Liu Si yang menjawab, “Kalau kami ingat, tentu tidak akan bertanya kepada pang-cu. Kami tidak ingat apa-apa lagi, seolah baru sadar dari tidur...“
“Kalau begitu, saya hendak menceritakan apa yang telah terjadi di sini, akan tetapi saya harap sam-wi tidak akan menjadi tersinggung...“
Tiga orang itu memandang kepada Pak Mau To Kouw dengan mata bersinar penuh harapan. Justru mereka hendak mengetahui apa yang terjadi sewaktu mereka seperti orang-orang gila itu.
“Ceritakanlah, pang-cu. Kami berjanji tidak akan tersinggung, bahkan berterima kasih sekali...!“ kata Kui Mo.
Melihat sikap mereka, Pek Mau To Kouw tidak ragu-ragu lagi untuk bercerita. Beberapa hari yang lalu, sam-wi sudah datang ke tempat kami ini, akan tetapi keadaan sam-wi tidak seperti sekarang, Sam-wi mengenakan pakaian kembang-kembang, rambut sam-wi awut-awutan dan sikap sam-wi menakutkan...“ Pekl Mau To kouw berhenti dan mengamati wajah mereka bertiga.
“Penampilan kami menunjukkan bahwa kami bertiga berada dalam keadaan gila, bukan? Hal itu telah kami ketahui, pang-cu. Harap lanjutkan cerita pang-cu karena kami sama sekali tidak ingat lagi bahwa kami pernah datang ke tempat ini...“ kata Kui Mo.
Pek Mau To kouw mengangguk. “Sam-wi bertiga datang ke sini tidak hanya bertiga, akan tetapi bersama seorang pemuda yang menjadi tawanan sam-wi...“
“Eehhh...??? kami menawan seorang pemuda...?” seru Liu Si terheran-heran.
“Dan apa maksud kami datang ke sini?“ tanya Kui Mo.
“Sebelumnya harap sam-wi maafkan kalau saya berkata terus terang menceritakan keadaan yang sebenarnya terjadi. Sam-wi memaksa kami untuk meminjamkan tempat kami di sini untuk merayakan pernikahan dan mengundang orang-orang kang-ouw untuk menghadiri pesta pernikahan itu...“
“Pernikahan...? Pernikahan siapa, pang-cu...?" kini Kui Ji yang sejak tadi hanya mendengarkan, bertanya heran.
Pek Mau Tokouw tersenyum memandang gadis cantik itu. “Ayah ibumu akan menikahkan engkau dengan pemuda tawanan itu nona...“
“Ahhh...!“ Tiga orang itu berseru dan muka si gadis menjadi merah sekali.
“Lalu bagaimana, pang-cu, cepat ceritakan...!“ seru Liu Si tidak sabar.
“Permintaan yang aneh itu tentu saja kami tolak, akan tetapi sam-wi memaksa sehingga terjadi perkelahian dan kami tidak mampu menandingi kelihaian sam-wi. Terpaksa kami menyerah dan sam-wi lalu tinggal di sini, mengunakan tiga buah kamar. Satu untuk Kui-sicu dan isterinya, kedua untuk nona, dan ketiga, yang berada di tengah untuk pemuda tawanan itu. Kami terpaksa menuruti semua permintaan sam-wi..."
Ayah ibu dan anak itu saling pandang dengan terkejut dan heran. Mereka sama sekali tidak ingat lagi akan semua itu. “Tapi... apakah kami dalam keadaan gila itu melakukan pembunuhan atau lain kejahatan lagi, pang-cu...? Tanya Kui Mo dan suaranya mengandung kekhawatiran.
Pek Mau To Kouw menggeleng kepalanya. “Sama sekali tidak. Justeru karena sam-wi merobohkan kami tanpa melukai, kami yakin bahwa sam-wi bukan orang-orang jahat, hanya sedang terganggu pikirannya. Peristiwa perkelahian itu di saksikan oleh para tamu yang sedang berkunjung ke kuil kami dan di antara mereka terdapat seorang gadis berpakaian serba putih. Gadis inilah yang mengatur siasat untuk membebaskan pemuda itu dari tawanan sam-wi dan ketika melaksanakan usaha itu ia dibantu oleh seorang pengemis muda. Mereka berdua berhasil membebaskan pemuda itu dari pengawasan sam-wi dan agaknya karena melihat pemuda yang akan dinikahkan itu tidak ada lagi, sam-wi lalu pergi dari sini tanpa pamit lagi. Nah, demikianlah peristiwa itu dan sekarang, tiga hari kemudian, sam-wi muncul dalam keadaan yang berbeda sama sekali. Sungguh membuat kami merasa heran bukan main akan tetapi juga bersyukur bahwa sam-wi telah dapat sembuh dari penyakit itu...“
“Gadis baju putih...?” Tiga orang itu berseru dan kembali saling pandang.
“Tentu ia yang menulis surat itu...“ kata Kui Mo. “Pang-cu apakah gadis berpakaian putih itu seorang ahli pengobatan...?"
“Kami rasa begitu karena ia mengatakan bahwa pemuda tawanan itu keracunan dan ia hendak mengobatinya. Menurut nona itu, pemuda yang sam-wi tawan itu keracunan yang membuat pemuda itu menjadi lemah dan tidak dapat meloloskan diri...“
“Dan pengemis muda...?“ tanya Kui Ji. “Apakah yang dia lakukan untuk membantu pemuda itu lolos...?”
"Dia agaknya pandai ilmu silat. Dialah yang memancing agar sam-wi keluar menandinginya sehingga gadis baju putih itu mendapatkan kesempatan untuk membawa pemuda itu melarikan diri..."
Tiga orang itu saling pandang dan tentu saja merasa terpukul sekali. Sama sekali tidak mereka ingat lagi betapa dalam keadaan gila itu mereka hendak memaksa seorang pemuda untuk menjadi suami Kui Ji.
“Pang-cu, siapakah nama gadis berpakaian putih itu dan dimana tempat tinggalnya...? Kami harus bertemu dengannya dan menghaturkan terima kasih kami...“ kata Kui Mo.
“Ia hanya memberitahu bahwa namanya Kim Lan, akan tetapi kami tidak tahu dimana tempat tinggalnya. Ia bukan orang daerah sini, dan hanya kebetulan lewat. Setelah berhasil meloloskan pemuda itu diapun segera pergi dengan tiba-tiba sehingga saya sendiripun merasa menyesal tidak mengenalnya lebih baik.
“Dan pemuda yang menjadi... tawanan kami itu... siapa pula namanya dan dimana tinggalnya...?“ tanya Liu Si.
Pek Mau To Kouw menggeleng kepala. “Maaf, kami tidak tahu dan tidak sempat bicara dengan dia...“
“Siapa pula pengemis muda itu, pang-cu...? Siapa namanya dan dimana dia...?“ Kui Ji bertanya. “Kalau kami dapat menemukan dia, mungkin dia dapat menjelaskan dimana adanya gadis berpakaian putih itu...“
Pek Mau To-kouw juga menggeleng kepalanya. “Kami tidak pernah dapat berkenalan dengan dia. Tadinya kami juga mengira bahwa dia seorang pengemis biasa yang masih amat muda. Baru kami tahu bahwa dia lihai ketika dia membantu usaha membebaskan pemuda tawanan itu...“
Tentu saja tiga orang itu menjadi kecewa sekali. Mereka hanya dapat mengetahui bahwa nama penolong mereka adalah Kim Lan, akan tetapi kemana mereka harus mencarinya? Kui Mo menghela napas panjang. Ketua Hwa-li-pang itu telah memberikan keterangan yang sudah cukup jelas yang membuka tabir yang menyelimuti ingatan mereka. Dia merasa menyesal sekali bahwa dia sekeluarga telah melakukan hal-hal yang tidak pantas selama mereka keracunan jamur darah.
“Pang-cu, kami sekeluarga mohon maaf sebesarnya bahwa kami telah membikin kacau di Hwa-li-pang...“ katanya sambil bangkit berdiri dan memberi hormat, di ikuti isteri dan anaknya.
Ketua Hwa-li-pang itu cepat bangkit dan membalas penghormat an mereka. “Aih, sam-wi sama sekali tidak bersalah. Semua itu sam-wi lakukan di luar penghormatan mereka..."
Kui Mo bertiga lalu berpamit. Mereka di antar oleh Pek Mau To Kouw sendiri sampai diluar pagar daerah Hwa-li-pang. Setelah para tamu itu pergi, baru Pek Mau To Kouw memanggil para pembantunya dan menceritakan perihal keluarga Kui yang tadinya gila akan tetapi kini telah sehat kembali itu. Ia memberitahukan bahwa keluarga Kui adalah keluarga yang baik dan agar kalau para anak buahnya bertemu mereka, bersikap hormat. Kini Pek Mau To Kouw merasa lebih menyesal lagi mengapa ia tidak sempat berkenalan lebih lanjut dengan Kim Lan dan menanyakan tempat tinggalnya.
Han Sin melakukan perjalanan menuju ke utara. Setelah berpisah dari Kim Lan, entah mengapa dia merasa kehilangan semangat dan ketika melanjutkan perjalanan meninggalkan rumah keluarga gila itu dia melangkah perlahan. Tidak menggunakan ilmu berlari cepat. Dia merasa kehilangan dan merasa betapa sepinya hidup ini.
Merasa sebatang kara di dunia ini dan timbullah rasa rindu kepada ibunya. Akan tetapi dia menekan perasaan hatinya yang ingin pulang. Tidak, ia belum menunaikan tugasnya. Bagaimana dia dapat pulang tanpa membawa pedang pusaka milik ayahnya dan tanpa berhasil membalas kematian ayahnya...?
Akan tetapi, pemandangan indah yang nampak ketika dia menuruni pegunungan Hwa-san menghibur hatinya. Nampak pemandangan di bawah gunung amatlah indahnya. Sawah ladang terhampar luas di bawah dan genteng rumah-rumah dusun berkelompok di sana sini kelihatan kemerahan. Wataknya yang memang periang itu segera timbul kembali dan dia sudah melupakan kerisauan hatinya. Dunia terbentang luas di depan kakinya. Langkahnya masih akan melintasi perjalanan jauh, banyak pengalaman hidup yang akan dihadapinya, mengapa dia harus bermurung-murung...?
Ho Beng Hwesio seringkali memberi nasihat agar dia menghadapi kenyataan hidup ini dengan wajar dan bebas dari kekhawatiran.
“Manusia sejak dilahirkan sudah menghadapi berbagai tantangan. Kita tidak mungkin dapat melarikan diri dari tantangan-tantangan itu. Contohnya diriku ini, makin melarikan diri dari tantangan, semakin banyak rasa khawatir timbul. Tantangan tidak harus dihadapi dengan rasa khawatir, melainkan harus di hadapi dengan berani. Tantangan harus di anggap sebagai suatu kewajaran dalam hidup dan kita harus menghadapinya dengan gembira dan mengatasi setiap tantangan yang datang...“
Benar apa yang di ucapkan gurunya itu. Biarpun dia tidak mengerti mengapa Ho Beng Hwesio yang dahulunya berjuluk Hek Liong Ong itu menyembunyikan diri menjadi Hwesio, namun jelas bahwa gurunya itu tidak berani menghadapi kenyataan. Dia dapat membayangkan bet apa dalam persembunyiannya itu Hek Liong Ong tentu merasa menderita sekali hatinya selalu ketakut an dan akhirnya benar saja, seorang diant ara musuh-musuhnya dapat menemukan dirinya dan membunuhnya!
Akan tetapi menurut keterangan ibunya, Ho Beng Hw esio ketika masih berjuluk Hek Liong Ong adalah seorang datuk sesat yang berhati keras dan kejam, yang mudah membunuh manusia tanpa berkedip mata. Akibatnya dia banyak dimusihi orang-orang yang mendendam kepadanya.
Dan diapun menaati pesan ibunya agar dia tidak mendendam kepada pembunuh ayahnya. Ngo-heng-thian-cu hanya membalas dendam kepada Hek liong ong. Kalau kini dia memusuhi Ngo heng thian cu, maka dendam mendendam itu tidak akan ada habisnya. Kematian Hek liong ong merupakan akibat daripada perbuatannya yang lalu.
Berbeda dengan kematian ayahnya. Ayahnya mati secara penasaran, agaknya dikhianati seorang karena di bunuh dari belakang selagi bertempur melawan musuh. Dan terutama pedang itu, Hek-liong-kiam, harus dia temukan. Dengan hati yang kembali gembira Han Sin melanjutkan perjalanannya, kini dia menggunakan ilmu lari cepat dan sebentar saja sudah tiba dibawah gunung.
Ketika Yang Chien berhasil mendirikan Kerajaan Sui dan memerintah dengan bijaksana, keadaan dalam negeri dapat menjadi aman dan tentram. Kejahatan ditentang keras oleh pemerintah dan pasukan dikerahkan untuk membasmi gerombolan-gerombolan penjahat. Karena ini, keadaan menjadi tenteram dan penjahat-penjahat tidak berani terlalu menonjolkan diri melakukan kejahatan.
Akan tetapi, ketika Yang Chien meninggal dunia dan kekuasaan di pegang oleh puteranya Kaisar Yang Ti, pengaruh yang tadinya ditimbulkan oleh kebijaksanaan Kaisar Yang Chien itu mulai menipis, gerombolan penjahat mulai berani bermunculan melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Perampokan-perampokan mulai terjadi lagi ditempat-tempat sunyi dimana tidak ada pasukan pemerintah.
Perjalanan Han Sin tidak menemui rintangan. Pada suatu hari tibalah dia Kota Pei-yang, sebuah kota dekat Sungai Kuning yang mengalir dari utara menuju ke selatan. Karena letaknya dekat sungai itulah yang membuat Pei-yang menjadi kota yang penting. Kota ini menjadi pelabuhan perahu-perahu yang memuat barang-barang dari utara. Para pedagang dari utara membawa barang dagangan mereka dengan perahu. Dan pulangnya para pedagang itu membawa barang-barang dari selatan ke utara melalui darat.
Maka ramailah Pei-yang dengan adanya banyak pedagang yang lewat di kota itu dan bermalam di situ. Dengan sendirinya, kebutuhan para pedagang itu mendorong orang untuk membuka rumah makan dan rumah penginapan. Bahkan banyak rumah penginapan yang merangkap menjadi rumah makan pula. Selain itu, banyak pula toko-toko di buka orang, menjual bermacam-macam dagangan dari utara dan selatan.
Han Sin berputar-putar di kota itu dan karena hari telah mulai senja, dia mengambil keputusan untuk bermalam di kota Pei-yang. Dia memilih sebuah rumah makan merangkap rumah penginapan yang kelihatan bersih dan memasukinya. Seorang pelayan menyambutnya dengan ramah.
“Selamat sore, kong-cu. Kong-cu hendak makan ataukah hendak bermalam...?“
Han Sin tersenyum mendengar dirinya di sebut kong-cu. Padahal pakaiannya hanya sederhana saja. Apa yang menyebabkan pelayan ini memanggilnya kong-cu (tuan muda)? Mungkin hanya basa basi saja. “Selamat sore. Aku membutuhkan keduanya. Ya makan ya bermalam. Masih ada kamar yang bersih...?“
“Ada, kong-cu. Kamar kami semua bersih. Mari silahkan kong-cu. Saya antarkan ke kamar kong-cu...“
“Nanti saja, aku ingin makan lebih dulu...“ kata Han Sin dan pelayan itu segera mempersilahkan duduk di tempat yang kosong. Han Sin duduk di atas bangku menghadapi meja kosong dan dia mulai memandang ke sekeliling. Rumah makan itu cukup besar. Tidak kurang dari tiga puluh meja berada di situ dan pada waktu itu, separuh dari jumlah meja di duduki para tamu.
Tiba-t iba perhatian Han Sin tertarik kepada seorang yang baru memasuki rumah makan itu dari luar. Segera ia mengenal orang ini, pengemis muda yang pernah di lihatnya di kuil Hwa-li-pang. Ketika Pek Mau To-kouw bertanding melawan Kui Mo dan terdesak, pengemis muda itu seperti bersajak namun isi kata-katanya adalah petunjuk bagi Pek Mau To-kouw untuk memecahkan rahasia ilmu silat Kui Mo yang aneh. Kemudian Liu Si menyerang pengemis muda itu yang ternyata seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Dan kini tiba-tiba pengemis muda itu memasuki rumah makan dengan muka cengar-cengir, jelas sekali terbayang kenakalan pada wajah yang bercoreng hitam itu, wajah itu kelihatan kumal dan buruk. Akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata naga! Diam-diam Han Sin memperhatikan pemuda itu. Seperti dulu ketika dilihatnya di kuil, pengemis muda itu mengenakan pakaian tambal-tambalan berwarna hitam dan dia membawa sebatang tongkat bambu sebesar ibu jari kaki.
Melihat seorang pengemis muda memasuki rumah makan itu, seorang pelayan segera menghampirinya dan menegur. “Hei, bung! Kalau mengemis di luar saja, jangan memasuki rumah makan...!“
Pengemis muda itu mengerutkan alisnya. “Huh, siapa yang mengemis? Aku datang bukan untuk mengemis, melainkan untuk membeli makanan dan menginap. Beri aku sebuah kamar yang paling baik...“
“Jangan main-main kau! Hayo cepat keluar...!“ Pelayan itu kembali membentak.
“Engkau yang main-main...! Aku hendak makan, kenapa di suruh keluar...?”
“Engkau seorang jembel begini bagaimana bisa membayar harga makanan...? Masakan di sini mahal harganya...!"
“Eh, menghina ya? Jangankan membeli makanan di sini, untuk membeli kepalamu aku sanggup membayarnya...!“ pengemis itu mengambil sebuah kantung dari saku bajunya dan membuka kantung itu di depan pelayan. Isinya penuh potongan emas dan perak.
Pelayan itu terbelalak. “Engkau tentu seorang pencuri atau perampok! Pendeknya engkau tidak boleh masuk restoran ini, engkau akan membikin para langganan kami menjadi jijik melihat mu...!“
“Kenapa jijik? Karena pakaianku buruk? Ketahuilah, mereka yang berpakaian bersih dan bagus itu banyak sekali yang benar-benar menjijikan karena kelakuan mereka...“
“Sudahlah, jangan banyak cerewet. Pergi dari sini atau ku seret kau...!“ pelayan yang bertubuh tinggi besar itu mengancam. Akan tetapi pengemis yang masih muda dan tubuhnya kecil itu tidak kelihatan takut mendengar ancaman itu.
“Hemmmm ingin sekali aku melihat bagaimana engkau akan menyeret aku...“ tantangnya.
“Keparat, kulempar kau keluar...!“ pelayan itu berseru dan tangannya mencengkram punggung baju pengemis itu dan hendak melemparkannya keluar.
Akan tetapi terjadilah keanehan bagi para tamu yang tertarik mendengar pertengkaran itu. Ketika pelayan itu hendak menyeret dan melemparkan pengemis itu keluar, tiba-tiba pelayan itu mengeluh di susul dengan tubuhnya yang tinggi besar itu terlempar sampai keluar dari rumah makan...!
Pengemis itu tersenyum mengejek. “Ingin kulihat siapa yang tidak membolehkan aku makan di sini...!“
Han Sin tadi dapat melihat betapa pengemis itu menotok tubuh si pelayan lalu mendorongnya sampai terlempar keluar. Gerakannya tadi sedemikian cepatnya sehingga para tamu yang berada di situ tidak dapat melihatnya. Han Sin kagum, akan tetapi juga tidak senang melihat sikap pengemis itu ugal-ugalan. Sikap seperti itu dapat mengundang banyak kesulitan bagi dirinya sendiri.
“Aku yang tidak boleh...!“ tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari arah kiri.
Semua orang menengok dan memandang. Ternyata yang membentak ini adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar, usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Pakaian pemuda ini mentereng dan lagaknya seperti seorang pemuda bangsawan atau hartawan dengan potongan pakaian seperti seorang ahli silat serba ringkas dan gagah. Wajahnya memang gagah, rambutnya hitam tebal, alisnya hitam dan sepasang matanya lebar bersinar garang, hidung mancung besar dan mulutnya juga lebar. Wajahnya jantan dan gagah. Pengemis muda itu juga menengok dan ketika melihat siapa yang tadi membentaknya, dia bertolak pinggang dan membusungkan dada!
“Hemmm, ada sangkut paut apa kau dengan aku yang hendak makan di rumah makan ini? Apa pedulimu kalau aku makan di sini...?“ katanya dengan suara ketus.
“Kalian para pengemis tidak layak makan di sini. Menghilangkan selera makanku. Hemmm, pengemis adalah orang-orang malas, sudah sepatutnya dibasmi habis dari permukaan bumi...!“ kata pemuda tinggi besar itu garang.
“Wah, kau menghina orang ya...? Kami para pengemis minta belas kasihan orang dengan suka rela, tidak memaksa. Bahkan kami menggerakkan hati nurani manusia untuk beramal, ingat akan kekurangan orang lain. Tidak seperti engkau. Mungkin engkau putera hartawan dan hartawan biasanya memeras keringat orang yang tidak mampu atau mungkin engkau putera bangsawan dan para bangsawan biasanya melakukan korupsi. Pengemis lebih baik daripada hartawan atau bangsawan!“ Ternyata pengemis muda itu pandai sekali bicara, bicaranya cepat dan lancar, nyerocos seperti burung kakaktua.
“Engkau memang jembel cilik yang perlu dihajar...!“ Pemuda tinggi besar itu sudah mengepal tinju.
“Engkau yang perlu di hajar...! Aku seujung rambutpun tidak takut kepadamu...! Karena tinggi besar engkau berlagak jagoan ya?“ Pengemis itu berteriak marah dan mengamangkan tinju tangan kirinya yang kecil.
Melihat sikap pemuda tinggi besar yang agaknyabukan orang sembarangan itu, Han Sin khawatir akan nasib pengemis muda itu. Biarpun meiliki sedikit kepandaian, kalau bertemu lawan tangguh tentu akan celaka. Maka dia cepat bengkit dari tempat duduknya dan menghampiri pemuda tinggi besar itu lalu memberi hormat.
“Sobat, harap maafkan dia yang masih amat muda. Biarlah dia makan bersamaku dan aku yang tanggung bahwa dia akan membayar harga makanannya...!“
Pemilik rumah makan yang di ikuti oleh beberapa orang pelayan juga mohon kepada pemuda tinggi besar itu agar jangan berkelahi di rumah makan mereka. Sementara itu Han Sin mendekati si pengemis dan berkata,
“Sobat, bukankah kita sudah pernah saling jumpa? Aku mengundangmu untuk makan semeja denganku, harap engkau tidak menolak dan menghindarkan keributan dalam rumah makan ini...“
Pengemis itu memandang kepada Han Sin, memperhatikannya dari kepala sampai kaki seperti orang menilai, lalu mengangguk, “Hemmm, baiklah. Setelah kejadian yang menjengkelkan ini, aku memang perlu seorang teman yang baik...!“
Dengan langkah dan lagak gagah pengemis itu lalu mengikuti Han Sin menuju ke meja, melempar pandang ke kanan kiri seolah hendak menantang siapa yang akan berani mencegahnya. Han Sin dan pengemis itu duduk berhadapan dan Han Sin segera meneriaki pelayan agar menambah minuman dan makanan. Dia menuangkan arak ke dalam cawan pengemis itu.
“Silahkan minum untuk mengucapkan selamat atas perjumpaan ini...“ kata Han Sin.
Pengemis itu tersenyum dan mereka minum secawan arak. Pengemis itu tanpa malu-malu lagi lalu makan minum dan nampaknya ia lahap sekali. Akan tetapi Han Sin yang memperhatikan melihat kenyataan bahwa pengemis itu hanya makan sedikit. Belum menghabiskan nasi semangkok dia sudah berhenti.
“Kenapa makanmu sedikit sekali...? Makanlah lagi dan tambah nasinya...“
“Ah, tidak. Aku takut menjadi gemuk kalau makan terlalu banyak...“ jawabnya. Tentu saja Han Sin tertegun heran. Mana ada pengemis tidak mau makan banyak karena takut gemuk...?
“Sekarang aku ingat!“ pengemis itu berseru. “Bukankah engaku pengantin pria itu?”
Wajah Han Sin berubah merah, akan tetapi diapun tersenyum dan menjawab. “Maksudmu pengantin paksaan? Benar, kita pernah bertemu di kuil Hwa-li-pang...“
“Wah, kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini. Aku memang ingin bertanya mengapa pesta pernikahan itu tidak jadi dilangsungkan? Aku sudah menanti-nanti untuk mendapatkan bagian arak dan kue pengantin, ternyata tidak jadi ada pesta pernikahan! Apa yang terjadi?“ Pengemis itu berpura-pura, karena di luar pengetahuan Han Sin. Dirinya memegang peran penting dalam penggagalan pernikahan itu.
Dengan suara bisik-bisik agar tidak terdengar orang lain, Han Sin menjawab, “Aku dapat melarikan diri dari mereka...“
“Ih, kenapa lari? Bukankah senang akan dinikahkan dengan nona yang cantik itu?"
“Kau maksudkan yang gila itu? Mereka semua itu gila, akan tetapi aku tidak berdaya. Mereka lihai sekali. Akan tetapi untung aku dapat meloloskan diri dari tangan mereka berkat bantuan seorang gadis yang bernama Kim Lan. Hebat bukan main nona Kim Lan itu!“ Han Sin memuji dengan penuh kagum.
“Maksudmu nona yang berpakaian serba putih itu? Ya, ia memang cantik sekali..."
“Bukan hanya cantik jelita seperti bidadari, akan tetapi ilmunya juga hebat. Ketika aku di tawan keluarga gila, aku diberi racun dalam keadaan keracunan itu aku tidak dapat melarikan diri. Akan tetapi nona Kim itu dapat menyeludup masuk kamarku dan aku di obatinya sampai sembuh. Kemudian ia merencanakan agar aku dapat melarikan diri. Bukankah ia hebat sekali?“
Pengemis itu mengangguk-angguk dan mengacungkan ibu jarinya. “Namanya Kim Lan? Hemmm, kalau aku bertemu dengannya akan kuceritakan padanya betapa engkau memuji-muji setengah mati...“
Karena sudah lama mereka selesai makan, seorang pelayan menghampiri untuk menmbersihkan meja mereka dan membawa pergi perabot makan. Akan tetapi kedua orang itu masih bercakap-cakap terus. Mereka merasa akrab sekali dan diam-diam Han Sin merasa heran mengapa dia begitu suka dengan pemuda pengemis ini. Rasanya seolah-olah mereka sudah bersahabat lama sekali.
“Dan engkau sendiri, siapakah namamu?“ tanya Han Sin.
Pengemis itu mengangkat muka memandang dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang amat tajam. Han Sin dapat menduga bahwa pengemis muda yang memiliki sepasang mata setajam itu pastilah bukan orang biasa.
“Engkau belum memperkenalkan namamu sendiri, bagaimana menanyakan nama orang lain...?“ jawabnya.
“Ahh, aku lupa...“ kata Han Sin sambil tersenyum. “Baiklah namaku Cian Han Sin, dan engkau...?“
“Aku bermarga Cu dan namaku Sian...“
Pada saat itu, seorang pelayan datang menghampiri meja mereka dan pelayan itu bertanya kepada Han Sin, “Kalau kong-cu ingin memilih kamar, silahkan ikut saya...“
“Ah, ya baiklah..." Han Sin bangkit berdiri dan membayar harga makanan.
“Aku juga minta sebuah kamar...“ kata pengemis muda bernama Cu Sian itu kepada si pelayan.
“Adik Cu Sian, marilah kau menginap dikamarku saja. Kita pakai kamar itu untuk kita berdua...“
“Tidak, terima kasih. Aku ingin menyewa kamar sendiri...!“ kemudia berkata mengancam kepada pelayan itu. “Jangan menolakku! Aku akan membayar, berapaun sew anya...!“
Han Sin dapat menduga bahwa watak pengemis ini memang liar dan ugal-ugalan, maka diapun mengangguk kepada pelayan itu dan berkata, “penuhi saja permint aan sahabat ku ini..."
“Baik, baik, mari silahkan mengikuti saya...“
Mereka terus masuk ke bangunan di belakang rumah makan itu. Ternyata bangunan itu merupakan bangunan susun dan mempunyai banyak kamar. Mereka mendapatkan dua buah kamar yang berdampingan dan setelah pelayan itu pergi meninggalkan mereka, barulah Han Sin bertanya kepada pengemis itu.
“Sian-te (adik Sian), engkau ini aneh sekali...“
“Apanya yang aneh, Sin-ko (Kakak Sin)?“ Sepasang mata Cu Sian mengamati wajah Han Sin dengan tajam penuh selidik...
“Kalau begitu, saya hendak menceritakan apa yang telah terjadi di sini, akan tetapi saya harap sam-wi tidak akan menjadi tersinggung...“
Tiga orang itu memandang kepada Pak Mau To Kouw dengan mata bersinar penuh harapan. Justru mereka hendak mengetahui apa yang terjadi sewaktu mereka seperti orang-orang gila itu.
“Ceritakanlah, pang-cu. Kami berjanji tidak akan tersinggung, bahkan berterima kasih sekali...!“ kata Kui Mo.
Melihat sikap mereka, Pek Mau To Kouw tidak ragu-ragu lagi untuk bercerita. Beberapa hari yang lalu, sam-wi sudah datang ke tempat kami ini, akan tetapi keadaan sam-wi tidak seperti sekarang, Sam-wi mengenakan pakaian kembang-kembang, rambut sam-wi awut-awutan dan sikap sam-wi menakutkan...“ Pekl Mau To kouw berhenti dan mengamati wajah mereka bertiga.
“Penampilan kami menunjukkan bahwa kami bertiga berada dalam keadaan gila, bukan? Hal itu telah kami ketahui, pang-cu. Harap lanjutkan cerita pang-cu karena kami sama sekali tidak ingat lagi bahwa kami pernah datang ke tempat ini...“ kata Kui Mo.
Pek Mau To kouw mengangguk. “Sam-wi bertiga datang ke sini tidak hanya bertiga, akan tetapi bersama seorang pemuda yang menjadi tawanan sam-wi...“
“Eehhh...??? kami menawan seorang pemuda...?” seru Liu Si terheran-heran.
“Dan apa maksud kami datang ke sini?“ tanya Kui Mo.
“Sebelumnya harap sam-wi maafkan kalau saya berkata terus terang menceritakan keadaan yang sebenarnya terjadi. Sam-wi memaksa kami untuk meminjamkan tempat kami di sini untuk merayakan pernikahan dan mengundang orang-orang kang-ouw untuk menghadiri pesta pernikahan itu...“
“Pernikahan...? Pernikahan siapa, pang-cu...?" kini Kui Ji yang sejak tadi hanya mendengarkan, bertanya heran.
Pek Mau Tokouw tersenyum memandang gadis cantik itu. “Ayah ibumu akan menikahkan engkau dengan pemuda tawanan itu nona...“
“Ahhh...!“ Tiga orang itu berseru dan muka si gadis menjadi merah sekali.
“Lalu bagaimana, pang-cu, cepat ceritakan...!“ seru Liu Si tidak sabar.
“Permintaan yang aneh itu tentu saja kami tolak, akan tetapi sam-wi memaksa sehingga terjadi perkelahian dan kami tidak mampu menandingi kelihaian sam-wi. Terpaksa kami menyerah dan sam-wi lalu tinggal di sini, mengunakan tiga buah kamar. Satu untuk Kui-sicu dan isterinya, kedua untuk nona, dan ketiga, yang berada di tengah untuk pemuda tawanan itu. Kami terpaksa menuruti semua permintaan sam-wi..."
Ayah ibu dan anak itu saling pandang dengan terkejut dan heran. Mereka sama sekali tidak ingat lagi akan semua itu. “Tapi... apakah kami dalam keadaan gila itu melakukan pembunuhan atau lain kejahatan lagi, pang-cu...? Tanya Kui Mo dan suaranya mengandung kekhawatiran.
Pek Mau To Kouw menggeleng kepalanya. “Sama sekali tidak. Justeru karena sam-wi merobohkan kami tanpa melukai, kami yakin bahwa sam-wi bukan orang-orang jahat, hanya sedang terganggu pikirannya. Peristiwa perkelahian itu di saksikan oleh para tamu yang sedang berkunjung ke kuil kami dan di antara mereka terdapat seorang gadis berpakaian serba putih. Gadis inilah yang mengatur siasat untuk membebaskan pemuda itu dari tawanan sam-wi dan ketika melaksanakan usaha itu ia dibantu oleh seorang pengemis muda. Mereka berdua berhasil membebaskan pemuda itu dari pengawasan sam-wi dan agaknya karena melihat pemuda yang akan dinikahkan itu tidak ada lagi, sam-wi lalu pergi dari sini tanpa pamit lagi. Nah, demikianlah peristiwa itu dan sekarang, tiga hari kemudian, sam-wi muncul dalam keadaan yang berbeda sama sekali. Sungguh membuat kami merasa heran bukan main akan tetapi juga bersyukur bahwa sam-wi telah dapat sembuh dari penyakit itu...“
“Gadis baju putih...?” Tiga orang itu berseru dan kembali saling pandang.
“Tentu ia yang menulis surat itu...“ kata Kui Mo. “Pang-cu apakah gadis berpakaian putih itu seorang ahli pengobatan...?"
“Kami rasa begitu karena ia mengatakan bahwa pemuda tawanan itu keracunan dan ia hendak mengobatinya. Menurut nona itu, pemuda yang sam-wi tawan itu keracunan yang membuat pemuda itu menjadi lemah dan tidak dapat meloloskan diri...“
“Dan pengemis muda...?“ tanya Kui Ji. “Apakah yang dia lakukan untuk membantu pemuda itu lolos...?”
"Dia agaknya pandai ilmu silat. Dialah yang memancing agar sam-wi keluar menandinginya sehingga gadis baju putih itu mendapatkan kesempatan untuk membawa pemuda itu melarikan diri..."
Tiga orang itu saling pandang dan tentu saja merasa terpukul sekali. Sama sekali tidak mereka ingat lagi betapa dalam keadaan gila itu mereka hendak memaksa seorang pemuda untuk menjadi suami Kui Ji.
“Pang-cu, siapakah nama gadis berpakaian putih itu dan dimana tempat tinggalnya...? Kami harus bertemu dengannya dan menghaturkan terima kasih kami...“ kata Kui Mo.
“Ia hanya memberitahu bahwa namanya Kim Lan, akan tetapi kami tidak tahu dimana tempat tinggalnya. Ia bukan orang daerah sini, dan hanya kebetulan lewat. Setelah berhasil meloloskan pemuda itu diapun segera pergi dengan tiba-tiba sehingga saya sendiripun merasa menyesal tidak mengenalnya lebih baik.
“Dan pemuda yang menjadi... tawanan kami itu... siapa pula namanya dan dimana tinggalnya...?“ tanya Liu Si.
Pek Mau To Kouw menggeleng kepala. “Maaf, kami tidak tahu dan tidak sempat bicara dengan dia...“
“Siapa pula pengemis muda itu, pang-cu...? Siapa namanya dan dimana dia...?“ Kui Ji bertanya. “Kalau kami dapat menemukan dia, mungkin dia dapat menjelaskan dimana adanya gadis berpakaian putih itu...“
Pek Mau To-kouw juga menggeleng kepalanya. “Kami tidak pernah dapat berkenalan dengan dia. Tadinya kami juga mengira bahwa dia seorang pengemis biasa yang masih amat muda. Baru kami tahu bahwa dia lihai ketika dia membantu usaha membebaskan pemuda tawanan itu...“
Tentu saja tiga orang itu menjadi kecewa sekali. Mereka hanya dapat mengetahui bahwa nama penolong mereka adalah Kim Lan, akan tetapi kemana mereka harus mencarinya? Kui Mo menghela napas panjang. Ketua Hwa-li-pang itu telah memberikan keterangan yang sudah cukup jelas yang membuka tabir yang menyelimuti ingatan mereka. Dia merasa menyesal sekali bahwa dia sekeluarga telah melakukan hal-hal yang tidak pantas selama mereka keracunan jamur darah.
“Pang-cu, kami sekeluarga mohon maaf sebesarnya bahwa kami telah membikin kacau di Hwa-li-pang...“ katanya sambil bangkit berdiri dan memberi hormat, di ikuti isteri dan anaknya.
Ketua Hwa-li-pang itu cepat bangkit dan membalas penghormat an mereka. “Aih, sam-wi sama sekali tidak bersalah. Semua itu sam-wi lakukan di luar penghormatan mereka..."
Kui Mo bertiga lalu berpamit. Mereka di antar oleh Pek Mau To Kouw sendiri sampai diluar pagar daerah Hwa-li-pang. Setelah para tamu itu pergi, baru Pek Mau To Kouw memanggil para pembantunya dan menceritakan perihal keluarga Kui yang tadinya gila akan tetapi kini telah sehat kembali itu. Ia memberitahukan bahwa keluarga Kui adalah keluarga yang baik dan agar kalau para anak buahnya bertemu mereka, bersikap hormat. Kini Pek Mau To Kouw merasa lebih menyesal lagi mengapa ia tidak sempat berkenalan lebih lanjut dengan Kim Lan dan menanyakan tempat tinggalnya.
********************
Han Sin melakukan perjalanan menuju ke utara. Setelah berpisah dari Kim Lan, entah mengapa dia merasa kehilangan semangat dan ketika melanjutkan perjalanan meninggalkan rumah keluarga gila itu dia melangkah perlahan. Tidak menggunakan ilmu berlari cepat. Dia merasa kehilangan dan merasa betapa sepinya hidup ini.
Merasa sebatang kara di dunia ini dan timbullah rasa rindu kepada ibunya. Akan tetapi dia menekan perasaan hatinya yang ingin pulang. Tidak, ia belum menunaikan tugasnya. Bagaimana dia dapat pulang tanpa membawa pedang pusaka milik ayahnya dan tanpa berhasil membalas kematian ayahnya...?
Akan tetapi, pemandangan indah yang nampak ketika dia menuruni pegunungan Hwa-san menghibur hatinya. Nampak pemandangan di bawah gunung amatlah indahnya. Sawah ladang terhampar luas di bawah dan genteng rumah-rumah dusun berkelompok di sana sini kelihatan kemerahan. Wataknya yang memang periang itu segera timbul kembali dan dia sudah melupakan kerisauan hatinya. Dunia terbentang luas di depan kakinya. Langkahnya masih akan melintasi perjalanan jauh, banyak pengalaman hidup yang akan dihadapinya, mengapa dia harus bermurung-murung...?
Ho Beng Hwesio seringkali memberi nasihat agar dia menghadapi kenyataan hidup ini dengan wajar dan bebas dari kekhawatiran.
“Manusia sejak dilahirkan sudah menghadapi berbagai tantangan. Kita tidak mungkin dapat melarikan diri dari tantangan-tantangan itu. Contohnya diriku ini, makin melarikan diri dari tantangan, semakin banyak rasa khawatir timbul. Tantangan tidak harus dihadapi dengan rasa khawatir, melainkan harus di hadapi dengan berani. Tantangan harus di anggap sebagai suatu kewajaran dalam hidup dan kita harus menghadapinya dengan gembira dan mengatasi setiap tantangan yang datang...“
Benar apa yang di ucapkan gurunya itu. Biarpun dia tidak mengerti mengapa Ho Beng Hwesio yang dahulunya berjuluk Hek Liong Ong itu menyembunyikan diri menjadi Hwesio, namun jelas bahwa gurunya itu tidak berani menghadapi kenyataan. Dia dapat membayangkan bet apa dalam persembunyiannya itu Hek Liong Ong tentu merasa menderita sekali hatinya selalu ketakut an dan akhirnya benar saja, seorang diant ara musuh-musuhnya dapat menemukan dirinya dan membunuhnya!
Akan tetapi menurut keterangan ibunya, Ho Beng Hw esio ketika masih berjuluk Hek Liong Ong adalah seorang datuk sesat yang berhati keras dan kejam, yang mudah membunuh manusia tanpa berkedip mata. Akibatnya dia banyak dimusihi orang-orang yang mendendam kepadanya.
Dan diapun menaati pesan ibunya agar dia tidak mendendam kepada pembunuh ayahnya. Ngo-heng-thian-cu hanya membalas dendam kepada Hek liong ong. Kalau kini dia memusuhi Ngo heng thian cu, maka dendam mendendam itu tidak akan ada habisnya. Kematian Hek liong ong merupakan akibat daripada perbuatannya yang lalu.
Berbeda dengan kematian ayahnya. Ayahnya mati secara penasaran, agaknya dikhianati seorang karena di bunuh dari belakang selagi bertempur melawan musuh. Dan terutama pedang itu, Hek-liong-kiam, harus dia temukan. Dengan hati yang kembali gembira Han Sin melanjutkan perjalanannya, kini dia menggunakan ilmu lari cepat dan sebentar saja sudah tiba dibawah gunung.
********************
Ketika Yang Chien berhasil mendirikan Kerajaan Sui dan memerintah dengan bijaksana, keadaan dalam negeri dapat menjadi aman dan tentram. Kejahatan ditentang keras oleh pemerintah dan pasukan dikerahkan untuk membasmi gerombolan-gerombolan penjahat. Karena ini, keadaan menjadi tenteram dan penjahat-penjahat tidak berani terlalu menonjolkan diri melakukan kejahatan.
Akan tetapi, ketika Yang Chien meninggal dunia dan kekuasaan di pegang oleh puteranya Kaisar Yang Ti, pengaruh yang tadinya ditimbulkan oleh kebijaksanaan Kaisar Yang Chien itu mulai menipis, gerombolan penjahat mulai berani bermunculan melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Perampokan-perampokan mulai terjadi lagi ditempat-tempat sunyi dimana tidak ada pasukan pemerintah.
Perjalanan Han Sin tidak menemui rintangan. Pada suatu hari tibalah dia Kota Pei-yang, sebuah kota dekat Sungai Kuning yang mengalir dari utara menuju ke selatan. Karena letaknya dekat sungai itulah yang membuat Pei-yang menjadi kota yang penting. Kota ini menjadi pelabuhan perahu-perahu yang memuat barang-barang dari utara. Para pedagang dari utara membawa barang dagangan mereka dengan perahu. Dan pulangnya para pedagang itu membawa barang-barang dari selatan ke utara melalui darat.
Maka ramailah Pei-yang dengan adanya banyak pedagang yang lewat di kota itu dan bermalam di situ. Dengan sendirinya, kebutuhan para pedagang itu mendorong orang untuk membuka rumah makan dan rumah penginapan. Bahkan banyak rumah penginapan yang merangkap menjadi rumah makan pula. Selain itu, banyak pula toko-toko di buka orang, menjual bermacam-macam dagangan dari utara dan selatan.
Han Sin berputar-putar di kota itu dan karena hari telah mulai senja, dia mengambil keputusan untuk bermalam di kota Pei-yang. Dia memilih sebuah rumah makan merangkap rumah penginapan yang kelihatan bersih dan memasukinya. Seorang pelayan menyambutnya dengan ramah.
“Selamat sore, kong-cu. Kong-cu hendak makan ataukah hendak bermalam...?“
Han Sin tersenyum mendengar dirinya di sebut kong-cu. Padahal pakaiannya hanya sederhana saja. Apa yang menyebabkan pelayan ini memanggilnya kong-cu (tuan muda)? Mungkin hanya basa basi saja. “Selamat sore. Aku membutuhkan keduanya. Ya makan ya bermalam. Masih ada kamar yang bersih...?“
“Ada, kong-cu. Kamar kami semua bersih. Mari silahkan kong-cu. Saya antarkan ke kamar kong-cu...“
“Nanti saja, aku ingin makan lebih dulu...“ kata Han Sin dan pelayan itu segera mempersilahkan duduk di tempat yang kosong. Han Sin duduk di atas bangku menghadapi meja kosong dan dia mulai memandang ke sekeliling. Rumah makan itu cukup besar. Tidak kurang dari tiga puluh meja berada di situ dan pada waktu itu, separuh dari jumlah meja di duduki para tamu.
Tiba-t iba perhatian Han Sin tertarik kepada seorang yang baru memasuki rumah makan itu dari luar. Segera ia mengenal orang ini, pengemis muda yang pernah di lihatnya di kuil Hwa-li-pang. Ketika Pek Mau To-kouw bertanding melawan Kui Mo dan terdesak, pengemis muda itu seperti bersajak namun isi kata-katanya adalah petunjuk bagi Pek Mau To-kouw untuk memecahkan rahasia ilmu silat Kui Mo yang aneh. Kemudian Liu Si menyerang pengemis muda itu yang ternyata seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Dan kini tiba-tiba pengemis muda itu memasuki rumah makan dengan muka cengar-cengir, jelas sekali terbayang kenakalan pada wajah yang bercoreng hitam itu, wajah itu kelihatan kumal dan buruk. Akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata naga! Diam-diam Han Sin memperhatikan pemuda itu. Seperti dulu ketika dilihatnya di kuil, pengemis muda itu mengenakan pakaian tambal-tambalan berwarna hitam dan dia membawa sebatang tongkat bambu sebesar ibu jari kaki.
Melihat seorang pengemis muda memasuki rumah makan itu, seorang pelayan segera menghampirinya dan menegur. “Hei, bung! Kalau mengemis di luar saja, jangan memasuki rumah makan...!“
Pengemis muda itu mengerutkan alisnya. “Huh, siapa yang mengemis? Aku datang bukan untuk mengemis, melainkan untuk membeli makanan dan menginap. Beri aku sebuah kamar yang paling baik...“
“Jangan main-main kau! Hayo cepat keluar...!“ Pelayan itu kembali membentak.
“Engkau yang main-main...! Aku hendak makan, kenapa di suruh keluar...?”
“Engkau seorang jembel begini bagaimana bisa membayar harga makanan...? Masakan di sini mahal harganya...!"
“Eh, menghina ya? Jangankan membeli makanan di sini, untuk membeli kepalamu aku sanggup membayarnya...!“ pengemis itu mengambil sebuah kantung dari saku bajunya dan membuka kantung itu di depan pelayan. Isinya penuh potongan emas dan perak.
Pelayan itu terbelalak. “Engkau tentu seorang pencuri atau perampok! Pendeknya engkau tidak boleh masuk restoran ini, engkau akan membikin para langganan kami menjadi jijik melihat mu...!“
“Kenapa jijik? Karena pakaianku buruk? Ketahuilah, mereka yang berpakaian bersih dan bagus itu banyak sekali yang benar-benar menjijikan karena kelakuan mereka...“
“Sudahlah, jangan banyak cerewet. Pergi dari sini atau ku seret kau...!“ pelayan yang bertubuh tinggi besar itu mengancam. Akan tetapi pengemis yang masih muda dan tubuhnya kecil itu tidak kelihatan takut mendengar ancaman itu.
“Hemmmm ingin sekali aku melihat bagaimana engkau akan menyeret aku...“ tantangnya.
“Keparat, kulempar kau keluar...!“ pelayan itu berseru dan tangannya mencengkram punggung baju pengemis itu dan hendak melemparkannya keluar.
Akan tetapi terjadilah keanehan bagi para tamu yang tertarik mendengar pertengkaran itu. Ketika pelayan itu hendak menyeret dan melemparkan pengemis itu keluar, tiba-tiba pelayan itu mengeluh di susul dengan tubuhnya yang tinggi besar itu terlempar sampai keluar dari rumah makan...!
Pengemis itu tersenyum mengejek. “Ingin kulihat siapa yang tidak membolehkan aku makan di sini...!“
Han Sin tadi dapat melihat betapa pengemis itu menotok tubuh si pelayan lalu mendorongnya sampai terlempar keluar. Gerakannya tadi sedemikian cepatnya sehingga para tamu yang berada di situ tidak dapat melihatnya. Han Sin kagum, akan tetapi juga tidak senang melihat sikap pengemis itu ugal-ugalan. Sikap seperti itu dapat mengundang banyak kesulitan bagi dirinya sendiri.
“Aku yang tidak boleh...!“ tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari arah kiri.
Semua orang menengok dan memandang. Ternyata yang membentak ini adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar, usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Pakaian pemuda ini mentereng dan lagaknya seperti seorang pemuda bangsawan atau hartawan dengan potongan pakaian seperti seorang ahli silat serba ringkas dan gagah. Wajahnya memang gagah, rambutnya hitam tebal, alisnya hitam dan sepasang matanya lebar bersinar garang, hidung mancung besar dan mulutnya juga lebar. Wajahnya jantan dan gagah. Pengemis muda itu juga menengok dan ketika melihat siapa yang tadi membentaknya, dia bertolak pinggang dan membusungkan dada!
“Hemmm, ada sangkut paut apa kau dengan aku yang hendak makan di rumah makan ini? Apa pedulimu kalau aku makan di sini...?“ katanya dengan suara ketus.
“Kalian para pengemis tidak layak makan di sini. Menghilangkan selera makanku. Hemmm, pengemis adalah orang-orang malas, sudah sepatutnya dibasmi habis dari permukaan bumi...!“ kata pemuda tinggi besar itu garang.
“Wah, kau menghina orang ya...? Kami para pengemis minta belas kasihan orang dengan suka rela, tidak memaksa. Bahkan kami menggerakkan hati nurani manusia untuk beramal, ingat akan kekurangan orang lain. Tidak seperti engkau. Mungkin engkau putera hartawan dan hartawan biasanya memeras keringat orang yang tidak mampu atau mungkin engkau putera bangsawan dan para bangsawan biasanya melakukan korupsi. Pengemis lebih baik daripada hartawan atau bangsawan!“ Ternyata pengemis muda itu pandai sekali bicara, bicaranya cepat dan lancar, nyerocos seperti burung kakaktua.
“Engkau memang jembel cilik yang perlu dihajar...!“ Pemuda tinggi besar itu sudah mengepal tinju.
“Engkau yang perlu di hajar...! Aku seujung rambutpun tidak takut kepadamu...! Karena tinggi besar engkau berlagak jagoan ya?“ Pengemis itu berteriak marah dan mengamangkan tinju tangan kirinya yang kecil.
Melihat sikap pemuda tinggi besar yang agaknyabukan orang sembarangan itu, Han Sin khawatir akan nasib pengemis muda itu. Biarpun meiliki sedikit kepandaian, kalau bertemu lawan tangguh tentu akan celaka. Maka dia cepat bengkit dari tempat duduknya dan menghampiri pemuda tinggi besar itu lalu memberi hormat.
“Sobat, harap maafkan dia yang masih amat muda. Biarlah dia makan bersamaku dan aku yang tanggung bahwa dia akan membayar harga makanannya...!“
Pemilik rumah makan yang di ikuti oleh beberapa orang pelayan juga mohon kepada pemuda tinggi besar itu agar jangan berkelahi di rumah makan mereka. Sementara itu Han Sin mendekati si pengemis dan berkata,
“Sobat, bukankah kita sudah pernah saling jumpa? Aku mengundangmu untuk makan semeja denganku, harap engkau tidak menolak dan menghindarkan keributan dalam rumah makan ini...“
Pengemis itu memandang kepada Han Sin, memperhatikannya dari kepala sampai kaki seperti orang menilai, lalu mengangguk, “Hemmm, baiklah. Setelah kejadian yang menjengkelkan ini, aku memang perlu seorang teman yang baik...!“
Dengan langkah dan lagak gagah pengemis itu lalu mengikuti Han Sin menuju ke meja, melempar pandang ke kanan kiri seolah hendak menantang siapa yang akan berani mencegahnya. Han Sin dan pengemis itu duduk berhadapan dan Han Sin segera meneriaki pelayan agar menambah minuman dan makanan. Dia menuangkan arak ke dalam cawan pengemis itu.
“Silahkan minum untuk mengucapkan selamat atas perjumpaan ini...“ kata Han Sin.
Pengemis itu tersenyum dan mereka minum secawan arak. Pengemis itu tanpa malu-malu lagi lalu makan minum dan nampaknya ia lahap sekali. Akan tetapi Han Sin yang memperhatikan melihat kenyataan bahwa pengemis itu hanya makan sedikit. Belum menghabiskan nasi semangkok dia sudah berhenti.
“Kenapa makanmu sedikit sekali...? Makanlah lagi dan tambah nasinya...“
“Ah, tidak. Aku takut menjadi gemuk kalau makan terlalu banyak...“ jawabnya. Tentu saja Han Sin tertegun heran. Mana ada pengemis tidak mau makan banyak karena takut gemuk...?
“Sekarang aku ingat!“ pengemis itu berseru. “Bukankah engaku pengantin pria itu?”
Wajah Han Sin berubah merah, akan tetapi diapun tersenyum dan menjawab. “Maksudmu pengantin paksaan? Benar, kita pernah bertemu di kuil Hwa-li-pang...“
“Wah, kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini. Aku memang ingin bertanya mengapa pesta pernikahan itu tidak jadi dilangsungkan? Aku sudah menanti-nanti untuk mendapatkan bagian arak dan kue pengantin, ternyata tidak jadi ada pesta pernikahan! Apa yang terjadi?“ Pengemis itu berpura-pura, karena di luar pengetahuan Han Sin. Dirinya memegang peran penting dalam penggagalan pernikahan itu.
Dengan suara bisik-bisik agar tidak terdengar orang lain, Han Sin menjawab, “Aku dapat melarikan diri dari mereka...“
“Ih, kenapa lari? Bukankah senang akan dinikahkan dengan nona yang cantik itu?"
“Kau maksudkan yang gila itu? Mereka semua itu gila, akan tetapi aku tidak berdaya. Mereka lihai sekali. Akan tetapi untung aku dapat meloloskan diri dari tangan mereka berkat bantuan seorang gadis yang bernama Kim Lan. Hebat bukan main nona Kim Lan itu!“ Han Sin memuji dengan penuh kagum.
“Maksudmu nona yang berpakaian serba putih itu? Ya, ia memang cantik sekali..."
“Bukan hanya cantik jelita seperti bidadari, akan tetapi ilmunya juga hebat. Ketika aku di tawan keluarga gila, aku diberi racun dalam keadaan keracunan itu aku tidak dapat melarikan diri. Akan tetapi nona Kim itu dapat menyeludup masuk kamarku dan aku di obatinya sampai sembuh. Kemudian ia merencanakan agar aku dapat melarikan diri. Bukankah ia hebat sekali?“
Pengemis itu mengangguk-angguk dan mengacungkan ibu jarinya. “Namanya Kim Lan? Hemmm, kalau aku bertemu dengannya akan kuceritakan padanya betapa engkau memuji-muji setengah mati...“
Karena sudah lama mereka selesai makan, seorang pelayan menghampiri untuk menmbersihkan meja mereka dan membawa pergi perabot makan. Akan tetapi kedua orang itu masih bercakap-cakap terus. Mereka merasa akrab sekali dan diam-diam Han Sin merasa heran mengapa dia begitu suka dengan pemuda pengemis ini. Rasanya seolah-olah mereka sudah bersahabat lama sekali.
“Dan engkau sendiri, siapakah namamu?“ tanya Han Sin.
Pengemis itu mengangkat muka memandang dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang amat tajam. Han Sin dapat menduga bahwa pengemis muda yang memiliki sepasang mata setajam itu pastilah bukan orang biasa.
“Engkau belum memperkenalkan namamu sendiri, bagaimana menanyakan nama orang lain...?“ jawabnya.
“Ahh, aku lupa...“ kata Han Sin sambil tersenyum. “Baiklah namaku Cian Han Sin, dan engkau...?“
“Aku bermarga Cu dan namaku Sian...“
Pada saat itu, seorang pelayan datang menghampiri meja mereka dan pelayan itu bertanya kepada Han Sin, “Kalau kong-cu ingin memilih kamar, silahkan ikut saya...“
“Ah, ya baiklah..." Han Sin bangkit berdiri dan membayar harga makanan.
“Aku juga minta sebuah kamar...“ kata pengemis muda bernama Cu Sian itu kepada si pelayan.
“Adik Cu Sian, marilah kau menginap dikamarku saja. Kita pakai kamar itu untuk kita berdua...“
“Tidak, terima kasih. Aku ingin menyewa kamar sendiri...!“ kemudia berkata mengancam kepada pelayan itu. “Jangan menolakku! Aku akan membayar, berapaun sew anya...!“
Han Sin dapat menduga bahwa watak pengemis ini memang liar dan ugal-ugalan, maka diapun mengangguk kepada pelayan itu dan berkata, “penuhi saja permint aan sahabat ku ini..."
“Baik, baik, mari silahkan mengikuti saya...“
Mereka terus masuk ke bangunan di belakang rumah makan itu. Ternyata bangunan itu merupakan bangunan susun dan mempunyai banyak kamar. Mereka mendapatkan dua buah kamar yang berdampingan dan setelah pelayan itu pergi meninggalkan mereka, barulah Han Sin bertanya kepada pengemis itu.
“Sian-te (adik Sian), engkau ini aneh sekali...“
“Apanya yang aneh, Sin-ko (Kakak Sin)?“ Sepasang mata Cu Sian mengamati wajah Han Sin dengan tajam penuh selidik...