa dan berloncatan pergi. Tak lama kemudian ia sudah kembali membawa buntalan itu dan membukanya didepan semua orang. Ketika mengambil kantung emas, Kui Ji bersorak. "Horeeee... ini emas kawinku. Banyak yach, ibu?”
"Hemmmm, dahulu emas kawin yang diberikan ayahmu kepadaku tidak sebanyak itu...“
Sementara itu Han Sin mengambil pakaiannya dan mengenakan pakaiannya sendiri. Agar tidak bertelanjang lagi, dia memakai pakaiannya di luar celana berkembang itu.
“Bagus, kau gagah memakai pakaian itu. Pantas menjadi mantuku!“ Kata Kui Mo. “Dan sekarang, mari kita semua pulang. Pesta pernikahan harus dirayakan dengan meriah...“
Biarpun hatinya mendongkol dan juga khawatir, Han Sin terpaksa ikut rombongan keluarga gila itu mendaki sebuah bukit yang penuh hutan. Melihat keadaan dirinya, untuk sementara ini terpaksa dia harus menurut segala kemauan mereka, akan tetapi dia masih memiliki 'senjat' yang ampuh, yaitu kepatuhan Kui Mo akan adat istiadat nenek moyang. Dan senjata itu akan dapat dipakainya untuk mengendalikan mereka, setidaknya untuk sementara waktu. Dia tidak tahu berapa lamanya racun dingin itu akan mempengaruhi tubuhnya.
********************
Rumah itu besar akan tet api sederhana sekali, Terbuat daripada bambu dan kayu. Ketika Han Sin diajak oleh keluarga gila itu memasuki rumah, dia sudah menyusun rencana siasatnya. Didalam rumah terdapat pula meja kursi yang kasar, agaknya buat an mereka sendiri. Akan tetapi pada dinding bambu itu tergantung lukisan-lukisan indah dan sajak-sajak pasangan yang di tulis oleh penyair-penyair terkenal.
Han Sin merasa heran sekali. Dilihat dari sajak dan lukisan itu, pantasnya keluarga itu adalah keluarga bangsawan yang berdiam disebuah gedung. Sajak dan lukisan seperti itu memang sepatutnya tergantung di dinding rumah gedung.
“Nah, Inilah rumah kami, juga kini menjadi rumahmu, mantuku!“ kata Kui Mo sambil tertawa-tawa senang. “Kita akan segera melangsungkan pernikahanmu dengan Kui Ji...“
Han Sin bangkit berdiri dari duduknya dan memberi hormat, sikapnya seperti seorang sastrawan yang patuh terhadap adat istiadat. “Calon mertuaku, harap diketahui bahwa baru beberapa bulan saya ditinggal mati ayah kandung saya, menurut adat istiadat nenek moyang kita, seorang anak yang kematian ayahnya, tidak boleh melangsungkan pernikahan sebelem berkabung sedikitnya satu tahun. Apakah paman calon mertua berani melanggar pantangan adat istiadat itu?“
Mendengar ini, Kui Mo terbelalak. “Ah, tentu saja tidak boleh! Berapa lama lagi perkabungan selesai?” tanyanya sambil memandang pakaian Han Sin yang serba putih.
Han Sin memang sengaja memilih pakaian putih ketika berpakaian tadi, karena siasat ini sudah mulai disusunnya. “Kurang tiga bulan lagi. Dan pula menurut adat istiadat nenek moyang kita, sebuah pesta pernikahan merupakan ukuran dari derajat dan martabat orang tua pengantin. Kalau pernikahan di langsungkan ditempat sunyi ini, tanpa ada tamunya, tanpa ada keramaian yang mewah, apakah hal itu tidak akan merendahkan martabat paman calon mertua? Saya kira sambil menunggu tiga bulan lewat, paman dapat mencari tempat yang lebih sesuai untuk mengangkat derajat paman calon mertua...“
Kembali Kui Mo terbelalak dan bengong. Akhirnya dia mengangguk-angguk bodoh. “Kita akan cari tempat itu, kita akan cari...“ katanya, agak bingung.
“Kenapa bingung, suamiku? Tak jauh dari sini, lereng hwa-san, bukankah terdapat tempat yang indah dan cukup mewah? Partai Bunga Hwa-ki-san memiliki gedung yang besar dan megah. Kita datangi Hwa-li-san, kita duduki gedungnya untuk perayaan pernikahan dan kita suruh mereka mengundang tokoh-tokoh dunia persilatan untuk hadir merayakan pesta pernikahan. Tentu akan meriah dan mengangkat martabat kita...!”
“Bagus, bagus, ha-ha-ha-ha!“ Kui Mo melompat, merangkul istrinya dan menciuminya. “Mantuku, bukankah ibu mertuamu ini pintar sekali?” katanya.
Han Sin tersenyum melihat prilaku yang tidak mengenal rasa malu itu “Memang pendapat yang baik sekali,..“ katanya.
“Kalau begitu, kita bersiap-siap, besok kita pergi ke Hwa-san dan menguasai Hwa-li-san,ha-ha-ha!“ Kui Mo tertawa-tawa seperti anak kecil yang merasa gembira sekali.
Malam itu, Kui Ji hendak menggandeng Han Sin kekamarnya, akan tetapi pemuda itu berkata. “Calon isteriku yang baik, jangan kita melanggar pantangan nenek moyang kita...“
“Suamiku, kita akan menjadi suami istri, apa salahnya kalau engkau tidur di kamarku bersamaku?”
“Aihhh, adik Kui Ji yang baik, apakah engkau tidak tahu? Tanyakan saja pada ayahmu ini. Nenek moyang kita mengatakan bahwa sebelum dipertemukan sebagai pengantin, calon pengantin tidak boleh saling berdekatan, apalagi tidur sekamar. Aku tidak berani melanggar pantangan itu, takut kalau kena kutuk...!“
Mendengar ucapan itu, Kui Mo mengangguk-angguk. “Dia benar, Kui Ji. Biar dia tidur sekamar denganku dan engkau tidur sekamar dengan ibumu!“
“Akan tetapi, ayah...“
“Tidak ada tapi! Kita adalah orang-orang terpelajar dan mantuku adalah orang yang mengenal adat, kita harus menaati adat istiadat kalau tidak mau terkutuk...“
“Aku takut kalau-kalau dia melarikan diri, ayah...“ kata Kui Ji.
“Ha-ha-ha, dia tidur bersamaku sekamar, bagaimana dia bisa melarikan diri?“ Kui Mo tertawa bergelak.
“Hik-hik-hik, dia sudah terkena racunku, mana mungkin dapat meloloskan diri?” kata pula Liu Si, ibu Kui Ji.
Demikianlah, malam itu Han Sin tidak tidur sedipan dengan Kui Mo, setelah mereka makan malam. Dan ternyata biarpun gila, Kui Ji dan ibunya pandai memasak. Makanan yang dihidangkan cukup lezat sehingga Han Sin merasa heran sendiri. Dalam banyak hal keluarga ini seperti bukan orang-orang gila, bahkan ada kalanya mereka bersikap wajar dan waras. Akan tetapi segera sikap itu tertutup oleh kelakuan yang gila-gilaan.
Begitu tubuhnya menyentuh tempat tidur, Kui Mo segera mendengkur. Han Sin sebaliknya tidak dapat tidur. Bukan hanya karena disebelahnya ada orang mendengkur, melainkan karena dia memang sedang berusaha untuk melarikan diri. Sebetulnya kalau saja tenaga sin-kangnya dapat disalurkan, mudah saja baginya untuk menotok Kui Mo yang rebah miring membelakanginya itu. Akan tetapi tenaga sin-kangnya dari tan-tian (bawah pusar) itu tidak dapat menggerakkan otot-ototnya. Menotok dengan tenaga biasa saja amat berbahaya. Kui Mo biarpun gila memilik iilmu kepandaian tinggi, mana bisa dilumpuhkan dengan totokan tenaga biasa.
Dengan hati-hati dia bangkit duduk. Untung dia tidur di tepi dipan sehingga dia dapat turun dari dipan tanpa melangkahi tubuh Kui Mo. Dia bergerak perlahan sekali sambil memperhatikan dengkur orang gila yang lihai itu. Dengkurnya masih tetap, bahkan terdengar semakin keras. Kini dia berindap-indap ke pintu dan keluar dari pintu. Agar tidak melewati kamar kedua orang wanita yang berada di bagian depan, dia pergi ke belakang, membuka pintu belakang yang menembus ke kebun. Jantungnya berdebar tegang dan juga girang. Tidak ada perubahan dalam kamar itu dan dengkur Kui Mo itu bahkan terdengar dari belakang rumah. Juga t idak ada suara keluar dari kamar Kui Ji yang tidur bersama ibunya. Dia dapat bebas!
Malam itu terang bulan, menguntungkan bagi Han Sin. Dia dapat melarikan diri dibawah sinar bulan. Akan tetapi baru belasan langkah dia memasuki kebun, tiba-tiba nampak tiga bayangan berkelebat dan keluarga itu, lengkap ayah isteri dan anak, telah berada disitu mengepungnya! Mereka tertawa-tawa dan Kui Mo menegur.
“Ha-ha-ha, mantuku, engkau hendak pergi kemana?”
Han Sin merasa hatinya mendongkol bukan main, namun diam-diam dia juga kaget. Keluarga gila ini memang benar-benar lihai sekali. Dia bersungut-sungut. “Kalian ini sungguh merupakan orang-orang yang tidak tahu aturan dan kepantasan. Orang ingin kencing, kenapa diikuti?” berkata demikian, dia lalu menghampiri sebatang pohon, membuka celananya dan kencing di situ!
“Ha-ha-ha, kami memang salah! Aku juga ingin kencing!“ kata Kui Mo dan diapun kencing di bawah pohon yang sama.
Ibu dan anak itu terkekeh-kekeh dan pergi dari situ, kembali kedalam rumah. Terpaksa Han Sin juga kembali kedalam rumah bersama Kui Mo dan karena dia maklum bahwa melarikan diri tidak mungkin sama sekali, diapun dapat menerima keadaan dan tidur pulas. Besok pagi kalau mereka menyerang Hwa-li-pang seperti yang mereka rencanakan, dia dapat mencari kesempatan untuk melarikan diri.
********************
Hwa-li-pang adalah sebuah perkumpulan persilatan yang dipimpin oleh seorang pendeta To wanita. Murid-muridnya atau para anggota Hwa-li-pang semua wanita. Jumlah para murid Hwa-li-pang ada kurang lebih lima puluh orang, dari gadis-gadis berusia delapan belas sampai dua puluh lima tahun. Hwa-li-pang baru berdiri dua puluh tiga tahun yang lalu, yaitu sejak Kerajaan Sui berdiri. Perkumpulan ini merupakan pecahan dari perkumpulan Thian-li-pang yang terkenal didunia persilatan. Pada dua puluh tiga tahun yang lalu, ketua Thian li pang yang bernama Im-Yang To-Kouw sudah berusia lanjut, sudah kurang lebih sembilan puluh tahun.
Karena merasa sudah terlalu tua untuk memimpin Thian-li-pang, merasa tubuhnya sudah lemah dan ia ingin tekun bersemedhi, menjauhi urusan duniawi, ia lalu mengambil keputusan untuk menyerahkan pimpinan Thian-li-pang kepada muridnya. Akan tetapi ternyata ia mengalami kesulitan dalam menentukkan siapa yang akan dipilihnya menjadi ketua baru menggantikannya.
Murid utama yang paling di sayangnya adalah Kwee Sun Nio akan tetapi murid ini telah meninggal dunia lima belas tahun yang lalu. Dan diantara murid-muridnya yang lain terdapat dua orang gadis yang dianggapnya paling pandai dan pantas menjadi ketua Thian-li-pang. Ia menjadi ragu dan bimbang siapa diantara kedua murid ini yang akan diberi warisan kedudukan ketua.
Dalam peraturan Thian-li-pang, seorang ketua tidak boleh menikah selama ia menjadi ketua. Akan tetapi seorang murid boleh saja menikah karena murid ini masih wanita biasa, belum menjadi to-kouw. Murid pertama yang dianggapnya cocok menjadi ketua Thian Li Pang bernama Yap Ci Hwa, berusia dua puluh tujuh tahun dan murid kedua bernama Ciang Hwi, berusia dua puluh dua tahun.
Kalau di nilai dari ilmu kepandaian silat, murid kedua itu lebih pandai dan berbakat. Akan tetapi ia tahu bahwa Ciang Hwi seorang gadis cantik yang mempunyai hubungan akrab dengan seorang pemuda murid Kun Lun Pai bernama Ang Cun Sek. Murid pertama itu, Yap Ci Hwa, memiliki wajah yang tak dapat disebut cantik. Melihat kenyataan ini, agaknya Ci Hwa yang dapat menjadi ketua Thian li pang dan tidak menikah selamanya. Pada suatu pagi, Im-yang Tokouw memanggil kedua orang muridnya ini ke dalam ruangan tertutup dan mengajak mereka berdua untuk bercakap-cakap.
“Aku memanggil kalian berdua untuk memberi tahu bahwa aku sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri sebagai ketua. Dan sebagai penggantinya, kupandang hanya kalian berdua yang pantas menjadi ketua baru. Kalau diukur dari ilmu kepandaian, Ciang Hwi memang lebih unggul dan lebih pantas menjadi ketua...“
“Subo, kalau begitu berikan saja kedudukan ketua kepada Ciang-sumoi...“ Kata Ci Hwa dengan suara rela.
Sikapnya ini saja sudah mendatangkan rasa suka di hati Im-yang Tokouw. Im-yang To-kouw mengangguk-angguk dan melambaikan sebuah kebutan putih di depannya. “Akan tetapi ada pantangan yang amat keras untuk menjadi ketua, yaitu seorang ketua tidak diperbolehkan menikah selama hidupnya. Aku ragu apakah Ciang hwi dapat mempertahankan pantangan ini...“
Ciang Hw i mengerutkan alisnya. Ia adalah seorang gadis yang berwatak jujur dan keras hati. “Subo, maafkan pertanyaan teecu, akan tetapi, semua murid Thian-li-pang diperbolehkan menikah, mengapa ketuanya tidak? Bukankah itu tidak adil namanya?”
Im-yang To-kouw tersenyum. “ini sudah menjadi peraturan Thian-li-pang yang digariskan oleh pendirinya dan kita harus menaatinya. Menurut pendapatku, pantangan ini diadakan agar para ketua Thian-li-pang tidak terikat oleh keluarga dan dapat mencurahkan perhatian, khusus untuk kepentingan Thian-li-pang dan perkembangan agama To...“
“Akan tetapi, peraturan itu diadakan oleh seorang ketua, apakah tidak dapat peraturan itu diubah oleh ketua yang lain? Jaman telah berubah, subo seorang wanita tidak akan menjadi seorang manusia yang lengkap dan sempurna hidupnya kalau ia tidak diperbolehkan menikah dan mempunyai keluarga...“
“Ciang Hwi! Tidak boleh kau mengucapkan kata-kata seperti itu. Peraturan adalah untuk ditaati, bukan untuk diperbantahkan. Karena itulah, biar kepandaianmu lebih tinggi daripada Yap Ci Hwa, akan tetapi terpaksa aku tidak dapat memilihmu menjadi ketua baru menggantikan aku. Aku akan mengangkat Ci Hwa untuk menjadi ketua baru!“ ucapan Im-yang To-kouw ini bernada marah.
“Subo, harap subo memaafkan sumoi yang masih muda. Teecu rela mengalah kalau subo memberikan kedudukan ketua kepada Ciang-sumoi...“ kata pula Ci Hwa dengan suara merendah.
“Hemmm, keputusanku tidak dapat di ubah lagi, Ciang Hwi, engkau sepatutnya mencontoh sucimu ini yang pandai membawa diri dan taat kepada peraturan...!“
Ciang Hwi yang di tegur gurunya hanya menundukkan kepalanya, akan tetapi didalam hatinya ia membantah. Pandai membawa diri? Ia mengenal benar siapa sucinya itu. Seorang yang keras hati dan licik. Pernah dulu sucinya ini berkata kepadanya bahwa kalau sucinya menjadi ketua, sucinya akan mengharuskan agar semua murid tidak menikah. Hal ini dikatakannya sucinya karena iri hati kepadanya yang menjalin hubungan akrab dengan Gan Seng, murid Kun-lun-pai itu.
Pada keesokan harinya, Im-yang To-kouw mengumpulkan semua muridnya dan memngumumkan pengangkatan Yap Ci Hwa sebagai ketua baru. Upacara sembahyang untuk mengesahkan pengangkatan ketua itu diadakan dan setelah itu, Im-yang To-Kouw yang sudah tua lalu mengundurkan diri ke dalam sebuah guha di puncak gunung untuk bertapa, tidak lagi berurusan dengan dunia luar.
Selama Im-yang To-kouw masih hidup, Yap Ci Hwa bersikap biasa dan melanjutkan yang telah diambil oleh subonya. Akan tetapi, setahun kemudian Im-yang To-Kouw meninggal dunia karena usia tua. Setelah penguburan jenazah To-Kouw itu selesai, Yap Ci Hwa segera mengumumkan perintahnya yang pertama yaitu ia mengubah peraturan Thain-li-pang dan semua murid Thian-li-pang tidak diperbolehkan menikah. Siapa yang tidak mau menaati peraturan ini dikeluarkan dari perkumpulan!
Ciang Hwi mendahului murid-murid lain, dan ia menyatakan keluar dari Thian-li-pang. Tindakannya ini mendorong keberanian para murid lain yang segera mengikuti langkahnya, ramai-ramai keluar dari Thian-li-pang. Tidak kurang dari tiga puluh orang murid menyatakan keluar sehingga yang tinggal hanya kurang lebih tujuh puluh orang murid lagi. Yap Ci Hwa marah sekali akan tetapi ia tidak melarang mereka pergi. Ia lalu mengumumkan nama julukannya sebagai nama yang baru, yaitu Kang Sim To-Kouw (Pendeta Wanita Berhati baja).
Sementara itu, Ciang Hwi yang sudah keluar dari Thian-li-pang, segera melangsungkan pernikahannya dengan Ang Cun Sek, pemuda murid Kun-lun-pai yang tinggal di dusun tidak jauh dari Thian-li-pang dan dengan siapa sudah lama ia menjalin hubungan. Dalam pesta pernikahan ini ia mengundang semua saudara seperguruan yang telah keluar dari Thian-li-pang sehingga pesta pernikahan itu merupakan pertemuan yang menggembirakan. Dan dalam pertemuan itu, disepakati oleh semua murid yang keluar dari Thian-li-pang agar Ciang Hwi suka memimpin mereka dalam sebuah wadah baru, yaitu perkumpulan baru.
Ciang Hwi yang masih merasa penasaran kepada gurunya dan sucinya, menyetujui dan demikianlah, mereka mendirikan Hwa-li-pang yang berpusat di pegunungan Hwa-san, dengan Ciang-hwi menjadi ketuanya. Setahun setelah para murid Thian-li-pang itu keluar dari perkumpulan itu, mereka kini mendirikan Hwa-li-pang. Baru setelah empat tahun menikah, Ciang Hwi mengandung. Berbeda dengan keadaan Thian-li-pang, ketua yang mengandung itu menerima ucapan selamat dari para murid dan pembantunya yang merasa gembira sekali.
Ang Cun Sek, suami Ciang Hwi, tidak mau menganggur saja. Dia pun enggan membantu istrinya memimpin kurang lebih lima puluh orang anggota Hwa-li-pang karena semua anggota Hwa-li-pang adalah wanita. Ang Cun Sek bekerja sebagai seorang piauw-su (pengawal barang kiriman) dan karena kegagahannya, dia memperoleh banyak langganan yang mempercayakan barang mereka dikawal oleh Ang Cun Sek. Untuk perusahaan pengawalan barang ini, Ang Cun Sek mempunyai sepuluh orang pembantu.
Pada suatu hari, ketika Ciang Hwi yang hamil tua itu sedang duduk bercakap-cakap dengan para pembantunya tentang pekerjaan mereka, yaitu menjual sayur, buah dan rempah-rempah hasil ladang mereka, datanglah dua orang pembantu Ang Cun Sek berlari-lari dalam keadaan luka-luka. Ciang Hwi bangkit dari duduknya, memandang kepada mereka dengan khawatir dan bertanya. “Apa yang terjadi?”
“Celaka, pangcu, celaka besar...!”
“Ada apakah? Hayo lapor yang baik...!“ Bentak Ciang Hwi.
“Barang kiriman yang kami kawal diserbu gerombolan perampok bertopeng yang lihai sekali. Delapan orang rekan kami tewas semua dan kami beruntung dapat meloloskan diri dengan pura-pura mati...”
“Dan pimpinanmu? Bagaimana dengan Ang-piau-su?”
“Ang-piauw-su... dia... dia... juga menjadi korban, roboh dan tewas...“
Dengan muka pucat Ciang Hwi melompat bangkit dari kursinya, matanya terbelalak, wajahnya pucat dan bibirnya gemetar, tubuhnya menjadi lemas dan iapun terjatuh kembali diatas kursinya. Para pembantunya segera menghampirinya.
“Pangcu, kita harus cepat pergi ke sana, mencari dan membasmi gerombolan perampok itu untuk membalaskan kematian suami pang-cu!”
Ucapan ini seperti membakar semangat Ciang Hwi. Ia bangkit lagi mengepal kedua tangannya dan berkata, "Benar, mari bersiap-siap mengikuti aku membalas dendam. Hei, kalian berdua, cepat obati luka-lukamu dan tunjukkan kepada kami dimana tempat terjadinya perampokan itu...“
Tak lama kemudian Ciang Hwi sudah berlari turun dari bukit Hwa-san, bersama dua orang piauw-su yang menjadi penunjuk jalan dan diikuti oleh lima puluh orang anak buahnya. Ketika mereka tiba di tengah hutan, mereka mendapatkan para korban masih malang melintang disitu. Termasuk jenazah suami Ciang-hwi. Yang aneh lagi, kereta berisi barang kiriman masih ada disitu, tidak diganggu perampok, tidak ada yang hilang!
Ciang Hwi berlutut memeriksa suaminya, akan tetapi Ang Cun Sek sudah tewas dan ada luka tusukan pedang yang menembus dadanya. Ciang Hwi menangis tanpa suara. Dengan kedua mata basah mengeluarkan air mata yang menetes-netes turun keatas pipinya. Ia bangkit lagi dan memimpin anak buahnya untuk mencari para perampok itu. Akan tetapi para penyerbu itu sudah tidak nampak bayangannya dan tidak meninggalkan jejak.
Setelah mengejar ke sana ke sini tanpa hasil dan tidak menemukan jejak gerombolan itu, dengan penuh duka dan penasaran mereka kembali ke tempat tadi dan kini Ciang Hwi tidak dapat lagi menahan tangisnya. Ditangisinya jenazah suaminya itu, penuh penyesalan karena ia tidak mampu menemukan gerombolan yang telah membunuh suaminya.
Akhirnya setelah di bujuk-bujuk oleh para pembantunya, Ciang Hwi berhenti menangis dan mengatur pengangkutan para jenazah itu ke Hwa-san. Dua orang piau-su dibantu belasan orang murid Hwa-li-pang melanjutkan pengiriman barang itu.
Demikianlah, dalam usia dua puluh enam tahun, dalam keaadan mengandung, Ciang Hwi telah menjadi janda. Yang membuat ia penasaran adalah karena ia tidak tahu siapa yang telah membunuh suaminya...